Seperti hukum Islam yang lain, hukum Internasional Islam masih belum diperlakukan secara adil dan setara oleh masyarakat dunia. Hukum Internasional Islam masih dikucilkan bahkan sengaja dilupakan oleh pakar dan peneliti hukum internasional modern yang hanya mengakui bahwa bapak hukum internasional adalah Grotius dari Belanda yang menulis buku De Jure Belliac Pacis atau Hukum Perang dan Damai pada tahun 1625. Itulah setidaknya yang penulis lihat dan rasakan dari pertemuan pakar hukum internasional Asia yang mengadakan konferensi untuk mendirikan Persatuan Asia bagi Hukum Internasional, di Fakultas Hukum, Universitas Nasional Singapura (NUS), 7-9 April lalu. Konferensi selama tiga hari yang dihadiri oleh Presiden Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ), Rosaline Higgins dan 175 pakar Asia, Eropa dan Australia tersebut belum menyentuh sumbangan ulama Islam masa silam dalam kajian hukum internasional. Dari 175 pakar itu, perwakilan yang beragama Islam tidak sampai 10 orang, padahal negara Islam di Asia sangat banyak. Penulis menghadiri konferensi tersebut atas undangan komite pembentukan persatuan sebagai akademisi dan mewakili Universitas Brunei Darussalam. Namun, penulis merasa lega dengan kehadiran Profesor Weeramantri dari Sri Lanka. Penulis mengenalnya sejak 17 tahun silam ketika mengambil mata kuliah Comparative Jurisprudence dalam program Master Hukum Perbandingan (MCL), Fakultas Hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia (UIAM). Dia baru saja menerima anugerah Unesco karana sumbangannya dalam mempromosikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Seperti hukum Islam yang lain, hukum Internasional Islam masih belum diperlakukan secara adil dan setara oleh masyarakat dunia. Hukum Internasional Islam masih dikucilkan bahkan sengaja dilupakan oleh pakar dan peneliti hukum internasional modern yang hanya mengakui bahwa bapak hukum internasional adalah Grotius dari Belanda yang menulis buku De Jure Belliac Pacis atau Hukum Perang dan Damai pada tahun 1625.Itulah setidaknya yang penulis lihat dan rasakan dari pertemuan pakar hukum internasional Asia yang mengadakan konferensi untuk mendirikan Persatuan Asia bagi Hukum Internasional, di Fakultas Hukum, Universitas Nasional Singapura (NUS), 7-9 April lalu.Konferensi selama tiga hari yang dihadiri oleh Presiden Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ), Rosaline Higgins dan 175 pakar Asia, Eropa dan Australia tersebut belum menyentuh sumbangan ulama Islam masa silam dalam kajian hukum internasional. Dari 175 pakar itu, perwakilan yang beragama Islam tidak sampai 10 orang, padahal negara Islam di Asia sangat banyak.Penulis menghadiri konferensi tersebut atas undangan komite pembentukan persatuan sebagai akademisi dan mewakili Universitas Brunei Darussalam. Namun, penulis merasa lega dengan kehadiran Profesor Weeramantri dari Sri Lanka. Penulis mengenalnya sejak 17 tahun silam ketika mengambil mata kuliah Comparative Jurisprudence dalam program Master Hukum Perbandingan (MCL), Fakultas Hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia (UIAM).Dia baru saja menerima anugerah Unesco karana sumbangannya dalam mempromosikan pelaksanaan hukum internasional modern dan pernah menjadi Hakim ICJ. Yang membuat penulis bangga adalah, dari 40 presentasi hanya dia yang menyoroti sumbangan ulama Islam terdahulu seperti yang ditulis dalam bukunya.Hukum Barat dan IslamPakar dan peneliti hukum internasional menjadikan buku Grotius sebagai dasar ilmu hukum internasional padahal buku tersebut baru ada pada abad ke-17 Masehi (M). Sebaliknya, ulama Islam dengan inspirasi Alquran dan Hadis Nabi sudah menulis buku mengenainya pada 1.000 tahun sebelumnya. Yaitu, dimulai dengan penulisan Zaid bin Ali (wafat tahun 122 H).Diakui bahwa Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H) memberikan ceramah dengan judul Hukum Internasional Islam. Imam Abu Hanifah termasuk orang pertama yang menggunakan istilah syiar untuk hukum tersebut. Ini dilanjutkan oleh sahabat dan muridnya, Muhammad bin Hassan al-Shaibani (wafat tahun 189 H), dengan menulis dua buku Kitab al-Siyar al-Saghir dan Kitab al-Siyar al-Kabir. Imam Malik (wafat tahun 189 H) juga mengkhususkan beberapa bab mengenai hukum internasional dalam kitabnya al-Muwattha.Dalam konteks internasional, hubungan antara negara diatur oleh satu hukum internasional yang definisinya adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara negara serta menentukan hak dan kewajiban bagi setiap negara dalam keadaan damai atau perang. Maka peraturan yang dijadikan sebagai hukum internasional semestinya diawasi dan dipegang oleh suatu badan pelaksana (eksekutif) yang mempunyai wewenang agar semua negara mematuhinya.Konsep Hukum Internasional Islam adalah berdasarkan kepada nilai (value), bukan kepentingan (interest) seperti yang dipraktekkan oleh Barat sepanjang sejarah. Barat menempatkan kekuatan sebagai fokus hubungan internasional.Hukum internasional, menurut Barat, adalah hukum negara kuat dalam memaksakan kehendaknya. Lihat saja apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Irak, Sudan, dan Iran. Semua keputusan yang tidak memihak kepentingan Barat pasti
ditolak dan semua keputusan yang memihak kepada kepentingan mereka akan didukung walaupun diperlukan satu adegan diplomatik dalam prosesnya.Sampai saat ini konsep satu atau dua negara yang menyerang kedaulatan sebuah negara tanpa adanya dukungan dari PBB adalah suatu tindakan yang sulit untuk dibayangkan. Politik internasional berputar sekitar konsep multilateral (banyak pihak) dan hukum internasional. Hari ini, Amerika menunjukkan dirinya dengan satu suasana politik baru; unilateral (satu pihak) dan kepentingan bangsa.Amerika mengetepikan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) dengan baik dan hasilnya politikus dan pengeritik mempertanyakan peran PBB sebagai benteng hukum internasional. Kebijakan pemikiran Amerika yang baru adalah PBB mesti menangani isu-isu kecil seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menjadi penengah untuk keributan kecil. Tetapi isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan bangsa Amerika akan ditangani oleh Amerika secara unilateral (satu pihak).Ini jelas menunjukkan kesalahan anggapan mengenai PBB dan tujuan hukum internasional. Sebenarnya, hukum internasional untuk orang Barat dan orang Timur adalah sama seperti mendukung agama, yaitu bukan sebagai hukum untuk dunia seluruhnya.Untuk menjadi hukum internasional, mesti memiliki sifat sejagat, sesuai untuk semua bangsa dan ideologi. Bagaimanapun, kenyataannya hukum internasional yang ada adalah satu hukum yang hanya sesuai untuk bangsa yang kuat dan seiring dengan pandangan hidup kapitalisme. Selain itu tidak diterima dan tidak layak pakai.Sebagai contoh, resolusi 1441 yang disetujui oleh PBB dan dasar bagi serangan ke Irak semestinya tidak disebut sebagai hukum internasional. Sebaliknya, itu adalah inspirasi undang-undang kapitalis Amerika yang bertujuan untuk menjajah Irak.Lagi pula, konsep hukum internasional dan komunitas internasional secara prinsip bertentangan dengan kedaulatan suatu bangsa. Ini adalah fakta dasar dan penjelasan bagi sejumlah keputusan yang dibuat oleh PBB yang dilanggar oleh Israel, Amerika, Perancis, Inggris, Rusia, Cina, dan lainnya. Contoh ini menonjolkan perkara yang paling mendasar; yaitu, bangsa yang kuat tidak akan menyerahkan kedaulatan mereka kepada bangsa atau institusi lain. Sebaliknya, Islam tidak menjadikan kekuatan sebagai fokus untuk menguasai dunia.Produk Sang PenciptaAjaran Islam adalah ajaran Ilahi yang adil karena dibuat oleh Sang Maha Pencipta. Ajaran Islam bukan untuk kelompok tertentu tetapi untuk semua kelompok. Rasulullah melaksanakan hukum internasional dengan seadil-adilnya dan menyuruh umatnya untuk mengikuti jejak Baginda.Baginda membuat pedoman hubungan antara negara Islam dan non-Islam dalam perang dan damai. Ketika perang tidak boleh membunuh wanita, orang tua, kanak-kanak, binatang, membakar tanaman, dan merusak lingkungan. Adab dalam perang wajib dipatuhi oleh semua pejuang Islam, jika tidak maka dia termasuk musuh Nabi. Pada masa damai, perjanjian dengan negara non-Islam mesti dipatuhi dan dijunjung tinggi dengan menjaga dan melaksanakan semua aturan main.Abu Rafi adalah duta orang Quraisy dalam suatu perjanjian dengan Nabi. Tetapi setelah menandatangani perjanjian, dia ingin memeluk Islam. Nabi pun melarangnya dan memberi saran apabila dia ingin masuk Islam, dia mesti menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu dan kembali ke Makkah. Setelah itu baru kembali lagi ke Madinah sebagai orang biasa bukan utusan Quraisy.Wahshy, budak yang membunuh paman Rasulullah, yaitu Hamzah dalam Perang Uhud,
adalah tempat Baginda pernah bersumpah untuk membalas dendam. Tapi kemudian diurungkan niatnya tersebut kerena turun sebuah ayat Alquran mengenainya.Dan ketika Wahsyi diangkat menjadi utusan Habsyah, Baginda menghormatinya sebagai utusan. Nabi juga mengangkat Amr ibn Umaysh al-Damiri, seorang non-Islam sebagai duta Baginda di negara Habsyah. Nabi tidak membunuh utusan Musailamah al-Kazzab yang sudah jelas murtad karena dia dalam kapasitasnya sebagai utusan diplomatik. Semua contoh ini membuktikan betapa mulianya Nabi dan ajaran Islam.Penyebaran dan kemuliaan ilmu Islam sampai ke Eropa melalui keagungan pemerintahan Islam di Andalus. Penyebaran Islam ke Eropa mempengaruhi perkembangan hukum internasional. Kenyataan ini terbukti dengan fakta sejarah ketika raja Eropa berduyun-duyun mempelajari ilmu pengetahuan dari orang Islam. Di antara mereka adalah Roger I (Raja Sisilia), Raja Alphonse (Raja Castila), dan Raja Philip (Raja Inggris). Raja Federick II, yaitu Raja Jerman yang memanfaatkan ilmu Islam, sehingga mereka berhasil menerapkannya ke dalam kehidupan rakyatnya. Raja Frederick II, orang yang pertama memperkenalkan pemerintah yang dilembagakan di Eropa, contohnya, mendirikan sebuah universitas di Napoli pada tahun 1224, mengikuti bentuk dan susunan universitas di Cordova. Fakta seperti inilah yang sepatutnya ditonjolkan oleh umat Islam, bukan perbedaan pendapat mazhab dan pandangan; atau gambaran tentang terorisme dan ketamakan serta seorang Muslim yang berlebihan yang hanya akan menguntungkan lawan mereka saja. Ikhtisar- Hukum internasional kini hanya sesuai untuk bangsa yang kuat dan kepentingan kapitalisme serta secara prinsip bertentangan dengan kedaulatan suatu bangsa.- Sebaliknya, Islam tidak menjadikan kekuatan sebagai fokus untuk menguasai dunia.- Rasulullah melaksanakan hukum internasional dengan seadil-adilnya.- Ketika perang tidak boleh membunuh wanita, orang tua, anak-anak, binatang, membakar tanaman, dan merusak lingkungan.- Pada masa damai, perjanjian dengan negara non-Islam mesti dipatuhi dan dijunjung tinggi dengan menjaga dan melaksanakan semua aturan main.
