Top Banner
1 Sensus ecclesiae dalam pemikiran para bapa Gereja Alfonsus Widhi, sx Menggali kekayaan para bapa Gereja, kita dihadapkan pada sebuah sumber yang sangat segar berkaitan dengan iman kita. Bagaimana ditumbuhkan rasa memiliki pada Gereja, ketika kanon Kitab Suci dan Credo belum terbentuk dalam bentuk komplit seperti sekarang ini? Di samping permasalahan doktrinal yang berkaitan dengan isu kesatuan Gereja, peran para bapa Gereja sangat penting sebagai ujung tombak kesinambungan iman katolik pasca periode para rasul. Satu cakrawala yang hendak dibahas dalam paper ini berkaitan dengan sensus ecclesiae yang muncul dalam tulisan-tulisan mereka. Dengan dilatarbelakangi deskripsi figur dan motivasi pentingnya mempelajari para bapa Gereja, paper ini akan menuntun kita untuk membaca secara langsung teks yang mereka tulis. 1 Para Bapa Gereja 1 1.1 Siapakah mereka? Para bapa Gereja adalah sekelompok orang yang memiliki relasi dengan para rasul atau setidak- tidaknya pernah memiliki kontak dengan mereka. Tulisan-tulisan yang dihasilkan ada dalam bentuk surat dan biasanya tertulis dalam bahasa yunani. Pada mulanya mereka hanya berjumlah lima orang saja, yaitu Barnabas, Klemens dari Roma, Ignasius dari Antiokhia, Policarpus dan Pastor Hermas. Pada studi patristik lebih lanjut, periodisasi para bapa Gereja ini diperpanjang hingga tahun 150 dan ditambahkan di dalam kelompok ini Papia dari Hierapolis dan Surat kepada Diognetus. Apakah yang diperjuangkan oleh para penulis patristik ini? Berdasarkan karakter teks yang mereka tulis, para pengarang ini berupaya untuk pertama, menjelaskan kepada umat beriman keagungan karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus dengan uraian katekese yang jelas dan bahasa yang sederhana. Kedua, mereka mendorong umat beriman untuk memiliki sikap ketaatan seorang anak kepada para pimpinan gerejani dan ketiga, mereka berusaha menjaga kawanan jemaat umat Allah dari bahaya heresi dan skisma, yang mengancam kesatuan Gereja. Yang terakhir ini bisa dipahami lebih mudah karena rumusan credo, daftar kanon Kitab Suci katolik, katekismus Gereja katolik, hukum kanonik dan magisterium Gereja yang bagi umat katolik sudah hal yang biasa di zaman ini, pada waktu itu tidak ada dalam format yang lengkap. Penjelasan teologis, dogmatis, spiritual, moral tentang berbagai pokok iman katolik itu masih jauh dari jangkauan umat. Di sinilah peran para bapa Gereja menjadi sangat strategis terutama sebagai pengajar warisan iman para rasul dan penjaga kesatuan. Mengapa disebut para bapa Gereja? Uskup adalah seorang bapa, karena dia juga adalah pemimpin komunitas. Dia bertugas untuk menjaga kesinambungan pewartaan para rasul dan sekaligus seorang guru dalam iman, terutama melalui pengajaran dan kesaksian hidup mereka. Dalam Yudaisme dan dalam Kitab suci, sebutan para bapa diaplikasikan kepada para leluhur, para 1 Paragraf ini merupakan rangkuman dari dokumen Instruksi tentang studi para bapa gereja dalam formasi imamat. Bdk. Congregazione per l'educazione cattolica”Istruzione sullo studio dei padri della chiesa nella formazione sacerdotale”, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/rc_con_ccatheduc_doc_198 91110_padri_it.html (19.49, 26 Februari 2014)
10

Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

Mar 05, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

1

Sensus ecclesiae dalam pemikiran para bapa Gereja

Alfonsus Widhi, sx

Menggali kekayaan para bapa Gereja, kita dihadapkan pada sebuah sumber yang sangat segar berkaitan dengan iman kita. Bagaimana ditumbuhkan rasa memiliki pada Gereja, ketika kanon Kitab Suci dan Credo belum terbentuk dalam bentuk komplit seperti sekarang ini? Di samping permasalahan doktrinal yang berkaitan dengan isu kesatuan Gereja, peran para bapa Gereja sangat penting sebagai ujung tombak kesinambungan iman katolik pasca periode para rasul.

Satu cakrawala yang hendak dibahas dalam paper ini berkaitan dengan sensus ecclesiae yang muncul dalam tulisan-tulisan mereka. Dengan dilatarbelakangi deskripsi figur dan motivasi pentingnya mempelajari para bapa Gereja, paper ini akan menuntun kita untuk membaca secara langsung teks yang mereka tulis.

1 Para Bapa Gereja1

1.1 Siapakah mereka?

Para bapa Gereja adalah sekelompok orang yang memiliki relasi dengan para rasul atau setidak-tidaknya pernah memiliki kontak dengan mereka. Tulisan-tulisan yang dihasilkan ada dalam bentuk surat dan biasanya tertulis dalam bahasa yunani. Pada mulanya mereka hanya berjumlah lima orang saja, yaitu Barnabas, Klemens dari Roma, Ignasius dari Antiokhia, Policarpus dan Pastor Hermas. Pada studi patristik lebih lanjut, periodisasi para bapa Gereja ini diperpanjang hingga tahun 150 dan ditambahkan di dalam kelompok ini Papia dari Hierapolis dan Surat kepada Diognetus.

Apakah yang diperjuangkan oleh para penulis patristik ini? Berdasarkan karakter teks yang mereka tulis, para pengarang ini berupaya untuk pertama, menjelaskan kepada umat beriman keagungan karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus dengan uraian katekese yang jelas dan bahasa yang sederhana. Kedua, mereka mendorong umat beriman untuk memiliki sikap ketaatan seorang anak kepada para pimpinan gerejani dan ketiga, mereka berusaha menjaga kawanan jemaat umat Allah dari bahaya heresi dan skisma, yang mengancam kesatuan Gereja.

