RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Mengingat : a. bahwa
Piutang Negara dan Piutang Daerah yang merupakan hak negara, perlu
dikelola secara optimal dalam rangka pengamanan keuangan negara
sehingga dapat dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat;
b. bahwa dalam rangka pengelolaan Piutang Negara dan Piutang
Daerah, perlu dilakukan pengurusan Piutang Negara dan Piutang
Daerah secara profesional, efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel sehingga hak negara diterima dan terpenuhi; c. bahwa
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan
Piutang Negara sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam
pengelolaan keuangan negara sehingga perlu diganti dengan
undang-undang baru yang lebih komprehensif dan menjamin kepastian
hukum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah; Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGURUSAN NEGARA
DAN PIUTANG DAERAH. PIUTANG
-2BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini, yang
dimaksud dengan: 1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib
dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang
dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian, akibat lainnya
berdasarkan peraturan perundangundangan, atau akibat lainnya yang
sah. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai
dengan uang sebagai akibat perjanjian, akibat lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan, atau akibat lainnya yang sah.
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah adalah serangkaian
tindakan agar Debitor melunasi atau menyelesaikan utangnya yang
macet dan diserahkan kepada Pejabat Pengurusan Piutang. Pejabat
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang selanjutnya
disebut Pejabat Pengurusan Piutang adalah Direktur Jenderal atau
pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan Pengurusan Piutang Negara dan Piutang
Daerah. Debitor adalah orang, badan hukum, atau badan usaha yang
berutang kepada Penyerah Piutang berdasarkan perjanjian atau
peraturan perundang-undangan, atau akibat lainnya yang sah.
Penyerah Piutang adalah Kementerian Negara, Lembaga Pemerintahan
Non Kementerian, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah, Perbankan
atau Lembaga Keuangan Bukan Perbankan yang menyalurkan dana
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang
dibentuk oleh Negara yang menyerahkan Pengurusan Piutang Negara
atau Piutang Daerah kepada Pejabat Pengurusan Piutang. Penjamin
Utang adalah orang, badan hukum, atau badan usaha yang menjamin
penyelesaian sebagian atau seluruh utang Debitor. Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Kementerian adalah pejabat yang bertanggung
jawab atas pengelolaan keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga
Pemerintahan Non Kementerian yang bersangkutan. Kepala Daerah
adalah gubernur bagi provinsi, bupati bagi kabupaten, atau walikota
bagi kota.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
-310. Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Debitor,
Penjamin Utang, dan/atau pihak ketiga yang diikat sebagai jaminan
untuk penyelesaian utang. 11. Surat Keputusan Penetapan Jumlah
Piutang Negara dan Piutang Daerah adalah surat keputusan yang
memuat jumlah utang yang wajib dilunasi oleh Debitor dan/atau
Penjamin Utang yang ditetapkan oleh Pejabat Pengurusan Piutang. 12.
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap
orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia karena alasan Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah. 13. Surat Paksa adalah perintah tertulis yang
diterbitkan oleh Pejabat Pengurusan Piutang kepada Debitor dan/atau
Penjamin Utang untuk membayar lunas utangnya. 14. Paksa Badan
adalah pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap Debitor
dan/atau Penjamin Utang dengan menempatkannya pada Tempat Paksa
Badan. 15. Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup,
mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta
pengawasan memadai, yang digunakan untuk menempatkan Debitor
dan/atau Penjamin Utang yang terkena Paksa Badan. 16. Juru Sita
Piutang Negara dan Piutang Daerah yang selanjutnya disebut Juru
Sita Piutang adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian
Keuangan yang diangkat oleh Menteri Keuangan atau Pejabat
Pengurusan Piutang yang diberi kewenangan oleh Menteri Keuangan,
untuk melaksanakan tugas kejurusitaan. 17. Pemeriksa adalah Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan yang diangkat oleh
Menteri Keuangan atau Pejabat Pengurusan Piutang yang diberi
kewenangan oleh Menteri Keuangan, untuk melaksanakan tugas
pemeriksaan. Pasal 2 (1) Pengurusan Piutang Negara dan Piutang
Daerah meliputi: a. Piutang Negara; b. Piutang Daerah; c. piutang
yang dananya berasal dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
yang disalurkan melalui Perbankan atau Lembaga Keuangan Bukan
Perbankan dengan pola penyaluran atau pembagian risiko; dan d.
piutang dari badan hukum yang dibentuk oleh negara atau daerah,
selain Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
-4(2) Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah tidak
termasuk: a. pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang cara
penyelesaiannya diatur dalam undang-undang tersendiri; dan b.
pengurusan piutang badan hukum yang cara penyelesaiannya diatur
dalam undang-undang pembentukannya. (3) Pengurusan Piutang Negara
dan Piutang Daerah dilakukan terhadap piutang yang telah macet dan
diserahkan pengurusannya kepada Pejabat Pengurusan Piutang.
BAB II KEWENANGAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG DAERAH
Pasal 3 (1) Menteri Keuangan berwenang melakukan Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah yang telah diserahkan oleh Penyerah
Piutang. Pengurusan Piutang Negara dan Piutang dilaksanakan oleh
Pejabat Pengurusan Piutang. Pasal 4 (1) Pejabat Pengurusan Piutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) berwenang: a.
mengangkat dan memberhentikan Juru Sita Piutang, Penilai Internal,
dan Pemeriksa; b. menerima, menolak, atau mengembalikan Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah; c. menetapkan jumlah Piutang
Negara dan Piutang Daerah; d. mengusulkan Pencegahan, perpanjangan
Pencegahan, pencabutan Pencegahan, atau izin bepergian ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan; e.
melakukan penagihan dengan Surat Paksa; f. melakukan penyitaan dan
pengangkatan sita; g. melaksanakan Paksa Badan; h. menetapkan nilai
limit penjualan barang sitaan melalui lelang; i. melaksanakan
penjualan barang sitaan melalui lelang; j. menyetujui atau menolak
permohonan penebusan Barang Jaminan; Daerah
(2)
-5k. menyetujui atau menolak penjualan tidak melalui lelang
terhadap Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan; l. menyetujui atau
menolak permohonan keringanan penyelesaian utang; m. menetapkan
Piutang Negara dan Piutang Daerah lunas, selesai, sementara belum
dapat ditagih, atau telah dihapuskan secara mutlak; n. meminta izin
dari Gubernur Bank Indonesia untuk mendapatkan keterangan dari bank
mengenai simpanan Debitor dan/atau Penjamin Utang; o. meminta
persetujuan dari pimpinan otoritas pasar modal untuk mendapatkan
keterangan mengenai rekening efek nasabah; p. melakukan pemanggilan
kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang; dan q. melakukan
pemblokiran dan pencabutan pemblokiran terhadap Barang Jaminan
dan/atau harta kekayaan Debitor, Penjamin Utang, dan/atau pihak
ketiga. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan Juru Sita, Penilai Internal, dan Pemeriksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
BAB III PENGELOLAAN DAN PENYERAHAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN
PIUTANG DAERAH Pasal 5 (1) (2) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah
Non Kementerian wajib melakukan pengelolaan Piutang Negara.
Pengelolaan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. penatausahaan; b. pengawasan dan pengendalian; c.
penagihan; d. pelaporan; dan e. pertanggungjawaban. Dalam hal upaya
penagihan telah dilakukan dan piutang tidak dilunasi,
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian Lembaga
menyerahkan pengurusan piutang yang telah dinyatakan macet kepada
Pejabat Pengurusan Piutang. Penyerahan pengurusan piutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal piutang dinyatakan macet.
(3)
(4)
-6Pasal 6 (1) (2) Kepala Daerah wajib melakukan pengelolaan
Piutang Daerah. Pengelolaan Piutang Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. penatausahaan; b. pengawasan dan
pengendalian; c. penagihan; d. pelaporan; dan e.
pertanggungjawaban. Dalam hal upaya penagihan telah dilakukan dan
piutang tidak dilunasi, Kepala Daerah menyerahkan pengurusan
piutang yang telah dinyatakan macet kepada Pejabat Pengurusan
Piutang. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal piutang
dinyatakan macet. Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat
dan tata cara pengelolaan dan penyerahan Pengurusan Piutang Negara
dan Piutang Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. BAB IV TATA CARA PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG
DAERAH Bagian Kesatu Penerimaan Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah Pasal 8 (1) Menteri/pimpinan lembaga pemerintah non
kementerian, kepala daerah, pimpinan perbankan atau lembaga
keuangan bukan perbankan yang menyalurkan dana yang berasal dari
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan Pimpinan Badan Hukum
yang dibentuk oleh Negara menyerahkan pengurusan piutang yang telah
dinyatakan macet kepada Pejabat Pengurusan Piutang dilengkapi
dengan dokumen piutang. Pejabat Pengurusan Piutang menerbitkan
surat penerimaan Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah dari
Penyerah Piutang dalam hal dokumen piutang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menunjukkan adanya piutang dan jumlah yang telah
dinyatakan macet.
(3)
(4)
(2)
-7(3) Setelah diterbitkan surat penerimaan Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah, berlaku ketentuan sebagai berikut: a.
kewenangan mengurus Piutang Negara dan Piutang Daerah ada pada
Pejabat Pengurusan Piutang; b. Penyerah Piutang wajib tetap
menatausahakan dan melaporkan Piutang Negara dan Piutang Daerah;
dan c. Penyerah Piutang menghentikan perhitungan pembebanan bunga
dan/atau denda. Dalam hal dokumen piutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menunjukkan adanya piutang yang telah dinyatakan
macet, Pejabat Pengurusan Piutang menerbitkan surat penolakan
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah. Pasal 9 Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan dan penolakan Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penetapan Jumlah Piutang Negara
dan Piutang Daerah Pasal 10 (1) Pejabat Pengurusan Piutang
menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara dan
Piutang Daerah setelah Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
dinyatakan diterima. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang
Negara dan Piutang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit harus memuat: a. nama Penyerah Piutang; b. nama Debitor; c.
alamat Debitor; d. jumlah piutang; dan e. perintah untuk membayar.