Oleh: Irfan Islami
Berbicara tentang Hukum Internasional tidak lepas dari topik utamanya adalah Negara dan
Organisasi-organisasi internasional sebagai subyek hukumnya. Negara menjadi subyek utama
dalam teori hukum internasional seperti halnya perorangan (warga) dalam Hukum Nasional
atau Hukum Privat. Dengan semakin berkembangnya Negara dewasa ini maka aturan dan
disiplin internasional menjadi pilar penting dalam mengatur relasi internasional antar Negara
satu dengan yg lainnya. Aturan dan disiplin internasional antar bangsa inilah yg menjadi poin
pembahasan dari Hukum Internasional.
Hukum internasional telah muncul berabad-abad lamanya, diketahui sejak 2100 SM telah ada
Hukum yg mengatur hubungan antar dua negara pada wilayah Mesopotamia. Dengan
semakin berkembangnya zaman dan era dari klasik hingga modern, hal ini mempengaruhi
semakin berkembangnya teori Hukum Internasional dari para pemikir dan ilmuwan dizaman-
zaman tertentu. Kajian Hukum internasional bukanlah kajian hukum yg berumur tua dan
bersifat absolut, terhitung sejak berabad-abad sebelum masehi selalu mengalami perubahan
dan perkembangan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan geografis serta tatanan
administratif dan politik antar negara satu dgn yang lainnya.
Perumusan hasil kajian atas hubungan antar bangsa-bangsa ini menjadi suatu disiplin
keilmuan yg telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras dengan
pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia internasional. Hal ini bukan
berarti bahwa hukum internasional saat ini belum menemukan sedikitpun konsensus ilmiah di
bidang hukum yang mengalasi hamparan pandangan para pakar yang terus dan kian
berkembang. Hanya saja prinsip hukum yang nyaris tersepakati itu berpotensi besar untuk
selalu berubah dan bergeser sejalan dengan kemajuan relasi antar bangsa itu sendiri.
Sebelum kita masuk pada tujuan pembahasan, perlu kita jelaskan terlebih dahulu pengertian
hukum internasaional itu sendiri. Dewasa ini, pengertian hukum internasional (international
law/al-qonun al-dauli) telah mencapai konsensus umum untuk diartikan sebagai, sekumpulan
peraturan dan norma-norma hukum yang diberlakukan untuk mengatur hubungan-hubungan
subyek hukum internasional (bangsa-bangsa dan entitas lainnya, seperti lembaga-lembaga
dan organisasi-organisasi internasional), yang menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban serta batasan-batasan relasi yg tercipta antara para subjek hukum internasional dan
perusahaan multinasional atau individu (Warga Negara).
Dari devinisi diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian hukum internasional mencakup 3
prinsip:
- Prinsip pertama: yang berhak dan tunduk pada hukum internasional adalah subyek hukum
internasional (international personality/askhos al-qonun al-dauli) yg terdiri atas Negara-
negara dan organisasi-organisasi internasional.
- Prinsip kedua: hubungan yg berlaku adalah hubungan internasional (international
relation/al-‘alaqat al-dauliyah).
- Prinsip ketiga : `kaidah-kaidah dan norma-norma hukum internasional merupakan kaidah
wajib (obligation rules/al-qowa’id al-mulzimah) .
Akar Sejarah Hukum Internasional Publik
Hukum internasional publik sangat terkait dengan pemahaman dari segi sejarah. Melalui
pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses evolusi perkembangan hukum internasional
dapat diketahui secara faktual kronologis, melainkan juga seberapa jauh kontribusi setiap
masa bagi perkembangan hukum internasioanal. Sejarah merupakan salah satu metode bagi
pembuktian akan eksistensi dari suatu norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain
melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu kebiasaan/adat istiadat (custom/al-‘urf).
Sistem Hukum Internasional merupakan suatu produk, kasarnya dari empat ratus tahun
terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa
modern dalam hubungan serta komunikasinya dengan negara-negara lain. Tapi kita pun perlu
melihat jauh sebelum perkembangan zaman Eropa Modern yaitu pada periode klasik,
beberapa Negara telah melaksanakan Hukum Internasional secara tidak langsung, dan adapun
para ahli yang lahir sebelum zaman Eropa Modern tersebut dipandang telah memunculkan
dasar-dasar dari pemikiran mengenai adat-istiadat yang ditaati oleh masyarakat serta adanya
beberapa kasus sejarah, seperti penyelesaian arbitrasi (perwasitan) pada masa Cina Kuno dan
awal Dunia Islam yang memberikan sumbangan terhadap evolusi sistem modern Hukum
Internasional.
Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa periode evolusi
yang terbilang berkembang dengan cepat dan menarik. Fase-fase tersebut dapat kita bagi
dalam 3 pembahasan; Periode Kuno, Periode Klasik dan Periode Modern:
A. Sejarah Hukum Internasional Kuno:
Permulaan hukum internasional dapat kita lacak kembali mulai dari wilayah Mesopotamia
pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa
abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan pemimpin Umma.
Perjanjian tersebut ditulis diatas batu yang didalamnya mempersoalkan perbatasan antara
kedua negara kota tersebut, yang dirumuskan dalam bahasa Sumeria.
Bangsa-bangsa lain yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional kuno
adalah India, Yahudi, Yunani, Romawi, Eropa Barat, Cina dan Islam:
a. India
Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang
mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat
kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja
dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau
Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang
hukum.
b. Yahudi
Dalam Kitab Perjanjian Lama, bangsa yahudi mengenal ketentuan mengenai perlakuan
terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Perjanjian Lama adalah kitab suci bagi
umat Yahudi, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa ibrani. Dalam hukum perang masih
dibedakan perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga
diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.
c. Yunani
yunani kuno dibagi kedalam dua Golongan, yaitu Golongan Orang Yunani dan Luar Yunani
yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Mereka juga sudah mengenal arbitration
(perwasitan) dan diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan terbesar dari
masa ini adalah Hukum Alam, yaitu hukum yang berlaku mutlak dimana saja dan berasal dari
rasio/akal manusia. Menurut Profesor Vinogradoff, hal tersebut merupakan embrio awal yang
mengkristalisasikan hukum yang berasal dari adat-istiadat, contohnya adalah dengan tidak
dapat diganggugugatnya tugas seorang kurir dalam peperangan serta perlunya pernyataan
perang terlebih dahulu.
Dalam prakteknya dengan hubungan negara luar, Yunani kuno memiliki sumbangan yang
sangat mengesankan dalam kaitannya dengan permasalahan publik. Akan tetapi, sebuah hal
yang sangat aneh bagi sistem arbitrase modern yang dimiliki oleh arbitrase Yunani adalah,
kelayakan bagi seorang arbitrator untuk mendapatkan hadiah dari pihak yang
dimenangkannya.
d. Romawi
Pada masa ini orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis Hukum, yaitu Ius Ceville
(Hukum bagi Masyarakat Romawi) dan Ius Gentium (bagi Orang Asing). Hanya saja, pada
zaman ini tidak mengalami perkembangan pesat, karena pada saat itu masyarakat dunia
merupakan satu Imperium, yaitu Imperium Roma yang mengakibatkan tidak adanya tempat
bagi Hukum Bangsa-Bangsa. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau
konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio
servitut dan bona fides, juga asas “pacta sunt servanda” (setiap janji harus disepakati) yang
merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
Bangsa Romawi dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui tata cara
yang berdasarkan pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta istimewa atau yang
disebut Fetiales, tergabung dalam sebuah dewan yang bernama collegium fetialum yang
ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang terkait secara khusus dengan upacara-upacara
keagamaan dan relasi-relasi internasional. Sedangkan tugas-tugas fetiales dalam kaitannya
dengan pernyataan perang, merekalah yang menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bangsa Romawi atau tidak.
e. Eropa Barat
Pada masa ini, Eropa mengalami masa-masa chaotic (kacau-balau) sehingga tidak
memungkinkannya kebutuhan perangkat Hukum Internasional. Selain itu, Selain itu, Selama
abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar
sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma.
Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa
negara yang berdaulat dan Tahta Suci, dan sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.
f. Cina
Pencapaian yang menarik dari bangsa Cina adalah upaya pembentukan perserikatan negara-
negara Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu, yang dianggap telah sebanding
dengan konsepsi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada masa modern.
g. Islam
Pada periode ini umat islam terbagi-terbagi pada beberapa Negara dan bangsa, sehingga tidak
dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang dapat mewakili semua
kelompok yang terdapat didalamya. Beberapa sarjana memiliki anggapan bahwa hukum
internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif warisan Eropa.
Sehingga mereka berkesimpulan akan terdapatnya pengaruh-pengaruh yang indispensable
dari peradaban-peradaban lain, yang diantaranya adalah peradaban Islam, yang pada saat itu
merupakan kekuatan ekonomi di atas bangsa Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum
internasional Eropa dinyatakan oleh beberapa sejarawan Eropa diantaranya Marcel Boissard
dan Theodor Landschdeit.
Hukum internasional islam telah muncul jauh sebelum hukum internasional barat ada. Di
zaman Rasulullah, praktek internasional telah diberlakukan dengan seadil-adilnya. Rasulullah
telah membuat pedoman hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dalam perang dan
damai. Beliau juga telah mengadakan beberapa perjanjian-perjanjian internasional dengan
bangsa-bangsa lain.
Pakar Hukum internasional Islam modern Madjid Khaduduri mengakui, Islam memiliki
karakter agresif dengan lebih mengarah pada penaklukkan dibandingkan kristen,
sebagaimana yg tercantum dalam Wasiat Lama ataupun Baru. Hal ini menunjukkan bahwa
Hukum Islam memiliki kelebihan dalam hal pengaturan mengenai hukum perang yang lebih
komprehensif, yang dibuktikan dengan pengecualian wanita, anak-anak, orang tua, binatang
dan lingkungan sebagai kategori non-combatans, sebagaimana dinyatakan dalam pidato Abu
Bakar ra, ataupun praktek pertukaran tawanan secara besar-besaran yang diduga bermula dari
Khalifah Harun Al-Rasyid.
