Referat Forensik
SENGKETA MEDIK DAN PENYELESAIANNYA
Oleh:Syifa Marhattya RizkyG99141035
Pembimbing:dr. Sugiharto, M. Kes. (MMR), S.H.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDISURAKARTA2015
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangTujuan bidang kesehatan yang semula berupa
upaya penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang ke
arah kesatuan upaya pembangunan kesehatan masyarakat dengan peran
serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan yang meliputi upaya peningkatan (promotif), upaya
pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan
(rehabilitatif).1 Berdasarkan upaya pembangunan kesehatan yang
bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan tersebut maka
setiap upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip non diskriminatif,
partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan.2 Bidang kedokteran,
yang awalnya tertutup, kini mulai dimasuki aneka persoalan hukum.
Era sekarang dapat dirasakan bahwa kegiatan dokter dalam
menyembuhkan pasien sering terhambat oleh sikap pasien atau
keluarganya yaitu kebiasaan menuntut secara hukum terhadap dokter
jika pengobatanya dianggap kurang berhasil.3 Profesi dokter perlu
mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam rangka memberikan
kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien, peraturan
perundang-undangan yang memberikan dasar perlindungan hukum bagi
dokter antara lain sebagai berikut. Pertama, pasal 50 UU No. 29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu dokter memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional. Kedua, pasal 27
UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu bahwa tenaga
kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya dan ketiga pasal 24 PP
No 32 tahun 1996 yaitu perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi
tenaga kesehatan. Dilihat dari kacamata hukum hubungan antara
pasien dan dokter termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian.4
Sebagai suatu perjanjian, maka muncul hak dan kewajiban sebagai
akibat dari perjanjian tersebut, pelaksanaan hak dan kewajiban
inilah yang kemudian berpotensi terjadinya sengketa antara dokter
dengan pasien yang biasa disebut dengan sengketa medik. Sengketa
medik diawali adanya gugatan pasien kepada dokter, yang disebabkan
munculnya ketidakpuasan pasien. Dalam sisi yang lain, banyaknya
gugatan dari pasien, ternyata memberikan dampak yang negatif, yaitu
adanya ketakutan dari dokter dalam memberikan upaya kesehatan
kepada pasien. Dokter menjadi ragu-ragu dan takut, hal itu
terungkap dalam kongres Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI) yang diadakan tanggal 24-25 Nopember 1985, oleh karena
itu dokter yang sudah mempunyai kelengkapan syarat administrasi
untuk berpraktik, berhak memperoleh perlindungan hukum, agar merasa
aman dalam menjalankan profesinya.3 Dampak lain yang cukup
mengkhawatirkan adalah dokter melakukan praktek pengobatan defensif
yaitu melakukan praktek kedokteran yang over standar maupun sub
standar untuk menghindari resiko tuntutan yang akhirnya akan
merugikan masyarakat sendiri sebagai pengguna jasa dokter.4B.
Tujuan1. Mengetahui variasi penyebab munculnya sengketa antara
dokter dan pasien,2. Mengetahui bagaimana variasi penyelesaian
sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien3. Mengetahui model
perlindungan hukum profesi dokter berdasarkan keseimbangan antara
dokter dan pasien.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Sengketa MedikSengketa dapat dipahami dari berbagai sudut.
Berbagai praktisi hukum memandang sengketa dari arti sempit, yaitu
terbatas pada sengketa-sengketa pengadilan, sehingga perselisihan
yang belum sampai ke meja pengadilan belum dapat disebut sengketa.