Yang terakhir ini bisa dipahami lebih mudah karena rumusan credo, daftar kanon Kitab Suci katolik, katekismus Gereja katolik, hukum kanonik dan magisterium Gereja yang bagi umat katolik sudah hal yang biasa di zaman ini, pada waktu itu tidak ada dalam format yang lengkap. Penjelasan teologis, dogmatis, spiritual, moral tentang berbagai pokok iman katolik itu masih jauh dari jangkauan umat. Di sinilah peran para bapa Gereja menjadi sangat strategis terutama sebagai pengajar warisan iman para rasul dan penjaga kesatuan.

Mengapa disebut para bapa Gereja? Uskup adalah seorang bapa, karena dia juga adalah pemimpin komunitas. Dia bertugas untuk menjaga kesinambungan pewartaan para rasul dan sekaligus seorang guru dalam iman, terutama melalui pengajaran dan kesaksian hidup mereka. Dalam Yudaisme dan dalam Kitab suci, sebutan para bapa diaplikasikan kepada para leluhur, para

1 Paragraf ini merupakan rangkuman dari dokumen Instruksi tentang studi para bapa gereja dalam formasi imamat. Bdk. Congregazione per l'educazione cattolica”Istruzione sullo studio dei padri della chiesa nella formazione sacerdotale”, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/rc_con_ccatheduc_doc_198 91110_padri_it.html (19.49, 26 Februari 2014)

Page 2: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

2 penyalur kehidupan iman dan warisan janji-janji ilahi. Juga guru iman adalah orang tua rohani bagi para murid. Contoh konkrit dari gambaran ini ada dalam pengalaman Paulus, yang kerap menggunakan figur bapa dan anak untuk menggambarkan relasi dia dan jemaat yang dipercayakan kepadanya.

Pada zaman para rasul, istilah bapa dipergunakan dengan merujuk pada tokoh-tokoh Kitab Suci yang populer sebagai model iman dan keutamaan. Misalnya sebutan bapa yang ditujukan kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Dengan mewarisi tradisi yahudi, istilah bapa ini kemudian menjadi acuan untuk mengidentifikasikan Uskup sebagai pendamping dan guru bagi umat Allah. Lebih ke depan lagi, istilah ini dipergunakan untuk menyebut para imam dalam tradisi hidup monastik, para abas dan para asketis.

Sejak abad IV, kata bapa mengarah kepada pribadi-pribadi di masa lampau yang membela ortodoksi iman katolik, disiplin gerejani dan terasah dalam menyampaikan dan menjelaskan doktrin dan iman katolik, terutama para uskup dan di dalam konsili.

1.2 Kekhususan para bapa Gereja

Ada empat hal yang merupakan karakter khusus dari para bapa Gereja ini.

Pertama, doctrina orthodoxa. Yang dimaksudkan dengan ortodoksi doktrin bukan berarti pertama-tama bahwa isi ajaran mereka tidak memiliki masalah. Misalnya, Agustinus mengajarkan bahwa anak-anak yang meninggal tanpa pembatisan akan masul dalam limbus untuk menggarisbawahi universalitas rahmat. Gregorius dari Nazianze berbicara tentang apocatastasi.2 Digunakan istilah ortodoksi dalam pengajaran ini merujuk pada persekutuan yang setia dengan Gereja dalam doktrin iman yang benar. Oleh sebab itu, para penulis haruslah seorang saksi iman yang setia. Misalnya, kesucian Bunda Perawan maria tidak tergantung pada sesuatu yang kita ketahui dan yakini, tetapi berangkat dari ungkapan iman kepada Bunda Penebus.

Kedua, sanctitas vitae. Kehidupan yang kudus merupakan tanda yang merujuk pada sebuah kehidupan yang seiring dengan Injil. Inilah tanda paling nampak dari sebuah kesaksian iman yang berjalan beriringan dengan pengajaran. Namun, tidak semua kekudusan para bapa Gereja diakui oleh Gereja Katolik. Origenes masuk dalam kelompok para bapa Gereja, meski dia bukanlah orang kudus. Tertullianus masuk dalam kategori para bapa Gereja ini, meski dia meninggal di luar Gereja dan pada akhir hidupnya, dia tidak menunjukkan persekutuan dengan Gereja katolik. Namun, kesaksiannya, sejarah hidupnya dan perkembangan imannya sangat penting dan diakui oleh Gereja universal. Bahkan, banyak diantara mereka yang kemudian menjadi martir.

Ketiga, antiquitas. Banyak para doktor dan pengajar di masa Gereja purba, tetapi mereka tidak termasuk dalam golongan para bapa Gereja karena tidak memiliki karakter antiquitas, ke-kuno-an dalam pemahaman eklesiastik. Dengan pemahaman ini, maka batasan periode ini perlahan-lahan

2 Doktrin ini berawal dari ide Origenes demikian: Bercermin dari Kis 3,21 menurut Origenes, pada saat akhir zaman akan ada sebuah penebusan universal dan segala ciptaan akan terintegrasi ke dalam kepenuhan ilahi, termasuk di dalamnya adalah iblis dan kematian. Dalam pemahaman ini, penghakiman kekal (neraka) berapapun lamanya itu tidak bersifat kekal, tetapi berkarakter untuk memurnikan. Mereka yang dihukum itu ada, tetapi tidak untuk selama-lamanya karena karya keselamatan Allah tidak akan mencapai kesempurnaan jika semua tidak diselamatkan (bdk. 1Kor 15,28). Pengajaran ini kemudian diterima oleh beberapa bapa gereja dari timur, termasuk di dalamnya adalah Gregorius dari Nazianze. Ajaran ini kemudian dinyatakan sebagai heresi oleh Konsili ekumenis di Konstantinopoli tahun 553. Seorang penulis ortodoks Fëdor Dostoevskij menyinggung juga hal ini dalam roman I fratelli Karamazov dalam bab La Rivolta dan Il grande inquisitore: “... tetapi Yang ada ini bereksistensi, dan bisa mengampuni segala-galanya dan semuanya, demi kebaikan semuanya, karena Dia sendiri telah memberikan darahnya yang tidak bercela bagi semua dan siapa saja.”

