ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2 203 “SHIFTING PARADIGM” PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA (Studi Interpretasi Kontekstual Ali Mustafa Ya’qub terhadap Hadis-Hadis Hubungan dengan Non-Muslim) Adriansyah. NZ, MA Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang [email protected]ABSTRACT Almost all types of science experience "shifting paradigm", as well as the study of hadith. In the contemporary era, understanding certain traditions often causes problems in social life. In the Indonesian context, the hadith reviewers try to reconstruct the Prophet's hadith understanding method so that it can be accepted and grounded in a pluralistic society. Ali entered the row of influential figures in the scientific arena of hadith. The Contextual Interpretation Method of the hadith that was carried by him, Ali Mustafa Ya'qub can put the position of the Prophet's hadith accepted in the present context, without eliminating and ignoring the hadith text message itself. This research becomes important to uncover and analyze Ali Mustafa Ya'qub's contextual interpretation model within the framework of shifting paradigm towards the hadith relations with non-Muslims. Through descriptive-analysis method it was found that in Ali Mustafa Yaqub thought hadith must be understood textually. If textual understanding is considered impossible, contextual understanding must be applied. Traditions with supernatural themes, pure worship and qath'i law must be understood textually. Before carrying out contextual understanding of hadith, Ali reminded us to go through the method of interpreting / al-Qur'an with the Qur'an, the Qur'an with the traditions and traditions with other traditions. Contextual understanding must look at aspects outside the text, namely sabab al-wurud hadith, eating and zamani and al-taqalid al- diniyah. As for the contextual interpretation model of the hadith, Ali generalized special things about relations with non-Muslims, namely to sort out the traditions about war being applied / understood in conditions of war and peaceful traditions applied and understood in conditions of peace. Whereas the hierarchy of values contained in the contextual interpretation of Ali Mustafa Ya'qub's hadith is there; 1) Obligatory Values, 2) Fundamental Values. 3) Protectional Values, and 4) Implementational Values. Keywords: Shifting Paradigm, Contextual Interpretation, Non-Muslim
32
Embed
SHIFTING PARADIGM” PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA (Studi … · 2020. 3. 4. · Indonesia sedikitnya dalam tiga cabang keilmuan hadis, yaitu: Takhrij Hadis, Naqd Hadis dan Fiqh Hadis6.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
203
“SHIFTING PARADIGM” PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA
(Studi Interpretasi Kontekstual Ali Mustafa Ya’qub terhadap Hadis-Hadis
Prosedur dasar pembuatan rancangan penelitian dan pelaksanaan studi analisis isi ini
terdiri dari 6 (enam) tahapan langkah, yaitu; 1) merumuskan pertanyaan dan hipotesisnya, 2)
melakukan sampling terhadap sumber data yang telah dipilih, 3) pembuatan kategori yang
dipergunakan dalam analisis, 4) pendataan suatu sampel dokumen yang telah dipilih dan
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
209
melakukan pengkodean, 5) pembuatan skala dan item berdasarkan kriteria tertentu untuk
pengumpulan data dan 6) interpretasi/penafsiran data yang diperoleh.
C. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian tentang sosok Ali Mustafa Ya‟qub yang pernah dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya, diantaranya jurnal karya Miski Mudin yang berjudul Pemahaman Hadis
Ali Mustafa Ya’qub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban dalam Indonesia, Riwayah:
Jurnal Studi Hadis, Vol. 2, No. 1 tahun 2016. Karya Miski ini menjelaskan tentang pandangan
dan pemahaman hadis Ali Mustafa Ya‟qub tentang memakai serban dalam konteks Indonesia.
Meskipun penelitian yang telah dilakukan Miski terhadap pemikiran hadis Ali Mustafa
Ya‟qub, namun kajian ini tidak membahas sama sekali tentang interpretasi kontekstual Ali
Mustafa Ya‟qub dalam memahami hadis-hadis hubungan dengan non-muslim.
Penelitian lain dilakukan oleh Ali Wafa berupa jurnal tentang Kiai Ali Mustafa
Ya‟qub: Penggagas Kajian Hadis di Indonesia. Penelitian ini berisi tentang peran penting Ali
Mustafa Ya‟qub dalam mengembangkan kajian hadis di Indonesia, terutama dalam dunia
pesantren. Bila dihubungkan dengan penelitian yang penulis lakukan, maka tidak juga
membahas tema yang sedang penulis lakukan. Penelitian lain seperti skripsi mahasiswa IAIN
Raden Intan Lampung Muhammad Izwan yang berjudul Kajian Hadis di Indonesia (Studi
Pemikiran Prof. Dr. H. Ali Mustafa Ya‟qub, MA). Dalam skripsi dijelaskan tentang secara
umum pemikiran hadis Ali Mustafa Ya‟qub tanpa memberikan komentar terhadap pemikiran
Ali dalam memahami hadis, terutama hadis-hadis yang berkaitan dengan hubungan dengan
non-muslim. Ada lagi tulisan yang agak mirip dengan penelitian ini adalah tulisan Moh.
