SEJARAH BERDIRINYAPROVINSI SULAWESI TENGGARA
A.PROSES TERBENTUKNYA PROVINSI SULAWESI TENGGARAKita mulai tahun
1938, ketika Afdeeling Buton and Laiwoi diubah menjadi Sulawesi
Tenggara dengan ibukotanya Bau-Bau. Lahirnya UU No. 44/1950 tentang
Pembentukan NIT, sekaligus membagi daerah bagian sebagai pengganti
bekas Afdeeling Buton dan Laiwoi dan Onder Afdeeling Kolaka menjadi
bagian dari Sulawesi Tenggara.Pada awal kemerdekaan Sulawesi
Tenggara masih dalam wilayah Propinsi Sulawesi (Groote Celebes)
sebagai salah satu propinsi dari 8 (delapan) propinsi yang dibentuk
berdasarkan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan
ibukotanya Makassar yang dipimpin oleh seorang gubernur. Ditingkat
residen masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara mendesak
pemerintah agar gabungan daerah Celebes Selatan dibubarkan. Oleh
Gubernur Sulawesi mengeluarkan
PeraturanPemerintahNo.34/1952tentangPembentukanDaerahOtonom
setingkat Kabupaten terhadap ketujuh daerah administrasinya, yaitu
: Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Mandar, Luwu dan Sulawesi
Tenggara.Terbentuknya tujuh daerah otonom setingkat kabupaten yang
tergabung dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara
(Sulselra),maka status Sulawesi Tenggara telahmenjadidaerah tingkat
IIyang berkedudukan di
Bau-Bau.WilayahadministrasiKabupatenSulawesiTenggaraterbagidalam4
kewedanaan, yaitu :1.Kewedanaan Buton ibukotanya Bau-Bau, terdiri
20 distrik dan 390 kampung.2.Kewedanaan Muna ibukotanya Raha
terdiri 4 distrik dan 390 kampung.3.Kewedanaan Kendari ibukotanya
Kendari terdiri 19 distrik dan 315 kampung.4.Kewedanaan Kolaka
ibukotanya Kolaka terdiri 2 distrik dan 30 kampung. (Monografi,
1997 : 104-105)Sejak dibentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara telah
terjadi konflik antara etnik wilayah daratan dan etnik wilayah
kepulauan. Etnik daratan merasa bahwa Kabupaten Sulawesi Tenggara
daratan layak dijadikan satu daerah otonom, sama dengan wilayah
kepulauan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan dalam hubungan
transportasi antara wilayah daratan dan kepulauan sementara
pemerintahan berada di wilayah kepulauan yaitu Bau-Bau. Di samping
itu juga disebabkan oleh elit tradisional yang merasa tersaingi dan
tidak mendapatkan posisi jabatan secara proporsional, sehingga
menimbulkan kekecewaan para elit politik tradisional di wilayah
daratan dan mendorong mereka untuk berjuang membentuk Kabupaten
Sulawesi Timur.Dengan dipelopori oleh satu panitia yang
berkedudukan di Kendari, yaitu "Panitia Penuntut Kabupaten Sulawesi
Timur" pada tanggal 24 Agustus 1951, agar kawasan daratan Kolaka,
Kendari, Poleang plus Rumbia dijadikan daerah otonom setingkat
kabupaten dari Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan berbagai alasan :
(1) keadaan geografis yang terdiri dari kawasan daratan dan
kepulauan yang menampakkan adanya pemisahan kesatuan kedua kawasan
tersebut, (2) potensi yang menunjukkan kemungkinan masing-masing
kawasan untuk membiayai rumah tangganya sendiri; (3) keadaan
politik psikologis, menunjukkan adanya keinginan yang kuat untuk
masing-masing memperoleh hak otonom; (4) sidang DPRS pada tanggal
23 Januari 1954 di Kendari, kemungkinan daerah Sulawesi Tenggara
dibagi atas dua kabupaten (Thalha, 1082 : 269).Pada sidang DPRS
Sulawesi Tenggara tanggal 27 Juli 1954 di Raha, atas usul S.
