55 BAB IV SETTING KOTA MAGELANG Setting Kota Magelang terhadap lingkungan alam sekitar telah mempengaruhi pembentukan fisik kota dan perkembangan kota dari waktu ke waktu. Setting tersebut memiliki karakter dengan adanya Bukit Tidar dan Perbukitan Menoreh, serta dua sungai besar yang mengalir di Barat (Sungai Progo) dan Timur (Sungai Elo). Kota Magelang yang terletak di lembah serta dikelilingi oleh gunung-gunung tersebut telah mempengaruhi masyarakat dan dijadikan sebagai semacam a set of belief untuk membentuk ruang kota. Bab keempat ini akan menjelaskan tentang setting Kota Magelang yang akan membahas (1) letak geografis Kota Magelang; (2) kondisi alam Kota Magelang dan sekitarnya pada masa lalu; (3) Bukit Tidar dalam legenda dan asal usul nama Magelang dan (4) setting Kota Magelang. 4.1. Letak Geografis Kota Magelang Kota Magelang, Jawa Tengah terletak di ketinggian kurang lebih 375 dpl yang berada di cekungan sejumlah gunung dan deretan pegunungan. Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Andong merupakan 7 gunung besar yang mengelilingi Kota Magelang, sementara di sebelah Selatan kota terdapat Bukit Tidar dan di sebelah Barat terdapat Pegunungan Menoreh sebagai batas pandangan. Terdapat dua sungai besar mengalir sebagai pembatas administrasi Kota Magelang, yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo, yang pada tahun 1871 dan 1915 digambarkan sebagai pembatas Distrik Magelang oleh pemerintah kolonial Belanda (Peta Karesidenan Kedu 1871 dan Peta Kabupaten Magelang 1915). Kedua sungai tersebut membentuk kontur sebagai daerah cekungan. Masyarakat dari Kota Magelang sejauh mata memandang bisa melihat gunung-gunung yang mengelilinginya serta perbukitan Menoreh yang menghiasi pemandangan. Sementara itu pada saat melihat pada kaki-kaki gunung, terhampar luas perkebunan dan sawah-sawah sebagai hiasan pandangan.
60
Embed
SETTING KOTA MAGELANG … · Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Andong merupakan 7 gunung besar yang mengelilingi Kota
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
55
BAB IV
SETTING KOTA MAGELANG
Setting Kota Magelang terhadap lingkungan alam sekitar telah
mempengaruhi pembentukan fisik kota dan perkembangan kota dari waktu ke
waktu. Setting tersebut memiliki karakter dengan adanya Bukit Tidar dan
Perbukitan Menoreh, serta dua sungai besar yang mengalir di Barat (Sungai Progo)
dan Timur (Sungai Elo). Kota Magelang yang terletak di lembah serta dikelilingi
oleh gunung-gunung tersebut telah mempengaruhi masyarakat dan dijadikan
sebagai semacam a set of belief untuk membentuk ruang kota. Bab keempat ini
akan menjelaskan tentang setting Kota Magelang yang akan membahas (1) letak
geografis Kota Magelang; (2) kondisi alam Kota Magelang dan sekitarnya pada
masa lalu; (3) Bukit Tidar dalam legenda dan asal usul nama Magelang dan (4)
setting Kota Magelang.
4.1. Letak Geografis Kota Magelang
Kota Magelang, Jawa Tengah terletak di ketinggian kurang lebih 375 dpl
yang berada di cekungan sejumlah gunung dan deretan pegunungan. Gunung
Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Prahu, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro,
Gunung Sumbing dan Gunung Andong merupakan 7 gunung besar yang
mengelilingi Kota Magelang, sementara di sebelah Selatan kota terdapat Bukit
Tidar dan di sebelah Barat terdapat Pegunungan Menoreh sebagai batas
pandangan. Terdapat dua sungai besar mengalir sebagai pembatas administrasi
Kota Magelang, yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo, yang pada tahun 1871 dan
1915 digambarkan sebagai pembatas Distrik Magelang oleh pemerintah kolonial
Belanda (Peta Karesidenan Kedu 1871 dan Peta Kabupaten Magelang 1915).
Kedua sungai tersebut membentuk kontur sebagai daerah cekungan.
Masyarakat dari Kota Magelang sejauh mata memandang bisa melihat
gunung-gunung yang mengelilinginya serta perbukitan Menoreh yang menghiasi
pemandangan. Sementara itu pada saat melihat pada kaki-kaki gunung, terhampar
luas perkebunan dan sawah-sawah sebagai hiasan pandangan.
56
Gambar 4.1. Posisi Kota Magelang dengan tujuh gunungnya
(sumber : gambar ulang dari Kaart van De residentie Kadoe 1855)
Selain keindahan yang dibentuk alam, juga bisa dilihat budaya-budaya
yang berkembang di masyarakat. Apalagi hal ini didukung keberadaan Bukit Tidar
yang dikelilingi oleh gunung dan diyakini sebagai paku Pulau Jawa. Gunung dan
kaki gunung yang mengelilingi Kota Magelang terlihat dengan jelas khususnya
yang berada di sebelah Barat dan Timur.
Lembah Magelang seperti kedung/palung
Kota Magelang
Gunung-gunung yang mengelilingi Kota Magelang
telah membentuk keyakinan, a set of belief, pada
masyarakatnya untuk mengembangkan ruang kota.
Sungai Elo
Sungai Progo
Cekungan lembah
Magelang seperti
kedung/palung
Kota Magelang Sungai Elo Sungai Progo
Bukit Tidar
Gunung Gunung
57
Sungai Elo dan Progo telah mempengaruhi karakter Kota Magelang
sebagai kota linier karena berkembang mengikuti aliran sungai Utara – Selatan
(Utami, 2001). Kedua sungai yang mengalir menjadi salah satu bagian dari alam
yang telah membentuk Kota Magelang menjadi lembah yang sangat subur. Dua
sungai yang mengalir tersebut dengan didukung sungai-sungai kecil telah
membentuk masyarakat di sekitarnya pada periode Kerajaan Mataram Kuno
sebagai petani (Schrieke, 1957), apalagi didukung dengan kesuburan tanah yang
dibentuk oleh adanya gunung yang mengelilingi dataran Kedu. Sungai selain
sebagai sumber air, dalam beberapa periode waktu dijadikan sebagai jalur
transportasi. Selain pertanian yang berkembang di sekitar sungai, bidang-bidang
yang lain juga berkembang, misalnya perekonomian seiring dengan fungsi sungai
sebagai jalur transportasi dan pusat kegiatan (Casparis, 1950). Di satu sisi sungai
yang juga sebagai pembatas administrasi juga telah membentuk perbedaan tata
guna lahan yang didukung dengan perbedaan kontur yang terbentuk antara lembah
yang diapit sungai dengan dataran tingginya yang berada di sebelah Timur dan
Barat sungai atau lembah Kota Magelang.
