1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah modernisasi pendidikan di Mesir sangat lekat dengan gerakan pembaharuan Islam. Hal ini karenakan, sebagaimana ungkap Esposito, hampir seluruh pelaku-pelakunya adalah tokoh-tokoh pembaharu agama. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan al- Banna, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Pasha, dan yang lainnya 1 . Secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798 M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah Timur, terutama India. Napolen Bonaparte menjadikan Mesir, hanya sebagai batu loncatan saja untuk menguasai India, yang pada waktu itu dibawah pengaruh kekuasaan kolonial Inggris. Kedatangan Napolen ke Mesir tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh orang diantaranaya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya), serta seribu orang sipil. Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama Institut d’Egypte, yang terdiri dari empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan polititik, serta ilmu sastera dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan (ulama‟) Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai bahasa dunia 2 . Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya, Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya tinggi Perancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama, 1 John L. Esposito, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 87. 2 Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 65.
melihat dari segi sosial dan politik bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Mesir abad 20
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah modernisasi pendidikan di Mesir sangat lekat dengan gerakan pembaharuan
Islam. Hal ini karenakan, sebagaimana ungkap Esposito, hampir seluruh pelaku-pelakunya
adalah tokoh-tokoh pembaharu agama. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan al-
Banna, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Pasha,
dan yang lainnya1.
Secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir
berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798
M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah Timur, terutama India. Napolen Bonaparte
menjadikan Mesir, hanya sebagai batu loncatan saja untuk menguasai India, yang pada
waktu itu dibawah pengaruh kekuasaan kolonial Inggris. Kedatangan Napolen ke Mesir
tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh
orang diantaranaya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab,
Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya),
serta seribu orang sipil. Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama Institut
d’Egypte, yang terdiri dari empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan
polititik, serta ilmu sastera dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi
Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan
(ulama‟) Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan
peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang
dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai
bahasa dunia2.
Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya,
Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir
serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya
tinggi Perancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama,
1John L. Esposito, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 87.
2Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 65.
2
banyak diantara cendekiawan Mesir belajar tentang perpajakan, pertanian, kesehatan,
administrasi, dan arkeologi3.
Tepatnya setelah muncul Pasha baru yang berhasil mengalahkan kekuasaan kaum
Mamluk dan mengusir kaum Napoleon dari Mesir, pembaharuan sudah mulai tampak.
Kiranya pengaruh dari Napoleon dalam kehidupan Mesir sangat meresap walau hanya
sekejap. Jadi pembaharuan yang berjalan di Mesir saat itu adalah pembaharuan ala Barat
yang ternyata dikembangkan oleh para pemimpin Mesir.
Dikatakan oleh Lothrop Stoddard bahwa Muhammad Ali dalam memerintah negeri
Mesir mengambil contoh dan menempuhnya dengan cara pemikiran Barat dan ia lalu
sangat berkembang pesat. Kemudian penggantinya Muhammad Ali mengikuti jejaknya
bahkana keadaan Mesir bertambah mengkhawatirkan karena dengan kedatangan Inggris,
justru menjadikan campur tangan asing pada pemerintahan bertambah kuat, sehingga
mereka berhasil mendekati khadiv-khadiv untuk mengeruk kekayaan Mesir. Para
pemimpin pemerintahan tidak sadar bahwa kemerdekaannya digadaikan pada
pemerintahan asing, sedang pemerintah Mesir dirusak guna mendapatkan keuntungan bagi
mereka4.
Dalam makalah ini kita akan melihat keadaan sosial Mesir diambang kedatangan
Napoleon dan perubahan sosial yang terjadi setelah kedatangannya yang dimulai dengan
pemerintahan Muhammad Ali. Perubahan sosial yang terjadi memberikan dampak pada
perubahan dalam bidang pendidikan, tak terkecuali pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan Mesir diambang kedatangan Perancis ?
2. Mengapa Perancis menginvasi Mesir ?
3. Bagaimana pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali di Mesir?
4. Bagaimana pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh?
3Joseph S. Szy Liowics, Education and Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., (Surabaya: al-
Ikhlas, 2001), hlm. 127. 4Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Terj. (Jakarta: Panitia Penerbit Negara, 1966), hlm. 152.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadaan Mesir di Ambang Kedatangan Perancis
Mesir atau kini Republik Arab Mesir merupakan sebuah negara yang terkenal
dengan sejarah pemerintahan yang beragam dan panjang sejak zaman Firaun diikuti zaman
Byzantium dan setelah itu kedatangan Islam ke Mesir, yang kemudian muncul beberapa
pemerintahan yang dimulai oleh Khulafa‟ al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani „Abbas,
Tulun, Ikhshid, Fatimi, Ayyubi, Mamluki dan „Utsmaniyah. Sampai Mesir diinvasi oleh
bangsa Eropa, yaitu Perancis dan Inggris. Penguasaan Mesir oleh banyak kerajaan telah
menjadikannya sebagai sebuah negara yang sarat dengan sejarah yang menarik untuk
dikaji dan dianalisis. Selain itu, kekayaan sumber ekonomi dan lokasinya yang istimewa,
iaitu di tengah jalan perdagangan antara Barat dan Timur telah berhasil menarik para
penguasa besar untuk menguasainya sejak dahulu.5
Meskipun sebagai bagian dari wilayah imperium Utsmani, Mesir mempertahankan
identitas politik dan kulturalnya sendiri. Di bawah pemerintah Utsmani, Mesir benar-benar
diperintah oleh beberapa faksi militer Mamluk setempat. Sebagaimana kebanyakan
wilayah Utsmani lainnya, Mesir memiliki badan-badan ulama dan thariqat sufi yang
berpengaruh besar. Pada rentangan abad delapan belas, disebabkan lemahnya kontrol
Utsmani, persaingan antara beberapa faksi Mamluk mengakibatkan terbengkalainya
irigasi, kemerosotan pajak, dan meningkatnya otonomi pastoralisme dan kesukuan.