Joesoef dan kawan-kawannya akhirnya sidang menyetujui pembagian
Kabupaten Sulawesi Tenggara, menjadi dua daerah otonom setingkat
kabupaten masing-masing diberi nama
:a.KabupatenSulawesiTimurdenganibukotanyaKendari,kabupatenini
meliputi wilayah kewedanaan Kendari dan Kolaka, kemudian ditambah
dengan distrik Poleang Bugis, Poleang Moronene dan
Rumbia.b.KabupatenSulawesiTenggara denganibukotanya
Bau-Bau,wilayahnya meliputi kewedanan Buton dan Kewedanan Muna
(Thalha, 1982: 23 ).Dalam merealisasikan hasil keputusan Sidang
DPRDS tentang pemekaran Kabupaten Daerah Sulawesi Tenggara, maka
pada bulan Oktober 1955 telah mengirim delegasi ke pemerintah pusat
di Jakarta yang terdiri atas : (1) Kepala Daerah Sulawesi Tenggara
Abdul Madjid Pattaropeara, (2) Ketua DPRDS Sulawesi Tenggara, (3)
Anggota DPD Sulawesi Tenggara La Ode Rasjid.Sesuai dengan laporan
delegasi kepada DPRDS Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Februari
1956, pemerintah pusat menyetujui pemekaran Kabupaten Sulawesi
Tenggara, namun pelaksanaannya menunggu rancangan undang-undang
pokok pemerintah daerah untuk disetujui oleh parlemen. Dengan
keberhasilan para delegasi, maka rakyat Sulawesi Tenggara khususnya
rakyat di wilayah daratan menyambut gembira rencana ini, dimana
hasrat dan keinginan masyarakat terhadap pemekaran Kabupaten
Sulawesi Timur ditandai dengan pernyataan rakyat di kawasan daratan
yaitu di Kecamatan Wawotobi, rakyat di Kecamatan Sulewatu (Mowewe),
rakyat di Kecamatan Moronene (Poleang Bugis dan Poleang Moronene),
Persatuan Masyarakat Indonesia Sulawesi Timur di Makassar dan dari
Panitia Pelaksana Kabupaten Sulawesi Timur.Semula rakyat Kolaka
solider dan sepaham dengan Kendari tanpa diselingi pertentangan
mengenai penempatan ibukota daerah Sulawesi Timur, tetapi setelah
perkembangan penuntutan berjalan, timbullah gejala-gejala yang
membawa kesan bahwa hubungan antara daerah itu tidak dapat
dipertahankan lagi.Dalam suatu rapat di Kolaka pada tanggal 26 Mei
1957 antara utusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi
Timur dengan wakil-wakil rakyat Kolaka tidak menyetujui kehendak
Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur dan pihak
Kolaka menghendaki supaya keputusan panitia itu ditarik kembali,
akan tetapi Kendari tetap mempertahankan keputusan Panitia
Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Tenggara, sehingga rapat
yang diadakan itu tidak dapat membawa keputusan yang diinginkan.
Akibatnya, pada tanggal 17 Juni 1957 mengeluarkan pernyataan dengan
tegas tidak menyetujui penempatan ibukota Kabupaten Sulawesi Timur
di Kendari dan mendesak pemerintah pusat supaya penempatan
Kabupaten Sulawesi Timur berkedudukan di Kolaka. Dengan munculnya
keinginan untuk membentuk kabupaten tersendiri, sebagai salah satu
puncak persaingan di antara etnik daratan dan kepulauan yang
menyebabkan gagalnya pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur.Di
Kewedanan Muna, dengan dipelopori oleh satu panitia penuntut
Kabupaten Muna di Makassar maka pada tanggal 5 Agustus 1956
tercetus pula suatu keinginan yang menghendaki supaya Muna
dijadikan satu otonomi setingkat kabupaten, dan pada tanggal 2
September 1956 dengan resolusi dari Panitia Penuntut Kabupaten Muna
bersama-sama dengan pembentukan kabupaten-kabupaten lainnya di
Propinsi Sulawesi Tenggara.Gelora tuntutan rakyat Muna, telah
tampak ketika kunjungan residen koordinator Sulawesi Tenggara pada
tanggal 13 September 1957 dimana beberapa slogan yang secara
politis menghendaki otonomi setingkat kabupaten, di samping itu
dengan keluarnya Surat Kepala Daeah Sulawesi Tenggara pada tanggal
8 November 1957 No. 3/4/17 yang ditujukan kepada Gubernur Sulawesi,
selanjutnya dalam surat kawat dari Kepala Daerah Sulawesi
diharapkan perhatian beliau jangan sampai kelak kekacauan politik
mengakibatkan kekacauan keamanan.Demikian pula kewedanan Buton juga
timbul aspirasi yang sama dengan daerah lainnya (Kendari, Kolaka
dan Muna), dengan pertimbangan bahwa Kewedanan Buton sebagai
wilayah Swapraja memiliki sumber keuangan yang lebih baik
dibandingkan dengan Swapraja lainnya di Sulawesi Tenggaradan
wilayahnya masih terhindar dari gangguan keamanan.Adanya keinginan
sebagian rakyat Kewedanan Buton menghendaki tetapnya Swapraja Buton
dalam bentuk daerah istimewa didasari bahwa pemerintahan swaparaja
Buton telah mengalami demokratis pemerintahan sejak pada tanggal 15
April 1951, dengan dibubarkan anggota-anggota swaparaja dan
dibentuk Dewan Pemerintahan Daerah yang mencerminkan perimbangan
partai partai politik di daerah ini.Dalam mempersiapkan pembentukan
empat kabupaten sebagai daerah otonom, pada tanggal 20-22 Juli 1959
diadakanlah musyawarah antara kewedanan di Kabupaten Sulawesi
Tenggara yang berlangsung di Kewedanan Kendari, dan dihadiri oleh
utusan dari Kewedanan Buton, Muna, Kendari dan Kolaka masing-masing
berjumlah 15 orang dan 5 orang dari staf Kantor Bupati Kepala
Daerah Sulawesi Tenggara. Dalam rapat itu hadir pula Kepala
Pemerintahan Negeri Buton H. Abdul Malik, Kepala Pemerintahan
Negeri Muna diwakili Asisten Residen Wedanan A.R. Muntu, Kepala
Pemerintahan Negara Kendari diwakili oleh Anas Bunggasi dan Kepala
