Senopati Pamungkas II - 41
Senopati Pamungkas II - 45
Yang kedua adalah Jaghana. Paman yang bersahaja itu sedang
menderita luka. Dalam keadaan seperti itu, lawan yang menganggapnya
bahaya bisa melenyapkan.Demikian juga Nyai Demang.Ah. Rasanya
Upasara menjadi kangen untuk mengetahui apa yang terjadi.Dorongan
itu membuat langkahnya makin lama makin cepat,Hanya saja jarak
menuju ke Keraton bukan jarak pesisir Sumbermanjing dengan pesisir
Ngliyepan. Dua kali Upasara beristirahat di tempat yang tidak
mengganggu siapa pun.Ingin rasanya bermalam di rumah penduduk,
mendengarkan obrolan. Akan tetapi hati kecilnya menahan keinginan
itu. Karena hanya akan merepotkan. Dan ia tak bisa berbuat sesuatu
untuk membalas kebaikan.Bukan artinya kebaikan harus segera dibayar
lunas, akan tetapi Upasara menyadari dirinya tidak siap untuk itu.
Tak ada sekeping uang di sakunya.Malam ketiga, ketika Upasara mulai
masuk ke wilayah Keraton, baru ia mendengar kabar. Kabar pertama
yang mengagetkan.Bahwa Raja Jayanegara akan menikahi secara resmi
Tunggadewi maupun Rajadewi. Sesuatu yang tidak masuk akalnya sama
sekali.Bukan karena Upasara merasa sangat dekat dengan dua putri
Permaisuri Rajapatni sejak masih kecil, melainkan karena kedua
putri itu saudara seayah dengan Raja.Niatan lama Raja yang pernah
mendapat banyak tantangan itu kini diwujudkan kembali.Banyak
isyarat yang dimunculkan dari keberanian ini. Sekurangnya Raja
ingin menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya penguasa. Bahwa
sekarang Baginda yang berada di Simping tak lagi berhak mencampuri
urusan Keraton.Sesuatu yang terasakan oleh Upasara dari pembicaraan
tersamar yang didengar. Bahwa sejak Baginda tertawan Pangeran
Hiang, pamornya menyusut dengan keras, walau tidak secara
terang-terangan.Apa pun alasannya, Upasara tidak akan membiarkan
pernikahan resmi itu terjadi.Dengan jalan apa pun.Harta dan
WanitaUPASARA tidak menyadari bahwa sejak pertarungan di Lodaya,
terjadi beberapa perubahan. Kalau kemudian hatinya tergerak untuk
melibatkan diri dalam rencana pernikahan Raja dan dua putri
Permaisuri Rajapatni, itu adalah bagian yang memang direncanakan
Halayudha.Sejak pertarungan yang diakhiri dengan pembakaran perahu
Siung Naga Bermahkota hingga karam dan tinggal arang yang
mengapung, Halayudha merasa segalanya sudah di tangan.Apalagi telah
disaksikannya sendiri beberapa mayat yang hangus tak bisa dikenali
lagi. Meskipun tidak yakin mana mayat hangus Upasara, untuk
sementara Halayudha merasa terhibur.Terutama karena kini kekuasaan
sebagai mahapatih telah berada dalam tangannya. Wewenang telah
diisyaratkan Raja, dan ia telah memakai kesempatan dengan
baik.Mahapatih Nambi telah disingkirkan.Baik dalam pengertian
pangkat dan jabatan serta derajat, maupun dalam pengertian
badaniah. Mahapatih Nambi telah dikembalikan ke Lumajang. Lengkap
dengan ayahnya dan seluruh prajurit, dengan beban telah melakukan
kesalahan.Baginda tidak banyak berbuat. Karena lebih berkenan
mencari dirinya melalui semadi yang panjang di Sanggar Pamujan
Simping. Berarti secara resmi halangan di sekitar Keraton tak ada
lagi. Tidak juga Permaisuri Indreswari yang selalu lebih awas dan
penuh perhitungan.Dalam perhitungan Halayudha, Raja Jayanegara tak
banyak menimbulkan persoalan.Memang begitu.Hanya saja ada yang
tidak diduga oleh Halayudha.Ketika Raja menanyakan apakah benar
Dewa Maut bisa membebaskan Gendhuk Tri, Jaghana, serta Senopati
Sina hanya dengan menusuk telapak kaki.Perhitungan raja sangat
tepat sekali.Bawa dia menghadap kepadaku.Aku ingin menyembuhkan
Permaisuri Praba Raga Karana.Bagai disambar petir di tengah hari,
Halayudha mendengar perintah Raja.Betapa tidak.Kalau Dewa Maut bisa
membebaskan Praba Raga Karana, sama juga dengan dirinya menyerahkan
kepala untuk dipenggal. Pengakuan Praba akan memusnahkan seluruh
impiannya. Justru di saat telah dipegang erat. Hamba akan usahakan,
Raja yang Bijaksana. Hanya Dewa Maut agak aneh kelakuannya. Lakukan
segala bujuk rayu. Demi Raja Lakukan, Halayudha.Sendika dawuh,
Ingkang Sinuhun Lakukan.Di jagat ini semua lelaki sama.
Menginginkan harta atau wanita atau dua-duanya. Berikan apa saja
yang diminta. Inilah yang merepotkan.Dewa Maut, meskipun
kelakuannya tak bisa ditebak dan kemauannya serba ngawur, akan
tetapi tak akan menolak kalau mendengar ada yang meminta
bantuannya. Dengan ilmunya, bukan tidak mungkin mampu menerobos
totokan nadi yang dilakukan Halayudha. Inilah repotnya.Karena
Halayudha tak bisa menunda, atau tidak menjalankan sama
sekali.Sebab Praba Raga Karana bagi Raja adalah segalanya. Takhta
dan kehormatan akan menjadi urutan kesekian. Raja yang Maha
bijaksana.Hamba mengetahui sedikit rasa dan daya asmara Raja.
Permaisuri Praba Raga Karana cepat atau lambat akan segera baik
kembali.Hanya saja, selama menunggu, apakah Raja tidak berkenan
menyanding putri yang lain?Siapa yang kamu maksudkan?Hamba hanya
mengingatkan bahwa di taman kaputren masih ada dua putri yang elok,
dan mempunyai darah raja. Kalau itu saja, apa susahnya?Maksud
hamba, Raja berkenan mengangkat sebagai salah satu selir
kesayangan, kalau bukan permaisuri. Halayudha!Ingsun bisa melakukan
itu tanpa saranmu. Dulu bisa, sekarang pun bisa.Dalam suatu pesta
Keraton.Apa itu perlu?Apa itu tidak membuat Permaisuri Praba Raga
Karana bertambah sedih karenanya?Halayudha menyembah hingga
menunduk.Dalam hatinya tersenyum. Umpan Raja mengenai arta lan
wanita, harta dan wanita, untuk Dewa Maut, kini yang disodorkan
Halayudha.Untuk Raja!Inilah taktik.Hamba mengetahui, merasakan daya
asmara Raja.Apalagi Permaisuri Praba Raga Karana.Sedih sesaat, akan
tetapi akan berbahagia bila kemudian Raja berkenan mengangkatnya
sebagai permaisuri. Di lain pihak, duh Raja, semua hati wanita
mempunyai rasa sujana, selalu mempunyai rasa tidak mau mempercayai
karena rasa cemburu.Mohon maaf, Raja.Hati wanita siapa pun, akan
tetap memiliki rasa itu.Dalam kaitan ini, Permaisuri Praba Raga
Karana justru akan mendekat ke Raja untuk nyuwita, untuk
mengabdikan dirinya.Dan juga pertimbangan lain.Apa itu?Raja yang
Bijaksana sekarang benar-benar penguasa tertinggi di tanah Jawa.
Tak ada yang lain. Bayangan kebesaran tak akan tertutupi oleh yang
lain.Melihat suasana pembebasan Baginda di pinggir Kali Brantas,
hamba merasa bahwa Baginda masih berusaha menempatkan diri pada
pusat kekuatan. Sehingga merasa tetap berkuasa, karena Mahapatih
Nambi yang sedang palapa karya bersedia datang.Kini saatnya Raja
membuktikan bisa menentukan sendiri.Menganggap sepi Baginda.Dengan
mengawini dua putri Baginda sekaligus.Pertimbangan yang lain, demi
keamanan takhta Raja. Kita tak tahu, apakah kedua putri Permaisuri
Rajapatni masih mempunyai dendam yang bersarang dalam tubuh
Permaisuri Tribhuana, yang ingin meneruskan keturunan memegang
takhta.Kemungkinan yang ada, bersandar pada harapan kedua putri
Permaisuri Rajapatni.Siapa pun suami mereka di belakang hari, akan
mudah terkena kisikan bahwa, maaf sekali, Raja bukan turunan darah
asli Singasari. Suatu pikiran licik yang bisa dipakai untuk
memanaskan suasana.Dengan mengambil kedua putri Permaisuri
Rajapatni, kemungkinan itu tak ada sama sekali.Pertimbangan lain,
agaknya kedua putri sekar kedaton, bunga Keraton, cukup elok dan
hangat serta bisa meladeni Raja.Boleh juga pertimbangan kamu,
Halayudha.Hanya dari mana semua perhitungan itu? Apakah dari hatimu
yang juga busuk, sehingga mengetahui secara jelas? Hamba Tak
apa.Ingsun menerima apa yang kamu sarankan.Tetapi, sambil
mengupayakan pesta itu, Ingsun pribadi ingin mengetahui mengenai
pengobatan oleh Dewa Maut. Sembah bagi Raja. Lakukan!Ada kesempatan
untuk mengambil napas. Walau waktunya terbatas.Tak mudah Halayudha
menyingkirkan Dewa Maut begitu saja. Kecurigaan Raja bisa mengubah
segala rencana. Juga tak bisa membiarkan Dewa Maut lolos serta
melarikan diri ke gua bawah Keraton. Karena kini semua berada dalam
tanggung jawab dan wewenangnya.Cara terbaik hanyalah mempengaruhi
sehingga Dewa Maut tetap kacau dan ngawur.Juga dalam
penyembuhan.Tapi ini yang sulit ditebak.Tak ada jalan lain kecuali
mengadakan pendekatan sendiri. Mendekati Dewa Maut, dengan jalan
mengajaknya ke kapustakan.Untuk apa?Aku bisa ke sana sendiri.Dewa
Maut, maukah Dewa Maut memberi petunjuk bagaimana menentukan
penyakit lewat totokan dan tusukan jari pada telapak kaki?Jarimu
ada yang putus, mau apa?Haha.Tapi aku tak boleh bilang begitu.Aku
ingin tanya dulu. Di mana Tole, di mana Dewa Maut? Di mana jalan
menuju ke gua?Di mana Jaghana, Nyai Slemok yang tubuhnya bagus? Di
mana siapa?Semua menunggu Dewa Maut di bawah gua. Bagus itu. Terima
kasih.Kalau kamu mau belajar ilmu itu, ada di kapustakan. Di situ
ada kitab, ada tulisan, ada kidungan. Begitu.Kitab yang mana? Yang
mana saja.Kekuatan WadatHALAYUDHA tersenyum geli dalam hati.Kitab
mana? tanyanya mengulang.Mana saja, jawab Dewa Maut sama.Dalam
Kitab BumiYa.Atau Kidungan Paminggir?Ya.Kidungan Pamungkas?Ya.Atau
kitab Dlamakan Megar..Bisa jugaTangan Halayudha mengusap bibirnya.
Hatinya berkata, bahwa dalam gilanya Dewa Maut sebenarnya tidak
ngawur dalam segala hal. Jawaban-jawaban yang sekenanya, sebenarnya
memang kena.Bukan tidak mungkin cara penyembuhan lewat telapak kaki
itu ada dalam kitab-kitab yang disebutkan. Ketika Halayudha
menyebutkan kitab Dlamakan Megar, Dewa Maut tidak langsung mengiya.
Melainkan membuka kemungkinan.Sudah barang tentu Halayudha hanya
main-main untuk menjajal Dewa Maut. Selama ini tak pernah ada kitab
Dlamakan Megar, atau Telapak Kaki Membuka. Ternyata Dewa Maut tidak
asal mengiya.Bagaimana kalau kita coba saja?Mencoba apa?Saya
pura-pura diperiksa.Tak bisa pura-pura.Coba Dewa Maut periksa, apa
yang salah dalam diri saya.Tanpa ragu Halayudha berbaring.Telapak
kakinya membuka.Tapi kamu siapa?Saya Halayudha. Halayudha itu
siapa?Dewa Maut menunduk. Telunjuk tangannya menusuk telapak kaki
kiri pada beberapa bagian.Mendadak meloncat kaget.
