Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Photoku Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Media Untuk Edukasi Bangsa Cedera Otak dan Metode Glenn Doman (Patterning Therapy) 7 Juli 2011 oleh Majalah Anak Spesial pada 01 Maret 2010 jam 9:54 Saat bayi Anda sudah mampu berjalan pada usia seharusnya ia merangkak, janganlah Anda cepat merasa bangga dan senang hati! Bisa jadi anak Anda tersebut potensial mengalami yang namanya cedera otak. Apa itu cedera otak? Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, cedera otak atau lumpuh otak adalah gangguan kendali terhadap fungsi motorik dikarenakan kerusakan pada otak yang sedang berkembang. Sementara itu dalam buku Apa yang Dapat Dilakukan Pada Anak Anda yang Cedera Otak yang ditulis Glenn Doman, definisi anak cedera otak adalah ”setiap anak yang mengalami sesuatu yang mencederai otaknya”. Sesuatu ini dapat terjadi kapan pun, mulai ketika anak masih ada dalam kandungan, selama proses kelahiran, setelah dilahirkan, hingga anak cukup besar.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu
Photoku
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Media Untuk Edukasi Bangsa
Cedera Otak dan Metode Glenn Doman (Patterning Therapy)
7 Juli 2011
oleh Majalah Anak Spesial pada 01 Maret 2010 jam 9:54
Saat bayi Anda sudah mampu berjalan pada usia seharusnya ia merangkak, janganlah Anda
cepat merasa bangga dan senang hati! Bisa jadi anak Anda tersebut potensial mengalami
yang namanya cedera otak.
Apa itu cedera otak?
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, cedera otak atau lumpuh otak adalah gangguan kendali
terhadap fungsi motorik dikarenakan kerusakan pada otak yang sedang berkembang.
Sementara itu dalam buku Apa yang Dapat Dilakukan Pada Anak Anda yang Cedera Otak
yang ditulis Glenn Doman, definisi anak cedera otak adalah ”setiap anak yang mengalami
sesuatu yang mencederai otaknya”. Sesuatu ini dapat terjadi kapan pun, mulai ketika anak
masih ada dalam kandungan, selama proses kelahiran, setelah dilahirkan, hingga anak cukup
besar. Sesuatu atau masalah tersebut mempengaruhi kemampuan otak untuk menyerap
informasi (sensorik) atau kemampuan otak untuk merespons informasi (motorik).
Meski seringkali hanya dikaitkan dengan penderita cerebral palsy, cedera otak sebenarnya
juga merupakan inti permasalahan pada anak-anak yang menyandang berbagai label
gangguan perkembangan, seperti autisme, hiperaktif, epilepsi, down
syndrome, serta berbagai gangguan lain yang kian bertambah jumlahnya sekarang ini. Jika
cedera otak pada palsi serebral sebagian besar cenderung mempengaruhi kemampuan
fisiknya, cedera otak pada autisme dan gangguan hiperaktif, misalnya, cenderung
mempengaruhi penalaran indera mereka, baik inner sense (pancaindera)
ataupun outer sense (vestibular, pro-prioception, dan tactile), dan
gangguan ini mendatangkan pelbagai permasalahan yang menyiksa hidup
mereka setiap detik. Mereka tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri,
bahkan ada yang membenci badannya sehingga kerap melukai badan mereka
sendiri. Derita mereka sering jauh lebih berat dibandingkan derita
orangtua mereka sendiri. Mereka terperangkap pada badan yang penuh masalah dan kendala.
Namun, apapun label yang diberikan pada anak kita, inti permasalahan sebenarnya adalah
bahwa anak kita itu memiliki otak yang cedera atau terluka, karena itu dalam penanganannya
pun haruslah pada bagian yang terluka itu.
Penyebab cedera otak
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, cedera otak terjadi dikarenakan suatu masalah atau
kecelakaan yang berakibat pada cederanya otak si anak. Kecelakaan tersebut bisa terjadi
kapan saja, mulai ketika anak masih dalam kandungan, selama proses kelahiran, setelah
dilahirkan, atau saat anak beranjak dewasa.
Selama masa pembuahan, cedera otak bisa terjadi bila ada faktor genetik yang
mempengaruhi, seperti kelainan kromosom yang menyebabkan kelainan otak pada anak
Down Syndrome. Ketidakcocokan rhesus darah pada pasangan suami-istri juga bisa
menyebabkan cedera otak.
