SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI FENOMENA BARU DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN Galuh Sakti Bandini, Teguh Prasetyo Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB UI [email protected]. Abstrak Dilihat dari perkembangannya, sastra Indonesia identik dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Beberapa kritikus, seperti Sapardi Djoko Damono pun memetakan sastra Indonesia sebagai sastra yang berbahasa Indonesia. Namun, tidak bisa dimungkiri pula bahwa sastra Indonesia, dalam perkembangannya, juga bersentuhan dengan berbagai bahasa di luar bahasa Indonesia, seperti Jawa, Betawi, Melayu Rendah, atau bahasa asing lainnya. Akhir-akhir ini, sastra indonesia dihadapkan dengan kemunculan sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, diterbitkan oleh penerbit Indonesia, dan dipasarkan di kalangan pembaca Indonesia. Hal ini merupakan gejala baru dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibicarakan mengenai sastra berbahasa Inggris tersebut, yang masih menjadi hal baru di kancah kesusastraan Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan berfokus pada empat karya sastra berbahasa Inggris yang telah diterbitkan dan dipasarkan di toko buku, yakni Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori, Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, serta The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, penulis melalui tulisan ini akan mengkaji kemunculan sastra berbahasa Inggris serta kedudukannya dalam kancah kesusastraan Indonesia. Penulis berkesimpulan bahwa sastra Indonesia berbahasa Inggris ini merupakan jenis memiliki tempat di dalam khasanah kesusastraan Indonesia Modern. Kata Kunci: Bahasa Inggris, Globalisasi, Sastra berbahasa inggris. PENDAHULUAN Perkembangan kesusastraan Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari fenomena kebahasaan di Indonesia. Sebab, bahasa itu sendiri merupakan medium dari sastra. Dari bahasa pula terlihat identitas budaya maupun ideologi yang ada dalam sastra tersebut. Sapardi Djoko Damono (1999) menyebutkan bahwa sebelum bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan dalam sumpah pemuda 1928, di wilayah yang saat ini disebut Indonesia, digunakan empat bahasa dominan dalam persuratkabaran (yang mungkin juga termasuk fiksi dalam surat kabar) secara luas, yakni Belanda, Melayu, Sunda, dan Jawa. Kemudian, dalam perkembangannya, kaum peranakan Tionghoa menulis surat kabar maupun fiksi pendek yang berdasarkan fakta surat kabar menggunakan langgam mereka yang khas, yang kemudian disebut sebagai bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar (Damono, 1999: 8).
17
Embed
SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Galuh.pdf · Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SASTRA BERBAHASA INGGRIS DI INDONESIA SEBAGAI FENOMENA BARU
Abstrak Dilihat dari perkembangannya, sastra Indonesia identik dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Beberapa kritikus, seperti Sapardi Djoko Damono pun memetakan sastra Indonesia sebagai sastra yang berbahasa Indonesia. Namun, tidak bisa dimungkiri pula bahwa sastra Indonesia, dalam perkembangannya, juga bersentuhan dengan berbagai bahasa di luar bahasa Indonesia, seperti Jawa, Betawi, Melayu Rendah, atau bahasa asing lainnya. Akhir-akhir ini, sastra indonesia dihadapkan dengan kemunculan sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, diterbitkan oleh penerbit Indonesia, dan dipasarkan di kalangan pembaca Indonesia. Hal ini merupakan gejala baru dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibicarakan mengenai sastra berbahasa Inggris tersebut, yang masih menjadi hal baru di kancah kesusastraan Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan berfokus pada empat karya sastra berbahasa Inggris yang telah diterbitkan dan dipasarkan di toko buku, yakni Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori, Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, serta The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, penulis melalui tulisan ini akan mengkaji kemunculan sastra berbahasa Inggris serta kedudukannya dalam kancah kesusastraan Indonesia. Penulis berkesimpulan bahwa sastra Indonesia berbahasa Inggris ini merupakan jenis memiliki tempat di dalam khasanah kesusastraan Indonesia Modern.
Kata Kunci: Bahasa Inggris, Globalisasi, Sastra berbahasa inggris.
PENDAHULUAN
Perkembangan kesusastraan Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari fenomena
kebahasaan di Indonesia. Sebab, bahasa itu sendiri merupakan medium dari sastra. Dari
bahasa pula terlihat identitas budaya maupun ideologi yang ada dalam sastra tersebut.
Sapardi Djoko Damono (1999) menyebutkan bahwa sebelum bahasa Indonesia disepakati
sebagai bahasa persatuan dalam sumpah pemuda 1928, di wilayah yang saat ini disebut
Indonesia, digunakan empat bahasa dominan dalam persuratkabaran (yang mungkin juga
termasuk fiksi dalam surat kabar) secara luas, yakni Belanda, Melayu, Sunda, dan Jawa.
Kemudian, dalam perkembangannya, kaum peranakan Tionghoa menulis surat kabar maupun
fiksi pendek yang berdasarkan fakta surat kabar menggunakan langgam mereka yang khas,
yang kemudian disebut sebagai bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar (Damono, 1999: 8).
