Page 1
Tugas Bahasa Agama II
RUKHSAH PUASA
Dosen Pengampu: DR. Nawari Ismail, M.Ag
Disusun oleh:
1. Ahmad Imam Hidayat 20140120189
2. Danang Widiyantoro 20140120192
3. Rifki Subarkah 20140120191
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014/2015
Page 2
Rukhsah Puasa | 1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Segala puji kepada Allah SWT tuhan semesta alam, yang senantiasa
melimpahkan rahmad dan rezeki-Nya. Shalawat beserta salam kepada baginda
Rasullah Salallahu ‘alaihi wa Salam sebagai suri tauladan terbaik yang
mencerahkan pola pikir manusia yang sebelumnya tenggelam dalam kejahillan.
Alhamdulillahhi rabbil ‘alamin, dengan ridha Allah SWT kami telah
menyelesaikan tulsan ini sebagai syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Agama
II. Tulisan ini membahas tentang ibadah puasa dan aturan tentang rukhsah dalam
ibadah puasa dengan judul “Rukhsah Puasa”.
Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat dan mmembantu mengurangi
ketidak tahuan atau keraguan tentang kemudahan atau keringanan yang diberikan
Allah SWT dalam melaksanakan ibadah puasa. Selain itu, diharapkan agar semua
persepsi tentang ibadah puasa itu menyulitkan berbagai pihak dapat dihapuskan.
Wassalamualaikum wr.wb.
Hormat Kami,
Penyusun
Page 3
Rukhsah Puasa | 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
A. IBADAH PUASA ............................................................................................ 3
1. Pengetian Puasa ..................................................................................... 3
2. Rukun dan Syarat Puasa ......................................................................... 4
3. Hal-Hal yang Membatalkan dan Mengurangi Nilai Puasa .................... 6
B. RUKHSAH PUASA ......................................................................................... 8
1. Musafir ................................................................................................... 8
2. Sakit .................................................................................................... 10
3. Haid dan nifas ..................................................................................... 10
4. Kakek dan nenek yang lanjut usia ....................................................... 11
5. Wanita hamil dan menyusui ................................................................. 12
C. KESIMPULAN .............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14
Page 4
Rukhsah Puasa | 3
A. IBADAH PUASA
Sangat penting rasanya membahas tentang apa itu ibadah puasa dan
bagaimana menyelenggarakannya sebelum menguak tentang keringanan-
keringanan atau rukhsah yang berlaku dalam penyelenggaraan ibadah puasa.
Berikut ini adalah pengertian puasa, syarat dan rukun untuk melaksanakan ibadah
puasa, dan hal-hal yang membatalkan dan mengurangi nilai puasa.
1. Pengertian Puasa
Ulama Fiqh mendefenisikan ibadah sebagai hal-hal yang dikerjakan untuk
mendapat ridha Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat. Ibadah
puasa merupakan salah satu dari ‘ibadah khashshah(ibadah khusus) atau ‘ibadah
mahdlah, yaitu ibadah yang ketentuannya telah dijelaskan dan diperincikan di
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Puasa yang dalam bahasa Arab disebut atau , secara bahasa
berarti (menahan diri dari sesuatu). Menahan diri ini bisa
terhadap apa saja, tergantung pada keinginan hati ingin berpuasa terhadap apa.
Sedangkan menurut istilah Syar’i puasa adalah:
"Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak terbitnya
fajar sampai dengan terbenamnya matahari yang disertai niat.”(Sabiq, Fiqh
as-Sunnah I, hlm 364).
Al-Sharfani dalam Subul al-Salam menambahkan bahwa puasa atau menahan diri
tersebut tidak hanya sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
tetapi juga menahan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa seperti
perbuatan dan perkataan sia-sia, dusta, jorok dan bertengkar, semacamnya, dari
sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari yang disertai niat.
Page 5
Rukhsah Puasa | 4
2. Rukun dan Syarat Puasa
Umumnya ulama fiqh berpendapat bahwa rukun puasa itu hanya satu, yaitu
menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak terbitnya fajar sampai
dengan terbenamnya matahari. Hal ini mereka dasarkan pada Al-Qur'an surat Al-
Baqarah: 187 yang memang hanya menunjuk hal tersebut.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(QS Al-Baqarah 187)
Sementara itu ulama Mazhab Syafi'i dan Maliki menambahkan satu rukun
lagi yaitu niat. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:, "Sesungguhnya setiap
amalan itu ada niatnya. Dan setiap sesuatu akan dibalas sesuai dengan niatnya."
