SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA REFORMASI A. Ekonomi Indonesia pada masa orde lama (1950-1966) 1. Demokrasi Liberal a. Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Kondisi Ekonomi Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut. 1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa Indonesia menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah ditetapkan dalam hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah. 2. Politik Keuangan Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda. 3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. 4. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan sangat meningkat. 5. Defisit yang harus ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 miliar.
37
Embed
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA.docx
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK ORDE LAMA
HINGGA REFORMASI
A. Ekonomi Indonesia pada masa orde lama (1950-1966)
1. Demokrasi Liberal
a. Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).
Kondisi Ekonomi Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa
Indonesia menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah ditetapkan dalam
hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang
dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Politik Keuangan Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda.
3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan sangat meningkat.
5. Defisit yang harus ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 miliar.
6. Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
7. Angka pertumbuhan jumlah penduduk besar.
Defisit itu berhasil ditanggulangi oleh pemerintah dengan pinjaman luar negeri sebesar Rp.
1,6 miliar. Selanjutnya melaui sidang uni Indonesi-Belanda disepakati kredit sebesar
Rp.200juta dari Negeri Belanda. Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan pemerintah
adalah:
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar.
2. Mengatasi kenaikan biaya hidup.
Sementara itu masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat
kesejahteraan penduduk yang rendah.
b. Usaha untuk memperbaiki perekonomian.
1. Gunting Syarifuddin
Kebijakan gunting syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini
dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua uang memotong semua
uang yang bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan
ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan pada waktu itu
Syarifuddin Prawiranegara.
2. Program Benteng (benteng group)
Gagasan program benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam program
kabinet Natsir (September-April 1951). Pada saat itu Sumitro menjabat sebagai menteri
perdagangan. Selam 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit dari program Benteng ini. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak
dapat dicapai dengan baik. Kegagalan program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak
dapat bersaing dengan perusahaan non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Kegagalan Program Benteng menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda
krisis moneter, namun menteri keuangan pada masa kabinet sukiman, Jusuf Wibisono masih
memberikan bantuan kredit, khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan
ekonomi lemah. Dengan memberikan bantuan tersebut diharapkan masih terdapat pengusaha
pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi de javasche bank
Pada tanggal 19 Juni 1951, kabinet Sukiman membentuk nasionalisasi De Javasche Bank.
Kemudian berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI N. 122 dan 123, tanggal 12 Juli
1951, pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank dan
mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank yang baru. Pada
tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank sentral dan Bank
Sirkulasi.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, menteri perekonomian dalam kabinet Ali
Sastroamijoyo I. Dalam sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan
Baba digambarkan sebagai pengusah non pribumi. Dalam kebijakan Ali Baba, pengusaha non
pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga
bangsa indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Selanjutnya, pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swata nasional dan memberikan
perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program
ini tidak dapat berjalan dengan baik, sebab pengusah pribumi kurang berpengalaman
sehingga hanya dijadikan lat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa
untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak
Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung pada tanggal 7 Januari 1956
dicapai kesepakatan sebagai berikut:
· Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
· Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
· Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan ini, maka pemerintah RI
mengambil langkah sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Hal ini dimaksudkan untuk
melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak lanjut
daripembubaran uni tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani
undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya, banyak pengusaha-pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih
perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT)
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-
1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada
tanggal 11 November 1958. Pembiayaab RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar.
RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
· Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal
tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
· Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
· Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakannya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu
dapat diredakan dengan diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ir. Djuanda
sebagai Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana
pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka
panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena
menemukan kesulitan dalam menemukan prioritas. Selain itu ketegangan politik yang tak
bisa diredakan juga mengakibatkkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk
mengatasi pemberontakan ini diperlukan biaya yang sangat besar sehingga emningkatkan
defisit. Sementara itu ketegangan politik antara Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian
Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Strukur Ekonomi Indonesia pada waktu itu menjurus kepada sistem etatisme, artinya segala-
galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan ekonomi banyak diatur oleh
peraturan-peraturan pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan.
Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun meningkat 40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada
tahun 1960 menjadi Rp. 2.514 miliar pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada
tahun 1960 sebanyak Rp. 53,6 miliar, hanya meningkat 17 kali lipat menjadi Rp. 923,4 miliar
. Mulai bulan Januari – Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi Rp. 11 miliar, sedangkan
penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar. Defisit yang semakin meningkat ditutup dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Akibatnya menambah berat angka inflasi.
Dalam rangka membendung inflasi dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat, maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya
tentang penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut.
1. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50.
2. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
3. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Usaha Pemerintah ini tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh,
terutama perbaikan dalam bidang moneter. Pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan
baru bagi ekonomi secara menyeluruh, yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon). Dekon dinyatakan
sebagai dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi
Indonesia. Tujuan dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat
nasional, demkratis dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan
stagnasi dalam perekonomian Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok.
Pada tahun 1961-9162 harga barang-barang pada umumnya naik 400%. Politik Konfrontasi
dengan Malaysia dan negara-negara Barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi
Indonesia.
Pada tanggal 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden No. 27 tahun 1965, diambillah
langkah devaluasi dengan menjadikan Uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Sehingga uang
rupiah baru semestinya bernilai 1000 kali lipat uang lama. Akan tetapi didalam Masyarakat
uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi uang rupiah baru. Akibatnya,
tindakan moneter pemerintah menekan inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pada masa Demokrasi terpimpin ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan
oleh pemerintah. Akibatnya pemerintah harus mengadakan peneluaran-pengeluaran yang
sangat besar, sehingga harga-harga kebutuhan pokok makin melambung tinggi. Tingkat harga
paling tinggi terjadi pada tahun 1965, yaitu sebesar 200%-300% dari tahun sebelumnya,
seiring dengan ekspor yang semakin lesu dan impor yang dibatasi karena lemahnya devisa.
Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden Soekarno merasa perlu untuk
mempersatukan semua bank negara kedalam satu bank sentral. Untuk itu dikeluarkan penpres
No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal Milk Negara. Tugas bank tersebut sebagai
bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan
peleburan bank-bank negara Seperti Bank koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum
Negara, Bank Tabungan negara, Bank Negara Indonesia kedalam Bank Indonesia.
Selanjutnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan
pekerjaan dan tugas masing-masing.
B. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda
dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih
ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan
sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak
Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia
dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah
melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di
dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali
tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Pada permulaan Orde Baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan poko rakyat. Tindakan pemerintah tersebut
dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat
inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi penyebab dari kurang lancarnya program
pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Arah dan kebijakan Ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru diarahkan pada
pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan orde baru bertumpu pada program
yang dikenal dengan sebuah program yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu
sebagai berikut.
a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
b) Pertumbuhan eoknomi yang cukup tinggi.
c) Stabilitas nasional yabg sehat dan dinamis.
Pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) dilakukan orde baru
secara periodik 5 tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan
yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan
dasar –dasar pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai ialah
pangan, sandang, papan, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih
menekankan kepada pembangunan bidang pertanian.
b) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran utama Pelita II yaitu tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
c) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III menekankan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada asas pemerataan,
yaitu :
· Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak (pangan, sandang dan papan);
· Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
BAB 2 SEJARAH EKONOMI INDONESIA DARI ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASIPosted on Maret 23, 2011
ORDE LAMA
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :Inflasi yang sangat tinggi yang dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr. Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
ORDE BARU
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri.Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.