Page 1
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT QODIRIYAH
HANAFIYAH DI TANGERANG SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora
Oleh:
JAINUDIN
1112022000079
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
Page 5
i
ABSTRAK
Jainudin: Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di
Tangerang Selatan
Keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah sejak kemunculannya
berkembang sangat pesat. Beberapa para pengikutnya merupakan tokoh
masyarakat, civitas akademik yang berada di daerah Tangerang Selatan. Padahal
kemunculan serta berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah berada di Padang,
Sumatera Barat. Kemunculan tarekat tersebut di Tangerang Selatan perlu dikaji
lebih mendalam mengenai latar belakang, faktor pendukung serta bentuk
perkembangannya di Tangerang Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan metode
analysis deskriptif dan analysis historis. Dalam analisis deskriptif penulis
menggunakan pendekatan sejarah untuk menjelaskan kemunculan, perkembangan
hingga implikasi yang terjadi di Tangerang Selatan atas adanya Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah.
Kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan semakin
penting dipahami mengingat pusat kajian dan lembaga tarekat ini berlokasi di
BSD, Tangerang Selatan. Meskipun tempat munculnya di Padang, namun pusat
gerakan dan perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiyah ini berada di BSD,
Tangerang Selatan.
Temuan penelitian ini adalah kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
diawali dengan adanya publikasi Kalam Ilham Ilahi milik Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiyah selaku pendiri Tarekat Qodiriyah Hanafiyah.
Keberadaannya disukai oleh pegiat tasawuf, terutama kalangan civitas akademik
di daerah Tangerang Selatan. Sejak kemunculannya, Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
terus berkembang dengan membentuk lembaga di bawah naungannya seperti
Majelis Rabbani Indonesia (MRI), Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI),
Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) yang mengadakan kegiatan seputar
sufistik dari kajian hingga keorganisasian tingkat nasional, dan keseluruhannya
berpusat di BSD, Tangerang Selatan.
Kata Kunci: Tarekat Qodiriyah Hanafiyah, Tangerang Selatan
Page 6
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya bagi para hamba-Nya yang selalu memuja. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguh-
sungguh serta tekad yang kuat akhirnya berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah di Tangerang Selatan”
meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis
berkeyakinan karya ini dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada
dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajian pada dunia tokoh
sejarawan.
Layaknya peristiwa sejarah yang menyebabkan tidak tunggal, begitupun
halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa
dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha dan
kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk
membantu. Oleh karena penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala yang
berarti.
Untuk itu persembahkan ucapan terimakasih tersebut kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Saiful Umam, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Nurhasan, MA. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Page 7
iii
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku seketaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi
yang penulis butuhkan.
5. Prof. Dr. Didin Saepudin. M.A. selaku pembimbing, atas perhatian,
diskusi, dan masukannya selama penulis menyusun skripsi ini.
6. Drs. Saiful Umam. M.A., Ph.D. selaku dosen pembimbing Akademik
selama penulisan menjadi mahasiswa atas curahan waktu, motivasi, dan
perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisanini.
7. Alm. H. Muhammad Ya’qub Ayahanda penulis dan Nafiah selaku Ibunda
penulis. Terima kasih atas motivasi, cinta, dan pengorbanan yang telah
diberikan tanpa pamrih. Juga, kakak dan adikku tercinta, Hamzah, Siti
Rahmah, Siti Masitoh dan Abdul Ghofur. Terima kasih telah menjadikan
rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati.
8. Rindy Januati dan Ahmad Syauqi selaku kakak ipar dan adik ipar, terima
kasih atas segala motivasi dan bantuan selama perkuliahan.
9. Muhammad Alif Al-Kholifi, Muhammad Al-Faruq As-Syauqi dan Ahmad
Faza Asy-Syauqi selaku ponakan tercinta yang selalu menjadi penawar
letih dan pemberi semangat disaat sedih.
10. Andini Rachmahlia, selaku salah satu sosok yang senantiasa memberi
semangat dan terus membantu dalam segi fisik ataupun materi. Terima
kasih untuk perjuangan, kesabaran dan memberi motivasi untuk lebih
maju untuk menjalankan skripsi ini.
11. Nur Silam dan Risman, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang
mendalam telah menjadi teman seperjuangan dari awal masa kuliah
sampai saat ini. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik selama
perkuliahan.
12. Wahyudin Arief, Muammar Akbar, Muhammad dan Rizal Fahlevi, terima
kasih untuk teman-teman seperjuangan yang selalu membantu di saat sulit,
saling mengingatkan dalam kebaikan dan selalu memberikan motivasi satu
sama lain.
Page 8
iv
13. Kader PMII semua yang sudah menjadi sebagian keluarga kecil yang
membuat organisasi ini. Terimakasih atas bimbingan dan ilmu yang
bermanfaat.
14. Keluarga Besar Markaz Pulsa khususnya untuk Guru Besar PT. Markaz
Jalan Bersama kepada Ir. Muhammad Ridwan yang telah mengembalikan
semua semangat hidup serta mentalitas diri penulis dan sebagai tempat
bertukar ilmu teknis maupun non teknis, sekaligus ilmu kesabaran dan
motivasi untuk selalu semangat dan berjuang.
15. Muhammad Panji Lesmana dan Daniel Juneus Caesar sahabat terdekat
yang rela untuk direpotkan dan rela membantu membackup segala teknis
pekerjaan selama penulisan.
16. Dan untuk semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu, tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada teman-
teman yang memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam
perkuliahan maupun dalam penyelesaian penulisan karya ini.
Jakarta, 6 Mei 2019
Jainudin
Page 9
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 9
E. Kerangka Teori ...................................................................................... 11
F. Metode Penelitian .................................................................................. 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 14
BAB II PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA ............................ 16
A. Pengertian Tarekat ................................................................................. 16
B. Unsur-Unsur Terekat ............................................................................. 19
C. Sejarah dan Perkembangan Tarekat ....................................................... 20
BAB III TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH ........................................ 33
A. Sejarah Pendiri Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ....................................... 33
B. Riwayat Pendidikan ............................................................................... 36
C. Sejarah Berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ................................. 37
D. Ajaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ..................................................... 39
E. Tingkatan dalam Tarekat Qodiryah Hanafiyah ...................................... 43
BAB IV SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT QODIRIYAH
HANAFIYAH DI TANGERANG SELATAN ................................................ 44
A. Masuknya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ke Tangerang Selatan ........... 44
B. Majelis Rabbani Indonesia ..................................................................... 47
C. Tasawuf Islamci Centre Indonesia ......................................................... 49
D. Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI) .............................................. 50
E. Relevansi Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ........................ 53
F. Implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah Terhadap Masyarakat Tangerang
Selatan .................................................................................................... 57
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 59
A. Kesimpulan ............................................................................................ 59
B. Kritik dan Saran ..................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 61
Page 10
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu gagasan terpenting dalam Islam sebagai upaya menjawab
polemik moralitas adalah dengan jalan sufi atau tasawuf. Tasawuf disebut juga
Sufisme oleh orientalis merupakan ajaran dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah.1 Tujuannya adalah untuk senantiasa menjaga diri serta membersihkan jiwa
semata untuk Allah.2 Mulyadi Karthanegara menjelaskan bahwa tasawuf adalah
salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari
Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka dalam diri
manusia.3
Dalam tasawuf, terdapat tarekat sebagai organisasi sufi hadir sebagai
institusi penyedia layanan praktis dan terstruktur untuk memandu tahapan-tahapan
perjalanan mistik yang berpusat pada relasi guru dan murid. Otoritas guru
(mursyid) yang telah melampaui tahapan tahapan mistik harus diterima secara
keseluruhan oleh murid. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang
perlu diamalkan oelh Ali bin Abi Thalib atau sahabat-sahabat beliau yang lain.
Ajaran-ajaran khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan
penerimanya, terutama berkaitan dengan faktor psikologis.4 Pada tahap
selanjutnya, ajaran khusus Rasulullah itu disebarkan secara khusus pula oleh
beberapa sahabat penerima. Meski tak semua orang dianggap pantas menerima
ajaran tertentu tersebut, namun biasanya jumlah mereka bertambah banyak.
Hingga akhirnya menjadi komunitas tertentu dan kekuatan sosial utama yang
mampu hampir di seluruh komunitas masyarakat muslim. Ia kemudian menjadi
1 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
53. 2 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996), h. 42-
43. 3 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 3.
4 Abdul Wadud. Satu TUHAN Seribu Jalan, Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di
Indonesia. (Yogyakarta, FORUM (Grup Relasi Inti Media, anggota IKAPI). 2013), h. 6.
Page 11
2
perkumpulan khusus, atau lahir sebagai sebuah tarekat.5
Tarekat dikenal sebagai hubungan yang berisi bimbingan spiritual antara
murid dan guru dalam Islam. Namun pada faktanya, tarekat justru berkembang
pada ranah yang lebih luas, seperti menjadi organisasi yang terstruktur dan
meluas. Efek lainnya adalah keberadaan organisasi atau kelompok tarekat ini
berperan aktif di dunia sosial, termasuk masalah moralitas hingga ekonomi dan
politik. Gerakan ini menjadi diskursus yang menarik untuk diteliti untuk
menjelaskan perubahan sosial. Selain itu juga menjadi catatan sejarah tersendiri
dalam dunia Islam.
Pada prinsipnya tarekat sebagai organisasi sufi hadir sebagai institusi
penyedia layanan praktis dan terstruktur untuk memandu tahapan-tahapan
perjalanan mistik yang berpusat pada relasi guru dan murid. Otoritas guru
(mursyid) yang telah melampaui tahapan tahapan mistik harus diterima secara
keseluruhan oleh murid. Misalnya, Rasulullah mengajarkan apa yang perlu
diamalkan oleh Ali bin Abi Thalib atau sahabat-sahabat beliau yang lain. Ajaran-
ajaran khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya,
terutama berkaitan dengan faktor psikologis.6 Pada tahap selanjutnya, ajaran
khusus Rasulullah itu disebarkan secara khusus pula oleh beberapa sahabat
penerima. Meski tak semua orang dianggap pantas menerima ajaran tertentu
tersebut, namun biasanya jumlah mereka bertambah banyak. Hingga akhirnya
menjadi komunitas tertentu dan kekuatan sosial utama yang mampu hampir di
seluruh komunitas masyarakat muslim. Ia kemudian menjadi perkumpulan
khusus, atau lahir sebagai sebuah tarekat.7
Secara umum tarekat memiliki fenomena ganda, di mana pada satu sisi,
menjadi sebuah disiplin mistik yang secara normatif doktrinal meliputi sistem
wirid, zikir, do‟a, etika tawassul, ziarah, dan sejenisnya sebagai jalan spiritual
sufi, sementara pada sisi yang lain merupakan sistem interaksi sosial sufi yang
terintegrasi dalam sebuah tata hidup sufistik untuk menciptakan lingkungan psiko-
5 Ahmad Najib Burhani. Tarekat Tanpa Tarekat; Jalan Baru Menuju Sufi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 101. 6 Abdul Wadud. Satu TUHAN Seribu Jalan, h. 6.
7 Najib Burhani, Tarekat Tanpa Tarekat, h. 101.
Page 12
3
sosial sufi sebagai kondisi yang menekankan kesalihan individual dan komunal
yang tujuannya adalah tercapainya kebahagiaan hakiki, dunia akhirat. Fenomena
lain adalah kebersamaan antara guru dan murid yang memiliki pengaruh kuat
terhadap sosial. tarekat yang semula merupakan ikatan sederhanadan bersahaja
antara guru dan murid, berpotensi untuk berkembang baik struktural maupun
fungsional. Secara struktural, misalnya, terdapat suatu ordotarekat yang
mengembangkan jaringanjaringan seperti pendidikan, ekonomi, perdagangan,
pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik. Struktur tarekat tersebut
bermanifestasi dalam sebuah asosiasi-asosiasi yang pada akhirnya memperbesar
tubuh atau organisasi tarekat yang bersangkutan.8
Sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia
mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah
islam. Munculnya gerakan tarekat menurut O. Voll, kemungkinan disebabkan
adanya perselisihan atau konflik yang terjadi antar otoritas keagamaan, baik
karena satu perkara atau ketidaksepahaman dalam aliran. Karena itulah para guru
sufi yang telah berhasil mencampai puncak pencapaian, mereka mendirikan
lembaga tersendiri (berupa majelis atau madrasah) yang mengajarkan tentang
tasawuf menurut jalan yang ditempuhnya. Tarekat itu sendiri diperkirakan muncul
pada abad ke 5 Hijriyah. 9
Pada abad ke-5 Hijriyah atau abad 13 Masehi barulah muncul tarekat
sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap
silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi
yang lahir pada abad itu. Mula-mula muncul tarekat Qadiriyah yang
dikembangkan oleh syeikh Abdul Qodir Jaelani di Asia tengah Tibristan tempat
kelahiran dan oprasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki,
Arab Saudi sampai ke Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, India, Tiongkok.
Muncul pula tarekat Rifa‟iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat
Suhrawardiyah di Afrika utara, Afrika tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat
8 Agus Riyadi, “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf” dalam Jurnal at-Taqaddum vol. 6.
No. 2. (Semarang: UIN Walisongo, 2014), h. 364. 9 Rosihon Anwar & Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pusaka Setia. 2006), h.
23.
Page 13
4
itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid, bercabang dan
beranting hingga banyak sekali.10
Perkembangan tarekat meluas hingga ke Indonesia. secara nyata baru
terlihat pada abad XVII yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (m.1610)
dan muridnya Syamsuddin As-Sumantrani (m.1630) akan tetapi keduanya tidak
meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus-menerus. Baru kemudian
setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syattariyah di Aceh
pada tahun 1679 M, organisasi tarekat inilah menjadi jelas dan dapat ditelusuri
perkembangannya melalui silsilah hubungan guru murid sampai kebeberapa
daerah di Indonesia.11
Hamzah Fansuri secara tegas disebut sebagai penganut
Tarekat Qadiriyah.12
Kendatipun demikian, tarekat yang dianut oleh Hamzah
fansuri maupun muridnya Syamsuddin Al Sumantrani berbeda dengan Tarekat
Qadiriyah yang sekarang berkembang.13
Di Sulawesi tarekat juga berkembang atas prakasa Syekh Yusuf Tajul
Khalwati (1621-1689 M). Ulama Makassar ini dikenal seorang sufi yang
menerima banyak ijazah tarekat seperti Tarekat Qadiriyah dari Nuruddin Ar
Raniri, Tarekat Naqsabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah Ba‟alawiyah
dari Sayid Ali, Tarerkat Syattariyah dari Burhanuddin Al Mula bin Ibrahim, dan
Tarekat Khalwatiyah dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad.14
Adapun ajaran
tasawuf yang dikembangkan seperti yang tertera dalam kitab karangannya
“Fathur Rahman” ada banyak persamaan dengan Abi Yazid Al Bistami, Abdul
Karim Al Jilli, dan Abu Mansur Al Hallaj. Begitu juga dalam kitabnya “Zubdatul
10
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6. 11
Trimingham, J.S, The Sufi Order in Islam. (London Oxford Univesity Press. 1971), h.
130. 12
Martin Van Bruinessen, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di
India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an Vol.2 No. 2,(Jakarta: LSAF: 1989), h. 69. 13
Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa.
(Jakarta: Obor Indonesia, 2006), h. 62. 14
Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. (Jakrta:
DEPDIKBUD, 1987), h. 18-19.
Page 14
5
Asrar”, dia menyatakan mengikuti ajaran Syekh Muhammad Fadlullah
Burhanpuri, seperti tentang macam-macam zikir.15
Secara terorganisir, perkembangan tarekat di Indonesia terdapat tiga
kelompok tarekat terbesar, yaitu Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, Tarekat
Naqsabandiyah Muzhariyah, dan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketiga aliran
tarekat inilah yang dewasa ini memiliki penganut paling besar dibanding dengan
Tarekat rifaiyah, Tarekat Samaniyah, Tarekat Syatariyah, Tarekat Tijaniyah,
Tarekat Alawiyah, Tarekat Syaziliyah, dan lain-lainnya. Tarekat Naqsabandiyah
Khalidiyah dipelopori oleh Syeikh Ismail Al-Khalidi. Tarekat Naqsabandiyah
Khalidiyah juga berkembang dengan cepat. Di antara tokoh utama penyiar tarekat
ini adalah Syekh Muhammad Al Hadi, Girikusumo, di Mranggen, Demak, Jawa
Tengah. Dewasa ini mursyid Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Jawa Tengah
(Kudus, Rembang, Pati, Surakarta) menyandarkan sanad atau silsilah pada Syekh
Muhammad Al Hadi.16
Adapun Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah dipelopori oleh Syekh
Muhammad Saleh Az Zawawi. Mujahid atau pembaharu dari tarekat ini adalah
Syekh Muhammad Muzhar Al Ahmadi. Pengaruh cabang Tarekat Naqsabandiyah
Muzhariyah di Indonesia meliputi daerah Riau, Pontianak, dan Madura. Tokoh
penyiar Tarekat Naqsabandiyah di Madura adalah Syekh Abdul Azim Al
Manduri. Puncak perkembangan tarekat ini dicapai setelah KH. Fatul Bari Al
Manduri menyiarkannya kepada orang awam yang diikuti oleh muridnya bernama
Sayid Muhsin Al Hinduan yang meyebarkan mulai dari Madura, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.17
Adapun tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dipelopori oleh Syeikh
Ahmad Khatib al-Sambas meninggal dunia (1878 M) kepemimpinannya
dilanjutkan oleh para muridnya yaitu: Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Talhah
Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura. Dari tiga pengganti
15
Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar, h. 30-33. 16
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
(Jakarta: Penerbit LP3ES. 1982), h. 144. 17
Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah
Khalidiyah. (Solo: Penerbit Ramadhani. 1985), h. 6-7.
