ANTARA/AGUS APRIYANTO SABTU, 24 DESEMBER 2011 19 F I LM Saatnya Seriusi Film Televisi ANUGERAH FFI 2011: Aktris Maudy Koesnaedi menerima Piala Vidia FFI 2011 kategori pemeran utama wanita terbaik yang digelar di Studio RCTI, Jakarta. Maudy mengalahkan 4 nomine lainnya dalam film televisi Si Doel Anak Pinggiran produksi Karno’s Film. DINNY MUTIAH Kembalinya penyelenggaraan Piala Vidia seolah membuka asa baru atas tontonan bermutu. Sudah saatnya masyarakat diberi pilihan lain dalam menikmati tayangan televisi. A PA yang terbayang oleh Anda saat diminta mengo- mentari sinetron? Meski menurut rating peminatnya banyak, tak sedikit pula masyarakat yang bersikap sinis. Alur cerita yang tak konsisten dan bertele-tele, pemilihan aktor yang terkesan memaksakan diri, hingga cerita yang sering tak menggunakan rasio membuat kehadiran sinetron tak ditanggapi meriah seperti saat kebang- kitannya di tahun 90-an. Kehadiran film televisi atau dising- kat FTV sekitar 2000-an sepertinya bisa menjadi alternatif tontonan untuk mengatasi kejenuhan penonton yang hampir melewati batas. “FTV merupakan alternatif baru di media TV. Masyarakat sudah terbiasa melihat keindahan visual lewat iklan, cerita bagus di film lepas sehingga muncul kebosanan terhadap produk sinetron. Kosongnya tontonan bermutu di TV diisi oleh FTV ini. (Becermin) dari Amerika Serikat, FTV yang ditayangkan di TV kabel di sana sekarang malah banyak mengilhami film,” ujar sutradara sekaligus nomine Piala Vidia 2011 Herwin Novianto kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (22/12). Keberlangsungan tayangan alter- natif ini akhirnya bergantung pada kualitas. “Untuk menjaga kualitas itu, pasti- nya membutuhkan komitmen dari pengelola TV. Mereka harus mema- hami sepenuhnya bahwa FTV ini menjadi obat kejenuhan atas sinetron. Tapi, tentu kita harus optimistis, semua itu harus diimbangi dengan penggarapannya yang lebih serius,” cetusnya. Nada optimistis juga disampaikan Direktur Pelaksana Layar Produc- tion Martesa Putri. Rumah produksi yang rajin memproduksi FTV untuk salah satu stasiun televisi nasional ini mengakui pasar untuk film televisi sekarang ini menjanjikan. Jika di awal kemunculan FTV pada beberapa stasiun televisi lebih mengangkat tema legenda, kini makin banyak stasiun televisi yang menayangkan FTV dengan waktu tayang setiap hari dan tema yang lebih kekinian. “Dulu, ada salah satu stasiun tele- visi yang tak mau menayangkan FTV karena alasan tertentu, tapi kini mulai terbuka dan akan menayangkan karena melihat permintaan pasarnya bagus. Pasarnya ada,” ujar perempuan yang akrab disapa Tesa ini. Survei dari AC Nielsen pun ia sebutkan menyatakan penonton FTV memiliki rating yang cukup tinggi, Selain itu, harga yang harus dibayarkan untuk produksi FTV dengan kontrak selama dua tahun, diakui Tesa, jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga membeli hak tayang sebuah film. Apalagi, FTV juga menawarkan kualitas panorama yang tak kalah can- tik dan para pemain yang juga cukup terkenal kualitasnya di film. “Memang kita akui bahwa seseorang membuat film itu adalah prestisius, tapi risikonya tinggi. Tiap hari kita harus memantau berapa penjualan tiket dan bahkan sering kali investasi yang keluar sering tidak balik modal. Nah, FTV ini alternatif untuk memi- nimalkan risiko tersebut. Kita lebih aman untuk bisa membuat produksi selanjutnya karena bayarannya paling lambat sebulan setelah waktu tayang,” jelasnya. Muatan norma Tesa mengakui FTV kini juga tak lepas dari tren. Tren yang berkembang saat ini ialah film yang memadukan unsur drama, percintaan, dan ko- medi. “Kita bisa sodorkan 10 naskah sekaligus kepada pihak televisinya. Tapi, paling yang dipilih hanya dua cerita saja untuk bisa masuk ke produksi. Jadi, ada proses yang selektif di situ. Ada juga kompromi. Bisa saja PH buat karya bagus. Tapi kalau pihak televisinya bilang enggak cocok untuk dinikmati penonton televisi, kita bisa harus buat ulang,” ujar Tesa ini. Pihak televisi biasanya beralasan tontonan bagi pemirsany diusahakan yang tidak terlalu berat dicerna. Bagi praktisi film Yadi Sugandi, film televisi kini harus lebih menga- komodasi pesan-pesan positif untuk masyarakat banyak. Menurut pemenang Piala Citra 2011 lewat film Sang Penari itu, nilai negatif yang dibawa sinetron harus mampu diimbangi oleh tayangan alternatif ini. Misalnya, jika sinetron cenderung mengundang orang berurbanisasi ke kota, FTV harus mampu menyampai- kan bahwa pembangunan bisa pula dilakukan di desa. “Cerita di Indonesia ini banyak sekali yang berkaitan dengan ke- budayaan dan kesenian. Itu juga harus ditonjolkan. Kalau bisa bahkan dikembangkan. Jangan sampai FTV akhirnya nanti hanya ngejar ‘mimpi’,” cetusnya. FTV juga bisa menjadi referensi bagi perkembangan film layar lebar. Misalkan, pemilihan artis yang hendak terjun ke layar lebar. Beberapa nama, seperti Prisia Nasution dan Rio Dewanto, bahkan lebih dulu eksis di FTV daripada di film. Yadi juga meyakini kehadiran FTV sebagai media pembelajaran bagi sutradara yang hendak menekuni dunia film. “FTV ini istilahnya main save . Tempat sutradara yang belum punya banyak jam terbang belajar. Jangan apa-apa mau langsung berlari, tapi ibarat bayi, harus bisa merangkak terlebih dahulu,” tandasnya. (M-1) [email protected]