Fadhil Nur yang berjudul Hermeneutika Hadis Ali Mustafa Ya‟qub (Studi atas Fenomena
Standing Party di Indonesia) di Academica Edu. Kajian ini menyoroti interpretasi hadis Ali
dalam hal minum sambil berdiri (Standing Party) yang marak berkembang di Indonesia.
Beberapa kajian diatas sedikit banyak memiliki kesamaan dengan penelitian ini,
namun kajian-kajian tersebut tidak menyentuh pembahasan tentang interpretasi kontekstual
Ali Mustafa Ya‟qub dalam memahami hadis-hadis hubungan dengan non-muslim.
D. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis, penulis akan menelaah
interpretasi kontekstual Ali Mustafa Ya‟qub dalam memahami hadis-hadis muamalah dari
beberapa karyanya. Metode analisis data adalah hermeneutik. Metode ini digunakan untuk
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
210
mengungkap paradigma yang digunakan oleh Ali Mustafa Ya‟qub dalam membangun
kerangka metodologi pemikirannya mengenai kajian hadis, terutama interpretasi kontekstual
hadis untuk memperlihatkan hubungan antara penulis, pembaca, dan teks serta kondisi-
kondisi dimana seseorang memahami sebuah teks (hadis). Sedangkan Penelitian ini
menggunakan pendekatan sejarah untuk menguji validitas sumber-sumber dokumen sebagai
penggalian masa lampau yang dijadikan rujukan. Menurut Garraghan, pendekatan sejarah
merupakan sebuah sistem prosedur yang tepat untuk memperoleh kebenaran sejarah dengan
tiga langkah utamanya; pertama, mencari bahan yang akan dikaji untuk sumber informasi
(heuristic), kedua, menilai bahan atau sumber tersebut dari sudut nilai yang jelas (criticism),
dan ketiga menyimpulkan hasil temuan heuristic dan kritik tersebut dalam pernyataan formal7.
E. Selayang Pandang tentang Ali Mustafa Ya’qub
Ali Mustafa Ya‟qub adalah Imam Besar Masjid Istiqlal ke empat yang menjabat mulai
periode 2005-2006 (sebelum digantikan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA), seorang Ahli
Hadis Nusantara penerima sanad Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim itu lahir di Desa
Kemiri Kecamatan Subah Kabupateni Batang Jawa Tengah pada tanggal 2 Maret tahun 1952.
Ia hidup dalam lingkungan keluarga yang berkecukupan dan taat beragama. Beliau tidak
pernah mengalami kekurangan dalam kebutuhan sehari-hari. Setiap yang ia butuhkan selalu
terpenuhi, namun ia tidak pernah membanggakan kekayaan keluarganya. Ali dan kakaknya
dididik oleh kedua orang tua mereka untuk belajar hidup sederhana dan tidak berpoya-poya,
hidup mandiri dan taat pada ajaran agama.
Ayahnya Ali bernama H. Ya‟qub, seorang muballigh terkemuka pada masanya dan
imam di masjid-masjid yang ada di Jawa Tengah. Ayahnya pernah menyatakan “Menegakkan
Amar Ma‟ruf dan Memberantas Nahi Munkar”. Sejak matahari terbit sampai terbenam,
ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas penduduk dilingkungan
rumahnya kebanyakkan orang yang belum mengerti agama, baik dari kalangan petinggi
pemerintahan, para guru-guru di sekolah, masyarakat menengah sampai masyarakat awam.
Akhirnya ayah Ali dan kakeknya mendirikan sebuah pesantren yang para santrinya adalah
penduduk sekitar. Ayah beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap ridho Allah
SWT, ayahnya beliau berjiwa besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah
SWT8. Ibu Ali bernama Hj. Siti Habibah, beliau juga seorang ustazah dan ibu rumah tangga.
7Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method, (Fordham University Press: USA, 1946), h. 33
8 Disarikan dari hasil wawancara Ni‟ma Diana Kholidah dengan Kiyai Ali Mustafa Ya‟qub, Kontribusi
Ali Mustafa Ya’qub terhadap Perkembangan KajianHadis Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Fakultas
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
211
Ibu beliau juga ikut membantu perjuangan ayahnya dan meninggal pada tahun 1996. Istri Ali
bernama Hj. Ulfah Uswatun Hasanah, anaknya yang semata wayang bernama H. Ziaul
Haramain Ali Mustafa, Lc. Ali memiliki tujuh saudara, dua diantaranya meninggal dunia dan
masih hidup lima bersaudara, salah satu dari kakaknya yang bernama KH. Ahmad Dahlan
Nuri Ya‟qub mengikuti jejak ayahnya dan menjadi pengasuh pondok pesantren
Darussalam9di Patang Jawa Tengah10. Kakek Ali bernama Joyo Truno, pekerjaannya sebagai
petani dan neneknya sebagai ibu rumah tangga.
Kebanyakan masa kecil beliau dihabiskan untuk belajar agama dengan kakeknya dan
ayahnya, yang kebetulan ayahnya seorang Kiyai dan ahli agama. Rumahnya selalu dipakai
untuk pengajian, baik pengajian untuk bapak-bapak maupun pengajian ibu-ibu yang diadakan
dua kali seminggu, yaitu setiap malam senin dan kamis. Selain itu, ayah Ali juga membuka
pengajaran yang berbentuk kursus yaitu kursus ilmu agama dan Bahasa Arab bagi masyarakat
yang ingin mendalaminya. Setiap kali ayah Ali atau kakeknya melaksanakan pengajian, Ali
selalu mengikutinya, beliau tidak pernah absen sehingga ketika beliau belum sekolah, Ali
sudah mengetahui pelajaran agama terlebih dahulu selain beliau terkenal anak yang cerdas
dan selalu ingin mengetahui apa yang belum ia ketahui. Dari sini Ali sudah terkenal sebagai
anak dan cucu yang sangat cerdas dan cekatan.Akhirnya pada usia tujuh tahun, Ali
disekolahkan oleh orang tuanya di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1961-1966.
Setelah tamat dari Sekolah Rakyat (SR), Ali melanjutkan pendidikan di Madrasah
Tsanawiyah (MTs) atau dikenal dengan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) pada
tahun 1966 sampai tahun 1969, setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah, beliau melanjutkan
pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Tengah dengan tujuan
memperdalam ilmu agama seperti belajar kitab kuning dan bahasa Arab. Di Pondok Pesantren
ini, Ali bertemu dengan guru-gurunya yang hebat seperti KH. Idris Kamali, KH. Adhlan Ali
belajar ilmu akhlak, KH. Shobari belajar hadis dan KH. Syamsuri Badawi ia belajar hadis dan
ushul fiqih. Dengan KH. Idris Kamali, ia belajar ilmu-ilmu alat (gramatika bahasa Arab), Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 11. Skripsi pada Jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta. Lihat
Satu Jam Lebih Dekat bersama KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. Sumber TV One. 9 Menurut Nurcholis Madjid, seperti dikutip BLA Semarang, bahwa Ponpes terbagi dua; salafi dan
khalafi. Salafi merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (kitab-
kitab kuning/ al-kutub al-shafra)sebagai inti pendidikannya. Tradisi masa lalu sangat dipertahankan. Sedangkan
khalafi adalah ponpes yang menerima hal-hal baru yang dinilai baik, tetap mempertahankan tradisi lama yang
baik, terbuka pada globalisasi, atau sekarang lebih tepat disebut ponpes modern. Lihat: Mulyani Mudis Taruna,
dkk, Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning di Pondok Pesantren Salaf (Semarang: RobarBersama, 2011), h.
11-12 10
Ali Mustafa Ya‟qub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 143.
Informasi data ini pula diperoleh berdasarkan hasil wawancara Riki Efendi dengan Kiyai Ali Mustafa Ya‟qub.
Lihat Riki Efendi, Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: 2009). Skripsi pada Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
212
tafsir dan hadis dengan metode sorogan (individu)11 dimana ia diwajibkan menghafal lebih
dari sepuluh kitab, antara lain kitab alfiyah ibn Malik, Matan al-Baiquniyyah, al-Waraqat
dalam bidang ushul fiqih, dan lain sebagainya.. Ini merupakan sebagai prasyarat untuk boleh
membaca kitab dihadapan beliau. Ali juga sempat belajar dengan KH. Abdurrahman Wahid
(Gusdur) khususnya untuk bidang studi Bahasa Arab dan Kitab Qatr al-Nada
(Sintaksis/Nahwu)12. Pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan pembaraan mencari ilmu
pada Program Studi Syariah Universitas Hasyim Asy‟ari Jombang dan di Tebuireng (1972-
1975)13, ia menekuni kitab-kitab kuning14 di bawah asuhan para Kiyai senior, disamping
mengajar kitab-kitab kuning dan bahasa Arab kepada santri junior lainnya selesai tahun 1975
sampai awal tahun 197615.
