SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN TESIS Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Disusun oleh: KORNELIUS GLOSSANTO 156322006 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Embed
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: …repository.usd.ac.id/32910/2/156322006_full.pdfberdiri secara otonom – memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman – sebagai sebuah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI
DI SIBERUT SELATAN
TESIS
Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Disusun oleh:
KORNELIUS GLOSSANTO
156322006
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI
DI SIBERUT SELATAN
TESIS
Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Disusun oleh:
KORNELIUS GLOSSANTO
156322006
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS
RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN
Oleh
Kornelius Glossanto
NIM: 156322006
Telah disetujui oleh:
Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D.
Pembimbing
..............................................
Tanggal, 17 Desember 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PENGESAHAN
TESIS
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS
RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN
Oleh
KORNELIUS GLOSSANTO
NIM: 156322006
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis
pada tanggal 8 Januari 2019
dan telah dinyatakan memenuhi syarat.
Tim Penguji
Ketua : Dr. Y. Devi Ardhiani, M. Hum. .................
Sekretaris/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, SJ. .................
Anggota : Dr. St. Sunardi ..................
Dr. Y. Devi Ardhiani, M. Hum. ..................
Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D. ...................
Yogyakarta, 18 Januari 2019
Direktur Program Pascasarjana
Dr. G. Budi Subanar, SJ
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Kornelius Glossanto
NIM : 156322006
Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas : Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul : Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas Religi
Orang Mentawai di Siberut Selatan
Pembimbing : Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D.
Tanggal diuji : 8 Januari 2019
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam tesis/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-oleh sebagai tulisan saya sendiri
tanpa memberi pengakuan kepada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahhwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru
tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora
(M. Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 8 Januari 2019
Yang memberikan pernyataan
Kornelius Glossanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Kornelius Glossanto
NIM : 156322006
Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berujudil:
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA:
KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainya
demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti
kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : Yogyakarta
Pada tanggal : 8 Januari 2019
Yang menyatakan
Kornelius Glossanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sura’ Sabeu kukua ka
Ulaumanua Sipulubeunan,
Tulisan ini saya persembahkan kepada:
Sa’sara’inakku ka sangamberi polak Mentawai,
Keluarga dan para sahabat,
Universitas Sanata Dharma,
Serikat Misionaris Xaverian
dan
Kepada mereka yang selalu berhasrat untuk mengenal yang lain dan
tidak lelah menjadikan kehidupan ini lebih baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Berbicara mengenai budaya orang Mentawai tidak bisa dilepaskan dari telaah
mengenai sabulungan. Kepercayaan lokal Mentawai yang mengakui keberadaan dan
pengaruh roh-roh alam tersebut seringkali dilukiskan sebagai landasan keselarasan
manusia dan lingkungannya. Pada tahun 1954 peristiwa Rapat Tiga Agama menjadi
sarana legitimasi tindakan pelarangan sabulungan. Hal tersebut dilatarbelakangi upaya
negara ‘mendisiplinkan’ agama di Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dominasi yang diwarnai tindak diskriminasi dan kekerasan.
itu memunculkan konflik ideologi antara negara dan orang Mentawai di Siberut. Tesis ini
berisikan ulasan mengenai bagaimana dominasi negara atas sebuah kepercayaan lokal di
Siberut memicu timbulnya perlawanan terselubung dari orang Mentawai yang berusaha
menjaga identitas budaya mereka. Model perlawanan tersebut menurut kajian James C.
Scott merupakan ‘senjata orang-orang yang kalah’ menghadapi kelas yang mendominasi
kehidupan mereka. Ritual-ritual tradisi sabulungan ditampilkan kembali sebagai ekspresi
budaya sambil menghidupi keberagamaan sesuai anjuran dan tuntutan pemerintah. Upaya
revitalisasi budaya melalui semangat inkulturatif yang ditawarkan Gereja Katolik dan
penyadaran nilai-nilai budaya melalui pendidikan berjalan namun bukan tanpa halangan.
Makin lunturnya penghayatan akan sabulungan dan nilai budaya di dalamnya serta
perubahan gaya hidup modern menunjukkan gegar budaya dan ambivalensi yang dialami
orang Mentawai di Siberut dewasa ini.
Istilah kunci: sabulungan, perlawanan sehari-hari, identitas budaya, Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Talking about the culture of the Mentawai people cannot be separated from the study of
Sabulungan. Mentawai local beliefs that recognize the existence and influence of these
natural spirits are often described as the basis of harmony between humans and their
environment. In 1954 the event of the Three Religion Meeting became a means of
legitimizing the prohibition of sabulungan. This was motivated by the state's efforts to
'discipline' religion in Indonesia as a form of recognition of the One Precept of Godhead.
Domination is characterized by acts of discrimination and violence. It gave rise to
ideological conflicts between the state and the Mentawai people on Siberut. This thesis
contains a review of how the state's dominance of a local belief in Siberut triggered the
emergence of covert resistance from the Mentawai people who tried to maintain their
cultural identity. The resistance model according to James C. Scott's study is "the
weapons of the weak" facing a class that dominates their lives. The rituals of the
Sabulungan tradition are reappeared as cultural expressions while living religion
according to the recommendations and demands of the government. Efforts to revitalize
culture through the inculturative spirit offered by the Catholic Church and awareness of
cultural values through education but not without obstacles. The fading away of
appreciation of sabulungan and cultural values in it and changes in modern lifestyles
show cultural shock and ambivalence experienced by Mentawai people in Siberut today.
Keywords: sabulungan, daily resistance, cultural identity, Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Tulisan ini semata-mata bukan merupakan karya ilmiah yang disusun atas
tuntutan studi dan keperluan akademis. Seluruh rangkaian penyusunan tesis ini ibarat
sebuah perjalanan; perjalanan untuk keluar dari diri sendiri dan membuka hati bagi yang
lain. Pengalaman satu setengah tahun hidup bersama konfrater Xaverian di pastoran
Siberut berdampingan dengan para suster ALI dan KSFL dan saudara-saudara di
Mentawai, terutama di Siberut Selatan telah berhasil menggerakkan saya untuk mencintai
dunia baru tersebut. Melihat kembali ke belakang, betapa saya sangat berterima kasih
kepada: Ferdinanda Maria Saurei, Juliasman Satoko, Marinus Satoleuru, dan Albertina
Sakukuret, yang telah membukakan mata dan hati saya akan keunikan bumi sikerei.
Terima kasih keluarga baruku di Siberut, terutama pula kepada anak-anak di asrama St.
Yosef dan St. Theresia Lisieux yang dengan cara kalian telah membuka mulut saya dan
mengajari saya berceloteh dengan bahasa Mentawai.
Selama kesempatan-kesempatan kunjungan selanjtutnya saya juga banyak
dibantu oleh Marinus Satoleuru dan Petrus Marjuni untuk berjumpa dengan para
narasumber. Terima kasih juga atas kesediaan berbagi kisah-kisah kalian: Marinus Saurei,
Elyzius Sakeletuk, Bruno Tatebburuk, Teu Lomoi Samalinggai, Hieronimus Keppa
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sebagai anggota sebuah kongregasi religius misioner dalam Gereja Katolik, selama
masa pendidikan periode tahun 2012-2014, saya mendapat kesempatan untuk berkarya di
sebuah paroki di Siberut. Siberut merupakan satu dari empat pulau utama – dan juga pulau
terbesar – di wilayah Kepulauan Mentawai. Pada tahun 1999 wilayah kepulauan ini
berdiri secara otonom – memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman – sebagai
sebuah kabupaten (Kab. Kepulauan Mentawai) dengan ibu kota Tuapeijat dan menjadi
salah satu dari 12 kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Mayoritas penduduk di
kepulauan ini dikenal sebagai suku Mentawai dan hidup berdampingan dengan para
pendatang yang berasal dari suku Minangkabau, Nias, Batak, Jawa dan Flores.
