Top Banner
Selasa, 27 September 2011 - 08:42 Seni Lukis Kaca: Tak Pernah Booming, Tapi Membumi oleh Fajar Sutardi
21

Selasa

Nov 11, 2015

Download

Documents

ggg
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Selasa, 27 September 2011 - 08:42

Seni Lukis Kaca: Tak Pernah Booming, Tapi Membumi

oleh Fajar Sutardi

Salah satu lukis kaca karya Rastika, dan menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. (foto: kuss indarto)

Pengawal Kalam

PERIHAL tentang keberadaan seni lukis kaca kembali mengusik pikiran penulis, ketika disuatu hari penulis mendengarkan cerita seorang pelukis yang kebetulan kedatangan calon pembeli atau mungkin pedagang lukisan dari kota bertandang ke rumahnya. Setelah melihat-lihat di ruang pajang di rumahnya yang tidak begitu luas, pembeli tadi kemudian menawar beberapa lukisan yang terbuat dari media kanvas dan kertas untuk dibawa ke kota. Setelah terjadi tawar-menawar, dan disetujui harganya, kemudian pelukis tersebut juga menawarkan lukisan kaca karyanya. Rupanya, pelukis tersebut selain membuat lukisan dari kanvas dan kertas, juga membuat lukisan dari bahan kaca. Saat ditawari lukisan kaca, pembeli atau pedagang tersebut menyatakan tidak begitu tertarik, karena menurutnya tidak banyak yang orang mau mengkoleksi karya lukis kaca, dengan alasan karena bahannya mudah dan rawan pecah, apalagi kalau pembelinya orang asing, nantinya bisa kerepotan dalam perjalanannya walau secara visual karya lukis kaca tidak kalah dengan media lainnya. Pelukis tadi mengangguk-angguk, seperti orang bodoh-walaupun hatinya menolak, dengan mengatakan justru yang bodoh adalah pembeli tersebut. Singkat cerita, lukisan kaca tidak dibeli dan pembeli lukisan tersebut malah menyarankan kepadanya, agar membuat lukisan dari kanvas saja dan tidak dari kaca.

Inilah sedikit gambaran kenyataan pahit yang dirasakan pelukis kaca tersebut, kejadian menggelikan dan terasa lucu tersebut kemungkinan hanya pernah berlaku pada satu dua pelukis kaca ditanah air termasuk teman penulis tadi, walau pada kenyataannya banyak juga pelukis kaca yang sampai hari ini tetap hidup dengan sejahtera, dari hasil karya lukis kacanya tersebut, seperti kesejahteraan hidup yang dialami para pelukis kaca di daerah Cirebon, komunitas pelukis kaca Nagashepa di Buleleng Bali, juga pelukis kaca di wilayah lain seperti di Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Magelang, Muntilan, Bantul, Surakarta, Kudus, Tuban, Madura, Pasuruan, Surabaya dan mungkin di tempat-tempat lain. Di Sumatera lukisan kaca juga tumbuh dengan baik, seperti dipraktekkan di Bengkulu (terutama Tebat Monok, Keban Agung, dan Batu Bandung), Medan, Banda Aceh, dan beberapa dan sebagainya.

Seni lukis kaca, diakui atau tidak, sebenarnya telah menjadi sebuah kenyataan sejarah, yang lahir dan merambah dibelahan dunia kita ini, taruhlah seperti berkembangnya lukis kaca di Italia, daratan China, Jepang, Iran, India dan termasuk di Indonesia. Sanento Yuliman pernah mencatat tentang tuanya sejarah seni lukis kaca di dunia, ia menuturkan bahwa lempengan kaca pertama ditemukan oleh orang Italia pada abad ke-14. Orang Italia ini pula yang menemukan cat untuk media kaca. Berkat temuan tersebut kemudian lahirlah karya-karya seni lukis kaca, yang berawal dari Italia kemudian menyebar ke berbagai negeri. Sampai pada abad ke-17 atau abad ke-18 lukisan kaca diperkirakan menyebar ke Iran, India, Cina, Jepang, dan kemudian ke Indonesia. Kenyataan sejarah inilah, yang menjadikan kekuatan bagi para pelukis kaca untuk tetap bertahan hidup dari kaca tersebut.

Di era zaman ini, dimana kesenian sangatlah bebas bergandengan tangan dengan media ungkap apa saja tanpa ada pembatasnya, sudah barang tentu dengan melihat kenyataan sejarah diatas, sebenarnya media kaca tidaklah berkelas rendah seperti yang dikatakan pembeli lukisan tersebut, justru diharapkan media kaca dapat ikut dimanfaatkan oleh perupa modern untuk melengkapi rupa-rupa media yang dewasa ini digarap oleh para kreator seni rupa. Artinya, sudah saatnya seni lukis kaca tidak dianggap sebagai karya kerajinan, karya yang ndeso.