Ketika Ali duduk di kelas tiga Aliyah di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, ia
mendapat ujian dari Allah SWT, ayah beliau dipanggil oleh yang maha kuasa tepatnya
dipenghujung tahun 1971. Setelah mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal, langsung
meminta izin kepada guru atau ustaz di sana untuk menemui ayahanda untuk terakhir kalinya,
11
Sorogan merupakan salah satu metode pengajaran individual yang dilaksanakan di pesantren. Dalam
aplikasinya, metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu pertama bagi santri pemula mereka mendatangi seorang
ustadz atau kiyai yang akan membacakan kitab tertentu. Kedua, bagi santri senior, mereka mendatangi seorang
dewan guru/kiyai supaya sang guru/kiyai tersebut mendengarkan bacaan sekaligus memberikan koreksi terhadap
bacaan mereka. Selain sistem diatas, adapula yang disebut dengan bandongan atau wetonan, yaitu sebuah metode
pengajaran kolektif dimana santri secara bersama-sama mendengarkan ustdz atau kiyai yang membaca,
menterjemahkan, menjelaskan suatu bahasan dan mengulas kitab tertentu. Amin Haedari, dkk, Masa Depan
Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2005), h. 15.
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan
kitabnyadihadapan kiyai atau asistennya. Sedangkan wetonan (Bandongan), weton berasal dari kata wektu
(bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum
dan atau sesudah melakukan shalat fardhu. Harapandi Dahri, dkk, Mastery Learning pada Pondok Pesantren
Melalui Metode Sorogan dan Bandongan, (Jakarta: BLA Jakarta, 2008), h. 164-265. 12
Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia; Studi atas Pemikiran Abdul
Hakim Abdat dan Ali Mustafa Ya‟qub, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009),
h. 83. Tesispada SPs UIN Jakarta. Lihat juga dalam Ali Mustafa Ya‟qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-
Qur‟an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105 13
Dalam catatan Zamakhsyari Dhofier, Ponpes Tebuireng telah memainkan peranan penting dalam
pelestarian dan pengembangan tradisi pesantren di abad ke-20 dan telah pula menjadi sumber penyedia
(supplier) yang paling penting untuk kepemimpinan pesantren di seluruh pulau Jawa dan Madura sejak tahun
1910-an. Ponpes Tebuireng telah memainkan peranan yang menentukan dalam pembentukan dan pengembangan
Jam‟iyyah Nahdhatul Ulama (NU) yang sejak didirikannya pada tahun 1926 telah mengambil bagian yang cukup
penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Kemudian sejumlah pimpinan pesantren Tebuireng terutama Kiyai
Wahud Hasyim dan Kiyai Abdurrahman Wahid (Gusdur), berperan besar dalam memandu langkah-langkah
tradisi pesantren, memandu modernitas pendidikan sejak perempat abad terakhir abad ke-20. Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Edisi
Revisi, (Jakarta: LP3ES, 2015), h. 170-171. 14
Kitab Kuning (al-kutub al-shafra)adalah kitab Islam klasik yang sangat khas dalam dunia pesantren.
Beragam tema ditulis oleh para ulama terdahulu. Dinamakan kitab kuning karena buku tersebut dicetak diatas
kertas berwarna kining. Sebagain penerbit bahkan mencetak kitab diatas berwarna kuning yang diproduksi
khusus untuk mereka oleh sejumlah penerbit/ perusahaan Indonesia karena tampaknya kitab berwarna kuning ini
menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat,
(Bandung: Mizan, 1999), h. 142. 15
Ali Mustafa Ya‟qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1977), h. 240.
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
213
beliau terlihat tenang, tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan yang terberat dalam
hidupnya, apalagi beliau ditinggal sang ayah pada usia yang masih muda sekali dan belum
menamatkan sekolah tingkat Aliyahnya. Karena sejak kecil ia sudah diajarkan hidup mandiri
dan sederhana, maka Ali ikhlas melepaskan kepergian ayahnya dan senantiasa berdoa untuk
ayahanda tercinta.
Setelah Ali menamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren Tebuireng, beliau
langsung kembali ke kampung halaman dengan i‟tikad dan niat yang tulus yaitu melanjutkan
perjuangan ayahanda dan kakeknya dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah
didapatkannya di pondok pesantren kepada masyarakat di kampung halamannya serta
mengembangkan pondok pesantren yang telah dibangun oleh kakek bersama kakaknya.