Mengenai langgam bahasa yang digunakan dalam sastra peranakan Tionghoa, Nio Joe
Lan (1962) menyebutnya sebagai bahasa yang berasal dari pergaulan kaum Tionghoa sehari-
hari. Bahasa ini dianggap sebagai bahasa yang tidak tinggi karena memang dituturkan oleh
kaum Tionghoa yang saat itu dimarginalkan oleh pendidikan pemerintahan Belanda. Karena
itu, mereka tidak dapat mengenyam pendidikan bahasa dengan baik. Meskipun demikian, ada
beberapa pengarang, salah satunya Lie Kim Hok, yang sempat belajar bahasa dan mengganti
beberapa kosakata yang dianggap kasar, seperti kowe ataupun Tjina. Namun, jumlah
pengarang yang demikian jumlahnya tidak signifikan sehingga secara umum bahasa dalam
sastra Melayu-Tionghoa ini dianggap rendah.
Bahasa Melayu Rendah yang digunakan oleh kaum peranakan Tionghoa dalam menulis
sastranya tersebut lebih dahulu digunakan oleh orang-orang Belanda dan pribumi (Sumardjo,
2004: 4). Misalnya saja, karya-karya yang ditulis oleh F. Wiggers, H. D. Wiggers, Pangemanann,
Kommer, Tirtoadisuryo, Haji Ukti, Marco Kartodikromo, hingga Semaoen1. Sastra-sastra
Melayu Rendah yang menggunakan bahasa Melayu Rendah ini kemudian dimarginalkan
karena ada politik bahasa dari pemerintah Hindia Belanda melalui Balai Pustaka (Damono,
2001). Dengan begitu, sastra Balai pustaka yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi menjadi
sastra kanon pada masa itu.
Bahasa Balai Pustaka ini oleh Damono (2001) disebut sebagai bahasa yang kaku dan
diatur. Namun, bahasa ini pulalah yang kemudian menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia, yang
dikumandangkan lewat Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan. Semenjak itu, bahasa
yang cenderung digunakan dalam sastra Indonesia modern merupakan bahasa yang
dikembangkan Balai Pustaka dan diproklamasikan dalam Sumpah Pemuda. Karena itu, kritikus
besar Indonesia berkebangsaan Belanda, A. Teeuw, menandai Balai Pustaka sebagai tonggak
awal sastra Indonesia modern (dalam Damono, 2001).
Meskipun bahasa yang dibakukan tersebut menjadi kecenderungan utama dalam
penggunaan bahasa di kesusastraan Indonesia modern, masih cukup banyak bahasa-bahasa
sehari-hari dari berbagai daerah di Indonesia yang turut dikembangkan dalam sastra. Bahasa
tersebut bercampur dan mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia dalam sastra. Sastra
1 Meskipun sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa ataupun peranakan Indo sama-sama disebut
dengan sastra Melayu Rendah, atau menggunakan bahasa Melayu Rendah, menurut Sapardi Djoko Damono
(2001), ada beberapa perbedaan dari segi kosakata dan sintaksis. Lebih lanjut, Nio Joe Lan (1962: 17), juga
mengatakan bahwa banyak kosakata sastra Melayu Tionghoa diambil dari kosakata bahasa Tionghoa seperti,
loteng, bihun, ketjap, taoge; juga sintaksis bahasanya dipengaruhi bahasa Tionghoa, seperti “saja punja buku”.
dengan bahasa campuran seperti ini oleh Damono (1999) disebut sebagai sastra Hibrida.
Dalam catatan Ajip Rosidi (1988: 70), ada beberapa sastrawan Indonesia yang saat itu berpikir
dengan bahasa daerahnya lalu menterjemahkan karyanya dalam bahasa Indonesia sehingga
banyak sekali percampuran kosakata yang kurang dipahami atau tidak terdaftar dalam
kosakata bahasa Indonesia. Sastrawan itu, di antaranya Achdiat K. Mihardja, Pramoedya
Ananta Toer, Utuy T. Sontani, dan Trisnojyuwono. Tidak hanya itu, seiring modernisasi dan
globalisasi, masyarakat urban, seperti di Jakarta, pada perkembangannya juga turut
memasukkan langgam bahasa slang dan beberapa kosakata bahasa Inggris. Sastra yang
terdokumentasi menggunakan kata-kata demikian, pada perkembangannya, lebih banyak
disebut sebagai sastra populer karena karyanya banyak diminati masyarakat urban yang
menguasai pasar.
Namun demikian, dari seluruh perkembangan penggunaan bahasa dalam karya sastra
Indonesia modern tersebut dapat dilihat bahwa keseluruhannya masih dalam bingkai bahasa
Melayu, cikal-bakal bahasa Indonesia, ataupun bahasa Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu
pula, Sapardi Djoko Damono (1983), melalui tulisannya “Apakah Sastra Indonesia Itu?” sempat
mendeklarasikan bahwa kesusastraan Indonesia merupakan sastra yang ditulis menggunakan
bahasa Indonesia, oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, maupun ditulis dalam bahasa-
bahasa di Indonesia.