Dalam sejarah Gereja Katolik, kegiatan misi di wilayah kepulauan Mentawai
dimulai pada tahun 1954 oleh para misionaris dari Serikat Xaverian. Dan hingga saat ini,
agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku
Mentawai memiliki kepercayaan tradisional yang dikenal dengan istilah sabulungan.
Sabulungan berasal dari dua kata sa = bentuk plural dari sebuah kesatuan dan bulu =
persembahan. Kata sabulungan sendiri merujuk pada kumpulan roh, sehingga tradisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sabulungan mengandung unsur keyakinan akan roh-roh yang dihormati dengan berbagai
ritual persembahan (Juniator, 2012: 69).
Selama bertugas di Siberut, penulis mengamati sebagian orang masih mempercayai
bahwa sakit tertentu bisa jadi disebabkan oleh perjumpaan antar roh (simagre). Oleh
karena itu alih-alih pergi berobat ke puskesmas, mereka memilih memanggil sikerei
(tabib tradisional) untuk mengobati orang yang mengalami sakit tertentu. Padahal di kota
kecamatan di Muara Siberut, telah berdiri Puskemas dan Poliklinik yang dikelola oleh
para suster ALI (Assistenti Laiche Internazionali)1. Peristiwa ini menarik bagi penulis,
mengingat mayoritas masyarakat Siberut telah menganut agama Katolik (83,49%) dan
Protestan (14,39%).2 Masih dilibatkannya sikerei dalam pengobatan tidak terlepas dari
tradisi sabulungan yang mempercayai bahwa munculnya penyakit berasal dari pengaruh
kekuatan supranatural.
Banyak dari orang Mentawai di Siberut yang kendati telah menganut salah satu
agama resmi yang ada di sana, seperti Katolik, Protestan maupun Islam, dalam keseharian
tetap memegang pantangan-pantangan atau menjalankan ritual-ritual yang
dilatarbelakangi oleh tradisi sabulungan.3 Namun tidak sedikit juga orang Mentawai yang
sudah tidak mengenal lagi sabulungan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan identitas
budaya mereka. Sejarah masa lalu di mana sabulungan dilarang oleh pemerintah,
perubahan gaya hidup, dan pembangunan daerah, menjadikan generasi muda orang
Mentawai mulai tercabut dari akar religiositasnya sendiri. Fenomena inilah yang menarik
bagi saya untuk dikaji lebih dalam. Bagaimana masyarakat Mentawai di P. Siberut
1 ALI atau juga dikenal Institut Sekulir “Mater Amabilis” berdiri pada 11 Oktober 1952 di Milan, Italia.
Permohonan Prefek Apostolik Padang, Mgr. Pasquale de Martino, atas tenaga biarawati yang berkarya
di bidang medis menjadi latar belakang pembentukan institut tersebut. 2 Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik. 3 Lih. Juniator, 2012. Hlm. 69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
bersiasat untuk menjaga nilai-nilai religi budaya yang terkandung dalam sabulungan
berhadapan dengan dominasi negara, pewarta agama serta masuknya budaya modern.
1.2. TEMA PENELITIAN
Sabulungan merupakan kepercayaan tradisional orang Mentawai. Orang Mentawai
pada awalnya tidak memiliki istilah tertentu untuk menyebut sistem kepercayaan mereka
atau ‘agama’. Pasca kemerdekaan Indonesia melalui Rapat Tiga Agama4, tahun 1954
keberadaan sabulungan dilarang. Namun selama perjalanan waktu, pengaruh larangan
tersebut mulai memudar dan membuat orang Mentawai saat ini memiliki pandangan dan
sikap yang berbeda atas kepercayaan lokal tersebut. Sebagian dari mereka masih
memandang sabulungan sebagai sumber identitas budaya Mentawai dan mencoba
mempertahankannya. Sebagian lagi berada dalam situasi ambivalen antara hendak
melupakan dan meninggalkan tradisi tersebut atau menghidupinya dengan cara baru.
1.3. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa negara melalui aparatusnya berusaha menghapuskan sabulungan?
Kapan dan dengan cara bagaimana usaha penghapusan itu berlangsung?
2. Bagaimana pandangan orang Mentawai saat ini tentang sabulungan dan ritus-
ritusnya dalam kehidupan sehari-hari?
3. Bagaimana siasat orang Mentawai mempertahankan sabulungan dan di mana
posisi sabulungan dalam pandangan orang Mentawai saat ini?
4 Coronesse mencatat perwakilan Rapat Tiga Agama ini merujuk pada Islam, Protestan, dan Arat
Sabulungan (Coronesse, 1986:38).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
1.4. TUJUAN PENELITIAN
Melalui rumusan persoalan di atas penulis mencoba menggali data di lapangan dan
sejumlah literatur mengenai dominasi negara, pengaruh agama-agama samawi,
perubahan pola hidup terhadap religi orang Mentawai yang terkandung dalam
kepercayaan sabulungan. Hal itu bertujuan untuk mengungkap beberapa poin di bawah
ini:
1. Untuk mengetahui alasan, waktu pelaksanaan dan cara-cara yang dilakukan
negara dalam usaha menghapuskan sabulungan.
2. Untuk menganalisa bagaimana sabulungan dan ritus-situsnya dipandang dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Mentawai dewasa ini.
3. Untuk melihat siasat orang Mentawai mempertahankan sabulungan dan di mana
posisi sabulungan dalam pandangan orang Mentawai saat ini.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana dominasi negara terhadap
kepercayaan lokal – seperti yang tampak dalam pelarangan sabulungan – terjadi di
lapangan. Selain itu dari hasil penelitian ini bisa juga dilihat bagaimana orang Mentawai
di Siberut Selatan mempertahankan dan menghidupi religiositas mereka di tengah
pengaruh pembangunan, kehadiran agama-agama samawi, serta perubahan pola
kehidupan. Informasi ini akan sangat berguna untuk melihat sejarah perubahan identitas
budaya dan religi orang Mentawai serta mengungkap faktor-faktor apa saja yang turut
mempengaruhinya pada masa kini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.6. KAJIAN PUSTAKA
Dalam bagian ini akan diuraikan dua pokok pemikiran mengenai konsep agama dan
relasi kepercayaan lokal dengan agama-agama resmi pemerintah. Pertama akan kita lihat
bagaimana konsep agama dikonstruksi di Indonesia. Selanjutnya pada bagian kedua akan
diulas secara singkat bagaimana kepercayaan-kepercayaan lokal berhadapan dengan
agama-agama ‘resmi’ di Indonesia dan sejarah perkembangannya hingga saat ini.