Namun demikian sengketa juga bisa diartikan lebih luas sebagaimana
dinyatakan oleh JG Merrillis6, yaitu ketidaksepakatan secara khusus
yang menyangkut masalah fakta, hukum, atau kebijakan (policy) di
dalamnya, tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut
balik atau diingkari oleh pihak lain. Rumusan sengketa menurut
Permanent Court of International Justice (PCJI) yaitu ketidak
sepakatan tentang masalah hukum atau fakta, suatu konflik tentang
sudut pandang huku atau kepentingan diantara dua pihak 7. Maka
dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah suatu keadaan yang
menempatkan suatu pihak yang ingin memaksakan kehendaknya kepada
pihak lain yang menentang kehendak tersebut dan mengadakan
perlawanan. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa sengketa tidak hanya
masalah yang telah sampai ke pengadilan saja, namun juga termasuk
yang belum masuk ke pengadilan.Dilihat dari subjeknya, suatu
sengketa selalu melibatkan subjek hukum yang memiliki kedudukan
sederajat dalam suatu hubungan hukum tertentu.8 Misalnya pada
sengketa medik, melibatkan para pihak dalam kedudukan yang
sederajat terhadap hak-hak yang sepenuhnya dikuasai subjek
sengketa.Sengketa medic mengandung pengertian sengketa yang
objeknya adalah pelayanan medic. Pelayanan medic selalu melibatkan
helath provider (pemberi pelayanan), dan health receivr (penerima
pelayanan). Pelayanan medic tersebut dilakukan dengan tujuna untuk
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan.9 dalam kriteria ini,
baik rumah sakit maupun dokter yang berpraktik di rumah sakit dapat
menjadi health provider, sedangkan yang dimaksudka sebagai health
receiver adalah pasien.Umumnya yang dimaksud pasien adalah setiap
orang yang membutuhkm pelayanan kesehatan, sedangkan UU No. 29
Tahun 2004 mengartikan pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kehatannya untuk memperoleh pelayanan pelayanan
kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung (misalnya orang tua berkonsultasi mengenai anaknya) dari
dokter atau dokter gigi.Sengketa medik dapat terjadi karena adanya
hubungan hukum pelayanan medik yang menimbulkan akibat yang tidak
sesuai dengan ekspektasi dari pasien. Hubungan-hubungan pelayanan
medik yang menunjukkan kesederajatan, dan selalu merupakan hubungan
keperdataan.Mencari sebab-sebab atau sumber hubungan hukum
pelayanan medik, memang tidak dapat ditemukan dalam peraturan
perundangan. Namun untuk memahami sumber tersebut, barangkali dapat
dibantu dengan melihat sebab terjadinya praktek kedokteran sebagai
salah satu wujudnya, sebagaimana diatur dalam UU no. 29 Tahun 2004.
Pasal 39 UU No. 29 Tahun 2004 menyatakan bahwa praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dan
dokter gigi dengan pasien..dst. Kesepakatan dalam hukum merupakan
sumber perjanjian. Dengan demikian rumusan dalam ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa hubungan hukum antara rumah sakit / dokter dan
pasien hanya dapat terjadi karena perjanjian. Rumusan tersebut
tidak seluruhnya tepat. Dengan membaca ketentuan Pasal 1 butir I
undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa praktik kedokteran
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter
gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan, rnaka jika
dihubungkan dengan pemahaman umum terhadap pengertian pasien,
sebenamya dokter tidak saja akan berhadapan dengan pasien yang
mampu menyatakan kehendaknya tetapi juga pada pasien yang tidak
mampu atau tidak mungkin memberikan partisipasi dalam memperoleh
pelayanan kesehatan (misalnya dalam keadaan gawat darurat). Atas
dasar hal itu dan sejalan dengan pengertian praktik kedokteran yang
terdapat dalam rumusan undang-undang, maka aspek keperdataan dari
hubungan hukum antara dokter dan pasen dapat terjadi karena
undang-undang atau karena perjanjian.10Dikaitkan dengan isi dari
hubungan hukum tersebut, yaitu pelayanan medik yang mencakup
berbagai tujuan maka pelayanan tersebut ada yang berobyekkan
pelayanan dengan ukuran hasilnya ada juga yang berobyekkan
pelayanan sebagai usaha atau ikhtiar. Oleh karenanya, hubungan
hukum tersebut dapat dikelompokkan pada resultaat verbintennis
(perikatan hasil) dan inspanning verbintenis (perikatan ikhtiar).
Perbedaan yang menonjol diantara dua jenis hubungan hukum tersebut
adalah pada resultaat verbintenis yang terpenting bagi pasien
adalah hasil yang sesuai dengan keinginannya sedangkan pada
insparning verbintenis pasen tidak dapat mengharapkan hasilnya
tetapi ikhtiar yang sebaik-baiknya dalam melakukan pelayanan
kesehatan. Sekalipun hubungan hukum yang berisi pelayanan kesehatan
dapat dibedakan pada hubungan hukum atas hasil dan hubungan hukum
atas ihtiar, pada umumnya persoalan-persoalanhukum yang timbul dari
hubungan hukum antam dokter dan pasien adalah hubungdn hukum
ihtiar.10Hubungan hukum antara rumah sakit/dokter dan pasien yang
bersumber dari undang-undang adalah hubungan hukum yang terjadi
karena undang-undang memberikan kewajiban kepada dokter untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Artinya untuk
terjadinya hubungan hukum ini tidak diperlukan prakarsa bahkan
partisipasi pasien. Hubungan-hubungan hukum seperti ini terjadi
misalnya pada keadaan emergency yang tidak memungkinkan meminta
persetujuan pasien untuk terjadinya pelayanan kesehatan padahal
undang-undang memerintahkan kepada dokter untuk memberikan
pertolongan.Pada keadaan seperti emergency ini awalnya pasen
mungkin dalam keadaan sadar dan dapat memberikan persetujuan untuk
dilakukannya tindakan tertentu, namun bila kemudian dalam proses
pelaksanaan pelayanan medik ketika pasien diletakkan dalam keadaan
tidak sadar (anestesi) terjadi sesuatu yang mengakibatkan dokter
harus melakukan tindakan tertentu untuk Life Saving padahal tidak
dimungkinkan lagi mendapatkan persetujuan pasen 7.Oleh karena
keadaan pasien yang tidak memungkinkan memberikan partisipasi dalam
hubungan-hubungan hukum seperti dinyatakan diatas, maka ada yang
berpendapat bahwa hubungan hukum dokter dan pasen tersebut dapat
dikualifikasi sebagai hubungan hukum perwakilan sukarela
(zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata.