Page 15
6
Ahmad Khatib tersebut, Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura
menurunkan kepada murid-muridnya di Jawa Timur seperti Kyai Ramli, ayah
Kyai Mustain Ramli. Di Jawa Tengah, Kyai Muslih mengambil silsilahnya kepada
Syekh Abdul Karim Banten. Di Jawa Barat, Abah Anom (Suryalaya) mengambil
silsilah dari jalur Kyai Talhah Cirebon, begitu juga dengan Kyai Thahir Falak
(Pagentongan, Bogor). Cabang-cabang Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah
tersebut yang terbesar dan yang paling berpengaruh adalah Abah Anom (KH. A.
Shahibulwafa Tajul „Arifin) di Suryalaya karena sistem pengobatan narkotika
melalui zikir (sufi healing). Abah Anom sekarang memiliki pengganti yang
tersebar di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Lombok, bahkan
di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.18
Selain Abah Anom, Kyai
Muslih (Mranggen) yang mengambil silsilah melalui jalur Kyai Abdul Karim
Banten juga merupakan tokoh besar dalam tarekat ini dan sekaligus sebagai
perintis berdirinya organisasi tarekat secara nasional yang disebut “Jamiyah Ahli
Tharekat Mutabaroh An Nahdliyah”. Di antara para penerus Kyai Muslih, dan
seletah beliau meninggal dunia (1981 M) tumbuh menjadi pusat Tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah KH Durri Nawawi di Desa Kajen,
Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.
Banyaknya organisasi tarekat yang muncul di Indonesia kemudian
direspon oleh berbagai kalangan untuk mendirikan organisasi ketarekataan.
Tujuannya antara lain menangkal faham di luar Islam yang masuk ke dalam
ajaran-ajaran tarekat sekaligus membela ajaran tarekat dari kritik dan kecaman.19
Selain itu juga menjadi upaya menjaga kemurnian tarekat dari unsur-unsur non
Islam dilakukan dalam lembaga musyawarah ulama sufi yang disebut
“pembahasan masalah-masalah” atau menurut istilah aslinya “Bahsul Masail”. 20
Secara umum, organisasi tersebut menegaskan adanya tarekat yang
dipandang sah (mu’tabarah) dan ada pula tarekat yang dianggap tidak sah (ghair
mu’tabarah). Penjelasan dari keduanya yaitu: Suatu tarekat dianggap sah jika
18
Bruinessen, “Tarekat Qadiriyah” h. 74-75. 19
Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi, h. 9. 20
Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa.
(Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI, 2006), h. 72.
Page 16
7
memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga amalan-amalan dalam
tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara syari‟at. Sebaliknya, jika
suatu tarekat tidak memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran
tarekat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syari‟at maka ia
dianggap tidak memiliki dasar keabsahan dan oleh karenanya disebut tarekat yang
tidak sah (ghair al-mu’tabarah).21
Dari sekian banyak aliran tarekat, terdapat satu aliran tarekat yang cukup
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Aliran tersebut adalah Tarekat Qadiriyah
Hanafiah. Tarekat tersebut didirikan oleh Tuangku22
Syeikh Muhammad Ali
Hanafiyah Qutub Rabbani pada tahun 1995. Yang menarik dari Aliran ini adalah
Mursyidnya mendapatkan Kalam Ilahi pada saat berumur 15 tahun dan masih
kelas I STM. Syeikh Muhammad Ali Hanafiah mendapat bimbingan ruhayinah,
yaitu Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah berguru di alam ghaib secara
langsung dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.23
Sehingga pertemuan antara
Tuangku dan Syekh Abdul Qodir tidak dilakukan di dunia nyata, melainkan di
alam ghaib.
Pada tahun 2000, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mendirikan
Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) yang kini berpusat di Jakarta. Di tahun
200224
, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga membangun Pondok
Pesantren Tasawuf Rabbani di Solok Sumatera Barat, sebagai pusat latihan ruhani
(riyadhah) bagi murid-muridnya serta orang-orang yang tertarik belajar Tasawuf.
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga mendirikan berbagai macam
usaha untuk meningkatkan perekonomian ummat, baik di bidang jasa, penjualan,
pertanian, perkebunan, perternakan, pertambangan, yang semuanya dijalankan
21
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6. 22
Dalam pengucapannya menjadi “Tuangku”, namun maksud yang dituju sebagaimana
“Tuanku”. 23
Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah (Pelepas Dahaga
bagi Hamba Pencari Tuhan), (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002), h. 4. 24
Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman
Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani, (Tangerang Selatan: Rabbani Press
2015), h. 6.
Page 17
8
oleh murid-muridnya Tuangku dengan satu tujuan yakni “Islam yang Bersatu dan
Berbagi”.
Salah satu lembaga pusat penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah adalah
Majelis Rabbani Indonesia (MRI). MRI kini beralamatkan di BSD, Serpong,
Tangerang Selatan. Melalui MRI di Serpong, beberapa organisasi atau lembaga-
lembaga lain juga turut muncul seperti DUTI, maupun TICI. Semenjak
kemunculannya, Tarekat Qadariyah Hanafiyah berkembang cukup pesat. dengan
mengorganisasikan Tarekatnya menjadi berbagai lembaga baik terkait dengan
tasawuf maupun dengan perkembangan keumatan lain. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk meneliti Sejarah Perkembangan Tarekat Qadariyah Hanafiah di
Tangerang Selatan sebagai pusat penyebaran Tarekat tersebut.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada persoalan sejarah dan perkembangan tarekat
Qadariyah Hanafiyah di Tangerang Selatan. Di dalamnya menjelaskan persoalan
awal kemunculan tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan serta bentuk
dan jenis-jenis perkembangannya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana masuk dan berkembangnya tarekat Qadariyah Hanafiyah di
Tangerang Selatan?
2. Bagaimana bentuk dan model perkembangan Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah di Tangerang Selatan?
3. Bagaimana implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah terhadap
pengikutnya di Tangerang Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan kronologis sejarah kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
di Tangerang Selatan
2. Mendeskripsikan bentuk-bentuk perkembangan Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah di Tangerang Selatan
Page 18
9
3. Menjelaskan implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah terhadap masyarakat
Tangerang Selatan.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk penulis sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora di
Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Untuk peneliti selanjutnya sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian
Sejarah Tarekat di Indonesia.
3. Untuk Kampus sebagai koleksi kepustakaan bidang sejarah dan
perkembangan peradaban Islam.
4. Untuk masyarakat sebagai tambahan wawasan pengetahuan dalam bidang
sejarah peradaban dalam kajian sejarah tasawuf maupun tarekat di
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan tema yang akan diteliti.
Berikut rinciannya:
1. Muthiah Ahmad mahasiswi dari Program Pasca Sarjana Universitas Islam
Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dalam tesisnya yang
berjudul “Zikir di Majlis Rabbani Indonesia” dalam tesis ini di jelaskan
tentang dzikir yang ada di Majlis Rabbani Indonesia (MRI) yang dulunya
bernama Majlis Al-Dzikri Indonesia (MAI) yang di dirikan oleh Tuangku
Syeikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 1996, kemudian pada bulan
mei 2003 namanya berubah menjadi Majlis Rabbani Indonesia (MRI).
Kegiatan Majlis ini saat ini dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani
Solok, Sumatra Barat. Organisasi ini berasaskan Islam dengan berpaham
Ahlusunnah wal Jamaah. Tujuan utama MRI adalah mengembangan
dakwah islamiyah, menghidupkan kembali nilai-nilai zikir, meningkatkan
Page 19
10
pemahaman umat Islam terhadap tauhid, mendorong terbentuknya umat
yang beristiqomah dan meningkaatkan rasa ukhuwah islamiyah.
Gambaran tata cara zikir pada MRI, biasanya para jamaah yang datang ke
Majelis Rabbani Indonesia (MRI) pada umumnya mengenakan pakaian
putih-putih, mukenah putih, dan bagi jamaah laki-laki mengenakan
pakaian takwah berwarna putih serta kopiah juga berwarna putih.
Sebenarnya tidak ada persyaratan untuk mengenakan pakaian serba putih,
namun para jamaah merasa bahwa ketika ingin menghadap kepada Sang
Pencipta hendaklah dengan hati yang bersih yang disimbolkan dengan
mengenakan pakai serba putih. Sebelum kegiatan zikir dimulai, terlebih
dahulu Mursyid mengadakan kajian tentang keislaman atau mengenai
ketauhidan dan juga ada sesi Tanya jawab antara jamaah dengan Mursyid.
Kajian ini tidak terlalu lama sekitar 30 menit, setelah itu para jamaah
bersiap untuk berzikir yang dipimpin langsung oleh Mursyi..25
2. Prof. Dr. Ahmad Rahman, M.Ag, dalam buku-bukunya yang berjudul
”KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah, Pelepas dahaga bagi
hamba pencari Tuhan” terbitan Rabbanni Press Tangerang Selatan 200226
,
kemudian buku “Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Ruhani
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah” terbitan Rabbani Press
Tangerang Selatan 201127
, dan buku “INILAH AKU, HERE I AM,
Pencerahan Rohani Bagi Para Pencari Tuhan, Maulana Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah” terbitan Rabbani Press Tangerang Selatan
201228
. Beliau menjelaskan dalam buku-bukunya tentang Kalam Ilham
Ilahi dari hasil penelitian beliau yang dilakukan sejak bulan april 2002 ini
telah diseminarkan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,
Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Jakarta, yang mana Kalam
Ilham Ilahi sejak awal turun yaitu di akhir tahun 1995 ketika Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah duduk dikelas 1 STM sampai sekarang,
25
Muthiah Ahmad, Zikir di Majelis Rabbani Indonesia (MRI),(Tesis dari Program Pasca
Sarjana Universitas Islam Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Bandung 2015. 26
Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, 27
Ahmad Rahman, Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2011), h. 23. 28
Ahmad Rahman, Inilah AKU, Here I AM, Pencerahan Rohani bagi Pencari Tuhan,
Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2012), h. 15.
Page 20
11
yaitu ketika beliau Ahmad Rahman menulis buku tentang ini pada tanggal
11 September 2002, sekitar seribu Kalam Ilham Ilahi yang turun kepada
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Akan tetapi, banyak yang
tidak ditulis, karena sifatnya tarbiyah pribadi, bahkan ada yang sifatnya
teguran kepadaTuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, sedangkan
yang ditulis ini oleh Ahmad Rahman yaitu Kalam Ilham Ilahi yang bersifat
kajian, yang dapat dijadikan pelajaran.
3. Radhi Islami dari program magister fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan judul Sejarah dan Perkembangan Tarekat
Qodiriyah Hanafiyah: Sejarah Lahir dan Perkembagannya di Indonesia.
Tesis ini menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya tarekat Qodiriyah
Hanafiyah serta ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi
penjelasannya sangat umum, yakni penjelasan dari mulai kemunculan,
hingga menjelaskan perkembangannya di seluruh Indonesia.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penulis
membatasi pada wilayah Tangerang Selatan. Khusus pada wilayah
Tangerang selatan mengenai kemunculan serta bentuk dan model
penyebarannya.
Dari ketiga penelitian di atas belum terdapat penelitian mengenai sejarah dan
perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiah di Tangerang Selatan. Oleh karena itu
penelitian ini bersifat baru dan original.
E. Kerangka Teori
Teori yang digunakan penulis untuk meneliti sejarah dan perkembangan
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan ini adalah teori perubahan
sosial. Teori perubahan sosial yang digunakan merupakan teori dalam perspektif
sejarah. Sebagaimana pendapat Kartodirjo bahwa perubahan sosial merupakan
gejala sejarah atas proses terjadinya perubahan dalam konteks sosial.29
Berikut
penjelasan detail mengenai teori-teori yang digunakan.
1. Perubahan Sosial
29
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4
Page 21
12
Perubahan merupakan suatu kondisi yang berbeda dari sebelumnya dengan
kondisi yang terjadi saat ini. Adanya perubahan merupakan hasil perbandingan
waktu tertentu yang terjadi pada satu masyarakat. Dalam perubahan tentunya
memuat proses terjadinya perubahan itu sendiri. Proses tersebut menunjukkan
sebuah gejala sejarah. Gejala sejarah juga memuat persoalan hubungan kausal
sekaligus proses yang terjadi dari sebelum hingga sesudah adanya perubahan.30
Dalam perubahan sosial setidaknya memuat dua unsur:
a. Dinamika masyarakat memajukan tingkat perubahan ke arah yang lebih
maju dengan melihat berbagai faktor yang melatarbelakangi perubahan
tersebut.
b. Arah perubahan sosial menuju dari sederhana ke bentuk yang lebih
kompleks, dengan kata lain menuju pada arah yang lebih baik.31
Dalam teori perubahan sosial, Talcot Parson berpendapat bahwa asumsi
terjadinya perubahan sosial berasal dari hubungan antar lembaga atau komunitas
dalam masyarakat yang berakibat pada perubahan sistem sosial (seperti bahasa
maupun budaya) maupun struktur sosial (peran dan fungsi). Adapun sumber
perubahan sosialnya berasal dari faktor endogen mencakup sistem masyarakat itu
sendiri dan eksogen berupa masyarakat pendatang atau dari luar.32
Faktor eksogen
dalam perubahan sosial, misalnya ide, pengetahuan, teknologi atau kebijakan
sosial-politik dari luar struktur, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor endogen
bisa saja dalam bentuk kompetisi atau persaingan kekuasaan yang mempengaruhi
kontrol terhadap kekuasaan dalam struktur sosial, perubahan komposisi dan
peran-peran elemen anggota dalam struktur sosial, dan lain sebagainya.
Dalam teori perubahan sosial, Talcot Parson berpendapat bahwa asumsi
terjadinya perubahan sosial harus memenuhi empat syarat yang disebutnya AGIL.
AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan
Latency. Adapun rinciannya adalah 1) Adaptasi (adaptation): sebuah sistem harus
menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan
diridengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
30
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), h. 78. 31
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial, h. 99. 32
Syamsir Alam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2008), h. 126.
Page 22
13
2) Pencapain tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. 3) Integrasi (integration): sebuah sistem harus
mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga
harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,I,L). 4)
Latency (pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara
dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang
menciptakan dan menopang motivasi sehingg menjadi tatanan yang masyarakat
yang mapan.33
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian pada kajian sejarah perlu menggunakan
pemahaman metode sejarah. Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan
menganalisis secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau
berdasarkan data-data yang telah diperoleh.34
Dalam penelitian sejarah terdapat
tahapan-tahapan yang harus penulis lakukan, sebagai mana pendapat
Kuntowijoyo. Berikut adalah tahapan-tahapan yang penulis lakukan dalam
penelitian sejarah:35
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian heuristik penulis menggunakan data
kepustakaan atau library research dengan mengakses beberapa sumber tertulis
berupa buku, jurnal, serta situs internet. Heuristik dibedakan menjadi sumber
kebendaan atau material berupa sumber tertulis seperti record, seperti
dokumen, arsip, surat, catatan harian, foto-foto, dan file.36
Studi pustaka
mengenai sumber tertulis seperti naskah, buku dan jurnal yang terkait dengan
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
Data kepustakaan akan diperkuat dengan data yang dikumpulkan dengan
melakukan tahap wawancara. Wawancara merupakan metode dengan catatan
pertanyaan melalui tanya jawab secara tatap muka kepada informan atau nara
33
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 118. 34
Louis Gottshalck, Mengerti Sejarah, h. 39 35
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, h. 68-72. 36
M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, ilmu sejarah, h.219-223.
Page 23
14
sumber. Moleong menyebutkan wawancara adalah percakapan yang dilakukan
oleh pewawancara dan pihak yang diwawancarai.37
2. Verifikasi
Tahap berikutnya ialah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini, penulis
melakukan keaslian uji sumber melalui kritik ekteren. Selain itu penulis
melakukan uji kelayakan beberapa sumber melalui kritik intern. Dalam kritik
ektern penulis menganalisa mengenai sumber primer yang penulis dapatkan
melalui situs resmi.
3. Interpretasi
Tahap selanjutnya interpretasi38
atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang
telah penulis dapat. Dalam penulisan ini penulis menggunakan analisis dengan
menginterpretasikan beberapa fakta mengenai perkembangan Tarekat
Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan.
4. Penulisan (Historiografi)
Tahap terakhir historiografi39
, dalam tahap ini penulis menulis hasil penelitian
kedalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik kesimpulan yang
merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam skripsi ini.
