MAKALAH INDIVIDU TEORI AKUNTANSI Tentang : “FENOMENA KONVERGENSI DAN TREN AKUNTANSI KAPITALIS : PELAPORAN NILAI TAMBAH” OLEH : MEIDYA PUTRI 12 231 046 DOSEN PEMBIMBING : IMELFINA MUSTAFA, SE., M.Si 0
MAKALAH INDIVIDU
TEORI AKUNTANSI
Tentang :
“FENOMENA KONVERGENSI DAN TREN AKUNTANSI KAPITALIS : PELAPORAN NILAI TAMBAH”
OLEH :
MEIDYA PUTRI12 231 046
DOSEN PEMBIMBING :
IMELFINA MUSTAFA, SE., M.Si
0
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH KOSENTRASI AKUNTANSI
SYARIAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BATUSANGKAR
2015 M/1436 H
AKUNTANSI PERTAMBAHAN NILAI
(Value Added Reporting)
A. Konsep Dasar Economic Value Added
Konsep nilai tambah pada mulanya berasal dari
khazanah disiplin akuntansi. Konsep ini pertama kali
diperkenalkan oleh para pakar ekonom pada akhir abad ke-
18 sebagai alat untuk mengukur keluaran netto perusahaan.
Dalam tahun 1950-an konsep nilai tambah dikembangkan
lebih lanjut oleh para pakar statistik dan pakar
manajemen, para insinyur, serta para pakar personalia
dan produksi untuk dimanfaatkan di bidang-bidang lain
sesuai dengan kepakaran masing-masing (Renshall et all,
1979 dalam Kusmanadji, 1989 dalam Thahjaning Poerwati
dan Zuliyati, 2008 : 8)
Dalam kutipan Thajaning dkk, lebih lanjut Morley
(1979) dalam buku Kusmanadji (1989) mengemukakan Pada
abad ke-18 konsep nilai tambah mulai digunakan di “US
Treasury” dan selanjutnya secara berkala para akuntan
mendiskusikan apakah konsep itu perlu dimasukkan kedalam
1
pelaporan keuangan. Laporan nilai tambah pertama kalinya
dibuat dan mengalami perkembangan pesat di Inggris. Hal
ini disebabkan oleh dua hal, pertama yaitu
diberlakukannya pajak pertambahan nilai (value added tax)
pada April 1973 di Inggris. Meskipun administrasi pajak
tidak mensyaratkan laporan tersebut dan laporan nilai
tambah dirasa sulit untuk verifikasi pajak mengingat
rumitnya ketentuan mengenai barang-barang dan jasa-jasa
yang tidak kena pajak. Akan tetapi dengan
diberlakukannya ketentuan pajak tersebut meningkatkan
kesadaran dunia bisnis mengenai makna nilai tambah.
Selain itu, dalam jurnalnya, Thajaning, et all juga
mengutip pernyataan Pizzey (1985) dalam Kusmanadji
(1989) bahwa faktor kedua diberlakukannya laporan nilai
tambah adalah karena penerbitan sebuah “Discussion Paper”
yang diberi judul “the Corporate Report” oleh the Accounting
Standarts Steering Committee, ASC) pada 1975, yaitu sebuah
makalah pembahasan yang dimaksudkan sebagai suatu
langkah maju ke arah peninjauan besar-besaran oleh para
pengguna, tujuan dan metode pelaporan yang modern.
Laporan ini menyajikan usaha-usaha yang dilakukan oleh
sebuah badan beranggotakan sebelas orang. (Ahmed Riahi,
2006:244). Ringkasnya ASC berpendirian bahwa meskipun
informasi yang disediakan oleh laporan keuangan
konvensional berguna bagi para pemegang saham dan
kreditur, akan tetapi kurang berguna bagi pemakai
lainnya. Setelah mengiventarisasi keterbatasan laporan
2
keuangan perusahaan dan pengguna laporan serta
kebutuhannya ASC mengusulkan perlunya ditambahkan
beberapa laporan lagi dalam laporan tahunan perusahaan
diantaranya adalah laporan nilai tambah.
Menurut Ahmad Riahi ( 2006: 339) Laporan nilai
tambah menunjukkan pendapatan suatu perusahaan sebagai
kesatuan usaha dan bagaimana nilai tambah ini
didistribusikan kepada kelompok-kelompok yang
menyumbangkan terciptanya nilai tambah tersebut. Laporan
nilai tambah memandang bahwa kegiatan suatu perusahaan
tidak lain adalah usaha kolektif dari beberapa kelompok
orang yaitu pemegang saham, keditur, pegawai perusahaan
dan pemerintah.
Laporan Pertambahan Nilai ini merupakan bentuk
laporan yang lebih bersifat adil dimana di dalamnya
dilaporkan kontribusi masing-masing pihak yang terlibat
dalam proses penciptaan tambahan nilai bukan hanya hanya
kontribusi pemilik modal. Kontribusi karyawan, pemilik,
kreditor/banker, pemerintah ditunjukkan dalam laporan.
(Syofyan S. Harahap, 2007:377) ungkapan senada
disampaikan oleh Ahmed Riahi (2006:244) yang menyatakan
laporan nilai tambah menunjukkan bagaimana keuntungan
yang diperoleh dari usaha perusahaan dibagi diantara
para karyawannya, penyandang modal, negara dan investasi
kembali.
Staden 2000; Glautier dan Underdown 1992, 409)
seperti yang dikutip oleh Aji Dedi Mulawarman (2008:2)
3
mengatakan bahwa konsep nilai tambah berasal dari
implementasi penghitungan GNP (Gross National Product)
ekonomi makro dan diterapkan dalam dunia akuntansi.
