Sampai saat ini keberhasilan pembangunan di Indonesia baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun peranserta masyarakat
masih tertinggal dikarenakan kondisi SDM yang kurang mendukung
Identifikasi Kemampuan SDM di Desa Simpang Bolon Kecamatan
Garoga Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara
Identifikasi Kemampuan SDM di Desa Simpang Bolon Kecamatan
Garoga Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara
Parulian Simanjuntak
Abstrak
Dalam era otonomi daerah, salah satu persoalan yang dihadapi
dalam pembangunan transmigrasi adalah kurang sesuainya kompetensi
SDM (tranmsigran) dengan kebutuhan untuk mengembangkan potensi SDA
yang ada dilokasi. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
transmigran pada umumnya rendah dan kurang sesuai dengan kebutuhan
untuk pengembangan potensi SDA yang ada, sehingga upaya
pengembangan potensi (lahan) tidak dapat memberikan hasil optimal.
Meskipun sejak ditetapkan menjadi calon transmigran hingga dalam
masa pembinaan transmigran telah dilakukan peningkatan pengetahuan
dan keterampilan melalui pelatihan, namun hasilnya belum
menggembirakan. Dalam lokasi/kawasan permukiman transmigrasi yang
ideal adalah apabila dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki
kriteria kompetensi yang beragam, dan sesuai dengan kompetensi
keterampilan dan keahliannya sesuai dengan yang dibutuhkan. Oleh
karena itu dalam pengiriman transmigran, pemerintah daerah tujuan
menentukan kompetensi SDM yang dibutuhkan sesuai dengan potensi
sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan sosial budaya pada kawasan
yang akan dikembangkan, sedangkan pemerintah daerah asal menyiapkan
kriteria kompetensi SDM transmigran yang dibutuhkan di kawasan
transmigrasi.
Sebagai kesimpulan umum terhadap program pengembangan lokasi
transmigrasi yang akan diadakan, dan dari berbagai pengamatan serta
hasil wawancara yang dilakukan, maka masyarakat desa di lokasi
studi sangat antusias untuk mengikuti program transmigrasi. Hampir
semua hasil wawancara mengindikasikan bahwa masyarakat bersedia
untuk mencadi calon transmigran dengan tujuan untuk memperbaiki
kondisi perekonomian rumah tangga dan kemajuan desa. Disamping itu,
penduduk desa juga bersedia untuk memberikan lahannya sebagai lahan
transmigrasi dengan bantuan modal yang disediakan oleh
pemerintah.
Kata kunci : Transmigrasi, lahan, modal, kawasan.
I. 1. LATAR BELAKANG
Sampai saat ini keberhasilan pembangunan di Indonesia baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun peranserta masyarakat
masih tertinggal dikarenakan kondisi SDM yang kurang mendukung.
Permasalahannya adalah peranserta kaum SDM memang belum optimal,
salah satunmya masih adanya berbagai praktek diskriminasi terhadap
SDM baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun keiikut
sertaannya dalam politik. Sebagai ilustrasi kualitatif, perlu
mengetahui dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan penyebab
terhambatnya peranserta masyarakat dalam pembangunan transmigrasi.
Telah banyak kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan
transmigrasi, namun yang memfokuskan pada kehidupan, perilaku dan
permasalahan SDM transmigran masih sangat terbatas. Hal ini
berkaitan adanya anggapan bahwa persoalan yang menyangkut SDM,
secara implisit sudah tercakup pada saat membahas rumah tangga
transmigran. Jadi peran SDM sebagai kelompok sosial secara
tersendiri, masih kurang diperhatikan. Persoalan yang dihadapi SDM
transmigran cukup spesifik, seharusnya perlu pencermatan dan
aktualisasi. Jika hal ini terabaikan diduga akan memberi implikasi
utamanya terhadap kebijakan pembangunan ketransmigrasian serta
pembangunan nasional pada umumnya.
Perkembangan pembangunan transmigrasi selama ini telah
memberikan kontribusi dalam pembangunan daerah, namun perlu
disadari masih ada beberapa kelemahan atau kekurangan. Oleh karena
itu perlu adanya pembenahan yang menyangkut aspek teknis
operasional, dan aspek sistem penyelenggaraan. Dalam era otonomi
daerah telah terjadi perubahan mendasar terhadap peran dan fungsi
pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Dalam konteks
pembangunan. ketransmigrasian, peran pemerintah pusat yang
sebelumnya sebagai penentu kebijakan sekaligus perencana dan
pelaksana program, pada saat ini telah bergeser sebatas menjadi
regulator, motivator dan fasilitator dalam mendukung kelancaran
aktivitas masyarakat (termasuk kalangan swasta) bersama pemerintah
daerah untuk mengembangkan peluang berusaha dan kesempatan bekerja
melalui program transmigrasi.
Selama ini telah banyak upaya pemerinyah untuk mengembangkan
kawasan transmigrasi, namun kenyataannya tidak semua kawasan yang
dibangun dapat tumbuh dan berkembang mendaji pusat-pusat
pertumbuhan yang maju. Menurut Najiati (2000), pada fase
konsolodasi sekitar 80 persen lokasi permukiman transmigrasi yang
dibangun mampu berkembang sesuai dengan yang diharapkan, namun pada
fase pemantapan hanya 38 persen yang dapat berkembang. Hal ini
disebabkan antara lain kondisi lahan kurang mendukung (tanah
marjinal), aksesibilitas kurang baik, ketersediaan sarana produksi
terbatas, dan sumberdaya manusia transmigran berkualitas
rendah.
Dalam era otonomi daerah, salah satu persoalan yang dihadapi
dalam pembangunan transmigrasi adalah kurang sesuainya kompetensi
SDM (tranmsigran) dengan kebutuhan untuk mengembangkan potensi SDA
yang ada dilokasi. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
transmigran pada umumnya rendah dan kurang sesuai dengan kebutuhan
untuk pengembangan potensi SDA yang ada, sehingga upaya
pengembangan potensi (lahan) tidak dapat memberikan hasil optimal.
Meskipun sejak ditetapkan menjadi calon transmigran hingga dalam
masa pembinaan transmigran telah dilakukan peningkatan pengetahuan
dan keterampilan melalui pelatihan, namun hasilnya belum
menggembirakan. Dalam lokasi/kawasan permukiman transmigrasi yang
ideal adalah apabila dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki
kriteria kompetensi yang beragam, dan sesuai dengan kompetensi
keterampilan dan keahliannya sesuai dengan yang dibutuhkan. Oleh
karena itu dalam pengiriman transmigran, pemerintah daerah tujuan
menentukan kompetensi SDM yang dibutuhkan sesuai dengan potensi
sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan sosial budaya pada kawasan
yang akan dikembangkan, sedangkan pemerintah daerah asal menyiapkan
kriteria kompetensi SDM transmigran yang dibutuhkan di kawasan
transmigrasi.
Upaya Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui program pembangunan telah banyak dilakukan, antara lain
upaya mengurangi jumlah masyarakat miskin dengan melakukan
kebijakan transmigrasi. Berdasarkan Undang Undang Nomor 15 Tahun
1997 tentang Ketransmigrasian, sasaran penyelenggaraan transmigrasi
adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat
transmigrasi, membangun kemandirian, dan mewujudkan integrasi di
permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu
tumbuh berkembang secara berkelanjutan.
Pendekatan pembangunan transmigrasi pada saat ini diarahkan
tidak saja untuk peningkatan kesejahteraan transmigran, tetapi juga
terhadap masyarakat di sekitar kawasan transmigrasi. Pada aspek
lain program transmigrasi (perpindahan penduduk) esensinya adalah
persebaran dan pendayagunaan tenaga kerja untuk memanfaatkan
potensi sumber daya alam guna membangun perekonomian wilayah yang
masih tertinggal. Dengan adanya perpindahan penduduk (tenaga kerja)
dalam upaya mendorong optimalisasi pergerakan alur modal, manajemen
pembangunan dan teknologi di wilayah yang masih belum
berkembang.
Dalam era otonomi daerah penyelenggaraan transmigrasi dilakukan
melalui mekanisme Kerja Sama Antar Daerah (KSAD) yakni antara
pemerintah daerah asal dengan pemerintah peneriam transmigrasi.
Dalam KSAD tersebut, pemerintah daerah asal mempunyai kewajiban
untuk menyiapkan SDM transmigran yang sesuai dengan kriteria
kompetensi yang dibutuhkan oleh pemerintah penerima, sedangkan
pemerintah penerima transmigrasi berkewajiban menyiapkan lokasi
pemukiman dan pembinaan sampai mereka mampu mandiri sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan. Namun dalam perjalanannya
kesepakatan ini tidak mudah direalisasikan, karena transmigran yang
dikirim dari daerah asal tetap belum mempunyai kompetensi sesuai
dengan jenis pekerjaan di lokasi transmigrasi. Oleh karena itu
dalam nota kesepakatan bersama, sebaiknya telah mencantumkan
butir-butir pekerjaan transmigran, dan disertai dengan kemampuan
yang dimiliki sesuai dengan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan.
Dalam era otonomi daerah, kebijakan tentang proporsi penempatan
transmigran ditentukan sebesar 50 persen TPA dan 50 persen TPS.
Dampak dari penerapan ketentuan tersebut maka sebagain transmigran
yang ditempatkan di suatu UPT mempunyai tingkat pendidikan sangat
rendah. Hal ini karena penempatan transmigran dari penduduk
setempat (TPS) biasanya ada sebagian yang memiliki pendidikan tidak
tamat SD yang diikutkan menjadi peserta transmigrasi. Dampak dari
pendidikan yang dimiliki oleh transmigran rendah, merupakan salah
satu penyebab lambatnya dalam menyerap inovasi baru. Sementara itu
transmigran di masa depan dituntut untuk dapat menguasai Iptek,
penguasaan informasi pasar dan sebagainya. Menurut hasil kajian
Pusat Pengkajian SDM Dep. Pertanian (2003), penguasaan Iptek dan
informasi pasar sangat dipengaruhi oleh pendidikan petani, dimana
dengan tingkat pendidikan formal lebih tinggi terdapat
kecenderungan petani akan lebih cepat atau lebih mudah menerima
inovasi baru khususnya teknologi pertanian dan informasi pasar.
Untuk menyiapkan transmigran yang mempunyai kompetensi sedang atau
tinggi kenyataannya dihadapkan pada kualitas SDM transmigran yang
masih rendah, hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan formal
para transmigran sebagian besar tamat SD. Sementara itu jika
dilihat pengalaman kerja dan pekerjaan yang ditekuni oleh
transmigran di permukiman transmigrasi sangat beragam. Bahkan
tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimilikipun juga
bervariasi. Ironisnya kadangkala pengalaman kerja sering kali tidak
sesuai dengan kebutuhan keterampilan yang dibutuhkaan di permukiman
transmigrasi dalam mengembangkan daerah bukaan baru, sehingga
dengan keadaan seperti ini tetap membutuhkan pembinaan melalui
program pelatihan. Pada awalnya setiap transmigran yang ditempatkan
di permukiman transmigrasi telah mendapatkan pelatihan dasar umum,
dengan harapan agar transmigran mempunyai mental yang kuat dan
tetap betah tinggal dan bekerja di lokasi transmigrasi. Selain itu
transmigran juga mendapatkan pembinaan melalui pelatihan budidaya
tanaman sesuai dengan usaha pokok yang dikembangkan. Pembinaan ini
bertujuan agar transmigran benar-benar mampu untuk mengelola
kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan penghasilan, sehinggga
gilirannya pendapatan transmigran menjadi optimal.
