SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 2010-2018 TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Yuris Prudisia Herti Dwi Arningrum NIM. 15406244020 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2019 i
166
Embed
library.fis.uny.ac.idlibrary.fis.uny.ac.id/contoh/tas.pdf · SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 2010-2018 TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 2010-2018
TUGAS AKHIR SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh:
Yuris Prudisia Herti Dwi Arningrum
NIM. 15406244020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
i
SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT 2010-2018 Oleh:
Yuris Prudisia Herti Dwi Arningrum
15406244020
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang sekolah abdi dalem yang dilaksanakan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 2010-2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Konsep pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX; (2) Sistem pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat; (3) Implementasi Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penelitian ini menggunakan penelitian historis menurut Kuntowijoyo yang terdiri dari 5 tahap. Pertama, pemilihan topik yang berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Kedua, mencari dan mengumpulkan sumber yang sesuai dengan tema penelitian. Tahap ini disebut sebagai heuristik. Ketiga, kritik sumber yang terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal. Keempat, interpretasi yaitu upaya penafsiran sumber sejarah. Terakhir, historiografi atau penulisan hasil penafsiran dari sumber sejarah dalam bentuk karya ilmiah.
Hasil dari penelitian ini ialah (1) Konsep pendidikan asli Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat selama masa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX yang
terdiri dari pendidikan yang dikelola oleh karaton (formal dan non formal) dan pendidikan dikelola oleh masyarakat (2) Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem menerapkan
sistem pendidikan Karaton. Kurikulum di sekolah ini meliputi mata pelajaran bahasa (Bagongan, Daerah/Jawa), membaca aksara Jawa, menyanyi tembang (lagu jawa), menulis aksara jawa, sejarah, filsafat, etika (tata cara berpakaian, bertata krama, dan
cara berjalan), keagamaan, aturan-aturan untuk abdi dalem, dan berbagai upacara adat, tradisi di karaton. Penerimaan murid untuk Sekolah Pawiyatan adalah para abdi
dalem yang ingin menjadi abdi dalem atau abdi dalem yang sebelumnya belum mendapat pawiyatan. Guru-guru yang mengajar terdiri dari para abdi dalem dan
keluarga raja. (3) Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada 15 Oktober 2010. Sekolah ini menerapkan dan melanjutkan model pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I agar tetap
menjaga dan melestarikan budaya Jawa sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal DIY yakni filosofi hamemayu hayuning bawana, dan ajaran moral sawiji, greget, sengguh,
ora mingkuh serta semangat golong-gilig bagi semua orang, termasuk para abdi dalem agar menjadi agen pelestari budaya.
Kata kunci: Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
iv
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, skripsi ini ku persembahkan kepada
Keluargaku yang senantiasa menyayangi, mendidik, dan mendoakan setiap saat
Serta
Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta dan segenap sahabatku
vi
MOTTO
Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.
(Q.S. Al-Insyirah : 5)
Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir, semakin aku
banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apapun.
(Voltaire)
Menjalani hidup disertai dengan doa, usaha, dan pantang menyerah. Jadikan masa
lalumu lebih bermakna, sedangkan masa depanmu jadikanlah sumber kekuatan.
(Penulis)
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sekolah
A. Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dari masa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX .................................................................................... 29
1. Pendidikan Dikelola Karaton ....................................................................... 29
2. Pendidikan Dikelola Masyarakat ................................................................ 36
B. Sekolah-sekolah Asli Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ..................... 40
1. Sekolah Tamanan ............................................................................................ 42
2. Sekolah Habirandha ....................................................................................... 45
3. Sekolah Macapat ............................................................................................. 46
BAB III. SISTEM PENDIDIKAN SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM
18 Fatchor Rahman, Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; Sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah, (El Banat, Volume 7 Nomor 1 Januari-Juni 2017), hlm. 139.
16
a. Pemilihan topik
Pemilihan topik menurut Kuntowijoyo sebaiknya berdasarkan
kedekatan emosional atau kedekatan intelektual.19
. Kedekatan emosional
penting mengingat seseorang yang menulis sejarah akan bekerja lebih
sungguh jika menulis tentang topik yang disenanginya. 20
Kedekatan
emosional penulis terhadap tema penelitian ini karena berdasarkan tempat
tinggal penulis yang berada di sekitar lingkungan karaton dan mempunyai
keluarga yang berlatarkan profesi sebagai abdi dalem semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII. Hal ini memicu keinginan penulis untuk
meneliti pendidikan yang dilaksanakan di karaton saat ini. Selain itu,
penulis juga ingin menambah referensi terkait pendidikan khusus yang
dilaksanakan di dalam karaton.
Pemilihan topik juga didasarkan pada kedekatan intelektual.
Kedekatan intelektual dilakukan dengan cara mencari informasi yang
berhubungan dengan topik yang akan dikaji. Kedekatan intelektual
mendorong penulis untuk mencari berbagai sumber dari berbagai referensi
sepeti media cetak, media elektronik dan referensi lainnya. Di samping itu,
penulis juga merupakan mahasiswa pendidikan sejarah dan telah menempuh
mata kuliah Sejarah Pendidikan. Kedekatan intelektual maupun emosional
harus dimiliki oleh seorang peneliti sejarah dalam melakukan penelitian.
19 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 91.
20 Ibid., hlm. 92.
17
Pemilihan topik ini akan mempermudah penulis dalam perumusan
masalah yang akan dikaji oleh penulis. Alasan khusus mengambil tema
Pratelan Wentene Pasarta Pamucalan Aksara Jawi tahun 2018 KHP Widya Budaya.
Wawancara dengan K.R.T Jatiningrat selaku panitia penyelenggara pawiyatan dan penghageng (pimpinan Tepas Dwarapura) Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
K.R.T Rintaiswara selaku pengajar Pawiyatan Aksara Jawa.
M.P Yudomanggolo selaku murid Pawiyatan Abdi Dalem.
M.B Yudoharnowo selaku murid Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian berupa buku-
buku tentang awal mula adanya sekolah pawiyatan, sejarah pendidikan di
Yogyakarta dan perkembangannya, tambahan jurnal maupun makalah-
makalah dari hasil penelitian sejarah, buku-buku pendekatan sosiologi
26
Sebagai sumber sejarah, saksi mata meliputi pelaku/orang yang terlibat dalam
sebuah peristiwa, orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa namun melihat dengan mata kepala sendiri, dokumen-dokumen (arsip, catatan perjalanan, risalah sidang, daftar hadir peserta, daftar anggota organisasi, surat keputusan, dan sebagainya) atau peninggalan lain yang dibuat pada waktu yang sama dengan terjadinya peristiwa. Lihat: Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak 2008), hlm. 44.
20
maupun budaya. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penulisan
ini antara lain:
Anonim, dkk. (1956). Kota Jogyakarta 200 tahun (7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956). Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Yogyakarta.
Anonim. (2011). Monarki Yogya Inkonstitusional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Erwin Edhi Prasetya dan Hariadi Saptono. (2011). Monarki Yogya Inkonstitusional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Anonim. (2006). Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat
Studi Kebudayaan UGM.
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. (2017). Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Riyadi Goenawan dan Darto Harnoko. (2012). Mobilitas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad Ke-20: Suatu kajian Sejarah Sosial. Yogyakarta: Ombak.
Sumintarsih dan Ambar Adrianto, Dinamika Kampung Kota Prawirotaman Dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Kritik Sumber (Verifikasi)
Kritik sumber yaitu kegiatan meneliti apakah jejak-jejak itu sejati,
baik bentuk maupun isinya, sehingga benar-benar merupakan fakta yang
dapat dipertanggung jawabkan. Kritik sumber dilakukan dengan dua cara
yakni kritik eksternal dan kritik internal.
21
1) Kritik Eksternal
Kritik eksternal berkaitan dengan uji keotentikan sumber yang
bertujuan untuk mengetahui keaslian sumber. 27
Kegiatan ini dilakukan
dengan menilai keaslian sumber dari tampilan luar/fisik sumber seperti
bahasa, tulisan, kertas, dan sebagainya. Adapun keadaan sumber Arsip
Pamucalan Aksara Jawi memiliki bentuk dan ukuran kertas yang
bermacam-macam jenis ukurannya sehingga belum disamakan jenis kertas
maupun ukurannya agar mempermudah pembaca maupun peneliti. Selain
itu, dalam mengatur arsip dokumen atau surat masih belum teratur sesuai
dengan abjad dan jenis dokumen hanya saja sebagian sudah urut
berdasarkan tahunnya. Arsip dan dokumen memakai bahasa jawa krama
dan sebagian menggunakan bahasa bagongan.
2) Kritik Internal
Kritik intern merupakan kebalikan dari kritik eksternal, kritik
internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek
“dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian.28
Kritik sumber ini menjadi
tolok ukur penulisan penelitian “Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningat 2010-2018”. Kritik internal digunakan untuk
menguji kebenaran informasi yang ada dalam surat dokumen. Kebenaran
27 Ibid., hlm. 77.
28 Ibid., hlm.143.
22
dari informasi dapat dilihat dari latar belakang penulis sumber, persepsi
tehadap suatu peristiwa, adat, kebudayaan, agama dan lain sebagainya. d.
Interpretasi
Interpretasi adalah hal menetapkan makna yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh setelah diterapkan kritik
ekstern maupun kritik intern dari data-data yang didapatkan sehingga
memberikan kesatuan berupa bentuk peristiwa lampau. Fakta-fakta sejarah
yang diperoleh tadi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan
bantuan ilmu-ilmu sosial atau ilmu bantu lainnya sehingga dapat diketahui
hakikat dibalik kejadian sejarah atau fakta sejarah. 29
Tahap ini dipengaruhi oleh subjektivitas dan sudut pandang
sejarawan. Peneliti melakukan penafsiran secara analisis dan sintesis.