Berdiri.Halayudha juga tersentak kaget. Kamu siapa?Pandangan mata
Dewa Maut luar biasa bernas, tajam, menghunjam. Kepalanya bergerak
ke kiri, sedikit miring.Aku tahu kini, kamu Dewa Maut yang sedang
ngrogoh sukma sejati, mau mengetahui asal-usulku.Aha, tak begitu
gampang.Aku bukan orang yang gampang dimasuki, ditelanjangi, dan
dilihat. Aku adalah Halayudha, senopati, sekaligus juga mahapatih,
juga calon penguasa tertinggi.Aku adalah batu karang.Kamu tak akan
menang denganku, Dewa Maut. Aku sedang mempermainkan, agar kamu tak
bisa menyembuhkan wanita menyebalkan itu. Halayudha mengeluarkan
keringat dingin.Adalah di luar dugaannya bahwa Dewa Maut bisa
mengubah diri. Menjadi dirinya dan mengeluarkan isi hatinya. Inilah
celaka.Jika sampai diketahui orang lain. Jika sampai didengar
telinga lain.Akan tetapi ada rasa aman. Pertama, karena mereka
berdua berada di tempat tersendiri. Kedua, siapa yang mau percaya
omongan Dewa Maut yang dikenal kurang waras?Namun hatinya bercekat
juga. Kata-kata yang membuatnya mengeluarkan keringat dingin, bukan
hanya karena dengan demikian Dewa Maut bisa menelanjangi bawah
sadar dan keinginannya yang terpendam saja, melainkan juga karena
Dewa Maut menyebut mengenai merogoh sukma sejati.Selama ini
Halayudha hanya mendengar saja, belum pernah melihat sendiri.Baru
sekarang ini.Aku tahu kamu heran, Dewa Maut.Karena aku adalah
Halayudha yang selama ini tak diketahui orang. Aku senopati yang
paling tersamar, paling tak dikenali. Itulah keuntunganku. Aku
senopati kitab tertutup, yang tak bisa dibaca.Dewa Maut, percuma
kamu masuk dan menukik ke dalam diriku.Ludah Halayudha
tertahan.Matanya nyalang.Dewa Maut menusuk kembali telapak kaki
Halayudha.Dan untuk kedua kalinya meloncat kaget.Kamu baru tahu,
Dewa Maut?Akulah ksatria wadat yang sesungguhnya.Kali ini Halayudha
yang sesungguhnya meloncat kaget. Tubuhnya mencelat dari
pembaringan. Kedua tangannya terulur cepat. Tapi urung dengan
sendirinya.Halayudha masih bisa berpikir untuk tidak berlaku
gegabah melukai Dewa Maut. Kali ini bukan hanya pertimbangan
dirinya pengawas hidup Dewa Maut, melainkan, lagi-lagi, kalimat
Dewa Maut yang menyebut wadat.Selama ini, Halayudha selalu
menyembunyikan hal itu.Rapat tertutup. Rapi terkunci.Wadat adalah
istilah yang diberikan kepada lelaki atau perempuan yang menyendiri
selama hidupnya. Tidak mau mengenal dan berhubungan dengan lawan
jenisnya.Para pendeta, resi, banyak yang memilih cara hidup seperti
ini.Bukan sesuatu yang luar biasa.Akan tetapi bahwa Dewa Maut bisa
mengetahui dan memahami hanya dengan menusuk telapak kaki satu kali
saja, itulah yang luar biasa.Urat planangan masih utuh dan
buntu.Bagaimana mungkin bisa begitu?Wajah Halayudha
pias.Tenggorokannya tercekik.Matanya membalik.Yang kelihatan hanya
putihnya.Urat planangan, itu urat kelelakian. Yang membuat lelaki
menjadi jantan, menjadi pejantan yang menyemprotkan bibit
keturunan.Kamu punya itu.Tapi buntu.Jadi, bagaimana bisa begitu?Tid
tidakHalayudha, kamu keliru.Aku bisa mengetahuinya, dengan merogoh
sukmamu.Halayudha menunduk.Tubuhnya gemetar dan mandi
keringat.Basah hingga menyungai di lantai.Pukulan dan guncangan
yang dahsyat.Selama ini Halayudha selalu menyembunyikan apa yang
pernah terjadi atas dirinya. Tak pernah ada yang
mengetahui.Ada.Ada.Eyang Puspamurti.Hanya Eyang Puspamurti yang
berhasil membuatnya telanjang, dan menelungkupkan serta
menelentangkan tubuhnya!Selebihnya tak ada.Selebihnya, Halayudha
sendiri tak mau melihatnya. Kini dengan tepat, Dewa Maut bisa
melihatnya. Dan mengatakannya!Halayudha berusaha memusatkan tenaga
batinnya. Ia tak mau sukmanya dibetot oleh Dewa Maut.Tapi ternyata
tak ada gunanya.Dewa Maut yang berada di depannya, seolah menjadi
Halayudha yang berdiri goyah.Dewa Maut, apakah betul kamu ingin
mengetahui keadaan diriku? Aku ini Halayudha.Murid kesayangan,
murid utama, tumpuan segala keinginan Paman Sepuh Dodot Bintulu
yang menciptakan Kitab Bumi. Tokoh sakti mandraguna dan baik
hati.Aku menjadi tumpuan setelah kakak seperguruanku, Ugrawe,
meninggalkan guruku.Aku adalah segalanya.Kalau saja Kalau saja tak
terjadi peristiwa itu. Halayudha yang sesungguhnya bengong. Kedua
bibirnya membuka.Dewa Maut, yang berperan sebagai Halayudha,
sebaliknya hanya menggeleng berulang kali. Berusaha menembus
rintangan batin, untuk menjadi Halayudha secara total.Tapi agaknya
mengalami kesulitan. Kalau saja peristiwa itu tak terjadi. Bukan
salahku. Bukan mauku.Aku, aku, aku telah melakukan semua demi
guruku. Semuanya. Tapi, apa yang harus kuderita?Dewa Maut
terhuyung-huyung, tubuhnya melemah. Dan ambruk. Halayudha menarik
cepat. Dewa MautDewa Maut menghela napas. Berat.Wajah dan tubuhnya
tampak sangat letih. Halayudha, bukankah wadat itu kekuatan? Apakah
kamu lupa Barisan Api di atas perahu itu? Dewa Maut memejamkan
mata. Napasnya masih tersengal-sengal.Pengalihan PlananganHALAYUDHA
menunduk.Menunggu.Tarikan dan embusan napas Dewa Maut masih
menggeronjal, tak menentu.Sedikit demi sedikit, kalimat Dewa Maut
masuk ke alam pikirannya.Wadat sebagai kekuatan, sudah lama
disadari. Para pendeta, para resi, sengaja tetap membujang, karena
dengan demikian pemusatan pikirannya bisa penuh, total, dan
tuntas.Yang tidak diketahui Halayudha sebelum ini ialah adanya
hubungan dengan Barisan Api.Bagi para ksatria mana pun, Barisan Api
yang dibawa Pangeran Hiang adalah kasunyatan yang amat menarik.
Kenyataan yang membuka mata.Bahwa sesungguhnya kekuatan raga,
kekuatan tenaga luar, ternyata bisa dikembangkan sampai tingkat
yang tak terbayangkan sebelumnya. Yang bisa pula menindih kekuatan
tenaga dalam. Apalagi dalam hal ini, Barisan Api bisa melipatkan
tenaga jika bersentuhan.Halayudha mengalami sendiri, karena
langsung terlibat dalam pertarungan.Hanya tidak disadari bahwa
kemungkinan pacuan tenaga itu antara lain karena Barisan Api
berawal pada sikap wadat.Sesuatu yang bisa dengan mudah dilihat
oleh Dewa Maut.Sebab pada dasarnya Dewa Maut juga melakukan sikap
yang sama. Pada awalnya.Kalaupun Dewa Maut tak mengetahui lebih
dalam, itu tak mengurangi arti pemahamannya. Bahwa Barisan Api
memang sengaja dididik dan dibentuk sebagai ksatria dengan kekuatan
penuh. Bahwa kekuatan utamanya, antara lain digali dari kekuatan
urat planangan, kekuatan kelelakian.Dewa Maut tidak mengetahui
bahwa itu semua perlu penanganan yang tidak sembarangan, karena
melalui tusuk tubuh beberapa kali. Akan tetapi Dewa Maut bisa
mengetahui pengalihan tenaga planangan itu, walau tidak tahu persis
bagaimana caranya.Dengan melihat keadaan Halayudha, Dewa Maut
seperti dibukakan kitab lama.Halayudha sendiri merasa bahwa Dewa
Maut sebenarnya telah menjadi tokoh yang sakti mandraguna.
Pengenalannya selama ini, apa yang diketahuinya mengenai diri Dewa
Maut, sudah meleset jauh.Selama bertahun-tahun mengurung diri dalam
gua bawah Keraton dan bisa lebih leluasa berada di kapustakan atau
perpustakaan resmi Keraton, Dewa Maut banyak sekali
berubah.Kemampuan dan keunggulan sebagai jago silat, yang pernah
membuatnya dijuluki Dewa Maut, adalah modal yang luar biasa
besarnya. Sehingga tidak mengalami kesulitan untuk memahami
berbagai kitab.Lebih dari itu semua, Dewa Maut tidak berurusan
dengan dunia yang lain. Segala sesuatu yang dilalui setiap hari,
setiap saat, justru menyatu dengan ajaran dalam kitab.Itulah
sesungguhnya yang telah mengubah diri Dewa Maut. Yang pada
penampilannya tetap tak berbeda seujung rambut pun. Kekuatan
planangan, Dewa Maut? Ya.Itu yang terjadi pada Barisan Api.Urat
planangan merupakan sumber kekuatan bagi lelaki. Kekuatan yang
berasal dari kodrat. Sehingga lelaki bisa menjadi jantan. Bisa
menurunkan, bisa memberikan benih.Yang saya tahu, kekuatan itu dari
sumbernya dialihkan menjadi tenaga. Itu yang terjadi pada Barisan
Api. Hal yang sama Tidak. Kamu tidak. Aku juga tidak. Napas Dewa
Maut mulai teratur.Pada diriku kekuatan planangan itu tidak
dialihkan, melainkan dibunuh. Karena aku kecewa. Karena aku tak mau
lagi.Pada dirimu kekuatan planangan itu tidak dialihkan, melainkan
dibuntu. Karena apa aku tak tahu.Padahal itu bisa dialihkan menjadi
kekuatan.Otak Halayudha cepat menangkap bersitan kemungkinan yang
luar biasa.Bahwa tenaga dalamnya bisa meningkat dalam waktu
singkat.Kalau ini terjadi, jagat akan dihadapi dengan kepala lebih
mendongak.Itu bukan kemungkinan yang muskil.Selama ini, sepanjang
usianya, Halayudha selalu berlatih ilmu silat, melatih tenaga
dalam. Bahkan lebih dari ksatria mana pun di seluruh Keraton,
Halayudha mengetahui berbagai kitab dan ajaran ilmu silat dari
seberang. Baik dari Jepun, Syangka, Hindia, maupun dari
Tartar.Tidak kepalang tanggung, Halayudha belajar secara
langsung!Dengan dasar-dasar Kitab Bumi yang dikuasai, semua itu
bukan sesuatu yang sulit. Dengan cepat Halayudha bisa memahami.Akan
tetapi tetap mengherankan bahwa dirinya bukan yang paling
unggul.Ini merupakan pertanyaan lama yang tidak disadari.Dan tak
diketahui jawabannya.Tapi terasakan. Ada sesuatu yang tidak beres
dengan dirinya.Halayudha makin menyadari ketika melihat
perkembangan diri Gendhuk Tri. Gadis galak yang mengganggu
perjalanan hidupnya itu adalah contoh nyata.Halayudha mengetahui
persis kekuatan dan kelemahan ilmu silat Gendhuk Tri. Hanya karena
keberanian dan kadang kenekatan saja Gendhuk Tri bisa selalu lolos,
atau kadang bisa unggul tipis darinya. Akan tetapi Halayudha yakin,
bahwa dalam satu pertarungan dirinya bisa mengalahkan dengan
mudah.Walaupun Gendhuk Tri mengalami kemajuan besar di
sana-sini.Akan tetapi, tetap saja mengherankan. Karena kemudian
Gendhuk Tri mampu melejit, menemukan sumber kekuatan baru yang
mengubah seluruh penampilannya. Dengan memainkan jurus-jurus
Sepasang Air, yang dimainkan bersama Pangeran Anom atau Maha
Singanada, Gendhuk Tri seakan menjelma menjadi kekuatan baru yang
hebat. Yang berbeda dari sebelumnya.Loncatan inilah yang rasanya
tak dialami Halayudha.Ia berlatih keras. Ia memahami, menjalani.
Dan menemukan kemajuan yang berarti.Tetapi tetap bukan
loncatan.Kemajuan yang setapak demi setapak, makin luwes dan
menguasai ilmunya. Sementara Gendhuk Tri sudah melakukan lompatan
besar.Padahal Halayudha berada pada kemungkinan yang lebih.Kitab
Air yang disusun oleh Eyang Putri Pulangsih telah dikuasai. Bahkan
padanan yang berasal dari tanah Syangka, yang membuat Pendeta
Manmathaba seolah tanpa tanding, juga telah dikuasai dan
dipahami.Akan tetapi semua itu menunjukkan hasil yang tak seberapa
dibandingkan apa yang dicapai oleh Gendhuk Tri.Di mana
salahnya?Laku apa yang membedakannya?Pertanyaan itu menjadi lebih
besar ketika Halayudha melihat Upasara Wulung, yang dengan gagah
dan gemilang muncul pada saat gawat, dan menggilas habis
lawan-lawannya.Menaklukkan Barisan Api.Sama-sama mendalami Kitab
Bumi, Upasara bisa menemukan kekuatan yang berbeda. Penguasaan yang
luar biasa, membuat Upasara mengungguli siapa pun yang mempelajari
kitab yang sama sumbernya.Lebih dari itu, ketika Upasara menjamah
juga sentuhan dari kitab yang lain, Kidungan Paminggir dan Kidungan
Pamungkas, ia menjadi satu tingkat lebih tinggi lagi. Sehingga
seolah Halayudha merangkak berat, sementara Upasara melangkah
tegar.Sekarang pertarungan itu terjawab.Lewat Dewa Maut!Jawaban itu
antara lain, pengalihan tenaga planangan yang selama ini
buntu.Itukah jawabannya? Itu jawabannya!Halayudha bersorak dalam
hati.Seolah mendapatkan pencerahan, melihat cahaya di ujung lorong
gelap yang selama ini dijalani.Dalam berlatih ilmu silat, hubungan
antara jiwa dan raga tak bisa dipisahkan. Sejak awal, siapa pun
yang mempelajari ilmu silat mengetahui hal ini.Hal ini yang
membedakan bagaimana seorang bisa lebih kuat tenaga dalamnya
dibandingkan yang lain, walaupun semua latihan, cara, dan waktu
yang dihabiskan umpama kata sama.Titik yang membedakan adalah
penyatuan raga dengan jiwa. Semakin bisa menyatu, pemusatan tenaga
dalam itu bisa semakin kuat. Untuk itu diperlukan kebersihan hati,
ketenangan, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada tuntunan Dewa
Yang Maha Menguasai. Hal yang sebenarnya kurang bisa dilakukan oleh
Halayudha. Baru sekarang ini disadari.Selama ini ganjalan yang coba
ditutupi, coba ditenggelamkan, akan tetapi ternyata masih menjadi
gangguan yang masih tersisa. Halayudha bersujud di kaki Dewa Maut.
