-
Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
JILID (Serial Api di Bukit Menoreh)
Panembahan Mandaraka (mbah_man)
http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/
Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah
Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di
Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396
dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
ii
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
iii
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
(Lanjutan T ADBM)
Karya mbah_man
Jilid 7
Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
iv
Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri
Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah
ini diupload di
http://cersilindonesia.wordpress.com, dan
http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja
didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan
http://cersilindonesia.wordpress.com/http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/
-
NAMUN Ki Rangga ternyata tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
itu. Selagi lawannya terdorong beberapa langkah surut, kali ini
ketiga ujud Ki Rangga segera melakukan gerakan yang sama, memutar
cambuk di atas kepala beberapa kali.
Sejenak kemudian, begitu ujud lawannya yang berupa gumpalan api
sebesar gardu perondan itu terlihat telah tegak kembali, serangan
Ki Rangga pun meluncur kembali dengan dahsyatnya. Kali ini tiga
larik sinar kebiru-biruan meluncur deras menghantam dada
lawannya.
Agaknya serangan Ki Rangga kali ini telah melemparkan tubuh
lawannya beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh
bergulingan. Segera saja rumput-rumput dan semak belukar yang
tertimpa tubuh Kiai Damar Sasangka hangus terbakar menjadi abu.
“Anak Iblis..!” umpat pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu
sambil terus bergulingan beberapa kali sehingga arena di sekitar
pertempuran yang hangus terbakar menjadi semakin luas. Beberapa
buah pohon perdu ikut terbakar sehingga sinar apinya yang membara
terlihat dari tempat Ki Waskita bertempur.
“Aji Sapta Dhahana yang sempurna,” membatin Ki Waskita sambil
terus berkelit menghindari serangan lawannya, “Siapa lagi yang
mampu mengungkapkan aji Sapta Dhahana yang sempurna di padepokan
ini selain Kiai Damar Sasangka.”
Jantung Ki Waskita pun menjadi semakin berdebar-debar. Berbagai
dugaan telah muncul dalam benaknya. Sebagai orang yang telah
mengijinkan Ki Rangga untuk membaca kitab perguruannya, Ki Waskita
tahu dengan pasti tingkat kemampuan agul-agulnya Mataram itu.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
2
“Angger Sedayu sebaiknya mengatasi perlawanan aji Sapta Dhahana
dengan aji pengangen-angen,” berkata Ki Waskita dalam hati
selanjutnya, “Aku tidak yakin jika ilmu kebal angger Sedayu akan
mampu menahan panasnya api aji Sapta Dhahana. Demikian juga dengan
aji kakang kawah adi wuragil, wadag asli angger Sedayu masih
terlibat sehingga kemungkinan terkena pancaran ilmu lawan sangat
memungkinkan,” sejenak Ki Waskita berhenti berangan-angan ketika
seleret lidah api dari lawannya meluncur hampir menyentuh jidadnya.
Dengan cepat Ki Waskita pun merundukkan kepalanya.
“Dengan aji pengangen-angen, wadag angger Sedayu akan terbebas
dari pengaruh ilmu lawannya. Sehingga lawan akan terkuras
tenaganya, sementara ujud semu dari angger Sedayu dapat mengurangi
daya tahan lawan dengan serangan-serangannya yang tak ada bedanya
dengan ujud aslinya.”
Namun Ki Waskita tidak sempat berangan-angan terlampau jauh.
Serangan lawan telah datang bertubi-tubi bagaikan gempuran ombak
pantai selatan.
Dalam pada itu, beberapa puluh langkah dari arena pertempuran Ki
Rangga yang membara, Glagah Putih sedang berusaha menjinakkan adik
kandung orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu.
Badai api yang dibuat oleh Raden Surengpati memang cukup
nggegirisi, namun dalam diri Glagah Putih telah mengalir berbagai
cabang ilmu olah kanuragan. Selain ilmu olah kanuragan dari cabang
Ki Sadewa yang didapatkan dari kakak sepupunya, Glagah Putih pun
juga mewarisi ilmu dari Ki Jayaraga, seorang petualang yang
ngedab-edabi di masa mudanya.
Disamping ilmu-ilmu yang didapatkan dari kedua gurunya itu,
Glagah Putih juga pernah bersahabat dengan Raden Rangga, putra
tertua Panembahan Senapati yang mempunyai kesaktian yang aneh,
kesaktian yang diluar jangkauan nalar. Dan yang terakhir, bersama
istrinya Rara Wulan, mereka dengan tidak sengaja telah mewarisi
sebuah Kitab peninggalan seorang Pangeran di jaman Majapahit,
Pangeran Namaskara.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
3
Demikianlah pertempuran kedua anak muda itu semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan dibajak oleh
berpuluh-puluh ekor kerbau. Sedangkan beberapa tanaman bunga serta
perdu yang ada di halaman padepokan itu telah hancur terkena
sambaran ilmu keduanya.
“Menyerahlah, Raden,” berkata Glagah Putih kemudian di sela-sela
serangan Raden Surengpati yang datang membadai, “Raden harus
melihat kenyataan. Tubuh Kiai Damar Sasangka yang berujud gumpalan
api itu telah terguling terkena sambaran ilmu Ki Rangga. Aku yakin
sebentar lagi api itu pun akan padam, atau tinggal baranya saja
yang tak lebih dari sebongkah bara dari akar kayu mlanding. Hanya
mampu untuk membakar jagung atau ketela.”
“Tutup mulutmu!” bentak Raden Surengpati sambil menghentakkan
ilmu pamungkasnya. Badai api pun kembali melanda Glagah Putih.
Namun Glagah Putih selalu waspada. Dia tidak ingin terjebak
untuk mengadu ilmu pamungkas Raden Surengpati itu secara langsung.
Glagah Putih selalu menghindar dan mencari celah untuk melepaskan
salah satu puncak ilmunya yang didapat dari Ki Jayaraga, aji sigar
bumi.
“Aku tidak mempunyai ilmu kebal sebagaimana Kakang Agung
Sedayu,” demikian Glagah Putih berkata dalam hati, “Aku belum tahu
sejauh mana panasnya api ini akan dapat menembus kulitku.”
Dengan pemikiran seperti itu, Glagah Putih pun berusaha sejauh
mungkin menghindari jilatan dari badai api yang diciptakan oleh
lawannya.
Dalam pada itu, Ki Rangga yang melihat lawannya justru telah
berguling menjauh telah dihinggapi keragu-raguan. Dibiarkan saja
gumpalan api sebesar gardu perondan itu berguling menjauh.
Namun ternyata disitulah letak kelengahan Ki Rangga. Di saat dia
hanya berdiri termangu-mangu memandangi lawannya yang bergulingan
menjauh, Kiai Damar Sasangka tidak mau memberikan kesempatan kepada
lawannya untuk sekali lagi
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
4
mengulangi serangannya. Tiba-tiba saja sambil melenting berdiri,
pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tanpa ancang-ancang telah
melontarkan serangannya kembali. Berpuluh-puluh lidah api yang
sepanas bara api tempurung kelapa pun meluncur terus menerus
menerjang ujud Ki Rangga yang asli.
Bagaikan melihat hantu yang bangkit dari kuburnya, Ki Rangga
dibuat terkejut bukan buatan. Tubuh lawannya yang berbentuk
gumpalan api sebesar gardu perondan itu seolah olah tidak merasakan
akibat dari serangannya beberapa saat tadi. Lawannya masih mampu
menyerang dengan serangan-serangan dahsyat sebagaimana semula.
Seolah olah serangan ilmu puncak dari perguruan orang bercambuk itu
sama sekali tidak membekas di tubuhnya.
Segera saja Ki Rangga teringat akan kesaktian Panembahan Cahya
Warastra yang pernah berperang tanding dengannya beberapa saat yang
lalu. Ketika itu serangan Ki Rangga pun seakan-akan tidak mampu
menembus ilmu kebal lawannya. Namun ternyata pada akhirnya tubuh
bagian luar Panembahan Cahya Warastra sajalah yang tetap utuh.
Sedangkan bagian dalam tubuhnya telah remuk dan lumat menjadi
seonggok daging bercampur dengan pecahan tulang.
“Benar-benar sebuah ilmu yang bersumber dari alam kegelapan,”
desis Ki Rangga dalam hati sambil terus berloncatan menghindari
setiap serangan lawannya.
Demikianlah sejenak kemudian kedua orang itu kembali terlibat
dalam pertempuran yang sengit. Masing-masing mencoba mencari
kelemahan dan menunggu kelengahan lawannya.
Dalam pada itu, di rumah Ki Prana, Nyi Selasih agaknya telah
selesai berbenah. Sebuah buntalan besar telah dipanggul di pundak
Gandhung. Sedangkan Ki Prana menggendong cucu laki-laki
satu-satunya yang masih kanak-kanak. Sementara Nyi Selasih sendiri
hanya menjinjing sebuah buntalan yang kecil.
“Marilah,” berkata Ki Wiyaga kemudian begitu mereka telah
berkumpul di pendapa, “Sebaiknya rumah ini memang dikosongkan saja.
Kita semua berangkat ke Matesih.”
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
5
“Bagaimana dengan tawanan itu?” tiba-tiba saja seorang pengawal
menyeletuk.
Sejenak Ki Wiyaga mengerutkan keningnya. Sekilas dia tadi
melihat tawanan itu masih pingsan. Jika orang itu disadarkan dari
pingsannya tentu akan merepotkan untuk membawanya ke Matesih. Namun
jika dibiarkan dalam keadaan pingsan, tentu juga akan
menyulitkan.
“Di belakang ada seekor kuda, walaupun tidak tegar dan bahkan
bisa dibuang agak kurus,” tiba-tiba Ki Prana menyahut, “Bagaimana
jika kita angkat tawanan yang pingsan itu dengan seekor kuda?”
“Bagus,” jawab Ki Wiyaga dengan serta merta dan wajah yang
berseru. Kemudian katanya kepada salah seorang pengawal yang
berdiri di sampingnya, “Ambil kuda itu di belakang rumah.”
Tanpa membuang waktu, pengawal itu segera bergegas menuju ke
belakang rumah lewat samping.
Demikianlah akhirnya. Sejenak kemudian rombongan kecil itu
segera bersiap meninggalkan rumah Ki Prana. Di barisan paling depan
seorang pengawal menuntun seekor kuda yang digunakan untuk
mengangkut tawanan. Tawanan itu diikat kedua tangan dan kakinya
serta tubuhnya ditelungkupkan di atas pelana. Sementara sebuah tali
yang kuat telah mengikat tubuh yang tertelungkup itu dengan pelana
kuda.
Ki Wiyaga berjalan di samping kuda itu. Sedangkan Ki Prana
selangkah di belakang Ki Wiyaga sambil mendukung cucunya yang mulai
mengantuk. Sementara Nyi Selasih dengan kepala tunduk berjalan di
samping ayahnya.
Dua langkah di belakang mereka barulah para pengawal dan
kemudian Gandhung yang memanggul sebuah bungkusan besar di pundak
kanannya. Sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah tombak
pendek.
Sesekali Nyi Selasih masih sempat berpaling ke belakang. Terasa
sebuah desir tajam telah menggores jantungnya. Bagaimana pun juga,
rumah itu adalah rumah yang penuh dengan
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
6
kenangan. Disitulah dia dilahirkan dan dibesarkan sampai
kemudian datang seorang laki-laki yang meminangnya. Namun ternyata
usia laki-laki itu tidak panjang. Setelah memberinya seorang anak
laki-laki, suami pertamanya itu pun meninggal dunia karena
sakit.
Ketika seorang laki-laki kembali hadir dalam hidupnya, terasa
keceriaan itu kembali menghangati bilik hatinya yang sempat dingin
dan sepi. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar kuasa dirinya.
Anak tirinya ternyata telah menolak kehadirannya untuk menjadi
bagian dari keluarga di Perdikan Matesih.
Dalam pada itu, tanpa sepengetahuan rombongan kecil yang mulai
bergerak meninggalkan halaman, dari salah satu sudut halaman rumah
Ki Prana yang gelap, dua bayangan aneh tampak sedang mengawasi
mereka.