Dar al-islam (Negara Islam) dan Dar al-harb (Negara Non-Islam).
Sebuah perbedaan penting dibuat dalam teologi Islam adalah antara dar al-harb dan dar al-
islam. Sederhananya, dar al-harb (wilayah perang atau kekacauan) adalah nama untuk daerah
di mana Islam tidak mendominasi, dan kehendak Ilahi tidak diamati, dan terjadi perselisihan
norma didalamnya. Sebaliknya, dar al-islam (wilayah damai) adalah suatu wilayah di mana
Islam mendominasi, dan mayoritas tunduk dan taat pada Ilahi, dan di mana perdamaian dan
ketenangan menjadi tujuan pemerintahannya.
Pada awalnya, perbedaan ini tidak muncul secara sederhana, namun pada satu hal, divisi ini
dianggap sebagai hukum daripada teologis. Dar al-harb tidak terlepas dari dar al-islam, ada
hal-hal dimana popularitas muslim bukanlah faktor utama sebagai identitas wilayah, akan
tetapi dipengaruhi oleh sistem pemerintah yang memiliki kendali penting dalam Negara.
Sebuah bangsa berpenduduk mayoritas Muslim yang tidak diperintah oleh hukum Islam
dapat disebut sebagai dar al-harb, sementara bangsa minoritas Muslim yang diperintah oleh
hukum Islam dapat memenuhi syarat sebagai bagian dari dar al-islam.
Islam adalah agama yang lebih terfokus pada perilaku yang tepat (ortopraksi) daripada
keyakinan dan iman (ortodoksi). Dalam islam, iman seseorang bisa bertambah dan bisa
berkurang sesuai dengan prilaku dan usaha yg dilakukannya. Keimanan seseorang akan
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dari sini kita dapat
simpulkan ketika dar al-islam benar-benar berdiri, maka hal ini akan berpengaruh pada
semakin meningkatnya keimanan seseorang (penduduknya), karena prilaku masyarakat yang
baik dan benar menjadi asas terbentuknya kehidupan yg harmonis, aman dan damai.
Islam juga merupakan agama yang tidak pernah memiliki ideologi atau tempat teoritis
pemisahan antara politik dan bidang agama. Dalam Islam ortodoks, kedua istilah ini
merupakan suatu fundamental dan harus dihubungkan. Itu sebabnya dalam divisi ini, antara
dar al-harb dan dar al-islam lebih didefinisikan sebagai kontrol politik daripada popularitas
agama.
Sifat dar al-harb yang secara harfiah berarti "wilayah perang," perlu dijelaskan sedikit lebih
detail. Untuk satu hal ini, diidentifikasikan sebagai daerah kekacauan yang didasarkan pada
premis (dasar pikiran), bahwa perselisihan dan konflik merupakan konsekuensi dari orang yg
gagal mengikuti kehendak Tuhan. Secara teori, setidaknya, ketika semua orang konsisten
dalam ketaatan mereka kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah, maka itu akan berdampak
pada terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis antara satu dengan yg lainnya.
Hubungan Dar al-Islam dan Dar al-harb:
Negara islam (Daulah al-Islamiyah) merupakan suatu negara yg berdiri berasaskan pada satu
keyakinan (‘aqidah/iman), dan para penduduknya bersatu dalam kesatuan suku bangsa yaitu
satu ummat (ummatun wahidah) yang tidak dibedakan atas dasar jenis, bahasa, adat dan
budaya ataupun oleh faktor perbedaan lainnya. Mereka adalah saudara sebagaimana dalam
firman Allah SWT. “Sesungguhnya Orang-orang mu’min itu adalah saudara” dan dalam ayat
yang lainya, “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu
dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Al-Anbiya; 92).
Hubungan Negara Islam dengan Negara-negara lainnya bisa dibedakan dalam dua kondisi;
kondisi perang dan kondisi damai.
Kondisi Perang:
Ketika Negara islam berada dalam kondisi diserang oleh Negara-negara musuh, maka perang
hukumnya wajib, sebagaimana dalam firman Allah: “Allah tiada melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S Al Mumtahanah: 8 dan 9)
Banyak di temui dalam sejarah: orang-orang kafir yang membantu kaum muslimin dalam
perjuangan Islam seperti dalam penaklukan Spanyol dan penaklukan Mesir. Mereka mengusir
orang-orang Romawi dengan bantuan orang Qibti. Banyak pula di antara orang-orang kafir
yang diangkat sebagai pegawai pada kantor-kantor Pemerintah di masa Umar bin Khattab dan
pada masa kerajaan Umawiyah dan `Abbasiah, bahkan ada di antara mereka yang diangkat
menjadi duta mewakili pemerintahan Islam. Dari sini menggambarkan bahwa islam
menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban
antara penduduk-penduduknya (Muslim dan non-Muslim). Namun, apabila orang-orang kafir
memerangi dan mengsusir penduduk Muslim dari negerinya, maka perang menjadi wajib
hukumnya.
Kondisi Damai:
Sedangkan ketika dalam kondisi damai, telah kita jelaskan sebelumnya bahwa islam sangat
menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan tanpa memandang perbedaan ras, suku, jenis,
adat dan budaya. Dalam kondisi ini, hubungan antara Negara islam dengan Negara-negara
lain (non-islam) sebatas pada menjalin hubungan kerjasama (perdamaian) dan perjanjian-
perjanjian baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll. Sesungguhnya Islam
cenderung pada kedamaian sesuai dengan makna harfiyahnya ‘Islam=damai’, bukan
perang/memusuhi, dan islam melarang seorang muslim untuk membunuh orang lain hanya
karena beda keyakinan (agama) atau karena kesalahan yg dilanggar olehnya, tetapi islam
memberikan wewenang untuk melawan apabila diserang, dan perang dalam islam memiliki
dua tujuan utama, yaitu: menangkis agresi (permusuhan/perlawanan) dan melindungi serta
mengokohkan risalah da’wah al-islamiyah.
Asas dari pendapat ini adalah firman Allah SWT. “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil” (Q.S Al Mumtahanah: 8), dan diayat yang lainnya: “Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan
janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu
di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi),
kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah; 190-193).
Islam melarang (dalam perang) membunuh wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua,
biarawan, dan orang-orang yang cacat (buta, dll), karena mereka bukan dari golongan prajurit
perang.
Dewasa ini, dan yang masih hangat-hangatnya saat ini adalah isu terorisme yg ditujukan pada
gerakan dan organisasi-organisasi islam oleh dunia internasional khususnya wilayah barat.
Pada pembahasan kali ini tidak akan kami jelaskan secara detail, karena akan keluar pada
topik kajian kita saat ini. Namun, sedikit kami tambahkan, bahwa ideologi yang
menghalalkan segala cara untuk memerangi dan membunuh orang-orang kafir adalah tidak
benar. Orang-orang kafir dalam hubungannya dengan islam terbagi menjadi empat golongan:
a. Ahlu Dzimmah (penduduk non-muslim yang bermukim di Negara islam),
b. al-Musta’min (orang asing yang dapat perlindungan, yang masuk dalam Negara islam
untuk keperluan wisata, study, dll dan dengan waktu yg terbatas),
c. al-Mu’ahhad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum
muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati),
d. al-harbi (orang asing yang masuk ke Negara islam dengan tujuan memusuhi dan
memerangi dan merampas hak-hak orang-orang muslim).
Untuk golongan yang pertama, sebelumnya telah dijelaskan bagaimana islam memberikan
tempat dan wilyah kepada orang-orang non-muslim dalam hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya sebagai penduduk Negara islam. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan
yg sama dan adil baik dalam kehidupan pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial.
Rasululullah SAW. Bersabdah: “barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah maka akulah
lawannya, dan siapa-siapa yang menjadi lawanku maka dihari kiamat dia akan tetap menjadi
lawanku” al-khatib al-jami’ 2/269.
Sedangkan untuk golongan yang kedua al-musta’min, hubungannya dapat kita jelaskan
dengan ‘aqdul amman (akad keamanan), yaitu komitmen masing-masing untuk saling
menjaga keamanan dan keselamatan dari gangguan/bahaya, dan komitmen untuk tidak
menciptakan kerusakan dan bahaya. Allah SWT. berfirman dalam hal ini: “Dan jika seorang
di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)
Untuk golongan yang ketiga yaitu Al-Mu’ahhad, Rasulullah SAW bersabdah: “Siapa yang
membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga
itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
Sedangkan golongan yang terakhir adalah golongan yang wajib untuk diperangi adalah
golangan al-harbi, sebagaimana dalam firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah 190-193
seperti yang telah tertulis sebelumnya “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu….”. Mereka inilah yang menjadi musuh islam yang sesungguhnya, yang
hendak memerangi, mengusir dan membuat kerusakan dimuka bumi. Dan masih banyak
dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang menganjurkan untuk memerangi orang-orang kafir
(al-harbi).
B. Permulaan Hukum Internasional Klasik
Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci menjadi kota
mandiri, kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa untuk pertama kalinya menyatakan
kebutuhannya akan aturan perilaku antara masyarakat internasional secara besar-besaran.
Sebagian besar Negara-negara Eropa meruju’ pada kode Justinian hukum dari Kekaisaran
Romawi dan hukum kanon Gereja Katolik untuk mencari inspirasi.
Perdagangan internasional adalah katalis nyata untuk tujuan pengembangan aturan-aturan
perilaku antar negara. Tanpa aturan dan kode etik, ada sedikit hal yang menjamin perda-
gangan dan melindungi para pedagang asing dari tindakan-tindakan yang mengancam.
Kepentingan ekonomi inilah yang mendorong terjadinya evolusi kebiasaan internasional
untuk mengatur perdagangan luar negeri, dan yang paling penting adalah aturan dan
kebiasaan hukum maritim.
Seperti halnya dalam perdagangan internasional, eksplorasi dan peperangan menjadi faktor
yang menghalang distribusi kebutuhan untuk umum dan terealisasinya praktek-praktek
kebiasaan internasional. Di abad ke-13 M, muncul perhimpunan Liga Hanseatik untuk
memperkuat kesehatan ekonomi dari kota-kota Jerman Utara yang bersatu. Dari sini
perdagangan internasional berkembang pesat, dan Hamburg menjadi pelabuhan utama dalam
perdagangan antara Rusia dan Flandria dengan posisinya sebagai penguasa dan penjaga
sungai Elbe. Kota di Italia menjadi pengatur diplomatik negara-negara berkembang, ketika
mereka mulai mengirim duta besar modal asing. Perjanjian-perjanjian antara pemerintah
dimaksudkan untuk mengikat dan menjadi alat yang berguna untuk melindungi perdagangan.