Penetapan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
membawa implikasi terhadap transformasi peradigma pembangunan di
Indonesia. Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisisasi
(top-down) menjadi desentralisasi (bottom-up) berdampak pada
dinamika pembangunan nasional yang ditekankan pada pembangunan di
daerah terutama di tingkat kabupaten atau kota. Dalam kaitan
tersebut, masing-masing kabupaten atau kota harus menyiapkan diri
untuk dapat mengantisipasi dan mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan
pembangunan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Salah satu implikasi nyata dengan diberlakukannya UU Otonomi
Daerah adalah penyesuaian pelaksanaan UU Nomor 15 Tahun 1997
tentang Keransmigrasian. Dalam pelaksanaan UU Nomor 15 Tahun 1997
pada saat ini peranan Pemerintah Daerah lebih besar dibandingkan
Pemerintah Pusat. Kewenangan Pemerintah Daerah ini tentunya
menyentuh pada tataran kebijakan (Peraturan Daerah) untuk membuat
aturan-aturan pelaksanaan kegiatan transmigrasi sesuai dengan
potensi dan kepentingan strategis Pemerintah Daerah tersebut.
I. 2. TUJUAN DAN SASARAN
I. 2. 1.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dalah untuk memperoleh informasi dan
pemetaan kondisi dan potensi SDM di kawasan transmigrasi sebagai
calon TPS serta memperoleh masukan yang merupakan aspirasi penduduk
asal terhadap calon transmigrasi pendatang dan minat masyarakat
terhadap program transmigrasi yang akan dikembangkan.
I. 2. 2.Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah diperolehnya data base informasi
potensi SDM yang terpercaya dan valid sehingga dapat digunakan
sebagai acuan terhadap perencanaan pengarahan, perpindahan dan
pengembangan calon transmigran di lokasi transmigrasi yang telah
ditentukan. Selanjutnya, dengan diketahuinya kondisi dan potensi
SDM maka akan memudahkan perencanaan pemerintah terhadap
pengembangan transmigrasi ke depan.
I. 2. 3.Keluaran Penelitian
Keluaran hasil kegiatan penelitian identifikasi Potensi SDM
Kawasan Pemukiman ini adalah monografi dari lokasi dan laporan
potensi SDM yang ada disekitar lokasi transmigrasi yang akan
dipilih untuk menjadi transmigran.
I. 2. 4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan penelitian ini
adalah sebagai landasan kebijakan dalam penentuan individu calon
transmigran yang akan ditempatkan pada lokasi transmigrasi,
terutama untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam kaitannya dengan
optimalisasi sumber daya tenaga kerja.
I. 3. KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan adalah usaha yang disengaja untuk memperbaiki
kondisi dan situasi yang diinginkan. Sebagai suatu proses,
pembangunan mempunyai spektrum yang sangat luas, baik dari sisi
dasar pertimbangan, perencanaan, pelaksanaan program-program dan
dampak yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut. Dalam perspektif
pembangunan nasional, transmigrasi merupakan program yang
berorientasi pada pengembangan wilayah,yang dalam perjalanannya
mempunyai dinamika yang kompleks. Persoalan demografis (kelebihan
penduduk Pulau Jawa), disparitas antar wilayah, pemerataan
pembangunan, dan pembangunan pusat pertumbuhan baru merupakan
dinamika yang berkembang dalam perjalanan panjang program
transmigrasi.
Diakui atau tidak, transmigrasi adalah metamorpose dari
kolonisasi yang dirancang dan dikembangkan Pemerintah Hindia
Belanda ketika menjajah Indonesia. Namun, falsafah yang
melatarbelakangi, landasan, dan tujuannya tentu berbeda. Jika
kolonisasi merupakan upaya mencari buruh murah untuk kepentingan
perusahaan perkebunan, transmigrasi didasarkan suatu kesadaran atas
besarnya potensi dan keragaman sumberdaya, merupakan modal
pembangunan untuk mengatasi ketimpangan antar-wilayah, desa-kota
dan ketimpangan ekonomi antar-golongan. Oleh karena itu, sejak awal
kemerdekaan, pemerintah bersama-sama seluruh rakyat merasa
berkewajiban memanfaatkan, mengolah, dan membina seluruh potensi
sumberdaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemerataan
pembangunan ke berbagai wilayah, dan memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Itu semua adalah cita-cita jauh ke depan yang
melatarbelakangi gagasan transmigrasi. Namun disadari, cita-cita
tersebut tidak dapat diwujudkan secara instan, dan karenanya perlu
dirancang secara bertahap dan berjangka panjang dengan spektrum
persoalan dan tantangan yang cukup besar.
Tujuan transmigrasi sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor
15 Tahun 1997 adalah (1) meningkatkan kesejahteraan transmigran dan
masyarakat sekitarnya, (2) meningkatkan pemerataan pembangunan dan
(3) memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan sasaran
yang akan dicapai meliputi tiga hal. Pertama, meningkatnya
kemampuan dan produktivitas masyarakat di WPT dan LPT. Sasaran ini
memberikan arahan bahwa pembangunan transmigrasi harus mampu
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Kedua, terbangunnya
kemandirian masyarakat yang berarti bahwa kemampuan masyarakat di
WPT atau LPT untuk memenuhi kebutuhannya dengan mengembangkan
potensi dan kekuatan yang dimiliki. Ketiga, terwujudnya integrasi
masyarakat di WPT atau LPT dengan harapan kehidupan sosial ekonomi
dapat berkembang secara berkelanjutan. Terwujudnya integrasi
masyarakat di WPT dan LPT tersebut juga mengandung makna bahwa
konsep transmigrasi merupakan konsep pembangunan hinterland bagi
pusat-pusat kegiatan ekonomi wilayah yang lebih luas.
Transmigrasi merupakan program yang mempunyai spektrum sangat
luas dapat dibuktikan dari pandangan kalangan (akademisi, peneliti
dan pemerhati) dengan sudut pandang yang berbeda. Namun, pada
umumnya mereka setuju, pada batas-batas tertentu program tersebut
mempunyai kontribusi terhadap pembangunan nasional. Di sisi lain,
sepakat bahwa pada tataran pelaksanaan program timbul ekses-ekses
negatif, sehingga perlu reorientasi dasar pertimbangan, filosofi
tujuan, sasaran maupun secara kelembagaan. Secara konsisten,
Swasono dan Jones (1985) berpandangan, bahwa tidak benar lagi
menempatkan program transmigrasi sebagai upaya pengurangan tekanan
penduduk. Berpindahnya penduduk (khususnya Pulau Jawa) melalui
program transmigrasi bukanlah merupakan tujuan, tetapi merupakan
akibat atau hasil transmigrasi. Di sisi lain, luar Jawa juga bukan
merupakan wilayah yang mempunyai daya tampung (demografis,
ekonomis, sosial, politis dan geofrafis) tanpa batas. Lebih jauh,
secara tegas Swasono menyatakan, dalam perspektif penyelenggaraan,
pemerintah sebagai pemegang otoritas di bidang ketransmigrasian
perlu menyelenggarakan fungsi perencanaan (regional development),
merencanakan keunggulan komparatif (comparative advantage) untuk
membukakan peluang (opportunity) yang lebih tinggi bagi
daerah-daerah. Merencanakan keunggulan komparatif daerah adalah
memberi atau menentukan peranan strategis pada suatu daerah sesuai
dengan potensi-potensi terbaik yang dimiliki daerah dalam jangka
kepentingan strategis nasional masa kini maupun masa mendatang.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi berfungsi sebagai
devolepment agent, sebagai leading atau commanding factor,
mengingat transmigrasi dalam perspektif ini berperan sebagai
pencipta new and higher comparative advantage, pencipta development
alternatives dan pencipta new opportunities untuk suatu daerah.
Transmigrasi dapat pula berfungsi social infrastructure. Sedangkan
Levang (2003) dalam Manuwiyoto (2008) mengatakan bahwa keberhasilan
transmigrasi dengan jargon Ayo Ke Tanah Sabrang disebut sebagai
lirik puitis untuk propaganda. Angka-angka sangat besar yang sering
dijadikan alasan pembenar oleh birokrasi penyelenggara transmigrasi
itu sebenarnya belum mencukupi. Alasannya, soal data di Indonesia
seringkali simpang siur, dan dengan angka-angka itu belum bisa
meyakinkan fihak yang kontra. Kata Levang, para teknokrat itu
sering lupa bahwa di balik angka-angka itu terdapat nasib manusia.
Untuk mencapai target angka-angka itu, terlampau banyak lokasi yang
dibangun tergesa-gesa dan secara serampangan, hingga kuantitas
mengalahkan kualitas. Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan
biasanya disebabkan oleh ambisi yang terlalu besar dibanding dengan
kemampuan nyata. Kritik pedas Levang yang lain dialamatkan pada
konsepsi program yang tidak jelas sejak awal perencanaan. Bahkan
Levang menyindir bahwa transmigrasi merupakan cara-cara penguasa
tingkat pusat untuk memaksakan kehendaknya ke daerah. Akibatnya,
seringkali implementasi program transmigrasi di daerah tidak selalu
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Alasannya, tidak jarang
implementasi di lapangan muncul berbagai persoalan.
Manuwiyoto (2008) menuliskan paradigma Baru Transmigrasi yang
dikembangkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak tahun
2007 dilandasi suatu realitas kebutuhan masyarakat saat ini.
Paradigma baru transmigrasi merupakan pengembangan dari konsep
dasar transmigrasi sebagaimana jiwa UU No. 15 Tahun 1997 tentang
Kertransmigrasian dan PP No. 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
transmigrasi yang diselaraskan dengan (1) kebutuhan riil
masyarakat, (2) perkembangan lingkungan stratejik yang diwarnai
demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM, serta (3) implementasi
Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Transmigrasi sebagai konsep pengembangan
wilayah diarahkan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya KTM
sebagai kota penyangga melalui penataan persebaran penduduk dan
pemberdayaan, yang diarahkan untuk memberikan alternatif jalan
kepada masyarakat dalam mengatasi penyebab kemiskinan. Oleh karena
itu, secara filosofis, berbagai kebijakan, program, dan kegiatan
pelaksanaan pembangunan transmigrasi (penyiapan permukiman,
pengarahan dan fasilitasi perpindahan, serta pemberdayaan
masyarakat) didasarkan kepada lima pendekatan pokok.
Pertama, pembangunan transmigrasi harus mampu memberikan
kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan papan bagi penduduk
miskin. Kedua, pembangunan transmigrasi diarahkan untuk membangun
dan mengembangkan pusat pertumbuhan untuk mengurangi kesenjangan
antar wilayah. Dalam konteks ini, pembangunan permukiman
transmigrasi dilaksanakan terintegrasi dengan pengembangan desa dan
permukiman yang telah ada menjadi satu kesatuan kawasan yang
mempunyai fungsi kota. Melalui pengembangan permukiman yang
demikian, diharapkan akan terjadi pertemuan antarbudaya kelompok
masyarakat sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan
akulturasi.