Pemerintahan Negeri Kolaka Abdul Wahab dan wakil-wakil dari setiap
swapraja sebagai peninjau dalam musyawarah (Monografi,
1997:99).Hasil keputusan rakyat Sulawesi Tenggara terlaksana
setelahditetapkannya Undang - Undang No.29 Tahun 1959 tentang
Pembentukan Empat Daerah Otonom Tingkat II sebagai realisasi
pemekaran Kabupaten Sulawesi Tenggara, dan Surat Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah tentang Pengangkatan Kepala Daerah
Tingkat II, masing-masing adalah :1.Jacob Silondae sebagai Kepala
Daerah Tingkat II Kolaka dilantik pada tanggal 2 Februari 1960.2.La
Ode Abdul Halim sebagaiKepala Daerah TingkatIIButon dilantik pada
tanggal 1 Maret 1960.3.La Ode Abdul Koedoes sebagai Kepala Daerah
Tigkat II Muna dilantik tanggal 1 Maret 1960.4.Drs. Abdullah
Silondae sebagai Kepala Daerah Tingkat II Kendari dilantik pada
tanggal 3 Maret 1960 (Monografi, 1997 : 130).Dengan terbentuknya
empat daerah tingkat II di Sulawesi Tenggara maka residen
koordinator Sulawesi tidak lagi mengkoordinir satu kabupaten
dalamsatu trotoar, tetapi telah mengkoordinir 4 daerah tingkat II
masing-masing : Buton, Muna, Kendari dan Kolaka. Bertambahnya
jumlah Kabupaten se-Sulawesi Tenggara sehingga mendorong
terbentuknya keresiden Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di
Kendari.Pada tahun 1958, para tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung
dalam 4 Kabupaten Dati II Sulawesi Tenggara melaksanakan musyawarah
dalam hal untuk memperjuangkan pembentukan Propinsi Sulawesi
Tenggara dengan peserta peserta musyawarah antara lain yaitu Sultan
Buton, La Ode Manarfa, La Ode Abdul Kasim, Bunggasi, Djuhaepa
Balaka, Abdul Rahman, II Surabaya,Raja Muna, La Ode Rianse, La Ode
Ado, La Ode Tobulu, Ch Pingak dan Muhidin. Dalam kepulusan
musyawarah tersebut adalah : (1) seluruh peserta sepakat
dibentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Buton, Muna,
Kolaka dan Kendari serta mendesak agar pemerintah pusat segera
merealisasikan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara lepas dari
Propinsi Sulselra,(2) menetapkan calon ibukota Propinsi Sultra,
pada saat diskusi berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna
mengusulkan Kota Bau-Bau menjadi ibukota propinsi, sedangkan utusan
Kendari dan Kolaka mengusulkan Kota Kendari sebagai ibukota
Propinsi Sulawesi Tenggara, dan akhirnya mereka sepakat/menyetujui
Kota Kendari ,ketika sebagian tokoh Muna mendukung kota Kendari
sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara.Pada sidang umum MPRS,
bulan Mei tahun 1963 H. Jacob Silondae dan Eddy Sabbara
memperjuangkan lagi realisasi TAP MPRS tahun 1960, bahwa
pembentukan 4 propinsi di Sulawesi khususnya di Sulawesi Tenggara
dilaksanakan pada akhir tahun 1963 atau selambat-lambatnya tahun
1964. Dimana DPR GR RJ akan melahirkan UU Dati I Sulawesi Tenggara
akan tetapi sampai tahun 1963 belum juga lahir UU. Yang dibentuk
oleh DPR GR RI, maka oleh pemerintah dibuatlah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 34 tahun 1963 tentang
pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara yang harus dilaksanakan pada
awal tahun 1964.Ketika Yacob Silondae melaporkan kepada gubernur
Sulselra H.A Rivai akan adanya ketetapan MPRS tentang Pembentukan
Kabupaten Propinsi Sulawesi Tenggara beliau menyetujui pelaksanaan
realisasitersebut.Dalam resolusi musyawarah rakyat Sulawesi
Tenggara di Kendari kepada DPR GR Sulawesi Selatan dan Tenggara
dimana dalam sidaug paripurna DPR GR tersebut menyetujui sccara
aklamasi Pembentukan Propinsi Dati I Sulawesi Tenggara, dan soal
ibu kota pun disetujui Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi
Tenggara. Sehingga pada tanggal 27 April 1964, Gubernur Sulawesi
Selatan/Tenggara Kol. H. A. Rivai menyerahkan pimpinan pemerintahan
Propinsi Sulawesi Tenggara kepada Bapak J. Wayong sebagai Pejabat
Gubernur Pertama di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Gambar 1:Delegasi DPRD-GR 4 Kabupaten di Sulawesi Tenggara
menghadap Menteri Dalam Negeri IPIK GANDAMANA (1963), dari kiri ke
kanan : M. Said Salompo (Muna), La Ode Aryad (Buton), Drs. H.
Abdullah Silondae (Kendari/Ketua Delegasi), H.Sikala Pidani
(Kendari), Abd. Madjid (Kolaka) Memperjuangkan Pembentukan Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Yacob Silondae yang tidak termasuk dalam potret delegasi
perjuangan pembentukan Sulawesi Tenggara, tetapi banyak kalangan
mencatatnya sebagai seorang tokoh penting pelaku utama sejarah
terbentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana pernyataannya
sebagai berikut:Bahwa embrio terbentuknya Propinsi Sulawesi
Tenggara terlepas dari Sulawesi Selatan Tenggara dimulai dari
Persatuan Masyarakat Indonesia Sulawesi Tenggara (PERMAIST) yang
diketuainya pada tahun 1948.Ketika beliau menjadi Bupati Tk. II
Kolaka yang masa itu juga menjadi anggota MPRS, wakil golongan
Fungsional Daerah Sultra. Memanfaatkan kesempatan melanjutkan upaya
tersebut akhirnya berhasil menelorkanTap. MPRS No. II/ MPRS/1960
pasal III bidang pemerintahan Keamanan dan Pertahanan ayat 3 dan 5
disebutkan antara Lain tidak setuju adanya propinsi Admistratif
Pulau Sulawesi supaya dibagi menjadi empat daerah Swatantra Tk I.