Melemahnya pengaruh Utsmani menyebabkan perubahan besar dalam seluruh sistem
kemasyarakatan Mesir. Pertama, kondisi tersebut membuka kesempatan bagi serangan
Napoleon tahun 1798, membuka kesempatan bagi intervensi pihak Inggris, dan berakhir
dengan penunjukkan Muhammad Ali sebagai gubernur Mesir pada tahun 1805.6
1. Keadaan sosial-Politik
Mulai merosotnya kekuatan kesultanan Utsmaniyyah di abad ke-18 akibat perang
yang banyak terjadi di wilayah Eropa yaitu dengan Rusia dan Austria. Membuat Mesir
mendapat perhatian yang kecil. Meskipun sudah lama menjadi wilayah dari imperium
Ustmani, tetapi pihak kesultanan Istanbul tidak banyak mempunyai kepentingan di
wilayah ini. Selain hanya upeti atau pajak yang ditarik sesuai aturan, sultan
5Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, Akademika,
23 Mei 2010, hlm. 89. 6Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Vol. III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 102.
4
Utsmaniyyah lebih sibuk melakukan ekspansi dan memperthanan wilayah di wilayah-
wilayah eropa yang telah dikuasainya.
Ketimbang menunjukkan seorang Pasya Utsmani untuk bertindak sebagai wakil
penguasa atas wilayah Mesir, dan meninggalkan satu pasukan keamanan yang terdiri
atas 5.000 personil Janissari, Sultan Salim membuat perubahan radikal dalam sistem
administrasi Mesir. Ia memilih Khair Bey adalah seorang Gubernur Turki di Aleppo
yang menghianati atasannya, penguasa Mamluk. Setiap Bey Mamluk mengambil
beberapa orang budak untuk menjadi prajuritnya. Mereka selalu berada disekitarnya,
siap melakukan setiap perintahnya, dan mempertahankan kekuasaannya. Sebagaimana
pada rezim sebelumnya, rezim Mamluk juga mengumpulkan pajak dan merekrut bala
tentara. Hanya saja, mereka mengakui kekuasaan Kerajaan Ustmani dengan selalu
mengirimkan upeti setiap tahunnya.7
Hal ini terjadi tidak lama sebelum Pasya Utsmani yang dikirim dari Konstatinopel
gagal memimpin Mesir dan membereskan persoalan-persoalan lokal. Kebodohannya
dalam memimpin dan membaca situasi setempat menjadi pokok munculnya berbagai
permasalahan di sana. Masa jabatannya yang terbaik berlangsung hanya beberapa
kejap. Selama 28 tahun kekuasaan Turki di Mesir, tidak kurang dari seratus Pasya
berkuasa silih berganti. Perubahan personel yang terlampau sering membuat kekuasaan
atas tentara semakin lemah, sehingga mereka cenderung menjadi pasukan yang tidak
patuh dan tidak disiplin. Sejak paruh pertama abad ke 17, pemberontak menjadi
fenomena yang biasa terjadi. Konflik antara para Pasya dan Bey menjadi bagian tak
terpisahkan dari sejarah perkembangan politik negeri ini. Para Pasya mendapatkan
kesempatannya ketika persaingan dan kecemburuan yang menyebar di antara para Bey
untuk mendapatkan puncak kekuasaan mencapai taraf yang gawat. Ketika pusat
kekuasaan di Konstantinopel mengalami kemunduran, provinsi-provinsi di seluruh
Mesir juga mengalami perubahan8.
Para pasha yang dikirim kebanyakan tidak bisa mengendalikan keadaan di Mesir,
para Bey terus-terus melancarkan pemberontakan. Bey-bey Mamluk adalah kumpulan
yang paling berpengaruh di Mesir menjelang abad ke-18 M dan mempunyai wilayah
kekuasaan masing-masing. Para bey tersebut saling bermusuhan satu sama lain dan
mementingkan diri sendiri yang akhirnya menyebabkan rakyat menderita karena
7Phillip K. Hitti, History of The Arabs,Terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2006), hlm. 920. 8Phillip K. Hitti, hlm. 921.
5
penindasan dan kesewenangan yang mereka lakukan. Pada rentang tahun 1760 sampai
1798 sejarah mencatat ada empat orang Bey yang berkuasa di Mesir, yaitu „Ali Bey al-
Kabir, Muhammad Abu Dhahab, dan Murad Bey serta Ibrahim Bey. Pada masa
pemerintahan para bey tersebut Mesir mempunyai hubungan yang renggang dengan
pihak kesultanan Ustmaniyyah, mereka enggan membayar upeti dan mengusir
perwakilan yang dikirim oleh pihak Utsmaniyah.
Menurut Shaw sebagaimana yang dikutip oleh Wan Kamal, hingga ketika sultan
Abdul al-Hamid mengirim pasukan yang dipimpin oleh Hasan Pasha untuk menangani
masalah tersebut pada tahun 1785. Kedatangan tersebut disambut dengan baik oleh
rakyat Mesir dan akibatnya Murad bey dan Ibrahim Bey harus melarikan diri ke Mesir
selatan, namun Hasan Pasha tidak lama berada di Mesir, ia dan pasukannya ditarik
kembali untuk berperang dengan Rusia. Dengan kepergian pasukan ini Murad bey dan
Ibrahim Bey kembali mengontrol Mesir dengan penuh sampai dengan kedatangan
Napoleon Bonaparte pada tahun 17989.