Pernyataan Sapardi tersebut tentunya menegaskan bahwa sastra Indonesia
merupakan sastra yang sesuai dengan identitas dan ideologi bangsa, yakni menggunakan
bahasa Indonesia. Akan tetapi, di satu sisi, pernyataan tersebut akan menimbulkan
permasalahan baru dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern ketika globalisasi
menembus batas negara-bangsa melalui tuntutan berbahasa global, dalam hal ini bahasa
Inggris. Hal itulah yang mungkin dapat terlihat dalam fenomena kesusastraan Indonesia
dewasa ini.
Saat ini, telah terbit karya sastra yang ditulis oleh penulis Indonesia dan diterbitkan di
toko buku besar di Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris. Diterbitkannya buku-buku
tersebut di toko buku besar Indonesia mengindikasikan bahwa sasaran pembaca buku
tersebut adalah masyarakat Indonesia. Diterbitkannya sastra berbahasa Inggris yang ditulis
oleh penulis Indonesia oleh salah satu penerbit besar merupakan hal yang baru di dalam sastra
Indonesia, meskipun sebenarnya sastra berbahasa Inggris sudah ada sejak beberapa tahun
lalu dan diterbitkan secara independen. Hingga 2016 sendiri, Gramedia telah menerbitkan
lima karya sastra berbahasa inggris, yaitu Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori,
Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Underground karya Ika Natassa, The Book of Forbidden
Feelings karya Lala Bohang, dan Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya2. Oleh
karena itu, timbul pertanyaan mengenai posisi sastra berbahasa Inggris ini dalam khazanah
kesusastraan Indonesia modern.
Tulisan ini, setidaknya, akan mencoba menelusuri penyebab munculnya karya sastra
berbahasa Inggris ini, serta memetakan kedudukannya dalam sastra Indonesia saat ini. Dalam
anggapan penulis, besar kemungkinan fenomena sastra berbahasa Inggris di Indonesia ini
disebabkan oleh adanya globalisasi. Globalisasi menciptakan sebuah masyarakat di Indonesia
yang menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, termasuk dalam menciptakan karya
sastra. Karena itulah sastra berbahasa Inggris layak dimasukkan dalam khasanah kesusastraan
Indonesia Modern.
BAHASA INGGRIS, GLOBALISASI, DAN SASTRA INDONESIA
Saat ini, bahasa Inggris sudah menjadi bahasa yang umum di sebagian besar negara di
dunia. Bahasa Inggris menjadi bahasa penghubung jika satu orang di satu negara ingin
berkomunikasi dengan orang di negara lain. Bahasa Inggris dapat dikatakan sudah menjadi
bahasa global karena dapat menghubungkan lebih banyak orang lintas negara dan bangsa
dibanding bahasa lain. Menurut Crystal (2003), seperempat penduduk dunia menggunakan
bahasa Inggris. Data itu diperoleh tiga belas tahun yang lalu, tentu saja saat ini jumlah ini terus
meningkat.
Akan tetapi, sebuah bahasa dapat menjadi bahasa global tidak hanya didasarkan pada
jumlah penuturnya, tetapi berdasarkan siapa penuturnya. Sebuah bahasa menjadi bahasa
internasional karena kekuatan (power) dari penuturnya. Begitu juga kasusnya dengan bahasa
Inggris. Proses bahasa Inggris menjadi bahasa internasional dijelaskan oleh David Crystal
dengan sangat baik:
2 Dalam makalah ini, hanya akan mengkaji empat karya sastra berbahasa Inggris saja, yakni yaitu
Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori, Stories for Rainy Days karya Naela Ali, The Book of
Forbidden Feelings karya Lala Bohang, dan Beats Apart karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya. Sebab, novel
Underground karya Ika Natasha pada awalnya dicetak oleh penerbit independen di tahun 2010 sehingga konteks
karyanya juga berbeda.
British political imperialism had sent English around the globe, during the nineteenth century, so that it was a language ‘on which the sun never sets’. During the tweentieth century, this world presence was maintaned and promoted almost single-handedly through the economic supremacy of the new American superpower. Economics replaced politics as the chief driving force. And the language behind the US dollar was English. (Crystal, 2003: 10)
Selain karena kekuatan yang dimiliki, sebuah bahasa dapat menjadi bahasa global
ketika bahasa tersebut memiliki peran khusus yang dikenali di setiap negara (Crystal, 2003: 3).
Peran khusus yang dimaksud adalah ketika bahasa tersebut menjadi bahasa kedua di suatu
negara. Selain menjadi bahasa kedua, suatu bahasa mendapat peran khusus ketika menjadi
bahasa resmi yang diajarkan di sekolah sebagai bahasa asing meskipun bahasa tersebut tidak
memiliki status yang resmi di dalam suatu negara (ibid: 4).
Peran khusus tersebut sudah dimiliki oleh bahasa Inggris. Bahasa Inggris menjadi
bahasa kedua di beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.