Analisis merupakan cara peneliti dalam menguraikan sumber yang telah
melalui tahapan verifikasi. Penelitian ini menggunakan analisis kebijakan
pendidikan. Analisis kebijakan pendidikan sangat diperlukan dalam
penulisan skripsi ini. Sedangkan sintesis merupakan penyatuan data
sehingga dapat memberikan satu kesimpulan dari isi secara keseluruhan. e.
Historiografi
Penulisan atau Historiografi yaitu menyampaikan sintesis yang
diperoleh dalam bentuk tulisan atau dengan kata lain penyampaian laporan
hasil penelitian sejarah setelah melalui tahapan-tahapan di atas dalam
29 Sri Suryantini, Metodologi Sejarah, (http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/. diakses 28 Februari 2019).
Ratnawati. “Teori Politik dalam Ilmu Politik”, Teori Politik Klasik dan Kontemporer. Tersedia pada http://www.elisa.ugm.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Desember 2018.
membantu ilmu sejarah memperoleh pemahaman yang lebih utuh
mengenai makna-makna peristiwa sejarah. Dalam penyusunan
penelitian ini, penulis akan memberikan penjelasan (eksplanasi)
kausal terhadap perilaku-perilaku sosial dalam sejarah. Perilaku-
perilaku sosial ini lebih dilekatkan makna subjektif dari seorang
individu (pemimpin atau tokoh).
Pendekatan sosial ini juga nantinya akan dikaitkan mengenai
bagaimana para abdi dalem Karaton Ngayogyakarta dalam
menggunakan bahasa bagongan. Pendekatan sosial menggunakan teori
gagasan Mead tentang adanya proses interaksi sosial, secara simbolis
orang mengomunikasikan makna kepada orang yang terlibat.
33
Interaksi abdi dalem dalam bahasa bagongan serta dapat diamati
ketika kegiatan belajar mengajar di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem.
c. Budaya
Pendekatan budaya ini digunakan dalam rangka menggugah
kesadaran kita, karena mengandung konsep budaya dan nilai, seperti
pahlawan, rela berkorban, persatuan bangsa, adat istiadat, dan lain-
lain.34
Dalam penulisan penelitian ini akan dituliskan menggunakan
pendekatan budaya terkait dengan bagaimana tata cara bepakaian abdi
33 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: KREASI
WACANA, 2016), hlm. 396.
34 Setiadi Sulaiman “Pendekatan Konsep Dalam Pembelajaran Sejarah”, Jurnal Sejarah Lontar, volume 19 No. 1, Januari-Juni 2012, hal. 12.
26
dalem, tata cara berbahasa, tata cara dalam berperilaku di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pendekatan budaya juga digunakan pada saat kita mengetahui
pendapat abdi dalem mengenai adanya Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem
Karaton Ngayogyakarta Hadiningat tentang manfaat adanya sekolah
tersebut diselenggarakan. Pendekatan budaya didasarkan pada teori
Supriyoko (2000:9) bahwa ada tiga pendekatan sosialisasi budi pekerti,
yaitu (1) pendekatan kultural (cultural approach), (2) pendekatan
manajemen (managerial appoach), dan (3) pendekatan keteladanan
(behavioural model approach). 35
H. Sistematika Pembahasan
Penulisan penelitian yang berjudul “Sekolah Pawiyatan Abdi
Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat 2010-2018” memiliki
sistematika berikut:
BAB I. Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II. Konsep Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
35 Suwardi Endraswara, Budi Pekerti Jawa Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2006), hlm. 17.
27
Bab ini membahas tentang bagaimana pendidikan di Yogyakarta
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX dan model pendidikan
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I yang dilanjutkan kembali oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan menguraikan sekilas sejarah
mengenai sekolah-sekolah asli Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX, khususnya tenaga pengajar
dan muridnya adalah para abdi dalem.
BAB III. Sistem Pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaon
Ngayogyakarta Hadiningrat
Bab ini mengenai sistem pendidikan yang diterapkan di Pawiyatan
Abdi Dalem. Gambaran tersebut meliputi kurikulum, murid, guru, fasilitas,
materi pembelajaran, dan kegiatan belajar mengajar Pawiyatan Abdi Dalem
Karaton Ngayogyakarta Hadiningat, dan sebagainya.
BAB IV. Implementasi Pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem
2010-2018
Bab ini mendeskripsikan rumusan masalah ketiga mengenai
bagaimana pelaksanaan penerapan sekolah tersebut. Implementasi
sebagian besar menerapkan model pendidikan Sri Sutan Hamengku
Buwono I dan penjelasan mengenai diselenggarakannya pendidikan abdi
dalem secara keseluruhan.
BAB V. Kesimpulan
Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban
dari rumusan masalah atau isi pokok dari keseluruhan pembahasan.
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN DI KARATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT
Pendidikan di Indonesia melalui tiga fase, yaitu fase pendidikan masa
tradisional, fase pendidikan kolonial termasuk pendudukan Jepang, dan fase
kemerdekaaan (Menurut pendapat dari Djoko Suryo).1 Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam perkembangannya mengalami fase-fase pendidikan
tersebut. Pendidikan asli karaton menerapkan pendidikan yang sifatnya
tradisional. Pendidikan ini tidak lepas dari pelajaran berbasis budaya karena
merupakan satu kesatuan dari proses pembelajaran.
Pendidikan memiliki ciri-ciri khas di setiap zamannya. Pendidikan di Karaton
lebih mengajarkan tentang ketuhanan, keindahan, pertanian, akhlak, moral, dan
tata pemerintahan kerajaan.2 Ajaran-ajaran tersebut bersifat universal untuk
menjadikan kehidupan manusia yang langgeng, harmonis, dan serasi sesuai
tatanan kehidupan alam semesta. Kebijakan-kebijakan pendidikan di
1 Benedecta Herlin Yose Hana, Skripsi Dari Tradisional ke Modern: Sejarah
Pendidikan Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: UGM, 2018), hlm. 16.
2Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga
Karaton telah diatur oleh kerajaan. Nilai-nilai moral dan spiritual di dalam
pendidikan memberikan kesan sebagai faktor pendukung pendidikan di Karaton.
Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki dua macam,
yaitu pendidikan yang dikelola karaton dan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat di Yogyakarta. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat mengelola
pendidikan melalui cara formal dan non formal. Pendidikan formal didirikan
oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri dengan mendirikan sekolah-
sekolah, sedangkan pendidikan non formal melalui penulisan karya sastra yang
berisi nilai-nilai kehidupan dan keahlian-keahlian yang dimiliki oleh
masyarakat Yogyakarta sendiri melalui komunitas-komunitas yang dibentuk.
A. Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dari masa Sri
Sultan Hamengku Buwono I-IX
1. Pendidikan Dikelola Karaton dan Sistem Pengelolaannya
Kerajaan Mataram pecah menjadi dua yaitu Surakarta dan
Yogyakarta pada tahun 1755. Kekuasaan di Yogyakarta juga terbagi
menjadi dua, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Paku Alam. 3 Oleh
karena itu, kekuasaan di kerajaan sangat terbatas. Pengajaran dan
pendidikan diurus oleh masyarakat sendiri, tidak dengan pemerintah raja-
raja. Pemerintah kerajaan tidak berkuasa lagi untuk memajukan
pendidikan dikarenakan pemerintah Belanda mengalang-halangi akan
kemajuan pendidikan yang berkembang di wilayah Yogyakarta.
3 Leo Agung dan Suparman, Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm.
19.
30
Sejarah pendidikan memiliki perjalanan dari masa ke masa.
Pendidikan di Yogyakarta pada dasarnya bermula dari Karaton
Ngayogyakarta itu berdiri. Karaton mendirikan sekolah-sekolah asli sejak
pemerintah kolonial masih hidup di zaman konservatif tahun 1800-1870,
jauh sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900-1942
dan Politik Liberal tahun 1870-1900.4 Pendidikan di Karaton memiliki
sistem pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan dan menyiapkan
diri dalam hidup bermasyarakat.
Sultan berpendapat bahwa untuk menghadapi Belanda harus
memakai cara-cara yang modern dan sistematis, yaitu dengan melalui jalur
pendidikan. 5 Perlawanan terhadap para penjajah sudah tidak dilakukan
lewat perlawanan fisik karena akan memakan banyak korban, tentunya
akan sia-sia. Agar dapat membebaskan rakyat dari penjajahan maka harus
setara dengan bangsa penjajah. Salah satunya agar memperoleh kesetaraan
yaitu dengan jalan pendidikan dan mempelajari kebudayaan mereka.
Pendidikan akan lebih bermanfaat sehingga memperluas pengetahuan dan
wawasan baik untuk diri sendiri maupun untuk tanah air.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memberlakukan sistem
pendidikan di karaton yang diurus oleh instansi agama (Kawedanan
4 Anonim, Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta,
(Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta
bekerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2006), hlm. 241.
5 Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, (Medan: Pujakesuma,
2007), hlm. 540.
31
Pengulon), lembaga Budaya dan sastra (Tepas Kapujangaan)6 serta
anggota keluarga kerajaan. Sistem pendidikan di karaton memiliki tujuan
mengembangkan dan menyiapkan diri dalam kehidupan bermasyarakat
terkait dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan pada awalnya belum
mengenal sekolah pada masa sekarang. Pendidikan tidak hanya dalam
artian bersekolah, tetapi dapat dilakukan melalui penulisan karya sastra
(babad, piwulang, suluk, angger-angger)7.
Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintahkan untuk mempelajari
bahasa dan kasusasteraan yang umumnya disebut dengan pujangga. 8
Kerajaan Mataram pada waktu itu, tidak sedikit orang-orang yang dapat
membaca dan menulis dengan huruf Jawa, sehingga mereka berusaha
6 Abdi Dalem Reh Kapujanggan yaitu abdi dalem yang bertugas mengampu
pelajaran bahasa dan kasusasteraan Jawa Baru dan Kawi serta sejarah karaton-karaton di
tanah Jawa yang diketuai oleh seorang Tumenggung. Sedangkan abdi dalem Reh
Kawedanan Pangulon yaitu abdi dalem yang bertugas dalam bidang mengaji atau agama
meliputi pelajaran tentang kitab Turutan, Al-Qur’an dan tafsirnya, hukum agama Islam,
tradisi sejumlah pacara kerajaan mulai kerajaan Mataram hingga Kerajaan Ngayogyakarta
(adat naluri tuwin tata adating keraton), yang berhubungan dengan agama, parail,
perkawinan, dan talak. Lihat: Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya
Sejarah Pendidikan di Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2017), hlm. 13-14.
7 Angger-angger (undang-undang atau sering pula diartikan dengan hukum. Lihat: Endah Susilantini, dkk, Serat Angger Pradata Awal dan Pradata Akhir di Kraton Yogyakarta (Kajian Filosofis Historis), (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, 2014), hlm. 4.
8 Pujangga adalah seorang penulis di karaton, pujangga termasuk golongan intelektual, pujangga merupakan salah satu pengajar terpenting bagi keluarga Sultan, terutama untuk putra mahkota. Mereka mengajarkan berbagai pelajaran moral dan spiritual yang terkandung dalam filosofis karya sastra dan religius Karaton. Lihat: Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 7.
32
sendiri. Para raja mengenal kasusasteraan dan bahasa Jawa, beberapa raja
ada yang mengarang buku yang berisi pendidikan pula. Sebagai contoh:
Sultan Agung pengarang Niti Sastra, Paku Buwana ke IV pengarang
Wulang Reh, dan Mangkunegara ke IV pengarang Wedatama. 9
Raja-raja mengenal kesusasteraan dan bahasa Jawa dalam rangka
menjadikannya sebagai buku pelajaran. Buku-buku atau serat dapat pula
dijadikan buku pelajaran pada abad ke-18. Di dalam buku tersebut terdapat
pandangan-pandangan dari pengarang tentang kehidupan, kehidupan
masyarakat, kehidupan seorang kehidupan negara, lembaga, dan
kehidupan ketuhanan. 10
Buku-buku karangan dari raja tersebut
merupakan sebuah langkah dalam memajukan pendidikan lewat dengan
cara memberikan nilai-nilai kehidupan.
Nilai-nilai kehidupan juga dapat dijadikan sebagai pelajaran.
Pelajaran mengenai kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang.
Pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga dapat disampaikan melalui
9 Serat Wulang Reh berisi tentang hukum kesusilaan. Pandangan pada buku itu
ditujukan kepada keluarga raja dan kepada pegawai kerajaan, serta kepada masyarakat pada umumnya. Dalam serat Wulang Reh karya Paku Buwono IV mementingkan sekali soal kesusilaan, yaitu hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan. Disamping itu, memberi pelajaran tentang watak yang berdasarkan tingkah laku perbuatan dan gerak-gerik manusia. Sedangkan Serat Wedatama berisi petunjuk-petunjuk bagi para pemuda yang harus menyiapkan diri utuk menjadi anggota masyarakat dan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Lihat: Ahmadi, Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: CV. ARMICO, 1987), hlm. 19.
10 Sutedjo Bradjanagara, Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Kongres Pendidikan Indonesia, 1956) hlm. 27.
33
tembang atau sastra lainnya.11
Berbagai pelajaran tersebut dapat
diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Semua pelajaran
erat dikaitkan dengan bahasa yang digunakan dan mulai adanya
perkembangan zaman. Pemberian nilai-nilai kehidupan tersebut pada
dasarnya dalam rangka untuk memajukan pendidikan.
Sri Sultan Hamengku Buwono I ingin mendirikan lembaga
pendidikan yang berlaku di istana. Lembaga pendidikan ini tujuannya
adalah agar orang-orang dapat membaca dan menulis huruf Jawa.
Lembaga pendidikan ini mengajarkan pendidikan yang menyangkut ajaran
budaya (Persatuan Kesatuan yang Golong-Gilig, Falsafah Hamemayu
Hayuning Bawana, dan watak satriya). 12
Lembaga pendidikan semasa Sri
Sultan Hamengku Buwono inilah yang disebut dengan Sekolah Tamanan
yang didirikan pada tahun 1757 Masehi.13
Sekolah Tamanan ini ada
bersamaan dengan berdirinya Karaton Yogyakarta.
Sekolah Tamanan ini sudah memiliki kurikulum pendidikan yang
baik waktu itu. Kurikulum di sekolah ini untuk mewujudkan bangsa yang
berpendidikan, terampil, berjati diri yang tangguh, berkepribadian, dan
11 Sri Wintala Achmad dan Krisna Bayu Adji, Geger Bumi Mataram Sejarah Panjang Perjalanan Kerajaan-Kerajaan Jawa Pasca Mataram Islam, (Yogyakarta:
Araska, 2014) hlm. 133.
12 Hamemayu Hayuning Bawana artinya menjaga perdamaian agar dapat menjaga
seseorang harus dimulai dengan menjaga perdamaian pribadi, keluarga, dan sesamanya. Lihat: Sri
Wintala Achmad, Asal Usul dan Sejarah Orang Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2017), hlm. 139.
13 Anonim, Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober, 1956, (Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta, 1956) hlm. 65.
34
berbudaya tinggi. Sekolah ini dilaksanakan di dalam lingkup karaton.
Sekolah ini mempunyai lulusan murid yang juga dapat digunakan untuk
mengisi jabatan dalam pemerintahan di karaton sesuai dengan kebutuhan
masyarakat karena pada masa tersebut karaton sekaligus sebagai pusat
pengajaran.
Sistem pendidikan yang dimiliki oleh sekolah ini memiliki beberapa
tujuan. Tujuan sistem pendidikan karaton ini adalah untuk mengasah,
memelihara dan membentuk jiwa ksatria dengan berbasis kebudayaan.
Pendidikan yang berbasis karaton ini lebih mengembangkan cara hidup
yang harmonis. 14
Beberapa tujuan tersebut dapat kita ketahui bahwa
pendidikan pada sekolah ini dalam rangka membentuk jiwa yang
berkarakter yang berdasarkan pada kebudayaan.
Sekolah Tamanan hanya berlangsung pada tahun 1830-1900 Masehi.
15 Setelah tahun 1900 Masehi, sudah tidak terdapat berkas-berkasnya.
Pada masa kepala Sekolah Tamanan yang bernama Ngabei Jayengwisraba,
pelajarannya hanya 2 macam saja, yaitu membaca huruf Jawa dan mengaji
(membaca huruf Arab). Sekolah ini bertahan hingga pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII. Lembaga pendidikan yang berkualitas
dalam mendidik para anak bangsa tersebut lambat laun surut dan hilang
dan belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi ada
14 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan
di Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 14.
15op.cit., hlm. 66.
35
alasan lain bahwa sekolah ini tidak bertahan lama dikarenakan adanya
pelajaran di Sekolah Tamanan ini ditakuti oleh para pemerintah Hindia
Belanda.16
Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai dengan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII mengedepankan pendidikan dan pembentukan jiwa sangat
diutamakan. Pembentukan jiwa melalui beberapa mata pelajaran yang
diajarkan di Sekolah Tamanan, antara lain: ketentaraan, pertanian, dan
kebudayaan seperti menari, latihan melepaskan anak panah, dan latihan
berperang. 17
Pelajaran-pelajaran ini dalam hal membentuk jiwa yang
berkarakter, berbudaya, dan memiliki nilai satriya, sehingga menjadi
contoh bagi masyarakat luas.
Pendidikan dari masa ke masa kemudian dilanjutkan kembali oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Masa transisi mulai terjadi di Indonesia.
Periode ini menjadi salah satu periode kunci dalam perkembangan
Yogyakarta pada masa mendatang. Sri Sultan Hamengku Buwono IX
menanamkan sikap jiwa satriya dalam perannya mempertahankan persatuan
dan kesatuan dalam merebut kemerdekaan. Peneguhan Yogyakarta sebagai
Kota Budaya dan Kota Pelajar melalui lembaga-lembaga pendidikan dan
lingkungan sosial-budaya yang khas benuansa budaya Jawa.
16 Wawancara K.R.T Jatiningrat, S.H, 28 November 2018.
17 Anonim, Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober, 1956, (Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta, 1956) hlm. 66.
36
Unsur pendidikan dan akar budaya sebagai pembangun idenitas bagi
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat penting. Beliau mengungkapkan
sebagai berikut: “Kendati pendidikan Barat sangat mewarnai saya, saya
pertama-tama seorang Jawa dan tinggal pertama seorang Jawa.” 18
Pernyataan tersebut jelas bahwasannya seseorang yang telah mengenyam
pendidikan Barat tidak akan lupa bahwa dibesarkan dan terlahir sebagai
orang Jawa dan tetap meneguhkan sikap dan jwa satriya sebagai dasar jiwa
kepemimpinan.