Penggunaan konsep nilai tambah biasanya digunakan oleh
aliran akuntansi sosial-lingkungan. Hanya masalahnya
terdapat dua aliran akuntansi sosial-lingkungan, yaitu
aliran middle ground dan non middle ground (Gray et al. 1995;
1996). Aliran middle ground menggunakan konsep nilai
tambah berbasis kepentingan perusahaan, sehingga
mengkreasi informasi dan pertanggungjawaban ekonomi-
sosial-lingkungan juga berbasis kepentingan keuntungan
stockholders. Aliran non middle ground di sisi lain
menggunakan nilai tambah untuk informasi dan
akuntabilitas sosial lingkungan berbasis kuantatif
maupun kualitatif, untuk kepentingan lebih luas, yaitu
stakeholders.
Sedangkan Subiyanto dan Triyuwono (2004) makna laba
akuntansi tanpa terjebak materialitas pada dasarnya
merupakan konsepsi atas ekspresi kebebasan manusia dari
sebuah interaksi sosial yang menghasilkan nilai lebih
(value added/VA). Laba sebagai ekspresi kebebasan
merupakan representasi nilai kebebasan manusia yang
sekaligus menjunjung tinggi hakikat manusia dari esensi
kemanusiaannya. Mengembalikan hakikat manusia tidak saja
berpedoman pada aspek fisiologis dan psikologis, tetapi
juga aspek religius. Dari segi religius, konsep nilai
4
tambah merupakan wujud keadilan sebagaimana dalam
Alquran surat An-Nisa (4:135) yang berbunyi :
artinya : “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yangbenar-benar penegak keadilan menjadi saksi karena allah, biarpunterhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu. Jikaia kaya atau miskin, maka allah lebih tahu kemashlahatannya. Makajanganlah kamu mengikuti hawa bafsu karena ingin menyimpangdari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atanenggan menjadi saksi maka sesungguhnya allah maha mengetahuisegala apa yang kamu kerjakan.
Konsep nilai tambah dalam buku Ahmed Riahi dan
Belkaoui (2006 : 339) adalah peningkatan kekayaan yang
dihasilkan oleh penggunaan sumber daya perusahaan secara
produktif sebelum dialokasikan diantara para pemegang
saham, pemegang obligasi, pekerja dan pemerintah. Ahmad
Rodoni (2010) seperti yang dikutip Indra Gusnedi (2015:18),
EVA (Economic Value Added) adalah suatu metode pengukuran
kinerja keuangan untuk mengetahui ada atau tidaknya nilai
tambah bagi penyandang dana dengan keberhasilan laba pada
satu periode.
5
Amin Wijaya Tunggal (2001) dalam jurnal Thahjaning
Poerwati dan Zuliyati (2008:8) pengukuran kinerja dengan
menggunakan laporan nilai tambah dapat dijadikan sebagai
dasar bagi manajemen perusahaan dalam mengelola modalnya,
rencana pembiayaan, wahana komunikasi dengan pemegang saham
dan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan insentif
bagi karyawan.
Jika dibandingkan antara entitas syariah dan
konvensional, maka Ahmed Riahi dan Belkaoui (2006:339)
menjelaskan bahwa pelaporan konvensional di sebagian negara
tidak memasukkan pelaporan nilai tambah (value added reporting)
melainkan diungkapkan dalam laporan posisi keuangan,
kinerja keuangan perusahaan, dan perlakuan keuangan
perusahaan. Namun laporan-laporan tersebut di atas tetap
tidak mampu memberikan informasi penting mengenai
produktivitas total dari perusahaan dan sebagian dari
anggota tim yang terlibat dalam sumber daya manajemen,
pemegang saham, pemegang obligasi, karyawan dan pemerintah.
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa laporan nilai
tambah merupakan salah satu laporan tambahan dalam rangka
memperluas pengungkapan kewajaran dan ruang lingkup dari
informasi akuntansi di luar akuntansi konvensional
berdasarkan prinsip kewajaran dalam pengungkapan.
Perlakuaan laporan nilai tambah ini antara akuntansi
konvensional dengan akuntansi Islam memiliki perbedaan yang
didasarkan kepada maksud dan sasaran dari nilai tambah.
6
B. Metode Pengukuran Kinerja Berdasarkan Nilai Tambah
Nilai tambah dapat dengan mudah dihitung melalui suatu
modifikasi dari laporan laba rugi dengan langkah-langkah
sebagai berikut (Ahmed Riahi dan Belkaoui, 2006:341) :
1. Laporan laba rugi menghitung jumlah laba ditahan
sebagai perbedaan antara pendapatan dari penjualan,
disatu sisi, serta biaya, pajak, dan dividen di
sisi lainnya.
Dimana :
R = laba ditahan
S = Pendapatan dari penjualan
B = Bahan baku dan jasa yang dibeli
DP = Depresiasi
W = Upah
I = Bunga
DD = Dividen
T = Pajak
2. Rumus nilai tambah dapat diperoleh dengan menyusun
kembali rumus laba menjadi :
Atau
Rumus (2) menghitung metode nilai tambah kotor
(gross vaue added method) sedangkan rumus (3)
7
R = S – B – DP – W – I – DD- T
S – B = R + DP +W + I +DD + T
S – B - DP = R + W - t - I+ DD + T
(2)
(3)
menghitung nilai tambah bersih. Dari kedua kasus,
sisi kiri dari perhitungan menunjukkan nilai tambah
diantara kelompok yang terlibat dalam tim
manajerial produksi (para pekerja, pemegang saham,
pemegang obligasi, dan pemerintah). Sisi sebelah
kanan dikenal juga sebagai metode penambahan
sedangkan sisi kiri sebagai metode pengurangan.