Kengerian Perang Tiga Puluh Tahun Sementara itu melahirkan kecaman untuk menciptakan
peraturan-peraturan tempur yang akan melindungi masyarakat sipil.
Permikiran Fransisco Vittoria (1480-1546).
Fransisco Vittoria adalah seorang Biarawan Dominikan berkebangsaan Spanyol, menulis
buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS.
Ia beranggapan bahwa Negara dalam tingkah lakunya seperti individu, tidak boleh bertindak
sesuka hati (Ius Intergentes), akan tetapi Negara memerlukan aturan dalam menjalankan
hubungan internasional. Dengan demikian, hukum bangsa-bangsa yang ia namakan ius
intergentes tidak hanya terbatas pada dunia kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh umat
manusia.
Pemikiran Hugo Grotius (1583-1645)
Praktek internasional, adat-istiadat, peraturan dan perjanjian berkembang biak sampai pada
titik kerumitan. Beberapa sarjana mencoba mengkompilasi hingga terlahir risalah yang
terorganisir. Yang Paling penting diantaranya adalah Hugo Grotius, risalah De Jure Belli Ac
Pacis Libri Tres (hukum perang dan damai) tahun 1625, yang dianggap sebagai titik awal
bagi perkembangan hukum internasional modern. Sebelum Hugo Grotius, kebanyakan para
pemikir Eropa beranggapan bahwa hukum diperlakukan sebagai sesuatu yang independen
dari manusia, dengan bersandarkan pada hukum alam.
Pemikiran Grotius tidak begitu berbeda dengan yang lainnya kecuali dalam satu hal penting,
Pemikir-pemikir sebelumnya percaya bahwa hukum alam itu diberlakukan oleh dewa,
sedangkan Grotius percaya bahwa hukum alam berasal dari universal dan bersifat umum
untuk semua orang.
Perspektif rasionalis ini memungkinkan Grotius untuk menempatkan beberapa hukum yang
mendasari prinsip-prinsip rasional. Hukum tidak dipaksakan dari atas, tetapi berasal dari
prinsip-prinsip, termasuk prinsip-prinsip dasar aksioma (yang tetap atau dianggap terbukti
dengan sendirinya) dan restitusi (hal yang merugikan diperlukan yang lain). Kedua prinsip ini
telah menjadi dasar bagi sebagian besar hukum internasional berikutnya. Selain dari prinsip-
prinsip hukum alam, Grotius juga menghubungkannya dengan kebiasaan internasional,
peraturan tentang apa yang "seharusnya" dilakukan. Hal ini merupakan pendekatan hukum
internasional positif (al-madrosah al-maudu’iyah lil qonun al-dauli) yang diperkuat dari
waktu ke waktu.
Perjanjian Westphalia 1648
Hukum Internasional modern menjadi suatu sistem hukum yang mengatur hubungan
internasional, yang lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat Internasional yang
didasarkan pada negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional
yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia
yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum
Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern
yang didasarkan atas negara-negara nasional, sebabnya adalah :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan
dalam peta bumi politik sebagai dampak perang di Eropa.
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri usaha Kaisar Romawi suci untuk berkuasa selama-
lamanya.
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan
didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
4. Kemerdekaan negara Netherland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam
Perjanjian Westphalia.
Selain itu, Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional
yang baru, baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi
didasarkan atas kerajaan-kerajaan), maupun mengenai hakekat negara itu dan
pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini
dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan adalah:
1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan
persamaan derajat.
3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar
pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil
pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan
antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan
terhadap hukum ini.
6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk
memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
7. Lunturnya anggapan perang yang berkaitan dengan segi-segi keagamaan, beralih dari
anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang
menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia ini diperteguh dalam Perjanjian
Utrech, yaitu perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1713 yang membantu mengakhiri
Perang Suksesi Spanyol.
C. Hukum Internasional Modern:
Dalam Hukum internasional modern, keputusan pengadilan dan perjanjian/traktat lebih
berpengaruh dari pada pendapat ahli hukum. Ada beberapa sumber-sumber hukum
internasional yang turut mempengaruhi lahirnya hukum internasional tertulis. Secara
karakteristik, sumber hukum internasional dapat dibagi menjadi dua; Pertama adalah sumber
formil (al-mashadir al-syakliyah / formal source), kedua adalah sumber materil (al-mashodir
al-madiyah / material source). Secara singkat, sumber formil dapat diartikan sebagai segala
proses prosedural yang melegalisi hukum internasional secara nyata. Sedangkan sumber
materil adalah segala sesuatu di mana hukum internasional bersumber dari padanya dan
menjadi asas. Beberapa sumber valid yang dapat dijadikan sandaran hukum internasional
adalah sebagai berikut:
a. Adat istiadat/kebiasaan Internasional (al-'urf al-dauli/International Custom)
Asas kebiasaan merupakan suatu sumber hukum internasional yang tersepakati keabsahannya
dalam mendasari peraturan-peraturan antar negara. Para pakar hukum internasional
bersepakat bahwa perilaku kebiasaan internasional mempunyai dua elemen. Pertama, adalah
elemen psikologikal (al-'unshur al-ma'nawi) yaitu, tercapainya suatu pengakuan dunia
internasional akan legalitas suatu aksi kebiasaan tertentu dan tumbuhnya komitmen untuk
menghormatinya. Kedua, adalah elemen materil (al-'unshur al-maadi), elemen kedua ini akan
terpenuhi dalam suatu perilaku tertentu bila di dalamnya terdapat dan terpenuhinya beberapa
sub elemen sebagai berikut:
1. Kecukupan Temporalistis (Fatroh Zamaniah Mu'ayyanah/Duration of Practice)
2. Generalitis ('Umumiyah al-Suluk/ Extend of Practice)
3. Keterpaduan (Ittisaqi/Uniform)
b. Perjanjian Internasional (Mu'ahadat/Treaties)
Perjanjian internasional adalah suatu kesepakatan yang tunduk di bawah peraturan hukum
internasional, baik berupa kesepakatan umum ataupun khusus yang melibatkan dua Negara
atau lebih. Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern adalah konsep
"persetujuan/perjanjian". Sebelum Perang Dunia II, negara tidak akan dipertimbangkan untuk
terikat dengan aturan tertentu, kecuali setelah adanya persetujuan resmi atau sudah menjadi
hal yang lazim untuk mematuhinya.
Perjanjian modern ditafsirkan sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian. Konvensi ini sangat diterima secara luas, bahkan bangsa yang tidak berpihakpun
mengikuti konvensi ini. Dalam konvensi ini, aturan yang paling penting dan masuk akal
adalah bahwa suatu perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan makna polos bahasanya,
dengan konteks tujuan dan dengan itikad yg baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya
pertikaian dan pertengkaran seputar penafsiran perjanjian atau dalam istilahnya nit-picking.
Dalam dunia modern, perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang lebih penting
dari yang lainnya. Bahkan negara yang paling kuat bergantung padanya dan berusaha untuk
memenuhinya. Dan apabila mengabaikannya maka kerugian adalah konsikuensinya.
c. Prinsip Hukum Umum (Al Mabadi' al Ammah Lil Qonun/General Principles of Laws)
Meskipun bukan merupakan sumber pokok hukum internasional sebagaimana dua sumber
yang telah disebutkan di atas, sumber yang ketiga ini juga diakui publik internasional sebagai
salah satu sumber hukumnya. Walaupun devinisi tentang sumber hukum ini belum mencapai
kata sepakat, setidaknya pengertian yang biasa dipakai dalam mengartikan sumber hukum ini
adalah prinsip-prinsp umum yang diakui legalitas dan kekuatan hukumnya oleh semua
bangsa-bangsa masyarakat internasional, sebagai contohnya adalah tentang prinsip
tanggungjawab atas tindakan yang merugikan pihak lain dan semacamnya.
d. Keputusan Hukum Internasional (Ahkamu al-Qodlo al Dauli/ Judicial Decisions)
Sumber ke empat ini sebenarnya adalah sumber hukum internasioanal yang bersifat
cabang/sub (al mashdar al ihtiyathi / subsidiang source), sehingga meskipun keputusan ini
hakikatnya hanya berlaku bagi Negara-negara yang menjadi subyek penghakiman, namun
keputusan yang diambil atas Negara tersebut bisa dijadikan sebagai argumentasi pada suatu
kasus yang sama pada Negara yang berbeda.
D. Hukum Internasional Islam
Pakar dan peneliti hukum internasional modern menjadikan buku Grotius sebagai dasar ilmu
hukum internasional, padahal buku tersebut baru muncul pada abad ke-17 M atau pada tahun
1625. Sebaliknya, ulama Islam dengan bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis telah menulis
buku mengenai hukum internasional sekitar 1.000 tahun sebelumnya. Yaitu, dimulai dengan
penulisan Zaid bin Ali (wafat tahun 122 H). Diakui bahwa Imam Abu Hanifah (wafat tahun
150 H) memberikan ceramah dengan judul Hukum Internasional Islam, Beliau termasuk
orang pertama yang menggunakan istilah syiar untuk hukum tersebut, hal ini dilanjutkan oleh
sahabat dan muridnya, Muhammad bin Hassan al-Shaibani (wafat tahun 189 H), dengan
menulis dua buku Kitab al-Siyar al-Saghir dan Kitab al-Siyar al-Kabir. Imam Malik (wafat
tahun 189 H) juga mengkhususkan beberapa bab mengenai hukum internasional dalam
kitabnya al-Muwattha.
Dalam konteks internasional, hubungan antara negara diatur oleh satu hukum internasional
yang definisinya adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara negara serta
menentukan hak dan kewajiban bagi setiap negara dalam keadaan damai atau perang. Maka
peraturan yang dijadikan sebagai hukum internasional semestinya diawasi dan dipegang oleh
suatu badan pelaksana (eksekutif) yang mempunyai wewenang agar semua negara
mematuhinya.
Konsep Hukum Internasional Islam adalah berdasarkan kepada nilai (value), bukan
kepentingan (interest) seperti yang dipraktekkan oleh Barat sepanjang sejarah. Barat
menempatkan kekuatan sebagai fokus hubungan internasional. Hukum internasional, menurut
Barat adalah hukum negara kuat dalam memaksakan kehendaknya. Kita lihat saja apa yang
terjadi di Palestina, Afghanistan, Irak, Sudan, dan Iran. Semua keputusan yang tidak
memihak kepentingan Barat pasti ditolak dan semua keputusan yang memihak kepada
kepentingan mereka akan didukung walaupun diperlukan satu adegan diplomatik dalam
prosesnya.
Islam secara umum, Dr. M. Abu Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang
kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin, Yaitu :
1. Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk terhormat. Ia
sebagai khalifah di muka bumi.
2. Manusia sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan saja oleh proses teori evolusi
historis dari satu keturunan Nabi Adam as, melainkan juga oleh sifat kemudian yang
universal.