Page 3: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

3 mulai mundur hingga di Gereja timur, masih diakui Yohanes dari Damaskus yang meninggal tahun 749 dan Isidoro dari Siviglia tahun 636 di Gereja barat.

Keempat, approbatio ecclesiae. Peneguhan dari Gereja berangkat dari sebuah pernyataan atau publikasi gerejani dan tidak harus merupakan sebuah peneguhan yang diungkapkan secara publik. Publikasi karya mereka oleh Gereja merupakan salah satu bentuk pengakuan implisit. Kemudian, ada juga un animis concencus patrum, yaitu semacam rasa memiliki sehati dan sejiwa dari para bapa Gereja. Pengajaran mereka berkaitan dengan interpretasi Kitab Suci dipertimbangkan sebagai sebuah pengajaran yang tidak dapat sesat.

Jika salah satu dari ketiga unsur pertama tidak terpenuhi, maka orang tersebut masuk dalam kategori penulis gerejani. Beberapa tokoh mendapat gelar doktor Gereja seperti Ambrosius, Agustinus, Hieronimus, Gregorius agung di Gereja Barat, sementara Basilius agung, Gregorius dari Nazianze dan Yohanes Krisostomus di Gereja Timur.

1.3 Mengapa mempelajari para bapa Gereja?

Pertama, mereka adalah para saksi khusus dari sebuah tradisi. Mereka lebih dekat dan lebih segar dalam menjaga dan menghidupi tradisi awal Gereja perdana, secara khusus mereka yang hidup pada abad-abad pertama kehidupan Gereja. Mereka lebih dekat dengan peristiwa historis Yesus Kristus dan para rasul serta menerima panggilan khusus untuk menghidupi masa muda Gereja. Ditambah lagi bahwa panggilan kristiani dihidupinya sebagai hasil sebuah proses pencarian akan kebenaran.

Kedua, periode para bapa Gereja masuk dalam tahap penataan Gereja. Mereka memperoleh tugas dan tanggung jawab untuk menyusun dasar-dasar fondasi kehidupan menggereja seperti penyusunan credo dan penetapan kanon kitab suci. Kitab suci tidak pernah hilang dari Gereja. Teks ini harus dibaca bersama dengan komentar para bapa Gereja dan di dalam konteks gerejani. Mengapa? Karen tidak bisa orang mewartakan Kristus di luar Gereja Katolik.

Ketiga, mereka adalah para saksi dan penjamin tradisi katolik yang autentik. Oleh sebab itu, wewenang mereka berkaitan dengan problematika teologi tetap dan akan selalu besar. Merekalah yang telah melahirkan iman bagi kita. Pengajaran dan perilaku hidup merea sangat dihargai dan dimaknai mendalam juga oleh Konsili Vatikan II. Maka, sebuah ajakan sederhana yang selalu didengungkan oleh Gereja adalah kembali kepada tradisi suci, untuk menghidupi semangat dari Konsili Vatikan II.

Keempat, mereka telah mewariskan kepada kita sebuah metode teologis. Beberapa panduan metode teologis tersebut misalnya berkaitan dengan diskursus tentang Kitab Suci dan makna dari Tradisi Suci. Kitab suci adlah jiwa dari teologi, dasar iman dan memperkaya pietas kita pada Allah dan sesama. Kemudian juga tentang originalitas kekatolikan dan inkulturasi (GS 44) yang berakar pada hakikat misioner, makna katolik dan sikap batin yang terbuka. Tidak luput juga berkaitan dengan pembelaan iman dan kemajuan dogmatisasi ajaran Gereja, tidak boleh dilepaskan dari pendalaman reflektif terus menerus isi perwahyuan, yang termaktub seluruhnya di dalam misteri inkarnasi Yesus Kristus. Ini semua mengandaikan sebuah makna akan misteri dan pengalaman akan Yang Ilahi.

Tidak boleh dilupakan pula bahwa tulisan-tulisan para bapa Gereja menawarkan sebuah kekayaan budaya, spiritual dan meneguhkan kesatuan apostolik. Hal ini menjadikan mereka sebagai para guru besar dalam Gereja di masa lampau dan sekarang. Maka, dengan mempelajari teks-teks mereka yang berusia sekitar dua puluh abad yang lalu, umat kristiani zaman ini akan memperoleh kesadaran akan harta Gereja yang berlimpah. Sebuah harta yang dihidupi dalam kesatuan antara theroia dan praxis. Jika prinsip-prinsip hidup berbicara tentang realitas, maka para

Page 4: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

4 guru akan berbicara tentang kehidupan itu sendiri dengan bertitik tolak dari kehidupan emreka. Misalnya, St. Ambrosius memiliki harta keluarga sangat berlimpah ruah dan menjadi seorang uskup dengan meninggalkan itu semua. St. Cyprianus adalah seorang advokat dan dengan uang yang dia miliki dia membantu banyak tawanan. St. Basilius mengkhotbahkan banyak santunan pada orang miskin sekaligus mempraktekkannya. Maka tidak mengherankan bahwa komentar-komentar biblis mereka merupakan sumber yang sangat valid untuk membantu memahami makna Kitab Suci.