Tampak seorang yang berperawakan tinggi besar berpakaian serba
hitam dengan sebagian wajah, kaki dan tangan penuh dengan bulu-bulu
seperti rupa seekor monyet raksasa. Di sebelahnya justru
kebalikannya, seorang yang berperawakan ramping dibalut dengan
pakaian yang ringkas serta sebagian wajahnya tertutup secarik
kain.
“Tawanan itu masih pingsan,” tiba-tiba terdengar orang yang
berperawakan ramping itu berdesis perlahan, “Mungkin aku tadi
memukulnya terlalu keras.”
Orang tinggi besar yang berdiri di sebelahnya terdengar menarik
nafas panjang. Katanya kemudian, “Rara, lain kali sebaiknya Rara
membuat pertimbangan terlebih dahulu sebelum mengerahkan kekuatan.
Aku takut leher orang itu justru telah patah atau mengalami cedera
yang berat.”
“Ah Eyang ini,” terdengar suara manja dari orang yang bertubuh
ramping sambil tangannya bergerak membuka penutup wajahnya. Seraut
wajah cantik pun muncul dengan sepasang alis yang bak semut
beriring di atas sepasang mata yang selalu berbinar bak bintang
kejora. Hidung yang mungil namun mancung itu terlihat begitu
serasinya dipadu dengan bibir merah muda nan ranum yang selalu
basah menggairahkan.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
7
“Marilah, Rara,” berkata orang tinggi besar itu kemudian, “Aku
kira tenaga kita sudah tidak diperlukan lagi di sini. Kita segera
berangkat ke gunung Kendalisada.”
“Aduh, Eyang..,” terdengar suara sedikit kesal yang meluncur
dari bibir yang menggemaskan itu, “Jauh-jauh Eyang aku panggil
dengan aji pameling, mengapa kita tidak sekalian saja bergabung
dengan mereka sehingga kita dapat membantu tugas Ki Rangga di
Gunung Tidar?”
Kembali terdengar helaan nafas panjang dari orang tinggi besar
itu. Jawabnya kemudian, “Rara, aku yakin Ki Rangga dan
kawan-kawannya pasti sudah membuat pertimbangan-pertimbangan
sebelum bertindak. Perguruan Sapta Dhahana di Gunung Tidar memang
tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Namun sekali lagi aku
yakin, Ki Rangga sudah sangat berpengalaman dalam melaksanakan
tugasnya dan mempunyai banyak pertimbangan dalam menghadapi
perubahan di setiap keadaan.”
Sejenak wajah cantik itu tampak menunduk dalam-dalam dengan
kening yang berkerut. Namun kata-kata yang kemudian terucap dari
bibirnya justru telah mengejutkan orang yang dipanggil Eyang
itu.
“Ya, sudahlah Eyang,” terdengar perempuan cantik itu berdesis
perlahan sambil mendongakkan wajahnya memandang bintang-gemintang
yang berkelip di angkasa, “Ki Rangga memang tidak memerlukan tenaga
kita sama sekali. Aku jadi menyesal, mengapa aku tadi begitu
tergesa-gesa membantu Nyi Selasih? Seharusnya kita menunggu saja
kemunculan Ki Rangga untuk menyelamatkan Nyi Selasih.”
“Ah,” desah orang tinggi besar itu sambil beberapa kali
menggelengkan kepalanya, “Bukan begitu maksudku, Rara. Betapapun
tinggi ilmu Ki Rangga, namun dia tetap mempunyai kelemahan. Sudah
sepatutnya Rara tadi membantu Nyi Selasih. Dalam keadaan seperti
tadi, kita memang wajib memberikan bantuan semampu kita. Tidak usah
menunggu orang lain yang belum tentu dapat diharapkan
kehadirannya.”
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
8
“Jadi..?” sepasang mata indah itu tampak berbinar, “Maksud
Eyang, betapapun hebatnya Ki Rangga, tetap saja dia memerlukan
bantuan orang lain?”
Segaris tipis senyum tampak menghias bibir orang tinggi besar
itu. Tanpa menjawab pertanyaan perempuan cantik itu, dia kemudian
melangkah sambil berkata, “Marilah. Ada baiknya kita ikut
melihat-lihat keadaan di sekitar Gunung Tidar. Jika terjadi
kecurangan-kecurangan, setidaknya kita dapat memperingatkan Ki
Rangga dan kawan-kawannya. Jika semuanya sudah berjalan dengan
baik, tidak ada salahnya kita menjadi penonton yang baik pula.”
Hampir saja perempuan cantik itu terlonjak kegirangan. Namun
dengan cepat perasaan yang hampir meluap itu disimpannya
rapat-rapat di dalam dada. Hanya sebuah senyum manis saja yang
tersungging di bibirnya sambil tangan kanannya merangkul lengan
kiri orang yang dipanggilnya Eyang itu sehingga kakinya yang sudah
akan terayun lagi itu terhenti.
“Apakah Eyang akan berlari dengan aji Sepi Angin kembali?”
bertanya perempuan cantik itu dengan nada sedikit manja sambil
mempererat pegangannya.
“Waktu kita sudah sangat sempit sekali,” jawab orang yang
dipanggil Eyang itu sambil menengadahkan wajahnya, “Beberapa saat
lagi malam akan berlalu dan akan banyak kemungkinan yang akan
terjadi selepas sang fajar terbit.”
Selesai berkata demikian, orang yang dipanggil Eyang itu
tiba-tiba saja menggerakkan sepasang kakinya dengan langkah yang
lebar. Segera saja tampak benda-benda di sekitar mereka berdua
bergerak menjauh ke belakang dengan sangat cepatnya.
Dalam pada itu, malam semakin jauh meninggalkan pusatnya. Namun
di padukuhan-padukuhan terdekat belum terdengar kokok ayam jantan
bersahut-sahutan. Sedangkan binatang-binatang malam dan sejenisnya
masih saja terbang berputar-putar mencari mangsa dan belum ada
keinginan untuk kembali ke sarang mereka.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
9
Ki Gede Matesih yang berjalan di depan pasukan pengawal tampak
mendongakkan wajahnya. Lintang gubuk penceng sudah semakin jauh
bergeser ke arah langit selatan. Sebagai gantinya, tampak lintang
panjer rina mulai muncul dengan sinarnya yang cerah menyapa langit
sebelum sinar Matahari yang pertama menyentuh bumi.
“Masih ada sedikit waktu sebelum fajar tiba,” desis Ki Gede
tanpa sadar.
Beberapa pengawal yang berjalan di sebelahnya hampir serentak
ikut mendongakkan wajah mereka. Wajah langit memang masih tampak
gelap, namun tanda-tanda akan kedatangan sang fajar sudah mulai
tampak.
“Marilah!” teriak Ki Gede kemudian sambil mempercepat
langkahnya, “Kita jangan sampai terlambat!”
Serentak para pengawal itu pun kemudian ikut mempercepat langkah
mereka. Ketika Ki Gede kemudian berlari-lari kecil, pasukan yang
berjumlah hampir tiga puluh orang itu pun kemudian berlari-larian
sepanjang jalan setapak menuju ke lereng Gunung Tidar.
Beberapa ratus langkah di belakang pasukan itu, Ki Kamituwa
bersama sekitar dua puluhan pengawal telah ikut berlari-larian
sepanjang bulak panjang yang menghubungkan perdikan Matesih dengan
Gunung Tidar. Mereka berusaha memperpendek jarak dengan pasukan di
depannya.
“Semoga kita tidak terlambat,” desis Ki Kamituwa sambil
mempercepat larinya. Para pengawal pun segera menyesuaikan dengan
langkah pemimpinnya itu.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Rangga melawan Kiai Damar
Sasangka benar-benar semakin nggegirisi. Pertempuran antara kedua
orang yang sudah sama-sama putus segala kawruh lahir maupun batin
itu semakin sulit dinalar. Sedikit demi sedikit lingkaran
pertempuran pun telah bergeser semakin jauh dari halaman depan
padepokan. Kini kedua orang itu telah mendekati dinding padepokan
sebelah timur.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
10
Ki Waskita yang bertempur di halaman belakang kini dengan sangat
jelas dapat melihat lawan Ki Rangga yang telah berubah ujud menjadi
gumpalan api sebesar gardu perondan. Terlihat betapa Ki Rangga
sangat kerepotan menghindari sambaran lidah api yang datang
meluncur terus menerus tak ada henti-hentinya bagaikan curah hujan
yang turun dari langit.
“Mengapa angger Sedayu masih mempertahankan kedua ujud semunya
itu?” bertanya Ki Waskita dalam hati sambil pandangan matanya
sekilas-sekilas memperhatikan pertempuran yang semakin mendekati
dinding sebelah timur padepokan, “Justru kendala utama yang
dihadapinya adalah ujud wadagnya sendiri. Angger Sedayu justru
disibukkan dengan ujud aslinya sendiri yang berusaha menghindari
serangan lawannya sehingga tidak ada kesempatan untuk sekejap saja
mengendalikan ujud-ujud semunya. Kedua ujud semu itu bila tanpa
pengendalian nalar dan budi hanyalah sekedar ujud-ujud yang
berloncat-loncatan tak berarti. Sementara agaknya angger Sedayu
benar-benar tidak mempunyai kesempatan mengendalikan ujud-ujud
semunya untuk melontarkan serangannya.”
Sebenarnyalah Ki Waskita dapat merasakan kesulitan yang sedang
dihadapi oleh Ki Rangga. Serangan lawannya benar-benar
susul-menyusul tak henti-hentinya sehingga sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada Ki Rangga untuk balas menyerang.
“Angger Sedayu harus dapat mencari celah untuk menghindar dari
medan, bagaimanapun caranya,” berkata Ki Waskita kembali dalam
hati, “Aji Sapta Dhahana harus dilawan dengan aji
Pengangen-angen.”
Namun apa yang dipikirkan oleh Ki Waskita itu ternyata tidak
mudah untuk dilaksanakan. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih belum
dapat membebaskan dirinya dari gencarnya serangan lawannya.
Serangan lidah-lidah api itu meluncur terus menerus tanpa henti.
Selain harus mengetrapkan kemampuannya dalam menghilangkan bobot
tubuhnya, ujud-ujud semu Ki Rangga pun sesekali harus bersatu
dengan ujud aslinya untuk kemudian
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
11
berpencar kembali. Dengan demikian diharapkan lawannya
memerlukan waktu sekejap untuk mencari ujud Ki Rangga yang asli,
sehingga Ki Rangga akan mendapat kesempatan walaupun hanya sekejap
untuk kembali balas menyerang.
Namun ternyata lawannya dengan cerdik telah mengubah
serangannya. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tidak lagi
berusaha mencari ujud asli Ki Rangga. Begitu ujud-ujud Ki Rangga
itu bersatu, kemudian dengan cepat berpencar ke tiga arah yang
berbeda, serangan-serangan lidah api itupun meluncur bertaburan ke
tiga arah yang berbeda pula.
Ki Rangga harus benar-benar memeras kemampuannya untuk
mengimbangi kecepatan lidah-lidah api itu. Sesekali memang ujung
lidah api yang sepanas api dari tempurung kelapa itu sempat
menyentuh tubuh Ki Rangga dan menghanguskan baju serta mampu
menyengat kulitnya.
“Orang ini ternyata mempunyai panggraita yang nyaris sempurna,”
berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus berloncatan menghindari
serangan lawan, “Dia sudah tidak peduli lagi akan keberadaan ujud
asliku. Dia lebih memusatkan pada kecepatan serangan lidah apinya
sehingga aku hampir tidak mempunyai kesempatan untuk balas
menyerang.”
Namun Ki Rangga tidak pernah berputus asa. Setiap kali ketiga
ujudnya bersatu untuk kemudian berpencar lagi. Demikian hal itu
dilakukannya berulang-ulang dan semakin sering dengan harapan dia
akan mendapat kesempatan walaupun hanya sekejap.
