Pikiran Rakyat OSenin o Se/asa, 0 Rabu o Kamis eJllmat o Sabtu 0 Minggu 1213' 14 15 ,27 28 2930 31 8 9 1011 2324 25 26 4 ,5 67 20 2122 OPeb o Mar OApr.Mel OJun OJul OAgs OSep OOId ONov ODes Tragedi Sulrnoi dan TV Dede Mulllan Dosen IImu Jurnalistik'Fikom Unpad Mengajar Mata Kuliah Jumalistik' TV , ~~:. T AK bisa dimungkiri bah- wa peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi bebera- pa waktu lalu, menjadi sebuah peristiwa yang memiliki dampak magnitude, Ini istilah dalam il- mu jurnalistik yang dimaksud- kan bahwa peristiwa tersebut mengundang perhatian banyak orang, peristiwa yang "luar bi- asa". Dalam Ilmu Jurnalistikju- ga dikenal istilah proximity (kedekatan), betapa "dekatnya" peristiwa itu dengan kehidupan kita, karena sebagian besar kor- ban adalah warga negara kita. Tentu saja dengan kedua "daya tarik" peristiwa tersebut, para jurnalis tidak akan melewatkan begitu saja kejadian besar ini, karena di dalamnya ada kisah umat manusia yang meng- harukan, seolah kita merupakan bagian dari peristiwa itu. Namun walaupun sebegitu sangat menariknya peristiwa tersebut, tetap saja seorangjur- nalis tidak boleh "terbawa arus" situasi, apalagi ikut larut dalam hiruk pikuk kejadian itu, sehing- ga kemudian ia kehilangan nalar sehat untuk menyampaikan in- formasi yang benar kepada pub- lik. Dalam beberapa kasus, liput- an peristiwa ini melalui pember- itaan di layar kaca dinilai beber- apa pengamat sudah "melen- ceng" dari yang semestinya. Ba- , nyak aturan yang dilanggar oleh para jurnalis televisi, reporter, dan kameramen saat meliput peristiwa itu di lapangan. Pada- hal aturannya sudah begitu je- las, yakni berpedoman kepada Pasal zg dari P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang dikelu- arkan oleh KPI, tentang "Peli- putan Bencana". . Bahwa dalam peliputan dan/ atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah bencana, Lern- baga Penyiaran wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: (a) melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah dengan wajib mempertimbangkan pros- es pemulihan korban dan kelu- arganya; (b) tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang berada pada kondisi gawat da- rurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/ atau mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk di- wawancarai dan/atau diambil gambarnya; (c) menyiarkan gambar korban dan/ atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam konteks yang dapat mendukung ta- yangan; (d) tidak mengganggu pekerja tanggap darurat yang sedang bekerja menolong kor- ban yang kemungkinan masih hidup; dan (e) tidak menggu- nakan gambar dan/atau suara korbanbencana dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita dalamfiller; bumper, ramp yang disiarkan berulang- ulang. . Mari kita lihat satu per satu dari bunyi pasal di atas dan kita kaitkan dengan faktanya di la- pangan yang kita saksikan di la- yar televisi. Liputan berita tele- visi terhadap tragedi Sukhoi, ternyata malah menambah "lu- ka" para keluarga korban. Taya- ngan puing-puing pesawat yang berserakan di tebing-tebing, dis- ajikan berulang-ulang. Gambar- gambar atau foto-foto korban sesaat sebelum Iepas landas, se- tiap saat menghiasi pemberi- taan. Apakah para kameramen dan reporter televisi itu tidak merasakan duka yang teramat dalam, saat keluarga korban menyaksikan gambar detik-de- tik terakhir anggota keluarganya yang menjadi korban? Sering sekali kita menyaksi- kan reporter televisi mewawan- carai korban, dengan hanya me- ngajukan yangjustru akan me- nambah luka bagi