Sejarah Kompleks Girisonta Rumah Retret Girisonta Selama tahun 1928, Romo P. Van Hoof SJ berusaha untuk membangun rumah retret, karena karya retret mulai diperhatikan. Setelah mencari di pelbagai lokasi, dipilihlah tanah di Karangjati, antara Ungaran dan Ambarawa. Pada 3 Oktober 1930, Romo Adrianus van Kalken, SJ, waktu itu Pemimpin Misi Serikat Yesus di Jawa, meletakkan batu pertama, tanda dimulainya pembangunan Rumah Retret pertama di Jawa. Lokasi yang dipilih ialah di Karangati, Ungaran, daerah yang sejuk di kaki Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang. Menurut prasasti pendirian, rumah retret dipersembahkan bagi Kristus Sang Raja Hati dan Jerih Lelah dan memakai nama pelindung “Kristus Raja”. Pada hari Minggu Paska, 22 Maret 1931, retret pertama dibuka oleh Romo Thom Verhoeven, SJ. Ia adalah kepala rumah retret pertama. Sejak awal mulanya Rumah Retret Girisonta melayani retret untuk bermacam-macam kelompok. Seiring meningkatnya jumlah peserta, frekuensi retret dan variasi kelompok retret, maka
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sejarah Kompleks Girisonta
Rumah Retret Girisonta Selama tahun 1928, Romo P. Van Hoof SJ berusaha untuk
membangun rumah retret, karena karya retret mulai diperhatikan.
Setelah mencari di pelbagai lokasi, dipilihlah tanah di
Karangjati, antara Ungaran dan Ambarawa. Pada 3 Oktober 1930,
Romo Adrianus van Kalken, SJ, waktu itu Pemimpin Misi Serikat
Yesus di Jawa, meletakkan batu pertama, tanda dimulainya
pembangunan Rumah Retret pertama di Jawa. Lokasi yang dipilih
ialah di Karangati, Ungaran, daerah yang sejuk di kaki Gunung
Ungaran, Kabupaten Semarang. Menurut prasasti pendirian, rumah
retret dipersembahkan bagi Kristus Sang Raja Hati dan Jerih Lelah
dan memakai nama pelindung “Kristus Raja”. Pada hari Minggu
Paska, 22 Maret 1931, retret pertama dibuka oleh Romo Thom
Verhoeven, SJ. Ia adalah kepala rumah retret pertama.
Sejak awal mulanya Rumah Retret Girisonta melayani retret
untuk bermacam-macam kelompok. Seiring meningkatnya jumlah
peserta, frekuensi retret dan variasi kelompok retret, maka
dibangunlah rumah retret-rumah retret lain di Jawa untuk lebih
memperhatikan kebutuhan retretan, dan Rumah Retret Girisonta
lebih difokuskan untuk melayani retret bagi para biarawan-
biarawati. Pada tahun 1975, digagaslah Pusat Spiritualitas yang
dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kerohanian yang lebih luas
dari retret. Kemudian, pada 1976 didirikanlah Pusat Spiritualitas
Girisonta (Puspita) sebagai wadah untuk studi spiritualitas
melalui Latihan Rohani. Pada tahun 1984, penanggung jawab Rumah
Retret dan Pusat Spiritualitas diserahkan kepada satu Direktur.
Penambahan gedung perpustakaan dilakukan tahun 2005. Saat ini,
perpustakaan memiliki koleksi 41. 470 buku terdiri dari buku
kerohanian, pengetahuan gerejani, kitab suci, psikologi, ilmu
pengetahuan umum, majalah, dan sebagainya. Renovasi besar
dilaksanakan tahun 2007, yakni dengan penambahan kamar (dari 31
ke 37 kamar) dan interiornya. Karya yang dilaksanakan Puspita
saat ini ialah kursus spiritualitas dan retret, yang beberapa di
antaranya terbuka untuk awam.
Novisiat St. Stanislaus Girisonta Sebelum Novisiat SJ didirikan 12 Juni 1922, orang Jawa yang
ingin menjadi Jesuit biasanya dikirim ke Belanda. Karena banyak
frater yang tidak cocok dan jatuh sakit karena iklim di sana,
maka diputuskan mendirikan novisiat di sebuah rumah sewaan di
Yogyakarta dan kemudian di Kolsani. Setelah Rumah Retret
Girisonta dibuka, pada bulan Maret 1931 dimulailah pembangunan
novisiat yang kemudian disebut Kolese St. Stanislaus (kini: Domus
Patrum, DP). Pembangunan bisa selesai agak cepat, sehingga 21
September 1931 novisiat dari Yogyakarta bisa pindah ke Girisonta.
Magister (kepala pendidikan Novisiat) pertama ialah Romo G.
Schmedding SJ. Saat itu, secara berkala dikirimkan novis dari
Belanda untuk memperkuat jumlah novis pribumi. Yuniorat atau
tahap pendidikan sesudah novisiat juga dilaksanakan di Girisonta,
di sebelah Novisiat. Pemberkatan seluruh kompleks dilakukan pada
tanggal 1 November 1931. Karena berdirinya Kolese St. Stanislaus,
karya misi di sekitar itu sangat diintensifkan.
Permulaan tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia. Aktivitas
retret dan novisiat pun terhenti. Sekitar kemerdekaan RI, suasana
menjadi kacau. Pada tanggal 25 November 1945, semua penghuni
Girisonta diangkut oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Yang
ditangkap ada 33 orang: 7 novis, 7 bruder, 7 frater skolastik, 7
seminaris, dan 2 imam Belanda, 1 frater Belanda, dan dua calon
bruder. Mereka berjalan kaki dan mengenakan jubah menuju arah
Semarang, belok kiri, melalui Jimbaran ke Bandungan. Dari
Bandungan mereka dipindahkan ke penjara Magelang, di dekat gereja
St. Ignatius. Penghuni Girisonta bersatu kembali dalam satu sel
berisi 33 Jesuit. Para Jesuit diamankan dengan alasan bahwa agama
Katolik adalah “agama Walanda (Belanda).” Pada tanggal 22 Januari
1946 mereka dibebaskan. Pendidikan Novisiat menempati lokasi
sementara di Muntilan dengan Magister Rm. Schoonhoff SJ.