Demikianlah ternyata usaha Ki Rangga pada akhirnya membuahkan
hasil. Ketika ketiga ujud Ki Rangga itu berloncatan saling mendekat
dan kemudian berpencar kembali, Ki Rangga telah memutuskan untuk
mengetrapkan ilmunya yang lain. Ilmu yang didapatkannya secara
tidak sengaja ketika dia sedang memperdalam ilmunya di sebuah goa
dekat kampung halamannya, Jati Anom.
Sejenak kemudian, dua bayangan semu Ki Rangga ternyata telah
meloncat jauh sekali ke arah yang saling berlawanan untuk sekedar
memancing perhatian lawan. Sedangkan ujud asli Ki
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
12
Rangga justru tetap tegak di tempatnya dengan kedua tangan
bersilang di dada sambil pandangan matanya tajam menatap ke arah
gumpalan api sebesar gardu perondan itu. Sementara senjata
andalannya yang berupa seuntai cambuk dibiarkan saja jatuh
tergeletak di atas tanah di depan kakinya.
Kiai Damar Sasangka terkejut bukan alang kepalang. Sebelum dia
menyadari sepenuhnya akan perubahan gerak lawan, seleret cahaya
meluncur dari sepasang mata Ki Rangga dan menyusup ke dalam dada
meremas jantung.
Terdengar pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu mengumpat keras.
Rasa-rasanya jantungnya bagaikan tertindih batu sebesar gunung
anakan. Namun ketahanan tubuh Kiai Damar Sasangka itu memang luar
biasa. Sambil menahan rasa sakit luar biasa yang sedang
mencengkeram jantung, tangan kanannya terangkat ke atas, berpuluh
lidah api pun meluncur menerjang dada Ki Rangga.
Sejenak Ki Rangga berusaha bertahan dengan ilmu kebalnya.
Walaupun lidah-lidah api itu sudah menghanguskan bajunya dan
membakar kulit dadanya, Ki Rangga tetap bertahan pada sikapnya.
Betapa raut muka Ki Rangga tampak sedang menahan kesakitan yang
luar biasa. Namun sambil menggeretakkan giginya, Ki Rangga
memutuskan untuk tetap melanjutkan serangannya.
Melihat lawannya tetap berdiri kokoh di tempatnya, agaknya Kiai
Damar Sasangka ingin mengulangi serangannya. Sambil menahan dada
dengan tangan kirinya, tangan kanannya berusaha diangkatnya
kembali. Namun di saat yang bersamaan, dua larik sinar menyusul
meluncur dari kedua bayangan semu Ki Rangga dari dua arah yang
berbeda. Agaknya Ki Rangga telah kembali mampu mengendalikan
bayangan semunya sehingga telah memperkuat serangannya.
Kembali terdengar pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu mengumpat
keras sambil terbungkuk. Kedua tangannya mencengkeram dadanya yang
bagaikan ditindih Gunung Mahameru. Kiai Damar Sasangka benar-benar
sedang dalam puncak kesulitan.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
13
Namun di saat sedemikian gawatnya, ternyata pemimpin perguruan
Sapta Dhahana itu sangat cerdik dan masih mampu berpikir dengan
jernih. Menyadari serangan lawan berasal dari tiga pasang mata yang
mampu mengeluarkan sinar menembus jantungnya, Kiai Damar Sasangka
segera menjatuhkan diri berguling ke belakang dengan cepat. Dia
berusaha menjauhi garis serang dari ketiga pasang sorot mata
lawannya sejauh-jauhnya.
Ternyata usaha pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu membuahkan
hasil. Demikian tubuhnya menjauh dari garis serang sorot mata
ketiga lawannya, tekanan terhadap dadanya pun dengan segera telah
berkurang.
Namun alangkah terkejutnya pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu.
Ketika dia kemudian dengan cepat melenting berdiri dan bersiap
dengan serangannya, ternyata ketiga bayangan lawannya sudah tidak
berada di tempatnya lagi.
“Pengecut! Jangan lari!” geram Kiai Damar Sasangka sambil
mengedarkan pandangan mata ke sekitarnya. Namun bayangan ketiga
lawannya itu benar-benar telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang sedang bertempur di halaman
belakang sekilas telah mendengar umpatan Kiai Damar Sasangka.
“Syukurlah,” berkata Ki Waskita dalam hati begitu menyadari Ki
Rangga telah mendapat kesempatan untuk menghindar dari medan,
“Dengan aji pengangen-angen, hantu api sebesar gardu perondan itu
tidak akan banyak berpengaruh terhadap wadag angger Sedayu.”
Namun ternyata dugaan Ki Waskita itu tidak sepenuhnya benar.
Tiba-tiba saja pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu telah
merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke angkasa seolah olah
ingin membakar langit. Sejenak kemudian, api yang menyelimuti
sekujur tubuhnya itu berkobar semakin dahsyat dan semakin
membesar.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
14
“Ki Rangga!” tiba-tiba terdengar teriakan menggelegar di
sela-sela suara api yang bergemeretak mengerikan, “Aku tahu engkau
berada tidak jauh dari tempat ini. Aku tidak tahu ilmu apalagi yang
akan engkau pamerkan kepadaku. Namun semua itu tidak akan banyak
berarti. Ilmu semumu sudah aku ketahui kelemahannya. Segala usahamu
akan sia-sia. Engkau hanya mengulur-ulur waktu untuk menunda
kematianmu saja!”
Namun belum selesai Kiai Damar Sasangka mengatupkan mulutnya,
sebuah bayangan seolah muncul begitu saja dari kegelapan dan
berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.
“He..?!” seru Kiai Damar Sasangka terkejut bukan alang kepalang.
Tanpa sadar dia telah mundur selangkah.
Namun keterkejutan Kiai Damar Sasangka itu hanya sekejab.
Sejenak kemudian, suara tawanya pun menggelegar memenuhi udara
malam di atas padepokan Sapta Dhahana.
“Apakah Ki Rangga sudah kehabisan ilmu untuk dipamerkan
kepadaku?” bertanya Kiai Damar Sasangka kemudian di sela-sela
tawanya, “Dengan dibantu oleh dua bayangan semu saja engkau tidak
mampu mengalahkan aku. Apalagi sekarang hanya sebuah bayangan semu.
Apakah engkau sudah berputus asa Ki Rangga?”
Bayangan semu Ki Rangga itu tidak menjawab. Sejenak bayangan itu
tampak menggerak-gerakkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian tampak
bayangan semu Ki Rangga itu seperti membengkak dan terus membengkak
dan akhirnya menjadi sebesar tiga kali lipat dari ujudnya
semula.
Untuk beberapa saat Kiai Damar Sasangka tertegun. Ujud semu Ki
Rangga yang hanya satu namun berukuran tiga kali lipat dari ujud
aslinya itu ternyata telah mendebarkan jantungnya. Dia belum dapat
meraba ilmu sejenis apakah yang akan diperlihatkan oleh
lawannya.
“Semacam ilmu bertiwikrama,” membatin Kiai Damar Sasangka dengan
jantung yang berdebaran, “Namun mengapa dia mengambil ujud semu?
Dengan ujud semu memang dia dapat
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
15
berubah ujud menjadi sebesar gunung sekali pun. Tetapi di
manakah ujud aslinya sekarang ini?”
Pertanyaan itu berputar-putar di dalam benak Kiai Damar Sasangka
sampai akhirnya dia dapat mengambil kesimpulan sendiri.
“O, inilah agaknya kelebihan ilmu Ki Rangga ini,” kembali Kiai
Damar Sasangka berkata dalam hati sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Dia berusaha menghindari benturan langsung antara ujud
wadag aslinya dengan ilmuku. Dia berusaha bersembunyi di balik ilmu
semunya ini. Namun aku yakin, aku akan dapat menemukan
persembunyiannya. Sementara ujud semu ini tentu dalam pengendalian
penuh Ki Rangga dari jarak yang tidak seberapa jauh dari tempat
ini.”
Berpikir sampai disitu, pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu
segera bersiap kembali untuk melanjutkan pertempuran. Tanpa
membuang waktu lagi, Kiai Damar Sasangka segera berteriak
menggelegar sambil kedua tangannya terangkat ke atas tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian, api yang menyelimuti tubuhnya pun menjadi semakin
berkobar nggegirisi.
Agaknya ujud semu raksasa Ki Rangga itu telah terpancing dengan
gerakan lawan dan berusaha mendahului. Dengan cepat disilangkan
kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian dari sepasang mata
ujud semu raksasa Ki Rangga meluncur seleret cahaya kebiru-biruan
menembus tebalnya selimut api yang melindungi tubuh lawannya dan
langsung menembus dada meremas jantung.
Terdengar seruan keras dari balik gumpalan api yang
menyala-nyala itu. Namun bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja dari
gumpalan api itu meluncur berpuluh-puluh lidah api yang langsung
mengurung dan menyelimuti sekujur tubuh ujud semu raksasa Ki
Rangga.
Ki Waskita yang sempat sekilas mengamati medan pertempuran Ki
Rangga dan Kiai Damar Sasangka menjadi terkejut bukan alang
kapalang. Tanpa sadar dia telah meloncat ke
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
16
belakang sambil berteriak keras, “Ngger..! Engkau telah
terpancing.! Jangan benturkan ilmumu ngger..!”
Namun semuanya sudah terlambat. Kiai Damar Sasangka yang dengan
cerdik membiarkan dirinya diserang terlebih dahulu oleh bayangan
semu Ki Rangga telah berhasil meraba tempat persembunyian Ki
Rangga.
Sedangkan Ki Waskita yang meloncat ke belakang sambil
memperhatikan arena pertempuran Ki Rangga ternyata telah lengah.
Seleret lidah api dari lawannya telah menggores lengan kirinya.
“Gila!” teriak orang tua itu kesakitan sambil meloncat mengambil
jarak. Terasa betapa lengan bajunya telah hangus terbakar sementara
kulit lengannya terkelupas.
Dalam pada itu selagi Ki Waskita berusaha menghindari serangan
susulan lawannya, orang tua itu kembali mendengar Kiai Damar
Sasangka berteriak keras.
Sebenarnyalah Kiai Damar Sasangka dengan sangat cerdik telah
mengetahui sumber pancaran ilmu lawannya. Sebagaimana usahanya
terdahulu dalam menghindari serangan lawan melalui sorot matanya,
Kiai Damar Sasangka segera berguling menjauh. Begitu dia merasa
sudah terlepas dari garis serang sorot mata lawannya, tiba-tiba
saja tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di atas dinding
padepokan.
Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu hanya memerlukan waktu
sekejap untuk mengamati keadaan di luar dinding. Begitu tampak
olehnya sebuah bayangan kepala seseorang yang menyembul di antara
semak belukar di bawah sebatang pohon keluwih, tubuhnya yang
berbentuk gumpalan api sebesar gardu perondan itu pun bagaikan
tatit segera meluncur deras menghantam bayangan di bawah pohon
keluwih itu.
Dalam pada itu, malam memang masih menyisakan kegelapan, namun
ayam-ayam jantan di padukuhan-padukuhan telah berkokok
bersahut-sahutan menyambut datangnya sang fajar. Di Menoreh, Sekar
Mirah sedang tidur terlelap karena hampir
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
17
semalaman Bagus Sadewa rewel dan menangis tanpa tahu sebab
musababnya. Baru menjelang dini hari tadi, anak semata wayangnya
itu bisa tidur dengan tenang.
Namun baru saja Sekar Mirah terlena beberapa saat, dia telah
dikejutkan oleh sebuah mimpi yang mengerikan.
“Kakaang..!” teriak Sekar Mirah tiba-tiba sambil terlonjak dari
tempat tidurnya. Dengan jantung yang berdentangan, sepasang matanya
nanar mengawasi keadaan di sekelilingnya. Sementara sekujur
tubuhnya telah menjadi gemetar dan bersimbah keringat serta nafas
yang memburu.
Damarpati yang selalu menemani Sekar Mirah dan tidur beralaskan
tikar di lantai bilik ikut terkejut. Dengan cepat dia segera
bangkit berdiri dan menghampiri istri Ki Rangga Agung Sedayu
itu.
