1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Munculnya kejadian tuberculosis (TB) kebal obat merupakan suatu peringatan terhadap penanganan dan pengendalian TB secara global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 480.000 kasus Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) terjadi pada tahun 2013. Sedangkan di Indonesia dilaporkan terdapat 260 kasus MDR-TB yang terjadi pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 diperkirakan akan terdeteksi 1800 kasus (WHO 2014). Penatalaksanaan klinis MDR-TB lebih rumit dibandingkan dengan TB yang sensitif, karena mempergunakan OAT lini I dan lini II. Pada tatalaksana TB yang sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan, sedangkan pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan berlangsung selama 18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering dihubungkan dengan kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat (Holtz et.al, 2010). Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah menggunakan obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus MDR TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi, mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4 (lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5 untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif dari kelompok sebelumnya. Terapi MDR-TB menggunakan beberapa jenis obat sehingga menyebabkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Munculnya kejadian tuberculosis (TB) kebal obat merupakan suatu peringatan
terhadap penanganan dan pengendalian TB secara global. World Health Organization
(WHO) memperkirakan sekitar 480.000 kasus Multidrug-resistant tuberculosis
(MDR-TB) terjadi pada tahun 2013. Sedangkan di Indonesia dilaporkan terdapat 260
kasus MDR-TB yang terjadi pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 diperkirakan akan
terdeteksi 1800 kasus (WHO 2014).
Penatalaksanaan klinis MDR-TB lebih rumit dibandingkan dengan TB yang
sensitif, karena mempergunakan OAT lini I dan lini II. Pada tatalaksana TB yang
sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan, sedangkan
pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan berlangsung selama
18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering dihubungkan dengan
kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat (Holtz et.al, 2010).
Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah menggunakan
obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai
yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus MDR
TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi,
mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4
(lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5
untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif
dari kelompok sebelumnya. Terapi MDR-TB menggunakan beberapa jenis obat
sehingga menyebabkan beberapa permasalahan dalam hal toleransi terhadap obat-
obatan tersebut. Respons masing-masing individu tidak dapat diprediksi, tetapi
pengobatan tidak boleh dihentikan hanya karena ketakutan terhadap reaksi yang
timbul (Lia, 2011).
Hanya sebagian dari pasien MDR-TB yang memulai pengobatan secara global
yang berhasil sembuh, hal ini dikarenakan kegagalan dalam follow-up (28%), hal ini
dikaitkan dengan efek samping obat, dan tingginya angka kematian (15%). Sebagai
tambahan, diperkirakan sekitar sepertiga kasus MDR-TB mungkin mempunyai koloni
yang resisten terhadap fluoroquinolones ataupun obat injeksi lini kedua
(aminoglycosides atau capreomycin), menyebabkan pengobatan menjadi semakin
sulit, dimana jalan lain yang dipilih yaitu hanya dengan menggunakan obat yang lebih
toksik (WHO 2014).
Pengobatan MDR-TB sering dikaitkan dengan kejadian efek samping, dengan
tingkatan yang beragam mulai dari efek samping yang ringan sampai yang dapat
mengancam jiwa, dimana hal ini dapat menyebabkan pengobatan harus dihentikan
2
sementara ataupun secara permanen. Penghentian pengobatan tersebut justru akan
menyebabkan kegagalan dalam pengobatan dan mungkin akan menyebabkan
peningkatan angka kegagalan pengobatan dan kematian pada pasien MDR-TB (Holtz
et.al, 2010).
Berdasarkan penelitian Bloss (2010), dikatakan bahwa kejadian efek samping
pada pengobatan MDR-TB merupakan hal yang umum dialami, dimana ditemukan
bahwa dari 79% kasus mengalami minimal satu dari efek samping yang berhubungan
dengan pengobatan. Efek samping yang umumnya dialami antara lain, mual (58%),
1) Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan
pasien.
2) Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas
farmasi RS Rujukan TB MDR untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir
pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh TAK. Jika pasien diobati
diRSRujukan TB MDRmaka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan
tersebut akan di simpan di Unit TB MDR RS RujukanTB MDR.