Terima kasih atas pencerahan Dewa Maut.Kalau kamu berterima kasih
padaku, kepada siapa aku berterima kasih? jawab Dewa Maut kocak,
sambil melihat kiri-kanan. Mohon pengarahan dan bimbingan
selanjutnya.Asmara Dewi RenukaDEWA MAUT masih bersandar
lemas.Halayudha menyembah sekali lagi.Lalu bersila.Lama.Tangan
kirinya membuka, terangkat ke atas.Perlahan bergerak ke depan.Tanpa
suara.Tanpa angin.Tangan kirinya turun ke bawah, berhenti di bagian
dada. Sementara tangan kanannya terangkat ke atas, membuka ke arah
depan.Bergetar.Jarinya yang kutung terlihat jelas.Bekas codetan di
perutnya tak tertutup lagi.Halayudha berusaha mengosongkan
diri.Telanjang.Dalam artian yang sebenarnya, karena kainnya lepas,
terjatuh di samping. Gerakan kedua tangannya yang bergetar membuat
kain yang menutupi tubuhnya sebagai baju sudah lama
tanggal.Halayudha membuka diri.Sepenuhnya.Tarikan napasnya makin
lama makin teratur.Satu titik dari matanya yang tertutup, tertuju
kepada satu lingkaran cahaya. Yang makin mengecil, mengecil,
mengecil, dan plas.Plas.Menjadi titik yang berwujud bocah kecil, di
suatu daerah yang lebat tetumbuhan kiri-kanan, tersamar dalam kabut
dini hari. Halayudha kecil membawa batok kelapa yang berisi
air.Berlari-lari melalui jalan berbatu, menuju rumah yang dibangun
sederhana dari ranting-ranting pohon.Naik-turun hingga matahari
tengah hari.Hingga matahari lenyap.Ditemani rembulan, Halayudha
kecil terus melakukan pekerjaan yang sama. Mengisi pojok-pojok
bangunan rumah dengan siraman air. Terus melakukan itu, sampai
Eyang Sepuh Dodot Bintulu meminta batok kelapa itu dan membuat
lubang di samping kiri-kanan.Halayudha kecil kembali melakukan
pekerjaannya.Memandikan rumah.Kali ini harus bergerak lebih cepat,
karena air dalam batoknya mengalir keluar dari samping kiri dan
kanan.Kalau air sampai di batas yang berlubang, tak ada gunanya
kamu mempercepat langkah.Langkah bisa dipercepat, kalau ada
artinya.Bergeraklah sebelum air memancar ke luar.Setelah mengalir
tak ada gunanya.Halayudha terus melakukan.Terus-menerus
melakukan.Hingga berganti tempat semadi. Hingga kemudian sekali
batok kelapa itu dilubangi bagian dasarnya.Bolong menganga di
bawah!Saat itu Halayudha kecil benar-benar tak bisa melakukan
apa-apa. Karena air yang dibawa dengan kecepatan penuh pun selalu
mengucur ke bawah.Sehingga hanya tinggal percikan belaka ketika
ditumpahkan.Bodoh!Gerakan tenagamu untuk berlari, bukan untuk
menggoyang batok. Bodoh!Percuma kamu berlatih napas.Suatu saat
Halayudha mendapat tumpahan kalimat terburuk, ketika Paman Sepuh
Dodot Bintulu mengetahui kemudian, bahwa dirinya bisa menuang air
secara penuh karena jarinya ditutupkan di bagian yang
berlubang.Kotor! Nista!Bagaimana pikiran kotor itu bisa ada di
otakmu, kalau sejak kecil kamu mengikuti aku?Apakah kamu lahir
sudah membawa kejijikan?Halayudha merasa wajahnya pedih. Segumpal
cairan kental disemprotkan Paman Sepuh menyambar wajahnya.Coba lagi
sampai mati.Halayudha kecil menangis.Tapi mencoba lagi.Kali ini
tidak menutupi lubang dasar dengan jari, melainkan dengan tanah
liat. Sehingga kesepuluh jarinya bisa terlihat dari
kejauhan.Halayudha tidak menyumpal seluruhnya, melainkan hanya
sebagian kecil saja. Karena kuatir gurunya mengetahui air dalam
batok kelapa masih penuh.Halayudha kecil selalu mengikuti
gurunya.Sampai di pinggir laut.Sampai di tempat lain di tengah
hutan.Tanpa pernah bertanya, tak pernah ditanya. Hanya berlatih,
menuruti, mengikuti.Juga tak bertanya-tanya mengenai dirinya,
orangtuanya dulu, desanya, atau apa saja.Hingga menjadi lelaki
dewasa.Aku tidak mau kamu seperti bangsat Ugrawe.Halayudha juga tak
bertanya siapa Ugrawe, atau bagaimana kisahnya.Gurunya selalu
membatasi, dan berlindung di balik caping.Sampai suatu ketika
Halayudha melihat seorang wanita yang berada di samping gurunya.
Halayudha tidak bertanya, tidak menyapa.Melakukan apa yang
diperintah.Itu saja.Itu selalu.Berlatih ilmu silat.Tenaga
dalam.Dipuji.Diludahi.Dibiarkan.Sampai kemudian peristiwa yang
selalu disembunyikan itu terjadi. Ia berada di telaga, ketika
wanita itu mendekap tubuhnya, menggulatnya.Ia tak memedulikanku.Ia
gila dengan ilmu silatnya.Halayudha muda tak menyadari sepenuhnya
apa yang terjadi. Hanya kemudian sekali, gurunya mengetahui.Dan
sekali menggerakkan lidi kecil, Halayudha kehilangan
kelelakiannya.Di jagat ini selain gurunya, hanya Eyang Puspamurti
yang pernah melihat itu.Juga muridnya.Tidak. Bahkan gurunya tidak
melihat. Wanita itu juga tidak melihatnya.Dewi Renuka dulu dibunuh
anaknya ketika menyeleweng saat menemani suaminya bertapa.Kamu akan
mengalami hal yang sama.Minggat dari sisiku.Biarkan anak dalam
kandunganmu itu membunuhmu nanti.Saat itu Halayudha tak mengetahui
itu kisah tentang Dewi Renuka.Baru kemudian sekali telah melarikan
diri dari gurunya karena tak tahan penderitaan, dengan membunuh
gurunya dan membuang serta menindihi dengan tumpukan batu,
Halayudha mengetahuinya.Seorang wanita yang menyertai suaminya
bertapa, dan karena merasa tidak diperhatikan bermain asmara dengan
seorang raja. Dewi Renuka dibunuh putranya sendiri, sebagai hukuman
atas penyelewengan yang dilakukan.Kisah yang dituturkan dengan
kengerian yang luar biasa itu tak terlalu menggigit hati
Halayudha.Berusaha melenyapkan.Berusaha menanggalkan.Bukan bagian
dirinya.Perjalanannya sebagai prajurit Keraton menghapus semuanya.
Tak ada yang bertanya, tak ada yang menyinggung, dan itu semua
berjalan dengan sendirinya. Kebanggaan sebagai prajurit,
keunggulannya dibandingkan para prajurit lain, menjadi dirinya yang
sekarang.Yang terpupuk ketika menjadi senopati.Melihat berbagai
kesibukan sehingga praktis tak mengingat lagi hubungannya dengan
Dewi Renuka atau Kiai Gajah Mahakrura, atau Gajah yang Mahabengis,
sebutan untuk gurunya.Satu-satunya yang pernah menggetarkan hatinya
ialah ketika diadakan pertarungan di Trowulan, Paman Sepuh Dodot
Bintulu muncul lagi. Halayudha bagai dirobek masa lalunya.Untung
tidak berkepanjangan, karena Paman Sepuh sirna dalam pertarungan
itu.Baru sekarang terbuka kembali.Di depan Dewa Maut.Yang bersandar
ke dinding seolah tertidur.Saya anak yang menjijikkan itu.Saya anak
yang hina, yang tak tahu budi.Saya bisa balik bertanya, kenapa Guru
Gajah yang Mahabengis itu memanggil dan mengajak? Kenapa tidak
membiarkan saya sebagai anak desa yang biasa-biasa dan miskin?Saya
bisa balik bertanya, kenapa wanita yang mempunyai daya asmara Dewi
Renuka itu menubruk saya?Saya bisa balik bertanya, kenapa Guru
Gajah yang Mahabengis menjatuhkan hukuman sehina ini?Saya bisa
balik bertanya, kenapa ia tidak menghukum diri sendiri? Dan kenapa
memilih saya yang lemah yang tak bisa melawan?Pertanyaan BerahiDEWA
MAUT menggerakkan tangan kanan seolah mengusir nyamuk.Suara
Halayudha menurun.Tapi perihnya mendaki.Dorongan penderitaan yang
tak dipahami selama bertahun-tahun.Saya bisa balik bertanya.Apa
sesungguhnya daya asmara itu?Apa bedanya dengan daya berahi itu?
Apa arti kesucian, kesetiaan?Saya balik bertanya, Dewa Maut.Siapa
sesungguhnya wanita yang disebut sebagai Dewi Renuka itu? Istri
Kiai Gajah Mahakrura? Kekasih? Kenapa tiba-tiba muncul bersama, dan
kemudian ditelantarkan? Dan kenapa merasa disisihkan?Kenapa saya
yang harus menjadi korban?Dosa apa yang saya lakukan?Senopati
Pamungkas II - 46
By admin Oct 13th, 2008 Category: 1. Silat Jawa, AA - Senopati
Pamungkas II
Dewa Maut kembali membuat gerakan menepuk nyamuk.Saya ditubruk.
Dirayu. Dicumbu.Seumur hidup saya belum pernah melihat tubuh
wanita. Belum pernah menyentuh. Belum pernah mengalami. Tidak
mengetahui apa dan bagaimana.Dewi Renuka tahu.Dan peristiwa itu
terjadi.Saya bertanya-tanya, apakah Dewi Renuka memiliki daya
asmara terhadap diri saya? Mencintai diri saya?Ataukah ini hanya
luapan berahi?Atau luapan balas dendam kepada Kiai Gajah
Mahabengis?Dewa Maut, di mana asmara yang murni, di mana berahi,
dan di mana dosa yang membedakan?Dalam kitab ada atau tidak?Saya
tak bisa tahu.Mungkin tak perlu.Saya pernah mengalami daya asmara.
Jatuh asmara kepada seseorang. Yang rasanya orang itu juga iya.
Tapi kemudian memutuskan untuk tidak.Begitu saja.Saya kecewa.Saya
berada di atas perahu, bersumpah tak mau menyentuh tanah. Karena
dendam, karena asmara, karena kangen. Semua yang saya lakukan
karena sebenarnya saya masih memendam daya asmara yang
sesungguhnya.Sehingga saya merasa menodai jika saya merangkul atau
memandang wanita lain lebih lama. Itu saja.Semua saya lakukan untuk
menunjukkan bukti kemurnian asmara saya yang sesungguhnya. Begitu.
Dan berahi? Dan dendam? Berahi itu lelaki.Tanpa daya asmara ia bisa
merasakan berahi. Dan mau. Begitu.Dewi Renuka seorang wanita.
Apalagi. Apalagi wanita?Apalagi wanita, apalagi Dewi Renuka. Dewa
Maut mengenal Dewi Renuka? Tidak sebelumnya. Tapi kamu yang
mengenalkan.Wanita yang bisa jadi kecewa kepada Kiai Gajah, gurumu.
Lalu mengajakmu main asmara. Seketika. Sekali.Atau beberapa kali.
Halayudha menunduk. Menyerah. Takluk.Atau beberapa kali, ulangnya
dengan suara perlahan. Apakah ada bedanya?Terserah.Tapi banyak
kitab tentang itu.Berawal dari dendam, berawal dari berahi sesaat,
itu tak apa. Berakhir dengan asmara. Asmara yang sesungguhnya.Jadi
berahi adalah awal asmara dan asmara itu sendiri.Saya justru bisa
bertanya balik kepadamu, Halayudha.Kenapa kamu berdiam diri
menghadapi Kiai Gajah Mahabengis, gurumu?Kenapa kamu tidak lari,
kalau tak bisa melawan? Kenapa kamu mengakui dosamu, salahmu,
penyelewenganmu dengan cara seperti itu? Saya bisa balik bertanya,
Halayudha. Kenapa Dewi Renuka berdiam diri? Apa jawabannya, Dewa
Maut?Jawabannya sama dengan apa yang saya terima, ketika kekasih
saya menolak.Seharusnya saya merampas, nekat, menyerang.Tapi saya
terdiam.Menerima kekalahan.Seperti yang dilakukan Eyang Putri
Pulangsih atau juga Eyang Sepuh. Di saat semuanya mengiya, lalu
buyar.Seperti Upasara Wulung dengan Permaisuri Rajapatni.Seperti,
seperti, seperti.Ya, seperti, seperti.Berahi itu sumber tenaga.
Seperti semua sumber tenaga ia bisa menghancurkan bisa
menghidupkan. Kita menerimanya sebagai sesuatu yang lebih suci dari
tenaga lain.Tak apa.Itulah yang terjadi pada diri Barisan
Api.Ganjil, atau justru tidak ganjil, Dewa Maut berbelok berbicara
mengenai Barisan Api. Yang mengubah tenaga planangan menjadi
kekuatan tenaga luar.Kamu juga bisa.Kamu hanya terputus saja. Tapi
tenaga itu masih ada. Selama ini buntu, karena kamu
sembunyikan.Dewa Maut, bagaimana caranya agar bisa mengubah itu?Ada
kitab atau tidak?Mana?Di kitab apa, pupuh berapa, rasanya
disinggung tentang itu, tapi entah bagaimana.Halayudha menghela
napas berat.Kenapa Dewa Maut tidak melakukan hal itu?Tidak.Saya tak
mau mengubah tenaga planangan.Kenapa?Kenapa harus mengubah?Kenapa
saya yang harus mengubah?Sebab kamu tak mungkin melakukan
lagi.Tapi, Halayudha, bagaimana dengan Dewi Renuka-mu itu? Apakah
ia mengandung dan melahirkan anak, dan apakah sekarang menjadi jago
silat?Serampangan kata-kata Dewa Maut, seolah tak berbeda dengan
menerangkan Barisan Api atau menangkap nyamuk yang tak ada. Sama
tekanan dan nadanya.Tapi itu menghunjam ke dalam batin
Halayudha.Itu memang pertanyaan batinnya.Sejak ia meninggalkan dan
berusaha melenyapkan gurunya, Halayudha tak mendengar kabar berita.
Sengaja tak mau mendengar, sengaja menghindar.Kenapa Dewa Maut
bertanya begitu?Tidak usah pakai kenapa.Kamu terlalu sering
menanyakan kenapa.Padahal ini untuk menjawab pertanyaanmu.
