ii
SAMBUTAN
Bupati Lampung Tengah, DR. Ir. H. Mustafa, M.H.
Inspirasi untuk Tidak Henti-hentinya Berinovasi
Sebelum digeraknya ronda secara intensif, di Lampung Tengah ini
sering
terjadi konflik antarwarga dan aksi kriminal.
Warga yang bertingkai tentu tidak baik untuk
menggerakan pembangunan di segala bidang. Aksi
kriminal, jelas membatasi gerak warga, di
samping tidak kondusif untuk para investor
menanamkan modalnya di Lampung Tengah.
Jangankan investor mau menanamkan modalnya,
kalau intensitas tindak kriminal tinggi, warga saja
tidak berani ke luar rumah karena takut menjadi
korban kejahatan. Kalau sudah begitu, bagaimana
mau menggerakkan pembangunan. Sementara
pembangunan yang cepat dan merata adalah cita-cita yang harus
diwujudkan
di tengah tuntutan perkembangan zaman yang begitu pesat dengan
segala
tantangannya.
Maka dari itu, ronda menjadi salah satu pemecah masalah
menggerakkan pembangunan yang cepat dan merata di Lampung
Tengah.
Apalagi dengan jumlah polisi yang tidak terlalu banyak untuk
bisa
menangani masalah keamanan penduduk dengan perbandingan yang
belum
ideal dengan jumlah polisi itu.
Dalam perjalanannya, ronda berkembang dengan berbagai
inovasi.
Tentu dalam kaitan ini, partisipasi jajaran pemerintahan
Kabupaten
Lampung Tengah, pihak-pihak terkait, termasuk TNI, Polri, pihak
swasta,
dan masyarakat secara umum, mampu mengubah ronda di Lampung
Tengah
ini menjadi spesial. Artinya, ronda di Lampung Tengah tidak
hanya soal
penanganan konflik antarwarga, atau pun menangkal tindak
kriminal, tetapi
jauh berkembang dengan tujuan akhir untuk mempercepat
pencapaian
kesejahteraan bersama.
iii
Ronda salah satunya menjadi waktu yang tepat untuk menampung
aspirasi masyarakat, meninjau secara langsung warga di tempat
tinggalnya,
bahkan berdialog bersama untuk memecahkan persoalan yang
ditemukan.
Dengan inovasi-inovasi pelaksanaan ronda, sejauh ini masyarakat
semakin
merasakan betapa ronda tersebut efektif untuk menyelesaikan
masalah-
masalah, apalagi dibahas dalam forum yang menyenangkan.
Dalam kesempatan demikian, betapa banyak masalah yang
disampaikan warga sekaligus begitu beragamnya pemecahan masalah
yang
ditemukan sehingga ronda yang inovatif semakin strategis pula
dalam gerak
pembangunan di Lampung Tengah. Dalam padanya, pemerintahan
daerah
menyadari benar melibatkan masyarakat dalam gerak pembangunan
yang
terakomodir dalam serangkaian kegiatan ronda yang inovatif
itu
mempermudah dalam mencapai tujuan pembangunan di Lampung
Tengah.
Lampung Tengah misalnya memiliki program Kampung
Entrepreneur Creative (KECe). Sebagai salah satu program
unggulan,
program KECe yang memberikan pelatihan kewirausahaan kepada
pemuda-pemuda di setiap kampung di Lampung Tengah, dapat
menjadikan
ronda sebagai wadahnya. Sehingga entrepreneur-entrepreneur muda
yang
diharapkan mampu membawa perubahan ekonomi di tingkat
kampung,
ditempa dalam salah satu rangkaian kegiatan ronda yang memang
juga
sering ada kegiatan pembinaan sumber daya manusia dalam kegiatan
usaha
kreatif.
Dengan keyakinan, kesejahteraan masyarakat lahir jika ada
banyak entrepreneur-entreprenur yang nantinya mampu
menciptakan
lapangan pekerjaan, program KECe menjadi bekal untuk memulai
usaha
bagi masyarakat Lampung Tengah. Dalam padanya, pemuda-pemudi
harus
di-mindset untuk tidak fokus mencari pekerjaan, tetapi bagaimana
mampu
menciptakan lapangan pekerjaan di tengah masyarakat.
Harapannya,
semakin banyak jumlah pengusaha, semakin besar peluang
penyerapan
tenaga kerja.
Singkat kata, ronda yang dilaksanakan di Lampung Tengah
tidak
sebatas untuk menciptakan kondisi tertib, aman dan tentram di
tengah-
tengah masyarakat, tetapi dalam serangkaian kegiatannya,
termasuk
menampung aspirasi sampai kegiatan pelatihan sumber daya manusia
seperti
program KECe, diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan
pembangunan yakni kesejahteraan bagi masyarakat Lampung
Tengah.
Dalam perjalanan panjang berkembangnya inovasi ronda sampai
saat ini, peran dari buku Model Sistem Ronda Lampung Tengah
ini
sangatlah penting. Sebab, buku ini mampu merekam fakta-fakta
yang terjadi
iv
selama ronda berlangsung. Juga tentu memberi analisa
terhadap
kemungkinan-kemungkinan perkembangan ronda untuk masa
mendatang
yang tentunya memiliki tantangan yang tidak ringan.
Dalam kaitan tersebut, sebagai Bupati Lampung Tengah,
pantaslah
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terhadap
penyusunan
buku ini. Seperti halnya banyak pihak yang telah memberikan
perhatian,
partisipasi, bahkan ikut aktif dalam menggerakan ronda di
Lampung
Tengah, sekali lagi diucapkan terima kasih. Tanpa partisipasi
sekaligus
dukungan banyak pihak, tentu ronda yang dijalankan di Lampung
Tengah
tidak akan berkembang pesat dengan segala inovasinya seperti
saat ini.
Semoga buku Model Sistem Ronda Lampung Tengah ini memberi
manfaat bagi kita semua untuk terus berperan aktif dalam
pembangunan
bangsa dan negara menuju masyarakat adil dan makmur. Bagi
Lampung
Tengah, buku ini sangatlah berarti karena memberi inspirasi
untuk tidak
henti-hentinya berinovasi untuk pembangunan. Bagi pihak luar,
inilah salah
satu cermin dari upaya Lampung Tengah untuk pantang menyerah
dengan
tantangan-tantangan zaman yang semakin tidak mudah dengan
perkembangan dunia yang begitu pesat.
Lampung Tengah, 17 November 2017
DR. Ir. H. Mustafa, M.H.
v
DAFTAR ISI
SAMBUTAN BUPATI LAMPUNG TENGAH
................................... ii
DAFTAR ISI
...........................................................................................
v
PENGANTAR PENULIS
.......................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
.......................................................................
1
1.1 Latar Belakang
.................................................................................
1 1.2 Maksud dan Tujuan
..........................................................................
3 1.3 Sasaran Kajian
..................................................................................
4 1.4 Manfaat
............................................................................................
4 1.5 Lokasi Kegiatan
.................................................................................
4 1.6 Metode Pendekatan
...........................................................................
4 1.7
Pengertian-Pengertian.........................................................................
5
BAB II DASAR PEMIKIRAN DAN LINGSTRA
............................... 6
2.1 Landasan Pemikiran
............................................................................
6
2.1.1 Landasan Historis
......................................................................
6
a. Zaman Soloensis
....................................................................
7
b. Zaman Kerajaan
.....................................................................
7
c. Zaman
Kolonial......................................................................
8
d. Setelah Kemerdekaan
.............................................................
10
2.1.2 Landasan Idiil Pancasila
............................................................. 11
2.1.3 Landasan Konstitusional UUD 45
.............................................. 14 2.1.4 Landasan
Operasional
.................................................................
16
A. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ... 17
a. Inovasi
Daerah........................................................................
17 b. Partisipasi
Masyarakat............................................................
18 c. Manajemen Pelayanan
Publik................................................ 19 d.
Manajemen Operasional
........................................................ 21 e.
Kecamatan
.............................................................................
23 f. Kelurahan
..............................................................................
24 g. DPRD
....................................................................................
25 h. Forkopimda
...........................................................................
25 i. Satpol PP
...............................................................................
26 j. Perangkat Daerah
..................................................................
27 B. UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik..... ....
27
vi
a. Organisasi Penyelenggara
..................................................... 27 b. Hak
Kewajiban Bagi Masyarakat .........................................
29 C. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang
Satpol PP
...............................................................................
29
D. Perda Lampung Tengah Nomor 20 Tahun 2012 Tentang
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ..................
32
2.2 Perkembangan Lingstra
....................................................................
32 a. Lingkungan Internasional/Global
............................................. 33
b. Lingkungan Regional
...............................................................
35
c. Lingkungan Nasional
...............................................................
37
d. Lingkungan Lokal Provinsi Lampung Dengan
Kabupaten/Kotanya
.................................................................
39
2.3 Peluang dan Kendala
........................................................................
41
BAB III METODOLOGI
..................................................................
.... 45
3.1 Metode Pengumpulan Data
..............................................................
45
3.2 Metode Analisis Data
......................................................................
45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
................................................ 49
4.1 Kriminalitas Sebelum Dilaksanakan Ronda
..................................... 49 4.2 Kriminalitas Setelah
Dilaksanakan Ronda ....................................... 51 4.3
Lima Masalah Pokok Model Sistem Ronda
..................................... 56 4.4 Potensi Penduduk dan
Wilayah yang Mempengaruhi
Model Sistem Ronda
.......................................................................