2. Pendidikan Dikelola Masyarakat
Perjanjian Giyanti menyebabkan adanya perubahan struktur tata
pemerintahan di Karaton Mataram. Perubahan-perubahan ini menjadi bukti
bahwa mulai adanya sebuah tatanan pemerintahan. Pusat pemerintahan
dimulai sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun kampung-
kampung untuk para abdi dalem. Kampung-kampung tersebut memiliki nama
sesuai dengan keahlian para abdi dalem. Para abdi dalem tersebut
dikelompokkan menurut kesamaan pekerjaan, dengan menambahkan akhiran
-an yang berarti tempat (nama tempat). 19
Nama tempat untuk kampung abdi
dalem tersebut menjadikan ciri khas bagi Karaton
18
G. Budi Subanar, Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yoyakarta: Komunitas Learning Society, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007), hlm. 22.
19
Djoko Soekirman, dkk, Sejarah Kota Yogyakarta, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 7.
37
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam membentuk sebuah tatanan
pemerintahan yang terstruktur.
Kampung-kampung abdi dalem dikelompokkan berdasarkan tempat
tinggal para abdi dalem Kampung-kampung tersebut dibagi menjadi kawasan
Jeron Beteng (dalam beteng) dan Jaban Beteng (luar beteng). Kampung-
kampung ini dibangun oleh karaton memang diperuntukkan untuk tempat
bermukim abdi dalem. Abdi dalem yang telah menempuh pendidikan, disisi
lain juga memiliki keahlian di bidang masing-masing. Dengan demikian,
nama-nama kampung diberi nama sesuai dengan keahlian-keahlian para abdi
dalem tersebut. Berbagai keahlian yang dimiliki oleh para abdi dalem menjadi
faktor pendukung abdi dalem dalam menjalankan tugas dan perannya di
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Para abdi dalem memiliki keahlian yang bermacam-macam.
Keahlian-keahlian yang dimiliki antara lain: mengurus urusan karaton,
membuat berbagai peralatan karaton, dan ahli di bidang profesinya. Oleh
karena itu, kampung-kampung berdasarkan keahlian dan profesi dibuat
oleh karaton atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tujuan untuk
membuat kampung-kampung abdi dalem adalah untuk memudahkan
hubungan raja dengan para abdi dalemnya di dalam struktur tata
pemerintahan, dan sebagai tempat bermukim para abdi dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pembagian tugas abdi dalem dalam urusan karaton bermacam-
macam. Pembagian tersebut menyebabkan nama-nama kampung abdi
38
dalem dalam menangani urusan karatonpun dibentuk. Kampung-kampung
tersebut antara lain: Siliran, Kemitbumen, Kenekan, Patehan, Gebulen,
Gandhekan, Bumijo, Gendhingan, Gemblakan, Gedhong Tengen dan
Gedhong Kiwo, dan Pajeksan. 21
20
Sumintarsih dan Ambar Adrianto, Dinamika Kampung Kota Prawirotaman Dalam Perspektif Sejarah dan Budaya, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014), hlm. 48.
21 Ibid., hlm. 72.
39
Perubahan struktur tata pemerintahan tersebut, menyebabkan
adanya perkembangan kampung-kampung kota mulai ada. Perkembangan
kampung-kampung kota ini mulai berkembang setelah selesainya
pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningat pada 7 Oktober 1756.
Karatonpun mulai membentuk suatu tatanan pemerintahan, tak terkecuali
bagi para pegawainya (abdi dalem) akan ditempatkan di sekitar lingkungan
karaton. Lingkungan di sekitar karaton akan membentuk suatu kampung-
kampung kota. Kampung-kampung kota khususnya kampung abdi dalem
tersebut hingga saat ini masih ada dan dihuni oleh masyarakat umum.
Kebudayaan memiliki sifat tangible culture dan intangible-culture.
Tangible culture dapat berupa tata kota, toponim, perkampungan, kesenian,
bangunan, ataupun benda-benda budaya fisik lainnya. Sedangkan intangible-
culture berupa nilai budaya, pandangan hidup masyarakat, norma moral, adat
istiadat, dan aturan-aturan khusus, sikap dan perilaku umum masyarakat. 22
Semua sifat kebudayaan ini erat kaitannya dengan karakteristik kesejarahan
yang ada di Yogyakarta. Selain itu, memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan.
Sejarah juga memiliki sifat diskontinuitas. Sifat diskontinuitas ini
terletak pada subjek sejarah. Subjek sejarah dalam bahasan ini adalah
perbedaan tempat tinggal para abdi dalem. Para abdi dalem dahulu
22 Aprinus Salam, dkk, Mbongkar Yogya, (Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan
UGM dan Gambang Buku Budaya, 2016), hlm. 8.
40
mempunyai tempat tinggal dekat dengan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat, tetapi di masa sekarang tempat tinggal para abdi dalem
tersebut kini sudah beralih fungsinya menjadi tempat pemukiman umum
bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Pemukiman-pemukiman tersebut terdiri
dari berbagai nama kampung yang ada di Kota Yogyakarta.
B. Sekolah-Sekolah Asli di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Yogyakarta merupakan bagian pecahnya Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram pecah menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Setelah perjanjian Giyanti, Sultan Hamengku Buwono I kemudian
memilih nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan hingga sekarang menjadi
Yogyakarta. Sebelumnya Kota Yogyakarta memiliki banyak istilah dalam
penyebutannya, antara lain Ngayugyakarta Hadiningrat, Ngayogyakarta,
Ayodya, Yogyakarta, Jogjakarta, Jogyakarta, Yoja, Djokya, dan lain
sebagainya.23
Beberapa istilah tersebut digunakan dalam menyebut Kota
Yogyakarta.
Yogyakarta memiliki sejarah perjalanan di dunia pendidikan sangat
panjang. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat telah mendirikan sekolah-
sekolah khusus di dalam istana. Sekolah-sekolah khusus tersebut
23 Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Narasi, 2009),
hlm. 6.
41
diperuntukkan bagi para abdi dalem.24
Para abdi dalem tersebut sebagai
tenaga pengajar maupun murid. Tidak hanya para abdi dalem saja yang
mengikuti proses pembelajaran tersebut melainkan juga putra sentana
dalem juga ikut mengikuti proses pembelajaran di lingkup Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. 25
Sultan mendirikan sekolah-sekolah di dalam istana dalam rangka
memiliki tujuan. Tujuannya didirikan sekolah tersebut agar anak-anak para
pejabat karaton yang akan menggantikan kedudukan ayahnya harus
memiliki ijazah/sertifikat dari sekolah tersebut. 26
Kebijakan tersebut
dilakukan untuk mengisi pegawai-pegawai di lingkup Karaton baik sesuai
dengan keahlian maupun sesuai dengan profesinya. Berikut sekolah-
sekolah yang didirikan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat terutama
yang diperuntukkan oleh abdi dalem. Sekolah ini merupakan sekolah asli
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, antara lain:
24 Abdi dalem juga sebagai kaum priyayi. Mereka adalah rakyat biasa yang
diangkat menjadi pegawai keraton. Fungsi kelas ini adalah melaksanakan perintah Sultan
yang disampaikan melalui kaum bangsawan. Lihat: Furnivall dalam Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981),
hlm. 26.
25 Kata Ngayogyakarta dalam bahasa Sansekerta berarti telah selesai
dikerjakan/dibangun dengan baik. Arti lain dari Ngayogyakarta berasal dari kata Yogya yang berarti baik dan karta berarti rahayu, tulus, dan indah. Adapun kata Hadiningrat
mempunyai makna tersohor di dunia. Lihat: Anonim, Ensklopedia Kraton,
(Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY, 2009), hlm. 271.
26 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 67.
42
1. Sekolah Tamanan
Sekolah Tamanan merupakan sekolah asli Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Sebelum berdirinya Taman Siswa pada tahun 1922, di dalam
istana Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah terdapat lembaga
pendidikan yang disebut Sekolah Tamanan.27
Sekolah ini ada masa sejak
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. 28
Sekolah ini memiliki
pelajaran-pelajaran khusus bagi para murid. Daftar pelajaran sekolah
tamanan adalah sebagai berikut.
a. Bahasa dan Kasusasteraan Jawa Baru dan Kawi.
b. Sejarah Karaton-Karaton di tanah Jawa.
c. Menyanyi (nembang) bagian teori,
1) Tembang Macapat
2) Tembang Tengahan
3) Tembang Gede (Sekar Kawi)
d. Tata Negara.
e. Undang-Undang Sepuluh.
f. Bahasa dan Kasusasteraan Jawa Baru dan Kawi.
g. Sejarah Karaton-Karaton di tanah Jawa.
27 Sutirman Eka Ardhana, Sejak 1757 di Keraton Yogyakarta Ada Sekolah Tamanan, (https://www.perwara.com/2018/sejak-1757-di-keraton-yogyakarta-ada-sekolah-tamanan/ Sutirman Eka Ardhana. diakses 30 April 2018).
28 Sri Sultan Hamengku Buwono I memegang kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
selama 43 tahun yaitu dari tanggal 13 Februari 1755 (Mulai Karaton masih di
Ambarketawang) hingga mangkatnya atau wafatnya pada hari malam minggu Kliwon tanggal
24 Maret 1792 atau tahun Jawa 1718 di Karaton yang baru di Ngayogyakarta Hadiningrat
denagn tutup usia 5 tahun dan di makamkan di Karaton Imogiri. Lihat: R.M Soemardjo
Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaan Ngayogyakarta Hadinigrat, (Yogyakarta:
Direktorat Jenderal Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, 1981), hlm. 69.
36 Tribun News, Keraton Yogya Gratiskan Belajar Macapat di Sekolah Ini, (http://jogja.tribunnews.com/2018/02/17/keraton-yogya-gratiskan-belajar-macapat-di-sekolah-ini?page=3. diakses 01 Februari 2019).
2 Riyadi Goenawan dan Darto Harnoko, Mobilitas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad Ke-20: Suatu kajian Sejarah Sosial, (Yogyakarta: Ombak,2012), hal 80.