2 Konteks Gereja purba

Pada bagian ini akan diuraikan sekilas tentang konteks Gereja purba untuk memperoleh gambaran latar belakang yang mempengaruhi sikap dasar sensus ecclesiae para bapa Gereja. Bagian lebih lengkap bisa dipelajari pada studi tentang sejarah Gereja.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkaitan dengan jati diri agama katolik di hadapan institusi keagamaan dan kenegaraan yang lain. Sebagai sebuah organisasi, agama katolik kerap dihadapkan sebagai musuh negara dan harus diburu semua pengikutnya. Sebagai sebuah agama monoteis, agama katolik berselisih paham dengan berbagai keyakinan dan keagamaan politeis. Sebuah realitas yang tidak terpungkiri. Demikian juga sebagai agama berkarakter mesianik, yang melihat di dalam diri Yesus kristus sebuah kepenuhan perwahyuan ilahi, tidak mengherankan bila yudaisme sangat menentang! Bahkan sebagai sebuah kebenaran yang diwahyukan, agama katolik pun berhadapan dengan filsafat pagan, dalam hal ini terutama filsafat yunani. Bagaimana Gereja Katolik bisa bertahan di hadapan ketegangan-ketegangan yang mengikatnya?

Di abad kedua, tema kebenaran mulai muncul di antara para filsuf pagan. Merekapun beramai-ramai membuat diskursus untuk menyerang ajaran-ajaran agama katolik. Misalnya, diskursus dari Markus Cornelis Fronto dari Cirta (+166/170, penulis dan orator romawi); Kaisar Imperator Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus (+180, dia adalah kaisar, filsuf dan penulis romawi); Lucianus dari Samosata (+180/192, penulis dan rektor yunani kuno yang berasal dari Siria) dan Celsus (filsuf yunani dan romawi kuno berinspirasi platonis dan menurut beberapa sumber juga mengikuti ajaran epikuros). Celsus berpendapat bahwa umat katolik itu diejek karena ikatan kasih persaudaraan diantara mereka dan pandangannya yang menomorduakan kematian.

Ketegangan tidak hanya muncul di level menengah atas dalam tatanan pemerintahan dan sistem keagamaan. Di level bagian bawah masyarakat, tidak sedikit juga yang menyebarkan kebencian pada agama katolik dengan berbagai tuduhan yang mengakibatkan hukuman kematian (kanibalisme, ateisme, agama misteri, ...). Relasi semakin memanas dengan yudaisme yang melihat agama katolik sebagai agama kepenuhan dan kesinambungan dari nubuat-nubuat Perjanjian Lama, sementara agama yahudi dilihat sebagai agama induk.

Para gnostik pertama-tama bukan berasal dari intern Gereja, tetapi dari sekolah-sekolah teologi. Pada tahun 180an, ada sebuah reaksi yang terorganisasi dari para teolog katolik. Periode ini dianggap sebagai sebuah periode religius yang mencoba mencari hal-hal supernatural. Misalnya, Ireneus, Hippolitus, Tertullianus, Clemens dari Aleksandria, Egesippus dan Yustinus mencoba untuk melawan gerakan-gerakan heresi. Dasar-dasar rujukan mereka adalah pengajaran dari para uskup pendahulu mereka, sambil memberikan informasi tentang jati dirinya sehingga ditemukan jejak keapostolikan pengajaran iman mereka. Para uskup dipahami di sini sebagai tempat rujukan depositum fidei tentang Yesus Kristus melalui suksesi apostolik.

Para teolog yang berapologetik pun terpecah menjadi dua aliran. Kelompok sayap kiri, seperti Teofilus dan Tazianus, cenderung untuk menghakimi mereka tanpa ampun dengan menegaskan

Page 5: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

5 bahwa filsafat adalah rangkaian kesalahan berkarakter sistematik. Maka, tidak ada jalur dialog dengan mereka. Kelompok sayap kanan memiliki paham dialog, seperti Yustinus, Clemens dari Aleksandria, Atenagoras dan sejarawan, Eusebio dari Cesarea. Misalnya, mereka membuktikan validitas agama katolik dengan argumen berikut: karakter monoteis agama katolik dapat dilihat dari nubuat-nubuat kenabian di Perjanjian Lama yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus. Kemudian juga berkaitan dengan tema kebangkitan badan yang merupakan tema sentral dalam agama katolik, tetapi merupakan hal yang sangat sulit diterima bagi orang-orang yunani.

Tugas utama para apologet adalah menolak tuduhan-tuduhan yang beredar secara legal maupun desas-desus yang hidup di tengah-tengah umat. Penolakan ini ada dalam bentuk diskursus atau dialog ilmiah. Dalam penjelasan tersebut, para apologet memiliki kewajiban untuk menjelaskan nilai-nilai iman katolik di hadapan filsafat melalui dua jalan, yaitu dengan menunjukkan mortalitas dan absurditas keyakinan agama mereka yang tidak bersumber dari Yesus Kristus serta ketidaksempurnaan filsafat mereka di hadapan perwahyuan kebenaran yang termaktub di dalam Yesus Kristus. Dengan uraian ini, para apologet menjabarkan bahwa hanya para pengikut Kristus lah yang memiliki kepenuhan kebenaran tunggal.

Namun perlu diingat, bahwa para apologet tersebut sangat terbatas. Ada juga yang partisipan terhadap ajaran Gereja, padahal de facto mereka adalah filsuf pagan. Dalam uraian mereka, bila ditelaah lebih mendetail bisa ditemukan kesalahan doktrin seperti subordinazionisme. Hal ini bisa terjadi karena mereka merumuskan identitas Allah dengan berinspirasi pada konsep platonik tentang Allah, yang dilihat sangat transenden dan terpisah dari dunia, sehingga membutuhkan seorang perantara untuk bisa berkomunikasi dengan-Nya: inilah Sang Sabda. Maka, tema-tema yang diangkat biasanya berkisar tentang inspirasi Roh Kudus, Allah, Trinitas, malaikat dan iblis yang dilihat sebagai pelayan Allah dalam memerintah dunia dan tinjauan eskatologis yang dilihat sebagai hadiah atau hukuman setelah peziarahan hidup di dunia ini.