Setelah sekian tahun mengabdikan diri kepada masyarakat, dalam hati nurani beliau
bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah Arab Saudi untuk memperdalam
Bahasa Arab, apa boleh buat keinginannya tersebut belum bisa dicapai, karena beliau terbatas
oleh biaya untuk berangkat ke Arab Saudi. Akhirnya beliau merenung dan berfikir mencari
jalan keluarnya bagaimana caranya supaya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih
tinggi atau kuliah. Ketika sedang merenung, beliau teringat kepada salah seorang kakak kelas
beliau yang sedang melanjutkan pendidikan di Timur Tengah, tidak lama kemudian beliau
langsung membuka sebuah buku kenangan dari pondok pesantren yang berisi biodata-biodata
para alumni. Akhirnya ia menemukan alamat rumah dan nomor telfonnya, secepat mungkin
beliau langsung mencari alamat rumahnya, dan ia mendapatkan banyak informasi bagaimana
bisa melanjutkan pendidikan di sana, karena dari kecil ia sudah memahami Bahasa Arab,
maka beliau langsung mengajukan beasiswa pendidikan kepada pemerintahan Arab Saudi,
dan akhirnya ia bisa melanjutkan kuliah di Timur Tengah tanpa mengeluarkan biaya
sedikitpun. Pada tahun 1976, Ali memulai melanjutkan pendidikan di Saudi Arabia16
Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud sampai selesai dengan
memperoleh ijazah Licence (Lc) pada tahun 1980. Kemudian masih di kota yang sama ia
melanjutkan pendidikan pada Fakultas Dirasoh Islamiah Universitas King Saud, Departement
16
Sudah dimaklumi, bahwa Mekah dan Madinah sering juga disebut sebagai al-Haramain al-Syarifain
(dua haram yang dimuliakan), Haramain merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Mekah adalah kiblat, arah menghadapkan wajah dalam shalat bagi seluruh umat Islam dan tempat pelaksananaan
haji. Dengan signifikansi keagamaan khas seperti itu, tidak heran kalau banyak keutamaan (fadhail) dilekatkan
kepada Mekah dan Madinah dan ajaran al-Qur‟an dan Hadis Nabi SAW untuk menuntut ilmu. Singkatnya, ilmu
yang diperoleh di kota Haramain dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat
keilmuan lain. Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII:
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Perenial, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013), h. 53. Menurut
hemat penulis, hal itu pulalah tampaknya yang mendorong Ali untuk mengembara ilmu ke kota Haramain,
terutama takhashshush Tafsir dan Hadis.
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
214
Studi Islam Jurusan Tafsir dan Hadis sampai selesai memperoleh ijazah Master pada tahun
198517. Pada tahun 2006, Ali kembali melanjutkan pendidikan Doktoralnya di Universitas
Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M. Hasan Hitou, seorang Guru Besar Fiqih
Islam dan Ushul Fiqih Universitas Kuwait serta Direktur Lembaga Studi Islam Internasional
di Frankfurt Jerman18. Pertengahan tahun 2007, Ali merupakan salah seorang yang mendapat
gelar Professor sebelum lulus ujian disertasinya.
Pada tahun 1985 ia pulang ke tanah air, namun terbenak dalam hati kecilnya, beliau
ingin sekali pergi ke Papua/Irian Jaya untuk mengabdikan dan mengamalkan ilmunya disana,
akan tetapi beliau dipinta oleh pemerintah untuk mengabdikan dirinya di kota Jakarta,
akhirnya beliau mengajar di Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ) Jakarta. Kini disamping. Kini
disamping sebagai dosen tetap IIQ Jakarta, beliau juga mengajar di berbagai perguruan tinggi
seperti Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟an (PTIQ), IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayubi (INISA) Tambun Bekasi, Sekolah Tinggi Ilmu
Dakwah (STDA) al-Hamidiyah Jakarta. Ia berkesempatan mengisi pengajian dan pembicara
seperti Pendidikan Kader Ulama (PKU) dan ditunjuk sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal
Jakarta. Pada tahun 1989 beliau bersama keluarga mendirikan Pondok Pesantren Darussalam
di Batang Jawa Tengah desa kelahirannya dan sekarang pesantren tersebut diasuh oleh
kakaknya bernama KH. Ahmad Dahlan Nuri Ya‟qub
Sebagai seorang ulama dan sekaligus sebagai akademisi, Ali Mustafa Ya‟qub
memiliki riwayat karir sebagai pengajar diberbagai perguruan tinggi dan menjabat berbagai
lembaga keagamaan. Berikut riwayat karir dan aktivitas Ali Mustafa Ya‟qub:
1. Pengajar di Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ) Jakarta tahun 1985
2. Pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta tahun 1986
3. Staf Pengajar di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1987-1988
4. Pengajar di Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayubi (INISA) Tambun Bekasi tahun
1989-1990
5. Mentor pada Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI
6. Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STDIA) al-Hamidiyah Jakarta
7. Pendiri Pondok Pesantren Darussalam di Desa Batang Jawa Tengah bersama kakak
kandungnya KH. Ahmad Dahlan Nuri Ya‟qub
17
Wawancara pribadi Hartono dengan Kiyai Ali untuk magisternya. Lihat: Hartono, Perkembangan
Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia; Studi atas Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Ya‟qub,
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 83 18
Biografi Pendiri Ponpes Darus Sunnah dapat dilihat pada buku Album Wisuda (Zikrayat al-Takharruj)
Sarjana ke-14 Tahun 2016/1437 H, h. 4-7.
