Semiotika ArsitekturPostmodern
Postmodern secara UmumPostmodernisme merupakan gerakan
kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh penentangan terhadap
totalitarianisme dan universalisme, secara kecenderungannya ke arah
keanekaragaman, ke arah melimpah ruah dan tumpang tindihnya
berbagai citraan atau gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi
kontradiksi, dan pendangkalan makna kebudayaan (Yasraf, 2003 :
19)
Cara pandang postmodern muncul dari reaksi terhadap
ketidaksanggupan modern dalam mencapai impian. Dunia
industrialisme, kapitalisme, individualime dari modern memberikan
dampak buruk bagi kehidupan masyarakat sehingga posisinya menurun
yang akhirnya menyemangati lahirnya postmodern, yang diawali
gerakan dekonstruksi. Dekonstruksi menolak teori strukturalis dalam
sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
mempunyai struktur yang sama sehingga hasil sastra dapat dimengerti
secara universal. Dekonstruksi lebih menekankan pada pemaknaan yang
muncul dari tiap individu yang membaca hasil sastra (teks).
Dalam mendeskripsikan istilah postmodern, banyak hal yang dapat
ditinjau sebagai acuan mengenai perspektif postmodern tersebut yang
menjadikan istilah postmodern rancu. Postmodern dalam tinjauan
sejarah akan berbeda dengan tinjauan estetika, berbeda dengan
postmodern yang ditinjau dalam perspektif filsafat, dan akan
berbeda lagi ketika ditinjau dari fenomena kultural. Dari hal-hal
seperti itu bisa dinyatakan bahwa postmodern pada kenyataannya
sebuah istilah yang tidak memiliki arti secara harafiah.
Gaya merupakan sebuah istilah penting dalam wacana postmodern.
Pendekatan gaya dalam wacana postmodern dilakukan dengan gerakan
penolakan terhadap wacana besar, dan postmodern sebagai sub-kultur
dari wacana besar tersebut, salah satunya adalah gerakan Memphis,
yang diprakarsai oleh Ettore Sottsass di kota Milan pada dekade
60-an. Gerakan tersebut memperkenalkan kembali bahasa-bahasa dalam
seni dan desain. Dan pada dekade 70-an, gaya-gaya dari gerakan
Memphis ini dikembangkan oleh kelompok-kelompok sub-kultur di
Barat. Ada sekiranya tiga konsep gaya pada sub-kultur tersebut,
yaitu :
1. Gaya sebagai satu bentuk praktik pertandaan. Gaya ini
digunakan dalam membaca pakaian kelompok sub-kultur tertentu
sebagai suatu makna semiotika tertentu. Contohnya dalam arsitektur
postmodern, penggunaan kembali elemen klasik pada dekorasi bangunan
yang dipadukan dengan struktur modern dapat digunakan dalam membaca
gaya bangunan postmodern.
2. Gaya sebagai resistensi. Contohnya saja, penggunaan gaya
pakaian atau musik sub-kultur merupakan suatu bentuk
counter-culture terhadap kebudayaan mainstream.
3. Gaya sebagai bricolage. Gaya yang mengambil satu cuplikan
kecil dari satu tempat dan menempatkannya pada tempat yang lain
untuk menciptakan satu makna baru.
Melalui perannya dalam wacana postmodern yang bersifat
pluralistik, gaya dapat merupakan satu bentuk sinkretisme, yaitu
penyerapan berbagai elemen gaya yang berasal dari berbagai seniman,
kebudayaan, periode, atau ideologi yang berbeda, bahkan bersifat
kontradiktif sehingga menjadi sebuah menjadi gaya baru.
Postmodern ArsitekturPostmodern telah merambah ke segala bidang.
Salah satunya adalah arsitektur, sebagai contoh yang tepat dalam
postmodernisme. Seperti halnya bidang lain, postmodernisme dalam
arsitektur menolak sebuah wacan-wacana besar, seperti kembali
kepada permainan ornamen, ekletisme dari gaya-gaya bangunan dari
berbagai periode sejarah yang cenderung tidak beraturan dan saling
bertentangan. Penggunaan warna dalam arsitektur postmodern menolak
warna-warna primer dan cenderung menggunakan warna-warna pastel,
warna toska, atau warna yang saling bertentangan seperti hitam dan
putih dan gradasinya seperti abu-abu. Tetapi postmodern bukan
semata-mata pengkombinasian berbagai gaya dari masa lalu, lebih
kepada masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya yang mengacu
kepada semangat jaman (kontemporer).
