Top Banner
Satu Dekade Bantuan Pembangunan Herryadi Adun, Jim Toar Matuli, Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo Penulis Editor dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia
51

Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Mar 20, 2016

Download

Documents

Tifa Foundation

Saat ini strategi utama bantuan pembangunan luar negeri adalah bekerjasama lebih erat dengan pemerintah, ketimbang dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil . Bantuan pembangunan internasional wajib menyesuaikan diri dengan prioritas pemerintah, atau dalam cara bekerjanya mesti mengandalkan kerjasama dengan pemerintah, termasuk didalamnya mengalirkan dana kepada kas pemerintah. Penulis berargumen strateg ini menjadi salah satu faktor yang memberi andil kepada proses gradual peminggiran peran kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia. Sudah saatnya bagi strategi bantuan pembangunan untuk bergeser kepada Strategi Demokrasi. Asumsi utama dari strategi demokrasi adalah bahwa kelompok–kelompok masyarakat sipil merupakan arus dari berbagai aktor, gagasan dan kelembagaan yang memiliki dinamikanya sendiri, yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya menciptakan pemerintah yang berkualitas dan masyarakat yang demokratis, berbasis hukum dan menghargai hak–hak asasi manusia.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Satu Dekade Bantuan Pembangunan

Herryadi Adun, Jim Toar Matuli, Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo

Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo

Penulis

Editor

dan Peran Kelompok–kelompok

Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 2: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Satu Dekade Bantuan Pembangunandan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil

di Indonesia

Page 3: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Sangsi Pelanggaran

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan

dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu-Juta-Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Milyar Rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan

atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

ii

Page 4: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

iii

Satu Dekade Bantuan Pembangunandan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil

di Indonesia

Penulis Herryadi Adun, Jim Toar Matuli

Mickael Bobby Hoelman, Sugeng Bahagijo

Mickael Bobby Hoelman, Sugeng BahagijoPenyunting

Page 5: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

iv

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil Di Indonesia / Penyunting: Mickael B. Hoelman,

Sugeng Bahagijo --- Jakarta : Yayasan Tifa, 2012

xx halaman+xi ; 25,5x17,5 cm2

ISBN 978-602-7590-01-4

Cetakan Pertama, Juli 2012

Penerbit Yayasan Tifa

Jln. Jaya Mandala II / 14E Menteng Dalam

Jakarta Selatan 12870 - INDONESIA

Telp. (021) 829-2776, Fax (021) 837-83648

e-mail : [email protected]

Desain tata letak dan perwajahan : Ayoenk

Page 6: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Daftar Isi

Kata Pengantar

Ringkasan Eksekutif

v

vi

vii

Pendahuluan

Indonesia Menurut Analisa Lembaga-lembaga

Bantuan Pembangunan

1

7

Isu-isu Prioritas Menurut Lembaga-lembaga

Bantuan Pembangunan

Strategi Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

Implikasi bagi Kelompok-kelompok

Masyarakat Sipil di Indonesia

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

13

19

29

35

Daftar Rujukan

Tentang Para Penulis dan Penyunting

39

41

1

Tabel 1

Tabel 2

Tabel 3

Gambar 1

10

Matriks Strategi 25

Dua Opsi Strategi 32

Matriks Analisis Berbagai Lembaga

Isu–isu yang Menjadi Fokus dan Perhatian Berbagai Lembaga 16

Skala Pendanaan 20

Cara Penyaluran Dana 22

Gambar 2

Gambar 3

2

3

4

5

6

Daftar Isi

Daftar Tabel dan Gambar

v

Page 7: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

I nisiatif kajian ini awalnya merupakan studi inventarisasi yang dilaksanakan pada April

hingga Juni, 2011 yang ditujukan sebagai masukan terhadap proses perumusan Strategi

Yayasan Tifa 2011–2014. Studi inventarisasi dilaksanakan melalui

terutama terhadap naskah–naskah perencanaan strategis, dokumen program, proyek dan

hasil evaluasi dari berbagai lembaga–lembaga bantuan pembangunan. Selain itu, juga

dilakukan serangkaian wawancara dengan pimpinan dan staf dari lembaga–lembaga

bantuan pembangunan yang bertempat di Jakarta.

Studi inventarisasi dilandasi oleh pertimbangan adanya peluang–peluang dan kesempatan–

kesempatan baru bagi kerjasama bantuan pembangunan di Indonesia. Dalam kaitan

tersebut, studi inventarisasi menjadi penting untuk mendapatkan informasi upaya–upaya

apa saja yang telah dan sedang dilakukan oleh para pihak. Selain itu, juga untuk memahami

bagaimana dukungan dan bantuan–bantuan pembangunan tersebut telah bekerja untuk

mencapai dampak–dampak yang lebih bermanfaat terutama bagi warga. Studi inventarisasi

karenanya, ditujukan untuk menangkap pelajaran–pelajaran berharga dan

menggunakannya secara sistematis sebagai strategi kelembagaan baru di tahun–tahun

mendatang.

Pada perjalanannya, hasil studi inventarisasi telah berkembang menjadi kajian lebih

mendalam terutama kepada kaitan temuan–temuan di dalam studi inventarisasi terhadap

peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia di masa depan. Dalam kaitan

tersebut, kajian lanjutan dilaksanakan selama kurun waktu Maret hingga Mei, 2012 melalui

wawancara lebih mendalam dengan beberapa pimpinan dan staf perwakilan lembaga–

lembaga bantuan pembangunan, terutama badan–badan bantuan pembangunan bilateral.

Demikian halnya, juga dilaksanakanpemeriksaan kembali terhadap setiap literatur untuk

memastikan kebaruan terhadap hasil studi inventarisasi sebelumnya.

Para penulis menyampaikan terima kasih kepada Imam Cahyono yang telah membantu

pelaksanaan kajian ini pada tahap awal. Terima kasih juga untuk para pihak yang telah

bersedia diwawancarai dan memberikan komentar serta umpan balik selama proses studi

inventarisasi maupun pengayaan penulisan kajian ini.

Ketua Tim Kajian

literature

Michael Bobby Hoelman

review

Kata Pengantar

vi

Page 8: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

L ebih dari satu dekade sejak Reformasi, bantuan pembangunan internasional masih

mengalir deras ke Indonesia dengan berbagai alasan latar belakang dan tujuan.

Berbeda dengan masa krisis 1998 dan sebelumnya, kedudukan dan jumlah bantuan

pembangunan luar negeri (ODA), secara rata–rata relatif kecil jika dibandingkan dengan

volume anggaran pemerintah, yaitu kurang dari 1 persen PDB. Namun demikian, bantuan

pembangunan itu memiliki andil penting dalam memulai, mempercepat, dan memicu

( ) reformasi serta perubahan– perubahan di berbagai sektor publik dan

pemerintahan di Indonesia.

Kini, strategi utama bantuan pembangunan luar negeri adalah bekerjasama lebih erat

dengan pemerintah, ketimbang dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil (

). Bantuan pembangunan internasional wajib menyesuaikan diri dengan prioritas

pemerintah, atau dalam cara bekerjanya mesti mengandalkan kerjasama dengan

pemerintah, termasuk didalamnya mengalirkan dana kepada kas pemerintah. Strategi ini

dapat disebut sebagai Strategi Tata Pemerintahan.

Strategi tersebut telah menjadi salah satu faktor yang memberi andil kepada proses gradual

peminggiran peran kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia. Menyusutnya

dukungan kepada kelembagaan dan organisasi–organisasi masyarakat sipil, terutama

mereka yang bergiat di bidang HAM dan Demokratisasi adalah satu indikasi yang kuat.

Meski, proses peminggiran itu tidak semata–mata dipengaruhi oleh faktor eksternal. Ia juga

dipengaruhi oleh proses–proses di dalam, antara relasi negara dengan kelompok–kelompok

masyarakat sipil yang bersifat hak dan proses internal di dalam dirinya sendiri, seperti

kepemimpinan dan pelembagaan organisasinya.

Sudah saatnya bagi strategi bantuan pembangunan untuk bergeser kepada Strategi

Demokrasi. Asumsi utama dari strategi demokrasi adalah bahwa kelompok–kelompok

masyarakat sipil merupakan arus dari berbagai aktor, gagasan dan kelembagaan yang

memiliki dinamikanya sendiri, yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya menciptakan

pemerintah yang berkualitas dan masyarakat yang demokratis, berbasis hukum dan

menghargai hak–hak asasi manusia.

bantuan pembangunan; kelompok–kelompok masyarakat sipil; kerjasama pembangunan;

Indonesia; kualitas demokrasi; kualitas pemerintahan

catalyst

non–state

actors

-------

Kata–kata kunci:

vii

Ringkasan Eksekutif

Page 9: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Pendahuluan

Page 10: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Bantuan pembangunan dapat dipilah ke dalam tiga bentuk: bantuan pembangunan

internasional yang dananya bersumber dari pemerintah asing (

/ODA), kegiatan kemanusiaan yang dananya bersumber langsung dari

masyarakat di negara–negara maju, serta dana–dana yang berasal dari yayasan swasta

(seperti Yayasan Ford atau Yayasan Bill & Melinda Gates).

Bantuan pembangunan pada awalnya dimulai oleh paket bantuan ekonomi Marshall Plandi

tahun 1947 yang dialirkan oleh Amerika Serikat guna membantu warga dan kota–kota di

Eropa yang hancur lebur akibat perang dunia kedua. Bantuan pembangunan tidak hanya

berupa dana, namun juga dapat berupa keahlian teknis dan sumberdaya manusia. Kantor

Marshal Plan kemudian berubah menjadi kantor Organisasi untuk Kerjasama dan

Pengembangan Ekonomi ( /

OECD) pada tahun 1961. Jangan keliru, bantuan pembangunan bukan hanya berbentuk

hibah, akan tetapi juga dapat berupa pinjaman yang harus dikembalikan.

Secara ekonomi politik, bantuan pembangunan khususnya ODA memiliki wajah ganda yakni

sebagai uluran tangan yang baik dan wujud dari solidaritas kemanusiaan, sekaligus sebagai

tangan untuk merangkul kawan dan lawan politik dalam tatanan hubungan internasional.

Dalam perjalanannya, motif bantuan pembangunan berkembang tidak hanya untuk tujuan

kemanusiaan dan politik internasional, akan tetapi dapat pula bersifat pembangunan

ekonomi (perluasaan pasar) hingga keamanan nasional di dalam kawasan. Apapun

motifnya, praktik–praktik tersebut telah dijalankan selama lebih dari 60 tahun.

Selama kurun waktu tersebut pula, bantuan pembangunan menuai pujian sekaligus

kecaman. Kegelisahan dan kritik atas bantuan pembangunan diserukan oleh para

pendukung maupun penentangnya, terutama di negara–negara maju. Salah satu kritik yang

layak untuk dipertimbangkan muncul pada tahun 2006, lewat sebuah buku berjudul

yang ditulis oleh mantan pejabat Bank Dunia yang juga Guru Besar Ekonomi di

Universitas New York, William Easterly. Buku ini mengajukan bukti mengenai keraguan

terhadap manfaat dan hasil–hasil bantuan pembangunan.

Tiga tahun kemudian, terbit pula sebuah buku kajian berjudul

, yang berupaya mengimbangi dan menjawab

kegelisahan Easterly terhadap bantuan pembangunan. Buku ini disunting oleh Monique

Kramer, Peter Van Lieshout dan Robert Went dan diterbitkan oleh

(WRR) di Belanda. Buku tersebut menganalisa paradigma dan

strategi–strategi bantuan pembangunan yang digunakan di berbagai benua selama kurun

waktu enam dekade; termasuk kendala maupun tantangannya, serta pendapat atas

perlunya pendekatan baru yang dibutuhkan untuk meraih niat dan tujuan bantuan

pembangunan yang lebih baik.

Official Development

Assistance

Organization for Economic Co–operation and Development

The

White Man's Burden: Why the West's Efforts to Aid the Rest Have Done So Much Ill and So Little

Good

Doing Good or Doing Better,

Development Policies in a Globalizing World

Scientific Council for

Government Policy

1

I. Pendahuluan Pendahulu

an

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 11: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Pada kenyataanya, bantuan pembangunan ternyata tidak dapat dilepaskan dari pergeseran

pendekatan pembangunan ( ). Menurut Kramer (2009), selama enam

dekade pergeseran itu dapat dirumuskan sebagai berikut; Pada tahun 50–an hingga 60–an

pendekatan utama adalah apa yang disebutnya sebagai paradigma bantuan keuangan dari

luar ( ). Dalam paradigma ini, bantuan keuangan asing dianggap

sebagai solusi utama untuk pembangunan. Karenanya, masalah–masalah pokok di

negara–negara miskin dipandang melulu hanya bersumber dari kekurangan dana atau

modal keuangan. Pinjaman dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) hingga

negara–negara maju menjadi pilihan utama untuk mewujudkan pembangunan

infrastruktur, industrialisasi dan penyelenggaraan pendidikan yang dibutuhkan bagi

ekonomi nasional dan kemakmuran masyarakat.

Dalam perjalanannya, paradigma lama ini ditinggalkan antara lain karena membengkaknya

beban utang di negara–negara miskin. Pada tahun 70–an hingga 80–an, pendekatan bantuan

keuangan dari luar mulai dikesampingkan dan digantikan oleh paradigma pasar dengan

sedikit peran atau campur tangan negara yang kemudian menjadi primadona di banyak

benua. Meski demikian, pendekatan ini pun tidak menuai hasil pembangunan yang

menggembirakan dan di banyak tempat justru menemui krisis bahkan kemandekan

ekonomi.

Pada periode 90–an hingga 2000–an, paradigma pembangunan secara berangsur berubah.

Kegagalan paradigma pasar dipandang terutama disebabkan karena minimnya kualitas

pemerintahan di negara–negara berkembang dan miskin. Secara ringkas, paradigma ini

memandang bahwa ketiadaan struktur pemerintahan yang sesuai untuk menjalankan

kebijakan hanya akan membuat bantuan pembangunan menjadi sia–sia. Tata kelola

pemerintahan menjadi variabel utama untuk memprediksi keberhasilan bantuan

pembangunan. Kini, baik dana maupun kurangnya keleluasaan pasar bukan lagi hal–hal

yang utama namun justru lemahnya sistem hukum, tingginya angka korupsi hingga

pemerintah yang otoriterlah yang merupakan sumber masalah utama. Dengan kata lain,

jika di dekade sebelumnya paradigma pembangunan lebih didominasi oleh pentingnya

pasar dan pemangkasan birokrasi, kini pandangan tersebut mulai berganti kepada

pentingnya peran negara terutama dalam memerangi korupsi, menerapkan keterbukaan

( ) dan mewujudkan demokrasi. Tata kelola pemerintahan ( )

menjadi penting bagi semua negara–negara berkembang maupun miskin untuk

memperkuat berbagai kelemahan kelembagaan dan menuju negara demokrasi.