2. Keadaan Sosial-Ekonomi
Pada abad ke-17, Mesir mengalami ketidakstabilan politik yang seterusnya
mengundang kemerosotan ekonomi. Di bawah kontrol kekuasaan yang tidak stabil,
bangsa pribumi semakin tenggelam ke dasar jurang kemiskinan dan kesengsaraan. Para
Pasya dan Mamluk secara sewenang-wenang mengeksploitasi para pengolah tanah
tanpa rasa belas kasihan, sehingga merekatak lagi memiliki harapan, suatu
kesengsaraan yang tak ada bandingannya, kecuali mungkin pada masa-masa
sebelumnya. Korupsi dan suap telah menjadi budaya yang berakar kuat dalam
kehidupan penguasa. Keadaan itu semakin parah dengan merebaknya kegelisahan,
kelaparan dan wabah penyakit yang membayangi kemiskinan10
.
Mesir sejak dahulu dikenal dengan wilayah suburnya terutama daerah didekat
sungai nil. Pertanian kapas, kopi, tebu, dsb. menjadi komoditi andalan. Namun dengan
ketidakstabilan politik yang terjadi, sektor-sektor ekonomi banyak terimbas negatif dan
yang paling merasakan adalah para petani maupun pedagang kecil.
Keadaan menjadi lebih rumit ketika musim paceklik besar melanda karena
bencana banjir besar yang melanda lembah Nil pada 1784 dan wabah penyakit taun
yang melanda pada 1785 dan 1791 yang telah banyak menewaskan korban jiwa. Hal ini
ditambah lagi dengan perilaku para penguasa Mamluk yang menentukan cukai terlalu
9Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, hlm. 94.
10Phillip K. Hitti, hlm. 921.
6
tinggi. Akibatnya barang yang diekspor keluar menjadi tidak kompetitif untuk bersaing
dipasar antarbangsa, apalagi posisi perdagangan Mesir yang tergantung banyak pada
perdagangan Eropa. Perdagangan Mesir dengan Sudan adalah satu-satunya
perdagangan antarbangsa yang masih dapat bertahan11
.
3. Keadaan Sosial Budaya
Abad ke-18, Mesir kalah bersaingan dalam kemajuan peradaban dengan Istanbul
sebagai pusat peradaban Islam. Misalnya dalam aspek-aspek sains, teknologi, peng-
obatan, dan pemikiran yang mengalami kemerosotan. Pada abad tersebut, Mesir meng-
alami kekurangan para pakar pengobatan, di Kairo ketika itu hanya terdapat tiga orang
ahli farmasi yang dua diantaranya merupakan berkebangsaan Italia dan Yunani. Walau
bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga para ulama yang ahli dalam
berbagai bidang. Seperti Syekh Hasan al-Jabarti (ahli matematik dan astronomi),
Sayyid Muhammad Murtada al-Zabidi (ahli bahasa dan teknologi) dan masih banyak
ulama yang lainnya12
.
Dalam sistem pemerintahan, ulama merupakan golongan yang memainkan peran
besar karena ilmu dan pengaruh mereka digunakan oleh pemerintah untuk menguatkan
posisi mereka. Kepemimpinan mereka seringkali mempengaruhi pemerintah walaupun
tugas hakiki mereka adalah sebagai pembina umat, mempertahankan kesucian sya‟riah
dan ajaran Islam serta menafsrikan al-Qur‟an. Walaupun mempunyai posisi yang
strategis tetapi ulama tidak berlomba-lomba untuk menjilat penguasa, mereka hanya
bertindak sebagai perantara di antara rakyat Mesir dan penguasa. Dalam kehidupan
sosialnya masyarakat Mesir lebih dilihat lebih dekat dengan ulama daripada pemerin-
tahan ketika itu.
Dengan bersandar pada ulama, penguasa Utsmaniyah memperkuat syariat dan
meningkatkan studi bahasa Arab. Di Kairo abad 18 M, ulama tumbuh subur, yang
berjumlah sekitar 4000 dari sekitar 50.000 populasi laki-laki dewasa. Dari basis mereka
di Al-Azhar, pusat pengorganisasian jaringan nasional pendidikan keagamaan, ulama
Mesir memelihara budaya Islam yang menciptakan mata rantai sosial dan moral yang
kuat antara Kairo dan provinsi-provinsi. Ulama juga terhitung menonjol dalam semua
krisis politik yang dialami oleh Mesir. Melalui kontrol mereka atas sumbangan keaga-
maan, perkara hukum, dan warisan, mereka menguasai sumber daya ekonomi yang
11
L. A. Aronian & R.P Mitchell, Timur Tengah dan Asia Utara Modern, Terj. M. Redzuan Othman, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), hlm. 69. 12
Ahmad Amin, Islam Sepanjang Zaman, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980), hlm. 131-132.
7
setidaknya sama dengan pekerja tangan ahli atau pedagang. Pemimpin keagamaan
bertindak sebagai pelindung, yang mengintervensi antara penduduk awam Mesir dan
penguasa Utsmaniyah13
. Pola seperti ini juga berlanjut ketika kekuasaan Mesir
berpindah ke tangan para bey Mamluk.