Mengenai Pekasanaan Desentralisasi pembentukan daerah Swatantra
bahwa Sulawesi menjadi empat daerah Tk. I yaitu ; Sulawesi Utara
Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan dan Sulaweasi Tenggara. Lebih
Lanjut Yacob Silondae menyatakan beberapa tokoh-tokoh lainnya yang
berjasa perjuangan Sultra antara La Ode Hia (Buton), Idrus Efendi
(Muna), Supu Yusuf (Kendari), La Ode Ado (Muna), sementara La Ode
Rasyid mendukung Kendari sebagai Ibu kota Propinsi Sulawesi
Tenggara. Sebaliknya adanya perjuangan sebuah organisasi yang
disebut Badan Penuntut Sulawesi Timur yang wilayahnya termasuk
Kolonadale, Luwuk Banggai yang pengagasnya terdiri ; La Ode
Manarfa, La Ode Hadi, Safiudin, E. Anwar, La Ode Walanda dll.
(Yacob Silondae , wawancara,1 - 10-2007).
Pandangan kontras dengan versi tokoh-tokoh Buton dan Muna bahwa
perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Timur perlu dibedakan
dengan pembentukan Kabupaten Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di
Bau-Bau ke arah pembentukan sebuah propinsi. Penamaan Perjuangan
pembentukan Provinsi Sulawesi Timur mencakup wilayah 4 kabupaten
yang ada di Sulawesi Tenggara ditambah dengan Luwuk, Banggai dan
Kolonadale menurut Yacob Silondae (wawancara 7 September 2007)
adalah sebuah misi yang tidak berhasil. Di lain pihak perjuangan
Yacob Silondae dkk., tidak termuat pada arsip nasional (Said D,
1997). Perbedaan kedua pandangan tersebut di atas pada dasarnya
memiliki perjuangan yang sama yaitu terbentuknya Provinsi Sulawesi
Tenggara yang kini telah berusia 43 tahun, hanya terletak pada
penempatan ibu kota.Namun demikian realisasi dan perjuangan rakyat
Sulawesi Tenggara melalui MPRS dan DPRD serta organisasi pemuda dan
mahasiswa, para delegasi tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung
dalam 4 kabupaten memperjuangkan daerah otonomi tingkat I Sulawesi
Tenggara terhadap pemerintah pusat di Jakarta, agar Sulawesi
Tenggara dapat berdiri sendiri menjadi satu propinsi yang terlepas
dari wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Perjuangan ini
berhasil diwujudkan pada tahun 1963 yang mengatur tentang
pembentukan daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Dengan demikian
dalam pelaksanaan serah terima berdirinya Sulawesi Tenggara pada
tanggal 27 April 1964. Daerah Sulawesi Tenggara yang terdiri dari
empat kabupaten, Kendari, Kolaka, Buton dan Muna menjadi satu
propinsi yakni Sulawesi Tenggara dengan ibukotanya
Kendari.Sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Djalil bahwa dalam proses
penetapan Kendari sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara
(tidak terlepas dari peran para delegasi, tokoh-tokoh masyarakat,
pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan Provinsi Sulawesi
Tenggara menjadi daerah yang berdiri sendiri terlepas dan wilayah
Sulselra olehparadelegasiatauutusun-utusan daerah yangmasih
menjabat sebagai anggota DPRD di propinsi Sulselra serta dukungan
masyarakat yang masih tergabung dalam Sulselra sepakat mendukung
penuh otonomi berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara dimana terlebih
dahulu dikenal sistem pemerintahan sistem swapraja pada zaman
penjajah yang ibukotanya berkedudukan di Bau-Bau. Namun dalam
perkembangannya Sulawesi Tenggara mempunyai status sebagai propinsi
maka ditetapkanlah Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi
Tenggara yang dikepalai oleh seorang gubernur .Dari penjelasan di
atas bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai Ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara tanpa adanya diskriminasi dari manapun baik ras,
suku dan agama dimana masyarakat Sulawesi Tenggarabahu membahu
dalam mendukung berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara.Dengan
penetapan Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai propinsi yang berdiri
sendiri dengan wilayah pemerintahan meliputi empat daerah tingkat
II yakni Buton, Kendari, Kolaka dan Muna, dari keempat wilayah
tersebut terdapat pula wilayah kerja pembantu bupati yaitu
:1.Kabupaten/Daerah Tk. I Buton terdiri dari empat Pembantu Bupati,
yaitu :a.Pembantu Bupati Buton di Wangi-Wangi meliputi wilayah
Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Kecamatan
Binongko.b.PembantuBupatiButondiKasiputemeliputiwilayahPoleang dan
Rumbia.c.PembantuBupati Buton di Mawasangka meliputiwilayah
Kecamatan Kabena, Mawasangka, dan Gu.d.Pembantu BupatiButon diPasar
Wajo meliputi Kecamatan Wolio, Kapuntori, Pasar Wajo, Sampolawa dan
Batauga.2.Kabupaten/Daerah Tingkat II Muna terdiri dari dua