Sementara itu, cedera otak juga bisa disebabkan faktor eksternal seperti trauma kepala,
radang, pendarahan otak, serta penyakit yang bisa merusak otak secara progresif seperti
tumor otak. Anak yang mengalami cedera otak kehilangan kemampuan untuk menyerap
informasi (sensorik) dan merespons informasi (motorik).
Contoh kasus yang banyak terjadi adalah cedera otak pada bayi prematur, yang merupakan
akibat dari adanya gangguan saat kehamilan si bayi. Redistribusi aliran darah janin dan tanda-
tanda ketidakcukupan plasenta bisa mengakibatkan volume otak yang lebih kecil pada bayi
prematur. Pada kondisi ini, janin mengarahkan sebagian besar aliran darah ke otaknya.
Para ahli berpendapat bahwa radang plasenta dapat mengakibatkan cedera otak pada bayi
prematur. Sekitar 45% bayi prematur ternyata mengalami radang plasenta. Namun demikian,
radang plasenta bukanlah satu-satunya penyebab utama cedera otak ataupun gangguan
pertumbuhan otak bayi. Tingkat prematurlah yang sebenarnya sangat mempengaruhi tingkat
resiko cedera otak.
Contoh lain adalah cedera otak yang terjadi pada orang dewasa, yakni pada mantan petinju
dunia, Greg Page. Page mengalami cedera otak ketika bertanding di Louisville. Saat itu, Page
koma selama satu minggu ketika bertanding memperebutkan gelar WBA. Ia mengalami koma
ketika menjalani operasi seusai bertanding dan lemah pada bagian tubuhnya sebelah kiri dan
setelah itu ia sempat menjalani terapi sebelum akhirnya meninggal dunia pada usia 50 tahun.
Ciri-ciri cedera otak
Cedera otak pada anak sebenarnya sudah bisa diketahui gejalanya sejak usia bayi 3-6 bulan,
yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan. Bila orangtua jeli, umumnya gejala
atau ciri tersebut bisa dilihat secara kasat mata, seperti refleks pada bayi yang seharusnya
menghilang tapi masih ada (misal: refleks menggenggam yang harusnya hilang saat bayi
berusia tiga bulan) dan bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan kaki satu diseret.
Yang terjadi pada anak cedera otak biasanya adalah entah dia tidak dapat berjalan, tidak
dapat berbicara, atau setidak-tidaknya kekurangan salah satu kemampuan itu sebagaimana
halnya anak-anak normal.
Anak yang sehat seharusnya merangkak sebelum ia berjalan, merayap sebelum ia merangkak
dan ia tidak akan berjalan tanpa adanya kesempatan untuk berlatih dengan mengusahakan
untuk maju melalui tahap-tahap itu. Anak cedera otak berada di hampir semua tempat kecuali
di tempat di mana seharusnya ia berada, yaitu di lantai. Anak cedera otak yang hampir tidak
dapat berjalan dan tidak dapat berlari, pola merangkak mereka buruk dan sama sekali tidak
dapat merayap dengan posisi tengkurap. Anak-anak cedera otak yang mampu berjalan dan
berlari tidak pernah mendapat kesempatan merayap dan merangkak karena mereka memiliki
disorganisasi atau cedera pada otak tengahnya.
Selain gejala yang bisa dilihat sejak anak masih bayi, yang perlu diperhatikan adalah gejala
yang terjadi bila seseorang mengalami kecelakaan dan mengalami benturan keras pada
bagian kepalanya dengan sesuatu (seperti jok mobil, aspal, dan sebagainya). Kecelakaan ini
bisa terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Orang tersebut harus diobservasi
setidaknya selama 24 jam dan dilihat apakah ada tanda-tanda terjadinya cedera otak, seperti
sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, pandangan mata kabur atau ganda, kesadaran
menurun, separuh tubuh mengalami kelemahan. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut di atas,
segeralah bawa yang bersangkutan ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.
Jenis-jenis Cedera Otak
Secara umum cedera otak dikelompokkan dalam empat jenis yaitu:
1. Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini
adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita cedera otak masuk dalam
tipe ini.
2. Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya
mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang aneh.
3. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.
4. Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh
tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid.
Cedera otak juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan,
pendengaran, maupun bicara.