mereka. Mis- alnya, pertanyaan: "Bagaimana perasan Ibu/Bapak, seandainya ' anggota keluarga Anda betul-be- tu}meninggal?". Apakah pantas pertanyaan seperti itu diajukan kepada anggota keluarga yang tengah dirundung kesedihan mendalam? Tetapi tetap saja pertanyaan-pertanyaan seperti itu diajukan kepada orang-orang yang tengah menunggu kepas- tian di Bandara Halim Perda- nakusumah. Bahkan ketika tayangan wa- wancara dengan para pakar di- langsungkan, gambar-gambar (in~et) pun masih tetap dita- yangkan. Ini jelas melanggar poin (c) dari Pasal 25 P3SPS tersebut, yakni "menyiarkan gambar korban dan/ atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayang- an". Betul bahwa dalam istilah "Jurnalistik Televisi" ada istilah yang disebut talking head, yakni "gambar dalam tayangan wa- wancara akan membosankan, ji- ka hanya menampilkan orang yang diwawancara, sehingga diperlukan gambar pendukung agar wawancara itu lebih mena- rik". Namun sayangnya, para produser berita televisi itu, lagi- lagi salah menerjernahkan de- ngan menayangkan gambar- gambar yang membuat trauma para anggota keluarga korban. Karena kejadian ini meru- pakan peristiwa besar, maka se- jumlah media televisi pun me- nurunkan "pasukannya" ke 10- kasi bencana, awak media tele- visi pun menurunkan sejumlah peralatan siaran ke lokasi keja- dian. Maka mulailah siaran-siar- an langsung ditayangkan dari lokasi peristiwa tersebut: Orang- orang penting menjadi santapan untuk diwawancara, tak terke- cuali para pekerja yang tengah sibuk di lokasi titik bencana. Liputan wawancara di lapan- gan itu terasa sudah agak meng- ganggu pekerja tanggap darurat yang sedang bekerja menolong korban. Demi mengejat "keeks- klusifan gambar" sangjuru ka- mera pun ikut larut seolah men- jadi sukarelawan demi menda- patkan gambar-gambar baru langsung dari lokasi kejadian. Selagi kegiatan para juru warta itu tidak menganggu atau meng- halangi kerja para sukarelawan, sebenarnya tidakjadi masalah. Namun kita yang menyaksikan- nya merasa bahwa kerja para ju- rnalis gambar ini sedikit merin- tangi kerja mereka. Kekeliruan media televisi kita dalam menayangkan tragedi Sukhoi, masih juga terlihat jelas dalam poin (e) dari Pasal 25 P3SPS tersebut, bahwa "tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana dan/atau orang yang sedang dalam kon- disi menderita dalam filler, bumper, ramp yang disiarkan berulang-ulang". Karena peristi- wa tragedi Sukhoi ini meru- pakan rangkaian kejadian yang panjang (mengingat evakuasi korban membutuhkan waktu yang begitu lama), maka siaran berita tentang peristiwa ini pun pasti akan berlangsung cukup lama juga. Maka kemudian, para awak media pemberitaan televisi membuatlah potongan- potongan gambar disertai de- ngan judul-judul yang "mence- kam" serta ditambahkan suara tangisan keluarga korban den- gan iringan musik-musik yang menyayat hati. Padahal jelas-jelas menggu- nakan gambar-gambar dan suara dari orang yang sedang dalam kondisi menderita untuk dibuatkan bumper tidak diper- bolehkan. Bumper, filler, atau ramp adalah semacam tayan- gan-tayangan pendek di awal program yang dimaksudkan se- bagai daya tarik tayangan agar pemirsa mau menyaksikan tayangan tersebut. Ini memang gaya dan strategi televisi untuk menarik minat pemirsa. Namun ketika potongan-potongan gam- bar yang diambilnya merupakan objek dari keluarga korban yang menderita, maka lagi-lagi media televisi kita telah melanggar atu- ran. Secara keseluruhan, tayangan media televisi dalam tragedi pe- sawat Sukhoi dinilai oleh psiko- log yang menjadi sukarelawan Kllplnl Humas Un pad 2012