KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Buku 2
Karya : Arswendo Atmowiloto
Ebook by Dewi KZ
http://kangzusi.com
Tokoh-Tokoh
Berdasarkan Urutan Penyebutan
Sanggrama Wijaya, atau Naraya Sanggarama Wijaya, atau Raden
Wijaya. Nama yang dikenal ketika mengalahkan Raja Jayakatwang, yang
secara culas menguasai Keraton Singasari dan mendepak Baginda Raja
Kertanegara. Bersama dengan prajurit dan senopati yang setia,
Wijaya berhasil menggempur balik pasukan Tartar dari negeri Cina.
Menurut catatan sejarah, dinobatkan menjadi Raja Majapahit pada
tanggal 15 bulan Kartika atau sekitar bulan Oktober-November 1298.
Nama kebesarannya adalah Kertarajasa Jayawardhana. Nama ini
menunjukkan rasa hormat terhadap leluhurnya, raja-raja
Singasari.
Upasara Wulung, salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria
Pingitan. Ksatria Pingitan adalah semacam perguruan yang berusaha
melahirkan ksatria sejati yang dilatih ilmu surat dan ilmu silat,
atau kanuragan. Para ksatria yang terpilih, dilatih sejak lahir di
Ksatria Pingitan. Menurut cerita mi, Ksatria Pingitan didirikan
atas dasar
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
gagasan Baginda Raja Sri Kertanegara, Raja Singasari yang
terakhir, dengan tujuan menciptakan manusia yang selain jago silat
juga mempunyai watak luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati
utama yang melanjutkan kebesaran Keraton dan melindungi penduduk.
Selama dua puluh tahun Upasara Wulung berada dalam Ksatria
Pingitan, dilatih oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke medan
persilatan. Ilmu dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng
Terluka. Akan tetapi mengalami perubahan besar sejak mempelajari
Bantala Parwa atau Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum
Bintang serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Bantala Parwa dianggap
babon segala kitab kanuragan. Merupakan puncak berbagai sumber ilmu
silat yang ada di tanah Jawa.
Gayatri, atau Permaisuri Rajapatni, salah satu dari empat putri
Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raja
Majapahit. Menjelang penyerbuan ke Daha untuk menaklukan
Jayakatwang Gayatri pergi bersama
Upasara Wulung untuk mengetahui kekuatan lawan. Di sinilah
bibit-bibit daya asmara tumbuh. Dan berpuncak saat Gayatri ditawan
di atas benteng dan Upasara maju menggempur tanpa memedulikan
keselamatan dirinya. Akan tetapi menurut perhitungan dan ramalan
para pendeta, Gayatri harus menikah dengan Sanggrama Wijaya, karena
inilah pasangan Dewi Uma dan Dewa Siwa, yang kelak kemudian hari
akan menurunkan raja terbesar. Hubungan masa lalu ini ternyata
banyak membebani tapi sekaligus juga mewarnai perjalanan
hidupnya.
Mpu Renteng, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang
sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bujangga Andrawina, atau Ular
Naga Berpesta Pora, dengan menggunakan ujung kain yang tersampir di
pundaknya.
Mpu Sora, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak
awal. Ilmu andalannya ialah Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu.
Tokoh yang tangguh ini banyak mendapat dukungan untuk menjabat
sebagai mahapatih. Mahapatih ialah jabatan tertinggi di Keraton,
orang kedua sesudah raja. Namun ia sendiri merasa tidak berhak.
Pangkat yang disandang adalah adipati, semacam penguasa daerah, di
Dahanapura. Tempat Kala Gemet, putra mahkota, berada.
Mpu Elam, salah seorang senopati Majapahit, yang menjadi
prajurit telik sandi. Prajurit yang terpilih dalam pasukan telik
sandi, atau pasukan rahasia, adalah prajurit pilihan yang tugasnya
mengumpulkan semua laporan yang menyangkut keamanan. Dalam jajaran
pemerintahan ditangani secara langsung oleh Mahapatih.
Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit. Anak buah
langsung Senopati Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang bertugas
menjadi prajurit pribadi Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan untuk menjadi
pengganti.
Klikamuka, tokoh yang selalu menutupi wajahnya dengan klika atau
kulit kayu. Kelihatannya mempunyai hubungan dekat dengan
Keraton.
Toikromo, penduduk biasa yang ingin mengangkat Upasara Wulung
sebagai menantu.
Gendhuk Tri, calon penari Keraton Singasari yang menjadi anak
murid Mpu Raganata sebentar, lalu dilatih Jagaddhita. Ilmu
andalannya menggunakan selendang seperti penari. Karena satu dan
lain hal, seluruh darahnya teraliri racun sangat ganas. Dalam
usianya yang masih belasan tahun, dan hidup di tengah pergolakan
jago silat, adatnya memang aneh. Diam diam sangat mengagumi Upasara
Wulung, dan mencemburui setiap wanita yang mendekati Upasara.
Jaghana, salah seorang murid Perguruan Awan, perguruan yang
dianggap sumber segala ilmu kanuragan di tanah Jawa. Kepalanya
gundul pelontos, pakaian yang dikenakan asal menutup tubuh. Sabar
dan welas asih. Namanya bisa diartikan sebagai "pantat". Ini cara
merendahkan diri sebagai "bukan apa-apa, bukan siapa-siapa", salah
satu ciri ajaran Perguruan Awan.
Eyang Sepuh, lebih dikenal sebagai nama seorang empu yang
mahasakti yang mendiami Perguruan Awan. Dari Eyang Sepuh-lah
terdengar gema ajaran Kitab Bumi dengan jurus yang ampuh, yaitu
Tepukan Satu Tangan. Ajaran yang sejajar dengan ajaran Buddha, baik
di negeri Hindia, Cina, maupun Jepun. Atau bahkan sampai ke negeri
Turkana. Eyang Sepuh pula yang membuat para jago seluruh penjuru
jagat datang ke Trowulan, untuk membuktikan siapa yang mewarisi
ilmu sejati. Namun sejak semula, Eyang Sepuh tak pernah menampakkan
diri. Hanya beberapa orang, Gayatri dan Upasara, yang pernah
mendengar suaranya. Penguasaan ilmu Eyang Sepuh lelah sampai ke
tingkat moksa, lenyap bersama raga dan jiwanya.
Adipati Lawe, atau Ranggalawe, salah seorang senopati Majapahit
yang besar jasanya. Putra Aria Wiraraja ini nama kecilnya seperti
juga ayahnya, Aria Adikara. Ranggalawe, nama pemberian Raden
Sanggrama Wijaya yang mungkin menjadi petunjuk kepangkatannya
ketika itu. Rangga adalah jabatan yang sama dengan camat sekarang
ini. Kuda hitam dan umbul-umbul bergambar kuda, menunjukkan
kegagahannya ketika menjadi adipati, semacam patih penguasa suatu
wilayah, di daerah Tuban. Sebutan yang lain ialah patih
amancanegara, yaitu semacam kepala di daerah wilayah di luar
Keraton. Patih amancanegara menunjukkan penguasaan di luar wilayah
kekuasaan Keraton. Yang terbagi di daerah barat, timur, utara,
maupun selatan letak Keraton.
Galih Kaliki, tokoh yang asal-usul ilmu silat dan perguruannya
tidak gampang dimengerti. Senjata andalannya sebuah tongkat galih
asam,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bagian tengah atau hati pohon asam. Baru kemudian diketahui
bahwa gaya permainannya mirip dengan ksatria pedang panjang dari
Jepun. Orangnya keras, jujur, apa adanya. Dan sepanjang hidupnya
kesengsem atau tergila-gila pada Nyai Demang.
Senopati Anabrang, atau Mahisa Anabrang. Salah seorang senopati
zaman Kerajaan Singasari yang menjelajah sampai ke tlatah Melayu
dan baru kembali dua puluh tahun kemudian. Melanjutkan pengabdian
kepada Raja Majapahit, dengan membawa dua putri ayu yang salah
satunya dipermaisurikan Baginda Raja.
Senopati Nambi, atau Mpu Nambi, salah seorang senopati
Majapahit, pimpinan prajurit telik sandi, atau pasukan rahasia.
Diangkat sebagai mahapatih, suatu jabatan tertinggi sesudah raja.
Mahapatih menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Secara
langsung membawahkan para senopati, adipati, ataupun patih.
Pengangkatannya sebagai mahapatih banyak mengundang pertentangan.
Terutama dari Adipati Lawe, yang mengharapkan dirinya atau Mpu Sora
yang memangku jabatan tersebut.
Wilanda, salah seorang murid Perguruan Awan yang kemudian
melepaskan diri dan menjadi prajurit andalan Keraton Singasari, dan
kemudian kembali lagi ke Perguruan awan. Budinya luhur, dan menjadi
pendamping Upasara sejak kecil. Ilmunya yang sulit ditandingi ialah
cara mengentengkan tubuh seperti capung hinggap di ujung daun.
Kiai Sumelang Gandring, atau Mpu Sumelang Gandring, turunan
seorang ahli pembuat keris yang mengembara sampai ke ujung barat
tanah Jawa. Di sana meneruskan ilmunya. Seluruh muridnya berjumlah
dua belas, dan semua memakai sebutan Gandring. Istimewanya ialah
kedua belas Gandring ini bisa menyusun barisan yang luwes dan
ampuh. Di antaranya gaya serangan Jiwandana Jiwana, atau Tembang
Kehidupan.
Nyai Demang, satu-satunya tokoh wanita yang sering dinilai hanya
karena mengobral asmara, serta bentuk tubuhnya yang montok. Menurut
cerita, dulu istri seorang demang, pangkat setingkat kepala desa.
Banyak para ksatria menjadi korban senyuman dan bentuk tubuhnya.
Akan tetapi di balik segala daya tarik lahiriahnya, Nyai Demang
selama ini tak tertandingi dalam soal kemampuannya mempelajari
bahasa mancanegara. Dialah yang menjadi penyalin bahasa sewaktu
pasukan Tartar mendarat.
Halayuda, salah seorang senopati Majapahit yang tak terlalu
menonjol dalam peperangan. Gerak-geriknya penuh teka-teki, karena
hubungannya yang sangat dekat dengan Raja Majapahit, dan
kemampuannya untuk merendah dalam rangka mengelabui ambisinya yang
sangat tinggi. Strategi, taktik yang dijalankan sangat culas,
bergetah, tapi berhasil. Ilmu silatnya termasuk sangat tinggi
karena ia
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
murid langsung Paman Sepuh, ditambah berbagai ilmu yang
diperoleh sendiri.
Tribhuana, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang
dipermaisurikan oleh Raden Wijaya. Sebagai putri Keraton, Tribhuana
dikenal memiliki pengetahuan yang luas dan cara berbicara yang
ulung dalam menangkap suasana, sehingga digelari Mahalalila.
Sebagai permaisuri pertama, sebenarnya Tribhuana berhak melahirkan
putra mahkota. Akan tetapi nyatanya tidak, karena Raja Majapahit
memilih permaisuri yang lain.
Mahadewi, adik Tribhuana yang juga dipermaisuri oleh Raja.
Mahadewi dikenal sebagai putri landasan daya asmara Baginda.
Jayendradewi, atau Permaisuri Pradnyaparamita, adik Mahadewi
yang juga dipermasurikan Baginda. Tidak secantik adiknya, Gayatri,
namun kesetiaan dan keluhuran budinya menjadi contoh teladan.
Dara Jingga, putri boyongan dari Melayu yang dipersembahkan
Senopati Anabrang kepada Baginda. Namun kemudian menikah dengan
salah seorang bangsawan Keraton yang melanjutkan pemerintahan di
tlatah Melayu.
Dara Petak, adik Dara Jingga, yang dipermaisurikan Baginda
dengan gelar Permaisuri Indreswari. Disebut sebagai stri tinuheng
pura atau permaisuri yang dituakan. Menggeser kedudukan Tribhuana
dan dengan demikian berarti anak keturunannya yang bakal mewarisi
takhta Baginda Kertarajasa.
Dewa Maut, tadinya menjadi tokoh yang ganas, setiap kali
berperang hams mencabut nyawa lawan karena daya asmara kepada gadis
pujaannya bertepuk sebelah tangan. Hidup menyendiri hanya dengan
sesama kaum pria, di atas perahu yang selalu berada di Kali
Brantas. Dalam salah satu pertarungan ilmunya lenyap, dan gayanya
seperti kehilangan ingatan. Seluruh rambutnya putih. Gendhuk Tri
dianggap "kekasihnya" yang hilang dan selalu dipanggil Tole,
panggilan untuk anak lelaki. Dewa Maut hanya mau mengikuti perintah
Gendhuk Tri.
Kama Kalacakra, salah seorang ksatria Jepun yang mahir memainkan
pedang panjang.
Kama Kalandara, saudara seperguruan Kama Kalacakra. Dua nama
yang berbeda akan tetapi artinya sama, yaitu "benih matahari". Bila
bergabung, keduanya menjadi disegani, karena bisa memindah serangan
sambil berputar kencang.