3. Prinsip kerjasama kemanusiaan (ta’awun insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan.
4. Prinsip toleransi (tharsomah) dan tidak merendahkan pihak lain.
5. Adanya kemerdekaan (hurriyah/istiqlal). Kemerdekaan menjadi sangat penting sebab
merupakan akar pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.
6. Akhlak yang mulia dan keadilan.
7. Perlakuan yang sama dan anti diskriminasi.
8. Pemenuhan atas janji.
9. Islam menyeru kepada perdamaian, karena itu harus mematuhi kesepakatan merupakan
kewajiban hukum dan agama.
10. Prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan.
Ajaran Islam adalah ajaran Ilahi yang adil karena dibuat oleh Sang Maha Pencipta. Ajaran
Islam bukan untuk kelompok tertentu tetapi untuk semua kelompok (rahmatan lil ‘alamin).
Rasulullah melaksanakan hukum internasional dengan seadil-adilnya dan menyuruh umatnya
untuk mengikuti jejak Baginda. Beliau membuat pedoman hubungan antara negara Islam dan
non-Islam dalam perang dan damai (-seperti yang telah kita jelaskan sebelumnya-). Ketika
perang tidak boleh membunuh wanita, orang tua, anak-anak, binatang, membakar tanaman,
dan merusak lingkungan. Adab dalam perang wajib dipatuhi oleh semua pejuang Islam, jika
tidak maka dia termasuk musuh Nabi.
Pada masa damai, perjanjian dengan negara non-Islam harus dipatuhi dan dijunjung tinggi
dengan menjaga dan melaksanakan semua aturan main. Abu Rafi adalah duta orang Quraisy
dalam suatu perjanjian dengan Nabi. Tetapi setelah menandatangani perjanjian, dia ingin
memeluk Islam, Nabi pun melarangnya dan memberi saran apabila dia ingin masuk Islam,
dia mesti menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu dan kembali ke Makkah, setelah itu baru
kembali lagi ke Madinah sebagai orang biasa bukan utusan Quraisy. Wahshy, budak yang
membunuh paman Rasulullah, yaitu Hamzah dalam Perang Uhud, adalah tempat Rasulullah
pernah bersumpah untuk membalas dendam, tapi kemudian diurungkan niatnya tersebut
kerena turun sebuah ayat Alquran mengenainya. Dan ketika Wahsyi diangkat menjadi utusan
Habsyah, Beliau menghormatinya sebagai utusan. Nabi juga mengangkat Amr ibn Umaysh
al-Damiri, seorang non-Islam sebagai duta Rasulullah di negara Habsyah. Nabi tidak
membunuh utusan Musailamah al-Kazzab yang sudah jelas murtad karena dia dalam
kapasitasnya sebagai utusan diplomatik. Semua contoh ini membuktikan betapa mulianya
Nabi dan ajaran Islam dalam kaitannya dengan hukum internasional.
Penyebaran dan kemuliaan ilmu Islam sampai ke Eropa melalui keagungan pemerintahan
Islam di Andalus. Penyebaran Islam ke Eropa mempengaruhi perkembangan hukum
internasional. Kenyataan ini terbukti dengan fakta sejarah, ketika raja Eropa berduyun-duyun
mempelajari ilmu pengetahuan dari orang Islam, diantara mereka adalah Roger I (Raja
Sisilia), Raja Alphonse (Raja Castila), dan Raja Philip (Raja Inggris). Raja Federick II, yaitu
Raja Jerman yang memanfaatkan ilmu Islam, sehingga mereka berhasil menerapkannya ke
dalam kehidupan rakyatnya. Raja Frederick II, orang yang pertama memperkenalkan
pemerintah yang dilembagakan di Eropa, contohnya, mendirikan sebuah universitas di Napoli
pada tahun 1224, mengikuti bentuk dan susunan universitas di Cordova.
Dalam salah satu surat kabar Indonesia Republika tanggal 27 Juni 2009, memberitakan
bahwa ajaran Islam diakui telah memberi pengaruh dan memperkaya hukum-hukum
pengungsi internasional modern. Sebuah studi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyebutkan bahwa pengaruh dan sumbangan Islam bagi hukum internasional tentang
pengungsi lebih besar dibandingkan sumber-sumber lainnya. Pimpinan Komisi Tinggi PBB
untuk Pengungsi (UNHCR), Antonio Guterres, dalam kata sambutan hasil studi yang
dilakukan organisasi internasional itu mengatakan; ''Komunitas internasional harus
menghargai dan mengakui kontribusi ajaran Islam yang mengajarkan kebaikan dan
keramahtamahan bagi hukum modern,''
Kontribusi lain yang lebih praktis, yaitu tumbuhnya negara-negara muslim sekitar
pertengahan abad ke-20-an, terutama sejak dideklarasikannya sepuluh Dasasila Bandung,
hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Banyak negara di belahan benua Asia
dan Afrika yang pada akhirnya melepaskan diri dari penjajahan dan merdeka. Seperti halnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yg memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17
Agustus 1945, dan negara Mesir beserta Negara-negara Arab lainnya menjadi negara pertama
yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia setelah dijajah oleh Belanda. Dengan
demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi Republik Indonesia. Dua
puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1973, negara-negara Islam sepakat untuk
mendirikan Organisasi dunia yang dinamakan Organisasi Konferensi Islam Internasional atau
OKI. Soekarno dan Gamal Abdul Natsir (Presiden Mesir) telah memainkan peranan penting
dalam pembentukan OKI tersebut.
Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, hukum internasional
adalah suatu kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan internasional antara
para subyek hukum internasional. Hukum internasional telah muncul sejak berabad-abad
lamanya, namun bukan berarti kajian Hukum internasional berumur tua dan bersifat absolut.
Hal ini disebabkan karena hukum internasional telah, sedang dan akan terus mengalami
sentuhan perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda
dunia internasional.
Para pakar hukum internasional sepakat bahwa sejarah merupakan salah satu metode bagi
pembuktian akan eksistensi dari suatu norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain
melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu kebiasaan / adat istiadat
(custom/al-‘urf). Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa
periode evolusi, yaitu; periode kuno, klasik dan modern.
Hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif adalah
warisan Eropa, akan tetapi ada pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-
peradaban lain, yang diantaranya adalah peradaban Islam. Ajaran islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadis telah menjadi pedoman penting munculnya kaidah dan prinsip dasar
tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin.
Perlu dibedakan konsep hukum internasional dalam praktek dan hukum internasional sebagai suatu
dokumen tertulis dan/atau teori. Perbedaan ini terkadang menimbulkan persoalan yang dapat mengarah
pada perdebatan yang tidak henti-heptinya. Di satu pihak hukum internasional mengatur hubungan antar
subyek hukum untuk menjamin rasa keadilan, keamanan, dan ketertiban sedang di pihak lain sebagai
suatu kenyataan dalam praktek bahwa begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh subyek hukum
interriasional sehingga dirasakan oleh subyek hukum tertentu sebagai kondisi yang penuh dengan
ketidakadilan, ketidakamanan, dan ketidaktertiban. Kondisi inilah yang mengundang pertanyaan,
bagaimana perkembangan hukum internasional dan waktu ke waktu sampai era kontemporer. Berikut ini
adalah uraian tentang sejarah hukum internasional secara kronologis beserta argumen-argumen dalam
praktek hubungan antar bangsa.
2 Sejarah Hukum Internasional
Dalam menguraikan sejarah perkembangan hukum intemasional sejak keruntuhan Romawi hingga abad
kelima belas oleh para penulis Barat, sangat langka mengungkap peranan para ilmuwan dan kerajaan-
kerajaan Islam ketika mencapai puncak kejayaan. Pada umumnya dalam memaparkan perkembangan
sejarah hukum internasional pada periode abad pertengahan, mereka hanya mengungkap tokoh-tokoh
dari Eropah Barat, setelah perkembangan di negara-negara Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi,
langsung saja pada tokoh-tokoh yang dianggap pelopor hukum internasional di negara-negara Barat,
seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria (1486-1516) dan Suarez (1548-1617). Padahal, pada
saat itu kerajaan-kerajaan dan ilmuwan Muslim pun ikut andil dalam membangun hukum internasional
hingga pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga belas
sementara Eropah masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan.
Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan
negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan
kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah
lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah
mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa
perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan,
sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan.
Tidak banyak terungkapkan tentang kontribusi Islam dalam praktek hukum intemasional pada masa
silam, khususnya pads masa kejayaan negara-negara Islam, nampaknya karena lemahnya publikasi
terutama oleh para sejarawan Muslim. Hamed A. Rabie (1981), seorang yang menulis “Islam and
International Forces ” mengemukakan bahwa segala peristiwa penting yang terjadi sampai akhir abad 3
Hijrah – termasuk periode Harun Al-Rasyid – tidak mendapat tempat sama sekali dan tidak ditemukan
bukti-bukti yang menunjukkan pemahaman dan persepsi politik yang membentuk pemikiran tentang
kepemimpinan Islam. la pun mempertanyakan, apakah masuk akal suatu imperium yang mempunyai
wilayah demikian luas tidak mempunyai konsep politik apa pun untuk hakikat dan segi-segi interaksi
dengan dunia luar? la mencontohkan sebuah tulisan yang tak kurang pentingnya berjudul “Themes of
Islamic Civilization ” (Tema-tema Peradaban Islam) yang ditulis oleh Alden Williams ternyata
meninggalkan segala segi yang berhubungan dengan persepsi Islam terhadap dunia luar. Lebih lanjut,
Hamed A. Rabie mengakui bahwa masalah hukum internasional dalam Islam belum merupakan obyek
studi sampai sekarang. Menurutnya, ada dua fenomena yang perlu mendapat perhatian:
Pertama, fenomena umum tulisan hasil karya Barat tentang sejarah hukum internasional pada abad
pertengahan dengan sikap melupakan peranan yang pernah dimainkan oleh peradaban Islam dalam
membina tradisi hukum internasional. Pada masa ini, konsep umum hukum internasional adalah konsep
Yahudi. Katholik dan Islam tidak memiliki persepsi sendiri.
Kedua, apabila menyelidiki tulisan-tulisan yang bernafaskan Islam, sekarang maupun terdahulu, tidak
terdapat perhatian sungguh-sungguh terhadap dunia luar. Sesungguhnya, di negara-negara Islam tempo
dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan karya-karya besar, seperti:
1) Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads 260-339 H atau 870-950 M,
seorang filsuf dan politikus terkenal dengan teorinya “Madinatu’l Fadilah” yang diterjemahkan menjadi
Negara Utama (Model State).
2) Ibnu Sina (dalam tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch (sekarang Afganistan), hidup pads 370-428
H atau sama dengan 980-1037 M, seorang dokter politikus, terkenal dengan teorinya “Siyasatu `rrajul”
yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis (Socialistic State).
3) Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada 450-505 H atau 1058-1111, seorang
sufi-politikus. la terkenal dengan teorinya “Siyasat ul Akhlaq ” yang terkenal dinamakan Negara Akhlak
(Ethical State).
4) Ibnu Rusjd (dalam tulisan barat dikenalAverroes) dari Cordova, Andalusia (sekarang, Spanyol), yang
hidup pada 520-595 H atau sama dengan 1126-1198 M, seorang hakim-politikus, terkenal dengan teorinya
“Al Jumhuriyah wa’I Ahkam “, yang secara populer dinamakan pula “Negara Demokrasi” (Democtratic
State).
5) Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H atau sama dengan 1332-1406
M, seorang sosiolog¬politikus yang terkenal dengan teorinya “Al Ashabiyah wa’1¬Igtidad ” yang lebih
populer dengan “Negara Persemakmuran” (Welfare State).
Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan/ studi hukum internasional dari
kelima teori tersebut adalah “Madinatu’1 Fadilah” yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al
Farabi membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas tiga tingkatan sbb.:
a. Kamilah Sugra (Masyarakat Kecil atau Negara Nasional)
b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)
Namun Al-Farabi tidak secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga tingkatan bentuk negara. la hanya
menyebut satu istilah untuk mayarakat kota yang sempuma dan diakui sudah berhak menj adi negara
yang disebut “Madinah Kamilah”.
Bertolak dari pemikiran Hamed A.Rabie ini, nampaknya ada kesalahan dalam menyajikan sejarah hukum
internasional, terlepas apakah disengaja maupun tidak. Sebagai ilustrasi, di kalangan para ilmuwan dan
para penulis Barat maupun mahasiswa di bidang studi hukum internasional telah dikenal bahwa St.
Thomas Aquino (1226¬1274) dianggap telah memberi garis-garis besar (basic principles) bagi Negara
Dunia. Bahkan dalam buku “Indonesia dan Hubungan Antarbangsa” yang ditulis oleh Sumarsono
Mestoko (1985) dikemukakan bahwa Santo Thomas Aquinas adalah pelopor dalam hubungan dan hukum
internasional. Padahal apabila mengungkap sejarah, ternyata St. Thomas Aquinas adalah murid yang
setia dari Al Farabi dan pengikut dalam Aristotelianisme yang dihimpunkan oleh Al Farabi. Dengan
demikian, tidak mengherankan bahwa teori negara dunia yang dikemukakan oleh para ahli kemudian
adalah berasal dari faham Kamilah ‘Uzma Al Farabi.
Sebagai seorang filsuf-politikus muslim, Al Farabi tentunya mengembangkan teorinya didasari oleh
ajaran-ajaran Islam yang ada dalam Al Qur’ an. Di dalam Kitab Suci ini telah dikemukakan 5 prinsip hidup
dalam lingkungan masyarakat internasional, yakni:
1) Tentang asal kejadian manusia dari kejadian yang lama (Cre¬ation of mankind from the same couple)
yang tertera dalam QS An Nisa ayat 1 dan QS Al Hujarat ayat 13.
2) Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al
Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20.
3) Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat
104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107.
4) Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar
Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13.
5) Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat
62 dan QS Al Maidah ayat 69.
3 Zaman Hubungan Antar Negara Modern
Masa kelahiran negara modem diawali oleh suatu gerakan Re¬naissance (Pencerahan) yang terjadi di
Eropah dan sekaligus mengakhiri masa periode abad pertengahan (Middle Ages). Masa renaissance
dianggap pula sebagai masa transisi dari mass kegelapan di Eropah (the Dark Ages) kepada masa
negara-bangsa modem, eksplorasi, dan permulaan dalam bidang komersial. Renaissance disebut pula
sebagai gerakan kebangkitan Eropah yang terjadi pada abad ke-14, dan mencapai puncaknya pads abad
ke-15 dan 16 Masehi. Setelah lahimya pemikiran bare ini, hokum antar bangsa lebih banyak dilakukan
melalui negara daripada melalui individu. Raja-raja di Eropah tidak lagi tunduk pada kekuasaan Gereja.
Re- . naissance telah betul-betul merubah tatanan kehidupan yang biasa dilakukan pada abad
pertengahan.
Munculnya negara-negara modem ditandai dengan adanya pembentukan negara-negara besar dengan
asas kedaulatan (Sovereighnty) yang menyatakan bahwa seorang penguasa di suatu wilayah negara
mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah dan atau negaranya. Dengan demikian
bangsa dan negara lain harus saling menghornati eksistensi dan integritas bangsa dan negara lainnya.
Kelahiran negara-negara modem ini dimulai sejak adanya perjanjian perdamaian Westphalia (1648), yakni
peristiwa yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Eropah. Negara¬negara Eropah pada saat
itu mulai menginjakkan kaki di benua lain, Asia, Afrika, bahkan Amerika, dan memperoleh wilayah
jajahan/ kolonial.
Perkembangan hukum internasional pada abad ke- 16, 17, dan 18, secara teoritis banyak didominasi oleh
para ilmuwan-ilmuwan Barat terutama dari Spanyol, Belanda dan Italia. Alberico Gentilis, seorang sarjana
hukum dari Italia menerbitkan buku yang berjudul De Jure Belli Libri Tres (1958) sangat mempengaruhi
terhadap pemikiran-pemikiran penulis berikutnya. Hugo de Groot (1583¬1645) atau dikenal pula dengan
nama Grotius, seorang Belanda ahli hukum internasional modem karena berhasil menulis buku yang
berjudul De Jure Praedae dan De Jure Belli Ac Pacis (1625). Selain itu, is pun mengemukakan konsepsi
Mare Liberium (konsepsi laut bebas). Di Inggris, ahli hukurn intemasional yang beraliran posi¬tivist
bernama Zouche (1590-1660) sedangkan yang lainnya adalah Puffendorf (1632-1694), seorang yang
beraliran hukum kodrat.. Dengan kata lain, masa hubungan antarnegara modem ini ditandai oleh
banyaknya lahir penulis-penulis hukum dan hubungan intemasional.
4 Zaman Abad Kesembilan Belas dan Dua Puluh (Super State Stage)
Perkembangan hukum intemasional pads abad kesembilan belas mengalami perubahan bila
dibandingkan dengan kondisi parla masa negara modem. Menurut Holsti (1983), hal yang paling
menonjol dari perkembangan pads abad kesembilan belas adalah ditandai oleh adanya kebangkitan
nasionalisme dari setiap negara-bangsa, adanya perang teknologi, dan terjadinya konflik ideologi.
Apabila pada abad sebelumnya, banyak negarawan dan raja yang saling mempertukarkan wilayah secara
mudah dengan kriteria pertimbangan strategi dan ekonomi, maka pada abad kesembilan belas, banyak
pemimpin nasionalis yang berpendapat bahwa landasan yang sah untuk menentukan suatu organisasi
politik (negara) adalah kelompok etnik atau kelompok bahasa yang jelas dan oleh karena itu negara
harus berdasarkan pada alasan nasionalisme. Akibat adanya pengaruh ajaran nasionalis inilah, maka
muncullah berbagai gerakan nasionalis di Eropah.. Berbagai pemberontakan kelompok nasionalis. terjadi
di sejumlah negara, seperti Rusia, Austria-Hongaria, dan Swedia-Norwegia. Akibat lebih jauh dari
gerakan nasionalisme adalah pemanfaatan masa oleh pemerintah atau pemimpin negara untuk
melakukan mobilisasi rakyat dalam melakukan diplomasi dan peperangan. Padahal sebelumnya,
pemerintah mengalami kesulitan untuk menggerakkan rakyatnya dalam rangka menggalang kekuatan
nasional.
Dalam bidang teknologi, negara-negara bangsa pada abad kesembilan belas mengalami kemajuan yang
pesat dalam bidang teknologi termasuk teknologi perang. Kemajuan dalam sistem persenjataan nuklir
adalah kontribusi yang paling revolusioner dari bidang ilmu dan teknologi terhadap perang. Akibatnya,
jumlah korban perang pun mengalarni peningkatan yang sangat drastis. Sedangkan, latar belakang
terjadinya konflik bersenjata dipengaruhi pula oleh adanya konflik ideologi yang berbeda-beda, seperti
munculnya doktrin Naziisme, Komunisme, dan Demokrasi Liberal.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, diadakan dua Konferensi Perdamaian di
Den Haag (Belanda) masing-masing tahun 1899 dan 1907. Konferensi ini merupakan tonggak tentang
konsepsi pergaulan dunia dan mencita-citakan atau melakukan pencegahan perang. Namun, akhirnya
terjadi Perang Dunia 1 (1914-1918), sehingga seolah-olah telah menggagalkan hasil-hasil dari dua
konferensi tersebut. Pada akhir Perang Dunia 1, masyarakat dunia berhasil mendirikan Liga Bangsa-
Bangsa (LBB) yang bertujuan untuk mencegah terulangnya kembali perang yang telah mengakibatkan
banyak korban. Namun, upaya inipun temyata mengalami kegagalan, yakni sejak tahun 1933 ketika
Jepang menyerbu Mancuria dan Italia menyerbu Ethiopia yang puncaknya terjadi Perang Dunia 2 yang
meletus pada tahun 1939 sampai tahun 1945.
Sistem hukum internasional pada abad kedua puluh ini disebut pula sebagai sistem global kontemporer.
Perbedaan yang mencolok dari sistem hukum ini adalah ditandai oleh semakin pentingnya kedudukan
organisasi internasional yang lahir dari adanya perjanjian antar negara. Menurut Holsti (1983), ada
beberapa hal yang membedakan sistem internasional kontemporer dengan sistem Eropah pada abad
sebelumnya: (1) meningkatnya jumlah tipe-tipe negara; (2) adanya potensi destruktif yang besar dari
negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir; (3) semakin besarnya ancaman dari luar termasuk
subversi, pengaruh ekonomi dan penaklukan militer; (4) makin pentingnya aktor-aktor non negara,
seperti gerakan pembebasan nasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan internasional,
dan partai-partai politik yang melampaui batas negara; (5) posisi yang menonjol yang telah dicapai oleh
tiga negara non Eropah, ialah Uni Sovyet (sekarang Rusia), Cina, dan Amerika Serikat.
Aktor-aktor non negara dapat meliputi organisasi interasional, organisasi internasional regional maupun
gerakan multinasional. Aktor-aktor semacam ini dapat meliputi: Peserikatan Bangsa¬Bangsa, Gerakan
Non Blok, Liga Arab, NATO, ASEAN, MEE, dan sebagainya.
Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional
BAB IISEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL
Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antar negara telah tumbuh hanya dalam masa empat ratus tahun terakhir. Biasanya diambil sebagai awal lahirnya hukum internasional modern, yaitu pada saat ditandanganinya Perjanjian Perdamaian West Phalia, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa, tahun 1648.[29] Akan tetapi, jika hukum internasional diartikan dalam arti luas yang mencakup pula hukum bangsa-bangsa (law of nations), maka hukum internasional sangat tua usianya. Sam Suhaedi Admawira menyebutkan bahwa sejak tahun 5000 SM, sebelum terbentuknya sistem kenegaraan Romawi (tahun 117) dan Yunani (431 SM) di lembah Tigris dan Furat telah berdiri Kerajaan Sumeria. Pada waktu bersamaan di sekitar Lembah Nil sudah berdiri negara-negara kota, akan tetapi baru bisa dipersatukan oleh Menes pada tahun 3200 SM. Negara-negara kota yang terkenal dari segi hukum bangsa-bangsa adalah Uma dan Lagash. Pada tahun 3100 SM di antara kedua kerajaan ini diadakan perjanjian perdamaian, yang pada masa sekarang dapat disebut sebagai perjanjian internasional. Perjanjian lainnya, dibuat antara Raja Rattusilish III dari Kerajaan Hittite dengan Raja Ramses II dari Kerajaan Mesir. Perjanjian ini berisi kesepakatan tentang pemeliharaan perdamaian yang kekal, penghapusan perang, dan persekutuan.[30] Di lingkungan kebudayaan India Kuno terdapat kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Kerajaan-kerajaan di India pada masa beberapa abad sebelum Masehi sudah mengadakan hubungan satu dengan lainnya. Adat kebiasaan yang mengatur hubungan di antara para raja itu disebut Desa Dharma. Gautamasutra (abad VI SM) merupakan salah satu karya tertua di bidang hukum, berisi hukum kerajaan, hukum kasta dan hukum keluarga. Undang-undang Manu (abad V SM) juga menyebut hukum kerajaan. Hukum bangsa-bangsa di zaman India Kuno juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau kerajaan demikian, mengatur ketentuan kedudukan dan hak-hak istimewa diplomat, perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja, dan hukum perang.[31] Lingkungan kebudayaan lain yang telah mengenal semacam hukum bangsa-bangsa adalah kebudayaan Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama mereka sudah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan orang asing dan cara melakukan perang. Hanya saja, dalam yang disebut terakhir ini, dalam hukum Yahudi dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan terhadap mereka yang digolongkan sebagai musuh bebuyutan.
Dalam kebudayaan Yunani terdapat aturan-aturan yang melindugi bentara (combattant) di dalam perang. Menurut hukum perang pada waktu itu para bentara tidak boleh diganggu gugat, perang harus diumumkan lebih dahulu, dan para tawanan dapat dijadikan budak. Masyarakat Yunani juga sudah mengenal lembaga perwasitan, dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya, menggunakan wakil-wakil dagang yang disebut konsul. Sumbangan paling berharga yang diberikan kebudayaan Yunani adalah konsep hukum yang bersifat mutlak dan mendunia yang berasal dari akal manusia. Konsep hukum alam yang dikembangkan para filsuf pada abad III M. diteruskan ke Roma. Dan, dari Roma diteruskan ke suluruh dunia. Hukum alam ini memegang peranan penting dalam perkembangan hukum internasional, yang setelah terdesak oleh ajaran positivist bangkit kembali setelah Perang Dunia II dalam wujud asas-asas hukum umum. Pada masa imperium Romawi hukum internasional tidak mengalami perkembangan pesat. Ini disebabkan, karena pada masa itu masyarakat dunia merupakan suatu imperium, yang menguasai seluruh wilayah di dalam lingkungan imperium Romawi. Akibatnya, tak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan tentunya dengan hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan itu. Terhambatnya perkembangan hukum internasional pada masa ini, disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu :
1. kesatuan duniawi dan rohani sebagian Eropa di bawah imperium Romawi Suci;
2. struktur feodal Eropa Barat yang terikat pada suatu jenjangwibawa yang menghambat timbulnya negara-negara merdeka dan mencegah negara-negara untuk memperoleh sifat unitaris dan wibawa negara-negara modern.
Sekalipun demikian, hukum Romawi telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional. Istilah ius gentium yang berasal dari bahasa Latin merupakan sumbangan hukum Romawi.[32] Konsep-konsep mengenai occupatio, servituut, bonafides, dari hukum perdata, dan asaspacta sunt servanda berasal dari hukum atau kebudayaan Romawi.[33] Jadi, sumbangan Romawi terhadap hukum internasional tidak terletak pada ketentuan-ketentuan hukumnya, tetapi terletak pada konsep-konsep hukumnya, yang menampilkan analogi dan sendi-sendi yang dapat menyesuikan diri secara langsung dengan pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern. Pada abad pertengahan terdapat dua lingkungan kebudayaan di luar Eropa Barat, yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium, karena posisinya yang lemah mempraktikkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya, yang merupakan sumbangan terpenting dari kekaisaran Byzantium. Sumbangan terpenting yang diberikan Dunia Islam adalah di bidang hukum perang. Perang menurut konsep Islam dibenarkan untuk membela diri, menghilangkan tindakan sewenang-wenang, dan menghilangkan tindakan fitnah. Selain itu, dalam Islam telah diperkenalkan perlakuan
yang baik terhdap tawanan perang (Q.II, 190, 191). Tawanan perang dapat dibebaskan baik melalui pertukaran, perkawinan, atau karena memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh tawanan perang. Perbudakan atas tawanan perang bukan berasal dari Islam tetapi hanya sebagai tindakan timbal balik dan pembalasan (reciporocity).[34] Dalam hukum Islam mengenai sudah dikenal larangan menyerang orang tua, anak-anak dan perempuan. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasul, dan praktik Sahabat melarang mencincang mayat musuh, tetapi memerintahkan untuk menguburkan mereka dengan sebaik-baiknya, melarang tindakan khianat, mengingkari janji, melakukan pembakaran, merusak pohon, menyembelih membunuhi hewan-hewan ternak kecuali untuk kebutuhan makan, dan memelihara tempat-tempat ibadah.[35] Dan, hubungan antar bangsa, berupa hidup bertetangga secara baik diatur di dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13. Sementara itu, di Eropa Barat hukum internasional pada Abad Pertengahan dikuasai oleh sistem feodal dan keagamaan di bawah Paus sebagai penguasa tertinggi. Aturan hukum kegerejaan dihimpun di dalam Corpus Juris Canonici, yang menempatkan hukum Gereja di atas negara. Doktrin ini ditentang Marthin Luther, lewat gerakan Protestan yang menghendaki reformasi (pembaharuan). Keadaan ini menimbulkan perang agama selama 30 tahun, dan berakhir pada tahun 1647 dengan diadakannya Perjanjian Perdamaian West Phalia.[36] Dengan pertumbuhan sejumlah negara merdeka di Eropa, dimulailah perkembangan modern hukum internasional. Yang dipandang sebagai titik pangkal pertumbuhan negara modern dan perkembangan baru di bidang hukum internasional adalah Perjanjian Perdamaian West Phalia. Perjanjian West Phalia dipandang sebagai peletak dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional, karena:[37]
1. Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun perjanjian West Phalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang terjadi karena perang itu di Eropa;
2. perjanjian perdamaian itu mengakhiri selama-lamanya usaha kaisar Romawi yang suci (the Holy Roman Emperor) untuk menegakkan kembali imperium Romawi yang suci;
3. hubungan negara dilepaskan dengan gereja dan didasarkan atas kepentingan nasional negara yang bersangkutan;
4. kemerdekaan Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui oleh Perjanjian West Phalia.
Perjanjian West Phalia merupakan titik puncak dari proses yang sudah dimulai sejak Abad Pertengahan, yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya perebutan kekuasaan duniawi antara negara dan gereja. Dengan demikian, kita dapat menempatkan perjanjian West Phalia di dalam keseluruhan kerangka sejarah. Ini, akan dapat menghindarkan timbulnya kekeliruan seolah-olah sebelum perjanjian perdamaian tersebut tidak ada negara nasional.
Padahal sebelum perjanjian perdamaian West Phalia telah ada kerajaan-kerajaan kecil di samping tiga negara besar di Eropa Barat yaitu: Perancis, Spanyol dan Inggris dan beberapa masyarakat di pinggiran masyarakat Kristen Eropa seperti Skandinavia dan Rusia. Masyarakat internasional baru yang terbentuk setelah Perjanjian West Phlia memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan susunan masyarakat Kristen Eropa di abad pertengahan yang berdasarkan feodalisme. Ciri-ciri tersebut adalah:[38]
1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi yang ekseklusif di dalam wilayahnya;
2. Hubungan-hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas persamaan derajat;
3. Tidak ada kekuasaan di atas negara yang diakui oleh masyarakat negara-negara;
4. Hubungan antar negara berdasarkan atas hukum yang banyak diambil alih dari lembaga-lembaga hukum perdata Romawi;
5. Negara-negara mengakui adanya hukum internasional yang mengatur hubungan negara-negara itu tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara di dalam mematuhi hukum ini;
6. Tidak ada pengadilan (internasional) dan polisi internasional yang memaksakan ditaatinya hukum internasional;
7. Anggapan terhadap perang bergeser dari segi keagamaan ke doktrim bellum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran bahwa perang merupakan salah satu penggunaan kekerasan (selain represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan nasional (perang yang benar).