Hubungan hukum perwakilan sukarela sendiri dapat dirumuskan sebagai
hubungan hukum yang didalamnya seseorang mengurus urusan orang lain
dengan sukarela tanpa diminta oleh orang yang punya urusan, baik
diketahui atau tidak diketahui oleh yang punya urusan. Pemilik
urusan disebut dominus, sedang yang mengurus secara sukarela
disebul gestore.Mengingat titik berat hubungan hukum perwakilan
sukarela adalah kesukarelaan gestor tanpa adanya pemberian kuasa,
maka di dalamnya juga terkandung pengertian tanpa kuasa atau
perintah undang-undang. Sedangkan dalam kaitan dokter memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien yang membutuhkan, dan sang pasen
tidak mampu memberikan partisipasi dalam proses pelayanan kesehatan
tersebut merupakan kewajiban undang-undang, maka sangat tidak tepat
apabila dikualifikasi sebagai hubungan perwakilan sukarela.Dengan
demikian seorang dokter yang memberikan pertolongan dalam bentuk
pelayanan kesehatan kepada seseorang yang tidak meminta, misalnya
dalam keadaao tidak sadar, bukanlah memberikan pertolongan secara
sukarela tetapi melakukan kewajiban menurul. undang-undangr. maka
pirikan yang timbul adalah perikatan menurut undang-undang, yang
bukan Dapat dikatakan bahwa semua hubungan hukum antara dokter dan
pasen yang bersumber dari undang-undang, tidak mungkin menghasilkan
resultaat verbintenis, oleh karena pasen tidak mempunyai prakarsa
bahkan partisipasi. Dengan demikian perikatan yang dihasilkannya
adalah inspanning verbintenis. Sebagai suatu perikatan, sekalipun
pasen tidak mempunyai prakarsa atau bahkan partisipasi dalam
terjadinya peristiwa hukum tersebut maka hak pasen untuk memperoleh
ikhtiar yang sebaik-baiknya dari dokter dalam melaksanakan
kewajiban memberikan pelayanan kesehatan tetap mendapatkan
perlindungan hukum. Dengan demikian apabila dokter dalarn
melaksanakan kewajiban dalam bentuk pelayanan kesehatan melakukan
kesalahan dan kemudian menimbulkan kerugian bagi pasen, maka pasen
tetap berhak menggugat.Adapun untuk hubungan hukum antam rumah
sakit/dokter dan pasen yang bersumber dari perjanjian terjadi
akibat dari kesepakatan mereka. Perjanjian antara rumah
sakit/dokter dan pasen dinarnakan sebagai perjanjian tcrapeutik.
Dalam hal ini ketentuan yang patut diperhatikan adalah ketentuan
yang mengatur tentang syarat-syarat perjanjian sebagaimana lerdapat
dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan beberapa pasal berikutnya. Suatu
perjanjian pada hekekatnya merupakan pertemuan antara penawaran dan
penerimaa Wujud dari perjanjian terapeutik diawali oleh informed
consent yang diartikan sebagai persetujuan tindakan medic.Dalam
bentuk undang-undang, informed consent pertama kali disinggung
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.11 Pasal
53 ayat (2) UU tersebut menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan
menghormati hak pasen. Dalam menjelaskan hak pasen, penjelasan
pasal tersebut memberikan contoh-contoh tentang hak pasien
diantaranya hak atas informasi dan hak untuk memberikan
persetujuan. Khusus bagi dokter kewajiban untuk memperoleh
persetujuan pasen terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan
diatur dalam Pasal 45 ayat (l) UU No. 29 Tahun 2004.12 Ayat (2)
ketentuan tersebut menyatakan bahwa persetujuan diberikan oleh
pasen setelah mendapat penjelasan secara lengkap. Sampai sekarang,
baik peraturan pemerintah, maupun keputusan menteri yang dimaksud
oleh kedua undang-undang tersebut belum diterbitkan. Sebelum kedua
undang-undang tersebut diundangkan, ketentuan yang mengatur tentang
informed consent adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 585 Tahun 1989. Dalam Pemenkes tersebut informed consent atau
yang diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.Apa saja yang harus tercantum dalam inform
consent? Pasal 45 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 memberikan ukuran
bahwa suatu penjelasan dianggap adequate apabila sekurang-kurangnya
mencakup :a. diagnosis dan tata cara tindakan medik ;b. tujuan
tindakan medik yang dilakukan ;c. alternatife tindakan lain dan
resikonya ;d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi ;e.