Kama Kangkam, guru Kama Kalacakra maupun Kama Kalandara. Datang
ke tanah Jawa untuk mengadu kekuatan dengan Eyang Sepuh,
memperebutkan gelar sebagai ksatria lelananging jagat, atau ksatria
yang paling lelaki, yang paling tak terkalahkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Semi, salah seorang senopati Majapahit. Salah seorang
dari tujuh dharmaputra, putra istana yang mendapat perlakuan
istimewa dari Baginda. Senopati lain yang termasuk dharmaputra
ialah Senopati Kuti, Senopati Pangsa, Senopati Wedeng, Senopati
Yuyu, Senopati Tanca, serta Senopati Banyak.
Kala Gemet, putra mahkota Keraton Majapahit, putra Permaisuri
Indreswari. Sejak muda telah diangkat menjadi calon pewaris takhta
dengan mengambil tempat latihan kekuasaan di Dahanapura. Ketakutan
disaingi saudaranya, ia melarang saudara lain ibu menikah.
Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, yang terbakar oleh dendam
sejak kematian ayahnya di tangan Senopati Sora. Merasa pengabdian
ayahnya kepada Keraton disia-siakan, Mahisa Taruna mudah
dipermainkan orang lain.
Aria Wiraraja, tokoh yang dihormati dari Sumenep, Madura, inilah
yang pertama kali mengulurkan tangan kepada Sanggrama Wijaya.
Taktik dan strateginya jitu. Dengan kematian Lawe, putra
kesayangannya, Aria Wiraraja sangat kecewa. Kemudian meninggalkan
Keraton dan berdiam di Lumajang, yang membawahkan wilayah Majapahit
sebelah timur.
Naga Nareswara, atau Raja Segala Naga, merupakan utusan
tertinggi dari Tartar, yang masih menyimpan dendam, karena
pasukannya yang mampu menaklukkan dunia dikalahkan oleh
senopati-senopati Majapahit. Akan tetapi kedatangannya yang
terutama untuk bertarung dengan Eyang Sepuh, dalam memperebutkan
gelar ksatria lelananging jagat. Untuk membuktikan siapa pewaris
suci dari ajaran yang sama sumbernya.
Kiai Sambartaka, atau Kiai Kiamat, seorang pendeta dari tanah
Hindia. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu ilmu sejati dengan Kama
Kangkam, Naga Nareswara, serta Eyang Sepuh. Agaknya, lima puluh
tahun lalu, para tokoh itu sudah berjanji untuk mengadakan
pertempuran habis-habisan.
Paman Sepuh Dodot Bintulu, atau menyebut dirinya Bik Suka
Bintulu karena menyamakan dirinya sebagai pendeta peminta-minta.
Dodot Bintulu adalah nama untuk menunjukkan kesederhanaan sebagai
rakyat jelata. Panggilan Paman Sepuh karena tokoh sakti ini saudara
seperguruan Eyang Sepuh maupun Mpu Raganata, dan yang sesungguhnya
menuliskan Kitab Bumi atau Bantala Parwa bagian pertama, yaitu yang
berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Wajahnya hancur karena
dikhianati dua muridnya yang durhaka, yaitu Ugrawe dan Halayudha.
Kemunculannya kembali ke dalam dunia persilatan untuk memenuhi
undangan yang disebarkan Eyang Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Di
mana akan berkumpul seluruh jago silat, jawara dari jawara seluruh
jagat. Salah satu gubahan ilmunya yang terkenal,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
selain Banjir Bandang Segara Asat yang disempurnakan Ugrawe,
adalah jurus-jurus Timinggila Kurda, atau jurus-jurus Ikan Gajah
Murka. Ikan gajah adalah sebutan untuk ikan paus pada masa
lalu.
Kiai Gajah Mahakrura, nama lain Paman Sepuh yang dipakai oleh
Halayudha, yang menggambarkan gurunya yang dianggap sebagai gajah
mahabengis.
Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan sebutan bahwa di seluruh
kolong langit ini, dialah yang paling ayu tanpa tanding. Nama
sesungguhnya Ratu Ayu Azeri Baijani, datang dari negeri Turkana.
Suatu negeri yang disebut sebagai tlatah tapel mates, karena
merupakan tapal batas dengan wilayah yang tak dikenal. Ratu Ayu
berkelana ke tanah Jawa karena mendengar bakal ada pertemuan
seluruh jago silat. Bersama para senopatinya, Ratu Ayu ingin
mencari jodoh, yaitu yang bisa mengalahkannya. Karena ia percaya
bahwa bersama lelaki yang mampu mengalahkannya, ia bisa membebaskan
negerinya dari jajahan Raja Tartar. Repotnya, justru dalam
pengelanaannya, tak ada yang mampu mematahkan ilmunya, yaitu
Tathagati, atau ilmu Buddha Wanita, yang dianggap sesat karena
menyamakan sang Buddha dengan wanita. Gerak langkah ilmu ini
disebut Tathagata Pratiwimba atau gerakan Area Buddha yang Kaku,
serupa dengan cara bergerak boneka.
Sariq, senopati utama Ratu Ayu Bawah Langit. Sariq berarti
kuning, karena ketika memainkan ilmunya seakan tubuhnya berwarna
kuning seluruhnya. Senopati lainnya ialah Uighur, Karaim, Wide,
Chagatai, dan Kazakh. Bersama-sama mereka mampu memainkan barisan
yang disebut Lompat Turkana, atau 64 Langkah Jong. Jong bisa
berarti payung, bisa berarti tertutup. Barisan Lompat Turkana ini
disusun sedemikian rupa, sehingga langkah ke belakang tertutup.
Mereka selalu bergerak maju ke depan, ke samping kanan, atau ke
samping kiri. Konon ini merupakan permainan yang lazim di negeri
Turkana.
Gajah Biru, senopati yang setia kepada Mpu Sora, baik di saat
jaya maupun ketika tersisih, seperti juga:
Juru Demung
Maha Singanada, gagah perkasa, wajah dan penampilannya sangat
mirip dengan Upasara Wulung. Hanya rambutnya dibiarkan tergerai dan
sikapnya jauh lebih urakan, tak mengenal tata krama. Senopati ini
termasuk dalam rombongan yang dikirim oleh Baginda Raja Sri
Kertanegara dari Keraton Singasari (itu sebabnya masih memakai nama
Singa) ke tlatah Campa, ke Keraton Caban. Untuk mengantarkan Dyah
Ayu Tapasi, putri Baginda Raja, untuk dipermaisurikan Raja Campa.
Senjata utamanya adalah kantar, atau tombak pendek. Ilmunya
bersumber pada Kitab Bumi, akan tetapi cara mengatur pernapasannya
disebut Nawawidha, atau Mengatur Tenaga Dalam Lipat Sembilan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jurus-jurusnya dikenal sebagai Nawagraha, atau Siasat Sembilan
Bintang, yang kesemuanya berintikan kepada angka sembilan.
Pendeta Syangka, atau Pendeta Sidateka, berasal dari tanah
Syangka atau Sri Langka. Merupakan pendeta kesayangan Putra Mahkota
Bagus Kala
Gemet, sehingga kelak kemudian hari sang putra mahkota ini
memakai gelar kebesaran sebagai Sri Sundarapandya Adiswara. Sebutan
pandya berarti mengakui kebesaran dinasti Pandya yang memerintah di
Sri Langka. Sejak tata pemerintahan Keraton Sriwijaya,
pendeta-pendeta dari Syangka mencoba menanamkan pengaruhnya, akan
tetapi selalu gagal. Sekali ini, Pendeta Sidateka yang menguasai
Pukulan Dingin, berhasil.
Maha Singa Marutma, salah seorang senopati yang dikirim oleh
Baginda Raja Sri Kertanegara ke Keraton Mon, di delta Sungai
Saluen, di tlatah Burma. Keraton Mon menjadi rebutan kekuasaan
antara Keraton Burma dan Keraton Sukothai, dari bangsa Thai. Maha
Singa Marutma kembali ke tanah Jawa mencari bantuan untuk
membebaskan Keraton Mon dari serbuan Burma maupun Sukothai.
Pangeran Jenang, nama yang dimudahkan untuk menyebutkan Pangeran
Che Nam, yang terdesak oleh bangsa Vietnam. Karena Keraton Campa
merupakan wilayah yang dikuasai Singasari, Pangeran Jenang minta
bantuan ke tanah Jawa. Hanya saja ketika ia datang, yang memerintah
bukan lagi Baginda Raja Sri Kertanegara. Oleh Bagus Kala Gemet,
ditarik sebagai salah seorang pendukungnya.
Kebo Berune, oleh Upasara dipanggil dengan sebutan hormat Eyang
Kebo Berune, sedangkan Nyai Demang memanggil dengan Kakek Kebo
Berune. Salah seorang tokoh sakti yang hidup sezaman dan seangkatan
dengan Paman Sepuh, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata. Bahkan
sama-sama merumuskan lahirnya Kitab Bumi. Kebo Berune hanyalah nama
sebutan, karena tokoh ini mengembara sampai ke tlatah Berune atau
Brunei, dan baru kembali untuk bertanding menguji ilmu siapa yang
paling unggul. Suatu pertemuan setiap lima puluh tahun sekali.
Sayangnya, karena cara berlatih tenaga dalam yang keliru, Kebo
Berune selalu dibayangi maut, dan tak bisa bergerak. Salah satu
ajiannya yang sejajar dengan ilmu Weruh Sadurunging Winarah Mpu
Raganata, sejajar dengan ajian Tepukan Satu Tangan Eyang Sepuh,
sejajar dengan Banjir Bandang Segara Asat Paman Sepuh, adalah
Pukulan Pu-Ni yang diciptakannya. Pu-Ni sekadar untuk mengingatkan
bahwa ilmu itu diciptakan di tanah Pu-Ni atau Berune atau Brunei.
Konon ilmu-ilmu itu diciptakan untuk menjadi penangkal ilmu Dua
Belas Jurus Nujum Bintang.
Pulangsih, atau Putri Pulangsih dalam sebutan Nyai Demang.
Menurut cerita yang dituturkan Kebo Berune, Pulangsih adalah
gadis
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang diperebutkan oleh Mpu Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh,
maupun Kebo Berune. Tokoh wanita yang masih serba samar ini memilih
Eyang Sepuh yang disebut Bejujag atau si kurang ajar, namun justru
pada saat itu Eyang Sepuh mencampakkannya. Penolakan itulah yang
mengilhami lahirnya bagian terakhir Kitab Bumi, yang disebut Kitab
Penolak Bumi, atau Tumbal Bantala Parwa. Pulangsih pastilah sebutan
di antara keempat ksatria muda pada zamannya, karena arti pulangsih
sesungguhnya adalah bersatunya daya asmara secara jasmani.
Cebol Jinalaya, si cebol berkulit hitam. Mewakili pemuja yang
tetap mengagungkan Sri Kertanegara, sehingga menganggap bahwa bila
mereka mati, bisa terus menjadi abdi Baginda Raja. Jinalaya sendiri
nama yang dipakai untuk menunjukkan tempat untuk mati.
Senopati Agung Brahma, bangsawan tua yang dihormati oleh
kalangan keraton, tetapi juga jauh dari kekuasaan karena lebih suka
menyepi. Kepedihan hatinya tetap tak terhibur dengan menikahi Dyah
Dara Jingga, yang dengan demikian ia adalah kakak ipar Baginda.
Termasuk salah seorang senopati yang dikirimkan ke seberang oleh
Baginda Raja Sri Kertanegara. Hanya satu yang menyebabkan ia keluar
dari "persembunyiannya", yaitu terutama karena mendengar berita
datangnya utusan dari Keraton Caban di Campa, di samping keruwetan
yang menimpa Keraton.
Bagus Janaka Marmadewa atau Janaka Rajendra atau biasa dipanggil
dengan Pangeran Anom, putra Senopati Agung Brahma. Ketekunannya
mempelajari Kitab Air menyebabkan ia menemukan rahasia permainan
ganda. Sifatnya yang polos, jujur, sering dibandingkan dengan
saudara sepupunya yang menduduki takhta. Oleh sebab itu dianggap
saingan di belakang hari. Dalam kepolosannya, ia menaruh hati
kepada Gendhuk Tri.
Barisan Padatala, sebutan untuk ketiga pendeta dari Syangka yang
memakai gelang kaki. Sebenarnya padatala lebih tepat diartikan
sebagai telapak kaki. Mereka ini terdiri atas Pendeta Resres,
Wacak, serta Taletekan.
Puspamurti, tokoh yang ganjil, bukan karena selalu memakai
pakaian perempuan atau bersenjata kipas gede, melainkan karena
selalu memainkan ilmu silatnya yang hanya satu jurus. Dikenal
sebagai pemuja Kidungan Paminggir, yang biasa disebut sebagai Kitab
Maha manusia.
Manmathaba, pendeta yang menjadi pemimpin tertinggi dari tanah
Syangka. Agak ganjil bahwa dasar-dasar ilmu silatnya sama dengan
ajaran dalam Tirta Parwa atau Kitab Air. Yang mengerikan adalah
senjata rahasia berupa bubuk pagebluk yang bisa membunuh dan atau
membuat korbannya ketagihan terus-menerus. Di samping itu juga
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memiliki senjata bandring cluring, yang talinya konon dibuat
dari otot manusia. Ilmu kebalnya juga belum ada tandingannya.