“Mbokayu,” seru Damarpati sambil mengguncang-guncang lengan
Sekar Mirah, “Ada apa, mbokayu..!?”
Sekar Mirah belum dapat berkata sepatah kata pun. Mulutnya
rasa-rasanya terkunci dan lidahnya kelu. Apa yang dilihatnya di
alam mimpi benar-benar telah mengguncang hatinya.
“Kakaang..,” hanya sepatah kata itulah yang bisa terucap dari
bibir yang pucat dan gemetar.
Agaknya Damarpati segera tanggap. Dengan cepat dia berlari ke
sudut bilik. Dituangkannya air kendi yang segar ke dalam cawan.
Dengan langkah sedikit tergesa cawan itu pun kemudian
diangsurkannya kepada Sekar Mirah.
"Minumlah mbokayu," berkata Damarpati kemudian.
Dengan kedua tangan yang gemetar, Sekar Mirah menerima cawan
itu. Betapa sulitnya air minum itu menembus kerongkongannya.
Rasa-rasanya ada batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang
menyumbat kerongkongannya.
Namun akhirnya sedikit demi sedikit air minum itu pun kemudian
mampu membasahi kerongkongangnya.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
18
“Ada apa mbokayu?” bertanya Damarpati kemudian perlahan sambil
menerima cawan dari tangan Sekar Mirah, “Apakah mbokayu bermimpi
buruk?”
Sejenak Sekar Mirah mencoba melonggarkan dadanya dengan cara
menarik nafas dalam-dalam beberapa kali. Ketika dirasakan
jantungnya sudah tidak begitu melonjak-lonjak lagi, barulah Sekar
Mirah menganggukkan kepalanya.
“Ya, Damarpati,” jawab Sekar Mirah perlahan sambil mengangguk,
“Aku baru saja tertidur sejenak ketika tiba-tiba saja mimpi itu
datang. Sebuah mimpi yang sangat mengerikan.”
Damarpati mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Kalau aku
boleh tahu, apakah mimpi mbokayu itu?”
Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil
berpaling ke arah Bagus Sadewa yang tidur lelap di sebelahnya, dia
menjawab lirih, “Aku melihat dalam mimpi, Kakang Agung Sedayu
sedang terjebak dalam sebuah hutan yang sedang terbakar dengan
dahsyatnya. Aku mencoba berteriak-teriak memanggilnya, namun
bayangan kakang Sedayu telah hilang ditelan api yang
berkobar-kobar.”
Sampai disini Sekar Mirah sudah tidak kuasa lagi menahan
isaknya. Sejenak kemudian tangis Sekar Mirah pun terdengar
tersendat-sendat di antara suara riang kicau burung yang mulai
terdengar menghiasi udara pagi.
“Mbokayu,” berkata lirih Damarpati kemudian mencoba menghibur
sambil memeluk lengan Sekar Mirah, “Lebih baik kita berdoa untuk
keselamatan Ki Rangga. Selain itu kita dapat menghadap Ki Gede
Menoreh atau Kakekku untuk mohon petunjuk.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Hanya anggukan kepalanya saja yang
tampak di antara sedu-sedannya.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang sekilas melihat hantu api
sebesar gardu perondan itu meloncat ke atas dinding padepokan,
jantungnya bagaikan terlepas dari tangkainya. Dengan sepenuh
kekuatan segera saja dihentakkan serangannya untuk mendesak
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
19
lawannya. Tandang orang tua itu pun kemudian bagaikan banteng
ketaton. Kekhawatiran akan nasib Ki Rangga membuat orang tua itu
sudah tidak dapat mengekang diri lagi.
Yang terjadi kemudian benar-benar telah membuat lawannya harus
berloncatan menghindar. Ki Waskita yang semasa mudanya bernama Jaka
Raras itu telah menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Ikat pinggang
di tangan kanannya telah berubah menjadi pusaran angin yang
memporak-porandakan lidah-lidah api yang mengurungnya.
Ternyata Ki Waskita telah menggunakan kesempatan sebaik-baiknya
begitu lawannya berloncatan mundur dan mundur terus. Sejenak
kemudian, orang tua itu telah menggenjot tubuhnya dan kemudian
meloncat berlari meninggalkan medan menyusul Kiai Damar Sasangka
yang telah menghilang di balik dinding padepokan.
“Setan tua! Jangan lari..!” teriak Putut Sambernyawa begitu
menyadari usaha lawannya untuk menghindar dari medan. . Berpuluh
lidah api pun meluncur deras mengejar Ki Waskita, namun orang tua
itu sudah semakin jauh berlari mendekati dinding padepokan dan
kemudian meloncat naik.
Dinding padepokan itu memang cukup tinggi, namun Ki Waskita
mempunyai cara tersendiri untuk mengatasinya sebagaimana ketika dia
dan Ki Rangga beberapa saat yang lalu memasuki padepokan.
“Gila!” geram Putut Sambernyawa begitu menyadari lawannya telah
berhasil meloncati dinding padepokan yang tinggi itu dengan caranya
yang cukup cerdik. Tanpa membuang waktu lagi dia pun segera berlari
mengejar Ki Waskita.
Dalam pada itu, Kiai Damar Sasangka yang telah menemukan
keberadaan lawannya agaknya sudah tidak dapat mengekang diri lagi.
Dengan sepenuh kekuatan, segera saja dihentakkan puncak ilmunya
pada serangan pamungkasnya itu.
Sejenak kemudian benturan dahsyat pun tak terelakkan lagi.
Terdengar sebuah ledakan dahsyat yang bergemuruh
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
20
memekakkan telinga memenuhi udara di padepokan Sapta
Dhahana.
Pohon keluwih sebesar paha orang dewasa itupun telah meledak dan
hancur terbakar terkena pengaruh benturan kedua orang itu.
Puing-puing bara apinya bercampur abu telah terlempar ke segala
penjuru. Demikian juga semak belukar dan pohon-pohon perdu serta
ilalang yang banyak tumbuh rapat berjajar-jajar di tempat itu
semuanya telah hangus rata dengan tanah.
Ki Waskita yang telah berada di atas dinding padepokan masih
sempat menyaksikan benturan itu. Pandangan matanya yang tajam telah
menyaksikan sesuatu yang mendebarkan jantung. Di saat serangan Kiai
Damar Sasangka hampir menyentuh kepala orang yang duduk di bawah
pohon keluwih itu, dengan gerakan yang tidak kasat mata, kedua
tangan orang itu tiba-tiba saja telah menyilang di atas
kepalanya.
Sejenak Ki Waskita menjadi heran. Wadag Ki Rangga yang sedang
dalam puncak samadinya itu seharusnya tidak akan mampu berbuat
apapun, sekalipun hanya untuk menggerakkan ujung ibu jari kakinya.
Namun pada kenyataannya yang terjadi kemudian adalah benar-benar
diluar dugaan.
Dalam pada itu, akibat dari benturan itu tubuh Kiai Damar
Sasangka telah terlempar ke belakang beberapa langkah sebelum
akhirnya jatuh bergulingan. Demikian dahsyatnya benturan itu yang
menyebabkan pengetrapan aji Sapta Dhahana nya menjadi terganggu
sehingga api yang menyelimuti tubuh Kiai Damar Sasangka pun telah
padam dengan sendirinya.
“Setan, gendruwo, tetekan..!” umpat Kiai Damar Sasangka sambil
mencoba merangkak bangun. Namun ternyata kekuatan wadagnya sudah
tidak mendukung lagi. Seluruh tulang-belulang di sekujur tubuhnya
rasa-rasanya telah hancur lumat sehingga dengan tanpa daya dia
kembali terguling.
Bersamaan dengan itu, Ki Waskita telah meluncur turun dari
dinding padepokan yang tinggi dan langsung berlari ke arah tempat
benturan itu terjadi.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
21
Namun alangkah terkejutnya orang tua itu. Pandangan matanya yang
tajam segera menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri tegak
di atas kedua kakinya yang renggang selangkah di depan bekas pohon
keluwih yang telah hancur. Namun ternyata orang itu bukanlah Ki
Rangga Agung Sedayu.
Sejenak Ki Waskita ragu-ragu untuk melanjutkan langkahnya. Dia
sama sekali belum mengenal orang itu. Seseorang yang tampak masih
muda namun memiliki sorot mata yang sangat tajam.
Melihat Ki Waskita ragu-ragu untuk melangkah mendekat, anak muda
itu segera maju beberapa langkah. Sesampainya di hadapan Ki
Waskita, dia segera membungkuk dalam-dalam sambil tersenyum.
Katanya kemudian, “Maafkan aku, Kiai. Ijinkan aku memperkenalkan
diri terlebih dahulu. Namaku Santri, orang-orang terbiasa
memanggilku Mas Santri.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Nama itu terdengar
agak asing di telinganya. Seumur hidupnya Ki Waskita memang belum
pernah mendengar nama Mas Santri.
“Mas Santri?” tanpa sadar Ki Waskita mengulang nama itu.
“Benar, Kiai,” jawab anak muda yang mengaku bernama Mas Santri
itu dengan serta merta.
“Baiklah, Mas Santri,” berkata Ki Waskita kemudian, “Jangan
panggil aku Kiai, karena aku memang bukan seorang Kiai. Aku Ki
Waskita, salah seorang penghuni di Tanah Perdikan Menoreh.”
Mas Santri tampak mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar
jawaban Ki Waskita. Berkata Mas Santri kemudian sambil mengangguk
hormat, “Maafkan aku Ki Waskita, jika memang aku salah dalam hal
ini. Aku diutus oleh ayahku dan sekaligus guruku untuk
memberitahukan kepada siapapun yang mencari keberadaan Ki Rangga
saat ini.”
Mendengar Mas Santri menyebut nama Ki Rangga, Ki Waskita
bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk. Dengan tergesa-gesa dia
segera menyahut, “Ki Rangga Agung Sedayu? Di mana
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
22
keberadaan Ki Rangga sekarang? Dan bagaimanakah keadaannya?”
Mas Santri tersenyum sekilas mendapat pertanyaan yang
bertubi-tubi dari Ki Waskita itu. Jawabnya kemudian, “Ki Waskita,
Ki Rangga telah dibawa menyingkir oleh ayahku. Tapi percayalah,
ayahku akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong Ki Rangga yang
sedang menderita luka yang cukup parah.”
“Ki Rangga terluka parah?” tanpa sadar Ki Waskita berseru dengan
suara sedikit khawatir.
Segera saja Ki Waskita teringat di saat-saat terakhir sebelum
benturan itu terjadi. Ki Waskita masih sempat melihat Ki Rangga
yang sedang dalam puncak samadinya itu menyilangkan kedua tangannya
di atas kepala.
“Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan oleh angger Sedayu?”
pertanyaan itu melingkar-lingkar dalam benak Ki Waskita, “Untuk
membangunkan dari puncak samadinya diperlukan waktu. Mungkin
seseorang yang linuwih telah berhasil membangunkan angger Sedayu
hanya dalam waktu yang sekejap sehingga angger Sedayu masih
mempunyai kesempatan untuk melindungi diri. Tidak menutup
kemungkinan ayah dan sekaligus guru dari anak muda yang bernama Mas
Santri inilah yang telah melakukannya.”
Namun belum sempat kedua orang itu melanjutkan pembicaraan
mereka, tiba-tiba saja dari arah dinding padepokan terdengar suara
teriakan menggelegar.
“Guru..?!” terdengar seseorang berteriak sambil meluncur turun
dari atas dinding padepokan.
Serentak kedua orang itu berpaling. Tampak Putut Sambernyawa
yang telah turun dari dinding padepokan itu sedang berlari menuju
ke tempat gurunya yang terbujur diam.
Dada Ki Waskita pun berdesir tajam. Tidak menutup kemungkinan
pertempuran antara dirinya dengan Putut itu akan berkobar kembali.
Namun Ki Waskita sudah bertekat bulat. Apapun yang terjadi, dia
akan menyabung nyawa dengan murid utama perguruan Sapta Dhahana
itu.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
23
“Sudahlah Ki Waskita,” tiba-tiba terdengar Mas Santri bergumam
perlahan, “Aku mohon diri. Aku harus segera menyusul ayahku untuk
ikut membantu menolong menyelamatkan Ki Rangga.”