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.Syarat kedua dari
perjanjian yaitu adanya kecakapan untuk membuat perjanjian. Pada
dasarnya baik penjelasan Pasal 45 ayat (l) UU No. 29 Tahun 2004,
maupun Permenkes No. 585 Tahun 1989 memberikan pengaturan yang
sama, hanya Permenkes lebih jelas dalam menentukan pihak yang
memberikan persetujuan, yaitu pasen sendiri dalam hal ia telah
dewasa (berunrur 2l tahun keatas atau telah menikah) dan dalam
keadaan sadar serta sehat mcntal. Apabila pasen dalam keadaan tidak
sadar atau menderita gangguan mental, maka orang tuanya atau
walinya yang memberikan persetujuan. Untuk pasen yang belum dewasa,
Keputusan Menteri tersebut tidak mengatur tentang pemberi
persetujuannya, namun demikian kjranya dapat dipersamakan dengan
pasen yang tidak sadar atau mengalami gangguan mental, yaitu orang
tua atau walinya. Penentuan tersebut merupakan a contrario dari
ketentuan Pasal 10 Permenkes tersebut yang menyatakan bahwa bagi
pasien di bawah 2l tahun dan tidak mempunyai orang tua./wali dan
atau orang tua,/wali berhalangan persetujuan diberikan oleh
keluarga terdekat.Bagi hukum penenruan wali dalam hal pasen tidak
sadar atau mengalami gangguan mental atau belum dewasa tidaklah
sesederhana seperti halnya dalam kedua peraturan tersebut, sebab
penentuan wali yang bukan orang tua pada dasarnya diperlukan
penetapan dari pengadilan. Sehingga atas dasar hal itu apabila
tidak ada wali atau walinya berhalangan, sedangkan terhadap pasien
tersebut harus dilakukan tindakan medik, maka sama dengan ketentuan
Pasal 11 Permenkes No. 585 Tahun 1989 tidak diperlukan persetujuan.
Sebaliknya apabila tidak dalam keadaan yang mengharuskan segera
dilakukan tindakan medik sebaiknya pemberian pelayanan ditangguhkan
hingga didapatkan wali yang definitive menurut hukum.Masih
berkaitan dengan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian, patut
dipertanyakan kepada siapakan persetujuan diberikan ? Sayang
terhadap hal ini, pengaturan hukum tidak serinci pengaturan tentang
siapa yang memberikan persetujuan. Namun meskipun demikian sudah
seharusnya bahwa persetujuan tersebut hanya diberikan kepada dokter
yang akan melakukan pelayanan kesehatan. Atas dasar hal itu dokter
tersebut harus mempunyai wewenang untuk melakukan pelayanan
kesehatan tersebut. Apabila doker terebut tidak mempunyai wewenang
untuk melakukan pelayanan medic tertentu yang menjadi obyek
persetujuan, maka informed consent dapat dibatalkan.Hubungan
pelayanan medik sangat tidak mungkin berentangan baik dengan hukum,
undang-undang, kepatutan maupun kesusilaan. Oleh karenanya syarat
keempat dari perjanjian yaitu adanya kausa yang halal, diasumsikan
selalu ada, sehingga tidak perlu dibahas lebih lanjut. Bahwa
seandainya di dalam kenyataannya terdapat praktik-praktik semacam
euthanasia atau aborsi, yang tentunya bertentangan dengan kausa
yang halal, maka tindakan-tindakan tersebut tidak termasuk dalam
pengertian tindakan pelayanan medic.B. Penyelesaian Sengketa
Medik10Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dengan demikian sengkata medik dapat diselesaikan melalui lembaga
peradilan umum.13Namun demikian banyak kalangan tidak menyukai
berurusan dengan pengadilan dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu, di antaranya biaya yang tidak sedikit, waktu yang relatif
lama, proses pemeriksaan yang terbuka dan putusan yang berujung
pada kalah-menang sehingga sangat sulit untuk merajut hubungan
hubungan hukum kembali bagi para pihak yang sudah berperkara di
pengadilan. Singkatnya berperkara di pengadilan akan membuat orang
terluka dan tidak mau berhubungan kembali dengan mitranya.Atas
dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, bagi orang-orang pada
profesi tertentu termasuk pemberian jasa atau terutama kalangan
dunia usaha yang senantiasa berpikir praktis, cepat dan ekonomis
serta tidak ingin sengketanya diketahui secara luas apalagi
disebarluaskan oleh media massa dan menginginkan penyelesaian yang
masih dalam kerangka hubungan-hubungan sosial tertentu merasakan
adanya kebutuhan terhadap adanya lembaga penyelesaian sengketa yang
Iain. Artinya dibutuhkan adanya altematif lembaga penyelesian
sengketa. Yang dimaksudkan sebagai alternatif adalah penyelesaian