B. Penaklukan Mesir oleh Perancis
Perancis adalah negara Eropa terawal yang menduduki Mesir selepas terjadi
kemerosotan politik dalam pemerintahan „Utsmaniyah di Mesir pada penghujung abad ke-
18. Penaklukan Perancis hanya berlangsung dalam tempo lebih kurang tiga tahun saja,
yaitu dari 1798 hingga 1801 dan Napoleon Bonaparte, salah seorang Jendral Perancis
merupakan individu yang bertanggungjawab mengetuai ekspedisi penaklukan tersebut.
Meskipun penaklukan berlangsung dalam masa yang singkat, tetapi mayoritas sarjana
Barat meyakini bahwa peristiwa itu telah memberi begitu banyak kesan positif kepada
Mesir sehingga dikatakan invasi Perancis ke Mesir merupakan permulaan „zaman modern‟
di negara itu.
Sebagai negara yang mempunyai letak geografis yang strategis karena posisinya
sebagai pintu gerbang menuju daratan Afrika dan mempunyai terusan suez yang
menghubungkan laut mediterania dengan laut merah. Terusan ini mengizinkan transportasi
air dari Eropa ke Asia tanpa mengelilingi Afrika, jalur ini tentu saja menjadi rebutan para
negara kolonialis yang menggandalkan jalur laur sebagai jalur perdagangannya. Selain itu
Mesir juga diberkahi tanah yang subur terutama di sepanjang sungai Nil. Dengan kondisi
negara demikian banyak negara yang ingin menginvasi Mesir guna mengukuhkan
pengaruhnya baik dalam aspek ekonomi, politik dan lainnya.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan bagi Perancis yang saat itu dipimpin oleh
seorang Jenderal perang legendaris yaitu Napoleon Bonaparte untuk menaklukan Mesir.
Di antaranya sebagai berikut:
1. Faktor Politik
Persaingan dan permusuhan antara Perancis dan Inggris merupakan faktor utama
yang membawa Perancis menginvasi Mesir. Persaingan dan permusuhan itu semakin
menjadi serius tatkala Perancis mengalami kekalahan dalam perang tujuh tahun atau
perang Perancis-India pada 1756-1763 yang menyebabkan Perancis kehilangan Kanada
dan India dan menyerahkannya kepada Inggris. Oleh itu penaklukan Mesir yang
13
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, jilid. IV (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 103.
8
lokasinya berhampiran dengan India diharapkan akan memberi ancaman kepada
kedudukan politik dan ekonomi Inggris di India. Bersamaan dengan hal itu, Perancis
juga menaruh harapan agar dapat merampas kembali India dari tangan Inggris. Selain
itu, mereka turut berhasrat untuk terus menakluki dunia timur bagi memantapkan lagi
kedudukan Perancis di Levant dan sekaligus menandingi Rusia dan Austria14
.
Di samping itu, penaklukan Mesir juga didorong oleh cita-cita tinggi
Napoleon Bonaparte untuk meluaskan Imperial Perancis ke Timur seperti yang pernah
dilakukan oleh Iskandar Zulkarnain. Napoleon yang sebelumnya telah memenangi
beberapa perang yang melibatkan Perancis telah menentang musuh-musuh di sekitar
negaranya dan memimpikan mendirikan Imperial Timur sekaligus berharap dapat
menyekat hubungan antara India dan Inggris. Selain itu, penguasaan Mesir juga dapat
meneruskan keinginann Napoleon untuk meluaskan kekuasaan di Palestina, Iran,
Afghanistan dan Pakistan15
.
Perancis juga sebenarnya telah lama memerhatikan kejayaan dan kemerosotan
Imperial Utsmaniyah sejak tiga kurun yang lalu, yaitu sekitar abad 16 hingga abad ke-
18. Kemerosotan Imperial Utsmaniyah bisa dijadikan momentum yang tepat dan
peluang yang cerah kepada Perancis untuk menguasai wilayah-wilayah Utsmaniyah
yang lain. Dengan fakta lain, usaha Rusia untuk terus menguasai wilayah-wilayah
Utsmaniyah di eropa telah mendorong Perancis untuk menguatkan armada lautnya di
sekitar Mediterania dan meluaskan kekuasaannya di Levant. Mesir dinilai sebagai
wilayah yang lebih berharga dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain dan ditambah
dengan kemampuannya memberi keuntungan dan manfaat yang tinggi dari segi politik
dan ekonomi16
.
2. Faktor Ekonomi
Permusuhan antara Perancis dan Inggris bertambah sengit setelah berlakunya
Revolusi Perancis pada 1789 dan munculnya Napoleon Bonaparte yang bercita-cita
besar. Penguasaan Tanjung Harapan oleh Inggris telah menyebabkan Perancis semakin
tertekan karena perdagangan Inggris di Timur dan India bertambah lancar dan ini akan
menghancurkan perdagangan Perancis di Timur. Inggris juga telah menjalin hubungan
14
Goldschmidt dalam Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, hlm. 94 15
Lihat Goldschimdt, Modern Egypt The Formation of Nation State, (Cairo: The American University Press,
1990), hlm. 123. 16
Dkystra dalam Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, hlm. 97
9
dengan penguasa Mamluk yang memerintah Mesir pada 1798 untuk mengamankan
perdagangannya di Laut Merah.17
Kedudukan Mesir yang strategis, yaitu di antara Laut Mediterania di sebelah
Utara dan Laut Merah di barat telah menjadikannya negara yang paling dekat untuk
menghubungkan Eropa dengan negara-negara Timur. Penguasaan kedua dua luat
tersebut sangat penting untuk menguasai perdagangan antara Timur dan Barat. Oleh itu,
apabila Perancis dapat menguasai Mesir, maka mereka akan dapat menguasai seluruh
perdagangan yang menggunakan kedua jalur laut tersebut. Dengan penguasaan Lautan
Mediterania, Perancis dapat mengatasi kekuatan armada Inggris dan mengganggu
perdagangannya di Levant, Persia dan India. Kedudukan India yang tidak jauh dari
Mesir juga menyebabkan Perancis dapat menghancurkan perdagangan Inggris di India
karena Mesir akan dijadikan pangkalan untuk memutuska hubungan komunikasi antara
Inggris dengan pusat-pusat perdagangannya di India dan Timur.