Gambar 4.2 Pemandangan dari alun-alun ke arah Barat dan Timur
(foto : Utami, 2012)
58
Gambar 4.3 Bukit Tidar dari berbagai lokasi di Kota Magelang yang dipercaya
sebagai paku tanah pulau Jawa oleh masyarakat
(sumber : Google Earth Kota Magelang 2010; Foto : Utami, 2009,2011,2012)
Bukit Tidar
Bukit Tidar, terletak di
sebelah Selatan kota,
berada di daerah lembah
yang relatif datar yang
dikelilingi oleh gunung
Kota Magelang
S.Progo S.Elo
59
Gambar 4.4. Kondisi geografis Kota Magelang yang dibentuk alam
(foto : Utami, 2010)
Dua buah gunung yang sangat dominan, yaitu Gunung Merapi dan
Merbabu dengan di samping-sampingnya terdapat hiasan gunung-gunung lainnya
sebagai pandangan tak terbatas ke arah Timur. Pada saat yang bersamaan,
a b c
d
e
a
b c d e
a
b
c
Pemandangan dari Kampung Sanden Sungai Progo sebagai batas kota di
sebelah Barat Sungai Elo sebagai batas kota di
sebelah Timur
Tanah berkontur di Kampung Meteseh
Pemandangan dari Kampung Ringinanom
Kota Magelang, daerah lembah dari gunung
yang mengelilinginya, merupakan daerah
yang relatif berkontur dengan pemandangan
alam yang sangat indah
Kota Magelang
Sungai Progo
Gunung Gunung Bukit Tidar
Sungai Elo
e d
Kota Magelang
60
pemandangan alam yang terlihat jelas adalah desa-desa yang didominasi oleh lahan
pertanian dan perkebunan yang terletak di kaki Gunung Merbabu yang sudah ada
sejak periode Kerajaan Mataram. Sementara jika pandangan diarahkan ke sebelah
Barat akan terdapat keindahan panorama alam dengan adanya Gunung Sumbing
dan Gunung Sindoro serta deretan Perbukitan Menoreh. Pendatang dan
masyarakat mengunjungi Kota Magelang karena pemandangan alam yang indah
serta meyakininya sebagai daerah yang nyaman untuk tempat tinggal karena
kesuburan tanahnya.
Sementara pada Gambar 4.3 terlihat pemandangan Bukit Tidar dari
berbagai lokasi di Magelang sebagai salah satu landmark yang terletak di sebelah
Selatan Kota Magelang dan dipercaya sebagai paku tanah pulau Jawa. Bukit
Tidar3 sebagai bukit yang dikelilingi oleh beberapa gunung, diyakini sebagai bukit
yang suci (Sukimin, 1984), karena posisinya yang dikelilingi oleh gunung dengan
didukung tiga makam tokoh suci yang selalu dikunjungi peziarah. Tiga makam
yang terdapat di Bukit Tidar yaitu Kyai Semar, Kyai Subakir dan Kyai Sepanjang.
Pada masa kolonial Belanda dengan surat keputusan dari pemerintah
kotapraja, kondisi geografis yang sangat unik ini dijadikan dasar dalam
membentuk lambang kota dan secara resmi digunakan pada tanggal 22 Januari
1935 (Sjouke 1935; Pemerintah Magelang, 1936; Veen, 1965). Walaupun jika kita
lihat pada beberapa lambang kota yang dibuat pada masa pembentukan kotapraja
(gemeente) di Indonesia pada tahun 1905 (Lombard I, 2008), sebenarnya lambang
Kota Magelang sudah mulai diperkenalkan dengan beberapa perbedaan (lihat
Gambar 4.6)
3Helmy dan Sutarto, 2006 dan 2007 menuliskan Bukit Tidar sebagai gunung berapi, yang
diperkirakan pernah meletus jutaan tahun yang lalu.
61
Gambar 4.5. Lambang Kota Magelang dengan mengadopsi kondisi geografis
(sumber : Sjouke 1935, Vooruit 2 Tahun I November 1935, Pemerintah Magelang,
1936, Veen, 1965 dan koleksi KIT)
gunung
Bukit Tidar
Persimpangan
jalur
Lingkaran gunung
Bukit Tidar
Persimpangan
jalur
Gambar Lambang Kota Magelang
Nomor Surat Kota Magelang
Uraian arti lambang Kota Magelang
Lambang Kota Magelang tahun 1935
Surat Keputusan Lambang Kota Magelang
62
Kondisi geografis kota yang terlihat jelas pada penggambaran lambang kota
yaitu, ( Sjouke 1935; Vooruit 2 Tahun I November 1935; Pemerintah Magelang,
1936; Veen, 1965):
a. Sebuah penyangga terbalik dari perak berwarna biru laut, di dalamnya
terdapat sebuah cincin emas, dengan sebuah tiang kokoh menempatkan
paku sebagai pedang, ujung runcingnya berada di pembuka penyangga.
b. Di atas perisai diletakkan dengan sebuah mahkota emas berbentuk stupa
yang menggambarkan keberadaan Kota Magelang di dekat candi terkenal
yaitu Candi Borobudur.
c. Penyangga perak melambangkan bahwa posisi Kota Magelang sebagai
pertemuan jalan ke Semarang – Yogyakarta dan Purworejo yang dianggap
sebagai lokasi yang strategis.
d. Paku hitam melambangkan Gunung “Tidar” sebagai titik tengah pulau
Jawa, yang menurut orang Jawa dipakukan di Laut India.
e. Cincin emas yang mengelilingi paku melambangkan gunung-gunung yang
setiap saat dikagumi oleh orang-orang Kota Magelang dan yang
menyebabkan kota itu mempunyai iklim yang nyaman.
Saat ini pemerintah Kota Magelang masih menggunakan lambang-lambang
yang sudah ada sejak tahun 1900-an walaupun dengan beberapa perubahan,
pengurangan maupun penambahan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya
dan perkembangan politik serta pemikiran pemerintah dalam melihat Kota
Magelang (seperti terlihat pada Gambar 4.6 sebelah kanan) dengan penyesuaian
arti dan simbolnya. Arti lambang Kota Magelang pada saat ini adalah :
a. Padi dan kapas berarti kemakmuran, cukup sandang dan pangan.
b. Paku di atas simpang tiga yang berarti paku menggambarkan Gunung
Tidar sebagai pakuning Pulau Jawa.
c. Simpang tiga menggambarkan letaknya dipertemukan dari tiga
jurusan yaitu Semarang, Purworejo dan Yogyakarta.