Ki Waskita berpaling ke arah Mas Santri. Sejenak dipandanginya
anak muda itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sambil
melangkah mendekat, Ki Waskita pun kemudian berkata dengan suara
yang berat dan dalam, “Mas Santri, aku tidak tahu siapakah
sebenarnya kalian berdua dan dari mana asal kalian. Namun menurut
pengakuanmu sendiri, ayahmu telah membawa Ki Rangga yang sedang
terluka parah,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar menarik
nafas melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja menjadi sedikit
pepat. Lanjutnya kemudian, “Katakanlah yang sebenarnya, apakah aku
dapat memegang ucapanmu? Apakah engkau dan ayahmu dapat menjamin
akan keselamatan Ki Rangga?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, sejenak Mas Santri tertegun.
Sambil menghela nafas panjang, Mas Santri pun akhirnya menjawab,
“Ki Waskita, ayahku melarang untuk mengungkapkan jati diri kami
berdua. Bukan maksud kami untuk berteka-teki. Tujuan kami adalah
semata-mata menolong sesama dengan tanpa pamrih,” sejenak Mas
Santri mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Tentang keselamatan Ki
Rangga, tentu saja kami berdua tidak bisa menjamin. Bahkan menjamin
keselamatan diri kami sendiri pun kami tidak akan mampu. Hanya Yang
Maha Agung yang dapat menjamin keselamatan kita semua di muka bumi
ini. Marilah kita selalu mendekatkan diri dan berdoa kepadaNYA agar
langkah kita selalu dalam perlindunganNYA.”
Kata-kata Mas Santri itu bagaikan ujung sebuah duri kemarung
yang menghunjam ke jantungnya. Ki Waskita pun tersadar akan
kesalahan pemahamannya selama ini bahwa nasib seseorang itu dapat
ditentukan oleh orang lain. Hanya kepada Yang Maha Agung, Penguasa
seluruh alam semestalah tempat semua makhluk itu bergantung.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
24
Ketika Ki Waskita masih merenungi kata-kata Mas Santri,
tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras hanya beberapa langkah
saja di belakangnya. Ki Waskita pun segera membalikkan badan.
“Orang tua!” geram Putut Sambernyawa yang ternyata telah berdiri
beberapa langkah saja di hadapannya, “Hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa. Nyawa guruku sama dengan nyawa seribu orang. Aku akan
membunuh siapapun orang-orang yang telah membantu Mataram. Seribu
orang, ya, seribu orang, itu baru sepadan dengan nyawa guruku.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Ancaman Putut itu terdengar
aneh di telinganya. Menghadapi dirinya seorang saja dia masih belum
mampu untuk menuntaskan nya, apalagi seribu orang. Namun Ki Waskita
segera menyadari bahwa ancaman Putut itu tentu terdorong oleh
kemarahan atas kematian gurunya.
Ketika Ki Waskita kemudian menyempatkan diri untuk berpaling
sekilas ke belakang, ternyata anak muda yang mengaku bernama Mas
Santri itu sudah tidak berada di tempatnya lagi
“Luar biasa,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Siapakah
sebenarnya anak muda itu? Jika masih semuda itu dia sudah menguasai
ilmu sedemikian ngedab-edabi, tentu ayah dan sekaligus gurunya itu
mempunyai kemampuan yang tiada taranya.”
Namun jauh di lubuk hati Ki Waskita telah terucap sebuah rasa
syukur yang ikhlas. Ki Rangga ternyata telah mendapat perawatan di
tangan seorang yang linuwih. Tentu kesehatan Ki Rangga akan segera
pulih dengan cepat seperti sedia kala.
Walaupun demikian, sepercik keragu-raguan masih saja hinggap di
salah satu sudut dalam hatinya. Manusia memang hanya mampu
berusaha, Yang Maha Agung jugalah yang akan menentukan. Apabila
ketentuan Yang Maha Agung itu yang akan berlaku, manusia hanya
dapat pasrah untuk menerima dan berusaha dengan ikhlas untuk
menjalankannya.
“Nah, bersiaplah untuk mati!” tiba-tiba terdengar geram Putut
Sambernyawa membangunkan lamunan Ki Waskita. Ketika Ki
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
25
Waskita kemudian mengamati lawannya yang berdiri beberapa
langkah saja di hadapannya, tampak murid utama perguruan Sapta
Dhahana itu telah bersiap menyalakan api untuk membakar
tubuhnya.
Ki Waskita menarik nafas panjang. Tanpa sadar diamatinya kedua
tangannya. Di lengan kiri masih membelit kain ikat kepalanya.
Sedangkan di tangan kanan, seutas ikat pinggang telah siap melayani
tandang Putut yang garang itu.
Sejenak kemudian, tanpa menunggu waktu lagi, serangan Putut
Sambernyawa pun segera datang membadai menerjang lawannya.
Namun lawannya adalah Ki Waskita, orang tua yang sudah putus
segala kawruh lahir maupun batin. Dengan mengandalkan kekuatan pada
ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari besi baja pilihan,
serangan Ki Waskita pun mematuk-matuk ke segala bagian yang
berbahaya dari tubuh lawannya.
“Rahasia orang ini agaknya terletak pada ketahanan tubuhnya,”
demikian Ki Waskita berpikir sambil terus bertempur, “Jika aku
mampu menggoyahkan ketahanan tubuhnya sedikit demi sedikit, api
yang menyelimuti tubuhnya itu akan berbalik membakar tubuhnya
sendiri.”
Berpikir sampai disitu, Ki Waskita segera meningkatkan
serangannya. Ikat pinggang di tangan kanannya berputar semakin
deras dan sesekali meluncur mematuk mengarah ke bagian-bagian tubuh
lawannya yang berbahaya. Sedangkan tangan kirinya yang terbalut
kain ikat kepalanya sibuk menangkis lidah-lidah api yang
berhamburan menerjang ke arahnya.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang sedang bertempur melawan Raden
Surengpati menjadi sangat gelisah. Dia telah mendengar ledakan yang
dahsyat tadi, namun sejauh itu dia belum mengetahui apa yang
sebenarnya telah terjadi dengan kakak sepupunya.
Beberapa saat tadi dia sempat melihat Kiai Damar Sasangka
menghindar dari bayangan semu Ki Rangga dan kemudian berlari
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
26
meloncati dinding Padepokan sebelah timur. Ketika bayangan
pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu menghilang ke balik dinding,
Glagah Putih kembali melihat seseorang dari arah halaman belakang
berlari meloncati dinding padepokan menyusul Kiai Damar Sasangka,
dan Glagah Putih pun sangat mengenalnya sebagai Ki Waskita.
Begitu ledakan dahsyat itu terdengar membahana dan mengguncang
udara padepokan Sapta Dhahana, Glagah Putih kembali melihat
seseorang yang tidak dikenalnya berlari menyusul Ki Waskita
meloncati dinding.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" pertanyaan itu sangat
mengusik hati Glagah Putih, "Mengapa bayangan semu Kakang Agung
Sedayu ikut menghilang bersama dengan menghilangnya Kiai Damar
Sasangka?"
Namun Glagah Putih tidak mampu memecahkan teka-teki yang telah
menyesaki benaknya.
Ternyata perhatian Glagah Putih yang terpecah itu telah
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh lawannya. Ketika Glagah Putih yang
gelisah itu mencoba memperhatikan kembali dinding padepokan sebelah
timur untuk sekedar menduga-duga apa yang telah terjadi, sambaran
angin bercampur api yang membara telah menyentuh pundaknya.
“Gila..!” teriak Glagah Putih sambil meloncat ke samping. Rasa
pedih disertai panas membakar terasa menyengat pundaknya.
Namun lawannya tidak mau melepaskannya. Sekali lagi sebuah
serangan meluncur menyambar dada.
Tidak ada jalan lain bagi Glagah Putih selain menjatuhkan diri
bergulingan menjauhi garis serangan lawan. Begitu Glagah Putih
kemudian melenting berdiri, kedua tangannya telah teracu ke depan,
siap melontarkan aji pamungkasnya, aji Namaskara.
Raden Surengpati yang sudah merasa di atas angin itu terkejut
melihat sikap Glagah Putih, namun semuanya sudah terlambat. Raden
Surengpati pun segera menghentakkan puncak ilmunya.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
27
Angin pusaran bercampur panasnya api melanda Glagah Putih dengan
dahsyatnya.
Glagah Putih yang telah mengambil keputusan untuk segera
mengakhiri pertempuran itu sudah tidak dapat berpikir panjang lagi.
Dia harus segera mengetahui keadaan kakak sepupunya itu. Sejenak
kemudian, dari kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke
depan, meluncur sinar yang menyilaukan menghantam badai api yang
menerjangnya.
Benturan pun terjadi dengan dahsyatnya. Ledakan disertai dengan
semburan api telah melanda tempat itu. Kedua orang itu pun
sama-sama telah terlempar ke belakang sebelum akhirnya jatuh
bergulingan di atas tanah.
Glagah Putih merasakan sekujur tubuhnya bagaikan terpanggang di
atas bara api dari tempurung kelapa. Beberapa bagian tubuhnya
bahkan terasa pedih dan panas. Ketika Glagah Putih kemudian mencoba
bangkit berdiri, betapa tulang belulangnya bagaikan telah
berpatahan. Sementara di beberapa bagian tubuhnya, sebagian
kulitnya ternyata telah melepuh terbakar.
Sejenak Glagah Putih mencoba untuk memperbaiki keadaannya dengan
menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk melonggarkan
pernafasannya yang bagaikan tersumbat. Ketika pandangan matanya
kemudian mengarah ke depan, tampak tubuh Raden Surengpati terbujur
diam, entah pingsan atau mati.
Setelah merasakan tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terasa
menjadi segar kembali, Glagah Putih pun segera meneruskan usahanya
untuk berdiri tegak. Begitu merasakan keadaannya sudah semakin
membaik, Glagah Putih pun sudah tidak dapat menahan diri lagi.
Dengan bergegas dia segera berlari menuju ke arah dinding padepokan
sebelah timur.
Dalam pada itu beberapa puluh tombak dari tempat pertempuran Ki
Waskita melawan Putut Sambernyawa, di antara lebatnya pepohonan
hutan sebelah timur gunung Tidar, tampak dua orang sedang berjalan
perlahan meninggalkan tempat itu.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
28
“Eyang,” berkata seorang perempuan yang terlihat masih muda dan
cantik, “Mengapa pada saat terjadi benturan tadi, Eyang tidak
berusaha menolong Ki Rangga?”
Orang berperawakan tinggi besar yang berjalan di sebelahnya
tidak segera menjawab. Setelah menarik nafas panjang, barulah dia
kemudian menjawab, “Rara, yang membangunkan Ki Rangga dari puncak
samadinya tadi bukanlah aku. Sebelum kita tiba di tempat ini,
panggraitaku sudah mengatakan bahwa ada dua orang yang terlebih
dahulu telah berada di tempat ini.”
“Siapakah sebenarnya mereka itu, Eyang?” sahut perempuan muda
itu dengan serta merta.
Orang yang di panggil Eyang itu menggeleng. Jawabnya kemudian,
“Aku tidak tahu. Namun yang jelas mereka berada di pihak Mataram
karena telah menolong Ki Rangga di saat-saat lawannya mengerahkan
segenap kemampuannya untuk menghancurkan Ki Rangga. Jika Ki Rangga
masih tenggelam dalam puncak samadinya, tentu petualangan Ki Rangga
sebagai agul-agulnya Mataram telah berakhir di sini.”
Sejenak suasana menjadi hening. Hanya suara gemerisik dedaunan
kering di atas tanah lembab yang terinjak oleh kaki mereka saja
yang terdengar dalam irama ajeg. Sementara tanda-tanda datangnya
sang fajar mulai tampak menjelang.
“Eyang,” kembali terdengar suara perempuan cantik itu,
“Kemanakah kedua orang itu akan membawa Ki Rangga?”