3) Jika pasien meneruskan pengobatan di RS Sub Rujukan/ fasyankes satelitTB
MDRmaka paket obat akan diambil oleh petugas farmasi RS
SubRujukan/fasyankessatelitTB MDRdari unit farmasiRSRujukan TB MDR
setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak diijinkan untuk
menyimpan obat.
4) Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
16
d. Pengobatan adjuvan pada TB MDR
- Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu: 1) Nutrisi tambahan: Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll). Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing– masing obat dengan jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.
Kortikosteroid.
- Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang digunakan adalah Prednison 1 mg/kg, apabila digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka dosis diturunkan secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
Penanganan Efek Samping OAT MDR
Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien TB
MDR karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek
samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama.
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai
kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat.
17
Penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan
pengobatan TB MDR. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
Efek samping ringan dan sedang yang sering muncul
NO Efek samping Kemungkinan OAT penyebab
Tindakan
1 Reaksi kulit alergi ringan
Z, E,Eto, PAS, Km, Cm - Lanjutkan pengobatan OAT. - Berikan Antihistamin p.o atau hidrokortison krim - Minta pasien untuk kembali bila gejala tidak hilang atau menjadi bertambah berat
Reaksi kulit alergi sedang dengan/ tanpa demam
Z,E,Eto, PAS, Km, Cm - Hentikan semua OAT dan segera rujuk keRS Rujukan. - Jika pasien dengan demam berikan parasetamol (0.5–1 g, tiap 4-6 jam). - Berikan kortikosteroid suntikan yang tersedia misalnyahidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, dandilanjutkan dengan preparat oral prednison atau deksametason sesuai indikasi.
2 Neuropati perifer Cs, Km, Eto, Lfx - Pengobatan TB MDR tetap dilanjutkan. - Tingkatkan dosis piridoksin sampai dengan 200 mg perhari. - Rujuklah ke ahli neurologi bila terjadi gejala neuropati berat (nyeri, sulit berjalan), hentikan semua pengobatan selama 1-2 minggu. - Dapat diobati dulu dengan amitriptilin dosis rendah pada malam hari dan OAINS. Bila gejala neuropati mereda atau hilang OAT dapat dimulai kembali dengan dosis uji. - Bila gejalanya berat dan tidak membaik bisa dipertimbangkan penghentian sikloserin dan mengganti dengan PAS. - Hindari pemakaian alkohol dan rokok karena akan memperberat gejala neuropati.
3 Mual muntah ringan
Eto, PAS, Z, E, Lfx -Pengobatan tetap dilanjutkan.
18
- Pantau pasien untuk mengetahui berat ringannyanya keluhan. - Singkirkan sebab lain seperti gangguan hati, diare karena infeksi, pemakaian alkohol atau merokok atau obatobatan lainnya. - Berikan domperidon 10 mg 30 menit sebelumminum OAT. - Untuk rehidrasi, berikan infus cairan IV jika perlu. - JIka berat, rujuk kePusat RujukanTB MDR
Mual muntah berat Eto, PAS, Z, E, Lfx. - Rawat inap untuk penilaian lanjutan jika gejala berat - Jika mual dan muntah tidak dapat diatasi hentikan etionamid sampai gejala berkurang atau menghilang kemudian dapat ditelan kembali. - Jika gejala timbul kembali setelah etionamid kembali ditelan, hentikan semuapengobatan selama 1 minggu dan mulai kembali pengobatan seperti dijadualkan untuk memulai OAT TB MDR dengan dosis uji yaitu dosis terbagi Jika muntah terus menerus beberapa hari, lakukan pemeriksaan fungsi hati, kadar kalium dan kadar kreatinin. - Berikan suplemen kalium jika kadar kalium rendah atau muntah berlanjut beberapa hari. Bila muntah terjadi bukan diawal terapi, muntah dapat merupakan tanda kekurangan kalium pada pasien yang mendapat suntikan kanamisin.