63
d. Bintang besar ditengah-tengah berarti rakyat Magelang ber-Pancasila
atau rakyat Magelang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
e. Topi baja di atas buku berarti adanya pendidikan ABRI, Kota Militer
dan merupakan pusat pendidikan umum.
f. Warna dasar ada 5 yaitu Hijau, Merah Tua, Putih, Kuning Emas dan
Hitam yang berarti:
a. Hijau yaitu Lambang kesuburan dan kemakmuran.
b. Merah Tua yaitu Lambang keberanian/revolusioner.
c. Putih yaitu Lambang kesucian/kejujuran/kebersihan.
d. Kuning Emas yaitu Lambang keagungan/kebahagiaan.
e.Hitam yaitu Lambang keadilan, kuat/sentausa (langgeng).
g. Bambu runcing di atas dasar merah tua berarti keberanian dan
kekuatan rakyat, berdasarkan sejarah perjuangan rakyat dalam mengusir
Belanda, Inggris dan Gurkha dalam revolusi fisik yang diwarisinya dari
perjuangan Pangeran Diponegoro.
h. Padi berjumlah 17 butir berarti tanggal 17.
i. Kapas berjumlah 8 pucuk berarti bulan 8 atau Agustus.
j. Dua buah bambu runcing, yang satu beruas empat dan yang lain beruas
lima berarti tahun 1945.
Jika disejajarkan ketiga lambang kota yang ada pada tahun 1905, 1935 dan
lambang kota saat ini4, terlihat beberapa bagian lambang yang tetap namun juga
ada beberapa bagian yang hilang, bahkan ada beberapa bagian yang bertambah
untuk mendukung keberadaan fungsi kota dan kondisi negara. Beberapa
perubahan yang terjadi pada lambang Kota Magelang, yaitu :
a. Bagian yang tetap yaitu bentuk perisai dengan penyangga perak dan paku
yang ada ditengah, yang sampai saat ini tetap digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat saat ini khususnya penguasa yang tetap
4 Pada cover buku pertanggungjawaban walikota tahun 1979 dan 1983 serta buku yang ditulis pada
tahun 1984 oleh Soekimin sudah mencantumkan logo yang digunakan saat ini. Selain itu
ditemukan juga dalam koleksi di Tropenmuseum, Belanda, penggunaan lambang Magelang pada
tahun 1950
64
mempertahankan keberadaan lambang tersebut menganggap Kota
Magelang sebagai kota yang terletak di persimpangan yang strategis dan
menyakini keberadaan Bukit Tidar sebagai paku tanah Pulau Jawa.
b. Perisai yang tetap dipakai sebagai lambang kota, tidak sepenuhnya sama,
karena pada lambang kota yang saat ini digunakan, warna perisai tidak
didominasi oleh warna biru dan digantikan oleh warna hijau, merah tua,
putih, kuning emas dan hitam yang dilengkapi dengan gambar padi, kapas,
dua bambu runcing, topi baja di atas buku serta bintang besar kuning yang
diletakkan menutupi sebagian dari gambar pakunya. Namun ada yang
hilang dari bagian lambang kota yaitu lingkaran emas yang terletak di atas
penyangga terbalik.
Jika dilihat dari perbedaan beberapa lambang kota tersebut terlihat ada
perubahan menyangkut keberadaan alam sebagai bagian dari kota, hal ini bisa
dijelaskan di bawah ini :
a. Perisai yang berwarna biru sebenarnya menunjukkan keberadaan lembah
atau Kota Magelang yang dikenal pada masa lalu dengan posisi
geografisnya “bertetek gunung berkalung samudera” yang sebenarnya
menggambarkan keberadaan Kota Magelang. Hal ini hilang dan digantikan
dengan simbol yang menggambarkan fungsi kota saat ini yaitu kota
pendidikan militer dan pusat pendidikan umum dengan dasar pancasila dan
keberadaan Kota Magelang pada masa perjuangan fisik
b. Lingkaran emas pada saat itu digunakan karena ingin menggambarkan
bahwa Kota Magelang dikelilingi oleh gunung yang menjadikan Kota
Magelang berkembang sangat pesat baik sebagai kota yang strategis
maupun kota yang mempunyai panorama yang indah sebagai kota
peristirahatan
c. Keberadaan bintang warna kuning yang menutupi sebagian paku yang
berada di tengah tiang penyangga terbalik, telah mengurangi keberadaan
Bukit Tidar sebagai paku tanah Pulau Jawa, walaupun keberadaan tersebut
masih tetap diyakini dengan tetap digunakannya gambar paku tersebut
65
Dari ketiga uraian di atas, terlihat adanya perubahan paradigma masyarakat
dalam meletakkan alam sebagai bagian dari Kota Magelang. Alam kurang
dianggap mempunyai hubungan erat dengan lingkungan binaan. Perubahan
penggunaan lambang kota akhirnya juga membawa dampak pada terjadinya
perubahan pengembangan kota yaitu menghilangkan aspek alam.
Gambar 4.6 Logo Kota Magelang tahun 1922 dan logo kota saat ini
( Sumber : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda dan www.kotamagelang.co.id )
Gambar 4.9 memperlihatkan keindahan Gunung Sumbing dan Sungai
Progo yang dilihat dari rumah salah seorang jenderal pada tahun 1880. Kondisi
yang digambarkan memperlihatkan bahwa dari Distrik Magelang mempunyai
pemandangan yang sangat indah, khususnya dari pendopo rumah residen.
(Kussendracht, 1840; Bleeker,1850; Pemerintah Magelang, 1936).
Gambar 4.10. Alun-alun kota dan rumah salah seorang jenderal dengan latar
belakang Gunung Sumbing, 1880
(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Gambar 4.11 Gunung Merapi dan Merbabu dari Rumah Sakit Militer, 1890
(Foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Pada Gambar 4.10 sebelah kiri menceritakan tentang alun-alun yang berada
di pusat kota dengan adanya dua pohon beringin dan dari alun-alun bisa melihat
indahnya Gunung Sumbing. Alun-alun yang berada di dekat dengan kadipaten
sebagai pusat kota mempunyai panorama yang sangat indah. Pada Gambar 4.10
sebelah kanan menceritakan indahnya Gunung Sumbing yang dilihat dari salah
satu rumah petinggi militer, OGH Heldring, pada tahun 1880. Sementara pada
71
Gambar 4.11 menceritakan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di sebelah
Timur yang bisa dilihat dari Rumah Sakit Militer.