1. Konsep Agama di Indonesia
Richard King dalam bagian kedua bukunya Agama, Orientalisme dan
Poskolonialisme (2001) menjelaskan bagaimana sejarah terjadinya pergeseran makna
‘agama’. Ia merujuk pada konsep Cicero di masa pra-Kristen yang mengatakan akar kata
‘agama’ (religion) adalah bahasa Latin religio. Kata religio memiliki kaitan dengan kata
religere yang berarti ‘melacak kembali’ atau ‘membaca ulang’. Cicero dengan alur
pemikiran tersebut ingin memperlihatkan bahwa konsep ‘agama’ pada dasarnya berkaitan
erat dengan usaha menghadirkan kembali adat dan ritual dari nenek moyang atau leluhur
sebuah kelompok (King 2001: 68). Dalam pandangan ini ‘agama’ mengacu pada konsep
yang lebih luas dan memungkinkan dinamika kehidupan yang pluralistik. Karena jelas
dengan adanya beragam tradisi dan budaya di dunia, dimungkinkan juga muncul beragam
‘agama’. Dari konsep ini semua bentuk kepercayaan dan tradisi budaya lokal suku-suku
di Indonesia – seperti Kaharingan, Merapu, Parmalim, Sabulungan – bisa dikategorikan
sebagai agama. Namun rupanya sejarah memperlihatkan alur yang beragam.
Pada abad ke-3 ditemukan karya seorang penulis Kristen, Lactantius, yang menolak
konsep ‘agama’ Cicero. Lactantius berpendapat bahwa kata religio berasal dari kata Latin
re dan ligare yang berarti mengikat atau berhubungan. Dalam pemikirannya ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Lactantius memperlihatkan bahwa religio merupakan hubungan atau ikatan antara Yang
Ilahi dan manusia. Ia juga kemudian mempertentangkan antara kelompok yang
menyembah dewa-dewa dan mereka yang percaya kepada Tuhan sebagai entitas yang
tunggal, sebagai sumber kebenaran. Hal ini mengakibatkan berakhirnya kehidupan yang
pluralistik karena pergeseran makna ‘agama’ dari pemikiran Cicero kepada pandangan
Lactantius menyebabkan pula ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada.
Dalam hal ini Kekristenan menempatkan diri sebagai pemegang kebenaran karena konsep
monoteisnya dan memandang kelompok-kelompok penyembah dewa-dewa dan tradisi
nenek moyang sebagai orang yang terbelakang atau kaum pagan yang masih percaya pada
takhayul. King menyimpulkan bahwa perubahan makna semantik sebagaimana
dijelaskan Lactantius menyebabkan perubahan seluruh konsep mengenai ‘agama’.
Sehingga diskusi-diskusi mengenai istilah ‘agama’ atau religio pada masa modern hingga
saat ini cenderung mengacu pada pemikiran Lactantius, di mana ‘agama’ dikonstruksikan
dalam paradigma Kekristenan yang secara eksklusif menitikberatkan konsep-konsep
keyakinan teistik – baik dalam wujud mono- , poli-, heno-, atau pan- teistik. Selain itu
muncul pula konsep dualisme antara dimensi Ilahi dan dimensi manusiawi serta konsep
dunia yang suci atau transenden di mana manusia mengikatkan diri (religare) kepadanya.
Dengan demikian menurut King, konsep ‘agama’ merupakan konstruksi sosio-kultural
yang khas dengan genealoginya sendiri yang khas juga (King, 2001: 71-76).
Berbeda dari Lactantius dan Cicero, Clifford Geertz memiliki definisi tersendiri
mengenai agama. Ia pertama-tama melihat agama sebagai sebuah sistem simbol.
Demikian definisi Geertz atas agama (Geertz, 1992: 5):
“... (1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan
suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi,
dan yang tahan dalam diri manusia dengan (3) merumuskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
konsep-konsep mengenai suatu tatatan umum eksistensi dan (4)
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran
faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu
tampak khas dan realistis.”
Pernyataan Geertz tentang agama yang demikian ini jelas memberikan ‘konsep agama’
ruang lingkup yang sangat luas. Baik agama-agama besar dunia seperti Hinduisme,
Kekristenan, Yahudi maupun Islam hingga kepercayaan-kepercayaan tradisional sebuah
suku tertentu termasuk dalam definisi tentang agama itu.
Menurut Geertz dalam kacamata antropologi sebuah agama menjadi penting karena
berfungsi sebagai sumber konsep atau gagasan yang umum dan jelas – mengenai dunia
kehidupan, mengenai pribadi manusia, dan juga bagaimana relasi antara keduanya itu –
bagi pribadi-pribadi tertentu maupun juga bagi sebuah kelompok masyarakat (Geertz,
1992: 46). Fungsi yang demikian dapat dengan mudah ditemui juga dalam sistem
kepercayaan lokal yang ada di Indonesia. Masing-masing kepercayaan tersebut dengan
jelas dan sistematis memperlihatkan bagaimana pola relasi antara manusia dan alam
kehidupannya. Dengan demikian jika menggunakan sudut pandang antropologis seperti
diuraikan oleh Geertz, sistem kepercayaan lokal yang begitu banyak di Indonesia juga
bisa dikategorikan sebagai agama.
Kata ‘agama’ dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai:
“sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.” (KBBI edisi ke-2, cetakan
ke-4, 1995). Namun jika dilihat dalam sejarah, kata ‘agama’ yang kita kenal saat ini telah
mengalami rangkaian proses pemaknaan yang panjang. Dalam sejarah bangsa Indonesia
seringkali diceritakan kisah mengenai kedatangan bangsa-bangsa lain ke bumi Nusantara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
ini untuk berdagang. Kehadiran para penjelajah samudera dan pedagang ini lah yang
memperkenalkan bentuk baru religiositas. Pada masa itu pengaruh Hinduisme dan
Budhisme mulai tersebar sehingga memunculkan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.
Kemunculan kerajaan-kerajaan tersebut memberikan gambaran bagaimana ‘agama’ telah
menjadi sumber legitimasi politis dan status sosial. Pada masa itu menjadi ber-‘agama’
pertama-tama berarti menjadi modern, berkuasa, dan sejahtera (Ropi, 2017: 44).
Di Indonesia kata ‘agama’ diterima begitu saja secara umum untuk
menterjemahkan kata ‘religion’. Padahal secara semantik kata ‘agama’ memiliki makna
yang lebih sempit dari kata ‘religi’ – yang juga diadopsi dalam bahasa Indonesia dari
bahasa Belanda ‘religie’. Kata ‘agama’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang
memiliki makna harafiah ‘abadi’ dan membawa gagasan mengenai pewahyuan
(revelation). Menurut Michael Picard (2011), hal ini yang menjadikan konsep mengenai
agama di Indonesia menjadi unik. Menurutnya kata ‘agama’ merupakan paduan unik:
sebuah kata Sansekerta yang mengandung pandangan Kekristenan mengenai apa yang
disebut sebagai agama dunia dengan pemahaman Islam tentang apa yang didefinisikan
sebagai agama yang tepat. Agama yang tepat dalam pandangan itu mengandung unsur-
unsur seperti: sebuah wahyu Ilahi yang direkam dalam kitab suci oleh para nabi utusan,
sistem peraturan bagi pemeluknya, upacara pujian bagi umat, dan pengakuan atau
keyakinan akan Tuhan yang Esa (Picard, 2011:3, 2017: 25). Unsur Tuhan, Nabi, dan
Kitab suci menjadi elemen utama sebuah agama (Ropi, 2017:119). Kategori-kategori
tersebut kemudian digunakan oleh Departemen Agama sebagai syarat sebuah ‘agama’ di
Indonesia. Rupanya syarat-syarat ini-lah yang kemudian diusulkan oleh Departemen
Agama pada tahun 1952 sebagai kategori resmi untuk melihat apakah sebuah
kepercayaan masyarakat lokal bisa dianggap sebagai agama yang sah atau tidak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia para tokoh kemerdekaan sepakat
bahwa agama merupakan elemen yang penting bagi negara (Ropi, 2017:57). Namun
dalam perkembangannya sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945 terdapat sedikit
perubahan mengenai kedudukan agama dalam Undang-Undang Dasar. Tabel berikut
memperlihatkan bagaimana kedudukan agama dalam konstitusi 1945, konstitusi 1949 dan
konstitusi 1950:
Konstitusi 1945 Konstitusi 19495 Konstitusi 19506
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya
itu.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran keinsjafan
batin dan agama; hak ini
meliputi pula kebebasan
bertukar agama atau kejakinan,
begitu pula kebebasan
menganut agamanja atau
kejakinannja, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik dimuka umum
maupun dalam lingkungannja
sendiri dengan djalan
mengadjarkan, mengamalkan,
beribadat, mentaati perintah dan
aturan-aturan agama, serta
dengan djalan mendidik anak-
anak dalam iman dan kejakinan
orang
tua mereka.