Menangani Cedera Otak
Ketika seorang anak divonis mengalami cedera otak, sering kali orangtua bingung harus
berbuat apa. Berbagai terapi dilakukan untuk membuat anak-anak mereka normal kembali
seperti terapi fisik, terapi wicara, dan terapi penglihatan. Sayangnya, hasilnya kerap dianggap
kurang memuaskan meskipun pada beberapa kasus terapi semacam ini membawa sedikit
perubahan. Padahal anak yang mengalami cedera otak sebenarnya mempunyai peluang hidup
seperti anak normal. Dengan mendayagunakan bagian otak yang masih sehat, anak cedera
otak bisa dioptimalkan kemampuan motorik maupun intelektualnya. Anak yang mengalami
cedera otak sering dianggap bodoh karena mereka tidak mampu bicara, berdiri, atau berjalan.
Padahal jika kemampuan otaknya bisa dioptimalkan, anak cedera otak bisa memiliki
kemampuan intelektual sama dengan anak normal atau bahkan melebihi anak normal.
Direktur The Institutes for The Achievement of Human Potential dari Philadelphia, Amerika
Serikat, Douglas Doman, mengatakan, terapi yang dilakukan pada anak-anak yang
mengalami cedera otak banyak yang salah sasaran. Anak dengan cedera otak sulit mengalami
kemajuan karena terapi dilakukan hanya untuk mengobati gejalanya, bukan pada sumber
penyebabnya. ”Kalau sumbernya ada di otak, terapi seharusnya dipusatkan pada otak, bukan
pada anggota tubuh yang dianggap bermasalah,” kata Douglas.
Anak yang mengalami cedera otak masih bisa ”diperbaiki” karena biasanya kerusakan tidak
terjadi menyeluruh, tetapi hanya bagian-bagian tertentu saja. ”Masih ada sel otak yang bisa
diformat ulang,” kata Douglas. Format ulang dilakukan dengan menciptakan gerakan dasar
yang seharusnya dilewati seluruh manusia sejak kelahirannya, yaitu bergerak tanpa pindah
tempat, merayap, merangkak, dan berjalan. Gerakan dasar ini diciptakan untuk menstimulasi
otak. ”Lama-lama otak akan menyerap informasi kemudian akan merespons balik informasi
tersebut,” kata Douglas.
Metode Glenn Doman
Mungkin orangtua anak-anak cedera otak mulai dari autisme, adhd, down syndrome, atau
cerebral palsy sudah sangat lelah dan jenuh dengan banyaknya ragam terapi yang mereka
berikan untuk anak-anak mereka itu, namun hanya memberikan hasil yang tak seberapa.
Ditambah lagi biaya terapi yang cukup mahal dan kurang terjangkau sehingga harta orangtua
yang memiliki anak-anak dengan cedera otak umumnya
habis terkuras untuk membiayai terapi anak-anaknya. Dengan terapi Glenn Doman (GD),
orangtua tak perlu mengeluarkan banyak biaya dan terapi ini juga mudah untuk dilakukan
sendiri di rumah. Namun, terapi ini memang mengharuskan orangtua mencurahkan segala
daya dan perhatian pada sang anak, dan hali ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Anak yang mengalami cedera otak pada umumnya perlu napak tilas melewati proses
merayap, merangkak, berjalan, dan berlari, sebab mereka tidak melalui semua ini dengan
sempurna. Tujuannya, untuk mematangkan cerebral cortex (otak bagian atas mereka). Karena
itu, inti metode terapi GD pada prinsipnya adalah menstimulasi otak secara maksimal untuk
membuat jembatan-jembatan baru menutupi bagian otak yang cedera tersebut. Dengan
demikian, perhatian metode GD ini tertuju pada otak anak-anak cedera otak yang sedang
”korsleting” dan kemudian berusaha mengajarkan otak untuk memperbaiki ”korsleting
tersebut.
Metode Glenn Doman dirancang untuk menciptakan kanal-kanal baru pada bagian otak yang
belum terpakai. Kanal baru itu nantinya bisa memotong jalur penyampaian informasi pada
otak yang cedera. Menurut Douglas Doman, sebagian besar manusia menggunakan potensi
otaknya hanya dua sampai tiga persen dan selebihnya belum terpakai.
Metode GD melakukan semacam reformatting pada otak anak-anak, mendayagunakan bagian
otak yang sehat dengan membuka kanal baru di otak sehingga kita bisa mem-bypass bagian
otak yang rusak. Serangkaian gerak dasar yang harus dilakukan merayap dan merangkak
untuk melancarkan aliran darah ke kaki dan tangan yang kerap bertemperatur lebih rendah
dibandingkan suhu di tubuh. Ini juga untuk mempererat sambungan central nervous system
dan peripheral nervous system yang kadang “sekrup” penghubungnya “dol” (too lose) atau
terlalu keras (too tight) sehingga kelenturan geraknya berkurang.
Disiplin dan Tega: Kunci Keberhasilan Glenn Doman
Kasih sayang dan perhatian orangtua sangat penting demi kemajuan perkembangan anak-
anak berkebutuhan khusus, karena dukungan berupa kasih dan kelembutan memang bisa
memberikan motivasi bagi anak-anak kita.
Namun, terlalu sayang juga bisa menjadi kelemahan orangtua bagi kemajuan anaknya.
Karena, dalam beberapa kasus, saking besarnya rasa sayang orangtua pada si anak, si
orangtua menjadi tidak tega saat harus menjalani terapi pada anaknya yang pada akhirnya
akan menghambat kemajuan si anak itu sendiri.
Sikap seperti itulah yang yang harus dibuang jauh-jauh bila ingin sungguh-sungguh
merasakan keberhasilan metode Glenn Doman ini. Karena metode ini memang
mengharuskan peran serta orangtua dan anggota keluarga lainnya di rumah dalam
menerapkannya, alhasil mereka pun harus bisa disiplin menerapkannya. Bahkan, bisa
dibilang, orangtua harus bisa membuang rasa kasihan pada si anak dan menerapkan sikap
keras dan tega.
Jangan sampai saat sedang melakukan terapi pada anak pada waktu yang sudah ditentukan,
orangtua kemudian menghentikan terapi dari waktu yang sudah seharusnya dengan alasan
”tidak tega”, ”kasihan”, ”dia sudah capek”, atau alasan-alasan lainnya yang mengatas-
namakan anak. Padahal, bisa saja si anak masih mampu melakukannya. Sikap seperti ini tentu
saja bisa berdampak buruk pada kemajuan si anak dan menahan potensi diri yang sebenarnya
ada di dalam si anak tersebut.
Salah satu contoh kasus yang bisa dijadikan pembelajaran adalah yang terjadi pada Ibu
Lanneke atau Lanny, yang merupakan ibunda dari Anthony (17 tahun). Anthony yang
dipastikan menyandang CP saat berusia sekitar enam atau delapan bulan itu, hingga kini tidak
bisa menggunakan kakinya untuk berjalan dan hanya bisa mengandalkan kursi roda.
Walaupun Ibu Lanny sudah menerapkan metode Glenn Doman sejak Anthony berusia di atas
satu tahun, namun kemajuan pada Anthony tidak terlalu banyak, meskipun memang ada. Hal
ini dikarenakan sikap sang ibu yang menyayangi anaknya dan tidak secara disiplin
menerapkan metode GD akibat rasa ’tidak tega’ tadi.
”Mungkin kasus saya ini bisa dijadikan pelajaran buat para ibu dari anak penyandang CP
lainnya. Seorang ibu sayang pada anaknya itu adalah sesuatu yang alamiah. Namun, tak
selamanya rasa sayang itu ditunjukkan dengan kelembutan, terkadang kita harus menjadi
keras dan disiplin demi kebaikan anak-anak kita,” tutur Ibu Lanny.
Ibu Lanny kembali menjelaskan bahwa kesalahannya sebagai orangtua adalah bahwa saking
terlalu sayangnya pada anak, sehingga ia menjadi terlalu protektif dan berhati-hati dalam
memperlakukan Anthony. Alhasil, metode GD yang ia lakukan pun tidak terlalu membawa
hasil yang maksimal bagi perkembangan Anthony, dikarenakan ia tidak menerapkan metode
yang ada secara menyeluruh alias setengah-setengah.
”Memang sampai sekarang pun terkadang saya masih melakukan terapi GD pada Anthony,
tapi sudah agak sulit dikarenakan tubuh Anthony yang cukup besar karena usianya sudah 17
tahun. Saya tidak bisa lagi mengatur dia seenaknya lagi karena dia pun memiliki tenaga yang
lebih besar dari saya.”
Anthony yang sekarang memang sudah mengalami kemajuan dibandingkan beberapa tahun
yang lalu. Meskipun tidak bisa berjalan, ia bangun sendiri dari kasur untuk duduk.