Perbedaan antara berahi dan asmara. Kalau bukan sekadar berahi dan
mau membalas dendam, Dewi Renuka akan memelihara benih dalam
kandungannya. Ia wanita, dan bersedia mendampingi Kiai Gajah
Mahabengis, gurumu.Kalau bukan sekadar dendam, Kiai Gajah
Mahabengis akan menerima keadaan diri Dewi Renuka dan memelihara
benih itu sebagaimana benihnya sendiri.Halayudha mendesis. Saya tak
pernah mendengar itu. Saya juga tidak, jawab Dewa Maut enteng.
Halayudha menyembah sekali lagi. Rasanya ini pencucian diri saya,
untuk pertama kalinya. Terima kasih, Dewa Maut.Kalau sudah begitu,
mestinya saya juga berterima kasih kepada Dewa Maut. Sebab ia
begitu baik untuk menjelaskan ini.Dewa Maut, kenapa Dewa Maut tidak
mencoba merogoh sukma Dewi Renuka?Saya?Ya.Saya merogoh sukma Dewi
Renuka untuk mengetahui isi hatinya? Untuk mengetahui di mana
dendam, di mana berahi, dan di mana asmara?Ya.Bisa saja.Wajah
Halayudha berubah.Kita coba.Kalau ia tak bersedia?Kamu saja tadi
tak bersedia. Bagaimana dengan dia?Jangan memaksa. Barisan Api tak
mendendam kepada siapa-siapa. Mereka menjalani saja hidup mereka.
Tak menyesali kenapa tak bisa mempunyai berahi.Saya juga tak mau
memaksa.Pertanyaan KatresnanHALAYUDHA mengawasi ruang
sekitar.Pertama kali sejak mendiami ruangannya, baru sekarang ini
Halayudha memperhatikan betapa setiap sudut penuh dengan ukiran
yang dalam pembuatannya memerlukan waktu dan ketekunan yang
panjang.Termasuk payung yang diwarnai, tempat meletakkan senjata,
ujung kaki ranjang.Setiap harinya diperlukan tenaga dan perhatian
khusus untuk mengganti bunga yang diletakkan pada cawan tanah. Juga
airnya. Dan setiap kali pula yang bertugas di situ membaca doa,
mantra, bersemadi secara khusyuk.Tak ada setitik debu.Tak ada
setitik bau.Tak ada yang mengganggu.Selama ini ia tak pernah
memperhatikan. Tak pernah sedikit pun mengamati dan memperhatikan
siapa-siapa yang telah melakukan pekerjaan dengan tekun, penuh
pengabdian, akan tetapi tak pernah ditegur atau disapa.Bahkan tak
pernah mengetahui siapa.Kesadaran yang agak tiba-tiba saja
menyelinap dalam diri Halayudha, ketika mengadakan percakapan
dengan Dewa Maut.Siapa Dewa Maut sebenarnya, Halayudha selama ini
tak pernah memperhitungkan. Yang ada dalam benaknya hanyalah ada
tokoh yang bernama Dewa Maut. Yang karena berada di pihak lawan,
perlu diketahui seberapa jauh kekuatannya. Dan dengan sendirinya,
sedikit riyawatnya.Akan tetapi tak pernah lebih dari itu.Dan
sekarang jadi berbeda.Dewa Maut bukan hanya sosok manusia yang
tanpa makna khusus. Dewa Maut sekarang seperti seorang yang sangat
dikenal, sangat dekat, yang membuat Halayudha membuka dirinya.Untuk
pertama kalinya.Dewa maut, siapa kamu sebenarnya?Bisa siapa
saja.Jangan malah bingung dan bertanya-tanya. Kamu biasa hantem
kromo, main ugal-ugalan dan serampangan. Tak memedulikan manusia
lain sama sekali.Kalau kamu punya perhatian, berarti kamu melihat
adanya keuntungan untuk dirimu.Kamu begitu baik membuka
dirimu.Menolongku.Memang.Mungkin.Dewa Maut, kenapa kamu melakukan
itu?Karena kamu merasa dirimu jahat, culas, licik, maka kamu
menanyakan hal itu padaku?Kamu keliru, Halayudha.Manusia adalah
manusia.Ia akan menjadi mahamanusia. Dengan berusaha atau dengan
sendirinya. Sesama manusia, apa bedanya? Apa beda Halayudha dengan
Upasara?Di saat Upasara berada dalam gua bawah tanah, aku berbicara
dengannya.Di saat sekarang, aku berbicara dengan Halayudha.Apa itu
kurang jelas?Dewa Maut, kenapa kamu mau bertimbang rasa dengan
saya?Katresnan. Cinta. Bagian dari asmara.Itulah yang akan selalu
berada dalam diri manusia. Juga dalam diri binatang, dan tumbuhan,
dan bumi serta isinya. Manusia mempunyai katresnan, kepada sesama.
Bisa lawan jenis, bisa sejenis.Katresnan yang sesungguhnya bukan
sekadar berahi, bukan sekadar daya asmara. Itulah rasa yang juga
dimiliki tumbuhan. Sehingga pohon mangga rela buahnya kita ambil,
dimakan burung, atau jatuh ke tanah. Sehingga angin selalu bergerak
tak habis-habis walau kita isap. Sehingga air laut bergelombang.
Sehingga matahari memberi panas.Halayudha, aku tahu apa yang
tersimpan di balik wajahmu.Kamu bertanya, apa aku ini waras atau
tidak.Iya, kan?Jawabannya sama saja.Aku bisa memusuhimu. Kamu juga
bisa.Aku bisa bersahabat denganmu. Kamu tak bisa.Tapi itu
biasa.Karena kamu butuh kekuatan untuk membuka nadi planangan yang
tertutup, yang terbuntu, dan aku bisa mencoba, ada baiknya kita
lakukan.Itulah inti katresnan.Putri Pulangsih tresna kepada Eyang
Sepuh. Ia melakukan apa saja, yang bisa dinilai sebagai waras atau
tidak. Masuk nalar atau sebaliknya.Itulah sebabnya ombak selalu
berdebur di pantai. Kadang membawa ikan, melontarkan. Salahkah
ombak, dan mendosai ikan?Itulah sebabnya ombak kembali ke tengah
laut. Kadang membawa manusia, menyeret. Salahkah ombak, dan
mencelakai manusia?Berbaringlah, Halayudha.Aku ingin tahu seberapa
jauh kamu bisa melipatgandakan tenaga dalammu.Halayudha
berbaring.Tubuhnya hanya ditutupi kain berwarna putih. Di ranjang
yang dilapisi kain sutra, yang kiri-kanannya berjuntai kain sutra
berwarna.Berbaring dengan telapak kaki menghadap Dewa Maut.Dewa
Maut mendekat.Memegang tungkai dengan tangan kiri. Ujung jari
tangan kanannya menyodok ke tengah.HmmmmmHalayudha
berkeringat.Tubuhmu sempurna, Halayudha. Anggota badanmu baik.
Tenaga dalam, isi perutmu, bagus sekali.Kemampuanmu menahan
penderitaan lebih dari siapa pun yang pernah kujajal.Itu
bagus.Telunjuk Dewa Maut menusuk sedikit di bawah mata
kaki.Halayudha mengeluarkan pekikan keras.Ini buntu.Nadi planangan
kamu tidak membuka. Kekuatan kejantanan kamu membeku, buntu.Ketika
Dewa Maut menusuk kembali, Halayudha mengertakkan giginya. Kedua
tangannya yang memegang tepi ranjang mencengkeram keras.Kayu yang
perkasa dan kuat itu somplak.Kain sutra yang menutupi hancur!Akan
kucoba membuka.Kali ini Dewa Maut menggunakan dua jarinya. Menusuk.
Tidak segera ditarik, melainkan ditekankan lebih dalam. Tenaganya
dikerahkan hingga keringatnya berbintik di dahi.Halayudha merasakan
rasa sakit yang luar biasa.Daya tahannya yang baru saja dipuji Dewa
Maut seakan rontok. Tubuhnya menggelinjang, berputar. Kepalan
tangannya yang dipukulkan ke ranjang membuat ranjang itu
somplak.Kayu yang menjadi tiang penyangga sebesar kaki
pecah.Ranjang itu amblas ke bawah.Kepala Halayudha menghantam
lantai.Tapi tekanan jari Dewa Maut bergeming.Wuaduh!Teriakan
Halayudha demikian keras dan menyayat, sehingga beberapa prajurit
jaga berseru dan meloncat masuk. Bersiaga.Halayudha berusaha duduk
sambil menggeleng. Tangannya memberi tanda agar para prajurit
segera keluar lagi.Tubuhnya kini basah kuyup oleh
keringat.Lega?Napas Halayudha berangsur-angsur normal
kembali.Tangannya masih gemetar.Mati rasanya.Guratan di tangan
adalah nasib, kodrat.Guratan di telapak kaki adalah pusat
berkumpulnya semua nadi yang menghubungkan anggota tubuh. Tapi aku
tak cukup kuat menekan. Kalau kamu bisa melatih sendiri, pasti
bisa.Dewa Maut, rasanya saya tidak tahan.Aku bisa mengurangi rasa
sakitmu, tapi jatuhnya aku yang terkena.Kita coba.Dewa Maut kembali
menusuk dengan jarinya. Menusuk dalam. Menekan. Memutar.Halayudha
kembali merasakan kenyerian yang mencabiki seluruh nadi tubuhnya.
Memang tidak semenderita seperti pertama tadi. Akan tetapi baru
berlangsung beberapa kejap, Dewa Maut mengeluarkan suara
keras.Tubuhnya melengkung!Tak bergerak lagi.Halayudha benar-benar
tak mengerti.Tubuhnya sedikit sempoyongan. Tangannya gemetar,
mengangkat tubuh Dewa Maut. Mengangkat dengan rasa hormat,
membaringkan di ranjang kain sutra.Wajah Dewa Maut seperti
tertidur.Tenteram.Bahagia.Menyunggingkan senyum.Dewa MautHalayudha
menunduk. Seolah tak percaya getar tangannya yang didekatkan ke
hidung Dewa Maut. Seolah ingin meyakinkan bahwa kalau didengarkan,
dengus napas itu masih ada.Kedamaian AbadiWAJAH Dewa Maut tak
berubah sedikit pun.Tetap tenang. Tak ada beban sedikit
pun.Rambutnya putih bagai kapas. Beriapan di sekitar tubuhnya yang
tampak kurus kering. Semakin pucat dengan kain putih yang melilit
tubuh.Keringat di dahi Dewa Maut terasa dingin ketika Halayudha
mengusap hormat.Dewa MautBisikan tanpa gema.Tanpa rasa.Tanpa
jawaban.Perlahan Halayudha merangkapkan tangan Dewa Maut di depan
dada. Tangan yang lemas. Tubuh yang lemas, walau tak bisa bergerak
lagi.Perlahan Halayudha berjongkok.Bersujud.Wajahnya menekur ke
bawah.Rambutnya yang digelung rapi tergerai.Dewa.Rintihan suara
Halayudha lebih mengesankan sebagai pertanyaan kepada Dewa Yang
Maha dewa dibandingkan menyebutkan nama.Halayudha
berlutut.Tenggelam ke dalam gemuruh tubuh dan batinnya.Sungguh
pengalaman yang maha luar biasa.Belum pernah Halayudha tergetar
seperti sekarang ini. Belum pernah kesadarannya terguncang hingga
ke dasar-dasarnya.Dewa Maut.Dewa Maut mengempaskan perasaan
Halayudha pada suatu tempat yang belum pernah dialami seumur
hidupnya.Ia tak mengenal orangtuanya secara sadar. Hanya masih
diingatnya ketika ia diambil seorang lelaki, yang kemudian
mendidiknya, mengajari ilmu silat, dan menindasnya dengan sangat
kejam. Seorang guru yang sangat dihormati, tetapi sekaligus juga
sangat dibenci, sehingga ia menjuluki Kiai Gajah Mahakrura.Ada
pertalian naluri, emosi yang tersambung antara dirinya dan gurunya.
Akan tetapi semua itu tak membuat Halayudha mempunyai perasaan
tertentu ketika harus berpisah. Bahkan sebelumnya ia berani
memainkan ilmu andalan gurunya dengan menyabet bambu kurus untuk
mengiris tubuh dengan sabetan melintang samping. Untuk mengarahkan
dendam semua ksatria kepada gurunya.Ia setengah mengenal kakak
seperguruannya, Ugrawe, yang gagah perkasa dan malang-melintang di
dunia persilatan. Akan tetapi juga tak meninggalkan kesan apa-apa.
Baik kekejaman mencoba membunuh guru, atau sifat lain. Halayudha
tidak menjadi dendam, juga tidak merasa berutang budi.Biasa-biasa
saja.Datar.Tokoh lain yang sempat mengguncang jiwanya adalah Dewi
Renuka. Satu-satunya wanita yang pernah diajak main daya asmara.
Melampiaskan daya berahi.Akan tetapi ketika kemudian berpisah,
Halayudha tak merasa kehilangan, tak berusaha mencari. Meskipun
juga tak sepenuhnya menghindar.Perasaannya tetap datar.Kalaupun ada
gugatan keras, itu seperti letupan gemuruh yang tak mempunyai
pijakan jelas.Tapi sekarang ini lain.Mayat Dewa Maut, tokoh tua
yang tak mempunyai tenaga dalam seperti biasanya para jago silat
ini, justru mampu membuatnya tepekur.Dewa Maut.Dewa Maut.Nama yang
memberi makna begitu banyak. Membuka cakrawala batinnya yang selama
ini tertutup rapat.Ia menghubungi Dewa Maut karena ingin
melaksanakan niatnya mencegah pengobatan atas diri Praba Raga
Karana. Lalu terjadilah pembicaraan yang lebih akrab, ketika Dewa
Maut mencoba menjajal ilmu Ngrogoh Sukma Sejati. Yang mampu
menyelam kepada pribadi orang lain.Setelah itu disambung dengan
pembicaraan mengenai berahi.Disusul dengan usaha mencoba
mengalihkan tenaga planangan. Halayudha masih tak sadar bahwa
ketika mencoba memulihkan tenaga dalamnya yang tersumbat, Dewa Maut
kemudian memakai tubuhnya sendiri sebagai korban.Luar biasa.Tanpa
kata-kata penjelasan.Selain sekilas mengenai katresnan. Seperti
bicara sambil lalu. Akan tetapi itu berarti segalanya bagi Dewa
Maut.Napas Halayudha masih terengah-engah.Gerah.Gelisah.Secara
nalar, Halayudha bisa menerangkan, bahwa Dewa Maut berusaha
mengubah tenaga dalam yang selama ini terbuntu. Dengan membaca nadi
telapak kaki, Dewa Maut menusuk. Ternyata kekuatannya tak sebanding
dengan kekuatan Halayudha. Kemudian menyarankan Halayudha berlatih
sendiri. Perubahan yang kemudian adalah karena Halayudha merasa
tidak kuat menahan sakit, Dewa Maut mengalihkan rasa sakit itu ke
dalam tubuhnya sendiri.Ilmu seperti itu bukan tak dimengerti.Dalam
pengaturan tenaga dalam, orang bisa memakai tenaga dalamnya sendiri
untuk membantu orang lain. Juga untuk menahan penderitaan.