3. Faktor Sosial
Rancangan penaklukan Mesir telah muncul dalam sejarah Perancis sejak
pertengahan abad ke-13, yaitu dalam Sejarah Perang Salib ke-7 ketika Perancis
diperintah oleh Raja Louis IX. Percobaan untuk menguasai Mesir gagal karena mereka
dikalahkan oleh pemerintahan Mamluk. Kekalahan pada perang salib tersebut masih
dirasakan oleh Perancis dan ini juga merupakan salah satu faktor mengapa mereka
ingin menguasai Mesir. Selain itu persaingan Perancis dan Inggris, untuk merebut
wilayah-wilayah Utsmaniyah yang berada di Afrika utara dan Levant telah
memperbesar hasrat Perancis untuk menguasai Mesir dan menyelesaikan dendam
Perancis terhadap kekalahan yang di alami dalam perang salib yang lalu18
.
Selain dikaitkan dengan persaingan terhadap Inggris, motif penaklukan Mesir
lainnya ialah untuk merebut kembali tanah suci yaitu Baitul Maqdis dari kekuasaan
Islam. Dengan menguasai Mesir dinilai dapat memudahkan jalan untuk menaklukan
Palestina demi merebut kembali Baitul Maqdis.
4. Penentangan dan Pemberontakan Rakyat Terhadap Perancis
Kesan negatif yang paling jelas terhadap masuknya Perancis di Mesir ialah
kebangkitan rakyat dalam satu pemberontakan yang dikenal sebagai “Pemberontakan
Kairo” yang meletus pada 21 Oktober 1798 M. Peristiwa tersebut berlaku disebabkan
17
Silvera dalam Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, hlm. 89. 18
Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, hlm. 90.
10
beberapa faktor, antaranya ialah ketidakpuasan rakyat terhadap kadar cukai yang
dikenakan dan beberapa peraturan yang membebankan. Ditambah lagi dengan seruan
“Perang Jihad” melawan Perancis oleh Sultan Salim III yang disampaikan melalui
Ahmad Pasha al-Jazzar, Gubernur Syria pada waktu itu. Para pemberontak telah
menjadikan al-Azhar sebagai markas gerakan dan diketahui oleh Syeikh Muhammad
al-Sadat, yaitu salah seorang ulama yang berpengaruh ketika itu. Napoleon telah
mengarahkan pengeboman ke wilayah Al-Azhar setelah perintahnya agar menyerah
tidak dihiraukan oleh pemberontak. Akibatnya banyak bangunan yang musnah dan
keadaan menjadi huru-hara sehingga menyebabkan sebagian penduduk Kairo
terbunuh19
.
Tiga faktor diataslah yang menjadikan Perancis menaklukan Mesir, meskipun tidak
lama berkuasa di Mesir yaitu hanya tiga tahun. Namun, menurut para sejarawan hal itu
telah membuka mata para penduduk Mesir, terutama para pemimpin dan para ulama
bahwa peradaban mereka telah jauh tertinggal dengan peradaban Barat yang dulu di
belakang mereka. Pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi mereka sangat jauh tertinggal,
hal ini yang menjadikan pemimpin Mesir selanjutnya yaitu Muhammad Ali untuk
memodernisasi segala aspek kehidupan di Mesir. Hal ini lah yang banyak dinilai oleh para
ahli sejarah sebagai Revolusi Mesir, revolusi dalam arti yang sesungguhnya. Usaha
Muhammad Ali tersebut akan banyak dijelaskan oleh penulis di sub bab berikutnya yang
menjelaskan perubahan yang dilakukan Muhammad Ali di Mesir setelah perginya
Perancis.
C. Perebutan Kekuasaan di Mesir Setelah Kekalahan Perancis
Mundurnya Perancis pada 1801 menjadikan Mesir dalam keadaan vakum tanpa
ada seorang pemimpin yang benar-benar berkuasa. Institusi yang dinamakan “Dewan”
dengan sendirinya bubar sejurus mundurnya Perancis dari Mesir dan ini menyebabkan
negara ini tidak memiliki pemerintah yang sah. Pemimpin tradisi di Mesir yang terdiri
dari kalangan Ulama dan ketua gerakan sufi, namun mereka tidak bisa melibatkan diri
dalam pemerintahan negara dan politik. Kekuatan pasukan Turki Utsmaniyah telah
berbagi karena konflik antara tentara Turki dan Albania. Pihak Utsmaniyah tidak mau
melihat kaum Mamluk menguasai Mesir lagi dan mereka akan mengirim Gubernur
19
„Abd al-Rahman Al-Jabarti, Tarikh al-Muddat al-Faransis bi Misr, (Netherlands: EJ. Brill, 1975), hlm. 75.
11
sebagai pemimpin Mesir seperti sebelumnya, maka dilantiklah Khusraw Pasha menjadi
gubernur.