Seni Lukis Kaca, telah Lama Membumi di Indonesia

Dari pembacaan sejarah, lukisan kaca belum diketahui secara pasti kapan mulai masuk ke Indonesia dan dari mana asal teknik melukis kaca, dan memang masih perlu diadakan penelitian lebih jauh. Senada dengan pendapat Sanento Yuliman, adalah Hardiman seorang peneliti lukisan kaca di Nagashepa, Bali juga mencatat perjalanan lukis kaca, dikatakan bahwa menurut Jerome Samuel peneliti dari Institut Nasional des Laungues et Civilisations Orientales, Paris, yang pernah melakukan penelitian lukisan kaca di Indonesia, memperkirakan bahwa lukisan kaca paling cepat masuk ke Indonesia pada dasawarsa terakhir abad ke-19. Menurutnya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca masih merupakan sejenis barang atau bahan yang mewah dan sangat mahal, rasa mewah terhadap bahan kaca itu terjadi baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk Cina dan Jepang. Jeremo Samuel pernah mencari data tentang kaca dalam arsip laporan tahunan VOC di Batavia, untuk kantor pusat di Amsterdam. Di dalam laporan itu, terdapat beberapa catatan tentang import barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Tapi VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, Cina, dan Jepang, Di Indonesia sendiri kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas.

Di Jawa, menurut Jerome Samuel, keberadaan lukisan kaca dapat dibuktikan dengan keikutsertaan Jat, seorang pelukis dari Kupang Praupan, Surabaya, yang ikut serta dalam Pasar Malam tahunan di Surabaya, baru pada tahun 1908. Keberadaan tersebut diabadikan dalam foto laporan acara tersebut. Hardiman juga menambahkan bahwa, ada cerita yang berbeda dengan Samuel, yaitu tentang lukis kaca dari pantai Kuta, Bali. Tersebutlah seorang perempuan cantik keturunan Cina. Perempuan nan jelita ini dinikahi laki-laki berkebangsaan Denmark, Mads Lange. Suatu hari, tahun 1884, perempuan cantik ini dilukis dia atas permukaan kaca oleh seorang pelukis Cina. Kemudian hasil lukisan kaca itu, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai lukisan kaca pertama yang ditemukan di Indonesia. Kini lukisan tersebut tersimpan di suatu museum di Denmark.

Sejarah lukisan kaca Indonesia, sebagian besar masih tersembunyi. Tetapi pada kenyataannya lukisan kaca di Jawa pernah mengalami masa jaya pada tahun 1930-an hingga akhir 1950-an adalah fakta yang kerap diungkap. Pada masa itu, lukisan kaca bertalian dengan tanda status sosial tertentu. Pemilik lukisan kaca adalah mereka yang sukses berdagang, telah naik haji, atau sekurang-kurangnya telah menikah. Lukisan kaca juga berfungsi sebagai penguat hubungan batin antara pemilik lukisan kaca dengan tokoh wayang dalam lukisan yang dimilikinya. Perlu diketahui tema-tema lukisan kaca yang dikoleksi oleh para orang kaya di Jawa, pada umumnya lukisan Hanoman, Kresna, Bratasena, Semar dan sebagian yang lain tema lukisan diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Selain itu juga ditemukan lukisan berupa dua pengantin, legenda para Nabi, lukisan masjid Demak, kaligrafi Arabeska dan sebagainya.

Dengan tema-tema tersebut lukisan kaca dapat berkembang dengan baik sampai tahun 50-an. Keberlanjutan tema yang disukai masyarakat masih baik, sampai awal tahun 70-an. Mulai tahun 70-an muncul nama-nama pelukis kaca yang cukup dikenal masyarakat, seperti Karto, Sastradiharjo (Sastra Gambar), Maryono, Yazid, Maruna, Sudarga, Harun, Rastika dan sebagainya. Selain itu, belakangan muncul nama yang berasal dari kalangan kampus seni juga muncul, seperti Haryadi Suadi, Suatmaji, AB Dwiantoro, Arwin Hidayat, Ismoyo, Supono, Paikun, Mahyar, Murjiyanto, Pracoyo, Priyo Sigit, Rohman, Subari dan sebagainya, yang terus ikut menyemarakkan seni lukis kaca sampai jelang tahun 90-an.

Sementara perkembangan seni lukis kaca di Bali, juga kurang lebih sama seperti di daerah lain di Indonesia. Di Bali seni lukis kaca dapat dilacak keberadaannya di wilayah Buleleng, tepatnya di Desa Nagashepa. Dari sana lahir nama-nama besar pelukis kaca seperti Jro Dalang Diah (pendiri komunitas pelukis kaca Nagashepa), I Kadek Suradi, I Nengah Silib, I Ketut Samudrawan, dan I Ketut Santosa dan sebagainya. Dari aspek kenyataan sejarah inilah lukis kaca berjalan ke arah waktu kedepan tiada henti dengan kekuatannya sendiri. Hardiman menuliskan tentang kekuatan lukisan kaca dengan bernas sebagai berikut; Seni lukis kaca adalah benda yang menyimpan muatan hubungan manusia dengan Tuhan. Ia adalah media tentang bagaimana menjalani kehidupan yang benar. Ia adalah refleksi kehidupan manusia. Tegasnya, ia adalah teks budaya kita hari ini. Ia adalah bening. Walaupun, seni lukis kaca yang bening secara fisik dan, terutama, bening secara muatan itu, sampai kini masih belum dianggap berkelas tinggi dan tetap termarjinalkan. Jauh dari pisau-pisau analisis para ktitikus seni, jauh dari gembar-gembor media masa. Jauh dari genggaman para kolektor kakap. Jauh dari angka-angka di Balai Lelang. Lukisan kaca, sekalipun bening, tetap hening. Ia kesepian di tengah-tengah gemuruhnya pasar wacana dan wacana pasar, tetapi tetap hidup membumi walau tidak gemuruh.