Ketiga, pengembangan usaha di permukiman transmigrasi diarahkan
kepada usaha produktif yang layak ekonomi sekaligus untuk mendukung
penyediaan bahan baku energi alternatif. Keempat, pembangunan
transmigrasi diarahkan untuk memberikan kesempatan kepada dunia
usaha sebagai mitra, sehingga diharapkan dapat menjadi daya tarik
investasi untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Dan kelima, apa-pun yang dilakukan dalam pembangunan transmigrasi
harus mampu memberikan peluang bagi penduduk miskin untuk
memperoleh akses produksi dan pendapatan dalam kerangka mengatasi
pengangguran secara permanen.
Berdasarkan lima pendekatan tersebut, kebijakan pembangunan
transmigrasi diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut :
1. Pengembangan potensi sumberdaya wilayah dilakukan dalam
kerangka penataan dan penggunaan lahan secara lestari untuk
mendorong tumbuh dan berkembangnya KTM di kawasan transmigrasi.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengakomodasikan aspirasi
masyarakat yang menghendaki kemudahan terhadap akses ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik. Oleh karena itu,
pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi dirancang menjadi
pusat pertumbuhan melalui pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan
yang mempunyai fungsi sebagai (1) pusat pengembangan pertanian, (2)
pusat pengelolaan pascapanen, (3) pusat pelayanan jasa agribisnis
dan agroindustri, (4) pusat perdagangan, (5) pusat pengembangan
SDM, (6) pusat pelayanan sosial dan pemerintahan, dan (7) pusat
permukiman.
2. Penyelenggaraan transmigrasi dilaksanakan melalui tiga jenis
(TU, TSB, dan TSM) disesuaikan dengan kondisi daerah/wilayah yang
dikembangkan dan karakteristik masyarakat sasaran pelayanan. Untuk
melaksanakan tiga jenis transmigrasi secara proporsional, kebijakan
yang dikembangkan adalah sebagai berikut :
a. Transmigrasi Umum (TU) diprioritaskan kepada wilayah yang
relatif terisolir dan menggunakan tanah negara, sedangkan kelompok
masyarakat sasaran pelayanan diprioritaskan kepada masyarakat yang
tidak memiliki kemampuan sharing pembiayaan.
b. Transmigrasi Swakasra Berbantuan (TSB) diprioritaskan kepada
wilayah yang relatif lebih terbuka dan layak investasi dengan
menggunakan tanah negara dan atau tanah hak. Kelompok masyarakat
sasaran pelayanan adalah masyarakat yang memiliki kemampuan sharing
pembiayaan melalui kredit .
c. Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) diprioritaskan kepada
wilayah yang sudah terbuka/berkembang, mengguanan tanah hak melalui
rekoqnisi atau kompensasi. Kelompok masyarakat sasaran pelayanan
dari daerah asal diprioritaskan kepada masyarakat yang mampu
sharing pembiayaan dengan uang tunai, sedangkan kelompok masyarakat
sasaran pelayanan dari Daerah Tujuan diprioritaskan kepada
pemberian perlakuan kepada penduduk Desa/permukiman setempat
menjadi transmigran TSM.
3. Pendekatan pengembangan permukiman transmigrasi jenis TSM
diarahkan untuk membangun Desa sebagai unit terkecil dari Satuan
Wilayah Ekonomi yang diimplementasikan dalam bentuk LPT sebagai
embrio KTM atau revitalisasi desa melalui pemugaran permukiman
terhadap desa-desa potensial yang menjadi prioritas pembangunan
daerah menjadi KTM.
4. Transmigrasi merupakan program lintas daerah untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi oleh daerah dalam kerangka pembangunan
nasional. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi,
melakukan mediasi dan advokasi untuk mendorong tumbuhnya kemampuan
dan kemauan masyarakat bersama Pemerintah Daerah yang bersangkutan
untuk bersama-sama melaksanakan transmigrasi.
5. Pengarahan perpindahan dari daerah asal diarahkan untuk
mengatasi dampak tekanan kependudukan dalam kerangka penyaluran
tenaga kerja produktif yang diperlukan untuk pengembangan potensi
yang tersedia di permukiman transmigrasi.
6. Mekanisme pelaksanaan perpindahan transmigrasi didasarkan
atas prinsip otonomi daerah yang dilakukan melalui kerjasama antar
daerah dengan fasilitasi dan mediasi Depnakertrans.
7. Pemberdayaan masyarakat transmigrasi dilaksanakan dalam satu
kesatuan kawasan yang terdiri dari transmigran dari daerah asal,
penduduk setempat yang bermukiman dipermukiman transmigrasi, dan
masyarakat disekitar permukiman dalam satu kesatuan kawasan.
8. Pengintegrasian permukiman transmigrasi dengan wilayah
sekitar dilaksanakan berdasarkan pendekatan kultural dan ekonomi
kewilayahan menuju terbentuknya KTM sebagai kota penyangga bagi
ibukota Kabupaten/Kota atau provinsi.
I. 4. METODOLOGI DAN PENDEKATAN ANALISIS
I. 4. 1.Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan ditetapkan berdasarkan pertimbangan secara
ekonomi yang berada di daerah yang sudah pernah ada lokasi
transmigrasi sebelumnya dan lokasi tersebut memungkinkan untuk
terjadi pengembangan dan cepat tumbuh.
I. 4. 2.Metode Studi
Studi ini merupakan sebuah studi Pra-penempatan transmigran baik
dari masyarakat lokal maupun masyarakt pendatang. Untuk itu
analisis data skunder dan pemilihan data primer di lapang akan
dilakukan secara bertingkat. Teknik Pengumpulan Data
Dalam kegiatan pengumpulan data, metode yang digunakan dalam
kajian kegiatan ini adalah :
1.Studi Literatur yaitu mengumpulkan dan menganalisa data
skunder, Data sekunder diperoleh dari lembaga-lembaga pemerintah
(BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, dan Dinas terkait
lainnya) maupun referensi-referensi lain yang berkaitan dengan
identifikasi lokasi dan SDM.
2.Pengamatan lapang yaitu teknik pengumpulan data yang
mengandalkan pengamatan langsung di lapangan, baik yang menyangkut
objek, kejadian, proses, hubungan maupun kondisi masyarakat dan
lingkungan ekonomi yang berkaitan dengan dengan identifikasi lokasi
dan SDM.
3.Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang mendapatkan data
yang sulit dijelaskan secara obervasi maupun data-data
sekunder.
4.Rapid Rural Appraisal yaitu mengumpulkan data primer melalui
proses penjaringan aspirasi masyarakat lokal untuk melihat tingkat
respon masyarakat terhadap dengan identifikasi lokasi dan SDM.
I. 4. 3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dengan pendekatan deskriptif kualitatif akan diperoleh informasi
yang sangat kaya dan terukur, karena pendekatan ini fenomena yang
terjadi pada masyarakat diformulasikan dalam rangkaian informasi
yang aktual dan sistematis. Informasi yang diperoleh sedapat
mungkin seluruhnya diolah berdasarkan proses analisis data, maka
tahap proses analisis data data yang dilakukan sebagai berikut
:
a. Memasukkan data
b. Verifikasi dan pembersihan data
c. Pengolahan dan Tabulasi Data
d. Penyajian Data Potensi SDM
I. 4. 4.Teknik Analisis Data
Dengan metode pendekatan deskriptif kualitatif akan diperoleh
informasi yang sangat kaya dan terukur, karena dengan pendekatan
ini fenomena yang terjadi pada masyarakat diformulasikan dalam
rangkaian informasi yang aktual dan sistematis. Informasi yang
diperoleh sedapat mungkin seluruhnya diolah berdasarkan proses
analisis data kualitatip.
II. 1. Letak Geografis
Desa simpang Bolon merupakan bagian atau desa yang terletak pada
Kecamatan Garoga. Kecamatan Garoga terletak pada 010 51 020 10
Lintang Utara dan 990 14 990 29 Bujur Timur. Kecamatan ini terletak
500 700 meter di atas permukaan laut. Luas kecamatan ini adalah
567, 58 km2. Adapun batas-batas daerah adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara
:Kabupaten Toba Samosir (Kecamatan
Habinsaran).
Sebelah Selatan :Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Sei
Pardolok Hole)
Sebelah Barat
:Kecamatan Pangaribuan
Sebelah Timur
:Kecamatan Labuhan Batu
Jarak kecamatan ke kabupaten, dalam hal ini jarak kantor camat
ke kantor bupati, adalah sejauh 76 km.
Adapun luas masing-masing desa pada kecamatan ini dapat dilihat
pada Tabel II. 1. di bawah ini.
Tabel II. 1. Luas Wilayah Desa di Kecamatan Garoga Tahun
2008
No.
Desa/Kelurahan
Luas (Km2)
Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan
1
Sibaganding
29,25
5,15
2
Padang Siandomang
69,25
12,2
3
Parinsoran Pangorian
54,25
9,56
4
Aek Tangga
49,25
8,68
5
Simpang Bolon
69,83
12,3
6
Garoga Sibargot
74,25
13,08
7
Gonting Garoga
29,25
5,15
8
Sibalanga
49,25
8,68
9
Parsosoran
39,25
6,92
10
Lontung Jae I
39,25
6,92
11
Lontung Jae II
34,25
6,03
12
Gonting Salak
30,25
5,33
Total
567,68
100,0
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Sementara itu, luas dan jenis penggunaan lahan di Kecamatan
Garoga dapat dilihat pada Tabel II. 2. di bawah ini.
Tabel II. 2. Jenis Penggunaan Lahan Per Desa Pada Kecamatan
Garoga
(Ha)
No.
Desa/Kelurahan
Sawah
Lahan Kering
Bangunan dan Pekarangan
Lainnya
1
Sibaganding
43
2,867
10
5
2
Padang Siandomang
63
6,832
18
12
3
Parinsoran Pangorian
82
5,312
19
12
4
Aek Tangga
86
4,797
24
18
5
Simpang Bolon
91
6,869
13
10
6
Garoga Sibargot
176
7,205
26
18
7
Gonting Garoga
39
2,844
30
12
8
Sibalanga
61
4,841
15
8
9
Parsosoran
71
3,814
18
22
10
Lontung Jae I
23
3,870
20
12
11
Lontung Jae II
59
3,332
20
14
12
Gonting Salak
48
2,970
4
3
Total
842
55,553
217
146
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 2. Aksesibilitas dan Fisik
Aksesibilitas atau akses jalan untuk masing-masing desa masih
sangat minim, hal ini ditandai dengan masih sedikitnya jalan aspal
yang ditemui. Rata-rata jalan di kecamatan ini masih merupakan
jalan tanah dan jalan setapak. Deskripdi mengenai kondisi jalan di
Kecamatan Garoga dapat dilihat pada Tabel II. 3. di bawah ini.
Tabel II. 3. Panjang Jalan Menurut Jenisnya per Desa
Di Kecamatan Garoga Tahun 2008 (Km)
No.