Sedangkan untuk metode pengukuran kinerja, Ada dua
metode yang digunakan oleh peneliti, yang penulis
rangkum dari beberapa referensi yaitu :
1. Pengukuran Economic Value Added (EVA)
Metode ini pertama kali dikembangkan oleh
Stewart dan Stern seorang analis keuangan dari
prusahaan Stern Stewart & Co pada tahun 1993. Di
Indonesia metode tersebut dikenal dengan metode
NITAMI (Nilai Tambah Ekonomi). EVA/NITAMI adalah
metode manajemen keuangan untuk mengukur laba
ekonomi dlam suatu perusahaan yang menyatakan
bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala
perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan
biaya modal. (Tunggal, 2001 dalam jurnal Rr.
Iratami dan Erie Febrian).
Menurut Velez (2000) dalam jurnal Rr.
Iramani dan Erie Febrian (2005), Ada beberapa
pendekatan dalam mengukur EVA tergantung pada
struktur modal dari perusahaan. Apabila dalam
8
struktur modalnya perusahaan hanya menggunakan
modal sendiri, secara matematis EVA dapat
ditentukan sebagai berikut :
Dimana :
NOPAT = Net Operating Profit After Taxes
ie = opportunity cost of equity
E = Total Equity
Namun manakala dalam struktur perusahaan
terdiri dari hutang dan modal sendiri, secara
matematis EVA dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dimana :
WACC = Weighted Average Cost of Capital
TA = Total Asset (total modal) Dari perhitungan di atas akan diperoleh
kesimpulan dengan interpretasi hasil sebagai
berikut :
Jika EVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai
tambah ekonomis bagi perusahaan
Jika EVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi
nilai tambah ekonomis bagi perusahaan
9
EVA = NOPAT – (ie x E)...... (1)
EVA = NOPAT - (WACC x TA)
Jika EVA = 0 hal ini meunjukkan posisi impas
karena laba telah digunakan untuk membayar
kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur
maupun pemegang saham.
Mulyadi (2009:585) dalam bukunya menjelaskan
bahwa EVA adalah laba bersih (laba operasi
dikurangi dengan pajak) dikurangi total biaya
modal tahunan. Pada dasarnya EVA adalah laba
residu dengan biaya modal sama dengan biaya modal
aktual dari perusahaan (sebagai ganti dari suatu
tingkat pengembalian minimum yang diinginkan
perusahaan karena alasan lainnya). Jika EVA
positif maka perusahaan sedang menciptakan
kekayaan, sebaliknya jika EVA negatif maka
perusahaan sedang menyia-nyiakan modal.
Adapun secara sistematis EVA dihitung dengan
persamaan :
Lebih lanjut Mulyadi (2009:587) mengatakan
bahwa para investor menyukai EVA karena
menghubungkan laba dengan jumlah sumber-sumber
daya yang diperlukan untuk mencapainya. Dalam
hal ini dapat berarti pemegang saham, karyawan,
pemilik modal dan pemerintah.
a. Keunggulan EVA
10
EVA = Laba Operasi Setelah Pajak – (PersentaseBiaya Modal Aktual )
x Total Modal yang Dipakai)
Salah satu keunggulan EVA sebagai penilai
kinerja perusahaan adalah dapat digunakan
sebagai penciptaan nilai. Diantara keunggulan
tersebut ialah :
1. EVA memfokuskan penilaian pada nilai tambah
dengan memperhitungkan dan sebagai
konsekuensi investasi.
2. Konsep EVA adalah alat perusahaan dalam
mengukur harapan yang dilihat dari segi
ekonomis. Yaitu dengan memperhatikan harapan
para penyandang dana secara adil dimana
derajat keadilan dinyatakan dengan ukuran
tertimbang dari struktur modal yang ada dan
berpedoman pada nilai pasar dan bukan nilai
buku.
3. Perhitungan EVA dapat dipergunakan secara
mandiri tanpa memerluka data pembanding
seperti standar industri atau data perusahaan
lain sebagai konsep penilaian.
4. Konsep EVA dapat digunakan sebagai dasar
penilaian pemberian bonus pada karyawan
terutama pada devisi yang memberikan EVA
lebih sehingga dapat dikatakan bahwa EVA
menjalankan stakeholders setisfaction concept.
5. Pengaplikasian EVA yang mudah menunjukkan
bahwa konsep tersebut merupakan ukuran
praktis, mudah dihitung dan mudah digunakan
11
sehingga merupakan salah satu bahan
pertimbangan dalam mempervepat mengambilan
keputusan bisnis.
b. Kelemahan EVA
Menurut Mirza (1997) dalam Iramani dan
Febrian (2005) Eva memiliki kelemahan-kelemahan
diantaranya :
1. EVA hanya mengukur hasil akhir, bukan
mengukur aktivitas-aktivitas penentu.
2. EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa
investor sangat mengandalkan pendekatan
fundamental dalam mengkaji dan mengambil
keputusan untuk menjual atai membeli saham
tertentu padahal faktor-faktor lain terkadang
lebih dominan.
c. Manfaat EVA
Terdapat beberapa manfaat yang dapat
diperoleh oleh perusahaan dalam menggunakan EVA
sebagai alat ukur kinerja dan nilai tambah
perusahaan menurut Utama (1997:10) dalam
Tahjaning Poerwati dan Zuliyati (2008:13):
1) EVA dapat digunakan sebagai penilaian kinerja
keuangan perusahaan karrena penilaian kinerja
tersebut difokuskan pada penciptaan nilai
(value creation)
12
2) EVA akan menyebabkan perusahaan lebih
memperhatikan struktur modal
3) EVA membuat manajemen berfikir dan bertindak
seperti halnya pemegang saham yang memilih
investasi yang memaksimumkan tingkat
pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya
modal sehingga nilai perusahaan dapat
dimaksimalkan dan
4) EVA dapat digunakan untuk mengidentifikasikan
kegiatan atau proyek yang memberikan
pengembalian lrbih tinggi daripada biaya-
biaya modal.