Pembantu Bupati, yaitu :a.Pembantu Bupati Muna di Lambu Balano
meliputi wilayah Kecamatan Katobu, Tongkuno, Kabawo dan
Tikep.b.PembantuBupatiMunadiPuremeliputiwilayahKulisusudan
Wakorumba.3.Kabupaten/Daerah Tingkat II Kendari terdiri dari tiga
Pembantu Bupati, yaitu:a.Pembantu Bupati Kendari di Tinobu meliputi
wilayah Kecamatan Asera, Lasolo dan Wawonii.b.Pembantu Bupati
Kendari di Wawotobi meliputi wilayah Kecamatan Lambuya, Wawotobi
dan Unaaha.c.Pembantu Bupati Kendari di Punggaluku meliputi wilayah
Kecamatan Lainea, Tinanggea, Moramo dan Ranomeeto.4.Kabupaten /
Daerah Tingkat II Kolaka terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu
:a.PembantuBupatiKolakadiPomalaameliputiwilayahKecamatan Tirawuta,
Mowewe, Wundulako dan Kota Kolaka.b.Pembantu Bupati Kolaka di
Lasusua meliputi wilayah Kecamatan Lasusua dan Pakue (Monografi,
1977: 20).Penetapan wilayah pembantu bupati tersebut ditetapkan
dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Januari 1977 No. Pern
7/1/14, sebagai salah satu pemekaran atau perluasan wilayah
kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara.Berita
pertama tentang Kota Kendari ditulis oleh J.N. Vosmaers (orang
Belanda) yang mengunjungi Teluk Kendari pertama kalinya pada tangga
9 Mei 1831, pesisir Teluk Kendari dihuni oleh orang Bajo dan orang
Bugis. Vosmaers kemudian mendirikan loji (kantor dagang) di suatu
bukit di tepi Teluk Kendari yang kemudian disebut Bukit Vosmaers.
Vosmaers menggambarkan bahwa Teluk Kendari itu merupakan suatu
pelabuhan alam yang tenang dan indah, di depan teluk merupakan
jalur pelayaran dan perdagangan yang ramai menghubungkan Makassar
dan bagian barat Ternate di bagian timur yang sejak dahulu menjadi
pusat-pusat perdagangan di Nusantara.Ditinjau dari segi letak
geografisnya posisi Kendari di pertengahan sehingga dapat
dikategorikan sebagai jalur yang dapat dilalui dari semua daerah
yang ada di Sulawesi Tenggara baik melalui jalur darat maupun jalur
lautsehingga diposisikannya Kota Kendari sebagai Ibukota Propinsi
Sulawesi Tenggara dan kebijakan-kebijakan gubernur yang berdomisili
di Ibukota Sulawesi Tenggara dapat secara cepat menjangkau
daerah-daerah lain yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara.Dengan
demikian bahwa terbentuknya Teluk Kendari sebagai salah satu jalur
perdagangan yang didorong oleh pelabuhan alami yang indah dan
letaknya yang strategis maka Kota Kendari tidak hanya menjadi kota
pelabuhan dan perdagangan tetapi berkembang pula sebagai kota
pemerintahan sehingga menjadikan Kendari sebagai Ibukota Propinsi
Sulawesi Tenggara dimana pemerintah daerah memberikan peranan dalam
membangun dan menata Kota Kendari agar dapat menunjang kemajuan dan
perkembangan pembangunan yang ada di Sulawesi Tenggara dan dapat
setara dengan daerah-daerah lain yang telah mengalami kemajuan
terhadap pembangunan.Kendari dan mulai terbentuknya menjadi Ibukota
Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 September 1964 sampai
kini tahun 2007 telah mengalami perkembangan baik dalam bidang
ekonomi, politik dan sosial budaya serta dalam sektor perikanan,
pertanian dan pariwisata yang dapat menunjang dalam pembangunan
yang ada di wilayah Kota Kendari maupun daerah-daerah yang ada di
dalam wilayah Sulawesi Tenggara telah mengalami kemajuan utamanya
pembangunan yang ada di Kota Kendari terlihat dengan adanya
pembangunan gedung-gedung, pertokoan, pasar sentral.Gubernur Ali
Mazi, dalam tiga tahun memimpin Sulawesi Tenggara, menoreh sebuah
lompatan peradaban secara spektakuler yang belum pernah ada
sebelumnya di Sulawesi Tenggara antara lain pembangunan Bandara
bertaraf Internasional, Tugu Persatuan setinggi Monas (Monasnya
Indonesia Timur) menyebabkan investor dalam dan luar negeri mulai
melirik serius kota Kendari.Dalam rangka melakukan pemerataan
pembangunan di Sulawesi Tenggara baik secara lokal maupun nasional
peranan yang sangat dimajukan yaitu peningkatan pelayanan jasa
pembinaan di sektor-sektor pertanian dan perikanan untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah. Loncatan PAD propinsi Sultra
nyaris mencapai 5 kali lipat. Jika pada pemerintahan sebelumnya PAD
tahun 2003, hanya mencapai 20 Milyaran, maka tahun 2006 meningkat
tajam menjadi120 Milyaran. Demikian secara nasional peranan
Sulawesi Tenggara cukup dikenal utamanya dari segi pariwisata dan
pertambangan serta hasil-hasil hutan dan pertanian sehingga dapat
meningkatkan RAPBN khususnya dalam meningkatkan pendapatan terhadap
pembangunan daerah Sulawesi Tenggara.