Desa/Kelurahan
Aspal
Diperkeras
Jalan Tanah
Jalan Setapak
Jumlah
1
Sibaganding
4
1
6
9
20
2
Padang Siandomang
6
5
15
19
45
3
Parinsoran Pangorian
3
4
19
25
51
4
Aek Tangga
11
2
23
29
65
5
Simpang Bolon
3
2
29
33
67
6
Garoga Sibargot
21
2
42
61
126
7
Gonting Garoga
7
7
18
27
59
8
Sibalanga
13
0
9
19
41
9
Parsosoran
0
4
25
33
62
10
Lontung Jae I
4
5
19
44
72
11
Lontung Jae II
0
3
25
41
69
12
Gonting Salak
0
0
28
43
71
Total
72
35
258
383
748
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 3. Demografi
II. 3. 1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Secara teoritis disebutkan bahwa jumlah penduduk yang besar
secara kuantitas merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Hal
ini dimaksudkan apabila jumlah penduduk yang besar tersebut dapat
diberdayakan sesuai kodrat, keahlian dan bidang kerjanya
masing-masing. Sebaliknya apabila jumlah penduduk yang besar tadi
tidak dapat diberdayakan dan dikendalikan secara bijak dan
terencana bahkan akan menjadi beban pembangunan.
Berdasarkan data terakhir yang diterima dari Kecamatan Garoga
Dalam Angka bahwa jumlah penduduk Kecamatan Garoga tahun 2008
sebesar 15.981 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
II. 4. sebagai berikut :
Tabel II. 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Jenis
Kelamin
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008 (jiwa)
No.
Desa/Kelurahan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Kepadatan Penduduk
1
Sibaganding
321
332
653
22,32
2
Padang Siandomang
521
517
1038
14,99
3
Parinsoran Pangorian
762
764
1526
28,13
4
Aek Tangga
792
735
1527
31,01
5
Simpang Bolon
393
412
805
11,53
6
Garoga Sibargot
1389
1370
2759
37,16
7
Gonting Garoga
632
654
1286
43,97
8
Sibalanga
517
564
1081
21,95
9
Parsosoran
919
849
1768
45,04
10
Lontung Jae I
979
968
1947
49,61
11
Lontung Jae II
531
514
1045
30,51
12
Gonting Salak
285
261
546
18,05
Total 2008
8041
7940
15981
28,16
Total 2007
7974
7874
15848
27,92
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Dari data tersebut diatas dapat dilihat bahwa tingkat kepadatan
penduduk daerah Kecamatan Garoga tergolong relatif masih rendah,
hal ini disebabkan karena luasnya daerah Kecamatan Garoga bila
dibandingkan dengan kondisi jumlah penduduk daerah. Selanjutnya
tingkat distribusi penduduk sampai dengan akhir tahun 2008 masih
menunjukkan angka kesenjangan yang cukup signifikan antara desa
yang satu dengan desa lainnya pada 12 Desa di Kecamatan Garoga. Hal
ini menggambarkan bahwa kondisi daerah Kecamatan Garoga masih
terdapat daerah-daerah terisolir yang tersebar di berbagai pelosok
daerah.
II. 3. 2. Sosial Budaya
Dalam bidang sosial dan budaya, akan dibentuk lembaga adat di
tingkat Kecamatan yang dibentuk dari tokoh-tokoh adat dari setiap
Kecamatan. Lembaga ini adalah lembaga swadaya masyarakat, yang
pembentukannya sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat dengan
difasilitasi oleh pemerintah daerah. Lembaga ini akan merupakan
partner pemerintah daerah dalam menjalankan pembangunan yang sesuai
dengan harapan rakyat. Lembaga ini juga sekaligus berfungsi sebagai
lembaga penghubung pemeritahan daerah dengan masyarakat luas,
sehingga setiap program pembangunan yang akan dijalankan
tersosialisasi dengan baik melalui tokoh-tokoh yang diakui
masyarakatnya. Lembaga ini juga merupakan partner pemerintah dalam
mengaktifkan kembali lembaga sopo godang sebagai sarana
permusyarawatan masyarakat desa. Sebagai pendamping, direncanakan
untuk merekrut sarjana-sarjana penggerak pembangunan desa yang akan
ditempatkan di setiap desa di seluruh kecamatan. Para sarjana ini
merupakan tenaga pemerintah daerah yang ditugaskan sebagai
penggerak, penyuluh dan pendorong untuk terciptanya masyarakat yang
mandiri. Dengan menempatkan para sarjana ini di desa-desa,
diharapkan akan terjadi interaksi yang positif dengan masyarakat
pedesaan, yang pada gilirannya akan menjadi katalis bagi
kemandirian masyarakat.
III. 3. 2. 1. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, kecamatan Garoga, khususnya Desa
Simpang Bolon belum memiliki jumlah sekolah yang memadai sehingga
masyarakat dalam meneruskan pendidikannya harus berpindah ke desa
lain atau bahkan ke kecamatan lainnya. Jumlah sekolah yang tersedia
di Kecamatan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel II. 5. Jumlah dan Jenjang Sekolah
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
SD
SMP
SMU
SMK
Total
Neg
Swas
Neg
Swas
Neg
Swas
Neg
Swas
1
Sibaganding
1
1
2
Padang Siandomang
3
1
4
3
Parinsoran Pangorian
2
2
4
Aek Tangga
3
3
5
Simpang Bolon
3
3
6
Garoga Sibargot
4
1
1
1
7
7
Gonting Garoga
2
1
1
4
8
Sibalanga
2
2
9
Parsosoran
3
3
10
Lontung Jae I
3
3
11
Lontung Jae II
2
2
12
Gonting Salak
1
1
Total 2008
29
3
1
1
1
35
Total 2007
29
3
1
1
34
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Selama ini yang selalu menjadi permasalahan dunia pendidikan
adalah jumlah guru yang masih kurang dan penyebarannya yang belum
merata. Kondisi jumlah sekolah, murid dan guru di Setiap desa pada
Kecamatan Garoga terlihat pada tabel II. 6. Perbandingan antara
jumlah guru dan murid masih, secara rata-rata, berada di atas
rata-rata yang diinginkan oleh sistem pendidikan. Kondisi tersebut
belum sesuai dengan standar ideal yang ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional adalah rasionya 1 : 25 untuk SD, 1 : 16 untuk
SLTP dan untuk SLTA adalah 1 : 13. Akan tetapi, perbandingan yang
ada sudah mendekati standard yang telah ditetapkan pemerintah untuk
menuju pendidikan yang bermutu.
Tabel II. 6. Jumlah murid dan Sekolah
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
SD
SMP
SMU
SMK
Neg
Swas
Neg
Swas
Neg
Swas
Neg
Swas
1
Sibaganding
106
(5)
2
Padang Siandomang
21
(13)
350
(19)
3
Parinsoran Pangorian
242
(12)
4
Aek Tangga
260
(15)
5
Simpang Bolon
274
(14)
6
Garoga Sibargot
526
(32)
565 (27)
231
(13)
268
(15)
7
Gonting Garoga
211
(17)
25
(29)
82
(7)
8
Sibalanga
228
(12)
9
Parsosoran
251
(10)
10
Lontung Jae I
413
(15)
11
Lontung Jae II
139
(10)
12
Gonting Salak
102
(4)
Total 2008
2963
(159)
940
(55)
231
(13)
82
268
(15)
Total 2007
2963
(159)
940
(55)
231
(13)
0
268
(15)
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
III. 3. 2. 2. Kesehatan
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu
hak dasar rakyat, yaitu mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan
UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Seperti halnya dengan pendidikan, kesehatan harus dipandang sebagai
investasi di masa mendatang dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan
masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah
dan merata. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai
derajat kesehatan masyarakat yang baik. Daerah yang memiliki
tingkat derajat kesehatan yang tinggi akan lebih berhasil dalam
melaksanakan pembangunan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat
diantaranya adalah kurangnya sarana pelayanan kesehatan, keadaan
sanitasi dan lingkungan yang tidak memadai, dan rendahnya konsumsi
makanan bergizi. Tetapi faktor terpenting dalam upaya peningkatan
kesehatan terletak pada manusianya sebagai subyek dan sekaligus
obyek dari upaya tersebut.
Kondisi prasarana kesehatan yang dimiliki oleh Kecamatan Garoga,
khususnya Desa Simpang bolon masih menunjukkan jumlah yang kurang
memadai. Untuk mengetahui prasarana kesehatan yang dimiliki oleh
tiap desa, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel II. 7. Jumlah Sarana Kesehatan
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
RS
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
PBU
BKIA
Posyandu
1
Sibaganding
1
2
Padang Siandomang
1
2
3
Parinsoran Pangorian
1
2
4
Aek Tangga
1
1
2
5
Simpang Bolon
1
1
2
6
Garoga Sibargot
1
2
7
Gonting Garoga
2
8
Sibalanga
1
2
9
Parsosoran
1
1
10
Lontung Jae I
1
2
11
Lontung Jae II
2
12
Gonting Salak
1
Total 2008
1
4
5
1
21
Total 2007
1
3
5
1
20
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Salah satu tujuan strategis yang akan dicapai pembangunan
kesehatan secara umum yang banyak tertera dalam rencana strategis
program pembangunan daerah adalah meningkatkan mutu, kinerja, dan
etika pelayanan tenaga kesehatan, institusi kesehatan dan unit
pelayanan. Pelayanan kesehatan yang baik bukan hanya untuk
dinikmati oleh masyarakat yang mampu saja. Setiap warga dan
masyarakat Kecamatan Garoga mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pelayanan yang layak, termasuk bagi masyarakat golongan
ekonomi lemah. Oleh sebab itu salah satu arah kebijakan pembangunan
kesehatan adalah mengembangkan sistem pelayanan kesehatan terhadap
penduduk miskin, salah satunya dengan pemberian kartu sehat,
sehingga diharapkan semua lapisan masyarakat yang ada dapat
menikmati pelayanan kesehatan yang baik.
Ketersediaan tenaga dan sarana kesehatan yang memadai menjadi
syarat penting dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat
kecukupan tenaga kesehatan adalah rasio tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah tenaga kesehatan yang
dimiliki oleh Kecamatan Garoga, khususnya Desa Simpang bolon juga
masih menunjukkan jumlah yang kurang memadai dengan melihat
perbandingan dengan jumlah masyarakat yang ada. Untuk mengetahui
jumlah tenaga kesehatan yang dimiliki oleh tiap desa, dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel II. 8. Jumlah Tenaga Kesehatan
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
Dokter
Bidan
Perawat
Dukun Bayi
Jumlah
1
Sibaganding
1
1
2
2
Padang Siandomang
1
1
2
4
3
Parinsoran Pangorian
1
1
2
4
4
Aek Tangga
1
1
2
4
5
Simpang Bolon
1
2
3
6
Garoga Sibargot
2
3
4
3
12
7
Gonting Garoga
2
2
8
Sibalanga
1
1
2
4
9
Parsosoran
3
3
10
Lontung Jae I
3
3
6
11
Lontung Jae II
3
3
12
Gonting Salak
1
1
2
Total 2008
2
13
8
26
49
Total 2007
2
13
8
26
49
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 3. 2. 3. Kekerabatan Beragama
Kekerabatan beragama terlihat cukup tinggi di daerah tersebut.
Hal ini bisa dilihat dengan jumlah rumah agama yang beragam. Akan
tetapi, Kecamatan Garoga hanya terdiri dari 2 kelompok agama, yaitu
kristen dan islam. Agama lainnya belum terdapat di daerah tersebut.