3 Menggagas Sensus ecclesiae dalam tulisan-tulisan patristik

3.1 Clemens dari Roma

Adalah uskup dan paus keempat di Gereja katolik Roma dari 92-97. Dengan surat-surat yang dikirimkan dari Roma kepada jemaat di Korintus, kita melihat satu intervensi dari Gereja Roma di sana. Dalam hal ini, Clemens menjelaskan di bagian awal tentang posisi kedudukannya sebagai pendamping jemaat dalam kepemimpinan penuh kasih serta peran khususnya di dalam Gereja dan pelayanan yang dia lakukan. Ada posisi khusus yang dimiliki oleh Gereja katolik di Roma dibandingan dengan komunitas-komunitas Gereja katolik di tempat lain. Ada sebuah hak untuk mengintervensi permasalahan-permasalahan yang terjadi di komunitas lain.

Dia menuliskan ini di bagian awal, untuk memancing sebuah diskursus tentang suksesi apostolik dan situasi persaudaraan di dalam komunitas gerejani yang terancam oleh ketiadaan kesatuan hati. Dalam surat ini, Clemens menulis bahwa

segala sesuatu berasal dari keteraturan kehendak Allah. Dialah yang mengirimkan para rasul dan dari mereka, kita memperoleh para pemimpin komunitas (bdk. 1Kor 42,1).

Kemudian pada suratnya yang kedua, dia menegaskan prinsip dasar Gereja bahwa kita semua seperti anggota dari tubuh yang satu dan sama. Maka, tubuh mistik Kristus adalah Gereja (2Kor 14.36-39). Oleh sebab itu, komunitas tidak berhak untuk mengganti para imam mereka, karena mereka tidak memiliki wewenang dan karena para imam itu menerima penumpangan tangan dari suksesi apostolik, maka mereka berkarya menurut isi pewartaan Yesus.

Page 6: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

6 3.2 Ignasius dari Antiokhia

Ignasius memahami Gereja sebagai keseluruhan umat beriman bersama dengan dunia seluruhnya. Maka, dimana ada uskup, di sana ada komunitas. Dimana ada Yesus, di sana ada Gereja katolik (bdk. Smirna, 8). Dalam pola ini sudah bisa ditebak keberadaan tiga level hirarki: uskup sebagai pusat rujukan segala doktrin, disiplin gerejani dan liturgi (Yesus), imam (para rasul) dan diakon (perintah Allah).

Gereja yang hendak digambarkan oleh Ignasius adalah sebuah keseluruhan umat beriman. Untuk pertama kalinya Gereja memperoleh definisi demikian, berangkat dari pemikiran Ignasius. Maka, di sini diungkapkan wewenang khusus dari Gereja romawi, yang menawarkan hirarki tripartitus (Uskup, Imam, Diakon), yang berkarakter mengikat pemikiran semua umat beriman, yaitu Yesus Kristus, Uskup dan Gereja.

Tanpa uskup, imam dan diakon tidak bisa berbicara tentang Gereja. Oleh sebab itu, barang siapa menjalankan sebuah tugas tanpa uskup, kolegium para imam dan diakon, dia tidak bertindak dengan kesadaran nurani yang murni.

Dengan demikian, Gereja Katolik itu berbeda dari yudaisme karena konsekuensinya adalah mengikuti jejak Kristus, hidup dalam Kristus, hidup di hadapan Allah dan seturut kehendak Allah.

3.3 Ireneus dari Lyon

Dia adalah murid martir Policarpus, uskup di Smirna. Ketika dikirim ke Roma untuk mempelajari kasus montanistik, dia ditunjuk menjadi uskup di Lyon untuk melawan gnosis palsu. Dengan latar belakang ini, Ireneus berupaya untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar iman, yang ditemukan di dalam credo para rasul dan dijaga oleh Gereja melalui suksesi para uskup. Di sinilah ditemukan rujukan dasar-dasar iman yang benar.

Maka, jika ada orang ingin mencari ketepatan tradisi, dia harus mencari dalam Gereja yang didirikan oleh para rasul. Di dalam Gereja tersebut ada kesinambungan yang tidak terputus sejak zaman para rasul menjamin kebenaran dari pengajaran mereka. Dengan demikian, prinsip-prinsip iman yang mereka ajarkan berkarakter apostolik.

Para rasul yang berbahagia, yang mendirikan dan membangun Gereja-Gereja ini, mempercayakannya kepada Linus di tahta petrus untuk menggembalakannya. Linus kemudian dikenang juga oleh Paulus dalam surat kepada Timoteus. Anakletus meneruskan warisan Linus, kemudian ada Klemens, yang juga telah mengenal para rasul dan berbicara dengan mereka. Ketika kotbah-kotbah mereka berkumandang, mereka memiliki tradisi yang masih mereka bawa dan mereka terima dari para rasul. Di bawah penggembalaan Klemens, ada sebuah kekacauan yang tidak kecil diantara para saudara di korintus. Oleh sebab itu, Gereja di Roma menulis surat yang sangat meneguhkan kepada Gereja di Korintus, untuk menyerukan damai, menemukan akar iman mereka dan memegang tradisi yang telah mereka terima dari para rasul. (Ireneus dari Lyon, Contro le eresie, 3,1-3: Keuskupan Roma dan komunitas Roma)

Selain kesinambungan tradisi dan pengajaran, ada satu unsur lagi masuk dalam tulisan Ireneus ini, yaitu peran Gereja Roma sebagai pemersatu ikatan cinta kasih. Bagi komunitas-komunitas gerejawi yang mengalami konflik dan kekacauan, Roma menjadi rujukan untuk menyelesaikan masalah. Roma locuta, causa finita. Namun, bagi mereka yang terus menerus ingin memecah belah Gereja, Ireneus pun tidak menghemat perkataannya untuk mengecam mereka. Di sinilah peran sentralitas Gereja katolik di Roma menjadi sangat penting, untuk menjaga kesatuan dan keutuhan Gereja.