B.PROVINSI SULAWESI TENGGARA DAN PERKEMBANGANPEMERINTAHANNYA
Lahirnya orde baru, maka seluruh lembaga-lembaga pemerintahan
dari pusat sampai daerah diadakan dari disesuaikan dengan jiwa
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dicantumkan dalam
Ketetapan MPR-RI No. X/MPRS/1996 tanggal 5 Juli 1966 tentang
kedudukan semua lembaga-lembaga negara tingkat pusat dan daerah
pada posisi dan fungsi dalam UUD 1945. Kemudian dikeluarkan pula
ketetapan No. XXI/MPRS/1966 tanggai 5 Juli 1966 tentang pembinaan
otonomi seluas-luasnya kepada daerah.Landasan pokok pelaksanaan
pemerintahan di daerah-daerah yaitu UU No. 18 Tahun 1965, setelah
G.30 S/PKI, kemudian diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah yang hingga saat ini tetap
dilaksanakan. Dengan pelaksanaan UU No. 5 1974 nampak terlihat
adanya kestabilan politik dan ekonomi dalam rangka wilayah
ketertiban terpelihara. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Sulawesi Tenggara tetap berpedomar pada UU No. 5 Tahun 1974 tentang
susunan organisasi dan tata kerja sekretariat wilayah daerah
Propinsi Sulawesi Tenggara, sesuai dengan Perda No. 3 Tahun
1981yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1981
No. 3 Tahun 1981, Keputusan Mendagri No. 061.341.54-418.Dengan
terkendalinya keamanan wilayah Sulawesi Tenggara, sesuai Perda No.
3 Tahun 1981 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 29
April 1981 No. 3 Tahun 1981, Keputusan Mendagri No.
061.341.54-418.DenganterkendalinyakeamananwilayahSulawesiTenggara,maka
mulailah pemerintahan secara teratur sejak terbentuknya propinsi
ini.Secara kronologis periode pemerintahan dapat diuraikan sebagai
berikut:
1.Pemerintahan Gubernur J. Wayong (1964-1965)Sejak kelahiran
Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 April 1964, Gubernur
dijabat oleh J. Wayong dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1964.
Beliau sebagai peletak dasar pemerintahan di Propinsi Sulawesi
Tenggara. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang otonomi
J. Wayong sebagai gubernur pertama untuk Propinsi Daerah Tingkai I
Sulawesi Tenggara dibantu pula oleh suatu lembaga yang disebut
Badan Pemerintahan Harian (BPIJ). J. Wayong segera melakukan
langkah-langkah yang diperlukan baik dalam konsolidasi di bidang
pemerintahan maupun usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Namun
belum banyak yang bisa beliau lakukan sebab dia hanya mempunyai
satu tahun untuk memangku jabatan. Berakhirnya masa jabatan J.
Wayong pada tanggal 18 Juli 1965. Pengganti gubernur saat itu
adalah La Ode Hadi.
2.Pemerintahan Gubernur La Ode Hadi (1965-1966)Gubernur kedua
Propinsi Sulawesi Tenggara adalah La Ode Hadi, diangkat berdasarkan
Keputusan Presiden No. 140 Tahun 1965 tanggal 24 Mei 1965. Pada
masa pemerintahan Gubernur La Ode Hadi ditandai dengan pertentangan
antara golongan dan diwarnai dengan kekacauan di bidang ekonomi
sehingga pemerintahannya menghadapi kenyataan yang benar-benar
sulit.Yacob Silondae yang saat itu sebagai wakil Gubernur ,memepis
persepsi banyak kalangan terhadap keterlibatannya atas tergulingnya
La Ode Hadi sebagai Gubernur, lebih lanjut ia mengatakan bahwa
terbuktibukan dirinya yang menjadi Gubernur tetapi Edy Sabara dan
masa itu tentara sangat medominasi peta perpolitikan.Dalam
kepemimpinan La Ode Hadi lahirlah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 19
Tahun 1965 tentang Desa Praja. Undang-Undang No. 18tersebut
merupakan suatu produk legislatif yang lahir di saat memuncaknya
penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, teristimewa di dalam
bidang pemerintahan dimana keadaan pada saat itu dipengaruhi oleh
situasi masyarakat yang mengarah kepada politik. Ikut sertanya
rakyat dalam bidang pemerintahan tidak hanya nyata dalam DPRD
sebagai penyalur aspirasi rakyat, akan tetapi meluas memasuki tubuh
eksekutif dalam bentuk pemerintahan kolegial, yakni adanya Badan
Pemerintahan Kolegial (BPK).Walaupun kedudukan BPK hanya sebagai
pembantu kepala daerah, lembaga ini memegang posisi strategis yang
secara pasti tidak terlepas dari aspirasi politik golongan yang
diwakili sesuai dengan komposisinya. Keadaan ini secara otomatis
menciptakan kompartementasi pengkotak-kotakan ideologi politik
dalam struktur pemerintahan daerah, yang pada gilirannya
mengakibatkan rusaknya kekompakkan aparatur serta menurunnya
dedikasi dan loyalitas kepada pemerintahan dan negara.Bersamaan
dengan itu dilakukan pula tindakan pembersihan baik di dalam tubuh
pemerintahan daerah maupun dalam lingkungan organisasi politik dan
masyarakat. Maka ketika Gubernur La Ode Hadi mengakhiri masa
jabatannya pada tahun 1967 Sulawesi Tenggara sudah dapat dikatakan
seratus persen bersih dari sisa-sisa komunis dan momentum ini
dijadikan sebagai kesempatan untuk membangun Sulawesi Tenggara
dalam mengcjar ketertinggalan dari daerah lainnya khususnya
Sulawesi Selatan.