Truwilun, muncul sebagai peramal atau dukun yang membela rakyat
kecil dengan memberi pengobatan dan penyuluhan. Rambut, jenggot,
dibiarkan tumbuh secara liar, akan tetapi pandangan matanya
menyorotkan kasih dan kedamaian. Potongan kayu digunakan sebagai
alas kaki.
Cantrik, pengikut setia Kiai Truwilun.
Pengasihan, sebutan untuk sejumlah senopati yang diangkat ketika
Manmathaba berkuasa. Di antaranya, Senopati Jaran Pengasihan,
Senopati Kebo Pengasihan. Mereka sengaja diberi kekuasaan pada saat
terjadi perebutan kekuasaan dan pengaruh di kalangan senopati.
Tantra, senopati yang sangat dekat hubungannya dengan tujuh
senopati utama, atau pada dharmaputra, yaitu senopati yang dianggap
berjasa besar oleh Baginda Kertarajasa ketika mendirikan Keraton
Majapahit.
Praba Raga Karana, sebutan untuk kekasih Raja Jayanegara.
Sebutan ini agak berlebihan, karena praba berarti sinar yang
memancar dari orang suci, sedangkan raga karana sebutan untuk tubuh
yang mengimbau berahi. Dulunya juru pijat yang diangkat dan
dipersiapkan menjadi permaisuri.
Sodagar Galgendu, saudagar yang mempunyai tambang emas Gua
Kencana, di Desa Kedung Dawa. Karena jasa dan sumbangannya kepada
Keraton, ia diberi gelar Wong Agung. Tubuhnya yang gemuk dan
kelembutan sikapnya tertutupi berita bahwa dirinya bisa membuat
pohon kelapa yang seluruhnya terdiri atas emas. Ia sangat mengagumi
dan mengharapkan bisa mempersunting Ratu Ayu.
Ki Dalang Memeling, tokoh dalang dari Desa Memeling yang mampu
memainkan wayang kulit tanpa menyentuh. Ia termasuk pemilik Gua
Kencana, namun belum suka mendalang. Meskipun digemari rakyat, Ki
Dalang kurang disukai kalangan Keraton.
Mada, pemuda desa yang mempunyai cita-cita menjadi prajurit
Keraton sebagai pembebas derita hidup dan pengakuan pribadinya.
Mada bisa diartikan air berahi, atau air asmara. Sebuah nama yang
agaknya sengaja dipakai untuk memperlihatkan latar belakangnya yang
berasal dari rakyat kebanyakan, seperti petani dan tukang perahu,
seperti juga keempat sahabatnya berikut ini:
Madana, yang bisa berarti dewa asmara.
Senggek dan Genter, yang arti harfiahnya galah, akan tetapi juga
simbol kejantanan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kwowogen, yang berarti rasa puas yang berlebihan dalam
kenikmatan badani, seperti makan terlalu banyak. Kelimanya
menemukan persamaan tujuan, dan berguru langsung untuk memahami
Kidung Pamungkas. Ini berbeda dari generasi sebelumnya yang mulai
mempelajari Kitab Bumi, sehingga melahirkan sikap yang juga
berbeda.
Pangeran Hiang, satu-satunya putra mahkota Kaisar Tartar yang
berani memakai umbul-umbul atau bendera dengan simbol Siung Naga
Bermahkota. Ini menunjukkan bahwa pangeran yang pernah menyusup
masuk dan menaklukkan Jepun serta Koreyea itu merupakan calon
pewaris takhta di Keraton yang menguasai jagat.
Putri Koreyea, istri Pangeran Hiang yang berasal dari tlatah
Koreyea, yang berdiam di perahu yang memiliki perlengkapan serba
sempurna untuk menghalau siapa pun yang mencoba mendekat.
Barisan Api, atau Pendekar Api, sebutan untuk para pengawal
utama pasangan Pangeran Sang Hiang dengan Putri Koreyea. Terdiri
atas tiga belas prajurit pilihan, yang tenaganya luar biasa besar.
Lebih menakjubkan lagi, tenaga dalam mereka ini bisa berlipat jika
telapak tangannya bersentuhan. Nama-nama mereka semua berarti sama,
yaitu berarti taji api. Seperti Jalugeni, Jalulatu, Jaluapi,
Jaluapyu, Jaluagni, Jalubahni, Jaludahana, Jalubtama, Jaluguna,
Jaluanala, Jalusiking, Jalupawaka, Jalupuja yang agaknya tidak
pernah dipergunakan karena tidak berhubungan dengan orang luar.
Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara, kakek buyut Pangeran
Hiang yang menyatukan seluruh bangsa Mongol, Tartar yang gagah
perkasa. Gelaran sebagai Penguasa Jagat diberikan setelah berhasil
mengakhiri dinasti Keraton Tang yang menguasai tanah Cina.
Senopati Temujin nama yang dipakai ketika menyatukan suku bangsa
yang hidup liar di gurun pasir terbuka.
Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa, ayah Pangeran Hiang, cucu
Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara, berhasil mengembangkan
tradisi kemenangan, setelah menggantikan kakaknya. Keraton Tawu
dibangkitkan kembali dengan mengambil nama dinasti Yuan.
Gemuka, saudara tua Pangeran Hiang, keturunan ketiga Jamuka,
senopati Tartar yang bersama Temujin berhasil menguasai seluruh
dataran Cina, hingga ke Persia dan Samudra Adriatik. Tradisi
kemenangan dan darah Tartar yang murni mengalir dalam tubuhnya,
sehingga mengikuti Pangeran Hiang ke Jepun dan Koreyea. Sewaktu
rombongan ke tanah Jawa, Gemuka sebenarnya merasa keberatan.
Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit. Anak buah
langsung Senopati Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang bertugas
menjadi prajurit pribadi Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan menjadi
pengganti.
Dewi Renuka, nama yang dikenakan kepada wanita yang kurang jelas
asal-usulnya, yang ditemui Halayudha ketika masih berguru kepada
Paman Sepuh. Sebutan ini mengambil nama tokoh dalam dunia
pewayangan yang melakukan penyelewengan asmara dan kemudian hari
dibunuh putranya. Dewi Renuka ini yang mengakibatkan Halayudha
buntu tenaga planangan atau tenaga kelelakiannya.
Nyai Makacaru, atau Nyai Sesajian, istri Senopati Tanca yang
lebih dikenal sebagai tabib Keraton. Keunggulannya dalam meracik
jamu dan jejampian dikabarkan membuat suaminya tidak melirik wanita
lain. Nurani kewanitaan Nyai Makacaru terobek ketika mengetahui
niatan Raja Jayanegara mengawini Tunggadewi dan Rajadewi, saudara
seayah.
Senopati Gandhing, pengikut setia Mahapatih Nambi yang menguasai
Benteng Gandhing. Senjata andalannya kalawai, tombak bermata
tiga.
Senopati Bango Tontong, semula adalah pengikut setia Mahapatih
Nambi yang diangkat Halayudha sebagai pemimpin Barisan Kosala,
barisan untuk menjaga ketenteraman, ketertiban, dan kesejahteraan.
Akan tetapi julukan yang beredar di masyarakat ialah Barisan Kopina
atau Barisan Cawat. Sebutan Bango Tontong, karena kakinya panjang,
kurus, hitam seperti burung bangau tontong.
Tenggala Seta, diduga putra Dewi Renuka. Sekurangnya menurut
pendekatan merogoh sukma yang dilakukan Eyang Puspamurti. Tenggala
berarti luku atau bajak, atau dalam bahasa lain juga hala, yang
juga mengandung arti yang berdosa, hina, celaka, dan kalah. Arti
lahiriahnya bajak atau luku putih.
Jabung Krewes, senopati yang diunggulkan dan diberi jabatan kuat
dalam tata pemerintahan Keraton. Oleh Halayudha dimaksudkan untuk
mengimbangi pengaruh Senopati Bango Tontong yang bisa meluas.
Dengan mengadu dua kekuatan, kedudukan Halayudha sebagai tempat
bergantung semakin kokoh.
Baginda Koryo, raja yang memerintah Keraton Koreyea, yang
berhasil menyatukan bangsa yang selama ini terjajah oleh bangsa
Cina. Merupakan leluhur atau nenek moyang Putri Koreyea.
Si Bawuk, sebutan yang diduga keras untuk Jagaddhita, guru
sekaligus pengasuh Gendhuk Tri.
Angon Kertawardhana, pangeran muda yang berasal dari Cakradaran,
yang mendiami keraton petilasan Singasari. Putra Cakradara yang
merupakan pewaris takhta dari wilayah yang dulunya menjadi pusat
kekuasaan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Muda Wengker, pangeran muda yang mendiami Keraton Tua,
sebutan untuk Keraton Daha, cikal bakal sebelum berdirinya
Singasari.
Jurang Grawah, prajurit yang diangkat sebagai senopati oleh
Senopati Kuti. Sebagaimana biasanya, setiap pergantian pimpinan,
terjadi pula pergeseran di lapisan bawahnya.
Patih Arya Tilam, patih Daha yang sakti. Jabatan utamanya adalah
penasihat rohani Pangeran Muda Wengker. Kemampuannya meramal masa
depan agaknya justru merepotkan hidup yang dijalani sekarang.
Patih Arya Wangkong, patih wilayah Singasari yang kasar dan
terbuka. Pengabdi setia Pangeran Muda Angon Kertawardhana.
Ngwang, sebutan untuk pendeta yang mempunyai hubungan erat dan
ganjil dengan Pangeran Sang Hiang. Ilmu andalannya berdasarkan
kekuatan angin, yang diciptakan khusus untuk mengalahkan Kitab Bum.
Ngwang sebenarnya sebutan untuk orang yang belum diketahui
asal-usulnya.
Cubluk, gadis kecil yang ditemukan di tempat mangkatnya Jaghana.
Sangat cerdas, lembut, dan tidak menyukai ajaran silat.
Klobot, bocah kecil yang ditemukan bersama Cubluk. Kedua anak
ini dinamai demikian karena ketika pertama ditemukan hanya kata
itulah yang diucapkan. Berbeda dari Cubluk, Klobot sangat bernafsu
mempelajari ilmu silat.
Nala, salah seorang prajurit pratama, atau prajurit kelas satu,
dari Daha. Seperti juga Naka
Ayang-Ayang Raja
MESKIPUN dalam keadaan limbung dan menggabruk ke lantai,
ternyata serangan yang serentak menyerbu ke arahnya tak menimbulkan
gangguan sedikit pun.
Halayudha tetap berdiri tegak sementara puluhan tombak menusuk
ke arahnya. Dengan menyalurkan tenaga dalam ke seluruh lubang
kulitnya, arah tombak seakan melenceng.
Seperti mengenai baja yang licin.
Tusukan pedang berikutnya malah menimbulkan rasa takjub.
Dua pedang bahkan bisa dikempit di bawah ketiak Halayudha.
Penusuknya tak bisa bergerak. Ketika Halayudha melonggarkan
kempitannya, tubuh penyerang justru tergelosor di lantai.
Tanpa bisa bangun lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pameran yang luar biasa dari penguasaan tenaga dalam yang
sempurna. Kalau Halayudha berniat membalas, puluhan prajurit kawal
tak bakal bisa menghirup udara lagi. Tanpa mengerti apa kekeliruan
yang dilakukan.
Baginda menyadari bahwa ilmu Halayudha jauh di atas prajurit
kawal pribadinya. Akan tetapi bahwa tanpa membuat gerakan membalas
sedikit pun mampu mengenyahkan seluruh serangan, tetap menimbulkan
kekaguman.
Semua itu dilakukan tanpa membalas serangan.
"Kidung Ayang-Ayang Raja!"
Perintah Baginda bukan menyebutkan nama jurus ilmu silat.
Mengatakan ayang-ayang berarti mengatakan bayang-bayang raja, atau
bayangan tubuh raja.
Kembali tubuh Halayudha menggeletar.
Bibirnya tipis dan alunan tembangnya terasa ringan.
Seorang raja ialah seorang yang mempunyai bayang-bayang tubuh
sepanjang tanah, sepanjang air, sepanjang udara itulah bedanya
dengan pohon paling tinggi dan burung yang bisa terbang, dan angin
yang tak berbentuk tak berwujud seorang raja perkasa tanpa jejak
tanpa tapak ia menciptakan bayangan tubuh masa depan, di mana
anak-cucu berlindung dan meneruskan hingga ke keturunan yang
kemudian bayangan tubuh seorang raja ialah sarang angin bayangan
tubuh seorang raja ialah tempat terangingatlah semua keturunan
darah Singasari, ingatlah semuanya agar Dewa menjadi iri, sakit
hati, tapi tak bisa apa-apa itulah bayangan tubuh seorang raja, itu
hanya bayangannya...
"Lalu apa maumu?"
"Jadilah seorang raja."
"Apa yang kamu lihat?"