5. Pedoman Penulisan
Adapun Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini terdiri dari lima bab. Berikut rinciannya:
Bab I Menjelaskan latar belakang masalah penelitian, merumuskan,
metodologi yang digunakan hingga sistematika penulisan
Bab II Menjelaskan mengenai gambaran umum mengenai Tarekat
Qodiriyah Hanafiyah, dari mulai biografi pendirinya dan sejarah
37
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), h. 135. 38
M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah, h. 225. 39
M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah, h. 230.
Page 24
15
umum kemunculannya
Bab III Menjelaskan gambaran umum mengenai tasawuf dan tarekat dalam
dunia Islam. Serta menjelaskan sejarah perkembangan tarekat di
Indonesia
Bab IV Menjelaskan hasil penelitian tentang sejarah dan perkembangan
tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan serta beberapa
bentuk perubahan dan implikasinya terhadap masyarakat
Tangerang Selatan
Bab V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan kritik-saran.
Page 25
16
BAB II
PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA
A. Pengertian Tarekat
Sufisme saat ini sangat dekat dengan apa yang dinamakan dengan
Tarekat atau thariqah dalam bahasa Arabnya. Secara etimologi asal usul kata
tarekat atau thariqah berasal dari kata al-Tharq (jamak: al-Thuruq) yang
merupakan isim Musytaraq, secara harfiah berarti jalan, tempat setapak, atau
metode/cara.1 Kata tarekat, secara umum mengacu pada metode latihan atau
amalan khusus berupa zikir, wirid, muraqabah dengan tujuan untuk mencapai
maqam tertentu dalam sebuah institusi yang terdiri dari guru dan murid. Harun
Nasution mendefinisikan tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh oleh
seorang sufi, dengan tujuan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.2
Syekh Muhammad Amin Kurdy mendefinisakan tarekat sebagai pengamalan
syari‟at dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan diri dari
sikap mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.3
Harun Nasution, berpendapat bahwa istilah tarekat merupakan jalan
yang harus ditempuh oleh seorang salik dalam tujuannya berada sedekat
mungkin dengan Tuhan. Dalam perkembangannya, thariqah mengalami proses
pelembagaan dan mengandung arti organisasi tarekat. Setiap tarekat
mempunyai syekh mursyid, upacara pembai‟atan, tawajuhan, dan bentuk dzikir
sendiri-sendiri, yang membedakan antara satu tarekat dengan tarekat lainnya.4
Menurut Mulyadhi Kartanegara, tarekat memuat dua unsur, jalan dan
persaudaraan atau perkumpulan antara guru (yang membimbing) dan murid
(yang belajar) dalam menjalankan tasawuf. Penjelasannya tarekat merupakan
jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalamnya berisi amalan
1 Ris‟an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h. 184
2 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang,
2010)h. 43 3 A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010) h. 233 4 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press,
1986), h. 89.
Page 26
17
ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya
disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarekat ini ditujukan
untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan
Allah.5 Secara gambalang yakni dengan melihat sisi pengamalan, tujuan tarekat
berarti mengadakan latihan (riyadhah) dan berjuang melawan nafsu
(mujahadah), membersihkan berdiri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi
dengan sifat-sifat yang terpuji dengan melalui perbaikan budi dalam berbagai
segi. Dari sisi tadzakkur, tujuan tarekat mewujudkan rasa ingat kepada Allah
Dzat Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan
mengamalkan wirid dan dzikir yang dibarengi dengan tafakur secara terus
menerus.
Tujuan tarekat tersebut akan dapat dicapai oleh setiap orang yang
mengamalkan tarekat. Jelasnya ia dapat mengerjakan syari‟at Allah dan Rasul-
Nya dengan melalui jalan atau sistem yang mengantarkan tercapainya tujuan
hakikat yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh syari‟at itu
sendiri. Fungsinya membentuk keluarga besar, dan semua anggotanya
menganggap diri mereka bersaudara satu sama lain. Tarekat dapat juga
bermuatan politik, hal ini dikarenakan banyaknya pengikut atau anggota-
anggotanya, sehingga pimpinan (guru atau syekh) memiliki pengaruh yang
kuat bagi anggotanya.
Tarekat memiliki fenomena ganda, di mana pada satu sisi, menjadi
sebuah disiplin mistik yang secara normatif doktrinal meliputi sistem wirid,
zikir, do‟a, etika tawassul, ziarah, dan sejenisnya sebagai jalan spiritual sufi,
sementara pada sisi yang lain merupakan sistem interaksi sosial sufi yang
terintegrasi dalam sebuah tata hidup sufistik untuk menciptakan lingkungan
psiko-sosial sufi sebagai kondisi yang menekankan kesalihan individual dan
komunal yang tujuannya adalah tercapainya kebahagiaan hakiki, dunia akhirat.
Fenomena lain adalah kebersamaan antara guru dan murid yang
memiliki pengaruh kuat terhadap sosial. tarekat yang semula merupakan ikatan
5 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), h. 271.
Page 27
18
sederhanadan bersahaja antara guru dan murid, berpotensi untuk berkembang
baik struktural maupun fungsional. Secara struktural, misalnya, terdapat suatu
ordotarekat yang mengembangkan jaringanjaringan seperti pendidikan,
ekonomi, perdagangan, pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik.
Struktur tarekat tersebut bermanifestasi dalam sebuah asosiasi-asosiasi yang
pada akhirnya memperbesar tubuh atau organisasi tarekat yang bersangkutan.6
Dapat disimpulkan bahwa tarekat berfondasi pada Syariat Islam dan
mengacu pada tuntunan Rasulallah (Sunnah), para sahabat dan tabi‟in. Berbeda
dari persangkaan para pengkritik tarekat dan tasawuf, pada dasarnya tarekat
dilaksanakan di atas bangunan syari‟at dan Sunnah Nabi. Dan peran mursyid
dalam suatu tarekat adalah unsur utama yang membimbing muridnya agar si
murid tetap melangkah di jalan yang benar dan tetap berada dalam
thariqah,tidak menyimpang dari syariat.
B. Unsur dalam Tarekat
Seorang yang ingin masuk kedalam dunia sufistik ia harus mengikuti
jalur yang telah ditentukan bagi para sufi dan secara bertahap ia harus
konsisten dalam mendalami seluk beluknya. 7Dalam perkembangan ilmu
tasawuf, para sufi yang sudah mendapat pencerahan biasanya akan membuka
majelis atau semacam perguruan yang berfungsi untuk melatih spiritualitas.
Seseorang yang ingin mendekatkan diri pada Allah tidak perlu dia melakukan
amalannya sendiri, tetapi ia bisa menyelami ilmu tasawuf dan melatih
spiritualitasnya (batin) lewat seorang guru yang telah mumpuni pengetahuan
dan maqam spiritualitasnya. Dalam tarekat biasanya sang guru sufi disebut
sebagai mursyid. Sang mursyid ini berarti adalah pembimbing, petunjuk,
pengajar sekaligus yang menjadi contoh bagi murid.8
Setiap tarekat pasti memiliki syaikh yang dijunjung tinggi, Biasanya
syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya untuk melatih rohani lewat
6 Agus Riyadi, “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf” dalam Jurnal at-Taqaddum vol.
6. No. 2. (Semarang: UIN Walisongo, 2014), h. 364. 7 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) h. 183
8 M. Solihin, & Rosihon Anwar. Kamus Tasawuf, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya)h. 151.
Page 28
19
metode zikir dan ibadah lainnya yang dinamakan suluk atau ribath. Kata
tarekat kemudian mengalami pergeseran makna. Jika pada awalnya tarekat
adalah suatu jalan yang ditempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah, kemudian makna tersebut berubah pengertian, yaitu jalan menuju tuhan
di bawah bimbingan seorang guru.9
Seorang mursyid membimbing sang murid untuk menggapai maqam
dan tahapan spiritualitas yang memuaskan.Tarekat dalam hal ini adalah sarana
atau jalan spiritual untuk membimbing setiap orang untuk mencapai derajat
yang dekat dengan Allah10
. Tarekat itu sendiri pada hakikatnya adalah sebuah
institusi sufisme yang berdiri atas jalur syariat Islam dan tidak menyimpang
darinya. Abu Bakar Atjeh memberikan komentar mengenai tarekat:
“Jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh
sahabat dan tabi‟in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-
menyambung dan rantai-berantai; atau suatu cara mengajar atau mendidik,
lama kelamaan meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat
penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna memudahkan
menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam
satu ikatan.”11
Hubungan seorang pembimbing (mursyid) dengan yang dibimbing
(murid) dan yang dibimbing dengan yang dibimbing lainnya lama kelamaan
mengikat satu persaudaraan tarekat yang disebut dengan persaudaraan shufi.
Akhirnya tarekat tidak hanya dikonotasikan pada suatu metode praktis tetapi
dikonotasikan sebagai lembaga bimbingan calon shufi, yang elemennya adalah
guru (syekh, mursyid), murid, tempat (yang disebut dengan zawiyah),
perjanjian antara guru dan murid (baiat), do‟a dan wirid khusus, adanya
penyebaran oleh bekas murid setelah mendapat ijazah dari gurunya dengan
silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
9 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6-8 10
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), h. 115 11
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Thariqah, (Solo: Ramadhani, 1996), h. 97
Page 29
20
Guru didalam tarekat adalah orang yang paling berpengaruh. Ia mempunyai
wewenang (otoritas) yang sangat luas12
.
Dalam tarekat terdapat sebuah unsur penting yaitu bai‟at (bay„ah)13
yaitu janji atau sumpah setia, dalam hal ini berarti sumpah setia seorang murid
kepada syaikh yang menjadi pembimbingnya. Bai„at juga merupakan tali
pengikat agar seorang murid dapat istiqamah (kosnsisten) dalam menempuh
jalan menuju Allah SWT sesuai apa yang diajarkan sang guru. Selain itu, ada
juga tata pengamalannya, yaitu wirid, atau dzikir, ratib, muzikk, menari,
bernapas, dan sebagainya. Hal tersebut harus mengacu pada ketentuan syari‟at.
Abu Bakar Aceh memberikan penjelasan bahwa syari‟at merupakan peraturan,
tarekat merupakan pelaksanaan, hakekat merupakan keadaan, dan ma‟rifat
merupaka tujuan akhir dari perjalan mistis seorang salik.14
C. Sejarah dan Perkembangan Tarekat
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat
lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri.
Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat
mempelajarinya. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu
sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem
pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang
membedakannya dari tarekat yang lain. Tarekat adalah organisai dari pengikut
sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan
ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini memakai
suatu tempat pusat kegiatan disebut ribat yang (disebut juga zawiyah, hangkah
atau pekir).
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll.
Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal
sejarah islam. Munculnya gerakan tarekat menurut O. Voll, kemungkinan
12
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group 2010), h. 115. 13
Hassan Sadhily. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 1, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve,
1980) h. 362. 14
Abu Bakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tariqah, h. 99
Page 30
21
disebabkan adanya perselisihan atau konflik yang terjadi antar otoritas
keagamaan, baik karena satu perkara atau ketidaksepahaman dalam aliran.
Karena itulah para guru sufi yang telah berhasil mencampai puncak
pencapaian, mereka mendirikan lembaga tersendiri (berupa majelis atau
madrasah) yang mengajarkan tentang tasawuf menurut jalan yang
ditempuhnya. Tarekat itu sendiri diperkirakan muncul pada abad ke 5 Hijriyah.
15
Kegiatan kaum sufi pada abad ke 5 Hijriyah merupakan suatu lompatan
besar dalam dunia tasawuf. Pada mulanya tasawuf bersifat personal, dimana
hanya individu-individu tertentu saja (yang kuat dan tekun) bisa merasakan
kelezatan marifatullah, tapi setelah Tarekat berdiri dan membentuk suatu
lembaga keagamaan, maka tasawuf bukan saja khusus diamalkan oleh kaum
sufi, tetapi juga bisa diamalkan oleh umat awam melalui perantara guru
(mursyid). Pada mulanya tokoh yang membentuk suatu tarekat adalah Syaikh
Abdul Qadir Jailani di Baghdad yang kemudin komunitas tarekatnya disebut
sebagai Qadiriyah. Sedangkan di Persia, muncul tokoh Shihabbudin Umar
Suhrawardi, Sayyid Ahmad Rifa‟i dan Jalaluddin Rummi yang membentuk
komunitas tarekatnya sendiri di daerah Persi.16
Secara positif pengaruh berdirinya tarekat berdampak pada kesalehan
individu atau masyarakat yang mengikuti tarekat tersebut, namun sisi
negatifnya, muncul pengkultusan terhadap guru-guru tarekat atau kaum sufi
sehingga umat awam asal bertaqlid saja kepada orang yang dianggap sufi tanpa
mengetahui apakah benar orang itu sufi atau hanya sekedar orang yang
mengklaim dirinya sufi.
Istilah tarekat terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu
bimbingan pribadi dari perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada
muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak dipahami oleh banyak
kalangan, ketika mendengar kata tarekat. Dengan demikian tarekat memiliki
dua pengertian. Pertama, ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual
15
Rosihon Anwar & Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawuf.( Bandung: Pusaka Setia. 2006) 16
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 310.
Page 31
22
kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri
dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi
brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal seperti zawiyah,
rubath, atau rumah atau tempat untuk melaksanakan riyadhah atau khanaaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem
kerahasiaan, sistem kekerabatan persaudaraan, dan sistem hierarki seperti
syaikh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh
dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan ber-wasilah dengan guru
dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau limpahan petolongan dari
guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat, laksana mayat di tangan
orang yang memandikannya.17
Awal kemunculan tarekat adalah pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah,
yang sejalan dengan kemunculan tasawuf. Pada abad ke-5 Hijriyah atau abad
13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi
sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan
dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Mula-
mula muncul tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh syeikh Abdul Qodir
Jaelani di Asia tengah Tibristan tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian
berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia,
Singapura, Malaysia, Thailan, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa‟iyah
di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika utara, Afrika
tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan
cepat melalui murid-muridnya.18
Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna.
Jika pada awalnya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam
mendekatkan diri kepada Allah, maka pada tahap selanjutnya istilah tarekat
digunakan untuk menunjuk pada suatu metode psikologi yang dilakukan oleh
guru tasawuf (mursyid) kapada muridnya untuk mengenal Tuhan secara
17
KH. A. Aziz Masyuri, Ensklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya:
Imtiyaz, 2014), h. 2. 18
Sri Mulyati dkk, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 6.
Page 32
23
mendalam. Dari sinilah, terbentuklah suatu tarekat, dalam pengertian “jalan
menuju Tuhan di bawah bimbingan seorang guru”. Dari pengertian ini
kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang
melakukan suatu pekerjaan, baik terpuji maupun tercela. Menurut istilah
tasawuf sendiri, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat)
menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus
ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin
kepada Tuhan19
, dan perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap
dan seluk-beluknya. Kata tarekat, secara umum mengacu pada metode latihan
atau amalan (zikir, wirid, muraqabah), juga pada institusi guru dan murid yang
tumbuh bersamanya.20
Tarekat sebagai organized sufism hadir sebagai institusi penyedia
layanan praktis dan terstruktur untuk memandu tahapan-tahapan perjalanan
mistik yang berpusat pada relasi guru dan murid. Otoritas guru (mursyid) yang
telah melampaui tahapan tahapan mistik harus diterima secara keseluruhan
oleh murid. Ini diperlukan agar langkah murid untuk bertemu dengan Tuhan
dapat terlaksana seperti yang dialami guru. Relasi guru-murid ini terbangun
sambung menyambung hingga sampai kepada nabi sebagai sumbernya. Inilah
yang disebut silsilah, yaitu mata rantai yang menghubungkan antara satu
mursyid dengan mursyid yang mendahuluinya, fungsinya sama seperti sanad
yang digunakan ulama hadis.
Secara umum terdapat dua aliran tarekat terbesar yang mainstream di
kalangan sufistik, yaitu Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Tarekat
Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi al-
Uwaisi al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu
tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah
Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki,
BosniaHerzegovina, dan wilayah Volga Ural. Ciri yang menonjol dari Tarekat
Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari‟ at secara ketat, keseriusan dalam
19
KH. A. Aziz Masyuri, Ensklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya:
Imtiyaz 2014), h. 1. 20
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iman 2009), h. 183.
Page 33
24
beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih
mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke
arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya,
adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan
kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran
akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat
Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang
lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, “dalam hati”),
sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat tarekat lain.
Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada
Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain. Dengan hanya
duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Nabi Muhammad dengan
hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang
hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi.
Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam
majelis Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir
itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan „Irfan yang akan diperoleh
setelah begitu lama menuruti jalan-jalan tarekat yang lain.21
Adapun tarekat Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan
oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi
(1077-1166M). Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria
kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki,
Mesir, India, Afrika dan Asia.Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir
Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid
tarekat. Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat
yang lain ke dalam tarekatnya Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul
21
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 28.
