46 BAB IV MINANGKABAU PADA MASA DUA KEKUASAAN : KOTO PILIANG DAN BODI CANIAGO Bab ini merupakan kajian terhadap hasil penelitian penulis dalam menjawab permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana latar belakang terbentuknya dua kekuasaan dalam pemerintahan di Minangkabau. Bagian pertama yang dibahas adalah mengenai gambaran umum kondisi geografis Minangkabau dan Sumatera Barat sebagai daerah administratif. Pada bahasan ini akan dikemukan mengenai sejarah singkat terbentuknya provinsi Sumatera Barat dan sejarah Minangkabau. Selanjutnya dibahas mengenai kondisi masyarakat secara umum yang datang ke Minangkabau yang digolongkan sebagai asal usul dari masyarakat Minangkabau. Pada pembahasan ini juga dikemukakan mengenai latar belakang terjadinya dua kekuasaan di Minangkabau setelah wafatnya Sultan Sri Maharajo Dirajo. Pembahasan kedua adalah berkenaan dengan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam sub bab ini penulis mengungkapkan mengenai susunan dan struktur pemerintahan yang berlaku di Minangkabau dan dijalankan oleh kedua Keselarasan tersebut. Struktur pemerintahan akan dibahas dari bentuk pemerintahan terkecil seperti pemerintahan paruik, kemudian pemerintahan suku, pemerintahan adat nagari dan pemerintahan adat tertinggi yaitu Keselarasan Bodi Caniago dan Keselarasan Koto Piliang. Pembahasan terakhir yang berkaitan dengan skripsi penulis adalah apakah perkembangan dari penerapan sistem pemerintahan Koto Piliang dan Bodi Caniago
45
Embed
S Sej 0542202 BAB IV - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_0542202_bab_iv.pdf · Gelombang kedua tahun 500 SM, disebut dengan Deutro Melayu. Bangsa ini berkembang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
46
BAB IV
MINANGKABAU PADA MASA DUA KEKUASAAN :
KOTO PILIANG DAN BODI CANIAGO
Bab ini merupakan kajian terhadap hasil penelitian penulis dalam
menjawab permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Adapun
permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana latar belakang terbentuknya
dua kekuasaan dalam pemerintahan di Minangkabau. Bagian pertama yang dibahas
adalah mengenai gambaran umum kondisi geografis Minangkabau dan Sumatera
Barat sebagai daerah administratif. Pada bahasan ini akan dikemukan mengenai
sejarah singkat terbentuknya provinsi Sumatera Barat dan sejarah Minangkabau.
Selanjutnya dibahas mengenai kondisi masyarakat secara umum yang datang ke
Minangkabau yang digolongkan sebagai asal usul dari masyarakat Minangkabau.
Pada pembahasan ini juga dikemukakan mengenai latar belakang terjadinya dua
kekuasaan di Minangkabau setelah wafatnya Sultan Sri Maharajo Dirajo.
Pembahasan kedua adalah berkenaan dengan sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam sub bab ini penulis
mengungkapkan mengenai susunan dan struktur pemerintahan yang berlaku di
Minangkabau dan dijalankan oleh kedua Keselarasan tersebut. Struktur
pemerintahan akan dibahas dari bentuk pemerintahan terkecil seperti pemerintahan
paruik, kemudian pemerintahan suku, pemerintahan adat nagari dan pemerintahan
adat tertinggi yaitu Keselarasan Bodi Caniago dan Keselarasan Koto Piliang.
Pembahasan terakhir yang berkaitan dengan skripsi penulis adalah apakah
perkembangan dari penerapan sistem pemerintahan Koto Piliang dan Bodi Caniago
47
di Minangkabau. Dalam pembahasan ini perbedaan dilihat dari berbagai aspek,
seperti memutuskan perkara, mengambil keputusan, penggantian gelar penghulu,
kedudukan penghulu dan balai adat.