Di Indonesia, bantuan pembangunan dan kegiatan kedermawanan ( )

internasional telah dikenal sejak era Presiden Soekarno. Lembaga–lembaga derma swasta

seperti Yayasan Ford dan berbagai lembaga bilateral hadir dan menjalankan kiprahnya.

Tidak sedikit elite dan lembaga–lembaga sosial ekonomi yang bermunculan di Indonesia

adalah sebagian kecil dan besar karena andil bantuan pembangunan ini. Lebih dari itu,

berbagai perbaikan dan inovasi di Indonesia dalam banyak lini bisnis, pemerintahan dan

masyarakat sipil juga berkembang luas karena dorongan dan peranan dukungan–dukungan

teknis maupun dana dari berbagai lembaga tersebut, terutama lembaga–lembaga bilateral,

yayasan swasta hingga lembaga–lembaga internasional yang memperoleh dana dari

masyarakat di negara maju.

development policy

financial-push paradigm

transparency governance

philanthropy

Bantuan Pembangunan Di Indonesia

2 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Pendahulu

an

Page 12: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Memasuki era Orde Baru, peranan bantuan pembangunan menjadi semakin penting.

Peralihan rejim Soekarno kepada Soeharto mewariskan situasi perekonomian yang buruk

terutama karena agresi militer Belanda dan berbagai pemberontakan di sejumlah wilayah.

Ketidakstabilan politik telah menyebabkan kemerosotan ekonomi, inflasi yang tinggi serta

lonjakan defisit pada anggaran negara. Sementara itu, pemerintah yang baru memerlukan

dana pembangunan untuk membiayai stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Guna mengatasi

hal ini, di awal pemerintahannya, Soeharto membangun komitmen utang dengan Amerika

Serikat dan bergabung kembali ke dalam keanggotaan Bank Dunia (Toussaint 2004). Selain

itu, Soeharto juga mendorong lahirnya Kelompok Antar Pemerintah Bagi Indonesia

( /IGGI) yakni sebuah kelompok kerjasama

internasional yang diketuai oleh Belanda dan dibentuk untuk mengoordinasikan dana

bantuan pembangunan multilateral kepada Indonesia. Bantuan awal IGGI ditujukan untuk

penyusunan program pertama Rencana Lima Tahun Indonesia (REPELITA I).

Orde Baru juga memperkenalkan konsep Trilogi Pembangunan, yakni stabilitas,

pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Sayang, dalam praktiknya, Orde Baru

memasang wajah ganda, di satu sisi menampilkan tangan besi kepada rakyatnya sebagai

ongkos tersedianya sandang, pangan dan papan yang murah. Sebaliknya, kepada dunia

internasional Soeharto menampilkan wajah bersahabat melalui janji–janji perlindungan

investasi dari ketidakpastian hukum dan ketidakstabilan politik. Terhadap bantuan

pembangunan, Soeharto menyediakan ruang yang lebih terbuka bahkan terhadap

pertumbuhan dan fragmentasi berbagai macam bantuan pembangunan baru, baik karena

keperluan ekonomi maupun alasan keharusan politik.

Tak heran bila CGI meneruskan dukungan untuk Soeharto dan menerima hujan kecaman

terutama dari organisasi–organisasi non–pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia

karena sikapnya yang tidak kritis kepada Rejim Orde Baru. Bank Dunia misalnya, dianggap

tutup mata terhadap maraknya praktik korupsi dengan alasan hal–hal ini merupakan

urusan dalam negeri Indonesia alias bukan urusan Bank Dunia. Dalam laporan rahasia

menjelang kejatuhan Soeharto, Bank Dunia memperkirakan minimal 20%–30% dana

anggaran pembangunan Indonesia telah diselewengkan (Bank Dunia, 1997). Kebocoran ini

juga berlaku terhadap dana–dana pinjaman dari Bank Dunia sendiri. Bank Dunia juga hirau

terhadap pelanggaran hak asasi manusia pada proyek–proyek yang didanainya. Sebuah

sikap yang kemudian berubah setelah Indonesia memasuki era Reformasi.

Kombinasi antara rejim otoriter dan bantuan pembangunan ternyata turut mematangkan

gagasan pembaharuan. Bantuan hukum dan HAM, gerakan konsumen, dan gerakan

,

Intergovernmental Group on Indonesia

Selama lebih dari dua dasawarsa, wajah ganda ini berjalan beriringan hingga menemui

perbenturan kepentingan di awal dekade 90–an. Terutama karena berkembangnya isu

demokratisasi dan minimnya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Di masa ini pula terjadi

titik balik manakala Soeharto membekukan bantuan dari Belanda sebagai penolakan

terhadap kritik Perdana Menteri Belanda yang juga ketua IGGI Jan Pronk atas insiden

pelanggaran HAM di Dili, Timor Timur pada tahun 1991. Meski demikian, Soeharto terbukti

hanya melancarkan taktik politik semata. Alih–alih menolak bantuan internasional,

Indonesia justru melanjutkan kerjasama bantuan pembangunan dan meminta Bank Dunia

menjadi koordinator forum koordinasi bantuan internasional bagi Indonesia (

/CGI), yaitu sebuah konsorsium negara–negara dan lembaga pemberi

bantuan (hibah dan pinjaman) untuk Indonesia yang didirikan pada tahun 1992 sebagai

pengganti IGGI.

Consultative

Group on Indonesia

3

Pendahulu

an

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 13: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

lingkungan

Lagipula, perombakan dan penataan sistem lama (Orde Baru) ke sistem baru (Reformasi)

ternyata tidak cukup banyak melahirkan deviden demokrasi kecuali kemerdekaan pers,

kebebasan berbicara dan kebebasan beroganisasi. Capaian–capaian itu tentu saja tidak

ringan untuk diremehkan, namun ia belum terlalu memadai bagi peran masyarakat sipil

yang lebih sehat dan demokratis. Pada beberapa dimensi, tidak nampak perubahan dalam

relasi negara dengan masyarakat sipil. Meski kini kelompok–kelompok masyarakat sipil

tidak lagi dikendalikan, namun dukungan pendanaan dari lembaga–lembaga bantuan

pembangunan belakangan justru semakin terbatas. Pemerintah Indonesia sendiri bahkan

belum mengambil inisiatif kebijakan pembiayaan dari dalam negeri guna memungkinkan

perluasan peran dari kelompok–kelompok masyarakat sipil. Patronase politik (elite politik

tebang pilih dalam mengalokasikan sumber daya) dan kebijakan statis (negara mengatur

dan memiliki semuanya) masih terus berlangsung. Sementara, kerjasama dan koalisi

diantara masyarakat sipil juga nampak rapuh karena masing–masing saling bersaing

sehingga mereka gagal mencapai dampak perubahan yang lebih luas (Antlov dkk, 2008).

Dalam banyak kesempatan, solidaritas dan kepedulian terhadap defisit, kesenjangan dan

kelemahan– kelemahanyang menyolok dari sistem politik dan ekonomiyang dulu pernah

serta gerakan sosial lainnya adalah gagasan dan benih–benih lokal yang tumbuh

dan berkembang sebagai akibat sistem politik yang otoriter. Dengan diprakarsai oleh

wakil–wakil kelas menengah yang prihatin dan mendambakan perubahan, gerakan–

gerakan ini menemukan dukungan yang kuat dari lembaga–lembaga bantuan

pembangunan. Keduanya sama–sama memimpikan Indonesia yang demokratis, berbasis

hukum dan menghormati hak–hak asasi manusia.

Meski di masa itu kelompok–kelompok masyarakat sipil memiliki ruang gerak yang terbatas

karena pembatasan dana dan pengendalian politik di dalam negeri, dalam praktiknya,

pembatasan dan pengendalian tersebut tidak mampu menahan gelombang protes di

kalangan terpelajar dan menengah perkotaan terutama ketika harga barang–barang

kebutuhan pokok meroket karena terpaan krisis keuangan di Asia. Gerakan mahasiswa dan

Reformasi 1998 akhirnya berhasil menumbangkan rejim otoriter Soeharto. Sebagian,

benih–benih gerakan itu telah ditanam dan disemaikan oleh gagasan berbagai tokoh dari

kelompok–kelompok masyarakat sipil tersebut.

Ironisnya, paska tumbangnya rejim otoriter Soeharto, kerjasama yang baik antara lembaga

bantuan pembangunan dan kelompok–kelompok masyarakat sipil justru dapat dikatakan

menyurut terutama memasuki era 2000–an (paska-reformasi). Sementara bantuan

kemanusiaan dan peran yayasan swasta masih terus berjalan, dukungan ODA kepada

kelompok–kelompok masyarakat sipil cenderung menurun, seiring dengan pergeseran

perhatian dari berbagai lembaga bantuan pembangunan untuk memulihkan kembali

hubungan dan kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mulai

dipandang sebagai negara demokratis dan menunjukkan perbaikan–perbaikan ekonomi

yang relative cepat.

Di era paska reformasi, kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia, bak layang–layang

yang diputuskan talinya, limbung dan hampir tanpa arah, baik secara pendanaan maupun

orientasi gerakannya. Tradisi berhadapan dengan rejim otoriter nyaris tidak dibutuhkan

lagi. Partai–partai politik dan lembaga perwakilan kini mulai berfungsi dan memiliki

pengaruh penting dalam penentuan kebijakan pembangunan. Di era ini pula, bermunculan

pendapat yang mempertanyakan relevansi kelompok–kelompok masyarakat sipil.

4

Pendahulu

an

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 14: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

menjadi keprihatinan bersama, belakangan semakin luput dari pertukaran gagasan

pembaharuan maupun kerjasama.

Tulisan ini akan memeriksa persoalan bantuan pembangunan dan kelompok–kelompok

masyarakat sipil di Indonesia. Lembaga–lembaga bantuan pembangunan yang dianalisa

meliputi; (i) Lembaga bantuan multilateral, seperti Bank Dunia, Badan Program

Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Bank Pembangunan Asia, dan Uni Eropa;

(ii) Badan pembangunan bilateral, seperti USAID, Ausaid, CIDA, DfID, GIZ, dan lain

sebagainya; (iii) Lembaga pengelola hibah internasional, seperti Hivos, Oxfam, The Asia

Foundation, dan lain sebagainya; (iv) Lembaga derma swasta internasional seperti Ford

Foundation dan sejenisnya; serta (v) Lembaga pengelola hibah nasional, seperti Kemitraan,

KEHATI, Yayasan Tifa, dan lain sebagainya. Sementara itu yang dimaksud dengan

kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia dapat meliputi; organisasi–organisasi

non–pemerintah, organisasi kemasyarakatan, universitas, media massa hingga

kelompok–kelompok bisnis. Secara khusus, penekanan di dalam kajian ini akan banyak

ditujukan kepada organisasi–organisasi non–pemerintah.

Pertanyaan utama yang hendak dibahas di dalam kajian ini adalah: bagaimana

kecenderungan bantuan pembangunan selama sepuluh tahun terakhir telah membawa

dampak bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia? Akankah reformasi

menjadi permulaan bagi kemandekan ataukah justru menjadi permulaan bagi kebangkitan?

Kecenderungan di sini tidak saja dimaknai sebagai tren pendanaan, akan tetapi juga

mencakup gagasan dan pendekatan, strategi serta pola–pola operasionalisinya. Dari

berbagai aspek itulah, pada akhirnya akan ditarik kesimpulan berupa implikasinya bagi

keberadaan dan peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

5

Pendahulu

an

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 15: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Indonesia menurut

Analisa Lembaga lembaga

Bantuan Pembangunan

-

Page 16: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Lebih dari sepuluh tahun sejak Indonesia berubah dari rejim politik otoriter ke rejim

demokrasi, dalam rentang waktu itutelah banyak perubahan yang terjadi di dunia

internasional. Diantaranya adalah krisis ekonomi pada tahun 2008 yang telah

melumpuhkan pusat–pusat ekonomi dunia, terutama Amerika Serikat dan negara–negara

di kawasan Eropa, pergolakan politik dan tuntutan demokratisasi di Mesir dan

negara–negara Afrika Utara, serta berbagai bencana alam di banyak negara termasuk di

Jepang dan Amerika Serikat.

Selama 13 tahun paskareformasi atau setelah krisis 1998, Indonesia juga mengalami

banyak perubahan. Perubahan–perubahan itu dalam catatan dan analisa berbagai lembaga

bantuan pembangunan tidak hanya menyangkut sistem politik, akan tetapi juga sistem

ekonomi, pemerintahan dan lain sebagainya. Beberapa ciri utama yang diidentifikasi oleh

lembaga–lembaga bantuan pembangunan tersebut kiranya dapat disarikan ke dalam tiga

perubahan utama, sebagai berikut:

Indonesia adalah negara berpendapatan menengah, meski Indonesia baru berada

pada level dengan pendapatan 3,000 dollar per-kapita per

tahun (2010). Namun sebagai bagian dari kelompok negara–negara berpendapatan

menengah, Indonesia kini berada di kelompok dengan negara–negara yang pendapatannya

5,000 dollar per kapita, seperti Malaysia, Brasil dan Afrika Selatan.

Karena pertumbuhan ekonomi dan besaran kue ekonominya (PDB), Indonesia telah ikut

serta dalam keanggotaan Forum G20 yang merupakan forum negara–negara dengan kue

ekonomi 20 terbesar di dunia. Keanggotan ini sama artinya bahwa Indonesia telah

menyamai kue ekonomi Swedia, Belgia dan sebagainya. Selain menjadi anggota Forum

Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Indonesia kini juga menjadi negara anggota peninjau dalam forum OECD, sebuah klub

negara–negara maju di dunia. Secara berkala, kantor OECD telah mengeluarkan laporan

tentang Indonesia. Artinya, Indonesia dipandang dalam waktu tidak lama lagi dapat

menjadi sumber sekaligus penggerak pertumbuhan ekonomi dunia selain Amerika Serikat

dan Eropa sebagaimana negara–negara yang tergabung di dalam keanggotaan BRICS

(Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan).

Indonesia menjadi negara yang menerapkan sistem demokrasi terbesar setelah

India dan Amerika Serikat. Sekaligus, menjadi negara dengan mayoritas penduduk muslim

yang telah menerapkan demokrasi. Demokrasi diterapkan melalui sistem multipartai,

dimana telah dilaksanakan tiga kali pemilihan umum yang dipandang cukup demokratis.

Indonesia kini juga menjadi negara terdesentralisasi dengan banyak wewenang dan

sumberdaya di tingkat kota dan kabupaten. Kecuali dalam hal politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama, Indonesia kini lebih banyak

dikendalikan oleh para pemimpin di daerah ketimbang di ibu kota Jakarta.