“Ia akan menghakimi juga para pencipta skisma. Mereka tidak memiliki cinta kepada Allah dan mencari kehendaknya sendiri, bukan kesatuan Gereja. Karena sebuah alasan yang kecil atau apa saja, mereka membelah dan memecah tubuh Kristus yang mulia dan agung, dan sejauh diberikan kepada mereka, mereka membunuhnya. Mereka berbicara tentang damai, tetapi

Page 7: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

7

melakukan perang. Mereka menyelipkan seekor nyamuk, tetapi menelan seekor unta. Tak satupun dari reformasi mereka itu sebanding dengan kehancuran yang ditimbulkan karena skisma. (…) Barangsiapa bersekutu dengan kita ditandai oleh: kesetiaan dalam menjaga Kitab Suci, penjelasan yang menyeluruh tanpa penambahan dan pengurangan, pembacaannya yang bebas dari tipu daya, penjelasannya meyakinkan, benar, harmonis, bebas dari bahaya dan penghujatan. (Ireneus dari Lyon, Contro le eresie, 4,33.7-8: Gereja adalah tanda khas tubuh Kristus)

Gereja ini, dengan berlandaskan pada situasi awalnya yang cemerlang, yang selalu sejalan dengan setiap Gereja, yaitu para umat beriman yang datang dari segala penjuru, di dalam Gereja inilah selalu dipelihara tradisi yang berasal dari para rasul. (Ireneus dari Lyon, Adversus Haereses, 3,3,2 (218): Sentralitas Gereja)

3.4 Siprianus dari Kartago

Kehadiran Roh kudus hanya dalam persekutuan di dalam Gereja, yang dijamin oleh hirarki gerejawi berdasar pada wewenang satu uskup yang valid. Maka, di dalam Gereja yang nampak, harus ada persekutuan uskup, imam dan umat beriman. Dalam buku de cattolicae ecclesiae unitate, Siprianus menulis bahwa “hanya ada satu Kristus, hanya ada satu Gereja-Nya, hanya ada satu iman dan satu jemaat umat Allah. Di luar ini tidak mungkin ada keselamatan. Maka, habere non potest deum patrem, qui ecclesiam non habet matrem (tidak mungkin memiliki Allah sebagai Bapa, jika tidak memiliki Gereja sebagai Ibu). Perwujudan dari Gereja lokal ini termaktub di dalam diri uskup, para penerus rasul, sedangkan perwujudan Gereja universal berada di dalam kolegium para uskup.

“Habere non potest Deum patrem qui Ecclesiam non habet matrem”. Barangsiapa tidak memiliki Allah sebagai Bapa, dia tidak bisa memiliki Gereja sebagai ibu. Allah bersabda: Aku dan Bapa adalah satu (Yoh 10,30). Demikian juga tertulis bahwa Allah Bapa dan Allah Putra dan Allah Roh Kudus adalah satu (bdk. 1Yoh 5,7). Nah, dapatkah seseorang yakin bisa memecah kesatuan di dalam Gereja, yang berasal dari hukum ilahi dan terkait dengan misteri surgawi? Dapatkah seseorang memecahbelahnya dan menentang kehendaknya?

Barang siapa tidak menjaga kesatuan ini, dia tidak berada di dalam hukum Allah dan tidak beriman kepada Bapa dan Putra, dan tidak memiliki kehidupan dan keselamatan. Misteri kesatuan ini, ikatan kerukunan yang sempurna ini, telah ditunjukkan di dalam Injil, dimana berbicara tentang jubah Kristus yang tidak terbagi. Jubah ini pada akhirnya tidak dibagi-bagikan, tetapi diundikan, sehingga barang siapa mengenakan jubah Kristus, dia menerima jubah yang utuh dan memilikinya dalam bentuk yang tidak terbagi. [...] Mereka yang memecahbelah dan memisahkan Gereja dari Kristus, tidak bisa memiliki jubah Kristus.” (Siprianus dari Kartago, L’unità della Chiesa cattolica, 6-7).

Dalam pemahaman Siprianus ini, barang siapa tidak bersekutu dengan uskup, dia tidak berada di dalam Gereja. Para uskup sendiri tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan bersekutu dan membentuk sebuah kolegium dengan Petrus yang menjaga kesatuan dalam primasi yurisdiksi. Namun, wewenang Petrus yang menerima mandat berdasar Mat 16,18 bukanlah wewenang mutlak, melainkan sebuah wewenang primus inter pares, sebuah wewenang diantara wewenang yang lain yang menjaga kesatuan diantara para uskup. Dalam cakrawala ini, Siprianus melihat salus extra ecclesiam non est, yaitu perlunya rasa memiliki pada Gereja sebagai jalan keselamatan.

Jika hanya ada satu yang mendirikan Gereja, maka semua para rasul, setelah kebangkitan, dianugerahi wewenang yang sama: Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku sekarang mengutus kamu. Terimalah Roh kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jia kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada (Yoh 20,21-23). Untuk mewujudkan kesatuan ini, Dia mendirikan satu Gereja saja dan menempatkan dengan sabdanya, sebuah wewenang bahwa prinsip dari kesatuan ini berasal dari satu hal saja. Apa yang merupakan wewenang Petrus, tentu juga merupakan wewenang para rasul yang lain.