Bahasa Inggris di Indonesia juga sudah memiliki peran khusus, yaitu menjadi bahasa asing yang
wajib dipelajari di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat atas. Hal yang
diharapkan dari pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah tentu saja agar masyarakat
Indonesia mengerti bahasa Inggris yang sudah menjadi bahasa Internasional. Dari pengajaran
bahasa Inggris di sekolah terlihat bahwa pemerintah Indonesia menganggap penting Bahasa
Inggris.
Dari penjelasan di atas, bahasa Inggris menjadi bahasa global karena ia memiliki
kekuatan dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Kekuatan tersebut disebabkan oleh politik
dan ekonomi yang berada di belakang bahasa tersebut. Akan tetapi, saat ini penyebaran
bahasa Inggris tidak lagi semata-mata karena politik, tetapi juga karena globalisasi. Saat ini,
bahasa Inggris sudah masuk ke dalam ranah internasional di bidang politik, bisnis, komunikasi,
hiburan, media, dan pendidikan. Sebagai contoh, PBB menggunakan bahasa Inggris sebagai
salah satu bahasa utama, begitu juga ASEAN.
Untuk melihat persebaran bahasa Inggris, dapat dilihat bagan yang dibuat oleh Braj
Kachru (dalam Crystal, 2003: 60) yang membagi persebaran bahasa Inggris menjadi tiga
bagian. Bagian pertama adalah inner circle yang merujuk pada negara-negara yang
menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Irlandia,
Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Bagian kedua adalah outer circle yang merujuk pada
negara-negara yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, tetapi bahasa
kedua, seperti Singapura, India, dan lainnya. Bagian ketiga adalah expanding circle yang
merujuk pada negara-negara yang meskipun tidak memiliki sejarah kolonialisasi dengan
Inggris dan tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi memahami bahwa
bahasa Inggris penting dipelajari sebagai bahasa Internasional, beberapa contohnya adalah
Jepang, Cina, dan termasuk juga Indonesia.
Saat ini, globalisasi juga turut berperan dalam penyebaran bahasa Inggris, seperti yang
dikatakan Canagarajah (dalam Zentz, 2012: 19), globalisasi membuat batasan negara-bangsa
kabur dan memasukkan kepentingan untuk menggunakan bahasa Inggris bagi semua
komunitas. Menurut Zentz (2012), Globalisasi sendiri bagi beberapa akademisi berarti masa
ketika hegemoni Barat meningkat, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa
globalisasi adalah era ketika interkonetivitas antara individu, grup, dan negara-negara di dunia
meningkat. Globalisasi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya oleh media
dan internet.
Media dan internet yang semakin marak di era globalisasi inilah yang juga menjadikan
bahasa Inggris di Indonesia semakin menjamur penggunaannya. Bahasa Inggris kini tidak
hanya hadir si setiap sekolah, tetapi juga di televisi, radio, papan iklan, serta media sosial di
Internet. Keberadaan bahasa Inggris kini bukan lagi hal aneh. Bahkan bahasa Inggris dapat
muncul dalam percakapan. Di Indonesia, bahasa Inggris memiliki citra yang baik. Penuturnya
adalah orang-orang yang berpendidikan, baik ketika menggunakan bahasa inggris dalam
seluruh percakapan atau hanya menggunakan satu atau dua frasa bahasa Inggris (Sneddon
dalam Zentz, 2012: 154). Menurut Pennycook (dalam Zentz, 2012), kegiatan “Englishing”
menunjukkan usaha untuk menetapkan diri dan untuk dikenal oleh orang lain. Kegiatan
tersebut dibentuk oleh pendidikan yang tinggi, mobilitas, kekayaan, prestise, dan kontak
dengan dunia di luar batas negara Indonesia.
Bahasa Inggris pun kini telah menyentuh ranah sastra di Indonesia. Pada tahun 2016,
Gramedia, KPG dan POP3 menerbitkan lima buku sastra berbahasa Inggris yang penulisnya
merupakan orang Indonesia.4 Genre yang diterbitkan tersebut adalah prosa dan puisi.
Sebenarnya, sebelum Gramedia menerbitkan karya berbahasa Inggris tersebut, sudah ada
karya-karya berbahasa Inggris yang diterbitkan di Indonesia, tetapi biasanya diterbitkan oleh
3 Ketiganya berada dalam payung besar perusahaan Gramedia. 4 Selanjutnya disebut sastra berbahasa Inggris.
penerbit independen. Contohnya saja novel Underground karya Ika Natassa yang diterbitkan
oleh Nulisbuku.com pada 2010. Selain itu, terdapat pula komunitas sastra di Indonesia yang
menggunakan bahasa Inggris dalam aktivitas literasinya, salah satu contohnya adalah Murmur
House yang juga menerbitkan antologi karya menggunakan bahasa Inggris.