4.1 Latar Belakang Terbentuknya Dua Kekuasaan dalam Pemerintahan di
Minangkabau
4.1.1 Asal Usul Bangsa Minangkabau
Suku Minangkabau merupakan suku bangsa yang merupakan salah
satu rumpun Melayu. Bangsa Melayu merupakan rumpun bangsa Austronesia
yang termasuk golongan ras Malayan Mongoloid. Bangsa ini melakukan
perpindahan ke Indonesia melalui dua gelombang yaitu :
1. Gelombang pertama tahun 2000 SM, menyebar dari daratan Asia
ke Semenanjung Melayu, Indonesia, Philipina, dan Formosa serta
Kepulauan Pasifik sampai Madagaskar yang disebut dengan Proto
Melayu. (http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/penduduk-
Berdasarkan hasil penelitian H.J Koern dalam buku Sejarah dan
Budaya Sumatera Barat (1998) mengatakan bahwa bahasa Minang adalah
serumpun dengan bahasa Melayu Austronesia dan bangsa Minangkabau
merupakan bangsa yang termasuk ke dalam bangsa Deutro Melayu.
Menurut Tambo Alam Minangkabau, bangsa Minangkabau adalah
keturunan Iskandar Zulkarnain (Iskandar the Great) yang pernah berkuasa di
India pada abad ke-3 (Arifin, Bustanul, 1994: 6). Iskandar Zulkarnain beserta
pengikutnya datang dengan kapal dan kapal tersebut mengalami kecelakaan.
Kemudian mereka menyebar ke sekitar daerah Gunung Merapi. Para
rombongan inilah yang kemudian menyebar dan membuka daerah-daerah
awal Minangkabau yang dikenal dengan Luhak Nan Tigo.
Yunizar Cobra (1989: 40) juga mengungkapkan mengenai kedatangan
Iskandar Zulkarnain yang dikutip dari Tambo Minangkabau. Dalam Tambo
diceritakan kedatangan nenek Moyang Miangkabau sebagai berikut:
Manuruik warih nan dijawek, pusako nan ditolong, kok gunuang sabingkah tanah, bumiko sapahimbauan, lawik sacampak jalo, nan timbua gunuang Marapi. Lorong niniek moyang kito, asa usuanyo kalau di kaji, iyo di dalam tambo lamo, sapiah balahan tigo jurai. (Menurut waris yang dijawab, pusaka yang ditolong, kalau gunung sebongkah tanah, bumi ini berhimbauan, laut selebar jala, yang muncul Gunung Marapi. Lorong nenek moyang kita, asal usulnya kalau dikaji, iya di dalam tambo lama, terdiri dar tiga jurai) Maksud ungkapan di atas adalah bahwa yang dimaksud dengan tigo
jurai dalam Tambo dijelaskan bahwa Iskandar Zulkarnain raja Macedonia
mempunyai tiga orang anak. Anak tertua bernama Maharaja Alif yang tinggal
di Banua Ruhum atau Romawi. Anak kedua bernama Maharaja Dipang yang
berangkat menuju Banua Cino (daratan Cina) dan anak ketiga bernama
49
Maharaja Dirajo berangkat ke Pulau Ameh atau dikenal dengan Sumatera
(Cobra,Yunizar, 1989: 41).
Yunizar Cobra (1989: 44) mengungkapkan saat Marahajo Dirajo
melakukan perjalanan laut dia melihat Gunung Merapi dan kemudian
berlabuh karena kebetulan kapal miliknya mengalami kerusakan. Maharo
dirajo memutuskan untuk tinggal di lereng Gunung Merapi yang dilihatnya
saat di lautan. Daerah pertama yang didirikannya adalah bernama Pariangan
dan setelah itu Padangpanjang. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh
Yunizar Cobra tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang disebutkan oleh
Bustanul Arifin (1994: 6) bahwa Minangkabau berasal dari keturunan
Iskandar Zulkarnain yang juga di paparkan oleh Yunizar Cobra (1994: 40) di
atas adalah bangsa Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain
dari anak ketiganya yang bernama Maharajo Dirajo. Kemudian mendirikan
daerah-daerah yang menjadi daerah inti Alam Minangkanau yang bernama
Luhak Nan Tigo.
Luhak dalam bahasa Minangkabau berarti kurang. Luhak yang tertua
adalah Luhak Tanah Datar karena daerah ini lah yang awalnya ditempati oleh
bangsa awal yang datang ke Minangkabau. Karena penduduk awal yang
datang ke Minangkabau menyebar, mereka menemukan daerah lain yang
dikenal dengan nama Luhak Agam. Tambo Alam Minangkabau (1997: 19)
mengisahkan bahwa perpindahan atau kedatangan penduduk pertama kali
menuju daerah yang bernama Luhak Agam. Daerah tersebut disebut Luhak
Agam karena disana banyak tumbuh tanaman bernama agam sebangsa
50
mansiang (bahan untuk membuat karung)(Yunizar Cobra, 1989: 8). Lokasi
tersebut sekarang berada disekitar daerah Biaro dan Sungai Jernih.