59
4.5 Beberapa Fakta Model Sistem Ronda
................................................. 62
a. Ronda Setelah 2016
................................................................ 62
b. Ronda Selama 2016
.................................................................
69 c. Publikasi dan Sosialisasi Sebagai Model Sistem Ronda
.......... 75
4.6 Model Sistem Ronda Lampung Tengah yang Diharapkan
.............. 77
A. Harapan Masyarakat Terhadap Model Sistem Ronda ........... 77
B. Lingkup Model Sistem Ronda Lampung Tengah
yang Diharapkan
..................................................................
82
C. Model Kontribusi Sistem Ronda Terhadap Kesejahteraan ... 83
D. Model Peningkatan Sistem Ronda Lampung Tengah
yang Diharapkan
...................................................................
88
1. Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat Secara Merata .. 88 2.
Saatnya Memanfaatkan Teknologi Informasi .................. 90 3.
Mengintensifkan Keterlibatan Swasta .............................
91 4. Perlunya Membuat Perda dan Atau Perkada ...................
92 5. Perlunya Pendelegasian Berjenjang Atas
Pengendali Ronda
............................................................ 94
vii
6. Perlunya Membangun Koordinasi Dengan Pihak Luar .. 96 7.
Harus Lebih Responsif Dengan Pergolakan Lingstra ...... 97
E. SOP Umum; Persiapan, Pelaksanaan, dan Evaluasi.............
99 1. SOP Persiapan
.................................................................
102 2. SOP Pelaksanaan
............................................................. 103
3. SOP Evaluasi
...................................................................
103 4. SOP Jaring
Aspirasi.........................................................
103 5. SOP Tinjau Lapangan
..................................................... 104 6. SOP
Senam Ronda
.......................................................... 105 7.
SOP Sosialisasi dan Publikasi
......................................... 107
F. Rekomendasi Taglen Ronda
................................................. 110
BAB V PENUTUP
..................................................................................
112
5.1 Kesimpulan
.........................................................................................
112
5.2 Saran-Saran
.........................................................................................
113
DAFTAR PUSTAKA
..............................................................................
114
viii
PENGANTAR PENULIS
RONDA Kak Mus BERnAS:
Bangun Ekonomi Rakyat Dengan Aman Sejahtera
BUKU ini ditulis dari Kajian Model Sistem Ronda Lampung
Tengah, yakni pada kecamatan-kecamatan yang diambil secara acak
di
mana ronda dilaksanakan secara masif, terutama dalam kurun
kajian
dilaksanakan 30 Mei 28 Agustus 2017. Juga pada kecamatan lain
yang
melaksanakan ronda pada rentang 2016 sebagai pembanding ronda
yang
dilaksanakan pada 30 Mei 28 Agustus 2017 tersebut.
Harapannya buku ini dapat mengungkap lebih jauh manfaat dari
sistem ronda yang dilakukan dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan
di bidang keamanan, sosial budaya, ekonomi, pertanian dan
bidang
infrastruktur. Selanjutnya, dapat disusun model Standar
Operasinal Prosedur
(SOP) dalam menyelesaikan berbagai masalah secara cepat, tepat
dan lugas,
serta menjadi bahan kebijakan dalam meningkatkan pelayanan
prima
aparatur terhadap masyarakat.
Dengan demikian, pada gilirannya buku ini diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam rangka
perencanaan
kegiatan, sosialisasi model sistem ronda dan penyusunan
kebijakan di
Kabupaten Lampung Tengah.
Tentu tidak mudah memang dalam menyajikan hasil kajian yang
benar-benar diharapkan. Itu karena tidak mudah untuk
mendapatkan
sumber-sumber referensi, fakta-fakta ronda yang dilaksanakan di
Lampung
Tengah dalam kurun yang relatif terbatas.
Dengan berbagai bantuan banyak pihak, terutama Bupati DR. Ir.
H.
Mustafa, M.H., dengan segenap jajaran yang sangat terbuka dan
menyambut
hangat, hingga peran Kepala Balitbangda Lampung Tengah Drs. I.
GST NY
Suryana, M.Si., dengan segenap jajaran, serta berbagai pihak
yang tidak
mungkin disebutkan satu per satu, buku Model Sistem Ronda
Lampung
Tengah ini dapat selesai tepat waktu.
Tentu masih banyak kekurangan di sana sini. Namun dengan
menyadari tiada gading yang tidak retak, maka buku ini sangat
mungkin
untuk disempurnakan di kemudian hari.
ix
Mengutip pada bagian pendahuluan buku ini, digalakkannya
ronda
di Lampung Tengah merupakan gagasan DR. Ir. H. Mustafa, M.
H.,
sebelum menjadi bupati. Kala itu, Mustafa baru menjadi wakil
bupati, dan
selanjutnya meneruskan kepemimpinan H.A. Pairin, yang
mengundurkan
diri sebagai bupati untuk mencalonkan diri dan terpilih menjadi
Walikota
Metro.
Di bawah komando Mustafa, tradisi ronda mampu diinovasi
sedemikian rupa. Ronda seperti termaktup pada landasaran
historis buku ini,
memang sudah ada sejak dulu kala. Seperti penemuan fosil-fosil,
baik fosil
Homo Soloensis maupun fosil Homo Wajakensis memberi
pembuktian
bahwa Indonesia sejak 40.000 tahun lalu sudah didiami manusia
sejenis
Homo Sapiens. Berbagai budaya sudah ada sejak zaman itu,
termasuk dalam
hal meronda dalam pengertian yang masih sangat sederhana.
Sejarah Indonesia yang memiliki tiga kerajaan tersohor,
yakni
Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit,
ternyata juga
telah memiliki tradisi meronda. Fakhry (2016) membuktikan bahwa
sudah
ada pos-pos yang digunakan suatu kerajaan di Nusantara untuk
melaksanakan ronda. Pada waktu itu, sistem keamanannya/sistem
ronda
dilakukan secara terpusat. Yakni, prajurit dari kerajaan
mengelilingi
wilayah kerajaan untuk memastikan keamanan, dan bisa dibilang
pos
rondanya ada di dalam kerajaan.
Kolonial mulai merambah Nusantara sejak masa kejayaan
Kerajaan
Majapahit berakhir. Bangsa Portugis yang pertama kali datang ke
Nusantara
dengan tujuan berdagang.
Ahmad Sulaiman (2013), Portugis banyak memberi pengaruh pada
budaya
Indonesia. Dari segi bahasa, Portugis banyak memberi sumbangan
suku
kata. Bahkan kata ronda berasal dari Portugis.
Bangsa lain yang menancapkan cakarnya di Nusantara adalah
Belanda. Mereka yang datang ke Nusantara akhir abad XVI,
kemudian
mendirikan perkumpulan dagang yang disebut Verenigde Oost
Indische
Compagnie (VOC). Tahun 1641, bangsa Belanda merebut Malaka
dari
Portugis, dan selanjutnya menanamkan beberapa pengaruh, termasuk
sistem
keamanan, antara lain berupa ronda.
Penjajahan Jepang, seperti halnya Inggris, masuk ke dalam
kategori fase kolonial singkat. Kendati singkat, Jepang memiliki
bekas
peninggalan budaya yang juga memberi pengaruh terhadap tradisi
ronda
yang sudah mulai ada sejak zaman kerjaaan sampai negara-negara
kolonial
sebelum Jepang masuk ke Indonesia.
x
Kalau zaman kerajaan sistem keamananya/sistem ronda
dilakukan
secara terpusat yakni prajurit dari kerajaan mengelilingi
wilayah kerajaan
untuk memastikan keamanan --bisa di bilang pos rondanya ada di
dalam
kerajaan, pada zaman kolonial malah menggunakan sistem
sebaliknya.
Pihak kolonial membangun pos-pos dari benteng, sampai
titik-titik tertentu
hingga daerah pemukiman penduduk. Pos ronda ini digunakan
pihak
kolonial untuk mengawasi penduduk agar tidak terjadi
pemberontakan.
Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, ronda dilakukan warga
atas
instruksi pemerintahan atau inisiatif kolektif. Baik masa Orde
Lama
maupun Orde Baru, perubahan sistem ronda terjadi signifikan.
Pada masa
Orde Baru, didahului berbagai persoalan dalam negeri, dari
gejolak politik
hingga kriminalitas, Kepala Polisi (kala itu) Awaloedin Djamil
menggagas
bentuk pengamanan swakarsa, dari ronda kampung atau siskamling
di sektor
tradisional hingga industrial security seperti satpam.
Siskamling
menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Penangungjawab
atau
pelaksana harian siskamling di lapangan biasanya dilakukan oleh
seorang
hansip. Sejak itu, dibentuklah pos keamanan lingkungan
(poskamling) di
kota-kota sampai pelosok desa.
Dibukanya kembali hubungan diplomatik dengan negara negara
barat lain menjadikan perekonomian Indonesia mulai membaik.
Sehingga
Indonesia mulai menjadi sasaran impor oleh negara lain. Masuknya
barang
elektronik seperti televisi, radio, membuat warga yang biasanya
aktif ronda
menjadi pasif karena di rumah sudah punya hiburan
sendiri-sendiri. Hal ini
mengubah konsep ronda dari yang tadinya dilakukan secara
gotong-royong
antarwarga, berubah menjadi tanggung jawab petugas keamanan
yang
ditugaskan untuk menjaga wilayah tersebut dengan menerima
bayaran
seperti satpam.