49
50
untuk dapat mengerjakan segala jenis pekerjaan yang tidak mengkhusus
ada atau jenis pekerjaan. 3
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem menerapkan sistem pendidikan
tradisional ini memiliki tujuan. Tujuan dari pendidikan tradisional yaitu
mengajarkan orang untuk mengerti tentang tata cara hidup tingkah laku yang
sopan, kesusilaan, dan pendidikan budi pekerti.4 Pendidikan tradisional
hingga sekarang ini masih diajarkan di sekolah-sekolah milik Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat seperti: Habirandha dan Macapat. Sekolah-
sekolah ini menjadi contoh bahwa melestarikan kebudayaan melalui
pendidikan adalah penting. Selain itu, Karaton juga memiliki peran dalam
kebudayaan dan pendidikan tersebut.
Berikut sistem pendidikan di Sekolah Abdi Dalem (Pawiyatan Abdi
Dalem dan Pawiyatan Aksara Jawa) antara lain:
A. Pawiyatan Abdi Dalem
Pawiyatan abdi dalem ini merupakan pendidikan yang diperuntukkan oleh
abdi dalem. Abdi dalem yang terdiri dari abdi dalem punakawan dan abdi
dalem kaprajan mengikuti pembelajaran ini setiap hari Selasa dan Kamis
pukul 09.00 sampai dengan 14.00 WIB. Kegiatan pemebelajaran ini tidak
dipungut biaya (gratis). Pawiyatan ini dilaksanakan di Bangsal Kasatriyan
3 Anonim, Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), hlm. 126.
4 Ibid., hlm. 126.
51
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.5 Berikut penjelasan mengenai Sekolah
Hadiningrat. Sedangkan gaji guru diberikan sesuai dengan golongan abdi
dalem yang dimiliki.
2. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran dalam Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningat antara lain:
a. Sabdatama
Materi ini menjelaskan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
secara keseluruhan yang sesuai dengan Undang-Undang.
Sabdatama ini merupakan pernyataan penting yang disampaikan
raja. Sabdatama merupakan penegasan bahwa Daerah Istimewa
Yogyakarta mempunyai aturan yang menyangkut nilai dan tradisi
dalam mengatur tata pemerintahannya sendiri. 6 Sabdatama
merupakan pernyataan raja kepada rakyatnya secara langsung agar
dapat disampaikan secara menyeluruh kepada warganya.
6 Mataram termasuk di dalam Nusantara, mendukung tegaknya negara, tapi tetap memegang norma tradisi dan pemerintahan-kerajaan sendiri. Lihat: Pribadi Wicaksno, 4 Sabdatama Raja Yogya Untuk Warganya, (https://nasional.tempo.co/read/403116/4-sabdatama-raja-yogya-untuk-warganya/full&view=ok), diakses 10 Februari 2019.
20 Bakda Mulud dan Sawal merupakan sistem kalender Hijriah yang dibuat oleh Sultan Agung. Lihat: Ahmad Sahroji, Kenapa Kalender Jawa Mirip dengan Kalender Hijriyah?, (https://news.okezone.com/read/2017/09/20/340/1779891/kenapa-kalender-jawa-mirip-dengan-kalender-hijriah-berikut-penjelasannya, diakses 01 Januari 2019).
28 Abdi dalem punakawan merupakan abdi dalem yang mendapatkan gaji dari pihak karaton melalui Tepas Danartopuro, sedangkan abdi dalem kaprajan tidak berhak gaji dari pihak
karaton tetapi mendapatkannya dari pihak pemerintah RI. Dengan demikian, abdi dalem kaprajan
itu prinsipnya sebagai abdi dalem caos (datang ke karaton hanya sebagai pengakuan bahwa dirinya abdi dalem) dan tidak mempunyai beban tugas. Berbeda dengan abdi dalem punokawan,
secara kelembagaan diakui oleh pihak karaton sebagai salah satu perangkat pemerintahan karaton
dan mendapatkan tugas tertentu. Lihat: Agus Sudaryanto, Hak dan Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintahan (Mimbar Hukum, Volume 20 Nomor
1 Februari 2008), hlm. 166.
29 Wawancara K.R.T Jatiningrat, S.H, 27 November 2018.
72
juga terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan.
Angka 5 pada kancing berkaitan dengan rukun islam (syhadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji). 30
Para abdi dalem kakung (laki-laki) saat melaksanakan tugasnya juga
mengenakan blangkon dan keris. 31
Sedangkan untuk para abdi dalem
putri busana yang dikenakan saat di karaton harus menggunakan kemben.
Ciri-ciri dari Abdi Dalem Keparak adalah, tidak mengenakan baju
penutup. Berbeda dengan Abdi Dalem putri baik dari golongan
Punakawan, Keprajan atau masih mempunyai kedudukan Darah Dalem.
Kelompok ini boleh mengenakan kebaya tangkeban berwarna hitam.
Sedangkan untuk kerabat karaton mulai dari Putri Dalem, Istri Pangeran,
Wayah Dalem Putri dan Istri Wayah Dalem boleh mengenakan kebaya
tangkeban warna-warni. Namun, pada saat menerima tugas, waranggana
(sinden) atau Keparak mengenakan busana yang disebut
30 Wawancara K.R.T Jatiningrat, S.H, 27 November 2018.
31 Blangkon, berasal dari kata blangko yang berarti mencetak kosong, adalah suatu nama yang diberikan pada jenis-jenis iket yang telah dicetak. Sedangkan berasal dari kata keiris yang artinya terpotong. Tidak seperti atribut lainnya, keris hanya boleh dipakai oleh abdi dalem yang telah berpangkat minimal bekel enom. Lihat: Nail Hikam Faqihuddin,
Makna Simbolis Pakaian Dinas Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta,(https://www.academia.edu/35396281/Makna_Simbolis_Pakaian_Dinas_Abdidal em_Keraton_Yogyakarta), diakses 05 Februari 2019.
Pawiyatan aksara Jawa ini merupakan bagian dari Sekolah Pawiyatan
Abdi dalem. Pawiyatan aksara Jawa ini merupakan pendidikan tambahan yang
diperuntukkan oleh abdi dalem. Abdi dalem yang terdiri dari abdi dalem
punakawan serta abdi dalem kaprajan mengikuti pembelajaran ini setiap hari
Senin dan Kamis pukul 10.00 sampai dengan 12.00 WIB. Pawiyatan ini
dilaksanakan di Gedung (KHP) Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat. 35
Pawiyatan ini sifatnya khusus mempelajari aksara Jawa.
Berikut penjelasan mengenai Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat:
1. Guru
Pawiyatan aksara Jawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningat memiliki
tenaga pengajar yang berasal dari abdi dalem. Guru-guru di Pawiyatan
Aksara Jawa ini antara lain: KRT. Rintaiswara dan KRT. Prajaswasana.
Tenaga-tenaga pengajar ini mengajar sejak tahun 2012. Tugas utama para
pengajar ini adalah memberikan materi pembelajaran terkait dengan tata
cara menulis dan membaca aksara Jawa. Selain itu, para pengajar juga
memberikan pengetahuan lain guna menambah wawasan para abdi dalem.
35
Tepas Tanda Yekti, Pawiyatan Aksara Jawi Abdi Dalem Memasuki Angkatan Ke- 4, (http://kratonjogja.id/peristiwa/27/pawiyatan-aksara-jawi-bagi-abdi-dalem-memasuki-
4 Modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang
dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan. Lihat:
Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, (https://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198), diakses 01 Januari 2019).
5 Anonim, Satriya, (Yogyakarta: Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
tersebut kini harus dimiliki oleh setiap orang termasuk abdi dalem. Abdi dalem
harus menjadi agen pelestari budaya Karaton Yogyakarta. Abdi dalem yang
mengikuti pembelajaran di Sekolah Pawiyatan terdiri dari berbagai macam latar
belakang, profesi, dan keahlian, termasuk abdi dalem yang sebelumnya belum
mendapat pawiyatan.
Abdi dalem dalam menjalankan tugas, peran, dan fungsinya harus melalui
sekolah abdi dalem. Sekolah abdi dalem disebut dengan Sekolah Pawiyatan dan
dibentuk pada 15 Oktober 2010 dan mulai dibuka kembali pada tangal 30
Oktober 2010.6 Pawiyatan perdana dilaksanakan di Bangsal Kencono, Karaton
Yogyakarta. Pawiyatan mempunyai arti pamulangan (pembelajaran) dan
diprakarsai oleh Sultan Hamengku Bowono X dan Tirun Marwito, S.H (K.R.T.
H. Jatiningrat). 7 Sekolah ini merupakan pendidikan khusus untuk para abdi
dalem dalam mempelajari berbagai hal mengenai Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Pawiyatan pertama akan mendidik 1.200 abdi dalem dan setiap angkatan
dididik 100 orang setiap hari Senin dan Kamis pukul 10.00-13.00. Pawiyatan abdi
dalem diselenggarakan pada hari Senin dan Kamis karena berkaitan dengan
6Arif Wibowo, Sekolah Abdi Dalem, tersedia pada (htps://store.tempo.co.id. Diakses
16 Oktober 2018).
7Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di
Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 14.
88
hari puasa yang baik bagi seseorang.8 Pawiyatan Abdi Dalem hingga saat ini rutin
dilaksanakan setiap tahunnya. Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem merupakan
pendidikan wajib yang diikuti oleh seluruh abdi dalem Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat guna menambah wawasan abdi dalem sebagai agen pelestari budaya.
Pendidikan khusus untuk abdi dalem mempunyai macam-macam pelajaran.