Luhak terakhir yang merupakan daerah inti dari daerah Minangkabau
adalah Luhak 50 Koto. Menurut Tambo Alam Minangkabau (1997: 23)
sejarah dari Luhak 50 Koto ini mengatakan bahwa :
…dari Pariangan (Luhak Tanah Datar sekitar Gunung Merapi) berangkatlah 50 orang untuk mencari pemukiman baru. Mereka menuju Timur ke daerah kumbuh nan bapayo. Disebuah padang dekat Piladang mereka berhenti karena hari telah malam. Keesokan harinya diketahuilah bahwa rombongan mereka telah berkurang (luhak) 5 orang. Mereka saling bertanya kemanakah yang 5 orang tersebut, namun tak seorangpun yang dapat menjelaskan kecuali dengan jawaban antah (tidak tahu). Maka daerah tempat mereka beristirahat tersebut disebut dengan Luhak 50 Koto atau Padang Siantah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya
pembukaan lahan baru oleh para pendatang yang termasuk ke dalam bangsa
Deutro Melayu ke Minangkabau. Daerah-daerah tersebut adalah Luhak
Tanah Datar (wilayah perbukitan), Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto.
Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah awal tempat berkembangnya adat
istiadat Minangkabau.
Mengenai asal-usul nama Minangkabau banyak sekali pendapat para
ahli maupun dari tambo Minangkabau yang mengungkapkannya. Ada
beberapa para ahli yang mengungkapkan pendapat mengenai asal usul nama
Minangkabau. Pertama, pendapat Prof. Poerbacaraka. Menurut pendapatnya,
asal nama Minangkabau berasal dari kata Minanga Tamwan yang artinya
pertemuan dua sungai. Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan
yang berjudul “Riwayat Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama
51
Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di Palembang yaitu
Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat sepuluh baris kalimat yang
berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis ini telah
diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal ii Paro terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik di Perahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang, Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari Minanga Tamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan peti. Dua ratus sepuluh dua banyaknya tulisan. Dua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribu. Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matayap. Bersuka cita pada tanggal lima bulan… Dengan mudah dan senang membuat kota… Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan kemakmuran). Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang
berangkat kari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara.
Sebagian melalui jalan darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada
prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu “temwan”, bahasa jawa
sekarang “temon”, bahasa Indonesianya “pertemuan”. Pertemuan disini yaitu
pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksud itu
ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan kemudian
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang
bersumber dari kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya.
Disamping itu juga dapat disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau
dipergunakan untuk nama sebuah nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku
bangsa Minangkabau dan wilayah kebudayaan Minangkabau, nama
Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau inilah yang diyakini
kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh para ahli
sejarah lainnya, diterima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita dalam
menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.
4.1.2 Sejarah Singkat Provinsi Sumatera Barat
Secara geografis propinsi Sumatera Barat terletak di bagian barat
pulau Sumatera. Wilayah Sumatera Barat juga dilalui jalur khatulistiwa
melalui daerah Bonjol. Secara administratif Sumatera Barat sebelah utara
berbatas dengan propinsi Sumatera Utara, sebelah selatan dengan propinsi
55
Jambi dan Bengkulu, sebelah timur dengan propinsi Riau, dan sebelah barat
dengan Samudera Indonesia.
Sumatera Barat dilihat dari segi lingkungan alam terbagi atas tiga
daerah, yakni:
1. “Darek”, dataran tinggi dan pegunungan sekitar Merapi dan
Singgalang, dikenal sebagai Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah
Datar, dan 50 Kota) termasuk ke dalam daerah ini Pasaman,
Solok, dan Sawahlunto Sijunjung.
2. Daerah pesisir sepanjang 358 km di pantai Barat, daerah
perdagangan dan perikanan. Daerah yang termasuk wilayah
pesisir ini adalah Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan
3. Gugusan Kepulauan Mentawai yang mempunyai corak
kebudayaan tersendiri. Pada tahun 1999 secara administratif,
Kepulauan Mentawai sudah berdiri sendiri sebagai daerah tingkat
II yang otonom (http://id.wikipedia.org/wiki/mentawai2-11-2009)
Bentuk permukaan tanah (morfologi) Sumatera Barat sebagian besar
terjadi dari bukit barisan yang membujur dari barat laut ke tenggara. Daerah
pegunungan terdiri dari rimba tropis yang terdiri dari gunung Merapi,
Singgalang, Tandikat, Sago. Penduduk Sumatera Barat terpusat di daerah
dataran tinggi ini dan di sinilah daerah asal Minangkabau yang disebut Luhak
nan Tigo.