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
215
8. Ketua umum Perhimpunan Pelajar Indonesia Riyadh tahun 1995-1997
9. Pengasuh Pondok Pesantren al-Hamidiyah Depok tahun 1995-1997
10. Ketua STDIA al-Hamidiyah tahun 1991-1997
11. Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ittihadil Muballighin tahun 1990-1996
12. Diangkat menjadi Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ)
Jakarta tahun 1998
13. Ketua Dewan pakar merangkap Ketua Departemen Luar Negeri DPP Ittihadul
Muballighin tahun 1996-2000
14. Anggota Aktif Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia
(LEPHI) dan Pengasuh Rubrik Hadis/ Mimbar Majalah Amanah Jakarta
15. Pendiri Pondok Pesantren Hadis Darussunnah Pisangan Jakarta tahun 1997
16. Wakil Ketua Tim Penterjemahan al-Qur‟an dan Terjemahannya dan juga Tim
Penyempurnaan al-Qur‟an dan Tafsirnya Depag berdasarkan SK Menag RI No 280
Tahun 2003 disertai Tim LIPI yang diketuai Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA19.
17. Rois Syuriah PBNU masa khidmat 2010-2015 bidang fatwa20
Pada tahun 2005 sampai sekarang dengan kemahiran dan kepandaiannya dalam bidang
ilmu tajwid dan suaranya yang merdu, Ali diangkat menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal
Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono dan
dilantik oleh Menteri Agama Republik Indonesia Dr. H. Muhammad Maftuh Basyuni.
Kapasitasnya sebagai Imam Besar, Ali diamanati untuk mengatur peribadatan di Masjid
Istiqlal agar tidak keluar dari koridor syari‟ah.
Awal mula Ali berkiprah sebagai penulis yaitu ketika beliau duduk di bangku kuliah di
Saudi Arabia, ketika ada waktu luang beliau langsung menyempatkan diri untuk menulis apa
saja, mulai dari pengalaman sampai kepada hal-hal yang kecil yang terjadi pada dirinya.
Semenjak itulah beliau memulai menggemari dan dan menekuninya, akhirnya menjadi salah
satu hobi atau kegemarannya selain sebagai mengisi kekosongan waktu juga menghasilkan
rezeki, banyak tulisan beliau dimuat di koran dan majalah dan menerbitkan beberapa buku
yang sangat diminati oleh banyak kalangan. Karena tulisannya yang sering terbit sehingga
19
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, edisi Tahun 2002 ini dicetak sebanyak 400.000 eksemplar oleh PT.
Sinergi Pustaka Indonesia dan diadakan oleh Direktorat Urais, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI Tahun 2012.
Lihat juga; al-Qur‟an dan Tafsirnya Kementerian Agama Republik Indonesia, dicetak/diperbanyak sekitar
12.500 set dalam 11 jilid 2012, h. Xxvii. Lihat pula: Nasrullah Nurdin, Terorisme dan Teks Keagamaan; Studi
Komparatif atas Terjemah al-Qur‟an Kemenag RI dan Terjemah Tafsiriyah MMI (Jakarta: Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 236. Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Jakarta. 20
Keterangan ini sebagaimana yang tertera dalam situs website NU Online, http://www.nu.or.id/.
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
216
beliau banyak dikenal masyarakat dari kalangan bawah sampai pada tingkat ulama luar
negeri.