Seni Lukis Kaca Indonesia, Mengabadikan Nilai Spiritual dan Legenda Rakyat Jelata

Sanento Yuliman pernah bercerita di beberapa tulisannya mengenai keberadaan seni lukis kaca, bila seseorang mengadakan perjalanan ke wilayah tertentu di Indonesia, ketika di wilayah tersebut ia menemukan seni lukis kaca, berarti ia telah menemukan kehidupan rakyat jelata yang sesungguhnya, sekaligus ia telah menemukan cerita legenda rakyat dan nilai-nilai spiritual yang menjadi pegangan hidup yang bernilai luhur, menurut ukuran masyarakat tersebut. Lukisan kaca telah menjadi milik kelompok rakyat yang membuat dan menikmatinya. Sebab sekali lagi citra yang digambarkan dalam seni lukis kaca adalah bagian dari khayal dan angan-angan kolektif rakyat jelata.

Salah satu nilai-nilai luhur dan melegenda, misalnya banyaknya lukisan kaca Indonesia yang berhubungan dengan ajaran-ajaran yang dianut masyarakat, yang kebetulan mereka dibesarkan oleh ajaran Islam. Seperti, nilai spiritulitas kaligrafi Arab memang terdapat di mana-mana, kecuali di daerah Bali, yaitu Buraq yang menurut ajaran Islam tradisional merupakan gambaran kendaraan Nabi Muhammad ketika di Isra dan Mirajkan Allah SWT. Buraq diimaginasikan berbentuk kuda bersayap dan berkepala manusia merupakan lukisan yang banyak digemari didaerah Madura, Kudus, Cirebon, Bengkulu. Begitu pula gambar masjid dapat ditemukan di Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Bengkulu. Gambar Macan Ali, juga menjadi nilai legenda kaum Muslimin tradisional, yaitu berupa kaligrafi kalimah syahadat yang membentuk sosok seekor harimau mendekam, cukup diminati di Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon. Di samping gambar-gambar tersebut, di Jawa, tema seni lukis kaca yang melegenda adalah penggambaran tokoh-tokoh wayang kulit, seperti ditemukan di Pasuruan, Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon.

Khususnya seni lukis kaca Cirebon, misalnya, sangat kaya dengan nilai-nilai legenda dan spiritual, misalnya tema paksi naga liman, yaitu gambar kereta berbentuk campuran sosok burung, naga, gajah dan banteng, gambar insan kamil, berbentuk motif bangunan di atas motif wadasan, berisi kaligrafi Arab, penunggang kuda, Gunung Jati (bukit, dengan motif wadasan), perahu (jalinan huruf Arab/Arabeska), malaikat pengawal Nabi, gunungan (terbentuk dari jalinan huruf Arab). Rupanya di Cirebon telah terjadi sinkretisme antara Islam dan Hindu, hal ini dibuktikan dengan banyak terdapat kaligrafi Arab yang digubah menjadi sosok-sosok wayang: Syiwa (Batara Guru), Ganesha, Semar, Togog, Narada, dan lain-lain. Di Cirebon para pelukis banyak yang hidup di lingkungan keraton, walau sebagian besar tersebar di daerah kabupaten bagian selatan, barat, dan utara. Lukisan kaca dapat dilihat di Keraton Keprabonan, Kacirebonan, Kasepuhan, dan Kanoman, juga dalam beberapa koleksi di Lemah Wungkuk. Bukan hanya di sana, tetapi juga tengahan di daerah kabupaten, di pedesaan (Losari, Ambulu, Kali Rahayu, Sumber, Trusmi, Gegesik, Surakerta, Kali Tanjung, Clancang, Gunungjati, Klayan, Kapetakan, Kali Anyar).

Nilai-nilai spiritual dan legenda ikut memperkokoh posisi seni lukis kaca sampai dewasa ini. Memang bertahan pada ranah tradisional, tetapi sebenarnya nilai-nilai tersebut secara non-visual masih aktual. Di sinilah sebenarnya kekuatan seni lukis kaca tersebut, dan memang beda dengan seni rupa modern yang cenderung ngepop. Berkenaan dengan kekuatan seni lukis kaca, yang bertemakan mengangkat spiritual dan legenda tersebut, J. H. Hooykaas mengingatkan kita, bahwa karya-karya seni visual kita bermuatan nilai-nilai yang memang diwariskan secara turun temurun.

Menurut Hooykaas, pada tahun 1937 saat konggres philology, yang di dalamnya membahas tentang seni lukis tradisional termasuk lukis kaca, Prof. Bolkenstein, salah satu antropolog Belanda memberikan penjelasan bahwa lukisan kaca tradisional memang bertema spiritual dan legenda masyarakat utamanya kaum Muslim Jawa, antara lain: ajaran tentang budi pekerti yang divisualisasikan melalui cerita wayang, visualisasi pengantin Jawa Islam saat akad nikah, gambar-gambar legenda Islam, seperti cerita Sultan Agung dan terbunuhnya Jendral De Kock, kisah Nabi dan Rasul, juga kisah-kisah spiritual legenda masyarakat Jawa.