Ir. R.C.A.F.J. Nessel van Lissa, walikota Magelang tahun 1935
menceritakan alam Magelang dengan judul asli “Uit het verleden van Magelang,
Van “vorstentuin” tot Java’s gezegendste Plek” - “ Masa lalu Magelang, dari
taman yang indah menjadi tempat yang paling diberkati di Jawa” (Lissa, 1936).
In ons mooi Midden Java neemt de residentie Kedoe een bijzondere
plaats in. Zooals in een juweel de juwelier den grootsten fraaisten
steen in het midden plaatst, zoo schonk moeder Natuur Kedoe een rijke
schakeering van haar fraaiste scheppingen. (Lissa, 1936).
(Di Jawa Tengah kami yang indah, Karesidenan Kedu mempunyai
tempat khusus. Sebagaimana dalam sebuah perhiasan, sang pedagang
permata akan menempatkan permata terelok dan terbesar di tengah-
tengah, demikian pula kehendak alam memberikan kepada Kedu
keanekaragaman ciptaannya yang terelok. (Lissa, 1936)
De Engelsche resident-commissioner John Crawfurd beschrijft in zijn
,,Report upon the District of Cadoe’’, (Jogjacarta 1812) de valley en
haar grenzen en zegt daarin o.m. (vertaald) : ,,Aan zijn ligging is het,
dat het een vruchtbaarheid van gronden en een heerlijkheid van
klimaat schijnt te danken te hebben, waarop geen ander deel van het
eiland aanspraak kan maken’’(Lissa, 1936).
(Komisioner- Residen Inggris John Crawfurd menggambarkan lembah
itu dan batas- batasnya dalam laporannya “Report upon the District of
Cadoe”, (Jogjacarta 1812), dan di dalamnya antara lain mengatakan
(diterjemahkan): “Tanahnya yang subur dan cuacanya yang enak
tampaknya berkat letaknya, tak ada bagian lain dari pulau itu yang
dapat menuntut hal yang sama. (Lissa, 1936)
Pemaparan di atas, menggambarkan bahwa pada masa lalu Kota Magelang
sebagai lembah dari gunung yang mengelilinginya merupakan daerah yang sangat
indah. Keberadaan gunung tersebut yang didukung adanya Bukit Tidar telah
mendorong masyarakatnya membentuk tempat-tempat untuk beristirahat dan
menikmati alam. Keindahan alam yang dibentuk oleh gunung yang mengelilingi
Kota Magelang dan ruang kotanya telah mengundang masyarakat untuk
membentuk daerah permukiman dan daerah peristirahatan.
72
4.3 Bukit Tidar dalam Legenda dan Asal Usul Nama Magelang
Bukit Tidar yang terletak di sebelah Selatan Kota Magelang dipercaya
secara turun temurun khususnya oleh masyarakat Kota Magelang sejak jaman
dahulu sebagai paku pulau Jawa4 (pakuning Jawa). Jika Bukit Tidar runtuh atau
dicabut, Pulau Jawa akan goyang dan hancur5. Hal ini didukung dengan beberapa
cerita tentang Bukit Tidar sebagai penyeimbang keberadaan gunung yang
mengelilinginya yang menurut beberapa sumber terjadi kurang lebih pada tahun 73
M dan dipercaya sebagai cikal bakal permukiman di Jawa khususnya Jawa Tengah
dan Yogyakarta (Kussendracht, 1841; Sjouke, 1935). Sementara penyebutan
Bukit Tidar sebagai paku Pulau Jawa banyak disebutkan dalam beberapa buku
yang diterbitkan pada masa kolonial Belanda, misalnya Kussendracht (1841)
menjelaskan Bukit Tidar sebagai bukit yang berbentuk kerucut dengan keyakinan
masyarakatnya sebagai pakunya Pulau Jawa dan menjadi penyeimbang posisi
Pulau Jawa.
Bukit Tidar sebagai paku (poros) pulau Jawa mengingatkan pada bagian
dalam Tantu Panggelaran tentang Gunung Meru yang dipindahkan ke Jawa,
seperti juga dengan Gunung Penanggungan pada abad 14, yang kesemua konsep
tersebut diceritakan sebagai usaha baru untuk menempatkan kembali “pusat” Pulau
Jawa pada posisi di tengah-tengah, melihat ekspansinya dengan memperhitungkan
ruang baru secara geografis (Lombard, 2008 : 99).
.... sebaiknya disebut pula tradisi yang menganggap Gunung Tidar,
sebuah bukit kecil didekat Kota Magelang (Jawa Tengah) sebagai
“poros” (paku) dari Pulau Jawa. Kami tidak menemukan disebutnya
“pusat” ini sebelum serat centini (awal abad ke-19), namun pengertian
itu mengingatkan kita akan bagian dalam Tantu Panggelaran mengenai
Gunung Meru yang dipindahkan ke Jawa, seperti juga peran Gunung
Panunggalan pada abad 14. Selama tidak ada kesaksian yang lebih tua,
kami cenderung melihat tradisi tentang Gunung Tidar itu sebagai usaha
baru untuk menempatkan kembali “pusat” Pulau Jawa pada posisi
tengah-tengah, melihat ekspansi baru Mataram yang pesat ..... “
(Lombard III , 2008 : 99)
4 Bukit Tidar sebagai paku pulau Jawa diceritakan juga pada Kussendracht, 1841: 198; Aa,
1851:434; Buddingh, 1859 : 177; Pemerintah Magelang, 1936 : 8; Veen, 1965:19; Soekimin, 1988) 5 Bukit Tidar sebagai pakunya pulau Jawa digambarkan dalam logo Kota Magelang sejak 1905
sampai sekarang.
73
Raffles (2008) menceritakan keberadaan 20.000 keluarga yang datang ke
Jawa, namun tidak secara rinci menjelaskan lokasinya. Bukit Tidar juga dikaitkan
dengan keberadaan dewa gunung yang meletakkan Bukit Tidar untuk mengikat
gunung-gunung yang selalu bergerak (Sjouke, 1935:11), bahkan pada saat itu juga
dipercaya oleh sebagian masyarakat bahwa di dalam Bukit Tidar terdapat sebuah
candi yang besar namun hal ini disangkal oleh banyak orang:
Een legende verhaalt daaromtrent, dat de God der bergen om het
drijvende eiland Java op zee vast te leggen, in het Oosten eenige
bergen liet vallen, waardoor het eiland echter naar die zijde overhelde.