Tradisi ronda belum berhenti berevolusi. Pekembangan
teknologi
informasi dan komputer yang pesat terus mempengaruhi banyak
sektor
termasuk dalam tradisi ronda. Digalakannya ronda di Lampung
Tengah,
dapat menjadi perhatian dalam hal membangkitkan sekaligus
memodifikasi
ronda agar sesuai zamannya.
Sejauh ini, ronda di Lampung Tengah tidak hanya dilakukan
secara
reguler, tetapi juga dilakukan dengan lebih masif. Kalau ronda
reguler lebih
untuk menjaga keamanan dan kertiban yang terpusat pada pos
ronda
tertentu, sementara ronda masif tidak hanya begitu banyak pihak
yang
terlibat, dengan mengerahkan banyak kekuatan, tetapi juga
memiliki
konstruksi yang lebih rumit.
xi
Konstruksi yang rumit dikarena pengertian ronda yang ini
tidak
sebatas menciptakan kondisi tertib, aman, nyaman di
tengah-tengah
masyarakat. Tetapi lebih dari itu, yakni ronda yang
pelaksanaannya tidak
terbatas waktu, merupakan kesatuan semangat yang lebih, suatu
upaya
menghimpun informasi atau fakta-fakta dari arus bawah
sehingga
memungkinkan didapat inovasi kreatif secara bersama,
mengambil
kebijakan dari inovasi kreatif tersebut untuk menyelesaikan
masalah-
masalah pembangunan dalam rangka mempercepat pencapaian
kesejahteraan masyarakat secara adil merata.
Seperti diuraikan pada bagian Lingkup Model Sistem Ronda
Lampung Tengah dalam buku ini, meski memiliki konstruksi yang
lebih
rumit, ronda di Lampung Tengah yang dimaksud secara garis besar
dapat
digolongkan dari tiga kegiatan utama, yaitu menampung
aspirasi,
melakukan ronda masif, dan melakukan senam ronda pada
keesokan
harinya.
Menampung aspirasi sesungguhnya dalam pengertian universal
tidaklah termasuk ronda. Tetapi dalam pengertian sistem model
ronda
Lampung Tengah, karena menampung aspirasi dilakukan di malam
hari,
dengan cara-cara inovatif kreatif, sehingga mengandung semangat
yang
lebih untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan dalam
rangka
mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat secara adil
merata,
maka menampung aspirasi pengertian ini masuk dalam sebagai salah
satu
elemen sistem ronda di Lampung Tengah.
Begitu pula dengan senam ronda, walau dilakukan pada siang
hari
yang sesungguhnya merupakan bentuk olah raga masif, tetapi
dalam
serangkaian geraknya, serangkaian alat peraganya, serangkaian
syair dan
musik pengiringnya, serangkaian pesan-pesan yang disampaikan,
sampai
reward berupa doorprize yang diberikan kepada peserta,
semuanya
bernuansa ronda, maka senam yang inipun masuk dalam elemen
sistem
ronda Lampung Tengah.
Malah hasil-hasil jaring aspirasi, hasil-hasil peninjauan
lapangan
di saat berlangsungnya ronda, hasil-hasil musyawarah dalam
kegiatan ronda
lainnya, baik berupa produk-produk Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah
(UMKM), dan bentuk lainnya dapat dikategorikan sebagai output
dari
sistem ronda di Lampung Tengah. Produk-produk UMKM dari
hasil
meronda itu, antara lain Kopi Ronda, Roti Singkong Ronda, Beras
Tiwul
Ronda, Pizza Singkong Ronda, Beras Sehatku Ronda, Beras
Singkong
Ronda, dan Pupuk Ronda.
xii
Tidak berlebih kiranya, dapat ditarik kesimpulan bahwa
sistem
ronda di Lampung Tengah yang telah berjalan memiliki struktur
yang unik
dibandingkan dengan struktur ronda yang pernah ada di Indonesia.
Seperti
dalam bagian kesimpulan buku ini, ronda di Lampung Tengah tidak
hanya
untuk tujuan keamanan, ketertiban dan keamanan, namun
sekaligus
mencakup upaya-upaya untuk memacu perekonomian warga,
memecahkan
masalah sosial, budaya, dan memperkuat tali silaturahmi
antarwarga dalam
kebhinekaan. Artinya, Model Sistem Ronda Lampung Tengah
adalah
BERnAS: Bangun Ekonomi Rakyat Dengan Aman Sejahtera.
Khusus memacu perekonomian yang diwadahi lewat agenda utama
ronda yaitu Jaring Aspirasi yang paripurna, lalu dilengkapi
dengan
peninjauan langsung ke lapangan untuk memecah
masalah-masalah
perekonomian warga seperti UMKM, pertanian, peternakan,
perikanan, dan
ekonomi kreatif, Model Sistem Ronda Lampung Tengah telah
mampu
memberi andil besar. Kekuatannya adalah musyawarah dan eksekusi
cepat
atas hasil musyawarah itu. Maka dari itu pantaslah diajukan
rekomendasi
taglen untuk Model Sistem Ronda Lampung Tengah mendatang:
RONDA
Kak Mus BERnAS.
Selain usulan taglen di atas, beberapa saran pantas pula
diajukan
seperti tercantum pada bagian akhir, atau saran-saran buku ini.
Yakni,
antara lain Model Sistem Ronda Lampung Tengah mestinya
diarahkan
menjadi Inovasi Daerah dalam rangka peningkatan kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
Di samping itu, Model Sistem Ronda Lampung Tengah sudah
saatnya pula memanfaatkan teknologi informasi, meningkatkan
keterlibatan
swasta untuk mempercepat pecapaian tujuan kesejahteraannya,
perlunya
pendelegasian dan penyebaran tugas-tugas ronda secara
struktural,
hierarkhis, perlunya koordinasi ke dalam maupun keluar, dan
sudah
seharusnya pula lebih responsif dengan pergolakan lingstra,
sehingga
manajemen ronda dapat lebih jeli melihat peluang dan kendala
dari faktor
eksternal. Ini juga sekaligus untuk memperbaiki kekurangan
sekaligus
memperkuat kelebihan Model Sistem Ronda Lampung Tengah dari
internalnya sendiri.
Bandar Lampung, 18 November 2017
Junaidi, S.Pd., M.Pd., M.M.
49
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Lampung Tengah yang memiliki luas wilayah terbesar
(13,57 %) dari seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Lampung,
dengan luas
4.789,82 Km, terdiri dari 28 kecamatan, 291 kampung dan 10
kelurahan,
diapit oleh beberapa kabupaten/kota, sehingga berbatasan
langsung dengan
25 kecamatan dari 10 kabupaten/kota, mendatangkan keunggulan
dan
peluang, sekaligus kelemahan dan kendala.
Begitu pula dengan pertumbuhan penduduk yang rata-rata 1,13
%
per tahun yang jika diproyeksikan sampai tahun 2031, jumlah
penduduk
Lampung Tengah menjadi 1.432.458 jiwa.
Konsentrasi jumlah penduduk yang masih terpusat di wilayah
tengah, sehingga perekonomian yang maju dan berkembang juga
hanya
terpusat di wilayah tengah ini, serta dampak selanjutnya
membuat
kemiskinan di wilayah barat dan timur masih cukup tinggi,
menjadi
tantangan tersendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah
pembangunan
di Lampung Tengah.
Dari segi pelayanan publik, permasalahannya belum semuanya
dapat diselesaikan. Lambatnya dalam penyelesaian pekerjaan di
unit-unit
pelayanan publik dikarenakan birokrasi yang cukup panjang,
bahkan sering
tidak sampai ke pemerintah sebagai pengambil keputusan. Untuk
itu
pemerintah daerah Lampung Tengah melibatkan pemberdayaan
masyarakat
melalui program gerakan ronda yang telah berjalan.
Digalakkannya ronda di Lampung Tengah adalah gagasan DR. Ir.
H. Mustafa, M. H., sebelum menjadi bupati. Kala itu, Mustafa
baru menjadi
wakil bupati, dan selanjutnya meneruskan kepemimpinan H.A.
Pairin, yang
mengundurkan diri sebagai bupati untuk mencalonkan diri dan
terpilih
menjadi Walikota Metro.
Mustafa merupakan bupati ke-6 Lampung Tengah. Bupati pertama
Burhanuddin Amin (19451948), kemudian berturut-turut
Zainabun
Djajanegara (19481952), R. Syahri Djajoyoabdinegoro
(19521957),
50
Syamsudin Djajamarga (19581959), Mohfian Hasanuddin,
Carepeboka
(1959-1960), Hasan Basri Darmawijaya (19611967), R. A. Oemar
Kadir
(1967-1972), Zainal Arifin Waluyo, S.H. (19721973), S.
Prawinegara
(19731978), R. Soekirno (19781985), H. Subekti Jayanegara
(PLH,
1985), Drs. Suwardi Ramli (19851995), Drs. Herman Sanusi
(19952000),
Drs. H. Andy Achmad Sampurna Jaya, M.Si (2000-2009), dan H.A.
Pairin,
S.Sos (2009-2015).
Dari 16 bupati tersebut, Mustafa memiliki gaya kepemimpinan
yang khas. Soal menggerakkan pembangunan di Lampung Tengah
misalnya, Mustafa menyebut kepemimpinan visionerlah yang
dibutuhkan.