Pasal 11 Pejabat Pengurusan Piutang menyampaikan surat penagihan
piutang yang dilampiri dengan Surat Keputusan Penetapan Jumlah
Piutang Negara dan Piutang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang. Pasal 12 Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penerbitan Surat Keputusan Penetapan
Jumlah Piutang Negara dan Piutang Daerah dan penyampaian surat
penagihan Piutang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(4)
(2)
-8Bagian Ketiga Surat Paksa Pasal 13 (1) Pejabat Pengurusan
Piutang menerbitkan Surat Paksa dalam hal Debitor tidak
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana tercantum dalam Surat
Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara dan Piutang Daerah. Surat
Paksa berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat Paksa
dapat dijalankan oleh Pejabat Pengurusan Piutang dengan penyitaan
dan pelelangan Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan milik Debitor
dan/atau Penjamin Utang, dan dengan Paksa Badan terhadap Debitor
dan/atau Penjamin Utang. Pasal 14 Surat Paksa paling sedikit harus
memuat: a. nama Penyerah Piutang; b. nama Debitor; c. alamat
Debitor; d. jumlah piutang; dan e. perintah untuk membayar. Pasal
15 (1) Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Piutang kepada
Debitor dan/atau Penjamin Utang dengan penyerahan salinan Surat
Paksa. Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam berita acara pemberitahuan dan disaksikan oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi. Berita acara pemberitahuan
Surat Paksa tetap mempunyai kekuatan mengikat meskipun Debitor
dan/atau Penjamin Utang tidak menandatangani berita acara
pemberitahuan Surat Paksa karena tidak berada di tempat
pemberitahuan Surat Paksa, atau menolak untuk menandatangani berita
acara. Debitor dan/atau Penjamin Utang wajib melunasi utangnya
dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
tanggal pemberitahuan Surat Paksa.
(2) (3)
(4)
(2)
(3)
(4)
-9Pasal 16 Dalam hal Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak
melunasi utangnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), Barang Jaminan dan/atau harta
kekayaan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang disita. Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan
pemberitahuan Surat Paksa, pihak-pihak yang kepadanya Surat Paksa
dapat diberitahukan untuk disampaikan kepada Debitor dan/atau
Penjamin Utang, serta media pemberitahuan Surat Paksa, diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat
Penyitaan Pasal 18 (1) Penyitaan Barang Jaminan dan/atau harta
kekayaan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 didahului dengan menerbitkan Surat Perintah
Penyitaan oleh Pejabat Pengurusan Piutang. Pejabat Pengurus Piutang
menerbitkan Surat Perintah Penyitaan dalam hal Debitor dan/atau
Penjamin Utang tidak menyelesaikan utangnya sebagaimana tercantum
dalam Surat Paksa. Berdasarkan Surat Perintah Penyitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Juru Sita Piutang melakukan penyitaan.
(2)
(3)
Pasal 19 (1) (2) Penyitaan dilakukan terhadap Barang Jaminan
milik Debitor dan/atau Penjamin Utang. Dalam hal tidak terdapat
Barang Jaminan atau nilai Barang Jaminan diperkirakan tidak cukup
untuk melunasi sisa utang, penyitaan dilakukan terhadap harta
kekayaan lain milik Debitor dan/atau Penjamin Utang. Penyitaan bank
dan atau efek dilakukan terhadap harta kekayaan yang tersimpan di
harta kekayaan yang berupa surat berharga di bidang pasar modal
dilaksanakan setelah pemblokiran.
(3)
- 10 Pasal 20 (1) (2) Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita
Piutang dengan disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi.
Setiap melaksanakan penyitaan, Juru Sita Piutang membuat berita
acara pelaksanaan sita yang ditandatangani paling sedikit oleh Juru
Sita Piutang, Debitor dan/atau Penjamin Utang, dan saksi. Berita
acara pelaksanaan sita tetap mempunyai kekuatan mengikat meskipun
Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak menandatangani berita acara
sita karena tidak berada di tempat Barang Jaminan atau harta
kekayaan yang akan disita, atau menolak untuk menandatangani berita
acara. Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sita
eksekutorial. Pasal 21 Terhadap Barang Jaminan dan/atau harta
kekayaan yang telah disita terlebih dahulu oleh pengadilan negeri
atau instansi lain yang berwenang, dilakukan sita persamaan. Pasal
22 Penyitaan Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan milik Debitor
dan/atau Penjamin Utang dilanjutkan dengan penerbitan surat
perintah lelang terhadap barang sitaan, apabila Debitor dan/atau
Penjamin Utang tidak melunasi utangnya dalam waktu 2 (dua) hari
kerja setelah penyitaan dilakukan. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penerbitan surat perintah penyitaan dan
pelaksanaan penyitaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kelima Pemblokiran Pasal 24 (1) Dalam rangka
pengamanan, Pejabat Pengurusan Piutang dapat melakukan pemblokiran
terhadap Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan milik Debitor
dan/atau Penjamin Utang.
(3)
(4)
- 11 (2) Dalam hal harta kekayaan berupa rekening pada bank,
Pejabat Pengurusan Piutang melakukan pemblokiran terhadap simpanan
milik Debitor dan/atau Penjamin Utang setelah mendapat izin dari
Gubernur Bank Indonesia untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan Debitor dan/atau Penjamin Utang. Dalam hal harta
kekayaan berupa surat berharga atau efek di bidang pasar modal,
Pejabat Pengurusan Piutang melakukan pemblokiran setelah mendapat
izin dari Otoritas Pasar Modal untuk memperoleh keterangan mengenai
rekening surat berharga atau efek milik Debitor dan/atau Penjamin
Utang nasabah. Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan sejak pengurusan piutang macet diterima. Pemblokiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan oleh pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemblokiran terhadap Barang Jaminan dan/atau
harta kekayaan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Penjualan
Melalui Lelang Pasal 26 (1) Dalam hal Debitor dan/atau Penjamin
Utang tidak melunasi utang setelah lewat waktu 2 (dua) hari kerja
sejak dilaksanakan penyitaan, Pejabat Pengurusan Piutang
mengeluarkan surat perintah lelang terhadap barang sitaan. Lelang
terhadap barang sitaan didahului dengan : a. penetapan nilai limit
atas barang yang akan dilelang; dan b. pengumuman lelang. Nilai
limit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh
Pejabat Pengurusan Piutang berdasarkan laporan penilaian yang masih
berlaku dengan ketentuan paling sedikit sama dengan nilai
likuidasi. Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang lelang.
(3)
(4) (5)
(2)
(3)
(4)
- 12 Pasal 27 Lelang terhadap barang sitaan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lelang.
Pasal 28 (1) Dalam hal terdapat beberapa barang yang akan dilelang,
Debitor dan/atau Penjamin Utang dapat menentukan urutan barang yang
akan dilelang. Debitor dan/atau Penjamin Utang mengajukan penentuan
urutan barang yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Pejabat Pengurusan Piutang dalam waktu paling lambat 3
(tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang. Apabila dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak mengajukan permohonan,
Pejabat Pengurusan Piutang menentukan urutan barang yang dilelang.
Pasal 29 (1) Hasil lelang digunakan untuk membayar piutang pokok,
bunga, denda, biaya lainnya, dan Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah. Dalam hal terdapat kelebihan
hasil lelang, kelebihan tersebut dikembalikan kepada Debitor
dan/atau Penjamin Utang. Dalam hal barang yang dilelang merupakan
milik Penjamin Utang dan tanggung jawab Penjamin Utang terbatas,
sisa hasil lelang setelah dikurangi dengan tanggung jawab dari
Penjamin Utang, dikembalikan kepada Penjamin Utang. Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat perintah
lelang terhadap barang sitaan, penetapan nilai limit lelang,
pelaksanaan pengumuman lelang, penentuan urutan barang yang akan
dilelang, dan pengembalian kelebihan hasil lelang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Panggilan
Pasal 31 (1) Pejabat Pengurusan Piutang dapat melakukan pemanggilan
kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang dalam rangka penyelesaian
Piutang Negara dan Piutang Daerah.
(2)
(3)
(2)
(3)
- 13 (2) Ketentuan mengenai tata cara pemanggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kedelapan Pencegahan Pasal 32 (1) (2) Menteri
Keuangan dapat menetapkan terhadap Debitor dan/atau Penjamin Utang.
Pencegahan
Dalam hal Debitor dan/atau Penjamin Utang merupakan badan hukum
atau badan usaha, Pencegahan dilakukan terhadap direksi atau
pengurus, anggota dewan komisaris atau dewan pengawas, pesero,
pengurus, dan/atau pemegang saham tertentu. Pencegahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan sejak pengurusan piutang
macet diterima. Pelaksanaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keimigrasian. Pasal 33
(3) (4)
(1)
Menteri Keuangan dapat memberikan izin ke luar wilayah Negara
Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan
Pencegahan kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang. Dalam hal izin
diberikan, jangka waktu izin tidak mengurangi jangka waktu
Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan. Pasal 34
(2)
(1)
Menteri Keuangan melakukan pencabutan Pencegahan dalam hal: a.