Sebaran rumah ibadah di daerah tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel II. 9. Jumlah Rumah Ibadah
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
Mesjid
Langgar
Gereja Katolik
Gereja Protestan
Jumlah
1
Sibaganding
4
4
2
Padang Siandomang
4
4
3
Parinsoran Pangorian
1
1
4
6
4
Aek Tangga
8
8
5
Simpang Bolon
5
5
6
Garoga Sibargot
4
1
12
17
7
Gonting Garoga
1
9
10
8
Sibalanga
1
5
6
9
Parsosoran
11
11
10
Lontung Jae I
1
8
9
11
Lontung Jae II
6
6
12
Gonting Salak
4
4
Total 2008
5
1
4
80
90
Total 2007
5
1
4
80
90
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 3. 2. 4. Telekomunikasi, Listrik dan Air
Keberadaan telekomunikasi, listrik dan air adalah faktor
penunjang bagi kelancaran perekonomian dan sosial suatu daerah.
Terisolirnya suatu daerah yang diakibatkan oleh tidak tersedianya
sarana prasarana atau faktor penggerak pertanian ini akan
menyebabkan hambatan atau keterlambatan kemajuan suatu daerah.
Dibandingkan dengan jumlah rumahtangga yang ada di Kecamatan
Garoga, maka ketersediaan telepon, listrik dan air bersih masih
sangat minim. Air bersih yang diperoleh dari PDAM belum diperoleh
di daerah tersebut sehingga masyarakat memperoleh air bersih masih
dari caracara btradisional. Kondisi telekomunikasi, listrik dan
ketersediaan air bersih di Kecamatan Garoga dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel II. 10. Jumlah Pelanggan Telepon, Listrik dan Air per
Desa
Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
Sarana Prasarana
Telepon
PLN
PDAM
1
Sibaganding
1
70
2
Padang Siandomang
1
66
3
Parinsoran Pangorian
1
74
4
Aek Tangga
96
5
Simpang Bolon
21
6
Garoga Sibargot
57
327
7
Gonting Garoga
115
8
Sibalanga
72
9
Parsosoran
78
10
Lontung Jae I
1
118
11
Lontung Jae II
12
Gonting Salak
Total 2008
61
1037
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 4. Kondisi Sosial Ekonomi
Secara garis besar, perubahan mendasar yang harus diupayakan
adalah perubahan bertahap dan terencana dari struktur ekonomi yang
agraris menjadi ekonomi yang industrialis, dengan fokus pada
pembangunan industri yang berbasis sumber daya alam yang tersedia
di sekitar daerah Kecamatan Garoga. Dalam skala menengah dan besar
langkah pertama yang mesti dilakukan adalah pemanfaatan lahan-lahan
kosong untuk pengembangan agro industri yang sesuai dengan daya
dukung lahan, disusul kemudian dengan peningkatan produktivitas
lahan dengan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Secara
bersamaan, untuk daerah-daerah dimana produksi agro industri telah
tersedia dilakukan pengembangan industri pengolahan untuk
meningkatkan nilai tambah hasil produksi, yang secara bertahap
ditingkatkan prosesnya semakin ke hilir, sehingga pada tahapan
akhir, semua hasil agro industri dari daerah ini keluar dalam
bentuk bahan jadi atau setengah jadi. Disamping itu, industri
manufaktur juga harus direncanakan dan dikembangkan secara
bertahap, dimulai dari industri yang berorientasi pada produk
konsumsi disusul dengan industri penunjang bagi kebutuhan industri
besar lainnya dan pada tahap akhir adalah industri hilir dari suatu
proses manufacturing yang menghasilkan barang jadi. Jenis industri
yang dikembangkan adalah jenis industri ringan dan menengah,
disamping karena letak geografis serta dukungan infrastruktur yang
belum memadai untuk pengembangan industri berat juga dalam rangka
menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam skala kecil, kegiatan ekonomi rakyat harus diarahkan pada
usaha dengan tujuan produksi, bukan lagi sebatas usaha untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hingga saat ini, pola
ekonomi rakyat cenderung menganut pola swasembada dalam lingkungan
keluarga kecil. Lahan pertanian ditanami untuk sekedar mencukupi
kebutuhan sehari-hari, tanpa upaya yang keras dan terarah pada
pencapaian skala produksi untuk peningkatan kualitas hidup. Seorang
petani sudah cukup puas apabila sawahnya menghasilkan beras yang
cukup untuk kebutuhan keluarga mereka sampai musim panen berikut,
dengan sedikit kelebihan untuk untuk kebutuhan sandang dan papan.
Untuk menghemat pengeluaran, para petani mempergunakan lahan
sekitar rumah, sehingga keluarga sedapat mungkin tidak perlu
mengeluarkan uang untuk membeli sayur mayur dan lauk pauk. Mereka
beternak ayam 10-20 ekor, memiliki kolam ikan kecil di pekarangan
belakang, menanam sayur sepetak dua petak dan menanam pohon
buah-buahan satu dua batang. Masing-masing keluarga melakukan hal
yang sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja. Tidak
terpikir untuk secara bersama, misalnya, mengelola perkebunan
kelapa secara massal, atau peternakan ayam skala menengah atau
besar, atau kebun hotikultura dengan skala produksi yang besar
sehingga tercapai skala ekonomi. Tingkat pengetahuan yang rendah
serta pengelolaan lahan dan sumber daya yang tidak efisien
menyebabkan ekonomi rakyat tidak bisa berkembang dengan cepat dan
baik. Hal ini terjdi juga di sektor industri rumah tangga. Para
pengrajin sudah cukup puas bila hasil kerajinannya bisa terjual di
pasar kecamatan sehingga bisa dipergunakan untuk memberi kebutuhan
sehari-hari, tanpa terpikirkan oleh mereka untuk secara bersama
mengelola suatu kelompok industri kecil yang berorientasi produksi
massal. Oleh karena itu, penyuluhan dan bimbingan serta mobilisasi
bantuan permodalan untuk menggerakkan ekonomi rakyat juga menjadi
salah satu program penting dalam pembangunan ekonomi.
Disamping bidang agraris dan industri, perlu pula digalakkan
sektor jasa. Namun perlu dipahami bahwa suatu masyarakat yang besar
dan tersebar dalam daerah yang relatif luas, serta dikelilingi oleh
masyarakat sekitarnya yang tradisional dengan kegiatan ekonomi yang
hampir sama dengan daerah tersebut, tidak bisa hanya mengandalkan
kegiatan ekonominya disektor jasa. Sebagai contoh, Singapura yang
kecil bisa hidup dan maju dari sektor jasa, karena disamping
posisinya yang strategis juga dikelilingi oleh negara-negara dengan
pola perekonomian produksi. Taiwan, juga kecil, hidup dan maju dari
sektor industri manufaktur, karena negeri ini tidak bisa
mengandalkan diri sebagai pengelola jasa untuk produk dari
tetangganya yang besar (China), karena hubungan politik yang tidak
baik. Hongkong bisa maju dari sektor industri dan jasa sekaligus,
meskipun ekonominya lebih didominasi oleh sektor jasa, karena
beruntung daerah ini merupakan tetangga baik dan bagian dari negara
sumber produksi yang besar. Mengingat Kecamatan Garoga secara
geografis letaknya biasa-biasa saja, tidak punya akses ke pelabuhan
antar pulau atau internasional, yang meskipun dikelilingi oleh
daerah-daerah produksi seperti Labuhan Batu, Tapanuli Selatan dan
Tapanuli Utara, namun fokus pada sektor jasa dengan mengandalkan
daerah sekitar sebagai sentra produksi kurang sesuai untuk
Kecamatan Garoga. Oleh karena itu, sektor jasa yang perlu
dikembangkan adalah yang menopang kegiatan produksi di daerah ini
sendiri, terutama sektor jasa transportasi barang, perdagangan dan
jasa keuangan. Selain itu, potensi lain merupakan sesuatu yang bisa
dimanfaatkan dari kekayaan budaya dan keindahan alam Kecamatan
Garoga. Namun sekali lagi, mengingat letak geografis yang relatif
terisolasi serta masih rendahnya mutu infrastruktur daerah, maka
sektor ini bukanlah sektor andalan dalam pembangunan ekonomi
daerah, paling tidak dalam jangka pendek hingga menengah.
Dari uraian di atas, maka disimpulkan bahwa rencana strategis
pengembangan ekonomi Kecamatan Garoga, fokus pengembangan adalah
sektor produksi agro maupun secara skala kecil sektor produksi
industri rumah tangga. Untuk mendorong terjadinya perubahan dan
restrukturisasi kegiatan perekonomian ini, perlu kiranya dijabarkan
peranan apa yang harus diambil oleh pemerintah daerah. Sebagaimana
disebutkan bahwa peran pemerintahan daerah dalam pembangunan
ekonomi adalah sebagai regulator, fasilitator dan pengawas, maka
pemerintah daerah perlu menyusun peraturan-peraturan daerah yang
lebih kondusif bagi pengembangan industri dan jasa. Pengaturan tata
ruang Kabupaten harus direncanakan dengan seksama dengan wawasan
jangka panjang paling tidak untuk kebutuhan 20 tahun kedepan.
Master plan pengembangan wilayah harus dibuat sedeteil mungkin
dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan ekonomi serta
kelestarian lingkungan hidup. Insentif-insentif berupa hak
penguasaan lahan, lokasi serta insentif pajak daerah dirancang
untuk ekonomi. Insentif-insentif berupa hak penguasaan lahan,
lokasi serta insentif pajak daerah dirancang untuk menjamin
kelangsungan usaha yang menguntungkan secara berkelanjutan dengan
tahapan dan sangsi yang jelas.
Pembangunan infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi
dilaksanakan bersama-sama oleh pemerintah daerah dan sektor swasta
dengan pola dan aturan yang jelas dan menguntungkan bagi
kelangsungan pembangunan itu sendiri. Infrastruktur yang mesti
dibangun tidak hanya menyangkut infrastruktur fisik, akan tetapi
juga menyangkut infrastruktur permodalan. Untuk itu lembaga
keuangan pendukung kegiatan ekonomi harus ditumbuhkembangkan, mulai
dari Bank Pembangunan Daerah sampai pada lembaga keuangan non bank
seperti asuransi, lembaga pendanaan non bank, serta buras saham
lokal.masyarakat umum dirangsang untuk turut aktif dalam
berinvestasi baik melalui tabungan masyarakat di lembaga perbankan.
Seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat, maka budaya
menabung masyarakat di lembaga keuangan harus dirangsang untuk
meningkatkan efektifitas penggunaan dana masyarakat dalam
pembangunan. Dengan demikian diharapkan siklus pengembangan ekonomi
yang berbentuk spritual meningkat akan terbentuk.
Dalam hal infrastruktur fisik seperti jalan, sumber energi,
telekomunikasi, serta infrastruktur industri dan, perencanaan dan
pembangunannya harus berorientasi jangka panjang, sehingga biaya
pengembangan selanjutnya menjadi lebih efisien, infrastruktur
perkotaan dirancang secara terkordinasi untuk kebutuhan jangka
panjang. Pelaksanaan pembangunan harus terkordinasi dengan baik,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Dalam fungsinya sebagai pengawas dalam kegiatan perekonomian,
kepastian hukum dan penegakannya harus dijalankan secara tegas dan
tuntas, karena hal ini merupakan salah satu faktor penentu utama
dalam merangsang kegiatan ekonomi. Tanpa adanya kepastian hukum,
investor baik dari daerah sendiri maupun dari luar daerah, apalagi
dari luar negeri, akan sangat enggan untuk berusaha di daerah.