Om dit te herstellen liet hij West-Java ook eenige bergen vallen, doch
het eiland wipte en bleef drijven. Toen nam hij den Tidar en spijkerde
daarmede Java op zee vast…..
Volgens andere overleveringen zou onder den Tidar een tempel
verborgen liggen, gelijkend op den Boroboedeor (Sjouke , 1935:11)
(Sebuah legenda mengenai hal itu menceritakan bahwa dewa gunung
menjatuhkan beberapa gunung di sebelah Timur, untuk mengikat pulau
Jawa yang terapung di laut, akibatnya pulau itu condong ke sisi itu.
Untuk memperbaikinya, ia juga menjatuhkan beberapa gunung di Jawa
Barat, tetapi pulau itu tetap bergoyang dan mengapung. Kemudian ia
mengambil Tidar dan memaku pulau Jawa ke laut dengan itu …
Menurut beberapa cerita turun- menurun, di bawah Tidar kemungkinan
Satu cerita yang sangat menarik menjelaskan hubungan langsung antara
penyebaran agama Islam dengan keberadaan Wali Songo di Jawa. Kyai Subakir
oleh sebagian orang dipercaya datang ke Bukit Tidar pada masa awal abad
pertama, namun sebagian orang menjelaskan kedatangan Subakir sebagai salah
satu kyai yang menyebarkan agama Islam di Jawa dan termasuk dalam kelompok
Wali Songo awal. Kyai Subakir dipercaya mendirikan perguruan (pondok
pesantren) di Bukit Tidar dan sekitarnya dengan menaklukkan beberapa jin/setan
yang mengganggu di kawasan Kedu dan khususnya lembah Magelang (cerita turun
menurun dan wawancara dengan juru kunci Bukit Tidar, 2009). Keberadaan
Subakir dianggap sebagai penghilang setan atau jin yang berkumpul di Bukit
Tidar, dengan melakukan rukyah di Bukit Tidar. Rukyah ini menjadi salah satu
ritual yang rutin dilakukan di Bukit Tidar. Saat ini di Bukit Tidar dipercaya
terdapat tiga makam/makom yang salah satunya merupakan makam Kyai Subakir.
Sementara itu terdapat beragam cerita turun temurun lainnya yang
mengemukakan munculnya nama Magelang, antara lain yaitu:
a. Datangnya orang Keling di Jawa pada tahun 83 M yang mengenakan hiasan
gelang di hidung dengan melubangi cuping hidungnya dan dimasuki gelang
dan kebiasaan ini masih terus berlangsung pada saat mereka mendiami
tempat yang baru. Magelang berasal dari kata ma dan gelang, ma berasal
dari mawa = memakai, sehingga ma gelang = mawa gelang yang berarti
memakai gelang, perhiasan yang dipakai (Legenda masyarakat Magelang)
b. Kisah dikepungnya raja Jin Kyai Sepanjang oleh prajurit Mataram secara
Atepung Temu Gelang. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa raja Jin
Kyai Sepanjang yang menghuni Bukit Tidar (Babad Alas Kedu) sebagai
penguasa telah diserang dari berbagai arah oleh pasukan Mataram di bawah
perintah Panembahan Senopatih pada saat akan memperluas wilayah ke
Utara di sekitar Bukit Tidar. Pengepungan raja jin berhasil setelah
dilakukan pagar betis yang rapat dan karena melingar seperti gelang dalam
bahasa Jawa dikenal dengan atepung temu gelang (legenda masyarakat
Magelang)
75
c. Tinjauan geografis daerah Kedu yang berasal dari Ma + gelang , gelang
berarti perhiasan yang menunjukkan keindahan dari gunung-gunung yang
mengelilinginya (legenda masyarakat Magelang)
d. Tinjauan geografis Magelang yang dikelilingi oleh banyak gunung
sehingga terkesan “cemlorot/bercahaya” karena panoramanya yang indah
(Lissa, 1935; legenda)
e. Berasal dari salah satu kata yang disebut dalam prasasti Mantyasih, yaitu
wanua Glanggang, Galang dan Glam (Prasasti Mantyasih 907 M)
f. Adanya sekeluarga yang sedang mencari tempat tinggal dan tiba-tiba anak
perempuannya kehilangan gelang. Anaknya tersebut berteriak “ Ma,
gelang “. Sang ayah yang kemudian menemukan gelang di tanah yang
berkualitas baik dan memutuskan bermukim di lokasi tersebut (Sjouke,
1935; Veen, 1965)
g. Keberadaan anak-anak dewa Gunung Merbabu (Mage) dan Sumbing
(Liang) yang berebut batu bertuah yang diyakini terletak di lembah gunung
dan berakhir dengan hilangnya kedua anak dewa tersebut dan setelah
peristiwa tersebut muncul suara yang selalu menggema memanggil nama
mereka “ Mage ..... Liang.... “ (Huisman, 1964).
Bukit Tidar dianggap sebagai bukit penting dengan beberapa keyakinan,
yaitu :
a. kosmologis, dengan menganggap Bukit Tidar sebagai paku pulau Jawa
untuk menjaga keutuhan pulau Jawa
b. religius, dengan menganggap Bukit Tidar sebagai salah satu lokasi
bersejarah munculnya pemahaman keagamaan
c. spiritual, dengan menganggap makam yang terdapat di bukit merupakan
makam/makom orang-orang yang diyakini bisa memberi kekuatan
76
d. lingkungan6, dengan menganggap Bukit Tidar sebagai penahan air ataupun
sebagai penyimpan air, yang jika terjadi penggundulan hutan di ukit
tersebut akan terjadi banjir di sekitar Kota Magelang
Gambar 4.13 Bukit Tidar sebagai tempat yang disucikan digunakan sebagai
tempat ritual
(foto : Utami 2012)
Gambar 4.14 Bukit Tidar dengan pohon-pohonnya sebagai tempat penyimpan air
(foto : Utami 2012)
6 Pada saat ini dengan adanya wisata spiritual di Bukit Tidar, ada beberapa bangunan di atas bukit
Tidar dibangun telah mengurangi keseimbangan lingkungan Bukit Tidar. Beberapa konflik telah
terjadi diakibatkan penggunaan Bukit Tidar dengan pemahaman masing-masing dan dimanfaatkan
oleh investor dengan mendirikan bangunan di atas bukit.