Pelajaran-pelajarannya tentang bahasa karaton, tata pemerintahan, dan jabatan
di keraton. Pawiyatan diisi dengan pengajaran aspek kebudayaan yang tidak
tampak (intangible) dan yang tampak (tangible). 9 Pawiyatan mengajarkan
tentang filsafat, sejarah, bahasa, sastra, busana tata krama, tradisi karaton,
pusaka, wayang, gamelan, sampai arsitektur yang ada di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pendidikan ini dalam artian diikuti oleh seluruh
abdi dalem sehingga dilaksanakan secara berkala.
Pendidikan Pawiyatan Abdi Dalem ini merupakan salah satu langkah yang
dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Abdi Dalem yang berjumlah
ratusan yang terdiri dari abdi dalem punokawan dan keprajan (abdi dalem yang
bertugas di pemerintahan daerah). Abdi dalem memakai pakaian tradisional Jawa
bernama peranakan, keris yang diselipkan di pinggang, saat menghadap raja
didahului sembah terlebih dahulu kemudian dilanjut duduk menghadap Sultan.
8 Anonim, Monarki Yogya Inkonstitusional, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2011), hlm. 107.
9 Ibid., hlm. 108.
89
Pendidikan ini penting bagi abdi dalem salah satunya untuk menyiapkan dirinya
di setiap acara karaton.
Para abdi dalem mempunyai tugas, peran, dan tanggung jawab masing-
masing. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X, para abdi dalem juga
bertugas dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Karaton. Di samping itu,
terdapat kegiatan rutin berkaitan dengan keamanan karaton, yaitu caos atau
rondha. Abdi dalem yang bertugas sebagai prajurit juga memiliki tugas dalam
pariwisata. Selain itu, bertugas pada kegiatan-kegiatan temporer (berkala)
seperti jumenengan, sedan (kematian), pengantin, atau menyambut tamu.10
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan tugas, peran, dan
tanggung jawab kepada setiap abdi dalem yang bertugas di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Tidak hanya kegiatan-kegiatan di dalam karaton
yang harus dijalankan tetapi kegiatan-kegiatan yang sifatnya penting juga harus
dijalankan. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X abdi dalem prajurit
mempunyai tugas yang multifungsi, lain halnya dengan semasa Sultan
Hamengku Buwono I-IX, urusan prajurit masuk ke dalam Kawedanan Hageng
Punakawan yang anggotanya menjadi abdi dalem penuh.11
10
Yuwono Sri Suwito, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung Di Dalamnya, (Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009), hlm. 63.
11 Ibid., hlm.14.
90
Para abdi dalem dalam menjalankan berbagai tugas, peran, dan fungsinya
tersebut dirangkum secara keseluruhan dalam Pawiyatan Abdi Dalem. Di
samping itu, para abdi dalem juga dibekali ilmu dan pengetahuan mengenai
cara membaca, menulis, dan menyanyikan lagu tembang secara bersama-sama
melalui pawiyatan khusus untuk belajar membaca dan menulis huruf Jawa.
Pawiyatan tersebut bernama Pawiyatan Aksara Jawa. Pawiyatan ini sama
halnya dengan Pawiyatan Abdi Dalem, hanya saja Pawiyatan Aksara Jawa ini
diperuntukkan bagi abdi dalem yang ingin belajar membaca dan menulis huruf
Jawa.
Pendidikan di karaton mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Karaton memiliki sekolah-sekolah kasultanan yang hingga kini masih ada dan
terus untuk diupayakan oleh masyarakat luas. Sekolah kasultanan tersebut
merupakan suatu langkah awal karaton yang berperan sebagai patron atau
fasilitator pendidikan. 12
Karaton membuktikan bahwa dengan melanjutkan
model pendidikan sejak masa pemerintahan Hamengku Buwono I, nilai-nilai
luhur tersebut dapat berguna untuk masa sekarang dan menemukan kembali
ajaran-ajaran sebagai pedoman untuk kehidupan yang berlatarkan budaya.
Pendidikan pawiyatan merupakan pembelajaran bagi siapa saja yang
berkeinginan menjadi abdi dalem di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
12 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 113.
91
Pendidikan ini diadakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk abdi
dalem seperti halnya sekolah kursus. Setiap abdi dalem diwajibkan mengikuti
pawiyatan ini. Pembelajaran di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem dalam rangka
membentuk watak dan kepribadian sesuai ajaran Sri Sultan Hamengku Buwono I
antara lain; Hamemayu Hayuning Bawono, jiwa satriya, serta semangat persatuan
kesatuan yang Golong-Gilig dibahas di dalam materi ajar pawiyatan.13
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat juga
memiliki beberapa manfaat. Manfaat adanya sekolah tersebut seperti sekolah
memberikan pengetahuan, memberikan kesempatan meningkatkan status dan
peran sosial, menyediakan tenaga terampil, mentransmisi kebudayaan,
menciptakan kebudayaan sekolah, dan menaikkan kelas seseorang. Beberapa
manfaat sekolah tersebut memberikan pengaruh terhadap kehidupan abdi dalem
dalam berkehidupan bermasyarakat.
Abdi dalem mengikuti sekolah untuk menambah ilmu. Sekolah memberikan
pengajaran berupa membaca dan menulis. Selain itu, sekolah pawiyatan ini
memberikan pengetahuan yang lainnya seperti sejarah berdirinya Karaton
Nayogyakarta Hadiningrat, bahasa bagongan, membaca dan menulis aksara Jawa,
menyanyikan tembang, dan sebagainya disela-sela pembelajaran agar
telah diberikan di Pawiyatan Aksara Jawa dan boleh diikuti oleh semua
para abdi dalem sehingga tidak bersifat khusus.
3. Guru
Perubahan-perubahan struktur juga terdapat di dalam
komponen pendidik atau guru. Para guru yang mengajar di Sekolah
Pawiyatan Abdi Dalem, khususnya Pawiyatan Aksara Jawa mengalami
perkembangan jika diihat dari sisi sejarah dari Sekolah Tamanan. Para
guru di Sekolah Tamanan ini adalah para abdi dalem yang bertugas di
Reh Kawedanan Kapujanggan. Para guru memberikan pelajaran sesuai
dengan pelajaran bahasa dan kasusasteraan Jawa.
Pelajaran bahasa dan kasusasteraan Jawa hingga kini diberikan
di Pawiyatan Aksara Jawa. Selain itu, para pengajarnyapun adalah
para abdi dalem yang bertugas di Tepas Widya Budaya. Pembelajaran
ini sifatnya tidak khusus, sehingga para abdi dalem yang inin belajar
mengenai bahasa, kasusasteraa, tulisan Jawa dapat mengikuti
pembelajaran di Gedung KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
4. Prasarana
Perkembangan selanjutnya adalah terletak pada prasarana.
Prasarana gedung sekolah memiliki beberapa perbedaan terkait dengan
fungsi dan letak tempatnya. Gedung Sekolah Tamanan mempunyai
fungsi sebagai tempat untuk kegiatan belajar mengajar yang disebut
98
dengan Bangsal Tamanan. Namun, saat ini sudah dialih fungsikan dan
digunakan untuk kegiatan membatik. Selain fungsi, terdapat perubahan
mengenai letak tempat kegiatan belajar mengajar para abdi dalem.
Para abdi dalem menggunakan Bangsal Kasatriyan dan Gedung KHP
Widya Budaya sebagai tempat abdi dalem belajar saat ini.
Bangsal Kasatriyan merupakan Bangsal tempat para abdi dalem
melakukan kegiatan belajar mengajar Pawiyatan Abdi Dalem,
sedangkan Gedung KHP Widya Budaya merupakan tempat para abdi
dalem dalam mengikuti pembelajaran di Pawiyatan Aksara Jawa.
Bangsal maupun Gedung ini keduanya memiliki peran penting dalam
melaksanakan kegiaan pembelajaran di karaton.
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem sebagian besar memiliki persamaan dan
perbedaan dengan yang ada di Sekolah Tamanan. Sekolah Tamanan memiliki
cara kegiatan belajar mengajar yang lebih bersifat khusus dan belum bersifat
universal untuk abdi dalem. Abdi dalem semasa mengikuti kegiatan
pembelajaran di Sekolah Tamanan masih mengutamakan dan memperhatikan
profesi dan keahlian yang dimiliki. Pengelompokan-pengelompokan sesuai
dengan keahlian dan profesi abdi dalem tersebut menjadikan ciri khas untuk
membedakan dengan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem. Selain itu, para
pengajarnya pun ahli di bidangnya dan sesuai dengan tugas dan profesinya.
99
Berbagai aspek yang dapat diihat dari perubahan-perubahan yang ada antara
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem dengan Sekolah Tamanan, dapat menunjukkan
sifat kontinuitas dalam sejarah. Ada beberapa aspek saja yang saling berkaitan
dengan masa sekarang. Konsep sejarah kontinuitas dalam bahasan ini adalah
terletak pada model pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Model
pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I ini kini diterapkan kembali
semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Para abdi dalem menjalankan tugas dan profesi di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat telah diberikan gaji atau upah. Gaji atau upah yang
diterima oleh para pegawai karaton (abdi dalem) memiliki perbedaan seiring
dengan masa pemerintahan sultan. Sri Sultan Hamengku Buwono I-VII
memberikan gaji untuk para pegawai berupa tanah dan sawah. Sedangkan uang
tetempuh besarnya menurut tingkat jabatan. Uang tetempuh tersebut berasal
dari Pemerintahan Belanda. Pemerintah Belanda memberikan uang tetempuh
yang berasal dari hasil daerah Mataram yang berada di luar Yogyakarta.
Peraturan gaji tersebut berlaku sampai tahun 1914, pada waktu apanage stelsel
dihapuskan sehingga dibentuk kalurahan-kalurahan sebagai badan hukum.