Perlindungan yang seimbang dan adil terhadap pengusaha da tenaga
kerja harus dirancang dan diterapkan secara konsisten. Pemahaman
akan pentingnya keharmonisan hubungan antar pengusaha, tenaga
kerja, pemerintah dan masyarakat umum merupakan salah satu dalam
keseimbangan usaha. Dalam hal ini, pemerintah harus mengambil peran
sebagai fasilitator sekaligus arbirator yang adil bagi semua
pihak.
Maka dalam pandangan perekonomian secara makro, pemerintah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan perekonomian.
Bila ditarik analogi ke skala mikro di perusahaan, maka pemerintah
adalah ibarat share holder dari perusahaan, karena dia mendapat
pembagian deviden-nya dari pajak atas kegiatan perusahaan, baik
pajak penghasilan perseorangan, pajak pertambahan nilai, pajak
perseroan, pajak bumi dan bangunan, dan lain sebagainya. Dalam
pengelolaan perusahaan, pemerintah juga merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan perannya ibarat overhead bagi perusahaan, yang
berfungsi mendukung, mengatur dan melakukan pengawasan. Oleh karena
itu, tidak bosan-bosannya untuk menekankan, bahwa kesadaran dan
pemahaman setiap aparat pemerintah akan peran ini sangat penting.
Majunya perekonomian masyarakat akan membawa kemajuan pula kepada
pemerintahan. Meningkatnya pendapatan dan keuntungan perekonomian
masyarakat maka akan meningkatkan pula penghasilan pemerintah, yang
sekaligus memberikan ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan aparatnya.
II. 5. Ketenagakerjaan
Pembangunan ketenagakerjaan pada saat ini dititikberatkan pada
tiga masalah pokok, yakni perluasan dan pengembangan lapangan
kerja, peningkatan kualitas dan kemampuan tenaga kerja serta
perlindungan tenaga kerja. Oleh karena masalah ketenagakerjaan
sampai saat ini masih merupakan permasalahan dan isu yang komplek
serta terus berkembang maka masalah ketenagakerjaan tidak hanya
menjadi masalah daerah namun telah menjadi masalah nasional bahkan
regional dan internasional, sekaligus harus membutuhkan perhatian
yang sangat serius dari semua pihak terkait, baik pemerintah,
pengusaha, pekerja itu sendiri dan pihak lainnya.
Secara teori tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk yang
mampu bekerja memproduksi barang dan jasa. Pada beberapa negara
saat ini tenaga kerja adalah penduduk usia 15 - 64 tahun. Di
Indonesia sampai saat ini penelitian masalah ketenagakerjaan masih
diberlakukan untuk usia 15 tahun keatas. Kondisi ini lebih
disebabkan karena adanya wajib belajar 9 tahun di Indonesiadan
diatas 65 tahun yang bekerja. Dalam berbagai analisis
ketenagakerjaan sudah menggunakan batasan umur 15 tahun keatas.
Penduduk 15 tahun keatas (tenaga kerja) terdiri dari angkatan kerja
dan bukan angkatan kerja.
Dalam analisis tenaga kerja, bagian yang sangat penting mendapat
perhatian adalah angkatan kerja. Angkatan kerja didefinisikan
sebagai bagian dari tenaga kerja yang benar-benar siap bekerja
untuk memproduksi barang dan jasa. Mereka yang siap bekerja ini
terdiri dari yang benar-benar bekerja dan mereka yang tergolong
sebagai pengangguran. Pengangguran disini didefinisikan sebagai
angkatan kerja yang tidak bekerja dan saat sedang mencari kerja
atau mempersiapkan usaha atau juga orang yang sudah merasa putus
asa untuk mendapatkan pekerjaan. Selanjutnya Tenaga kerja yang
termasuk kedalam bukan angkatan kerja adalah mencakup mereka yang
bersekolah, mengurus rumahtangga, penerima pendapatan (pensiunan)
dan lain-lain.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia termasuk di Kecamatan
Garoga diperkirakan akan semakin kompleks. Indikasi ini terlihat di
samping pertambahan penduduk usia kerja setiap tahunnya yang terus
meningkat sebagai implikasi dari jumlah penduduk yang cukup besar
disertai struktur umur yang cenderung mengelompok pada usia muda
juga masih tingginya angka pengangguran terutama pengangguran
terbuka.
Selain pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung yaitu
mereka yang bekerja kurang dari jam kerja normal juga merupakan
permasalahan ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian. Kondisi
tersebut banyak terjadi di Tapanuli Selatan yang antara lain
sebagai konsekuensi dari masyarakat bercorak agraris dan lapangan
pekerjaan yang sangat terbatas serta semakin banyak calon tenaga
kerja baru baik yang berpendidikan maupun tidak.
Untuk memberikan gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kecamatan
Garoga dalam bagian ini akan disajikan kondisi ketenagakerjaan.
Dari data yang ada, hanya jumlah tenaga kerja di sector industry
yang disajikan karena hamper sebagian besar masyarakat di kecamatan
ini adalah petani dalam artian secara luas. Dengan kondisi ini maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terlalu jelas indikator-indikator
ketenagakerjaan yajng ada di kecamatan tersebut. Akan tetapi,
dengan kondisi seperti ini maka dapat diambil gambaran sementara
bahwa jumlah pengangguran sangat rendah di daerah tersebut karena
aktifitasnya sebagai petani. Jumlah tenaga kerja yang ada di sektor
industri dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel II. 11. Jumlah Tenaga Kerja Usaha Industri menurut
Golongan Industri
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
Industri
Jumlah
Besar/Sedang
Kecil
Rumah Tangga
1
Sibaganding
2
Padang Siandomang
11
32
43
3
Parinsoran Pangorian
8
8
4
Aek Tangga
42
42
5
Simpang Bolon
44
44
6
Garoga Sibargot
16
72
88
7
Gonting Garoga
32
32
8
Sibalanga
11
11
9
Parsosoran
10
Lontung Jae I
24
24
11
Lontung Jae II
12
Gonting Salak
Total 2008
27
265
292
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 6. Perekonomian
Percepatan pembangunan ekonomi adalah salah satu program
strategis pembangunan daerah Kabupaten Garoga. Seperti halnya
kondisi perekonomian di Sumatera Utara, perekonomian Kecamatan
Garoga juga menunjukkan pertumbuhan positif, kendatipun masih jauh
dari yang diharapkan yaitu perbaikan ekonomi yang sesungguhnya.
Kondisi tersebut akan dicapai melalui pemberdayaan masyarakat dan
seluruh kekuatan ekonomi yang ada terutama usaha kecil, rumah
tangga dan koperasi melalui sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu
pada mekanisme pasar yang berkeadilan serta sumber daya manusia
yang produktif dan mandiri.
II. 6. 1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Laju pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang
dapat digunakan untuk melihat perkembangan perekonomian di suatu
daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil menjadi sasaran
dan kondisi yang diharapkan dari pembangunan ekonomi yang
dilaksanakan. Dilihat dari pertumbuhan ekonominya, Kabupaten
Tapanuli Selatan masih merupakan daerah dengan laju pertumbuhan
ekonomi yang masih rendah dibanding daerah lainnya di Sumatera
Utara.
Struktur perekonomian suatu daerah sangat menentukan tingkat
status perekonomiannya. Daerah dengan struktur perekonomian yang
didominasi sektor primer pertanian dan pertambangan dapat dikatakan
masih tergolong tipe perekonomian tradisional, sebaliknya daerah
dengan tipe perekonomian yang sudah maju struktur prekonomiannya di
dominasi oleh sektor sekunder (industri, listrik dan bangunan) dan
sektor tersier (perdagangan/hotel/restoran, angkutan/ komunikasi,
keuangan dan jasa).
PAD merupakan sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk
membiayai pembangunan di daerah tersebut. Anggaran daerah akan
ditentukan oleh penerimaan dan biaya (rutin dan pembangunan) di
daerah tersebut. Peningkatan PAD sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan pembangunan perekonomian daerah. Secara umum target
PAD yang telah ditetapkan oleh suatu daerah merupakan ukuran yang
dapat digunakan untuk pencapaian tujuan dan pelaksanaan program
pembangunan di daerah tersebut. PAD suatu kecamatan hanya diperoleh
dari beberapa unsur yang ada dalam PAD, seperti pajak bumi dan
bangunan dan pajak serta retribusi daerah. PAD Kecamatan Garoga
sebagian besar berasal dari pajak bumi dan bangunan. Data ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar perekonomian di daerah ini
didukung oleh sektor pertanian yang mana dapat menghasilkan pajak
bumi dan bangunan yang cukup besar dari penguasaan lahan-lahan
pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat. Data target
dan realisasi PAD Kecamatan Garoga untuk tahun 2008 dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel II. 12. Nilai Penerimaan PAD Menurut Jenis Pungutan
Di Kecamatan Garoga Tahun 2008 (Rp.)
No.
Kegiatan
Target
Realiasi
%
1
PBB
18.384.365
17.262.274
93.9
2
Pajak Daerah
1. Hotel dan Restauran
2. Ijin Bangunan
3. Minuman Keras
4. Hiburan
2.988.000
100.000
120.000
2.195.478
73,48
0
0
3
Retribusi
1. Pasar
2. Sewa Bulanan
3. Sewa Tanah
4. Sampah
5. Ijin Gangguan
6.708.000
1.380.000
665.000
570.000
1.700.000
6.519.650
1.305.000
519.500
545.000
1.585.000
97,19
94,57
78,12
95,61
93,24
Total 2008
32.315.365
29.931.902
92,62
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 6. 2. Lembaga Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak akan terlepas dari
dukungan lembaga-lembaga ekonomi yang berada di daerah tersebut.
Dengan kondisi dimana perekonomian Kecamatan Garoga berada di
ekonomi rakyat, maka dukungan lembaga-lembaga ekonomi sebagai
lembaga intermediasi dalam perdaganganh sangat dibutuhkan. Lembaga
ekonomi tersebut apabila dapat diberdayakan dengan baik, akan
menghasilkan daya tawar petani menjadi lebih tinggi lagi sehingga
indeks nilai tukar petani akan meningkat. Pemasaran barang dan jasa
yang dilakukan perorangan atau individu akan menyebabkan posisi
tawar akan menjadi lebih lemah, apalagi ditambah saranja pendukung
pemasaran tidak tersedia dengan mencukupi dan dalam kondisi yang
baik.
Koperasi adalah soko guru dalam perekonomian Indonesia, terutama
perekonomian rakyat. Pemberdayaan koperasi dengan baik akan membuat
perkembangan ekonomi rakyat akan bertambah baik karena kekuatan
koperasi dalam melaksanakan fungsi intermediasi perekonomian. Hanya
saja, kondisi perkoperasian hampir di seluruh daerah di Indonesia
belum menunjukkan hasil yang menggembirakan sehingga sering
didapatkan bahwa lembaga non koperasi lebih berperan dalam
menunjang perekonomian daerah.