Masyarakat
mendatangi
makam di Bukit
Tidar untuk
melakukan
beberapa ritual
77
4.4 Setting Kota Magelang
Setting yang mengacu pada perkembangan ruang kota Magelang, dapat
dibuat periodisasi yaitu :
1. Setting pada periode kerajaan
a. Periode Kerajaan Mataram Kuno, 732 – 927 M, setting lembah
Magelang dengan beberapa desa yang terbentuk di dalamnya
b. Periode Kehancuran Mataram Kuno, pasca 929 M, setting lembah
Magelang saat terjadinya perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno
c. Periode Kerajaan Demak, abad 14, setting lembah Magelang yang
digunakan sebagai gudang makanan karena kesuburannya serta lokasi
yang strategis
d. Periode Kerajaan Mataram Baru, abad 15, setting kebondalem Sunan
Surakarta di Kademangan Magelang sebagai gudang beras dan tempat
istirahat
2. Setting Kota pada periode kolonial
a. Periode Inggris, setting distrik Magelang pada saat pemerintah Inggris
membangun beberapa elemen dasar kota pada tahun 1810
b. Periode Belanda, setting ruang kota pada periode Belanda
mengembangkan Distrik Magelang sebagai kota militer, pemerintahan,
perkebunan dan peristirahatan
c. Periode Jepang, setting ruang kota pada periode pemerintahan Jepang
menggunakan Kota Magelang sebagai kota pertahanan
3. Setting periode Kota Magelang setelah Indonesia merdeka tahun 1945
a. Periode perjuangan fisik, tahun 1945 – 1950, setting ruang kota setelah
kemerdekaan dan saat terjadinya agresi militer II di Kota Magelang
b. Periode perbaikan fisik, tahun 1950 – 1980, setting ruang kota pada
masa pengembangan lebih mengacu pada kota taman
c. Periode kota jasa dan transit, tahun 1980-2000, setting ruang kota saat
mulai mengalami perubahan dalam menata ruang kota
d. Periode kota perekonomian, tahun 2000 – 2010, setting ruang kota
yang dibentuk karena pertimbangan perekonomian
78
4.4.1 Setting pada saat lembah Magelang sebagai bagian dari Kerajaan
Mataram Kuno sampai dengan Mataram Baru
4.4.1.1 Setting sebagai pembentuk ruang kegiatan kehidupan pada periode
Kerajaan Mataram Kuno
Kehidupan yang diwujudkan dalam ruang kegiatan terlihat pada Prasasti
Tuk Mas7 (Sarkar, 1969 : 195, Casparis, 1950 : 158-159), Prasasti Poh tahun 905
M dan prasasti Mantyasih tahun 907 M. Posisi Prasasti Tuk Mas yang berada di
atas bukit dan di tepi Sungai Elo, Prasasti Poh di atas bukit kecil dan di tepi Sungai
Progo serta Prasasti Mantyasih di daerah yang relatif datar dan di tepi Sungai
Progo memperlihatkan ruang yang terbentuk dipengaruhi gunung, bukit dan
sungai.
Gambar 4.15 memperlihatkan dua desa yang sudah terbentuk pada periode
Kerajaan Mataram Kuno, serta satu desa yang diperkirakan sudah ada sebelum
periode tersebut. Hal ini didukung oleh Darmosoetopo (1998: 76 dan 89) bahwa
pada periode Kerajaan Mataram Kuno telah terbentuk desa-desa sebagai ruang
kehidupan. Gunung dan sungai membentuk tanah yang subur yang kemudian
berkembang sebagai lahan pertanian dan hutan. Gunung, sungai dan hutan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada saat itu yang didukung dengan
kegiatan pertanian, perdagangan dan kesenian (Darmosoetopo : 80).
Gunung yang mengelilingi dataran Kedu, diyakini suci oleh masyarakat.
Dituliskan Chabra, 1965 dalam Degroot (Degroot, 2010) “as purifying as the
Ganges”. Mengacu pada isi pokok dari prasasti Tuk Mas mengenai mata air yang
airnya sangat jernih dan suci (subhasitatoya), kesucian ini bisa dikaitkan dengan
keberadaan sungai suci yang dibandingkan dengan kesucian Sungai Gangga
(Sarkar, 1969; Degroot,2010).
7 Ada dua angka tahun yang dijadikan perkiraan dibangunnya Prasasti Tuk Mas, yaitu tahun 500
dan 650 M.
79
Gambar 4.15 Ruang yang dibentuk oleh kesucian gunung yang mengelilinginya
(sumber : Utami 2012)
Tuk Mas
Terletak di daerah yang lebih tinggi dan
mempunyai tanah yang subur, sehingga
digunakan sebagai tempat untuk berdoa
dan sebagai tempat tinggal
Mantyasih
Tanah yang subur dan terletak di
sepanjang Sungai Progo yang
strategis
Tuk Mas Poh
Mantyasih
Mantyasih
& Poh Tuk Mas
Gunung-gunung
membentuk lembah
Kota Magelang sebagai
daerah yang subur dan
strategis karena terletak
di sepanjang sungai
S.Progo
S. Elo
80
Boechari, 1970 yang menjelaskan mata air yang lahir dari teratai putih
yang membawa kemurnian:
kvachit su chyam buruh anujata – kvachichila valuka nirgat eyam
kvachit prakirnna subha sita toya – samprasruta medhyakariva Ganga
yang berarti :
“Mata air ini lahir dari teratai putih yang membawa kemurnian. Dalam
beberapa bagian mengalir keluar dari batu dan pasir dan di satu tempat
lain menyebarkan air yang sejuk dan jernih mengalir di sepanjang,
demikian seperti halnya Sungai Gangga”.
Menurut Krom, wilayah tersebut sebagai tempat suci yang dipersembahkan
untuk memuja dewa atau sering disebut sebagai pentirtaan (Sarkar, 1969;
Casparis, 1975; Boechari, 1970 dan 1988; Degroot,2010). Pada lambang yang
tercetak di Prasasti Tuk Mas8 terlihat adanya sejumlah iconography symbols yang
dipahatkan pada batu prasasti, antara lain cakra, gada, purna kumbhas, trisula,
parasu. Simbol-simbol tersebut diartikan sebagai simbol dewa Siwa dan Visnu.