Sri Sultan Hamengku Buwono I-VII memberikan gaji untuk para abdi
dalem belum melalui lembaga pemerintahan yang khusus dan masih terikat
dengan peraturan Belanda. Lain halnya, semasa Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII yang sudah mempunyai lembaga pemerintahan yang bertugas menangani
100
urusan para pegawai karaton. Lembaga pemerintahan tersebut dinamakan
Parentah Luhur Keraton. Parentah Luhur Keraton ini didirikan pada tahun 1934.
Pegawainya terdiri dari pegawai yang digaji negeri dan yang digaji karaton.17
Para pegawai karaton semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX mulai memberikan gaji untuk para abdi dalem berupa uang. 18
Uang tersebut bukan berasal dari Pemerintahan Belanda, melainkan uang
tersebut berasal dari karaton sendiri. Selain sistem pembayaran upah atau gaji
berubah, lembaga pemerintahan Parentah Luhur berganti nama menjadi
Kantor Penghubung Karaton Yogyakarta atau disebut Tepas Dwarapura
hingga sampai sekarang (masa Sri Sultan Hamengku Buwono X). 19
Tepas
Dwarapura merupakan tepas yang menangani urusan hubungan Karaton
Yogyakarta dengan masyarakat ataupun instansi.
Pendidikan untuk abdi dalem tidak terlepas dari adanya pendidikan
humaniora. Pendidikan humaniora lambat laun akan masuk di kalangan istana,
baik untuk keluarga istana maupun para abdi dalem.20
Berbagai macam cara
17 Anonim, Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan, 1976), hlm. 159.
18 Lihat lampiran 17, Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku
Buwono IX Nomor 2717 Tahun 1945, hlm. 133.
19 op.cit., hlm. 160.
20 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT TIARA WACANA
YOGYA, 1987), hlm. 40.
101
agar pendidikan humaniora ada dan lambat laun akan masuk ke dalam istana
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dapat melalui berbagai macam saluran.
Saluran-saluran tersebut antara lain: literatur jawa, upacara-upacara dan
simbol-simbol, dan pendidikan keagamaan. Berbagai macam saluran tersebut
hingga kini dapat menjadi pendukung di dalam proses pembelajaran di
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem.
Pendidikan humaniora dapat dipelajari melalui berbagai macam saluran.
Saluran pertama dapat melalui kajian literatur jawa. Literatur jawa dapat
memberikan wawasan yang didalamnya memuat wawasan mengenai etika. Etika
dapat dipelajari mengenai kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepribadian
yang dimiliki oleh seseorang sehingga muncul adanya pendidikan etika.
Pendidikan-pendidikan terkait dengan etika tersebut ada di dalam literatur jawa.
Literatur jawa seperti babad, serat, dan piwulang dapat mengajarkan kepada kita
bahwasannya etika tidak terlepas dari kepribadian seseorang.
Literatur Jawa merupakan salah satu saluran pendidikan humaniora yang
bergerak di bidang bahasa dan kasusasteraan. Adanya literatur tersebut, karaton
dapat juga mempekerjakan pujangga-pujangga yang berkewajiban
mengembangkan sastra yang mencakup etika (filsafat perilaku dan ajaran baik-
buruk), babad (sejarah tradisional), gendhing atau nyanyian. 21
Pengembangan-
21 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 110.
102
pengembangan dibidang sastra tersebut dapat dikembangkan oleh pihak
karaton dengan didukung oleh teknologi yang modern. Karaton juga berharap
kajian tentang literatur jawa dapat terus dikembangkan melalui berbagai
macam naskah, manuskrip, dan arsi-arsip karaton.
Saluran pendidikan humaniora kedua adalah melalui upacara-upacara dan
simbol-simbol. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki simbol-simbol
kebesaran yang terlihat pada upacara-upacara karaton. Pelaksanaan upacara-
upacara pasti memiliki makna tersendiri. Makna-makna tersebut dapat
memberikan pengetahuan dan pendidikan bagi masyarakat melalui simbol-
simbol yang ada di dalam upacara karaton tersebut. Masyarakat yang hadir dan
turut serta melihat secara langsung dapat memiliki kesan tersendiri.
Simbol merupakan suatu kesatuan dalam upacara-upacara karaton.
Misalnya, adanya simbol disetiap bendera prajurit karaton berbeda. Simbol-
simbol ini untuk membuktikan bahwa karaton mempunyai pemerintahan yang
kuat dengan memiliki bermacam-macam prajurit guna untuk memberikan
keamanan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Selain itu, tujuan utama
upacara ialah menundukkan setiap anggota masyarakat pada posisi sosial
tertentu sebagai raja, sentana, abdi dalem, maupun kawula. 22
Simbol-simbol
22 Kawula Dalem dapat disebut juga lapisan wong cilik. Lapisan ini diartikan dengan
lapisan yang jauh di luar kerabat karaton dan mereka yang tidak mempunyai Sedangkan tugas Sultan menyangkut masalah dalam lingkungan karaton dibantu oleh para sentana. Lihat:
103
dalam upacara karaton ini memberikan pemahaman kepada masyarakat
terkait dengan peranan karaton dalam pemerintahan, sosial, dan budaya.
Karaton memiliki peranan di bidang keagamaan. Peranan ini tidak lepas
dengan adanya pendidikan keagamaan di karaton. Pendidikan ini penting untuk
Karaton karena memiliki posisi yang biasanya dekat dengan masjid. Salah satu
masjid yang posisinya dekat dengan Karaton Ngayogyakarta adalah Masjid
Gedhe Kauman.23
Selain itu karaton juga mempekerjakan sejumlah ulama. 24
Ulama tersebut terdiri dari abdi dalem abdi pamethakan (pamethakan dari kata
pethak= putih). Warna putih ini sesuai dengan warna baju yang dikenakan
ketika para abdi dalem menjalankan tugas.
Pendidikan keagamaan dapat masuk melalui berbagai macam cara.
Pendidikan keagamaan dapat melalui tulisan-tulisan buku yang ditulis oleh
para pujangga, raja, ataupun siapa saja yang memiliki pemikiran teologis.
Tulisan-tulisan buku tersebut mengenai cita-cita dalam hal kasampurnaan,
Sagimun dan Rivai Abu, Sistim Kesatuan Hidup Setempat Daerah Isimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980/1981), hlm. 58, 59, dan 70.
23 Masjid Gedhe Kauman Karaton Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi
yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan arsitek Kanjeng Tumenggung Wiryokusumo pada tahun 1667 J atau 1773. Lihat: Ahmad Sarwono bin Zahir, Sabda Raja HB X Dalam Timbangan Revousi Karakter Istimewa, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 120.
24 Ulama, kosakata bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘alim, artinya orang yang berpengetahuan, ahli
ilmu, orang pandai. Dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal, yakni orang yang ahli ilmu agama Islam. Kata
ulama sepadan dengan ulul albab dalam Al-Quran, yaitu orang yang arif. Lihat: Muhammad Chirzin, Ulama dan Umara
dalam Perspektif
Al-Quran, (https://artikula.id/muhammad/ulama-dan-umara-dalam-perspektif-al-quran/. diakses 12 Februari 2019).
yaitu buku-buku wirid dan suluk. Buku-buku wirid dan suluk ini merupakan
hasil tulisan-tulisan dari para pujangga. Salah satu pujangga yang berasal
dari Karaton Surakarta yang bernama Ranggawarsita (1802-1873). Beliau
menyumbangkan ilmu kasampurnaan dengan menulis buku-buku berjenis
wirid dan suluk, seperti Wirid Hidayat Jati, Suluk Sukma Lelana, Maklumat
Jati, dan sebagainya.
BAB V
KESIMPULAN
Pendidikan di Yogyakarta telah lama menjadi bahan kajian yang menarik
minat berbagai kalangan. Unsur yang menarik dari pendidikan secara historis
bahwa telah terjadi pada masa kerajaan-kerajaan salah satunya di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Peninggalan-peninggalan masa lalu dan
kebudayaan-kebudayaan yang ada merupakan bagian dari terbentuknya sejarah
pendidikan di Yogyakarta. Sejarah pendidikan di Yogyakarta merupakan bahan
kajian dalam skripsi ini, yang didukung oleh seluruh masyarakat Yogyakarta.
Berbagai aspek yang dapat diihat dari perubahan-perubahan yang ada
antara Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem dengan Sekolah Tamanan, dapat
menunjukkan sifat kontinuitas dalam sejarah. Ada beberapa aspek saja yang
saling berkaitan dengan masa sekarang. Konsep sejarah kontinuitas dalam
bahasan ini adalah terletak pada model pendidikan semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono I. Model pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku
Buwono I ini kini diterapkan kembali semasa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono X.
Konsep sejarah dalam bahasan ini juga ada konsep diskontinuitas. Konsep
diskontinuitas ini terletak pada pendidikan yang ada di karaton saat ini
105
106
disesuaikan dengan perkembangan zaman, misalnya pemukiman di sekitar
Karaton Yogyakarta. Pemukiman saai ini sudah mempunyai fungsi yang
berbeda semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono I mempunyai fungsi sebagai pendukung tata
pemerintahan di Yogyakarta dan berguna sebagai pemukiman khusus untuk
abdi dalem, sedangkan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X fungsi dan
peranan kampung sudah berubah. Pemukiman-pemukiman ini sekarang dihuni
oleh masyarakat umum dan hanya sebagian kecilnya saja peranan kampung
masih ada. Peranan kampung yang masih ada hingga sekarang ini terletak di
Kampung Sekulanggen, kampung ini masih aktif dalam menyiapkan berbagai
kebutuhan karaton.