Kondisi perkoperasian di Kecamatan Garoga juga menunjukkan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan daerahy lainnya. Dengan luas daerah
dan jumlah penduduk yang cukup besar, kecamatan ini hanya memiliki
1 KUD dan hanya memiliki 1000 orang anggota. KUD inipun hanya
berada di desa yang paling besar di kecamatan tersebut. Lebih
lengkapnya, data mengenai KUD dan keanggotaannya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel II. 13. Jumlah dan Anggota KUD dan Non-KUD
per Desa Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
Lembaga Ekonomi
KUD
Non-KUD
Jumlah
1
Sibaganding
2
Padang Siandomang
3
Parinsoran Pangorian
1
(110)
1
(110)
4
Aek Tangga
5
Simpang Bolon
6
Garoga Sibargot
1
(1000)
1
(257)
2
(257)
7
Gonting Garoga
8
Sibalanga
9
Parsosoran
10
Lontung Jae I
11
Lontung Jae II
12
Gonting Salak
Total 2008
1
(1000)
2
(367)
3
(1367)
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
II. 6. 3. Sarana Transportasi
Sarana transportasi tidak kalah pentingnya dibandingkan sarana
perekonomian lainnya untuk mendistribusikan hasil-hasil
perekonomian dari suatu tempat ke pasar dimana terjadi transaksi
antara pembeli dan penjual. Selain itu, sarana transportasi juga
diperlukan untuk berkembangnya pengetahuan dan cara berpikir
masyarakat dengan dapatnya mereka melihat daerah lain di luar
daerah mereka sehingga mereka dapat belajar dan mengambil manfaat
dari pengetahuan daerah lainnya. Sarana transportasi merupakan
unsur pendukung kegiatan-kegiatan masyarakat untuk memperlancara
penyampaian barang dan jasa.
Dari data yang diperoleh, maka dapat dilihat bahwa sarana
transportasi di Kecamatan Garoga sudah menunjukkan jumlah yang
cukup untuk mendukung perkembangan perekonomian daerah tersebut.
Kebanyakan sarana transportasi yangt dimiliki oleh masyarakat
adalah sepeda motor. Hal ini digunakan oleh masyarakat dikarenakan
kondisi jalan yang belum begitu mendukung, dimana jalan yang ada
hanya dapat dilalui oleh sepeda motor dan sebagian besar belum
dapat dilalui oleh jenis kendaraan lainnya. Keberadaan kendaraan
bermotor pada Kecamatan Garoga dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel II. 14. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenisnya per
Desa
Di Kecamatan Garoga Tahun 2008
No.
Desa/Kelurahan
Mopen
Bus
Mobil Angkutan
Sepeda Motor
Jumlah
1
Sibaganding
3
13
16
2
Padang Siandomang
3
1
3
18
25
3
Parinsoran Pangorian
1
22
23
4
Aek Tangga
2
5
24
31
5
Simpang Bolon
2
19
21
6
Garoga Sibargot
8
7
11
68
94
7
Gonting Garoga
1
2
2
21
26
8
Sibalanga
2
20
22
9
Parsosoran
1
18
19
10
Lontung Jae I
38
38
11
Lontung Jae II
23
23
12
Gonting Salak
16
16
Total 2008
14
19
21
300
354
Total 2007
14
19
21
300
354
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Bab ini akan menggambarkan atau mengidentifikasi dan
menganalisis potensi SDM yang akan direncanakan untuk transmigran
nantinya. Identifikasi dan potensi SDM akan dilakukan berdasarkan
keberadaan tenaga kerja, tingkat pendidikan masyarakat, dan umur
SDM. Dari analisis yang dilakukan akan menjadi acuan pada bagian
berikutnya sehingga diperoleh rencana peemtapan transmigran seperti
yang diinginkan oleh pemerintah. Pelaksanaan identifikasi dan
analisis potensi SDM dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu melalui
data sekunder yang dikumpulkan dan melalui verifikasi yang langsung
dilakukan ke lapangan atau desa yang telah ditentukan sebelumnya.
Dengan melakukan cara-cara di atas, maka akan diperoleh analisis
yang lebih baik dan tepat.
Analisis yang dilakukan akan menggunakan sifat analisis
deskriptif kualitatip, dengan analisis ini akan diperoleh SDM
potensial secara status dan potensial secara kemampuan. Setelahnya,
maka hasil analisis menggunakan data sekunder tersebut akan
dibuktikan dengan melakukan survei lapangan dan survei sosial
ekonomi, untuk menyamakan keberadaan data sekunder dan data primer
di lapangan. Perbandingan antara perolehan data sekunder dan data
primer inilah yang akan dijadikan kesimpulan dalam pencanangan
pemilihan transmigran.
III. 1. Identifikasi SDM
Kondisi SDM sangat mempengaruhi lingkungan atau keberadaan
transmigran nantinya untuk pengembangan dan pembauran serta
kerjasama antara penduduk dan pendatang nantinya. Pengembangan
wilayah transmigrasi untuk menjadi pusat-pusat ekonomi akan sangat
tergantung pada kualitas SDM yang ada. Di bawah ini akan dianalisis
beberapa indikator dari kualitas SDM yang ada di wilayah tersebut
sehingga didapatkan gambaran sebenarnya dari kondisi yang ada dan
ini akan memudahkan perencanaan ke depan nantinya.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit
tunggal yang walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi dari
pembangunan manusia, tetapi mengukur tiga dimensi pokok pembangunan
manusia yang dinilai mampu mencerminkan status kemampuan dasar
(basic capabilities) penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah
umur panjang dan sehat, berpengetahuan dan berketerampilan, serta
akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar
hidup layak. Konsep Pembangunan Manusia berbeda dengan pembangunan
yang memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi, dengan
asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan menguntungkan
manusia. Pembangunan manusia memperkenalkan konsep yang lebih luas
dan lebih komprehensif yang mencakup semua pilihan yang dimiliki
oleh manusia di semua golongan masyarakat pada semua tahap
pembangunan. Pembangunan Manusia merupakan perwujudan tujuan jangka
panjang dari suatu masyarakat dan meletakkan pembangunan
disekeliling manusia, bukan manusia di sekeliling pembangunan.
Banyak daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi cukup
baik yang diperlihatkan dengan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun memiliki
kualitas pembangunan manusia yang rendah. Hal ini mungkin terjadi
karena tingkat PDRB yang tinggi di suatu daerah tersebut belum
tentu dinikmati langsung oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu untuk
menjaga keseimbangan antara Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan
Manusia perlu terus dipantau tingkat dan kualitas Pembangunan
Manusia melalui IPM selain Pembangunan Ekonomi yang telah diukur.
Untuk melihat perkembangan IPM di Kabupaten/Kota, tingkatan status
Pembangunan Manusia dibedakan 4 kriteria dimana status menengah
dipecah menjadi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas. Jika
status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal
ini berarti kinerja pembangunan manusia daerah tersebut masih
memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu
juga jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria
menengah hal ini berarti pembangunan manusia masih perlu
ditingkatkan.
Penduduk adalah bersifat dinamis, selalu berubah dan berkembang.
Jumlah penduduk suatu tempat akan selalu berubah mengikuti
perubahan dari waktu, yang jumlahnya dapat bertambah maupun
berkurang. Analisis kependudukan dan sosial ekonomi di suatu daerah
akan memberikan gambaran secara umum mengenai kemungkinan dapat
dikembangkannya daerah tersebut, mengarah ke sektor mana yang harus
diprioritaskan, sehingga laju pertumbuhan ekonomi yang direncanakan
dapat tercapai.
Salah satu pertimbangan yang cukup penting dalam penentuan
lokasi potensial bagi pengembangan permukiman transmigrasi di Desa
Simpang Bolon Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara adalah
dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk. Dengan mengetahui
kepadatan penduduk tersebut maka akan diketahui apakah lokasi
potensial tersebut berdasarkan faktor kepadatan kependudukan masih
memungkinkan untuk dikembangkan sebagai permukiman transmigrasi
atau tidak. Kepadatan penduduk berdasarkan standard Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk dapat dikembangkan menjadi
pemukiman transmigrasi adalah < 75 Jiwa/Km2 untuk WPT (Wilayah
Pengembangan Transmigrasi) dan 75 - 150 Jiwa/Km2 untuk LPT (Lokasi
Permukiman Transmigrasi). Berdasarkan analisa kepadatan penduduk di
masing-masing lokasi potensial yang didekati dengan kepadatan per
satuan wilayah admmistrasi desa.
Tabel III. 1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Jenis
Kelamin
Desa Simpang Bolon Di Kecamatan Garoga Tahun 2007 (jiwa)
No.
Desa/Kelurahan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Kepadatan Penduduk
1
Simpang Bolon
393
412
805
11,53
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Jumlah penduduk di Desa Simpang Bolon masih menunjukkan jumlah
yang cukup sedikit bila dibandingkan dengan standard yang telah
ditetapkan oleh pemerintah di atas sehingga kemungkinan
dimekarkannya atau ditambahkannya program transmigrasi dari
penduduk desa tersebut masih memungkinkan. Hal tersebut juga dapat
dikuatkan dengan melihat tingkat kepadatan penduduk yang hanya
11,53 orang per km2. Kelayakan penambahan transmigrasi dari
penduduk setempat masih dimungkinkan tanpa merubah tingkat
kepadatan penduduk karena penambahan transmigran yang berasal dari
penduduk setempat hanya merupakan proses relokasi dari suatu lahan
ke lahan yang lain.
Kondisi Desa Simpang Bolon dilihat dari struktur jumlah
penduduknya merupakan suatu keadaan yang baik mengingat dengan
adanya relokasi penduduk menjadi transmigran akan membuka daerah
tersebut menjadi lebih merata. Dengan kepadatan penduduk seperti di
atas maka masih banyak lahan-lahan kosong yang belum dikerjakan.
Dengan relokasi sebagian penduduk ke lahan transmigrasi maka
pembangunan lahan tidur akan terlaksana dengan asumsi penanganan
yang dilakukan pemerintah daerah maksimum dan terpadu.
Tabel III. 2. Jumlah dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga
Desa Simpang Bolon Di Kecamatan Garoga Tahun 2007 (jiwa)
No.
Desa/Kelurahan
Rumah Tangga
Rata-Rata Anggota Rumah Tangga
1
Simpang Bolon
78
3,5
Sumber : Kecamatan Garoga Dalam Angka. 2008.
Data keadaan penduduk Desa Simpang Bolon juga bisa disandingkan
dengan jumlah rumah tangga yang berada di desa tersebut. Data
menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang ada di desa tersebut
hanya 78 dan merupakan salah satu yang terendah dari desa-desa yang
berada di Kecamatan Garoga. Data ini mengindikasikan bahwa kondisi
masyarakat masih bisa diperluas atau direlokasi ke daerah atau
lahan transmigrasi tanpa menambah jumlah rumah tangga yang ada.
Jumlah rata-rata tanggungan yang dimiliki oleh rumah tangga di
Desa Simpang Bolon juga memungkinkan mereka membantu kinerja dari
kepala rumah tangga dalam mengelola lahan dan kegiatan transmigrasi
yang nantinya akan diperoleh keluarganya. Dengan rata-rata anggota
keluarga yang berjumlah 3,5 atau 4 orang maka akan cukup sebagai
tenaga kerja dalam keluarga untuk mendukung pekerjaan dan kegiatan
usahatani pada lahan transmigrasi nantinya.
511
14%
5
Gambar III. 1. Kisaran dan Rata-Rata Jumlah Tanggungan
di Desa Simpang Bolon Tahun 2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Ketersediaan tenaga kerja sangat berkaitan erat dengan
pertumbuhan penduduk di suatu tempat, sedang kebutuhan tenaga kerja
berkaitan dengan kemajuan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Ketersedian tenaga kerja yang telah diuraikan diatas, yaitu
merupakan jumlah proyeksi penduduk di wilayah Desa Simpang Bolon
Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara. Sedang kebutuhan tenaga
kerja dapat diamati dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah
tersebut. Apabila suatu daerah memiliki laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, maka daerah tersebut akan memerlukan lebih banyak
tenaga kerja dengan tingkat keahlian tertentu untuk mendukung
perekonomiannya yang sedang lumbuh tersebut.