sengketa yang ditempuh tidak melalui lembaga peradilan sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.11 Walaupun lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan di lndonesia cukup banyak
(contohnya : Badan Penyelesaian Sengketa Pajak), namun tidak semua
lembaga tersebut akan dikupas, melainkan hanya alternalif
penyelesaian sengketa menunrut UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Beberapa jenis
metoda alternatif penyelesaian sengketa diantaranya:a. NegosiasiUU
Nomor 30 Tahun 1999 tiak merumuskan pengertian negosiasi. Pasal 6
ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan: "Penyelesaian sengketa
atau beda pcndapat melalui altematif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) diselesaikan dalam penemuan
langsung para pihak...dst". Diantara semua metode altematif
penyelesaian sengketa, negosiasi ditempatkan oleh undang-undang
sebagai metode yang pertama untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi. guna menghindari atau mengatasi suatu sengketa, karena
merupakan cara termurah dan paling tertutup dari pihak lain
dibandingkan cara-cara lainnya. Sekalipun dikatakan cara yang
paling dasar dan tertua, namun negosiasi memiliki
kelemahan-kelemahan, diantaranya:1. Manakala kedudukan para pihak
tidak seimbang ;2. Sering lambat dan membutuhkan waktu yang lama
;3. Manakala terdapal pihak yang kaku.Membaca ketentuan di atas,
maka dapat diketahui bahwa dalam negosiasi para pihak tidak
menghadirkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa mereka,
melainkan cukup upaya mereka sendiri. Atas dasar hal tersebut maka
yang dimakud "pertemuan langsung para pihak': dalam pengertian
negosiasi adalah pertemuan para pihak sendiri atau wakilnya
termasuk kuasa hukum mewakili kepentingan para pihak. Sehingga
dengan demikian penggunaan istilah "pertemuan langsung para pihak"
hanya sekedar untuk membedakan negosiasi dengan metode penyelesaian
sengketa yang lain.Baik dalam UU Nornor 30 Tahun 1999, maupun dalam
hukum intemasional tidak ada prosedur khusus ysng mengatur
mekanisme negosiasi, namun dalam hukum internasional tidak berarti
bahwa para pihak bebas tanpa batas menentukan sendiri melainkan
dibatasi oleh berikut.Beberapa sifat dari negosiasi :a. pelaksanaan
negosiasi bergantung sepenuhnya kepada kehendak para pihak,
karenanya tidak ada prosedur khusus tentang pelaksanaan negosiasi
;b. para pihak bebas untuk menentukan pada tahap mana negosiasi
telah menyelesaikan sengketa yang mereka alami ;c. para pihak juga
bebas untuk menentukan daya ikat hasil kesepakatan dari
negosiasi.b. MediasiMediasi adalah proses penyelesaian sengketa
dengan melibatkan pihak ketiga sebagai penghubung (mediator) untuk
mencapai kesepakatan penyelesaian di antara para pihak atas
sengketa yang teiadi. Sangat mungkin mediasi dilakukan setelah para
pihak sulit mencapai kesepakatan melalui negosiasi. Mengapa perlu
mediator? Hal ini disebabkan para pihak tidak mungkin bertemu
disebabkan faktor lokasi tempat tinggal yang berjauhan atau memang
para pihak tidak mau bertemu dikarenakan hambatan-hambatan
psikologis. Karenanya mediator harus independen dan netral serta
mampu menciptakan suasana yang kondusif. Sekalipun demikian ia
tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan kepada para pihak yang
bersengketa agar segera mencapai kesepakatan. Artinya kesepakatan
untuk mengakhiri sengketa tetap berada pada kewenangan dan kehendak
para pihak. Secara teknis dalam menjalankan tugasnya, setelah
ditunjuk para pihak, mediator bertemu dcngan atau mempertemukan
para pihak untuk mengetahui duduk persoalan sengketa yang
sebenarnya, selanjutnya ia dapat saja membuat catatan-catatan
tentang fakla-fakta yang disampaikan para pihak sambil memberikan
pendapat hukumnya tentang kelemahan dan kekuatan kedudukan hukum
masing-masing pihak. Atas dasar itu kemudian membuat rumusan usulan
tentang penyelesaian sengketanya agar dapat dijadikan pertimbangan
para pihak.Mediasi dilakukan dalam suatu pertemuan yang dihadiri
para pihak maupun dilakukan sendiri berdasarkan informasi atau
fakta-fakta yang diterima dari para pihak dalam kesempatan yang
terpisah Membaca ketntuan Pasal 6 ayat (4) dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang membedakan mediator ke dalam :a. Mediator yang
ditunjuk secara bersama oleh para pihak b. Mediator yang ditunjuk
oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian yang