Arsitektur postmodern menurut Charles Jencks :
1. Disharmonious Harmony (keselarasan yang tidak selaras),
Charles Jencks menganggap bahwa dalam arsitektur postmodern ini
terjadi perpaduan antara keindahan dan komposisi, antara yang tidak
selaras dengan yang tidak indah, antara yang simetris dengan yang
asimetris.
2. Pluralism, gabungan dari beberapa aliran yang masih
mencerminkan arsitektur setempat, resistensi modern.
3. Urbane Urbanism, menciptakan hunian yang sesuai dengan
lingkungan.
4. Anthropomorphism, ornamen yang sesuai dengan bentuk-bentuk
struktur manusia.
5. Anamnesis, lambang-lambang yang dapat menimbulkan kenangan
masa lalu.
6. Divergent Signification, bentuk yang mengandung kesan atau
makna yang beda dari yang ditampilkan, place dan desire simbolisme
untuk memunculkan makna baru.
7. Double Coding, penggabungan dua macam langgam.
8. Multivalence, perpaduan beberapa macam gaya.
9. Tradition Reinterpretation, pengulangan akan tradisi yang
lama.
10. New Rethorical Figures, memperbarui tata cara lama dengan
figure yang baru.
11. Return To The Absent Centre (kembali pada pusat yang telah
lama ditinggalkan).
12. Semiotics sebagai pondasi mengkomunikasikan makna. Jencks
mengistilahkan dalam signified (konsep ruang, nilai sosial dan
agama, fungsi, ide arsitektural, aktivitas) dan signifiers (bentuk,
ruang, isi, warna, irama, tekstur) (Jencks, 1997 : 6-132.
Broadbent, 1980 : 73-74).
Arsitektur postmodern membantu orang manusia untuk betah tinggal
di rumah sebagai tempat bernaung, mengenal keadaan lingkungan
sosial, dan berinteraksi dengan komunitas sekitar. Arsitektur
postmodern merupakan bentuk ruang yang kongkrit tempat kehidupan
itu berlangsung. Jadi bentuknya lebih bebas, tanpa ada aturan.
SemiotikaArsitektur postmodern juga memiliki prinsip yang
bersifat simbolik, dalam hal ini berbicara semiotika. Dalam
semiotika, ada beberapa ahli yang saling mengeluarkan teorinya
masing-masing. Di sini tidak akan membahas satu-persatu teori yang
dikemukakan para ahli., tetapi langsung menuju teori dari seorang
ahli linguistik, Ferdinand de Saussure. Saussure lebih
memperhatikan pada tanda itu sendiri. Bagi Saussure, tanda
merupakan obyek fisik dengan sebuah makna; atau, untuk menggunakan
istilahnya, sebuah tanda terdiri dari penanda (tanda bagi Pierce)
dan petanda (interpretan bagi Pierce). Penanda adalah citra tanda
seperti yang kita persepsi; petanda adalah konsep mental yang
diacukan penanda. Konsep mental ini secara luas sama pada semua
anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan bahasa yang sama.
Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak
terpisahkan dari penanda dan petanda. Kesepakatan sosial diperlukan
untuk dapat memaknai tanda (Fiske, 1990 : 62-66). Saussure juga
mengartikan dasar linguistik yang bertolak dari dikotomi, seperti
parole dan langue. Parole adalah penggunaan secara individual yang
memilih unsur-unsur tertentu yang disenangi dalam kamus yang
dimiliki oleh seseorang. Langue adalah suatu sistem kode yang
diketahui dan disepakati oleh semua pihak. Roland Barthes
mengimplikasikan lebih lanjut tinjauan teori Saussure yang
dibedakan atas dua makna, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi
mengarah kepada anggapan umum mengenai kejelasan tanda tersebut.