Sementara itu, prasasti tertua Prasasti Canggal 732 M yang berada di
Salam, di lereng Gunung Merapi di Sebelah Barat, sebagai peninggalan Kerajaan
Mataram Kuno menceritakan tentang keberadaan pulau Jawa dan kondisinya yang
terletak di dekat puncak gunung adalah. Prasasti Canggal atau yang juga disebut
Prasasti Gunung Pring menceritakan bahwa :
“There is a great island called Yava, abundantly supplied with ricegrains
and other seeds and rich in gold-mines. That (island) is acquired by the
immortals (by mantras) and other means; where is a wonderful place
dedicated to Sambhu, a heaven of heavens surrounded by Ganga and other
holy resorts and laid in a beautiful woodland habituated by elephants,
existing for the good of the world” (Sarkar, 1969 : 198)
Pada saat itu, Mataram Kuno9 terkenal sebagai kerajaan agraris dengan
didukung banyaknya gunung berapi dan deretan pegunungan. Salah satu gunung
tersebut adalah Gunung Merapi sebagai gunung berapi yang dijadikan sebagai
8 Tuk Mas jika diterjemahkan secara harafiah merupakan mata air emas dan bisa dimaknai sebagai
sumber mata air emas atau yang diagungkan atau disucikan. Sampai saat ini, daerah Tuk Mas
merupakan daerah sumber mata air oleh yang tidak akan habis airnya (wawancara, 2010). 9 Mataram Kuno mulai diperintah oleh Raja Sanjaya tahun 732 M sampai tahun 929 M yang diperintah oleh
Raja Wawa seperti yang tertulis pada prasasti Mantasih (907 M).
81
tempat suci karena letaknya yang paling tinggi dan Pegunungan Dieng dijadikan
pusat pemujaannya. Sementara itu daerah Kedu (Kdu) dijadikan daerah
permukiman dengan pertimbangan sebagai daerah datar dan dialiri sungai yang
disucikan serta didukung dengan dikelilingi gunung-gunung yang dianggap agung.
Tata permukiman masyarakat pada saat terbentuk dengan beberapa lapisan
masyarakat, lapisan agama dan pekerjaan.
Gambar 4.16 Permukiman yang terbentuk di lembah yang dikelilingi gunung
(sumber : Utami 2012)
Gambar 4.17 Tujuh gunung sebagai pembentuk kesucian pada alam dan wilayah
Lembah sebagai daerah
permukiman terbentuk karena
keyakinan pada gunung yang
mengelililingi
Dipercaya sebagai tempat Dewa
Bentukan dari kaki gunung
aliran air dr gunung Tujuh Gunung Sbg tempat Dewa
Sungai Elo
Bukit Tuk Mas
Lembah
SUCI
Bukit disucikan
untuk menyembah
dewa
Lembah disucikan
dan dijadikan
tempat tinggal
Sungai disucikan
sbg sumber
kehidupan
82
Wilayah Poh dan khususnya wilayah Mantyasih banyak disebutkan dalam
beberapa prasasti yang dianggap memberi arti penting membuktikan keberadaan
bagi daerah Meteseh dan Dumpoh (Mantyasih dan Poh) yaitu Prasasti Poh, Prasasti
Mantyasih, Prasasti Gilikan, Prasasti Teru I Tepusan, Prasasti Tulang Air, Prasasti
Panggumulan, Prasasti Poh (pohpauh), Prasasti Rukam, dan Prasasti Gilikan,
Kayuwungun dll. Pasar sudah berkembang sebagai tempat jual beli, walaupun
hanya di beberapa desa yang besar (Darmosoetopo, 1998). Desa Mantyasih dan
Poh kemungkinan dipilih sebagai permukiman karena posisinya di dekat sungai
yang dianggap suci10
. Beberapa desa atau yang disebut wanua pada periode
Kerajaan Mataram Kuno, banyak berfokus di pinggir sungai atau dilembah suatu
gunung. Ruang lainnya yang berkembang antara lain adalah tempat
bersembayang, ruang kesenian, daerah untuk menjaga keamanan
(Darmosoetopo,1998) serta lahan pertanian (Darmosoetopo, 1998; Casparis, 1950;
Schrieke, 1957).
Mengacu pada setting saat ini, dijelaskan bahwa Desa Mantyasih dan Poh
berkembang karena terinspirasi oleh alam dalam konteks yang bisa dijelaskan
sebagai berikut :
a. aspek kesucian, yang menjelaskan keberadaan gunung, sungai dan lembah
yang dianggap mempunyai kekuatan untuk melindungi kehidupan mereka
b. aspek kesuburan, yang menjelaskan tentang posisi lembah Magelang dan
dataran Kedu sebagai lembah yang subur yang mampu mendukung
kehidupan masyarakat khususnya terkait bahan makanan
c. aspek keamanan, yang menjelaskan bahwa lokasi lembah Magelang yang
berada di sepanjang Sungai Progo dan berada di lembah yang relatif datar
membentuk daerah yang tepat untuk mengontrol daerah-daerah sekitar baik
dari jalur darat maupun jalur air
d. aspek kenyamanan, yang menjelaskan karena lembah Magelang berada di
lokasi yang aman dan strategis lokasinya membentuk tempat bermukim
yang aman dan nyaman
10
Pada periode ini ada beberapa tempat yang dianggap suci, yaitu sungai, gunung dan bukit.
83
Gambar 4.18 Gunung, pembentuk kesucian dan kesuburan lembah Magelang
Indianisasi, istilah yang digunakan oleh orang Inggris karena adanya
pengaruh India pada Pulau Jawa, sangat berpengaruh pada pembentukan daerah-
daerah di sekitar lembah Magelang. Adanya penguasa alam dengan konsep makro
kosmos menjadi satu pertimbangan utama dalam pengembangan daerah-daerah,
baik daerah sebagai tempat tinggal dewa, tempat untuk memuja dewa serta tempat
tinggal masyarakat sebagai bagian dari kehidupan yang dibentuk oleh dewa yang
diyakininya. Gunung-gunung tersebut diyakini sangat istimewa karena posisinya
membentuk seperti lingkaran. Adanya gunung suci tersebut telah membentuk
lembah suci.
Pusat kegiatan kerajaan Mataram Kuno yang bergeser ke Timur, yaitu dari
daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta ke Jawa Timur dipengaruhi oleh para
penguasanya, dengan mengacu pada perkembangan daerah lembah Magelang yang
berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Balitung.