Page 8: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

8

Semuanya turut berpartisipasi di dalamnya. Hal ini mau menunjukkan bahwa iman kepada kristus itu tetap satu saja. [...] Barangsiapa tidak memelihara kesatuan Gereja, mungkinkah dia yakin untuk memelihara imannya? Barangsiapa melawan dan menentang Gereja, mungkinkah dia yakin menjadi bagian dari Gereja? [...] Kesatuan ini harus kita jaga dan kita bela, terutama kita para uskup, di dalam Gereja dimana kita berada. Dengan demikian kita menunjukkan bahwa wewenang keuskupan kita itu satu dan tidak terbagi. (Siprianus dari Kartago, L’unità della Chiesa cattolica, 4-5)

Kesatuan Gereja yang termaktub dalam wewenang Petrus dan para rasul, yang diteruskan kepada para uskup, merujuk pada kesatuan Kristus. Kesatuan Gereja ini menggarisbawahi kesatuannya di dalam hukum Allah. Bahkan, dalam penjelasan berikutnya, Siprianus mengkaitkan misteri persatuan tersebut dalam relasi dengan Allah sebagai Bapa dan Gereja sebagai ibu.

3.5 Yohanes Krisostomus

Lahir di Antiokhia dan menjadi besar dalam didikan ibunya, Antusa, yg menjadi janda sejak usia 20 tahun. Setelah menerima pembaptisan dewasa, dia mempelajari doktrin katolik bersama Teodorus (kelak Uskup di Mopsuestia). Namun, realitas kerap tidak sesuai dengan idealisme yang dimiliki masing-masing orang. Sebuah komunitas atau persekutuan gerejawi yang harmonis selalu menjadi dambaan dan harapan banyak orang. Pada tahun 397, Yohanes Krisostomus dipilih menjadi Uskup di Konstantinopoli. Penampilannya sederhana, banyak membantu orang miskin, reformis terhadap kehidupan imam dan keras melawan uskup simoniaci. Hal ini ditentang oleh Ratu Eudossia yang kemudian mengasingkannya. Tantangan hidup bersama bisa muncul dari para pemimpin. Dengan berlatar belakang pengalaman ini, , Yohanes Krisostomus menampilkan sebuah dilema kehidupan bersama: apakah seseorang harus taat kepada pemimpin yang jahat dan mengikuti kepentingannya sendiri?

Kelemahan dalam ketiadaan otoritas selalu merugikan dan menjadi penyebab dari peristiwa yang menyedihkan. Jika engkau menghilangkan seorang dirigen dalam koor, engkau tidak akan memiliki ritme dan keharmonisan. Jika engkau menghilangkan pemimpin dari sebuah barisan, engkau tidak akan memilki keteraturan dan ketepatan dalam barisan. Jika engkau menghilangkan nahkoda dari kapal, maka engkau akan menenggelamkannya. Demikian juga jika engkau menghilangkan seorang gembala dari kawanan umat, engkau menjadikan kawanan itu kacau balau dan hancur berantakan.

Maka, ketiadaan otoritas adalah sebuah aib dan menyebabkan kekacauan. Tetapi, ini adalah sebuah situasi yang serupa buruknya dengan ketidaktaatan pada otoritas. Masyarakat yang tidak tunduk pada otoritas itu serupa dengan mereka yang tidak memiliki pemimpin. Bahkan bisa lebih buruk lagi. Kelompok tanpa pemimpin, jika jatuh dalam kekacaubalauan, akan menerima pengampunan karena kekacauan tersebut, sedangkan yang lain, meski memiliki otoritas tetapi tidak taat, akan dihukum. Namun, ada bentuk ketiga dari aib ini: ketika ditemui seorang pemimpin yang jahat. Saya tahu, bahwa ini bukan kejahatan yang kecil, tetapi bisa lebih jahat dari ketiadaan otoritas. Memang, adalah lebih baik tidak dipimpin oleh siapapun, daripada dipimpin oleh kejahatan!

Paulus menulis: Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, (Ibr 13,17) kemudian, Ingatlah akan pemipin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibr 13,7). Bagaimana ini harus dipahami? Bagaimana bisa kita harus taat kepada pemipin, jika dia jahat? Apa yang kau pahami tentang kejahatan? Jika yang kau maksudkan itu berkaitan dengan iman, larilah dari padanya dan hindarilah dia, meskipun dia adalah malaikat yang turun dari surga! Namun, jika dia itu jahat di dalam hidupnya, janganlah terlalu memperhatikannya. Nasehat ini bukanlah dari saya, melainkan tertulis dalam Kitab Suci (Mat 23,2-12). Mereka memiliki otoritas, tetapi kehidupan mereka tidak murni. Kamu janganlah mencontoh kehidupan mereka, tetapi perkataan mereka. Mengapa? Karena kondisi mereka itu jelas bagi semua, dan tak seorang pun dari mereka, meski berada di puncak kejahatan, tidak mengajarkan sekalipun

Page 9: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

9

hal-hal yang jahat. Tetapi dalam cakrawala iman, kondisi ini tidak jelas bagi semua. Barang siapa jahat, tidak akan malu mengajarkan kesalahan. (Yohanes Krisostomus, Omelie sulla lettera agli Ebrei, 34,1)

3.6 Tertullianus

Terlahir dalam sebuah keluarga pagan di Kartago + 160, Tertullianus tumbuh sebgai ahli hukum dan retorika. Perjalanan hidupnya mengantar dia ke pangkuan Gereja di Roma sekitar tahun 195, setelah mengosongkan piala kesenangan sampai tetes yang terakhir. Dari Roma dia kembali ke Afrika dan melayani komunitas gerejawi di sini. Dalam perkembangan berikutnya, dia memisahkan diri dari Gereja sekitar 207.

Konsep tentang Gereja yang dimilikinya sangat berkarakter montanistik: ubi tres, ecclesia est, licet laici. Dimana ada tiga orang berkumpul, di situ ada Gereja, meski hanya awam saja tanpa kehadiran seorang imam atau religius. Gereja pada mulanya hanya satu. Kesatuan ini termaktub dalam diri Petrus dengan kuasa mengikat dan melepaskan. Namun, kuasa ini hanya ada pada Petrus, tidak diteruskan kepada para uskup yang lain.