Pertama

Kedua

,

,

lower middle income country

II. Indonesia menurut Analisa Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

7

Analis

a

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 17: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Ketiga, meski menjanjikan perubahan yang positif dan menggembirakan, lembaga–

lembaga bantuan pembangunan juga mencatat bahwa Indonesia masih saja dibelenggu oleh

berbagai kendala. Setidaknya terdapat tujuh permasalahan yang dapat menghambat

kemajuan Indonesia di masa kini dan masa depan, yakni: (i) kemiskinan dan pengangguran;

(ii) pertumbuhan ekonomi yang belum berkelanjutan; (iii) efektivitas dan kapasitas

pemerintah, termasuk kendala dalam desentralisasi; (iv) korupsi yang masih luas dan

sistemik; (v) minimnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi; (vi)

tantangan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan; serta (vii) ketimpangan perlakuan

terhadap laki–laki dan perempuan ( ).

Masalah lain yang selalu nampak menjadi ciri Indonesia adalah angka kemiskinan yang

masih tinggi. Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam hal penanggulangan

kemiskinan. Sebanyak 49 persen penduduk masih hidup dibawah garis pendapatan 2 dolar

per hari. Jika memakai ukuran garis kemiskinan pemerintah Indonesia, berdasarkan data

tahun 2007, masih terdapat 17 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Angka kemiskinan di berbagai daerah juga bervariasi. Misalnya, angka kemiskinan di Jawa

lebih rendah (5 persen) ketimbang angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat yang

mencapai 40 persen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang semakin membaik dan positif, namun

pertumbuhan itu ternyata belum optimal menyerap tenaga kerja ( ). Dari 20

juta angkatan kerja usia muda yang memasuki pasar kerja, hanya 3 juta yang terserap ke

dalam sektor formal. Angka pengangguran senantiasa bergerak antara 9 hingga 10 persen.

Salah satu lembaga bantuan pembangunan multilateral misalnya menyatakan bahwa meski

Indonesia telah banyak berhasil dalam mempertahankan kinerja ekonomi makro, namun

keberhasilan ini juga masih disebutnya sebagai “gelas isi separuh” terutama karena

Indonesia belum berhasil mendistribusikannya kepada perbaikan–perbaikan kehidupan

dan kesejahteraan penduduknya. Ada dua skenario bagi Indonesia masa depan, yakni:

Indonesia dapat menjadi “negara kelas menengah yang dinamik” atau “negara mengambang

dalam keadaan hanya separuh gelasnya saja yang terisi”.

Sehingga dalam bidang ekonomi, Indonesia memerlukan peningkatan pertumbuhan

ekonomi berkelanjutan agar dapat menyerap angkatan kerja yang puluhan juta jumlahnya.

Untuk itu, yang menjadi masalah utama adalah perbaikan iklim investasi. Beberapa

persoalan utama terkait dengan iklim investasi diantaranya; (i) prosedur investasi yang

berliku baik ditingkat pusat maupun daerah; (ii) penegakan hukum yang lemah; (iii) tata

kelola pemerintahan yang buruk, terutama di bidang bea cukai dan perpajakan yang belum

berhasil mengumpulkan pendapatan bagi pemerintah dan perlakuan yang adil terhadap

investor; serta (iv) kondisi pasar tenaga kerja yang kurang menarik.

Kelemahan lain yang mencolok dan dirasakan langsung dalam keseharian warga adalah

efektivitas pemerintah baik karena kapasitasnya yang tidak memadai maupun lemahnya

akuntabilitas dari para pegawai negerinya. Kelemahan kapasitas terjadi di banyak wilayah

dan lebih–lebih di tingkat pemerintah daerah. Dalam soal akuntabilitas pegawai negeri atau

birokrasi, meski momentum pengendalian dan pemberantasan korupsi menjanjikan lewat

kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

(TIPIKOR), namun hal ini masih terkendala oleh lemahnya penegakan hukum akibat

perlawanan dari dalam institusi–institusi penegak hukum itu sendiri, terutama dari

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Mahkamah Agung. Kelemahan terutama dari

tatakelola pemerintahan adalah masalah koordinasi diantara berbagai lembaga di dalam

gender

jobless growth

8 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Analis

a

Page 18: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

pemerintah. Kelemahan ini telah menyebabkan perancangan dan pelaksanaan kebijakan

berjalan lamban bahkan tidak efektif.

Meski desentralisasi telah membawa pengambilan keputusan lebih dekat kepada warga, di

dalam perjalanannya ia juga telah memperlihatkan adanya kelemahan teknis dan

administratif pada tingkat pemerintah daerah. Lemahnya pemerintahan daerah yang

efektif dan demokratis dalam penyediaan pelayanan publik serta kegagalan sektor hukum

dalam memberantas korupsi yang endemik dan menimbulkan ketidakpercayaan publik

merupakan tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi dan tata kelola pemerintahan.

Berbagai ancaman konflik di wilayah–wilayah di Indonesia dan perlawanan elit politik

maupun sebagian birokrasi pemerintah atas upaya reformasi telah membuat tantangan

tersebut semakin berat.

Selain itu, korupsi juga menjadi momok atau kendala utama dalam memajukan kebijakan

ekonomi yang memihak warga miskin, perbaikan iklim investasi dan perbaikan sistem

hukum. Korupsi juga sangat mempengaruhi upaya Indonesia dalam mereformasi peran

Kepolisian dan TNI, serta pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia.

Pemberantasan korupsi mengalami kendala karena adanya budaya patronase yang

mengakar selama 50 tahun di dalam sistem politik Indonesia.

Beberapa lembaga bantuan pembangunan bilateral juga memandang adanya kelemahan

pada upaya penegakan Hak Asasi Manusia. Dalam bidang HAM, masalah impunitas terhadap

pelanggaran hak asasi manusia masa lalu merupakan masalah utama yang disebabkan oleh

kelemahan kelembagaan dari berbagai badan–badan kehakiman dan penegakan hukum.

Perubahan iklim menjadi perhatian lembaga–lembaga bantuan pembangunan, terutama

lembaga multilateral seperti PBB. Perubahan iklim dipandang dapat menghambat

pencapaian Indonesia dalam memenuhi target Tujuan–tujuan Pembangunan Milenium

(MDGs). Indonesia terutama rentan terhadap pasang naik air laut dan banjir. Perubahan

cuaca dan musim juga dapat merusak produksi pertanian kelompok petani kecil dan

tangkapan nelayan. Di samping itu, laju peralihan kawasan hutan dan kerusakan lingkungan

telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara ketiga terbesar penyumbang emisi

gas rumah kaca.

Masalah utama lainnya adalah soal ketimpangan perlakuan terhadap laki–laki dan

perempuan ( ). Akses kaum perempuan terhadap pelayanan kesehatan dan

pendidikan masih merupakan masalah. Indonesia memiliki tingkat angka kematian ibu

yang tinggi. Selain itu, perempuan juga kurang terwakili di dalam berbagai jabatan publik.

Meski pemerintah telah menyatakan komitmen yang besar untuk mengatasi masalah–

masalah ini, diperlukan upaya yang lebih sungguh–sungguh terutama pada tingkat

pelaksanaannya. Jika tidak segera diatasi, kelompok perempuan akan terus mengalami

dampak yang lebih berat sebagai akibat dari diskriminasi, penyalahgunaan wewenang dan

korupsi. Berbarengan dengan masih lemahnya kelembagaan demokrasi, konsolidasi

demokrasi perlu melibatkan upaya yang lebih luas untuk memajukan partisipasi. Meski

reformasi telah melahirkan pemerintahan yang terdesentralisasi, pemilu dan penataan

kembali berbagai undang–undang, namun kebijakan negara dan program–program

reformasi nampaknya masih belum berhasil menangani atau menjawab masalah

kemiskinan yang mendalam dan diskriminasi yang terus–menerus dialami oleh

kelompok–kelompok sosial yang terpinggirkan.

gender

9

Analis

a

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 19: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Tabel 1. Matriks Analisis Berbagai Lembaga

LEMBAGA

Lembaga

Bantuan

Pembangunan

Mulilateral

ANALISIS KONTEKS INDONESIA

?

?

?

?

?

?

Transisi politik yang berhasil dalam sejarah modern

Muncul sebagai negara berpendapatan menengah (

) dengan perbaikan HDI tercepat

Tingginya angka kemiskinan dan pertumbuhan yang timpang, tidak merata atau

belum berhasil membuat pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan

Iklim investasi yang kurang mendukung dan minimnya infrastruktur sebagai

kendala pertumbuhan

Kapasitas dan akuntabilitas institusi sebagai kendala utama. Desentralisasi

belum disertai kapasitas pemerintah daerah dan korupsi masih menjadi kendala

besar

Impunitas bagi pelanggar HAM masa lalu

Perubahan iklim menjadi kendala karena dampaknya pada pertanian dan

perikanan, dsb

lower middle incomecountry

?

Badan

pembangunan

internasional

bilateral

?

?

?

?

?

?

Perubahan politik dan desentralisasi

Kemiskinan masih merupakan tantangan utama Indonesia

Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi belum berbuah kepada perbaikan

kesejahteraan ( )

Tata kelola pemerintahan dan korupsi menjadi masalah besar. RAN–PK

(Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi) sudah ada namun belum

secara efektif terlaksana

Kurangnya investasi pada anggaran nasional

Kelemahan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik

Ketimpangan

Kegagalan sektor hukum

jobless growth

gender

?

?

Lembaga

pengelola

hibah

internasional

?

?

?

Desentralisasi masih ditandai oleh lemahnya kapasitas pemerintah daerah

Partisipasi kaum perempuan masih lemah baik dalam ranah politik maupun

sosial ekonomi

Ketidaksetaran masih kuat

Kerusakan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana

gender?

Lembaga

derma swasta

internasional

?

?

?

Indonesia telah berhasil menjalankan transisi dari pemerintah militer ke

demokrasi

Kebijakan negara masih belum reformasi: diskriminasi dan esklusi masih

dialami oleh kelompok marjinal

Perlu dukungan kepada kelompok marjinal untuk dapat mempengaruhi

kebijakan publik

Lembaga

pengelola

hibah nasional

?

?

?

Demokrasi belum memajukan keragaman dan kesetaraan bagi warga negara

Impunitas masih menjadi kendala dan tantangan besar di Indonesia

paskareformasi

Desentralisasi masih diwarnai oleh praktik buruk seperti korupsi dan minimnya

keterlibatan warga negara dalam pembuatan kebijakan

Diskriminasi masih saja terjadi pada kelompok minoritas, kaum perempuan,

anak–anak dan orang dengan kemampuan berbeda ( )difable?

10

Analis

a

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 20: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

11

Analis

a

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 21: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Isu isu Prioritas

menurut Lembaga lembaga

Bantuan Pembangunan

-

-

Page 22: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Selama tiga dekade sebelum Reformasi, Data Komite Bantuan Pembangunan (

/DAC) OECD menunjukkan Indonesia senantiasa berada pada urutan

pertama (1999/2000) dan kedua (1989/1990; 2009/2010) negara penerima bantuan ODA.

Jika Indonesia kini telah menjadi negara berpendapatan menengah, dengan jumlah

Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang setiap tahunnya berada diatas

1,000 triliun rupiah serta telah menjadi salah satu negara anggota G20, mengapa bantuan

lembaga–lembaga pembangunan masih saja diperlukan? Atau dengan rumusan lain, jika

masalah Indonesia kini bukanlah pada kelangkaan atau ketiadaan dana, apa saja alasan

Indonesia masih terus menjadi negara penerima bantuan–bantuan pembangunan?

Menurut Jonathan Gleenie (2011), negara kelas menengah seperti Indonesia masih layak

menerima bantuan pembangunan luar negeri (ODA) karena beberapa alasan berikut; (a)

dana–dana tersebut membantu proses transisi dari negara miskin ( /

LIC) menjadi negara kelas menengah secara gradual atau bukan tiba–tiba; (b)

bantuan–bantuan tersebut berperan sebagai katalis dalam mendorong dan/atau

memantapkan perbaikan–perbaikan yang ada atau telah dicapai; dan (c) nilainya bukan

pada sisi jumlah atau besarannya, akan tetapi pada peranannya dalam menciptakan insentif

(positif) terhadap perbaikan atau perubahan. Dalam kaitan tersebut, prioritas bantuan

menurut lembaga–lembaga bantuan pembangunan ditujukan untuk mendukung Indonesia

yang demokratis, stabil, berbasis hukum dan HAM, serta lebih makmur.

Pemilihan isu–isu kebijakan dan isu kelembagaan yang menjadi prioritas lembaga–lembaga

bantuan pembangunan merupakan perkawinan dari dua hal utama, yakni kepentingan

Indonesia dan kepentingan lembaga–lembaga tersebut. Dengan kata lain, di mata lembaga–

lembaga bantuan pembangunan, Indonesia dipandangnya sebagai; (a) klien dan anggota

yang perlu dan wajib dilayani (cara pandang ini terutama diwakili oleh pandangan Bank

Dunia, UNDP dan ADB); serta (b) sebagai negara sahabat atau negara mitra yang perlu

dihormati selayaknya dalam relasi saling menguntungkan dalam tatanan dan pergaulan

politik internasional maupun dalam hubungan ekonomi dan perdagangan.

Karena ini pulalah, lembaga–lembaga bantuan pembangunankini umumnya mengacu

kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah Indonesia sendiri.

Disamping itu, mereka juga merujuk kepada berbagai prioritas yang diusulkan oleh para

ahli, kelompok swasta dan warga negara melalui prosedur konsultasi, penilaian dan

sebagainya. Alasan lain, pemilihan perhatian dan prioritas isu dari beragam lembaga–

lembaga bantuan pembangunan juga dibimbing atau menyesuaikan diri dengan beragam

ketentuan internasional dalam kerangka efektifitas bantuan pembangunan (

) yang mengatur kerjasama antara pemberi bantuan dengan penerima

bantuan. Beberapa ketentuan tersebut diantaranya; Deklarasi Paris untuk Efektifitas

Bantuan Pembangunan (2005) dan Komitmen Jakarta (2009).

Development

Assistance Committee

Low Income Country

aid

effectiveness

III. Isu-isu Prioritas menurut Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

13

Isu-is

u P

riorita

s

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 23: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral menekankan pentingnya

pertumbuhan ekonomi, meski juga menyadari isu lain yang dapat menentukan hasil

pertumbuhan ekonomi tersebut. Isu tersebut adalah kelembagaan (institusi). Bank Dunia

misalnya, memusatkan perhatiannya kepada isu kelembagaan ini melalui lima kegiatan

utama dan dua kegiatan pendukung ( ). Kelima kegiatan tersebut adalah; (i)

pengembangan sektor swasta; (ii) infrastruktur; (iii) pengembangan masyarakat dan

perlindungan sosial; (iv) pendidikan; dan (v) lingkungan/mitigasi bencana. Sementara dua

kegiatan pendukungnya memusatkan perhatian kepada; (a) penguatan sistem dan

kelembagaan pemerintah pusat; serta (b) penguatan sistem dan kelembagaan pemerintah

daerah.