Halayudha mengenal dengan baik, karena salah satu inti ajaran
Banjir Bandang Segara Asat tak jauh berbeda.Akan tetapi karena
tenaga Dewa Maut tidak kuat menahan beban, ajalnya
datang.Pertanyaan Halayudha adalah: Kenapa Dewa Maut melakukan hal
itu?Mustahil Dewa Maut tak mengetahui kemungkinan datangnya maut.
Dengan pengetahuan dan pengalamannya yang luas, Dewa Maut bisa
membaca dengan baik. Bisa menghindar kalau mau. Sekurangnya tidak
mengorbankan diri seperti yang dilakukan. Karena sudah menyarankan
kepada Halayudha untuk menjajal sendiri.Pertanyaan Halayudha
adalah: Kenapa Dewa Maut tetap melakukan hal ini?Pengorbanan
sebagai ksatria? Rada mustahil, mengingat Dewa Maut dalam
kesetengahwarasannya mengetahui Halayudha bukan ksatria. Dewa Maut
sudah mengatakan bahwa Halayudha culas, jahat, dan licik.Kenapa
Dewa Maut harus melakukan pengorbanan ini?Inilah yang membuat
Halayudha tepekur.Pendekatan apa pun tak membuatnya lega dan
terjawab. Bukan kawan, bahkan musuh. Bahwa Dewa Maut mau
menunjukkan cara-cara untuk memperkuat tenaga dalam saja sudah luar
biasa. Apalagi dengan mengorbankan diri.Untuk pertama kalinya
getaran itu menggema lama dalam sanubari Halayudha. Entah kenapa,
ia tak bisa sekadar menganggapnya sebagai ketololan, kedunguan
sikap yang dipilih Dewa Maut. Entah kenapa, ia tak bisa bersorak
gembira saat itu, seperti sebelumnya.Tubuh yang lemas, damai,
tenteram.Wajah yang meninggalkan senyuman.Seolah Dewa Maut rela,
ikhlas, sadar sepenuhnya apa yang dilakukan.Dewa Yang Maha
dewa.Aku, Halayudha, tak pernah meminta padamu. Sekali ini, aku
menyembah dan merendah padamu, untuk memberi kehidupan yang abadi
bagi Dewa Maut.Aku tahu, tanpa permintaanku ini, Dewa Yang Maha
dewa lebih tahu. Terima kasih, Dewa Maut. Halayudha mengusap
wajahnya.Baru kemudian berdiri perlahan. Melangkah satu-satu, ke
arah pintu. Melaluinya, melangkah ke luar tanpa menutup
kembali.Kebimbangan sesaat yang membuat perasaan aneh dalam
dirinya. Sesaat.Karena pada tarikan napas berikutnya, Halayudha
sudah berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan dalam langkahnya.
Dengan meninggalnya Dewa Maut, besar kemungkinannya Raja menaruh
curiga. Atau paling kurang menilai dirinya tidak bisa memenuhi
tanggung jawab yang dibebankan.Berarti soal Praba Raga Karana tetap
akan mengganjal.Segera setelah upacara pernikahan dengan dua putri
Permaisuri Rajapatni pertanyaan itu akan datang.Itu yang
pertama.Akibat kedua yang bisa datang di kemudian hari sudah
terbayang. Para ksatria, terutama yang berasal dari Perguruan Awan,
akan muncul menuntut balas.Itu akan merepotkan.Halayudha terus
melangkah.Mengikuti tembok bagian dalam dalem kepatihan. Beberapa
kali tangannya mengelap tembok yang kukuh berdiri, yang selalu
terjaga bersih. Dadanya mengembang-mengempis.Rambutnya tetap
terurai.Menggelombang hingga ke pinggang ketika Halayudha mendongak
ke arah langit.Dikesampingkannya wajah Dewa Maut yang senyumannya
membuatnya tergetar.Di langit seperti ditemukan jawaban.Kalau ia
bisa menyembunyikan mayat Dewa Maut, pastilah tak banyak
menimbulkan persoalan. Tak ada yang mengetahui kematian Dewa Maut.
Dan tak akan ada yang percaya apa yang sesungguhnya
terjadi.Petirahan PungkasanHALAYUDHA merasakan perubahan dalam
dirinya.Langkahnya terasa sangat ringan. Telapak kakinya bahkan
seakan tak menyentuh tanah ketika digerakkan lebih cepat dari
biasanya. Dadanya terasa segar, rongganya seolah menjadi
berkembang. Perutnya menyisakan rasa hangat.Halayudha tak berani
mengatakan pada dirinya, bahwa ini perubahan yang nyata dari usaha
yang dilakukan Dewa Maut. Kini ada perubahan aliran kekuatan yang
tadinya membuntu. Halayudha tak ingin berkesimpulan secepat
itu.Akan tetapi sesungguhnya, itulah yang dirasakan.Kesegaran dari
ujung rambut hingga ulu hati.Perubahan lain yang disadari adalah
kini ada yang menahan keinginannya untuk menguburkan Dewa Maut di
tempat dulu Upasara, seorang seperti Upasara, dikuburkan.Bagian
belakang kaputren itu tak akan menimbulkan kecurigaan siapa pun.
Apalagi memang merupakan bekas kuburan.Persembunyian yang paling
aman.Siapa yang akan menduga bahwa di bekas kuburan akan dimakamkan
tubuh lain?Hanya saja kali ini Halayudha tidak rela. Hati kecilnya
ingin memberi penghormatan kepada Dewa Maut. Sesuatu yang tak
pernah menyentuh dan berbunyi dalam jiwanya.Kali ini Halayudha
ingin memberi petirahan, peristirahatan, terakhir yang layak. Tak
ada yang lebih tepat selain gua bawah Keraton. Tempat Dewa Maut
menghabiskan waktu terakhir dan memperoleh pencerahan.Halayudha
melakukan sendiri.Berjalan mengikuti jejak yang kira-kira
ditempatkan Dewa Maut semasa masih hidup. Melalui lorong-lorong
sempit, baik yang muncul di parit depan kaputren, ataupun di dekat
perpustakaan. Halayudha mengikuti perjalanan Dewa Maut.Merasakan
apa yang kira-kira dirasakan Dewa Maut.Di perpustakaan Raja,
Halayudha merenung lama. Di sini Dewa Maut leluasa membaca kitab
apa saja. Mempelajari dengan tenang, membaca menekuni, menghayati,
dan kemudian mengembalikan kitab ke tempat asalnya.Tanpa niatan
mencuri, tanpa keinginan memiliki.Membaca, mengembalikan.Lalu
kembali ke dalam terowongan kecil yang sangat pas untuk satu tubuh
dengan memiringkan tubuh, menekuk pada beberapa lekukan.Sampai di
bawah tanah.Melihat pohon mangga, pohon sawo, bunga-bunga yang
ditanam, yang disemai dengan kasih sayang. Pohon yang bisa
bercerita banyak, seperti juga ikan-ikan, kepiting di mata air yang
mengalir di dasar.Kehidupan alam.Ketenteraman yang tidak mengganggu
dan menyalahi siapa saja. Apa saja.Betapa Dewa Maut melewati
hari-hari dengan bahagia. Menanam buah-buahan, menunggu sampai
berbuah. Menikmati sebagaimana kebutuhannya. Bukan hanya pohonan
yang berguna seketika, tetapi sekaligus jenis rumput dan tanaman
lain dirawat dengan ketekunan yang sama.Bahkan ikan-ikan itu tidak
berlarian ketika Halayudha mencemplungkan kakinya ke dalam air.
Tangannya bisa menyentuh, menangkap tanpa menimbulkan kecipak air
berlebihan.Di sinilah Dewa Maut menemukan dirinya.Menemukan
penyatuan dengan alam. Bisa mendengar dan berbicara dengan lebah,
tikus, ikan, air, daun, dan akar. Dengan alam.Titik letikan yang
dipakai menjadi sikap hidup Dewa Maut. Dengan ketenangan alami,
hati Dewa Maut terbuka. Sehingga kitab-kitab yang dipelajari,
kenyataan akan kehidupan, bisa diserap.Bukan diserap, melainkan
menyerap dengan sendirinya. Menyatu.Dewa Maut adalah bagian
alam.Barangkali, pikir Halayudha dalam hati, inilah yang mendasari
sikap Dewa Maut. Menemukan inti katresnan. Dirinya menjadi bagian
buah mangga atau sawo. Yang bisa dipetik siapa saja. Yang tidak
memperhitungkan untung-rugi siapa yang akan menelan.Seperti
air.Seperti angin.Dengan kerelaan seperti ini, bisa dimengerti
kalau Dewa Maut sebenarnya telah menemukan kedamaian yang
sesungguhnya. Bisa melepaskan dirinya, bisa ngrogoh sukma
sejati.Halayudha menemukan perjalanan masa lalu Dewa Maut.Ia, kalau
mau, bukan tidak mungkin akan menemukan pencerahan yang sama. Akan
tetapi Halayudha merasa dirinya tak bisa melakukan hal yang
sama.Ada tarikan lain yang masih memesona.Kekuatan, kekuasaan,
pertarungan, kemenangan. Ia tak bisa membebaskan diri dari itu.
Bahkan secara sadar terjun ke dalam pertarungan itu.Yang berbeda
hanyalah bahwa ia bisa mengagumi jalan hidup yang ditempuh Dewa
Maut. Mengagumi, menghormati, dan menyebabkan kepalanya
menunduk.Itulah sebabnya Halayudha sendiri yang membopong mayat
Dewa Maut, dan membawa ke gua bawah tanah. Menggali sendiri tanah
sekitarnya hingga dalam.Dan mengubur dengan penuh hormat.Dewa Maut,
aku belum pernah melakukan hal seperti ini dalam hidupku.Mungkin
juga tak akan pernah.Aku sendiri tak tahu, apakah tubuhku besok ada
yang mengubur atau dimakan burung.Mudah-mudahan ini
menenteramkanmu.Beristirahatlah dengan segala kedamaian yang kamu
ajarkan.Halayudha menimbuni tanah dengan tangannya sendiri.
Hati-hati dan perlahan. Lalu meratakan.Mencuci tangannya di
air.Mengaca ke air.Wajah yang tak pernah dilihat selama ini.Karena
ia jarang atau bahkan tak pernah berkaca. Tak pernah mempunyai
waktu untuk mengamati dirinya sendiri.Kini bisa melihat. Wajah yang
mulai kisut, guratan-guratan tajam di sekitar hidung, di ujung
mata. Kulit kering yang membalut, rambut yang kusut dan susah
diluruskan dengan jari.Halayudha menyeringai.Bayangan di air itu
seperti menakutkan bagi ikan-ikan yang serentak berlarian.Bayangan
wajahku saja begitu menakutkan.Sungguh berbeda dengan Dewa
Maut.Mungkin pohon sawo itu akan menjauhkan tangkai buahnya jika
kudekati.Tak apa.Alam ini, yang seperti ini, memang bukan buat
diriku.Buat Dewa Maut.Halayudha mengikuti perjalanan dalam gua.
Melalui semua lorong hingga bermuara ke tempat yang lapang,
dipayungi langit. Mulut gua yang menganga ke atas.Puluhan kali
Halayudha keluar-masuk gua bawah tanah. Untuk mengubur
lawan-lawannya, untuk menawan lawan-lawannya.Baru sekarang ini
masuk ke dalam, memperhatikan keadaan sekitar untuk menghormati
Dewa Maut.Dewa Maut.Biarlah tempat ini tetap seperti yang kamu
inginkan. Inilah Perguruan Awan yang sesungguhnya.Aku akan
menjaganya.Halayudha berdoa.Setelah mengusap wajahnya, ia bergegas
kembali. Melalui lorong-lorong yang panjang dan menikung di
sana-sini. Sejenak timbul kecemasan dirinya tak akan bisa keluar
lagi!Inilah gila kalau terjadi.Bukan sekali-dua Halayudha
menyelusup masuk, dan memerintahkan semua jalan keluar
ditutup.Kalau sekarang dirinya terkubur hidup-hidup, Halayudha tak
sanggup menertawakan dirinya sendiri.Tapi tidak.Halayudha bisa
keluar. Dan kemudian memerintahkan para prajurit untuk menutup
semua jalan. Dengan timbunan batu besar, dan batu bata yang
direkatkan dengan adonan putih telur. Di atasnya ditimbuni tanah
lagi hingga membukit.Tak cukup dengan itu, Halayudha memerintahkan
agar tempat itu ditanami dengan pohon yang nantinya tumbuh
tinggi.Sekarang semua jalan memang tertutup kuat. Tak ada
kemungkinan lagi untuk menerobos ke dalam.Bahkan kemudian seratus
prajurit ditugaskan untuk menutup bagian yang berada jauh di luar
Keraton. Yang menganga bagai sumur. Dengan jalan membuat
papan-papan serta kayu yang kemudian ditimbun dengan
tanah.Halayudha tak mau tahu berapa tenaga yang harus dikerahkan
dan berapa biaya yang dikeluarkan.Pada awalnya Halayudha bahkan
mengawasi sendiri dan memberikan petunjuk secara langsung.Ada
perasaan lega dalam hati Halayudha.Ada semacam kebahagiaan yang
segar, yang menenteramkan. Seperti melakukan suatu bakti,
penghormatan tulus kepada Dewa Maut. Sebagai balas jasanya.Kelegaan
yang kemudian membawa banyak arti dalam kemajuan melatih
diri.Inilah loncatan yang membuat Halayudha sedikit heran.Kekuatan
Mahidhara MagengHALAYUDHA sedikit heran, karena ternyata hasilnya
di luar perkiraannya!Sewaktu Dewa Maut membuka nadi planangan yang
buntu, Halayudha segera merasakan kesegaran yang berbeda dari
sebelumnya. Langkahnya menjadi lebih ringan, dadanya seolah
berkembang, dan tenaganya bisa lancar mengalir.Apalagi setelah
melatih sendiri.Halayudha memusatkan perhatiannya, dan menusuk
tepat seperti yang dilakukan Dewa Maut. Semakin rasa nyeri
menyerang, semakin nekat jarinya menekan dengan kekuatan penuh.