Mengenai cerita wayang pemvisualan nilai-nilai spiritual Islam Jawa pada lukisan kaca, berupa adegan lakon Dewa Ruci, seperti dialog Bratasena dengan Dewa Ruci, Bratasena membunuh Naga Amarahnya, Bratasena mencari susuhing angin dan sebagainya. Pada tema pengantin baru lukisan divisualisasikan dengan dua pengantin (wanita dan pria) dengan pakaian lengkap dalam posisi duduk timpuh, layaknya orang sedang sembahyang. Hal itu mengisyaratkan bahwa menjadi pengantin, haruslah diniati ibadah, ngabekti kepada Tuhan Yang Esa. Pengantin pria memakai kuluk (kopyah/peci), sedangkan pengantin wanita memakai kemben di badannya lengkap dengan cunduk mentul, sisir di kepalanya. Keduanya diluluri atau diblonyo lulur boreh berwarna kuning. Model visual, mirip pengantin baru juga dijadikan tema yang menarik, kemiripan tersebut karena juga berbentuk dua sosok wanita dan pria. Tetapi tidak berpakaian lengkap, hanya memakai kemben, dua sosok ini sering disebut Loro Blonyo (visualisasi dari Dewi Sri dan Sri Sadana). Lain lagi dengan tema masjid, masjid-masjid yang sering divisualkan yaitu Masjid Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat, digambarkan bahwa Sunan Tembayat, bersama isterinya bermaksud menuju masjid untuk mensyahadatkan Syeh Domba. Sedangkan para wali Sanga, yang sering dijadikan tema lukis kaca, adalah Sunan Kalijaga, Ki Ageng Semarang, Baginda Hidir. Yang tidak kalah menarik adalah pemvisualan cerita Nabi Suleman dan Kancil, aneka binatang asuhan Nabi Suleman berkumpul untuk mendapat wejangan tentang tugas para makhluk ciptaanNya.

Kini Seni Lukis Kaca, Hidup Merana di Tengah Seni Rupa Modern Indonesia

Seperti diungkapkan Hardiman, bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1970-an pasar lukisan kaca masih Berjaya dan banyak diminati; dibeli, dikoleksi oleh kelompok petani kaya, yang mempunyai sawah berhektar-hektar. Para petani yang kaya itu umumnya tinggal di desa-desa di wilayah Kabupaten. Pada waktu itu, para pelukis kaca kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan, bahkan kelurahan. Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa dimana para pelukis kaca berkarya, mereka memesan lukisan kaca dengan tema-tema yang sesuai dengan permintaan. Inilah keadaan, dimana komunikasi antara perupa dan petani (masyarakat) menjadi aktif, sehingga untuk memudahkan bagi pelanggan, maka para pelukis membawa karya-karyanya ke pasar, untuk dijualnya didekatkan dengan pembelinya.

Pendekatan komunikasi melalui pasar ini terkait dengan citra status sosial petani (pasar) yang menjadi meningkat dengan memajang lukisan kaca di rumahnya. Khususnya di Bali, lanjut Hardiman, pasar itu kini adalah cerita lama yang telah mati. Pasar seni lukis kaca lama itu kini diganti dengan pasar baru, yang hanya diminati orang asing, itu pun orang-orang yang memang mempunyai perhatian terhadap seni tradisi, para peneliti, antropolog, atau seniman yang punya kepentingan khusus dengan lukisan kaca. Dan sedikit kaum intelektual lokal yang mencintai tradisi, yang kemudian mengoleksi lukisan kaca barang satu atau dua lembar saja. Dan pasar baru itupun jumlahnya sungguh amat sedikit, bisa dihitung dengan jari. Di Bali, hingga saat ini komunitas seni lukis kaca yang masih hidup hanyalah di desa Nagasepaha, Buleleng. Di desa yang terletak tujuh kilometer ke arah Timur dari kota Singaraja itu, terdapat belasan pelukis kaca yang aktif berkarya juga berpameran. Namun demikian, seni lukis kaca merekapun suatu saat akan terpinggirkan oleh arus utama seni lukis masa kini. Bahkan medan sosial seni rupa Bali cenderung memosisikan seni lukis kaca sebagai seni nista, seni kelas dua, milik para pengrajin belaka.

Demikian pula keadaan itu, terjadi juga di hampir seluruh pusat-pusat pembuat lukis kaca di Jawa, sebagian besar mereka beralih profesi untuk menjadi petani buruh, merantau di kota atau tetap membuat lukisan bila ada pesanan. Memang ada usaha untuk melestarikan lukis kaca, khususnya lembaga pendidikan seni dengan membuka mata pelajaran seni lukis kaca, seperti di beberapa sekolah menengah seni rupa dan kerajinan, bahkan lembaga pendidikan tinggi seperti ISI Solo, juga mengkhususkan kearah pelestarian seni tradisi, termasuk mata kuliah lukis kaca. Tetapi usaha-usaha tersebut, belum membuahkan gaung yang mem-booming, walau telah membumi di persada Nusantara.