Minangkabau merupakan suku terbesar di Sumatera Barat.
Masyarakat Sumatera Barat menyebut diri mereka dengan sebutan urang
56
minang. Wilayah yang di diami mereka sebut dengan Alam Minangkabau.
Alam Minangkabau berarti daerah Minangkabau. Batas batas wilayah
Minangkabau menurut tambo adalah sebagai berikut:
Dari riak nan ba dabua, tarakak aia hitam, sikilang aia bangih, sampai ka Rokan Pandalian. Dari Durian ditakuak Rajo sampai ka rantau kurang aso duopuluah (Cobra, Yunizar. 1989: 7)
Maksud ungkapan di atas menjelaskan bahwa daerah Minangkabau di
sebelah utara berbatas dengan Sikilang Air Bangis, sebelah selatan dengan
Taratak Aia Hitam, dan Muko-Muko, kemudian di sebelah barat dengan
Samudera Hindia (dalam ungkapan riak nan ba dabua), serta sebelah timur
berbatas dengan Durian di Takuak Rajo. Batas-batas wilayah Minangkabau
yang dikemukakan tersebut merupakan nama-nama daerah yang sampai saat
ini daerah tersebut masih ada.
Batas-batas wilayah Minangkabau jika di bandingkan dengan peta
Sumatera Barat sekarang tidak jauh berbeda, malahan Sumatera Barat lebih
kecil dari batas-batas yang dikemukakan oleh tambo, karena ada beberapa
wilayah seperti daerah Rokan Pandalian merupakan wilayah propinsi Riau.
Daerah pusat Minangkabau seperti yang telah diungkapkan sebelumnya
bernama Luhak Nan Tigo yang terdiri atas Luhak Tanah datar, Luhak Agam,
dan Luhak Lima Puluh Koto.
57
Gambar 4.1
Wilayah awal Minangkabau
(Sumber: Badan Perpustakaan Propinsi Sumatera Barat )
Keterangan Gambar:
Mn = Lokasi keberadaan “minang”, sumber aie nan janieh (mata air hexagonal). Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagarruyuan. 1: Nagari Tanjuang-Sungayan. 2 : Nagari Talago-Sungai patai. 3 : Nagari Andaleh-Baruahbukik. 4 : Nagari Sawahliek-Singkayan, nagari inilah kemudian yang berganti nama menjadi Minangkabau. 5:Nagari Pagarruyuang. 6: Nagari Suruaso. 7 : Nagari Kototangah. 8 : Nagari Tanjuangbarulak
Sejak tahun 1958, Sumatera Barat resmi sebagai provinsi.
Sebelumnya, sejak proklamasi Sumatera Barat berstatus sebagai salah satu
keresidenan di provinsi Sumatera. Gubernur pertama provinsi Sumatera Barat
58
adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Baso. Nenek moyang orang
Minangkabau, sama dengan nenek moyang orang Indonesia lainnya, berasal
dari daratan Asia. Mereka mengarungi Laut Cina Selatan, menyebrangi Selat
Malaka, dan kemudian sampai dan menetap di wilayah Sumatera Barat.
Alam Minangkabau pernah menjadi daerah penyebaran agama Budha,
yaitu, pada masa pemerintahan Raja Adityawarman. Pemerintahan
Adityawarman ketika itu terletak di Pagaruyung. Sepeninggal Adityawarman,
Pagaruyung banyak menjalin hubungan dengan dunia luar, terutama dengan
Aceh. Implikasi dari terjalinnya hubungan dengan Aceh, terjadi penyerapan
budaya dan penyebaran agama Islam. Islam kemudian mewarnai budaya
Minangkabau secara kental. Tokoh yang dipercaya sebagai penyebar agama
Islam pertama di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin.
Sejak tahun 1595, armada dagang Belanda sudah mulai terlihat di
pantai barat Minangkabau. Hegemoni politik Belanda di Alam Minangkabau
dimulai tahun 1666 ketika dilakukan pembangunan loji dagang mereka di
Pulau Cingkuk dan diiringi pembangunan benteng di Padang. Seiring dengan
semakin kukuhnya kekuasaan Belanda, pengaruh Aceh dan bangsa Eropa
selain Belanda semakin berkurang.