4 Anoreksia Z, Eto, Lfx - Perbaikan gizi melalui pemberian nutrisi tambahan -Konsultasi kejiwaan untuk menghi-langkan dampak psikis dan depresi - KIE mengenai pengaturan diet, aktifitas fisisdan istirahat cukup.
5 Diare PAS - Rehidrasi oral sampai dengan rehidrasi intravena bila muncul tanda dehidrasi
19
berat. - Penggantian elektrolit bila perlu - Pemberianloperamid,norit - Pengaturan diet, menghindari makanan yang bisa memicu diare. - Pengurangan dosis PAS selama masih memenuhi dosis terapi
6 Nyeri kepala Eto, Cs - Pemberian analgesik bila perlu (aspirin, parasetamol, ibuprofen). - Hindari OAINS pada pasien dengan gastritis berat dan hemoptisis. - Tingkatkan pemberian piridoksin men-jadi 300 mg bila pasien mendapat Cs. - Bila tidak berkurang maka pertimbang-kan konsultasi ke ahli jiwa untuk mengurangi faktor emosi yang mungkin berpengaruh. - Pemberian paduanparasetamol dengankodein atauamitriptilin bila nyeri kepala menetap.
7 Vertigo Km, Cm, Eto - Pemberian antihistamin-anti vertigo :betahistin metsilat - Konsultasi dengan ahli neurologi bila keluhan semakin berat - Pemberian OAT suntik 1 jam setelah OAT oral dan memberikan etionamid dalam dosis terbagibila memungkinkan.
8 Artralgia Z, Lfx - Pengobatan TB MDR dapat dilanjut-kan. - Pengobatan dengan OAINS akan membantu demikian juga latihan/ fisioterapi dan pemijatan. - Lakukan pemeriksaan asam urat, bila kadar asam urat tinggi berikanalopurinol. - Gejala dapat berkurang dengan perjalanan waktu meskipun tanpa penanganan khusus. - Bila gejala tidak hilang dan menggang-gu maka pasien dirujuk kePusat Rujukan TB MDR untuk
20
mendapatkan rekomendasi penanganan oleh TAK bersama ahli rematologi atau ahli penyakit dalam. Salah satu kemungkinan adalah pirazinamid perlu diganti.
9 Gangguan Tidur Lfx, Moxi - Berikan OAT golongan kuinolon pada pagi hari atau jauh dari waktu tidur pasien - Lakukan konseling mengenai pola tidur yang baik - Pemberian diazepam
10 Gangguan elektrolit ringan : Hipokalemi
Km, Cm - Gejala hipokalemi dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kejang, baal/numbness, kelemahan tungkai bawah, perubahan perilaku atau bingung - Hipokalemia (kadar < 3,5 meq/L) dapat disebabkan oleh:
Efek langsung aminoglikosida pada tubulus ginjal.
Muntah dan diare. - Obati bila ada muntah dan diare. - Berikan tambahankalium peroral sesuai keterangan tabel. - Jika kadar kalium kurang dari 2,3 meq/l pasien mungkin memerlukan infus IV penggantian dan harus di rujuk untuk dirawat inapdiPusat Rujukan TB MDR. - Hentikan pemberiankanamisin selama beberapa hari jika kadarkalium kurang dari 2.3 meq/L, laporkan kepada TAK ad hoc. - Berikan infus cairan KCl: paling banyak 10 mmol/jam Hati-hati pemberian bersamaan dengan levofloksasin karena dapat saling mempengaruhi.
11 Depresi Cs, Lfx, Eto - Lakukan konseling kelompok atau perorangan. Penyakit kronik dapat merupakan fakor risiko depresi. - Rujuk ke Pusat Rujukan TB MDR jika gejala
21
menjadi berat dan tidak dapat diatasi di fasyankes satelit/RS Sub Rujukan TB MDR. - TAK bersama dokter ahli jiwa akan menganalisa lebih lanjut dan bila diperlukan akan mulai pengobatan anti depresi. - Pilihan anti depresan yang dianjurkan adalah amitriptilin atau golongan SSRI (Sentraline/Fluoxetine) - Selain penanganan depresi, TAK akan merevisi susunan paduan OAT yang digunakan atau menyesuaikan dosis paduan OAT. - Gejala depresi dapat berfluktuasi selama pengobatan dan dapat membaik dengan berhasilnya pengobatan. - Riwayat depresi sebelumnya bukan merupakan kontra indikasi bagi penggunaan obat tetapi berisiko terjadinya depresi selama pengobatan.