Pasal 41
(1) Penguasa memberi
perlindungan jang sama kepada
segala perkumpulan dan
persekutuan
agama jang diakui.
(2) Penguasa mengawasi supaja
segala persekutuan dan
perkumpulan agama patuh-taat
kepada
Undang-undang, termasuk
aturan-aturan hukum jang tak
tertulis.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas
kebebasan agama, keinsyafan
batin dan pikiran.
Pasal 43
1. Negara berdasar atas Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut
agamanya dan
kepercayaannya itu.
3. Penguasa memberi
perlindungan yang sama kepada
segala perkumpulan
dan persekutuan agama yang
diakui. Pemberian sokongan
berupa apapun oleh penguasa
kepada penjabatpenjabat agama
dan persekutuan-persekutuan
atau perkumpulan-perkumpulan
agama dilakukan atas dasar
sama hak.
4. Penguasa mengawasi supaya
segala persekutuan dan
perkumpulan agama
patuh-taat kepada undang-
undang termasuk aturan-aturan
hukum yang tak tertulis.
5 Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagaimana diputuskan dalam Keppres Nomor 48 Tahun 1950 6 Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950
Tabel 1. Perbandingan pernyataan pengakuan atas agama dalam konstitusi 1945, 1949, dan 1950.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Meskipun terdapat sejumlah perubahan yang terjadi dalam kebijakan negara atas agama
di Indonesia, dalam ketiga model konstitusi negara tidak tercantum agama apa saja yang
dimaksud. Dan walaupun tampak bahwa kebebasan beragama dan menganut kepercayaan
warga negara dijamin oleh pemerintah, dalam praktiknya wujud jaminan dan pengakuan
kebebasan beragama tersebut masih terus mengalami perubahan yang panjang. Baru
dalam TAPPRES NO.1/PNPS/Tahun 1965 pemerintah secara eksplisit menyatakan 6
agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu – sebagai agama yang
dipeluk oleh orang Indonesia dan yang muncul dalam sejarah perkembangan agama-
agama di Nusantara. Pada masa Orde Baru berdasar Tap MPR No.4 Tahun 1978, secara
tertulis kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dipandang berbeda dengan agama.
Selanjutnya keberadaan aliran kepercayaan tradisional atau agama-agama lokal tidak lagi
berada dalam wewenang Departemen Agama melainkan dipercayakan kepada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Budaya kemudian
membentuk direktorat baru yakni Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan Tradisi (Picard, 2011:15). Kemunculan Tap MPR No.4 Tahun 1978
menjadi awal mula peraturan pemerintah yang mewajibkan pengisian kolom agama
dalam pembuatan KTP. Dampaknya banyak penganut agama lokal yang harus
menghadapi pilihan antara mengkonversi keyakinan mereka pada agama-agama yang
diakui oleh pemerintah, atau berjuang dan berafiliasi dengan salah satu agama resmi
tersebut.
Aliran-aliran kepercayaan tradisional yang telah ada di Nusantara jauh sebelum
kemerdekaan akibatnya harus menerima nasib diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno,
asing, dan penghalang terbentuknya masyarakat yang merdeka dan modern. Padahal
melalui sistem kepercayaan tradisional tersebut terangkum identitas budaya yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
diwariskan dan mewarnai kehidupan suku turun-temurun. Para penganut aliran
kepercayaan dalam rezim pemerintahan Orde Baru disamakan statusnya sebagai orang
yang ‘belum beragama’ dan kelompok ini juga belum diakui sebagai warga negara
seutuhnya. Mereka dipandang oleh pemerintah sebagai kelompok yang perlu
‘diberadabkan’ (Ropi, 2017:155). Untuk itu masyarakat dalam kelompok ini harus
menganut salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah sehingga agar bisa
memperoleh pengakuan dan pelayanan dari pemerintah sebagai warga negara dan bagian
dari kelompok masyarakat modern.
Sejarah pembentukan konsep agama di Indonesia dan penerapannya dalam
kebijakan negara telah memunculkan apa yang dikenal dengan politik rekognisi. Hal ini
mengacu pada upaya kelompok mayoritas yang berkuasa untuk menggunakan agama
sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk mengontrol kelompok minoritas, yang dalam
kasus di atas merupakan para penghayat aliran kepercayaan.
2. Agama Lokal vs Agama ‘Resmi’
Sebelum tahun 1950an sistem kepercayaan tradisional orang Mentawai dikenal
dengan nama sabulungan. Baru setelah kemerdekaan di tahun 1950an itu, pemerintah dan
para misionaris menambahkan kata arat untuk menyebut sistem kepercayaan lokal
tersebut sebagai agama. Sebenarnya kata arat merupakan adaptasi dari kata dalam bahasa
Indonesia ‘adat’ (custom). Sebelum kata arat digunakan, orang Mentawai menggunakan
kata punen yang berarti ‘kegiatan’ (activity) baru dalam perjalanan waktu kata ini berubah
menjadi arat. Kata arat sendiri memiliki makna yang lebih luas. Ia bisa berarti peraturan-
peraturan, norma-norma, adat maupun kebiasaan-kebiasaan (Juniator, 2012: 68).
Kehadiran agama-agama dari luar dan peristiwa yang dikenal dengan Rapat Tiga
Agama pada tahun 1954 membawa pengaruh yang besar bagi para penganut sabulungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Rapat Tiga Agama sendiri muncul dengan latar belakang program pemerintah pasca
kemerdekaan yang bertujuan untuk menyatukan suku-suku dari seluruh nusantara dalam
kelompok sosial dan budaya utama yang bersifat nasional (Persoon 2004: 23; Mulhadi
2007: 20-21; Juniator 2012:72). Mulhadi menulis bahwa pelarangan sabulungan oleh
pemerintah pada 1954 bukan karena kepercayaan tersebut mengandung unsur ajaran
sesat atau juga bukan merupakan sempalan dari agama-agama resmi yang diakui negara.
Kepercayaan tradisional suku Mentawai itu dilarang karena ketakutan pemerintah yang
memandang sistem kepercayaan itu berpotensi mengancam kestabilan Negara Kesatuan
(Mulhadi, 2007:14). Kekhawatiran pemerintah ini kemudian dipertegas dengan
dikeluarkannya UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama. Menurut Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, UU tersebut
lahir dari keinginan pemerintah Soekarno dalam usaha membendung ateisme dan
beragam upaya merekayasa bentuk aliran-aliran baru yang kehadirannya bisa merusak
agama-agama yang telah ada7.