Barthes menjelaskan bahwa ada relasi antara penanda dan petanda di
dalam tanda. Rumah mengandung makna denotasi sebagai tempat
berteduh. Konotasi menjadi sebuah interpretan yang dipengaruhi oleh
subyektif dari penafsir dan obyek. Konotasi menggambarkan interaksi
yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya dalam nilai-nilai kultural. Rumah mengandung konotasi
sebagai sebuah bangunan, gaya hidup, alamat, identitas,
kepribadian, struktur, dan sejarah.
Semiotika ArsitekturSemiotika dalam arsitektur membentuk
hubungan dekat antara keadaan geografis, sejarah, dan budaya
lokalnya, serta komunitas sosial yang melingkupinya dari penggunaan
warna, bentuk, ruang, isi/volume, bahkan permukaan bangunan, karena
wujud arsitektur, seperti halnya wujud bidang lain, secara umum
dapat dikatakan mempunyai makna denotasi terlebih dahulu kemudian
menyusul makna konotasi. Selain rumah, jendela juga memiliki makna
denotasi dan konotasi. Makna denotasi sudah jelas, sedangkan
konotasinya, misalnya menggambarkan keagungan bangunan yang dapat
dilihat dari proporsi atau bentuk.
Maka, seorang Charles Jencks mengistilahkan postmodern dengan
semboyan Form Follow Meaning sebagai resistensi dari modern dalam
metoda semiotika.
Semiotika Arsitektur PostmodernDalam perkembangan arsitektur,
semiotika mulai banyak digunakan sejak era postmodern, yaitu era
dimana para arsitek mulai menyadari adanya kesenjangan antara kaum
elite pembuat lingkungan, dalam hal ini arsitek, dengan orang awam
yang menghuni lingkungan. Saat itu semiotika digunakan dalam
pembentukkan kembali makna arsitektur atas peran fungsi bangunan
(Forms Follow Function) yang berlebihan tanpa memperhatikan kondisi
sosial-budaya yang melingkupi bangunan tersebut. Jencks
mempergunakan semiotika sebagai pondasi mengkomunikasikan makna.
Bagi Jencks, konsep ruang, nilai sosial, fungsi, ide arsitektural,
dan aktivitas, masuk dalam kategori petanda, sedangkan bentuk,
ruang, isi, warna, irama, dan tekstur, Jencks mengkategorikan dalam
lingkup penanda.
Melalui semiotika, bagi Jencks, arsitektur postmodern bukanlah
merupakan bentuk yang mutlak seperti arsitektur modern, tetapi
lebih menekankan kepada pola kemiripan bahkan perbedaan antar
elemen. Jencks juga menekankan bahwa kode digunakan untuk memahami
bentuk-bentuk yang abstraks, tidak bersifat baku, karena bentuk
selalu dirangkai guna menciptakan konteks/alur, agar karya
arsitektur dapat dibaca, maka arsitektur postmodern dalam lingkup
semiotika mengeksplorasi ketidaksesuaian gaya, bentuk, maupun
tekstur, mensejajarkan elemen-elemen yang berlawanan. Sebagai
contoh, penerapan gaya straight revivalsm pada Museum Paul Getty di
Malibu, dimana bangunan tersebut merespon pada konteks dan lebih
relatif dalam gaya. Hal ini mendukung penegasan kekhasan lokal
(Amerika) dalam bentuk-bentuk bangunan dan menentang bentuk-bentuk
bangunan modern.
`
Analisis mengenai fungsi tanda dikenal sebagai sintaks-semiotik.
Kemudian analisis yang berhubungan dengan interpretasi tanda
dikenal sebagai semantik-semiotik. Sedangkan, analisis tanda yang
berhubungan dengan pengirimannya dikenal sebagai
semiotik-pragmatik.
Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)Semiotik Pragmatik
menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam
batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik
merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem
tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik
Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan
perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan
persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu
hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian
dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil
karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur
merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)Semiotik Sintaktik
menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik
ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang
menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan
tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi
dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat
diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara
jelas.
Semiotik Semantik (semiotic semantic)Semiotik Sematik
menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan arti yang
disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan
tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang
disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang
ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui
ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai
suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau arti yang ingin
disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan
diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin
disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.