Debitor dan/atau Penjamin Utang telah melunasi utang; b. Penyerah
Piutang menarik kembali pengurusan piutangnya; atau c. Orang yang
dicegah sudah tidak lagi menjadi pengurus badan hukum atau badan
usaha, dengan ketentuan : 1) perubahan susunan pengurus dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 2)
perubahan susunan pengurus disetujui oleh Penyerah Piutang, dalam
hal diperjanjikan.
- 14 (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri Keuangan dapat melakukan pencabutan Pencegahan dalam hal
Debitor dan/atau Penjamin Utang telah melakukan pembayaran paling
sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah piutang dan mengajukan
rencana penyelesaian utang secara jelas. Pasal 35 Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pengajuan usul dan penetapan Pencegahan,
perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, pemberian izin
bepergian ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dalam jangka
waktu Pencegahan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kesembilan Paksa Badan Pasal 36 (1) Pejabat
Pengurusan Piutang dapat menerbitkan surat perintah Paksa Badan
terhadap Debitor dan/atau Penjamin Utang yang mempunyai kemampuan
membayar tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan
utang. Surat perintah Paksa Badan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan dengan ketentuan: a. Surat Paksa telah
diberitahukan kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang; b. sisa utang
paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); c.
usia Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak lebih dari 70 (tujuh
puluh) tahun; d. Barang Jaminan ada, tetapi nilainya diperkirakan
tidak mencukupi atau Barang Jaminan tidak ada; dan e. izin tertulis
dari Jaksa Agung telah diperoleh. Pasal 37 (1) Paksa Badan
dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
Debitor dan/atau Penjamin Utang ditempatkan di Tempat Paksa Badan
dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Dalam hal Tempat Paksa Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum tersedia Debitor dan/atau Penjamin Utang ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara. Dalam hal Debitor
dan/atau Penjamin Utang merupakan badan hukum dan/atau badan usaha,
Paksa Badan dilakukan terhadap direksi atau pengurus, anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas, pesero pengurus, dan/atau pemegang
saham tertentu.
(2)
(2)
(3)
- 15 Pasal 38 (1) Paksa Badan dilaksanakan oleh Juru Sita
Piutang seketika setelah pemberitahuan surat perintah Paksa Badan.
Setiap tindakan dalam pelaksanaan Paksa Badan dituangkan dalam
berita acara, dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi.
Berita acara pelaksanaan Paksa Badan tetap mempunyai kekuatan
mengikat meskipun Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak bersedia
atau menolak menandatangani berita acara. Pasal 39 (1) Debitor
dan/atau Penjamin Utang yang dikenakan Paksa Badan harus dibebaskan
dari Paksa Badan dalam hal: a. Debitor dan/atau Penjamin Utang
telah melunasi utang; b. Debitor dan/atau Penjamin Utang telah
berusia lebih dari 70 (tujuh puluh) tahun; c. Debitor dan/atau
Penjamin Utang menderita sakit berat permanen atau mengalami
gangguan kejiwaan berat berdasarkan keterangan dokter; atau d.
jangka waktu Paksa Badan dan perpanjangannya telah berakhir.
Debitor dan/atau Penjamin Utang yang dikenakan Paksa Badan dapat
dibebaskan dari Paksa Badan dalam hal Debitor dan/atau Penjamin
Utang telah melakukan pembayaran paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari sisa utang dan mengajukan rencana penyelesaian utang
secara jelas. Debitor dan/atau Penjamin Utang yang dibebaskan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang tidak menyelesaikan
pembayaran sisa utang sesuai rencana yang ditentukan, dikenai
tindakan Paksa Badan untuk jangka waktu pelaksanaan Paksa Badan
yang belum dijalani.
(2)
(3)
(2)
(3)
(1) (2)
Pasal 40 Debitor dan/atau Penjamin Utang menanggung biaya
pelaksanaan Paksa Badan. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terlebih dahulu ditanggung sementara oleh Pemerintah melalui dana
yang bersumber pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
Pejabat Pengurusan Piutang. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus dibayarkan kembali ke Kas Negara oleh Debitor sebagai
penambah jumlah utang.
(3)
- 16 Pasal 41 (1) Selama pelaksanaan Paksa Badan di Tempat Paksa
Badan, Debitor dan/atau Penjamin Utang berhak: a. melakukan ibadah
sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan
jasmani dan rohani; c. mendapat pendidikan dan pengajaran; d.
mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e.
menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti
siaran media massa yang tidak dilarang; dan g. menerima kunjungan
keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya. Hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf f
diperoleh atas biaya sendiri. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f dan huruf g dapat dilakukan setelah memperoleh izin
dari pimpinan Tempat Paksa Badan. Selama pelaksanaan Paksa Badan di
Tempat Paksa Badan, Debitor dan/atau Penjamin Utang wajib mematuhi
peraturan yang berlaku di Tempat Paksa Badan. Pasal 42 Tindakan
hukum Paksa Badan tidak menghapuskan kewajiban Debitor dan/atau
Penjamin Utang untuk melunasi utang. Pasal 43 Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penerbitan surat perintah Paksa Badan,
pelaksanaan Paksa Badan, pembebasan Paksa Badan, dan biaya
pelaksanaan Paksa Badan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kesepuluh Pemeriksaan Pasal 44 (1) Dalam rangka
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah, Pejabat Pengurusan
Piutang dapat melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemeriksa dalam rangka
memperoleh informasi, keterangan, dan/atau bukti-bukti yang
berkaitan dengan: a. keberadaan dan/atau kemampuan Debitor dan/atau
Penjamin Utang; dan/atau
(2) (3)
(4)
(2)
- 17 b. keberadaan Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan milik
Debitor dan/atau Penjamin Utang. (3) Dalam melakukan pemeriksaan,
Pemeriksa berwenang untuk: a. meminta keterangan kepada Debitor,
Penjamin Utang, dan/atau pihak lainnya; b. memeriksa buku, catatan,
pembukuan dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usaha,
pekerjaan, Barang Jaminan atau harta kekayaan milik Debitor
dan/atau Penjamin Utang; dan c. memasuki tempat atau ruangan
tertentu. Dalam rangka pemeriksaan, Debitor, Penjamin Utang,
dan/atau pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
wajib memberikan keterangan kepada Pemeriksa. Kegiatan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c, harus
disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi. Setiap tindakan
pemeriksaan dituangkan dalam berita acara. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara Pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
(4)
(5)
(6) (7)
Bagian Kesebelas Keringanan, Pengurusan dalam Kepailitan,
Penjualan Tanpa Melalui Lelang, dan Penebusan Pasal 45 Pejabat
Pengurusan Piutang dapat memberikan keringanan jangka waktu
dan/atau jumlah utang berupa pengurangan utang pokok, bunga, denda
dan biaya lainnya. Pasal 46 (1) Dalam hal Debitor dan/atau Penjamin
Utang sedang dalam proses kepailitan di lembaga peradilan,
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah tetap dilaksanakan.
Dalam hal Debitor dan/atau Penjamin Utang telah dinyatakan pailit,
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kepailitan. Pasal 47 (1) Dalam rangka Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah, Barang Jaminan dapat dijual tanpa melalui
lelang.
(2)
- 18 (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Debitor dan/atau Penjamin Utang setelah mendapat persetujuan
dari Pejabat Pengurusan Piutang. Pasal 48 Penjamin Utang dapat
mengajukan permohonan penebusan Barang Jaminan miliknya. Pasal 49
Ketentuan mengenai tata cara dan besaran pemberian keringanan,
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah dengan Debitor
dan/atau Penjamin Utang yang sedang dalam proses kepailitan atau
telah dinyatakan pailit, penjualan Barang Jaminan tanpa melalui
lelang dan penebusan Barang Jaminan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua belas Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah Pasal 50 (1) Setiap
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah dikenakan Biaya
Administrasi Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang
dibebankan kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang. Biaya
Administrasi Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara
bukan pajak. Ketentuan lebih lanjut mengenai Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2)
(3)
Bagian Ketiga belas Pengembalian, Penarikan Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah, Pencabutan Pemblokiran, dan Pengangkatan
Sita Pasal 51 (1) Dalam proses Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah, Pejabat Pengurusan Piutang dapat menghentikan
proses pengurusannya dan mengembalikannya kepada Penyerah Piutang.
Penghentian dan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal:
(2)
- 19 a. Debitor terbukti tidak mempunyai kewajiban yang harus
diselesaikan; b. piutang terkait dengan perkara pidana; c. Penyerah
Piutang bersikap tidak kooperatif; d. terdapat putusan pengadilan
dalam perkara perdata atau tata usaha negara yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang membatalkan penyerahan Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah; dan/atau e. perkara pidana yang
berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian negara/daerah yang telah
diputus oleh pengadilan dan dieksekusi dengan pidana penjara
sebagai pengganti pidana tambahan berupa uang pengganti. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian dan
pengembalian Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 52 (1) Dalam
proses Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah, Penyerah
Piutang dapat menarik Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
untuk keperluan restrukturisasi utang Debitor. Usul penarikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lambat 6
(enam) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang. Ketentuan mengenai
tata cara penarikan Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 53 (1)
Dalam hal Piutang Negara dan Piutang Daerah telah lunas, Barang
Jaminan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang telah terjual atau
ditebus, atau tidak lagi menjadi jaminan utang, a. Pejabat
Pengurusan Piutang wajib mencabut pemblokiran dan/atau mengangkat
sita serta memberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan b.
Penyerah Piutang wajib mengajukan permohonan roya kepada instansi
yang berwenang dalam hal terdapat pembebanan atas Barang Jaminan
milik Debitor dan/atau Penjamin Utang.
