I tulah lontaran Triyanto Triwikromo mengawali sesi pertama pelatihan ”Jurnalisme Arsitektur”, yang diadakan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Tengah, Sabtu (3/2). Triyanto lalu mengajak peserta melihat arsitektur dari sudut pan- dang lain. Melalui kutipan karya Franz Kafka (1883-1924), Triyanto membedah pemaknaan ruang oleh Kafka lewat teks novel atau cer- pennya. Secara formal, Kafka sering mendeskripsikan ruang atau elemen ruang sebagai latar atau analogi peristiwa. Lebih dari itu, teks Kafka kerap membawa pembaca ke pemaknaan ruang lebih cair. Lewat beberapa kalimat dalam novel Metamorfosis (1915) dan Proses (1925), Triyanto menunjukkan eksplorasi Kafka terhadap arsitektur sampai ke ruang-ruang sangat imajiner: ruang cahaya, ruang mimpi, ruang kemanusiaan, ruang kebebasan, ruang keterikatan. ”Mempersoalkan ruang mimpi dan ruang riil adalah mem- bicarakan arsitektur. Mempersoalkan ruang kemanusiaan dan ruang kebinatangan juga memperbincangkan arsitektur. Bahkan memper- soalkan waktu mimpi dan waktu terjaga adalah meributkan arsitek- tur. Perpindahan dari kebebasan ke keterikatan, perpindahan dari kebebasan dan keterpenjaraan, perpindahan dari kenyamanan ke penyiksaan adalah persoalan arsitektur juga,” tegas dia. Lewat paparan singkat tentang karya Kafka, yang untuk sementa- ra Triyanto sebut ”sastra arsitektural” atau karya sastra yang mampu membangkitkan imaji arsitektural pembaca, muncul pertanyaan: bagaimana dengan jurnalisme arsitektur? Apakah jurnalisme arsitektur hanya didominasi reportase tentang seni dan ilmu meran- cang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dan seba- gainya? Atau hanya pengabaran metode dan gaya rancangan bangunan? ”Arsitektur bukanlah dunia kering, melainkan terus bergerak dinamis. Karena itu, ia harus diwadahi dengan jurnalisme yang kre- atif,” tutur Triyanto. Triyanto kemudian berbagi teknik penulisan kreatif dan perubah- an paradigma dalam jurnalisme kini. Dia menyimpulkan jurnalisme arsitektur adalah gabungan jurnalisme sastrawi dan kelenturan arsitektur yang terus begerak. Pelatihan di Gedung C Hotel UTC Sampangan, Semarang, itu berlangsung sehari penuh. Peserta 30 orang, sebagian besar pengu- rus dan anggota IAI Daerah Jawa Tengah (17 orang), mahasiswa arsitektur dari beberapa perguruan tinggi di Semarang (sembilan), dan wakil jurnalis (empat). IAI Jawa Tengah merasa perlu menyelenggarakan pelatihan itu untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan jur- nalistik arsitek dan mahasiswa arsitektur yang berminat menulis soal arsitektur. Pe- latihan juga untuk meningkat- kan pengetahuan dan wawasan ar- sitek- MINGGU, 11 FEBRUARI 2018 GEDUNG Bank Indonesia Semarang adalah bangunan perta- ma di kota Semarang yang mengaplikasikan Glass Reinforced Cement (GRC) expose sebagai penyelesaian akhir dari fasad bangunannya. Bangunan yang dirancang (oleh Arsitek Iman Sudibyo, IAI almarhum dan Tim), dan dibangun pada akhir dekade 80-an (1989-1990). Bangunan yang berlokasi di Jalan Imam Bardjo, Semarang ini seakan menjadi tetenger kawasan tersebut, bersinergi dengan bangunan2 lainnya. Pada era dekade 80-an tersebut di Jawa Tengah sedang gencar didengungkan konsep pembangunan ber-Wawasan Jatidiri, yang di antaranya mendorong agar dalam proses pembangunan, terma- suk pembangunan