“Aku tidak tahu Rara.”
“Setidaknya Eyang dapat menduga-duga.”
“Bagaimana aku akan dapat menduga jika aku tidak mengenal mereka
berdua.”
Kembali suasana menjadi hening. Kerut merut tampak di dahi
perempuan muda yang cantik itu. Sepasang alisnya yang bak semut
beriring itu tampak hampir menyatu, namun justru telah menambah
kecantikan dan daya tariknya.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
29
“Ah, aku tahu,” tiba-tiba perempuan cantik itu terdengar berseru
gembira, “Seharusnya Eyang tahu ke mana sebenarnya mereka berdua
itu pergi. Aku yakin Eyang mampu melihat arah kepergian kedua orang
itu, terutama yang masih muda tadi. Dengan demikian Eyang dapat
menduga dari daerah mana sebenarnya kedua orang itu berasal.”
“Sudahlah Rara,” orang tinggi besar itu cepat-cepat memotong,
“Tidak usah menduga-duga yang kita belum tahu kejelasannya. Lebih
baik kita mendoakan Ki Rangga, semoga dia segera mendapatkan
pertolongan dan keadaannya segera membaik.”
Tampak bibir indah itu cemberut. Sepasang mata yang indah bak
bintang timur itu pun ikut meredup. Sementara di kedua sudut
matanya mulai terlihat butiran air yang mengambang.
Terdengar helaan nafas yang sangat dalam dari orang tinggi besar
yang berjalan di sebelahnya. Ada sedikit keraguan yang menyelinap
di dalam hatinya untuk berterus terang. Sebenarnyalah mata hatinya
telah mampu menangkap siapakah kedua orang yang membawa Ki Rangga
beberapa saat yang lalu itu.
“Jika aku mengatakan yang sebenarnya,” demikian orang itu
berkata dalam hati, “Tidak menutup kemungkinan dia akan
merengek-rengek untuk meminta aku mengikuti kedua orang itu tadi.
Sedangkan aku masih belum ada kepentingan untuk bertemu dengan
salah satu dari mereka. Namun suatu saat aku memang ingin bertemu
dengan orang linuwih itu untuk sekedar bertukar pikiran tentang
jantraning ngaurip.”
“Rara,” berkata orang itu kemudian pada akhirnya, “Lebih baik
kita segera mempercepat perjalanan kita menuju Kendalisada.
Sepeninggal Kiai Damar Sasangka, padepokan Sapta Dhahana tentu
dengan mudah akan dapat dikuasai oleh Ki Gede Matesih dan
pasukannya.”
Tidak terdengar jawaban yang terlontar dari bibir mungil nan
indah itu. Hanya sebuah anggukkan perlahan saja yang terlihat.
Dalam pada itu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya telah
tiba di kaki bukit Tidar dan mulai mendaki ke atas. Samar-
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
30
samar dalam keremangan pagi gerbang padepokan Sapta Dhahana
sudah mulai terlihat.
“Cepat..!” seru Ki Gede Matesih sambil mengangkat tombak pendek
di tangan kanannya tinggi-tinggi.
Mendengar perintah pemimpinnya, dengan segera para pengawal
mempercepat lari mereka. Sambil menghunus senjata masing-masing,
para pengawal itupun telah bersorak-sorai sambil mengacu-acukan
senjata mereka.
Dalam pada itu, Ki Kamituwa dan pasukan pengawalnya ternyata
telah mampu memperpendek jarak dengan pasukan di depannya. Mereka
pun kemudian segera bergabung menjadi satu dengan pasukan pengawal
Ki Gede Matesih. Sorak sorai pasukan yang telah bergabung itu pun
terdengar semakin membahana merobek udara padi di gunung Tidar.
Sementara dengan perlahan cahaya fajar di langit timur mulai
membayang. Burung-burung pun berkicau dengan riangnya menyambut
kedatangan sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.
Ketika sinar Matahari yang pertama kemudian telah menyentuh
regol padepokan Sapta Dhahana, beberapa cantrik yang sedang
terlelap tidur di regol depan karena pengaruh sirep mulai tampak
tersadar. Salah seorang yang mempunyai kemampuan melebihi
kawan-kawannya ternyata telah mulai menggeliat dan membuka
matanya.
Memang kantuk itu rasa-rasanya masih bergelayut di pelupuk
matanya. Namun ketika kesadaran mulai memasuki otaknya, sebagai
seorang cantrik yang sedang mengemban tugas jaga di regol depan,
dia segera menyadari keadaannya.
“He?!” seru cantrik itu sambil terlonjak kaget demi mendapatkan
dirinya tidur bersandaran pintu gerbang yang setengah terbuka, “Apa
yang terjadi?”
Belum sempat dia menyadari keadaan sepenuhnya, lamat-lamat
telinganya mendengar suara riuh rendah dari lereng bukit Tidar yang
menuju ke gerbang padepokan.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
31
Ketika dia kemudian dengan tergesa-gesa bangkit berdiri dan
memalingkan wajahnya ke arah kaki bukit, dalam keremangan cahaya
pagi tampak sepasukan orang-orang bersenjata lengkap sedang
berlari-larian mendaki lereng bukit Tidar yang tidak begitu
terjal.
“Gila! Siapakah mereka sebenarnya?” geram cantrik itu
Namun cantrik itu segera tanggap. Tidak ada waktu lagi untuk
membangunkan para cantrik yang sedang bertugas jaga itu
satu-persatu. Dengan cepat dia segera berlari ke arah kentongan
yang tergantung di ujung gardu di sebelah regol. Tanpa membuang
waktu, kentongan itu pun kemudian dipukulnya dengan nada titir.
Sejenak kemudian, suara titir pun telah menggema memenuhi udara
pegunungan Tidar.
Beberapa cantrik yang berjaga di regol depan pun segera
terbangun. Untuk beberapa saat sebagian dari mereka memang masih
tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Tutup pintu gerbang!!” tiba-tiba terdengar teriakan cantrik
yang pertama kali terbangun itu sambil terus membunyikan kentongan,
“Sebagian cantrik segera pergi ke barak! Bangunkan semua cantrik!
Padepokan sedang dalam bahaya! Musuh sudah di depan mata..!”
Ternyata para cantrik itu justru telah menjadi bingung begitu
mendengar perintah yang bertubi-tubi itu. Namun salah seorang
cantrik yang bertubuh kurus dengan cekatan segera berlari ke regol
untuk mendorong pintu gerbang.
“Bantu aku!” teriaknya kemudian sambil terus mendorong pintu
gerbang yang cukup tinggi dan lebar itu.
Dua orang cantrik segera meloncat dan membantu mendorong pintu
gerbang. Sekilas di antara daun pintu gerbang yang hampir tertutup
itu, mereka masih sempat melihat pasukan yang cukup besar dengan
senjata lengkap tampak sedang berlari-larian mendaki lereng. Suara
mereka terdengar seperti suara segerombolan lebah yang sedang
marah. Senjata mereka yang
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
32
teracu-acu mendebarkan jantung tampak berkilat-kilat tertimpa
sinar matahari pagi.
“Cepat!” teriak cantrik yang bertubuh kurus itu memberi aba-aba
kawan-kawannya.
Sejenak kemudian pintu gerbang regol depan padepokan itupun
telah tertutup rapat dan diselarak kuat-kuat dari dalam. Sementara
dua orang cantrik segera bersiap untuk berlari ke barak
membangunkan para cantrik yang lain.
Namun suara kentongan dalam nada titir itu ternyata telah
membangunkan mereka. Beberapa cantrik yang telah terbangun segera
menyambar senjata mereka masing-masing. Sebelum dua orang cantrik
yang bertugas jaga di regol depan itu berangkat ke barak-barak,
tampak dari arah belakang bangunan induk padepokan, beberapa
cantrik dengan senjata terhunus sedang berlarian menuju ke halaman
depan padepokan.
“Cepat menyebar..!” teriak salah seorang cantrik yang berbadan
tinggi besar dan wajahnya penuh dengan jambang, “Jangan bergerak
sendiri-sendiri..! Usahakan bergerak dalam kelompok agar tidak
mudah terjebak oleh lawan..!"
Para cantrik yang telah tersadar dari pengaruh sirep itu pun
segera tanggap. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan
bergerak menyusuri setiap jengkal dari halaman padepokan yang luas
itu.
Ketika sebuah kelompok kecil sedang menyusuri halaman samping
kiri padepokan, mereka telah dikejutkan oleh bekas medan
pertempuran Ki Rangga dan Kiai Damar Sasangka. Rumput-rumput dan
semak belukar tampak telah hangus terbakar menjadi abu. Sedangkan
tanah tempat bekas pertempuran itu pun bagaikan sehabis dibajak
berpuluh ekor kerbau serta permukaan tanahnya sebagian telah hangus
menghitam terkena pancaran ilmu aji Sapta Dhahana.
“Luar biasa..!” desis mereka tanpa sadar sambil mengamat-amati
bekas pertempuran itu. Mereka tidak dapat membayangkan kedahsyatan
pertempuran yang baru saja terjadi.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
33
“Menilik bekas tempat ini yang seperti habis tersapu oleh badai
api, tentu guru yang telah mengetrapkan ilmu puncak perguruan kita,
aji Sapta Dhahana,” berkata salah seorang cantrik penuh kebanggaan
sambil mengamati bekas sebatang pohon perdu yang telah menjadi
abu.
“Ya, aku yakin,” sahut kawan di sebelahnya dengan dada
menggembung menahan kekaguman yang tiada taranya, “Namun yang
membuat aku sedikit bingung, siapakah lawan yang sedang dihadapi
oleh guru, sehingga guru telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya?”
“Tentu seorang yang linuwih,” sahut cantrik yang lain dengan
nada suara yang penuh dengan tekanan dan kebanggaan, “Namun aku
yakin, lawannya itu pasti telah hancur lebur menjadi abu seperti
bekas medan pertempuran ini.”
Kawan-kawan lainnya tidak menyahut. Tampak kepala mereka saja
yang terangguk-angguk. Betapa dada mereka rasa-rasanya akan meledak
karena tidak mampu menampung kebanggaan atas kesaktian guru mereka.
Tak habis habisnya mereka mengagumi kedahsyatan ilmu puncak aji
sapta Dhahana.
“Tapi, di manakah guru sekarang?” tiba-tiba terdengar salah
seorang cantrik menyeletuk.
Untuk beberapa saat mereka hanya dapat saling berpandangan.
Ketika mereka kemudian mengedarkan pandangan mata ke seluruh sudut
halaman padepokan yang luas itu, mereka justru telah dikejutkan
oleh sebuah pemandangan yang mendebarkan jantung. Dalam keremangan
pagi yang masih buram, tampak bayangan sesosok tubuh yang
tergeletak agak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Siapa..?” hampir setiap mulut telah mengajukan sebuah
pertanyaan yang serupa.
Tanpa membuang waktu lagi, mereka segera berloncatan dan berlari
menuju ke arah sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya itu.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
34
Ketika jarak itu semakin dekat, jantung mereka pun bagaikan
berhenti berdetak. Rasa-rasanya mereka telah mengenali orang
itu.
“Raden Surengpati..!” seru mereka hampir bersamaan sambil
mengerumuni adik orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen
itu.
“Raden..?” desis salah seorang cantrik yang kemudian berlutut di
sisi tubuh Raden Surengpati, “Apakah Raden dapat mendengar
kami?”
Cantrik yang lain segera ikut berlutut di sisi tubuh Raden
Surengpati. Salah seorang cantrik bahkan telah memberanikan diri
untuk menyentuhnya.
“Masih hangat,” desis cantrik itu yang kemudian berusaha untuk
meraba denyut nadi yang berada di leher.
Sejenak cantrik itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cantrik
yang lain pun menjadi tidak sabar.
“Bagaimana?” bertanya cantrik yang berlutut di sebelahnya.
Cantrik itu belum menjawab. Hanya kerut merut di dahinya saja
yang terlihat semakin dalam.