Kekuasaan Belanda di Minangkabau sempat terputus pada bulan
November 1795, digantikan oleh pemerintah Inggris. Inggris berkuasa selama
23 tahun. Sebagai realisasi dari konvensi London tahun 1814, Inggris harus
menyerahkan Minangkabau kembali ke tangan Belanda. Setelah itu, Belanda
59
berkuasa untuk kedua kalinya sampai balatentara Jepang milai menduduki
wilayah tersebut tahun 1942.
Pada masa penjajahan Inggris adalah era dimulainya gerakan Paderi.
Gerakan ini bertujuan untuk memurnikan praktek ajaran Islam dari berbagai
penyimpangan. Paderi akhirnya memiliki pengaruh yang besar di
Minangkabau. Belanda yang berniat menguasai Minangkabau secara utuh
merasa gerah dengan pengaruh Paderi ini. Akhirnya pada tahun 1821,
Belanda mulai melakukan konfrontasi dengan kelompok agama tersebut.
Pertentangan Belanda dengan kaum Paderi akhirnya meluas ke
seluruh rakyat Sumatera Barat. Pada masa berikutnya muncul seorang
pemimpin bernama Tuanku Imam Bonjol. Dengan dibantu oleh seluruh
masyarakat, Tuanku Imam Bonjol berupaya untuk mempertahankan wilayah
Bonjol sebagai benteng terakhir Paderi. Namun akhirnya pada tahun 1837,
Belanda dapat mengalahkan perlawanan rakyat tersebut dan berhasil
menduduki nagari Bonjol. Tuanku Imam Bonjol ditawan dan diasingkan ke
Lotak (Manado).
Kekuasaan Belanda di Minangkabau betul-betul mantap pada awal
abad 20. Sebagai kompensasi dari berakhirnya praktek tanam paksa kopi,
Belanda memungut pajak dari rakyat. Pajak yang begitu tinggi ditambah
dengan kekangan yang diterapkan pemerintah kolonial, menimbulkan
perlawanan rakyat Sumatera Barat, misalnya perlawanan yang dilakukan oleh
rakyat Kamang dan Manggopoh. Semua perlawanan tersebut dapat
dipadamkan oleh Belanda.
60
Dapat ditumpasnya berbagai perlawanan lokal tidak berarti
terhentinya perjuangan menentang kolonialisme. Gerakan kebangsaan
kemudian muncul menggantikan perlawanan local. Dimulai oleh masuknya
Serikat Islam, kemudian bermunculan organisasi-organisasi seperti Jong
Sumatranen Bond, Partai Nasional Indonesia, dan Muhammadiyah. Pada
tanggal 17 Maret 1942, Jepang mulai menduduki Bukittinggi dan Padang.
Akhirnya Jepang menguasai wilayah Sumatera Barat sebagai bagian dari
penguasaannya atas wilayah Indonesia. Jepang berkuasa di Sumatera Barat
sampai kekalahan yang dideritanya dalam Perang Pasifik yang kemudian
direspons oleh para pejuang kemerdekaan di Jakarta dengan
Sultan Sri Maharajo Dirajo merupakan anak ketiga dari Iskandar The
Great menurut Tambo Alam Minangkabau. Sultan Sri Maharajo Dirajo
melakukan pelayaran ke daerah Nusantara dan kapalnya mengalami
kerusakan di daerah Sumatera. Akhirnya Maharajo Dirajo mendirikan
pemukiman di daerah lereng Gunung Merapi yang diberi nama Pariangan
Padangpanjang. Sampai sekarang orang Minangkabau beranggapan bahwa
negeri tertua di Minangkabau adalah Pariangan Padangpanjang di lereng
sebelah timur Gunung Merapi. Di negeri inilah disusun adat Minangkabau
yang sampai sekarang masih berlaku dan diwarisi oleh masyarakat
Minangkabau (Rais, Kamardi. 2000: 128).