Bukan hanya sekedar kepemimpinan yang administratif, tetapi
harus bisa
mengeksekusi secara efektif setiap kebijakan yang dikeluarkan.
Yaitu, harus
cepat, tepat, dan tetap tidak melukai perasaan.
Oleh karena itu, pertama yang dilakukan Mustafa ketika
memimpin, agar semua lancar, bagaimana Lampung Tengah ini bisa
situasi
aman terlebih dahulu. Kalau sudah aman, maka masyarakat akan
bisa
merasakan ketentraman. Lalu, masyarakat akan bisa bekerja, dan
pada
akhirnya bisa mencapai kesejahteraan. Itu pulalah yang
dimasukkan dalam
visi-misi Mustafa-Loekman Djojosoemarto memimpin Lampung
Tengah
untuk periode 2016-2021.
Melalui gerakan ronda, pemerintah dapat menampung berbagai
aspirasi, keluhan dan kendala yang ada di masyarakat, sehingga
pemerintah
dapat meningkatkan dan memberikan pelayanan publik secara cepat,
tepat
dan lugas. Gerakan ini juga dapat mencetuskan berbagai inovasi
dalam
penyelesaian masalah di tingkat masyarakat.
Satu sisi yang perlu ditingkatkan adalah mengintensifkan
kesadaran
masyarakat dengan segala latar belakangnya untuk
diberdayakan
melaksanakan ronda secara merata ke semua lini kabupaten,
dan
menindaklanjuti hal-hal yang berkaitan dengan sistem ronda itu
secara
kontiniu dan merata tanpa berbatas waktu.
Perkembangan lingkungan strategis seperti perkembangan
internasional/global terutama perkembangan teknologi
informasinya,
perkembangan regional yang ditandai dengan ASEAN dan
Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA), perkembangan nasional, sampai
perkembangan
Provinsi Lampung, memberi pengaruh secara langsung maupun
tidak
langsung terhadap pelaksanaan ronda di Lampung Tengah. Pengaruh
itu
bisa menimbulkan peluang sekaligus kendala.
51
Dengan demikian, model sistem ronda di Lampung tengah perlu
diperbaiki terus dari organisasinya sendiri dengan melihat
kelebihan-
kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Perbaikan
perlu pula
memperhatikan dari perkembangan lingkungan strategis, karena
memberi
pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung berupa
peluang-
peluang dan kendala-kendala.
Model sistem ronda yang diamati yang dilatarbelakangi
organisasinya sendiri dan memperhatikan pengaruh
perkembangan
lingkungan strategisnya, dengan landasan pemikiran historis
ronda, landasan
paradigma nasional menyangkut Pancasila, UUD 45, UU, dan
peraturan
perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah Lampung
Tengah
Nomor 20 Tahun 2012 tentang ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat, adalah dasar untuk menganalisa sehingga didapat
model sistem
ronda yang diharapkan.
Selain diharapkan semakin meningkatkan keterlibatan
masyarakat
secara merata dalam model sistem ronda yang diharapkan itu, juga
sudah
saatnya memanfaatkan teknologi informasi, perlunya
mengintensifkan
keterlibatan swasta, perlunya membuat perda dan atau perkada,
perlunya
delegasi berjenjang pengendali ronda, perlu membangun koordinasi
dengan
pihak luar, dan sudah harus lebih responsif dengan pergolakan
lingkungan
strategis.Dengan demikian, model sistem ronda yang diharapkan
akan
berdampak tidak hanya mampu menekan tidak kriminal dan konflik
sosial di
tengah-tengah masyarakat, tetapi juga dengan inovasi pelaksanaan
rondanya
akan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, sehingga
semakin
mudah untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata secara
bersama.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan buku Model Sistem Ronda
Kabupaten Lampung Tengah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui manfaat dari sistem ronda yang dilakukan dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang keamanan, sosial
budaya, ekonomi, pertanian dan bidang infrastruktur di
wilayah
Kabupaten Lampung Tengah;
b. Menyusun Model Standar Operasinal Prosedur (SOP) dalam
menyelesaikan berbagai masalah secara cepat, tepat dan lugas
dan;
c. Sebagai bahan kebijakan dalam meningkatkan pelayanan prima
aparatur pemerintah Kabupaten Lampung Tengah terhadap
masyarakat.
52
1.3 Sasaran Kajian
Sasaran penulisan buku Model Sistem Ronda Kabupaten Lampung
Tengah ini adalah:
a. Keterpaduan pelaksanaan program pembangunan melalui ronda
yang dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah;
b. Untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di
Kabupaten
Lampung Tengah dan;
c. Untuk mensosialisasikan berbagai kegiatan terkait dengan
model sistem
ronda.
1.4 Manfaat
Secara umum manfaat dari penulisan buku ini adalah sebagai
bahan pertimbangan pemerintah dalam rangka perencanaan
kegiatan,
sosialisasi model sistem ronda dan penyusunan kebijakan di
Kabupaten
Lampung Tengah.
1.5 Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan penulisan buku Model Sistem Ronda ini yakni
di
Kabupaten Lampung Tengah, yakni pada kecamatan-kecamatan
yang
diambil secara acak dimana ronda dilaksanakan secara masif,
terutama
dalam kurun kajian dilaksanakan 30 Mei 28 Agustus 2017. Juga
pada
kecamatan lain yang melaksanakan ronda pada rentang 2016
sebagai
pembanding ronda yang dilaksanakan pada 30 Mei 28 Agustus
2017
tersebut.
1.6 Metode Pendekatan
Penulisan buku ini bersifat deskriptif analitik. Data diperoleh
dari
hasil pengamatan, wawancara, dokumentasi, analisis, dan catatan
lapangan.
Analisis data dengan memperbanyak informasi, mencari
hubungannya,
membandingkan, dan menemukan hasil atas dasar data sebenarnya.
Hasil
analisis data berupa pemaparan yang berkenaan dengan situasi
yang diamati
53
dan disajikan dalam bentuk uraian narasi yang bersifat induktif
dan
mengutamakan makna.
1.7 Pengertian-Pengertian
Beberapa pengertian yang perlu digarisbawahi dalam buku ini
adalah sebagai berikut:
a. Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi kronologis
yang menjelaskan suatu objek, sistem, konsep, aturan, kriteria,
atau
prosedur sehingga bisa menjadi acuan atau referensi dalam
melakukan
pekerjaan tertentu;
b. Sistem adalah sesuatu yang terdiri dari komponen-komponen
atau elemen-elemen yang antara satu dengan komponen-komponen
atau
elemen-elemen itu saling berhubungan menjadi satu kesatuan
yang
utuh sehingga memudahkan aliran informasi, materi atau
energi
dalam mencapai suatu tujuan dan;
c. Ronda adalah suatu kesatuan pekerjaan yang tidak terbatas
waktu, tidak terbatas hanya untuk menjaga ketertiban, keamanan,
dan
kenyamanan di tengah-tengah masyarakat, tetapi juga
merupakan
kesatuan semangat yang lebih, suatu upaya menghimpun
informasi
atau fakta-fakta dari arus bawah sehingga memungkinkan
didapat
inovasi kreatif secara bersama, mengambil kebijakan dari
inovasi
kreatif tersebut untuk menyelesaikan masalah-masalah
pembangunan
dalam rangka mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat
secara adil merata.
54
BAB II
DASAR PEMIKIRAN DAN LINGSTRA
2.1 Landasaran Pemikiran
Buku Model Sistem Ronda Lampung Tengah ini memiliki
Landasan Historis, Landasan Idiil Pancasila, Landasan
Konstisionil UUD
45, Landasan Operasional Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang
Pelayanan Publik, dan Peraturan Daerah Lampung Tengah Nomor 20
Tahun
2012 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
2.1.1 Landasan Historis
Ronda sudah menjadi bagian dari budaya di Indonesia.
Masyarakat
dari Sabang sampai Merauke sudah mengenal ronda dan
menjalankannya
sebagai bagian dari sistem keamanan swakarsa. Ronda tidak hanya
dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang melaksanakan ronda
itu, tetapi
juga telah dapat meringankan beban aparat dalam menegakkan
keamanan
dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat.
Dari perspektif historis bangsa Indonesia, ronda sudah ada
pada
Zaman Homo Soloensis, Zaman Kerajaan-Kerajaan, Zaman
Kolonial,
Zaman Kemerdekaan, dan hingga saat ini.
a. Zaman Soloensis
Tradisi meronda sudah ada sejak zaman Homo Soloensis. Maya
Eka (2015), sejarah meronda pada era Homo Soloensis itu ditemui
dari
bukti-bukti sejarah di Pulau Jawa. Hanya saja, meronda dalam
pengertian ini
sangatlah sederhana. Sesuai dengan zamannya, Homo Soloensis
memang
belum memiliki budaya yang utuh dan lengkap. Kehidupan yang
masih
meramu, berpindah-pindah, dan masihlah sangat primitif. Tetapi
cara-cara
untuk bertahan hidup, terutama dalam melawan pesaing, binatang
buas
yang mengganggu sudah dilakukan dengan fisik yang strong.
Homo Soloensis (Manusia dari Solo) merupakan satu dari dua
jenis Kaum Homo Sapiens. Anonim (2014), Homo Sapiens memiliki
dua
jenis. Selain Homo Soloensis, juga ada jenis Homo Wajakensis.