“He?!” salah satu cantrik agaknya sudah tidak dapat menahan diri
lagi, “Cepat katakan keadaan yang sebenarnya! Kita harus bertindak
cepat dalam keadaan yang belum menentu ini..!”
Mendengar desakan dari salah satu kawannya, cantrik itu segera
melepaskan tangannya dari leher Raden Surengpati. Setelah menghela
nafas panjang, barulah cantrik itu menjawab, “Aku tidak yakin kalau
aku dapat merasakan denyut nadinya.
Namun rasa-rasanya denyut nadi itu memang masih ada walaupun
terasa sangat lemah dan jauh. Lebih baik kita bawa ke ruang dalam.
Biarlah Tabib padepokan yang akan menolong dan merawatnya jika
memang Raden Surengpati ini masih dapat ditolong.”
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
35
Tampaknya para cantrik setuju dengan pendapat salah satu
kawannya itu. Tiga orang cantrik segera mengangkat tubuh Raden
Surengpati dan membawanya ke ruang dalam.
Dalam pada itu Glagah Putih yang telah berhasil meloncati
dinding padepokan yang sangat tinggi itu sejenak tertegun. Dari
atas dinding dia dapat melihat pemandangan di bawah dengan jelas.
Betapa tempat itu bagaikan bekas dilanda kebakaran yang dahsyat.
Perdu-perdu dan semak belukar tampak hangus terbakar menjadi abu.
Pepohonan yang tinggal hanyalah batangnya saja yang menjulang namun
dalam keadaan hangus menjadi arang.
“Alangkah dahsyatnya,” desis Glagah Putih tanpa sadar. Dia tidak
dapat membayangkan kedahsyatan benturan yang telah terjadi antara
pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dengan kakak sepupunya, Ki
Rangga Agung Sedayu.
Dengan cepat diedarkan pandangan matanya ke setiap sudut untuk
mencari barangkali dia dapat menemukan bayangan kakak sepupunya.
Namun yang dicari sama sekali tidak ditemukannya. Bahkan sebuah
pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengit telah menarik
perhatiannya.
Glagah Putih segera mengenali dengan jelas salah seorang di
antaranya. Beberapa langkah dari bekas tempat kebakaran itu, agak
dekat dengan dinding padepokan, tampak Ki Waskita sedang bertempur
menyabung nyawa dengan lawannya.
“Lawan Ki Waskita itu agaknya mempunyai kemampuan sebagaimana
Kiai Damar Sasangka,” berkata Glagah Putih dalam hati sambil terus
mengamati jalannya pertempuran dari atas dinding, “Namun menilik
besarnya api yang menyelimuti tubuh lawan Ki Waskita, orang itu
masih berada beberapa lapis di bawah Kiai Damar Sasangka.”
Sejenak Glagah Putih mencoba menilai pertempuran yang
berlangsung itu. Beberapa saat kemudian tampak suami Rara Wulan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira Ki Waskita akan dapat mengimbangi kemampuan lawannya,”
berkata Glagah Putih kemudian dalam hati, “Namun
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
36
Ki Waskita harus benar-benar memperhitungkan dengan cermat,
kekuatan wadag Ki Waskita yang sudah sepuh harus diperhitungkan
sebelum Ki Waskita berhasil menghancurkan pertahanan kekebalan
tubuh lawannya.”
Namun ternyata Glagah Putih tidak ingin membuang waktu terlalu
lama dengan mengamati pertempuran itu. Ketika pandangan matanya
kemudian membentur sesosok tubuh yang terbaring diam beberapa
langkah dari arena pertempuran itu, dada Glagah Putih pun berdesir
tajam. Dalam keremangan pagi, pandangan mata Glagah Putih yang
tajam segera mengenali sesosok tubuh itu.
“Kiai Damar Sasangka..?!” desis Glagah Putih dengan jantung yang
berdebaran.
Tanpa membuang waktu lagi, bagaikan seekor burung rajawali yang
terbang menukik, anak laki-laki Ki Widura itupun segera meloncat
turun. Begitu kedua kakinya yang kokoh itu menjejak di atas tanah,
dengan bergegas dia segera mendekati tubuh yang terbaring diam
itu.
Dengan langkah yang ringan tanpa menarik perhatian, Glagah Putih
segera mendekat. Ketika tubuh yang terbaring diam itu sudah berada
tepat di hadapannya, sejenak Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu.
Tubuh itu benar-benar terbujur kaku tidak ada tanda-tanda kehidupan
sama sekali.
“Ah, biar sajalah,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati,
“Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu pengobatan yang
mendalam. Aku takut apa yang akan aku lakukan nanti justru dapat
memperparah keadaannya jika memang dia masih ada kemungkinan untuk
di tolong.”
Berpikir sampai disitu, Glagah Putih segera memutuskan
meninggalkan tempat itu untuk kembali mencari keberadaan kakak
sepupunya.
Namun Ki Waskita yang bertempur menghadap ke arah dinding
padepokan agaknya melihat kedatangannya. Maka teriak Ki Waskita
kemudian sambil terus bertempur, “Glagah
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
37
Putih! Kembalilah ke dalam padepokan. Aku mendengar ada suara
hiruk pikuk pasukan yang datang! Mungkin mereka adalah Ki Gede
Matesih dan para pengawal. Bantulah mereka!”
“Tutup mulutmu orang tua!” bentak lawannya sambil meningkatkan
serangannya yang membadai, “Aku telah bersumpah membunuh kalian
semua sebagai tebusan atas nyawa guruku!”
Namun yang terdengar kemudian adalah suara tawa Ki Waskita.
Berkata Ki Waskita kemudian di sela-sela tawanya, “Jangan
terlalu sesorah Ki Sanak. Menghadapi orang tua seperti aku ini saja
engkau sedari tadi belum dapat berbuat banyak. Apalagi dengan
sepasukan pengawal dari Matesih!”
“Persetan..!” bentak Putut Sambernyawa sambil menerjang lawannya
dengan puluhan lidah api yang membara. Namun Ki Waskita dengan
tangkasnya masih dapat menghindar.
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih belum beranjak dari
tempatnya. Dalam benaknya masih menyisakan tanda tanya tentang
keberadaan kakak sepupunya itu.
Maka ketika dia sudah tidak mampu lagi untuk menahan hatinya,
Glagah Putih pun kemudian ikut berteriak, “Ki Waskita! Di manakah
kakang Agung Sedayu?”
Ki Waskita yang mendengar pertanyaan Glagah Putih segera maklum
bahwa anak laki-laki Ki Widura itu tentu mengkhawatirkan keadaan Ki
Rangga Agung Sedayu.
Maka jawabnya kemudian tak kalah kerasnya, “Kakangmu tidak
apa-apa! Dia sedang bersama seseorang untuk menyembuhkan lukanya!
Percayalah! Kakangmu dalam keadaan selamat!”
“Omong kosong!” teriak Putut Sambernyawa menggelegar sambil
melontarkan berpuluh lidah api yang menyembur dari kedua telapak
tangannya, “Dia sekarang ini pasti sedang meregang nyawa, atau
bahkan sudah menjadi mayat. Aji Sapta Dhahana
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
38
tidak ada duanya. Belum ada seorang pun yang mampu menahan
kedahsyatannya. Jika tubuh Ki Rangga masih terhindar dari
kehancuran, tetapi aku yakin, tubuh bagian dalamnya pasti sudah
luluh lantak menjadi abu. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang
mampu menahan kedahsyatan aji Sapta Dhahana!”
Betapa desir yang sangat tajam telah menggores jantung Ki
Waskita dan Glagah Putih. Walaupun Ki Waskita telah diberi tahu
keadaan Ki Rangga oleh seseorang yang menyebut dirinya Mas Santri
beberapa saat yang lalu, namun dia belum melihat sendiri keadaan Ki
Rangga yang sesungguhnya.
Glagah Putih menggeram keras untuk menghilangkan kegelisahan
yang menggumpal di dalam dadanya. Ketika terpandang kembali tubuh
pemimpin perguruan Sapta Dhahana yang terbujur diam selangkah di
hadapannya, jantung Glagah Putih pun bagaikan meledak.
“Jika Kiai Damar Sasangka yang telah mengetrapkan puncak aji
Sapta Dhahana saja sekarang terbujur diam, bagaimana dengan keadaan
Kakang Agung Sedayu sendiri?” pertanyaan itu tiba-tiba saja
melonjak di dalam hatinya.
“Ki Waskita..!” teriak Glagah Putih akhirnya untuk menghilangkan
galau hatinya, “Ke arah manakah Kakang Agung Sedayu dibawa pergi?
Aku akan menyusulnya..!”
Untuk beberapa saat Ki Waskita belum mampu menjawab. Serangan
lawannya benar-benar menyulitkannya untuk sekedar menjawab
pertanyaan Glagah Putih. Dengan dahsyatnya lawan yang usianya jauh
lebih muda darinya itu menyerang dari segala penjuru.
Ketika Ki Waskita kemudian mampu membebaskan dirinya dari
kesulitan, dia segera menjawab pertanyaan Glagah Putih, “Aku tidak
tahu arah yang sebenarnya, Glagah Putih! Namun menurut
panggraitaku, kakangmu itu telah dibawa pergi ke arah utara!”
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
39
Begitu Ki Waskita selesai berkata, Glagah Putih telah meloncat
berlari menerobos lebatnya hutan sebelah timur Gunung Tidar menuju
ke arah utara.
Glagah Putih benar-benar sudah tidak memperdulikan apapun yang
terjadi di sekitarnya. Pikirannya hanya tertuju kepada keselamatan
kakak sepupunya itu.
“Di dalam padepokan masih ada guru dan Ki Bango Lamatan,”
berkata Glagah Putih kemudian dalam hati sambil terus menerobos
hutan yang cukup lebat, “Beliau berdua aku kira sudah lebih dari
cukup untuk membantu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya.”
Berpikir sampai disitu, Glagah Putih semakin mempercepat
perjalanannya. Sesekali dia harus merunduk untuk menghindari
sulur-sulur pepohonan yang bergayut rendah. Bahkan dia
kadang-kadang harus meloncati dan meniti batang-batang pohon hutan
yang tumbang silang melintang.
“Mungkin di tempat ini pernah melanda puting beliung atau angin
puyuh sehingga banyak pohon-pohon besar yang tumbang,” membatin
Glagah Putih sambil terus bergerak maju.
Dalam pada itu, matahari benar-benar telah terbit di ufuk timur.
Namun sinarnya belum mampu menembus lebatnya hutan yang membujur
dari arah timur sampai utara lereng gunung Tidar. Hanya pantulan
cahaya Matahari di langit yang cerah yang membuat hutan itu menjadi
sedikit terang.
“Matahari telah terbit,” gumam Glagah Putih sambil terus
bergerak. Hatinya benar-benar telah dicengkam oleh kegelisahan yang
tiada taranya.
Dalam pada itu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya telah
tertahan di depan pintu gerbang padepokan Sapta Dhahana yang tinggi
dan terlihat sangat kokoh.
Beberapa puluh langkah sebelum mencapai pintu gerbang, Ki Gede
segera mengangkat tombak pendek di tangan kanannya tinggi-tinggi.
Pasukan pengawal perdikan Matesih pun segera menghentikan
langkah.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
40
Ki Kamituwa segera melangkah mendekati Ki Gede.
“Ki Gede,” bertanya Ki Kamituwa kemudian, “Apakah Ki Gede
mempunyai rencana?”
Sejenak Ki Gede mengamati pintu gerbang yang tertutup rapat
beberapa puluh langkah di hadapannya. Jawabnya kemudian, “Kita
harus mampu membuka paksa pintu gerbang itu. Namun kita juga
pertimbangkan korban yang mungkin akan berjatuhan jika kita terlalu
memaksakan.”
Ki Kamituwa menarik nafas dalam sambil mengernyitkan keningnya.
Tanpa sadar pandangan matanya mengarah ke pintu gerbang yang tinggi
dan kokoh itu.
“Ki Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian, “Apakah tidak sebaiknya
kita mempergunakan sebatang pohon yang cukup besar untuk menggedor
pintu gerbang itu?”