Sementara masa vacuum, kompleks Girisonta pun menjadi
sasaran penduduk sekitar. Perpustakaan, tabernakel dibongkar,
perabot rumah dicuri. Untuk sementara waktu, kompleks Girisonta
dipakai TKR (kini: TNI). Tanggal 21 Juli 1947, Belanda memulai
agresi militer (de politionele acties). Pasukan TKR memutuskan mundur ke
pedalaman sambil menjalankan taktik bumi hangus dan taktik
gerilya. Semula, pihak pejuang semula menjamin keutuhan novisiat
dan isinya, namun faktanya pihak-pihak tak bertanggungjawab
membawa apa saja yang dapat dimanfaatkan. Situasi bukan main
kacaunya, penduduk sekitar ikut mengungsi juga dengan
‘mengamankan’ apa yang bisa diambil, misalnya pintu, kawat
listrik, isi perpustakaan, pipa air ledeng, dan perabotan rumah.
Piala dan sibori emas diperjualbelikan di pasar sekitar
Karangjati. Yang tersisa hanyalah atap dan tembok saja. Untuk
sementara waktu, kompleks Girisonta kini diduduki tentara
Belanda. Tanggal 4 September 1947, Rm. I. Haryadi pr bersama Br.
Neo Kardis SJ tiba di Girisonta. Mereka membersihkan dan
membenahi dua kamar dan kapel. Tidak jauh dari rumah ditemukan
sebuah peti besi yang berat berkarat: jadilah tabernakel darurat.
Br. Kardis mulai mengunjungi desa-desa sekeliling dan berterima
kasih karena penduduk masih menyimpan pintu, jendela, dan
inventaris rumah dengan nama Girisonta. Pak Lurah menyumbangkan
tali lonceng, maka sejak itu bergemalah lonceng ‘Angelus pagi,
siang, dan sore. Br. Kardis masih mengusahakan kayu jati dolok
100 m3 dan bersama tukang membangun kembali kelengkapan rumah.
Sementara, rumah retret masih menjadi tangsi tentara Belanda.
Tahun 1948 ia juga mulai merintis sekolah dasar di gedung paroki
(cikal bakal SD Kanisius Girisonta). Tahun 1952 SDK Girisonta
mulai mendapat subsidi dari pemerintah.
Pada tahun 1950, tentara Belanda meninggalkan Karangjati
sehingga kompleks dapat dipakai untuk tujuan semula: novisiat,
yuniorat, dan rumah retret. Tahun 1952 Girisonta sudah lengkap
kembali dengan pintu, jendela, kaca, listrik diesel, dan pipa
air. Pada tahun 1958, mulailah perluasan bangunan kompleks
Girisonta. Pasca gerakan 30 September 1965, para katekis, bruder,
dan frater novis giat berkeliling memberikan pelajaran agama.
Sejak itulah, jumlah umat Katolik Girisonta meningkat. Kerjasama
pihak Girisonta dengan para katekis awam membuahkan hasil.
Kompleks Girisonta tidak hanya dihuni oleh para room,
frater, dan bruder, tetapi juga terdapat suster. Para suster OSF
hadir di Girisonta sejak 15 Desember 1972. Sejak awal sampai
sekarang para suster membantu di Emaus dan rumah retret. Mereka
menempati bagian ujung Wisma Emaus di tempat yang dinamakan
Bethania. Pada tanggal 7 Januari 1973 Susteran Bethania, Wisma
Emaus, dan kapel rumah retret. Penghuni pertama Emaus antara lain
adalah Mgr. Djajasepetra SJ. Setelah lama dipertimbangkan untuk
menambah kapasitas tempat bagi para romo dan bruder yang sudah
purnakarya maka tanggal 22 September 1997 dimulailah renovasi
Wisma Emaus. Yang dibangun adalah 15 kamar, 1 perpustakaan, dan
gudang. Sementara itu, kapel dan ruang makan diperluas. Setelah
selesai dibangun, kompleks baru Emaus diberkati pada tanggal 24
Juni 2000 dengan misa yang diiringi gamelan.
Demikianlah sejarah singkat kompleks Girisonta. Rumah
retret, Novisiat, dan Gereja Paroki ibarat kakak beradik yang
menapaki lebih dari delapan dasawarsa. Ketiganya saling
melengkapi pelayanan Gerejawi melalui tugas dan tanggungjawabnya
masing-masing sesuai dengan semangat kerohanian St. Ignatius dari
Loyola: AD MAIOREM DEI GLORIAM!
Th. Surya Awangga SJ
Sumber:
Dewan Retret SJ, 50 Tahun Rumah Retret Girisonta, 1980.
Frederikus Pranatawidjaja, SJ, “Novisiat Masa Perjuangan”, dalamHarta dan Surga: Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern,Kanisius: 1990.
Th. Helsoot Nugroho N., SJ “Pendidikan Iman serta Novisiat SJ diIndonesia”, dalam INTERNOS, th XLV/01, 2001.
Buku harian Wisma Emaus 1994-2004
Sumber Foto : Majalah St. Claverbond, berichten van Java, 1953
Gereja Girisonta tahun 1947
Bagian dalam rumah retret tahun 1947 ketika diduduki tentara