2. Pengukuran Financial Economic Value Added (FVA)
Metode baru dalam mengukur kinerja dan nilai
tambah perusahaan adalah Financial Economic Value Added
(FVA). Metode ini mempertimbangkan kontribusi
dari fixed assets dalam menghasilkan laba bersih
perusahaan. Secara matematis pengukuran FVA
dinyatakan sebagai berikut (Rodriguez, 2002)
dalam Iramani dan Febrian (2005) dalam kutipan
Tahjaning Poerwati dan Zuliyati (2008:8) :
13
FVA = NOPAT – (ED - D)
Keterangan :FVA = financial value addedNOPAT = Net Operating Profit After TaxesED – D = Equivalent Depreciation -
Adapun interpretasi dari hasil pengukuran
FVA dapat dijelaskan sebagai berikut :
Jika FVA > 0, hal ini menunjukkan terjadi nilai
tambah finansial bagi perusahaan
Jika FVA < 0, hal ini menunjukkan tidak terjadi
nilai tambah finansial bagi perusahaan.
Jika FVA = 0, hal ini menunjukkan posisi impas.
Perusahaan akan berusaha memiliki nilai tambah
finansial bagi perusahaan. Hal ini dapat terjadi jika
laba bersih perusahaan dan penyusutan dapat menutup/
meng-cover Equivalent Depreciation atau NOPAT + D > ED.
Jika hal ini tercapai, maka perusahaan dapat
meningkatkan kekayaan pemegang saham karena NPV akan
bernilai positif.
a. Kelemahan Konsep FVA
Dibanding EVA, FVA kurang praktis dalam
mengantisipasi fenomena bila perusahaan (proyek)
menjalankan investasi baru di tengah-tengah masa
investasi yang diperhitungkan. EVA akan merefleksikan
situasi ini melalui peningkatan aset dan sumber daya
yang terlibat dalam perusahaan atau proyek (Shrieves
dan Wachowicz, 2000 dalam Iramani dan Febrian, 2005).
14
Fenomena ini tidak dapat diakomodasi dalam penentuan
titik impas pada konsep NPV dan FVA.
b. Keunggulan Konsep FVA
Kelebihan FVA dibanding EVA adalah :
(1) Jika ditinjau kembali konsep NOPAD, FVA melalui
definisi Equivalent Depreciation mengintegrasikan seluruh
kontribusi aset bagi kinerja perusahaan, demikian
juga opportunity cost dari pembiayaan perusahaan.
Kontribusi ini konstan sepanjang umur proyek
investasi,
(2) FVA secara jelas mengakomodasi kontribusi konsep
value growth duration (durasi proses penciptaan nilai)
sebagai unsur penambah nilai. Unsur ini merupakan
hasil pengurangan nilai Equivalent Dpreciation akibat
bertambah panjangnya umur aset dimana aset dapat
terus berkontribusi bagi kinerja perusahaan. Dalam
konsep EVA, proses ini tidak secara jelas
dijabarkan,
(3) FVA mengedepankan konsep Equivalent Depreciation dan
Accumulated Equivalent tampaknya lebih akurat
menggambarkan financing cost. Lebih lanjut, FVA mampu
mengharmonisasikan hasil dengan konsep NPV tahun
per tahun, dimana NPV setidaknya saat ini dianggap
sukses mengukur proses penciptaan nilai.
(4) Dengan berbasis pada definisi EVA yang sudah
dikenal luas. FVA memberi solusi terhadap mekanisme
15
kontrol dalam periode tahunan yang selama ini
merupakan kendala bagi konsep NPV, EVA dan FVA
sama-sama mampu menyelaraskan outputnya dengan
hasil NPV dalam bentuk periode yang terdiskonto.
Namun FVA memberi output yang lebih maju fengan
berhasil mlakukan harmonisasi hasil NPV dalam
ukuran tahunan. Oleh karena itu FVA lebih
bermanfaat sebagai alat kontrol. (Tahjaning
Poerwati dan Zuliyati, 2008:11)
Perusahaan akan berusaha memiliki nilai tambah
finansial bagi manajemen perusahaan. Hal ini dapat
terjadi jika laba bersih perusahaan dan penyusutan
dapat menutup / meng-cover Equivalent Depreciation atau
NOPAT + D > ED. Jika hal ini tercapai, maka perusahaan
dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham karena NPV
akan bernilai positif.
Sehingga Rr. Iramani dan Febrian menyimpulkan
penelitiannya bahwa kinerja FVA jelas lebih baik
dibanding EVA, terutama dalam hal singkronisasi hasil
pengukurannya dengan hasil NPV.
C. NILAI TAMBAH DALAM PERSPEKTIF AKUNTANSI ISLAM
Baydoun dan Willet (1994 & 2000) dalam jurnal
seorang mahasiswa Sumatera Utara mengembangkan sebuah
teori tentang pelaporan keuangan lembaga yang beroperasi
dengan prinsip Islami yang dinamakan Islamic Corporate
Reporting (ICRs). Secara spesifik, dalam teori tersebut
16
disarankan bahwa organisasi Islam akan lebih baik
menggunakan model Islamic Corporate Reporting yang didalamnya
terdapat antara lain Neraca Nilai Sekarang dan Laporan
Nilai Tambah sebagai komponen laporan keuangan pada
organisasi bisnis yang didalam operasionalnya
menggunakan prinsip syariah Islam, dibandingkan bila hanya
menggunakan laporan keuangan konvensional yang
didalamnya menggunakan Neraca Nilai Historis dan Laporan
Laba Rugi. (Soraya,2008:4).