4.4.1.2 Setting Lembah Magelang setelah runtuhnya Kerajaan Mataram
Kuno
Ruang-ruang yang sudah terbentuk hancur karena adanya bencana alam
yang diperkirakan tahun 929 dan 1006 M. Setelah melalui masa jayanya sekitar
dua abad, wilayah Magelang dan sekitarnya menurut teori Van Bammelen,
Tujuh Gunung
KESUCIAN KESUBURAN
Tempat ibadah
Tempat pemujaan Sawah Permukiman
84
menghilang akibat dari letusan Gunung Merapi tahun 1006 yang dibarengi juga
dengan hilangnya Kedu dan Mataram Hindhu (Mataram Kuno) dari panggung
sejarah. Letusan Gunung Merapi mengakibatkan gempa yang sangat besar dan
disertai hujan material vulkanik yang kesemuanya itu membentuk Gunung Gendol
dan Pegunungan Menoreh (Suroyo, 2000).
Pada periode ini masyarakat yang bermukim di Magelang dan sekitarnya
berpindah ke daerah Jawa Timur dan membentuk kerajaan baru. Sementara daerah
Magelang berubah menjadi hutan belantara. Beberapa alasan pindahnya istana
kerajaan antara lain (Moehkardi, 2008; Raffles, 2008, Lombard, 2008) :
a. pemberontakan yang dilakukan rakyat karena kerja paksa saat
pembangunan Candi Borobudur
b. depopulasi akibat adanya penyakit yang mematikan
c. serangan dari Kerajaan Sriwijaya
d. terjadi pendangkalan dermaga di Pergota dan berubahnya pemikiran bahwa
Gunung Panunggalan lebih bagus dijadikan pusat kerajaan dibandingkan
dengan Gunung Merapi
e. meletusnya Gunung Merapi yang diperkirakan terjadi pada abad 10
(pendapat ini masih menjadi pertentangan apakah dua kali Gunung Merapi
meletus sangat besar yang terjadi pada tahun 900-an dan 1006) sehingga
gunung Merapi sudah dianggap tidak suci
f. masyarakat pada saat itu mengalami kebosanan, kecapaian akibat adanya
pembangunan yang secara terus menerus dilakukan
Sampai saat ini penyebab kepindahan istana kerajaan dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur masih menjadi perdebatan11
. Namun dari beberapa prasasti diyakini
akan adanya pemindahan kekuasaan kerajaan dari yang awalnya berpusat di Jawa
Tengah – Yogyakarta ke Jawa Timur. Jantung kekuasaan raja-raja Jawa berpindah
ke Timur selama enam abad lebih (Lombard, 2008).
11
Sampai saat ini tidak didapatkan kesimpulan atau kesepakatan dari para ahli sejarah tentang
perpindahan pusat kerajaan. Hal ini terkait dengan pendataan dan pencatatan peristiwa sejarah yang
belum ditemukan. Kesimpulan yang ada sampai saat ini masih berkisar dari analogi-analogi
peristiwa yang terjadi baik setelah tahun 929 maupun tahun 1006 M.
85
Gambar 4.19 Kehancuran ruang karena menurunnya kesucian terhadap gunung
(sumber : Utami 2012)
Ruang yang sudah tercipta hancur
karena letusan gunung berapi dan
bencana lainnya
Gunung meletus telah
menghancurkan ruang-
ruang yang terbentuk di
lembah Magelang
Gunung meletus
menghancurkan
ruang di sekitarnya
Masyarakat meninggalkan
lembah karena meyakini
bahwa lokasi yang dikelilingi
gunung sudah tidak mampu
member kehidupan
S.Elo S.Progo
S.Progo
S.Elo
86
Gambar 4.20 Hilangnya kesucian dan kesuburan pada gunung dan sungai
4.4.1.3 Setting lembah Magelang dengan gudang berasnya sebagai bagian dari
Kerajaan Demak
Tidak atau belum diketemukan data yang menjelaskan secara pasti ruang-
ruang yang terbentuk di lembah Magelang yang dikelilingi gunung setelah pusat
kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Panggung sejarah Kedu diperkirakan runtuh
pasca kepindahan istana kerajaan (Suroyo, 2000). Lembah Magelang dan
sekitarnya yang sebelumnya permukiman berubah menjadi hutan belantara
kembali atau alas12
. Kedu diperkirakan berkembang kembali setelah berdirinya
kerajaan Islam di Demak dan Pajang (Aa, 1851; Kussendracht, 1840; Pemerintah
Magelang, 1936; Lissa, 1936; Suroyo, 2000).
Awal mula daerah Kedu dan Magelang kembali dikuasai pada era kerajaan
Pajang dan Mataram, antara lain dituliskan oleh Kussendracht (1840:191) :
Kedoe stond vroeger onder het beheer der vorsten van het
Padjangsche en Mataramsche rijk en werd eerst zeer laat en
brokswijze aan de Europeanen onderwerpen.
12
Yang dimaksud dengan alas adalah daerah permukiman yang tidak mempunyai akses keluar
karena dikepung oleh hutan belantara
Gunung
Meletus
Lembah Sungai Kaki Gunung
Permukiman Perkebunan Jalur Transportasi
Hutan Belantara
SUCI SUBUR STRATEGI
S
mengurangi mengurangi
87
Dulu Kedu berada di bawah kekuasaan raja- raja Pajang dan Mataram
dan sedikit demi sedikit tunduk pada orang- orang Eropa.
Sementara dalam buku yang ditulis oleh Pemerintah Magelang, 1936 : 13
tentang periode sebelum lembah Magelang dikuasai orang Eropa :
“waarschijnlijk heeft Kedoe een doel uitgemaakt van het rijk
Pengging; later moet het behoord hebben tot het rijk Demak, om in
1546 met Begelen aan den Sultanzoon Mas Timor Adipati te komen....”
“kemungkinan Kedu pernah menjadi bagian dari Kerajaan Pengging;
kemudian Kerajaan Demak, dan pada tahun 1546 bersama dengan
Begelen berada di bawah kekuasaan putera Sultan yang bernama Mas
Timor Adipati…”
Pada periode ini daerah Magelang dengan kesuburan tanahnya berkembang
sebagai lahan pertanian dan perkebunan serta berfungsi sebagai gudang beras atau
gudang makanan bagi kerajaan. Letaknya yang strategis karena berada di lembah
gunung juga menjadi pertimbangan perkembangan ruang. Alasan lainnya juga
karena daerah Magelang menjadi lokasi yang sangat menarik dengan gunung yang
mengelilingi dan aliran sungainya yang membentuk dataran Magelang menjadi
sebuah lekukan kedung (Pemerintah Magelang, 1936; Aa, 1851; Kussendracht,