fisik untuk memiliki konsep dan memunculkan identitas serta karakter lokal Jawa Tengah. Sehingga pada era ter- sebut banyak ditemui bangunan dengan tampilan luar (terutama bentuk atap) mengadopsi arsitektur Rumah Joglo, meskipun tata ruang dalam bisa sama sekali berbeda dari asalnya. Pada era yang demikian, nampak bahwa dalam strategi perancangan Gedung Bank Indonesia Semarang, dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dalam upaya untuk memberi warna tradisional (tampilan dan aura), pada bangunan yang moderen (fungsi dan tatanan fisik). Hal ini terlihat pada rancangan gubahan massa yang dari bleger (sosok) bangunannya memunculkan dengan kuat proporsi “Kepala-Badan-Kaki”. Tampilan massa yang mengingatkan pada proporsi bangunan-bangunan candi di Jawa. Bangunan Bank Indonesia Semarang ini juga memiliki tampilan khas pada kulit muka bangunan yang membiarkan lapisan kulit ba- ngunan, terbuat dari bahan GRC dan ditampilkan apa adanya tanpa lapisan finishing tambahan lain seperti cat atau bahan pelapis lainnya. Hasilnya adalah karakter rigid dan kokoh yang memperkuat sosok massa bangunan yang monolith, simetris dan menonjol, serta mene- gaskan citra institusi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Pengolahan muka/ fasad dengan bahan bangunan moderen yang diterapkan juga menyentuh pada area detil bangunan yang secara konsisten mengolah semua tampilan dengan karakter yang rigid, formal dan “dingin”. Termasuk pada sentuhan disain pada komponen-komponen fungsional seperti konsol teritis/ atap, detil naungan matahari ( sun shading) bahkan talang corong. Pendekatan Upaya menghadirkan sentuhan tradisional juga coba dihadirkan dengan olahan ornamen-ornamen pada sudut-sudut dinding mau- pun finishing komponen-komponen detil lainnya, semua konsisten menggunakan finishing GRC dipadukan dengan beton ekspose yang digerinda pada umpak kolom. Pendekatan sosok monolith yang kuat bisa disejajarkan dengan pendekatan dengan bertitik berat pada kon- sep Master Form. Pendekatan sosok bangun- an yang menonjol dan monolith juga sejalan dengan ide dasar bahwa bangunan yang diwu- judkan bukan hanya berangkat dari faktor ”guna” yang dibutuhkan, lebih dari itu bangunan juga dibuat dalam rangka memuaskan penghuninya akan segi-segi keindahan dan pesan-pesan sosio-kultural di dalamnya. Dengan kata lain bangunan haruslah mempu- nyai ìjiwaî dan jiwa terwujudkan dalam bentuk ìcitraî. (Mangunwijaya, 1988 : 52). Spot unik bagi warga kota Semarang dan masyarakat, antara lain area pusat kota Simpanglima dan sekitarnya dan ruas Jalan Imam Bardjo yang bersimpul di titikAir Man- cur dan Gedung Bank Indonesia Semarang. Gedung yang menjadi salah satu unggulan Aga Khan Award for Architecture 1990-1992. Serta dinugerahi Penghargaan Arsitektur IAI Jawa Tengah pada penghujung dasa- warsa 90-an.