(2)
(3)
- 20 (2) Dalam hal Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
dikembalikan kepada Penyerah Piutang atau telah ditarik oleh
Penyerah Piutang, dan telah diajukan pemblokiran dan/atau dilakukan
penyitaan, Pejabat Pengurusan Piutang wajib mengajukan pencabutan
pemblokiran dan/atau pengangkatan sita kepada instansi yang
berwenang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan
pemblokiran dan/atau pengangkatan sita Barang Jaminan dan/atau
harta kekayaan Debitor dan/atau Penjamin Utang yang telah terjual
atau ditebus, atau tidak lagi menjadi jaminan utang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat belas Piutang
Negara dan Piutang Daerah Lunas dan Selesai Pasal 54 (1) Pejabat
Pengurusan Piutang menerbitkan Surat Penetapan Piutang Negara dan
Piutang Daerah Lunas dalam hal Debitor dan/atau Penjamin Utang
telah melunasi utangnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penerbitan Surat Penetapan Piutang Negara dan Piutang Daerah Lunas
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 55 (1)
Pejabat Pengurusan Piutang menerbitkan Surat Penetapan Piutang
Negara dan Piutang Daerah Selesai dalam hal Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah telah dikembalikan atau ditarik oleh
Penyerah Piutang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penerbitan Surat Penetapan Piutang Negara dan Piutang Daerah
Selesai diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian
Kelima belas Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih Pasal 56 (1)
Pejabat Pengurusan Piutang menetapkan piutang sebagai Piutang
Sementara Belum Dapat Ditagih terhadap Piutang Negara atau Piutang
Daerah yang belum lunas, dalam hal:
(3)
(2)
(2)
- 21 a. Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan utang dan/atau tidak diketahui tempat
tinggal yang dikenal di Indonesia; dan b. Barang Jaminan tidak ada,
telah terjual, ditebus, atau tidak lagi mempunyai nilai ekonomis.
(2) Penetapan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
digunakan oleh Penyerah Piutang sebagai syarat dalam proses
penghapusan piutang. Dalam hal Piutang Negara dan Piutang Daerah
telah dinyatakan sebagai Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih dan
telah dihapuskan secara mutlak oleh pihak yang berwenang, Pejabat
Pengurusan Piutang menyatakan piutang sebagai piutang yang telah
dihapuskan secara mutlak. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penetapan piutang sebagai Piutang Negara dan Piutang Daerah Belum
Dapat Ditagih diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(3)
(4)
Bagian Keenam Belas Penyetoran Hasil Pengurusan Piutang Negara
dan Piutang Daerah Pasal 57 (1) (2) (3) Hasil Pengurusan Piutang
Negara disetor ke rekening kas umum negara. Hasil Pengurusan
Piutang Daerah disetor ke rekening kas umum daerah. Hasil
Pengurusan Piutang Negara atau Piutang Daerah yang penyaluran
dananya melalui perbankan atau lembaga keuangan bukan Perbankan
dengan pola penyaluran atau pembagian risiko, disetor ke rekening
sesuai dengan perjanjian penyaluran dana. Hasil Pengurusan Piutang
badan hukum, disetor ke rekening badan hukum yang bersangkutan.
Penyetoran hasil pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bagian Ketujuh belas Pelaporan Pasal 58 (1)
Pejabat Pengurusan Piutang melaporkan secara tertulis pelaksanaan
Pengurusan Piutang Negara atau Piutang Daerah kepada Menteri
Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
(4) (5)
- 22 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V HAK MENDAHULU Pasal 59 (1) Piutang Negara dan Piutang
Daerah yang diurus berdasarkan Undang-Undang ini memiliki hak
mendahulu atas piutang yang mempunyai hak mendahulu lainnya. Hak
mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi piutang
pokok, bunga, denda, biaya lainnya, dan Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah. Dalam hal terdapat
lebih dari satu kreditor yang mempunyai hak mendahulu atas piutang
yang mempunyai hak mendahulu lainnya, masing-masing kreditor
dibayar secara proporsional atau berimbang sesuai dengan jumlah
piutang, yang pelaksanaanya dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(2)
(3)
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 60 Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku: 1. Piutang Negara, Piutang Daerah, piutang Badan
Usaha Milik Negara, dan piutang Badan Usaha Milik Daerah yang
sedang dalam proses pengurusan oleh Panitia Urusan Piutang Negara,
dilanjutkan pengurusannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini; dan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang
baru berdasarkan Undang-Undang ini.
2.
- 23 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitya Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2104) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 62 Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan
di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada
tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ..... NOMOR ...
- 24 RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG
DAERAH
I.
UMUM Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan
bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara. Salah satu bentuk
hak negara adalah Piutang Negara dan Piutang Daerah yang perlu
dikelola secara optimal dalam rangka pengamanan keuangan negara
sehingga dapat dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.
Dalam upaya optimalisasi hasil Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah, perlu ditempuh cara Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel sehingga hak negara diterima dan terpenuhi dengan
memperhatikan hak asasi manusia, asas keadilan, dan kepastian
hukum. Cara pengurusan yang lebih efektif dan efisien dimaksud
perlu didasarkan pada undangundang yang dapat secara paripurna
menjadi landasan hukum dalam pengelolaan dan Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah. Selama ini, landasan hukum Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah adalah Undang-Undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara.
Undang-Undang tersebut memuat materi yang sangat ringkas dan sudah
tidak dapat mengakomodasi berbagai perkembangan yang terjadi pada
sistem kelembagaan negara, pengelolaan keuangan pemerintahan Negara
Republik Indonesia, dan perubahan paradigma di dalam masyarakat
yang menuntut adanya perhatian atas hak asasi manusia, asas
keadilan, kepastian hukum, pemulihan hak negara, serta asas
transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaran negara. Oleh
karena itu, Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 perlu diganti
dengan undang-undang baru yang mengatur kembali ketentuan di bidang
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang secara paripurna
dapat memberikan landasan hukum dalam Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah dan dapat menjawab berbagai perkembangan yang
terjadi pada sistem kelembagaan negara, pengelolaan keuangan
pemerintahan Negara Republik Indonesia, dan perubahan paradigma di
dalam masyarakat. Ruang lingkup Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah dalam Undang-Undang ini meliputi pengurusan atas
piutang Pemerintah Pusat, pengurusan atas piutang Pemerintah
Daerah, piutang yang dananya berasal dari instansi Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah dan disalurkan melalui perbankan atau
lembaga keuangan bukan perbankan
- 25 dengan pola penyaluran atau pembagian risiko, dan piutang
badan hukum yang dibentuk oleh Negara atau Daerah selain Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Piutang Negara
dan Piutang Daerah yang diurus berdasarkan UndangUndang tentang
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah ini tidak termasuk: a.
Piutang Negara dan Piutang Daerah yang cara penyelesaiannya diatur
dalam undang-undang tersendiri; dan b. Piutang badan hukum yang
cara penyelesaiannya diatur dalam undang-undang pembentukan badan
hukum tersebut. Pengurusan piutang Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah tidak diatur dalam Undang-Undang ini
karena Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
menyelesaikan sendiri piutang macetnya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perseroan
terbatas, dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. Sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada
Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Sesuai dengan asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sebagian
kekuasaan Presiden di bidang pengelolaan Keuangan Negara diserahkan
kepada Gubernur, Bupati, atau Walikota selaku pengelola Keuangan
Daerah. Oleh karena itu, Gubernur, Bupati, atau Walikota memiliki
wewenang dan tanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban
daerah, termasuk penagihan piutang Pemerintah Daerah. Namun
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah dengan kewenangan
publik yang dilaksanakan antara lain melalui penagihan piutang
dengan Surat Paksa dilakukan oleh Menteri Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan yang memiliki wewenang dan tanggung
jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional.
Untuk kelancaran, efektifitas dan efisiensi tugas Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah, Menteri Keuangan berwenang
menunjuk Pejabat Pengurusan Piutang untuk melaksanakan kegiatan
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah. Proses Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah dimulai dari penyerahan
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah oleh Penyerah Piutang,
sampai dengan Piutang Negara dan Piutang Daerah tersebut
lunas/selesai. Oleh karena itu, Pejabat Pengurusan Piutang
dilengkapi dengan kewenangan yang diperlukan dalam melaksanakan
tugasnya yaitu Penerimaan, Penolakan, atau Pengembalian Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah, Penetapan Jumlah Piutang Negara
dan Piutang Daerah, Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan
Pencegahan atau izin bepergian ke luar wilayah Negara Republik
Indonesia, Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan,
Pemblokiran, Paksa Badan, Penjualan melalui Lelang, Penebusan
Barang Jaminan, Penjualan Tidak Melalui Lelang, Keringanan
Penyelesaian Utang, sampai dengan
- 26 Penetapan Piutang Negara dan Piutang Daerah lunas, selesai,
sementara belum dapat ditagih, atau telah dihapuskan secara mutlak.
Dalam Undang-Undang ini diatur bahwa Piutang Negara dan Piutang
Daerah memiliki hak mendahulu atas piutang yang mempunyai hak
mendahulu lainnya. Hal ini dimaksudkan agar memberikan landasan
yang kuat dalam Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
sehingga dapat mengamankan keuangan negara. II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Pengurusan Piutang
Negara meliputi tetapi tidak terbatas pada Piutang Negara Bukan
Pajak (PNBP) yang tertunggak, piutang bagian pemerintah atas laba
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tertunggak, piutang yang
bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri, rekening dana
investasi, dan rekening pembangunan daerah. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan pola penyaluran adalah penyaluran dana
oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga
pembiayaan bukan perbankan. Dalam pola penyaluran tersebut
pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.