Tempo 1802 hingga 1803 merupakan jangka waktu yang buruk dalam perkembangan
politik Mesir. Pemerintahan Khusraw Pasha, amat lemah dan tidak disenangi rakyat dan
akhirnya beliau digulingkan lalu diganti dengan Tahir Pasha. Pemerintahan Tahir juga
tidak lama karena selepas tiga minggu pelantikannya beliau terbunuh. Jabatan gubernur
kemudian diisi oleh Khursid Pasha dan beliau juga lemah secara politik dan tidak
disenangi oleh rakyat. Rasa tidak puas para ulama, pedagang, tentara dan rakyat yang
dipimpin ulama sehingga membawa kepada penggulingan Khursid Pasha. Selanjutnya
pada bulan Mei 1805, pihak Utsmaniyah di Istanbul mengeluarkan keputusan untuk
pelantikan Muhammad Ali sebagai Gubernur Mesir yang baru. Beliau sebelumnya
merupakan tentara Albania yang terlibat dalam gerakan tentara Utsmaniyah yang
mengusir Perancis.
Kepimpinan Muhammad Ali mendapat dukungan dari para golongan ulama,
pedagang dan rakyat. Malahan kedudukannya sebagai orang yang paling berkuasa di
Mesir bertambah kuat karena kematian pemimpin Mamluk yaitu Usman Bey al-Bardisi.
Muhammad Ali telah muncul sebagai pemimpin tunggal yang paling berkuasa dan
pelantikannya menandakan permulaan reformasi Mesir sebagai negara Modern.20
D. Muhammad Ali Pasha dan Pembaharuan Di Mesir
Biografi Muhammad Ali Pasa sangat luas diketahui oleh masyarakat karena
banyak ditulis diberbagai buku biografi baik secara lokal maupun internasional. Beliau
lahir di Kawallah, Yunani, pada tahun 1765, seorang keturunan Turki dan meninggal di
Mesir pada tahun 184921
. Tidak seperti anak-anak lain, masa kecilnya dihabiskan untuk
membantu orang tuannya, dan tidak sempat mengenyam pendidikan. Pada usia dewasa ia
berkerja sebagai pemungut pajak, dan karena keberhasilannya, ia kemudian diangkat
sebagai menantu oleh salah seorang gubernur Utsmani. Selanjutnya ia masuk dinas
militer dan kariernya terus naik. Ketika pengiriman pasukan ke Mesir, ia diangkat sebagai
wakil perwira yang mengepalai pasukan. Dalam pertempuran yang terjadi dengan tentara
Perancis, ia menunjukkan keberanian yang luar biasa dan segera diangkat menjadi
kolonel. Ketika tentara perancis ke luar dari Mesir pada tahun 1801, Muhammad Ali turut
20
Wan Kamal Mujani, “The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, hlm. 93. 21
M. Sholehan Manan dan Hasanudin Ami, Pengantar perkembangan Pemikiran Muslim, Sinar Wijaya,
Surabaya, 1988, hal. 97.
12
memerankan peranan penting dalam kekosongan politik akibat hengkangnya tentara
Perancis tersebut. Dalam waktu yang bersamaan, dari Istambul datang pula Pasa dengan
bala tentara Utsmani untuk menguasai Mesir. Muhammad Ali dapat memenagkannya dan
mengankat dirinya sebagai Pasa baru pada tahun 1805 dengan persetujuan penguasa
Utsmai di Istambul Turki22
.
Muhammad Ali Pasha merupakan seorang pemimpin tersohor kebanggaan negara
Mesir, terutama dalam merevolusi negara tersebut menjadi sebuah negara industri dan
modern. Bahkan, orang Mesir sendiri mengenalnya sebagai seorang pahlawan. Walaupun
tidak dilahirkan di Mesir dan tidak berbahasa Arab, namun keinginannya untuk
membangun dan meningkatkan sumber penghasilan ekonomi bagi negara Mesir sangat
besar. Inisiatif, visi dan semangat yang dimilikinya tak mampu menandingi pahlawan-
pahlawan lain yang sezaman dengannya.
Selanjutnya akan diuraikan beberapa perubahan yang dilakukan oleh Muhammad
Ali Pasha diberbagai aspek kehidupan di Mesir, dari mulai politik, ekonomi, pendidikan
dan budaya.
1. Sosio Politik
Perubahan dalam aspek politik ialah Muhammad Ali membangun kekuatan
militer yang kuat dan membawa Mesir dalam berbagai peperangan. Hal ini dilakukan
agar Mesir mempunyai bargain politik di mata negara lainnya. Muhammad Ali
memperkuat kekuatannya dengan memajukan negara dari segala kehidupan.
Kepercayaan yang dimilikinya sebagai seorang Sultan Utsman mampu menggerakkan
pemerintahan Mesir untuk memodernisasikan kekuatan dan administrasi militer.
Muhammad Ali Pasha mengundang para ahli militer barat untuk melatih angkatan
bersenjata Mesir dan juga mengirim misi ke luar negeri (Eropa) guna mempelajari ilmu
kemiliteran. Pada tahun 1815 M untuk pertama kalinya Mesir mendirikan Sekolah
Militer yang sebagian besar instrukturnya didatangkan dari Eropa. Tidak hanya itu, ia
juga banyak mengimpor persenjataan buatan Eropa seperti buatan Jerman atau Inggris.
Terinspirasi oleh pelatihan militer bangsa Eropa, Muhammad Ali kemudian
melatih bala tentaranya berdasarkan “ Nidzam al-Jadid “ atau bisa disebut dengan
peraturan baru. Ia mengatur tentara-tentara Mesir dan mulai memperkuatkannya dengan
22
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), hlm. 34-35.