Page 34
25
Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya,
maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya
untuk seterusnya”.22
Tarekat Qadiriyah mementingkan kasih sayang terhadap semua
makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun
politik. Keistimewaan tarekatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama
Tuhan. Ada anggapan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada
tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu
manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatera. Adapun asas-asas dalam
tarekat Qadiriyah ialah bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita,
membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat
kepada Allah SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan ialah
“Lailahaillallahu” dengan berdiri sambil bersenam, mengepalkan tangan ke
samping, ke depan, ke muka dengan badan yang sigap, dan putus ingatan
dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT.23
Masuknya tarekat-tarekat ke Indonesia, biasanya bersamaan dengan
adanya migrasi, perdagangan, atau munculnya orang-orang Indonesia yang
belajar agama keluar negeri seperti India atau Arab Saudi. Van Bruinessen
menyebutkan, banyak orang Indonesia yang kembali dari berhaji sudah di
baiat menjadi pengikut suatu tarekat selama mereka menetap di Mekah dan
sebagian diantaranya mendapatkan ijazah untuk mengajarkan berbagai
tarekat mereka. Itulah sebabnya banyak ulama Indonesia yang selesai pergi
haji atau belajar ke Arab lalu mendirikan tarekat setelah pulang dari tempat ia
belajar. Ada beberapa orang yang terkenal sebagai pembawa tarekat tertentu
untuk pertama kalinya ke Indonesia, misalnya Hamzah Fanzuri (w.1590 M)
memperkenalkan tarekat wujudiyah di Aceh, Abdul Rauf Singkel (1620-1693
M) memperkenalkan tarekat Syattariyah juga di Aceh, Syekh Yusuf al-
Makassariy (1626 - 1699 M) memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah
dan tarekat Khalwatiyah di Banten dan Sulawesi Selatan, Syekh Ahmad
22
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat, h. 34. 23
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat, h. 39.
Page 35
26
Khatib Sambas (w. 1878 M) bersama Syekh Abdul Karim Banten
memperkenalkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, Syekh
Abdul Fattah memperkenalkan tarekat Ahmadiyah atau Idrisiyah, Syekh
Abd. al-Shamad al-Falimbani juga berjasa menyebarkan tarekat
Sammaniyah (beliau murid langsung Syaikh Abdul Karim Saman) dan Syekh
Ismail dari Simabur, Minangkabau juga mulai mengajarkan tarekat
Khalidiyah di Tanah Minang tersebut. berkat mereka tarekat mulai muncul dan
berkembang di Indonesia.24
Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad
XVII yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (m.1610) dan muridnya
Syamsuddin As-Sumantrani (m.1630) akan tetapi keduanya tidak
meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus-menerus. Baru
kemudian setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat
Syatariyah di Aceh pada tahun 1679 M, organisasi tarekat inilah menjadi jelas
dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui silsilah hubungan guru murid
sampai kebeberapa daerah di Indonesia25
. Hamzah Fansuri secara tegas disebut
sebagai penganut Tarekat Qadiriyah26
. Kendatipun demikian, tarekat yang
dianut oleh Hamzah fansuri maupun muridnya Syamsuddin Al Sumantrani
berbeda dengan Tarekat Qadiriyah yang sekarang berkembang. Keduanya
dikenal menganut paham penyatuan manusia dan Tuhan (Wahdatul Wujud),
sedang Tarekat Qadiriyah yang sekarang ada, tidak lagi mengenal ajaran
tersebut.27
Tokoh-tokoh penyiar Islam yang hidup dan berdakwah di Indonesia
sebelumnya, secara samar-samar juga cenderung menganut paham ini. Syekh
Abdullah Arif seorang penyiar pertama di Aceh apda abad 12 M dalam
24
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi –Tradisi
Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) h.201-214 25
Trimingham, J.S, The Sufi Order in Islam. (London Oxford Univesity Press.
1971),h.130. 26
Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India,
Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur‟an Vol.2 No. 2,(Jakarta, Penerbit Lembaga
Studi Agama dan Filsafat. 1989), h. 69. 27
Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa.
(Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI. 2006), h. 62.
Page 36
27
karangannya yang berjudul “Bahrul Laahut” juga mengajarkan ajaran yang
sama dengan Abu Mansur Al Hallaj dan Muhyiddin Ibnu Arabi yakni wahdatul
wujud28
. Begitu juga di jawa, di zaman penyiar Islam pertama (walisongo)
terdapat seorang tokoh tasawuf yang mengajarkan paham ini. Bahkan pada
periode setelahnya, beberapa tokoh dalam Kitab Cabolek, ada saja orang yang
menyiarkan ajaran ini meskipun harus menerima hukuman berat. Tentang
aliran tarekat apa yang dianut oleh Walisongo tidaklah jelas. Hanya saja dalam
Babad Tanah Jawi dinyatakan bahwa Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus
mengajarkan Ilmu Abdul Qadir29
.
Di Sulawesi tarekat juga berkembang atas prakasa Syekh Yusuf Tajul
Khalwati (1621-1689 M). Ulama Makassar ini dikenal seorang sufi yang
menerima banyak ijazah tarekat seperti Tarekat Qadiriyah dari Nuruddin Ar
Raniri, Tarekat Naqsabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah
Ba‟alawiyah dari Sayid Ali, Tarerkat Syatariyah dari Burhanuddin Al Mula bin
Ibrahim, dan Tarekat Khalwatiyah dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad30
.
Adapun ajaran tasawuf yang dikembangkan seperti yang tertera dalam kitab
karangannya “Fathur Rahman” ada banyak persamaan dengan Abi Yazid Al
Bistami, Abdul Karim Al Jili, dan Abu Mansur Al Hallaj. Begitu juga dalm
kitabnya “Zubdatul Asrar”, dia menyatakan mengikuti ajaran Syekh
Muhammad Fadlullah Burhanpuri, seperti tentang macam-macam zikir31
.
Pada abad XVIII, perkembangan tarekat masih juga menunjukan ada
pengaruh paham wujudiyah. Tetapi kecenderungan kepada pentingnya fiqih
sudah mulai tampak. Hal itu terlihat antara lain pada karya-karya ulama sufi
pada abad tersebut. Di antara ulama yang hidup pada masa itu adalah Syekh
28
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara.
(Solo, Penerbit Ramadhani. 1980), h. 13. 29
Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India,
Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur‟an Vol.2 No. 2, (Jakarta, Penerbit Lembaga
Studi Agama dan Filsafat. 1989), h. 70. 30
Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. (Jakrta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah. 1987), h. 18-19. 31
Tudjimah Cs, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya. (Jakrta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah. 1987), h. 30-33.
Page 37
28
Abdus Samad Al Falimbani, Syekh Muhammad Nafis Al Banjari, dan Haji
Ahmad Mutamakin Cebolek. Syekh Abdus Samad dalam karyanya yang
berjudul “Siyarus Salikin” memandang bahwa aliran wujudiyah dan sejenisnya
adalah ilmu tasawuf yang tinggi nilainya. Syekh Abdus Samad juga
mengajarkan “Fanaul Af‟al” yakni menyatukan perbuatan makhluk di dalam
perbuatan Allah. Begitu juga Syekh Muhammad Nafis Al Banjari adalah
seorang sufi penganut paham Muhyiddin Ibnu Al Arabi. Ajaran tasawufnya
dapat dilihat pada buku karangannya “Ad Durun Nafis” yang juga
mengajarkan maqam fana‟ (kedudukan menyatu dengan Tuhan) dalam tiga
tingkatan. Pertama, fana‟ pada perbuatan seperti kata: “Tiada yang berbuat
hanya Allah”. Kedua, fana‟ pada sifat, seperti kata mereka: “Tiada yang hidup
hanya Allah”. Ketiga, fana‟ pada zat, seperti kata: “Tiada yang ada hanyalah
Allah”. Kitab ini seratus tahun kemudian setelah penulisnya wafat dinyatakan
sesat oleh Mufti Kerajaan Johor, Sayid Alwi Thahir Al Haddad32
. Sezaman
dengan ulama di Palembang dan di Banjarmasin tersebut di Jawa juga muncul
seorang Haji yang dituduh mengajarkan aliran wujudiyah (manunggaling
kawula gusti) yang bernama Haji Ahmad Mutamakin. Informasi tentang tokoh
ini sebagian besar diketahui para ahli melalui buku sastra Jawa yang berjudul
“Serat Cabolek” karangan Yasadipura dan telah diangkat menjadi desertasi
oleh Dr. Soebardi33
.
Perwujudan tarekat seperti dijelaskan di atas menunjukan bahwa ajaran
tasawuf yang berkembang pada awal penyiaran Islam sampai dengan abad
XVIII adalah tasawuf yang bercorak filosofis dan menekankan pada ajaran
wahdatul wujud sebagai puncak tasawuf. Corak tasawuf yang demikian itu
tidak saja pada Tarekat Syatariyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdur Rauf
Singkel seperti yang dinyatakan oleh Steenbrink34
tetapi juga pada tarekat
lainnya seperti Tarekat Qadiriyah oleh Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh
Syamsuddin Al Sumantrani, Tarekat Khalwatiyah dan Tarekat Naqsabandiyah
32
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara.
(Solo, Penerbit Ramadhani. 1980), h. 85. 33
Soebardi, S. The Book of Cabolek. (Leiden, The Hague-Martinus Nijhoff. 1975), h.
26. 34
Steenbrink, K.A, Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia Abad ke-19. (Jakarta,
Penerbit Bulan Bintang. 1984), h. 174.
Page 38
29
oleh Syekh Yusuf Makassar, Tarekat Samaniyah oleh Syekh Abdus Samad Al
Falimbani dan Syekh Muhammad Nafis Al Banjari. Pemurnian ajaran tasawuf
dengan cara menghilangkan pandangan wahdatul wujud dan menekankan
pentingnya syariat baru terjadi pada abad ke-19 melalui tokoh-tokoh sufi yang
juga berasal dari Indonesia sendiri setelah mereka kembali dari mencari ilmu di
pusat Islam yakni Saudi Arabia35
.
Ada tiga ulama tarekat terpenting dalam kaitannya dengan pemurnian
ajaran tasawuf pada abad ke-19 di Indonesia yaitu Syekh Ismail Al Khalidi Al
Minangkabawi, Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi, dan Syekh Ahmad
Khatib As Sambasi. Tarekat yang dikembangkan oleh ketiga ulama sufi ini
adalah Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, Tarekat Naqsabandiyah
Muzhariyah, dan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketiga aliran tarekat
inilah yang dewasa ini memiliki penganut paling besar dibanding dengan
Tarekat rifaiyah, Tarekat Samaniyah, Tarekat Syatariyah, Tarekat Tijaniyah,
Tarekat Alawiyah, Tarekat Syaziliyah, dan lain-lainnya.
Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi adalah pelopor Tarekat
Khalidiyah Naqsabandiyah di Minangkabau khususnya dan pada umumnya di
Indonesia yang telah banyak mengadakan perubahan metode dalam tasawuf.
Dengan munculnya tarekat ini kemasyhuran Tarekat Syatariyah di Sumatra
Barat yang bersumber dari ajaran Syekh Burhanuddin Ulakan menjadi
berkurang. Perubahan ajaran Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah adalah
tentang kesaksian tunggal (Wahdatus Syuhud) dan menentang ajaran
(Wahdatul Wujud) yang bersumber pada ajaran Syekh Abu Mansur Al Hallaj
dan Syekh Muhyiddin Ibnu Al Arabi36
. Syekh Ismail Al Khalidi Al
Minangkabawi setelah belajar di daearahnya kemudian melanjutkan
pelajarannya ke Makkah dan berguru dengan Syekh Khalid Al Kurdi seorang
pembaharu Tarekat Naqsabandiyah.37
Pada tahun 1850-an, beberapa orang
35
Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa.
(Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI. 2006), h. 65. 36
Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau. (Jakarta, Penerbit Bhatara Masa Kini. 1970), h.
164. 37
Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah
Khalidiyah. (Solo, Penerbit Ramadhani. 1985), h. 17.
Page 39
30
Nusantara mulai menyebarkan tarekat ini di Jawa dan Sumatera38
. Dan sejak
itu pula di beberapa daerah di Indonesia Tarekat Syatariyah diganti dengan
Naqsabandiyah wa Qadiriyah.39
Cabang dari Tarekat Naqsabandiyah lainnya adalah Tarekat
Muzhariyah. Tarekat ini di syiarkan oleh Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi.
Mujahid atau pembaharu dari tarekat ini adalah Syekh Muhammad Muzhar Al
Ahmadi. Pengaruh cabang Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah di Indonesia
meliputi daerah Riau, Pontianak, dan Madura. Tokoh penyiar Tarekat
Naqsabandiyah di Madura adalah Syekh Abdul Azim Al Manduri. Puncak
perkembangan tarekat ini dicapai setelah KH. Fatul Bari Al Manduri
menyiarkannya kepada orang awam yang diikuti oleh muridnya bernama Sayid
Muhsin Al Hinduan yang meyebarkan mulai dari Madura, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan40
. Di Jawa Tengah, Tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah juga berkembang dengan cepat pada masa ini. Di
antara tokoh utama penyiar tarekat ini adalah Syekh Muhammad Al Hadi,
Girikusumo, di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Dewasa ini mursyid Tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah di Jawa Tengah (Kudus, Rembang, Pati, Surakarta)
menyandarkan sanad atau silsilah pada Syekh Muhammad Al Hadi. Dengan
demikian keterangan Zamakhsari Dhofir41
bahwa Kyai Baedhawi, Kyai
Maksum (keduanya dari Lasem, Rembang) dan Kyai Hafidh (Rembang), Kyai
Arwani (Kudus), Kyai Muslih (Mranggen-Demak), dan Kyai Adlan Ali dari
Tebuireng (Jombang) sebagai pimpinan Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah
adalah kurang teliti. Kyai Baedhawi sebenarnya menganut Tarekat Syaziliyah.
Kyai Hafidh dan Kyai Arwani adalah penganut/ pimpinan Tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah yang berasal dari Syekh Muhammad Al Hadi
38
Bruinessen, M.V, “Bukankah Orang Kurdi yang Mengislamkan Indonesia”. Dalam
Pesantren No. 4/Vol. IV/1987. (Jakarta, Penerbit P3M. 1987), h. 51. 39
Steenbrink, K.A, Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia Abad ke-19. (Jakarta,
Penerbit Bulan Bintang. 1984), h. 174. 40
Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat Naqsabandiyah
Khalidiyah. (Solo, Penerbit Ramadhani. 1985), h. 6-7. 41
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
(Jakarta, Penerbit LP3ES. 1982), h. 144.
Page 40
31
Mranggen. Sedangkan Kyai Muslih dan Kyai Adlan Ali memang benar sebagai
pimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.42
Pada pertengahan abad ke-19, seorang ulama dari Kalimantan
mengajarkan Tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Tarekat
Naqsabandiyah sebagai kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Tarekat
Qadiriyah wan Naqsabandiyah . Syekh Ahmad Khatib As Sambasi adalah
pembaharu atau pencetus kedua tarekat tersebut. Setelah Ahmad Khatib
Sambas meninggal dunia (1878 M) kepemimpinannya dilanjutkan oleh para
muridnya yaitu: Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Talhah Cirebon, dan Kyai
Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura. Dari tiga muridnya Ahmad Khatib
tersebut, Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad Madura menurunkan kepada
murid-muridnya di Jawa Timur seperti Kyai Ramli, ayah Kyai Mustain Ramli.
Di Jawa Tengah, Kyai Muslih mengambil silsilahnya kepada Syekh Abdul
Karim Banten. Di Jawa Barat, Abah Anom (Suryalaya) mengambil silsilah dari
jalur Kyai Talhah Cirebon, begitu juga dengan Kyai Thahir Falak
(Pagentongan, Bogor). Cabang-cabang Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah
tersebut yang terbesar dan yang paling berpengaruh adalah Abah Anom (KH.
A. Shahibulwafa Tajul „Arifin) di Suryalaya karena sistem pengobatan
narkotika melalui zikir (sufi healing).43
Selain Abah Anom, Kyai Muslih
(Mranggen) yang mengambil silsilah melalui jalur Kyai Abdul Karim Banten
juga merupakan tokoh besar dalam tarekat ini dan sekaligus sebagai perintis
berdirinya organisasi tarekat secara nasional yang disebut “Jamiyah Ahli
Tharekat Mutabaroh An Nahdliyah”.
Sampai saat ini di Asia Tenggara menjadi jamaah paling besar dan
paling subur perkembangnya. Di Indonesia, tercatat ada bermacam-macam
tarekat dan organisasi yang mirip tarekat. Beberapa di antaranya hanya sebagai
tarekat lokal yang berdasarkan pada ajaran-ajaran dan amalan-amalan guru
42 Syafi‟i, Ahmad, Tangkulan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa.
(Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI, 2006), h. 67. 43
Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India,
Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur‟an Vol.2 No. 2, (Jakarta, Penerbit Lembaga
Studi Agama dan Filsafat. 1989), h. 74-75.