Yang dimaksud dengan pola pembagian risiko adalah penyaluran dana
oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga
pembiayaan bukan perbankan dimana pemerintah dan perbankan atau
lembaga pembiayaan bukan perbankan berbagi risiko kerugian apabila
terjadi kemacetan. Huruf d Yang dimaksud dengan badan hukum antara
lain Lembaga Penjamin Ekspor Indonesia (LPEI) dan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Ayat (2) Huruf a Jenis piutang yang dikecualikan
karena cara penyelesaiannya diatur dalam undang-undang tersendiri
antara lain adalah Piutang Pajak, Piutang Kepabeanan dan Piutang
Cukai. Huruf b Cukup jelas.
- 27 Ayat (3) Penentuan macet suatu piutang memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan, misalnya: a. telah
terpenuhinya batas waktu maksimum pengenaan denda atas tunggakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); b. ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai kualitas piutang. Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan Penilai Internal
adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan yang
diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas,
wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n
Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas.
- 28 Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Ayat (2) Cukup
jelas. Pasal 5 Ayat (1) Setiap penyelenggara negara wajib mengelola
piutang instansi yang dipimpinnya secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab. Ayat (2) Jenis kegiatan penatausahaan antara
lain kegiatan akuntansi (misalnya penyisihan piutang tidak
tertagih/pencadangan penghapusan piutang). Ayat (3) Pada tahap
pertama, penagihan piutang macet diupayakan oleh Kementerian
Negara/Lembaga. Penyelesaian Piutang Negara hanya dilakukan oleh
satu institusi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Setiap
Kepala Daerah wajib mengelola piutang instansi yang dipimpinnya
secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Ayat (2) Jenis kegiatan
penatausahaan antara lain kegiatan akuntansi (misalnya penyisihan
piutang tidak tertagih/pencadangan penghapusan piutang). Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8
Ayat (1) Yang dimaksud piutang dalam ketentuan ini tidak termasuk
Piutang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ayat (2)
Cukup jelas.
- 29 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup
jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Jumlah piutang
yang tercantum dalam Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang
Negara dan Piutang Daerah termasuk Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah. Huruf e Cukup jelas. Pasal 11
Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putusan hakim perdata yang telah berkekuatan hukum
tetap. Kekuatan Surat Paksa diatur demikian untuk memastikan bahwa
pemulihan hak negara dilakukan dengan mengedepankan sifat sovereign
status. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.
- 30 Pasal 15 Ayat (1) Juru Sita Piutang membacakan isi Surat
Paksa dihadapan Debitor/Penjamin Utang sebelum menyerahkan salinan
Surat Paksa. Ayat (2) Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang
telah dewasa dan cakap menurut hukum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat
(4) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal
18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyitaan
dilakukan beralih/dialihkan. agar objek yang disita tidak
Pasal 19 Ayat (1) Pada tahap awal, penyitaan dilakukan terhadap
harta kekayaan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang yang
diserahkan sebagai jaminan utang. Ayat (2) Penyitaan dilakukan
terhadap harta kekayaan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang yang
tidak diserahkan sebagai jaminan utang, bila tidak terdapat Barang
Jaminan atau nilai Barang Jaminan yang telah disita tidak cukup
melunasi sisa utang. Ayat (3) Surat perintah penyitaan terhadap
harta kekayaan yang tersimpan di bank dan harta kekayaan yang
berupa surat berharga atau efek di bidang pasar modal diterbitkan
setelah dilaksanakan pemblokiran.
- 31 Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan saksi adalah orang
yang telah dewasa dan cakap menurut hukum. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1)
Pengamanan merupakan tindakan untuk mencegah Debitor dan/atau
Penjamin Utang mengalihkan harta kekayaan kepada pihak lain.
Misalnya pemblokiran tanah di Kantor Pertanahan, dan pemblokiran
kendaraan bermotor di Kepolisian Republik Indonesia. Ayat (2)
Permintaan keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dilakukan
setelah mendapat izin dari Gubernur Bank Indonesia. Ayat (3)
Permintaan keterangan mengenai rekening efek nasabah dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Pimpinan Otoritas Pasar Modal.
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pemblokiran dilakukan terhadap harta
kekayaan milik Debitor dan/atau Penjamin Utang, ditujukan kepada
pejabat yang berwenang dan dimaksudkan agar objek yang diblokir
tidak beralih/dialihkan haknya. Pasal 25 Cukup jelas.
- 32 Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Nilai limit atas
barang yang dilelang merupakan nilai terendah yang disetujui untuk
melepas barang yang dijual dalam lelang. Ayat (3) Nilai likuidasi
merupakan nilai barang yang dijual melalui lelang setelah
memperhitungkan risiko penjualannya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27
Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30
Cukup jelas. Pasal 31 Panggilan kepada Debitor dan/atau Penjamin
Utang dilakukan oleh Pejabat Pengurusan Piutang antara lain untuk
meminta penjelasan, informasi, dan/atau kelengkapan dokumen dalam
rangka menyelesaikan utang. Pasal 32 Ayat (1) Pencegahan dilakukan
antara lain apabila Debitor dan/atau Penjamin Utang tidak beritikad
baik untuk menyelesaikan utang. Ayat (2) Pemegang saham tertentu
adalah pemegang saham yang melakukan campur tangan dalam
pengambilan keputusan perusahaan yang melebihi kedudukannya sebagai
pemegang saham. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
- 33 Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup
jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemegang saham tertentu adalah pemegang
saham yang melakukan campur tangan dalam pengambilan keputusan
perusahaan yang melebihi kedudukannya sebagai pemegang saham. Pasal
38 Ayat (1) Pelaksanaan Paksa Badan dilakukan secara seketika yaitu
pemberitahuan surat perintah Paksa Badan kepada Debitor dan/atau
Penjamin Utang dilakukan bersamaan dengan menempatkannya dalam
Tempat Paksa Badan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bila selama dikenakan Paksa
Badan, Debitor dan/atau Penjamin Utang telah membayar paling
sedikit 50% (lima puluh persen) dari sisa utang dan mengajukan
rencana penyelesaian secara jelas, Debitor dan/atau Penjamin Utang
tersebut dapat dibebaskan dari Tempat Paksa Badan dengan
mempertimbangkan antara lain itikad baik, kemungkinan terlunasinya
sisa utang sesuai rencana yang diajukan Debitor dan/atau Penjamin
Utang, dan/atau kondisi kesehatan Debitor dan/atau Penjamin Utang.
Ayat (3) Cukup jelas.
- 34 Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup
jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud pihak lainnya antara lain
instansi pemerintah dan pihak yang terafiliasi dengan Debitor
dan/atau Penjamin Utang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang
dimaksud dengan saksi adalah orang yang telah dewasa dan cakap
menurut hukum. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 45
Keringanan diberikan apabila berdasarkan hasil analisis kelayakan,
hasil penagihan Piutang Negara dan Piutang Daerah akan lebih
optimal atau lebih cepat diperoleh dibandingkan dengan hasil
eksekusi Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan. Pasal 46 Cukup
jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup
jelas.
- 35 Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat
(2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kriteria
Penyerah Piutang yang bersikap tidak kooperatif antara lain: a.
tidak bersedia menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan berikut
pengikatannya kepada Pejabat Pengurusan Piutang, setelah diminta
secara tertulis; atau b. tidak menanggapi surat atau tidak bersedia
memenuhi permintaan tertulis dari Pejabat Pengurusan Piutang. Huruf
d Cukup jelas. Huruf e Tuntutan ganti kerugian negara/daerah yang
dimaksud adalah yang telah dicatat di dalam pembukuan Penyerah
Piutang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat
(1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pembebanan atas Barang Jaminan
atau harta kekayaan Debitor dan/atau Penjamin Utang antara lain
adalah hipotik, hak tanggungan, dan fidusia. Ayat (2) Dengan
dilakukan pengembalian Pengurusan Piutang Negara dan Piutang
Daerah, Pejabat Pengurusan Piutang tidak berwenang melakukan
pengurusan, sehingga pemblokiran dan/atau penyitaan yang telah
dilakukan harus dicabut. Sedangkan roya tidak dilakukan oleh
Pejabat Pengurusan Piutang karena roya merupakan kewajiban Penyerah
Piutang.
- 36 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup
jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup
jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Biaya lainnya adalah
biaya-biaya lain yang diatur dalam perjanjian atau yang sah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Selain Piutang
Negara dan Piutang Daerah, piutang yang mempunyai hak mendahulu
atas piutang yang mempunyai hak mendahulu lainnya antara lain
piutang pajak. Pasal 60 Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah yang sudah menyerahkan pengurusan piutangnya kepada
Panitia Urusan Piutang Negara merupakan Penyerah Piutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pengurusan yang telah
dilaksanakan oleh Panitia Urusan Piutang Negara tetap berlaku dan
dilanjutkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 61 Cukup
jelas. Pasal 62 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR...............
- 37 -
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
- 38 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pembangunan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan negara dimaksudkan guna mewujudkan tujuan bernegara
sebagaimana yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan
pembangunan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban negara wajib dikelola
dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan
aturan pokok yang ditetapkan dalam UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai landasan hukum pengelolaan
keuangan negara, telah diundangkan: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang
menjabarkan aturan pokok dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam asas-asas umum pengelolaan
keuangan negara; dan 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang mengatur kaidah-kaidah hukum
administrasi keuangan negara dalam rangka pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara yang ditetapkan dalam APBN dan
APBD. Salah satu jenis hak negara yang dapat dinilai dengan uang
adalah piutang. Karena merupakan bagian dari hak negara, piutang
juga harus dikelola sebagai bagian integral dalam pengelolaan
keuangan negara. Dua undang-undang yang tersebut di atas telah
memuat aturan mengenai tugas Pemerintah (baik Pusat maupun Daerah)
untuk mengelola dan kewajiban Pemerintah (baik Pusat maupun Daerah)
untuk menyelesaikan piutang (Piutang Negara atau Piutang Daerah).1
Pengelolaan piutang selain ditujukan sebagai upaya penatausahaan,
juga ditujukan untuk pemulihan hak Negara berupa penerimaan yang
dijadikan sebagai salah satu sumber pemenuhan dana pembangunan.