Seiring dengan itu, Berdasarkan kajian yang
dilakukan oleh para pakar akuntansi syariah, ada tiga
komponen laporan keuangan tambahan bagi perusahaan-
perusahaan islami, yaitu neraca nilai sekarang, laporan
nilai tambah dan laporan pertanggungjawaban sosial.
Menurut Sri Nurhayati (117) Laporan nilai tambah (value
added statement) sebagai pengganti laba rugi atau sebagai
laporan tambahan atas neraca dana laporan laba rugi.
Usulan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa unsur
terpenting di dalam akntansi syariah bukanlah kinerja
operasional (laba bersih) tetapi kinerja dari sisi
pandang stakeholders dan nilai sosial yang dapat
didistribusikan secara adil kepada kelompok yang
terlibat dengan perusahaan dalam menghasilkan nilai
tambah.
Menurut Triyuwono (2007) seperti yang dikutip Aji
Dedi Mulawarman (2008:2) bahwa konsep nilai tambah
syariah merupakan nilai tambah ekonomi, mental dan
17
spritual yang diperoleh, diproses dan didistribusikan
dengan cara yang halal. Pemaknaan nilai tambah syariah
dapat dijadikan source tambahan penjelasan bentuk laporan
nilai tambah syariah. Mulawarman sendiri dalam jurnalnya
mengatakan bahwa sebenarnya telah menjelaskan bahwa
pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah tidak
hanya berkenaan dengan masalah halal, tetapi juga harus
toyyib (baik toyyib maupun halal berkenaan dengan produk)
dan bebas riba ( lebih berkenaan dengan kontrak atau
akad).
Konsep nilai tambah syariah Triyuwono (2007) dalam
jurnal Aji Dedi Mulawarnan (2008:3) bila dilihat lebih
jauh juga masih melihat shariate enterprise theory sebagai basis
akuntansi syariah idealis yang memiliki asumsi dasar
manusia sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi).
Dijelaskan Mulawarman (2007b) bahwa shariate enterprise theory
bila memang memiliki substansi akuntansi berpasangan,
maka harus melihat asumsi dasar manusia dalam substansi
akuntansi berpasangan pula. Asumsi dasar manusia dalam
Islam di samping sebagai khalifatullah fil ardh juga memiliki
asumsi dasar pasangannya, yaitu manusia sebagai abd’ Allah
(konsep kepatuhan dan ketundukan manusia kepada Allah).
Prinsip berpasangan abd’ Allah dan khalifatullah fil ardh telah
memberikan solusi implementasi konsep teknologi
akuntansi syariah yang memiliki dua akun utama, yaitu
akun ketundukan (representasi abd’ Allah) dan akun
kreativitas (representasi khalifatullah fil ardh)
18
Selanjutnya Baydoun dan Willet (1994,2000) dalam
buku Sri Nurhayati mengusulkan bentuk laporan syariah
setelah melakukan rekonstruksi melalui telaah filosofis
– teoritis akuntansi syariah dengan format seperti
Tabel. 1. Sedangkan Dalam perkembangan selanjutnya,
sharia value added statement dianggap lebih sesuai dengan
aktivitas ekonomi Islam yang adil dan beretika, serta
sejalan dengan tujuan akuntabilitas dari akuntansi
syariah khususnya pendapatan dan beban yang harus
ditanggung oleh publik. Pemikir akuntansi Islam juga
melakukan perubahan atas format value added statement dengan
cara mengeluarkan zakat yang awalnya dianggap bagian
dari charity dan menyajikannya secara setelah gross value
added. Hal ini sesuai dengan makna zakat yang bukan hanya
sebagai sumbangan tetapi juga memiliki nilai pembersihan
serta merupakan hal yang wajib bagi muslim seperti yang
diusulkan Mulawarman, et al (2006) dalam buku Sri
Nurhayati (2009) adalah seperti Tabel. 2 berikut.
VALUE ADDED STATEMENTFOR the Period Ended ...............
Sources :- Revenues- Bought in items- Revaluation
Sub Total SourcesDistributions :
- Beneficiaries- Goverment- Employees
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
19
- Owners- Charities- Reinvested Fund- Profit Retained- Revaluation
Sub total Distributions
xxxxxxxxxxxxxxxxxx
VALUE ADDED STATEMENTFOR the Period Ended ...............
Sources :- Revenues- Bought in items- Revaluation
Gross value addedZakat :
- Tazkiyah to 8 asnafNet value added
Distributions :- Government- Employees- Owners- Infak Shadaqah- Reinvested Fund- Profit Retained- Revaluation
Sub total Distributions
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Sri Nurhayati dalam bukunya Akuntansi Syariah di
Indonesia (2009:108) mengatakan Laporan nilai tambah ini
masih dalam tataran konsep, mengingat AAOIFI belum
20
Tabel. 1Format Laporan Nilai
Tambah
Tabel. 2Format Laporan Nilai
Tambah Syariah
mewajibkan hal tersebut pada kenyataannya. Di samping itu,
hasil penelitian oleh Sulaiman (1998) menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan persepsi tentang kegunaan neraca dengan
nilai sekarang serta pelaporan nilai tambah di kalangan
orang muslim dan non muslim termasuk pengelola zakat.