Page 41
32
tertentu. Tarekat lainnya, biasanya yang lebih besar, sebetulnya merupakan
cabang-cabang dari gerakan Sufi internasional, misalnya Khalwatiyah
(Sulawesi Selatan), Syattariyah (Sumatera Barat dan Jawa), Qadiriyah,
Rifa‟iyah, Idrisiyah atau Ahmadiyah, Tijaniyah dan yang paling besar adalah
Naqsyabandiyah. Terdapat 45 Thariqah Mu‟tabarah dan Berstandar di
Lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu: 1) Abbasiyah2) Ahmadiyah , 3)
Akbariyah, 4 Alawiyah, 5) Baerumiyah, 6) Bakdasyiyah, 7) Bakriyah, 8)
Bayumiyah, 9) Buhuriyah, 10) Dasuqiyah, 11) Ghozaliyah, 12) Ghoibiyah, 13)
Haddadiyah, 14) Hamzawiyah, 15) Idrisiyah, 16) Idrusiyah, 17) ISawiyah, 18)
Jalwatiyah, 19) Junaidiyah, 20) Justiyah, 21) Khodliriyah, 22) Kholidiyah Wan
Naqsyabandiyah, 23) Kholwatiyah, 24) Kubrowiyah, 25) Madbuliyah, 26)
Malamiyah , 27) Maulawiyah, 28) Qadiriyah Wan Naqsyabandiyah, 29)
Rifa‟iyah, 30) Rumiyah, 31) Sa‟diyah, 32) Samaniyah, 33) Sumbuliyah, 34)
Syadzaliyah, 35) Sya‟baniyah, 36) Syathoriyah, 37) Syuhrowiyah, 38)
Tijaniyah, 39) Umariyah, 40) Usyaqiyah, 41) Usmaniyah, 42) Uwaisiyah, 43)
Zainiyah, 44) Mulazamatu Qira‟atul Qur‟an, 45) Mulazamatu Qira‟atul Kutub.
Semua tarekat ini mempunyai hubungan salasilah yang bertawasul dengan
segala salasilah guru mursid (masyayikh) ahlus shufi hingga sampai kepada
Rasulullah S.A.W. dengan dibai‟atkan atau ditalkinkan dari para guru mursyid
yang masuk dalam rantai salasilah Ahli Tarekat TaSawuf Ahlus Shufi yang
bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah S.A.W.44
44
Farhan, “Islam dan Tasawuf di Indonesia” dalam Jurnal Esoterik; Jurnal Akhlak dan
Tasawuf Vol. 2 No. 1. (Kudus: STAIN Kudus, 2016), h. 20-21.
Page 42
33
BAB III
TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH
A. Biografi Pendiri Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah didirikan oleh Mursyid bernama Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Gelar „Tuangku” merupakan penghormatan
yang setara dengan Tuanku, yaitu sebutan atau panggilan kepada orang mulia.1
Qodiriyah diambil dari mursyid utama yakni Syaikh Abdul Qodir al-Jilani,
sedangkan Hanafiyah diambil dari pendirinya yakni Tuangku Syaikh Muhammad
Ali Hanafiyah.2 Tuangku diminta untuk mendirikan tarekat sesuai keinginannya,
akan tetapi beliau menghormati gurunya, yakni Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
sehingga tetap menempatkan nama Qodiriyah sebagai aliran tarekatnya. 3
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Al-Kutub lahir pada 2 April
tahun 1978. Lahir dari pasangan Sudirman Anwar dan Lisda Ghalib berasal dari
Padang. Ayahnya merupakan seorang pegawai di Kantor Gubernur Sumatera
Barat. Garis keturunan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah terhubung
dengan Rasulullah s.a.w melalui Kakeknya bernaman Ibrahim Ibn Ahmad
Kuwat.4
Kehidupan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah sejak kecil
mengikuti ayahnya. Ayahnya sendiri sering bolak-balik Jakarta-Padang sebagai
pekerja Lembaga Administrasi Negara (LAN). kemudian ke Solok, terakhir
kembali lagi ke Padang. Keikutsertaannya hingga Tuangku berumur 12 tahun atau
bertepatan dengan kelas VI SD sekaligus bertepatan dengan kematian ayahnya di
1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Kemendikbud, 2007), h. 1145. 2 Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu
Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al-Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah ini dikenal
luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu
keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Lihat dalam Sri Mulyati Dkk, h. 34 3 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman
Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani, (Tangerang Selatan: Rabbani Press
2015), h. 8. 4 Zubair & Andang, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 3.
Page 43
34
umur 40 tahun.5 Sepeninggal Ayahnya, Tuangku menjalani kehidupan dengan
berbagai tantangan dan keresahan sehingga mengantarkannya ke dalam perjalanan
spiritualnya dengan berbagai kejadian yang aneh.
Kejadian aneh yang dimaksud berhubungan dengan kondisi spiritualnya.
Sebagaimana kejadian pada saat Tuangku berumur 12 tahun atau pasca
sepeninggal ayahnya, Tuangku kerap mengalami kegelisahan yang luar biasa.
Puncaknya Tuangku semakin merasa ragu akan keberadaan Tuhan. Suatu ketika
Tuangku akhirnya keluar rumah dan berteriak keras mengucapkan “Jika memang
Engkau ada, maka tunjukkanlah keberadaan-Mu malam ini! Apabila Engkau tidak
menunjukkan diri-Mu maka mulai malam ini, Saya tidak akan pernah lagi percaya
kepada-Mu!” Pada ketika itu juga, Allah menjawab tantangannya dengan sebuat
kilat bertuliskan lafadz Jalalah dalam bahasa Arab yang sangat terang walaupun
tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sejak malam itulah, Sultan Auliya yaitu
Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani selalu datang secara Ruhaniah memberikan
bimbingan kepadanya.6
Kejadian selanjutnya terjadi pada saat Tuangku berumur 17 tahun atau saat
menginjak pendidikannya di STM Kota Padang. Saat itu mulai turun Kalam Ilham
Ilahi. Ia menulisnya kemudian diperlihatkan kepada salah seorang sahabatnya
yaitu Zulkifli Zukma atau yang sekarang akrab dipanggil Buya Zul, mahasiswa
IAIN Imam Bonjol Padang.7 Dalam perjalanan spritualnya, Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah sering mengalami peristiwa-peristiwa di luar nalar
manusia, di antaranya beliau telah mengalami mati suri lebih dari tujuh kali,
bahkan sempat dikubur selama tiga hari dua malam dan sampai saat ini bekas
kuburannya dijaga dan bekas pakaiannya disimpan oleh murid-muridnya Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah.
Pada tahun 2002, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menikah
dengan wanita berdarah Jawa dan Minang yang akrab dipanggil Ummi Ridha
serta dikaruniai tiga orang putra, yaitu: Muhammad Isa Rabbani, Muhammad
5 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah (Pelepas Dahaga
bagi Hamba Pencari Tuhan), (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002), h. 22. 6 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 6.
7 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 24.
Page 44
35
Dawud Rabbani, dan Muhammad Ibrahim Rabbani, dan satu orang putri yang
meninggal dunia pada usia 2 tahun bernama Az-Zahra Putri Ar-Ridha.8
Perjalanan kehidupan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
selanjtunya adalah mengembangkan ajaran tasawuf yang telah diterimanya secara
langsung melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Kemudian pada tahun 2000,
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mendirikan Tasawuf Islamic Centre
Indonesia (TICI) yang kini berpusat di Jakarta. Di tahun 20029, Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah juga membangun Pondok Pesantren Tasawuf Rabbani
di Solok Sumatera Barat, sebagai pusat latihan ruhani (riyadhah) bagi murid-
muridnya serta orang-orang yang tertarik belajar Tasawuf. Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah juga mendirikan berbagai macam usaha untuk
meningkatkan perekonomian ummat, baik di bidang jasa, penjualan, pertanian,
perkebunan, perternakan, pertambangan, yang semuanya dijalankan oleh murid-
muridnya Tuangku dengan satu tujuan yakni “Islam yang Bersatu dan Berbagi”.
Sejak tahun 2004, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah bolak-balik
ke Jakarta, khususnya wilayah lebak bulus Jakarta Selatan, untuk menyebarkan
Kalam Ilham Ilahi yang diterimanya. Kehadirannya di Jakarta merupakan inisiasi
dari Ahmad Rahman, Ahli Peneliti Utama pada Balitbang Kementerian Agama
RI. Kalam Ilham Ilahi yang dikumpulkan dari hasil penelitian tersebut, kemudian
diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Mizan Publika tahun 2004 dengan judul: Sastra
Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah.10
Selanjutnya,
buku tersebut diterbitkan ulang dengan beberapa penambahan oleh Penerbit
Rabani Press pada tahun 2011 dengan judul: Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan:
Hidangan Nurani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah11
, dan pada tahun
2012 diterbitkan dalam dua bahasa dengan judul: Inilah Aku: Hidangan Ruhani
Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah (Here I Am: The Innermost
8 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 4.
9 Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, h. 6.
10 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 9.
11 Ahmad Rahman, Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2011), h. 12.
Page 45
36
Inspiration)12
. Saat ini, Tarekat Qodiriyah Hanafiah sudah memiliki domisili
permanen di Komplek Masjid Rabbani, Perumahan Puspitaloka, Bumi Serpong
Damai, Kota Tangerang Selatan.
B. Riwayat Pendidikan
Tidak terlalu banyak penjelasan riwayat pendidikan Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah. Secara formal, Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah menjalani pendidikan di SD, SMP Hingga STM di Kota Padang. Sempat
beberapa kali masuk ke perguruan tinggi negeri akan tetapi tidak bisa dilanjutkan
atau tidak diselesaikan. Terdapat beberapa hal yang menjadikan Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah tidak bisa melanjutkan pendidikannnya di perguruan
tinggi, salah satu faktor utamanya adalah perjalanan spiritual berupa berkhalwat di
beberapa daerah sehingga tidak bisa mengikuti jadwal perkuliahan secara
sempurna.
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menjalani pendidikan di tingkat
dasar dengan berpindah-pindah. Hal ini dikarenakan Tuangku mengikuti
perjalanan ayahnya yang harus bolak-balik dari Padang, Jakarta, Solok dan ke
Padang. Namun akhirnya pendidikan SD nya diselesaikan di kota Padang. Di
tingkat selanjutnya, Tuangku menjalani pendidikan di tingkat SMP di kota
Padang. Terus berlanjut hingga tingkat SMA.
Pada tingkat pendidikan formalnya sangat erat dengan pendidikan umum.
Dalam hal ini Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah secara umum tidak
mengenyam pendidikan agama secara khusus. Akan tetapi Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah tidak secara khusus mendalami pendidikan agama, seperti pesantren.
Hanya mengikuti pendidikan agama di kampungnya. Maka sejak duduk di bangku
SMP, ia memilih sahabat yang baik dan teamn yang mau di ajak mendirikan
shalat, sambil ia berbincang-bincang dengan mereka tentang agama. Ia selalu
bermalam di Mushalla (Surau) dekat rumahnya, di Ampang Sumatera Barat. Di
Surau, ia belajar membaca Al-Quran, azan, dan ia pernah ditunjuk menjadi guru
12
Ahmad Rahman, Inilah AKU, Here I AM, Pencerahan Rohani bagi Pencari Tuhan,
Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2012), h. 7.
Page 46
37
Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), tetapi ia tidak pernah belajar dipesantren,
atau belajar agama pada seorang ulama.13
Dalam buku Buku Putih Kematian ditulis bahwa Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah sempat mengikuti pendidikan di IAIN Imam Bonjol,
Padang. Akan tetapi pendidikannya tidak bisa dilanjutkan karena Tuangku harus
mengikut perjalanan khalwat ke Pegunungan mendalami dunia spiritualnya. Hal
ini dikarenakan sejak Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menerima Kalam
Ilham Ilahi, Tuangku lebih mendalami perjalanan spiritualnya daripada
pendidikan formalnya. Salah satu tarekat yang diikutinya adalah Tarekat yang
berada di Malaysia. Sejak saat itu Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah terus
mendalami dunia spiritual daripada pendidikan formalnya.14
C. Sejarah Berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
Latar belakang berdirinya Tarekat Qodiriyah Hanafiah berhubungan erat
dengan beberapa kejadian luar biasa yang dialami oleh Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah. Berawal dari keraguan sekaligus keingintahuannya
terhadap hal-hal ketuhanan, pada saat menginjak SMP, Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah menantang keberadaan Tuhan. Tantangan tersebut
kemudian direspon dengan jawaban berupa sambaran kilat yang membentuk
lafadz jalalah atau lafadz Allah. Semenjak kejadian itu, Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah sering didatangi Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani untuk diajari ilmu
tasawuf secara bathiniyah. 15
Keberadaan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sebagai
mursyid merupakan pengukuhan utama Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah dalam menjalani dunia tasawuf maupun tarekat.
Puncak pendidikan spiritualitasnya adalah ketika Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah menerima Kalam Ilhma Ilahi. Setelah penerimaan
Kalam Ilham Ilahi tersebut kemudian Tuangku menulis dan disebarkan kepada
beberapa teman-temannya. Ahmad Rahman selaku peneliti di Kementerian
Agama menegaskan bahwa Kalam Ilham Ilahi merupakan hidangan tasawuf yang
13
Ahmad Rahman, Kalam Ilham Ilahi, h. 24. 14
Zubair Ahmad & Andang B Malla, Buku Putih Kematian, h. 18. 15
Zubair Ahmad & Andang B Malla, Buku Putih Kematian, h. 6.
Page 47
38
memiliki makna mendalam serta berbeda dengan tarekat lainnya. Dengan kata
lain, Kalam Ilham Ilahi memiliki keistimewaan dibanding syair-syair sufistik
lainnya.16
Pada saat mulai turunya Kalam Ilham Ilahi, Ia menulisnya kemudian
diperlihatkan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Zulkifli Zukma, mahasiswa
IAIN Imam Bonjol Padang. Kemudian Zulkifli Zukma membawa satu lembar dari
Kalam Ilham Ilahi itu ke IAIN Imam Bonjol, dan ia memperlihatkan kepada
teman-temannya. Menurut Zulkifli, mereka takjub sehingga muncullah beberapa
nama yang mereka berikan, seperti Kalam Ghaib, Kalam Sirr, dan Kalam Ilham
Ilahi (adalah nama terakhir yang sekarang dipakai).17
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga melakukan bai’at secara
dzahir kepada Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil Al Naqsyabandi ketika
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mengambil baiat secara ruhani
kepadanya di rumah Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdur Razak tahun 2006.
Pembaiatan itu sendiri disaksikan secara ruhaniah oleh Syaikh Hisyam Kabbani,
menantu dan pelanjut kemursyidan Tarekat Naqsyabandiyah Nazhimiyah. Selain
tarekat Qodiriyah, Syekh Nazhim juga mengijazahkan tiga tarekat lainnya kepada
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, yaitu Tarekat Naqsyabandiayah,
Tarekat Alawiyah, dan Tarekat Nazhimiyah. Namun, tarekat Qodiriyahlah yang
diamanahkan Syaikh Nazhim kepada Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
untuk diajarkan kepada jamaahnya yaitu jama‟ah Tarekat Qodiriyah Hanafiah.
Adapun secara dzahir Tarekat Qodiriyah Hanafiah berhubungan secara
ruhaniah dengan guru-guru yang membai‟at Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah, seperti Naqasabandi, Maulawiyah, Alawiyah, maupun Tarekat
Syatariah. Adapun secara rinci sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Zubair
16
Ahmad Rahman, Kalam Ihlam Ilahi, h. 7. 17
Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 24.
Page 48
39
Ahmad tentang 26 peniri tarekat yang telah terhubungkan secara ruhaniah dengan
Tarekat Qodiriyah Hanafiah.18
Salah satu kualifikasi tarekat adalah adanya sanad atau silsilah. Sanad
merupakan mata rantai yang menghubungkan ajaran tarekat terhubung kepada
Rasulullah. Dalam Tarekat, silsilah atau sanad merupakan elemen terpenting, hal
ini dikarenakan sanad menjadi acuan ajaran-ajaran dalam tarekat bisa dipastikan
berasal dari Rasulullah. Pengamalan ajaran tarekat itu dianggap penting sekali
urut-urutan nama para mashayikh atau guru yang telah mengajar dan
mengamalkan dasar-dasar tarekat itu secara turun temurun. Garis para mashayikh
atau keguruan yang turun temurun dari satu generasi ke satu generasi itulah yang
dinamakan sebagai silsilah atau sanad.19
Selain itu dari silsilah sanad tarekat
merupakan bagian yang menentukan tentang keabsaah atau tidaknya sebuah
tarekat. Selain itu, dalam keorganisasian tarekat terdapat term mu’tabarah atau
ghair mu’tabarah yang mengindikasikan atas otentik atau tidaknya silsilah sanad
tarekat.20
D. Ajaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
Secara umum ajaran atau amalan tarekat Qodiriyah Hanafiyah terbagi
menjadi tiga hal, yakni zikir atau mujahadah sebagai landasan spiritual,
berkhalwat sebagai latihan dan menerapkan kasih sayang sebagai buah atau
perilaku yang harus ditunjukkan dalam mengikuti Tarekat Qodiriyah Hanafiyah.
Berikut penjelasan umumnya:
1. Dzikir atau Mujahaddah.
Secara umum semua aliran Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid
sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan
untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
tarekat yang lain ke dalam tarekatnya.21
Tidak berbeda dengan ajaran dan amalan
18
Zubair Ahmad & Andang B Malla, BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah Pengalaman
Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani, (Tangerang Selatan: Rabbani Press
2015), h. 11. 19
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1992), h. 29. 20
Sri Mulyati dkk, h. 32. 21
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Cet ke- 4), h. 256.