Pemikiran ini didasarkan juga pada ketentuan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
yang mengatur bahwa setiap pejabat yang diberi kuasa untuk
mengelola pendapatan, belanja, dan kekayaan negara/daerah wajib
mengusahakan agar setiap Piutang Negara dan Piutang Daerah
diselesaikan1
Lihat Pasal 9 huruf e dan Pasal 10 ayat (3) huruf e
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta
Pasal 7 ayat (2) huruf l dan huruf n, dan Pasal 9 ayat (2) huruf m
dan huruf n Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Lihat juga Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
- 39 seluruhnya dan tepat waktu. Mengingat arti penting Piutang
Negara dan Piutang Daerah bagi pembangunan, maka piutang tersebut
harus dikelola dengan baik. Namun demikian, baik UndangUndang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara belum memuat aturan dasar
mengenai cara pengelolaan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang
dapat menunjang pencapaian tujuan pengelolaan piutang dimaksud di
atas. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran atau bahkan macet,
Piutang Negara dan Piutang Daerah perlu segera diurus agar dapat
diselesaikan dengan baik. Apabila piutang tersebut tidak segera
diurus, maka penerimaan salah satu sumber dana pembangunan proses
akan terganggu, sehingga pada gilirannya mencegah akan dapat
mengganggu pembangunan nasional. Untuk terganggunya
penerimaan dana pembangunan dari hasil penyelesaian Piutang
Negara dan Piutang Daerah, perlu ditempuh cara Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah yang efektif dan efisien dengan
memperhatikan hak asasi manusia, asas keadilan, kepastian hukum,
pemulihan hak negara, asas transparansi, dan asas akuntabilitas
dalam setiap tahap pengurusan. Cara pengurusan piutang yang dapat
memenuhi kebutuhan efektifitas dan efisiensi adalah cara penagihan
piutang dengan surat paksa. Pemikiran bahwa piutang yang telah
dikelola sesuai ketentuan namun tidak dapat diselesaikan seluruhnya
dan tepat waktu, kemudian wajib diupayakan penyelesaiannya dengan
cara yang efektif dan efisien berdasarkan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan, telah dituangkan dalam Pasal 34 ayat (2)
UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut; Piutang Negara/Daerah
yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu,
diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selama ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam pengurusan piutang negara dan piutang daerah adalah
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN).2
Berdasarkan
undang-undang tersebut, PUPN dibentuk oleh Presiden dan bersifat
interkementerian yang keanggotaannya terdiri dari beberapa unsur,
yaitu pejabat Kementerian Keuangan, pejabat-pejabat Angkatan Perang
dan pejabat-pejabat Pemerintah lainnya2
Semula, Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104). Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Penetapan Semua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1
Januari 1961 Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2124).
- 40 seperti Kejaksaan dan Bank Indonesia. 3 PUPN
bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Sesuai ketentuan di dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indone sia, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, diatur
bahwa: Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara
tegas diatur dalam Undang-undang ini. maka Bank Indonesia tidak
menjadi bagian dari Pemerintah, sehingga tidak lagi menjadi Anggota
PUPN Pusat.
Kewenangan pengurusan piutang negara ada pada PUPN. Namun dalam
operasionalnya, pengurusan piutang negara tersebut dilakukan PUPN
bersama -sama dengan suatu institusi yang berada dan bertanggung
jawab langsung kepada Menteri Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara. 4 Dalam perkembangan hukum, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara diatur
bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. Kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan
selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kekayaan negara
yang dipisahkan. Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas
pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan antara lain mempunyai tugas
melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan
dengan undang-undang. 5 Dalam hal hak negara tersebut tidak
dibayar, maka Menteri Keuangan mempunyai kewenangan untuk
melakukan
3
4
5
Dalam perkembangannya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 89
Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Panitia Urusan
Piutang Negara Pusat beranggotakan wakil dari Departemen Keuangan,
wakil dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan wakil dari
Kejaksaan Agung. Sementara itu, Panitia Urusan Piutang Negara
Cabang beranggotakan wakil dari Departemen Keuangan, wakil dari
Kepolisian Daerah, wakil dari Kejaksaan Tinggi, dan wakil dari
Pemerintah Daerah. Institusi ini berada di dalam struktur
Departemen Keuangan dan telah beberapa kali berubah nomenklatur.
Institusi tersebut pernah bernama Badan Urusan Piutang Negara
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara; kemudian
berubah menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991. Selanjutnya sebelum menjadi
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 66 Tahun 2006 sebagaimana disebut saat ini, institusi
tersebut bernama Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000. Lihat Pasal 6
dan Pasal 8 huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
- 41 penagihan piutang negara tersebut. 6 Oleh karena itu, lebih
tepat kiranya pengurusan piutang negara berada pada Menteri
Keuangan, tidak lagi pada suatu lembaga yang terpisah.
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara memberikan kewenangan kepada PUPN untuk melakukan
pengurusan piutang Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah
Daerah, Lembaga-lembaga Negara, dan Badan-badan yang secara
langsung maupun tidak langsung dikuasai negara (seperti Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta
anak-anak perusahaan BUMN/BUMD). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960, seluruh institusi tersebut wajib menyerahkan
pengurusan piutang macetnya kepada PUPN. Memperhatikan hal-hal
tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, sebagai
bagian dari sistem hukum nasional, kiranya perlu disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat/hukum yang terjadi saat ini demi ketertiban
hukum dan kepastian hukum dengan tetap memuat semangat pengurusan
secara singkat dan efektif dalam rangka mengamankan dan
menyelamatkan keuangan negara demi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Penyesuaian ini diperlukan agar ketertiban hukum dan
kepastian hukum terjamin sehingga tujuan yang ingin dicapai yakni
pengembalian piutang negara demi kepentingan keuangan negara dapat
terwujud secara maksimal. Hal-hal tersebut di atas
melatar-belakangi pemikiran bahwa pengelolaan dan pengurusan
piutang (Negara dan Daerah) perlu segera diatur dengan baik dan
secara khusus dalam suatu Undang-Undang tentang Pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah. 1. Landasan Filosofis Ide dasar
pengaturan mengenai pengurusan piutang negara dan piutang daerah
terdiri dari dua, yaitu pertama agar hak negara, yang berbentuk
piutang dan yang timbul sebagai akibat penyelenggaraan fungsi
pemerintahan negara, dapat dikelola secara integral dalam
pengelolaan keuangan negara. Ide kedua adalah agar keuangan negara
yang tertunggak pada debitor dapat diselamatkan dalam waktu yang
relatif singkat, efektif dan efisien dan dengan demikian
hasil-hasilnya pun dapat segera dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah diuraikan bahwa dalam
rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan
negara, pengelolaan keuangan negara perlu6
Lihat Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
- 42 diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar. Selain itu, pengelolaan keuangan negara
juga didasarkan pada asas-asas yang mencerminkan best practices
(penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan
negara, antara lain akuntabilitas berorientasi hasil,
profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang
bebas dan mandiri. Sebagai bagian integral dari Keuangan Negara,
Piutang Negara dan Piutang Daerah perlu dikelola sesuai asas-asas
pengelolaan Keuangan Negara. Tata cara pengelolaan Piutang Negara
dan Piutang Daerah harus dapat memastikan bahwa asas-asas
pengelolaan tersebut benar-benar menjadi prinsip dalam pengelolaan
Piutang Negara dan Piutang Daerah. Penerapan asas-asas tersebut
bersama dengan asas tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepastian hukum, diharapkan dapat
mengarahkan pengelolaan piutang ke tingkat ketertagihan Piutang
Negara dan Piutang Daerah yang optimal. Oleh karena itu, tata cara
pengelolaan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang menerapkan asas
-asas tersebut di atas perlu dituangkan dalam suatu undang -undang.
Bila telah dikelola secara tertib dan optimal, Piutang Negara dan
Piutang Daerah tetap tidak terselesaikan, maka piutang-piutang
tersebut perlu diurus dan ditagih dengan cara yang cepat dan tertib
agar piutang tersebut dapat diselamatkan dalam waktu yang relatif
singkat, efektif dan efisien dan dengan demikian hasil-hasilnya pun
dapat segera dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional.
Agar semuanya ini dapat berjalan dan terlaksana dengan baik, maka
kepada lembaga yang mengurus piutang negara dan piutang daerah ini
perlu diberikan kewenangankewenangan yang khusus dan bersifat
mandiri. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hambatan-hambatan
yang mungkin timbul, terutama untuk menghadapi cara-cara yang tidak
proporsional dari debitor-debitor nakal.7 Selanjutnya, pengurusan
piutang negara dan piutang daerah ini harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang karena: 1. ketentuan mengenai pengurusan piutang
negara dan piutang daerah tersebut bersifat khusus; 2. dalam
pengurusan piutang negara dan piutang daerah itu terdapat kekuasaan
atau kewenangan-kewenangan khusus yang diberikan kepada lembaga
yang mengurus piutang negara dan piutang daerah tersebut, dan7
Debitor nakal pada umumnya dapat digambarkan sebagai orang yang
telah nyata-nyata mempunyai utang kepada negara dan mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya tersebut, tetapi yang
bersangkutan dengan segala cara berusaha untuk membebaskan
kewajibannya tersebut atau setidak-tidaknya berusaha untuk
mengulurulur waktu penyelesaiannya.