Selain menulis karya-karya yang bersifat umum, banyak tulisan beliau yang
terinspirasi dari hadis-hadis Rasulullah SAW, menurut beliau menulis hadis-hadis Rasulullah
SAW kita mempunyai dua keuntungan sekaligus, yaitu keuntungan di dunia dan keuntungan
di akhirat. Mempelajari hadis-hadis Nabi SAW, kita menjadi mengerti betapa dahsyatnya
perjuangan dakwah Rasulullah SAW, Nabi tidak pernah lelah dan tidak kenal takut untuk
memperjuangkan agama Allah SWT.
Diantara karya-karya Ali Mustafa Ya‟qub adalah :
1. Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih bahasa dari Prof. Muhammad Abdul Fattah al-
Bayanuni, 1986).
2. Nasehat Nabi kepada para Pembaca dan Penghafal al-Qur‟an, 1990.
3. Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, 1991
4. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasi (Ali Bahasa dari Prof. M.M. „Azami, 1994)
5. Kritik Hadis 1995
6. Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (Alih Bahasa dari Muhammad Jameel
Zino, Saudi Arabia 1418 H)
7. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi SAW, 1997
8. Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, 1999
9. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis (2000)
10. Islam Masa Kini, 2001.
11. Kemusyrikan Menurut Imam Syafi‟i (Alih Bahasa dari Prof Abdurrahman al-Khumisy,
2001).
12. Aqidah Imam Empat Mazhab (Alih Bahasa dari Prof Abdurrahman al-Khumisy, 2001)
13. Fatwa-Fatwa Kontemporer (2002)
14. Pembela Eksistensi Hadis (2002)
15. Pengajian Ramadhan Kiyai Duladi (2003)
16. Hadis-Hadis Bermasalah (2003)
17. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003)
18. Nika Beda Agama dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis (2005)
19. Imam Perempuan (2006)
20. Haji Pengabdi Setan (2006)
21. Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007)
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
217
Tiga di antaranya terbit di penghujung bulan Februari 2009, sekarang sedang proses
percetakan dan pengeditan dan buku yang akan terbit ini tidak kalah pentingnya dan
menariknya dari buku-buku yang sudah dihasilkan oleh Ali Mustafa Ya‟qub, diantaranya
adalah:
1. Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008)
2. Toleransi Antar Umat Beragama (dalam Bahasa Arab, 2008)
3. Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‟an dan
Hadis (Bahasa Arab, dalam proses percetakan).
Selain itu, Ali juga menulis beberapa buku petunjuk dan metode mengajar bagi santri
dan guru di Pondok Pesantren Darussunnah. Buku-buku karangan beliau hingga kini dipakai
di Pondok Pesantren Darussunnah dan beberapa Institut Ilmu-Ilmu al-Qur‟an serta perguruan
tinggi Islam diseluruh Nusantara. Selain buku-buku yang sudah diterbitkan, beliau juga
banyak mengeluarkan artikel-artikel dibeberapa majalah dan koran, salah satunya majalah
amanah dan koran pelita serta masih banyak lagi karya-karya beliau di media massa lainnya.
Selain karya ilmiah, Ali Mustafa Ya‟qub membuka layanan dialog di dunia maya
seperti internet dan sering tampil di beberapa stasiun televisi dalam rangka ceramah,
pengajian di TV One, Trans TV, dan lain sebagainya
F. Sumber Pemikiran dan Kontribusi Ali Mustafa Ya’qub terhadap Kajian Hadis
Sumber pemikiran hadis Ali Mustafa Ya‟qub adalah salah satu dipengaruhi oleh
gurunya Prof. Dr. Muhammad Mushtafa al-„Azami, guru besar hadis di Universitas King
Saud Riyadh Arab Saudi. Dari al-„Azami, Ali banyak belajar, semangat menulis karya ilmiah
dalam hadis dan sikap kritis terhadap orientalis. Selain itu, selama 9 tahun di Arab Saudi, Ali
rajin menghadiri halaqah-halaqah di luar kampus, misalnya halaqah kitab hadis kutub sittah
yang diasuh oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (w. 1999) yang berjarak 30 km dari
tempat tinggal Ali di Riyadh. Nampaknya dari integrasi dengan halaqah inilah Ali
mendapatkan inspirasi untuk mendirikan pesantren khusus hadis pada kemudian hari di tanah
air. Di samping itu, Ali juga menghadiri perkuliahan yang dibawakan oleh Syaikh Abdul Aziz
Alu Syaikh (Mufti Kerajaan Saudi sekarang) dan tokoh-tokoh lain.