(HR. Bukhari-Muslim). Menurutnya, kedudukan niat ini sama dengan kedudukan
Page 6
Rukhsah Puasa | 5
niat dalam ibadah-ibadah mahdhah lainnya (seperti shalat) yakni sangat penting
sehingga tdak sah suatu ibadah tanpa didahului dengan niat. Jadi niat menurut
pendapat ini menjadi salah satu rukun di samping menahan diri tersebut.
Adapun syarat puasa, ulama fiqh biasa membaginya menjadi dua, yakni
syarat wajib dan syarat sah puasa.Namun dalam prakteknya para ulama berbeda
pendapat tentang mana yang syarat wajib dan mana syarat sah puasa. Dalam hal ini
pembahasan dimulai dari syarat wajib puasa, yaitu:
a) Muslim, yaitu orang yang beragama Islam (Mazhab Hanafi). Dasarnya
adalah orang yang diseru dalam QS. Al-Baqarah/2:183 hanyalah orang
yang beriman atau muslim. Berdasarkan ayat ini maka orang Non-
muslim tidak wajib berpuasa, dan sekiranya dia tetap berpuasa maka
puasanya dianggap tidak sah. Karena alasan ini pula jumhur ulama
mengatakan bahwa keislaman seseorang termasuk syarat sah puasa.
b) Mumayyiz(orang yang sudah sempurna), yaitu orang yang sudah
dewasa(baligh) dan berakal(aqil). (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c) Kuat berpuasa(qadir). Secara syar'i, orang yang tidak kuat berpuasa
dalam pengertian ini adalah orang yang sedang sakit, bepergian jauh,
orang tua renta, ibu hamil atau baru melahirkan, dan semacamnya. Di
luar orang-orang tersebut masuk dalam kategori orang yang
mampu/kuat berpuasa.
Adapun syarat sah puasa, di samping dua syarat di atas yakni harus
beragama Islam dan tamyiz(baligh dan berakal), masih ditambah dua syarat sah lagi,
yaitu:
a) Bagi wanita, harus suci dari haid, nifas atau pun wiladah.
b) Dikerjakan pada hari yang dibolehkan berpuasa. Boleh berpuasa atau
mengganti puasa selain pada hari yang diharamkan berpuasa, seperti
pada dua hari raya Ied dan hari Tasyrik.
Orang yang sudah terkena kewajiban puasa dalam arti sudah memenuhi
syarat-syarat puasa dan dia sengaja tidak berpuasa atau membatalkan puasanya,
tanpa ada halangan syar'i, maka dia berdosa besar. Sekedar disebutkan bahwa ada
riwayat dari Abu Hurairah yang mengatakan: "Barangsiapa berbuka puasa di
Page 7
Rukhsah Puasa | 6
bulan Ramadhan tanpa udzur (halangan), dia tidak bisa mengganti puasanya
sepanjang masa meskipun dia sangat ingin berpuasa." (HDR. Tirmidzi, Abu Daud,
Ibn Majah).
3. Hal-Hal yang Membatalkan dan Mengurangi Nilai Puasa
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah:
a) Makan,dasarnya firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah: 187.
b) Minum, dasarnya juga firman Allah dalam QS. Al- Baqarah/2:187.
c) Hubungan seksual, dasarnya sama dengan di atas, yang membedakannya
adalah konsekwensi hukumnya yang lebih berat, yaitu bagi suami istri yang
berhubungan sex saat puasa Ramdhan maka ia harus membebaskan budak jika
punya, atau jika tidak punya, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau
jika tidak mampu, memberi makan fakir miskin sejumlah 60 orang, dan
mengganti puasanya. Adapun jika bermimpi disiang hari atau bangun
kesiangan padahal dia lupa mandi junub maka hal itu tidak membatalkan
puasa.
d) Muntah dengan sengaja. Jika tidak sengaja, tidak membatalkan puasa. Hal ini
didasarkan pada hadis:
"Barangsiapa yang muntah maka tidak ada kewajiban mengganti terhadapnya.
Namun barangsiapa muntah dengan sengaja maka hendaklah ia
menggantinya.'' (HR. Tirmizi, Abu Daud, Ibn Majah, dari Abu Hurairah)
e) Keluar darah haid dan nifas sebagai konsekwensi dari syarat sahnya puasa.
f) Gila saat sedang puasa.