- 43 3. UUD 1945 telah memberikan kemungkinan untuk mengatur hal
-hal yang khusus tersebut dalam bentuk undang-undang.8 Sesuai
dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara, sebagian kekuasaan Presiden di bidang pengelolaan keuangan
negara diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola
keuangan daerah. Oleh karena itu, Gubernur/Bupati/Walikota memiliki
wewenang dan tanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban
daerah, termasuk juga pengelolaan dan penagihan piutang Daerah.
Namun demikian, kewenangan untuk melakukan pengurusan piutang perlu
diatur untuk tidak disebar ke masing-masing Pemerintah Daerah,
mengingat dalam pengurusan piutang yang efektif dan efisien
memerlukan adanya kewenangan penagihan piutang dengan surat paksa,
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum paksa badan, kewenangan
untuk melakukan pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik
Indonesia, dan kewenangan lainnya. 9 Bila tidak tersebar ke banyak
pihak, pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut akan lebih
efisien dan terselenggara dengan kemudahan kontrol atas risiko
penyalahgunaan. Oleh karena itu, setelah dilakukan pengelolaan dan
penagihan (tanpa surat paksa), Pemerintah Daerah menyerahkan
pengurusan piutangnya kepada Menteri Keuangan untuk diurus
berdasarkan ketentuan undang-undang ini.10 Dengan pemikiran di
atas, judul yang diusulkan dalam rancangan undang-undang ini adalah
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah. Dengan demikian,
terdapat perbedaan yang tegas antara judul yang diusulkan dengan
undang-undang yang digantikannya, yaitu Undang-Undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 yang berjudul Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam
undang-undang yang baru ini, perumusannya lebih dititikberatkan
pada pengaturan suatu sistem atau proses pengurusan piutang negara
dan piutang daerah, dan bukan kepada lembaga yang mengurus piutang
negara itu. Pengurusan piutang negara dan pi utang daerah ini
sebagaimana halnya dengan pengurusan piutang negara berdasarkan
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dilakukan sepanjang piutang
negara tersebut telah macet dan diserahkan untuk diurus.
Pertimbangan lain mengenai judul yang diusulkan dalam undang-undang
yang baru tersebut adalah karena Pasal 23C UUD 1945, yang menjadi
sumber hukum8 9
10
Lihat Pasal 23C UUD 1945. Kewenangan penagihan piutang dengan
surat paksa, paksa badan, dan pencegahan bepergian ke luar wilayah
Republik Indonesia merupakan kewenangan publik yang harus diatur
dalam undang-undang. Dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian, diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab pencegahan
yang menyangkut urusan piutang negara dilakukan oleh Menteri
Keuangan (vide Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2009). Piutang Daerah yang diupayakan
penagihannya melalui pengurusan oleh Menteri Keuangan tetap
merupakan milik Pemerintah Daerah, sehingga hasil penagihan
diserahkan keembali kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
- 44 undang-undang yang baru ini, tidak mengatur masalah
kelembagaan suatu institusi tetapi lebih bersifat pengaturan suatu
sistem. 2. Landasan Yuridis Pengaturan mengenai materi dalam suatu
peraturan perundang-undangan, secara prinsip dan mutlak harus
mengikuti syarat atau kaedah tata urutan (hierarki) peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu antara lain bahwa peraturan
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
tingkatannya lebih tinggi. 11 Demikian pula halnya dengan
pengaturan pengurusan piutang negara dan piutang daerah yang akan
dituangkan dalam bentuk undang-undang, tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945. Bahkan
UndangUndang tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
ini harus mengacu kepada UUD 1945 sebagai hukum dasarnya, karena
pada hakekatnya setiap undang-undang yang dibuat adalah merupakan
penjabaran atau pelaksanaan UUD 1945. Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah pada hakekatnya diarahkan pada penyelamatan keuangan
negara yang kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber
dana bagi pembangunan nasional. Dengan demikian, apabila dikaitkan
dengan UUD 1945, Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah yang
identik dengan upaya penyelamatan keuangan negara tersebut sangat
erat kaitannya dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 23C UUD
1945 yang berbunyi Hal -hal lain mengenai keuangan negara diatur
dengan undang-undang. Sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 23C UUD
1945 tersebut, telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Di dalam Pasal 2 undang-undang tersebut, telah secara
spesifik diatur bahwa Keuangan Negara meliputi juga piutang. Dengan
demikian, pengaturan mengenai pengelolaan dan pengurusan piutang
tidak bertentangan dengan, dan bahkan merupakan penjabaran atas,
ketentuan Pasal 23C UUD 1945. Piutang Negara dan Piutang Daerah
dikelola dan dipergunakan oleh negara untuk kepentingan pembangunan
nasional dalam berbagai bentuk kegiatan yang dilakukannya. Selain
itu, kalau diperhatikan bunyi Pasal 23C UUD 1945, maka akan
diketahui dan disadari bahwa sebenarnya pasal ini tidak bersifat
limitatif. Artinya, pasal tersebut tidak menyebutkan materi-materi
apa saja yang berkaitan dengan masalah keuangan negara yang harus
diatur dengan undang-undang, kecuali pasal tersebut hanya
mengatakan Hal-hal lain mengenai keuangan negara selanjutnya diatur
dengan undang-undang. Dengan kata lain, apabila terdapat
materi-materi yang dianggap substansial dan terdapat kaitan yang
erat dengan masalah keuangan
11
Periksa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (vide Pasal 7 berikut penjelasannya);
juga Soehino, Hukum Tatanegara, Tehnik Perundang-undangan, Liberty,
Yogyakarta,1981, hlm. 1.
- 45 negara, maka materi tersebut dapat diatur dengan suatu
undang-undang.12 Dari uraian di atas, kiranya dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Piutang Negara dan Piutang
Daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keuangan
negara. Kedua, pengaturan mengenai Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah merupakan salah satu cara bagaimana rakyat atau
bangsa Indonesia ini mengatur hidupnya, terutama dalam kaitannya
dengan upaya menyelamatkan keuangan negara. 13 Ketiga, sebagai
perwujudan dan konsekuensi logis dari cara mengatur hidup tadi,
dalam hal ini cara bagaimana mengurus Piutang Negara dan Piutang
Daerah untuk menyelamatkan keuangan negara, perlu disusun
aturanaturan atau ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang.14 3. Landasan Sosiologis Dalam masyarakat di
Indonesia masih terdapat nilai-nilai yang hidup dan diyakini sejak
dahulu sebagai suatu yang baik. Dalam hubungan antar anggota
masyarakat dapat terjadi utang-piutang diantara mereka dan diyakini
bahwa utang harus dibayar. Bagaimanapun caranya, seorang berutang
akan berusaha agar utangnya dibayar lunas. Bahkan sekalipun dia
sudah meninggal, ahli waris akan membayar lunas utang tersebut.
Selain karena perjanjian utang-piutang, utang pun dapat timbul
karena suatu peraturan peraturan perundang-undangan, misalnya pajak
atau tuntutan ganti rugi. Utang ini pun harus dibayar. Dalam
kehidupan bernegara, keuangan negara memegang peranan yang penting
menjalankan pemerintahan untuk mensejahterakan rakyat. Piutang
Negara dan Piutang Daerah merupakan salah satu unsur dalam keuangan
negara yang harus dikelola dengan baik agar tidak menggangu
kestabilan keuangan negara. Piutang Negara dan Piutang Daerah yang
macet akan mengganggu keuangan negara dan pada gilirannya akan
mengganggu pembangunan untuk masyarakat. Oleh karena itu, upaya
pemulihan hak negara harus dapat dilakukan. Hal ini juga sejalan
dengan nilai yang diyakini dalam masyarakat bahwa utang harus
dibayar.
B. IDENTIFIKASI MASALAH PUPN yang dibentuk berdasarkan Undang
-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bertugas untuk mengurus piutang
negara yang diserahkan kepadanya. Agar
12
13
Soehino dalam bukunya Hukum Tatanegara, Tehnik
Perundang-undangan, hlm.. 33-38, bahkan mengatakan bahwa penyebutan
oleh UUD 1945 tentang materi-materi yang harus diatur dengan
undang-undang tidak bersifat limitatif. Lihat penjelasan Pasal 23
UUD 1945, yang berbunyi: "Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan
hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan
oleh rakyat itu sendiri. denqan perantaraan dewan perwakilannya.
Pasal 23 ayat (4) UUD 1945.
14
- 46 penagihan piutang tersebut dapat dilakukan secara singkat
dan efektif, PUPN melakukan penagihan dengan surat paksa
berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960. Cara penagihan ini dilakukan untuk mengamankan dan
menyelamatkan keuangan negara terhadap tindakan debitor nakal yang
merugikan negara. Penagihan ini relatif singkat dan efektif
dibandingkan apabila ditempuh dengan prosedur gugatan di
pengadilan. Dalam kurun setelah tahun 1960 hingga saat ini banyak
terdapat perubahan dalam masyarakat termasuk dalam perkembangan
hukum. Berdasarkan U ndangUndang Nomor 49 Prp. Tahun 1960,
pengurusan piutang negara oleh PUPN dilakukan terhadap piutang
negara yang diserahkan oleh instansi-instansi pemerintah, misalnya
dari Departemen Kesehatan, Departemen Kehutanan, Departemen Luar
Negeri, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, atau dari
BUMN/BUMD baik perbankan maupun non perbankan. Namun, saat ini
penyelesaian piutang macet BUMN/BUMD memerlukan landasan hukum yang
memadai guna penyelesaian secara cepat untuk menjaga kesehatan
keuangan BUMN/BUMD tersebut berdasarkan mekanisme korporasi dan
ketentuan terkait. Untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam
rangka pengurusan Piutang Negara, Piutang Daerah dan piutang
BUMN/BUMD, khususnya mengenai kewenangan BUMN/BUMD dalam
menyelesaikan piutang macetnya, perlu dilakukan pengaturan kembali
ketentuan mengenai pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
yang ruang lingkupnya tidak mencakup pengurusan piutang BUMN/BUMD.