Makanannya pun tidak lagi harus dihaluskan, ia kini sudah bisa mengunyah makanan jenis
apapun, termasuk makanan keras seperti kerupuk atau keripik. Ia juga tidak lagi sering sakit
seperti dulu, dikarenakan ia kini sudah banyak bergerak dan tidak hanya berbaring di tempat
tidur. Namun, Ibu Lanny berharap kasusnya tidak diikuti oleh para ibu lainnya.
”Sebagai orangtua, kita harus selalu aktif untuk kebaikan anak kita. Kita harus rajin
menerapkan terapi dengan disiplin, jangan setengah-setengah. Yang paling penting adalah,
kita harus menganggap anak kita sebagai anak yang normal, bukan anak cacat dan
sebagainya. Jangan pedulikan omongan orang yang mengatakan bahwa anak kita tidak akan
mampu. Yakinlah mereka bisa dan pasti akan bisa, tergantung dari kita sendiri,” pesan Ibu
Lanny.
Karena itu, siapkah Anda para orangtua menjadi orangtua yang ”tega”, ”keras”, dan
”disiplin” saat menerapkan metode ini? Bila tidak, sebaiknya Anda tidak memulainya sama
sekali.
Beberapa Kisah Sukses dengan Glenn Doman
Banyak orangtua yang melihat perubahan yang cukup besar pada anak-anak mereka setelah
menggunakan metode GD. Salah satu contohnya adalah para orangtua yang tergabung dalam
KOACI (Komunitas Orangtua Anak Cidera otak Indonesia) yang berada di Bandung.
Ibu Leti
Ibunda dari Elfa (4 tahun)
”Elfa sudah didiagnosa CP sejak bayi. Sejak menerapkan metode GD sekitar setahun lalu,
sudah banyak kemajuan yang Elfa dapatkan. Misalnya, kini Elfa sudah mulai berani tiduran
di atas lantai, padahal sebelumnya ia sangat takut menyentuh lantai. Selain itu, Elfa juga
sudah bisa minum dengan sedotan dan bergaya dengan cantik ketika di foto. Elfa juga sudah
bisa duduk meskipun masih dibantu. Padahal, sebelum kenal dengan metode GD, Elfa sempat
diterapi selama tiga tahun di sebuah klinik terapi di Bogor, namun tidak memberikan hasil
yang nyata.
Berawal dari hadirnya saya dalam pelatihan Prinsip 2M (Merem-Melek) di sanggar Buah
Hati Bogor, dimana Mami Ling melatih metode GD, sekitar 3 (tiga) bulan yang lalu.
Berbekal pelatihan dan buku Metode GD yang saya punya, Elfa saya latih setiap hari.
Hasilnya sungguh membuat kami sekeluarga melihat titik cerah kehidupan, dan tentu saja
saya sangat bersyukur dengan kemajuan yang Elfa dapatkan. Hal ini membuat saya ingin
sekali berbagi dengan ibu-ibu lain yang memiliki anak dengan kondisi yang sama. Setiap
bertemu para ibu yang senasib dengan saya, saya selalu menyarankan untuk menerapkan
metode ini.”
Ibu Melly
Ibunda dari Aryo (6,5 tahun)
”Sewaktu Aryo dilahirkan, proses kelahirannya memang mengalami beberapa masalah.
Mungkin karena itulah Aryo mengalami kondisi seperti sekarang ini. Sejak usia empat bulan,
Aryo sudah didiagnosa menyandang CP yang cukup parah. Aryo hanya bisa berbaring karena
seluruh tubuhnya lemas, penglihatan Aryo juga mengalami gangguan. Sejak itu, Aryo pun
diikutkan berbagai jenis terapi, misalnya fisioterapi, namun hingga usianya mencapai empat
tahun, tidak ada peningkatan yang berarti pada Aryo.
Suatu ketika, secara tak sengaja saya membaca potongan surat kabar bekas yang saya
dapatkan ketika saya berada di angkot. Isi potongan surat kabar itu menarik perhatian saya
karena menceritakan kisah Ibu Ling-Ling yang berhasil membuat anak temannya yang juga
CP menjadi layaknya anak normal, seperti berjalan dan berlari. Hingga akhirnya, pada saat
Aryo berusia 4,5 tahun, saya bertemu dengan Ibu Ling-Ling yang kemudian mengenalkan
saya dengan metode terapi GD. Saya pun mulai menerapkannya pada Aryo. Hasilnya,
walaupun sedikit, kini Aryo sudah bisa merayap. Matanya pun kini sudah bisa merespon
gerakan yang ada di depannya, walaupun memang masih harus lebih ditingkatkan lagi.