Penelitian ini secara implisit menyimpulkan bahwa pembaca
laporan keuangan masih menganggap apa yang disajikan
melalui bentuk laporan keuangan saat ini masih sesuai
dengan kebutuhan mereka.
Namun demikian, melalui penelitian yang dilakukan oleh
Nadya Chaerunnisa dan Herry Sussanto (2011) tentang
analisis kinerja keuangan antara pendekatan laporan laba
rugi dengan shari’a value added statement (SVAS) pada PT. Bank
Syariah Mandiri menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara perolehan rasio kinerja
keuangan PT. Bank Syariah Mandiri setiap bulannya yang
dihitung antara pendekatan laporan laba rugi dengan
pendekatan SVAS, disebabkan adanya perbedaan konstruksi dan
konsep dari teori akuntansi kedua metode tersebut.
Pendekatan SVAS lebih baik dari pendekatan Laporan Laba
Rugi, sebab pendekatan SVAS menghasilkan nilai rasio
kinerja yang lebih besar dari Laporan Laba Rugi.
Berikut perbedaan akun-akun dalam laporan nilai tambah
yang dikutip oleh Nadya Chaerunnisa dan Herry Sussanto yang
dibandingkan dengan laporan nilai tambah syariah :
21
Tabel 3. Perbedaan Laporan Nilai tambah dengan SVAS
Laporan Nilai Tambah Laporan Nilai Tambah Syariah
Uraian Jumlah Uraian Jumlah
Sumber Nilai Tambah :Pendapatan : Pendapatan Operasional Utama Pendapatan dari jual beli :
- Pend. Margin Murabahah- Pendapatan Salam
Paralel- Pendapatan margin
istishna’ paralel Pendapatan Sewa : Pend. Sewa Ijarah Pend. Dari bagi hasil :
- Mudharabah- Musyarakah
Pendapatan dari operasi utama lainnyaPendapatan operasi lainnyaPendapatan non operasiTotal Pendapatan Harga Pokok Input DepresiasiTotal nilai tambahDistribusi nilai tambah Nasabah (bagi
xxxxxxxxx
xxx
xxxxxx
xxxxxxxxxxxx(xxx)
(xxx)xxx
(xxx)
(xxx)
(xxx
Sumber Nilai Tambah :Pendapatan Operasi Utama Pend. Dari margin murabahah Pend. Dari istishna’ paralelPendapatan Sewa IjarahPendapatan Bagi Hasil Mudharabah MusyarakahPendapatan operasi utama lainnyaPendapatan non operasiTotal pendapatanHarga pokok inputDepresiasiTotal nilai tambah ZakatTotal nilai tambah bersih
Distribusi Nilai tambah Bersih
Nasabah (bagi hasil)
xxxxxx
xxx
xxxxxxxxx
xxxxxx
(xxx)(xxx)xxx
(xxx) Xxx
(xxx)(xxx)(xxx)(xxx)(xxx)
22
hasil) Karyawan (Gaji) Sosial (Zakat) Pemerintah (Pajak) Pemilik (Deviden) Laba ditahanTotal Nilai tambah
)(xxx)
(xxx)
(xxx)
(xxx)
Karyawan (Gaji) Sosial (Zakat) Pemerintah (Pajak) Pemilik (Deviden) Laba ditahanTotal Nilai tambah
(xxx)xxx
Adapun perbedaan akun-akun menurut Nadya C. Dan Herry
(2011) pada SVAS dan pada laporan laba rugi adalah
sebagai berikut :
No Akun pada SVAS Akun pada Laporan LabaRugi
1
2
3
4
5
Harga pokok Input
Zakat (2,5% dari totalnilai tambah )
Nasabah bagi hasil
Total nilai tambah(sumber)
Total nilai tambah(distribusi)
Total beban operasionallainnya – (beban tenagakerja + depresiasi )
-
Total hak pihak ketigaatas bagi hasil
Laba kotor
Laba bersih
Tabel. 4. Perbedaan Akun-Akun
23
Sumber : Ratmono (2004) Sumber : Nadya C. Dan Herry (Versi Mulawarman)
Konsep SVAS merupakan perwujudan dari kepedulian
manajemen terhadap pihak-pihak lain yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap proses
mendapatkan nilai tambah syariah. Kepedulian itu
diwujudkan dengan kesediaan manajemen untuk
mendistribusikan nilai tambah kepada semua pihak yang
dimaksud secara adil. Pihak tersebut adalah nasabah
sebagai pihak ketiga yang telah menggunakan jasa-
jasanya, karyawan sebagai pihak yang telah mencurahkan
daya dan upaya dimiliki agar perusahaan mendapatkan
keuntungan, pemerintah melalui pajak, pemilik modal
melalui deviden, masyarakat melalui zakat dan lingkungan
sekitar. (Nadya C. Dan HerryS. 2011:18)
Jadi dari uraian hasil penelitian yang dikemukakan
oleh Nadya dan Herry di atas, maka penulis menyimpulkan
bahwa konsep dan format statement of Value Adeed antara yang
konvensional dan syariah memiliki perbedaan dimana
pemayaran atas kewajiban zakat merupakan pembeda utama
dari keduanya. Akun ini menjadi pengurang total nilai
tambah bersih jika laporan disusun oleh perusahaan
muslim. Sedangkan pada laporan nilai tambah konvensional
akun zakat tidaklah termasuk akun pengurang total nilai
tambah bersih.