Dengan pelarangan atas sabulungan serta praktik-praktiknya, pemerintah daerah
Sumatera Barat bersama dengan aparat melarang segala bentuk praktik yang berkaitan
dengan kepercayaan lokal tersebut bahkan juga membakar dan memusnahkan benda-
benda yang berhubungan dengannya. Masyarakat suku Mentawai diminta untuk beralih
kepada agama-agama resmi yang kala itu diakui pemerintah Indonesia, yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Sabulungan diidentikkan dengan kepercayaan
masyarakat ‘primitif’ dan dengan demikian oleh pemerintah bisa dilenyapkan sehingga
dialami kaum petani tidak memungkinkan mereka melakukan pemberontakan terhadap
kelompok yang mendulang keuntungan dan mengeksploitasi diri mereka. Konflik yang
muncul di Sedaka antara petani miskin dan para pemilik tanah yang kaya dilatarbelakangi
oleh perubahan hubungan produksi. Revolusi hijau yang terjadi memicu perubahan pola
pertanian. Panen yang dilipatgandakan dalam dua kali musim tanam serta mekanisasi
pertanian yang didukung pemerintah hanya menambah keuntungan di kalangan para
pemilik tanah. Hal ini memicu terjadinya ketidakseimbangan sosial antara para tuan tanah
dan petani.
Kesenjangan yang terjadi tampak dalam perilaku para tuan tanah seperti misalnya:
mengubah kebijakan sewa tanah, penggantian buruh tani manusia dengan mesin, dan
menyewakan tanah garapan yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu di
dalam relasi kehidupan sosial antara tuan tanah dan petani muncul perubahan perilaku
yang merugikan kaum petani miskin. Para tuan tanah mengurangi atau tidak lagi
memberikan pesta panen, memberi zakat dan sedekah sebagaimana dilakukan seturut
tradisi Islam, serta pengakuan-pengakuan sosial yang dulunya mewarnai kehidupan sosial
di wilayah Sedaka (Scott, 1985: 305). Hal ini bagi para petani kecil merupakan hal yang
merugikan. Konsekuensinya para petani miskin berusaha memperjuangkan kepentingan
mereka agar praktik-praktik sosial masa lalu diperoleh kembali. Diskriminasi oleh para
tuan tanah terhadap kelas petani akibat perubahan proses produksi pertanian itu memicu
munculnya perlawanan.
Bagi Scott kaum minoritas seperti para petani di Sedaka tidak dimungkinkan
mengadakan perlawanan frontal, terbuka, dan kolektif karena situasi struktur kelas sosial
yang kompleks dan rumit di antara para pemilik tanah dan petani. Selain itu ketika para
petani berada di posisi yang tidak dimungkinkan untuk melakukan perlawanan terbuka,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
maka pilihan lainnya adalah melakukan protes sambil ‘melarikan diri’ atau menghindar
(Scott 1985: 244). Scott dalam pengamatan lapangannya di Malaysia menitikberatkan
perhatiannya pada bentuk perlawanan kelompok petani yang dilakukan secara sederhana
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang oleh Scott disebutnya sebagai
‘perlawanan dalam wujud keseharian’ kaum petani.
Berbeda dengan model perlawanan yang terang-terangan, terorganisir dan
terencana rapi, bentuk perlawanan ini muncul dalam hal-hal yang seolah remeh temeh
belaka. Sikap bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip, pencurian kecil-kecilan, hingga
melakukan sabotase, merupakan bentuk-bentuk senjata perlawanan kaum petani (Scott
1985: 29). Di permukaan orang akan melihat bagaimana kaum petani seolah ‘tunduk’
pada kebijakan pemerintah dan para pemilik tanah. Namun investigasi Scott
menunjukkan bahwa di bawah permukaan yang tampak itu para petani tetap mengadakan
perlawanan dan mengkritik pihak yang menguasai mereka. Scott mencermati pola-pola
perlawanan yang terjadi di kalangan kaum petani di Sedaka menghasilkan semacam
pembedaan antara dua wujud perlawanan. Di satu sisi adalah ‘perlawanan yang
sesungguhnya’ yang memiliki ciri: (1) Organik, sistematik, dan kooperatif. (2) Memiliki
prinsip tertentu dan tidak mementingkan diri sendiri. (3) Bisa berdampak pada munculnya
gerakan revolusioner. (4) Memiliki ide atau tujuan meniadakan kelas dominan. Di sisi
lain merupakan ‘perlawanan kecil-kecilan’ yang justru berciri hal yang sebaliknya: (1)
Tidak teratur dan tidak sistematis. (2) Oportunis dan mengutamakan kepentingan diri
sendiri. (3) Tidak sampai berujung pada gerakan revolusioner. (4) Sama sekali tidak
tersirat upaya atau gagasan menggulingkan kelas dominan.
Kedua model perlawanan tersebut menurut Scott penting untuk melihat gerakan
kaum marginal, dalam hal ini kelompok petani di Sedaka. Menganggap remeh pola-pola
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
perlawanan yang tampak kecil-kecilan bisa menjadikan analisis terhadap gerakan
perlawanan kaum petani itu menjadi kurang lengkap. Keputusan Scott untuk menggali
konflik kelas di Sedaka dari sudut pandang kelompok minoritas menjadi penting untuk
menggali apa yang terjadi di bawah permukaan situasi sosial yang terjadi.
Penelitian Scott di Sedaka memberikan sumbangan gagasan mengenai pembedaan
antara public transcript dan hidden transcript. Apa yang tampak di permukaan, seperti
relasi kuasa antara petani dan dominasi para pemilik lahan, dipandang sebagai ‘public
transcripts’. Sementara perlawanan dan protes para petani yang dilakukan di bawah
permukaan itulah yang disebut ‘hidden transcript’. Bentuk resistensi yang dilakukan para
petani bisa muncul dalam kegiatan gosip, pencurian dan sabotase kecil-kecilan, mogok
kerja atau bermalas-malasan. Menurut Scott perlawanan yang sifatnya frontal dan
dilakukan dalam skala besar tidak mungkin terjadi dan hanya akan berakhir sia-sia
melawan kaum pemilik tanah yang kaya dan didukung oleh pemerintah. Kelas petani
menurut Scott seringkali berada dalam posisi yang ironis dalam konflik antar kelas.
Segala bentuk revolusi dan perlawanan terbuka akan dengan mudah ditindak dengan
tegas oleh pemerintah dan kelas yang mendominasi. Bahkan ketika para petani memberi
dukungan mereka kepada salah satu kelompok partai, tidak memberikan jaminan
kepastian bahwa nasib mereka kelak akan diperjuangkan. Bayang-bayang akan
pembunuhan massal, penindasan, serta kehancuran moral yang disebabkan oleh
pemberontakan menjadikan kaum petani cenderung menghindari konfrontasi secara
terbuka (Scott, 1985:29-30).