Tani, 69, 89%
Wiraswasta,
5, 6%
Lain, 4, 5%
Tani
Wiraswasta
Lain
Gambar III. 2. Pekerjaan Penduduk Desa Simpang Bolon Tahun
2009.
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Dari tabel pada bab sebelumnya dan gambar di atas dapat
diindikasikan trend dari pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun
kemudiannya. Dan dari keadaan tersebut dapat diperkirakan
pertumbuhan dari kebutuhan tenaga kerja untuk masing-masing sektor
secara kualitatip, yaitu seperti dibawah ini:
a. Yang paling banyak menyerap tenga kerja adalah dari sektor
pertanian. Hal ini dapatlah dimengerti karena disamping masih padat
karya, maka struktur ekonomi diperkiran masih belum akan berubah
dalam beberapa tahun mendatang ini.
b. Dengan berkembangnya perekonomian di daerah ini, maka sektor
jasa-jasa akan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Sektor jasa
ini akan menunjang sektor-sektor lain yang sedang berkembang dan
memberikan pertalian dengan kegiatan ekonomi antar wilayah.
c. Sektor angkutan merupakan penyerap tenaga kerja peringkat ke
empat. Hal ini wajar karena perkembangannya berkaitan erat dan
mendukung sektor jasa-jasa.
d. Sektor industri dan pengolahan rumah tangga menyusul
berkembang dan akan banyak menyerap tenaga kerja, dalam proses
produksinya, untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan baik
untuk kebutuhan lokal maupun untuk dipasarkan ke luar wilayah.
Dengan berkembangnya sektor industri dan pengolahan rumah
tangga, maka akan sangat berkaitan erat dengan penyediaan sektor
listrik, gas dan air bersih, meskipun demikian sebenarnya sektor
ini tidak menyerap tenaga kerja terlalu banyak meskipun dapat
memberikan sumbangan kepada PDRB karena selama ini masih dilakukan
secara tradisional. Mengenai jumlah kuantitatif kebutuhan tenaga
kerja, baru akan dapat diperhitungkan secara rinci apabila telah
diketahui masing-masing rencana investasinya dengan rincian
besarnya modal yang di tanamkan, waktu dan lokasinya.
Kecocokan Desa Simpang Bolon untuk dikembangkan menjadi tambahan
lahan transmigrasi juga terlihat dari kesanggupan daerah tersebut
dalam membayar kewajibannya kepada pemerintah melalui PBB. Dengan
target yang cukup minim yang telah ditetapkan, belum dapat dipenuhi
oleh masyarakatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan
rata-rata rumah tangga di desa tersebut masih sangat rendah
walaupun kemauan membayarnya, mungkin cukup besar untuk membayar
kewajibannya.
Dengan kondisi ini, maka masyarakat Desa Simpang Bolon masih
dimungkinkan untuk dibuat sebagai tambahan transmigran pada lahan
transmigrasi di desa tersebut. Kekurangan pendapatan yang
mengakibatkan kelemahan dalam membayar kewajiban dalam bentuk PBB
mungkin disebabkan terbatasnya kemampuan dalam melakukan kegiatan
usahatani yang mungkin lahannya sangat terbatas. Dengan seleksi
atau penempatan yang dilakukan dengan baik, mungkin akan
menyebabkan relokasi penduduk menjadi transmigran akan menambah
kemampuan mereka untuk berkembang dan memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi sehingga mampu untuk membayar kewajibannya.
Tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Desa Simpang Bolon
masih bisa dikategorikan cukup rendah walaupun secara rata-rata
sudah berada pada kisaran SLTP (Lihat Lampiran). Kisaran ini boleh
dibilang belum dapat dikatakan mampu untuk mendukung kegiatan dan
aktifitas yang diberikan oleh program transmigrasi nantinya. Dengan
demikian, pemerintah memang harus dapat memisahkan dan memilih
calon transmigran dari penduduk desa ini yang memiliki tingkat
pendidikan minimal SLTA dan sederajat. Kisaran pendidikan kepala
rumah tangga dpat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar III. 3. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga
Desa Simpang Bolon Tahun 2009.
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Disamping itu, rata-rata umur kepala rumah tangga di Desa
Simpang Bolon masih berkisar 45,9 tahun. Melihat angka ini, maka
umur tersebut masih termasuk pada usia yang masih produktif
walaupun ada beberapa kepala rumah tangga yang usianya sudah di
atas 60 tahun (lihat lampiran). Ini juga merupakan indikasi bagi
pemerintah untuk memilih calon yang masih dalam usia produktif
sehingga nantinya akan dapat menjalankan program-program
transmigrasi yang akan diberikan nantinya. Adapun kisaran usia
kepala rumah tangga di Desa Simpang Bolon dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
< 304
5%
30 -5045
58%
> 5029
37%
< 3030 -50> 50
Gambar III. 4. Kisaran dan Rata-Rata Umur Kepala Rumah
Tangga
di Desa Simpang Bolon Tahun 2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Disamping itu, ibu rumah tangga yang akan membantu peran kepala
rumah tangga nantinya juga turut berperan serta dalam menentukan
pilihan nantinya. Dari data primer yang dikumpulkan di lapangan,
maka dapat dilihat bahwa rata-rata usia ibu rumah tangga di lokasi
studi adalah 41,5 tahun. Angka ini tidak jauh berbeda dengan angka
kepala rumah tangga dan masih berada pada kisaran usia yang cukup
produktif. Adapun kisaran usia ibu rumah tangga di lokasi studi
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
< 3012
16%
30 -5043
56%
> 5021
28%
< 3030 -50> 50
Gambar III. 5. Kisaran dan Rata-Rata Umur Ibu Rumah Tangga
di Desa Simpang Bolon Tahun 2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Disamping kuantitas atau jumlah umur yang diperhatikan, kualitas
ibu rumah tangga yang dilihat dari tingkat pendidikannya juga
berpengaruh pada kelancaran pelaksanaan pekerjaan suaminya pada
saatnya nanti. Tingkat pendidikan yang sejajar antara suami dan
istri akan sangat membantu dalam melakukan program-program
transmigrasi nantinya. Hal ini terlihat dari rata-rata tingkat
pendidikan yang telah dicapai oleh ibu rumah tangga di lokasi studi
sebesar hampir SLTP (data lengkap lihat lampiran). Adapun jumlah
dan kisaran tingkat pendidikan ibu rumah tangga di Desa Simpang
Bolon dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
SD28
37%
SLTP28
37%
SLTA20
26%
SDSLTPSLTA
Gambar III. 6. Kisaran dan Rata-Rata Tingkat Pendidikan
Ibu Rumah Tangga di Desa Simpang Bolon Tahun 2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan suatu kawasan memiliki
daya tarik tinggi terhadap penduduk setempat maupun penduduk
migrasi, misalnya tanahnya subur, alam yang indah, ataupun
berkembangnya suatu kawasan industri disuatu tempat. Suatu kawasan
diperkirakan dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi
kehidupan seseorang, akan menjadi daerah yang dicari dan diburu
orang. Pada tahap selanjutnya daerah-daerah seperti ini akan
menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang menampung masyarakat dari
berbagai daerah. Di pusat pertumbuhan semacam ini tidak hanya satu
sektor saja yang berkembang, tetapi dapat dikatakan bahwa
keseluruhannya akan berkembang saling mendukung dan bahu-membahu
sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Dapat diasumsikan bahwa
daerah-daerah yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi serta
daerah-daerah yang memiliki pertumbuhan penduduk pendatang berarti
daerah tersebut diminati dan memiliki daya tarik yang tinggi.
Dengan asumsi demikian maka wilayah studi merupakan daerah yang
mempunyai daya tarik tinggi.
III. 2. Identifikasi Aspek Umum Desa Simpang Bolon
Desa Simpang Bolon berada pada ketinggian 900 meter dpl dan
memiliki 5 bulan musim hujan (September Januari) dan 7 bulan musim
kering (Februari Agustus). Tapi saat ini sering terjadi perubahan
musim antara musim hujan dan musim kering sehingga tidak dapat
diramalkan lagi dengan tepat. Pergeseran musim tersebut berpengaruh
pada waktu bercocok tanam bagi petani dan kegiatan-kegiatan
pertanian lainnya.
Kon disi desa yang merupakan lokasi studi juga menunjukkan
situasi dan kondisi yang masih tradisionil. Hal ini ditunjukkan
dengan kondisi lahan yang masih banyak belum dikerjakan atau masih
merupakan lahan tidur. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
Gambar III. 7. Kondisi Lahan di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Gambar III. 8. Kondisi Lahan di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Desa lokasi studi sudah dialiri oleh listrik, akan tetapi belum
semua penduduk yang menikmati listrik. Hal ini dikarenakan
kemampuan penduduk untuk memasang dan membayar listrik masih sangat
rendah sehingga sebagai penerangan, banyak penduduk yang masih
menggunakan penerangan tradisional. Masuknya listrik ke desa
tersebut dapat dilihat dari adanya tiang listrik di desa tersebut.
Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar III. 9. Kondisi Listrik di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Gambar III. 10. Kondisi Listrik di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Jalan yang ada di desa ini masih sebagian besar merupakan jalan
tanah dan belum jalan yang beraspal seluruhnya. Kondisi jalan yang
ada saat ini juga menunjukkan kondisi yang kurang baik sehingga
mengganggu untuk pendistribusian barang dan jasa. Dalam desa ini
terdapat beberapa jembatan yang digunakan untuk menghubungkan satu
daerah dengan daerah lainnya. Jalan yang ada sangat sulit dilalui
pada waktu musim hujan karena akan menjadi lumpur yang sangat sulit
untuk dilewati oleh kendaraan. Dari hasil wawancara dengan penduduk
desa, dikatakan bahwa penduduk desa angat kesulitan untuk pergi
keluar desa dalam melakukan aktifitas karena jeleknya sarana jalan
dan transportasi di desa tersebut. Adapun bentuk dan kondisi jalan
di lokasi studi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar III. 11. Kondisi Jalan di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Gambar III. 12. Kondisi Jalan di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Gambar III. 13. Kondisi Jalan di Desa Simpang Bolon Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Dalam mendukung program kesehatan, di lokasi studi juga terdapat
bagunan balai pengobatan yang dapat digunakan oleh penduduk desa.
Akan tetapi kondisi balai kesehatan tersebut sudah kurang baik dan
kurang mendukung program kesehatan yang standard, apalagi mendukung
program kesehatan yang baik. Balai kesehatan tersebut hanya
dilayani oleh 1 (satu) orang bidan desa yang bertugas di lokasi
studi. Adapun kondisi sarana dan prasarana kesehatan pada lokasi
studi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar III. 14. Kondisi Sarana Kesehatan di Desa Simpang Bolon
Tahun
2009
Sumber : Data Primer Diolah. 2009.
Dalam menunjang pendidikan yang berkualitas, maka dibutuhkan
sarana dan prasarana sekolah serta guru yang mencukupi sehingga
proses belajar mengajar akan berjalan de