12 Perubahan perilaku Cs - Sama dengan penanganan depresi. - Pilihan obat adalahhaloperidol - Pemberian 50mg B6 setiap 250mg Cs
13 Gastritis PAS, Eto - PemberianPPI (Omeprazol) - Antasida golongan Mg(OH)2 - H2 antagonis (Ranitidin)
14 Nyeri di tempat suntikan
Km, Cm - Suntikan diberikan di tempat yang bergantian - Pengenceran obat dan cara penyuntikan yang benar - Berikan kompres dingin pada tempat suntikan
15 Metalic taste Eto Pemberian KIE bahwa efek samping tidak berbahaya
Efek Samping Berat
No Efek Samping Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
1 Kelainan fungsi hati
Z,Eto,PAS,E,Lfx - Hentikan semua OAT, rujuk segera pasien ke Pusat
22
Rujukan PMDT - Pasien dirawat inapkan untuk penilaian lanjutan jika gejala menjadi lebih berat. - Periksa serum darah untuk kadar enzim hati. - Singkirkan kemungkinan penyebab lain, selain hepatitis. Lakukan anamnesis ulang tentang riwayat hepatitis sebelumnya. - TAK akanmempertimbangkan untuk - menghentikan obat yang paling mungkin menjadi penyebab. Mulai kembali dengan obat lainnya, apabila dimulai dengan OAT yang bersifat hepatotoksik, pantau fungsi hati.
2 Kelainan fungsi ginjal
Km, Cm - Pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes melitus atau riwayat gangguan ginjal harus dipantau gejala dan tanda gangguan ginjal : edema, penurunan produksi urin, malaise, sesak nafas dan renjatan. - Rujuk ke Pusat Rujukan PMDT bila ditemukan gejala yang mengarah ke gangguan ginjal. - TAK bersama ahli nefrologi atau ahli penyakit dalam akan menetapkan penatalaksanaannya. Jika terdapat gangguan ringan (kadar kreatinin 1.5-2.2 mg/dl), hentikan kanamisin sampai kadar kreatinin menurun. TAK dengan rekomendasi ahli nefrologi akan menetapkan kapan suntikan akan kembali diberikan. - Untuk kasus sedang dan berat (kadar kreatinin > 2.2 mg/dl), hentikan semua obat dan lakukan perhitungan GFR. - Jika GFR atau klirens kreatinin (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai tabel penyesuaian dosis. - Bila setelah penyesuaian
23
dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan pemberian kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu.
3 Perdarahan lambung
PAS, Eto, Z - Hentikan perdarahan lambung. - Hentikan pemberian OAT sampai 7 hari setelah perdarahan lambung terkendali. - Dapat dipertimbangkan untuk mengganti OAT penyebab dengan OAT lain selama standar pengobatan TB MDR dapat terpenuhi.
4 Gangguan Elektrolit berat (Bartter like syndrome)
Cm, Km - Merupakan gangguan elektrolit berat yang ditandai dengan hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia dan alkalosis hipoklorik metabolik secara bersamaan dan mendadak. - Disebabkan oleh gangguan fungsi tubulus ginjal akibat pengaruh nefrotoksik OAT suntikan. - Lakukan penggantian elektrolit sesuai pedoman. - Berikan amilorid atau spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit.
5 Gangguan pendengaran
Km, Cm - Periksa data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT atau sebagai pemburukan gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya. - Rujuk pasien segera ke RS rujukan untuk diperiksa penyebabnya dan di konsulkan kepada TAK. - Apabila penanganannya terlambat maka gangguan pendengaran sampai dengan tuli dapat menetap. - Evaluasi kehilangan pendengaran dan singkirkan sebab lain seperti infeksi telinga, sumbatan dalam telinga, trauma, dll. - Periksa kembali pasien setiap minggu atau jika pendengaran semakin buruk selama beberapa minggu berikutnya hentikan kanamisin.