D. Manfaat Laporan Nilai Tambah
24
Menurut Ahmed Riahi dan Belkaoui (2006:343) laporan
nilai tambah bermanfaat :
1. Dengan adanya pengungkapan nilai tambah. Para
karyawan akan mendapat kepuasan karena mengatahui
nilai dari kontribusi yang mereka berikan kepada
kekayaan total perusahaan.
2. Nilai tambah mencerminkan dasar perhitungan bonus
bagi para pekerja yang lebih baik
3. Informas nilai tambah telah terbukti dapat
menjadi prediktor peristiwa ekonomi dan reaksi
pasar yang baik
4. Nilai tambah adalah ukuran yang lebih baik
daripada penjualan
5. Nilai tambah mungkin bermanfaat bagi kelompok –
kelompok karyawan karena dapat mempengaruhi
peristiwa penting terhadap variabel-variabel
nilai tambah.
E. Laporan Nilai Tambah Berbasis Rezeki
Prinsip pelaporan berhubungan dengan kesatuan bisnis
– da’wah mirip gagasan rezeki bernilai tambah. Bahwa
bisnis sekaligus dakwah adalah kesatuan materi –
spritual untuk mendapatkan rezeki bernilai tambah bagi
semua, tidak hanya kita tetapi masyarakat luas sebagai
bentuk ketundukan menjalankan dakwah bil-halal atau
dakwah langsung. Hal menarik adalah dimasukkannya qardh
hassan dalam struktur pembiayaan dan bukan struktur
25
laporan tambahan seperti tertuang dalam PSAK 59 maupun
SAK 101-106 dari IAI.
Berdasarkan praktik bisnis di atas Mulawarman
menyimpulkan bahwa rezeki merupakan bentuk nilai tambah
aktivitas bisnis (ma’isyah) bernilai barokah yang
didapatkan sesuai ketentuan syari’ah untuk kesejahteraan
bersama. Baik berupa finansial, sosial mapun lingkungan
dan telah disucikan mulai dari pembentukan, hasil sampai
pendistribusiannya.
Menurut Ajie Dedi Mulawarman, Substansi nilai tambah
syari’ah seperti bila diturunkan lebih teknis sebagai
Konsep akuntansi berimplikasi pada :
1. Proses pembentukan nilai tambah syari’ah harus
selalu tersucikan secara konsisten. Caranya
adalah melaksanakan aktivitas ekonomi dalam
batas-batas yang diperbolehkan syara’ (halal) dan
bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya
aktivitas ekonomi yang melanggar ketentuan adalah
Haram.
2. Pertumbuhan harta dan mekanisme usaha yang sehat,
hasil dari didapatkannya rezeki, harus dilakukan
untuk menghilangkan sifat berlebihan (halal dan
thoyib) dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba
dalam segala bentuknya. Dari sisi finansial,
bebas riba adalah melakukan proses kerja sama
berdasar keseimbangan antara intermediasi (jual
beli), produktif dan ekstraktif (seperti
26
dikembangkannya model muzara’ah dan musaqah). Dari
sisi kepentingan sosial dan lingkungan, reduksi
riba dilakukan dengan melakukan relasi sosial dan
lingkungan alam secara pro-aktif berlandaskan
prinsip shadaqah.
3. Implikasi bentuk distribusi rezeki bernilai
tambah, harus dilakukan secara optimal pada
kebaikan sesama, merata dan tidak saling
menegasikan. Seberapapun keikutsertaan harus
dicatat dan diakui sebagai potensi yang berhak
mendapatkan bagian dalam pembagian nilai tambah.
Artinya, bukan meletakkan prinsip keadilan
berdasarkan etika Barat (berdasar utilitas,
konsensus dan disahkan melalui hukum positif).
Tetapi keseimbangan dan keadilan berdasar
‘Adalah/Keadilan Illahi yang berwujud kesejahteraan
sosial untuk semua dan harus selalu melalui
proses tazkiyah.
Nilai tambah syari’ah dari nilai-nilai empiris telah
memberikan gambaran sesuai nilai tambah syari’ah secara
normatif. Nilai tambah berpusat pada konsep tazkiyah,
yaitu penyucian proses pencarian rezeki untuk mendapat
barokah baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Inilah yang disebut dengan Rizq Income. Nilai tambah
syari’ah memang tidak menganut model economic income atau
27
accounting income, tetapi dapat disebut menganut model
income yang khas Islam, rizq income.
SVA maupun VA berbeda dengan pendekatan mainstream
akuntansi berkenaan dengan konsep laba. Laba biasanya
berkaitan dengan prinsip penandingan (matching),
pengakuan biaya pada dasarnya sejalan dengan pengakuan
pendapatan. Pendapatan merupakan hasil yang dituju
perusahaan, sementara biaya untuk memperoleh pendapatan
merupakan upaya yang dilakukan perusahaan. Dengan
demikian, pendapatan harus ditandingkan dengan biaya
yang diperkirakan telah menghasilkan pendapatan
tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat.
Pendekatan pendapatan dan biaya dalam konteks seperti
ini menurut Mulawarman (2006) masih memunculkan tiga hal
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tujuan
syari’ah. Pertama, pengakuan pendapatan yang berkaitan
dengan realisasi pendapatan yang akan berimplikasi pada
sifat dasar halal (permitted). Kedua, pengakuan pendapatan
dalam proses pembentukan pendapatan yang berbasis akrual
dan ditetapkannya time value of money berujung pada riba
(interest). Ketiga, prinsip penandingan pendapatan dan
biaya juga masih belum sesuai dengan tujuan syari’ah
Dalam penandingan tidak nampak aspek keadilan sosial,
tetapi hanya muncul sifat egositik akuntansi (Triyuwono
2004) dalam jurnal Ajie Dedi Mulawarman (2008)
Pengakuan hanya berkaitan dengan biaya dan manfaat
yang bersifat privat. Privat di sini diartikan sebagai
28
pencatatan biaya dan pendapatan dari sudut pandang
kepentingan perusahaan. Dapat dikatakan pendekatan yang
dilakukan adalah dalam kerangka Entity Theory. Sedangkan
pendapatan dan biaya yang sifatnya publik sama sekali
tidak disajikan. Sifat egoistik akuntansi berimplikasi
pada masalah ketimpangan keadilan dan tidak sesuai
dengan tujuan akuntansi syari’ah dan terutama tujuan
syari’ah.