2. Resistensi Orang Siberut dalam Praktik Sabulungan
Ada beberapa pokok pemikiran Scott dalam penelitiannya yang penulis gunakan
untuk menganalisis fenomena yang dialami orang Mentawai di Siberut. Pokok-pokok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pemikiran tersebut adalah: hegemoni dalam konflik ideologi, model perlawanan simbolik
dan gagasan mengenai narasi terselubung (hidden transcript).
a. Hegemoni dalam Konflik Ideologi
Jika dalam penelitian James Scott kaum petani berhadapan dengan dominasi para
pemilik tanah dengan latar belakang revolusi hijau, orang Mentawai di Siberut dalam
penelitian ini berada di posisi serupa berhadapan dengan dominasi negara dan para
pewarta agama pasca kemerdekaan Indonesia. Barker (2014:119) secara singkat
menjelaskan hegemoni sebagai upaya memproduksi seperangkat makna, gagasan, ide-
ide, dan juga ideologi, oleh golongan yang berkuasa dan kemudian secara otoriter
golongan tersebut berupaya menjaga dan mempertahankannya. Menurut Gramsci,
ideologi sendiri bisa dipandang sebagai ide-ide, gugus makna, dan praktik yang fungsinya
mendukung kekuasaan kelas sosial tertentu (Barker, 2014:138). Dalam konteks konflik
di Sedaka, wujud hegemoni tersebut tampak dalam pertarungan ideologi yang terjadi
antara tuan tanah dan kaum petani. Para pemilik tanah yang kaya – karena kedudukan
sosialnya – dan diperkuat oleh dukungan pemerintah memiliki kuasa untuk memaksakan
gagasan dan ide-ide mereka tentang bagaimana sebaiknya perilaku para petani. Namun
tidak demikian dengan kelas petani. Mereka selalu berada di posisi subordinat yang tidak
menguntungkan untuk memaksakan ide-ide mereka terhadap orang kaya (Scott, 1985:
315).
Situasi yang serupa terjadi di Siberut pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Negara muncul sebagai pihak yang mendominasi gagasan dan ide-ide mengenai warga
negara modern. Dominasi ideologi tersebut muncul dalam kebijakan pemerintah di P.
Siberut. Ide-ide mengenai warga negara yang mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
diwacanakan secara dangkal melalui penghayatan atas ‘agama resmi’12 – di mana
tampak bahwa kepercayaa-kepercayaan tradisional seperti sabulungan tidak termasuk
dalam kategori tersebut – hidup dalam desa-desa yang dibentuk pemerintah, dan
mengenyam pendidikan. Dan sebagaimana para petani kecil di Sedaka, penghayat
sabulungan di Siberut berada dalam posisi yang tidak memungkinkan memaksakan
gagasan mereka sendiri terhadap negara sebagai kelas yang berkuasa. Konflik ideologi
yang terjadi di Siberut inilah yang kemudian menyebabkan diskriminasi kelompok
tertentu sehingga memicu munculnya perlawanan. Dalam hal ini perlawanan dipahami
bukan semata-mata sebagai perilaku ofensif yang berusaha membalikkan tatanan kelas
sosial melainkan juga sebagai upaya protes serta negosiasi yang terjadi di dalam relasi
kekuasaan itu sendiri. Resistensi orang Mentawai di Siberut bukan terwujud dalam
perilaku menentang program pemerintah dan menolak segala bentuk peraturan yang
diberikan, tetapi justru terjadi melalui negosiasi dengan segala perubahan tersebut.
b. Model Perlawanan Simbolik.
Suatu tindakan atau aksi seseorang atau sekelompok orang lahir dari kehendak yang
dipengaruhi oleh kesadaran mereka. Scott berpendapat bahwa aksi perlawanan dan
pemikiran (mengenai) perlawanan selalu berhubungan secara dialogis. Kesadaran untuk
melakukan aksi tersebut tidak selalu muncul dalam bentuk yang sama. Ada kalanya garis
aksi yang muncul bisa berupa hal yang mustahil dan unik (Scott, 1985: 38). Menganalisis
kesadaran intensional yang ada di balik tindakan resistensi suatu kelompok menjadi
penting untuk memahami bentuk protes dalam wujud keseharian.
12 Bdk. Stange, 2007: 127.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Bentuk perlawanan simbolik kelas tertentu tidak bisa dilepaskan dari gagasan
mengenai ‘mistifikasi’ atau ‘kesadaran palsu’ yang muncul dari hegemoni simbolis pula.
Dalam hal ini Scott mengutip pemikiran Gramsci mengenai tindakan kelompok dominan
yang berkuasa mengendalikan sektor-sektor idiologis dari masyarakat seperti agama,
pendidikan, dan media massa. Mereka dengan demikian berusaha membangun gagasan-
gagasan yang indah, ideal, dan tampak asli. Apa yang dilakukan negara di daerah-daerah
seperti di Siberut merupakan wujud hegemoni simbolis tersebut. Gagasan yang dibangun
adalah bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang menerima sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dan hal itu dinyatakan dengan dianutnya agama tertentu. Gagasan lain
yang dibangun adalah bahwa masyarakat yang merdeka dan modern meninggalkan segala
bentuk tradisi animisme. Gagasan mengenai cara hidup bermasyarakat yang berpusat
pada wilayah administratif sebagaimana diakui pemerintah juga merupakan konsep-
konsep yang diwacanakan oleh pemerintah. Bagi Gramsci, sebagaimana ditulis Scott,
mereka yang merupakan kelas yang didominasi lebih diperbudak dalam tataran pemikiran
daripada dalam tataran praktik dan perilaku (Scott, 1985: 39).
Hegemoni simbolik negara di atas dengan demikian berhadapan dengan ideologi
orang Mentawai di mana relasi keduanya tidak pernah sejajar. Bentuk-bentuk ritual,
tradisi, simbol-simbol budaya, serta norma-norma tradisional yang telah dihidupi orang
Mentawai sekian lama telah membentuk semacam ideologi yang tidak bisa begitu saja
dihilangkan. Bahwa kemudian orang-orang Mentawai di Siberut berduyun-duyun
menganut agama sebagaimana diharapkan pemerintah dengan demikian tidak semata-
mata memperlihatkan tidak adanya perlawanan. Ritual-ritual sabulungan yang masih
dihidupi sekelompok orang Mentawai di Siberut bisa jadi merupakan wujud
perlawawanan simbolik yang memperlihatkan bahwa mereka tidak lagi menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
kelompok yang dikuasai begitu saja oleh tatanan sosial yang diupayakan oleh para
penguasa.
c. Narasi Terselubung
Konflik yang terjadi di antara kelas tuan tanah dan petani miskin di Sedaka
berlangsung seperti di atas ‘pentas’. Relasi antara para petani dan tuan-tuan tanah yang
kaya tampak berjalan normal. Para petani menghormati kedudukan para pemilik lahan
dan mengiyakan apa yang mereka harapkan dari kaum mereka. Demikian pula para
pemilik lahan juga menjalankan peran sosial mereka dengan memberikan zakat dan
sumbangan kepara orang-orang miskin pada hari-hari besar keagamaan. Namun situasi di
bawah pentas justru berbeda. Perlawanan yang berlangsung justru terjadi ‘di bawah
permukaan’. Sifat bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip di kedai-kedai kopi, dan
sabotase peralatan produksi pertanian, terus berlangsung. Gerakan di bawah pentas ini
merupakan bentuk narasi yang terselubung (hidden transcript) yang oleh Scott dibedakan
dengan situasi kehidupan umum yang tampak di permukaan (public transcript) (Scott,
1990:4).