Baik Homo
55
Soloensis maupun Homo Wajakensis yang merupakan spesies dari
golongan
mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi, terus
menemukan
cara-cara untuk bertahan hidup, termasuk dengan cara meronda
dalam
bentuk-bentuk yang sederhana itu.
Fosil Homo Soloensis yang ditemukan pada tahun 19311934 oleh
Von Koenigswald dan Wedenreich di Desa Ngadong lembah
Bengawan
Solo, memperlihatkan peningkatkan kebudayaan. Von
Koenigswald
menyimpulkan fosil berupa tengkorak yang ternyata Homo
Soloensis
tersebut memiliki tingkatan kebudayaan lebih tinggi
dibanding Pithecanthropus Erektus. Sedangkan fosil Homo
Wajakensis
ditemukan pada tahun 1889 oleh Eugene Dobois di Desa Wajak
(Tulung
Agung) Jawa Timur. Oleh Eugene Dobois, fosil yang ditemukan
berupa
tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah dan tulang kering
itu
disimpulkan sebagai golongan Homo Sapiens kelompok manusia
purba
berbudaya maju dan terakhir.
Penemuan fosil-fosil, baik fosil Homo Soloensis maupun fosil
Homo Wajakensis juga memberi pembuktian bahwa Indonesia sejak
40.000
tahun yang lalu sudah didiami manusia sejenis Homo Sapiens.
Berbagai
budaya sudah ada, termasuk dalam hal meronda dalam pengertian
yang
masih sangat sederhana.
b. Zaman Kerajaan
Sejarah Indonesia yang memiliki tiga kerajaan tersohor,
yakni
Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya, dan Majapahit ternyata juga
telah
memiliki tradisi meronda. Fakhry (2016) membuktikan bahwa sudah
ada
pos-pos yang digunakan suatu kerajaan di Nusantara untuk
melaksanakan
ronda. Pada waktu itu, sistem keamananya/sistem ronda dilakukan
secara
terpusat. Yakni, prajurit dari kerajaan mengelilingi wilayah
kerajaan untuk
memastikan keamanan. Bisa dibilang pos rondanya ada di dalam
kerajaan.
Rahmad Saiin (2012), ronda zaman kerajaan sering dilengkapi
kentongan. Alat ini digunakan sebagai pemberitahu pada massa
kerajaan,
untuk menyampaikan pesan dan perintah kepada rakyat. Kentongan
dipukul
dengan irama yang berbeda-beda sesuai kejadian yang akan dan
sedang
terjadi. Misalnya, tanda kentongan yang menandakan adanya
kebakaran
rumah, adanya bencana banjir, adanya pencurian, atau akan
adanya
gerombolan pasukan lawan yang datang menyerang pada masa
peperangan
kerajaan zaman dahulu.
56
Rahmad Saiin (2012) lebih spesifik lagi, kentongan sudah
lama
digunakan, mulai dari Kerajaan Demak, dan Surakarta, Yogyakarta.
Selain
digunakan untuk menyampaikan pesan keamanan, kentongan dipakai
pula
sebagai petunjuk waktu. Saat ronda berlangsung, kentongan
dibunyikan
dalam satu kali setiap satu jamnya.
Di Sumatera, tiga kerajaan yakni Pagar Ruyung, Kesultanan
Palembang dan Kerajaan Jambi lewat garis keturunannya pada Suku
Anak
Dalam atau Suku Kubu melengkapi analisa bahwa tradisi meronda
sudah
ada pada tiga kerajaan tersebut. Muchlas (1975) dalam Ajebe
(2010)
menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi keturunan
dari
Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten
Batanghari. Lalu,
keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo
sebagian
Mersam (Batanghari). Dan, keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu
Air
Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Walau belum disebut ronda, suku pendalaman yang kini masih
ada dan menyebar di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi itu,
terus
mewariskan peradaban untuk menjaga daerah buruan, kawasan
meramu,
bahkan tempat bercocok tanaman dari berbagai serangan binatang
liar, dan
kesulitan alam lainnya.
c. Zaman Kolonial
Kolonial mulai merambah Nunsantara sejak masa kejayaan
Kerajaan Majapahit berakhir. Bangsa Portugis yang pertama kali
datang ke
Nusantara dengan tujuan berdagang. Monopoli perdagangan terutama
di
wilayah Malaka dan sekitarnya mulai dikuasai orang-orang
Portugis. Misi
perdagangan lambat laun meningkat menjadi penjajahan. Sejak
1511
Malaka mulai dikuasai oleh orang-orang Portugis.
Ahmad Sulaiman (2013), Portugis banyak memberi pengaruh pada
budaya Indonesia. Dari segi bahasa, Portugis banyak memberi
sumbangan
suku kata. Kosa kata biola (viola), meja (mesa), mentega
(manteiga), pesiar
(passear), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato),
serdadu (soldado),
cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela), algojo
(algoz), bangku
(banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo),
boneka (boneca),
armada, bola, pena, roda, sisa, tenda, tinta, dan masih banyak
lagi, adalah
serapan dari kosa kata Portugis. Bahkan kata ronda berasal dari
Portugis.
Bangsa lain yang menancapkan cakarnya di Nusantara adalah
bangsa Belanda. Mereka datang ke Nusantara pada akhir abad XVI.
Tujuan
mereka sama dengan bangsa Portugis yaitu untuk berdagang pula.
Mereka
57
dikenal sempat mendirikan perkumpulan dagang yang disebut
Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC).
Tahun 1641 orang Belanda merebut Malaka dari Portugis.
Sebelumnya, tahun 1619 mereka sudah membangun benteng kuat di
Batavia
saat menguasai Banten, pelabuhan dagang Nusantara lain yang
penting.
Penjajahan Jepang, seperti halnya Inggris, masuk ke dalam
kategori fase kolonial singkat. Kendati singkat, Jepang memiliki
bekas
peninggalan budaya yang terus digunakan atau bermanfaat bagi
bangsa
Indonesia di masa kemudian.
Kalau zaman kerajaan sistem keamananya/sistem ronda
dilakukan
secara terpusat yakni prajurit dari kerajaan mengelilingi
wilayah kerajaan
untuk memastikan keamanan --bisa dibilang pos rondanya ada di
dalam
kerajaan, pada zaman kolonial (zaman Belanda) malah menggunakan
sistem
sebaliknya. Pihak kolonial ini membangun pos-pos dari benteng,
sampai
titik-titik tertentu hingga daerah pemukiman penduduk. Pos ronda
ini
digunakan pihak kolonial untuk mengawasi penduduk agar tidak
terjadi
pemberontakan.
Fadila Adelin (2015), pada masa penjajahan kolonial Belanda,
pos
ronda sudah banyak dibuat di Indonesia. Kala itu, pos ronda
masih berupa
pos-pos jaga yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan para
penjajah
untuk mengekang orang-orang pribumi, khususnya mereka yang
sedang
merencanakan pemberontakan. Biasanya pos penjagaan tersebut
letaknya
dekat dengan menara atau benteng yang didirikan Belanda. Selain
itu, pos
penjagaan tersebut juga berfungsi untuk mengawasi gerak pribumi
yang
akan melintasi daerah tertentu.
Sementara pada masa VOC, sekalipun ada penjaga malam yang
bertugas ronda dan wijkmeester (lurah) untuk mengatur
pelaksanaan ronda,
komunitas Tionghoa harus mengandalkan kemampuan mereka sendiri
untuk
mengamankan lingkungan mereka.
Pada masa kolonial, pelibatan warga sipil dalam sistem
keamanan
lingkungan mulai dilakukan karena tingginya tingkat
kriminalitas. Pada
1920-an, peraturan mengenai tugas kepolisian (Het Herzine
Indonesisch
Reglement) antara lain menyebutkan, jika dirasa perlu
menurut
pertimbangan bupati dan disetujui oleh residen, kepala desa
wajib
mengadakan jaga malam dan meminta semua penduduk desa
menjalankannya secara bergiliran, dan kepala desa tidak boleh
memberi
kelonggaran tanpa alasan yang jelas.
58
d. Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, ronda dilakukan warga
atas
instruksi pemerintahan atau inisiatif kolektif. Sesuai
dengan
perkembangannya, ronda yang dimaksudkan menjaga keamanan dan
ketertiban kampung, sempat berubah dengan maksud memantau
kegiatan
agresi militer kolonial dengan tempat-tempat berpindah-pindah.
Artinya
pada zaman kemerdekaan awal itu penjagaan di pos-pos difungsikan
untuk
pengawasan dan patroli akan kehadiran kembali penjajah.
Orang-orang yang
melakukan ronda dibekali dengan senjata.
Pada masa Orde Lama, fungsi ronda kembali normal yaitu untuk
menjaga keamanan kampung. Sebab, kala itu tingkat kriminalitas
cukup
tinggi. Pemerintahan yang belum stabil ditambah gangguan dari
dalam
negeri yang hebat, berupa pemberontakan, membuat kondisi
ekonomi
masyarakat yang buruk. Keadaan diperparah dengan belum
masuknya
penerangan listrik ke kampung-kampung. Di era inilah sistem
ronda dikenal
dengan siskamling atau sistem keamanan lingkungan.
Pada masa Orde Baru perubahan terjadi secara besar-besaran.