3.Pemerintahan Gubernur Edi Sabara (1966-1978)Bertolak dari
carateker Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara,
Brigjen Edi Sabara ditetapkan sebagai Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Gubernur dengan Keputusan Presiden RI No. 42 tahun 1967
tanggal 1 April 1967, dan setelah DPR-GR Propinsi Gubernur
bersidang, menetapkan Edi Sabara terpilih sebagai gubernur
definitif dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1967 pada tanggal
24 April 1967 sebagai gubernurketiga (Monografi, 1977 :
29).Gubernur Kepala Daerah T'ngkat I, Edi Sabara dengan tekad
membangun Sulawesi Tenggara sesuai dengan tujuan pembangunan
nasional, maka dengan itu beliau mengambil suatu langkah-langkah
untuk melaksanakan sebaik-baiknya kebijakan nasional baik yang
tertuang dalam GBHN, trilogi Pembangunan, Panca Krida Kabinet
Pembangunan IV dan V, delapan sukses dan delapan jalur pemerataan
untuk diterapkan di Propinsi Sulawesi Tenggara. Dimana
langkah-langkah tersebut berpedoman pada prinsip "pusat adalah
pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat".Kebijaksanaan
pembangunan daerah Sulawesi Tenggara seperti yang tertuang dalam
pola dasar pembangunan Propinsi/Daerah Tingkat I Sultra
dilaksanakan berdasarkan pedoman yang sejalan dan seirama dengan
kebijaksanaan nasional. Dalam kepemimpinan yang merakyat tapi tegas
Gubernur Edi Sabara tidak menemui kesulitan yang berani dalam
usahanya memacu pembangunan sejaian dengan pelaksanaan Repelita I
yang dicanangkan oleh pemerintah pusat.Keberhasilannya membangun
Propinsi Sulawesi Tenggara, Edi Sabara kembali mendapat kepercayaan
dari pemerintah pusat dan masyarakat Sulawesi Tenggara menjadi
Gubernur untuk periode yang kedua kalinya hingga tahun 1978.
4.Pemerintahan Gubernur Drs. Abdullah Silondae (1978-1982)
Gubernur Kepala Daerah Tingkal I Propinsi Sulawesi Tenggara
tahun 178-1982 adalah Drs. Abdullah Silondae sebagai Gubernur
Sulawesi Tenggara yang keempat berdasarkan Keputusan Presiden No
PEM 7/18/39 tanggal 19 Juni 1978. Pelantikan dilaksanakan pada
tanggal 23 Juni 1978 oleh Menko Polkam, M. Panggabean.Berhubung
Drs. Abdulah Silondae adalah salah satu konseptor penyusunan
rancangan perencanaan program pembangunan daerah Sulawesi Tenggara
"pernanfaatan tanah dan air" tersebut pada Repelita I dan II dalam
melanjutkan perencanaan pembangunan dan berfokus pada sumber daya
manusia dengan memperbanyak pembangunan sarana pendidikan mulai
dari tingkat SD, menengah pertama dan atas hingga perguruan tinggi
termasuk lembaga-lembaga pendidikan/pelatihan keterampilan yang
tersebar mulai dari ibukota propinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan/desa di Propinsi Sulawasi Tenggara.Dari perjuangan yang
gigih dari Gubernur Drs. Abdullah Silondae, maka pada bulan Agustus
1981 oleh pemerintah diresmikan berdirinya Universitas Haluoleo di
Kendari ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara.Universitas Haluoleo
(Unhalu) tersebut merupakan dambaan dan perjuangan masyarakat
Sulawesi Tenggara sejak tahun 1950-an/1960-an yang merupakan paket
perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara kepada pemerintah pusat
untuk mengakui dan menetapkan daerah Sulawesi Tenggara menjadi
salah satu propinsi. Dasar perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara
tersebut karena potensi SDM, SDA, luas wilayah dan dinamika
masyarakat semakin meningkat sebagai pelaksanaan pembangunan
semesta 4 tahun pertama.Guna mewujudkan rencana pembangunan
tersebut pertengahan tahun 1980 Menteri PU mengadakan kunjungan
kerja di Propinsi Sulawesi Tenggara didampingi oleh gubernur dan
pejabat instansi melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Dimulai
dari jalur lingkar Pulau Buton, Pulau Muna dan lingkar daratan
Sulawesi Tenggara.
5.Pemerintahan Gubernur Ir. H. Alala (1982 - 1987)Pada masa
pemerintahan Ir. H. Alala menitikberatkan pembangunan dan
mencanangkan pendekatan dan strategi pembangunan wilayah pedesaan
yang dinamakan GERSAMATA" yang meliputi :1)Peningkatan produksi
sektor pertanian dalam arti luas.2)Penyediaan dan peningkatan
prasarana, sarana fisik dan sosial ekonomi.3)Pengembangan dan
penerapan teknologi pedesaan.4)Peningkatan kualitas lingkungan
hidup.5)Peningkatan kualitas hidup manusia atau masyarakat
pedesaan.Dari lima sasaran pokok tersebut di atas bahwa titik
pembangunan diletakkan pada sektor pertanian dalam arti luas.