Sastra berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit independen mengindikasikan
bahwa sastra berbahasa Inggris di Indonesia masih merupakan hal baru yang bertentangan
dengan arus utama yang didominasi oleh penerbit besar. Penerbitan sastra berbahasa Inggris
oleh penulis Indonesia di penerbit besar merupakan fenomena baru. Pada September 2015,
penerbit POP yang merupakan lini produk KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) menerbitkan
novel karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya—yang dicetak ulang pada Februari 2016. Masih di
tahun 2015, KPG menerbitkan kumpulan cerpen Rain Chudori yang berjudul Monsoon Tiger
and Other Stories. Pada Februari 2016, novel Ika Natassa berjudul Underground diterbitkan
ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Pada bulan Mei 2016, POP menerbitkan buku Naela Ali
yang merupakan cerita singkat yang dilengkapi dengan ilustrasi yang digambar oleh dirinya
berjudul Stories for Rainy Days. Masih ada Lala Bohang yang bukunya dicetak untuk kedua kali
pada Agustus 2016. Semua penerbit buku-buku sastra berbahasa Inggris berada di bawah
payung besar Gramedia, salah satu penerbitan dan toko buku terbesar di Indonesia. Akan
tetapi, penelitian ini tidak akan membahas karya Ika Natassa karena karyanya pernah
diterbitkan di penerbit lain sebelum di Gramedia.
SASTRA BERBAHASA INGGRIS DAN KEDUDUKANNYA DALAM KHAZANAH KESUSASTRAAN
INDONESIA MODERN
Telah disebutkan sebelumnya, tulisan ini mencoba melihat kecenderungan empat
karya sastra berbahasa Inggris, yakni Monsoon Tiger and Other Stories karya Rain Chudori,
Stories for Rainy Days karya Naela Ali, Beats Aparts karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, dan
The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Dari keempat karya tersebut, tiga karya
dapat dikategorikan sebagai prosa, yakni Monsoon Tiger and Other Stories, Stories for Rainy
Days, dan Beats Aparts; dan satu karya masuk kategori puisi, The Book of Forbidden Feelings.
Meskipun demikian, dari keempat karya sastra berbahasa Inggris tersebut, hanya satu karya
saja yang secara struktur dapat dikatakan konvensional, yakni Monsoon Tiger and Other
Stories karya Rain Chudori. Sementara, ketiga karya lainnya, Stories for Rainy Days, Beats
Aparts, dan The Book of Forbidden Feelings disajikan cukup inovatif dengan memadukan
bentuk prosa liris dan gambar.
Monsoon Tiger and Other Stories merupakan karya salah satu pengarang muda
Indonesia, Rain Chudori, yang juga merupakan anak dari Leila S. Chudori, pengarang Indonesia
yang cukup dikenal. Buku ini merupakan kumpulan delapan cerpen. Kedelapan cerpen
tersebut dapat dikatakan sebagai cerita yang mengusung problematika anak muda urban
dengan kegelisahan, kegamangan, dan kebebasannya. Hampir seluruh ceritanya bercerita
mengenai kehidupan anak muda urban dengan kehidupan domestiknya, sosialisasinya dengan
kawan atau bahkan hubungan percintaannya. Latar dari cerpen-cerpen tersebut sebagian
besar berada di rumah ataupun taman yang identik dengan kehidupan urban. Hampir seluruh
latarnya tidak begitu jelas merujuk pada tempat dan waktu tertentu di kehidupan nyata,
hanya pada cerita “Taman Gajah” latar waktunya dapat diperkirakan berkisar pada tahun
1998, itu pun hanya dapat dilihat secara implisit. Sementara, tokoh-tokohnya merupakan
seorang anak muda dengan budaya dan identitas urban. Mereka selalu ditampilkan dengan
kegelisahan dan bersolilokui dengan penggunaan sudut pandang “aku”. Salah satu contoh
kutipan cerita pendek Rain Chudori dalam buku Monsoon Tiger and Other Stories sebagai
berikut.
Love is repertoire to our childhood. I was born in a white house with a roof that touech the sky, to a father who built and a mother who slept. Our bedrooms were quiet and endless, but that was how we established intimacy. The living room was rarely occupied, but there were always the hum of the radio and the sound of footsteps. It was always as if you arrived just after everyone had left. Though we never left the house, we bathed often and there were always warm, soapy water puddles on the tiled floor. We placed windows in every room, and though there were curtains, we never closed them. Speaking was not an ability we needed, loving even more so. We had found the ability to be safe and sound. We lived in a dollhouse, strong and rooted into our own wounds. (Chudori, 2016: 56)
Kutipan tersebut merupakan nukilan cerita dari cerpen “The Dollhouse”. Dalam
kutipan terlihat bahwa narator yang juga sebagai vokalisator adalah tokoh aku, yang
bersolilokui mendeskripsikan keadaan rumah dan keluarganya. Dari kutipan tersebut pula,
secara implisit, terlihat nada-nada kesepian dan kegelisahan hidup di keluarga urban, seperti
terlihat dalam penggunaan kata-kata “quiet”, “rarely occupied”, maupun “speaking … not …
needed”. Bentuk cerita pendeknya pun dapat dilihat dalam bentuk paragraf yang konvensional
dan dapat dinikmati layaknya cerita pendek pada umumnya.