Berikut penulis mengutip dalam buku Ahmed Riahi
tentang beberapa hasil riset yang dihasilkan oleh para
pakar akuntansi sejak tahun 1989 baik dari segi valuasi
pasar (data konvensional) dan Kemampuan Prediktif dari
data nilai tambah :
a. Tabel 1. Valuasi Pasar dan Nilai Tambah Versus data
Konvensional
StudiPertanyaan
Riset
Metode
yang
digunakan
Hasil
Bao-
Bao
(1989)
Hubungan antar
produktivitas
dengan nilai
perusahaan
Model
Valuasi
Litzenberg
er dan rao
(1971)
Hubungan antara
nilai perusahaan
dengan
produktivtas
pada industri
kilang minyak
dan busana
adalah lebih
kuat daripada
29
hubungan antara
nilai perusahaan
dengan laba yang
diukur
Riahi
–
belkao
ui
(1993)
Isi relatif
dan tambahan
nilai tambah,
laba dan arus
kas
Model
valuasi
laba
Informasi nilai
tambah dapat
menambah
beberapa
kemampuan
penjelasan lebih
dari yang dapat
diberikan oleh
ukuran laba atau
arus kas
1994 Kegunaan dari
angka
indikator
akuntansi
Angka
indikator
akuntansi
nilai tambah
bersih memiliki
variabilitas
yang lebih
rendah dan
persistensi yang
lebih tinggi
daripada angka-
angka yang sama
yang didasarkan
baik atas laba
30
32
Studi
Sifat
dari
Peramalan
Model yang
DigunakanHasil
Karpik
dan
Belkaou
i
(1989)
Menjelask
an risiko
Pasar
Model
pasar
Variabel-variabel
nilai tambah
memproses informasi
tambahan di luar laba
akrual dan arus kas
di dalam konteks
untuk menjelaskan
risiko pasar
Bannist
er,
riahi–
Belkaou
i
(1991)
Menjelask
an
pengembal
ian
abnormal
dari
perusahaa
n target
selama
periode
pengambil
alihan
Model
pasar
Sasaran
pengambilalihan
memiliki nilai tambah
yang lebih rendah
terhadap total rasio
daripada perusahaan
lain di dalam
industrinya pada
tahun sebelum
penyelesaian.
Bao-Bao
(1996)
Memeriks
a
struktur
dan
Akurasi
peramalan
dari
ukuran
nilai
Model seri
empat
waktu
Empat ukuran nilai
tambah dapat
dibedakan sebagai
model jalan secara
acak. Model/ proses
ini memiliki tingkat
kesalahan peramalan
yang terendah dilihat
dari segi dua metrik
Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan nilai tambah
memiliki daya guna pada beberapa objek riset yang dilakukan
seperti pada tabel diatas. Hubungan nilai tambah terhadap
produktivitas nilai perusahaan juga menunjukkan hubungan
positif untuk nilai tambah. Sehingga penggunaan laporan
nilai tambah sebagai pelengkap laporan yang memenuhi -
tuntutan pengungkapan penuh agar dapat meningkatkan daya
guna dan manfaat yang maksimal oleh para pengguna laporan
keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Sofyan Syafri Harahap. 2009. Teori Akuntansi . Jakarta : BumiAksara
Sri Nurhayati. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta :Salemba Empat
33
Ahmed Riahi dan Belkaoui. 2006. Accounting principle (teoriakuntansi). Jakarta : Salemba Empat
Mulyadi. 2009. Akuntansi Manajerial. (Jakarta : Salemba Empat)
Gusnedi, Indra. 2015. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaandengan Menggunakan pendkatan economic value added dan marketvalue added [skripsi] STAIN Batusangkar.
Tjahjaning Poerwati dan zuliyati. 2008. Pentingnya Laporan NilaiTambah dalam Pelaporan Keuangan (Financial Value Added/FVA)sebagai Pengukur dan Penciptaan Nilai Perusahaan. (Jurnal) FokusEkonomi (FE) Vol. 7 No. 1 April 2008 : ISSN: 1412-3851.[diakses 20 April 2015]
Rr. Iramani, Erie Febrian. Financial Value Added: Suatu Paradigmadalam Pengukuran Kinerja dan nilai tambah Perusahaan (Jurnal)Vol. 7 No. 1 Mei 2005 [diakses 20 April 2015]
Ajie Dedi Mulawarman. Eksistensi Laporan Nilai Tambah Syariah BerbasisRezeki (Jurnal) disampaikan dalam Simposium NasionalAkuntansi (SNA) Ke XI Pontianak, 23-24 Juli 2008[Diakses 19 April 2015]
Nadya Chaerunnisa, Herry Sussanto. Analisis Perbandingan KinerjaKeuangan antara Pendekatan Laporan Laba Rugi dengan Sharia ValueAdded Statement (SVAS) pada PT. Bank Syariah Mandiri (jurnal) Vol.4 Oktober 2011 [diakses 25 April 2015]
34