Semakin menggelinjang tubuhnya, semakin tak mau melepaskan.Hasilnya
selalu membuat tubuhnya basah kuyup oleh cairan tubuhnya yang bagai
disuntakkan. Semua urat tubuhnya menegang.Akan tetapi setelah itu,
terasa lebih segar.Benar juga.Sewaktu berlatih ilmu silat,
Halayudha menyadari bahwa tenaga dalamnya menjadi lebih kuat. Tiang
utama di pendopo kadipaten yang tak cukup dipeluk dua orang bisa
diguncang!Satu pukulan keras membuat tiang itu tergetar.Kayu-kayu
yang melintang di atasnya bergeser.Ketika pukulan diarahkan ke
atas, atap kayu sirap dan ijuk yang terikat tebal itu
jebol.Menganga.Halayudha bersorak dalam hati.Makin memperoleh
kemajuan, makin garang Halayudha melatih diri. Dan makin cepat
kemajuan yang dirasakan. Kini bahkan tembok Keraton bisa diloncati
empat kali bolak-balik tanpa menyentuh tanah. Tanpa mencari
pijakan!Tenaga dalam tubuhnya bisa mengalir begitu saja, dan dengan
sangat leluasa bisa diubah. Seakan tak ada hambatan.Inilah yang
membuat Halayudha sedikit heran.Tubuhnya seakan berisi tenaga dalam
yang baru, yang tidak mengalami pergolakan dahsyat untuk bisa
menyatu dengan alam pikirannya.Seakan ada magma, ada kekuatan besar
yang selama ini tersimpan, menemukan jalan keluar. Pengerahan
tenaga bisa menerobos seluruh nadi tubuhnya.Dewa Maut memang luar
biasa.Dengan jitu Dewa Maut melihat pengerahan kekuatan tenaga
planangan yang ada pada Barisan Api. Meskipun Barisan Api hanya
muncul selintas dan berhasil dipatahkan seketika oleh Upasara
Wulung, akan tetapi bagi para jago silat mencerminkan banyak hal
yang tidak diketahui.Tetapi Dewa Maut bisa melihat.Mengetahui
sumber kekuatan.Upasara boleh berbangga hati bisa mengalahkan, akan
tetapi belum tentu bisa melihat sumber kekuatannya yang bisa
berlipat.Dewa Maut menemukan kunci pengerahan kekuatan itu berasal
dari nadi planangan, nadi kejantanan. Yang diubah menjadi tenaga.
Hal itu yang kini terjadi dengan dirinya sendiri.Kondisi tubuhnya
sudah terbentuk sebagaimana persyaratan yang ada. Hanya saja, dulu
Halayudha tidak pernah menyadari.Itu yang membuat perbedaan menjadi
sangat tajam.Sekarang kekuatan yang selama ini terpendam bisa
dicairkan, bisa dipergunakan. Seolah magma mahidhara, magma gunung
yang mageng, yang besar dan terpendam, bisa tersalur sempurna
seperti bisa diatur.Tidak berledakan dan menghancurkan.Melainkan
bisa diarahkan.Kalau sebelumnya hanya empat batang tombak yang bisa
dipatahkan sekaligus, kini Halayudha mampu menekuk patah delapan
tombak sekaligus.Bahkan bisa lebih andai genggamannya cukup.Tanpa
disadari, Halayudha menemukan kunci pembuka kekuatan yang sejati.
Adalah suatu kebetulan bahwa Dewa Maut pernah hidup tanpa
bersinggungan dengan kaum wanita, sehingga mengetahui kekuatan yang
tersimpan itu.Halayudha bisa memainkan sesuai keinginannya.Dengan
satu tudingan jari, tenaga dalamnya bisa menusuk cepat. Sehingga
prajurit jaga di atas benteng bisa terkena. Menjerit keras dan
terbanting ke bawah.Tanpa sempat tahu apa penyebabnya.Senopati
Pamungkas II - 47
By admin Oct 13th, 2008 Category: 1. Silat Jawa, AA - Senopati
Pamungkas II
Tanpa sempat tahu apa penyebabnya.Dari jarak empat tombak,
Halayudha mampu menahan gerak laju pedati yang ditarik dua ekor
sapi.Dengan kepercayaan diri penuh inilah Halayudha merasa tak
sangsi lagi menghadapi panggilan Raja, yang bertanya mengenai Praba
Raga Karana.Kudengar ilmumu tambah maju pesat, Halayudha.Tapi
bagaimana dengan permaisuriku?Hamba berhasil menyadap tusuk
dlamakan yang dimiliki Dewa Maut.Hanya saja, duh Raja, rasanya
permaisuri Dalem terkena kutukan Dewa.Rasanya tak banyak yang bisa
hamba lakukan.Berarti tak bisa menyembuhkan?Raja yang
Dimuliakan.Kalau Raja berkenan mengetahui yang sesungguhnya.Tak
terlalu sulit bagi Halayudha untuk melakukan apa yang direncanakan.
Totokan dalam tubuh Praba Raga Karana diubah.Kini tubuhnya bisa
bergerak, bisa duduk, berjalan. Hanya nadi yang menyebabkan
berbicara tetap ditutup.Lebih dari itu, Halayudha menutup nadi
wadon, nadi kewanitaan, yang ada. Sehingga Praba Raga Karana tak
akan bisa merasakan getaran berahi!Tak ada pancaran itu dari gerak
tubuh, pandangan mata, ataupun tarikan napas.Menjadi dingin.Tanpa
getaran.Raja mengelus rambutnya sambil menghela napas.Kutukan
Dewa?Kenapa, Halayudha?Hamba tak mampu menerangkan.Barangkali saja
Dewa melindungi Raja yang Mulia, dengan memperlihatkan bahwa tubuh
Permaisuri tak bisa menerima Raja.Sesuatu yang hampir tak masuk
akal, karena kodrat wanita adalah menerima.Apakah berarti Ingsun
tak pernah perlu berhubungan asmara dengan permaisuriku?Lebih dari
itu.Hamba kuatir jika daya asmara Raja terpengaruh karenanya.Raja
menggeleng.Tak masuk akal.Aku tak bisa percaya begitu saja.Di
Keraton ini hanya ada satu tabib yang diakui Dewa. Panggil Tanca
menghadap sekarang juga. Hari ini juga kamu menjemput ke
Simping.Sendika dawuh, Ingkang SinuhunDharmaputra Tanca, senopati
pilihan sejak zaman Baginda memang tetap merupakan tumpuan. Karena
selama ini masih dianggap yang paling mumpuni, paling menguasai
cara-cara penyembuhan. Lebih dari kemampuannya yang luar biasa,
Senopati Tanca dianggap tak pernah berubah kesetiaannya.Di saat
Bagus Kala Gemet belum secara resmi memegang takhta kekuasaan,
Senopati Tanca secara tulus mengabdi. Meskipun dirinya tetap
mengikuti Baginda, namun kesetiaan kepada yang memerintah melebihi
siapa pun.Juga ketika huru-hara terjadi dengan kedatangan Pendeta
Syangka, Senopati Tanca yang menunjukkan kesetiaan tanpa batas. Apa
yang menjadi perintah resmi, itu yang dijalani. Tanpa bertanya,
tanpa menunda.Dalam perhitungan Halayudha, Senopati Tanca tetap tak
akan berubah. Kalau sekarang Raja memerintahkan menghadap, Senopati
Tanca tak akan menunda barang sekejap. Kalau didawuhi menyembuhkan
Praba Raga Karana, sepenuh kemampuannya akan dikerahkan.Senopati
Tanca adalah gunung lain yang kukuh dalam pengabdian.Ini yang perlu
diperhitungkan Halayudha.Karena bukan tidak mungkin Senopati Tanca
bisa mengetahui apa yang sesungguhnya diderita Praba Raga Karana.
Pemahamannya yang begitu mendalam mengenai jampi dan pengobatan
selama ini belum ada tandingannya.Mudah ditebak, apa yang dilihat
dan diketahui, Senopati Tanca akan mengatakan secara terbuka.Tokoh
yang satu ini memang aneh.Sekurangnya dibandingkan tujuh
dharmaputra yang lain. Tak setitik debu dibelah seribu pun bisa
menggoyang kesetiaannya.Ini yang menyulitkan Halayudha.Akan tetapi
dalam perjalanan menuju Simping, Halayudha sudah menemukan
langkah-langkah untuk mengalihkan sasaran.Yang pertama ditemui
justru Nyai Makacaru, istri Senopati Tanca. Halayudha menuju ke
tempat Nyai Makacaru memelihara segala jenis tanaman.Itu pun tidak
langsung menemui.Beristirahat di gubuk.Sehingga Nyai Makacaru yang
mempersilakan datang.Saya tak berani masuk, Nyai.Takut tubuh saya
akan mengotori tempat yang bersih, sajian yang suci.Dengan kalimat
itu, Halayudha menyinggung tempat sajian, atau sesuatu yang bakal
dijadikan sajian, yang sesungguhnya itulah arti nama yang dipakai,
makacaru.Rasa KamanungsanNYAI MAKACARU, wanita yang tetap tampak
bersih, segar pada usianya yang melewati separuh abad, tetap tenang
mendengarkan. Tak ada sunggingan senyum atau reaksi atas ucapan
Halayudha.Bahunya yang telanjang tetap tak bergerak sedikit pun.
Kemben di dadanya juga tak memperlihatkan tarikan napas yang
berbeda.Keramahan yang terpancar dari seluruh tubuhnya yang terjaga
sempurna adalah keramahan seorang nyonya rumah. Seorang istri yang
bekti kepada suami.Perjalanan waktu yang tidak pendek, pergolakan
hidup yang memanjang, tak membuat penampilan Nyai Makacaru sedikit
pun berubah. Tidak juga rambutnya yang tetap hitam berkilat, tanpa
warna lain selembar pun.Saya menjalankan perintah Raja, meskipun
sebenarnya saya lebih rela dihukum untuk tidak menyampaikannya.Itu
sebabnya, Nyai, saya tak berani melangkah masuk.Rasanya berada di
kebun pun hanya akan mengotori tempat yang suci ini.Senopati telah
melangkah masuk, dan duduk dengan enak.Kalau saja ada sesuatu yang
bisa saya bantu, walau mungkin hanya mendengarkan saja, rasanya
tidak ada salahnya untuk diutarakan.Suara dengan nada
merendah.Entah berapa ratus sudah para prajurit, senopati, para
keluarga bangsawan, dan masyarakat setempat yang mendapat
pengobatan langsung dari Nyai Makacaru ataupun Senopati Tanca. Akan
tetapi, penampilannya tetap seolah tak berbuat apa-apa.Barangkali
Nyai telah bisa membaca.Kalaupun begitu, adalah tidak layak saya
mendahului.Halayudha mengangguk.Sungguh bijak kata Nyai.Ini
menyangkut kebijakan, kelayakan. Bahkan lebih dari itu menyangkut
rasa kamanungsan, rasa kemanusiaan. Itu yang memberati lidah saya
untuk menyampaikan. Karena saya merasa Nyai tak pernah menolak
permintaan orang yang datang meminta pertolongan.Itu yang membebani
hati saya, Nyai.Sedemikian beratnya, sehingga tak kuasa saya
panggul. Kalau beban itu barang, saya bisa meletakkan untuk satu
saat dan mengangkatnya kembali. Akan tetapi ini lebih menyangkut
rasa.Rasa kemanusiaan.Kemanusiaan yang membedakan manusia dengan
binatang.NyaiNyai, apakah harus saya sampaikan bahwa Raja berkenan
meminta ramuan jamu dan bedak lulur untuk kedua calon pengantin
wanita yang masih saudara satu ayah, putri-putri Baginda? Kali ini
tangan Nyai Makacaru bergetar.Daun sirih yang digenggam seperti
lumat oleh jari-jarinya yang halus, yang berwarna hijau kekuningan
karena selalu meramu jamu. Halayudha mengetahui adanya reaksi Nyai
Makacaru. Dan memuji dirinya sendiri telah mengambil langkah yang
tepat. Pilihan untuk menemui Nyai Senopati Tanca, sambil
mengisikkan rencana pernikahan Raja dengan kedua putri Permaisuri
Rajapatni, lebih dari tepat. Akan lain jika Halayudha menyampaikan
seperti yang dikehendaki Raja. Tepat, karena keluarga Senopati
Tanca berbeda dari keluarga para senopati yang lain. Bahkan di
antara tujuh dharmaputra, Senopati Tanca menunjukkan
ketidaksamaan.Di antara sekian banyak senopati, hanya Senopati
Tanca yang selama ini dikenal selalu rukun dengan istrinya. Rukun
lahir-batin, seperti yang bisa disaksikan semua orang.Senopati
Tanca tidak mengambil wanita lain untuk mendampingi, meskipun kalau
itu dilakukan bukan sesuatu yang aib. Kedudukan dan pengaruh Nyai
Senopati sangat besar.Memang ada kabar burung yang mengatakan,
bahwa Nyai Senopati mampu menguasai suaminya luar-dalam. Mampu
menciptakan suasana atau jejamuan sehingga suaminya tak mungkin
bisa berhubungan dengan wanita lain. Selain dengan Nyai.Lepas dari
kabar burung itu benar atau tidak, Halayudha melihat kenyataan
bahwa selama ini Nyai Makacaru berhasil mendampingi Senopati
Tanca.Mereka berdua boleh disebutkan sebagai pasangan suami-istri
yang patut menjadi panutan. Terutama bagi kaum wanita. Kemuliaan
Nyai Senopati diakui secara luas.Juga karena pada keluarga ini
segala kesederhanaan itu tetap terjaga. Sejak masih menjadi
prajurit, atau senopati, bahkan kemudian diangkat sebagai
dharmaputra yang berarti mempunyai wewenang dan hak khusus,
kehidupan sehari-hari Nyai Senopati tidak berubah.Rumah pondoknya
masih seperti yang dulu. Kebun tanaman masih seperti dulu. Tanaman,
bunga, daun, dibenihkan dengan tangannya sendiri.Kehidupan yang
nyaris tanpa cela.Godaan duniawi tak bisa menyentuh apalagi
mempengaruhi. Ada satu sikap kukuh yang selama ini terus
dipertahankan. Satu nilai utama yang mendasari semua tindakannya.