Pengunci Kalam

Seperti diisyaratkan oleh peribahasa Jawa lakon wolak waliking zaman, usaha membangkitkan kembali keberadaan seniman lukis kaca dari kemeranaan dan kesunyian, perlu diacungi jempol utamanya, usaha yang dilakukan oleh Bentara Budaya Yogjakarta (2000), dan Bentara Budaya Jakarta (2004) dengan memamerkan karya pelukis kaca yang berasal dari Jateng dan Yogyakarta, yaitu dari Wonosobo, Wonogiri, Solo, Magelang, Gunungkidul, Ciorebon, Bantul dan Bali, dengan tafsir dan interpretasi baru.

Salah seorang dewan kurator pameran, Ipong Purnomo Sidi menyatakan keyakinannya bahwa, pameran tersebut memang bertujuan untuk menjaga dan merangsang perkembangan lukisan di atas kaca yang cenderung kurang mendapat perhatian publik dibeberapa dasa warsa dewasa ini. Ipong, mengatakan bahwa, seni lukis kaca memang sebuah wilayah kesenian yang tidak populer di dunia global pada sekarang ini, walau untuk menjaga dan melestarikannya bukan perkara mudah. Namun, dalam kasus lukisan di atas kaca, di dalam kesunyian justru perlu ditumbuhkan sebuah usaha revitalitasi atau kebangkitan kembali sebuah karya lukis kaca yang meliputi pembaruan corak, gaya, dan tema, sehingga menghasilkan teknik gambar yang prima dan baru.

Memandang sebelah mata terhadap keberagaman lukisan kaca yang bertebaran di hampir seluruh wilayah Nusantara, merupakan bukti atas ketidakcintaan terhadap budaya asli Indonesia. Maka usaha dari mana dan siapapun, tentang penjagaan dan pelestarian atas masa depan seni lukis kaca di Indonesia, merupakan sebuah usaha yang perlu dicontoh dan perlu mendapatkan perhatian yang besar, agar seni lukis kaca, tidak punah dari bumi Nusantara, dan tidak terlindas oleh seni pop yang hari ini meraja. ***

Sebagian dari kita mungkin pernah mengenal apa yang dinamakan dengan lukis kaca. Ya, kesenian melukis kaca memang cukup banyak ditemui di berbagai penjuru bumi. Namun, bisa jadi yang satu ini cukup unik. Adalah lukis kaca Cirebon yang sampai detik ini pamornya nyaris tak pernah pudar diterjang berbagai gerakan seni modern meski ia kerap mengalami pasang surut.

Seni lukis kaca Cirebon sendiri merupakan salah satu jenis seni rupa yang telah berumur sangat tua. Konon, seni lukis kaca ini telah ada semenjak abad ke-17 pada masa panembahan ratu. Berkembangnya seni lukis kaca seiring dengan mulai masuknya agama Islam. Pada masa ini, lukis kaca digunakan sebagai sarana dakwah populer dengan cara dibuatnya lukisan kaca kaligrafi. Lebih jauh lagi, seni lukis kaca ini konon dibawa oleh para pedagang-pedagang dari negeri China. Oleh karenanya, selain Islam, pengaruh China cukup kuat melekat pada seni lukis kaca Cirebon.

Seni lukis kaca Cirebon memiliki keunikan tersendiri disebabkan teknik melukisnya yang tidak biasa yang kerap disebut dengan teknik melukis terbalik. Para pelukis kaca dari Cirebon kerap melukis di bagian belakang kaca dan dilakukan secara terbalik. Hal inilah yang kemudian membuat seni lukis kaca Cirebon dikenal bahkan sampai ke mancanegara. Dekade 80-an sampai 90-an dapat dikatakan sebagai masa kejayaan lukis kaca Cirebon. Toto Sunu, maestro lukis kaca Cirebon, menggebrak dengan lukisan kaca yang dibuat dalam ukuran sangat besar. Dengan mengandalkan nuansa dekoratif yang terasa hidup, lukisan kaca karta Toto Sunu banyak diincar oleh para kolektor. Hingga kini, teknik-teknik yang dilakukan oleh Toto Sunu dapat dikatakan menjadi kiblat para pelukis muda.

Satu hal yang pasti,kendala klasik yang kerap dihadapi oleh dunia kesenian tradisional juga menerpa seni lukis kaca Cirebon. Minimnya pangsa pasar yang dimiliki.Hal ini, seperti biasa, selalu dikarenakan minimnya publisitas serta kurangnya kemampuan mendapatkan bahan baku yang terjangkau. Meski demikian, sebagai salah satu karya seni, harus diakui seni lukis Cirebon memang memiliki keunikan tersendiri yang begitu kuat sehingga keberadaannya selalu dapat dinikmati berbagai kalangan. Lagipula, siapa yang bisa mengalihkan pandangan jika menemukan keindahan yang ditawarkan oleh seni lukis Cirebon. Ya, ia memang tidak pernah berhenti bernafas. Sekarang dan di masa depan, tidak akan pernah berhenti bernafas.