Dengan pengaturan kembali ketentuan yang selama ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara, akan memberikan keleluasaan bagi BUMN/BUMD untuk
menyelesaikan sendiri piutang macetnya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perseroan
terbatas, di bidang BUMN/BUMD, dan ketentuan perundang-undangan
terkait lainnya. Dengan demikian, diharapkan BUMN/BUMD memiliki
level of playing field yang sama dalam menyelesaikan piutangnya
dengan badan usaha swasta. Dengan adanya perubahan dan perkembangan
paradigma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
maka pengaturan-pengaturan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor
49 Prp. Tahun 1960 perlu dilakukan penyesuaian atau penyempurnaan
agar dapat diperoleh landasan hukum yang kuat dalam rangka
pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN Pada awalnya naskah akademik ini dibuat
pada Tahun Anggaran 1994/1995 oleh Tim Penyusun Naskah Akademis
Rancangan Undang-Undang Pengurusan
- 47 Piutang Negara (Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara) dengan anggota berasal
dari Departemen Keuangan, Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung,
dan Bank Indonesia. Naskah akademik ini beberapa kali
disempurnakan, terakhir oleh Panitia Antar Departemen Penyusunan
Rancangan Undang-Undang Tentang Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah pada tahun 2009. Naskah akademik ini disusun dengan
tujuan untuk memberikan gambaran pokok-pokok pikiran mengenai
pentingnya pengaturan pengurusan piutang negara dalam bentuk
undang-undang yang sekaligus merupakan penyempurnaan dari ketentuan
pengurusan piutang negara dan piutang daerah yang berlaku selama
ini, yaitu Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara. Naskah akademik ini dapat berguna sebagai
bahan masukan atau acuan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang
tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
D. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam
menyusun naskah akademik ini adalah: a. Melakukan inventarisasi dan
pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
terkait dengan pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah guna
menghasilkan pokok-pokok pikiran dalam menyusun Rancangan
UndangUndang tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah.
b. Melakukan studi kepustakaan dengan mempelajari serta menelaah
literaturliteratur hasil kajian atau riset mengenai pengurusan
piutang negara dan piutang daerah. c. Menyelenggarakan diskusi
mengenai hasil kajian dengan mengundang narasumber, yang
selanjutnya dituangkan dalam naskah akademik ini.
- 48 BAB II ASAS-ASAS DALAM PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN
PIUTANG DAERAH
Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan Keuangan
Negara dan dalam rangka mendukung terwujudnya tata pemerintahan
yang baik dalam penyelenggaraan negara, pengurusan Piutang Negara
dan Piutang Daerah perlu diselenggarakan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, transparan dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepastian
hukum. Asas kepastian hukum dimaksudkan bahwa Piutang Negara dan
Piutang Daerah yang diurus harus pasti menurut hukum mengenai ada
dan besar piutang negara dan piutang daerah. Piutang Negara dan
Piutang Daerah yang diurus harus dapat dibuktikan ada, yaitu
terjadinya utang kepada negara baik karena perjanjian, peraturan
perundang-undangan, atau sebab lain. Selain itu, besarnya jumlah
Piutang Negara dan Piutang Daerah yang diurus juga harus pasti,
tidak dipersoalkan oleh para pihak. Bukti besarnya piutang negara
dan piutang daerah, misalnya, dapat dibuktikan dari rekening koran
atau penetapan/keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
misalnya besarnya tuntutan ganti rugi atau denda karena
keterlambatan membayar kewajiban pada negara. Kepastian hukum ini
penting untuk menjamin bahwa apabila debitor dan/atau penjamin
utang tidak menyelesaikan utangnya, lembaga yang mengurus Piutang
Negara dan Piutang Daerah dapat mengeksekusi/melaksanakan
kewenangan yang diberikan undang-undang ini untuk memaksa debitor
dan/atau penjamin utang melunasi utangnya. Instrumen yang digunakan
adalah Surat Paksa yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Surat Paksa ini mempunyai kekuatan yang
sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap serta
tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi. Dengan demikian Surat Paksa
mempunyai kekuatan eksekutorial. Artinya, apabila isi Surat Paksa
tersebut tidak dipatuhi, maka penagihan dapat dilaksanakan dengan
melakukan penyitaan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan
debitor dan/atau penjamin utang guna dilakukan pelelangan yang
hasilnya digunakan sebagai pembayaran utang debitor dan/atau
penjamin utang pada negara. Demikian juga apabila Surat Paksa tidak
dipenuhi, maka dapat dilakukan paksa badan terhadap diri debitor
dan/atau penjamin utang. Kepastian hukum dalam pengurusan Piutang
Negara dan Piutang Daerah tercermin dari prosedur pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah yang dimuat dalam undang-undang
ini, mulai dari penyerahan pengurusan Piutang Negara dan
- 49 Piutang Daerah oleh penyerah piutang sampai dengan
pelelangan barang jaminan dan/atau harta kekayaan debitor dan/atau
penjamin utang. Hal ini menuntut agar pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah dilaksanakan taat pada peraturan dan transparan.
Selain itu, juga dimaksudkan agar pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah dilakukan dengan tertib, termasuk tertib
administrasi baik yang menyangkut berkas pengurusan maupun dokumen
barang jaminan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Pengurusan
piutang negara dan piutang daerah dimaksudkan untuk
pemulihan hak negara. Namun demikian, hak debitor tidak boleh
dilanggar. Debitor diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan
keringanan utang. Sepanjang permohonan tersebut berdasarkan
analisis yang dilakukan Pejabat lebih menguntungkan bagi pemulihan
hak negara, maka permohonan tersebut dapat dikabulkan. Selain itu,
kepada debitor dan/atau penjamin utang diberi kesempatan untuk
melakukan penjualan tidak melalui lelang atau penebusan atas barang
miliknya. keadilan. Demikian pula pengenaan paksa badan bukanlah
dimaksudkan untuk melanggar hak debitor dan/atau penjamin utang,
tetapi pengenaan paksa badan dilakukan terhadap debitor dan/atau
penjamin utang yang mampu memenuhi kewajibannya untuk membayar
kembali utangnya tapi tidak melakukannya. Perbuatan debitor
dan/atau penjamin utang yang demikian merupakan pelanggaran hak
asasi yang lebih besar dari pada paksa badan yang dilakukan
terhadap yang bersangkutan. 15 Dengan demikian, upaya eksekusi
dilakukan sebagai cara untuk memulihkan hak negara dengan
memperhatikan hak debitor. Hal ini memperhatikan
15
Bandingkan dengan konsideran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.
- 50 BAB III MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG DAERAH, DAN KETERKAITANNYA
DENGAN HUKUM POSITIF
Pengaturan
mengenai
pengurusan
Piutang
Negara
dan
Piutang
Daerah
diarahkan pada penggantian Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Namun demikian,
beberapa materi dalam UndangUndang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang
dianggap masih sangat relevan dengan kondisi saat ini tetap
diusulkan untuk dimasukkan dalam Rancangan UndangUndang ini.
Pokok-pokok pikiran yang menjadi muatan dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah
terdiri dari sepuluh bab, yaitu: Bab I Ketentuan Umum Dalam bab ini
dirumuskan istilah atau pengertian yang digunakan dalam Rancangan
Undang-Undang sebagai berikut: 1. Piutang Negara adalah jumlah uang
yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah
Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian,
akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau
akibat lainnya yang sah. 2. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang
wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah
Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian,
akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau
akibat lainnya yang sah. 3. Pengurusan Piutang Negara dan Piutang
Daerah adalah serangkaian tindakan agar Debitor melunasi atau
menyelesaikan utangnya yang macet dan diserahkan kepada Pejabat
Pengurusan Piutang. 4. Pejabat Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang Daerah yang selanjutnya disebut Pejabat Pengurusan Piutang
adalah Direktur Jenderal atau pejabat di lingkungan Kementerian
Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan fungsi
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah. 5. Debitor adalah
orang, badan hukum, atau badan usaha yang berutang kepada Penyerah
Piutang berdasarkan perjanjian atau peraturan perundang-undangan,
atau akibat lainnya yang sah.
- 51 6. Penyerah Piutang adalah Kementerian Negara, Lembaga
Pemerintahan Non Kementerian, Satuan Kerja Pengelola Keuangan
Daerah, Perbankan atau Lembaga Keuangan Non Perbankan yang
menyalurkan dana Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, dan
badan hukum yang dibentuk oleh Negara yang menyerahkan Pengurusan
Piutang Negara atau Piutang Daerah kepada Pejabat Pengurusan
Piutang. 7. Penjamin Utang adalah orang, badan hukum, atau badan
usaha yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh utang
Debitor. 8. Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non
Kementerian adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pengelolaan
keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga Pemerintahan Non
Kementerian yang bersangkutan. 9. Kepala Daerah adalah gubernur
bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau
walikota bagi daerah kota. 10. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai
tugas melaksanakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah. 11. Kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang bagi s