Dasar-dasar Perjanjian West Phalia kemudian diperkuat oleh Perjanjian Utrecht (1713) yang menekankan bahwa keamanan atau perdamaian dapat dipulihkan lewat keseimbangan kekuasaan yang adil (justum potentiae equalibrium) yang dapat dipakai sebagai landasan persahabatan yang kekal.[39] Dengan pertumbuhan negara-negara merdeka tersebut dilakukan proses pembentukan aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dalam hubungan timbal balik di antara negara-negara tersebut. Di Italia misalnya, banyak negara kecil yang merdeka, mengadakan hubungan diplomatik satu dengan lainnya atau dengan dunia luar. Hubungan-hubungan ini melahirkan aturan hukum kebiasaan di bidang diplomatik seperti, pengangkatan, penerimaan dan kekebalan utusan diplomatik.[40] Di penghujung abad ke-15 dan 16 sudah banyak para ahli hukum yang mengarahkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat negara-negara berdaulat, memikirkan dan menulis aneka masalah hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya aturan hukum yang mengatur segi-segi hubungan antara negara-negara. Para penulis tersebut adalah Vittoria (1480-1546), teoloog pada Universitas Salamanca, Belli (1502-1575) dan Gentilis (1552-1608) dari Italia, Brunus (1491-1563) dari Jerman, Fernando Vasquez de Mancaca (1512-1569) dari
Spanyol, Baltazar Ayala (1548-1584) dan Suarez (1548-1617) dari Spanyol, dan Grotius (1583-1645), ahli hukum dari Belanda. Dari sekian banyak penulis tersebut, Grotiuslah yang dipandang sebagai bapak hukum internasional. Ini disebabkan karena ajarannya memiliki nilai intrinsik yang tinggi dan sesuai dengan panggilan jaman. Ajarannya didasarkan pada hukum alam yang telah disekulerkan. Ia memberikan tempat yang penting bagi negara-negara nasional. Selain itu, ia banyak menempatkan praktik negara dan perjanjian antar negara di samping hukum alam yang diilhami akal manusia sebagai sumber hukum alam. Dialah yang meletakkan dasar-dasar bagi sistematika pembahasan hukum internasional, yang sebagian besar, masih diikuti sampai sekarang. Karyanya yang terpenting di bidang ini adalah De Jure Belli ac Pacis. Akan tetapi, tidak semua ahli hukum internasional menyetujui Grotius sebagai bapak hukum internasional. Oppenheim misalnya, menyatakan bahwa sebutan bapak hukum internasional kepada Grotius berlebihan. Sebab, sebelum Grotius sudah ada sarjana yang menulis di bidang hukum internasional. Sarjana-sarjana itu adalah Francisco Vittoria dan Alberico Gentili.[41] Beberapa penulis lainnya juga menolak pendapat bahwa Grotius sebagai bapak hukum internasional. Ini didasarkan pada alasan bahwa Grotius banyak mendapat ide dari tulisan-tulisan Gentilis, dan ia mengikuti tulisan-tulisan Gentilis, Ayala dan penulis-penulis lain. Memang, baik Grotius maupun Gentilis banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis sebelumnya.[42] Penulis-penulis terkemuka setelah Grotius di abad ke-18 yang besar pengaruhnya bagi perkembangan hukum internasional adalah Zouche (1590-1660), Guru Besar Hukum Perdata di Oxford, Pufendorf (1632-1694), Guru Besar Universitas Heidelberg, Binkershoek (1673-1743), seorang ahli hukum Belanda, Christian Wolf (1609-1764), seorang ahli hukum dan filsafat Jerman dan Emerich Vattel (1714-1767), seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss. Mereka pada umumnya digolongkan ke dalam aliran hukum alam dan positivist. Pufendorf dan Wolf adalah para penganaut aliran hukum alam. Menurut Pufendorf, hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal pada akal manusia, yang mengatur kehidupan manusia kapan dan di mana saja ia berada, baik ia hidup berorganisasi di dalam negara atau tidak. Christian Wolf mengemukakan teori Civitas Maxima. Teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum dunia yang belaku pada Negara Dunia, yang meliputi negara-negara di dunia. Sebaliknya, Zouche, Binkershoek dan von Martens adalah penganut positivist. Mereka mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum yang terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian. Sekalipun tidak menolak hukum alam secara mutlak.[43] Emerich Vattel dapat digolongkan sebagai aliran eclectic, yakni aliran yang memilih segi-segi baik dari kedua aliran tersebut. Karya Vattel memiliki pengaruh besar bagi perkembangan hukum internasional di kemudian hari, utamanya di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya penting karena:[44]
1. tulisannya banyak memuat adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang sangat berharga sebagai sumber atau bukti hukum;
2. tulisan-tulisannya memiliki sumbangan yang besar dalam menjelaskan pengertian dan pengembangan konsep dan pembahasan persolan hukum internasional secara sistematis. Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan antar bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan antar bangsa ini melahirkan asas-asas dan gagasan-gagasan baru yang memperkaya hukum internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain: hak suatu bangsa untuk mengubah atau menyusun pemerintahannya, serangan kepada suatu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua bangsa, kepentingan manusia di atas kepentingan negara, perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45] Selanjutnya melalui Kongres Wina (1815) yang mengakhiri Perang Napoleon ditetapkan kembali garis batas negara-negara di Eropa di samping larangan perbudakan secara internasional. Di bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol yang disebut Protokol Aix-la-Capelle (1818) yang masih bertahan sampai sekarang. Perlawanan terhadap Napoleon digalang lewat Persekutuan Sempurna atau lebih terkenal dengan sebutan the Consert of Europe. Negara-negara sekutu ini terdiri atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia, dan setelah tumbangnya Napoleon ditambah dengan Perancis. Melalui Concert of Europe ini ditingkatkan kerjasama di Eropa dalam berbagai bidang berdasarkan hukum internasional.[46] Di antara negara-negara besar di Eropa sendiri terjadi pertentangan internal, antara negara-negara yang ingin mempertahankan absolutisme dan yang ingin menghapuskannya. Untuk mempertahankan absolutisme tersebut, negara-negara Austria, Prusia dan Rusia membentuk Persekutuan Suci (Holy Alliance, 1815) dengan memasukkan segi-segi keagamaan di dalamnya. Usaha negara-negara ini gagal, karena tidak dapat membendung pikiran-pikiran baru yang lebih demokratis. Pergolakan yang terjadi di Eropa merambah pula ke Benua Amerika. Untuk mempertahankan Amerika dari dominasi Eropa melaluiHoly Aliance, dikeluarkan suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doktrin Monroe pada tahun 1823. Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak lagi dipandang sebagai berada di bawah penjajahan Eropa di masa yang akan datang. [47]
Perkembangan ini terjadi selama abad ke-19. Abad ini dapat dipandang sebagai puncak kejayaan dalam tingkat kedewasaan negara nasional. Perkembangan ini sangat didukung oleh munclnya negara-negara baru yang kuat di Eropa dan di luar Eropa, perluasan peradaban Eropa, pemodernan pengangkutan dunia, kehancuran dahsyat oleh prang modern dan pengaruh temuan-temuan baru. Keadaan ini mendesak untuk adanya aturan yang mengatur perilaku negara dalam urusan internasional. Selama abad ini terjadi perkembangan yang menonjol di bidang hukum perang dan netralitas, penyelesaian sengketa melalui
lembaga perwasitan, dan timbulnya kebiasaan negara merundingkan perjanjian umum untuk mengatur kepentingan timbal balik.[48] Kejadian terpenting di abad ke-19 dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional adalah Konferensi Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa tahun 1864. Kedua Konferensi memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di akhir abad ke-19 (tahun 1899), yang penting sekali artinya dalam perkembangan hukum internasional. Pentingnya konferensi-konferensi ini, karena untuk pertamakalinya konferensi internasionaldipergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi-konvensi internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian yang berlaku umum dan dilaksanakan secara berkala.[49] Perkembangan penting berikutnya, terjadi pada abad ke-20. Pada permulaan abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den Haag II, tahun 1907. Hasil terpenting dari Konferensi Perdamaian Den Haag I dan II selain dari Konvensi-konvensi di bidang hukum perang adalah dibentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah Internasional Permanen, yang setelah bubar pada tahun 1946 digantikan oleh Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun 1945.[50] Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Konferensi Perdamaian Den Haag 1899 dan 1907 mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap konsolidasi. Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[51]
1. Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yaitu setelah terjadinya perjanjian West Phalia, kekuasaan nyata negara masih berada di tangan raja; setelah terjadinya revolusi Perancis kekuasaan yang dipegang beralih ke tangan rakyat sehingga negara kebangsaan telah benar-benar menjadi negara nasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan lagi kerajaan dalam bentuk baru;
2. Konferensi-konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang meletakkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini secara berkala merupakan langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai masyarakat hukum. Konferensi yang bersifat umum dan universal ini, sedikit banyak memenuhi fungsi legislatif masyarakat internasional. Konferensi-konferensi perdamaian ini dapat dipandang sebagai pelopor usaha yang lebih terarah di kemudian hari kepada pembentukan hukum internasional melalui perjanjian, yaitu uaha kodifikasi hukum internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Pembentukan Mahkamah Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian penting dalam mewujudkan masyarakat hukum internasional. Terbentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antar bangsa di Abad Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional Permanen ini
kemudian diikuti pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional Permanen tahun 1921, yang merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut hukum. Dibentuknya lembaga-lembaga dengan wewenang penyelesaian sengketa internasional tanpa menggunakan kekerasan senjata, merupakan tanda bahwa masyarakat internasional telah memasuki tahap kedewasaan. Dari sudut perkembangan masyarakat hukum kejadian ini penting karena dengan pembentukan kedua Mahkamah ini berarti telah diambil langkah-langkah pertama dalam memperjuangkan kekuasaan peradilan sebagai salah satu fungsi yang sangat penting dalam masyarakat hukum.
Dalam masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula kejadian-kejadian penting bagi perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1) Perjanjian Larangan Perang sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand- Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia I dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.[52] Kemunculan dua organisasi internasional tersebut menambah dimensi baru bagi masyarakat internasional modern yang sangat penting artinya bagi perkembangan hukum internasional modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga internasional yang melintasi batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan tugas di samping dan kadang-kadang di atas kekuasaan negara nasional. Tahap berikutnya dari perkembangan masyarakat dan hukum internasional adalah tahap emansipasi politik negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu penjajahan ke dalam masyarakat internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas jajahan, terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara aktif di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai forum internasional.[53] Pada masa sebelum tahap perkembangan yang disebut terakhir ini, hukum internasional tidak berlaku secara universal dan seragam. Pada masa ini hukum internasional bekerja pada dua bidang yang berbeda. Di satu sisi, hukum internasional sesuai dengan tipe hubungan yang dibentuk di antara bangsa-bangsa beradab (civilized states) dan dunia sisanya, hubungan yang sebagian besar tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil negara terhadap negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai dengan hubungan inter se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara Anggota “Klub” sejauh klub tersebut menjamin satu dengan lainnya memiliki kedaultan dan kemerdekaan atas dasar timbal balik penuh (full reciprocity). Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam lingkungan yang agak berbeda yang mengatur di satu sisi suatu “masyarakat” internasional yang terbatas pada klub ekslusif, dan di sisi lain, sekumpulan bangsa asing (overseas peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54]
Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut sebagai hukum internasional klasik, tidak lain daripada hukum Eropa. Hukum internasional klasik ini merupakan suatu sistem norma dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham etik dan agama (hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan politik (hukum imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu itu, hukum initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic law) yang mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada klub tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan negara-negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c) Sejauh mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law)….. [55]
Sejarah dan Perkembangan Hukum InternasionalPOSTED BY TRI SULIS WANTO MAY 21, 2010
Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada
zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius
Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi
masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah
hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih
dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga
dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI,
yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30
tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang
bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan
persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan
berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana,
2003 ; 41)
Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya
tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan
Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan
berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara
universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus
dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar
hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini
adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico
Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6)
Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar
negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan
mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara
negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan
internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du
Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah
pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini, antara
lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel.
Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-
faktor penunjang, antara lain :
1. Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu
menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain.
2. Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang,
netralitas, peradilan dan arbitrase.
3. Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan
ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena
dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan
meningkatnya hubungan antar negara.
2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya
ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang.
3. Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral,
regional maupun bersifat global.
4. Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa
Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam
berbagai bidang.
(Mauna, 2003; 7)
REFERENSI
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni,
Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Clarendon
Press, Oxford
Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta :
Penerbit Liberty.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra
Abardin
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju,
Bandung
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum