Top Banner
Eskapisme Sastra Jawa Melawan Globalisasi Ichwan Prasetyo Sastra itu buku (Suparto Brata, begawan sastra Jawa) Sekarang tak ada acuan karya sastra Jawa modern yang berkualitas (Sucipto Hadi Purnomo, Ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa/OPSJ, dosen Bahasa dan Sastra Jawa di Universitas Negeri Semarang/Unnes) I Belasan sastrawan Jawa dan pencinta sastra Jawa berkumpul di Pendapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo atau Taman Budaya Surakarta (TBS), Sabtu malam, 25 Februari 2012. Hujan rintik-rintik yang membuat banyak orang enggan beranjak dari rumah seakan menabalkan kondisi dunia sastra Jawa kini yang semakin tersingkir dari “peradaban” orang Jawa. Pertemuan itu diprakarsai pengurus Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ). Pertemuan Sabtu malam itu sebagai tindak lanjut Kongres Sastra Jawa III di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, 28-30 Oktober 2011 dan Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya, 27-30 November 2011. Hampir semua yang hadir dalam pertemuan di Wisma Seni TBS itu hadir dalam Kongres Sastra Jawa III dan Kongres Bahasa Jawa V. Tito S Budi yang terkenal dengan nama pena Daniel Tito, sastrawan Jawa yang menggeluti dunia sastra Jawa sejak awal 1970-an, di sela-sela pertemuan OPSJ itu mengatakan apa yang
39

Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Feb 26, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Eskapisme Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Ichwan Prasetyo

Sastra itu buku (Suparto Brata, begawan sastra Jawa)

Sekarang tak ada acuan karya sastra Jawa modern yang berkualitas (SuciptoHadi Purnomo, Ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa/OPSJ, dosen Bahasa dan Sastra Jawa di Universitas Negeri Semarang/Unnes)

I

Belasan sastrawan Jawa dan pencinta sastra Jawaberkumpul di Pendapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah(TBJT) Solo atau Taman Budaya Surakarta (TBS), Sabtu malam,25 Februari 2012. Hujan rintik-rintik yang membuat banyakorang enggan beranjak dari rumah seakan menabalkan kondisidunia sastra Jawa kini yang semakin tersingkir dari“peradaban” orang Jawa. Pertemuan itu diprakarsai pengurusOrganisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ).

Pertemuan Sabtu malam itu sebagai tindak lanjut KongresSastra Jawa III di Desa Jono, Kecamatan Temayang, KabupatenBojonegoro, Jawa Timur, 28-30 Oktober 2011 dan Kongres BahasaJawa V di Surabaya, 27-30 November 2011. Hampir semua yanghadir dalam pertemuan di Wisma Seni TBS itu hadir dalamKongres Sastra Jawa III dan Kongres Bahasa Jawa V.

Tito S Budi yang terkenal dengan nama pena Daniel Tito,sastrawan Jawa yang menggeluti dunia sastra Jawa sejak awal1970-an, di sela-sela pertemuan OPSJ itu mengatakan apa yang

Page 2: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

dia lihat dalam pertemuan Sabtu malam itu adalah gambaranriil dunia sastra Jawa era kini.

“Semua yang hadir inigenerasi tua. Mayoritas

di atas 50 tahun.Ini realitas sastra Jawa.

Sudah mati.”

“Semua yang hadir ini generasi tua. Mayoritas di atas50 tahun. Ini realitas sastra Jawa. Sudah mati,” kata Tito.“Kematian” sastra Jawa sudah lama dibicarakan. SastrawanArswendo Atmowiloto dalam sebuah diskusi di BalaiSoedjatmoko Solo, beberapa waktu lalu, mengatakan sastraJawa mati seiring tersisihnya aksara Jawa dari kehidupanorang Jawa. Tapi, pendapat ini dia koreksi pada awal 2012.

Arswendo adalah penulis dan wartawan yang mengawalikarier kesastraan dan kepenulisannya di dunia sastra Jawa.Kini, dia kembali menulis karya sastra Jawa setelah lebihdari 30 tahun meninggalkan dunia sastra Jawa yang sebelumnyadia tekuni dengan karya berupa cerita pendek (critacekak/cerkak) atau esai.

Apa yang terjadi dalam pertemuan OPSJ di Wisma Seni TBSitu, menurut Tito, adalah pengulangan dari peristiwa yangsama dalam dua dekade terakhir. Menurutnya, dalam setiappertemuan sastrawan Jawa yang dia hadiri selama dua dekadeterakhir, orang-orang yang hadir adalah itu-itu saja.

“Perbedaannya hanya satu, saya dan mereka makin tua,”kata Tito sambil tertawa lepas. Menurutnya, kematian sastraJawa menjadi keniscayaan ketika mereka yang rutin hadirdalam pertemuan-pertemuan sastrawan Jawa meninggal dunia.Mereka yang hadir—selalu hadir—dalam pertemuan-pertemuan

Page 3: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

sastrawan Jawa adalah orang-orang yang konsisten hadir dalamjagat sastra Jawa.

Sabtu malam itu hadir Suparto Brata, sastrawan Jawasenior yang secara informal ditabalkan sebagai begawansastra Jawa; Tiwiek SA, pendiri Sanggar Triwidha diTulungangung, Jawa Timur; Dhanu Priyo Prabowo, peneliti diBalai Bahasa Yogyakarta yang pernah menjabat sebagaiSekretaris Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta; Amie Williams,pencinta sastra Jawa yang punya akun Facebook yang konsistenmembahas bahasa dan satra Jawa; Rini Tripuspo Hardini, gurudi sebuah SMPN di Salatiga yang produktif menulis geguritan(puisi berbahasa Jawa) serta beberapa pencinta sastra Jawadari Jakarta, Tegal, Surabaya dan Semarang. Dan rata-ratamereka sudah berumur di atas 45 tahun.

Para sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang hadirdalam pertemuan OPSJ di Wisma Seni TBS dan para sastrawandan pencinta sastra Jawa dalam jumlah lebih banyak yanghadir dalam Kongres Sastra Jawa III dan Kongres Bahasa Jawa V rata-rata menyatakan sastra Jawa memang makin tersisih. Tapi,mereka juga bergelimang optimisme untuk mempertahankan,bahkan tak henti berusaha memberdayakan sastra Jawa.

Yusuf Susilo Hartono, penulis yang menggeluti sastraJawa yang tinggal di Jakarta, mengatakan jika perlu kinipara sastrawan dan pencinta sastra Jawa harus mereka atauberinovasi menghasilkan bentuk baru sastra Jawa demimenyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Menurut Yusuf, sastra Jawa gaya baru atau sastra Jawagagrag anyar yang berupa cerita pendek (crita cekak/cerkak),cerita bersambung (crita sambung/cerbung), puisi berbahasa Jawa(geguritan), novel atau novellete berbahasa Jawa dan esai-esaiberbahasa Jawa tentang sastra Jawa dan kejawaan bisa jadisudah tak diminati generasi muda Jawa era kini.

Semakin tingginya frekuensi komunikasi antarbudaya baiklokal, nasional, regional maupun internasional menempatkanmasyarakat Jawa dalam posisi yang kompleks. Era kesejagatanatau globalisasi menuntut orang Jawa tak sekadar menjadiorang Jawa yang njawa di dalam komunitas budaya merekasendiri, tetapi sekaligus menjadi orang Jawa yang berbangsa

Page 4: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Indonesia serta menjadi orang Jawa yang warga masyarakatdunia yang kini semakin nirbatas.

Globalisasi meniscayakan frekuensi intensif antarbudayalokal, nasional, regional dan internasional. Tuntutan bahwawong Jawa harus njawa di komunitas Jawa sekaligus berbangsaIndonesia dan warga dunia memang tak bisa diakomodasi secarabaik dan berimbang. Yang terjadi kini, mayoritas wong Jawajustru kehilangan kejawaan mereka. Wong Jawa ilang Jawane.

Di tengah kerumunan budaya global yang saling bersaingmemikat manusia mengakibatkan mayoritas orang Jawa menjaditidak njawa. Orang Jawa kehilangan jati diri, kata SugiyatnoRonggojati, warga Solo yang merupakan salah satu budayawanJawa dan pelestari aksara Jawa sekaligus pencinta sastraJawa.

Menurut Sugiyatno, hilangnya karakter Jawa itumenjadikan karakter masyarakat Jawa melemah. Karakter yangmelemah tersebut membawa pengaruh negatif yang berantai.Dalam sebuah acara diskusi tentang karya sastraRonggawarsita di Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Solo,Kamis, 1 Maret 2012, Sugiyatno mengatakan itu semuasebenarnya memang pengaruh tak langsung dari globalisasi.

Globalisasi tak hanya punya pengaruh yang bersifatlangsung yang dibawa oleh agen-agen globalisasi seperti yangmudah dilihat dan diamati dalam gejala sektor ekonomi dankeuangan. Agen globalisasi di sektor ekonomi bisa dilihatnyata dengan pencabutan subsidi untuk rakyat, menjamurnyagerai-gerai perbelanjaan modern, mode pakaian, genre filmdan sebagainya.

”Yang paling berbahaya menurut saya justru pengaruhglobalisasi yang tak langsung, yaitu pengaruh globalisasipada kebudayaan,” kata KRA Widijatno Sontodipuro, pengelolamajalah berbahasa Jawa Mbangun Tuwuh yang diterbitkankeluarga besar Pura Mangkunegaran, Solo.

Sugiyatno dan Widijatno mengatakan lemahnya karaktermasyarakat Jawa akibat daya globalisasi menyebabkanberkurangnya ketegasan identitas lokal masyarakat Jawa.Identitas kejawaan semakin kabur. Ini mengakibatkanmasyarakat Jawa mengalami kendala-kendala kultural dalam

Page 5: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

komunikasi antarbudaya baik dalam lingkup nasional maupuninternasional.

“Wong Jawa menjadi cenderung pesimistis, sinis, mudahgusar dalam menjalani pergaulan antarbudaya,” kataSugiyatno. Kaburnya identitas kejawaan masyarakat Jawa bisadiidentifikasi dari semakin berkurang atau semakin lemahnyapenggunaan bahasa Jawa dan apresiasi terhadap sastra Jawa.Bahasa dan sastra Jawa makin terpinggirkan di ranahkeluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal maupun ritual-ritual kebudayaan.

Daya saing bahasa Jawa terhadap bahasa asing dan bahasanasional menjadi semakin berkurang. Generasi muda Jawacenderung memilih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasaasing dalam menjalankan aktivitas penunjang kehidupan merekaseperti aktivitas di lingkungan pekerjaan,akademik/pendidikan, maupun aktivitas formal lainnya.

Peminat terbitan-terbitan berbahasa Jawa semakinberkurang. Karya sastra Jawa sebagai penjaga bahasa Jawasemakin tak laku, tak diminati. Generasi muda tidak mau“mengonsumsi” karya sastra Jawa. Peminatnya yang kebanyakangenerasi tua pun semakin berkurang jumlahnya.

Apresiasimasyarakat Jawaterhadap karyasastra Jawa

tidak berkembang.

Meskipun para pegiat sastra Jawa masih ada, menurutTito, apresiasi masyarakat Jawa terhadap karya sastra Jawatidak berkembang. Peminatnya makin berkurang. Penerbitankarya sastra Jawa kembang kempis. Konsumsi karya sastra Jawatak sebanding dengan konsumsi novel atau film Indonesia danasing. Ini, kata Tito, Sugiyatno dan Widijatno, salah satudampak tak langsung globalisasi terhadap sastra Jawa.

Page 6: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Apresiasi masyarakat Jawa terhadap sastra Jawatertatih-tatih. Berkurangnya kualitas dan kuantitaspenggunaan bahasa Jawa dan apresiasi sastra Jawa olehmasyarakat Jawa sendiri merupakan indikator lunturnya jatidiri kejawaan.

Ihwal globalisasi dan sastra Jawa, Dhanu Priyo Prabowo,yang berpengalaman berpuluh-puluh tahun berkecimpung dalamdunia sastra Jawa dan meneliti bahasa dan sastra Jawa,mengatakan sepakat dengan pendapat banyak orang bahwa sastraJawa mundur, bahkan ”mati” akibat terdesak globalisasi.

Menurutnya, sebenarnya bukan hanya sastra Jawa yangterdesak globalisasi, tetapi juga kebudayaan lain di negara-negara berkembang. Pengaruh globalisasi terhadap keberadaandan keberlangsungan sastra Jawa adalah sesuatu yang wajar ditengah sistem politik yang mondial yang berkembang saat ini.

”Tapi, pengaruh itu menurut saya normatif saja,” kataDhanu dalam wawancara tertulis melalui email. Menurutnya,secera esensial justru mulai tumbuh “kebangkitan” sastraJawa di tengah realitas “kemunduran” dan bahkan “kematian”sastra Jawa.

Kebangkitan itu terjadi karena banyak orang Jawa atausiapa pun yang pernah belajar tentang sastra Jawa sebagaisumber kearifan budaya Jawa sekarang sedang mencari kembalisastra Jawa sebagai wujud penolakan terhadap sistem politikkebudayaan global, khususnya pengaruh kapitalisme danliberalisme yang cenderung negatif bagi kebudayaan dinegara-negara berkembang, termasuk Jawa.

Orang Jawa dalam jumlah banyak secara terbuka atausembunyi-sembunyi sedang menempatkan kembali sastra Jawasebagai sumber kebajikan hidup di tengah dunia yang serbakacau saat ini. Mereka yang mencari dan berusaha kuatmenemukan kebajikan hidup itu berasal dari segala stratasosial dan pekerjaan.

“Jadi, saya justru menampik anggapan sastra Jawa telah‘mati’. Arswendo Atmowiloto yang pada 1982 dengan tegasmenyatakan ‘sastra Jawa telah mati’, kemudian meralatpernyataannya dengan kesadaran penuh,” kata Dhanu.

Arswendo sendiri pada 2012 ini menulis kembali ceritapendek berbahasa Jawa setelah berhenti menulis berbahasa

Page 7: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Jawa selama 35 tahun. Menurut Dhanu, realitas menunjukkanbahwa sastra Jawa kehidupannya memang tidak ideal sepertidituntut banyak orang secara normatif dengan membandingkandengan sastra negara lain. Tetapi, sastra Jawa tetap hidupdan menghidupi sikap hidup orang Jawa saat ini.

Menurut Daniel Tito, sikap Dhanu itu menunjukkan memangada perlawanan dari komunitas sastra Jawa terhadap realitasdan anggapan bahwa sastra Jawa “telah mati”. Dan memangoptimisme seperti yang ditunjukkan Dhanu itu yang selama inimembuat sastra Jawa tetap hidup, walau tak berkembangsenormatif ketika dibandingkan dengan sastra Indonesia dansastra negara lain.

”Persoalannya, optimisme sastra Jawa melawan realitas‘kematiannya’ itu mayoritas diusung oleh generasi tua.Sementara regenerasi sastrawan Jawa sangat tertatih-tatih.Generasi muda lebih tertarik dengan sastra asing yangkemudian mereka ekspresikan ke dalam sastra berbahasaIndonesia,” kata Tito.

Inilah, yang menurut Tito, menjadi manifestasi darirealitas sastra Jawa yang “mati” tersebut. Tak adaregenerasi secara sistematis dan teratur. Lebih lanjut,Dhanu mengatakan globalisasi adalah sebuah sistem yangmencoba menguasai dunia sesuai keinginan dan agendaorang/kelompok/negara tertentu dengan gerakan kebudayaanyang mereka susun dan rekonstruksi.

Sastra Jawa di tengah situasi cengkeraman penjajahanmondial dengan mengatasnamakan globalisasi tidak menyajikansejenis kebijaksanaan cepat saji yang tak sehat bagikehidupan. Sastra Jawa melawan gejala instan yang dibawaglobalisasi dengan menyajikan makanan jiwa yangmenenteramkan dan mencerahkan bagi kehidupan.“Pertanyaannya, apakah kita merasakan ketenteraman danpencerahan dari sastra Jawa kalau kita mempelajarinya denganpenuh apresiasi dan serius?” papar Dhanu.

Realitas ketika sebagian besar warga masyarakat Jawaenggan mendekati dan mengapresiasi sastra Jawa, menurutDhanu, memang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatJawa larut dalam budaya buah globalisasi yang serba instan,serba cepat dan bisa langsung dirasakan kenikmatannya.

Page 8: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Tapi, menurut Dhanu, jutsru realitas ini pula yangmembangkitkan perlawanan sastra Jawa terhadap globalisasi.Ihwal pengaruh globalisasi terhadap sastra Jawa, BonariNabonenar yang menjadi Ketua Panitia Kongres Sastra Jawa III danSekretaris OPSJ, mengatakan pengaruh globalisasi terhadapsastra Jawa memang tak langsung sebagaimana agen-agenglobalisasi di sektor ekonomi, finansial, mode dan hiburanvisual.

Menurut Bonari, pengaruh globalisasi terhadap sastraJawa laksana agen senyap berdaya bunuh tinggi yang merasuksecara diam-diam ke dalam sektor kehidupan masyarakat Jawa.Agen senyap itu masuk dan merasuk ke sektor kehidupanmasyarakat Jawa yang mencakup sisi ekonomi, sosial danbudaya (ekosob) dan kemudian berdampak luar biasa negatifterhadap dunia sastra Jawa.

Bonari mengilustrasikan dulu di kawasan pedesaan diKecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, padaakhir 1970-an, banyak ibu yang terlibat dalam pembicaraantentang cerita bersambung yang dimuat majalah berbahasaJawa. Mereka saling mengomentari dan menebak-nebak kira-kirabagaimana cerita selanjutnya.

“Itu ketika pesawat televisi masih jarang. Lembagapenyiaran relevisi baru TVRI,” kata Bonari. Seiringperkembangan zaman, ketika peswat televisi makin murah dannyaris semua rumah memiliki pesawat televisi, serta lembagapenyiaran televisi semakin banyak pula, majalah dan bacaanberbahasa Jawa juga ditinggalkan.

Realitas seperti itu terjadi bersamaan dengan generasimuda Jawa yang terus tumbuh dengan pola pikir bahwa segalasesuatu yang berlabel luar negeri—dan luar negeri itu adalahBarat—adalah lebih unggul dibandingkan “negeri sendiri”,apalagi jika dipersempit menjadi Jawa. Menguasai alat musikBarat jauh lebih bergengsi daripada menguasai gamelan.Menguasai bahasa Inggris adalah lebih gagah daripadamenguasai bahasa Jawa.

Generasi mudayang merupakan

Page 9: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

bibit-bibit unggul Jawasemakin meninggalkan kejawaan,

sedangkan yang tersisa,termasuk para

penulis/pengarang/sastrawan Jawa,sebagian besar gagal mempersembahkan

yang terbaik untuk merebutlebih banyak pembaca.

Dengan persepsi seperti itu terciptalah lingkaransetan: generasi muda yang merupakan bibit-bibit unggul Jawasemakin meninggalkan kejawaan, sedangkan yang tersisa,termasuk para penulis/pengarang/sastrawan Jawa, sebagianbesar gagal mempersembahkan yang terbaik untuk merebut lebihbanyak pembaca.

Arswendo Atmowiloto dalam Kongres Sastra Jawa III mengatakanzaman kini yang disebut zaman industri memosisikan segalasesuatu harus diukur dan dibandingkan antara yang satudengan yang lainnya. Salah satu wujud nyatanya adalah ratingatau sharing di dunia kebudayaan. Ini jelas buah globalisasi,agen globalisasi yang berakar pada kapitalisme industri,yang meletakkan segala sesuatu dengan ukuran untung danrugi.

“Kita tidak bisa menilai perempuan itu cantik, harusdiukur bagian-bagian fisiknya. Ukuran itu yang dibandingkandengan perempuan lain,” kata Arswendo. Pola berpikir sepertiini juga diterapkan ketika berbicara sastra Jawa. Ukuran-ukuran yang diterapkan memang mengecewakan dalam kontekskejawaan karena tidak menyentuh persoalan batin atau roh,yang diukur sebatas fisik.

Inilah yang mengakibatkan tontonan di televisi atausiaran di radio, dan berita atau tulisan di koran, diukurdengan berapa penontonnya, berapa pendengarnya, berapapembacanya. Bukan apa isinya. Dalam ranah produksi mengemuka

Page 10: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

kredo: tak peduli berapa biayanya, yang penting berapauntungnya.

Sastra Jawa, kata Arswendo, yang mengutakan roh danisi, kemudian menjadi kelabakan ketika harus hidup di tengahkondisi faktual yang mengutamakan rating dan sharing. BahasaJawa yang dinilai generasi muda Jawa sekarang sebagai “takgaul”, kuno, ketinggalan zaman, meniscayakan sastra Jawadalam kondisi marginal, terengah-engah mengejar zaman.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri SultanHemangku Buwono X, dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabayamengatakan dengan merefleksi sejarah, telah terjaditransformasi budaya yang mendasar, perubahan orientasi darilokal ke nasional dan kini ke global atau internasional.

Dalam konteks ini, menurut Sri Sultan, kini tak mungkinlagi mengatakan bahwa budaya Jawa (dan sastra Jawa) hanyamerupakan rujukan orang Jawa saja, seperti tatkala orangJawa belum mengenal keluasan Tanah Air dan keragaman etnisserta budayanya.

Dalam keluasan itulah, kontak-kontak dengan nilai-nilaiasli di tempat lain terjadi. Dan dalam skala globalisasi,kontak-kontak budaya itu terjadi begitu masif dan tak jarangmengakibatkan budaya lokal tertentu (termasuk budaya Jawadan sastra Jawa sebagai bagiannya) tersisih dantermarginalisasi.

Megutip lembaran Babad Giyanti, Sri Sultan mengatakanbahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I pernah bersabda: SatuhuneSri Narapati Mangunahnya Brangti-Wijayanti. Keprihatinan itumenggambarkan bahwa oleh gencarnya politik kolonialismeBelanda menjadikan raja-raja Jawa seakan terkena demamasmara, lemah tanpa daya.

Keadaan ini harus dihadapi degan wijayanti dan puwaranesung awerdi, gagat-gagat wiyati. Agar berjaya harus meneladanisikap tulus tanpa pamrih guna menyambut cerahnya hari esokyang laksana biru nirmala. Keprihatinan atas kemunduranbudaya, bahasa dan sastra Jawa, menurut Sri Sultan, adaparalelisme sejarahnya dengan globalisasi saat ini yangmenantang untuk meningkatkan ketahanan budaya.

Dalam hubungan dan konflik dengan perkembangan zaman,sastra Jawa memang telah tua, sangat tua, umurnya lebih dari

Page 11: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

sepuluh abad. Sastra Jawa terbentang luas sejak abad IXhingga awal abad XXI ini. Sastra Jawa yang sedemikian tuaitu menurut S Bambang Purnama dalam bukunya Kesastraan JawaPesisiran, pada hakikatnya merupakan pewahyuan atau realisasidiri kelompok manusia yang berbeda-beda, dengan demikianberkarakteristik yang berbeda-beda pula.

Sebagai sastra yang telah tua, dengan umur lebih dari10 abad, sastra Jawa telah mengalami berbagai pasang surutkonsep tentang hakikat sastra. Konsep-konsep yang berlakudalam sastra kakawin tidak sama dengan konsep sejenis dalamsastra kidung, yang muncul dan berkembang tidak lama setelahsastra kakawin mengalami masa surut.

Konsep tembang macapat pada sastra Jawa baru jauhberbeda dengan konsep sastra Jawa pada kidung. Demikian jugapada sastra Jawa modern yang dikenal dengan sebutan sastraJawa gagrag anyar.

LokalitasAktivis World Social Forum sekaligus dosen di Sekolah

Tinggi Filsafat Driyarkarta Jakarta, Herry B Priono, dalamdiskusi tentang globalisasi yang diselenggarakan AliansiJurnalis Independen (AJI) Indonesia di Jakarta, 18 Februari2012, mengatakan globalisasi memang berpengaruh terhadapkebudayaan, termasuk bahasa ibu.

”Di banyak negara, termasuk di Indonesia, bahasa ibuterdesak, ditinggalkan oleh penuturnya. Para penuturnyamenilai bahasa ibu itu kuno. Sedangkan bahasa modern adalahbahasa Inggris,” kata Herry.

Dalam kesempatan itu Herry menceritakan di Semarang adaorangtua siswa-siswa sekolah internasional yang memintapengelola sekolah menghapus mata pelajaran Bahasa Jawa.Mereka beranggapan bahasa Jawa tak perlu diajarkan disekolah internasional. Bahasa yang paling penting adalahbahasa Inggris.

Herry menyatakan prihatin dengan peristiwa itu.Baginya, manusia yang sempurna harus berfondasikanlokalitas, termasuk memahami dan menggunakan bahasa ibu,yang kemudian menjadi manusia warga bangsa atau nasional dankemudian menjadi manusia global atau internasional.

Page 12: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Realitas seperti inilah, menurut Herry, yangmenunjukkan sebagian pengaruh negatif globalisasi. Erakesejagatan itu tak hanya menebar agen-agen kasat mata yangberupa gerai makanan cepat saji, mode pakaian, musik, film,rezim keuangan dan lain sebagainya. Globalisasi, menurutnyajuga membawa pengaruh bersifat “tak langsung” yang merusakkebudayaan lokal.

Afendy Widayat dari Fakultas Bahasa dan SeniUniversitas Negeri Yogyakarta ketika berbicara dalam salahsatu diskusi di Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya mengatakansetiap budaya sedikit atau banyak memiliki kekhasannyasendiri sebagai ikon kebanggaan masyarakat pendukungnya.

Masyarakat Jawa yang masih merasa memiliki (handarbeni),yakni sebagai pemilik dan pendukung budaya Jawa secaraumum, berbagai khasanah budaya di dalamnya, tentu akanberusaha untuk mempertahankannya (diupi-upi dhimen lestari).

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah seberapajumlah (kuantitas) sebagian masyarakat Jawa yang demikianini, dan seberapa jauh usaha yang dilakukan (kualitas) dalamrangka ikut gumregut cancut taliwanda mengupayakan pemertahananbudaya itu?

Dewasa ini, kata Afendy, arah gerak budaya di setiapsudut dunia mau tidak mau telah terseret laju globalisasiatau keterbukaan informasi, tidak terkecuali pada masyarakatdan budaya Jawa. Tarik ulur antara budaya-budaya besar,seperti modernisasi ala Barat, pembudayaan menurut agama-agama besar, atau riak-riak adat ketimuran tertentu, lambatlaun mulai menggelindingkan bola globalisasi itu menuju masadepan yang menyatu-budaya.

Anggapan rendah itu mengemuka dari kalangan

wong Jawa sendiri maupun dari kalangan

Page 13: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

di luar orang-orang Jawa.

Realitas sastra Jawa di tengah realitas kebudayaan Jawadan wong Jawa seperti di atas mengakibatkan mengemukanyaanggapan bobot sastra daerah modern lebih rendahdibandingkan sastra Indonesia atau sastra dari negara lain,terutama negara-negara Barat. Anggapan rendah itu mengemukadari kalangan wong Jawa sendiri maupun dari kalangan di luarorang-orang Jawa.

Muncul pula anggapan bahwa sastra Jawa modern ituepigon belaka dari sastra Indonesia modern sehingga menulisdalam bahasa daerah itu tak berguna. Dua realitas yangmemarginalkan sastra Jawa itu dibingkai kecurigaan bahwamenggeluti dan mengembangkan sastra Jawa adalah usahamengembangkan atau mempertahankan paham sukuisme,daerahisme, melalui karya sastra. Dan ujungnya kemudianadalah banyak penulis atau “sastrawan” Jawa yang kemudian“menyeberang” ke sastra Indonesia.

Kondisi kontemporer menunjukkan sastra Jawa memangtermarginalkan. Wujud karya sastra dalam bentuk buku berupanovel, novelette, kumpulan puisi atau kumpulan esai sangatsulit ditemukakan di pasar atau di took-toko buku. Buku-bukukarya sastrawan Jawa yang relatif mudah ditemukan di tokobuku besar hanya karya Suparto Brata, terutama serialdetektif. Itu pun karya lama. Sementara karya sastrawan Jawamutakhir lebih banyak berupa cerita pendek dan puisi yangdipublikasikan melalui media massa berbahasa Jawa yangjumlah serta oplahnya juga termarginalkan.

II

Definisi sastra Jawa modern yang dikenal umum adalahkarya sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa Baru.Berdasarkan catatan Zoetmulder (1983: 25), bahasa Jawa Baru

Page 14: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

muncul seiring berakhirnya penggunaan bahasa Jawa Kuna danBahasa Jawa Pertengahan pada akhir abad ke-17 yang ditandaidengan berakhirnya kekuasaan kerajaan di Blambangan danmulai berkembangnya pengaruh Islam.

Karya sastra Jawa modern yang dimaksud agaknya terlaluluas, meskipun dalam berbagai isi dan ceritanya juga telahmenyuarakan tema-tema budaya Jawa modern. Istilah sastraJawa modern yang dimaksud, menurut Afendy Widayat dariFakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta,dipersempit menjadi yang menyangkut karya sastra Jawamutakhir (meminjam istilah JJ Ras, 1985), dan lebih khususlagi mengacu pada karya sastra Jawa yang berisi ceritakehidupan sehari-hari masyarakat Jawa setelah kemerdekaanIndonesia.

Batasan ini menekankan isi cerita yang lebihrepresentatif yang lebih mudah untuk dibandingkan dengankehidupan riil masyarakat dewasa ini, bahkan mungkin dapatditemukan dalam kehidupan modern akhir-akhir ini. Karya-karya yang demikian ini antara lain berbentuk gancaran yaknicerita pendek atau crita cekak (cerkak), novelette Jawa, novel Jawamodern, dan cerita bersambung Jawa,. Yang berbentuk puisiyakni geguritan; dan yang drama adalah sandiwara modern.

Jenis prosa atau gancaran memiliki keunggulan-keunggulan komunikatif, antara lain: lugas dan jelas. Lugas,menurut Afendy, maksudnya secara umum lebih banyakmenggunakan kosakata sehari-hari sehingga lebih mudah untukdicerna pembaca. Jelas maksudnya secara umum lebih banyakmenggunakan stuktur gramatikal sesuai dengan standar bahasaformal yang berlaku.

Jenis puisi atau geguritan memiliki keunggulan-keunggulan estetis, antara lain pemilihan diksi yang padat,bebas, dan indah. Larik-larik puisi tidak harus berstrukturseperti kalimat formal. Jenis drama menekankan dialog yangmengarah pada konflik para pelakunya. Jenis ini tentu sajamemiliki keunggulan aksi dramatik.

Berdasarkan keunggulan ciri-ciri jenis tersebut, jenisprosa atau gancaran, yakni cerkak, cerbung Jawa dan novel ataunovellete Jawa merupakan bentuk yang paling representatifuntuk bacaan yang menyuarakan kehidupan keseharian

Page 15: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

masyarakat Jawa modern, meskipun tidak terlepas daripandangan-pandangan tradisional yang sering dapat ditemuidalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dewasa ini.

Muhammad Ali dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern,1991, mendefinisikan sastra Jawa modern adalah sastraIndonesia berbahasa Jawa. Menurutnya, pendapat yangmenyatakan sastra Jawa modern adalah kelanjutan kultur Jawa(lama) adalah pendapat yang keliru. Pendapat senadadikemukakan Suripan Sadi Hutomo.

Yang jelas, sastra Jawa modern memang meninggalkansastra Jawa klasik atau tradisional dengan mengembangkangenre sastra baru yang berkiblat pada sastra Barat. SastraJawa modern itu berupa cerita pendek atau crita cekak(cerkak), cerita bersambung, novel, novellete yang berbahasaJawa dan geguritan atau puisi berbahasa Jawa. Satu bentuklagi yang menguatkan sastra Jawa modern adakah esaiberbahasa Jawa.

Sastra Jawa modernberjalan serupa

dengan sastra Indonesiatapi gagal membangun ruang

yang diterimakomunitas masyarakatnya

Sastra Jawa modern berjalan serupa dengan sastraIndonesia tapi gagal membangun ruang yang diterima komunitasmasyarakatnya. “Orang Jawa sekarang mayoritas malah tak bisamembaca karya sastra Jawa. Dan mereka juga tak punyakeinginan untuk membaca karya sastra Jawa,” kata SuciptoHadi Purnomo, Ketua OPSJ.

Suparto Brata, sastrawan Jawa yang berkarya sejak 1951,dan kini ditabalkan secara informal sebagai Begawan Sastra

Page 16: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Jawa, dalam sebuah diskusi di Dalem Wuryoningratan Solo,beberapa waktu lalu, mengatakan sastra adalah buku. Tiadadunia sastra tanpa buku. Karya sastra terbaik adalah buku.Mengutip Goldmann (1977; 99), Suparto mengatakan karyasastra yang sempurna adalah karya sastra yang didasarkanatas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjekkreator (pengarang) sebagai warisan tradisi dan konvensi.

Sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan tersebutsebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karyasastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Adakesamaan antara sosiologi dengan sastra sehingga teks sastradapat dikaji melalui pendekatan sosiologi (Wellek & Warren;1989: 109).

Menjaga KejawaanBagi Suparto, buku sebagai puncak karya sastra Jawa

adalah sarana baku dan ideal untuk menjaga kejawaan. Denganbuku sastra Jawa, wong Jawa punya kuasa menjaga kejawaansehingga anggapan orang Jawa kehilangan kejawaan, wong Jawailang Jawane, bisa diantisipasi sehingga menjadi wong Jawa orailang Jawane.

Tapi, realitas sekarang menunjukkan orang Jawa yangmenulis (pengalaman hidupnya) dalam bentuk buku sangatsedikit. Karya sastra Jawa berupa buku, kata Suparto, sangatsedikit. Dan orang Jawa yang membacanya juga sangat sedikit.Bahkan, menurutnya, 95% orang Jawa tidak punya budayamembaca dan menulis buku. Apalagi membaca dan menulis bukukarya sastra Jawa, atau setidaknya berbahasa Jawa.

Globalisasi yang disokong perkembangan teknologikomunikasi dan informasi lebih memanjakan kemampuan inderavisual, terutama melihat dan mendengar radio, televisi,telepon, internet. Persentase orang Jawa yang tidakberbudaya membaca buku dan menulis buku meningkat menjadilebih dekat ke 100%.

Orang Jawa kian enggan membaca buku dan menulis buku.Melihat dan mendengar itu kodrat. Sedangkan membaca danmenulis bukanlah kodrat. Membeludaknya alat-alat yang

Page 17: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

memanjakan kodrat membuat orang Jawa enggan belajar danmenikmati hidup dengan susah payah. Menonton TV itu nikmattanpa harus belajar dulu.

Sedangkan membaca dan menulis buku butuh prosespanjang, harus bersusah payah dulu. Realitas ini yangberkelindan dengan fenomena kultural yang mengakibatkanorang Jawa menjauh dari jati diri kejawaan memengaruhieksistensi sastra Jawa. Sastra Jawa kian termarginalkan.

Ketua OPSJ, Sucipto Hadi Purnomo, mengatakan kini takada model karya sastra Jawa yang layak jadi panutan. Karyasastra Jawa yang kini ada adalah karya sastra yang sifatnyaboleh dikatakan ”sekadar ada”. Sastrawan-sastrawan Jawatetap berkarya demi eksistensi, demi jati diri dan demikecintaan mereka terhadap dunia sastra Jawa.

Aktivitas kesastraan berpusat di komunitas-komunitasatau sanggar sastra Jawa. Komunitas itu misalnya SanggarTriwidha di Tulungagung, Jawa Timur; Sanggar Sastra JawaYogyakarta (SSJY) dan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro(PSJB) di Bojonegoro, Jawa Timur.

Sastrawan Jawa atau setidaknya penulis karya sastraberbahasa Jawa yang tak terhimpun atau jauh darikomunitas/sanggar sastra Jawa rata-rata bergiat secaramandiri. Mereka menulis cerita pendek, dongeng bocah, puisiatau esai dan kemudian mengirimkannya ke media massaberbahasa Jawa.

Media massa berbahasa Jawa pun jumlahnya sangatsedikit. Di Yogyakarta hanya ada majalah Djaka Lodhang,suplemen Mekarsari di harian Kedaulatan Rakyat dan suplemen JagadJawa di Harian Jogja. Di Jawa Tengah hanya ada suplemen Jagad Jawadi harian SOLOPOS yang merupakan satu grup dengan Harian Jogjaserta lembaran Sang Pamomong di harian Suaran Merdeka.

Di Jawa Timur ada dua media berbahasa Jawa yang berumurcukup tua, yaitu Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Selain media-media ini, di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur adabeberapa media berkala berbahasa Jawa yang diterbitkan olehkomunitas-komunitas tertentu. Komunitas-komunitas ini punyakesamaan, yaitu kecintaan terhadap bahasa dan sastra Jawa.

Page 18: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Penerbitan buku karyasastra Jawa menjadikegiatan marginal

dalam ranah sastra Jawa. Penerbitan buku

hanya bisa dilakukan oleh komunitas-komunitas

sastra Jawa atau diterbitkanmandiri

oleh penulisnya yang biasanya dengan dukungan pihak-pihak yang dikenal

baik.

Media-media inilah yang kini menjadi tulang punggungsastra Jawa. Wujud karya sastra yang jamak muncul adalahcerita pendek, cerita bersambung, puisi dan esai. Penerbitanbuku karya sastra Jawa menjadi kegiatan marginal dalam ranahsastra Jawa. Penerbitan buku hanya bisa dilakukan olehkomunitas-komunitas sastra Jawa atau diterbitkan mandirioleh penulisnya yang biasanya dengan dukungan pihak-pihakyang dikenal baik.

Penerbit buku komersial sangat jarang yang maumenerbitkan buku karya sastra Jawa. Salah satu data untuk

Page 19: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

mengetahui penerbitan buku sastra Jawa adalah penghargaanRancage untuk karya sastra Jawa yang diselenggarakan setiaptahun. Berdasarkan penjelasan tim kurator Yayasan Rancagedapat diketahui berapa buku sastra Jawa yang terbit dalamsetahun, tentu saja itu adalah buku-buku yang layak disebutkarya sastra.

Pada 2009-2012 ada buku karya sastra Jawa yangmemenangi penghargaan Rancage. Novel Trah karya Atas SDanusbroto terbitan Narasi Yogyakarta menerima Rancage pada2009. Buku ini terbit pada 2008. Dalam pemilihan karyasastra Jawa untuk penghargaan Rancage, novel ini mengalahkahtiga buku sastra Jawa lainnya, yaitu Lintang Biru, AntologiGeguritan Bengkel Sastra Jawa 2008, Dongane Maling karya YohanesSiyamta dan Singkar novel karya Siti Aminah. Dalam prosesseleksi, hanya Trah dan Singkar yang masuk dalam kategoripenilaian hadiah sastra Rancage 2009.

Sementara pada penganugerahan Rancage 2012, karyasastra Jawa yang menang adalah Ombak Wengi. Ombak Wengiadalah kumpulan 99 puisi berbahasa Jawa atau guritan pilihankarya Yusuf Susilo Hartono pada periode 1981-2011. Buku ituberhasil mengalahkan sembilan buku karya sastra Jawaunggulan lainnya.

Sembilan buku itu adalah kumpulan puisi Raja Gurit karyaYudi Joyokusumo, Layang Saka Kekasih karya R Djoko Prakosa,Mutung Suwung, Aja Mutung Mundhak Suwung karya RNg SuisdiyatiSarmo, Kidung saka Bandungan karya Rini Tri Puspohardini, BocahCilik Diuber Srengenge karya Widodo Basuki; roman Ing ManilaTresnaku Kelara-lara karya Fitri Gunawan, Dilabuhi Jajah DesaMilangkori karya Rahmat Ali, dan Sisip ing Dalan Sidhatan karyaHarwimuka; serta kumpulan cerita pendek Puber Kedua karya AryNurdiana.

Pada 2009, buku bahasa Jawa yang terbit 12 judul. Buku-buku itu terdiri dari kumpulan guritan yaitu Gurit PanuwuningUrip karya David Hariyono, Gurit Abang Branang karya RachmatDjoko Pradopo, Layang Panantang karya Sumono Sandy Asmoro danWong Agung: Gurit Punjul Rong Puluh karya Budi Palopo; sebuahkumpulan cerita pendek Tembangé Wong Kangen karya SumonoSandy Asmoro dan sejumlah roman Trétes Tintrim, Kunarpa Tan BisaKandha, Garuda Putih, Ser! Randha Cocak karya Suparto Brata; Mis,

Page 20: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Koncoku Sinarawedi karya Rahmat Ali dan Carang-carang Garing karyaTiwiek SA. Layang Panantang karya Sumono Sandy Asmoromemenangi Rancage 2010.

Berdasarkan penjelasan pihak yayasan Rancage yangdipublikasikan di banyak website dan media massa, penerbitankedua belas buku itu mengisyaratkan beberapa fénoménapenting. Pertama, ternyata yang menulis dalam bahasa Jawatidak hanya meréka yang tinggal di Jawa Tengah dan Timursaja, melainkan juga di Jakarta yaitu Rahmat Ali. Dia adalahsastrawan yang tinggal di Jakarta dan biasa menulis dalambahasa Indonesia, selain Dyah Hadaning yang tinggal diDépok.

Kedua, kebanyakan buku ternyata terbit di Yogyakarta,walaupun ada yang terbit di berbagai kota lain (Semarang,Surabaya, Malang). Ketiga, buku yang terbit ternyatakebanyakan karya pengarang Jawa Timur: Suparto Brata(Surabaya, empat judul), David Hariyanto (Malang, satujudul), Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo, dua judul). Keempat,muncul karya dua orang pengarang yang telah dikenal menulisdalam bahasa Indonésia, yaitu Rachmat Djoko Pradopo danRahmat Ali dalam bahasa Jawa untuk pertama kali.

Berdasar data yang dilansir Yayasan Rancage pada 209ini, ada optimisme bahwa sastra Jawa tak perlu ditakutkanakan punah karena pendukungnya berada di berbagai daérah danberbagai kalangan. Pengarang seperti Suparto Brata sangatproduktif.

Pada 2010 buku sastra Jawa yang terbit ada 15 judul,yaitu lima kumpulan sajak: Sanja karya Nono Warnono, GarisingPepesthén karya Bambang Nursinggih, Salam Sapan saka GunungGamping karya Naryata, Geguriatn Alam Sawegung karya SudiYatmana dan Bakal terus Gumebyar karya Sucihadi; tiga kumpulancerita péndék: Pulo Asu karya Hérwanto, Tunggak Jarak Mrajakkumpulan karya beberapa pengarang dan Putri Tuwa kang Nyalawadikumpulan terjemahan  dari bahasa asing karya R Muchtar.

Dan tujuh roman: Babad Jipang Panolan saduran dari ceritarakyat Jawa oléh JFX Hoery, Sadrajat Coro & Tikus karya RahmatAli, dan Cintrong Paju Papat, Nona Sékertaris, Pawéstri Tanpa Idéntiti,Spookhuis (Gedhong Sétan) dan roman-biografi RM TR Suryogubernur Jawa Timur yang pertama, kelimanya karya Suparto

Page 21: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Brata. Hadiah Rancagé 2011 untuk sastra Jawa diterima olehkumpulan cerita pendek Pulo Asu karya Hérwanto terbitanPamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, Jawa Timur.

Siapa saja sastrawan Jawa termutakhir bisa dilihatdalam buku Paseban yang diterbitkan oleh Kongres Sastra Jawa IIIsekaligus menjadi buku resmi buah tangan Kongres Bahasa Jawa V.Buku ini menurut Bonari Nabonenar yang dalam Kongres SastraJawa III menjabat sebagai ketua panitia, cukup layak disebutsebagai jendela sastra Jawa modern terkini.

Buku ini menghimpun puisi dan cerita pendek karyasastrawan Jawa dari Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur danJakarta. Seluruh penulis tak dibayar. Mereka berkarya danmenyetorkan karya semata-mata demi menyukseskan Kongres SastraJawa III. Pengumpulan karya dilakukan sejak kurang lebih duabulan sebelum Kongres Sastra Jawa III diselenggarakan di DesaJono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

“Untuk menyusun buku ini panitia mengundang 200-ansastrawan Jawa di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sampaibatas akhir pengiriman terhimpun 40 cerita pendek dan 74puisi. Karya-karya itu berasal dari 83 penulis,” jelasBonari.

Berdasar biodata penulis yang tercantum di bagian akhirbuku, terlihat jelas bahwa sebagian besar penyumbang naskahcerita pendek dan puisis dalam buku Paseban adalah sastrawanJawa senior, mereka berusia 50 tahun ke atas. Hanya beberapasaja penulis muda kelahiran tahun 1980-an atau 1990-an yangmenyumbangkan tulisan. Buku ini juga menjadi buah tanganresmi dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surbaya.

“Regenerasi sastrawan Jawa memang sulit dilacak. Hanyadi sanggar-sanggar saja yang mudah dilacak. Dan persoalanyang lebih serius adalah tak ada leksikon sastrawan dankarya sastra Jawa. Tak ada daftar nama-nama sastrawan Jawayang masih aktif, sudah tak aktif atau baru muncul,” kataBonari.

IroniKiprah Yayasan Rancage sendiri, menurut Tito S Budi,

sebenarnya menjadi ironi bagi dunia sastra Jawa. Adaanggapan di benak para sastrawan Jawa bahwa meraih hadiah

Page 22: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Rancage adalah prestasi puncak sastrawan Jawa, prestasibergengsi bagi sastra Jawa.

”Saya justru miris karena Yayasan Rancage itupemiliknya orang Sunda, Ajip Rosyidi. Jadi penghargaan untuksastra Jawa justru diberikan oleh orang Sunda. Dari kalanganmasyarakat Jawa sampai saat ini tak ada penghargaanbergengsi untuk karya sastra Jawa,” kata Tito.

Bonari Nabonenar, Sekretaris OPSJ, sepakat dengankeprihatinan Tito itu. Bonari mengatakan pernah bertemudengan sejumlah sastrawan pencinta sastra Jawa di TamanBudaya Surakarta dan membahas wacana membangun danmenyediakan penghargaan khusus untuk karya sastra Jawabermutu. Mereka yang hadir berasal dari Solo, Semarang, JawaTimur dan Yogyakarta. Penghargaan itu direncanakan berasaldari masyarakat Jawa sendiri. Tapi, hingga saat inipembahasan tersebut belum menemukan rumusan teknis yangjelas. Niat dan rencana itu pun sampai saat ini belumterwujud.

“Memang ironis. Penghargaan bergengsi untuk sastra Jawajustru diberikan oleh orang Sunda,” kata Bonari. AjipRosyidi ketika hadir di Kongres Sastra Jawa III di Bojonegoromengatakan sastra Jawa tak boleh mati. Realitas kini bahwasastra Jawa termarginalkan harus menjadi penyemangatsastrawan dan pencinta sastra Jawa untuk terus berkarya.

Yayasan Rancage yang dipimpinnya memang peduli padapelestarian bahasa daerah dengan perhatian utama pada karyasastra berbahasa daerah. Yayasan Rancage memberikanpenghargaan untuk karya sastra berbahasa daerah, antara lainuntuk karya sastra berbahasa Sunda, Lampung, Bali dan Jawa.

Yayasan Rancage juga memberikan penghargaan untukorang-orang yang punya prestasi nyata menghidupi danmenghidupkan sastra daerah. Sucipto dan Bonari adalah duapencinta dan sastrawan Jawa yang pernah mendapatkan hadiahRancage.

Akibat ketiadaan acuan karya sastra Jawa bermututinggi, kata Sucipto, regenerasi sastrawan Jawa bolehdikatakan tersendat-sendat. Penulis karya sastra Jawa memangtak pernah habis. Setiap tahun selalu muncul beberapapenulis muda yang berkiprah di penulisan berbahasa Jawa.

Page 23: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Namun, karya-karya mereka tak ada yang memenuhi kaidahkesastraan yang diharapkan. Acuan mereka selama ini hanyacerita pendek, cerita bersambung, puisi dan esai yang terbitdi media-media berbahasa Jawa yang jumlahnya tak seberapaitu.

Selama ini karya-karya sastra Jawa yang terbit

dalam bentuk buku atau terbit di media-media

berbahasa Jawa tak pernah dikritik.

Padahal, menurut Dhanu, kritik sastra adalah salah satu penyangga

kualitas karya sastra.

“Acuan lainnya biasanya adalah karya-karta sastrawanJawa yang lebih senior yang terdokumentasi di komunitas atausanggar-sanggar sastra Jawa,” jelas Sucipto. Ketiadaan karyasastra Jawa berkualitas tinggi, menurut Dhanu Priyo Prabowo,peneliti bahasa dan sastra di Balai Bahasa Yogyakarta akibattak adanya kritikus sastra Jawa yang mumpuni.

Selama ini karya-karya sastra Jawa yang terbit dalambentuk buku atau terbit di media-media berbahasa Jawa takpernah dikritik. Padahal, menurut Dhanu, kritik sastraadalah salah satu penyangga kualitas karya sastra.

Page 24: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Sastra koran, sastra majalah dan penerbitan swadayaatau atas dukungan pihak tertentu menjadi tulang punggungsastra Jawa era kini. Sastra Jawa terjebak dalam eskapisme,yaitu kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataandengan mencari hiburan dan ketenteraman di dalam khayalanatau situasi rekaan.

Realitas sastra Jawa yang termarginalkan diantisipasidengan optimisme tiada putus dari komunitas-komunitassastrawan dan pencinta sastra Jawa---yang minoritas dikalangan masyarakat Jawa---dengan menghasilkan karya walautak diapresiasi secara baik oleh masyarakat Jawa sendiri.Eskapisme sastra Jawa tak lelah melawan arus derasglobalisasi yang memarginalkan kearifan lokal, termasukkejawaan.

Seorang sastrawan Jawa asal Klaten, Jawa Tengah,Sriyana, beberapa waktu lalu mengatakan secara faktualberkecimpung di jagat sastra Jawa memang butuh staminatinggi, semangat berkorban dan rasa cinta.

Sriyana yang produktif menulis puisi, esai dan ceritapendek berbahasa Jawa ini mengatakan sastra Jawa tak bisamenghidupi sastrawan Jawa. Dia memberikan gambaran honorkarya sastra Jawa yang dimuat di media-media berbahasa Jawasangat jauh lebih sedikit dibandingkan honor untuk karyasastra Indonesia.

Rata-rata honor tulisan karya sastra Jawa hanyaRp25.000-Rp75.000. Honor yang diberikan Jagad Jawa SOLOPOSmenurut Sriyana tergolong lumayan dibandingkan mediaberbahasa Jawa lainnya. Karya tulis esai kebudayaan Jawayang dimuat di Jagad Jawa SOLOPOS diberi honor Rp150.000sedangkan karya sastra Jawa lainnya seperti cerita pendekdan geguritan diberi honor Rp100.000. Ini memang sangatnjomplang dibandingkan karya sastra Indonesia.

“Tapi, saya memilih berkecimpung dalam dunia sastraJawa memang bukan untuk mencari penghidupan. Saya justruingin menghidupi sastra Jawa,” kata Sriyana. Kini, Sriyanamasih aktif berkarya di dunia sastra Jawa. Karya-karyanyasering muncul di Jagad Jawa SOLOPOS, Djaka Lodhang, PanjebatSemangat dan Jaya Baya.

Page 25: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Kecintaan Sriyana pada sastra Jawa diawali denganmengikuti kegiatan di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY).Dia pada awal 1990-an juga intensif berguru kepada sastrawanJawa senior yang sebagian kini sudah meninggal dunia. BagiSriyana, sastra Jawa memang tak menghidupi dari sisiekonomi, tapi menghidupinya dari sisi spiritual. Sriyanamendapatkan kepuasan batin ketika berhasil mencipa ceritapendek, puisi atau esai berbahasa Jawa dan kemudian dibacaorang banyak ketika karyanya itu terbit di media massa.

Semangat yang kurang lebih sama ditunjukkan AbednegoAfriyadi. Dia tertarik dengan sastra Jawa sekitar lima tahunlalu setelah beberapa kali menyaksikan pentas Teater GapitSolo yang dulu intensif mementaskan lakon teater dalambahasa Jawa. Abedego merasa menemukan sensasi dan dayaungkap yang luar biasa dari bahasa Jawa.

“Dari mendengarkan dialog-dialog dalam pentas TeaterGapit, saya kemudian berusaha mempelajari pengungkapan idedan perasaan dengan bahasa Jawa. Saya kemudian mencobamenulis cerita pendek,” kata Abedego. Bagi Abednego, menuliskarya sastra Jawa, terutama cerita pendek, lebih padaaktualisasi diri, ekpresi gejolak jiwa dan wahana untukberkomunitas.

Gotong RoyongDalam konteks inilah, Ketua Pamarsudi Sastra Jawi

Bojonegoro (PSJB), JFX Hoery, optimistis mengatakan bahasadan Satra Jawa sebenarnya bukan mundur apalagi dikatakanmati, tetapi mengikuti atau menyelaraskan denganperkembangan zaman. Ketika bahasa Jawa kuna mengikutiperkembangan zaman memasuki era Jawa Baru, para pendukungbahasa /sastra Jawa kuno juga merasa kehilangan.

Demikian juga ketika bahasa/sastra Jawa Tengahan masukera bahasa /sastra Jawa Baru, dan selanjutnya dari bahasaJawa Baru masuk ke bahasa Jawa Modern, atau Gagrak Anyar.Para pendukung, penggiat eranya, merasa kehilangan.

“Era globalisasi tentu mempengaruhi perkembangan bahasa/sastra Jawa, bukan itu saja tetapi mempengaruhi segalaaspaek kehidupan. Tentu salah satu contohnya, bahasa/sastra

Page 26: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Jawa terpinggirkan dari komunitasnya, akar rumputnya,” kataHoery.

Hoery mengatakan eksistensi sastra Jawa di Jawa Timurterglong baik. Ini terlihat dari dari tiga wilayah provinsisebagai basis bahasa Jawa, Jawa Timir mempunyai dua majalahberbahasa Jawa yang bertahan lebih dari 75 tahun. Dari segikepengarangan, wilayah Jawa Timur, menurutnya, memilikipengarang paling banyak demikian juga peraihan hadiahRancage yang selama ini dianggap penghagaan sastra Jawabergengsi, Jawa timur mampu yang paling banyak menerimapenghargaan, belum lagi sanggar-sanggar sastra Jawanya.

“Kegiatan PSJB bukan hanya di bidang sastra Jawa. PSJBpunya visi terwujudnya masyarakat Jawa yang sadar, cinta,peduli dan berdaya dalam melestarikan dan menumbuhkembangkanbahasa, sastra dan budaya Jawa,” jelas Hoery. Anggotanyaterdiri dari peminat, pemerhati, pencinta, pegiat dan pelakubahasa, sastra dan budaya Jawa.

Menurut Hoery, regenerasi terus diupayakan. Pada 2010,PSJB mengadakan lomba menulis cerita pendek untuk siswa SMP-SMA, lomba drama bahasa Jawa untuk anak SD. Pada 2011menghimpun mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra JawaUniversitas Negeri Surabaya (Unesa) asal Bojonegorosebanyak 14 orang. Pada 2012 ini PSJB merencanakanmenerbitkan karya dalam bentuk antologi cerita pendek danpuisi.

“Mereka yang aktif dalam kegiatan di PSJB kami motivasiuntuk terus berkarya dengan mengirim tulisan ke majalah ataukoran yang punya ruang berbahasa Jawa, menulis di situs diinternet dan belajat berteater,” jelas Hoery.

PSJB juga intensif bekerja sama dengan Musyawarah GuruMata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa, mengadakan penataran atausarasehan untuk guru-guru Bahasa Jawa serta turutmelestarikan seni tradisional yang berbasis bahasa danbudaya Jawa.

Tentang sastra itu buku, Hoery menyatakan sependapat.Karya sastra para pujangga semuanya berbentuk buku. JadiHoery mendukung penuh pendapat bahwa sastra Jawa harusberbentuk buku. Jadi, sastrawan Jawa harus menghasilkan

Page 27: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

buku, bukan sekadar karya yang dipublikasikan di majalahatau koran berbahasa Jawa.

“Menurut pengamatan saya, para sastrawan Jawa memangtidak mengejar materi. Sangat jelas bahwa dengan ukuranhidup sekarang, hasil (honor) karya sastra Jawa tidak adaartinya,” kata Hoery. Tetapi, para sastrawan Jawa tetapbertahan karena rasa cinta terhadap warisan leluhur.

”Bagi saya, menulis sastra Jawa hanya demi menghidupkanbahasa dan sastra Jawa,” kata Hoery. Ihwal bertahannyasastra Jawa di tengah realitas marginalisasi yang sangatkentara, menurut Hoery, karena masih ada majalah atau koranberbahasa Jawa dan peminat/pembacanya juga masih adakendati hanya minoritas dibandingkan populasi penutur bahasaJawa yang menurut data UNICEF mencapai 75 juta orang.

Dalam setahun terakhir sembilan sastrawan atau penulisyang biasa aktif dalam kegiatan di PSJB menerbitkan beberapabuku dalam bentuk antologi cerita pendek bersama, maupunantologi tunggal. Pada 2012 ini, PSJB berencana menerbitkanempat buku dalam bentuk antologi cerita pendek tunggal,antologi bersama dan cerita anak-anak dalam bahasa Jawa.

”Untuk menerbitkan buku antologi bersama kami bergotongroyong, untuk penerbitan tunggal sepenuhnya dibiayai penulisdibantu PSJB,” tutur Hoery. Kondisi yang sama juga terjadidi Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan SanggarTriwidha. Para sastrawan dan pencinta sastra Jawa dikomunitas-komunitas ini selalu bergotong royong untukmenerbitkan buku yang rata-rata berwujud antologi puisi(tunggal atau bersama) dan antologi cerita pendek (tunggalatau bersama).

Dhanu Priyo Prabowo yang pernah menjabat sebagaiSekretaris SSJY dan kini masih aktif sebagai peneliti bahasadan sastra di Balai Bahasa Yogyakarta mengatakan eksistensisastra Jawa di Yogyakarta masih terjada, walau dalam kondisitermarginalkan. Masih terjaga karena regenerasi berjalanwalau tak massal dan sastrawan-sastrawan Jawa di Yogyakartamasih konsisten berkarya.

“Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa selain Solosehingga sastra Jawa masih mendapat tempat yang cukup baiksecara formal maupun nonformal,” jelas Dhanu. Tempat sastra

Page 28: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Jawa secara formal adalah di lingkungan pemerintahan melaluiotoritas dinas dan lembaga-lembaga terkait. Sedangkan tempatsastra Jawa secara nonformal adalah di sanggar, komunitaspencinta, dan kelompok-kelompok di masyarakat.

“SSJY punya majalah internal, Pagagan. Saya termasukperintisnya pada 1991/1994. Sampai kini masih terbit. Inilahsalah satu majalah untuk menerbitkan karya sastrawan-sastrawan Jawa di Yogyakarta,” kata Dhanu.

Pada era 1991/1994 ketika Dhanu menjabat sebagaiSekretaris SSJY, sanggar ini diberdayakan sebagai wadahberkumpulnya sastrawan dan pencinta sastra Jawa yangterpisah setelah sekian tahun tak terwadahi secara “formal”.“Zaman saya menjadi sekretaris, SSJY itu tempat ngumpulkebalung pisah,” kata Dhanu.

Membangun relasi dengan banyak pihak

supaya tumbuh pendapat

yang lebih positif terhadap sastra Jawa.

Kegiatan SSJY hingga saat ini difokuskan pada diskusi,workshop dan membangun relasi dengan banyak pihak supayatumbuh pendapat yang lebih positif terhadap sastra Jawa.Hasilnya, SSJY menerbitkan majalah Pagagan sebagai wadahregenerasi penulis-penulis baru. Anggota sanggar biasanyabertemu setiap dua bulan sekali.

Dalam setiap pertemuan, untuk memperoleh makalah danmajalah, biasanya peserta dengan suka rela memberikan uang

Page 29: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

pengganti biaya cetak. Saat ini SSJY mendapatkan dukungandana kegiatan dari Balai Bahasa Yogyakarta. Saat ini,kegiatan sastra Jawa di SSJY tidak jauh berbeda. MajalahPagagan konsisten terbit dan lebih menekankan pada pembacadan penulis muda. Dulu, Pagagan tidak membedakan segmenpenulis dan pembaca muda atau tua.

Jagat Maya”Perlawanan” sastra Jawa modern terhadap realitas yang

memarginalkannya juga ditempuh melalui dunia maya. Kini, dijagat maya cukup banyak website tentang sastra Jawa, termasukbeberapa grup di Facebook yang khusus menghimpun sastrawandan pencinta sastra Jawa.

Sudharto HS, pemilik dan pengelola situs kidemang.comdan lebih dikenal dengan nama Ki Demang Sokowaten,mengatakan kini memang mulai muncul “arus balik” anakkandung globalisasi yaitu teknologi informasi dan komunikasiyang bermanfaat bagi dunia sastra Jawa.

Yang dimaksud arus balik adalah keterbukaan sebagiansastrawan dan pencinta sastra Jawa untuk memanfaatkaninternet sebagai wahana aktualisasi diri dan komunitas.Situs yang dikelolanya, kata Sudharto, kini rutin dikunjungiminimal 10.000 orang setiap hari. Situs kidemang.com adalahsitus tentang kebudayaan Jawa. Di dalamnya juga mencakupbahasa, sastra dan aksara Jawa.

Secara khusus Sudharto membangun link untuk kanal yangberisi karya-karya sastra Jawa mutakhir, terutama ceritapendek, esai dan puisi berbahasa Jawa. Kendati sudah cukupdikenal, dengan pengakses rata-rata 10.000 orang per hari,Sudharto kesulitan memberdayakan kidemang.com ke ranahkomersial.

”Saya beberapa kali menawarkan situs saya ke merekayang saya nilai layak dan mampu memasang iklan. Ternyatamereka semua khawatir jika beriklan di website tentangbudaya, bahasa dan sastra Jawa citra produk mereka akanturun,” kata Sudharto.Sudharto menangkap kejawaan selalu diasosiasikan denganmarginal, pinggiran, tak selaras zaman. Itu, menurutnya,memang buah interaksi antarkebudayaan yang berlangsung

Page 30: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

intensif dan kemudian ada yang “unggul” dan ada yang“terpinggirkan”. Kebudayaan Jawa yang di dalamnya mencakupbahasa dan sastra Jawa kini dalam kondisi terpinggirkan itu.

”Karena tak laku saya ’jual’, situs itu sayadedikasikan penuh untuk kepentingan melestarikan danmemberdayakan kebudayaan Jawa, termasuk bahasa dan sastra,”kata Sudharto. Dan beberapa tahun terakhir, Sudhartomendapatkan ucapan terima kasih dari sebagian pengunjungsitusnya. Mereka menyatakan mendapat bahan mengajar, bahanberdiskusi, atau bahan menggali tentang budaya, bahasa dansastra Jawa dari kidemang.com.

Di Facebook, grup Sastra Jawa Gagrag Anyar adalah grupyang tergolong aktif menjadi wahana diskusi para sastrawandan pencinta sastra Jawa. Grup ini beranggota 1.965 orang.Kalangan sastrawan Jawa senior cukup banyak yang aktif dalamdiskusi di grup ini. Mereka juga aktif memutakhirkan status.

JFX Hoery, Bonari Nabonenar, Yusuf Susilo Hartono, DyahHadaning, Sumono Sandi Asmoro, Daniel Tito, Sucipto HadiPurnomo, Suparto Brata adalah sebagian sastrawan Jawa senioryang sering muncul dalam diskusi di grup ini. Anggota grupini mayoritas memang bukan sastrawan Jawa yang aktifberkarya. Hanya sebagian kecil saja yang merupakan sastrawanJawa yang aktif berkarya.

Sebagian besar mereka adalah orang-orang yang punyarasa cinta terhadap bahasa dan sastra Jawa. Grup ini takmelulu bicara tentang bahasa dan sastra Jawa. Beberapa kalimuncul diskusi sengit tentang tema tertentu yang terkaitdengan bahasa dan sastra Jawa. Namun, kadang-kadang hanyamuncul pemutakhiran status berupa baris-baris puisiberbahasa Jawa atau sekadar bertegur sapa sesama anggotagrup.

Menurut Bonari, selaku salah satu pemrakarsa grup ini,lalu lintas diskusi di grup ini diharapkan memunculkansemangat baru untuk memperkaya khazanah sastra Jawa modern.Selain itu juga untuk menghimpun ide-ide baru demipelestarian, pengembangan dan pemberdayaan sastra Jawamodern. “Dan yang paling utama adalah sebagai wahanakomunikasi sesama pencinta bahasa dan sastra Jawa,” kataBonari.

Page 31: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Suprawoto, anggota staf ahli Menteri Komunikasi danInformatika, ketika berbicara dalam Kongres Sastra Jawa III danKongres Bahasa Jawa V mengatakan perkembangan media online bisadimanfaatkan sebagai terobosan untuk mengembangkan sastraJawa (dengan sarana bahasa Jawa). Teknologi informasi dankomunikasi sangat mungkin dikembangkan untuk menggugahpotensi masyarakat lokal.

Muncul dan berkembangnya komunitas bahasa dan sastraJawa onlime membuktikan bahwa masyarakat lokal Jawa mulaimenggunakan media ini. Sebagian besar pengguna internet,menurut Suprawoto, adalah remaja berumur 15-19 tahun danrata-rata adalah pengguna pasif (lurking).

Sebenarnya media online bisa digunakan untuk menunjukkanstatus social orang Jawa yang selalu mengaku memilikikebudayaan yang adiluhung. Tetapi, kenyataannya, bahasa Jawayang digunakan di media online sebagian besar adalah bahasaJawa non baku yang tak berdasarkan aturan tata tulis dantata bahasa serta unggah-ungguh bahasa. Ini terjadi karenabanyak website, blog, portal, situs dan grup di Facebook yangtidak dikelola oleh orang Jawa yang memang benar-bener pahamtentang bahasa dan sastra Jawa.

Kemunculan bahasa dan sastra Jawa online harus diatasisecara aktif oleh para sastrawan Jawa dan pakar bahasaJawa. Realitas yang “menggembirkan” berupa munculnya bahasadan sastra Jawa di jagat maya jangan sampai berkembang kearah yang keliru. Para sastrawan Jawa dan pakar bahasa Jawaharus aktif membuat dan menghidupkan portal, situs, website,blog dan grup-grup di jagat maya yang menggunakan bahasa danberkonten sastra Jawa.

Sebagai langkah nyata yang bersifat strategis danterukur, Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) dalampertemuan di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT)Solo, Sabtu (25 Februari 2012) malam lalu menetapkankeputusan. Pertama, sebagai tindak lanjut Kongres Sastra Jawa IIIdi Bojonegoro dan Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya OPSJ akanmenerbitkan buku-buku sastra Jawa. Penerbitan buku ini dalamkerangka semangat bekerja dan berkarya.

Kedua, karya sastra Jawa yang akan diterbitkan dalambentuk buku meliputu seluruh genre sastra Jawa modern yang

Page 32: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

meliputi cerita pendek, cerita bersambung, novel, novellete,puisi dan esai.

Ketiga, penerbitan buku-buku karya sastra Jawa itumemperhatikan semangat regenerasi. Sastrawan muda menjadiprioritas. Sastrawan Jawa senior yang kesulitan menerbitkankarya-karya mereka dalam bentuk buku juga akan diperhatikanoleh OPSJ cecara khusus.

Keempat, penerbitan buku-buku karya sastra Jawa diikutidenga publikasi dan promosi melalui media massa cetak, mediasosial, komunitas sanggar-sanggar sastra Jawa, komunitasMusyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa, komunitasmahasiswa dan dosen jurusan Sastra Jawa dan komunitas-komunitas lain yang memungkinkan.

Kelima, setiap buku karya sastra Jawa yang diterbitkanakan dibedah sekaligus dijual di komunitas-komunitastersebut. Keenam, seleksi karya sastra Jawa yang akanditerbitkan dan proses penerbitannya akan dilaksanakan olehtim khusus atau sebuah badan pekerja yang bekerja di bawaharahan OPSJ.

“Saat ini OPSJ memiliki dana yang cukup untukmenerbitkan beberapa buku karya sastra Jawa. Kami berharappemanfaatkan komunitas memungkinkan modal awal ini bisaberputar untuk penerbitan buku-buku selanjutnya, dan akansangat menggembirkan jika bisa memberikan keuntungan bagipenulisnya,” kata Ketua OPSJ, Sucipto Hadi Purnomo.

Dan terkait dengan perkembangan bahasa dan sastra Jawadi jagat maya, OPSJ berencana membangun website tentangsastra Jawa yang nantinya akan berhubungan dengan seluruhportal, situs, blog dan grup-grup di Facebook yang membahasabahasa dan sastra Jawa. Pembuatan website ini direncanakanterealisasi pada April 2012.

III

Dalam salah satu diskusi dalam rangkaian Kongres SastraJawa III, di Desa Jono, Kecamatan Temayang, KabupatenBojonegoro, Jawa Timur, Tito S Budi yang lebih dikenal

Page 33: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

dengan nama penda Daniel Tito meradang. Saat itu dia menjadipembicara dalam diskusi dengan tema tentang pembelajaranbahasa dan sastra Jawa di sekolah. Dia meradang karena adaseorang guru yang bertanya menggunakan bahasa Indonesia.

Tito menyatakan takkan menanggapi pertanyaan guru itujika pertanyaannya dia kemukakan dengan bahasa Indonesia.Akhirnya, dengan bersusah payah disertai tertawaan darisebagian besar peserta diskusi, guru itu mengemukakanpertanyaannya dalam bahasa Jawa.

”Bagaimana mau menanamkan kecintaan kepada bahasa dansastra Jawa kalau gurunya saja tak mau berbahasa Jawa dalamacara yang membahas tentang sastra Jawa?” tanya Tito dalambahasa Jawa ngoko.

Peristiwa yang nyaris sama terjadi dalam Kongres BahasaJawa V di Hotel JW Marriot Surabaya. Pada acara diskusidengan nara sumber pemakalah utama, ada seorang pemakalahdari Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yangmemaparkan makalahnya dalam bahasa Indonesia.

Ratusan peserta diskusi memprotes pemakalah itu tapidia bersikukuh tetap menggunakan bahasa Indonesia denganalasan ada regulasi berupa undang-undang yang mewajibkanpenggunaan bahasa Indonesia dalam forum-forum resmi.Menurutnya, Kongres Bahasa Jawa V adalah forum resmi. Ratusanpeserta beberapa kali mengemukakan protes saat diamenyampaikan makalah.

George Quinn, peneliti bahasa dan sastra Jawa dariAustralia yang juga menjadi salah satu pemakalah utama,menyatakan tidak seharusnya forum yang membahas tentangbahasa Jawa, bahasa penyampaiannya menggunakan bahasa selainbahasa Jawa. Dalam kesempatan itu, Quinn menulis makalahdalam bahasa Jawa ngoko dan menyampaikannya pula dalambahasa Jawa ngoko.

Delegasi dari Suriname secara tegas mengkritikpenggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar danpanyampaian makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V itu. Setelahmendengar kritik yang mengemuka, panitia kongres kemudianmemutuskan semua pemateri dalam forum diskusi utama maupundiskusi komisi-komisi wajib menggunakan bahasa Jawa dalammenyampaikan makalah mereka.

Page 34: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Realitas memang menunjukkan para pemegang kebijakankini sudah tidak peduli terhadap perkembangan bahasa ibu.Bahkan terhadap bahasa nasional pun kurang perhatiannya.Terhadap bahasa, sastra dan budaya, demikian juga. Orientasipara pemegang kebijakan adalah pemasukan /pendapatan daerah,sementara kegiatan bahasa, sastra dan budaya dianggap tidakmenghasilkan peningkatan pendapatan daerah. Ketikakebudayaan lokal sebagai tersingkir, termarginalkan, bahasadan sastra Jawa pun dalam kondisi demikian.

Sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana mengaderpencinta bahasa dan sastra Jawa baru belum bisa berperanmaksimal. Di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakartadan Jawa Timur sudah ada kesekapatan memasukkan pendidikanbahasa dan sastra Jawa sebagai kurikulum muatan lokal disekolah.

Realitas menunjukkan pendidikan bahasa dan sastra Jawadi sekolah belum mampu meningkatkan pemahaman generasi mudaterhadap bahasa dan sastra Jawa, belum mampu menggugahkecintaan generasi muda terhadap bahasa dan sastra Jawa danbelum mampu mengembangkan serta memberdayakan bahasa dansastra Jawa.

Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa di perguruan tingginegeri di tiga wilaya ini, yaitu Universitas Sebelas Maret(UNS) Solo, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) danUniversitas Negeri Semarang (Unnes) juga belum mampumeregenerasi sastrawan Jawa dan pembaca serta pencintasastra Jawa. Jamak terjadi mahasiswa Jurusan Bahasa danSastra Jawa tetapi tidak bisa menulis teks berbahasa Jawadengan baik.

Salah seorang dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra JawaFakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS, Imam Sutarjo,mengatakan minat mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawauntuk membaca dan menulis karya sastra Jawa memang sangatrendah. “Ini bisa dimaklumi karena mahasiswa yang masuk kejurusan ini biasanya karena tidak diterima di jurusan laindan hanya butuh sekadar kuliah,” kata Imam.

Untuk membangkitkan minat menulis dan membaca karyasastra Jawa, Imam memotivasi para mahasiswanya agar belajarmenulis dalam teks berbahasa Jawa dan kemudian dikirimkan ke

Page 35: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

media massa berbahasa Jawa. Barang siapa yang tulisannyadimuat, Imam menjanjikan nilai A untuk mata kuliah tentangpenulisan.

Sucipto Hadi Purnomo yang menjabat sebagai Ketua OPSJdan sehari-hari adalah dosen di Jurusan Bahasa dan SastraJawa Fakultas Bahasa dan Seni Unnes mengatakan regenerasisastrawan Jawa dari perguruan tinggi memang sangat kurang.Sucipto yang menjabat sebagai Kepala Bagian Humas Unnesmengatakan untuk mengatasi hal itu Unnes pada tahun akademik2012/2013 membuat kebijakan batu dengan menggratiskan biayakuliah bagi 30 orang mahasiswa Jurusan Bahasa dan SastraJawa. Sebanyak 25 paket beasiswa plus biaya hidup disediakanbagi 25 calon mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa danlima paket beasiswa plus biaya hidup bagi lima calonmahasiswa Jurusan Sastra Jawa.

MA Sudi Yatmana yang mendapatkan gelar Doktor BahasaJawa dari The London Institute for Applied Research Inggris(1992) dan pernah menjadi dewan pakar majalah berbahasa JawaPustaka Candra yang diterbitkan Proyek Pengembangan Bahasa dansastra Daerah Jawa Tengah pada era 1980-an sampai 1990-anmengatakan, kini pendidikan bahasa dan sastra Jawa disekolah memang belum berpihak pada kepentingan pengembangan,pelestarian dan pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. HinggaKongres Bahasa Jawa V selalu menghasilkan rekomendasi tentangperlunya pengembangan pendidikan bahasa dan sastra Jawa diSD dan sekolah menengah, tetapi realitasnya memang belummenggemberikan.

Pada tahun 1970, Pemerintah Provinsi (Pemprov) JawaTengah memberlakukan ketentuan tentang pendidikan bahasaJawa. Kebijakan ini sesuai dengan Kurikulim 1968. Sebagaiimplementasi Kurikulim 1975, Pemprov Jawa Tengah membuatGaris-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Pelajaran BahasaJawa dan evaluasinya.

Untuk melaksanakan Kurikulum 1984 (yang biasa disebutKurikulum 1975 yang disempurnakan) Pemprov Jawa Tengahmembuat GBPP Pelajaran Bahasa Jawa. GBPP ini disusun olehBadan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi JawaTengah dengan melibatkan ahli dan pakar bahasa dan sastraJawa.

Page 36: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Ketika diberlakukan Kurikukulum 1994, Pemprov JawaTengah membuat GBPP Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa Jawayang polanya mirip dengan Bahasa Indonesia. KurikulumBerbasis Kompetensi (KBK) 2004 untuk Pelajaran Bahasa Jawadisusun dan didukung oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah No895.5/01/2005 bertanggal 23 Februari 2005. KBK ini mencakupSD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006dilengkapi standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan(SKL) Pelajaran Bahasa Jawa (November 2008). KTSP inididukung Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 423.5/5/2010bertanggal 27 Januari 2010.

“Dari sisi kebijakan, jelas Pemprov Jawa Tengah sejak1970 konsisten berusaha mengembangkan pendidikan bahasa dansastra Jawa di sekolah. Setahu saya di Provinsi DIY dan JawaTimur juga ada langkah serupa,” kata Sudi Yatmana dalamKongres Bahasa Jawa V di Surabaya.

Ketua Dewan Bahasa Jawa Provinsi Jawa Tengah, KiSutadi, mengatakan Kongres Bahasa Jawa V di Surabayamerekomendasikan pembentukan Dewan Bahasa Jawa di tingkatProvinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakartadan seluruh kabupaten/kota di tiga provinsi itu.

Dewan Bahasa Jawa harus dibentuk oleh gubernur dan/ataubupati/wali kota. Rekomendasi pembentukan Dewan Bahasa Jawaini sebagai langkah mendorong penyusunan dan pemberlakukanperaturan daerah (perda) tentang kebudayaan Jawa yang didalamnya mencakup tentang bahasa dan sastra Jawa.

“Jawa Tengah selangkah lebih maju karena Dewan BahasaJawa sudah dibentuk pada 2010 lalu. Jadi ketika KongresBahasa Jawa V merekomendasikan pembentukan Dewan BahasaJawa, di Jawa Tengah sudah ada dan sudah berkegiatan,” kataSutadi.

Sejak pertengahan 2011, Dewan Bahasa Jawa Provinsi JawaTengah bekerja sama dengan sejumlah pemangku kepentingantelah berdialog dengan Komisi E (bidang kesejahteraanrakyat) DPRD Provinsi Jawa Tengah. Dalam dialog itu munculkesepakatan untuk bersama-sama menyusun rancangan peraturandaerah (raperda) tentang kebudayaan Jawa yang di dalamnya

Page 37: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

mencakup pengaturan tentang upaya melestarikan danmemberdayakan bahasa dan sastra Jawa.

Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, Sri Maryuni,mengatakan sangat mendukung inisiatif menyusun raperdatentang kebudayaan Jawa itu. Raperda ini nanti menjadipaying hukum untuk membangun suasana, mekanisme, dan sistemyang memungkinkan penciptaan iklim yang sangat kondusifuntuk melestarikan serta mengembangkan bahasa dan sastraJawa.

“Tentu saja raperda ini disusun tidak bertentangandengan UU tentang bahasa nasional. UU tentang bahasanasional itu mengatur bahwa setiap pertemuan resmi harusmenggunakan bahasa Indonesia tetapi dalam UUD 1945 jelasdiatur bahwa pemerintah daerah wajib melestarikan danmemberdayakan kearifan lokal. Bahasa dan sastra Jawa adalahsalah satu kearifan lokal itu,” kata Sri Maryuni.

Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah yang juga dosen diFakultas Hukum Universitas Semarang (USM), Bambang Sadono,mengatakan untuk memfasilitasi agar kekayaan budaya Jawa,khususnya melalui bahasa dan sastra, bisa menjadi sumberreferensi kehidupan bernegara, butuh payung hukum danpengakuan secara nasional dalam bentuk undang-undang.

Dalam program legislasi daerah (Prolegda)

2012, DPRD Jawa Tengah

mencantumkan rencana membahas Raperda Pelestarian,

Pembinaan, Pengkajian, dan Pengembangan

Page 38: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

Bahasa dan Sastra Jawa.

Tiap daerah pemangku kebudayaan Jawa dan pemakai bahasaJawa baik provinsi maupun kabupaten/kota harus meneguhkannyadalam bentuk peraturan daerah (perda) sebagai komitmen riil.Bambang Sadono yang menjadi salah satu pembicara dalamKongres Bahasa Jawa V di Surabaya mengatakan upaya perlindungandan pelestarian bahasa dan sastra Jawa harus dilakukanmelalui perda di provinsi atau kabupaten/kota yang potensialsebagai pengguna bahasa Jawa.

Dalam program legislasi daerah (Prolegda) 2012, DPRDJawa Tengah mencantumkan rencana membahas RaperdaPelestarian, Pembinaan, Pengkajian, dan Pengembangan Bahasadan Sastra Jawa. Sebagai referensi, Bali mempunyai Perda No3/1992 yang berjudul Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. JawaBarat punya Perda No 6/1996 tentang Pelestarian, Pembinaan,dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yangkemudian direvisi dengan Perda No 5/2003 tentangPemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.

Menurut pencinta sastra Jawa yang juga dosen pedalangandi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Bambang Murtiyoso,secara normatif di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DaerahIstimewa Yogyakarta berlaku kurikulum muatan lokal tentangpendidikan bahasa dan sastra Jawa. Ternyata kurikulum itubelum mampu membangkitkan bahasa dan sastra Jawa. Terbukti,anaka-anak dan generasi muda Jawa saat ini mayoritas takmengenal bahasa dan sastra Jawa.

“Di Jawa Tengah kurikulum pendidikan bahasa dan sastraJawa itu diberlakukan sejak 1970. Pada era 1970-an dan 1980-an pendidikan bahasa dan sastra Jawa memang cukup bagus.Tetapi, memasuki era 1990-an ada kemunduran yang sangatsignifikan. Sekarang, inilah yang harus diantisipasi,” kataBambang.

Salah satu persoalan pokoknya adalah kualitas gurubahasa dan sastra Jawa. Menurut Bambang, mayoritas gurubahasa dan sastra Jawa era kini adalah guru-guru yang tak

Page 39: Sastra Jawa Melawan Globalisasi

paham kejawaan. Pelajaran bahasa dan sastra Jawa hanyabetumpu pada persoalan tata kalimat, dan meninggalkan halihwal kejawaan itu sendiri. Akibatnya, guru jarang sekalimenjadi motivator siswa untuk membaca dan mencintai karyasastra Jawa. ***