Ki Gede tampak menganggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian,
“Kemungkinan itu bisa dicoba. Sementara para pengawal dapat
melindungi mereka yang memanggul batang pohon itu dengan perisai
mereka.”
Ki Kamituwa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Namun baru saja Ki Kamituwa berpaling ke belakang untuk
memerintahkan beberapa pengawal menebang pohon yang cukup besar,
mereka telah dikejutkan oleh berpuluh anak panah dan lembing yang
meluncur dari atas dinding padepokan.
Namun dengan tangkasnya para pengawal yang membawa perisai
segera mendesak ke depan. Sebelum anak-anak panah dan lembing itu
mengenai salah satu dari mereka, dinding perisai telah terbentuk di
depan pasukan.
Ki Gede menggeram. Ternyata memasuki padepokan Sapta Dhahana
tidak semudah yang mereka bayangkan. Menurut penuturan Ki Ajar
Mintaraga sebelum mereka berangkat, para cantrik penghuni padepokan
sedang terlelap oleh pengaruh sirep. Namun agaknya kedatangan
pasukan pengawal itu agak sedikit terlambat sehingga kini para
penghuni padepokan telah sadar sepenuhnya dengan apa yang sedang
terjadi.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
41
Hampir saja Ki Gede memerintahkan untuk membalas serangan itu.
Namun ketika Ki Gede mengamati dengan seksama lawan yang berada di
atas dinding, jantung Ki Gede rasa-rasanya akan meledak.
Ternyata dengan sangat cerdiknya para penghuni padepokan itu
tidak berdiri di atas dinding sambil melemparkan anak panah dan
lembing. Mereka hanya sekilas terlihat muncul di atas dinding untuk
melemparkan anak panah dan lembing kemudian menghilang di balik
dinding. Dengan demikian pasukan pengawal Matesih akan kesulitan
untuk balas menyerang.
“Mereka sangat cerdik Ki Gede,” desis Ki Kamituwa yang berdiri
di sebelah Ki Gede, “Mereka melempar panah dan lembing dari balik
dinding. Kita akan kesulitan untuk membalasnya. Sementara
persediaan anak panah kita sangat terbatas. Sedangkan mereka tentu
mempunyai persediaan anak panah dan lembing yang jumlahnya tak
terbatas, karena mereka berada di rumah mereka sendiri.”
Ki Gede menarik nafas panjang. Hati Ki Gede menjadi agak
bimbang. Jika Ki Gede memutuskan untuk menggedor pintu gerbang itu
dengan sebatang pohon, tentu korban akan segera berjatuhan di pihak
pengawal Matesih. Memang para pengawal yang berperisai dapat
melindungi mereka yang membawa batang pohon itu. Namun lawan dapat
saja menyerang bagian tubuh yang terlihat dan tak berlindung,
seperti kaki misalnya.
Ketika beberapa anak panah kemudian berhasil menyusup di antara
rapatnya barisan perisai itu, satu dua orang pengawal telah
mengaduh kesakitan. Walaupun anak panah itu tidak sampai
menimbulkan luka yang parah, namun darah mulai menitik di pihak
pasukan Matesih.
“Mundur..!” tiba-tiba terdengar aba-aba dari Ki Gede. Tombak
pendek di tangan kanannya di angkat tinggi-tinggi kemudian ujungnya
diputar dua kali. Pasukan pengawal Matesih pun dengan teratur
bergerak mundur sampai sejauh jangkauan aman dari panah dan lembing
lawan.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
42
Begitu pasukan pengawal Matesih mundur beberapa tombak ke
belakang, gelombang serangan anak panah dan lembing itu pun dengan
sendirinya telah berhenti.
Sejenak kemudian, satu dua orang pengawal yang sempat tersentuh
anak panah lawan segera mengobati luka mereka. Luka-luka itu memang
tidak akan banyak berarti. Namun jika tidak segera diobati, tidak
menutup kemungkinan jika mereka telah terjun dalam pertempuran yang
sebenarnya, luka itu dapat mengalirkan darah kembali, dan lambat
laun itu akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuh mereka.
Dalam pada itu pertempuran di halaman sebelah barat padepokan
telah merambah ke ilmu simpanan masing-masing. Ki Jayaraga yang
bertempur melawan Ki Brukut telah dikejutkan oleh sejenis ilmu yang
sudah jarang ditemukan.
Pada awalnya guru Glagah Putih itu belum menyadari ketika
lawannya bergerak berputar-putar dengan cepatnya mengelilingi
dirinya. Dari kedua tangan Ki Brukut menyambar-nyambar angin dingin
yang terasa menerpa tubuhnya.
“Ilmu apa lagi yang akan dipamerkan oleh orang ini?” berkata Ki
Jayaraga dalam hati sambil terus mengimbangi gerak lawannya. Karena
lawannya bergerak mengitari dirinya, Ki Jayaraga pun akhirnya ikut
bergerak berputaran untuk menghindari kesempatan lawan menyerangnya
dari arah belakang.
Lambat laun Ki Jayaraga merasakan sesuatu yang aneh sedang
menjalari kesadarannya. Sinar Matahari yang masih sangat lemah
serta angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa bagaikan
membelai-belai tengkuknya. Ditambah dengan gerak Ki Jayaraga yang
terus berputaran mengikuti gerak lawan telah membuat kepala Ki
Jayaraga menjadi pening.
“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati sambil berusaha
menghilangkan rasa pening di kepalanya yang semakin mencengkeram
otaknya.
Namun Ki Jayaraga bertempur terus. Sementara semakin lama gerak
putaran lawannya semakin cepat dan Ki Jayaraga mulai
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
43
mengalami kesulitan untuk mengatasi rasa pening yang
mencengkeram otaknya. Sejalan dengan rasa pening yang tak
tertahankan itu, Ki Jayaraga pun merasakan kekuatannya sedikit demi
sedikit juga mulai terasa melemah.
Ki Jayaraga menjadi heran sendiri dengan keadaan dirinya. Memang
usia Ki Jayaraga sudah cukup tua, sehingga sudah sewajarnya jika
tenaga wadagnya ikut menyusut seiring dengan bertambahnya usia.
Namun dia merasa tenaga cadangannya masih sangat mendukung. Dengan
tenaga cadangan yang nyaris sempurna, kekuatan wadagnya yang mulai
menyusut masih dapat diatasinya.
Namun yang terjadi kini benar-benar diluar penalarannya. Tenaga
cadangannya lambat laun juga mulai ikut menyusut.
Sebenarnyalah Ki Jayaraga telah terpancing oleh gerakan lawan
yang berputaran mengelilingi dirinya. Selain itu sentuhan angin
yang menerpa dari kedua belah tangan lawannya terasa betapa sejuk
dan lembutnya sehingga lambat laun telah mempengaruhi daya
penalarannya.
“Anak iblis!” geram Ki Jayaraga dalam hati begitu menyadari
selain rasa pening dan tenaganya yang perlahan menyusut, rasa
kantuk yang luar biasa kini mulai terasa mengganggunya.
Untunglah Ki Jayaraga yang telah banyak makan asam garamnya
pertempuran itu segera menyadari apa yang sedang terjadi. Agaknya
lawan memiliki sejenis ilmu yang dapat mempengaruhi daya
penalarannya. Selain rasa pening dan kantuk yang tak tertahankan,
tenaganya pun terasa semakin lama semakin menyusut.
“Gila! Ini harus segera dihentikan!” geram Ki Jayaraga dalam
hati sambil berusaha mengerahkan ketahanan nalar dan budinya untuk
melawan rasa pening dan kantuk yang tiada taranya itu,
“Rasa-rasanya aku pernah mengenali ilmu semacam ini. Namun agaknya
orang ini telah mengetrapkan ilmunya dengan sangat halus sehingga
aku hampir luput mengenalinya.”
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
44
Setelah yakin dengan kesimpulannya, Ki Jayaraga segera meloncat
mundur keluar dari lingkaran pertempuran untuk mengambil jarak.
Ketika Ki Brukut kemudian memburunya untuk menjaga jarak agar tetap
mampu mempengaruhi lawan dengan ilmunya, tanah sejengkal di
hadapannya tiba-tiba saja telah meledak menyemburkan uap air yang
mendidih serta bergumpal-gumpal tanah yang membara.
“Syetaan..!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur menghindari
semburan uap air panas yang hampir menyentuh kakinya.
Kesempatan itu segera dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan
sebaik-baiknya. Setelah menyilangkan kedua tangannya sekejap di
depan dada, terasa hawa yang segar menyelusuri sekujur tubuhnya
sehingga rasa pening dan kantuk yang mencengkeramnya selama ini
perlahan mulai menghilang. Sejalan dengan itu, tenaganya pun terasa
mulai pulih kembali.
Ketika Ki Jayaraga kemudian memandang ke depan, tampak lawannya
itu sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Sejenak
kemudian tangan kanannya terlihat bergerak ke depan membentuk
sebuah cakar yang nggegirisi. Sedangkan tangan kirinya terkepal di
samping pinggang. Sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah
Ki Jayaraga dengan tatapan liar, seliar tatapan seekor singa
gurun.
“Nah,” berkata Ki Brukut kemudian tanpa melepaskan tatapan
matanya pada Ki Jayaraga, “Kali ini engkau benar-benar akan mati.
Ilmu pamungkasku ini jarang ada yang mampu menandinginya. Engkau
akan mati lumat menjadi seonggok daging dan pecahan tulang!”
Diam-diam jantung Ki Jayaraga berdesir tajam. Lawannya ini
memang sedari tadi terus mengancamnya walaupun berkali-kali dia
belum dapat membuktikan ancamannya itu. Namun kali ini Ki Jayaraga
tidak berani bersikap gegabah. Sejenak kemudian guru Glagah Putih
itupun segera mengetrapkan ilmu yang menjadi andalannya, aji sigar
bumi.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
45
Demikianlah akhirnya, diawali dengan sebuah teriakan yang
menggelegar, Ki Brukut telah meloncat secepat kilat menerjang ke
arah lawannya.
Dalam pada itu dari arah belakang bangunan induk, tampak
beberapa cantrik padepokan Sapta Dhahana sedang berlari-larian
menuju ke halaman sebelah barat padepokan. Namun langkah mereka
telah terhenti begitu mendengar suara ledakan dahsyat yang
mengguncang tempat itu.
“Jangan mendekat..!” teriak salah seorang cantrik yang datang
terlebih dahulu di tempat itu kepada kawan-kawannya yang datang
kemudian.
“Mengapa kakang?” bertanya seorang cantrik yang bertubuh kecil
sambil mengatur pernafasannya yang sedikit tersengal.
“Mereka orang-orang yang berilmu tinggi, diluar jangkauan
penalaran kita. Lebih baik kita tidak usah ikut campur,” jawab
cantrik yang pertama kali datang di tempat itu.
Sejenak kemudian, beberapa cantrik yang berdatangan telah
berkerumun di dekat kedua cantrik itu. Namun mereka tidak tahu apa
yang harus mereka perbuat.
Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang sedang bertempur beberapa
tombak dari lingkaran pertempuran Ki Jayaraga telah menahan nafas.
Betapa pun juga, Ki Bango Lamatan belum mengetahui tingkat
kemampuan yang sebenarnya dari Ki Jayaraga. Ada sebersit keraguan
begitu melihat Ki Jayaraga terlempar ke belakang beberapa langkah.
Sejenak orang tua itu tampak terhuyung-huyung untuk mempertahankan
keseimbangannya. Namun ternyata Ki Jayaraga tidak mampu
mempertahankan keseimbangannya dan pada akhirnya jatuh tersungkur
di atas tanah yang berdebu.
Ki Bango Lamatan terkejut bukan alang kepalang. Namun tidak ada
kesempatan baginya untuk sekedar melihat keadaan Ki Jayaraga. Pada
saat yang bersamaan ternyata lawannya telah memutuskan untuk
membenturkan puncak ilmunya.
-
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 7
46
Ki Kebo Mengo, orang kepercayaan Raden Wirasena itu telah
menggeram sambil menekuk rendah kedua lututnya. Kedua tangannya
justru telah dilipat k