Pendidikan Pawiyatan Abdi Dalem ini merupakan pendidikan yang
mengutamakan pendidikan karakter. Karakter yang sesuai dengan ajaran Sri
Sultan Hamengku Buwono I terkait dengan kepemimpinan. Selain itu,
pendidikan pawiyatan juga menyisipkan budaya-budaya di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pendidikan ini sangat penting terkait dengan
pembentuka kepribadian, dan jiwa seseorang abdi dalem. Abdi dalem harus
menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat dan juga pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Arsip:
Arsip Pamucalan Aksara Jawi, (2018). KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa, (2018). KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VII No. 597 Tahun 1923.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VIII No. 435 Tahun 1923.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VIII No. 599 Tahun 1926.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB IX No. 2479.
Sumber Buku:
Abdurahman, Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Achmad, Sri Wintala dan Krisna Bayu Adji. (2014). Geger Bumi Mataram Sejarah Panjang Perjalanan Kerajaan-Kerajaan Jawa Pasca Mataram Islam Yogyakarta: Araska.
Achmad, Sri Wintala. (2017). Asal Usul dan Sejarah Orang Jawa Yogyakarta: Araska.
Agung, Leo dan Suparman. (2012). Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:
Ombak.
Ahmadi. (1987). Pendidikan dari Masa ke Masa. Bandung: CV.ARMICO.
Anggota IKAPI. (1983). Layang Aksara Jawa Jilid I, II, dan III. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Anonim. (1956). Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta.
_______.(1976). Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
107
108
______. (1977). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
_______. (1992). Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. (2006). Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM.
_______. (2009). Ensklopedia Kraton. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.
_______. (2011) Monarki Yogya Inkonstitusional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Anshoriy, Nasruddin dan GKR Pembayun. (2008). Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme. Yogyakarta: LKis.
Bradjanagara, Sutedjo. (1956). Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Kongres Pendidikan Indonesia.
Darini, Ririn. (2009). Pedoman Penulisan Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Darusuprapta. (1996). Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta:
Endraswara, Suwardi. (2006). Budi Pekerti Jawa Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Goenawan, Riyadi dan Darto Harnoko. (2012). Mobilitas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad Ke-20: Suatu kajian Sejarah Sosial. Yogyakarta: Ombak.
109
Gottschalk, Louis. (1986). Understanding History: A Primer of Historical Method, a.b. Nugroho Notosusanto, “Mengerti Sejarah”. Jakarta: UI Press.
Hamid, Rahman Abd dan Muhammad Saleh Madjid. (2008). Pengantar
Jurusan Pendidikan Sejarah. (2013). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skipsi. Yogyakarta: Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT TIARA WACANA YOGYA.
Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Moedjanto, G. (1994). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Yogyakarta: Kanisius.
Molen, W. Van der. (tanpa tahun). Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa, (tanpa lokasi penerbit: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nasution, S. (1995). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nitinegoro, Soemardjo. (1981). Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaan Ngayogyakarta Hadinigrat. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
110
Nurhajarini Dwi Ratna, dkk. (2017). Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Poedjosoedarmo, Soepomo, dkk. (2014). Bahasa Bagongan. Yogyakarta:
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Purwadi. (2007). Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Medan:
Pujakesuma.
Purwadi. (2014). Sejarah Raja-Raja Jawa Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Rifa’i, Muhammad. (2011). Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa
Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: AR-RUZZ Media.
Rintaiswara. (2015). Bab Hajad Dalem (Kagem Wucalan Pawiyatan) Wonten hing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: KHP Widyabudaya.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2016). Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Yogyakarta: KREASI WACANA.
Rochmat, Saefur. (2009). Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sabdacarakatama, Ki. (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Narasi.
Sagimun dan Rivai Abu. (1980). Sistim Kesatuan Hidup Setempat Daerah Isimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Salam, Aprinus, dkk. (2016). Mbongkar Yogya. Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM dan Gambang Buku Budaya.
Sarwono, Ahmad. (2015). Sabda Raja HB X Dalam Timbangan Revousi Karakter Istimewa. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Siswoyo, Dwi, dkk. (2013). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Soekirman, Djoko, dkk. (1986). Sejarah Kota Yogyakarta, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soemardjan, Selo. (1981). Perubahan Sosial di Yogyakarta.
Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
111
Soenarto, D. (2013). Kesetiaan Abdi Dalem. Yogyakarta: Kepel Press, 2013.
Subanar, G. Budi. (2007). Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan
Yoyakarta: Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.
Suhartono. (2010). Teori Dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Surjomihardjo, Abdurrachman. (2008). Kota Yogyakarta Tempo Doeloe:
Sejarah Sosial 1880-1930. Jakarta: Komunitas Bambu.
Supraja, Muhammad. (2015). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Anggota
IKAPI.
Susilantini, Endah, dkk. (2014). Serat Angger Pradata Awal dan Pradata Akhir di Kraton Yogyakarta (Kajian Filosofis Historis). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta.
Sutjiatiningsih, Sri dan Sutrisno Kutoyo. (1980). Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Suwito, Yuwono Sri. (2009). Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung Di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Ulung, Gagas. (2011). Go Traditional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zainuddin, Rahman. (1992). Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Sumber Jurnal:
Agung Mustifaris Nugroho, dkk. (2018). “Makna Pisowanan Agung di Yogyakarta Tahun 1998-2008”, AVATARA, Vol 6 No, 4, hlm. 2.
Agus Sudaryanto. (2008). “Hak dan Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintahan”, Mimbar Hukum, Volume 20 No. 1, hlm. 166.
Fatchor Rahman. (2017). “Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; Sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah”, El Banat, Volume 7 No.1, hlm. 139.
112
Setiadi Sulaiman. (2012). “Pendekatan Konsep Dalam Pembelajaran
Sejarah”, Jurnal Sejarah Lontar, Volume 19 No. 1, hlm. 12.
Sumber Internet
Ahmad Sahroji. (2017). Kenapa Kalender Jawa Mirip dengan Kalender Hijriyah?. Tersedia pada https://news.okezone.com/read/2017/09/20/340/1779891/kenapa -kalender-jawa-mirip-dengan-kalender-hijriah-berikut-
penjelasannya. Diakses pada tanggal 01 Januari 2019).
Anonim.(2010). Sekolah Abdi Dalem. Tersedia pada https://store.tempo.co/foto/detail/P1610201000070/sekolah-abdi dalem#.XKKg49OJjo. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2018.
HeningWasisto. (2017). Menilik Sekolah Macapat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Upaya Jaga Kelestarian Budaya Jawa. Tersedia pada http://jogja.tribunnews.com/2017/08/09/menilik-sekolah-macapat-keraton-ngayogyakarta-hadiningrat-upaya-jaga-kelestarian-budaya-jawa?page=all. Diakses pada tanggal 06 Februari 2019.
Kerajaan Nusantara, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, (www.
kerajaannusantara.com/id/yogyakarta-hadiningrat/istana-utama. diakses 18 Februari 2019.
Muhammad Chirzin, (2018). Ulama dan Umara dalam Perspektif Al-
Quran, Tersedia pada https://artikula.id/muhammad/ulama-dan-
umara-dalam-perspektif-al-quran/. Diakses pada tanggal 12
Februari 2019.
Nail Hikam Faqihuddin. (2017). Makna Simbolis Pakaian Dinas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Tersedia pada https://www.academia.edu/35396281/Makna_Simbolis_Pakaian _Dinas_Abdidalem_Keraton_Yogyakarta. Diakses pada tanggal
05 Februari 2019.
Pribadi Wicaksno. (2012). 4 Sabdatama Raja Yogya Untuk Warganya.
Tersedia pada https://nasional.tempo.co/read/403116/4-
Ratnawati. (2018). Teori Politik dalam Ilmu Politik, Teori Politik Klasik dan Kontemporer. Tersedia pada http://www.elisa.ugm.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Desember 2018.
dalem-keraton-yogyakarta-bag-1/. Diakses pada tanggal 02 Februari 2019
Sayidiman Suryohadiprojo. (1994). Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman. Tersedia pada https://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198. Diakses pada tanggal 01 Januari 2019.
Sutirman Eka Ardhana. (2018). Sejak 1757 di Keraton Yogyakarta Ada Sekolah Tamanan. Tersedia pada https://www.perwara.com/2018/sejak-1757-di-keraton-yogyakarta-ada-sekolah-tamanan/. Diakses pada tanggal 30 April 2018.
Sri Suryantini. (2011). Metodologi Sejarah. Tersedia pada
Tepas Tanda Yekti. (2017). Tugas dan Fungsi Abdi Dalem. Tersedia pada http://kratonjogja.id/abdi-dalem/3/tugas-dan-fungsi-abdi-dalem. Diakses pada tanggal 23 Juni 2017.
Tepas Tanda Yekti. (2017). Pawiyatan Aksara Jawi Abdi Dalem
Memasuki Angkatan Ke-4. Tersedia pada http://kratonjogja.id/peristiwa/27/pawiyatan-aksara-jawi-bagi-abdi-dalem-memasuki-angkatan-ke-4. Diakses pada tanggal 25 Juni 2017.
Tribun News. (2017). Keraton Yogya Gratiskan Belajar Macapat di Sekolah Ini. Tersedia pada http://jogja.tribunnews.com/2018/02/17/keraton-yogya-gratiskan-belajar-macapat-di-sekolah-ini?page=3. Diakses pada tanggal 01 Februari 2019.
Sumber Skripsi:
Benedecta Herlin Yose Hana. (2018). Dari Tradisional ke Modern: Sejarah Pendidikan Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. (Skripsi). Yogyakarta: UGM.
Eka Yuli Prasetya. (2009). Kehidupan dan Pendidikan Belanda Kaum Priyayi Jawa Abad XX. (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.