Jika engkau ingin memuaskan rasa ingin tahumu tentang kesehatanmu, cobalah mengevaluasinya melalui Gereja apostolik, dimana hingga saat ini, tahta para rasul dipelihara. Di sinilah ditemukan surat-surat asli dari para rasul, dimana masih menggema suara mereka dan kita masih menghidupinya.

Apakah engkau tinggal dekat Acaia? Di sana ada Korintus. Jika engkau tidak jauh dari Macedonia, engkau bisa pergi ke Filipi dan Tesalonika. Jika engkau pergi ke Asia, di sana ada Efesus. Jika engkau berada di italia, ada Roma... juga kepada kami ada wewenang para rasul.

Gereja di Roma ini adalah Gereja yang sangat berbahagia! Sejak semula para rasul sendirilah yang telah memberikan semua pengajaran melalui kemartiran. Ini adalah Gereja dimana Petrus mengalami kematian sejajar dengan Yesus; dimana Paulus dimahkotai kemartiran seperti Yohanes Pembabtis; dimana rasul Yohanes ditenggelamkan dalam minyak yang mendidih dan keluar dari wajan minyak itu tanpa luka sedikitpun (berita dari Tertullianus dan disebarkan oleh Hieronimus). Kita melihat apa yang Gereja telah pelajari, apa yang menandai Gereja di Roma, dan kesaksian apa yang diberikannya. Juga bersama dengan Gereja di Roma, ada Gereja di Afrika yang juga memberikan kesaksian.

Baik, maka Gereja di Roma mengenal hanya satu Allah, pencipta dunia dan akan Yesus Kristus, lahir dari Perawan Maria, Putra Allah Sang Pencipta; dan kebangkitan badan. Gereja ini mempersatukan hukum dan para nabi secara terintegratif dalam Injil dan dalam surat-surat par rasul. Dari sini ditimba imannya, memeteraikan dengan air (pembabtisan), mengenakan padanya dandanan Roh Kudus, memeliharanya dengan roti ekaristi dan terus memompanya dengan kemartiran dan menentang setiap lawan dari doktrin ini. (Tertullianus, La prescrizione contro gli eretici, 36: asal mula keapostolikan Gereja).

Tertullianus memiliki konsep Gereja trinitaris. Maksudnya, dimana Uskup, Imam dan Diakon berkumpul, di sana ada Bapa, Putra dan Roh Kudus yang hadir. Dimana ada Gereja, jayalah hirarki ini. Inilah pandangan Tertullianus yang berkarakter montanis (bdk. de babtismo 6,2 / de pudicitia 21,16 / Mt 18,12). Dengan demikian, merangkum pemikiran Tertullianus, satu-satunya sumber kebenaran dan iman, prinsip-prinsip dasar yang menjamin kebenaran iman adalah apostolisitas Gereja, tradisi apostolik dan regula fidei.

4 Penutup

Mengapa mencintai Gereja? Pertanyaan sederhana ini menuntut sebuah kerja keras reflektif eksperiensial. Belajar dari pengalaman para bapa Gereja yang hidup tanpa Kitab Suci dan Credo yang baku seperti sekarang ini, tersirat sebuah daya juang untuk mencari Kebenaran terus menerus dan menempatkannya pada posisi yang tepat. Dengan berbagai macam metode filsafat

Page 10: Sensus Ecclesiae pada tulisan para bapa Gereja

10 dan kedalaman akal budi yang reflektif, tidak pernah mereka berhenti dan puas dengan apa yang sudah mereka pahami, tetapi terus mengasahnya dengan berbagai sarana dan dalam berbagai situasi. Pada akhirnya, pencarian mereka pun terpenuhi dalam Gereja dan misteri yang terkandung di dalamnya.

Tertullianus dan Origenes melihat Gereja sebagai depositum fidei. Hal ini mencakup suksesi apostolik, tradisi apostolik dan regula fidei. Di dalam Gereja ini, Paus merupakan personalisasi Petrus (Tertullianus) dan penerus Petrus (Cyprianus). Bahkan Ignasius dari Antiokhia dan Origenes berani menyatakan bahwa di dalam Gereja ada kehadiran Kristus yang seutuhnya. Maka Origenes melihat bahwa di luar Gereja ini, tidak ada keselamatan, karena di dalam Gereja disimpan deposit kebenaran tentang hukum-hukum dan pengajaran Yesus. Bahkan, dengan berbagai situasi krisis doktrin dan kesatuan yang melanda Gereja, Roma tetap mampu bertahan dan menjadi ikatan pemersatu komunitas gerejani di tempat lain. Maka, layaklah mencermati kembali ajakan dari Hieronimus berikut ini yang merangkum undangan membangun rasa memiliki pada Gereja:

Sungguh, saya tidak mengikuti tahta yang lain selain tahta Petrus. Oleh sebab itu, saya menempatkan diri pada persekutuan dengan katedral Petrus. Saya tahu bahwa di atas batu (pietra) ini didirikan Gereja. Barangsiapa menikmati anak domba di luar rumah ini, dia adalah kegelapan. Barangsipa tidak berada di dalam bahtera Nuh, dia akan tenggelam pada saat air bah (Hieronimus, Le lettere a papa Damaso, I, 15, 1-2)

PUSTAKA

AA.VV., La teologia dei padri: testi dei padri latini, greci orientali scelti e ordinati per temi, Vol. IV, Città Nuova, Roma 1975

ALTANER, M., Patrologia, Marietti, Torino 1977

CONGREGAZIONE PER L'EDUCAZIONE CATTOLICA, “Istruzione sullo studio dei padri della chiesa nella formazione sacerdotale”, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/ documents/rc_con_ccatheduc_doc_1989 1110_padri_it.html (19.49, 26 Februari 2014)

FIEDROWICZ, M., Teologia dei padri della Chiesa: Fondamenti dell’antica riflessione cristiana sulla fede, Queriniana, Brescia 2010

DOSTOEVSKIJ, F., I fratelli Karamazov