Ketiga karya sastra berbahasa Inggris lain, Stories for Rainy Days, Beats Aparts, dan The
Book of Forbidden Feelings5, disajikan dalam bentuk sastra yang lebih inovatif. Dua prosa,
Stories for Rainy Days, dan Beats Aparts berkecenderungan ditampilkan dalam bentuk bait
layaknya puisi yang ditampilkan dengan gambar. Stories for Rainy Days karya Naela Ali
merupakan kumpulan cerita-cerita sangat pendek yang dikombinasikan dengan gambar-
gambar yang mengilustrasikan cerita. Atau sebaliknya, cerita tersebut yang mendeskripsikan
gambar. Sebagian besar ceritanya bertema tentang percintaan dan gaya berceritanya
berbentuk solilokui, mirip dengan karya Rain Chudori. Hanya saja, cerita ini terkesan lebih
berwarna karena gambar, lebih populer, lebih pendek, dan beberapa ceritanya berbentuk
prosa liris.
Beat Aparts, karya Alanda Kariza dan Kevin Aditya, merupakan sebuah novel yang
bercerita tentang seseorang yang bersenandung atau gelisah karena perselingkuhan. Namun,
di akhir cerita, pada akhirnya si tokoh Aku lebih memilih untuk bersama selingkuhannya. Sama
seperti karya Rain dan Naela Ali, sudut pandang dalam novel ini memakai sudut pandang
akuan. Selain itu, cerita ini juga disertai dengan foto di setiap babnya. Dalam hal ini, gambar
dan cerita terjuktaposisi dan bersanding membentuk cerita dengan estetika yang menarik.
Tidak hanya itu, yang cukup unik adalah seluruh pembabakan cerita dalam novel ini berbentuk
bait, prosa liris. Bentuk prosa liris sebenarnya bukan bentuk baru, Linus Suryadi A.G pernah
menyajikannya dalam Pengakuan Pariyem. Akan tetapi, prosa liris ini menunjukkan sesuatu
yang baru, yakni penyajian bentuk bait layaknya puisi konkret yang pernah digunakan dalam
karya-karya Sutarji, Remy Sylado, maupun Danarto.
Sementara itu, The Book of Forbidden Feelings merupakan sebuah puisi karya Lala
Bohang. Meskipun Lala Bohang tidak menyebutkan karyanya sebagai puisi, tetapi bukunya
tersebut dapat dilihat sebagai puisi karena dalam buku tersebut disajikan gambar dan tulisan
yang saling berkait-kelindan membentuk ekspresi puitik. Tulisan dan gambar tersebut
memang terlihat bercerita, tetapi dalam penyajiannya tidak terlihat adanya kelengkapan
unsur-unsur prosa, seperti alur, latar, maupun tokoh. Karena itulah, karya tersebut daoat
dikatakan sebagai sebuah puisi. Sastra berbentuk gambar dan tulisan yang disajikan menjadi
5 Kutipan ketiga karya tersebut dapat dilihat dalam Lampiran.
satu dan membentuk ekspresi puitik tersebut tidak bisa dimungkiri sebagai sebuah inovasi
dalam bersastra seiring dengan kemajuan teknologi informasi saat ini—selain karena Lala
Bohang sendiri seorang desainer grafis. Hal itu sejalan dengan perkembangan sastra yang
dipaparkan Sapardi Djoko Damono. Damono (2014:180—181) memaparkan bahwa teknologi
tidak berniat memisahkan bunyi dan aksara (termasuk gambar), malahan menyandingkannya.
Aksara itu sendiri merupakan sebuah gambar mati yang dicoretkan pada kertas atau media
lainnya. Bentuk cetak puisi yang menyajikan sastra dan gambar sebenarnya pernah pula
dibuat oleh Joko Pinurbo dalam bukunya, Haduh, aku di-follow, yang merupakan terbitan
cetak dari kumpulan puisinya di Twitter. Dalam bukunya itu, puisi-puisi Joko Pinurbo seolah
bersanding bersama dengan gambar dalam menyampaikan imaji dan cerita.
Dari pemaparan singkat di atas, kecenderungan struktur maupun tema dari sastra-
sastra berbahasa Inggris di Indonesia tersebut tidaklah melenceng jauh dari sastra-sastra yang
juga berkembang saat ini. Jika memang terjadi inovasi dalam bentuknya, itu bukanlah hal yang
keluar batas. Sebab, perkembangan teknologi informasi memang membuat produksi dan
reproduksi sastra menjadi lebih mudah dan cepat. Karena itu pula, proses pengaruh dan
memengaruhi dalam bersastra juga sangat longgar. Dengan demikian, apakah sastra
berbahasa Inggris ini merupakan sebuah perkembangan baru dalam kesusastraan Indonesia
modern? Dalam menjawab pertanyaan ini penulis akan memperhatikan tiga hal sebagai
landasan.