"Seorang raja tanpa ayang-ayang!"
"Kembalikan semua kepada ingsun, sebab kamu tak berhak
mengidungkan. Itu kidungan raja, dan kamu tak berhak meminjam,
Halayudha!"
Suara Baginda mengguntur keras sekali.
Saat itu Mahapatih Nambi dan para senopati yang lain sudah
mengurung. Mereka melakukan sembah dan berjongkok menunggu gerakan
napas yang berbeda.
Sementara Halayudha berdiri tegak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kembali terjadi perubahan pada tubuhnya. Yang perlahan terangkat
ke atas, ke atas hingga setengah tombak.
"Tak ada gunanya matahari diciptakan kalau tak mampu membuat
bayangan tubuh."
Didengar dari nadanya jelas itu ucapan Halayudha. Akan tetapi
sekilas terlihat bahwa tak ada bagian tubuh Halayudha yang
bergerak.
Juga ketika turun kembali dan kakinya menginjak tanah.
Mahapatih Nambi menjadi tidak sabar. Tangannya mencabut keris
dari pinggang, dan dengan menotol keras tubuhnya melesat dari
samping. Lambung Halayudha yang ditusuk langsung. Di dalam
pergelangan tangannya tersalur tenaga tusukan yang luar biasa
ganasnya.
Sret, sret, pakaian Halayudha terobek.
Sewaktu Nambi membalik kerisnya, kali ini kain Halayudha yang
robek. Tersayat-sayat. Dalam satu gerakan tangannya telah bergerak
naik-turun tujuh kali. Ada tujuh sayatan.
Akan tetapi tetap saja.
Tubuh Halayudha berdiri tegak. Tak terluka sedikit pun.
Kali ini Mahapatih Nambi terkesiap. Sungguh luar biasa! Tusukan
kerisnya seakan menikam dan merobek kulit. Akan tetapi ternyata
hanya mengenai kain.
Dua kali Mahapatih mengulangi gerakannya, hanya sobekan kain
yang makin banyak. Seakan rumput panjang yang digantungkan.
Tetapi sedikit pun tak ada kulit yang terluka.
Luar biasa!
Setebal apa pun kulit, sekebal ilmu apa pun, sulit dipercaya
bahwa kain yang menempel di kulit bisa hancur tersayat, akan tetapi
tak melukai kulit ari sekalipun.
Rasanya seumur hidup Mahapatih Nambi tak pernah membayangkan ada
ilmu yang begitu hebat. Bahkan kalau tidak mengalami sendiri, tidak
menusuk sendiri, agak sulit mempercayai.
Halayudha diakui mempunyai seribu satu akal. Baik yang
benar-benar licik maupun yang penuh akal-akalan. Kabar mengenai hal
ini sudah menyebar.
Bukan tidak mungkin di balik kain yang dipakai, Halayudha
memakai pelapis yang tak mempan disentuh senjata.
Bisa terjadi hal semacam itu.
Akan tetapi tidak sekarang ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jelas terlihat kulit Halayudha melalui kain yang tersobek. Tidak
mengenakan sesuatu.
Tidak memakai pelindung apa-apa.
"Kembalikan, Halayudha!"
Perintah Baginda kembali mengguntur.
"Kembalikan ke mana, siapa yang punya?
"Lihatlah ke tanah. Adakah bayangan tubuhmu?"
Mahapatih Nambi kembali menggebrak. Kali ini dengan pukulan
kosong. Mencoba menangkap tubuh Halayudha yang tak bergerak.
Merenggut paksa dan membanting ke lantai.
Akan tetapi lagi-lagi hanya sobekan pakaian yang tertarik.
Sementara ayunan senjata yang lain juga tak mempunyai pengaruh
apa-apa. Seakan melesat di kiri dan di kanan, di samping, di atas
tubuh Halayudha.
Kalau seratus tusukan bisa dihindari tanpa menggerakkan tubuh,
tanpa diperintahkan para penyerang melangkah surut.
Halayudha maju setapak.
Mendekati Baginda.
Yang mundur setindak.
Keadaan menjadi sunyi.
"Kidungan Para Raja bagian mana lagi yang diperlukan?"
Tak ada jawaban.
Halayudha maju lagi dua tindak.
"Kidung pambuka..." terdengar suara halus merdu.
Baginda melirik kaget.
Permaisuri Rajapatni duduk bersimpuh di kejauhan belakang, akan
tetapi suaranya mendenging lemah.
Halayudha menghirup napas dalam-dalam. Suaranya mengalun
perlahan, seolah berbisik.
Bacalah Kidungan Para Raja
sebab ini wejangan Kertanegara
yang perkasa
yang dikasihi Dewa
yang dipuja
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bacalah jika rohmu roh raja....
Halayudha masih akan melanjutkan, karena nada kidungan itu belum
selesai, ketika Permaisuri Rajapatni berseru lirih,
"Tutuplah, sebab kamu tak memiliki roh raja...."
Tubuh Halayudha tergetar, dan mendadak lututnya seperti terkena
pukulan keras. Tertekuk. Tubuhnya ambruk.
Baginda mendongak ke atas.
Matanya menyipit.
Apa yang diucapkan permaisurinya sangat tepat. Memotong kidungan
yang ditembangkan Halayudha.
Seharusnya lanjutan kidungan tadi ialah:
Bacalah jika rohmu roh raja
roh rajamu, Raja Singasari....
Dan selanjutnya. Namun dengan memutus hubungan dengan lirik
berikutnya, Permaisuri Rajapatni mampu menghentikan kekuatan roh
kidungan.
Halayudha seperti dibanting kembali ke alam kenyataan, bahwa ia
bukan raja. Bahwa ia tak berhak membaca kidungan yang khusus
ditulis untuk para raja.
Baginda mengetahui dengan pasti. Hafal segala lekuk-liku cara
menembangkan. Hanya tidak menyadari bahwa dengan mencegat di
tengah, artinya bisa lain sama sekali.
Asmara Dayinta
KIDUNGAN PARA RAJA menurut cerita selalu ditulis sendiri oleh
raja yang sedang berkuasa. Ditulis sendiri dalam artian didiktekan
secara langsung lalu dicatat abdi kepercayaannya maupun ditulis
sendiri dalam artian sebenarnya.
Inti kidungan itu ialah isi pemikiran yang ingin ditularkan
kepada raja penerus. Ajaran-ajaran suci ataupun mengenai pembagian
kekuasaan.
Semacam kitab wasiat terakhir yang hanya boleh dibaca setelah
raja yang bersangkutan kembali ke alam para Dewa.
Menurut kisah yang didengar ketika Baginda masih berada di
Singasari, Kidungan Para Raja ditulis sendiri oleh Sri Baginda Raja
Kertanegara. Juga sampai saat-saat terakhir ketika prajurit
Jayakatwang menyerbu.
Kalau sampai Permaisuri Rajapatni bisa menghafal, bukan sesuatu
yang luar biasa. Karena Sri Baginda Raja memang raja yang lain dari
raja-raja sebelumnya. Tata aturan itu tidak berlaku. Masih di
saat
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memegang tampuk pemerintahan, Sri Baginda Raja mengizinkan
putri-putrinya membaca segala apa yang ada di ruang pustaka raja
atau perpustakaan bagi keluarga raja.
Jadi bisa dimengerti kalau Rajapatni, atau kakak-kakaknya, turut
membaca dan dengan sendirinya bisa hafal.
Sri Baginda Raja bertindak nerak angger-angger, atau melabrak
aturan dalam soal semacam ini. Keinginannya yang besar untuk
menghimpun satu kitab silat saja sudah menunjukkan sesuatu yang tak
sama dengan raja sebelumnya.
Hasilnya memang tidak mengecewakan.
Sekian banyak senopati dikirimkan ke tlatah seberang. Beberapa
putrinya mampu menguasai banyak ilmu. Seperti Permaisuri Tribhuana
yang mahir dalam tata pemerintahan.
Dan seperti yang baru saja terbukti.
Permaisuri Rajapatni mampu mencegat kidungan yang ditembangkan
Halayudha. Hal ini menandakan bahwa Permaisuri bukan hanya hafal
kidungan itu, akan tetapi juga mampu menguasai dengan sempurna.
Tahu di mana titik, tahu di mana ketika menembangkan si penembang
menarik napas. Karena kidungan seperti itu adalah kidungan yang
perlu dipahami dengan kecerdasan pikir dan sekaligus ketulusan
hati. Karena kidungan seperti itu adalah kidungan yang penuh
nasihat, penuh perlambang, di mana kalimat-kalimat yang diucapkan
mempunyai makna serba ganda.
Kidungan Para Raja pada bait yang ditembangkan Halayudha
menunjukkan bahwa hanya boleh dibaca oleh yang mempunyai roh raja,
bacalah jika rohmu roh raja. Dalam hal ini Rajapatni masuk secara
jitu dengan mengatakan bahwa Halayudha tidak mempunyai darah
raja.
Padahal kalau dibaca lengkap sampai bait terakhir, bukan tidak
mungkin justru Sri Baginda Raja memberi makna yang berbeda. Karena
di ujung kalimat berbunyi roh rajamu, Raja Singasari. Yang berarti
ada perbedaan antara roh raja dan roh rajamu, Raja Singasari.
Perbedaan yang sangat besar antara keturunan dan calon raja,
dengan yang memiliki jiwa seorang raja!
Apa pun juga, Rajapatni bisa mempergunakan dengan tepat.
Pada saat yang menentukan.
Baginda tak habis pikir. Permaisurinya yang selama ini mampu
duduk bersila tanpa mengubah tempat duduk sekian lama, yang
membiarkan air mata menetes tanpa diusap, pada saat tertentu mampu
tampil dengan perkasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyatanya hanya dengan kidungan itu seluruh tenaga gaib yang
menguasai Halayudha bisa buyar.
Padahal sebelumnya, tenaga gaib itu yang demikian besar
pengaruhnya sehingga seorang Halayudha berani berdiri sama tinggi
dengan Baginda, berani berbicara sambil memandang mata.
Suasana lengang.
Geraham Baginda beradu.
Semua yang hadir menunggu.
Kelu.
Membisu.
Miliki roh raja
meskipun kamu paminggir
kembalilah ke pinggir
dengan roh rajamu
kembali ke kembali
kembali
ke asalnya
seperti keris jadi besi
kembali bertani
di sawah atau di laut
sebab di situ tempat
pengabdian
kembali ke kembali
kembali
ke roh pengabdian .
Dengan tarikan napas lega, Rajapatni mengakhiri kidungannya dan
menyembah secara hormat sekali.
Baginda menarik napas dan mengibaskan tangannya.
"Bagus, Yayi.
"Kini kembalilah ke tempatmu. Sebab wanita punya tempat
sendiri."
Permaisuri kembali menyembah hormat.
"Apa benar begitu?
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Rasanya tak ada yang menyalahkan kalau wanita berada di antara
lelaki. Sri Baginda Raja tak pernah melarang saya berada di mana
saja untuk menembangkan Kidung Asmara Dayinta?
Tanpa terasa Halayudha maupun Mahapatih Nambi menoleh ke arah
datangnya suara.
Sesuatu yang tak akan dilakukan secara sadar di depan Baginda.
Di depan dan tengah menghadap rajanya!
Langit boleh runtuh dan bumi boleh terangkat ke atas, akan
tetapi tetap tak akan menggugah pemusatan pikiran untuk hanya
mendengar kalimat dari Raja.
Dan untuk sejenak Halayudha merasa dadanya bergolak.
Karena mengenali sekilas Putri Pulangsih yang berdiri tegap
sambil menyilangkan kedua tangannya, sedakep, di depan dada.
Yang membuat darah Halayudha berdesir kencang, juga Mahapatih
Nambi, ialah karena sosok tubuh lelaki yang bersila di dekat kaki
Putri Pulangsih.
Sekelebatan seperti Maha Singanada.
Akan tetapi Mahapatih sadar bahwa Maha Singanada masih bertarung
di halaman dengan Senopati Agung.
Tak salah lagi.
Itulah Upasara Wulung.
Upasara Wulung!
"Kakang..."
Terdengar suara seakan rintihan hewan yang terluka. Suara
wanita.
Suara siapa?
Suara Permaisuri Rajapatni?
Dugaan Mahapatih memang begitu karena sejak tadi tak ada suara
wanita, sampai dengan pemunculan Putri Pulangsih yang tak
dikenalnya, selain Permaisuri.
Namun Halayudha yang lebih tajam pendengarannya mengetahui bahwa
asal suara itu jauh di belakangnya.
Siapa lagi yang berani keluyuran dan menerobos masuk selain
Gendhuk Tri?
Kalaupun Baginda mendengar suara itu, hatinya seperti ditoreh
sesuatu yang menyakitkan ulu hatinya. Seperti tertusuk belahan
bambu tipis yang menimbulkan luka tanpa mengalirkan darah. Pun
setelah mengetahui bahwa bukan permaisurinya yang meneriakkan
"Kakang"....