Sementara itu, PBB yang memiliki posisi kuat sebagai lembaga bantuan pembangunan yang

netral menekankan empat perhatian terhadap Indonesia, yakni; (i) Target Pencapaian

Pembangunan Milenium (TPM) dan pengurangan kemiskinan; (ii) lingkungan, energi dan

perubahan iklim; (iii) tata pemerintahan yang demokratis; serta (iv) pencegahan krisis dan

pemulihan, termasuk di dalamnya pengurangan dampak bencana alam. Lembaga bantuan

pembangunan multilateral lainnya ada pula yang memusatkan perhatian kepada beberapa

sektor utama, seperti; (i) pendidikan, termasuk kualitas pendidikan dasar, menengah dan

tinggi; (ii) perdagangan dan investasi, termasuk iklim investasi; (iii) penegakan hukum dan

keadilan, termasuk pemberantasan korupsidan reformasi hukum serta pelaksanaan

Rencana Aksi Nasional HAM; dan (iv) isu lintas bidang, termasuk lingkungan hidup, tata

kelola pemerintahan dan HAM, pencegahan konflik, dimensi sosial dari globalisasi dan

keadilan gender.

Di pihak lain, badan–badan bantuan pembangunan internasional bilateral pada umumnya

menekankan prioritas dukungan mereka kepada pembangunan demokrasi dan ekonomi.

Salah satu lembaga bilateral misalnya memilih lima fokus prioritas bagi dukungan mereka

untuk periode ke depan dengan tujuan utama mengurangi kemiskinan dan ancaman

lingkungan hidup global. Kelima fokus ini juga dipilih dengan mempertimbangkan

kepentingan hubungan bilateral kedua negara. Isu–isu fokus tersebut adalah; (i)

pendidikan; (ii) pengelolaan sumberdaya alam; (iii) pemerintahan yang demokratis; (iv)

kesehatan; dan (v) lapangan kerja. Badan bantuan pembangunan internasional bilateral

yang lain menekankan prioritas pendekatan melalui apa yang disebutnya sebagai empat

pilar bantuan pembangunan. Keempat pilar tersebut adalah; (i) pertumbuhan ekonomi; (ii)

investasi untuk rakyat; (iii) demokrasi, keadilan dan tata kelola pemerintahan yang baik;

serta (iv) keamanan dan perdamaian.

Sedikit berbeda dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral maupun

bilateral, beberapa lembaga derma swasta pada umumnya lebih memilih untuk

memusatkan perhatiannya kepada isu–isu penting yang kesemuanya dipayungi oleh tujuan

untuk memajukan keadilan sosial. Isu–isu prioritas tersebut diantaranya; perencanaan dan

penganggaran, hak–hak reproduksi dan partisipasi kaum perempuan, perlindungan sosial

bagi kaum papa, media yang melayani kepentingan publik dan warga negara yang aktif,

hingga pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Beberapa lembaga derma swasta yang lain juga menaruh perhatian utama mereka kepada

upaya untuk memajukan tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi, penghargaaan atas

Hak Asasi Manusia, penegakan hukum dan pengembangan ekonomi pasar. Dukungan–

dukungan tersebut biasanya dilakukan melalui penguatan kapasitas bagi para aktor utama

seperti pejabat pemerintah (termasuk pemimpin daerah), politisi (anggota parlemen),

cross–cutting

14 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Isu-isu P

riorita

s

Page 24: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

dan masyarakat sipil. Selain demokrasi, perhatian dan dukungan juga dicurahkan untuk

ikut serta mengatasi berbagai masalah lingkungan hidup dan penegakan hukum, yang

beberapa dilakukannya melalui kerjasama penguatan kelembagaan.

Lembaga–lembaga pengelola hibah internasional dan nasional memiliki fokus yang lebih

dekat dengan prioritas lembaga–lembaga derma swasta, yakni melihat dan mendorong

perbaikan Indonesia baik pada sisi kualitas tata pemerintahan maupun kualitas demokrasi

ketimbang prosedur demokrasi. Lembaga–lembaga ini memandang bahwa perbaikan–

perbaikan yang harus dilakukan diantaranya; (a) membuat demokrasi dan tata

pemerintahan semakin berorientasi kepada warga negara, sehingga korupsi di sektor

publik dapat dikurangi semaksmimal mungkin dan impunitas terhadap para pelanggar

HAM harus segera dihentikan; (b) memperbaiki tata pemerintahan dan desentralisasi agar

menjadi partisipatif dengan melibatkan warganegara dan meningkatkan pelayanan publik;

(c) mendorong negara dan hukum semakin kuat dan tegas dalam melindungi kebhinekaan

dan kohesi sosial Indonesia; serta (d) memperkuat pemerintah dan warga negara agar

semakin mampu mencegah kerusakan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, termasuk

memelihara hutan dan sumber–sumber air minum.

Dari paparan diatas, tampak bahwa jalan keluar dan fokus perhatian berbagai lembaga

memilki ciri khas dan keragaman. Secara tematik isu–isu prioritas atau fokus program yang

dikerjakan oleh lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral, bilateral, pengelola

hibah internasional dan nasional, serta derma swasta dapat diringkas sebagai berikut:

bagaimana Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah (

) dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya secara

lebih berkelanjutan dan merata. Berkelanjutan dalam arti; (a) berdaya saing tinggi; (b)

memiliki iklim investasi yang baik; dan (c) investasi yang memadai dalam infrastruktur.

Merata ( ) dalam arti pertumbuhan ekonomi dapat menjadi motor bagi

pengurangan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.

bagaimana sistem pemerintahan, sistem hukum dan sistem politik Indonesia dapat

berintegritas, bebas korupsi dan lebih adil bagi semua. Kelemahan kapasitas pemerintah

dan tingginya angka korupsi menjadi masalah yang menyandera kemajuan Indonesia dan

merugikan investor dan warga negara Indonesia. Masalah iklim investasi hingga pengadilan

yang bersih merupakan perhatian hampir semua lembaga–lembaga bantuan

pembangunan.

bagaimana Indonesia dapat lebih berdaya dalam hal kebijakan dan kelembagaan

guna mengatasi masalah lingkungan hidup, perubahan iklim dan bencana alam. Perbaikan

situasi lingkungan hidup di Indonesia akan memberikan manfaat dan dampak besar bagi

lingkungan hidup dunia. Perbaikan ini penting mengingat Indonesia sebagai penyumbang

emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.

bagaimana Indonesia dapat memperkuat investasi sosial bagi warganya

( ) baik sebagai investasi kepada ekonomi yang berdaya saing tinggi

maupun sebagai upaya untuk memberikan manfaat dan hasil–hasil ekonomi bagi

peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan. Investasi Indonesia kepada

bidang pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial merupakan isu yang mulai menjadi

fokus dan perhatian lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral, bilateral

maupun derma swasta.

Pertama

Kedua

Ketiga

Keempat

,

,

,

,

middle income

country

inclusive

investing in people

15

Isu-is

u P

riorita

s

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 25: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Satu isu prioritas yang belum disinggung secara mendalam oleh lembaga–lembaga bantuan

pembangunan adalah masalah diskriminasi. Hanya beberapa lembaga derma swasta yang

secara tegas memasukkan pluralisme dan kewarganegaraan ke dalam fokus atau isu

prioritas mereka. Situasi ini sesungguhnya sangat kontekstual bagi Indonesia dalam kurun

waktu lima tahun terakhir dimana fundamentalisme agama semakin meluas baik secara

budaya dan politik. Meski secara politik fundamentalisme agama bukanlah merupakan

ancaman, namun secara budaya dan relasi antara warga negara, pluralisme akan sangat

menentukan kohesitas masyarakat Indonesia ke depan. Rendahnya kapasitas dan

akuntabilitas pemerintah ikut andil bagian dalam memperparah keadaan ini. Sikap

anti–pluralisme dan menipisnya kesadaraan kewarganegaraan merupakan tren nyata yang

dapat mengancam demokrasi dan stabilitas Indonesia.

Lembaga bantuan

pembangunan multilateral

Badan pembangunan

internasional bilateral

Lembaga pengelola hibah

internasional

Lembaga derma swasta

internasional

Lembaga pengelola hibah

nasional

Tata pemerintahan, sistem hukumdan demokrasi

Investasi Sosial danKebijakan Sosial

Perubahan Iklimdan Lingkungan Hidup

PertumbuhanEkonomi

Gambar 1. Isu–isu yang menjadi fokus dan perhatian berbagai lembaga

16

Isu-isu P

riorita

s

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 26: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

17

Isu-is

u P

riorita

s

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 27: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Strategi Lembaga lembaga

Bantuan Pembangunan

-

Page 28: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Perubahan–perubahan seperti apa yang dibayangkan oleh lembaga–lembaga bantuan

pembangunan bagi Indonesia yang lebih demokratis, berbasis hukum dan HAM serta lebih

bertanggung–jawab? Bagaimana mereka melaksanakan strategi tersebut dan sejauh mana

sumberdaya mereka? Dua hal tersebut akan dibahas pada bagian ini. Ulasan terhadap

strategi tersebut akan bertumpu kepada salah satu isu prioritas yakni Tata Kelola

Pemerintahan yang Demokratis. Penekanan ini sengaja dipilih karena nyaris menjadi fokus

atau prioritas dari semua lembaga–lembaga bantuan pembangunan, baik itu multilateral,

bilateral, internasional maupun nasional. Hampir semua lembaga misalnya, menyebut

korupsi sebagai kendala dan penegakan hukum sebagai tantangan di Indonesia.

Selain itu, beberapa kajian baru–baru ini terhadap tren dan koordinasi lembaga donor di

Indonesia juga menemukan bahwa fokus lembaga–lembaga tersebut lebih banyak berpusat

pada program tata kelola pemerintahan terutama pada reformasi birokrasi atau

kepegawaian dan anti–korupsi (lihat Edi dan Setianingtyas, 2007).

Barangkali, meskipun dinyatakan dalam ungkapan dan formulasi yang berbeda–beda,

strategi berbagai lembaga bantuan pembangunan baik multilateral, bilateral, internasional,

nasional hingga derma swasta dapat digambarkan dengan kalimat yang ditulis dalam

sebuah dokumen salah satu lembaga multilateral: “...

”.

Sebagai contoh, Badan Program Pembangunan PBB merumuskan tata kelola pemerintahan

ke dalam lima wilayah, yakni; (i) integritas institusi politik, birokrasi dan hukum; (ii)

akuntabilitas dan keterwakilan dari badan–badan politik; (iii) keterlibatan publik dalam

penyusunan kebijakan secara transparan dan inklusif; (iv) pemberdayaan hukum untuk

melindungi hak milik dan penyalahgunaan wewenang; serta (v) standar pelayanan publik

dan reformasi birokrasi. Sementara itu, Bank Dunia merumuskannya ke dalam dua pokok

masalah, yakni; (i) kapasitas kelembagaan;dan (ii) akuntabilitas lembaga tersebut, baik

lembaga–lembaga birokrasi, hukum maupun politik.

Meskipun yang dituju adalah perubahan–perbaikan pada segi kelembagaan, tidak berarti

hal ini merupakan perubahan yang ringan. Di dalamya terdapat tiga level sasaran

perubahan, yakni; perubahan kebijakan ( ), perubahan kelembagaan

( ) dan perubahan operasional ( ). Dalam bahasa

lain, perubahan yang dituju sesungguhnya dapat melingkupi tiga jenis inovasi, yakni; inovasi

produk, inovasi proses dan inovasi .

Dari berbagai dokumen strategis dan wawancara dengan berbagaistaf pelaksana program

lembaga–lembaga bantuan pembangunan, beberapa ciri tentang arah perubahan itu dapat

disarikan dengan singkat ke dalam satu kalimat “ ” atau

bahwa masalah Indonesia bukanlah

ketiadaan dana, melainkan bagaimana institusi–institusi terutama sektor publiknya bekerja

mewujudkan sumberdaya itu menjadi perbaikan yang nyata dalam keseharian, misalnya saja

dalam pelayanan publik

first order of change

second order of change third order of change

mindset

the second generation of reform

IV. Strategi Lembaga-lembagaBantuan Pembangunan

19

Stra

tegi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 29: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

“kualitas demokrasi”yang elemen–elemennya terdiri dari:

, bagaimana Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah (

) dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih

berkelanjutan dan merata. Berkelanjutan dalam arti (a) berdaya saing tinggi; (b) memiliki

iklim investasi yang baik, dan (c) investasi yang memadai dalam infrastruktur. Merata

( ) dalam arti pertumbuhan ekonomi dapat menjadi motor bagi pengurangan

kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.

sasaran perubahan tata kelola pemerintahan meliputi perubahan di berbagai

kelembagaan baik birokrasi, hukum maupun politik. Termasuk di dalamnya Mahkamah

Agung (MA), Kejaksaan, Parlemen, berbagai Kementerian, Pemerintah Daerah dan DPRD.

meskipun lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral

sering mengombinasikanpembaharuan dari atas ( ) dengan pembaharuan dari

bawah ( ) dengan mengakui peranan masyarakat sipil dan media massa, namun

kecenderungan yang dominan adalah reformasi dari atas dan bekerja dengan mitra

pemerintah dengan tujuan memfungsikan, mengefektifkan dan membuat lembaga–

lembaga pemerintah, hukum dan politik tersebut semakin bertanggung jawab, responsif

dan memiliki integritas tinggi.

, ragam perubahan meliputi upaya–upaya untuk memperkuat, memperbaiki dan

memberdayakan lembaga–lembaga pemerintah, hukum dan politik melalui berbagai cara

dan program. Termasuk di dalamnya, perubahan aturan, perubahan kelembagaan dan

perubahan operasional. Dilihat dari mitra yang dipandang sebagai penggerak perubahaan,

maka sebagian besar strategi lembaga–lembaga bantuan pembangunan bertumpu kepada

pemerintah, lembaga hukum dan lembaga politik. Hanya sedikit dari lembaga bantuan

pembangunan multilateral dan bilateral yang memasukkan masyarakat sipil sebagai mitra

utamanya.

Pertama

Kedua

Ketiga

Keempat

middle income

country

inclusive

supply side

demand side

,

,

Lembaga

bantuan

pembangunan

multilateral

Skala Kecil

( < 10 Juta US )

Skala Menengah

( < 50 Juta US )

Badan

Pembangunan

Internasional

Bilateral

Lembaga

Pengelola

Hibah

Internasional

Lembaga

Derma

Swasta

Internasional

Lembaga

Pengelola

Hibah

Nasional

Skala Besar

( > 50 Juta US )

Untuk mencapai tujuan perubahan tersebut, tentu saja pendanaan merupakan faktor

penting dan utama. Dari segi besaran dana, berbagai lembaga bantuan pembangunan

kiranya dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yakni: besar, menengah dan kecil.

Lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral pada umumnya

Gambar 2. Skala Pendanaan

20 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Str

ate

gi

Page 30: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

beroperasi dengan skala pendanaan besar dan menengah, yakni antara 50 hingga lebih dari

200 juta dollar untuk jangka waktu satu tahun. Sementara lembaga–lembaga pengelola

hibah internasional dan derma swasta dapat digolongkan sebagai lembaga menengah

dengan skala pendanaan hingga 50 juta dollar per tahun. Adapun skala pendanaan kecil

berada di bawah sepuluh juta dollar per tahun.

Dari sisi implementasi, program–program yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga

bantuan pembangunan tersebut kiranya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa model:

(a) dalam bentuk pendanaanuntuk mendukung sebuah proyek yang telah disepakati

bersama, yang dikelola oleh lembaga pemerintah mitra pelaksana proyek atau program; (b)

dalam bentuk nasihat kebijakan sebagai hasil kajian sesuai dengan masalah atau isu yang

hendak ditangani; (c) dalam bentuk bantuan teknis, seperti penempatan tenaga ahli dan

konsultan dengan beragam cara perekrutan; dan (d) melalui pemberian dana hibah kepada

lembaga pemerintah dan non–pemerintah dalam jangka waktu terbatas untuk pelaksanaan

suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang telah disepakati sebelumnya.

Dari segi teknis penyaluran dukungan bantuan, modus dominan dari berbagai lembaga

bantuan pembangunan bilateral adalah: menyalurkan dukungan pendanaan

kepada lembaga–lembaga multilateral seperti UNDP, Bank Dunia dan juga ADB, baik melalui

mekanisme dana perwalian ( ) atau melalui dukungan terhadap bidang–bidang

sektoral ( / SWP). Lembaga–lembaga seperti DSF (

) maupun MTF ( untuk proyek bantuan bagi bencana

Tsunami di Aceh) merupakan contoh dari forum konsorsium dana perwalian pembangunan

yang didukung oleh berbagai badan bantuan pembangunan bilateral seperti DFID dan

Kedutaan Besar Belanda. Sementara contoh SWP adalah dukungan kepada sektor

pendidikan melalui Kantor Kementerian Pendidikan untuk mencapai taget–target

pendidikan, misalnya dukungan lewat proyek Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

menyalurkan dukungan pendanaan ke dalam anggaran pemerintah melalui unit

pelaksana proyek dibawah kementerian atau dinas pemerintah. Ini yang kerap pula disebut

sebagai (DBS) yang belakangan dipandang sebagai salah satu cara

yang baik untuk meningkatkan rasa kepemilikan ( ) dan harmonisasi sesuai

dengan prinsip Efektivitas Bantuan ( , 2008). menyalurkannya melalui

lembaga kontraktor pembangunan swasta seperti Research Triangle Institute (RTI),

Chemonics, Cowater International (Kanada) dan sejenisnya. Dan melalui modus

lainnya, yakni pemberian hibah langsung kepada lembaga–lembaga swadaya masyarakat,

organisasi–organisasi non–pemerintah, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan

lembaga penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga–lembaga derma swasta

seperti Yayasan Ford dan sebagainya.

Untuk saat ini, badan pembangunan internasional Australia kiranya dapat ditetapkan

sebagai lembaga bantuan pembangunan bilateral terbesar di Indonesia dengan skala

pendanaan hingga 1 milyar dollar Australia. Dari jumlah tersebut, porsi dukungan bantuan

pendanaan umumnya disalurkan melalui lembaga kontraktor pembangunan swasta

Australia. Meski begitu, saat ini Australia juga sedang merancang penyatuan pengelolaan

bantuan dukungan pendanaan melalui model Kemitraan Strategis Indonesia dengan

diskresi wewenang yang sangat luas. Model kemitraan strategis ini merupakan “solusi

sementara” untuk ekspansi dukungan dan penataan lembaga bantuan pembangunan

Australia ke depan.

Pertama

Kedua

Ketiga

keempat

,

,

,

,

trust fund

Sector Wide Program Decentralization

Support Facility Multilateral Trust Fund

Direct Budget Support

ownership

Action Aid

21

Stra

tegi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 31: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Pendekatan Australia ini nampaknya akan segera diikuti oleh badan pembangunan

internasional Amerika Serikat. Lembaga ini tengah menyusun kertas rancangan strategis

baru yang nampaknya akan mengikuti jejak pendekatan Kemitraan Strategis Amerika

Serikat–Indonesia. Disamping sumber pendanaan dari internal, lembaga bantuan

pembangunan bilateral Amerika Serikat juga menghimpun dana dari kementerian–

kementerian lainnya di Amerika Serikat yang dipadukan dan disalurkan melalui Badan

Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (

/USAID). Umumnya hibah bantuan pendanaan dilaksanakan melalui tender

terbuka dan bersifat implementasi, misalnya membantu penyiapan perizinan satu atap (

) di 10 Kabupaten/ Kota yang telah menyatakan minat atas dukungan proyek.

Contoh proyek lainnya misalnya membantu KPK untuk mengimplementasikan survei dasar

( ) tentang persepsi kepuasan masyarakat terhadap layanan pemerintah

daerah.

Sementara itu, lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral Eropa umumnya

beroperasi dengan skala pendanaan 400–500 juta euro melalui Dokumen Kertas Strategis

yang mencakup periode empat hingga lima tahun. Sebagian besar dana (hingga 80%)

dialokasikan kepada badan pemerintah seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan

Nasional (Bappenas) maupun Badan Program Pembangunan PBB (

/UNDP). Sekitar 10–15% dari total pendanaan ditujukan untuk

lembaga–lembaga pengelola bantuan pembangunan internasional yang umumnya berasal

dari negara–negara anggota Uni Eropa (misalnya saja Oxfam Inggris Raya). Selebihnya,

dana yang tersisa diberikan bagi hibah kepada kelompok–kelompok masyarakat sipil di

Indonesia. Sisa pendanaan ini biasanya berkisar antara seratus hingga 500 ribu euro dan

ditujukan bagi proyek–proyek tematis yang telah ditentukan sebelumnya. Biasanya

proyek–proyek tematis ini dapat memakan waktu enam hingga delapan bulan dalam proses

administrasinya. Lamanya proses administrasi seringkali membatasi kelompok–kelompok

masyarakat sipil di Indonesia untuk mendapatkan dukungan pendanaan, selain persyaratan

mekanisme penerimaan hibah yang juga mensyaratkan berbagi pendanaan ( )

lembaga antara 5–15% dari total nilai proyek. Dengan seluruh pengambilan keputusan

hibah yang ditentukan di kantor pusat Uni Eropa di Brusells, kantor–kantor perwakilan

negara pada umumnya hanya berfungsi sebagai kantor kepatuhan ( ).

United States Agency for International

Development

one

stop services

baseline survey

United Nations

Development Programme

co–sharing

compliance office

Lembaga

Bantuan

Pembangunan

Multilateral

Badan

Pembangunan

Internasional

Bilateral

Lembaga

Pengelola

Hibah

Internasional

Lembaga

Derma

Swasta

Internasional

Lembaga

Pengelola

Hibah

Nasional

Terbuka

Call for Proposal

Semi Terbuka

Pro Aktif

Tender Tender dan

Call for Proposal

Gambar 3. Cara Penyaluran Dana

22 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Str

ate

gi

Page 32: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Sedikit berbeda dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral, lembaga–lembaga

pengelola hibah internasional pada umumnya beroperasi sebagai pengelola hibah

internasional dengan skala pendanaan kecil dan menengah. Salah satu lembaga pengelola

hibah internasional dari Eropa misalnya bekerja dengan skala pendanaan tiga hingga empat

juga euro per tahun. Meski beroperasi dengan skala terbatas, mereka umumnya mengklaim

diuntungkan oleh sumber daya manusianya yang unik dan gigih. Selain itu, kelebihan

lainnya juga terletak pada sistem kearsipannya yang sangat rapih. Cara kerja dan

pengelolaan bantuan lembaga–lembaga pengelola hibah internasional ini menyerupai

organisasi–organisasi non–pemerintah meski beroperasi pada wilayah kawasan dan secara

global. Walau tidak memberlakukan mekanisme permintaan proposal secara khusus atau

berkala, lembaga–lembaga ini cukup terbuka terhadap inisiatif–inisiatif dari kelompok–

kelompok masyarakat sipil. Perhatian dukungan mereka ditujukan kepada kelompok–

kelompok masyarakat sipil dan organisasi kecil dan menengah dengan skala dukungan

pendanaan bervariasi antara seratus hingga tiga ratus juta rupiah per tahun. Lembaga

bantuan pembangunan internasional ini juga melakukan mekanisme pengelolaan hibah

kemitraan pro–aktif meski dengan tekanan prioritas seleksi bagi kemitraan kelompok–

kelompok masyarakat sipil berbasis keanggotaan komunitas.

Lembaga–lembaga pengelola hibah internasional ini juga menekankan programnya pada

sisi pembaharuan dari bawah ( ) ketimbang perhatian dari atas ( ).

Meski beberapa dukungan mereka seringkali juga ditujukan bagi lembaga–lembaga quasi

negara seperti Komisi Nasional Perempuan dan sejenisnya. Pemilihan wilayah perhatian

bagi dukungan bantuan biasanya tidak berdasarkan pada suatu strategi intervensi tertentu

namun cenderung didorong oleh warisan jaringan lembaga–lembaga dengan asal negara

yang sama. Beberapa prioritas perhatian lembaga nampaknya masih akan dilanjutkan

misalnya saja dukungan bagi peningkatan kapasitas kelompok–kelompok masyarakat sipil.

Mereka juga pada umumnya percaya bahwa peningkatan kapasitas merupakan cara

tercepat dalam mentransformasikan pengetahuan ( ).

Adapun tumbuhnya lembaga–lembaga pengelola hibah nasional kiranya layak menjadi

catatan tersendiri. Lembaga–lembaga ini beroperasi secara mandiri sebagai entitas

nasional untuk turut mendukung pencapaian tujuan–tujuan pembangunan. Misalnya saja,

lembaga–lembaga pengelola hibah nasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup,

pembaharuan tata kelola pemerintahan dan penguatan demokrasi kewargaan. Mereka

biasanya beroperasi dengan skala kecil dalam pendanaan empat hingga lima puluh milyar

rupiah per tahun dan ditujukan untuk mendukung kelompok–kelompok masyarakat sipil di

Indonesia. Kelebihan lembaga ini adalah kelihaiannya dalam memobilisasi sumber–

sumber pendanaan.

Salah satu dari mereka misalnya dipercaya untuk mengelola dana abadi yang didapatkan

dari lembaga bantuan pembangunan bilateral. Dana abadi ini selanjutnya dikembangkan ke

dalam bentuk reksa dana dan ditawarkan kepada dunia usaha dan publik luas untuk

memperbesar skala pendanaan lembaga hingga satu dekade ke depan. Selain

pengembangan dana abadi, mobilisasi sumber pendanaan juga dilakukan melalui dukungan

terhadap program–program yang bersifat investasi, misalnya saja pendidikan sejak usia

dini. Intervensi ini membangun konstituensi yang tebal dan diharapkan menjadi potensi

bagi pengembangan sumber–sumber pendanaan berikutnya. Pada satu sisi, pengalaman ini

menunjukkan kekuatan untuk selalu menciptakan peluang pendanaan alternatif dari

berbagai intervensi lembaganya. Modal utamanya adalah kreatifitas. Di sisi lain,

database

demand side supply side

the fastest transfer of knowledge

23

Stra

tegi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 33: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

penyaluran bantuan hibah justru dilakukan dengan skala yang relative kecil yang sekaligus

menunjukkan prioritas kepada penggalangan ketimbang distribusi dana bantuan.

Meski begitu, tidak semua inisiatif lembaga pengelola hibah nasional senantiasa mencetak

kisah sukses. Salah satu kasus lembaga pengelola hibah nasional baru–baru ini kiranya

memberikan pelajaran yang berharga tentang bagaimana dukungan bagi kelompok–

kelompok masyarakat sipil mengalami penurunan dan telah mendorong lembaga untuk

memerankan fungsi menjadi lembaga penerima ketimbang pengelola bantuan hibah.

Lembaga ini awalnya dirancang untuk menjadi lembaga pengelola hibah untuk masyarakat

sipil dengan dukungan sumber pendanaan utama dari salah satu lembaga bantuan

pembangunan bilateral. Penurunan dukungan pada satu sisi dipandang sebagai

menurunnya komitmen dari lembaga bantuan pembangunan bilateral yang telah menjadi

mitra selama lebih dari satu dekade. Di sisi lain, penurunan tersebut juga dikarenakan

perkembangan lembaga pengelola hibah nasional yang dipandang tidak tumbuh

sebagaimana yang diharapkan. Kasus ini menunjukkan tidak adanya kesepakatan tentang

ukuran atau patokan atas bagaimana sebuah lembaga bantuan pembangunan nasional

pengelola hibah idealnya tumbuh dan berkembang. Misalnya saja pada soal bagaimana

kerjasama dukungan tersebut telah memperkuat kapasitas staff lembaga ataupun

memungkinkan keberlanjutannya di masa mendatang.

Dari pembahasan di atas, kiranya patut dicatat beberapa tren yang mengemuka selama lima

hingga sepuluh tahun terakhir ini. tentang peranan yang dominan dari berbagai

lembaga kontraktor swasta yang semakin hari semakin mengambil alih peranan lembaga–

lembaga pengelola hibah internasional. Kontraktor pembangunan swasta kini senantiasa

menjadi mitra pelaksana program lembaga–lembaga bantuan pembangunan internasional

seperti Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika, Australia, Kanada dan

sebagainya. Lembaga–lembaga seperti Research Triangle Institute (RTI), Chemonics,

Management Systems International (MSI) Inc, dan sejenisnya bukanlah merupakan gejala

baru, akan tetapi dalam pelaksanaan proyek–proyek berskala besar ia kini telah menjadi

salah satu aktor utama. Dana–dana dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral

disalurkan melalui mekanisme tender dimana mereka tampil sebagai pemenangnya.

Proyek–proyek yang dimenangkan bukan hanya terbatas kepada proyek tata pemerintahan,

akan tetapi juga mencakup proyek–proyek yang berkaitan dengan masalah–masalah

penegakan hukum, misalnya proyek penguatan kelembagaan Mahkamah Agung dan

Kejaksaan Agung hingga proyek yang berkaitan dengan demokrasi seperti penguatan

institusi parlemen.

tren lain yang semakin mengemuka adalah upaya–upaya untuk memperkuat

kooordinasi antar donor dan harmonisasi di antara lembaga–lembaga bantuan

pembangunan ke dalam satu hingga dua isu prioritas, misalnya melalui model fasilitas

dukungan ( ) yang sesunguhnya merupakan konsorsium lembaga–lembaga

bantuan pembangunan bilateral untuk perbaikan atas tema–tema pembangunan tertentu,

misalnya desentralisasi, pemberdayaan masyarakat dan pengurangan kemiskinan.