Target saya saat ini fokus pada mata Aryo, karena saya memang ingin sekali setidaknya dia
bisa melihat. Saya juga ingin menyekolahkan Aryo di TK, supaya lebih meningkatkan
sosialisasinya dengan anak-anak lain.”
Ibu Nurhasanah
Ibunda dari Fadel/Aa (7 tahun)
”Aa sebenarnya lahir dan tumbuh sebagai bayi yang sehat. Hingga saat berusia 9 bulan, saya
membawanya ke puskesmas untuk imunisasi walaupun saat itu ia sedang panas tinggi. Sejak
diimunisasi, panasnya bukan turun malah semakin tinggi dan kondisinya memburuk.
Saat usia 1,5 tahun, saya membawa Aa ke rumah sakit untuk di periksa. Setelah menjalani
EEG, Aa positif didiagnosa CP. Berbagai terapi pun akhirnya saya coba lakukan. Namun,
kurang membawa hasil. Hingga saat usia Aa mencapai 5,5 tahun, akhirnya saya dan teman
saya (Ibu Melly) tak sengaja menemukan artikel surat kabar mengenai Ibu Ling-Ling. Dari
situlah saya kemudian mengenal metode GD yang kemudian aktif saya terapkan pada Aa
selama 1,5 tahun ini..
Alhamdulillah Aa sekarang sudah bisa melakukan banyak hal layaknya anak normal. Ia
sudah bisa berjalan, berlari, makan sendiri, dan berbicara walaupun masih kurang jelas.
Sekarang Aa sudah sekolah kelas dua SD di sebuah SLB dan ia pun sudah bisa membaca.
Target saya saat ini adalah, saya ingin tahun 2010 nanti sudah bisa membuat Aa berbicara
lebih jelas lagi sehingga bisa dimengerti orang lain.”
Patterning Therapi untuk anak-anak
berkebutuhan khusus
Dipublikasi pada Maret 12, 2012 oleh PUSAT TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
Materi Enrichment
Pusat Therapi Rumah Grahita
Lampung 2010
PATTERNING THERAPI
A. PENDAHULUAN.
Patterning therapy adalah suatu bentuk upaya mem”pola”kan (patterning) gerakan-gerakan
motorik yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi dalam otak yang mengalami
cedera atau kerusakan agar dapat berfungsi kembali secara mandiri.
B. SEL OTAK MANUSIA
Perkembangan otak dimulai dari sejak janin berusia 4 bulan sampai umur 2 tahun. Laju
perkembangan otak yang sangat cepat ini dapat terlihat dari adanya penambahan berat otak
janin usia 4 bulan yaitu 50 gram menjadi 400 gram pada waktu lahir dan akan berkembang
menjadi 1000 gram pada usia 18 bulan. Sel otak manusia mengandung bermilyar-milyar sel
otak (neuron) yang akan terus tumbuh sampai usia 2 tahun. Setelah usia 2 tahun sel akan
terus berkembang “nerve cell connection”. Otak adalah bukan organ yang statis tetapi
dinamis yang senantiasa tumbuh dan berkembang membentuk “nerve cell connection” yang
baru. Pertumbuhan jaringan antar sel ini dipengaruhi oleh rangsangan dari lingkungannya. C.
NEUROGENESIS Neurogenesis adalah pertumbuhan sel neuron baru. Paradigma lama
mengatakan bahwa otak memproduksi sel neuron baru sampai umur 2 tahun, oleh karena itu
sering dikenal dengan istilah “golden age”karena pada periode pertumbuhan otak ini
berpeluang memberikaan modal jumlah sel otak pada anak. Paradigma baru mengatakaan
bahwa ternyata sel neuron dapat terus tumbuh sampai usia berapapun. Oleh karena itu upaya
optimalisasi potensi otak seolah tidak terbatas. Umur berapapun, stimulasi pada anak akan
memberikan kontribusi pada peningkatan kecerdasannya. D. CEDERA OTAK (BRAIN
DAMAGE) Anak dengan cedera otak akan mengalami gangguan pada satu atau beberapa
fungsi sensori dan atau gangguan fungsi motorik. Untuk mengetahui bagian mana dari otak
yang cedera dan sejauh mana berat ringannya cedera perlu dilakukan pemeriksaan klinis
(Clinical Asessment). Gambaran beberapa keadaan cedera otak yang umum dikenal adalah