LUKISAN KACA KHAS CIREBONKonon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon, Lukisan Kaca sangat terkenal sebagai media dakwah Islam yang berupa Lukisan Kaca Kaligrafi dan berupa Lukisan Kaca Wayang.Pengaruh Islam yang disebarkan oleh para wali juga menjadi ciri khas dari lukisan kaca Cirebon. "Bahkan setelah pengaruh China, gambar-gambar yang dihasilkan seniman tradisional selalu berhubungan dengan Islam seperti gambar kabah, masjid dan kaligrafi berisi ayat-ayat Alquran atau Hadis," ujarnya.Adapun pengaruh cerita wayang berasal dari pertunjukan wayang yang diperagakan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Kuatnya kepercayaan tokoh wayang yang baik, membuat para pengrajin lukisan kaca selalu menampilkan tokoh seperti Kresna, Arjuna, Rama, Lesmana, dan lain-lain.Sejak itu lukisan kaca dikenal orang sebagai media dakwah dengan munculnya Lukisan Kaca Kaligrafi Islam, di mana pada setiap lukisan kaca akan banyak ditemui tulisan yang berasal dari cuplikan Ayat Al Quran dan Hadist.Semakin lama Lukisan Kaca Cirebon semakin berkembang dengan keragaman objek yang ditampilkan, objek Wayang dan objek Batikan makin mewarnai desain Lukisan Kaca Cirebon. Pada abad ke-19, lukisan kaca Cirebon cenderung mengambil tema wayang, kereta singa barong, paksi naga liman, pola mega mendung, kaligrafi Islam, gambar masjid, buroq, dan sejenisnya.Sekilas, lukisan kaca khas Cirebon mungkin tampak seperti lukisan yang dibingkai dan dilapisi kaca biasa. Padahal, lukisan ini justru dilukis di atas kaca. Berbeda dengan pelukis kaca dari Jateng (Solo) yang biasa melukis di atas kaca dari depan dan mengandaikan kaca layaknya kanvas, pelukis kaca dari Cirebon justru melukis kaca dari belakang. Menggunakan teknik lukis terbalik dengan mechanical pen, lukisan ini memang unik dan membutuhkan keahlian tersendiri. Cat yang digunakan untuk melukis di kaca ini sama seperti cat untuk melukis di media kanvas. Pelukis kaca ini menempatkan semacam kayu panjang di antara lukisannya, untuk menyangga tangannya agar tidak menyentuh lukisan yang baru dipoles.Namun, dalam era persaingan globalisasi, lukisan kaca kini semakin tersisih seiring membanjirnya produk-produk lain yang lebih modern. Lukisan kaca harus bersaing ketat untuk merebut perhatian konsumen. Saat ini, tidak mudah untuk menemukan penjual lukisan kaca. Beberapa penjual bisa ditemui di emperantema dan gaya lukisan kaca Cirebon dipengaruhi budaya China, Islam dan cerita wayang. Seni tradisi melukis dengan media kaca sebenarnya sudah berkembang beberapa abad yang lalu, dan mengalami perkembangan pasang surut, di mana kemudian para senimannya menemukan beberapa gaya gambar kaca yang khas. Konon lukisan kaca ini berasal dari China yang dibawa oleh para pedagang ke wilayah Cirebon, namun secara pasti tidak ada yang mengetahui sejarahnya.

PESAN DIBALIK KACAPESAN DI BALIK KACALukisan Kaca adalah sedikit dikenal bahasa Indonesia bentuk seni. Secara harfiah GLASS PAINTING Itu berasal di pantai utara Jawa barat sekitar abad ke Lima Belas, dan berkembang mengalami pertumbuhan pada awal abad ke 19 dan menjadi fitur umum dalam arsitektur dekorasi. Setelah dijual dari pintu ke pintu, kualitas, gaya dan nilai lukisan kaca terus meningkat. Hari ini, lukisan kaca menikmati kebangkitan dengan tekhnik-tekhnik dan materi inovatif membuatnya semakin populer.Pelukis kanvas terbaik dunia pun akan ditantang untuk melukis diatas kaca. Dibutuhkan waktu lama untuk belajar, bukan karena melibatkan paling tidak melukis gambar secara terbalik. Sebagai karya yang dilukis dibagian belakang kaca, bagian depan desain adalah lapisan pertama terlihat sebagai bagian hasil akhir karya.Awalnya, artis menggunakan rincian rumit jejak tinta hitam, dengan gambar yang sudah jadi diletakkan dibawah kaca panduan yang akan dilukis. Mantap kesabaran dan yang pasti keahlian tangan sangat penting dalam pembuatan lukisan kaca. Tinta hitam memastikan rincian benda tetap berbeda warna yang hidup setelah diterapkan. Cat khusus biasanya digunakan untuk rincian gambar, menjamin ketahanan dan warna permanen yang kuat dalam lukisan. Melukis di latar depan pertama, dasar dari latar belakang adalah hal terahir yang dikerjakan sang artis.Jenis-jenis lukisan yang mengambil tema wayang, kereta kencana singa barong, paksi naga liman, pola mega mendung, kaligrafi islam, gambar mesjid, bouraq dan sejenisnya. Lukisan kaca sendiri tumbuh di Cirebon dengan cepat tidak hanya sekedar berfungsi sebagai elemen pegangan saja, tapi sudah menyatu dengan tradisi budaya setempat dan sebagai media pengekspresian para pelukisnya sehingga karya mereka berubah menjadi pendokumentasian kehidupan seni budaya sosial keagamaan dan spiritualitas masyarakat Cirebon.Sejauh ini, Cirebon diapit oleh 2 arus kebudayaan Jawa dan Pasundan dianggap sebagai wilayah penting mampu mewujudkan daya sinkretisme ciri kemampuan tumbuh kembang kebudayaan Jawa dan Sunda.. Cirebon telah menemukan karakter dan ciri khas kebudayaanya sendiri yang seolah olah menolak orientasi ke pusat kebudayaan Jawa sekaligus menyeleksi seperlunya pengaruh kebudayaan Sunda yang dinilai oleh para beberapa ahli, masyarkat Cirebon memilki etnik tersendiri. Ditambah dengan beberapa pengaruh dari luar seperti China, India, Eropa dan terutama agama Islam. Semakin memperkuat dan mempertajam nilai-nilai kebudayaan Cirebon yang membentuk jati dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada bentuk-bentuk dan pola hias yang mempengaruhi seniman setempat dalam mengekspresikan diri lewat lukisan diatas kaca.Corak gaya apalagi tema terus mengalami pertumbuhan, pembaruan juga pergeseran. Namun berangkat dari satu titik bernama kreatifitas. Kreatif dalam mengolah, menyeleksi, menuangkan ide, mengeksekusi dalam tehnik gambar yang prima, menunjukan lukisan diatas kaca terus mengalami perkembangan. Mungkin tepat dikatakan saat ini muncul semangat revivalitas ( kebangkitan kembali ). Lukisan diatas kaca yang berkembang terengah-engah dan kembang kempis karena kurangnya kegiatan pameran lukisan jenis ini dan minimnya promosi dan apresiasi. Padahal dibalik selembar kaca ini kita bisa menikmati keelokan garis, warna, dan pola ragam hias yang memukau.( Komunitas Revitalisasi Karya Tradisi Budaya Cirebon )