Biasanya lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral akan menaruh dana dan

selanjutnya menunjuk salah satu lembaga sebagai wali mereka. Misalnya saja DSF

( ) yang dikoordinasi oleh Bank Dunia dan mengelola dana

dari berbagai sumber. Meski demikian, kajian terhadap DSF baru–baru ini menunjukkan

bahwa model koordinasi dan harmonisasi tidak selalu berhasil baik karena kendala di dalam

birokrasi lembaga–lembaga bantuan pembangunan itu sendiri, maupun kendala yang

berasal dari dalam birokrasi pemerintah (Winters, 2012).

Pertama

Kedua

,

,

support facility

Decentralisation Support Facility

24 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Str

ate

gi

Page 34: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Demikian halnya dengan PSF (PNPM ) yang dikoordinasikan oleh lagi–lagi

Bank Dunia untuk menunjang perluasan program Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dalam praktiknya, Bank Dunia sesungguhnya sedang

mengelola dana perwalian ( ) yang berasal dari lembaga–lembaga bantuan

pembangunan bilateral. Metode dan strategi semacam ini telah membawa dampak kepada

sumber–sumber pendanaan bagi kelompok–kelompok lembaga pengelola bantuan

pembangunan internasional maupun nasional. Alih–alih, dana–dana hibah akan lebih

disalurkan kepada lembaga seperti Bank Dunia meski sumber–sumber pendanaan tersebut

juga dapat berasal dari pemerintah asal lembaga–lembaga pengelola bantuan

pembangunan internasional.

pada sisi pendekatan geografis atau cakupan wilayah, hampir semua lembaga–

lembaga bantuan pembangunan bekerja di seluruh wilayah Indonesia dan di tingkat

nasional. Meski begitu, terdapat pula beberapa lembaga yang secara khas memberikan

perhatian kepada pendekatan geografi dan wilayah kerja tertentu, misalnya Badan

Pembangunan Internasional Kanada (CIDA) memusatkan hampir seluruh dukungan

bantuan pembangunannya di Pulau Sulawesi. Atau pada kasus Badan Pembangunan

Internasional Australia (Ausaid) yang secara khas memberi perhatian yang lebih kepada

Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti NTT, NTB, Sulawesi, Maluku dan Papua.

, dari sudut pandang demokrasi, HAM dan kelompok–kelompok masyarakat sipil,

hal lain yang penting dicatat adalah sebuah tren menurunnya kuantitas dukungan bagi

kelompok–kelompok masyarakat sipil yang bekerja di bidang demokrasi dan Hak Asasi

Manusia. Kajian Edward Aspinal (2010) menunjukkan bahwa jumlah dana untuk sektor

demokrasi, HAM dan dukungan kepada kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia

semakin hari semakin menurun. Sebagai gambaran, sebelumnya telah diuraikan hampir

80% dana–dana bantuan dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral Eropa

misalnya dialokasikan kepada lembaga–lembaga pemerintah dengan Bappenas sebagai

penerima utamanya. Dan hanya sekitar lima persen sisanya yang dialokasikan untuk

kelompok–kelompok masyarakat sipil baik melalui pengelolaan hibah oleh lembaga–

lembaga pengelola hibah internasional maupun langsung ditujukan sebagai hibah bagi

kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia.

Support Facility

trust fund

Ketiga

Keempat

,

Lembaga

bantuan

pembangunan

multilateral

Badan

Pembangunan

Internasional

Bilateral

Lembaga

Pengelola

Hibah

Internasional

Lembaga

Derma

Swasta

Internasional

Lembaga

Pengelola

Hibah

Nasional

G

G C

G C

G C

G C

R

RR

RR

RR

R

G

C

Institusi Pemerintah,

Hukum dan Politik

Masyarakat Sipil

R

R

Reform from Above

( pembaruan dari atas )

Reform from Below

( pembaruan dari bawah )Pendek / kurang dr 3 Tahun

Menengah / 3 Tahun

Panjang / lebih dr 3 Tahun

MITRA PENDEKATAN WAKTU SKALA PENYALURAN

Besar / > USD 50 Juta

Menengah /< USD 50 Juta

Kecil / < USD 10 Juta

Tender

Langsung & Kompetitif

25

Tabel 2. Matriks Strategi

Stra

tegi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 35: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Bagaimana kita memandang strategi dan implementasi lembaga–lembaga bantuan

pembangunan tersebut? Sudahkah strategi tersebut merupakan lingkungan yang cocok

bagi kebutuhan masyarakat sipil Indonesia?

Pada tingkat pelaksanaan, meminjam daftar periksa Rothstein (1998) terdapat tiga elemen

untuk memeriksa dan melakukan penilaian. Ketiga elemen itu masing–masing; (a) desain

program; (b) organisasi untuk pelaksanaannya; dan (c) legitimasi program. Desain

program mengandung dua ragam rencana yang perlu dibedakan dan memang berlainan,

yakni rencana yang bersifat pengaturan ( ) dan intervensi dalam cara–caranya.

Sementara rancangan tersebut dapat menghadapi kondisi yang statis maupun dinamis.

Dalam hal organisasi pelaksanaan, dua macam pendekatan dapat diidentifikasi, yakni

organisasi sebagai sistem insentif serta organisasi sebagai sebuah sistem norma. Dalam

kaitan tersebut, dikenal istilah pelepasan tanggung–jawab ( ) oleh sebuah

organisasi atau unit di dalam organisasi. Hal ini berkaitan dengan kasus–kasus yang disebut

sebagai lubang hitam demokrasi ( ), yakni keputusan tentang sebuah

kebijakan yang diambil dalam situasi ketiadaan tanggung–jawab baik secara politik maupun

adminsitratif.

Bagaimana dengan aspek legitimasi. Aspek legitimasi dapat didekati dari sisi, yakni; (i) hasil

dari sebuah kebijakan; maupun (ii) relasi keuangan, dalam hal ini sumberdana yang

digunakan.Dengan kata lain, strategi perubahan berbagai lembaga bantuan pembangunan

nampaknya banyak bergulat pada dua aspek utama di atas, yakni pada desain kebijakan dan

organisasi pelaksanaan, baik substansi maupun prosesnya. Pada derajat tertentu, berbagai

kelemahan atau “penyakit” dalam hal desain dan organisasi pelaksanaan telah ditemukan

dan percobaan–percobaan untuk mengobatinya juga telah dilakukan. Tingkat

keberhasillan atau dampaknya hingga hari ini masih menjadi perdebatan, baik karena

masalah pengukuran, atribusi maupun kriteria yang berlainan.Namun demikian, satu aspek

utama yang belum menjadi perhatian penuh adalah pada sisi legitimasinya.

Secara sederhana, dana dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan memiliki kemiripan

dengan dana dari minyak dan gas bumi, yakni mudah didapat dan tidak memerlukan

akuntabilitas dari bawah, ketimbang misalnya mengumpulkan dan mengelola dana pajak

dari warga negara. Tanpa mekanisme yang tepat, dana–dana bantuan pembangunan ini

dapat menjauhkan negara dari warganya seperti pada kasus rente minyak, sehingga

pengembangan kelembagaan yang akuntabel dan responsif ke bawah terasa sulit untuk

dibangun dan diperkuat.

Aspek legitimasi dari berbagai program lembaga–lembaga bantuan pembangunan dapat

saja diperkuat jika terdapat strategi yang semakin mendorong akuntabilitas dari bawah

terhadap berbagai lembaga birokrasi, hukum dan politik. Pergeseran sumber dana

pembangunan dari minyak dan gas bumi (rente alam) ke sumber dana perpajakan

merupakan salah satu cara strategis untuk mendorong pemerintah semakin bergantung

dan akuntabel kepada warga negara (Brautigam, Fjeldstad and More, 1998). Selain itu,

legitimasi juga dapat diperkuat apabila tersedia strategi yang mendorong terciptanya

desakan dari bawah, melalui penciptaan konstituen penerima manfaat, misalnya melalui

distribusi hasil rente minyak dan gas alam dalam bentuk transfer tunai langsung (

) kepada warga negara (Moss, 2011).

Sejalan dengan analogi tersebut, satu defisit yang nampak dari berbagai strategi dan

pendekatan lembaga–lembaga bantuan pembangunan terhadap kelompok–kelompok

regulatory

responsibility drift

democracy black hole

cash

transfer

26

Str

ate

gi

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 36: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

masyarakat sipil di Indonesia adalah ketiadaan strategi yang mendorong terciptanya

mekanisme pendanaan dari pemerintah Indonesia sendiri, terutama bagi kelompok–

kelompok masyarakat sipil baik melalui mekanisme tender maupun mekanisme hibah

langsung kompetitif.

Hampir tidak ada lembaga–lembaga bantuan pembangunan yang memiliki rencana atau

gagasan untuk mendorong bagaimana mekanisme pendanaan bagi kelompok–kelompok

masyarakat sipil di Indonesia bisa ditemukan, termasuk opsi sumber pendanaan dari APBN

maupun perusahaan swasta. Uji coba opsi sumberdana APBN misalnya dapat ditujukan

kepada upaya perbaikan lingkungan, perlindungan konsumen hingga bantuan hukum bagi

warga rentan. Sementara, mengingat besarnya volume dana APBN, maka percobaan dengan

dana 100–500 miliar rupiah per tahun bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil secara

kompetitif akan mengubah dan mendemokratisasikan hubungan antara negara dan

masyarakat sipil, dari relasi statis dan patronase politik menuju relasi hak.

27

Stra

tegi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 37: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Implikasi bagi Kelompok

kelompok Masyarakat Sipil

di Indonesia

-

Page 38: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Membaiknya kedudukan Indonesia secara politik dan ekonomi serta berubahnya ketentuan

dan regulasi serta mekanisme dana bantuan pembangunan, secara keseluruhan telah

membuat suara Indonesia semakin sejajar dengan suara negara–negara pemberi bantuan

pembangunan. Dengan kata lain, lembaga–lembaga bantuan pembangunan kini akan lebih

banyak menyesuakan diri atau melakukan harmonisasi terhadap fokus dan target–target

pemerintah Indonesia. Harmonisasi dan penyesuaian itu bukanlah sesuatu yang buruk atau

keliru. Hal ini sudah tepat dan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan keberlanjutan,

serta hasil–hasil dan manfaat yang lebih baik.

Namun demikian, pada level operasi dan pelaksanaan hal tersebut juga dapat berujung pada

pembajakan ( ) oleh birokrasi. Apalagi dalam situasi dimana birokrasi pemerintah

masih jauh dari etika publik, integritas dan akuntabilitas. Kritik atau koreksi kepada strategi

dan operasi lembaga–lembaga bantuan pembangunan telah cukup banyak. Studi William

Easterly (2002) misalnya, memberi peringatan kepada lembaga–lembaga bantuan

pembangunan multilateral dan bilateral terutama Bank Dunia, atas apa yang disebutnya

sebagai “Kartel Niat Baik” ( ).

Disebut kartel, sebab tidak ada persaingan diantara pelaku dan konsumen kesulitan atau

tidak memiliki peluang untuk menagih akuntabilitas mereka. Disebut niat baik, lantaran

memang bertujuan untuk memperbaiki keadaan mulai dari pengurangan kemiskinan

hingga penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, meski niatnya

baik, dalam kaitan strategi dan operasinya mereka terjebak ke dalam situasi pembajakan

oleh birokrasi lembaga bantuan itu sendiri ( ).

Relevansi Kartel Niat Baik di Indonesia terutama tampak pada wilayah Demokrasi, HAM dan

Tata Kelola Pemerintahan. Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, dana–dana bantuan

pembangunan kepada institusi pemerintah seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung,

dan berbagai kementerian maupun lembaga serta partai–partai politik ternyata tidak

kunjung membuahkan hasil yang memadai, kecuali perubahan di dalam lembaga Mahkamah

Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pada derajat tertentu, reformasi

birokrasi di Departemen Keuangan.

Lagipula, lembaga–lembaga bantuan pembangunan juga akan lebih terikat dengan agenda

dan kebijakan pemerintah Indonesia. Implikasi lainnya adalah, lembaga–lembaga bantuan

pembangunan akan cenderung bermitra dan/atau memberikan bantuan pendanaan kepada

pemerintah ketimbang misalnya kepada lembaga–lembaga swadaya masyarakat sipil atau

kelompok–kelompok mandiri seperti universitas, lembaga penelitian di luar pemerintah

maupun kelompok–kelompok swasta atau bisnis. Lembaga bantuan pembangunan

multilateral dan bilateral menggunakan dana yang besar dan memilih untuk bekerjasama

dengan pemerintah ketimbang masyarakat dalam kurun waktu yang panjang antara tiga

hingga lima tahun. Secara khusus, proyek–proyek lembaga–lembaga bantuan

pembangunan tersebut beroperasi dengan cara tender dengan kontraktor–kontraktor

capture

Cartel of Good Intentions

aid bureaucracy

V. Implikasi bagi Kelompok-kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

29

Implik

asi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 39: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

konsultan sebagai pelaksananya. Kebanyakan kelompok–kelompok masyarakat sipil hanya

mendapatkan peran sebagai sub–pelaksana atau seringkali hanya pelengkap dari berbagai

kegiatan.

Secara khusus, bagaimana implikasi tren bantuan pembangunan dan pendaaan tersebut

bagi masyarakat sipil Indonesia? Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, semakin

kaya sebuah negara kelas menengah, maka masalah pembangunan bukanlah lagi soal

ketiadaan dana atau sumberdaya, namun justru pada kendala distribusi dari sumberdaya

daya tersebut. Bila tidak segera diatasi, hal ini hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial

ekonomi yang dapat memicu ketegangan sosial atau instabilitas. Oleh karena itu, peranan

kelompok–kelompok masyarakat sipil menjadi semakin penting, yakni; (a) untuk

mendorong akuntabilitas negara kepada kelompok–kelompok miskin dan marjinal;

maupun (b) guna memastikan penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia.

Kegagalan dukungan bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil dapat menghilangkan

legitimasi lembaga–lembaga–lembaga bantuan pembangunan itu sendiri (Glennie, 2011).

Di Indonesia, observasi ini kiranya sangat relevan. Alih–alih mengurangi kesenjangan,

kemajuan–kemajuan pada sistem politik formal Indonesia yang diwakili oleh kinerja partai

politik (parpol) dan parlemen pada kenyataannya masih belum menunjukkan berkurangnya

ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat. Salah satu sebabnya, antara lain, karena parpol

Indonesia belum bertumpu pada program dan pemecahan masalah ( ).

Dengan kata lain, partai–partai politik di Indonesia masih cenderung berorientasi ke dalam

atau melayani dirinya sendiri, berperilaku transaksional untuk kepentingan pribadi,

pemimpin maupun kelompoknya ketimbang untuk program dan kebijakan yang dapat

memperbaiki derajat kebebasan dan tingkat kesejahteraan seluruh dan setiap warga negara,

laki–laki dan perempuan, kaya atau miskin.