ditunjuk para pihak.Pengertian lembaga arbitrase sebagai dimaksud
ketentuan diatas tentunya adalah lembaga arbitase permanen, sebab
arbitrase adhoc hanya diadakan untuk menyelesaikan sengketa bukan
untuk memberikan pendapat. Dengan demikian suatu ketika dapat saja
organisasi-organisasi kemasyarakatan tertentu yang didirikan dengan
maksud untuk mengembangkan suatu profesi membentuk lembaga
altematif penyelesaian sengketa untuk bertindak sebagai penyedia
mediator bagi sengketa-sengketa antar stake holder. Untuk itu perlu
dipertimbangkan pembentukan lembaga alternatif penyeselesaian
sengketa-sengketa medik yang didirikan oleh profesi medik, rumah
sakit, peminat masalah-masalah medik (misalnya Perhuki) dan unsur
masyarakat lainnya. Hal ini untuk menghindarkan sengketa medik
diselesaikan di Pengadilan.Sekalipun penyelesaian sengketa lewat
pengadilan kurang disukai, namun penyelesaian sengketa tersebut
tidak menutup kemungkinan para pihak menyelesaikannya dcngan cara
mediasi di pengadilan. Berkaitan dengan ini Mahkarnah Agung dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, Tanggal 3l Juli 2008
telah menerbitkan peraturan tcntang Prosedur Mediasi di
Pengadilan:(l) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri
kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh
mediasi.(2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi(3) Hakim melalui kuasa hukum atau langsung
kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi.(4) Kuasa hukum para pihak
berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau
aktif dalam proses mediasi,(5) Hakim wajib menunda proses
persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak
menempuh proses mediasi.(6) Hakim wajib menjelaskan prosedur
mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.
BAB IIIPEMBAHASAN
Hubungan yang terjadi antara dokter dan pasien dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran dikenal sebagai hubungan hukum.
Hubungan hukum merupakan perikatan dan perikatan lahir dari
perjanjian. Jadi hubungan hukum antara dokter dan pasien muncul
dari adanya perjanjian terapuetik. Dalam perjanjian terapeutik,
baik dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Hak dan kewajiban dokter dan pasien diatur dalam
pasal 50 s/d 53 UU No. 29 Tahun 2004. Kedua hubungan tersebut
melahirkan tanggung jawab hukum, tanggung jawab profesi dan
tanggung jawab etika dari seorang dokter. Seorang dokter atau
dokter gigi yang melakukan pelanggaran dapat saja dituntut dalam
beberapa pengadilan, misalnya dalam bidang hukum ada pengadilan
perdata, pengadilan pidana dan pengadilan administratif. Selain itu
dokter atau dokter gigi juga dapat diperhadapkan pada Pengadilan
Etik pada organisasi profesi (MKEK dan MKEKG), dan Pengadilan
Disiplin Profesi oleh (MKDKI).Hasil wawancara yang telah dilakukan
terhadap profesi dokter dan kajian tentang hubungan hukum antara
dokter dan pasien, maka hubungan antara dokter dan pasien dalam
perjanjian terapeutik adalah merupakan hubungan kepercayaan dan
hubungan hukum. Hubungan kepercayaan diatur dari norma-norma dan
bersumber pada adanya usaha maksimal yang dilakukan oleh profesi
dokter kepada pasien, sedangkan hubungan hukum diatur oleh
norma-norma yang berasal dari peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan dapat
berpotensi munculnya sengketa medik. Sengketa medik adalah sengketa
yang terjadi antara dokter dan pasien, dalam upaya pemberian
pelayanan kesehatan, objek sengketa adalah upaya penyembuhan dan
yang melakukan gugatan adalah pasien. Hasil wawancara yang telah
dilakukan terhadap profesi dokter diperoleh hasil bahwa penyebab
sengketa medik antara lain. Pertama adanya ketidakpuasan dari
pasien atau keluarga pasien, ketidakpuasan itu bisa berasal dari
hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan, adanya dampak negatif
dari hasil pengobatan, munculnya penyakit tambahan, serta kerugian
yang dialami pasien. Kedua, muculnya persoalan bermula dari dokter
adalah faktor kurangnya penjelasan kepada pasien, dokter tidak
mampu mewujudkan bentuk komunikasi yang baik kepada pasien sehingga
pasien tidak mampu menangkap pesan atau informasi yang disampaikan
oleh dokter. Ketiga, menurut saya munculnya kasus dikarenakan
faktor-faktor pihak ketiga dari keluarga, yang justru tidak
berhubungan dengan transaksi terapeutik. Sengketa yang terjadi