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Torehan yang memilukan itu karena suara Putri Pulangsih yang
menyebutkan Kidungan Asmara Dayinta. Yang artinya kira-kira adalah
Tembang Asmara Permaisuri, puisi cinta permaisuri.
Sebutan itu tak berarti apa-apa bila saat itu tak ada Upasara
Wulung dan Permaisuri Rajapatni alias Gayatri.
Sebutan itu tak ada artinya apabila tidak dikaitkan dengan
kidungan yang diciptakan Sri Baginda Raja.
Bagi Baginda, kata-kata itu menusuk tajam sampai dasar.
Karena, seperti hampir semua kerabat Keraton mengetahui atau
setidaknya pernah mendengar, Sri Baginda Raja dikenal memanjakan
daya asmara secara terbuka. Pesta-pesta Keraton hampir tak pernah
sepi dari tata asmara.
Sehingga kidungan yang diciptakan pun, bisa dihubungkan dengan
daya asmara. Atau hubungan asmara, yang menjadi inti utama
kehidupan.
Baginda bisa mengetahui secara tepat karena sudah membaca dari
bait pertama hingga bait terakhir.
Rasanya saat itu bayang-bayang tubuh Baginda mengecil.
"Nenek tua, apa maksudmu sowan tanpa tinimbalan
ngarsaningsun?"
Sebutan ngarsaningsun menunjukkan bahwa segala sesuatu hanya
bisa terjadi atas karsa, atau kehendak, Baginda.
Putri Mulanguni
BERAGAM tanda tanya muncul seketika di banyak benak. Gendhuk Tri
sendiri bertanya-tanya bagaimana Upasara Wulung bisa mendadak
muncul bersama Putri Pulangsih. Mahapatih dan para senopati
bertanya-tanya apa yang harus dilakukan untuk melindungi Baginda.
Akan tetapi yang terdengar suara lembut dan dingin nadanya.
"Kalau saya mau pergi ke mana, itu atas kemauan sendiri. Tak ada
yang harus menentukan. Dulu, sekarang, atau kapan saja. Apakah saya
sudah menjadi nenek-nenek atau tidak, apa hubungannya dengan
kamu?
"Siapa kamu sebenarnya, berani berdiri dan membuka kaki?"
"Ingsun Kertarajasa Jayawardhana yang memerintah merah atau
birunya Keraton Majapahit."
"O, rupanya kamu raja.
"Rasanya terlalu lembut seperti bayi...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mahapatih Nambi mengentak, kedua tangannya terulur ke depan.
Satu lontaran tenaga meluncur. Akan tetapi kali ini, Mahapatih
justru tersungkur ke depan. Rata dengan lantai tak bisa bergerak
lagi.
"Siapa namamu dan apa kemauanmu?"
"Nama saya sudah dilupakan, kecuali oleh beberapa orang yang
sudah mati. Apa kemauan saya, hanya ingin mendengarkan Kidung
Asmara Permaisuri ditembangkan untuk ksatria yang nasibnya sebaik
gurunya yang kurang ajar."
Jelas yang dimaksudkan adalah Upasara Wulung dan Gayatri!
Putri Pulangsih tetap berdiri tegak. Tangannya tetap
bersilangan, hanya dadanya sedikit bergerak naik-turun.
"Kenapa bersila dan menunduk? Katanya mau bertemu kekasih dan
menembangkan daya asmara. Apa lagi yang kamu tunggu?"
Upasara Wulung diam tak bergerak.
"Upasara!"
Teriakan Baginda terdengar mengguntur.
"Sembah dalem, Gusti yang dipuja seluruh Keraton.
"Apa pun keinginanmu datang kemari, ingsun tidak suka
tindakanmu. Sebelum lebih marah lagi, lebih baik kamu meninggalkan
Keraton dan tak usah menginjakkan kaki lagi."
Upasara menyembah.
"Tunggu dulu!
"Kenapa kamu begitu bodoh? Kenapa kamu tak mewarisi sedikit pun
keberanian si Bejujag, yang bisa menaklukkan putri kesayangan Sri
Baginda Raja?
"Lihat baik-baik.
"Buka mata lebar-lebar.
"Rasakan getaran asmara yang sama dari kekasihmu, Putri
Mulanguni yang tak bisa menahan berahi...."
Bahkan Gendhuk Tri pun merasa wajahnya merah.
Rasa malu dan jijik menjadi satu.
Selama ini wanita yang dikenalnya yang bisa mengeluarkan
kata-kata tidak senonoh adalah Nyai Demang. Tak tahunya ada yang
lain. Yang dianggap suci karena masih eyang gurunya. Yang tidak
seharusnya berbuat seperti itu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Alangkah sempurnanya bayangan Gendhuk Tri jika saja Eyang Putri
Pulangsih moksa begitu saja, seperti Eyang Sepuh. Lebih
meninggalkan kesan suci.
Dan bukannya malah muncul dengan cara seperti ini.
Selama ini gambaran yang ada di benak Gendhuk Tri sudah
membentuk sempurna. Rasa hormat hingga menyerupai pemujaan yang
luar biasa dalam terhadap Mpu Raganata serta Eyang Sepuh. Hal yang
sama yang dirasakan secara tulus terhadap Eyang Putri Pulangsih.
Karena hidup sezaman dan memperlihatkan kebijakan serta kearifan
yang sama.
Tak tahunya membuatnya sangat jengah.
Kikuk.
Rendah.
Apalagi menyebut Permaisuri Rajapatni dengan sebutan Putri
Mulanguni. Sebagai putri yang membangkitkan berahi.
Dewa segala Dewa, apakah serendah itu omongan eyang gurunya?
Yang usianya lebih pantas untuk disembah dan dipuja?
Sebenarnya yang paling rikuh, paling malu, dan tidak enak hati,
adalah Upasara Wulung.
Sama sekali tak menyangka akan menghadapi kenyataan yang dalam
mimpi pun tak berani dihadapi. Selama ini betapapun rindunya
bergolak, Upasara selalu berusaha menenggelamkan. Berusaha mengubur
ke bawah sadarnya.
Pun di puncak kerinduannya yang tak tertahankan, Upasara memilih
tidak menemui Gayatri.
Akan tetapi sekarang justru terjebak dalam keadaan yang sama
sekali tak terbayangkan.
Tak bisa dihindari.
Ini memang perjalanan yang panjang. Sangat panjang.
Upasara tidak membayangkan bisa bangkit lagi. Saat ia tergeletak
beku merayap dari kedua kaki, Upasara tak mempunyai niatan untuk
bangkit lagi.
Ia membiarkan tubuhnya terseret oleh arus pukulan yang
membekukan, menyesakkan, dan membuatnya tidak sadar. Beberapa kali
Upasara tersadar, akan tetapi untuk kesekian kalinya pula tak sadar
lagi.
Sampai akhirnya ia menyadari berada di bawah lindungan pohon di
tengah malam saat bulan sangat pucat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ada bayangan lelaki tua di sebelahnya sedang bersemadi, dengan
janggut panjang putih seperti menyentuh tanah.
Upasara hampir saja berseru kegirangan dan memeluk bayangan
kakek yang dikiranya Eyang Sepuh.
"Masih mau mencari mati, anak muda?"
Antara sadar dan tidak, Upasara mengenali nada suara itu.
"Eyang..."
"Apa aku masih pantas dipanggil eyang kalau hanya seorang kakek
tua tak berguna, yang berjalan menyelusuri bayangan pohon kala
rembulan mau bersinar.
"Upasara, kamu tidak pantas menjadi ksatria. Tidak pantas
menjadi senopati Singasari. Putraku lebih pantas menjadi ksatria
lelananging jagat daripada kalian semua."
Upasara memaksa diri duduk dan menyembah.
"Eyang Wiraraja..."
"Oho, kamu masih mengenaliku dan mengenali putraku yang
gagah?"
" Sembah pangabekti buat Eyang Wiraraja.
"Mana mungkin saya bisa melupakan Kakang Senopati Lawe yang
gagah dan digdaya?"
Eyang Wiraraja mengangguk-angguk.
Kini jelas jenggotnya yang putih bagai kapas menyentuh tanah
berkali-kali.
"Jadi kamu menganggap putraku lelaki gagah, digdaya, perkasa,
dan berjiwa ksatria?
"Tidak sia-sia aku mendidiknya.
"Tidak sia-sia...."
Upasara bisa merasakan nada getir yang mengalir. Lebih dari itu,
Upasara Wulung mengenal tokoh tua yang menolongnya untuk
sementara.
Ketika prajurit di bawah pimpinan Raden Sanggrama Wijaya
menyiapkan benteng pertahanan di desa Tarik, Eyang Wiraraja inilah
yang berjasa besar. Bukan hanya melatih para prajurit, mendirikan
benteng, dan melindungi dari ancaman masuknya prajurit telik sandi
Raja Jayakatwang, melainkan juga yang mengatur siasat sejak
semula.
Jauh dalam hatinya, Upasara sangat menghormati tokoh tua yang
dianggap sakti serta bijak ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apalagi sejak lama Eyang Wiraraja mengabdi kepada Sri Baginda
Raja Kertanegara.
Hanya saja ketika itu Upasara tak pernah berhubungan langsung.
Karena dirinya hanyalah prajurit biasa, sementara Eyang Wiraraja
adalah penasihat utama Raden Sanggrama Wijaya. Yang ketika naik
takhta pun masih memandang hormat padanya. Jarak pangkat dan
derajat yang jauh berbeda.
Meskipun demikian, Upasara cukup mengerti apa yang terjadi pada
Eyang Wiraraja. Yang akhirnya memilih menyingkir dari Keraton dan
meminta bagiannya di seberang timur.
Setelah kecewa atas terbunuhnya putra kesayangannya yang
mempunyai nama sama dengannya. Yang lebih dikenal sebagai Senopati
Lawe.
Sebaliknya, Upasara juga merasa dikenal. Sekurangnya ketika
menyebut ksatria lelananging jagat, menunjukkan bahwa Eyang
Wiraraja mendengar dan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam
dunia persilatan.
Di atas persoalan itu, Upasara juga bertanya-tanya dalam hati.
Kalau tokoh yang begitu dihormati dan pernah mengasingkan diri ke
tanah timur, kemudian berniat kembali ke Keraton, pasti ada sesuatu
yang luar biasa.
Selama mengasingkan diri dan mendirikan keraton pemerintahan di
tlatah Madura, boleh dikatakan mengibarkan umbul-umbul, mengibarkan
bendera sendiri.
Akan malu hati untuk datang ke Keraton Majapahit.
Upasara tak melanjutkan jalan pikirannya, karena kebekuan yang
menusuk-nusuk membuat tubuhnya kejang dan ngilu. Hawa dingin yang
tadinya di ujung kaki, kini telah menjalar sampai perut.
Perlahan tetapi pasti, perutnya terasa keras dan tidak
memungkinkan bernapas dengan leluasa.
Ada Ketika Tiada
EYANG WIRARAJA ternyata tidak peduli sama sekali dengan
penderitaan Upasara. Tetap duduk, tenang. Malah membuka bekalnya
yang berupa daun-daun dan mengunyah perlahan.
"Putraku Lawe, lanang yang sesungguhnya. Lelaki sejati. Dan Dewa
tak menciptakan lelaki semacam itu dua orang.
"Cukup seorang.
"Ketika Tarik masih tinggi dengan ilalang dan binatang buas,
dialah yang pertama kali membersihkan. Ketika pertarungan dengan
Raja Muda Jayakatwang, dialah yang pertama kali mengangkat
pedang,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
membunyikan genderang perang. Ketika pasukan Tartar digempur,
dialah yang maju paling depan tanpa gentar, tanpa menunggu orang
lain ikut campur.
"Dia selalu berani.
"Berani berbuat apa yang terbaik menurut suara hatinya.
"Itulah darah lelaki.
"Yang kuturunkan padanya.
"Itu sebabnya ia berteriak gusar tatkala Nambi diangkat menjadi
mahapatih. Ia tak menghendaki untuk dirinya sendiri. Ia menghendaki
yang lebih berhak. Yaitu Sora.
"Semua mengetahui bahwa yang dikatakan putraku yang benar.
"Orang yang buta, tuli, lumpuh pun mengetahui dan membenarkan.
Akan tetapi, ia bicara seperti itu di depan seorang raja. Raja yang
baru. Yang dulunya bersama-sama menebas ilalang dan mengangkat
pedang.
"Putraku salah.
"Putraku disalahkan.
"Karena tak mengenal tata krama, tak mengenal unggah-ungguh, tak
membedakan bicara dengan siapa. Padahal apa sebenarnya tata krama
itu?
"Bagi kami dari tlatah Madura, mengatakan kebenaran itulah tata
krama. Itulah budi pekerti. Itulah jiwa mulia.
"Kalau putraku dianggap mursal, dianggap kurang ajar, barangkali
ada benarnya karena dilihat dari tata krama di tanah Jawa. Tapi
kenapa mereka yang di tanah Jawa ini tak sedikit pun mau melihat
tata krama Madura?
"Apakah Madura bukan tanah?
"Apakah Madura tak punya tata krama?
"Kalau tak punya, kenapa bisa membangun Tarik? Kenapa bisa
merebut Singasari?"