Seperti halnya tujuan berbagai lembaga bantuan pembangunan, kelompok–kelompok

masyarakat sipil di Indonesia juga memimpikan Indonesia ke arah yang lebih demokratis,

berbasis hukum dan HAM, toleran dan tumbuh dengan kapasitas warga negaranya yang

kuat. Dalam kaitan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi

merupakan sarana dan bukanlah tujuan. Pertumbuhan ekonomi akan tidak bermakna jika

status sosial warga negara Indonesia tidak meningkat sebagaimana tercermin dalam Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Pertumbuhan ekonomi tidak berarti jika diskriminasi kepada

berbagai kelompok warga negara tidak dapat diatasi oleh negara.

Yang penting dan tengah diperjuangkan oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di

Indonesia adalah kemajuan yang nyata dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia dan

demokrasi, termasuk di dalamnya, diakhirinya impunitas bagi para pelanggar HAM,

partisipasi kaum perempuan dan kelompok rentan dan marjinal, perlindungan terhadap

kebhinekaan Indonesia, perubahan radikal dalam hal kapasitas dan akuntabilitas

pemerintah, termasuk didalamnya pengurangan tingkat korupsi serta keberlanjutan

ekologi Indonesia dari berbagai kebijakan dan pengerukan sumberdaya alam. Slogannya

kini mungkin bukan lagi , namun justru

.

Dengan semangat masyarakat terbuka, maka negara dan masyarakat yang dibayangkan oleh

kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia adalah suatu keadaan dimana nilai–nilai

kebebasan dan kesetaraan dapat ditunaikan secara bersama–sama. Pada tingkat

kelembagaan, peran pemerintah yang optimal menjadi syaratnya, yaitu sedikit campur

problem solving

Liberty, Equality and Fraternity Liberty, Equality and

Ecology

30 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Implik

asi

Page 40: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

tangan dalam ekonomi dan hal–hal privat seperti keyakinan beragama dan konsepsi tentang

hidup yang baik. Akan tetapi, di saat yang sama, negara juga harus memiliki kemampuan dan

kecakapan untuk menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban guna

menjamin terciptanya masyarakat yang kohesif dan rukun. Setiap individu dihargai dan

dilindungi, untuk meraih kesempatan yang setara bagi seluruh warga negara.

Dalam kaitan tersebut, isu–isu prioritas dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan

sebelumnya baru menunjukkan dua upaya besar, yakni; (a) mendorong institusi–institusi

birokrasi, hukum dan politik agar dapat bekerja dengan baik dan efektif; serta (b) merubah

atau memperbaiki institusi–institusi tersebut agar dapat akuntabel, transparan dan

responsif. Keduanya merupakan ciri–ciri dari pemerintah yang baik ( ).

Pada kenyataannya, hanya sedikit lembaga bantuan pembangunan yang mendorong isu

prioritas (c) merubah institusi–institusi itu untuk dapat bekerja dengan efektif, akuntabel

sekaligus imparsial. Imparsialitas artinya lembaga–lembaga birokrasi dan penegakan

hukum memperlakukan, melayani serta menyediakan hak kepada warga tanpa pandang

bulu. Mereka yang miskin dan kaya diperlakukan secara setara. Kaum perempuan dihargai

sama dengan kaum laki–laki, anak–anak dan lansia ( ). Karena itu,

hendaknya yang menjadi isu prioritas bukanlah pemerintah yang baik ( ),

akan tetapi pemerintah yang berkualitas ( ).

Tanpa imparsialitas dari berbagai kebijakan dan operasi berbagai lembaga birokrasi, hukum

dan politik, maka legitimasi pemerintahakan semakin lemah. Imparsialitas ini penting dan

mewakili dua soal, yaitu diskriminasi dan ekslusi yang dialami setiap hari oleh kelompok

marjinal, mereka yang miskin, kaum perempuan, minoritas, lansia, penyandang cacat dan

anak–anak. Imparsialitas barangkali mewakili satu kata yang hilang dalam seluruh perilaku,

pola pikir dan motif dari berbagai lembaga–lembaga birokrasi, hukum dan politik.

Pemerintah yang baik wajib memiliki kapasitas dan akuntabilitas yang memadai. Namun,

pemerintah semacam ini masih akan disandera oleh sikap diskriminatif dan ekslusi baik

karena alasan suku, patronase politik maupun alasan–alasan lainnya. Imparsialitas

karenanya, wajib dimiliki dan menjadi pola pikir kolektif dari berbagai institusi negara.

Secara skematik, berdasarkan apa yang sedang berlangsung dalam operasi lembaga–

lembaga bantuan pembangunan, dapatlah disusun dua model skenario atau pendekatan.

, model Tata Kelola pemerintahan dengan ciri khas pemerintah dan institusi negara

sebagai sekutu utamanya, sasaran perubahan sekaligus penggerak perubahan.

model Demokrasi, yang sebaliknya lebih mengandalkan tenaga dan inovasi

kelompok–kelompok masyarakat sipil, organisasi–organisasi non–pemerintah, universitas,

media massa hingga masyarakat bisnis.

Skenario pertama akan berarti ruang gerak yang semakin sempit bagi masyarakat sipil dan

hanya melalui upaya yang beratlah masyarakat sipil masih dapat bekerja dan memberikan

sumbangan meski berada dipinggir. Sementara skenario kedua dapat membuka ruang–

ruang yang lebih luas bagi upaya–upaya kreatif dari masyarakat sipil untuk melakukan

advokasi dan perubahan–perubahan di berbagai wilayah dan dalam banyak skala kebijakan

maupun kelembagaan. Dengan kata lain, skenario pertama tersebut cukup layak ( )

karena telah dilakukan selama bertahun–tahun dan memiliki pendukungnya sendiri baik di

kalangan lembaga–lembaga bantuan pembangunan maupun pemerintah. Namun, skenario

ini belum tentu yang diinginkan ( )oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di

Indonesia. Sebaliknya,skenario kedua boleh jadi sangat diinginkan ( ), meski belum

tentu cukup layak ( ), karena gagasan dan tradisi statis dikalangan birokrat

good government

equal concern and respect

good government

quality of government

,

feasible

desirable

desirable

feasible

Pertama

Kedua

31

Implik

asi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 41: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

serta patronase politik di kalangan politisi dan para pengambil kebijakan dapat saja resisten

kepada model kedua ini.

Skenario tata kelola pemerintahan yang meletakkan seratus persen kepercayaan kepada

kaum pembaharu dari dalam tubuh lembaga birokrasi, hukum dan politik harus diimbangi

dan dibarengi dengan model intervensi ala demokrasi, yang menaruh kepercayaan dan

inovasi dari para pembaharu dan gagasan di luar birokrasi, seperti; kelompok–kelompok

masyakat sipil, masyarakat bisnis dan media massa. Jika tidak, maka skenario ini akan

sangat rentan terhadap pembajakan oleh birokrasi dan lembaga–lembaga negara lainnya

seperti lembaga–lembaga hukum dan politik. Kecuali juga ditempuh cara–cara lain dimana

sumberdaya tidak diletakkan seluruhnya ke tangan mereka, tetapi disebarkan pula kepada

aktor–aktor lain di luar birokrasi dan lembaga–lembaga negara lainnya.

a la

DIMENSIMODEL TATA KELOLA

PEMERINTAHAN

Kendala Utama

Asumsi Perubahan

Penggerak Perubahan

Legitimasi

Mitra

Intervensi

Skala Dana

Penyaluran Dana

Sumber Dana

Keberlanjutan

Akuntabilitas

Aktor / Agensi

Kecukupan kaum pembaharu di

dalam institusi negara

Negara ( )

Formal prosedural

Institusi pemerintah: birokrasi,

hukum dan politik

Inovasi dan modernisasi institusi

Besar

Tender atau penawaran

Internasional

Penyertaan pembiayaan

( ) dari APBN/APBD

Teknikal

state building

co–finance

MODEL

DEMOKRASI

Aktor dan gagasan

Kecukupan gagasan dan pembaharu

di masyarakat

Masyarakat dan Negara

Substansial dan Sosial

Institusi masyarakat : organisasi

non–pemerintah, universitas, media

massa dan warga negara

Inovasi gagasan dan institusi

Menengah

Langsung dan Kompetitif

Internasional dan Nasional

Mekanisme hibah kompetitif dari

APBN/APBD dan Dana Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan ( )

Teknikal dan Sosial

CSR

Selain itu, intervensi lembaga–lembaga bantuan pembangunan sebaiknya juga dibarengi

dengan perubahan terhadap pola pikir birokrasi (legitimasi, imparsialitas dan integritas),

atau bukan hanya sekedar perubahan operasional (misalnya komputerisasi) maupun

kelembagaan (misalnya reformasi penggajian pegawai negeri, keterbukaan informasi, dan

lain–lain). Perubahan di tingkat operasional dan kelembagaan adalah perlu namun belum

memadai dan tidak berkelanjutan. Beberapa lembaga–lembaga bantuan pembangunan

telah memulai hal ini dengan kata kunci “penguatan sektor pengetahuan”.

Tabel 3. Dua Opsi Strategi

32

Implik

asi

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 42: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Sementara skenario model demokrasi mensyaratkan perubahan dan diversifikasi terhadap

sumber–sumber dukungan pendanaan bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil di

Indonesia misalnya saja dari anggaran negara. Meski, tentulah akan tidak mudah untuk

melakukan realokasi anggaran negara baik di tingkat nasional maupun daerah dan segera

mendistribusikannya sebagai hibah kompetitif kepada kelompok–kelompok masyarakat

sipil di Indonesia. Hal ini juga memerlukan peran dan campur tangan dari kaum pembaharu

di dalam pemerintah sendiri. Tanpa itu, model demokrasi tidak dapat lekas terwujud.

Secara pendanaan, Indonesia kini bukanlah negara yang miskin. Indonesia memiliki ruang

pendanaan yang cukup memadai. Dengan anggaran yang telah melampaui 1.000 triliun

rupiah per tahun, Indonesia sangat mampu membiayai berbagai program dan kegiatan yang

dilaksanakan langsung oleh berbagai kelompok masyarakat sipil untuk tujuan menciptakan

barang–barang publik, misalnya; perbaikan kualitas lingkungan hidup, perlindungan

konsumen, pengurangan kemiskinan, hingga perlindungan sosial bagi seluruh warga

negara. Beberapa diantaranya dapat dilakukan dengan cara mendorong andil dan iuran dari

anggaran negara di tingkat nasional maupun daerah. Bentuknya dapat beragam dan bisa

dimulai dari mekanisme hibah kompetitif sebagaimana yang telah lama dipraktikkan oleh

negara–negara anggota OECD. Andil dana ini penting bukan saja dari segi jumlah, akan

tetapi juga sebagai bentuk dan wujud legitimasi, yaitu bagaimana prinsip dan cara untuk

merubah relasi yang statist maupun model patronase politik untuk menjadi relasi hak

antara negara dengan warga negaranya.

33

Implik

asi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 43: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Rekomendasi

dan Jalan ke Depan

Page 44: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia adalah kekuatan sosial yang tumbuh dari

dalam ( ) dan dimotori oleh kalangan menengah perkotaan dan berpendidikan.

Namun demikian kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia bukanlah aktor yang

serba sempurna. Sebaliknya ia juga memiliki banyak kelemahan–kelemahan internal baik

soal kapasitas maupun model kelembagaannya. Hans Antlov, dkk (2008) misalnya

menyebut beberapa defisit dalam kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia,

antara lain; (i) terlalu mengandalkan diri pada metode konfrontasi; (ii) kapasitas lembaga

yang lemah karena terlalu mengandalkan tipe kepemimpinan–pengikut yang menghambat

pelembagaan dan regenerasi, serta (ii) kurangnya kerjasama antar kelompok–kelompok

masyarakat sipil sehingga gagal atau tidak berhasil dalam mencapai dampak yang lebih

besar.

Di sisi lain, demokrasi dan pembangunan di Indonesia dan dimana saja bukanlah suatu

proses yang antara input, proses terhadap akan tetapi juga melibatkan proses

politik dengan berbagai aktor dan gagasan. Misalnya saja, proses perubahan kebijakan

umumnya memerlukan tiga elemen, yakni; peristiwa politik (pemilu atau krisis ekonomi),

pengakuan adanya masalah, serta usulan kebijakan ( , 2007). Bantuan pembangunan

sekurang–kurangnya dapat berperan dalam dua hal, yaitu mendorong adanya usulan

kebijakan oleh warga negara dan kelompok–kelompok masyarakat sipil, serta mendorong

elite politik dan pemerintahan untuk mengagendakan pembahasannya. Dalam proses itu,

demokrasi yang berjalan setidaknya setiap lima tahun sekali menyediakan celah sempit bagi

perubahan.

Pada titik inilah peran kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia menjadi krusial,

yaitu memastikan bahwa elite politik menggunakan momentum politik untuk memperbaiki

keadaan. Atas dasar pengalaman empiris warga negara, kelompok–kelompok masyarakat

sipil dapat berperan untuk mendorong dan memunculkan kehendak politik dari para elite

melalui berbagai kegiatan baik melalui advokasi kebijakan publik maupun penyediaan

pengetahuan dan model–model inovasi yang baik.

Dengan kata lain, ada banyak titik dan ruang yang konvergen antara kelompok–kelompok

masyarakat sipil, lembaga–lembaga bantuan pembangunan dan pemerintah. Demikian

halnya antara kualitas pemerintah, kualitas demokrasi dan peran pemerintah yang optimal.

Konvergensi tujuan ini dapat ditingkatkan dari proposisi teori yang abstrak menjadi sikap

dan aksi bersama. Namun demikian, konvergensi tetap harus menyediakan kebebasan bagi

perbedaan pendekatan, dan metode terhadap pemecahan masalah. Hendaknya, tidak

terdapat dominasi atau hegemoni antara satu pihak dengan lainnya. Pendekatan

pembaharuan dari atas sama pentingnya dengan pembaharuan dari bawah, demikian

sebaliknya. Oleh karena itu, prinsip kemitraan dan saling melengkapi hendaknya menjadi

semangat yang patut diwujudkan. Dalam kaitan tersebut, berikut adalah beberapa langkah

yang dapat dipertimbangkan oleh semua pihak baik pemerintah, lembaga bantuan

home grown

linier output,

Stone

VI. Rekomendasi dan Jalan ke Depan

35

Rekom

endasi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 45: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

pembangunan maupun kelompok–kelompok masyarakat sipil guna mendorong peran yang

lebih luas dan meningkat bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia di masa lima

hingga sepuluh tahun mendatang.

1. Pemerintah yang demokratis yang dipilih dalam pemilu setiap lima tahun sekali

berkepentingan agar semakin dipercaya oleh warga negaranya. Sebaliknya, warga

negara semakin dituntut untuk mematuhi kewajiban membayar pajak sebagai kewajiban

mutlaknya. Pemerintah semakin lama semakin dituntut untuk menciptakan relasi

berbasis hak, antara lain melalui penyediaan barang publik yang dananya berasal dari

pajak rakyatnya sendiri. Dalam kaitan inilah, pemerintah perlu mencari jalan dan

mengujicoba jalan tersebut untuk memperluas peran kelompok–kelompok masyarakat

sipil dalam proses pembangunan.