Pada saat seseorang bisa berbuat seperti itu, berarti ada satu
kekuatan yang diyakini, yang membuatnya bertahan sampai mati.Ini
perhitungan Halayudha.Yang berlanjut kepada, jika nilai dasar utama
itu yang diganggu, kehidupan pula yang akan menjadi taruhannya. Itu
sebabnya Halayudha langsung mengangkat persoalan rasa
kemanusiaan.Suatu yang paling peka dalam kehidupan Nyai. Saya sudah
mendengar hal itu, Senopati Halayudha. Tak ada yang memberati.
Selama ini Raja selalu kami sembahi dengan persembahan, segala
jejamuan dan rawatan tubuh.Senopati Halayudha tak perlu risau
menyampaikan hal ini. Maaf, maaf yang besar, Nyai.Bukan saya
membantah kehendak Raja. Sama sekali bukan. Akan tetapi rasa risi,
rikuh, malu, sungkan, dan hina menyatu dalam diri saya kalau
mengingat pilihan Raja sekarang ini. Apakah tidak ada putri lain
yang bisa dipersunting? Raja berhak apa saja. Sangat benar, Nyai.
Sangat benar sekali.Hanya apa yang akan diceritakan anak-cucu kita
di belakang hari? Apa yang akan dikatakan anak-cucu saya, jika
mengetahui bahwa saat ini saya menjadi senopati dan menjabat
sebagai mahapatih? Apa yang akan dikatakan anak-cucu Senopati Tanca
yang selama ini mendapat nama harum, kalau mengetahui bahwa
Senopati Tanca juga membantu?Pengabdian tidak membutuhkan
pertanyaan dan keraguan.Sabda Raja adalah kebenaran, sambung
Halayudha cepat, sambil menghela napas berat.Saya akan menyampaikan
timbalan nDalem, panggilan Raja.Seribu terima kasih, Nyai.Maafkan
ketololan saya yang rendah ini.Seorang pelayan wanita menyuguhkan
minuman aren dari kelapa.Berjalan berjongkok dan tak
melirik.Senopati, minuman ini bisa mengurangi haus.Sangat terima
kasih, Nyai.Hening.Tak ada yang menyentuh.Senopati Halayudha yang
memegang jabatan mahapatih, lebih didengar dari yang lain. Apakah
saya keliru?Halayudha menggeleng.Hatinya mengangguk.Menggeleng
untuk membenarkan kalimat Nyai Senopati, mengangguk untuk
kalimatnya sendiri, yang tadinya sempat cemas, karena Nyai Makacaru
seperti tak tersentuh.Saya hanyalah abdi dalem, tidak mempunyai
apa-apa, Nyai.Tidak juga kehormatan besar seperti yang dimiliki
Senopati Tanca. Itu alasan yang lain lagi, sehingga saya tidak
berani bertemu muka dengan Senopati Tanca.Sekarang sedang menghadap
Baginda.Rasanya saya ingin menunggu, kalau Nyai tidak keberatan.
Akan tetapi apa saya bisa menyampaikan dengan kata-kata kepada
Senopati Tanca?Tak ada jawaban.Dengan bahasa apa saya bisa
menyampaikan hal ini?Halayudha menunduk.SilakanHalayudha
meneguk.Sebentar lagiSuaranya tak perlu dilanjutkan.Langkah kaki
terdengar mendekat. Lelaki yang tetap bersemangat, dengan pandangan
yang jernih. Suaranya tetap tenang, mengucapkan selamat datang,
menanyakan kabar, dengan suara tetap sabar.Angin kebesaran apa yang
mengiringi Mahapatih datang ke gubuk hina ini?Angin yang mematikan
rasa kemanusiaan.Senopati Tanca, apakah saya diizinkan bermalam di
sini barang dua malam?Bagi Halayudha itu cara yang terbaik.Dengan
membiarkan Nyai Makacaru menyampaikan sendiri, dalam bahasa
suami-istri, hasilnya akan lebih mencapai sasaran.Dalam satu-dua
malam, ia bisa melihat perkembangan.Sebenarnya Halayudha tak perlu
menunggu terlalu lama. Senja itu pula, Nyai Makacaru telah
memutuskan diri untuk berada di tengah kebunnya. Tak mau masuk
rumah.Untuk selamanya.Rembetan ApiLANGKAH berikutnya, Halayudha
sudah siap. Dan segera melakukan.Para prajurit pengawalnya
diperintahkan untuk menyamar sebagai penduduk biasa, dan berkumpul
di depan sanggar pamujan. Kalau kemudian masyarakat sekitar ikut
serta, makin kuat kesan bahwa di kalangan penduduk juga muncul
kegelisahan.Sebagaimana posisi mereka yang rakyat kecil, mereka
hanya bisa mempertanyakan dengan cara berdiam diri, berjemur di
depan sanggar pamujan.Kalaupun jumlahnya tak seberapa, itu sudah
akan menyebar sebagai kabar yang besar. Bahwa penduduk berani unjuk
diri, mempertanyakan kepada Baginda.Dengan demikian suasana panas
mulai meletik.Seperti halnya api, rembetan menjalar dengan cepat
dan makin lama makin santer. Setitik api bisa diucapkan kembali
sebagai bara, setitik bara bisa diungkapkan kembali sebagai
kebakaran.Dalam suasana yang panas, Halayudha memastikan langkah.
Ia menyusun prajurit pilihan yang benar-benar tepercaya.
Menyiagakan untuk sewaktu-waktu bisa bergerak cepat. Sasarannya
hanya satu.Melenyapkan Mahapatih Nambi di Lumajang.Kepada Raja,
Halayudha sama sekali tidak menyinggung mengenai Tabib Tanca.
Halayudha melaporkan bahwa rakyat mulai dihasut oleh kaki tangan
Mahapatih Nambi yang mendapat restu resmi dari ayahandanya.Baginda
sendiri secara pribadi tidak menyalahkan atau melarang pernikahan.
Berarti Baginda secara resmi telah melepaskan tanggung jawab,
wewenang, sepenuhnya.Hanya Mahapatih Nambi yang tetap menunjukkan
kepalanya yang mendongak.Dengan perintah Raja yang Mulia, hamba
akan mengamankan. Sebelum merembet terlalu jauh. Sebab kalau
dibiarkan, rakyat yang tidak mengerti duduk persoalan sebenarnya
akan terpengaruh. Halayudha.Ingsun percaya kamu sepenuhnya. Tapi
kadang juga ragu. Kamu ini banyak sekali omongannya.Tapi, tak ada
salahnya kamu urus Mahapatih Nambi.Sedia menjalankan
perintah.Jangan gegabah, jangan memancing pertumpahan darah.Kalau
perlu Nambi ditimbali kemari.Sedia menjalankan perintah.Halayudha
sudah tahu. Bahwa bukan timbalan atau perintah yang akan
disampaikan. MelainkanHalayudha segera menyiapkan pasukan yang
terpilih. Menyusun menjadi tiga barisan.Yang pertama berangkat
bersamanya dalam jumlah yang tidak seberapa. Yang kedua akan
mengepung seluruh wilayah Lumajang secara tersembunyi. Ini
dilakukan dengan cara menyamar, dan sudah lebih dulu berada di
tempat. Sedang barisan ketiga berjaga di Keraton.Yang ketiga ini
bagi Halayudha sebagai upaya untuk menjaga diri. Ia tak ingin
terpancing sepenuhnya keluar, dan Keraton secara mendadak dikuasai
senopati lain. Sesuatu yang pernah terjadi.Seorang Senopati Tantra
saja pernah dan bisa melakukan. Dalam barisan ketiga ini, sebagian
menjadi penghubung. Begitu ada kejadian yang tak menjerat perhatian
dan meminta ketegasan, Halayudha siap memilih prajurit agar bisa
menyampaikan langsung kepada Raja. Bahwa Keraton berada dalam
keadaan gawat. Sehingga perlu diambil tindakan keras.Dalam
perjalanan, Halayudha merinci seluruh kegiatan dengan cermat,
sehingga kemungkinan kecil pun tak ada yang lolos dari
perhitungannya. Setelah beberapa kali usahanya yang cermat gagal
pada saat terakhir, Halayudha kini lebih berhati-hati.Adalah di
luar dugaan Halayudha, ketika rombongan tengah dalam perjalanan,
rombongan dari Lumajang justru telah bersiap menunggu. Yang begini
adalah di luar dugaannya sama sekali.Mahapatih Nambi telah
mengendus adanya bahaya. Sehingga secara sengaja memasang barisan
untuk pacak baris, bersiaga penuh. Ini sengaja dipertunjukkan.
Sebagai peringatan bagi Halayudha.Karena barisan yang menjemput
dalam keadaan siap siaga. Lengkap dengan semua
persenjataan.Senopati Halayudha diminta menghadap Mahapatih, tutur
utusan yang langsung menghadap Halayudha.Tanpa diminta pun aku
sebagai utusan Raja akan menemui. Suara Halayudha mengguntur saking
kerasnya.Sampaikan kepada Mahapatih.Kami akan menyertai
Senopati.Halayudha mengeluarkan suara keras dari hidungnya.Apakah
aku perlu dikawal dan diawasi?Hamba sekadar menjalankan perintah
Mahapatih.Halayudha mengangguk.Para prajurit Keraton Majapahit yang
setia kepada kebenaran, sebagian dari kalian boleh kembali ke
Keraton. Saya pribadi yang akan menghadapi ini.Saya memerintahkan
kalian segera kembali.Tak perlu ada pertumpahan darah yang tak
berarti.Dengan berangkat seorang diri, Halayudha menunjukkan
keberanian. Tapi sekaligus juga untuk mengelabui Mahapatih Nambi.
Karena prajuritnya yang lain telah berada di Lumajang!Itu
perhitungannya.Akan tetapi ternyata sebagian besar justru
meleset.Ketika melangkah masuk ke pendopo Lumajang, yang berada di
halaman depan justru para prajuritnya yang diikat tangannya.
Menunduk, seakan dipertontonkan untuk menyambut Halayudha.Kali ini
Halayudha bercekat.Tak disangkanya Mahapatih Nambi begitu tajam
penciumannya. Tak disangkanya bahwa Mpu Sina sedemikian mudah
membaca gerakannya, dan menyiapkan perangkap.Sekarang ini
benar-benar gawat.Bagi dirinya.Namun itu semua tidak membuat
Halayudha melangkah surut. Dengan langkah gagah yang sama lebarnya,
Halayudha masuk ke tengah pendopo.Ruangan yang terbuka lebar, tanpa
dinding, tanpa pintu.Mahapatih Nambi duduk di tengah.Halayudha
menyembah, duduk di depannya.Suasana hening.Sugeng rawuh di tanah
Lumajang, Senopati Halayudha. Saya sudah lama menunggu.Sambutan
yang keliru, Mahapatih, jawab Halayudha dengan suara tetap
mengguntur keras. Saya datang sebagai utusan Raja. Sambutan
Mahapatih seperti ini pasti kurang berkenan di hati Raja.Itu
tanggung jawab kami, jawab Mahapatih Nambi sambil mengangguk hormat
kepada ayahandanya. Saya telah memutuskan untuk mengamankan
Keraton. Dan membersihkan pembuat onar.Pengakuan para prajuritmu,
yang dengan mudah ditangkap, akan membuka kebenaran.Halayudha, kita
sesama lelaki.Kalau mengikuti darah panasku, aku tak akan
menerimamu di sini, atau mengajak berbicara. Akan tetapi Rama
menghendaki demikian.Halayudha tersenyum. Apa sebab Senopati Sina
masih mempertimbangkan saya? Karena sangat dekat dengan Raja?
Karena Senopati bisa berbuat lebih baik untuk Keraton. Mahapatih,
apakah selama ini saya telah berbuat kurang baik? Mahapatih Nambi
menepuk lututnya. Halayudha, semua telah cukup jelas.Selama ini
para prajurit yang masih setia denganku, melaporkan segala sesuatu
yang kamu lakukan. Termasuk rencana pernikahan Raja. Kamu tak akan
bisa menyangkal lagi.Dalam tata keprajuritan, kamu tak ada artinya
dibandingkan denganku, pemimpin prajurit telik sandi. Semua
rencanamu terbaca dengan jelas seperti tangan yang membuka.Semua
bukti kebusukanmu ada di tangan. Halayudha memandang sekeliling.
Semua prajurit bersiaga. Mahapatih, apa lagi yang ditunggu?Apa
susahnya melawan saya seorang diri, sementara seluruh Lumajang
telah siaga perang? Biarlah orang lain yang menilai, siapa yang
ksatria dan siapa yang main keroyokan.Aku sudah menduga kalimatmu,
Halayudha. Aku tak akan terpancing.Kamu terlalu yakin bisa
mengelabui semua orang. Dalam tata keprajuritan kamu tak mengerti
sendi-sendinya. Kamu salah besar dalam hal ini. Senopati Sina
terbatuk.Bahkan Senopati Sina sudah diatur tempatnya agak di
belakang. Sehingga kalau terjadi keributan yang kasar, tidak berada
dalam titik bahaya.Mau tidak mau Halayudha mengakui bahwa dalam
bidang keprajuritan, Mahapatih Nambi tetap unggul dua atau bahkan
tiga tingkat di atasnya. Bagaimana tidak, jika walaupun tetap
berada di Lumajang akan tetapi bisa mengetahui semua
gerak-geriknya? Alangkah tolol dirinya. Sama sekali tak
memperhitungkan hal ini. Sekarang sudah terlambat untuk
menyesali.Kesalahan dan KekalahanTAK ada yang perlu
disesali.Mahapatih Nambi, rasanya saya tak perlu membantah apa yang
Mahapatih katakan. Barangkali sebagian besar benar, sebagian kecil
salah. Barangkali terbalik, sebagian kecil benar, sebagian besar
sebenarnya masih samar. Tak ada untungnya mengadu kebenaran. Saya
menerima sepenuhnya penilaian Mahapatih. Lidahmu memang luwes
berbelit.Dalam keadaan tergigit atau terjepit, selalu tak mau
menerima dan mengakui kesalahanmu.Saya menerima, Mahapatih. Saya
tahu itu tidak keluar dari hatimu yang tulus. Halayudha mendongak.