Page 49
40
utama dalam Tarekat Qodiriyah, yakni dzikir dengan mengucapkan asma Allah
secara jelas, Tarekat Qodiriyah Hanafiah pun memiliki amalan yang sama. Akan
tetapi perbedaannya adalah mujahaddah yang dilakukan pengikut Tarekat
Qodiriyah Hanafiah dilakukan di tempat yang sunyi.
Zikir merupakan landasan utama dalam penyampaian rasa. Sesungguhnya zikir itu
adalah tersambung ke rasa (rasa nurani), keadaan ini adalah suatu proses
menundukkan fikiran kedalam rasa nurani (rasa berTuhan) karena rasa itu adalah
tiada berhuruf, kata, atau kalimat, maka yang di harapkan adalah fikirannya saat
berzikir dapat mencapai/masuk kedalam rasa ini (hening), namun yang sering
terjadi adalah ketidak mampuan fikiran untuk diam, hening (masuk kedalam rasa
nurani/rasa berTuhan)22
Sebab kita selama ini lebih sering bergaul dengan alam
fikiran di dalam hati kita dari pada merasakan Dia di dalam hati kita. Untuk itu di
perlukan riyadhoh/latihan berzikir memfokuskan fikiran ini kedalam merasakan
rasa nurani/berTuhan, dengan metode-metode zikir dari guru mursyid.
Zikir akan membuahkan kebangkitan maqam-maqam tauhid. Zikir membuahkan
makrifat dan ahwal. Zikir adalah pohon yang akan berbuah kenikmatan. Semakin
besar pohonnya akan semakin lebat buahnya. Zikir adalah asal semua maqam dan
semua dasar bangunan. Zikir juga merupakan dinding yang didirikan di atas dasar
bangunan, dan zikir juga merupakan atap yang dipasang di atas dindingnya.
Seseorang tidak hidup tanpa zikir. Dan orang disebut lalai atau mati hanya karena
tidak berzikir. Menjadi jelas, zikir adalah seluruh bangunan, mulai dari dasar
bangunan sampai atap suatu bangunan23
.
Dalam prakteknya, ajaran dzikir Tarekat Qodiriyah Hanafiah dilakukan dengan
cara jamaah yang datang ke Majelis Rabbani Indonesia (MRI) pada umumnya
mengenakan pakaian putih-putih, mukenah putih, dan bagi jamaah laki-laki
mengenakan pakaian takwah berwah putih serta kopiah juga berwarna putih.
Suhardi menuturkan bahwa sebenarnya tidak ada persyaratan untuk mengenakan
pakaian serba putih, namun para jamaah merasa bahwa ketika ingin menghadap
22
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah” Tesis
Magister Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2018, h. 70. 23
Saifuddin Aman & Abdul Qadir Isa, Tasawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa &
Raga, (Jakarta, Penerbit Ruhama, 2014), h. 141.
Page 50
41
kepada Sang Pencipta hendaklah dengan hati yang bersih yang disimbolkan
dengan mengenakan pakai serba putih.24
2. Rasa Dekat
Ajaran mengenai rasa sebagai media pertama dalam menjalani spiritualitas. Rasa
dekat merupakan kedekatan manusia dengan Tuhan tidak bisa dikatakan jauh
ataupun dekat. Akan tetapi cukuplah Tuhan yang mengetahui keberadaan
manusia. Dekat tidak bisa dijabarkan oleh akal pikiran. Hanya rasa yang bisa
menjelaskannya. Adapun bentuk kedekatan ini dapat dibuktikan apabila tidak ada
lagi hijab (penghalang).
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah membagi rasa menjadi tiga, yaitu;
Rasa Jasmani (fisik), Rasa Ruhani (keadaan jiwa manusia), Rasa Nurani (rasa
berTuhan). Maka di dalam zikrullah tujuan awal seorang hamba adalah agar bisa
meRasakan rasa berTuhan dengan menundukkan fikirannya kedalam Rasa
berTuhan ini. Di dalam Zikir ini pun ada beberapa tingkatan; yaitu Ingat, Dekat,
Pandang, dan Cinta.25
Rasa dekat mustahil terbit dari akal seorang hamba apalagi
datang dari hawa nafsu. Rasa dekat lahir dari pemberian Allah sendiri, seorang
hamba tidak mampu menciptakan rasa dekat di dalam hati dan perasaannya
sendiri.
Rasa dekat dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiah merupakan ḥ al (kondisi atau
keadaan) yang berorientasi pada mahabbah atau cinta kepada Tuhan. Kedudukan
rasa dekat memiliki persamaan dengan Ma‟rifat, karena kedekatan merupakan
pemberian, hal tersebut maka sama halnya dengan kedudukan seseorang yang
telah mencapai ma‟rifat maka akan dibukakan pengetahuan dan segala keindahan
yang ada. Hal tersebut merupakan pemberian dari Tuhan secara langsung.
3. Penyaksian
Ajaran penyaksian atau kesaksian merupakan tahapan kelanjutan dari penjelasan
rasa maupun hati di atas. Penyaksian merupakan maqam yang diberikan Tuhan di
atas puncak segala rasa. Ketika keakuan diri sudah lenyap, rasa kepemilikin sudah
hilang terhadap segala sesuatu termasuk terhadap diri sendiri bahkan terhadap
kata “aku” sendiri, sehingga mencapai titik nol maka pada saat itulah terbuka tirai
24
Majelis Rabbani, “Tata Cara Dzikir”, diambil dari www.majelisrabbani.org diakses
pada 8 April 2019. 25
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 36.
Page 51
42
dan hijab yang di buka sendiri oleh Allah. Disaat di bukakan hijab maka pada saat
itulah sang hamba akan dapat menyaksikan keindahan Wajahnya Allah.
4. Mahabbah
Cinta atau mahabbah merupakan tingkatan selanjutnya yang bisa dirasakan
seseorang dalam mengikuti tarekat Qodiriyah Hanafiah. Dalam Kalam Sirnya
dijelaskan bahwa “tidak ada sesuatu yang dapat memalingkan „kedekatan‟ dan
„penyaksian‟ melainkan jika engkau jadikan keduanya sebagai sesuatu yang
dituju. Tidak ada kerugian dalam perjalanan seorang hamba yang menjadikan
„kecintaan‟ sebagai tujuan atas pendekatan dan menyaksikan Aku sebagai
kekasihnya.26
Konsep cinta tarekat Qodiriyah Hanafiah dapat dipahami sebagai berikut.
Mengetahui segala sesuatu tentang ke-Tuhanan haruslah menggunakan hati, atau
rasa sebagai bentuk pemahanan. Maka dalam proses pencarian kepada Tuhan
menggunakan rasa sebagai tumpuan perbuatannya. Catatan dari awal telah
dijelaskan bahwa hati merupakan tempat rasa, dan rasa bersumber dari nurani,
dimana nurani merupakan asal atau unsur ketuhanan. Dengan demikian perbuatan
dari hati adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat keilahiatan (ketuhanan). Maka
tatkala hati telah mengatur perbuatan kita menjadi perbuatan yang bernilai
ketuhanan, maka penyaksian akan diberikan oleh Tuhan kepada hamba tersebut.
Dengan kata lain, penyaksian juga membentuk kerinduan atau mengganti
perasaan hati sang hamba dengan cinta dan rindu di dalam hati hamba tersebut.
5. Khalwat (Menyepi)
Mujahaddah atau zikir yang dilakukan oleh Tarekat Qodiriyah Hanafiah
dilakukan ditempat sepi, dengan tidak membawa perbekalan duniawi. Secara
sederhana khalwat memiliki kemiripan dengan konsep zuhud dengan cara
berkhalwat.27
Akan tetapi yang perlu ditekankan dalam Tarekat Qodiriyah
Hanafiah adalah bentuk penjelasan mengenai meninggalkan dunia dimaknai
sebagai membedakan atau mengurai (memisahkan) antara urusan dunia dengan
urusan mendekatkan diri kepada Allah.
26
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 82. 27
Zuhud merupakan meninggalkan urusan duniawi, sedangkan khalwat adalah metode
dalam meninggalkan duniawi dengan cara menyepi dari tempat keramaian. Lihat Harun Nasution,
Mistisisme dalam Islam, h. 64.
Page 52
43
Khalwat memiliki makna ganda, yakni sebagai pelatihan spiritual sekaligus sikap
yang harus diwujudkan ketika mengikuti Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Khalwat
yang dilakukan bersamaan zikir merupakan latihan spiritualitas. Para pengikut
Tarekat akan diajak bermujahaddah di tempat yang sepi dari perkumpulan
manusia, seperti di bukit, atau hutan. Sedangkan khalwat sebagai sikap yang
diwujudkan adalah bersikap zuhud atau tidak mencintai keduniawian. Harus lebih
mengutamakan urusan kepada Allah daripada urusan ke duniawian.
E. Tingkatan Dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
Setelah menjadi murid biasanya perjalanan spiritual (suluk)nya sang murid
dimulai dengan mempelajari tasawuf. Berapa lama waktu yang ditentukan oleh
sang murid tidak ada ketentuan pasti, dan berhak mengajarkan ilmunya, semuanya
tergantung dari Sang Murid sendiri dalam menjalani beberapa tahapan
pengalaman spiritual (maqamat) hingga sampai pada pengetahuan tentang al-
haqiqat (kebenaran hakiki). Beberapa murid bisa saja menyelesaikan pelajaran
mistisnya dalam waktu singkat sebagian lainnya perlu waktu lama.Keluluasan
murid ditentukan sang Mursyid. Apabila sang murid telah dianggap lulus dalam
perjalanan spiritualnya dalam memahami hakikat, maka sang Mursyid akan
mengangkatnya sebagai penerus yang proses pengangkatannya biasanya diberikan
ijazah (otorisasi atau lisensi).28
28
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi danTasawuf, (Solo : Ramadhani, 1985), h.
121.
Page 53
44
BAB IV
PERKEMBANGAN TAREKAT QODIRIYAH HANAFIYAH DI
TANGERANG SELATAN
A. Masuknya TQH Ke Tangerang Selatan
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah berdiri sejak tahun 1995. Tarekat ini berdiri
pertama kali di daerah Solok, Padang, Sumatera Barat. Akan tetapi sejak tahun
2000an, keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah semakin menyebar luas. Tidak
hanya di daerah Indonesia, akan tetapi juga ke semanjung Asia Tenggara bahkan
ke seluruh dunia.
Adapun penyebarannya ke daerah Tangerang Selatan berhubungan dengan
keberadaan Kalam Ilham Ilahi atau Kalam Siri. Kehadirannya sejak Tuangku
berumur 17 Tahun dan setelah menjalani pendidikan Ruhaniyah kepada Syaikh
Abdul Qodir al-Jilani. Dalam perkembangan selanjutnya, Kalam Siri tersebut
diperkenalkan kepada sahabat dekatnya, hingga akhirnya Kalam Siri tersebut
sampai ke Litbang Kementerian Agama RI. Kejadian ini menjadi catatan
kemunculan dan perkembagnan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang
Selatan.
Keberadaan Kalam Ilham Ilahi diminati oleh Ahmad Rahman, selaku
peneliti di Balitbang Kementerian Agama RI. Kalam Ilham Ilahi dianggap sebagai
hidangan ruhani bagi para pencari Tuhan. Secara personal, Ahmad Rahman
menyebut sebagai pemurnian ajaran tasawuf, terutama dalam salah kaprah
memahami adanya kelompok wahdatul wujud. Menurutnya, paham wahdatul
wujud dalam dunia tasawuf adalah kekeliruan. Hal ini diketahui setelah Ahmad
Rahman ditegur secara langsung oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiyah.1 Keberadaan Kalam Ilham Ilahi tersebut kemudian dibukukan dengan
diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Mizan Publika tahun 2004 dengan judul: Sastra
Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah.2
1 Ahmad Rahman, “Kata Pengantar” dalam Menyap Rasa Para Pencari Tuhan, (Jakarta:
Penerbit Rabbani, 2011), h. xxii. 2 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah, Pelepas Dahaga
bagi Hamba Pencari Tuhan, (Tangerang Selatan: Rabbani Press 2002), h. 23.
Page 54
45
Poin penting dalam kehadiran Kalam Ilham Ilahi dan Ahmad Rahman
adalah adanya pertemuan atau kunjungan rutin Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah ke Jakarta. Kehadiran Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
menjadi faktor penentu penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di daerah
Jakarta. Kemudian memilih Masjid Rabbani, di BSD sebagai pusat gerakannya.
Sejak tahun 2004, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah bolak-balik ke
Jakarta, khususnya wilayah lebak bulus Jakarta Selatan, untuk menyebarkan
Kalam Ilham Ilahi yang diterimanya.3
Model perkembangan ini pada prinsipnya sebagaimana bentuk penyebaran
secara doktrinal. Sebagaimana awal berdirinya tarekat ini, Sebagaiama diketahui,
Tarekat Qodiriyah Hanafiah resmi berdiri di tahun 1995, akan tetapi semenjak
tahun 1993 Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah telah aktif memberikan
kajian ketarekatan, bahkan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah telah
memiliki beberapa murid.
Prosesi masuknya Tarekat Qodiriyah Hanafiyah ke daerah Tangerang
Selatan secara umum dijelaskan dalam kedatangannya ke Jakarta. Meski
demikian, darerah sebarannya meliputi Lebak Bulus, Pondok Indah, Masjid
Fatullah dan Masjid Rabbani di BSD, Tangerang Selatan. Kehadiran Tuangku ke
Jakarta secara tidak langsung terdapat dua misi sekaligus, menyebarkan ajaran
tarekatnya sekaligus memenuhi undangan Ahmad Rahman dalam rangka
penelitiannya terkait tasawuf.
Salah satu strategi yang diterapkannya adalah dengan membuka kajian-
kajian seputar tasawuf di masjid-masjid. Adapun daerah yang dibuka kajian
seputar tasawufnya adalah seperti Majelis Rabbani Indonesia (MRI) maupun
Tasawuf Islamic Center Indonesia (TICI) yang bertempat di Masjid Baitul Ihsan,
BSD Tangerang Selatan.4
Organisasi tersebut secara umum merupakan lembaga yang berada di
bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah. Secara khusus
3 Ahmad Rahman, KALAM ILHAM ILAHI, h. 26.
4 Radhi Islami, “Sejaran dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah”, Tesis
Magister Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2017, h. 81.
Page 55
46
sebagai lembaga formal dalam rangka mengembangkan dan menyebarluaskan
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Sebagaimana Majelis Rabbani Indonesia
merupakan perkembangan dari Majlis Al-Dzikri Indonesia (MAI) yang di dirikan
oleh Tuanku Syeikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 1994, kemudian pada
bulan mei 2003 namanya berubah menjadi Majlis Rabbani Indonesia (MRI). MRI
merupakan lembaga yang membuat beberapa program terkait Tarekat Qadiriyah
Hanafiah. Kegiatan majlis ini, saat ini dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani
Solok, Sumatra Barat dan di Masjid Rabbani BSD.5
Adapun bentuk kajiannya meliputi kajian tafsir Jalalain, Dzikir dan
Muhasabah, hingga Tawajjuh. Kajian Tafsir Jalalain diadakan di Masjid
Baiturrahman, Ciputat, dan Masjid Ar-Rabbani di BSD. Pelaksanaannya adalah di
Masjid Baiturrahman diadakan pada setiap sabtu pagi. Sedangkan di Masjid Ar-
Rabbani setiap rabu ke II dan IV setiap bulannya. Agenda Zikir dan Muhasabbah
dilakukan di dua tempat, yakni Masjid Rabbani di BSD dan Masjid Fathullah,
UIN Jakarta. Sedangkan Tawajjuh diadakan di Masjid Rabbani BSD.6
Daerah tersebut menjadi tempat penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
di Tangerang Selatan. Di antara semua agenda di atas, Masjid Rabbani lah sebagai
tempat yang paling banyak diagendakan. Hal ini dikarenakan pusat gerakan
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan berpusat di Masjid Rabbani
yang terletak di BSD. Tidak hanya untuk di daerah Tangerang Selatan, akan tetapi
juga untuk daerah Jakarta dan sekitarnya.
Secara umum penanggungjawab pembimbing agenda di atas adalah
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, selaku mursyid utama tarekat
Qodiriyah Hanafiyah. Akan tetapi, beberapa agenda juga diserahkan kepada
muridnya untuk mengisi kajian maupun dzikir. Hal ini menjadi strategi
penyebaran tarekat Qodiriyah Hanafiyah melalui para pengikutnya
Untuk daerah Tangerang Selatan secara praktis diserahkan kepada orang-
orang yang berdomisili atau orang yang memiliki rutinitas di daerah tersebut.
Sebagaimana Zubair Ahmad dipercaya untuk menjadi pembimbing Kajian Tafsir
5 Radhi Islami, “Sejaran dan Perkembangan”, h. 87.
6 Diambil dari www.majelisrabbani.org. Diakses pada 27 April 2019.
Page 56
47
Jalalain di Ciputat. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran adanya
penyesuaian antara domisili (baik aktifitas pekerjaan atau tempat tinggal) dengan
daerah sebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Atau dengan kata lain
memanfaatkan para pengikutnya dalam menyebarkan tarekat Qodiriyah
Hanafiyah.7
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masuknya Tarekat
Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan berhubungan dengan penelitian
pembukuan Kalam Ilham Ilahi Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah.