2. Pemerintah memerlukan kebijakan tentang relasi pemerintah dengan kelompok–

kelompok masyarakat sipil dalam kaitannya dengan pembangunan dan demokrasi.

Salah satu cara memulai hal ini adalah dengan mengembangkan skema barang publik

yang didanai oleh anggaran negara. Misalnya saja, model inisiatif bantuan hukum yang

didanai oleh APBN dan dilaksanakan oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil telah

mulai diperkenalkan, meskipun belum tertata dan terlembaga.

3. Pemerintah perlu melakukan penyelidikan sistematis dan uji coba untuk memperluas

praktik penyediaan barang publik oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di luar

bidang bantuan hukum. Sebagai negara kelas menengah dengan skala APBN setiap

tahun yang telah melebihi angka 1.000 triliun rupiah, sudah waktunya barang publik ikut

serta didanai oleh negara. Beberapa pemerintah daerah misalnya di Sinjai dan Makassar

(Sulawesi Selatan) hingga Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan)

telah mengalokasikan dana APBD untuk bantuan hukum gratis bagi warga miskin.

4. Pemerintah dapat mempertimbangkan perubahan atau revisi peraturan mengenai

pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama yang menyangkut barang publik

seperti penanggulangan kemiskinan, perlindungan konsumen, pendidikan, HAM,

pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan, pengurangan resiko bencana

hingga perlindungan terhadap kebhinekaan Indonesia. Revisi diperlukan untuk

memungkinkan kelompok–kelompok masyarakat sipil yang memiliki keahlian dan

rekam jejak pengalaman yang baik dapat mengakses sumberdaya anggaran negara

melalui tata–cara dan mekanisme yang kompetitif.

1. Mendorong kembalinya mekanisme permintaan inisiatif untuk dukungan hibah

kompetitif guna membuka dan memperluas akses dan kesempatan bagi kelompok–

kelompok masyarakat sipil Indonesia, terutama mereka yang berada di luar Jakarta dan

luar Jawa. Bantuan pembangunan dari berbagai lembaga multilateral dan bilateral

hendaknya juga berkepentingan untuk memastikan bahwa hasil dukungan–dukungan

mereka dapat diterima secara sosial oleh warga negara Indonesia selain efektif secara

teknis. Peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil karenanya menjadi penting

untuk memastikan penerimaan secara sosial itu.

Kepada Pemerintah

Kepada Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan :

36

Rekom

endasi

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 46: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

2. Memperluas keterlibatankelompok–kelompok masyarakat sipil dalam proses

perumusan strategi bantuan pembangunan ( ), termasuk pada tahap

penyusunan program atau proyek, evaluasi dan monitoring serta akuntabilitas program.

3. Meningkatkan percobaan mekanisme keterlibatan kelompok–kelompok masyarakat

sipil dalam pelaksanaan program hibah seperti pada model PNPM Peduli.

Mekanisme ini merupakan sebuah terobosan dari sudut pandang meluasnya peran

kelompok–kelompok masyarakat sipil dalam pelaksanaan sebuah program dan proyek.

Di masa mendatang, keterlibatan ini diharapkan meningkat hingga pada perumusan

kebijakan strategi bantuan pembangunan.

4. Memperluas kerjasama dengan lembaga pengelola hibah nasional, dalam perumusan

dan pelaksanaan program. Beberapa kerjasama dengan lembaga pengelola hibah

nasional sesungguhnya telah dicoba misalnya pada tema perlindungan lingkungan hidup

dan penguatan pemerintahan. Namun demikian, praktik semacam ini belum meluas dan

dilanjutkan terhadap bidang–bidang yang lain.

1. Secara pro-aktif menciptakan ruang konsultasi dalam upaya mempengaruhi kebijakan

dan program–program bantuan pembangunan terutama di lembaga–lembaga

multilateral dan bilateral dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas dan dampak

sosial dari setiap bantuan pembangunan internasional. Termasuk di dalamnya,

menciptakan forum–forum dialog yang terukur dan terlembaga.

2. Mengambil inisiatif dalam perumusan dan pengawasan strategi bantuan pembangunan

internasional. Kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia sesungguhnya memiliki

pengalaman ini, namun belakangan memerlukan upaya yang lebih luas dan mendalam

untuk tujuan memastikan efektifitas bantuan–bantuan pembangunan tersebut.

3. Memperbanyak kerjasama dan kordinasi misalnya melalui model kerjasama konsorsium

antar kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia untuk meningkatkan kualitas,

signifikansi dan dampak advokasi kebijakan publik. Sudah waktunya persaingan antar

kelompok dikurangi atau dikelola secara lebih sehat. Para pemimpin kelompok–

kelompok masyarakat sipil perlu berpikir dalam gambar besar ( ) tentang

hambatan dan kendala utama Indonesia dan menggabungkan pendekatan serta keahlian

diantara sesama kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia. Masalah korupsi,

kerusakan lingkungan hidup dan meluasnya perilaku anti–toleransi di Indonesia

merupakan sedikit contoh.

4. Memperbaiki tata kelola dan kepemimpinan di dalam kelompok–kelompok masyarakat

sipil guna memastikan pelembagaan akuntabilitas dan regenerasi. Kelompok–kelompok

masyarakat sipil Indonesia semakin hari semakin memerlukan tenaga–tenaga muda

dengan visi sekaligus keterampilan yang tinggi. Para pemimpin kelompok–kelompok

masyarakat sipil perlu menata kelembagaan dan mengakhiri praktik

(kekuasaan oleh kaum tua) dalam dirinya agar dapat mempertahankan kaum muda yang

berkomitmen dan memiliki keterampilan teknis yang tinggi.

country strategy

multi–donor

macro

gerontology

Kepada Kelompok-kelompok Masyarakat Sipil :

37

Rekom

endasi

Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 47: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia38

Rekom

endasi

Page 48: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Daftar Rujukan

ActionAid. 2008. Direct Budget Support. The best way of doing Aid? Report of International Seminar.

February 26, 2008.

Andrew Rogerson, 2011. What If Development Aid Really Rewarded Results? Revisiting The Cash on

Delivery (COD) Aid Model. OECD Development Brief No 1–2011.

Antlov, Hans., Brinkerhoff, Derrick., Rapp, Elke. 2008. Civil Society Organizationsand Democratic

Reforms: Progress, Capacities and Challenges in Indonesia. Paper presented at37th Annual

Conference Association for Research on Nonprofit Organizations and Voluntary Action

Philadelphia PA.November 20–22, 2008.

Aspinall, Edward. 2010. Assesing Democracy Assistance: Indonesia. Project report. FRIDE and The

World Movement for Democracy.www.fride.org.

AusAID. Australia Indonesia Partnership Country Strategy 2008–13.

www.ausaid.gov.au/publication.

________. Strategi Kerjasama Pembangunan Australia Indonesia 2008–2013.

Brautigam, Deborah A., Fjeldstad, Odd–Helge., Moore, Mick (eds). 2008. Taxation and State Building

in Developing Countries: Capacity and Consent. Cambridge University Press.

Carothers, Thomas. 2009. Revitalizing US Democracy Assisstance: The Challenge of USAID. Carnegie

Endowment for International Peace.

http://www.carnegieendowment.org/files/revitalizing_democracy_assistance.pdf.

____________________. 2009. Democracy Assistance: Political Vs. Developmentals? Journal of Democracy

Vol 20 No 1 January 2009.

CIDA. Wilayah Kerja CIDA Indonesia di Sulawesi.

DFID. 2011. Country Plan 2008–2011. www.dfid.gov.uk/Indonesia.

Easterly, William. 2006. The White Man's Burden: Why the West's Efforts to Aid the Rest Have Done

So Much Ill and So Little Good.The Penguin Press, New York.

Edi, Jepri and Setianintyas, Ayu. 2007. Donor Proliferation and Donor Coordination in Indonesia:

The Case of Governance Reform.Paper prepared for Centre for the Future State. Institute of

Development Studies. University of Sussex.

European Commission. Indonesia–European Community Strategy Paper 2007–2013.

Frot, Emmanuel and Santiso, Javier. 2008. Development Aid and Portfolio Funds: Trends, Volatility

and Fragmentation. OECD Development Centre Working Paper No. 275 December 2008.

Gleenie, Jonathan. 2011. The Role of Aid to Middle–income Countries: A Contribution to Evolving EU

Development Policy.Working Paper 331. Overseas Development Institute.

Hivos. Promoting Pluralism. http://www.hivos.net/Hivos–Knowledge–Programme/

Themes/Promoting–Pluralism/Countries/Indonesia.

39Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 49: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Kemitraan. Annual Report 2010 dan 2009. www.kemitraan.org.

___________. Strategic Planning: Democratic Governance.

http://www.kemitraan.or.id/main/content3/69/83/84.

Kramer, Monique., et.all. 2009. Doing Good or Doing Better, Development Policies in a Globalizing

World. Amsterdam University Press.

Moss, Todd. 2011. Oil to Cash: Fighting the Resource Curse through Cash Transfer. Working paper

237. Center for Global Development. www.cgdev.org.

OECD. 2011. Updated statistical data. http://www.oecd.org/dataoecd/42/12/47458336.xls.

Rothstein, Bo. 1998. Just Institutions Matter. The Moral and Political Logic of the Universal Welfare

State. Cambridge: Cambridge University Press.

Stone, Diane. 2007. Recycling Bins, Garbage Cans or Think Tanks? Three Myths Regarding Policy

Analysis Institutes. Public Administration. Vol.85 (No.2). pp. 259–278.

The Asia Foundation, Indonesia: Overview. http://www.asiafoundation.org/publications/pdf/749.

Tifa Foundation. Program dan Kemitraan.

http://www.tifafoundation.org/index.php?comp=program&lang=id.

Toussaint, Eric. 2004. IMF and WB: The Destruction of Indonesia's Sovereignty.

http://www.cadtm.org/IMF–and–WB–the–destruction–of#nb2–6.

UNDP. 2010. Draft Country Programme for Indonesia (2011–2015).

_______. UNDP Country Programme Action Plan 2011–2015.

USAID. A Partnership for Prosperity. Country Strategy 2009–2014

_______. Program Representasi (ProRep).

_______. Program KINERJA.

_______. Changes for Justice (C4J).

_______. Educating and Equipping Tomorrow Justice Reformers (E2J).

Winters, Matthew S. 2012. The Obstacles to Foreign Aid Harmonization: Lessons from the

Decentralization Sector in Indonesia. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2009992.

World Bank. 1997. Internal Memorandum by Stephen Dice, member of World Bank's Resident Staff,

Indonesia, Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of “Leakage” from World Bank

Project Budgets (Aug. 1997).

____________. 2008. Investing in Indonesia's Institutions. Country Partnership Strategy FY09–12.

www.worldbank.org.

Yappika. MP3 Audiensi dengan WaMenPAN dan RB.

http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=353&Itemid=74

40 | Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Page 50: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Tentang Para Penulis dan Penyunting

HERRYADI ADUN,

JIM TOAR MATULI,

MICKAEL BOBBY HOELMAN,

SUGENG BAHAGIJO,

mengelola Program Demokrasi di Yayasan Tifa sejak tahun

2006. Ia bertanggung–jawab mengembangkan inisiatif dan kemitraan dengan

organisasi–organisasi masyarakat sipil di Indonesia dalam membangun

demokrasi substantif, khususnya pada tema kepemimpinan yang

bertanggung–gugat baik di kalangan masyarakat sipil maupun masyarakat

politik.Sebelumnya, ia pernah bertugas untuk misi kemanusiaan di Aceh bersama

Canadian Red Cross dan memiliki pengalaman cukup panjang keluar masuk

hutan di Kalimantan Timur ketika masih bergabung sebagai konsultan Proyek

Pengelolaan Hutan Berkelanjutan pada Deutsche Gesellschaft für Technische

Zusammenarbeit (GTZ/ SFMP).

berpengalaman dalam pengelolaan program bantuan

pembangunan, audit kepatuhan, keuangan dan akuntasi serta administrasi dan

pengelolaan sumber daya manusia. Selama lebih dari 12 tahun menjadi spesialis

di berbagai lembaga internasional seperti Oxfam Great Britain, Catholic Relief

Services dan Australian Red Cross untuk program–program kemanusiaan,

tanggap darurat dan proyek–proyek pembangunan di Asia Selatan dan Asia

Tenggara. Sejak satu tahun yang lalu ia bergabung dengan proyek dukungan

CIDA untuk Support to Indonesia's Islands of Integrity Program for Sulawesi

(SIPS) bersama Cowater International Inc. Canada.

pernah berkiprah di masa awal berdirinya ICW

(Indonesia Corruption Watch). Berpengalaman bekerja pada Department for

International Development (seperti Bappenas pemerintah Inggris Raya).

Sebelumnya ia juga sempat menjadi penasihat advokasi dan tata pemerintahan

untuk kantor Oxfam Great Britain perwakilan Indonesia dan saat ini dipercaya

mengelola Program Demokrasi dan Pemerintahan di Yayasan Tifa. Menamatkan

sarjana di bidang ekonomi dan studi lanjutan pada disiplin ilmu politik. Selain

gemar melakukan kajian, ia juga kerap menjadi fasilitator dan nara sumber di

berbagai diskusi terutama terkait dengan tema akuntabilitas sosial.

aktif melakukan kajian–kajian kebijakan sosial. Beberapa

publikasinya antara lain; “Mimpi Negara Kesejahteraan: Telaah Dinamika Peran

Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan” (Jakarta: co–author, LP3ES,

2006) dan “Globalisasi Menghempas Indonesia” (Jakarta: editor, LP3ES, 2006).

Mantan Deputy Director INFID (International NGO Forum on Indonesian

Development) pada kurun waktu 2002–2004, Associate Director Perkumpulan

Prakarsa (2005–2009)dan Direktur Eksekutif Komunitas Indonesia untuk

Demokrasi/ KID (2010–2011). Ia juga pernah menjadi penasihat teknis untuk

Deputi Menteri Bappenas Urusan Otonomi dan Kerjasama Daerah (2004–2005)

serta penasihat kebijakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat

(2006–2007). Selain menulis, menjadi nara sumber dan fasilitator,ia juga secara

berkala membantu kajian–kajian di berbagai lembaga studi dan think–tank,

termasuk Yayasan Tifa.

41Yayasan TIFA, Juli 2012 |

Page 51: Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

YAYASAN TIFA

Jl. Jaya Mandala II No. 14E, Menteng Dalam

Jakarta Pusat 12870 - INDONESIA

Ph. +62 (21) 829-2776 | Fax. +62 (21) 837-836-48

e-mail to : [email protected]

www.tifafoundation.org