Pemikiran Scott mengenai hidden transcript yang diterapkannya dalam penelitian
terhadap petani di Sedaka diuraikan secara detail dalam bukunya Hidden Transcripts:
Domination and And The Arts of Resistance (1990). Segala bentuk tingkah laku,
perbincangan, praktik-praktik yang dilakukan kelompok subordinat di ‘luar pentas’
tersebut sama sekali bertentangan dan mampu mengubah apa yang tampak di ‘atas
pentas’. Istilah hidden transcript ini digunakan Scott untuk memperlihatkan bahwa apa
yang terjadi di ‘luar pentas’ benar-benar berada di luar pengamatan para pemegang
kekuasaan atau kelas yang mendominasi (Scott, 1990:4). Maka untuk melihat bagaimana
dominasi terjadi dan beroperasi pada wacana publik penting sekali melihat perbedaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
antara hidden transcript dan public transcript (Scott, 1990: 5). Ada 3 karakteristik hidden
transcript menurut Scott (1990: 14) yang penting untuk diperhatikan. Pertama, narasi
terselubung (hidden transcript) secara khusus diperuntukkan bagi kelas sosial tertentu
dan terhadap seperangkat tindakan tertentu. Dengan demikian narasi kelas sosial tersebut
diuraikan dalam ‘publik terbatas’ dan oleh karena itu ‘tersembunyi’ bagi golongan kelas
tertentu. Dalam kisah petani di Sedaka, apa yang dilakukan para petani tersembunyi bagi
kelompok tuan tanah dan pemerintah. Sedangkan dalam kasus di Siberut, praktik
sabulungan tersembunyi bagi pemerintah dan para pewarta agama. Kedua, narasi
terselubung tidak hanya berwujud wacana, cerita-cerita, tetapi juga mencakup
serangkaian praktik dan tindakan. Tindakan para petani di Sedaka bekerja sambil
bermalas-malasan, pencurian, menghindari pajak, merupakan hal yang tak terlepas dari
konsep narasi terselubung. Hal yang mirip terjadi pula dikalangan orang Mentawai di
Siberut, yang menghindari istilah sabulungan dan lebih memilih menggunakan kata
‘budaya’ serta menjalankan pula kewajiban hidup beragama sebagaimana dianjurkan
agama masing-masing. Karakteristik ketiga dari narasi terselubung adalah situasi yang
memperlihatkan bahwa perbatasan antara public transcript dan hidden transcript tidak
selalu jelas. Perbatasan tersebut selalu menjadi bagian dari wilayah perjuangan terus-
menerus antara kelompok yang mendominasid an kelompok subordinat.
Pemikiran Scott ini juga yang akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi
di Siberut. Bagaimana orang Mentawai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
umum mengikuti arahan pemerintah untuk menganut agama resmi dan meninggalkan
tradisi sabulungan? Namun situasi yang terjadi di bawah pentas memperlihatkan hal yang
berbeda. Di sini lah teori Scott mengenai hidden transcript bisa memberikan kontribusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
untuk melihat fenomena yang terjadi di kalangan orang Mentawai di Siberut yang masih
menjaga tradisi sabulungan dalam kehidupan mereka saat ini.
H. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dan
studi pustaka untuk mengumpulkan data. Pemilihan informan dilakukan dengan metode
purposive sampling. Wawancara dilakukan kepada sejumlah tokoh masyarakat dan tetua
adat yang ada di wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Lokasi ini dipilih karena di sana
masih bisa dijumpai masyarakat tradisional Mentawai. Wilayah tersebut juga sering
menjadi tujuan kunjungan wisatawan mancanegara ataupun domestik yang ingin
mengenal dan melihat dari dekat kehidupan tradisional suku Mentawai.
Penelitiaan lapangan dilakukan secara khusus oleh penulis dalam 2 periode. Yang
pertama pada bulan Januari 2017 selama 2 minggu dan yang kedua dilaksanakan pada
bulan Desember 2017 sampai awal Januari 2018 selama 4 minggu. Pada kunjungan
pertama, penulis mengadakan perbincangan dengan beberapa kenalan di Siberut
mengenai tema tesis ini. Dari pertukaran pikiran tersebut, penulis dibantu beberapa
kenalan mencoba mencari tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang memiliki pemahaman
atas tema yang akan penulis angkat dalam tulisan ini. Waktu kunjungan yang cukup
singkat, dan kesulitan menjumpai para informan di kediaman mereka mejadi salah satu
kendala yang penulis hadapi di lapangan. Kebanyakan dari mereka sedang tidak berada
di rumah kediamannya ketika penulis mengunjungi mereka. Sebagian sedang berada di
ladang atau sedang pergi ke tempat lain. Terbatasnya waktu dan kesulitan untuk membuat
janji bertemu dengan tokoh yang bersangkutan menjadikan penulis tidak banyak
mendapatkan data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Pada kunjungan yang kedua, dari pertengahan bulan Desember 2017 hingga awal
Januari 2018, penulis lebih banyak mengadakan wawancara dengan beberapa informan
yang telah ditentukan. Penulis banyak dibantu oleh seorang guru setempat, Marinus
Satoleuru, yang ayahnya juga seorang sikerei. Selain itu penulis juga dibantu oleh
sekretaris paroki gereja setempat, Bapak Petrus Marjuni, orang Jawa yang sejak masa
mudanya mengabdi di Siberut. Bersama Marinus dan Bapak Petrus Marjuni, penulis
mengunjungi sejumlah tokoh, mulai dari orang yang dituakan dalam suku, pejabat
pemerintahan, dan orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan dan pariwisata.
Semua informan adalah orang Mentawai. Bersama Marinus dan Bapak Marjuni juga
penulis banyak bertukar pikiran mengenai tema tesis ini dan menentukan siapa-siapa yang
sekiranya cukup memahami situasi budaya setempat dan sejarahnya di masa lalu. Marinus
juga banyak membantu penulis dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat dengan
bahasa Mentawai. Para narasumber yang dipilih merupakan tetua dalam sebuah suku
yang mengalami sendiri peristiwa tahun 1954, para katekis atau guru agama Katolik orang
Mentawai yang memahami juga budaya setempat, serta tokoh-tokoh yang sempat
menjabat sebagai kepala dusun atau desa.
Kesulitan menjumpai para informan di waktu yang ditentukan masih menjadi
kendala. Sebagian besar wawancara dilakukan pada sore hingga malam hari. Saat itu para
informan sudah berada di rumah setelah seharian bekerja. Penulis juga berkesempatan
mewawancarai Bupati Kep. Mentawai, Bapak Yudas Sabaggalet yang kebetulan pada
saat itu datang untuk merayakan Natal di Muara Siberut. Kesempatan ini tidak
dijadwalkan sebelumnya oleh penulis. Data dari wawancara dan pembacaan sejumlah
literatur itulah yang menjadi sumber data. Bersamaan dengan itu penulis juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
menggunakan bahan-bahan sekunder dari literatur dan arsip untuk memperkaya analisa
tesis ini.
I. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisi latar belakang dan
tujuan penulisan, pertanyaan penelitian, kajian pustaka, landasan teoritis, dan metode
penelitian. Pada bagian kedua akan diulas mengenai gambaran umum kepulauan
Mentawai saat ini, gagasan mengenai orang Mentawai dalam mitos tradisonal dan dari
sejumlah penelitian. Bagaimana perjumpaan orang Mentawai dengan budaya dari luar,
sistem kepercayaan mereka dan relasinya dengan negara juga merupakan poin-poin yang
akan disajikan dalam bab yang kedua. Bab yang ketiga akan berisikan pembahasan
mengenai sabulungan di mata mereka yang dituakan dalam suku dan masyarakat
(sikebukat) serta bagaimana ritual sabulungan masih menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari orang Mentawai di Siberut. Pada bab yang keempat penulis mencoba
menyajikan persoalan dominasi negara terhadap sabulungan serta bagaimana siasat
perlawanan orang Mentawai. Akhirnya pada bagian yang terakhir penulis akan
memberikan tanggapan dan kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
BAB II
KEPULAUAN MENTAWAI, ORANG SIBERUT DAN SABULUNGAN
Bab kedua ini akan menjelaskan tiga pokok bahasan. Bagian pertama akan berisi
gambaran umum situasi Kepulauan Mentawai. Hal itu meliputi keadaan geografis, situasi
penduduk, hingga perkembangan apa saja yang sedang terjadi di wilayah tersebut hingga
saat ini. Pokok bahasan kedua memuat uraian mengenai gagasan komunitas orang
Mentawai. Bagian ini akan berisi beberapa tulisan yang disusun oleh para peneliti
Mentawai. Pembahasan mengenai bagaimana asal-usul orang Mentawai – sebagaimana
termuat dalam hasil penelitian terdahulu dan mitos tradisional mereka – secara singkat
juga akan dimuat pada bagian kedua ini. Penjelasan mengenai kepercayaan tradisional
orang Mentawai dan bagaimana negara melalui aparatusnya berusaha menghapuskannya
akan menjadi poin pembahasan bagian yang ketiga. Pada bagian terakhir itu pula penulis
akan memberikan gambaran mengenai situasi memudarnya sabulungan dalam kehidupan
orang Mentawai di Siberut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
A. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai
1. Lokasi Geografis
Secara geografis kepulauan Mentawai terletak di sebelah barat Pulau Sumatera –
dipisahkan oleh Selat Mentawai – dan merupakan 1 dari 12 kabupaten di Provinsi
Sumatera Barat. Wilayah kepulauan dengan luas 6.011,35 km2 dan garis pantai sepanjang
1.402,66 km13 ini terdiri empat pulau utama, yakni P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara
dan P. Pagai Selatan. Selain keempat pulau utama tersebut terdapat ratusan pulau-pulau
kecil yang tersebar di wilayah Mentawai. Namun data BPS tahun 2017 baru mencatat 99
13 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018.
Peta 1. Lokasi P. Siberut di Kepulauan Mentawai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
nama pulau yang sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Sipora Utara dan Siberut
Barat Daya. Sejak tahun 1999 berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999 wilayah ini resmi
berdiri sebagai Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibu kota Tuapeijat yang terletak
di P. Sipora.
Menurut data administrasi pemerintah daerah tahun 201714, Kabupaten Kepulauan
Mentawai memiliki 10 kecamatan, 43 desa dan 341 dusun. Sebagian besar daerah di
Mentawai hanya bisa dicapai dengan sarana transportasi air (sungai dan laut). Baru sedikit
jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Pada tahun 2015 dimulailah proyek
pembangunan jalan Trans-Mentawai15. Rencananya proyek ini akan membuka jalan
sepanjang 393 km yang menghubungkan keempat pulau utama di wilayah Kab.
Kepulauan Mentawai. Menurut Bupati Kab. Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet,
saat ini jalan Trans-Mentawai yang sudah selesai mencapai 134 km. Masih tersisa 188,53
km jalan yang belum dikerjakan. Proyek ini akan membutuhkan dana sebanyak Rp. 1,2
triliun yang diperoleh dari APBD dan APBN.16 Jalur transportasi darat sangat dibutuhkan
di wilayah Kepulauan Mentawai. Dengan tersedianya jalan darat yang menghubungkan
daerah-daerah di wilayah kepulauan tersebut pembangunan daerah dan pertumbuhan
ekonomi bisa meningkat dengan pesat.
Program pembangunan daerah Mentawai yang diprioritaskan pada pembangunan
infrastruktur, termasuk pembukaan jalur transportasi darat, menjadi hal yang penting
mengingat Kepulauan Mentawai juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bagi
wisatawan mancanegara. Sebagian besar wisatawan luar negeri datang ke wilayah
14 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018, hlm. 4. 15 Lih. https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/22/ov38xb428-pembangunan-
infrastruktur-mentawai-mendesak diakses pada 30 Nvember 2018. 16 Lih. Kompas. (18 Agustus 2017). Trans-Mentawai Melewati Hutan. Kompas, diambil dari
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916 pada 26 September
kepulauan itu untuk berselancar. Hal ini tidak mengherankan mengingat Mentawai
memiliki 71 titik untuk berselancar dan 2 di antaranya (Lances Right dan Macaronies)
termasuk dalam 10 titik selancar terbaik di dunia.17 Menurut Desti Simamora, Kepala
Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kep. Mentawai (Disparpora), pada
tahun 2017 tercatat sekitar 10.500 wisatawan mancanegara datang ke Mentawai. Dari
jumlah tersebut 50% wisatawan datang dari Australia, Amerika Serikat, Jepang, Spanyol
dan Brazil.18 Dengan semakin mudahnya akses ke wilayah-wilayah di Mentawai
pemasukan bagi pendapatan daerah dari sektor pariwisata pun akan bertambah.
Saat ini sarana transportasi utama yang digunakan untuk menuju Mentawai adalah
kapal penyeberangan. Ada beberapa kapal penyeberangan yang beroperasi saat ini, yakni
KM. Ambu-Ambu dan KM. Gambolo. Selain itu terdapat juga KM Sabuk Nusantara 3719
serta kapal cepat MV Mentawai Fast yang dikelola oleh swasta. Dengan menggunakan
kapal ferry diperlukan waktu sekitar 10 jam untuk mencapai Muara Siberut – ibu kota
Kecamatan Siberut Selatan – dari Pelabuhan Bungus di Padang. Atau jika menggunakan
kapal MV Mentawai Fast, pelayaran Padang-Mentawai bisa ditempuh dalam waktu 3-4
jam. Banyak wisatawan dan masyarakat kelas menengah yang memanfaatkan pelayaran
ini karena waktu tempuhnya lebih singkat. Berbeda dengan sebagian masyarakat yang
memiliki usaha dagang, mereka lebih memilih menggunakan jasa pelayaran ferry untuk
mengangkut barang dagangan mereka dari Padang. Masyarakat di Mentawai yang hendak
menjual hasil bumi seperti, ikan, udang karang, pisang, coklat, cengkeh, dan enau, juga
17 Lih. Fadjar, Evieta. (2013, April). Mentawai Memiliki 2 Titik Ombak Terbaik Dunia. Tempo.co,
diambil dari https://travel.tempo.co/read/473309/mentawai-punya-dua-titik-ombak-terbaik-dunia# pada
27 September 2017. 18 Lih. Puspita, Ratna. (2018, Maret). Pendapatan Mentawai dari Pariwisata Capai Rp. 7,3 Miliar.
Republika.co.id, diambil dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/03/18/p5slc7428-
pendapatan-mentawai-dari-pariwisata-capai-rp-73-miliar pada 14 September 2018. 19 Kapal Sabuk Nusantara 37 merupakan bantuan dari Dinas Perhubungan pada tahun 2014. Namun dari
pengamatan penulis dan informasi warga setempat, kapal ini jarang tampak berlabuh di Muara Siberut