dapat diklasifikasikan karena aspek hukum dan aspek profesi. Aspek
profesi diatur dalam norma-norma yang terdapat dalam kode etik
profesi, sedangkan aspek hukum diatur melalui ketentuan hukum
perdata, pidana dan administrasi. Menurut Hermien Hadiati
Koeswadji, sebagaimana dikutip oleh Y.A Triana Ohoiwutun, terdapat
persamaan dan perbedaan antara etik dan hokum Persamaan etik dan
hukum adalah bahwa keduanya menghendaki agar manusia berbuat baik
dan benar dalam masyarakat. Sedangkan perbedaan antara etik dan
hukum terdapat dalam tabel di bawah ini.14
Pelanggaran terhadap kode etik ada yang merupakan pelanggaraan
etik semata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik sekaligus
pelanggaran hukum, namun sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu
merupakan pelanggaran etik kedokteran.15 Mencermati kajian tentang
penyebab sengketa medik, jika dilihat dari perspektif hukum maka
penyebab sengketa medik antara dokter dan pasien terutama
disebabkan oleh tidak berjalannya hak dan kewajiban antara dokter
dan pasien dalam hubungan hukum yang terjadi, yang kemudian
menimbulkan ketidakpuasan pasien. Ketidakpuasan pasien terjadi
karena adanya komunikasi yang tidak seimbang antara dokter dan
pasien, tidak adanya hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien
dalam hubungan yang terjadi dan adanya campur tangan dari keluarga
pasien.Berdasarkan sumber literature, dilakukan wawancara terhadap
profesi dokter tentang penyelesaian sengketa medik yang terjadi,
didapatkan hasil sebagai berikut. Pertama, sengketa medik dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah, jika musyawarah belum
mendapatkan kesepakatan dapat dibawa kepada lembaga profesi dokter,
maupun di Pengadilan. Kedua, penyelesaian sengketa medik dapat
dilakukan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur hukum dan jalur non
hukum. Jalur hukum adalah jalur pengadilan, jalur non hukum
ditempuh melalui musyawarah mufakat. Ketiga, penyelesaian sengketa
medik didasarkan pada besar kecilnya sengketa, bila sengketa
tersebut hanya bersifat sepihak artinya pasien merasa tidak puas
dengan hasil tindakan dokter, lebih baik diselesaikan melalui
musyawarah. Sengketa yang bersifat besar, tetap dengan musyawarah,
namun jika tidak selesai dapat dilanjutkan ke pengadilan dan
keempat penyelesaian sengketa hendaknya dilakukan dengan cara
kekeluargaan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian melalui
jalur hukum. Penyelesaian melalui jalur hukum dapat dilakukan
karena pasien menginginkan hal tersebut.16 Mencermati hasil
wawancara tentang penyelekesaian sengketa medik, maka dalam
perspekstif hukum, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2
(dua) jalur yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur non
litigasi adalah jalur musyawarah yang dilakukan antara dokter,
pasien/keluarga, sedangkan jalur Litigasi adalah jalur pengadilan
yang dilakukan jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan.
16Perlindungan hukum dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
mutlak diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan
praktik kedokteran sebagaimana terdapat dalam pasal 3 UU No. 29
Tahun 2004. Dasar hukum perlindungan hukum terhadap dokter dan
pasien terdapat dalam UU No 29 Tahun 2004 yaitu, pertama pasal 3
bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus memberikan
perlindungan tidak saja kepada pasien tapi juga dokter. Kedua,
pasal 44 yaitu dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan
praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran.
Apabila tindakan dokter menyimpang dari unsur-unsur standar
profesi, maka dokter dikatakan telah melakukan kelalaian atau
kesalahan sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum. Ketiga,
pasal 46 yaitu bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medik. Kemudian
dilakukan wawancara yang dilakukan terhadap profesi dokter tentang
model perlindungan hukum yang antara lain. Pertama, bentuk
perlindungan hokum profesi dokter yang baik adalah adanya tanggung
jawab dari rumah sakit dalam memberikan kepastian bagi dokter dalam
menjalankan profesinya. Kedua bentuk perlindungan hukum profesi
dokter yang baik adalah didasarkan pada UU No. 29 Tahun 2004.
Ketiga, perlu adanya undang-undang baru yang dijiwai pada aspek
medis untuk memberikan perlindungan hukum bagi profesi dokter.