Bidang-bidang dan sektor-sektor pembangunan lainnya sejalan dengan
hasil-hasil yang telah tercapai dalam sektor-sektor
tersebut.Gerakan Desa Makmur Merata (GERSAMATA) dalam pembangunan
lebih diarahkan ke daerah pedesaan, mengingat di sanalah terdapat
potensi daerah yang sangat kaya dengan SDA, khususnya pada sektor
pertanian dalam arti luas.Program pembangunan GERSAMATA sangat
berhasil untuk membangun wilayah pedesaan yang ditandai dengan
peningkatan produksi pertanian mulai dari tanaman pangan,
perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan.Kemajuan yang
terlihat dari program GERSAMATA tersebut dengan meningkatnya
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang menimbulkan
multiplayer effect sangat besar, dimana peningkatan daya beli
masyarakat di daerah perkotaan, peningkatan efektivitas ekonomi
masyarakat di berbagai bidang, kemampuan masyarakat dalam membayar
pajak meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatan pendapatan
asli daerah bagi kemajuan pembangunan di wilayah Sulawesi
Tenggara.
6.Pemerintahan Gubernur Drs. La Ode Kaimuddin (1992 - 2002)
Untuk membangun Sulawesi Tenggara secara keseluruhan
GubernurDrs. H. La Ode Kaimuddin mencanangkan program "Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat melalui Aplikasi Strategi Lima Sehat Empat
Penyempurnaan" yang dikeluarkan dengan keputusan DPRD Propinsi
Sulawesi Tenggara, Perda No. 13 Tahun 1998 dan Keputusan Gubernur
No. 21 Tahun 1999.Pemberdayaan ekonomi rakyat senantiasa menjadi
perhatian dalam pembangunan sepanjang masa, karena misi
pemberdayaan ekonomi rakyat lahir dari kegagalan pendekatan
pembangunan yang bersifat top down. Pemberdayaan ekonomi rakyat
merupakan suatu misi pembangunan yang memadukan antara pertumbuhan
dan pemerataan. Oleh karena itu keseluruhan dari penyelenggaraan
sistem pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di
Propinsi Sulawesi Tenggara harus diarahkan pada program-program
yang mampu untuk memberdayakan ekonomi rakyat Sulawesi
Tenggara.Penerapan ekonomi rakyat dalam pembangunan memerlukan
berbagai kebijakan. Dimana kebijakan yang tertuang dalam
program-program pembangunan sektoral dan spasial, baik secara
langsung maupun tidak langsung dirancang untuk turut memecahkan
lima masalah utama pembangunan yang ada di Sulawesi Tenggara yang
berhubungan langsung dengan pemberdayaan ekonomi rakyat saat ini
yakni kemiskinan akibat ketimpangan distribusi pendapatan, daya
serap wilayah yang masih rendah, pengangguran, SDM yang masih
rendah dan sikap hidup yang belum menghargai disiplin. Olehnya itu
perlunya pemerintah daerah dan segenap aparatur pemerintahan dan
seluruh lapisan masyarakat memberdayakan potensi yang dimilikinya
untuk pelaksanaan pembangunun yang ada di Sulawesi Tenggara rnenuju
masyarakat yang sejahtera.
7. Pemerintahan Gubernur Ali Mazi, SH (Periode 2003 - 2008)
Program pemerintahan Gubernur Ali Mazi sinergik dengan
program-program gubernur sebelumnya yaitu mengedepankan ekonomi
rakyat Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan konsep Stelsel
Masyarakat Sejahtera (SMS) Menuju Sultra Raya 2020.Dalam konsep ini
ada 4 pendekatan pembangunan Sultra Raya 2020 yaitu :1.Pembangunan
sebagai proses perubahan kebudayaan dan peradaban;2.Pembangunan
berporos kepentingan sosial-ekonomi kerakyatan;3.Pembangunan
berbasis investasi;4.Pembangunan birokrasi.Strategi pembangunan
Sultra Raya 2020 :1.Pembangunan sebagai proses perubahan kebudayaan
dan peradaban :(1)Saintifikasi kehidupan religiusitas
masyarakat;(2)Pendidikan keunggulan yang berorientasi sains,
teknologi dan ekonomi (SAINTEK);(3)Kesehatan dan kesejahteraan
sosial untuk semua dan bersama;2.Pembangunan yang berporos
kepentingan sosial-ekonomi kerakyatan :(4)Stelsel Masyarakat
Sejahtera (SMS);(5)Desa sebagai Badan Hukum Milik Masyarakat (BHMM
Desa);(6)Redistibusi asset dan faktor produksi untuk
rakyat;3.Pembangunan yang berbasis investasi :(7)Penarikan
investasi domestik dan internasional;(8)Skim Pengembalian Anggaran
dan Bunga/Repayment of Fund and Interest (PAB/ROFI);4.Meritokrasi
Birokrasi :(9)Double layer bureaucracy;(10)Kesejahteraan Pegawai;
dan(11)Desentralisasi fiskal serta produserasi kebijakan, program
dan anggaran antar Pemerintah Daerah (Sultra Development
Board).