LUKISAN KACA

LUKISAN KACA - GLASS PAINTINGMASIHKAH PRODUK KERAJINAN BISA BERSAING?Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China (Asia China Free Trade Agreement-ACFTA), harus disikapi dengan bijak. Karena pintu telah dibuka lebar, serbuan produk china akan banyak memenuhi pasar dalam negeri. Namun kita tetap harus punya sikap yang paling bijak, jika tidak demikian justeru mendorong kita untuk menjadi bagian dari stress bisnis. Seperti apa sebetulnya stress bisinis itu ? yang paling menonjol adalah meninggalkan usaha sendiri dengan produk sendiri beralih menjadi penjual produk orang. Nah jika sudah demikian, maka dipastikan produsen kerajinan produk etnik akan menemui titik kemandegan. Untuk itu bersikaplah bijak, persaingan boleh saja terjadi. Namun belum berarti seluruh produk sendiri akan terkikis habis oleh produk china. Apa yang harus kita lakukan jika kita merupakan bagian dari pengusaha kecil kerajinan etnik?Yang pertama sekali adalah mengamati pangsa pasar yang masih memungkinkan untuk terus dipertahankan. Pangsa pasar kerajinan etnik sangat potensil dilingkungan daerah sendiri, karena pemahaman terhadap produk etnik biasanya akan sangat besar ditempat dimana produk tersebut dibuat. Pertahankan dengan melakukan peningkatan kualitas produk, promosi langsung kesasaran konsumen serta terus berupaya melakukan kontak langsung untuk mendapatkan keinginan konsumen.Yang kedua adalah melakukan diversivikasi produk yang mengarah kepada produk yang berorientasi pasar. Sangat penting untuk mencoba menciptakan produk baru yang mengarah kepada produk fungsional, sehingga produk kerajinan kita akan menjadi produk pilihan konsumen.Yang terakhir adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang latar belakang sejarah dari kerajinan yang kita buat. Buat ringkasan cerita tentang sejarah singkat produk tersebut, sebagai contoh buat sejarah singkat topengcirebonuntuk produk kerajinan Topeng dan begitu seterusnya untuk produk Lukisan Kaca. Ringkasan singkat cerita tersebut bisa ditempelkan dibagian belakang yang dapat dibaca oleh konsumen.Ketiga opsi diatas, setidaknya akan membuat nilai lebih pada produk kerajinan etnik yang kita tawarkan ke konsumen. Jangan anggap remeh tentang peningkatan kualitas produk, karena hal ini dapat menjadikan konsumen menjadi kapok untuk membeli produk selanjutnya.

Lukisan Kaca Cirebon Warisan Budaya Wali SongoSeptember 15, 2010 at 7:38pmLukisan Kaca Cirebon Warisan Budaya Wali Songosumber : http://erawisata.com/cinderamata/cinderamata/lukisan-kaca-cirebon-warisan-budaya-wali-songo.htm

Rabu, 11 Februari 2009 15:06 DDMPerkembangan lukisan kaca Cirebon tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di tanah Jawa. Konon Seni Lukis Kaca ini sudah dikenal sejak abad 17 Masehi. Khususnya di daerah Cirebon. Pada jaman pemerintahan panembahan Ratu di Cirebon, lukisan kaca digunakan sebagai media dakwah agama Islam. Oleh sebab itu bentuk lukisan yang dikenal pada waktu itu hanya dua jenis, yakni berupa kaligrafi, dan gambar wayang.