Sultan Maharajo Dirajo dalam pelayarannya ke Pulau Ameh atau
Sumatera membawa serta tiga orang istrinya. Istri pertamanya bernama Puti
Cinto Dunie, istri kedua bernama Puti Indo Jalito dan istri ketiga bernama
Puti Sedayu. Hasil pernikahan Sultan Maharajo Dirajo dengan Puti Cinto
Dunie memperoleh seorang anak bernama Dt. Bandaro Kayo. Sementara dari
Puti Indo Jalito melahirkan Sutan Paduko Basa, dan hasil pernikahan dari
63
istri ketiga Puti Sedayu melahirkan Dt. Maha Rajo Basa (Salim, Ampera.
2005: 8)
Bagan 4.1
Silsilah Sultan Sri Maharajo Dirajo
Sumber: Ampera Salim, 2005. Minangkabau: Dalam Catatan Sejarah Yang
Tercecer. Padang, Citra Budaya.
4.2 Asal Usul Kelompok Masyarakat Koto Piliang dan Bodi Caniago
Suku adalah suatu organisasi massa di dalam masyarakat Minangkabau
yang disusun dan dibentuk setelah berlakunya Adat Nan Ampek, secara bertahan
dalam waktu yang panjang, selangkah demi selangkah. Dengan menggali dan
mambangkik batang tarandam (membangkitkan batang terendam) di dalam Tambo
ditemukan suatu bentuk atau sktruktur suku yang menyeruapi satu pukon dengan
cabang, dahan dan ranting.
H. J. Dt. Malako Nan Putiah mengutip dari Tambo Minangkabau
mengatakan bahwa struktur yang telah dijelaskan di atas untuk pertama kalinya
dibuat oleh nenek moyang orang Minangkabau Datuk Perpatih Nan Sabatang dan
Datuk Ketumanggungan, kemudian dimusyawarahkan dengan para sesepuh dan
64
tokoh-tokoh masyarakat yang berbentuk pyramid dengan dasar yang paling bawah
adalah rakyat banyak, simpul pertama adalah satu keluarga dinamakan Paruik, dari
beberapa paruik ditemukan simpul kedua diatasnya dinamakan jurai, selanjutnya
ditemukan simpulkan ketiga di atasnya diberinama indu, dan dari beberapa indu
itulah ditemukan simpul tertinggi nama seorang nenek perempuan sebagai cikal
bakal dari ikatan warga yang banyak disebut suku itu (Alma,Buchari. 2004: 298).
Pada masa Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang,
jumlah penduduk yang sudah begitu besar pada masa itu dan tersebar di wilayah
yang luas, dipilah-pilah ke dalam kelompok-kelompok dari terendah ditelusuri ke
atas menurut garis keturunan ibu, menggunakan pola seperti di atas, sehingga
lahirlah suku-suku pertama dengan empat nama baru yaitu Bodi, Caniago, Koto,
Piliang (Alma, Buchari. 2004: 297). Di samping itu ada warga masyarakat yang
tidak masuk ke dalam empat suku itu, mereka mengelompokkan sendiri dan tetap
memakai nama yang sudah popular sejak jauh sebelumnya, yaitu Malayu, yang
berarti orang gunung (http://palantaminang.wordpress.com/Malayu/13–12–2009).
H. J. Dt. Malako Nan Putiah juga menyatakan bahwa :
Banyak ahli sejarah yang menyatakan bahwa suku Melayu adalah suku tertua di Minangkabau. Dari penelitian lapangan memang suku Malayu itu hamper diseluruh alam Minangkabau, terutama di dusun-dusun tua (Alma, Buchari. 2004: 299).
Sebaliknya, dalam daerah-daerah yang termasuk pemukiman batu atau di
daerah rantau jarang ditemukan Suku Malayu, malah di sini muncul nama-nama
baru. Khusus untuk suku Malayu ini ada pepatah yang mengatakan pisang sikalek-
kalek hutan, pisang batu nan bagatah, Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang
65
inyo antah, samo dipakai kaduonyo (pisang sikelat-kelat hutan, pisang batu yang
bergetah, Bodi Caniago dia bukan, Koto Piliang dia entah, sama dipakai
keduanya).
Suku di pemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat
pemukiman baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu
dapat dibuat suku dengan memilih beberapa alternatif :
1. Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba
di tempat itu.
2. Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang
sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan seperti,
Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo.
3. Apabila tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka
berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari
negerinya tanpa atribut, seperti asal Kutianyir ditempat baru tetap
Kutianyir.
4. Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang
ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong seperti Koto nan Duo
Korong.
5. Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang
baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal seperti Suku Gudam (negeri
Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dan