Apa yang Mahapatih kehendaki? Apa lagi yang Mahapatih
kehendaki?Semua prajurit saya telah ditawan. Diikat sebagai bandan,
sebagai kayu ikatan dan dipertontonkan. Semua kebusukan saya telah
diketahui. Tak ada lagi alasan untuk pembelaan. Apa lagi yang
Mahapatih kehendaki?Saya bertelanjang di sini dan berteriak
mengakui kesalahan? Membunuh diri? Melawan dan dicincang?Sejak di
perjalanan saya telah dilucuti. Di sini diadakan pertemuan besar
untuk menyaksikan pengadilan dan penjatuhan hukuman atas diri
saya.Mahapatih, kalau sudah sedemikian yakin saya bersalah, mengapa
harus membuang-buang waktu dengan mengadakan tanya-jawab?Mpu Sina
yang memandang dari kejauhan tak bisa menahan rasa gusar dan
sekaligus menganggap bahwa Halayudha memiliki kekuatan bertahan dan
berkelit yang sangat licin.Dalam posisi sudah sangat terdesak dan
tak bisa mengelak, masih bisamenantang.Yang bagi telinga biasa
seperti masuk akal. Karena apa yang dikatakan Halayudha sangat
sederhana nalarnya. Kalau dirinya bersalah, kenapa tak dihabisi
saja?Padahal Halayudha justru mempermainkan perasaan keraguan yang
bersarang di dada para senopati atau para prajurit. Dengan kalimat
itu, seakan ia ingin menunjukkan bahwa masih ada hal yang gelap.
Masih ada celah yang membuat Mahapatih tak sepenuhnya yakin akan
tuduhannya.Cukup, Halayudha.Semua seperti titah Mahapatih.Kamu tak
akan pernah berhasil mempermainkan perasaan saya. Tidak mulai
sekarang ini.Halayudha malah mengangguk.Apa yang Mahapatih inginkan
dari saya?Apa masih ada?Halayudha, dengarkan baik-baik.Saat ini
Keraton sedang dalam keadaan kacau. Dari luar kelihatan aman
sentosa, akan tetapi sesungguhnya terjadi kekeroposan yang bisa
menghancurkan.Kamu sadar hal itu.Kamu penyebab utamanya.Akan tetapi
sesungguhnya kamu masih bisa berbuat kebaikan untuk menebus
kesalahan besar itu. Dengan cara apa saja, agar ketenteraman
Keraton tetap terjaga.Mahapatih menganggap saya masih ada artinya?
Masih ada kesempatan untuk menebus kesalahan?Dosa saya masih bisa
diampuni?Maaf, barangkali kita bicara ngelantur.Dari satu sisi,
saya adalah tokoh yang jahat yang meracuni Keraton, menebarkan
kebusukan menular. Hingga tak ada setitik darah kebaikan dalam
tubuh saya.Dari sisi yang lainnya, saya masih bisa menjadi
penyelamat, karena hubungan yang dekat dengan Raja.Dua penilaian
yang sama sekali tak bisa akur.Kalau saya sedemikian busuknya,
apakah Raja mau mendengar kata-kata saya?Apa yang Mahapatih
harapkan?Mempengaruhi Raja agar mengurungkan niatan palakrama,
menikahi putri-putri Permaisuri Rajapatni? Rasanya mustahil.
Baginda sendiri tak tergerak menghalangi. Permaisuri Rajapatni juga
tidak. Senopati Tanca dan Nyai Tanca bahkan sudah menyiapkan
peralatan untuk jejamuan.Bukankah harapan Mahapatih berlebihan akan
kemampuan saya?Saya, saya berani menyebut diri sebagai saya dan
bukan hamba sekarang ini, bukanlah seorang mahapatih. Bukan
senopati kinasih, yang terpilih dan disayang Raja.Saya tak berbeda
dari prajurit yang lain, senopati yang lain. Yang menjalankan dawuh
sejauh kemampuan dan pengabdian saya.Kalau Mahapatih murka ketika
saya menyilakan kembali ke Lumajang, semata-mata demi keutuhan,
demi kerukunan dan ketenteraman Keraton. Saat itu, hingga sekarang
ini, Mahapatih masih dalam status palapa karya. Raja sendiri yang
memberi restu. Itu sebabnya Raja kurang berkenan dengan tindakan
Mahapatih. Karena semua prajurit bisa melihat apa yang sesungguhnya
terjadi. Kalau Mahapatih masih mengingat, saat itu kita berangkat
dari tempat ini.Kalau sekadar mencari keuntungan pribadi, saya
lebih suka membiarkan semuanya.Rasanya itu lebih baik. Daripada
sekarang ini, prajurit Keraton dipertontonkan dan diperlakukan
seperti pengkhianat. Sejauh saya tahu, utusan dari Tartar pun tidak
melakukan penghinaan seperti ini.Mahapatih.Kalau Mahapatih
menganggap semua kesalahan adalah tanggung jawab saya, hukumlah
sekarang juga. Dengan kekalahan saya, lunaslah semua dosa-dosa
terkutuk.Kesalahan dan kekalahan, semuanya bisa ditimbunkan dalam
diri saya.Sekarang.Sebenarnya tak ada lagi yang menghalangi.Suara
Halayudha berapi-api, akan tetapi pengutaraannya dengan nada masih
bisa menguasai diri.Kemenangan berpihak kepada Mahapatih.Kebenaran
yang mendasari itu.Apakah itu berarti kamu menantang?Saya
mengatakan apa adanya.Sejarah Keraton yang gilang-gemilang menjadi
demikian ruwet, penuh dengan belitan dendam, semuanya karena saya.
Sayalah biang keladinya.Mahapatih ingat, bahwa sesungguhnya sejak
Mahapatih Nambi yang memegang tata pemerintahan Keraton, sejak
kendali di tangan Mahapatih, sejak itu pula keruwetan
muncul.Pengangkatan yang menyebabkan Mahapatih dijauhi, ditakuti,
dan dengan demikian menjadikan Mahapatih tak bisa mendengar mana
yang benar dan mana yang asal berbunyi.Sejarah Keraton yang
mengalirkan dendam, darah, dimulai justru saat Mahapatih memegang
kepemimpinan.Saya tidak menyalahkan Mahapatih. Saya tidak
mempertanyakan Baginda yang memilih dan menunjuk Mahapatih.
Semuanya adalah suratan Dewa, yang sudah tertulis sebelum kita
lahir ke jagat.Kita semua hanya menjalani.Kadang ada nasib
baik.Kadang ada nasib buruk.Kadang nasib buruk dengan nasib baik
datang bersamaan. Atau hanya berselisih beberapa kejap saja.Maaf,
maaf semuanya.Saya harus mengatakan ini semua. Agar tak ada
keraguan lagi, kalaupun ingin menjatuhkan hukuman ke tubuh
saya.Apalah artinya seorang Halayudha?Kalaupun ia senopati yang
unggul, yang dipercaya dan dekat dengan Raja, ia tetap seorang di
antara sekian puluh senopati yang lain. Seorang yang bila
dilenyapkan, tak ada yang menangisi, tak ada yang menahan.Halayudha
seorang diri.Tanpa sanak kadang rowang. Tanpa saudara dekat atau
jauh, tanpa teman.Apakah dengan kata-kata ini diartikan
menantang?Mahapatih mencabut kerisnya.Berdiri dengan gagah.Semakin
jelas sekarang.Bahwa memang kamulah sumber bencana.Semakin banyak
yang kamu katakan, semakin menggambarkan keculasan dirimu.
Kepintaranmu membalik yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi
kotor.Aku tidak ragu lagi, Halayudha.Saya akan melawan sebisa
saya.Itu baik.Bersiaplah.Saya telah bersiap, Mahapatih.Benar-benar
tantangan. Sekaligus tamparan.Karena Halayudha mengatakan itu
dengan menyembah, lalu bersidekap. Menyilangkan kedua tangan di
depan dada, dengan mata terpejam. Seakan pasrah. Tapi mengatakan
siap.Sekokoh karang sekalipun, kemurkaan Mahapatih Nambi jadi
terguncang keraguan.Apakah Halayudha akan menerima hukuman?Ataukah
menyiapkan serangan mendadak sebagai balasan?Bader Bang Sisik
KencanaDUA pertanyaan yang membuat Mahapatih Nambi ragu-ragu
sejenak, merambat kepada para prajurit yang berada di
pendapa.Kecuali Mpu Sina yang terbatuk.Memegangi dadanya.Bader
bangSuaranya terdengar tersengal.Tapi Halayudha mendengar jelas.
Karena dengan memejamkan mata sambil bersidekap, Halayudha sedang
memusatkan pikiran dan kekuatannya.Apa yang dibisikkan Mpu Sina
sangat diketahui Halayudha maksud tujuannya. Perkataan bader bang,
lebih lengkapnya berbunyi bader bang sisik kencana. Artinya
kira-kira, badar merah bersisik emas.Ungkapan yang lebih luas dari
itu adalah menggambarkan bahwa Mpu Sina menilai Halayudha sedang
memainkan siasat ikan badar. Ikan badar adalah ikan yang kecil tak
berarti. Akan tetapi dengan warna merah dan bersisik emas, ikan
teri yang tak berarti itu menjadi bermakna. Menjadi incaran yang
sangat besar artinya.Hal ini bisa diartikan bahwa Halayudha
berusaha mengubah kedudukannya yang tanpa harapan menjadi peluang
emas.Sehingga bukan tidak mungkin sekarang ini Halayudha sudah
menyiapkan satu serangan balik.Atau menyerah pasrah.Keraguan.
Keraguan menentukan yang mana.Mpu Sina mengeluarkan kata bader
bang, karena kata itu mengandung beberapa pengertian.Pada telinga
Mahapatih, peringatan itu diterima dalam pengertian yang berbeda.
Bader bang sisik kencana, bisa diartikan sesuatu yang tiada
berarti. Tak ada gunanya. Karena sesungguhnya ikan teri merah
bersisik emas itu tak pernah ada. Sehingga semua usaha untuk
memburu juga tidak akan memberi hasil apa-apa.Berarti
kesia-siaan.Kalau dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan,
Mahapatih bisa menerimanya sebagai peringatan bahwa ia tak perlu
melakukan tusukan atau hukuman.Para senopati yang berada di dekat
Mahapatih sebenarnya juga menjadi bercabang. Mendua pilihannya.
Karena dua kata Mpu Sina bisa ditafsirkan berbeda.Tafsir pertama
seperti yang sementara ini berada dalam pengertian Mahapatih.Tafsir
kedua, bisa berarti kalau Mahapatih melakukan, itu tak ada
apa-apanya. Tak ada dosa atau kesalahan. Sebab ikan teri merah
bersisik emas itu tak pernah ada. Jadi ditiadakan pun tak apa-apa.
Inilah pertarungan yang sesungguhnya.Pertarungan tanpa mengeluarkan
tenaga. Tanpa mengadu ilmu silat. Tanpa bergerak. Tanpa
menggerakkan tangan. Tidak juga satu tangan sekalipun.Halayudha
sangat memahami situasi yang tengah berlangsung. Sangat menyadari
bahwa situasi bisa mengubah nasibnya dalam seketika. Menerima
tikaman dan terjangan, atau sekurangnya menjadi penundaan. Pada
saat yang genting itu justru Halayudha bisa merebut keunggulan.
Tidak dengan mendahului bergerak.Sebab secepat apa pun gerakannya,
sekuat apa pun tenaga yang dikerahkan, hasilnya tak bakal
menyelamatkan dirinya. Taruh kata pukulannya bisa menyeret
Mahapatih atau merobohkan. Itu tak menghalangi semua senopati dan
prajurit yang akan menyerbu bersamaan. Dibakar oleh dendam kesumat,
dan mendapat pijakan alasan menerjang yang gamblang. Itu risiko
yang berat, karena Halayudha tak akan bisa melarikan diri dengan
leluasa. Tidak dengan pasrah menyerah.Sebab sepasrah apa pun,
tubuhnya akan bereaksi jika serangan datang. Halayudha tak akan
membiarkan dirinya dicincang. Padahal saat dirinya bereaksi
memberikan perlawanan, serangan tak akan terbendung lagi.
Pertarungan yang sesungguhnya berlangsung.Halayudha yang mulai
menarik ke tengah permasalahan. Antara kesalahan dan kekalahan.
Perdebatan, kalau boleh dikatakan begitu, meskipun ini dilakukan
oleh Halayudha sendiri, mengenai kalah dan salah bisa berarti sama,
tapi bisa berarti lain. Yang kalah belum tentu berarti salah.Dengan
menyeret ke pembicaraan itu, Halayudha sengaja memaparkan
kebusukannya sendiri. Semua rencananya ditelanjangi sendiri.
Sedemikian pekatnya sehingga seolah ia tengah membual. Tengah
menceritakan sesuatu secara berlebihan.Dengan memecah perhatian
dasar tindakan, Halayudha sebenarnya sedang menggempur bagian yang
terdalam. Bagian yang lebih dalam dari tenaga dalam.Kemampuan itu
mewujud dalam diri Halayudha seperti tidak direncanakan.Sekurangnya
tidak direncanakan secara sadar.Meskipun sejak awal Halayudha
mengetahui peluang untuk menggoyahkan pikiran lawan, akan tetapi
tidak menduga bahwa hasilnya bisa begitu luar biasa.Sekarang boleh
dikata dirinya berada di atas angin.Sebab keraguan tindakan
Mahapatih yang sepersekian kejap ini menjalar dan menjadi tanda
tanya.Dari seluruh isi pendapa yang segera menyadari bahwa
Halayudha unggul adalah Mpu Sina.Tokoh tua yang kenyang pengalaman
dan kokoh dalam pendirian itu terguncang. Kekuatan batinnya saling
membentur dalam dadanya. Tubuhnya bergetar. Tangannya gemetar. Yang
terdengar adalah giginya berkerutukan.Gempuran tenaga batin yang
menusuk terlalu dalam.Mpu Sina adalah senopati tangguh yang
pendiriannya sangat luas dan keras. Dalam tata pemerintahan yang
sedang menanjak, Mpu Sina lebih suka mengundurkan diri. Sama sekali
tak mau berurusan. Ini saja sudah menandakan