Upasara hanya mendengar sebagian.
Hawa dingin yang menusuk makin tak tertahankan. Giginya
gemeretak, keringat dinginnya mengucur. Sedemikian hebat rasa sakit
sehingga Upasara menggelinding. Tubuhnya terbanting dan melengkung
kaku.
"Setua ini, aku menelusuri jalanan. Mencari jawaban. Apa
sebenarnya tata krama itu? Apa yang membedakan seorang bekas teman
perjuangan untuk mendengar nasihat yang benar?
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kutelusuri jalanan.
"Kutelusuri pinggir sungai.
"Kudengar Sora, paman putraku yang juga gagah berani, mati
karena kraman.
"Wahai, Dewa, apa yang sebenarnya terjadi?
"Apakah perbedaan tata krama harus diartikan kraman. Kenapa
bukan Lawe putraku yang memakai takhta sehingga manusia di tanah
Jawa ini mengenal tata krama, unggah-ungguh kami? Dan kami yang
ganti menghukum mereka?
"Dewa tak menjawab apa-apa.
"Hingga kakiku pegal.
"Hingga kutemukan kamu. Ksatria lelananging jagat bagai anjing,
menggeletak tak bergerak.
"Hanya seperti inikah ksatria hebat tanah Jawa itu?"
Merasa makin sesak napas Upasara, secara tidak sadar tenaga
penolakan muncul. Melawan, dalam penyerahan. Pasrah sebagai bentuk
perlawanan.
Dibiarkannya rasa sakit yang terus menusuk-nusuk, dinikmatinya
rasa sakit dengan pemusatan pikiran sepenuhnya. Gigitan rasa sakit
makin meninggi.
Makin menusuk.
Sampai akhirnya Upasara merasa tak sadar. Tak merasakan apa-apa.
Tetapi dengan begitu pikirannya menjadi jernih. Tubuhnya yang lemas
bisa digerakkan seperti apa maunya. Bungkahan dingin yang membeset
seluruh sarafnya yang begitu peka mencair bagai udara.
Eyang Wiraraja melihat perubahan.
Dari sekujur tubuh Upasara seperti mengeluarkan asap, bau, yang
jernih. Tidak wangi. Tidak busuk. Bersih, jernih, segar. Kesejukan
yang menyentuh.
"Apa yang kamu lakukan?"
Upasara mengikuti arah pikirannya. Melambung, lepas, seperti
berada dalam lamunan. Jalan pikirannya bisa digerakkan ke mana ia
mengerahkan. Tangan dan tubuhnya menjadi sangat ringan.
Belum sepenanak nasi, Upasara merasa tubuhnya menjadi segar
bugar. Dadanya longgar,
"Kukira kamu Bejujag...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Terdengar suara halus.
Eyang Wiraraja menggeleng. Karena seperti melihat seorang
wanita, akan tetapi pada saat betul-betul diperhatikan bayangan itu
lenyap. Samar.
Upasara kembali duduk.
Bibirnya menyunggingkan senyuman. Tangan kanannya tergeletak di
paha, sementara tangan kirinya terangkat perlahan. Bergerak ke
depan.
"Kiranya memang kamu."
Upasara kali ini benar-benar tersenyum.
"Kiranya benar-benar kamu, Bejujag...."
"Hamba yang rendah bernama Upasara Wulung. Sama sekali bukan
bayangan, dan bukan apa-apa dibandingkan dengan Eyang Sepuh. Memang
bagian pernapasan ini diajarkan oleh Eyang Sepuh dalam Tumbal
Bantala Parwa, akan tetapi hamba tak becus mempelajari. Mohon
petunjuk Eyang Putri...."
Karena tidak mengenal siapa tokoh yang dihadapi, Upasara
menyebut dengan panggilan Eyang Putri. Suatu tanda memberi hormat
yang dalam.
Karena Upasara yakin hanya tokoh yang mengenal Eyang Sepuh
secara pribadi yang berani memanggil dengan sebutan Bejujag.
"Saya yang menjadikan ilmu itu sempurna.
"Saya tahu kamu Upasara Wulung atau celeng nggoteng yang lain.
Tetapi kamu sesungguhnya Bejujag. Bejujag menjadi ada ketika ia
tiada.
"Pantas ia terus moksa, karena telah menemukan kamu.
"Bejujag, sungguh beruntung nasibmu dari kita semua."
Eyang Putri yang tiada lain Putri Pulangsih memandang tajam ke
arah Upasara.
"Kepasrahanmu sungguh luar biasa, anak muda.
"Penderitaan batin apa yang membuat kamu begitu rumangsuk,
begitu meresapi?"
Dua kalimat yang membuat Upasara bergidik karenanya.
Pertama, meskipun ia disebut sebagai celeng atau babi hutan dan
bukan banteng, tapi sangat jelas dikatakan sebagai pewaris ilmu
Eyang Sepuh.
Memang Upasara sendiri merasakan mukjizat.
Beberapa kali berusaha melawan, berusaha pasrahmenyerah, akan
tetapi gagal mengusir hawa dingin.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi kemudian, tenaga itu terkuasai sepenuhnya dan bisa
diatasi.
Kedua, karena dengan tepat bisa menebak apa yang dialami
Upasara. Apa yang dialami batinnya. Apa yang dirinya sendiri tak
berani menatap apalagi mengungkapkan.
Akan tetapi sekali ini Upasara tak bisa menyembunyikan.
Perasaannya tergetar dan luluh.
"Hanya penderitaan yang membahagiakan yang memungkinkan latihan
pernapasan seperti itu. Seperti juga Bejujag, yang secara wadak
menolakku akan tetapi secara batin menerima.
"Ia ada saat tak ada."
Eyang Wiraraja menggelengkan kepalanya.
"Kamu bicara dengan putraku Lawe?
"Di mana dia?"
"Rasanya aku pernah mendengar suara yang gagah ini. Siapa kamu,
kakek tua?"
Upasara menyembah hormat dan menceritakan siapa Aria
Wiraraja.
"Ooo, yang pernah sakit hati ketika ikut tersingkir oleh Sri
Baginda Raja?"
"Siapa itu?"
"Ah, kamu tak mengenal.
"Kamu tak mengenal bagaimana menerima secara ikhlas, tanpa
ganjalan, tanpa sakit hati, bagaimana pasrah dan berkorban untuk
kebahagiaan orang lain.
"Upasara, kalau kamu sudah menjadi lelananging jagat, kenapa
tidak kamu coba untuk kalahkan aku? Lima puluh tahun tak menjajal,
rasanya masih kaku sedikit. Tapi tak apa.
"Majulah, Upasara!"
"Bagaimana mungkin hamba berani berbuat lancang?"
"Ooo, kenapa kamu tak seperti Bejujag yang sombong itu?"
"Siapa Bejujag?"
Suara Eyang Wiraraja tak terjawab.
Karena kini Upasara tak bisa menjawab. Tak tahu harus berbuat
apa.
Pernapasan Tujuh Padma
EYANG WIRARAJA menoleh kiri-kanan.
"Apakah kamu ditantang seseorang, Upasara?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara mengangguk pelan.
"Dan kamu takut?"
Upasara terdiam.
"Kalau putraku Lawe masih hidup, sebelum tantangan itu
diucapkan, mulut penantangnya telah terkancing tanpa bisa dibuka
selamanya."
"Saya tak seperti Senopati Lawe."
"Tapi kamu lelaki.
"Putraku juga lelaki.
"Aku sendiri juga lelaki."
Upasara menggeleng.
Memandang hormat ke arah bayangan Putri Pulangsih.
"Murid Bejujag satu ini benar-benar cubluk. Tolol dan dungu.
Pantas saja dipilih sebagai pewaris ilmunya. Aku tak perlu sakit
hati.
"Untuk apa menyesali lelaki yang punya purus."
Tajam dan panas kalimat Putri Pulangsih.
Eyang Wiraraja langsung berdiri. Mengurut jenggotnya yang putih
dengan tangan gemetar. Ini penghinaan yang menyakitkan.
Purus bisa berarti umbi, bisa berarti dasar tiang. Tapi bisa
juga berarti umbi atau dasar kelelakian. Mengatakan lelaki tak
mempunyai purus berarti lelaki tanpa kelelakian. Rasanya tak pernah
ada cacian yang begitu merendahkan seperti ini.
Makanya walaupun sudah tua, berdiri juga kedua kakinya.
Bagi Upasara ucapan itu pun membuat daun telinganya panas dan
merah. Tapi secepat itu pula kesadarannya timbul. Karena purus
bukan hanya diartikan seperti itu.
Kata purus terdapat dalam Kitab Bumi dalam olah napas. Dalam
latihan pernapasan ada tujuh tempat menahan napas. Salah satunya
yang disebut adistara, yaitu memusatkan napas di antara perut dan
purus.
Upasara menyetdot udara membusung, menempatkan udara ke dalam
tataran adisastra.
"Rupanya kamu berani menerima tantangan.
"'Tidak sejelek yang kuduga. Entah sampai mana cakram yang kamu
miliki."
Upasara merasa menjawab dengan tepat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan tantangan, Upasara
ragu. Mana mungkin dirinya bertarung dengan tokoh tua yang bisa
memanggil Eyang Sepuh dengan sebutan seenaknya.
Tak mungkin.
Tak mungkin berani.
Tak mungkin berani kurang ajar.
Ini yang membedakannya dengan Eyang Wiraraja. Yang menjadi panas
hatinya. Sementara Upasara justru menangkap secara lain. Dan
menjawabnya dengan tarikan napas, sesuai dengan tantangan yang
diterima.
Tarikan napas berikutnya, udara naik ke pusar, yang disebut
manipura, dan beralih ke dalam hati, anahata.
Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara di hidung.
Ternyata dalam jarak yang cukup jauh, bisa mengamati apa yang
dilakukan Upasara. Meskipun yang dilakukan itu adalah cara
bernapas. Yang sama sekali tak terlihat sedikit pun dari gerakan
tangan, atau bahkan gerakan otot perut.
Sewaktu telinganya mendengar cakram, Upasara sudah mengetahui
bahwa ia diuji seberapa jauh bisa memutar, bisa men-cakram, cara
pernapasan. Itulah sebabnya ia terus melanjutkan dengan wisudi, di
mana udara tertahan di tenggorokan, disusul dengan ayana, di antara
kedua alis, dan selanjutnya dengan cara sahasraya di dalam hening
pikiran otak.
Upasara menahan beberapa lama, sebelum meluncurkan ke bawah,
sedikit di atas dubur dengan pernapasan yang disebut adara, yang
sebenarnya merupakan permulaan.
Tujuh tempat untuk mencari kekuatan pernapasan, juga disebut
tujuh padma, yang bisa berarti darah, roh atau juga rasa. Kekuatan
yang menjadi latihan utama yang dianjurkan dalam Bantala Parwa.
Sesungguhnya, inilah keistimewaan Kitab Bumi.
Yaitu memberi peluang besar untuk menafsirkan, untuk memainkan,
dengan memutar, dengan gerakan cakram, arah-arah sumber tenaga.
Sehingga setiap saat tenaga bisa dikerahkan dari tujuh tempat yang
berbeda.
Seperti yang dilakukan Upasara sekarang ini.
Yang lebih istimewa lagi, beberapa pengertian yang terkandung
dalam setiap kata. Seperti padma yang bisa menjadi darah, sehingga
seolah-olah darah mengalir ke tempat yang disebutkan tadi. Tapi
bisa juga berarti pengerahan tenaga. Sebaliknya juga bisa berarti
pengerahan atau pemusatan rasa. Perasaan yang dituntun ke arah
tujuh tempat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini yang luar biasa.
Pengertian tenaga dalam, tenaga luar, juga bisa berarti
perasaan.
Pengertian yang terakhir ini pula yang digunakan Eyang Putri
Pulangsih untuk mengetahui apakah yang dilakukan Upasara betul atau
salah.
Pertarungan rasa.
Yang tidak tertangkap sedikit pun oleh Eyang Wiraraja. Yang
merasa aneh melihat Upasara takut menghadapi tantangan dari orang
yang tak diketahui. Malah bersila dan berdiam diri.
Kelihatannya saja sederhana.
Akan tetapi sesungguhnya Upasara sedang memusatkan pikiran
sepenuhnya untuk memutar perputaran udara, melatih pernapasan
sesuai dengan rasa yang terwujud dalam udara. Karena sedikit saja
meleset, atau tak bisa dikuasai, angin yang sama bisa terputus
seketika.
Kalau ini terjadi, pernapasan Upasara akan kacau-balau. Tenaga
dalamnya akan bertabrakan dengan sendirinya. Pernapasan Tujuh Padma
tak bisa berhenti atau menjadi tidak teratur. Inti perputaran atau
cakram ini yang tadi diucapkan Eyang Putri Pulangsih sebagai dasar
untuk menguji.
"Kang wasesa winisesa wus."
Suara lirih kembali terdengar.