Keempat, profesi dokter yang perlu mendapatkan perlindungan hukum
adalah profesi dokter yang menjalankan tugas dan fungsinya secara
professional.16Mencermati hasil wawancara di atas, maka model
perlindungan hukum profesi harus meliputi aspek-aspek antara lain
aspek hubungan terapeutik antara dokter dan pasien, aspek hubungan
profesi dengan hukum, dan aspek penyelesaian sengketa.16
BAB IVPENUTUP
A. SimpulanMunculnya sengketa antara dokter dan pasien, terutama
disebabkan karena tidak berjalannya hak dan kewajiban antara dokter
dan pasien dalam hubungan hukum yang terjadi, yang kemudian
menimbulkan ketidakpuasan pasien. Keadaan tersebut muncul
disebabkan karena: (1) Komunikasi yang tidak seimbang antara dokter
dan pasien yaitu, penjelasan dokter yang terlalu ilmiah, sehingga
tidak dipahami oleh pasien. Dokter tidak memberikan penjelasan,
jika pasien tidak bertanya. Penjelasan dilakukan setelah adanya
tindakan. (2) Tidak terjadinya hubungan kepercayaan antara dokter
dan pasien dalam perjanjian terapeutik. (3) Adanya campur tangan
dari pihak keluarga pasien, terhadap informasi yang sudah
disampaikan. Penyelesaian sengketa yang terjadi antara dokter dan
pasien, dilakukan melalui: (1) Jalur non-litigasi, yang dilakukan
melalui: musyawarah antara rumah sakit, profesi dokter, dan
pasien/keluarga pasien. (2) Jalur litigasi, yang dilakukan bila
penyelesaian musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan. Model
perlindungan hukum profesi dokter yang berdasarkan keseimbangan
antara dokter dan pasien adalah sebagai berikut: (1) Dari aspek
hubungan terapeutik antara dokter dan pasien, bahwa setiap tindakan
yang dilakukan dokter harus mendapat persetujuan dari pasien
dan/atau keluarga pasien. (2) Dari aspek hubungan profesi dengan
hukum, bahwa dokter sebagai subjek hukum dapat dituntut baik secara
administrasi, perdata maupun pidana. Maka dari itu, profesi dokter
harus menjalankan ketentuan penyelenggaraan praktik kedokteran
berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004, dan tidak melanggar syarat
perjanjian terapeutik serta tidak melakukan kesalahan/kelalaian
dari perjanjian terapeutik. (3) Dari aspek penyelesaian sengketa,
bahwa bentuk penyelesaian sengketa medik adalah musyawarah dengan
melibatkan para pihak yaitu profesi dokter, pasien dan Direktur
Rumah Sakit dan jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan,
maka penyelesaian sengketa melalui jalur hukum.B. SaranDalam
menjalankan praktik pelayanan kesehatan, seorang dokter harus
menjalaninya sesuai SOP dan kode etik profesi. Inform consent
adalah hal penting untuk tetap menjamin hak pasien maupun keluarga
memberikan keputusan atas apa tindakan yang diberikan kepadanya,
maupun hak untuk mengetahui secara jelas perihal penyakit pasien.
Namun, kadangkala walau seorang dokter telah melakukan ikhtiar
semaksimal mungkin, tidak dipungkiri dapat terjadi sengketa akibat
ketidakpuasan pasien/keluarga terhadap hasil pelayanan kesehatan.
Maka dari itu penting adanya lembaga perlindungan hukum bagi
seorang profesi dokter untuk menjamin hak mendapat perlindungan
hukum bagi seorang dokter.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban
Dokter, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, hlm 2-3. 2. UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.3. Bambang Poernomo. 2005. Hukum
Kesehatan, Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Rumah Sakit
UGM. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.4. Safitri Hariyani,
Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter
Dengan Pasien, Jakarta: PT. Diadit Media, 2005 hlm 6. 5. Anny
Isfandyarie, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005, hlm 6. 6. Merrillis JG. 1998.
International Dispute Settlement. Cambridge University Press.7.
John Coflier & Vaughen Lowe. 1999. The Setlement of Disputes in
International Law. New York: Oxford University Press8. Sujud
Margono. 2000. ADR (Alternative Dispute Resolution) &Arbitrase.
Jakarta : Ghalia lndonesia .9. Huala Adolf . 2003. Hukum Ekonomi
Internasional : Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo.10.
Mufidi HM, Pursetyowati S. 2013. Penyelesaian Sengketa Medik di
Rumah Sakit. jurnal.fhunla.ac.id/index.php/WP/article/.../79/72
(diunduh : 29 April 2015)11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.12. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.13. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.14. Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum
Kedokteran,Tinjauan dari Berbagai Peraturan Perundang-undangan dan
UU Praktik Kedokteran, 2008, Bayumedia Publishing hal 57-58.15.
Y.A. Triana Ohoiwutun. 2008. Bunga Rampai Hukum Kedokteran,Tinjauan
dari Berbagai Peraturan Perundang-undangan dan UU Praktik
Kedokteran. Bayumedia Publishing hal 57-58.16. Arif Nuryanto. 2012.
Model Perlindungan Hukum Profesi Dokter.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id (diakses : 29 April 2015)