Didahului berbagai persoalan dalam negeri, dari gejolak politik
hingga
kriminalitas, Kepala Polisi (kala itu) Awaloedin Djamil
menggagas bentuk
pengamanan swakarsa, dari ronda kampung atau siskamling di
sektor
tradisional hingga industrial security seperti satpam.
Siskamling
menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Penangungjawab
atau
pelaksana harian siskamling di lapangan biasanya dilakukan oleh
seorang
hansip. Sejak itu, dibentuklah pos keamanan lingkungan
(poskamling) di
kota-kota sampai pelosok desa.
Dibukanya kembali hubungan diplomatik dengan negara negara
barat lain menjadikan perekonomian Indonesia mulai membaik.
Sehingga
Indonesia mulai menjadi sasaran impor oleh negara lain. Masuknya
barang
elektronik seperti televisi, radio, membuat warga yang biasanya
aktif ronda
menjadi pasif karena di rumah sudah punya hiburan
sendiri-sendiri. Hal ini
mengubah konsep ronda dari yang tadinya dilakukan secara
gotong-royong
antarwarga, berubah menjadi tanggung jawab petugas keamanan
yang
ditugaskan untuk menjaga wilayah tersebut dengan menerima
bayaran
seperti satpam.
Dalam perjalanan selanjutnya, ronda sebagai garda terdepan
pengamanan lingkungan sempat diacuhkan. Warga lebih memilih
membangun portal ketimbang gardu dan mengeluarkan kocek
untuk
59
membayar hansip ketimbang bergantian ronda. Di kota-kota besar
yang
notabenenya perumahan lebih banyak memakai jasa satpam untuk
menjaga
lingkungan mereka. Yang menyedihkan, ada kesan para kaum elit
tertentu,
ronda terkesan menghabis-habiskan waktu dan membuang tenaga
karena
begadang di malam hari.
Perubahan ini sangat disayangkan karena rasa kebersamaan
antarwarga menjadi berkurang. Setiap orang disibukkan dengan
urusannya
sendiri-sendiri dan tidak mau tahu dengan urusan orang lain
walaupun hidup
bertetangga. Padahal ronda malam menjadi sarana untuk
menjaga
hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja
menjaga
keamanan lingkungan.
Dengan berkumpul, mengobrol, dan bercanda bersama di pos
ronda
tentunya akan menumbuhkan rasa kekeluargaan yang erat sesama
penghuni
kampung. Bahkan ada sebagian orang yang menilai bahwa ronda itu
obat
stres. Pagi hingga sore dengan rutinitas kerja yang padat
membuat ronda
dirindukan oleh sebagian kalangan untuk bercengkrama dan saling
berbagi
cerita.
2.1.2 Landasan Idiil Pancasila
Ronda yang menjadi bagian dari kegiatan warga untuk mencapai
kesejahteraan haruslah berpedoman pada Pancasila. Juan Dynash
(2017),
Pancasila merupakan way of life, weltanschaung, pegangan hidup,
dan
petunjuk hidup. Dalam hal ini Pancasila adalah sebagai petunjuk
arah
kegiatan di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam
melaksanakan
ronda.
Sebagai petunjuk arah kegiatan dalam melaksanakan ronda,
Pancasila haruslah dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh yang
tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Sehingga seluruh tingkah laku
dan
perbuatan warga yang melaksanakan ronda itu akan dijiwai dan
merupakan
pancaran dari sila-sila Pancasila.
Pancasila yang merupakan ideologi dasar bagi negara
Indonesia
berasal dari Ajaran Budha dalam Kitab Tripitaka yang terdiri
dari dua kata,
yaitu panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar. Jadi,
secara
leksikal Pancasia bermakna lima aturan tingkah laku yang
penting.
Ir. Soekarno dalam Juan Dynash (2017), Pancasila adalah jiwa
bangsa Indonesia yang turun temurun sekian lamanya terpendam
bisu oleh
kebudayaan barat. Pancasila tidak hanya falsafah bangsa, tetapi
merupakan
60
hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam
suatu
sistem yang tepat.
Sedangkan Notonagoro (2003) dalam Juan Dynash (2017),
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar
ontologis, dasar
epistemologis dan dasar aksiologis tersendiri, yang
membedakannya dengan
sistem filsafat lain.
Secara ontologis, hakekat dasar Pancasila adalah manusia,
sebab
manusia merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila.
Selanjutnya,
hakekat manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup,
baik
sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka,
yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil
dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta
yang
berkeadilan sosial, adalah manusia.
Kajian epistemologis filsafat Pancasila yang dimaksudkan
sebagai
upaya untuk mencari hakekat Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan,
terdapat tiga persoalan mendasar di dalamnya yaitu: (1) tentang
sumber
pengetahuan manusia; (2) tentang teori kebenaran pengetahuan
manusia;
dan (3) tentang watak pengetahuan manusia.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui
bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
sendiri serta
dirumuskan secara bersama-sama oleh The Founding Fathers
kita.
Memang dalam usaha merumuskan Pancasila, muncul usulan-
usulan pribadi yang dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Misalnya Muhammad
Yamin, pada pada 29 Mei 1945 berpidato mengemukakan usulannya
tentang
lima dasar yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri
Ketuhanan, Peri
Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Dia berpendapat bahwa ke-5 sila yang diutarakan tersebut
berasal
dari sejarah, agama, peradaban, dan hidup ketatanegaraan yang
tumbuh dan
berkembang sejak lama di Indonesia.
Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 mengemukakan Pancasila sebagai
dasar negara dalam pidato spontannya yang selanjutnya dikenal
dengan
judul "Lahirnya Pancasila". Ir. Soekarno merumuskan dasar
negara;
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, atau Peri-kemanusiaan,
Mufakat
atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ke-Tuhanan yang Maha
Esa.
61
Dari banyak usulan yang mengemuka, Ir. Soekarno berhasil
mensintesiskan dasar falsafah dari banyak gagasan dan pendapat
yang
disebut Pancasila pada 1 Juni 1945.
Rumusan dasar negara ini kemudian dibahas kembali oleh
panitia
yang dibentuk BPUPKI dan dimasukkan ke Piagam Jakarta.
Selanjutnya
pada 18 Agustus 1945 Pancasila secara sah menjadi dasar negara
yang
mengikat.
Sebelum disahkan, terdapat bagian yang diubah Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya"
diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan butir-butir Pancasila yang pernah digagas, baik yang
disampaikan dalam pidato Ir. Soekarno ataupun rumusan Panitia
Sembilan
yang termuat dalam Piagam Jakarta adalah sejarah dalam proses
penyusunan
dasar negara.
Rumusan tersebut semuanya otentik sampai akhirnya disepakati
rumusan sebagaimana terdapat pada alinea keempat Pembukaan
Undang-
Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Jadi, bangsa Indonesia merupakan kausa materialisnya
Pancasila.
Warga Lampung Tengah yang mengembangkan ronda sebagai alat
pencapai
kesejahteraannya, mestinya telah dan terus pula mengembangkan
nilai-nilai
yang ada pada dirinya, yang diwarisi nenek moyangnya secara
turun
temurun yang hidup dengan Pancasila di dadanya.
Dengan demikian pula, melaksanakan ronda juga sekaligus
melaksanakan sila-sila Pancasila secara hierarkhis dan utuh.
Sebab,
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki susunan yang
bersifat
formal logis, hierarkhis, dan piramidal, baik susunan
sila-silanya, maupun
isi arti dari sila-sila tersebut.
Pada masa Orde Baru, aplikasi Pancasila dijelaskan dalam 36
butir-butir yang menjadi hafalan wajib siswa di
sekolah-sekolah.
Sebanyak 36 butir-butir Pancasila yang disahkan berdasarkan
Tap
MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa atau
Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) itu juga dicetak dalam
bentuk
poster yang kemudian ditempelkan di dinding-dinding kelas,
bersanding
dengan poster-poster yang mewakili identitas bangsa dan
nilai-nilai luhur
pendidikan lainnya.
62
Setelah zaman reformasi, gaung 36 butir Pancasila tidak
begitu
terdengar. Pada tahun 2003, jumlah 36 butir diganti menjadi 45
butir
berdasarkan Tap MPR No I/MPR/2003. Redaksionalnya juga
mengalami
perubahan, tidak seperti sebelumnya.
2.1.3 Landasan Konstitusional UUD 45
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
atau disingkat UUD 1945 atau UUD 45, adalah hukum dasar tertulis
(basic
law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat
ini. UUD 45
disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada 18
Agustus
1945. Sejak 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi
Republik
Indonesia Serikat atau singakat UUD RIS dan sejak 17 Agustus
1950 di
Indonesia berlaku Undang-Undang Dasar Sementara 1950 atau
disingkat
UUDS 50. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD
45,
dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada 22 Juli
1959.
Pada kurun waktu 1999-2002, UUD 45 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga
dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Meski telah mengalami beberpa kali amandemen, tetapi
substansi
dari UUD 45 tetaplah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan
seluruh
tumpah darah Indonesia. Dalam pembukaan jelas sekali
digarisbawahi
bahwa tujuan kemerdekaan itu adalah untuk melindungi segenap
bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Dalam kaitan ronda, UUD 45 tidak hanya memberi payung di
pembukaan yang universal dan filosofis, tetapi juga sangat jelas
dalam
uraian bab dan pasal demi pasalnya. Misalnya pada BAB VI
tentang
Pemerintahan Derah, termaktup tentang pembagian Negara
Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dari daerah-daerah provinsi dan
daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap daerah itu
mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintah
daerah juga menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan
63
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan
pemerintah pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas
pembantuan.