Upasara makin memusatkan perhatiannya. Apa yang diucapkan Eyang
Putri Pulangsih adalah pengertian "apa yang terjadi dalam tubuh
tergantung pada angin di luar". Atau menyandarkan pada hubungan
dunia kecil, dunia batin, dunia rasa di dalam tubuh dengan dunia di
luar.
Upasara mengosongkan pikirannya, dan membiarkan udara di luar
leluasa, merasuk, mengaduk dalam tubuhnya. Ke mana arah udara
mengalir dan berhenti, di adistara, manipura, sahasraya diikuti
dengan tenang.
"Dengan cara apa kamu mempelajari Kitab Bumi?"
Pertanyaan itu seperti menggema dalam hati.
Karena Upasara tidak mendengar lewat telinga. Seperti juga Eyang
Wiraraja yang tidak mendengar apa-apa.
"Dengan rasa." Jawaban Upasara juga diucapkan dalam hati, dengan
rasa.
"Siapa gurumu?"
"Eyang Sepuh."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa gurumu?"
"Siapa saja."
"Apa yang kamu cari?"
"Tidak mencari apa-apa."
"Dusta.
"Kamu dusta. Kamu mencariku."
"Tidak.
"Bukan."
"Iya. Kamu mencariku, Kakang."
Dada Upasara sedikit terguncang. Karena suara yang masuk
menyelinap dalam relung hatinya bukan lagi suara Eyang Putri
Pulangsih, melainkan suara Gayatri.
Baik nadanya, tekukan suaranya.
Gambaran yang jelas, seakan berbisik dalam denyut nadi.
"Kenapa kamu menahan diri, Bejujag?"
"Aku tidak menahan diri."
"Kenapa kamu tak datang?"
"Aku menunggu."
"Aku sudah datang, kamu masih menunggu."
"Aku sudah menunggu, kamu belum datang."
"Kita datang bersama, Kakang...."
"Jalan bersama, Yayi...."
"Kakang...."
"Yayi...."
Upasara kadang masih merasa dirinya dipanggil Bejujag, kadang
dipanggil sebagai Kakang. Akan tetapi secara perlahan, kemudian
menyatu, tak bisa terpisahkan lagi.
Juga tak bisa membedakan apakah yang mengajak bicara tanpa suara
itu Eyang Putri Pulangsih atau Gayatri.
Keduanya menyatu.
Tak terpisahkan.
"Kakang...."
"Yayi...."
Panggilan Asmara
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
TUBUH UPASARA terasa ringan. Dengan satu sentakan napas, kedua
tangannya tertarik ke atas. Perlahan tangan kiri mendorong ke
depan, sementara tangan kanan lunglai di dekat lutut.
Terdengar helaan napas dalam.
Helaan napas Eyang Putri Pulangsih.
Seperti nada penyesalan dan kebanggaan. Seperti melepaskan suatu
perasaan tertentu.
Yang tak bisa ditebak dengan pasti oleh Upasara setelah dirinya
sadar.
"Upasara, kenapa kamu membuat nasib Bejujag begitu baik? Kenapa
kamu tidak menjadi muridku saja?
"Dewa mana yang pilih kasih?
"Ketahuilah, Upasara, Bejujag ku adalah Eyang Sepuh mu. Lewat
dirimu, aku bisa menemuinya, tanpa menghancurkan dirimu. Tanpa
merusak, tanpa kau hambat.
"Bukankah itu pertanda Dewa pilih kasih?
"Raganata mempunyai banyak kelebihan, mempunyai ratusan murid.
Tapi tak mampu apa-apa. Aku tak bisa menemui. Dodot Bintulu katanya
punya murid turunan yang tangguh, tapi serba gelap. Tak bisa ku
tengok.
"Berune masih tersisa.
"Akan tetapi dengan menyiksa orang lain.
"Merusak raga yang masih bisa hidup.
"Bejujag, aku tahu di mana dan siapa kamu sebenarnya.
"Aku mengaku kalah. Kamu sudah bisa moksa dengan sempurna,
selamanya. Aku masih gentayangan. Masih keluyuran tak menentu.
"Tapi aku bahagia.
"Bahagia sekali.
"Bukankah sebaiknya Upasara juga merasakan bahagia?
"Bahagia sebelum dan sesudah moksa.
"Ayolah, Upasara! Kita berangkat ke Keraton. Ambil Gayatri-mu.
Jangan pedulikan apa saja.
Tidak semua kata-kata Eyang Putri Pulangsih bisa ditangkap dan
dimengerti secara sempurna. Akan tetapi Upasara menyembah dan
segera berdiri.
"Kamu ksatria.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu lelaki. Bukan merenungi kekalahan. Pasrah bukanlah
membiarkan penderitaan."
Upasara mengangguk.
Menoleh ke arah Eyang Wiraraja.
"Maaf, Eyang, saya ingin melanjutkan perjalanan...."
"Aku juga akan ke Keraton."
"Mari kita jalan bersama, Eyang."
"Tidak.
"Aku berjalan sebagai lelaki. Berani berjalan mendongak ke atas
pada sinar rembulan."
Upasara menyembah hormat, lalu berjalan cepat. Mendampingi
bayangan Eyang Putri Pulangsih.
"Apakah kamu akan mundur lagi setelah bertemu Gayatri?"
"Hamba tak berani menatap Permaisuri...."
"Tak ada permaisuri.
"Asmara tak mengenal permaisuri atau bukan dalam tarikan daya
asmara. Dengarkan panggilan hatimu. Ketuk semua pintu.
"Upasara, kamu bisa mendengarkan apa yang kualami dulu.
Mendengar panggilan asmara, seperti juga Bejujag meneriakkannya.
Akan tetapi kami sama-sama tak tahu harus berbuat bagaimana. Kami
sama-sama keras kepala. Kami sama-sama memperhitungkan kebahagiaan
pasangan yang ternyata buntung.
"Kalau sejak awal Bejujag, dan juga aku, lebih terus terang,
rasanya tak ada pertengkaran dengan Raganata, Bintulu, dan Berune,
atau yang lainnya.
"Kalau kami tidak sama-sama keras kepala.
"Sok tinggi hati.
"Seperti sekarang ini.
"Apakah tanpa itu Bejujag tak bisa menyempurnakan Tumbal Bantala
Parwa? Mungkin, mungkin sekali.
"Tapi mungkin juga ada kitab lain.
"Kitab bahagia.
"Kitab yang tidak menjadi tumbal.
"Kamu tahu itu semua, Upasara?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan mengerahkan tenaganya Upasara mencoba mengimbangi
kecepatan tubuh Eyang Putri Pulangsih yang seperti melayang.
Beriringan dengan kecepatan angin berpindah.
"Aku bercerita banyak.
"Karena barangkali saja ini kesempatan terakhirku. Mempertemukan
dua hati yang tergetar panggilan asmara. Aku ingin meninggalkan
jagat ini dengan bahagia.
"Aku telah menunggu lima puluh tahun.
"Lebih dari yang lainnya, aku bisa bertahan. Sampai sekarang.
Sehingga aku mempunyai waktu untuk mempertimbangkan kembali. Kitab
dan kitab yang selalu ditulis dengan keyakinan, akan ditulis
kembali.
"Barangkali itu sebabnya aku tak bisa moksa dengan baik, dengan
rela.
"Karena masih ada yang ingin kulakukan.
"Mempertemukan asmaramu.
"Kamu tahu semua ini, Upasara?"
"Kenapa hamba yang dipilih?
"Rasanya begitu banyak yang mendengar panggilan asmara...."
"Karena kamu berbeda dari yang lainnya.
"Karena kamu Bejujag yang sesungguhnya."
"Eyang, apa sesungguhnya daya asmara itu?
"Apakah harus didengar panggilannya? Apakah tidak lebih wigati
mendengarkan panggilan daya yang lain?"
Gerakan tubuh Eyang Putri Pulangsih menurun. Tidak secepat
sebelumnya. "Manusia harus selalu menjadi manusia.
"Lelaki harus menjadi lelaki. Apakah ia lelananging jagat atau
tidak, sama saja. Hanya lebih berarti, menjadi sempurna, setelah
berdua. Karena Dewa menitahkan begitu. Ada langit ada bumi, ada
tanah ada air, ada rembulan ada matahari....
"Sri Baginda Raja Kertanegara bisa menyatukan itu."
"Kalau benar begitu, untuk apa kita ke Keraton?
"Hamba bisa menemukan air yang lain."
"Jangan kauingkari suara hatimu. Jangan kaubutakan matamu.
Jangan kautulikan telingamu. Rasa tidak bisa mati. Tak bisa
dibunuh.
"Selama kamu tak berani menemukan jawaban, kamu akan selalu
terombang-ambing. Kamu tak mempunyai kekuatan. Seperti aku,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
seperti Berune, seperti Raganata. Lima puluh tahun mencari-cari,
dan terus-menerus gelisah.
"Dan menyerah.
"Seperti membiarkan dirimu terbaring diserang udara dingin.
"Kamu tak menemukan pegangan. Tak menemukan akar kekuatan. Kamu
mengemohi, menolak Gayatri, menolak panggilan asmara yang
sesungguhnya."
"Apakah hamba akan menemukan?"
"Bagaimana bisa kamu jawab kalau kamu tak berani mencari?"
"Apakah Eyang Sepuh..."
"Bejujag itu orang yang beruntung.
"Nasib tak bisa ditiru. Itu sebabnya aku berkata, Dewa pun pilih
kasih. Barangkali saja itulah keadilan Dewa, Upasara."
"Kalau..."
"Kamu sudah memegang gelar lelananging jagat. Akan tetapi lebih
ringkih, lebih lemah dari bayi.
"Apa kamu berhasil atau tidak, bukan urusanku.
"Juga bukan urusanmu.
"Tapi coba datangi. Rebut. Menangkan.
"Sehingga pasrah yang kaurasa, adalah pasrah yang
sesungguhnya."
"Hamba kira..."
"Sebagai Eyang Putri-mu, hari ini kamu antarkan aku.
"Mengantarkan ke gerbang di mana aku bisa pergi dengan ikhlas,
dengan rela. Kalau tidak, aku masih akan terus penasaran hingga
lima puluh tahun yang akan datang."
Upasara mengangguk.
Mantap.
"Itulah jiwamu yang kerdil.
"Yang kekanak-kanakan.
"Itulah Bejujag."
Baru sekarang ini Upasara merasa dijungkirbalikkan. Satu saat
merasa pasti, menjadi ragu, dan setelah diyakinkan, digoyahkan
kembali.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau sekarang Upasara menyertai Eyang Putri Pulangsih ke
Keraton, karena lebih terdorong niat agar keinginan terakhir Eyang
Putri Pulangsih terkabul.
Akan tetapi justru itu yang direncanakan Eyang Putri
Pulangsih.
Yang dipakai sebagai cara untuk membujuk Upasara.
Dan itu yang dikatakan.
"Entah kenapa begitu banyak persamaan kedunguan antara kamu dan
Bejujag. Darah apa yang bisa sama seperti ini?
"Upasara, benarkah kamu bukan anak kandung Bejujag?"
Upasara merasa disambar geledek.
Tak pernah terduga akan ada pertanyaan semacam ini. Pertanyaan
yang membanting kakinya ke tanah kenyataan.
Kidungan Kenyung
UPASARA menjadi peka jika asal-usulnya diusik. Terutama jika
yang mengusik seseorang yang dianggap terhormat.
Seperti pertanyaan Eyang Putri Pulangsih yang langsung menyodok
ulu hatinya.
Apakah dirinya masih keturunan langsung Eyang Sepuh?
Pertanyaan itu mengusik, justru karena dirinya tak bisa menjawab
dengan pasti, apakah dengan anggukan atau gelengan. Dua-duanya tak
memiliki dasar.
Upasara tak pernah mengenal dirinya. Sepanjang ia ingat, ia
sudah dididik sebagai Ksatria Pingitan. Sepanjang dua puluh tahun,
ia tak mengenal dunia luar. Selalu berada dalam ksatrian.
Satu-satunya yang dikenal sebagai ayah angkatnya adalah Ngabehi
Pandu. Tokoh yang menciptakan ilmu silat mligi, atau khusus
baginya. Yang dikenal dengan nama Banteng Ketaton, atau Banteng
Terluka.
Gerakan-gerakan ini disesuaikan dengan perkembangan dan
kemampuannya ketika itu.
Sepanjang yang bisa diingat, Upasara mengucapkan terima kasih
yang tulus dan hormat kepada Ngabehi Pandu. Yang bukan hanya
mendidiknya dalam kanuragan, akan tetapi juga mengenai
kehidupan.
Setelah bergaul dengan dunia di luar Keraton, Upasara lebih
sadar mengenai asal-usul seseorang. Ia sendiri yang merasa tak
memiliki untuk diceritakan.
Suatu ketika Upasara pernah menanyakan hal ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi Ngabehi Pandu hanya menjawab dengan gelengan, dan
kemudian mengalihkan ke pembicaraan yang lain. Dalam hati Upasara
timbul pertanyaan yang mengganjal. Akan tetapi tak pernah
menjadikan persoalan benar.
Hatinya merasa bahagia jika dirinya boleh mengaku anak kepada
Ngabehi Pandu.