Seiring dengan pertumbuhan seni lukis kontemporer lainnya, lukisan dengan media kaca ini mulai dikenal masyarakat luas pada tahun 1970, dan sempat booming tahun 1980 -1990. Sang maestro lukisan kaca Cirebon Toto Sunu membuat gebrakan dengan lukisan kaca super besar dan nuansa dekoratif yang begitu hidup. Maka lukisan kaca makin dikenal sebagai eksistensi cinderamata Spesifik khas kota Cirebon.Lukisan kaca kota udang ini di lukis dengan tekhnik melukis terbalik, sangat kaya akan gradasi warna dan nuansa dekoratif yang menawan serta menampilkan ragam hias ornament dan motif Mega Mendung serta Wadasan, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Batik Cirebon. Kreatifitas seniman ini kemudian menambah jenis lukisan kaca Batik Cirebon dan jaman sekarang dikenal pula lukisan kaca oriental atau umum yang biasanya berupa bunga, wajah, pemandangan dan lain-lain.Tahapan tekhnis melukis di kaca ini agak berbeda dengan seni lukis yang lain, pertama sketsa dibuat pada kertas kemudian ditempel pada media kaca dan melukis di bidang kaca sebelahnya, ini yang dinamakan dengan tekhnik melukis terbalik, kata Dian, pendiri sekaligus pemilik Sanggar Alam Seni Lukis Kaca Cirebon.Koas yang digunakan minimal 5 buah, mulai dari yang halus sampai yang kasar atau besar. Untuk koas yang paling halus pelukis menggunakan bulu kucing, dan bulu ayam untuk koas paling kasar. Seniman lukisan kaca biasanya membuat sendiri peralatan melukisnya. Sebagai finishing lukisan kaca digunakan tekhnik tembak atau airbrush guna memunculkan gradasi warna dan kesan pecah-pecah yang menarik, bahan baku yang dipakai melukis adalah cat minyakCiri khas lukisan kaca Cirebon adalah Kaligrafi, Wayang dan Batik Cirebon, ada 42 jenis kaligrafi peninggalan para Wali atau Sunan, khusunya Sunan Gunung Jati, semuanya mempunyai makna dan tujuan yang berbeda. Salah satunya adalah Macan Ali berupa tulisan arab dengan lafadz dua kalimat syahadat, kaligrafi ini bertujuan memberikan semangat atau memotivasi pemiliknya agar selalu ingat kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.Contoh wayang adalah lukisan Ganesha, gambar dua gajah yang satu membawa pedang dan satunya lagi membawa gada. Lukisan ini dipercaya menjaga kekuatan jahat, biasanya di pajang di depan pintu rumah. Untuk lukisan wayang berdasarkan pesanan bagi orang yang percaya dunia perwayangan. Dian menyarankan, lukisan karakter wayang yang dipesan disesuaikan dengan hari weton atau kelahiran si pemesan. Misalnya, kelahiran hari Senin disarankan memilih tokoh Arjuna, Selasa cocok dengan Bima, Rabu Semar, Kamis Hanoman, Jumat Prabu Kresna, Sabtu Baladewa, Minggu Yudistira.Masing-masing membawa sifat dan kepribadian yang berbeda, dan diharapkan membawa pengaruh baik bagi pemilik lukisan apabila pasanannya berdasarkan rambu-rambu weton di atas. Sanggar Alam milik Dian Mulyadi yang berdiri sejak tahun 1997, menawarkan dua harga yang berbeda. Untuk harga jual barang yang sudah ada, ukuran kaca; 20 x 30 cm dan bingkai 6 cm Rp.80.000, ukuran 30 x 40cm Rp.150.000, 40 x 50cm Rp.300.000, 55 x 75cm Rp. 450.000 dan 120 x 70cm ukuran bingkai 8 cm Rp.1.000.000 pembelian lebih dari 5 unit mendapat potongan 10 %.Sedangkan untuk harga pesanan dikenankan biaya tambahan, biasanya mencapai tiga kali lipat harga produksi. Dalam proses pengerjaan pesanan khusus di butuhkan ritual tertentu dan memakan waktu sedikit lama, ujar Dian.Sanggar-sanggar lukisan kaca Cirebon semua terpusat di daerah Sunyaragi Cirebon, begitu pula dengan sanggar Dian yang bermarkas di Jl. Karang Jalak Gang Jalak I RT.01/06 No.19. Sunyaragi berasal dari kata Sunya yang artinya Sunyi atau Sepi dan Ragi artinya raga, jadi Sunyaragi adalah tempat menyepinya raga yang ingin membersihkan diri, dikenal sebagai tempat bertapa. Sebagian besar pelukis kaca Cirebon pernah melakukan pembersihan diri agar karya lukisannya mempunyai nilai-nilai yang lebih dari pada sekedar lukisan.Setiap daerah mempunyai tradisi dan kepercayaan yang berbeda, ini menandakan bahwa budaya Indonesia beragam. Terlepas dari semua itu, fenomena lukisan Cirebon ini merupakan budaya, sebuah karya seni bangsa yang harus di jaga dan diwariskan kepada anak cucu kita. Dan dengan pernah dieksportnya lukisan kaca Cirebon ke Korea, Belanda dan Dubai membuktikan bahwa bangsa Indonesia kaya akan budaya.