Pada pasal selanjutnya digariskan bahwa hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Soal hak asasi manusia, antara lain digariskan, setiap orang
berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Tidak
hanya berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui
perkawinan yang sah, setiap warga negara juga berhak atas
kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari
kekerasan dan diskriminasi. Setiap orang berhak mengembangkan
diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat
manusia.
Setiap orang juga digariskan berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama
dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan
pendapat. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang
tersedia.
Tidak hanya itu, setiap orang berhak pula atas perlindungan
diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di
bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak
asasi.
Yang tidak kalah pentingnya, bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan
lingkungan
hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Soal hak milik, setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang
64
oleh siapa pun. Atas itu semua, setiap orang wajib menghormati
hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan
bernegara.
Khusus pertahanan dan keamanan negara, UUD 45 menggariskan
bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha
pertahanan dan keamanan negara. Usaha pertahanan dan keamanan
negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia
Republik
Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai
kekuatan
pendukung. Sementara Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum.
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara
Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan
tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha
pertahanan
dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Sedangkan soal perekonomian dan kesejahteraan, UUD 45
menggariskan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas
asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi
ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara.
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan
martabat kemanusiaan.
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
2.1.4 Landasan Operasional
Ada empat landasan operasional buku Model Sistem Ronda
Lampung Tengah ini, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
65
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009
tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2010
Tentang Satpol PP, dan Peraturan Daerah Lampung Tengah Nomor
20
Tahun 2012 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat.
A. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Adapun landasan operasional buku Model Sistem Ronda Lampung
Tengah ini adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah yaitu, soal inovasi daerah, soal
partisipasi
masyarakat, soal manajemen pelayanan publik, soal manajemen
operasional,
soal kecamatan, soal kelurahan, soal DPRD, soal Forkopimda, soal
Satuan
Polisi Pamong Praja atau Satpol PP, dan soal perangkat
daerah.
a. Inovasi Daerah
Ronda yang dilakukan di Lampung Tengah sesungguhnya adalah
inovasi. Tidak hanya menginovasi model sistem rondanya, tetapi
juga
diharapkan output dari pelaksanaan ronda itu berupa
inovasi-inovasi dalam
memberdayakan aparatur dan masyarakat untuk memanfaatkan
sumber-
sumber daya yang ada sehingga mampu menggerakkan pembangunan
di
segala bidang.
Dalam UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang pemerintahan daerah
sesungguhnya sudah mengatatur bagaimana daerah membangun
daerahnya.
Soal inovasi, UU Nomor 9 Tahun 2015 memberi ruang
seluas-luasnya
kepada pemerintah daerah melakukan inovasi dalam rangka
peningkatan
kinerja penyelenggaraan pemerintahan.
Jika melakukan inovasi yang dibatasi dengan terminologi
semua
bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pemerintah
daerah diharuskan mengacu pada prinsip peningkatan efisiensi,
perbaikan
efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik
kepentingan,
berorientasi kepada kepentingan umum, dilakukan secara
terbuka,
memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan
hasilnya
karena tidak untuk kepentingan diri sendiri.
Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota
DPRD,
aparatur sipil negara, perangkat daerah, dan anggota masyarakat.
Usulan
inovasi yang berasal dari anggota DPRD ditetapkan dalam rapat
paripurna.
Selanjutnya, usulan inovasi itu disampaikan kepada kepala daerah
untuk
ditetapkan dalam perkada sebagai inovasi daerah.
66
Usulan inovasi yang berasal dari aparatur sipil, harus
memperoleh
izin tertulis dari pimpinan perangkat daerah dan menjadi inovasi
perangkat
daerah. Usulan inovasi yang berasal dari anggota masyarakat
disampaikan
kepada DPRD dan/atau kepada pemerintah daerah.
Jenis, prosedur dan metode penyelenggaraan pemerintahan
daerah
yang bersifat inovatif ditetapkan dengan Perkada. Laporan
inovasi paling
sedikit meliputi cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk
inovasi, dan
hasil inovasi yang akan dicapai.
Pemerintah pusat melakukan penilaian terhadap inovasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dalam melakukan penilaian
terhadap
inovasi daerah, pemerintah pusat memanfaatkan lembaga yang
berkaitan
dengan penelitian dan pengembangan. Pemerintah pusat
memberikan
penghargaan dan/atau insentif kepada pemerintah daerah yang
berhasil
melaksanakan inovasi. Pemerintah daerah memberikan
penghargaan
dan/atau insentif kepada individu atau perangkat daerah yang
melakukan
inovasi.
Dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan
pemerintah daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran
yang telah
ditetapkan, aparatur sipil negara tidak dapat dipidana.
b. Partisipasi Masyarakat
Disebabkan sumber daya yang terbatas, sementara waktu untuk
membangun itu juga tidak terlalu lama, maka membangkitkan
partisipasi
masayarakat dalam ronda sangat perlu dilakukan. Dalam UU Nomor
9
Tahun 2015 tentang pemerintahan daerah, dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, pemerintah daerah wajib mendorong partisipasi
masyarakat.
Dalam mendorong partisipasi masyarakat, pemerintah daerah:
1. Menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan
daerah
kepada masyarakat;
2. Mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan
aktif
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui dukungan
pengembangan kapasitas masyarakat;
3. Mengembangkan pelembagaan dan mekanisme pengambilan
keputusan
yang memungkinkan kelompok dan organisasi kemasyarakatan
dapat
terlibat secara efektif dan/atau;
4. Kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
67
c. Manajemen Pelayanan Publik
Pemerintah daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik
dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik.
Manajemen pelayanan publik meliputi:
1. Pelaksanaan pelayanan;
2. Pengelolaan pengaduan masyarakat;
3. Pengelolaan informasi;
4. Pengawasan internal;
5. Penyuluhan kepada masyarakat;
6. Pelayanan konsultasi dan;
7. Pelayanan publik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Dalam melaksanakan manajemen pelayanan publik, pemerintah
daerah dapat membentuk forum komunikasi antara pemerintah
daerah
dengan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait. Daerah
dapat
membentuk Badan Layanan Umum Daerah dalam rangka
meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah wajib mengumumkan informasi pelayanan
publik kepada masyarakat melalui media dan tempat yang dapat
diakses
oleh masyarakat luas. Informasi pelayanan publik dituangkan
dalam bentuk
maklumat pelayanan publik Pemerintah Daerah kepada
masyarakat.
Maklumat pelayanan publik paling sedikit memuat:
a. Jenis pelayanan yang disediakan;
b. Syarat, prosedur, biaya dan waktu;
c. Hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan warga masyarakat
dan;
d. Satuan kerja atau unit kerja penanggungjawab
penyelenggaraan
pelayanan.
68
Maklumat pelayanan publik ditandatangani oleh kepala daerah
dan
dipublikasikan secara luas kepada masyarakat.
Maklumat pelayanan publik menjadi dasar pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Kepala daerah yang
tidak
mengumumkan informasi tentang pelayanan publik, dikenai
sanksi
administratif berupa teguran tertulis oleh menteri untuk
gubernur dan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/wali
kota.
Dalam hal teguran tertulis telah disampaikan dua kali
berturut-turut
dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan mengikuti
program
pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang
dilaksanakan
oleh kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh
wakil
kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur
pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya
saing
daerah. Penyederhanaan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan
Perda,
dan itu dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat berhak
mengadukan
penyelenggaraan pelayanan publik kepada pemerintah daerah,
Ombudsman,
dan/atau DPRD.
Pengaduan dilakukan terhadap:
a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-
undangan mengenai pelayanan publik dan;
b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar
pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-
undangan mengenai pelayanan publik.
Mekanisme dan tata cara penyampaian pengaduan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepala daerah wajib
melaksanakan rekomendasi Ombudsman sebagai tindak lanjut
pengaduan
masyarakat.
Kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman
sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat diberikan sanksi
berupa
pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang
dilaksanakan
oleh kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh
wakil
kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.
69
d. Manajemen Operasional
Tentu dalam mendorong partisipasi masyarakat, sehingga
antara
lain munculnya inovasi-inovasi untuk pembangunan, itu tidak
dapat
berjalan kalau tidak ada manajemen operasional yang
menanganinya.
Kepala daerah, wakil kepala daerah, hingga perangkat-perangkat
daerah
seperti camat dan lurah, mestinya memiliki peran sangat penting.
Tidak
terkecuali pula peran dari DPRD dan Forkopimda, sangat
dibutuhkan.
Dalam manajemen operasional itu, peran kepala daerah dengan
tugas-tugasnya sangatlah menentukan. Kepala daerah dapat dibantu
oleh
wakil kepala daerah, dan perangkat daerah lainnya.
Kepala daerah sendiri tidak boleh lepas dengan tugasnya:
1. Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan
daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
3. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan
rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas
bersama
DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD,
rancangan
Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk
dibahas
bersama;
5. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan
dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan dan;
6. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Dalam melaksanakan tugas, kepala daerah berwenang:
1. Mengajukan rancangan Perda;
2. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD;
3. Menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
4. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang
sangat
dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat;
70
5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Di samping kepala daerah, peran wakil kepala daerah sangat
menentukan dalam menggerakan roda pemerintahan. Wakil kepala
daerah
tidak hanya bertugas membantu kepala daerah, tetapi juga
memimpin,
mengoordinasikan, memantau, memberikan saran dan melaksanakan
tugas-
tugas kepala daerah tertentu jika kepala daerah berhalangan.
Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
1. Membantu kepala daerah;
2. Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan
daerah;
3. Mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan
menindaklanjuti
laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;
4. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah
yang dilaksanakan oleh perangkat daerah;
5. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
yang
dilaksanakan oleh perangkat daerah kelurahan, dan/atau desa;
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah
dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah;
7. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala
daerah
menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara dan;
8. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Hanya saja dalam menjalankan tugasnya, wakil kepala daerah
itu,
ada aturan main yang harus dijalankan. Misalnya wakil kepala
daerah
melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang
diberikan
oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala
daerah. Dalam
melaksanakan tugas, wakil kepala daerah menandatangani pakta
integritas
dan bertanggung jawab kepada kepala daerah. Wakil kepala daerah
wajib
melaksanakan tugas bersama kepala daerah hingga akhir masa
jabatan.
71
e. Kecamatan
Kewenangan kepala daerah, juga dilimpahkan secara terstruktur
ke
kecamatan. Pelimpahan kewenangan disesuaikan dengan tipe
kecamatannya. Kecamatan tipe A dengan beban kerja yang besar
tentu
mendapat pelimpahan kewenangan yang lebih besar dibandingkan
dengan
kecamatan tipe B dengan beban kerja yang kecil. Penentuan
beban
didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah
desa/kelurahan.
Kecamatan dipimpin oleh seorang kepala kecamatan yang
disebut
camat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati
melalui
sekretaris daerah.
Camat mempunyai tugas:
1. Menyelenggaraan urusan pemerintahan umum;
2. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
3. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban
umum;
4. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan
Perkada;
5. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan
umum;
6. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
yang
dilakukan oleh perangkat daerah di kecamatan;
7. Membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan desa
dan/atau
kelurahan;
8. Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah
kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja perangkat
daerah
kabupaten/kota yang ada di kecamatan dan;
9. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Camat dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat
kecamatan. Selain melaksanakan tugas, camat mendapatkan
pelimpahan
sebagian kewenangan bupati/wali kota untuk melaksanakan
sebagian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
kabupaten/kota.
72
Pelimpahan kewenangan bupati/wali kota dilakukan berdasarkan
pemetaan pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik
kecamatan
dan/atau kebutuhan masyarakat pada kecamatan yang
bersangkutan.
Pendanaan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan yang
dilakukan oleh camat dibebankan pada APBD kabupaten/kota.
f. Kelurahan
Kelurahan dibentuk dengan Perda kabupaten/kota berpedoman
pada peraturan pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang
kepala
kelurahan yang disebut lurah selaku perangkat kecamatan dan
bertanggung
jawab kepada camat.
Lurah diangkat oleh bupati/wali kota atas usul sekretaris
daerah
dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lurah mempunyai tugas membantu camat dalam:
1. Melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;
2. Melakukan pemberdayaan masyarakat;
3. Melaksanakan pelayanan masyarakat;
4. Memelihara ketenteraman dan ketertiban umum;
5. Memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
6. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat dan;
7. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Pemerintah daerah kabupaten mengalokasikan anggaran dalam
APBD kabupaten untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal
kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan. Penentuan
kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana lokal kelurahan dan
pemberdayaan
masyarakat di kelurahan dilakukan melalui musyawarah
pembangunan
kelurahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
73
g. DPRD
DPRD kabupaten mempunyai tugas dan wewenang:
a. Membentuk perda kabupaten bersama bupati;
b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda
mengenai
APBD kabupaten yang diajukan oleh bupati;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
APBD
kabupaten;
d. Memilih bupati dan wakil bupati dalam hal terjadi kekosongan
jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan;
e. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati kepada
menteri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk
mendapatkan
pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
kabupaten terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota;
h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan
daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan
daerah
dan;
j. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
h. Forkopimda
Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan urusan pemerintahan,
dibentuk Forkopimda dan forum koordinasi pimpinan di
kecamatan.
Forkopimda dan forum koordinasi pimpinan di kecamatan
masing-masing
diketuai oleh bupati dan camat.
Anggota Forkopimda terdiri atas pimpinan DPRD, pimpinan
kepolisian, pimpinan kejaksaan, dan pimpinan satuan teritorial
Tentara
Nasional Indonesia di daerah. Anggota forum koordinasi pimpinan
di
kecamatan terdiri atas pimpinan kepolisian dan pimpinan
kewilayahan
Tentara Nasional Indonesia di kecamatan.
74
Forkopimda dan forum koordinasi pimpinan di kecamatan dapat
mengundang pimpinan instansi vertikal sesuai dengan masalah
yang
dibahas.
i. Satpol PP
Penegakan Perda dan Perkada, tidak bisa dilepaskan dengan
Satpol
PP, karena Satpol PP menyelenggarakan ketertiban umum,
ketenteraman,
dan pelindungan masyarakat.
Satpol PP mempunyai kewenangan:
a. Melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga
masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas
Perda
dan/atau Perkada;
b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur,
atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau
Perkada dan;
d. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau
Perkada.
Anggota Satpol PP yang memenuhi persyaratan dapat diangkat
sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda
dilakukan
oleh pejabat penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Selain pejabat penyidik, dapat ditunjuk penyidik pegawai
negeri
sipil yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran
atas ketentuan Perda sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan.
Penyidik pegawai negeri sipil menyampaikan hasil penyidikan
kepada penuntut umum dan berkoordinasi dengan penyidik
kepolisian
setempat. Penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda
dilakukan
oleh penuntut umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan
75
j. Perangkat Daerah
Perangkat daerah kabupaten terdiri atas:
a. Sekretariat daerah, bertugas membantu bupati dalam
melaksanakan tugas
penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata
laksana
serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh perangkat
daerah
kabupaten.
b. Sekretariat DPRD, bertugas menyelenggarakan administrasi
kesekretariatan, administrasi keuangan, penyelenggaraan kegiatan
baik
DPRD dan sekretariat DPRD, serta penyediaan dan pengoordinasian
tenaga
ahli yang diperlukan oleh DPRD.
c. Inspektorat bertugas melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan
urusan pemerintahan, melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan
urusan perekonomian, melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan
urusan kesejahteraan sosial, melaksanakan pengawasan
terhadap
pelaksanaan urusan keuangan dan asset; dan melaksanakan
kegiatan
ketatausahaan.
d. Kepala dinas bertugas menyelenggarakan fungsi perumusan
kebijakan
teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian perizinan
dan
pelaksanaan pelayanan umum, serta pembinaan pelaksanaan tugas
sesuai
dengan lingkup tugasnya.
e. Kepala badan bertugas menyelenggarakan fungsi perumusan
kebijakan
teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian perizinan
dan
pelaksanaan pelayanan umum, serta pembinaan pelaksanaan tugas
sesuai
dengan lingkup tugasnya.
B. UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan
seiring
dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk
tentang
peningkatan pelayanan publik. Undang-undang tentang pelayanan
publik
memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat
dan
penyelenggara dalam pelayanan publik.
a. Organisasi Penyelenggara
Organisasi penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan
pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan.
Penyelenggaraan
pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi:
76
a. Pelaksanaan pelayanan;
b. Pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. Pengelolaan informasi;
d. Pengawasan internal;
e. Penyuluhan kepada masyarakat dan;
f. Pelayanan konsultasi.
Penyelenggara berkewajiban:
a. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
b. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat
pelayanan;
c. Menempatkan pelaksana yang kompeten;
d. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitaspelayanan
publik yang
mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
e. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuaidengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik;
f. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;
g. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan
perundang-undangan yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
h. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan;
i. Membantu masyarakat dalam memahami hak dantanggung
jawabnya;
j. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi
penyelenggara
pelayanan publik;
k. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang
berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab
atas posisi
atau jabatan dan;
l. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan
pejabat
yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah
yang
berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan
perundang-
undangan.
77
b. Hak dan Kewajiban Bagi Masyarakat
Masyarakat berhak:
a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan
pelayanan;
e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk
memperbaiki
pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan
standar
pelayanan;
f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki
pelayanan
apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar
pelayanan;
g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar
pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada
penyelenggara
dan Ombudsman;
h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan
standar
pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanankepada pembina
penyelenggara dan Ombudsman dan;
i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan
tujuan
pelayanan.
Masyarakat berkewajiban:
a. Mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan
dalam
standar pelayanan;
b. Ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau
fasilitas
pelayanan publik dan;
c. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait
dengan
penyelenggaraan pelayanan publik.
C. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satpol PP
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 148 ayat (2)
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
mengatur
pembentukan dan susunan organisasi Satpol PP. Satpol PP adalah
bagian
78
perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan
ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat.
Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu
keadaan dinamis yang memungkinkan pemerintah, pemerintah daerah,
dan
masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib,
dan
teratur.
Pembentukan organisasi Satpol PP ditetapkan dengan Perda
berpedoman pada peraturan pemerintah ini.
Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan
berkedudukan
di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui
sekretaris
daerah.
Dalam melaksanakan tugas, Satpol PP mempunyai fungsi:
a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
serta
perlindungan masyarakat;
b. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala
daerah;
c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umu