Selain persoalan pempublikasian Ilham tersebut tersirat adanya penyebaran
Tarekat Qodiriyah secara tidak langsung. Perjalanan bolak-balik Jakarta-Padang
sekaligus membuka kajian ketasawuffan yang berpusat di BSD, Tangerang
Selatan. Dengan dimulainya kajian-kajian ketasawufan di sekitar Tangerang
Selatan inilah menjadi titik poin dalam menjelaskan masuk dan berkembangnya
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan.
Keberadan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah diminati oleh akademisi maupun
masyarakat pegiat tasawuf di Tangerang Selatan. Jika dilihat dari beberapa murid-
muridnya adalah civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berada
di Tangerang Selatan. Hal ini mendukung penyebaran dan perkembangan Tarekat
Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan.
B. Majelis Rabbani Indonesia
Majlis Rabbani Indonesia (MRI) merupakan organisasi bernama Majlis
Al-Dzikri Indonesia (MAI) yang di dirikan oleh Tuanku Syeikh Muhammad Ali
Hanafiah pada tahun 1994, kemudian pada bulan mei 2003 namanya berubah
menjadi Majlis Rabbani Indonesia (MRI). MRI merupakan lembaga yang
membuat beberapa program terkait Tarekat Qadiriyah Hanafiah. Kegiatan majlis
ini, saat ini dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani Solok, Sumatra Barat dan di
Masjid Rabbani BSD.8 Adapun tujuan utama MRI adalah mengembangan dakwah
Islamiyah, menghidupkan kembali nilai-nilai zikir, meningkatkan pemahaman
7 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 83.
8 Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 85.
Page 57
48
umat Islam terhadap tauhid, mendorong terbentuknya umat yang beristiqomah dan
meningkaatkan rasa ukhuwah Islamiyah.
Dakwah yang dilakukan oleh MRI bertujuan pada prinsip diutusnya Nabi,
yaitu sebagai rahmat kepada seluruh alam. Secara sederhana tujuan dakwah dari
MRI adalah menciptkan kedamaian bagi seluruh umat manusia. Kedamaian itu
tentu saja hanya dapat terwujud jikalau manusia memosisikan dirinya sebagai
hamba yang menjadikan hidupnya sebagai pengabdian karena cinta kepada
Allah.9
Majelis Rabbani Indonesia atau MRI memiliki program pendidikan,
dakwah dan penerbitan. Keseluruhannya sebagai penunjang organisasi MRI dan
pada akhirnya berdampak pada perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah.
Dalam progam pendidikan, MRI di Tangerang Selatan memiliki Sufi International
Institute. Institute ini didirikan pada tahun 2015 di Pusat Perdagangan BSD City,
Kota Tangerang Selatan.Lembaga ini merupakan pusat pengkajian tasawuf dan
kesufian yang bertaraf internasional.Lembaga ini diproyeksikan untuk menjadi
Sekolah Pascasarjana Sufi untuk menampung para pengkaji tasawuf di seluruh
dunia.
Selanjutnya, pada program pendidikan MRI memiliki Sufi Healing, yaitu
pelatihan penyaluran Energi Kenyamanan Hati (EKH) itu diolah dengan cara
meditasi sufi (Dzikir dan Tafakur) lewat bimbingan para trainer Sufi dan Guru
Besar Sufi. Sufi Healing bertujuan untuk menemukan kenyamanan hati dan
ketenangan jiwa. Penyembuhan metode Sufi healing lewat bimbingan trainer
adalah sebagai jembatan antar alam fisik dengan alam ruh (hati nurani). Apapun
penyakit mental dan fisik, maka obat penawar yang harus diminum adalah Energi
Kenyaman Hati (EKH) yang secara otomatis akan disaluri energy Ketuhanan.
Selain itu, Peningkatan kesadaran spiritual. Peserta akan dibimbing untuk
mengenal diri sejatinya termasuk potensi dan visi pribadinya serta Tuhannya.
Dengan demikian peserta akan mampu menjalani kehidupan yang selaras dengan
kehendakNya sehingga meraih kebahagiaan sejati. 2) Keseimbangan hidup (life
9 Majelis Rabbani Indonesia, “Sejarah MRI”, diakses dari www.majelisrabbani.org
diakses pada 27 April 2019.
Page 58
49
balance). Peserta akan diajarkan bagaimana cara untuk menyelaraskan tubuh,
pikiran dan hati sehingga tercapai keseimbangan dan ketenteraman bathin serta
semangat dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.10
Program Publikasi dan Penerbitan, mencakup menerbitkan beberapa buku,
majalah, bulletin, dan module pelatihan melalui Penerbit Rabbani Press. Beberapa
hasil publikasi dan terbitan MRI seperti Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Mizan
Publika tahun 2004. Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan: Hidangan Nurani
Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiyah oleh Penerbit Rabbani Press tahun
2011. Inilah Aku: Hidangan Ruhani (Here I Am: the innermost inspiration) oleh
Penerbit Rabbani Press tahun 2012. Adapun majalah yang diterbitkannya adalah
Majalah Spiritual Islam diterbitkan berkala setiap setahun sekali.11
C. Tasawuf Islamic Centre Indonesia
Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) merupakan pusat pengkajian dan
pengembangan tasawuf serta wadah komunikasi bagi organisasi ummat Islam,
khususnya para pengkaji dan pengamal tasawuf di Indonesia. Lembaga ini berdiri
sejak tahun 2002. Tasawuf Islamic Centre Indonesia (TICI) adalah lembaga
nirlaba yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai oleh Prof. Dr. Muhammad
Bambang Pranowo, MA. TICI memiliki cabang di Sumatera, Jawa, Sulawesi,
Singapura, dan Malaysia.12
Dalam sejarahnya, TICI sebenarnya telah berdiri
sejak tahun 2000 di bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
yang diemban oleh Kepala Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat.13
Visi dibentuknya TICI adalah menjadi lembaga terdepan di bidang kajian
dan pengembangan tasawuf serta dakwah kepada jalan Allah dengan hikmah dan
mauidzhoh hasanah, dialog bermartabat, & keteladanan menuju mardatillah.
Sedangkan misinya terdiri dari tiga poin, yaitu: Menyelenggarakan kajian tasawuf
10
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 88. 11
Majelis Rabbani Indonesia, “Sejarah MRI”, diakses dari www.majelisrabbani.org
diakses pada 27 April 2019. 12
Zubair Ahmad, “Sejarah Tasawuf Islamic Centre (TICI)” dalam Majelis Rabbani
Indonesia, diambil dari www.majelisrabbani.org. Diakses pada 27 April 2019. 13
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 84.
Page 59
50
dalam berbagai aliran; Melakukan riset di bidang tasawuf untuk kemajuan umat
Islam dan Melakukan dakwah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Adapun tujuan didirikannya TICI adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman yang benar tentang aspek tasawuf atau ihsan
sebagai bagian dari komponen agama yang tak terpisahkan dari aspek
islam dan iman.
2. Menggali nilai-nilai spiritual dan tradisi perjalanan spiritual para auliya
sebagai pelajaran keteladanan dalam menjalankan agama Islam.
3. Mengembangkan dakwah Islam berdasarkan prinsip hikmat
kebijaksanaan, mauizhah hasanah persuasif keteladanan, dan dialog
yang mengedepankan adab dan kebenaran.
Adapun hubungannya dengan penyebaranTarekat Qadiriyah Hanafiah
adalah TICI berperan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
ajaran Tarekat Qadiriyah Hanafiah seperti kajian keagamaan dan zikir. Adapun
penyebarannya terdapat di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia, Masjid Fathullah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masjid Raya Bintaro Jaya Jakarta14
D. Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI)
DUTI merupakan wadah dan fasilitator yang membantu para
Syekh/mursyid tarekat dalam melaksanakan tugas kemursyidan dan dakwah.
Dewan Ulama Thariqah Indonesia disingkat DUTI berdiri dengan Akta pendirian
Nomor 02 tanggal 11 Agustus 2016. Pusat DUTI saat ini berada di Serpong, Kota
Tangerang Selatan dan memiliki cabang di beberapa propinsi seluruh Indonesia.
Beberapa provinsi juga telah berhimpun di antaranya Sumatera Utara, Riau,
Banten, dan DKI Jakarta.15
Keberadaan DUTI telah sah secara legal formal dengan diterbitkannya
Akta pendirian Nomor 02 tanggal 11 Agustus 2016. DUTI juga telah
mendapatkan pengesahan pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Hukum
14
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan”, h. 85. 15
Zubair Ahmad, “Sejarah Berdirinya Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI)” diambil
dari www.majelisrabbani.org 27 April 2019.
Page 60
51
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
0071646.AH.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum
Perkumpulan Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI). Serta, kepengurusan
pusat DUTI telah terdaftar pada Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan
Masyarakat Kota Tangerang Selatan Nomor 220/SKT/KESBANGPOLINMAS/
2016.16
Tujuan dibentuknya Dewan Ulama Thariqah Indonesia adalah untuk
menjadi wadah bagi para mursyid di Indonesia untuk berhimpun, bersilaturahmi
dan menuangkan gagasan-gagasan dalam membina umat Islam dengan
pendekatan humanis, ukhuwah, dan spiritual melalui maksimalisasi peran ulama
thariqah di Indonesia. Adapun posisi para Syekh/Mursyid thariqah adalah selaku
anggota dewan mustasyar. Segala keputusan dan kebijakan menjadi kewenangan
para Syekh/Mursyid yang difasilitasi dan dilaksanakan oleh pengurus DUTI.17
Kehadiran DUTI diharapkan semua ulama tarekat secara bersama-sama
mengembangkan tarekat agar dapat dinikmati oleh semua umat Islam. DUTI
bertujuan meluruskan paham-paham yang dialamatkan kepada tarekat yang tidak
sesuai dengan ajaran pokok Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis. DUTI juga akan
mewakili para penganut tarekat untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada
pemerintah, terutama dalam penetapan suatu tarekat itu sesat atau lainnya.
Keberadaan DUTI adalah untuk memberikan rekomendasi dari para ulama tarekat
yang tergabung di DUTI ini.18
Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI) sejarahnya adalah diawali
dengan dibentuknya Persatuan Ulama Thariqah Indonesia (PUTI) oleh Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 2003, yang selanjutnya melalui
forum silaturahmi ulama thariqah pada tahun 2016 dikukuhkan dan dibentuklah
16
Radhi Islami, “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah”, h. 89. 17
Dewan Ulama Tarekat Indonesia, “Visi-Misi dan Tujuan” diambil dari laman resminya
di http://dewanulamathariqah.org/id/tentang-duti/sejarah-duti/ tanggal 27 April 2019. 18
Dewan Ulama Tarekat Indonesia, “Sejarah DUTI”, diambil dari laman resminya di
http://dewanulamathariqah.org/id/tentang-duti/sejarah-duti/ tanggal 27 April 2019.
Page 61
52
Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI) yang legalitasnya dikeluarkan oleh
Kemenkumham Repulik Indonesia pada bulan Agustus 2016.19
Penggagas utama DUTI tersebut adalah Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah. Dibantu oleh beberapa muridnya, seperti Ahmad Rahman, Bambang
Pranowo, serta Prof. Dr. Salmadanis, MA selaku ketua Jami’iyah Tarekat
Mu’tabarah Sumatera Barat mendeklarasikan agar semuat Mursyid tarekat
Sumatera Barat bersatu untuk menghidupkan kembali ajaran tarekat ini sebagai
solusi atas krisis spiritual umat Islam, khususnya di Sumatera Barat.20
Secara umum pengurus DUTI didominasi oleh pengikut Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah. Seperti Dewan Mutasyarnya adalah Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah. Selanjutnya, Ahmad Rahman dan Bambang Pranowo selaku muridnya
juga menjadi anggota Mutasyar DUTI. Kemudian di posisi Sekretaris Jenderal
diampu oleh Zubair Ahmad, yang juga bagian dari jama’ah Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah.21
Agenda yang dilakukan di antaranya adalah melakukan pertemuan ulama
tarekat se-Asean. Agenda tersebut sepenuhnya didukung oleh kementerian Agama
RI. Kegiatan tersebut diselenggarakan di Ponpes Tasawuf Rabbani, Desa Koto
Sani Kecamatan Sepuluh Koto Singkarak Kabupaten Solok Provinsi Sumatera
Barat pada 1 – 2 April 2017. Menurut Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
pertemuan ini merupakan perkembangan dari pertemuan sebelumnya yakni
pertemuan Ulama Tarekat se Sumatera Barat yang menghasilkan DUTI.
Tujuan yang ingin dicapai dalam acara Silaturahim Ulama Thariqah se-
ASEAN ini di antaranya: Merumuskan langkah dan aksi bersama dalam
membangun umat yang memiliki akidah yang kuar, pemikiran yang moderat, dan
santun dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Mempererat hubungan kasih
sayang di antara para ulama tarekat dan jamaah pengamal tarekat agar dapat
memberikan wajah Islam yang ramah. Mempromosikan karakter khas Islam
19
Transkip sambutan Zubair Ahmad dalam Silaturahim dan Mudzakarah Ulama Thariqah
Se-ASEAN pada tanggal 1-2 April 2017 di Pondok Pesantren Tasawuf Rabbani, Solok Sumatera
Barat. 20
Radhie Islami, “Sejarah dan Perkembangan Tarekat”, h. 89. 21
Kepengurusan DUTI,
Page 62
53
Indonesia yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam agar menjadi bingkai dalam
kehidupan sehari-hari. Menampilkan seni dan budaya Islam yang bernuansa
ilahiyah di Indonesia. Menjalin kerjasama antara tarekat yang ada di Nusantara
dan ASEAN untuk membangun umat yang bersaudara.22
Hingga kini, silaturrahmi
DUTI sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Tepatnya pada 28-29 April 2018
sebagai acara silaturrahmi dan mudzakarah ketiga kalinya.
Salah satu gerakan yang dihasilkan dari adanya DUTI adalah Fatwa
mengharamkam gerakan yang dibentuk oleh Fethullah Gulen. Melalui surat resmi
Nomor : 01/ Kep/F – DUTI-A/ X, 2018, Dewan Ulama Thariqah
Indonesia/ASEAN Memutuskan mengharamkan segala gerakan dan kegiatan yang
dibuat oleh Fethullah Gulen beserta pengikutnya di seluruh dunia, serta mengajak
dan menghimbau Fethullah Gulen beserta pengikutnya bertaubat kepada Allah
SWT dan mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap umat islam di dunia
khususnya apa yang telah terjadi di Turkey pada 15 Juli 2016.23
Keberadaan DUTI turut menyebarluaskan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah
secara massif. Hal dapat dilihat sebagaimana pusat DUTI beralamatkan di BSD,
Tangerang Selatan, akan tetapi pusat kegiatannya berada di Pesantren Rabbani di
Solok, Padang, yaitu pesantren tasawuf yang didirikan oleh Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah. Secara tidak langsung, DUTI sebagai persatuan ulama
sekaligus memperkenalkan dan menyebarluaskan eksistensi Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah.
E. Relevansi Perkembangan Tarikat Qodiriyah Hanafiah
Dari penjelasan di atas dapat dipahami Tarekat Qodiriyah Hanafiah
melakukan penyebaran baik secara personal maupun secara organisasi. Upaya
gerakan yang dilakukan baik oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
maupun para murid-muridnya merupakan bentuk perkembangan yang terjadi
dalam Tarekat Qodiriyah Hanafiah. Dari mulai memiliki murid yang jumlahnya
22
Dewan Ulama Tarekat Indonesia, “Sejarah DUTI”, diambil dari laman resminya di
http://dewanulamathariqah.org/id/tentang-duti/sejarah-duti/ tanggal 27 April 2019. 23
Fatwa Dewan Ulama Tarekat Indonesia/Asean tentang Fethullah Gulen Nomor : 01/
Kep/F – DUTI-A/ X, 2018.
Page 63
54
puluhan hingga ribuan, dari yang tersebar hanya di sekitar Padang, meluas hingga
ke seluruh Indonesia, bahkan ke wilayah Asean.
Ada hal yang penting yang perlu digarisbawahi dalam perkembangan
Tarekat Qodiriyah Hanafiah. Jika mengacu pada teori perubahan sosial memiliki
dua unsur berupa Pertma dinamika masyarakat memajukan tingkat perubahan ke
arah yang lebih maju dengan melihat berbagai faktor yang melatarbelakangi
perubahan tersebut. Kedua Arah perubahan sosial menuju dari sederhana ke
bentuk yang lebih kompleks, dengan kata lain menuju pada arah yang lebih baik.24
Dalam hal dapat dipahami bahwa Tarekat Qodiriyah Hanafiah tidak hanya
berkembang secara pesat, akan tetapi juga berperan dalam perubahan sosial,
khususnya dalam wilayah tarekat.
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah menghadirkan Tarekat
Qodiriyah Hanafiah dimulai dari menyebarkan secara personal. Dalam hal ini
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah secara pribadi melakukan penyebaran
ajaran Tarekat Qodiriyah Hanafiah. Selanjutnya, Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah melakukan terobosan yang lebih massif, yakni dengan membuat
transformasi organisasi tarekat berkembang dalam bentuk organisasi formal
sebagaimana organisasi yang dibentuknya yakni TICI, MRI, hingga DUTI.