Rasanya semua persoalan telah selesai sampai di situ.
Sampai kemudian Upasara mengalami jalan hidup yang menentukan.
Sewaktu bersama Gayatri, saat itu tumbuh daya asmara. Apalagi
Gayatri justru memberi semangat dan mengisyaratkan kesediaan
mendampingi Upasara.
Seribu rembulan bersinar bersama.
Dan serentak padam tenggelam oleh awan. Selamanya.
Hanya karena ramalan para pendeta, bahwa Gayatri harus
diperistri oleh keturunan raja, karena dari rahimnya akan lahir
raja yang tiada taranya, yang akan menguasai jagat. Saat itulah
Upasara merasa dirinya tidak berarti apa-apa.
Sejak saat itu kepekaan asal-usulnya menjadi tinggi.
Kalau saja ia mempunyai darah raja!
Persoalan yang sangat mengganjal ialah bahwa bukan tidak mungkin
dirinya mempunyai darah raja. Bukan tidak mungkin! Karena Ksatria
Pingitan memang hanya diperuntukkan keluarga raja. Yaitu dialiri
darah raja, walau tidak dari permaisuri resmi.
Bukan tidak mungkin dari sekian banyak yang masuk dan dididik
dalam Ksatria Pingitan adalah putra-putra peteng, putra-putra tidak
resmi Baginda Raja Sri Kertanegara.
Kalau benar begitu, dirinya masih memiliki darah raja.
Keturunan langsung!
Namun sayangnya, tak ada yang memberi kepastian siapa
sesungguhnya orangtua nya. Siapa sebenarnya yang mempunyai anak
lelaki untuk dididik di ksatrian?
Kebimbangan yang dikubur perlahan-lahan.
Walaupun sesekali muncul kembali. Karena makin direnungkan,
makin tidak mungkin keluarga yang agak jauh bisa dididik di Ksatria
Pingitan. Anak keturunan senopati pun tak bakal dizinkan masuk
mengikuti.
Kebimbangan yang memunculkan berbagai gagasan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara merasakan sendiri keanehan sewaktu menghadapi pasukan
Tartar. Saat itu, Eyang Sepuh hanya membisikkan sesuatu kepada
dirinya dan kepada Gayatri.
Tidak kepada yang lain.
Juga tidak kepada Jaghana.
Padahal jelas Paman Jaghana merupakan pewaris dan murid
Perguruan Awan yang paling setia.
Yang lebih tak bisa dipercaya lagi ialah ketika Upasara menuju
ke Perguruan Awan, dan akhirnya dipilih sebagai ketua Perguruan
Awan, yang menurut kepercayaan Paman Jaghana dan Paman Wilanda
karena bisikan dan penunjukan Eyang Sepuh.
Upasara mulai guncang.
Justru karena asal-usulnya tidak jelas, siapa saja yang
ditunjukkan seakan mempunyai kemungkinan besar.
Seperti yang dikatakan oleh Eyang Putri Pulangsih.
"Apa anehnya kalau kamu keturunan langsung Bejujag?
"Apa bedanya dengan Sri Baginda Raja yang sama-sama lelaki dan
suka mengumbar daya asmara?"
"Bagaimana Eyang Putri bisa menduga begitu?" Suara Upasara
tergetar, terpengaruh perasaannya yang bisa ditebak dengan
jitu.
"Persamaanmu terlalu banyak.
"Terutama dalam ketakutan menghadapi panggilan asmara."
Upasara menggeleng sedih.
"Hamba tak berani membayangkan itu...."
"Juga tak perlu.
"Suatu waktu mungkin kamu akan mengetahui.
"Upasara, kalaupun kamu anak keturunan Bejujag, bagiku tak ada
persoalan. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku.
"Tidak apa-apa.
"Tidak apa-apa....
"Mungkin karena aku sedang memikirkan Bejujag, lalu terlintas
dan membersit saja.
"Lupakan saja, Upasara."
Tapi Upasara tak bisa melupakan.
Gerakan kakinya tak bisa mengimbangi kegesitan Eyang Putri
Pulangsih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu akan mengerti juga nanti.
"Bahwa Bejujag tidak mau menerimaku karena keangkuhannya. Karena
kekerasan kepalanya tiada bandingannya. Bejujag selalu merasa
dirinya lelaki yang tak bisa dikalahkan hatinya.
"Kepongahannya hanya bisa ditandingi oleh Sri Baginda Raja.
"Hmmm...
"Dua-duanya memang lelaki sejati. Tak pernah mau mengalah satu
sama lainnya. Ketika Bejujag bisa menyelesaikan Tumbal Bantala
Parwa, Sri Baginda Raja tidak mau menerima. Karena jurus-jurus
Tumbal adalah jurus-jurus Bantala Parwa. Maka sebagai
penyelesaiannya, Tumbal Bantala Parwa termasuk dalam Bantala Parma.
Sehingga dengan demikian bukan Bejujag yang berhasil mengungguli
Sri Baginda Raja, melainkan sebaliknya.
"Kami semua memang memikirkan cara-cara untuk meredam Kitab
Bumi. Kami semua menciptakan dengan susah payah. Bejujag yang
diakui secara jantan oleh Sri Baginda Raja, tapi sekaligus juga
dikalahkan.
"Dalam kemelut yang luar biasa, Bejujag tak mau menerima
perlakuan itu. Ia mengundurkan diri dan makin tak mau bertemu
dengan siapa saja. Ia bertapa di Perguruan Awan. Untuk kemudian
menciptakan kidungan, yang rasanya kidungan terbaik yang pernah
diciptakan. Yaitu Kidung Paminggir.
"Secara terang-terangan Bejujag mengatakan bahwa yang kelak
kemudian hari akan membuat Keraton bersinar jaya menaungi seluruh
tanah Jawa dan jagat seisinya adalah orang-orang paminggir.
Orang-orang pinggiran yang selama ini tak diperhitungkan.
Gampangnya bukan anak-cucu raja.
"Di sinilah puncak kemurkaan Sri Baginda Raja tak bisa ditunda.
Secara resmi Sri Baginda Raja menyatakan Kidung Paminggir adalah
kitab yang tidak boleh dibaca, ditembangkan, atau dituliskan.
"Sebagai gantinya Sri Baginda Raja menuliskan Kidungan Para
Raja, yang menurut Raganata ditulis oleh tangan Sri Baginda Raja
sendiri.
"Meskipun itu kidungan khusus untuk raja yang akan memegang
mahkota, akan tetapi aku sempat membacanya. Juga Bejujag dan
Raganata.
"Kamu pernah mendengar?"
Upasara menggeleng.
"Bejujag pasti menganggap tak ada nilainya. Maka tak diajarkan.
Atau menganggap tak ada gunanya. Karena intinya kurang-lebih
sama.
"Dua-duanya tak mau mengalah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hanya karena seorang kenyung yang tak berarti."
Di akhir kalimat, nada suaranya menggantung. Sengaja dibiarkan
mengambang.
Upasara mengerti bahwa kenyung adalah sebutan untuk monyet
betina.
Agak ganjil juga.
Seorang raja yang sakti mandraguna berselisih dengan seorang
tokoh persilatan yang mumpuni gara-gara monyet betina.
"Akulah kenyung itu.
"Akulah yang disebut sebagai kenyung oleh Sri Baginda Raja. Dan
agaknya ini yang membuat Bejujag tak mau mengerti bahwa hubunganku
dengan Sri Baginda Raja tak ada apa-apanya. Ini pula sebabnya
mereka menyebutku sebagai Pulangsih.
"Sebutan yang maksudnya untuk merendahkan derajat ke tingkat
yang paling hina. Wanita sebagai tempat hubungan asmara badani
belaka."
Kenyung Sampiran
SUNYI sesaat.
Tak ada helaan napas berat.
Tapi justru Upasara merasa dadanya pepat. Untuk pertama kalinya
ia mendengar cerita langsung dari yang mengalami mengenai masa-masa
yang tak pernah dikenalnya.
Sekelebat terbayang betapa sesungguhnya terjadi perebutan
pengaruh yang besar di antara para ksatria sezaman. Akan tetapi
yang lebih membuat Upasara kagum luar biasa adalah kenyataan Sri
Baginda Raja mempunyai jiwa luas bagai laut. Pada saat perbedaan
kawruh dengan rakyatnya, Sri Baginda Raja bisa mengedipkan sebelah
mata untuk melenyapkan siapa pun yang dianggap mengganjal atau
mengganggu kewibawaannya.
Nyatanya hal itu tidak dilakukan.
Bahkan sebaliknya.
Dalam batas-batas tertentu, malah dibiarkan berkembang.
"Apa yang kamu pikirkan, Upasara?"
"Eyang Putri lebih mengetahui...."
"Sri Baginda Raja memang raja segala raja, raja segala Dewa.
Sejak tiupan napas kita yang pertama, yang terasakan benar ialah
keharuman, kebesaran. Sri Baginda Raja adalah raja yang
anjakrawati, maharaja yang memerintah dengan adil dan
bijaksana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Terbayangkah olehmu hal itu, Upasara?
"Terpikirkah olehmu bahwa saat itu aku ini hanyalah gadis remaja
yang ingin belajar ilmu silat? Pada saat aku sudah tumbuh remaja,
saat itulah Raja Maha diraja tampil dengan gagah.
"Rasanya kalau bisa membasuh bekas bayangan tubuh Sri Baginda
Raja, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia.
"Rupanya inilah yang tidak disukai Bejujag.
"Ia menilai diriku tak berbeda dari wanita yang lain di jagat
ini.
"Saat itu dan sekarang ini juga, aku mengakui bahwa kata-katanya
benar.
Tak ada bedanya. Tak perlu ada. Kami semua kaum wanita bersedia
nyuwita, mengabdi, kepada Sri Baginda Raja.
"Meskipun ini hanya kata-kata, agaknya ini melukai perasaan
Bejujag yang paling dalam.
"Sehingga ia memutuskan tak mau lagi menemui aku, melihat
bayanganku.
"Kami hanya berhubungan kala Bejujag memberikan tulisan Kitab
Bumi yang disampaikan oleh Raganata. Begitu juga aku sebaliknya.
Ketika aku menciptakan Kitab Air, Bejujag masih dendam. Ia mencoret
kidungan di situ, dan mengatakan apa yang ditulis hanyalah Kidungan
Kenyung Sampiran.
"Bejujag terlalu angkuh.
"Angkuh untuk menyakiti hatinya sendiri.
"Itu yang membuatku penasaran."
Meskipun tak bisa mengetahui dengan tepat, akan tetapi Upasara
bisa memperkirakan. Bahwa Eyang Sepuh saat itu paling tidak mau
mengakui keberadaan Eyang Putri, dan memakai sebutan kenyung.
Tambahan kata sampiran, barangkali saja...
"Apakah Eyang mempergunakan selendang untuk memainkan lebih
sempurna? Selendang sebagai pengganti senjata?"
Mendadak Putri Pulangsih tersenyum lebar.
Tubuhnya berputar.
Tangannya terentang seperti anak kecil.
"Upasara, jangan-jangan kamu ini Bejujag yang sesungguhnya!"
Tawa itu melebar.
Baru kemudian mereda.
"Sama sekali tidak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku menciptakan begitu saja. Menciptakan Kitab Air untuk
menandingi Kitab Bumi, atau kitab lain yang akan dijadikan panutan
di Keraton.
"Ceritanya lucu.
"Saat Raganata membawa kembali Kitab Air, ia mengatakan bahwa
Bejujag menganggap tidak berarti apa-apa. Ini cuma sampir. Aku
tadinya merasa panas, karena kukira Bejujag mau mengatakan bahwa
ilmu silat yang kuciptakan hanya gerakan bahu. Artinya baru
terhenti pada menggerakkan bahu.
"Ini namanya penghinaan.
"Dan memang Bejujag bermaksud menghinaku.
"Namun sesungguhnya di balik itu, aku bisa menangkap maksudnya
yang baik. Bejujag memberitahu bahwa gerakan-gerakan yang
kuciptakan akan menemukan bentuk yang sesungguhnya dengan sampiran.
Seperti dalam wayang, sampir mempunyai arti selendang yang
tersandang di bahu."
"Maaf, Eyang Putri, kalau begitu..."
"Kamu diam saja.
"Aku sudah lima puluh tahun tidak bicara seperti sekarang
ini."
Upasara terdiam.
Putri Pulangsih juga terdiam.
"Apa yang kamu tanyakan?"
"Apakah Eyang Putri yang kemudian menciptakan gerakan dengan
selendang?"
"Tidak.
"Aku bukan jago silat yang total.
"Aku tak di bawah Bejujag atau Raganata atau Berune atau Dodot
Bintulu.
"Kamu juga salah sangka dan meremehkanku.
"Kamu sama piciknya dengan Bejujag!"
Upasara tak menyangka akan diberondong dengan tuduhan yang
menyakitkan. Meskipun dalam hatinya juga merasa betapa Eyang Putri
Pulangsih lebih sakit hati.
"Kalau aku mengikuti saran Bejujag, ber