Kemampuan bahasa Inggris Kiai Ali Mustafa Ya‟qub menjadikan ia juga mengkaji
karya para Orientalis Barat dengan baik seperti buku-buku Ignaz Golziher (1850-1921), Josep
Schact (1902-1969), David Samuel Margolioth (1940), Juynboll (1935), A. Guillaume dan
lain-lain. Namun, pembacaan tersebut bukan membuat Ali Mustafa Ya‟qub menjadi “anak
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
218
pemikiran” mereka, akan tetapi malah ia mencari karya tandingan sebagai komparasi terhadap
teori-teori yang mereka bangun. Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali Mustafa Ya‟qub
terutama terhadap orientalis. Sikap tegas dan kritis Ali tidak pandang bulu, bukan hanya
tokoh-tokoh orientalis saja yang menjadi sasaran kritiknya, ulama besar sekaliber Syekh M.
Nashiruddin al-Albani (w. 1999) tidak luput dari kritik tajam Kiyai Ali. Menurutnya,
pemikiran Syekh al-Albani banyak melawan arus, hadis yang sudah dishahihkan oleh ulama
hadis, akan tetapi oleh al-Albani justru didha‟ifkannya. Sebaliknya ia juga sering
mendhai‟ifkan hadis yang sebelumnya sudah dishahihkan para ulama hadis. Seperti fatwa al-
Albani tentang keramanannya perhiasan emas yang melingkar, padahal fatwa tersebut
bertentangan dengan hadis shahih dan ijma‟ ulama21.
Pemikiran keislaman di Arab Saudi sering diidentikkan dengan corak Wahabi atau
salafi yang puritan, sedangkan Syiria lebih identik dengan corak pemikiran keislaman yang
lebih dinamis. Dalam hal ini, Ali Mustafa Ya‟qub terlihat tidak terlepas dari pengaruh dua
corak pemikiran tersebut. Walaupun sembilan tahun belajar di Riyadh Arab Saudi , Ali
Mustafa Ya‟qub masih dianggap tidak terlalu puritan. Hal ini sebagaimana diungkapkan Prof.
KH. Ali Yafie (Mantan Ketua Umum MUI) yang banyak memberikan penilaian posistif
dengan mengatakan “meskipun tercatat sebagai salah seorang alumnus Timur Tengah yang
sering diklaim sebagai daerah yang jumud (stagnan dalam berfikir), statis dan cenderung agak
keras dalam menyikapi berbagai fenomena keagamaan, tidak menjadikan Ali Mustafa Ya‟qub
bersikap keras”. Nampaknya, interaksi Ali dengan tradisi Ponpes NU Tebuireng Jombang dari
jenjang SMA dengan universitas (1969-1975) menjadi salah satu penyebabnya. Disini Ali
lebih banyak dididik untuk menghargai perbedaan. Demikian juga bimbingan dari Syekh
Muhammad Mushtafa al-„Azami selama di Riyadh, semakin memperkuat jiwa moderat dan
toleran Ali Mustafa Ya‟qub.
Sikap moderat ini ditambah lagi dengan interaksi Ali Mustafa Ya‟qub dengan tokoh-
tokoh ulama Syiria (2003), seperti Syekh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhaily, Syekh Badi‟ Sayid al-Laham dan Prof. Taufiq Ramadhan al-Buoti.
Bergaul bersama mereka, Ali Mustafa Ya‟qub semakin banyak belajar sikap toleransi dalam
perbedaan dan budaya menghargai dalam keberagamaan. Secara teoritis sikap egaliter ini
seharusnya memang harus dilakukan oleh setiap muslim secara luas, baik dalam kehidupan
individu dan sosial. Karena antara aspek religius, sosial dan konsep kesederajatan dalam
21
Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indoensia; Studi atas Pemikiran Abdul
Hakim Abdat dan Ali Mustafa Ya‟qub, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009),
h. 85-87. Tesis pada SPs UIN Jakarta.
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2019/Th. 20/no 2
219
Islam berkaitan erat satu sama lainnya. Dalam banyak hal, sikap ulama Saudi memang dikenal
tegas dan kurang mengenal kompromi dalam perbedaan terutama sejak Syekh Abdul Aziz bin
Baz menjadi mufti umum kerajaan pada tahun 1395 H. Pada masa tersebut buku-buku anti
bid‟ah seperti al-Bida‟ wa al-Muhdasat karya Syekh Abdul Aziz bin Baz dan kawan-kawan
tersebar secara luas ke berbagai negeri muslim. Buku tersebut banyak berbicara tentang hal-
hal yang oleh penulisnya dianggap bid‟ah yang sesat walaupun di dalam perbuatan tersebut
ada unsur-unsur kebaikannya, seperti zikir berjamaah, membaca wirid pagi dan sore secara