(63) — Nuky Krishna Rajasa | Arsitek; Wakil Ketua Bidang Pengabdian Profesi IAI Daerah Jawa Tengah Gedung Bank Indonesia Salah Satu Ikon Arsitektur Oleh Nuky Krishna Rajasa* TIDAK banyak sastrawan yang memanfaatkan arsitektur sebagai sebagai penyampai makna. Kafka, pengarang yang diperebutkan sebagai milik Republik Ceko, Austria, dan Jerman, adalah salah satu dari yang sedikit itu. Sastra - Arsitektur yang Beradu Pandang tur para jurnalis. Sebagai organisasi profesi arsitek, IAI Jawa Tengah bertanggung jawab membangun sistem informasi arsitektur yang baik. Dengan harapan, anggota mampu meningkatkan wawasan, menum- buhkan apresiasi masyarakat luas, sekaligus merep- resentasikan perkembangan arsitektur Indonesia. Secara bertahap tanggung jawab itu akan diwujud- kan melalui penerbitan berkala: rubrik arsitektur di media massa umum, jurnal/majalah, yang akan ter- integrasi dengan media online dan media sosial. Hal itu tentu butuh sumber daya penulis mumpuni. Selain berguru pada Triyanto Triwikromo (sas- trawan, jurnalis, dan Redaktur Pelaksana Suara Merdeka), IAI Jawa Tengah menghadirkan Imelda Akmal (penulis arsitektur, Chief Editor Archinesia Bookgazine, direktur Imaji Publishing) sebagai pemateri sesi kedua. Dia adalah arsitek yang memutuskan fokus meniti karier bidang penulisan dan publikasi arsitektur. Pengaruh Publikasi Imelda Akmal menggambarkan seberapa besar pengaruh publikasi arsitektur terhadap perkem- bangan arsitektur. Secara khusus dia mencontohkan salah satu jenis publikasi arsitektur: monograf. Seperti dicatat Roland Hagenberg, dalam monograf Tadao Ando (arsitek Jepang) ”The Untouchable Architect Tadao Ando in 20 Japanese Architects” (2009): seorang arsitek Prancis telah memasuki hidupAndo lewat sebuah toko buku bekas di Osaka; katalog langka dari gambar Le Corbusier jatuh ke tangannya. Katalog itu menjadi kitab suci yang menuntun dia menuju arsitektur modern. Dia juga memaparkan catatan Philip Jodidio dalam monograf Santiago Calatrava (arsitek Spanyol) ”Calatrava Complete Works 1979-2009”, ”Suatu hari saya pergi membeli beberapa barang di toko buku dan alat tulis di Valencia, dan saya melihat sebuah buku kecil .... lalu saya segera membeli. Ternyata buku tentang Le Corbusier, yang karyanya merupakan penemuan bagi saya . ... hasil dari membeli buku kecil itu, saya memutuskan pindah ke sekolah arsitektur.” Imelda menunjukkan bagaimana publikasi arsitektur mampu berkontribusi terhadap per- kembangan pemikiran dan gagasan para arsitek dunia. Pengalaman menulis arsitektur di Femina (1993-1996) membawa dia menulis buku pertama, Menata Rumah Mungil (Gramedia, 1996). Dia menceritakan buku itu lahir dari keresahan akan kemerabakan rumah tipe kecil waktu itu, yang tak didu- kung ketersediaan furniture set dan elemen interior yang sepadan di pasaran. Lewat buku itu, Imelda memberikan prinsip penataan ruang rumah kecil, sehingga berfungsi optimal, berkesan lebih luas, dan nyaman dihuni, tanpa kehilangan unsur estetika. Imelda lalu mendirikan Imaji Books Publishing, sebagai solusi di tengah keminiman penerbit di Indonesia yang mau mener- bitkan buku arsitektur bermutu. Soal penulisan arsitektur, Imelda fokus ke jenis tulisan ulasan karya. Dia memaparkan beberapa prinsip penulisan, termasuk tipologi ulasanberupa deskripsi, narasi sudut pandang paling menonjol, serta argumen/kritik. Dia juga membagi tips se- putar penulisan dari jadi pembaca kritis ampai riset dan pengumpulan data yang cermat. Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Jawa Tengah, Sugiarto, menggarisbawahi arti penting publikasi arsitektur bagi arsitek dan masyarakat luas. ”Publikasi arsitektur berperan penting menularkan pengetahuan, membagi infor- masi, membangun dis- kusi.” (63) —Adji Nugroho, Sinfar IAI Daerah Jawa Tengah