6 Gangguan penglihatan
E - Gangguan penglihatan berupa kesulitan membedakan warna merah dan hijau.
24
Meskipun gejala ringan etambutol harus dihentikan segera. Obat lain diteruskan sambil dirujuk keRS Rujukan. - TAK akan meminta rekomendasi kepada ahli mata jika gejala tetap terjadi meskipun etambutol sudah dihentikan. - Aminoglikosida juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang reversibel: silau pada cahaya yang terang dan kesulitan melihat.
7 Gangguan psikotik (Suicidal tendency)
Cs Fasyankes satelit/RS Sub Rujukan TB MDR: - Jangan membiarkan pasien sendirian, apabila akan dirujuk ke RS Rujukan harus didampingi. - Hentikan sementara OAT yang dicurigai sebagai penyebab gejala psikotik, sebelum pasien dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Berikan haloperidol 5 mg p.oRS Pusat RujukanTB MDR: - Pasien harus ditangani oleh TAK melibatkan seorang dokter ahli jiwa, bila ada keinginan untuk bunuh diri atau membunuh, hentikan sikloserin selama 1-4 minggu sampai gejala terkendali dengan obat-obat anti-psikotik.- Berikan pengobatan antipsikotik dan konseling. - Bila gejala psikotik telah mereda, mulai kembali sikloserin dalam dosis uji. - Berikan piridoksin sampai 200 mg/ hari. - Bila kondisi teratasi lanjutkan pengobatan TB MDR bersamaan dengan obat antipsikotik.
8 Kejang Cs, Lfx - Hentikan sementara pemberian OAT yang dicurigai sebagai penyebab kejang. - Berikan obat anti kejang, misalnya fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB atau berikan diazepam iv10 mg (bolus perlahan) serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6 s/d 200 mg/ hari. Setelah stabil segera rujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR
25
- Penanganan pasien dengan kejang harus dibawah pengamatan dan penilaian TAK di RSRujukanTB MDR. - Upayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lainnya (meningitis, ensefalitis, pemakaian obat, alkohol atau trauma kepala). - Apabila kejang terjadi pertama kali maka lanjutkan pengobatan TB MDR tanpa pemberian sikloserin selama 12 minggu. Setelah itu sikloserin dapat dberikan kembali dengan dosis uji.- Piridoksin (vit B6) dapat diberikan sampai dengan 200 mg per hari. - Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin 3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan fenitoin dan pirazinamid bersama-sama, pantau fungsi hati,hentikan pirazinamid jika hasil faal hati abnormal. - Pengobatan profilaksis kejang dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR selesai atau lengkap.
9 Tendinitis Lfx dosis tinggi - Singkirkan penyebab lain seperti gout, arthritis rematoid, skleroderma sistemik dan trauma. - Untuk meringankan gejala maka istirahatkan daerah yang terkena, berikan termoterapi panas/dingin dan berikan OAINS (aspirin,ibuprofen). - Suntikan kortikosteroid pada daerah yang meradang akan membantu. - Bila sampai terjadi ruptur tendon maka dilakukan tindakan pembedahan.
10 Syok Anafilaktik Km, Cm - Segera rujuk pasien ke RS Pusat Rujukan TB MDR. - Berikan pengobatan segera seperti tersebut di bawah ini, sambil dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR: 1. Adrenalin 0,2 – 0,5 ml, 1:1000 SC, ulangi jika perlu. 2. Pasang infus cairan IV untuk jika perlu.
26
3. Beri kortikosteroid yang tersedia misalnya hidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, ulangi jika perlu.