Organisasi-organisasi tersebut berada di bawah naungan Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah. Bahkan pada perkembangan selanjutnya meluas hingga
mendeklarasikan Dewan Ulama Tarekat Asean atau Asia (DUTA). Maka sangat
jelas perkembangan organisasi Tarekat Qodiriyah Hanafiah dari organisasi tarekat
menjelma dalam organisasi formal yang menghubungkan beberapa aliran tarekat
yang tersebar di seluruh Indonesia, maupun dunia.
Terdapat beberapa faktor perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah
sehingga sangat pesat. Di antaranya adalah sosok kemursyidan atau kewalian
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Tingkat kewalian25
Tuangku Syaikh
24
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah (Jakarta:
Gramedia, 1992), h. 99. 25
Derajat kewalian Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah dapat dilihat dari semenjak
beliau mendapat bimbingan ruhani secara langsung dari Aulia Syaikh Abdul Qadri al-Jilani.
Derajat kewalian ini tidak mudah didapatkan oleh orang lain, perlu ada mujahaddah yang kuat dan
riyadhah beberapa tahap, akan tetapi Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah justru
Page 64
55
Muhammad Ali Hanafiah menjadi pilar utama pengaruh berkembangnya Tarekat
Qodiriyah Hanafiah.
Selanjutnya, Tarekat Qodiriyah Hanafiah (dalam hal ini diprakarsai oleh
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah) melakukan terobosan yang berbeda
dalam merespon masalah-masalah kehidupan manusia. Tuangku merespon era
globlalisasi sebagai krisis spiritual dengan menghadirkan organisasi formal
tarekat. Berdirinya lembaga atau organisasi formal di bawah naungan Tarekat
Qodiriyah Hanafiah merupakan upaya menjawab tantangan krisis spiritualitas
umat manusia. Adapun metode yang digunakannya pun tidak se konservatif
organisasi tarekat yang berjalan dalam ranah spiritual, akan tetapi Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah mengkombinasikan organisasi spiritual dengan
organisasi formal sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Hal ini menjadi
pendukung massifnya perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah di Indonesia.
Figur dan metode mentransformasikan organisasi spiritual ke organisasi
formal membuat Tarekat Qodiriyah Hanafiah semakin diakui bahkan oleh
beberapa kalangan aliran tarekat. Pondok Pesantren Ar-Rabbani yang didirikan
oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah merupakan satu-satunya
pesantren tasawuf di Sumatera Barat sekaligus menjadi pesantren tasawuf terbesar
di Sumatera Barat. Keberadaanya menjadi sangat strategis untuk melakukan
pertemuan para ulama tarekat baik di wilayah Sumatera Barat maupun se
Indonesia. Pada tahun 2016 itulah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
memiliki inisiatif untuk mengumpulkan para ulama tarekat se Sumatera Barat
untuk melakukan upaya menjawab tantangan zaman, khususnya persoalan krisis
spiritualitas umat Islam. Pelaksanaan kegiatan tersebut menghasilkan Dewan
Ulama Tarekat Indonesia yang dikukuhkan sebagai organisasi resmi di bawah
naungan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor AHU-0071646.AH.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian
Badan Hukum Perkumpulan Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI).
mendapatkannya secara langsung tanpa perantara. Merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh ulama tarekat se zamannya saat ini.
Page 65
56
Pada poin tersebut mengindikasikan bahwa organsasi tasawuf telah
bertransformasi pada gerakan sosial dalam rangka merespon permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Sebagaimana yang baru dilakukan di tahun ini, DUTI
menggelar Mudzakarah Ulama Thariqah se-ASEAN yang ketiga, bekerjasama
dengan Dewan Ulama Thariqah ASEAN (DUTA) di Pondok Pesantren Taruna
Rabbani, Nagari Koto Sani Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Indonesia. Ada tiga
poin yang disampaikan Sekjend DUTI untuk DUTA yakni dakwah, ekonomi, dan
politik.
Pertama, Dakwah, DUTI/DUTA akan mewujudkan dakwah lintas negara
ASEAN dengan melaksanakan dakwah rutin para mursyid se-ASEAN. Kedua,
Ekonomi, DUTI/DUTA akan mewujudkan rancangan ekonomi dengan konsep
“Islam bersatu adalah Islam yang berbagi”. Maka dengan itu Dewan Ulama
Thariqah ASEAN akan mengimplementasi kerjasama yang telah dibuat demi
mengembangkan segala potensi ekonomi lembaga-lembaga thariqah se-ASEAN.
Ketiga, Politik, DUTI/DUTA akan mewujudkan sikap independen dan tidak
memihak pada salah satu partai politik di masing-masing negara anggota.
DUTI/DUTA akan mendorong umat Islam, khususnya para ikhwan pengamal
tarekat untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih pemimpin Muslim
yang dikenal menjaga marwah, penuh amanah, adil, dan memihak pada
kepentingan umat Islam.26
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa gerakan Tarekat Qodiriyah
Hanafiah tidak hanya mengembangkan dalam bidang spiritualitas semata, akan
tetapi Tarikat Qodiriyah Hanafiah berperan secara langsung dalam kehidupan
nyata. Melalui program yang dilakukan melalui berbagai lembaga di bawah
naungannya seperti MRI, TICI, DUTI maupun DUTA. Maka semakin jelaslah
perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiah tidak hanya berperan dalam persoalan
perkembangan masalah spiritualitas, akan tetapi juga merambah pada gerakan
sosial yang lebih nyata.
26
Diakses dari www.dewanthariqah.org diakses pada 20 September 2018.
Page 66
57
F. Implikasi Tarekat Qodiriyah Hanafiyah Terhadap Pengikutnya di
Tangerang Selatan
Keberadaan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah secara tidak langsung
berpengaruh kepada masyarakat sekitarnya. Sebaimana keberadaan Tarekat ini
dijalankan secara pribadi oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah,
semakin hari semakin banyak peminatnya. Hingga tersebar luas ke seluruh
Indonesia bahkan ke menyasar daerah Asia Tenggara.
Pada masyarakat Tangerang Selatan, terutama para akademisi merasakan
pengetahuan baru tentang dunia tasawuf. Sebagaimana pernyataan Ahmad
Rahman yang mengelompokkan dua aliran tasawuf, yaitu Wahdatul Wujud dan
Wahdatul Syuhud mendapat teguran langsung dari Tuangku Syaikh Muhammad
Ali Hanafiyah bahwa tidak ada pandangan dua kelompok tersebut.27
Kritik Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah berdampak pada
pemahaman baru mengenai kelompok tasawuf yang tidak bisa diklasifikasikan.
Meski demikian belum diteliti lebih lanjut dalam khazanah intelektual. Oleh
karena itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai penolakan pandangan Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah terhadap dua kelompok tasawuf.
Selain berimplikasi pada ranah pemikiran dan akhlak, keberadaan
lembaga-lembaga di bawah naungan Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah
memberikan kontribusi secara intelektual dan spritual, sehingga keberadaan
Tarekat Qodiriyah dirasa memberikan jawaban atas krisis moralitas dan krisis
spiritual yang tengah dihadapi masyarakat.
27
Ahmad Rahman, “Kata Pengantar” dalam Inilah Aku: Tuangku syaikh Muhammad Ali
Hanafiyah, h. xxi
Page 67
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian mengenai sejarah dan perkembangan tarekat Qodiriyah
Hanafiyah di Tangerang Selatan terfokus pada dua persoalan, yaitu sejarah
kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan dan Jenis serta
model perkembangannya. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
Pertama kemunculan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di Tangerang Selatan
berbarengan dengan munculnya publikasi ilmiah tentang Kalam Ilham Ilahi atau
Kalam Siri milik Tuangku Syaikh Muhammad Ali hanafiyah. Hadirnya publikasi
ilmiah tentang Kalam Siri tersebut disukai oleh para akademisi serta masyarakat
pegiat tasawuf yang dominan berdomisili Tangerang Selatan. Keberadaan
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiyah di Jakarta sekaligus membuka kajian
ketasawuffan di berbagai Masjid seperti Masjdi Baiturrohim Ciputat, Masjid
Fathullah UIN Jakarta, dan berpusat di Masjid Rabbani, BSD, Tangerang Selatan.
Model perkembanganya berbentuk doktrinal, yaitu dengan memasang para murid
yang berasal dari Tangerang Selatan menjadi penanggungjawab kajian yang
diagendakan.
Kedua jenis dan model perkembangan tarekat Qodiriyah Hanafiyah di
Tangerang Selatan melalui lembaga yang dibentuknya. Lembaga tersebut pada
dasarnya telah dibentuk sebelumnya di Padang, yakni tempat asal kemunculan
tarekat Qodiriyah Hanafiyah, akan tetapi lembaga tersebut justru dipusatkan di
BSD, Tangerang Selatan, yaitu di Masjid Rabbani. Adapun organisasi yang
dimaksud adalah Majelis Rabbani Indonesia (MRI), Tasawuf Islamic Centre
Indonesia (TICI) dan Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI).
Secara umum keseluruhan lembaga berpusat di Majelis Rabbani Indonesia
(MRI). Dari MRI tersebut berkembang mengadakan silaturrahmi ulama tarekat
seluruh Indonesia dan menghasilkan Dewan Ulama Tarekat Indonesia (DUTI).
Dengan mengumpulkan ulama tarekat seluruh Indonesia maka tarekat Qodiriyah
Hanafiyah semakin terkenal dan semakin pesat perkembangannya, baik di daerah
Page 68
60
Tangerang Selatan sendiri maupun ke seluruh Indonesia, maupun ke dataran Asia
Tenggara.
Ketiga implikasi bagi masyarakat Tangerang Selatan adalah keberadaan
Tarekat Qodiriyah Hanafiyah memberikan pemahaman baru dalam keilmuan
tasawuf, yaitu menolak pandangan wahdatul wujud dan wahdatul Syuhud. Selain
itu, keberadaan tarekat tersebut berimplikasi pada akhlak yang baik serta
peningkatan spiritual yang mendalam bagi para pengikut Tarekat Qodiriyah
Hanafiyah.
Kritik dan Saran
Tarekat Qodiriyah Hanafiah memiliki jangkauan yang cukup luas untuk
diteliti dalam wilayah sejarah. Penelitian ini secara umum melengkapi secara
spesifik dari tesis Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah di
Indonesia. Penulis hanya mengambil satu wilayah, yaitu Tangerang Selatan
sebagai salah satu pusat penyebaran Tarekat Qodiriyah Hanafiyah. Di dalamnya
masih terdapat banyak lembaga yang konsern dalam bidang ketasawuffan,
pendidikan umum, bahkan kajian-kajian lainnya. Sebagaimana dalam penelitian
sejarah bisa mengambil satu ruang dan waktu tertentu serta dikaitkan dengan ilmu
sosial maupun ilmu-ilmu lain.
Sebagaimana diketahui, Tarekat Qodiriyah Hanafiyah berkembang melalui
lembaga legal formal, seperti DUTI, TICI maupun MRI. Pada dasarnya setiap
lembaga yang berada di bawah naungan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah dapat
diteliti lebih detail lagi dalam penelitian sejarah. Dengan demikian menghasilkan
karya ilmiah dalam penelitian sejarah semakin banyak dan bervariatif dari satu
gerakan tasawuf atau tarekat.
Page 69
61
DAFTAR PUSTAKA
Abbdullah, Shagir, Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat
Naqsabandiyah Khalidiyah. Solo, Penerbit Ramadhani. 1985.
Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di
Nusantara. Solo, Penerbit Ramadhani. 1980.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logoso Wacana
Ilmu, 1999.
Ahmad, Zubair, & Andang B Malla. BUKU PUTIH KEMATIAN, Sebuah
Pengalaman Ruhani Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-
Rabbani, Tangerang Selatan: Rabbani Press 2015.
al-Ghazali. Ihya Ulumuddin t.tp: Mathba‟ ah al-Amirat al-Syarfiyyah, 1909.
Al-Qusyairy. Risalah al-Qusyairiyah fi al-Ilm al-Tasawuf. Kairo: Dar al-Khair, t.t.
al-Taftazani, Abu Wafa al-Ghanimi. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Terj. Subkhan Anshori. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008.
al-Thusi. Abu Nashr al-Sarraj. Al-Luma’. Cairo: Dar al-Haditsah, 1960.
Aman, Saifuddin. & Isa, Abdul Qadir. Tasawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah
Jiwa & Raga, Jakarta, Penerbit Ruhama, 2014.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf Jakarta: Amzah, 2012.
Aniys, Ibrahim dkk. Mu’jam al-wasiyt, Juz I. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1392 H/ 1972
M.
Anwar, Rosihon. & Sholihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pusaka Setia.
2006.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996.
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Thariqah, Solo: Ramadhani, 1996.
Baqir, Muhammad Ash-Sadr. Falsafatuna: Pandangan terhadap Pelbagai Aliran
Filsafat Dunia, Terj. Smith al-Hadr. Bandung; Mizan, 2014.
Bruinessen, M.V, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di
India, Kurdistan, dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an Vol.2 No.
2,Jakarta, Penerbit Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989.
Page 70
62
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi –
Tradisi Islam di Indonesia Bandung: Mizan, 1999.
Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqshabandiyyah di Indonesia, Bandung:
Penerbit Mizan, 1992.
Burhani, Ahmad Najib. Tarekat Tanpa Tarekat; Jalan Baru Menuju Sufi. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, cet.III, 1990.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta, Penerbit LP3ES. 1982.
Farhan, “Islam dan Tasawuf di Indonesia” dalam Jurnal Esoterik; Jurnal Akhlak
dan Tasawuf Vol. 2 No. 1. Kudus: STAIN Kudus, 2016.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press
1985.
Islami, Radhi. “Sejarah dan Perkembangan Tarekat Qodiriyah Hanafiyah”, Tesis
Magister Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2018.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1992.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.
M. Solihin, & Rosihon Anwar. Kamus Tasawuf, Bandung: PT. Remaja
Rosdakaryah. 1995.
Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau. Jakarta, Penerbit Bhatara Masa Kini. 1970.
Masyuri, A. Aziz. Ensklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf. Surabaya:
Imtiyaz 2014.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia
Jakarta: Kencana, 2006.
Muslih. Risalah Al Thariqah Al Qadiriyah Wan Naqsabandiyah juz 1 & 2, Kudus,
Penerbit Menara. 1976.
Mutahhari, Murtadha. Quantum Akhlak, Terj. Babul Ulum. Bandung: Arti Bumi
Intaran, 2008.
Muthahhari, Murtadha. Menapak Jalan Spiritual Sekilas Tentang Ajaran Tasauf
dan Tokoh-Tokohnya. Bandung: Pustaka Hidayah, 2006.
Page 71
63
Muthiah, Ahmad. Zikir di Majelis Rabbani Indonesia MRI,Tesis dari Program
Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Bandung 2015 tidak diterbitkan.
Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. Semarang: Rasail Media Group 2010.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo, 2012.
Rahman, Ahmad. Inilah AKU, Here I AM, Pencerahan Rohani bagi Pencari
Tuhan, Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Tangerang Selatan:
Rabbani Press 2012.
Rahman, Ahmad. KALAM ILHAM ILAHI, Muhammad Ali Hanafiah Pelepas
Dahaga bagi Hamba Pencari Tuhan, Tangerang Selatan: Rabbani Press
2002.
Rahman, Ahmad. Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuanku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Tangerang Selatan: Rabbani Press
2011.
Rifa’i, A. Bachrun. dan Mud’is, Hasan. Filsafat Tasawuf Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010.
Riyadi, Agus. “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf” dalam Jurnal at-Taqaddum
vol. 6. No. 2. Semarang: UIN Walisongo, 2014.
Sadhily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 1, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve,
1980.
Schimechel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. Ed. Sapardi Djoko
Darmono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Shagir, Abbdullah. Syekh Ismail Al Minangkabawi Penyiar Thareqat
Naqsabandiyah Khalidiyah. Solo, Penerbit Ramadhani. 1985.
Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia, Depok: Pustaka IIMaN, 2009.
Siregar, Rivay. Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999.
Soebardi, S. The Book of Cabolek. Leiden, The Hague-Martinus Nijhoff. 1975.
Steenbrink, K.A., Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia Abad ke-19. Jakarta,
Penerbit Bulan Bintang. 1984.
Page 72
64
Syafi’i, Ahmad. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di
Jawa. Jakarta, Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI
DKI. 2006.
Thusi, Abu Nashr al-Sarraj. Al-Luma’ Cairo: Dar al-Haditsah, 1960, h. 68.
Trimingham, J.S., The Sufi Order in Islam. London Oxford Univesity Press. 1971.
Tudjimah Cs. Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup Karya dan Ajarannya.
Jakrta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 1987.
Wadud, Abdul. Satu TUHAN Seribu Jalan, Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat
di Indonesia. Yogyakarta, FORUM Grup Relasi Inti Media, anggota
IKAPI. 2013.
Wafa, Abu al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Terj. Subkhan Anshori Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008.
http//www.majelisrabbani.org.
http//www.dewanthariqah.org.