13
menjadikan para petani luar daerah untuk mengikuti wajib militer. Upaya itu ternyata
cukup berhasil untuk menjadikan kekuatan militer Mesir semakin berkembang23
.
Rezim militer yang agresif ini didukung oleh reorganisasi pemerintah dan
masyarakat Mesir yang berskala luas. Dalam hal ini Muhammad Ali berusaha
menciptakan sebuah kekuasaan diktator yang memusat yang di bangun di atas pasukan
militer Turki, Kurdi, Circassia, dan beberapa pasukan militer lainnya yang telah
menjadi anggota keluarga pribadinya. Dengan bantuan para penasihat militer dari Itali
dan Perancis, ia membentuk sebuah pasukan baru, yang semula direkrut dari tentara
petani. Ia menyusun sistem perpajakan baru, dengan mempekerjakan petugas penarikan
pajak yang diberi gaji tetap, menggantikan pajak pertanian yang lama. Penulis-penulis
koptik diangkat menduduki jabatan-jabatan administratif menengah. Seluruh kekuatan
politik lainnya dihancurkan, keluarga Mamluk dimusnahkan. Kekuasaan ulama, yang
pada akhir abad 18 turut terlibat dalam urusan keuangan dan politik, juga mengalami
kemerosotan disebabkan kebijakan Muhammad Ali merampas hak pajak pertanian dan
wakaf mereka24
.
Dalam memperkuat Negara, dan khusunya militernya, Muhammad Ali
meluncurkan upaya industrialisasi Mesir yang pertama, yang meminjam model dan
teknisi Barat. Dengan mengeksploitasi kekuatan baru ini, Muhammad Ali
memproyeksikan kekuatan Mesir di luar negeri, yang melibatkan Mesir dalam lima
peperangan 1811 sampai 1828. Di dalam negeri, dia berupaya mendisiplinkan
penduduk melalui bentuk baru pendidikan dan organisasi social yang akan
menyalurkan segenap energy untuk tujuan dinastinya. Dia memperlemah atau
mengeliminasi lembaga penengah basis petani dan birokrasi Negara
tersentralisasikan25
.
2. Sosio Ekonomi
Dalam bidang pertanian, perdagangan dan perindustrian, Muhammad Ali telah
mengambil beberapa langkah efektif yang akhirnya dapat memajukan sektor
perekonomian. Beliau telah menyusun ulang sistem pengurusan pertanian dengan cara
yang lebih sistematik dan efisien serta mewujudkan satu badan khusus untuk mengurus
pajak. Termasuk juga menggantikan sistem “Iltizam” dengan sistem cukai yang baru
23
Yuli Emma Handayani, Muhammad Ali Pasha dan Al-Azhar; Kajian Tentang: Pengaruh Pembaharuan di
Mesir terhadap Modernisasi Pendidikan Al-Azhar, Skripsi, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011, hlm. 75 24
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Vol. III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 101 25
John L, Esposito. Dunia Islam Modern, terj, Eva Y.N., (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 229.
14
yang dinamakan dengan “Uhda”. Untuk mendongkrak produktivitas, beliau
membangun sistem pengairan yang modern dan membolehkan petani menanam tiga
jenis tanaman dalam setahun di tempat yang sama. Dalam bidang penindustrian, beliau
memperkenalkan tanaman kapas yang lebih berkualitas yang menjadikan industri tekstil
semakin maju. Beliau juga membangun pabrik-pabrik pemproduksi makanan, barang
kulit, peralatan senjata dan sebagainya. Sistem transportasi juga dibangun lebih modern
untuk melancarkan jalur perdagangan dan perhubungan dalam negeri maupun luar
negeri. Selain itu, Muhammad Ali juga menggunakan para kumpulan pakar “Sains
Simonians”, yaitu ahli-ahli dari Perancis yang ditugaskan untuk merancang
pembangunan Terusan Suez bagi jalur perhubungan antara Timur dan Barat. Dengan
pembangunan yang teliti dan sistematik, Muhammad Ali dikatakan sebagai
pemerintahan Mesir pertama yang membawa kemajuan dan kemodernan di Mesir26
.
3. Sosio Pendidikan
Seluruh kekuatan sosial yang ada di tengah masyarakat Mesir dilemahkan dan
beberapa keluarga Mesir-Turki menguasai bidang militer dan pemerintahan. Kaum
ulama dan sufi kehilanngan keistimewaan keuangan. Posisi elit agama juga mengalami
perubahan drastis. Pada abad 18, ulama Mesir sebagaimana ulama Istanbul, merupakan
unsur utama dalam elit pemerintah dan melambangkan interes terhadap rezim, berperan
sebagai penengah antara pihak pemerintah dengan masyarakat umum. Segera sesudah
invasi Perancis terhadap Mesir, dan perebutan kekuasaan antara Muhammad Ali dan
pihak Mamluk lokal, ulama mencapai posisinya yang tertinggi. Sebagai balasan atas
dukungan para Ulama, Muhammad Ali berkenan meminta pandangan mereka dalam
berbagai urusan politik, dan membiarkan mereka mengembangkan kekayaan dengan
menjalankan pajak pertanian dan mengalihkan dana sumbangan untuk keperluan
pribadi mereka. Namun setelah Muhammad Ali memperkokoh kekuasaannya, ia
mengharuskan kepatuhan ulama terhadap rezim, mengasingkan tokoh-tokoh vokal
mereka, menghapus pajak pertanian dan hak wakaf mereka, dan menjadikan
penghasilan mereka bergantung kepada penguasa. Pada rentangan abad 19, ulama
kehilangan pengaruhnya dalam beberapa kebijakan yang bersifat publik. Posisi mereka
digantikan oleh elit baru, dan mereka mengundurkan diri dari berbagai urusan publik
26
L. A. Aronian & R.P Mitchell, Timur Tengah dan Asia Utara Modern, hlm. 84-85.
15
untuk bertahan dalam wilayah yang lebih sempit, yakni dalam urusan pendidikan dan
peradilan27
.