11 Reaksi alergi toksik menyeluruh dan SJS
Semua OAT yang digunakan
- Berikan segera pengobatan seperti di bawah ini, sambil dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera: 1. Berikan CTM untuk gatalgatal 2. Berikan parasetamol bila demam. 3. Berikan prednisolon 60 mg per hari atau suntikan deksametason 4 mg 3 kali sehari jika tidak ada prednisolon 4. Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300 mg pada malam hari
- Di RS Pusat RujukanTB MDR: 1. Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi kulit. 2. Lanjutkan semua pengobatan alergi sampai ada perbaikan, tappering off kortikosteroid jika digunakan sampai 2 minggu. 3. Pengobatan jangan terlalu cepat dimulai kembali. Tunggu sampai perbaikan klinis. TAK merancang paduan pengobatan selanjutnya tanpa mengikutsertakan OAT yang diduga sebagai penyebab.
- Pengobatan dimulai secara bertahap dengan dosis terbagi terutama bila dicurigai efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis total perhari tidak boleh dikurangi (harus sesuai berat badan) kecuali bila ada data bioavaibilitas obat (terapeutic drug monitoring). Dosis yang digunakan disebut dosis uji yang diberikan selama 15 hari.
12 Hipotiroid PAS, Eto - Gejala dan tandanya adalah kulit kering, kelelahan, kelemahan dan tidak tahan terhadap dingin. - Penatalaksanaan dilakukan di RS Rujukan oleh TAK bersama seorang ahli
27
endokrinologi atau ahli penyakit dalam. - Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar peningkatan kadar TSH (kadar normal < 10 mU/l). - Ahli endokrin memberikan rekomen-dasi pengobatan dengan levotiroksin/ natiroksin serta evaluasinya.
2.6. DOTS dan DOTS PLUS
2.6.1. DOTS
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course). Oleh karena itu, pemahaman tentang DOTS
merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu:
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dikenal
dengan istilah Directly Observed Therapy (DOT)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencacatan dan pelaporan yang baku/standar
Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi
oleh WHO, yaitu:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan
kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruih
pasien terutama pasien tudak mampu.
2. Memberikan perhatian khusus pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan
aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan-pendekatan lain
yang relevan.
3. Kontribusi pada sitem kesehatan dengan kolaborasi bersama program
kesehatan yang lain.
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta, dan non
pemerintah, dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM)
untuk mematuhi International Standards of TBCare.
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk
berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.
28
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat
baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk
meningkatkan keberhasilan program.
Tujuan penerapan strategi DOTS adalah:
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi (PDPI, 2011)
2.6.2. DOTS-PLUS
Menurut WHO (2003), dalam penanganan kasus Multidrug Resistant TB (MDR
TB), dibutuhkan strategi baru untuk melengkapi program DOTS. Oleh karena itu,
WHO membuat strategi manajemen yang baru yaitu, DOTS-PLUS yang tetap
berprinsip dari DOTS sebelumnya. DOTS-PLUS merupakan pyoyek dan penelitian di
bawah anggota The International Stop-TB Working Group (WG) on DOTS-PLUS for
MDR TB.
Program DOTS-PLUS terdiri atas lima, yaitu:
1. Mengidentifikasi protokol yang terstandar optimal dalam menangani MDR-
TB
2. Mengidentifikasi protokol yang terstandar optimal dalam mendiagnosis
MDR-TB
3. Mengidentifikasi persyaratan yang minimal optimal dalam membangun dan
menerapkan DOTS-PLUS
4. Mengidentifikasi indikator pencapaian dalam penerapan DOTS-PLUS
5. Permasalahan operasional yang lain (The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease, 2003).
2.7. Prognosis
Prognosis kasus MDR-TB tergantung dari pengobatan dan faktor risiko.
Kesembuhan yang total dengan sedikit komplikasi diharapakan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan yang lengkap. Berdasarkan penelitian, dengan pengobatan
OAT yang lengkap, angka kekambuhan mencapai 0-14%. Pada negara dengan
kejadian TB yang rendah, kekambuhan biasanya mencul dalam 12 bulan penyelesaian
pengobatan dan karena relaps. Sedangkan pada negara dengan kejadian TB yang
tinggi, kebanyakan kekambuhan setelah pengobatan yang sesuai.
Marker prognostik yang buruk meliputi keterlibatan ekstrapulmoner,
immunocompromised, usia tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Penelitian
prospektif di Malawi menunjukkan, dari 199 pasien, 12 orang (6%), di antaranya