Pertama, penulis mencoba merujuk kembali ke pernyataan Damono (1983: 131—132)
bahwa batasan untuk menyebut sastra sebagai sastra Indonesia dapat dilihat dari dua aspek,
(1) karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penulis berkewarganegaraan
Indonesia; (2) karya sastra yang ditulis oleh Warga Negara Indonesia dalam bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia. Melalui pernyataan Damono tersebut, dapat diambil dua kata kunci,
yakni Warga Negara Indonesia dan bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa di
Indonesia). Hampir senada dengan Damono, Pujiharto (2016: 288) dalam tulisannya,
Reorientation of Literary Study: From Indonesian Literature to Literature in Indonesia,
menyatakan bahwa sastra sebuah negara dapat ditentukan melalui dua aspek, yakni bahasa
negara tersebut ataupun batasan negara itu sendiri. Dari pernyataan Pujiharto tersebut dapat
ditambahkan satu kata kunci lagi, yakni batas kenegaraan. Dengan demikian, ada tiga kata
kunci penting, yakni WNI, negara, dan bahasa.
Untuk kata kunci pertama dan kedua, dapat dijawab dengan jelas, seperti yang telah
disebutkan pada bahasan sebelumnya, bahwa para pengarang dari sastra berbahasa Inggris
ini merupakan Warga Negara Indonesia. Selain itu, buku ini juga diterbitkan di Indonesia dan
segmentasinya adalah pembaca Indonesia sehingga persebaran karyanya berpusat di
Indonesia.
Untuk menyesuaikan kata kunci ketiga, yakni bahasa di dalam Negara Indonesia,
penulis melihat bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah sering digunakan di
Indonesia karena proses globalisasi dan peraturan pemerintah yang mewajibkan bahasa
Inggris dipelajari di sekolah—seperti disebutkan dalam bahasan sebelumnya. Selain itu, dapat
diketahui pula, pengarang sastra berbahasa Inggris yang telah disebutkan merupakan orang-
orang yang berpendidikan dan sering menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya. Rain
Chudori merupakan founder komunitas sastra The Murmur House yang menggunakan bahasa
Inggris.6 Dia juga sudah sering menulis untuk berbagai media dalam bahasa Inggris. Naela Ali
merupakan ilustrator dan desainer grafis dan mempunyai brand sendiri untuk produk-produk
yang menggunakan karyanya, yaitu Asobi. Alanda Kariza merupakan seorang penulis dan
aktivis. Ia sudah menerbitkan delapan buku dan membentuk Indonesian Youth Conference.
Sementara itu, Kevin Aditya sering menulis di lamannya menggunakan bahasa Inggris dan
memfokuskan diri pada urban planning.7 Lala Bohang merupakan lulusan Universitas
Parahyangan jurusan arsitektur. Dia merupakan seniman dan ilustrator yang sering
berpartisipasi dalam berbagai pameran seni.
Para penulis tersebut memang sudah akrab dengan bahasa Inggris di dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Selain itu, para penulis tersebut berada pada kisaran umur yang masih
relatif muda. Mereka adalah generasi yang sangat akrab dengan media sosial dan internet.
Jika melihat media sosial atau laman mereka, mereka sering sekali menggunakan bahasa
Inggris untuk mengungkapkan pikiran mereka.
Hal Kedua yang menjadi landasan penulis mempertimbangkan sastra berbahasa
Inggris tersebut dapat dimasukkan dalam khasanah kesusastraan Indonesia Modern adalah
karena penggunaan bahasa Inggris sendiri di dalam sebuah negara, terutama negara dunia
ketiga, sudah wajar dianggap sebagai medium saja. Hal ini merujuk pada penelitian Z. N. Patil
6 Untuk melihat tulisan-tulisannya, dapat masuk ke laman rainchudori.com 7 Laman Kevin Aditya adalah kevinaditya.com
(2006) yang menyatakan bahwa terjadi pergeseran dalam penggunaan dan pemaknaan
bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak lagi sebagai representasi bahasa Barat atau bentuk
kanonisasi bahasa, tetapi menjadi medium yang wajar di penjuru dunia. Dalam hal ini,
penggunaan bahasa Inggris dalam sastra berbahasa Inggris bisa dilihat hanya sebagai media
untuk berkomunikasi dengan pengguna bahasa Inggris lain. Dengan demikian, sastra
berbahasa Inggris tersebut juga dapat diasumsikan sebagai upaya menuju ranah global—
termasuk berpartisipasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Masyarakat Ekonomi ASEAN resmi dijalankan pada 2015 berdasarkan Deklarasi ASEAN
di Bali pada 2003. Sehubungan dengan persiapan MEA, pada 2010, ASEAN membuat Master
Plan untuk konektivitas ASEAN yang mengingkatkan konektivitas regional di tiga bidang, yaitu
konektivitas fisik, konektivitas institusi, dan konektivitas antarmanusia yang diharapkan akan
mempermudah arus perdagangan dalam hal barang, jasa, dan investasi (Pomfret & Das, 2013:
280). Tujuan dari MEA ini adalah mengembangkan konektivitas dan mengurangi kesenjangan
pembangunan di antara negara ASEAN (ibid).