Kemudian, dalam tatanan sosial Muhammad Ali Pasha mengubah pengaturan
administrasi bagi penduduk desa dan kota dengan sistem yang lebih modern.
Pembangunan prasarana masyarakat umum mulai digalakkan, seperti pembangunan
Rumah Sakit, sekaligus mendatangkan beberapa dokter spesialis untuk menangani
problematika penduduk setempat.
Dan berlanjut dalam bidang pendidikan, untuk memperkuat kedudukannya dan
sekaligus melaksanakan pembaruan pendidikan di Mesir, Muhammad Ali Pasya,
mengadakan pembaruan dengan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru
sistem pendidikan dan pengajaran di Barat28
.
Selama memerintah (1805-1848), ia merasakan ketidakmampuan pendidikan
tradisional dalam menghasilkan tenaga terampil yang dibutuhkan oleh negara. Di sisi
yang lain, situasi don kondisinya tidak memungkinkan untuk mengadakan terhadap
perombakan sistem pendidikan yang berlaku. Akhirnya ia mengambil jalan tengah
dengan membangun sekolah baru yang diilhami oleh ide-ide yang berkembang di
Eropa. Tujuan utama pendirian sekolah ini adalah untuk mengisi kekosongan tenaga
administrasi pemerintah dan tenaga ahli dalam bidang tertentu. Sekolah pertama yang
dibangun adalah sekolah tinggi dan sekolah spesialisasi. Untuk mengisi sekolah ini,
maka dibukalah sekolah menengah dan persiapan (madaris tajhiziyah) dan selanjutnya
sekolah dasar. Pada tahun 1833, untuk pertama kali sekolah dasar di bangun di Kairo,
Alexandria, dan diberbagai tempat lain, sebagai persipan untuk sekolah menengah29
.
Di dalam pemerintahannya, beliau mendirikan kementerian pendidikan dan
lembaga-lembaga pendidikan. Membuka Sekolah Teknik (tahun 1839), Sekolah
Kedokteran (tahun 1827), Sekolah Apoteker (tahun 1829), Sekolah Pertambangan
(tahun 1834), Sekolah Pertanian (tahun 1836), dan Sekolah Penerjemahan (tahun
1836)30
.
Masih dalam konteks melakukan upaya pembaruan dalam bidang pendidikan,
Muhammad Ali Pasya juga mengirim siswa-siswa untuk belajar ke Italia, Perancis,
Inggris, dan Austria antara tahun 1823-1844, ada sebanyak 311 pelajar yang dikirim
27
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 110. 28
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2004, hlm. 120 29
Kedutaan Besar RI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Islam di Mesir Pada sekolah Dasar dan
Perguruan Tinggi , Buku III, KBRI, Kairo, 1984, hlm.6. 30
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Prenada Media, 2005. hal. 165.
16
oleh Muhammad ali pasya ke Eropa. Hal ini dilakukan agar mereka yang diutus mampu
menguasai ilmu pengetahun Barat, untuk selanjutnya nanti mampu dikembangkan dan
direalisasikan di Mesir. Oleh karena itu, mahasiswa yang dikirim ke Eropa dalam
pengawasan yang ketat. Mereka tidak boleh belajar tentang ilmu politik yang dapat
membahayakan kekuasaannya. Dalam pandangannya, Mesir dapat menjadi negara maju
manakala mengadopsi dan memasukkan sistem dan kurikulum pendidikan Barat ke
dalam kurikulum pendidikan Mesir. Dengan demkian dia bersama-sama dengan
penguasa Utsmaniyah menjadi tokoh perintis modernisasi pendidikan di Timur-Tengah.
Buah dari kerja keras ini akhirnya banyak sekali buku-buku militer dan lainnya, selain
buku-buku politik, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Melalui buku-buku
terjemahan inilah masyarakat Mesir mulai mengenal bangsa dan keilmuan bangsa
Perancis dan bangsa Barat lainnya, sebagaimana ungkap Bosworth31
.
Senada dengan Bosworth, Bernard Lewis menegaskan bahwa mega proyek
penterjemahan ini terjadi ketika suasana kedua belah pihak, Barat dan Islam, sangat
bertolak belakang. Dunia Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang,
sedangkan dunia Barat mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
tehnologi. Konon percetakan yang ada dalam dunia Arab Islam yang kali pertama
didirikan oleh Muhammad Ali Pasa pada tahun 1822 adalah warisan Napoleon
Bonaparte. Dari percetakan ini telah dihasilkan 243 buku untuk sekolah-sekolah yang
didirikannya dan untuk fakultas pendidikan32
.
Serta dalam rangka mengalihkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
berkembang di Barat tersebut, Muhammad Ali Pasya menggalakkan penerjemahan
buku-buku yang berbahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Sehingga beliau mendirikan
Sekolah Penerjemahan pada tahun 1836. 33
Gerakan pembaharuan yang dibawanya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan
dan teknologi Barat kepada umat Islam, dan sampai pada suatu waktu dapat
menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang
sekaligus menjadi awal kelahiran para tokoh Muslim seperti Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridho, Rifa‟ah Badawi, Rafi‟ al-Tahtawi, dan Hasan al Banna.