Agar sastra dari Indonesia dapat dinikmati oleh orang-orang di negara lain, bahasa
yang digunakan haruslah bahasa penghubung negara-negara tersebut. Bahasa penghubung di
ASEAN adalah bahasa Inggris. Oleh karena itu, penerbitan karya-karya sastra berbahasa Inggris
oleh penerbit besar di Indonesia dapat dilihat sebagai salah satu strategi pemasaran. Terlebih
lagi jika melihat tahun terbit karya-karya tersebut yang dimulai pada 2015 yang juga
merupakan tahun penerapan MEA. Karya-karya sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh
penulis Indonesia memang disebarluaskan di toko buku-toko buku besar di Indonesia, tetapi
penggunaan bahasa Inggris di dalam karya tersebut membuatnya lebih mudah dipasarkan
lintas-negara. Naela Ali dalam instagramnya menghadiahkan Stories for Rainy Days untuk
orang-orang yang me-repost gambar bukunya. Orang-orang yang dimaksud Naela Ali tidak
harus berasal dari Indonesia, tetapi worldwide. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu strategi
penulis dalam memasarkan karyanya. Karya-karya sastra berbahasa Inggris yang diterbitkan
oleh penerbit besar di Indonesia ini dapat dilihat sebagai hasil dari globalisasi melalui MEA dan
Internet.
Sementara, landasan ketiga untuk memasukkan sastra berbahasa Inggris ke dalam
khasanah kesusastraan Indonesia adalah pertimbangan karya sastra berbahasa Inggris itu
sendiri untuk diterima sebagai karya yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Seperti telah
disebutkan, karya sastra berbahasa Inggris ini secara struktur dan tema bukanlah karya yang
di luar batas estetika sastra Indonesia itu sendiri. Tema-tema individualis dan bahaya
modernisasi dalam kesusastraan Indonesia bahkan sudah muncul dari awal kemerdekaan.
Sementara, dari segi struktur, karya sastra berbahasa Inggris ini cukup wajar mengingat
perkembangan teknologi informasi yang juga memengaruhi inovasi dalam berkarya. Karya-
karya Joko Pinurbo atau beberapa pengarang Indonesia kontemporer juga sudah
menampilkan juktaposisi tulisan dengan gambar dalam karyanya. Salah satu hal yang paling
penting, karya sastra berbahasa Inggris ini, yang segmentasi utamanya masyarakat Indonesia,
telah laris terjual di Indonesia. Bahkan, seperti telah disebutkan, beberapa karya sastra
berbahasa Inggris ini memasuki cetakan ketiganya hanya dalam tempo kurang dari satu tahun.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, sastra berbahasa Inggris yang ditulis oleh
penulis Indonesia dapat dikatakan masuk ke dalam khazanah sastra Indonesia karena
beberapa aspek. Pertama, penulis dari sastra berbahasa Inggris tersebut merupakan penulis
yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; karya sastra tersebut diterterbitkan dan memiliki
pasar utama di Indonesia; serta globalisasi membuat bahasa Inggris menjadi bahasa yang
lazim digunakan di dalam keseharian masyarakat Urban.
Kedua, penggunaan bahasa Inggris sebagai medium sastra tidak serta-merta
menjadikan sastra tersebut sebagai representasi bangsa Barat. Globalisasi menyebabkan
bahasa Inggris masuk ke dalam ranah sastra karena pengaruh globalisasi dari internet.
penggunaan bahasa Inggris dalam karya-karya sastra ini juga dapat dilihat sebagai salah satu
cara untuk berpartisipasi dalam MEA.
Ketiga, karya sastra berbahasa Inggris memiliki masyarakat pembaca di Indonesia.
karya-karya sastra berbahasa Inggris laris terjual hingga beberapa karya harus cetak ulang
untuk ketiga kalinya dalam tempo kurang dari setahun. Selain itu, struktur maupun tema di
dalam sastra berbahasa Inggris ini tidak jauh berbeda dengan sastra berbahasa Indonesia yang
terbit akhir-akhir ini. Inovasi bentuk dalam sastra berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh
penerbit besar ini dianggap wajar karena pengaruh perkembangan teknologi informasi saat
ini.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Naela. 2016. Stories for Rainy Days. Jakarta: POP.
Bohang, Lala. 2016. The Book of Forbidden Feeling. Jakarta: Gramedia.
Chudori, Rain. 2015. Monsoon Tiger and Other Stories. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 2001. “Sumbangan Sastra dalam Pengembangan Bahasa” dalam Meretas Tanah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya.
Crystal, David. 2003. English as Global Language. New York: Cambridge University Press.
Kariza, Alanda & Kevin Aditya. 2016. Beats Apart. Jakarta: POP.
Crystal, David. 2003. English as Global Language. New York: Cambridge University Press.
Nio, Joe Lan. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung.
Patil, Z.N. 2004. “On The Nature and Role of English in Asia” dalam www.linguistics-journal.com/2014/01/09/on-the-nature-and-role-of-english-in-asia/. Diunduh pada tanggal 17 Oktober 2016.
Pomfret, Richard & Sanchita Basu Das. 2013. “Subregional Zones and ASEAN Economic Community” dalam The ASEAN Economic Community: A Work in Progress. Singapura: ISEAS Publishing.
Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah: Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.
Zentz, Lauren. 2012. Global Language Identities and Ideologies in an Indonesian University Context. Disertasi. Arizona: University of Arizona.
Rosidi, Ajip. 1988. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: CV Haji Masagung.