Page 8
Rukhsah Puasa | 7
Sedangkan hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa adalah
mengerjakan hal-hal yang memang dibenci oleh Allah SWT, seperti bertengkar,
berkata jorok, berperilaku curang atau berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya
dan semacamnya. Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka
tidak ada perlunya bagi Allah (untuk memperhatikan) dalam ia meninggalkan
makan dan minumnya." (HR. Imam Bukhari, Tirmidzi)
"...Puasa itu benteng, (ian apabila waktu puasa maka janganlah salah seorang
kalian berkata kotor, jangan marah. Jika seseorang mencacinya atau
memasukinya, maka hendaklah ia katakan, "Sesungguhnya saya sedang
berpuasa." (HR. Imam yang Lima, dari Abu Hurairah)
Intinya, bila seluruh panca indra dan anggota badannya tidak ikut dipuasakan
terhadap hal-hal yang memang dibenci bahkan dilarang oleh Allah SWT maka
dapat mengurangi bahkan menghilangkan bobot puasanya, sehingga dia termasuk
orang yang merugi.
Page 9
Rukhsah Puasa | 8
B. RUKHSAH PUASA
Secara etimologi, rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan
kemurahan. Sedangkan kata rukhshah menurut terminologi adalah “sesuatu hukum
yang diatur syara’ karena ada satu udzur yang berat dan menyukarkan”
atau “hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf
pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan.”
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari
melakukan tuntutan hukum ’azimah(hukum yang disyariatkan Allah sejak semula
bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan
pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu, seperti ibadah shalat, puasa, zakat,
dan haji) dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam
mengerjakan sesuatu yang terlarang maupun meninggalkan sesuatu yang disuruh.
Namun dalam hal menggunakan hukum rukhshah bagi orang yang telah memenuhi
syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama Jumhur ulama
berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah itu tergantung kepada bentuk
udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Dengan demikian, menggunakan
hukum rukhshah dapat menjadi wajib atau sunah bahkan mubah.
Dalam ibadah puasa terdapat beberapa udzur atau penyebab berlakunya
hukum ruhkshah bagi mukallaf yang telah menerima kewajiban melaksanakan
ibadah puasa ramadhan, yaitu sebagai berikut:
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa
bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain.
Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
Page 10
Rukhsah Puasa | 9
bagimu” [Al-Baqarah : 185].
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia banyak melakukan
safar- maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” [Hadits Riwayat
Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah melakukan
safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan,
orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela
yang berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang
afdhal, namun mungkin kita bisa menyatakan bahwa yang afdhal adalah
berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai
didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang
melakukan maksiat” [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari
Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan yang artinya: “Sebagaimana Allah menyukai
diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan” [Hadits Riwayat Ibnu Hibban
364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas
dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada
pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam
mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari
maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu
Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
“Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa
Page 11
Rukhsah Puasa | 10
(maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian
berbuka (maka) itu baik (baginya)” [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi
1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi,
riwayat Abul A’la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana
dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) :
“Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” [Hadits Riwayat
Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya,
dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan
berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu
madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan
terlambat kesembuhannya. sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". [al-Baqarah/2:184].
3. Haid dan nifas
Ibnu Qudamah berkata, “Ahlul ilmi sepakat bahwa wanita haid dan nifas
tidak halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan
Ramadhan dan mengqadhanya. Bila keduanya tetap berpuasa maka puasa
tersebut tidak mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab Ash-
Shiyam, Mas’alah wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat)
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid
dan nifas tidak wajib shalat dan puasa dalam masa haid dan nifas tersebut.”
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250)
Page 12
Rukhsah Puasa | 11
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut
usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang
miskin” [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul
bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir
menukil dalam Al-Ijma’ no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam
masalah ini].
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan
Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat yang artinya:
“Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan
bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184].
Kemudian beliau berkata : “Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan
kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2
gantang gandum” [Lihat ta’liq sebelumnya].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa yang mencapai usia
lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap
harinya satu mud gandum” [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam
sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid (penguat,
red)].
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada
satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang
30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits Riwayat
Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
Page 13
Rukhsah Puasa | 12
5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah
adalah Allah memberi rukhsah pada mereka wanita hamil dan menyusui
untuk berbuka.
Dari Anas bin Malik, ia [1] berkata: “Kudanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi,
beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang
masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan
1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan
menyusui kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya
jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam” [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa’i 4/180, Abu Daud 3408,
Ibnu Majah 16687. Sanadnya hasan (baik) sebagaimana pernyataan
Tirmidzi]
Adapun jika mereka sanggup melaksanakan shaum tetapi khawatir
berbahaya bagi kandungannya, maka ia mendapatkan rukhsoh untuk ifthor
dengan kewajiban qodho dan membayar fidyah. (Qodho sebagai ganti puasa
yang ditinggalkan, sedangkan fidyah karena keduanya termasuk dalam
ayat: “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah…” (QS Al Baqarah:184)
Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini rukhsoh bagi orang yang lanjutusia, lelaki
dan perempuat, wanita hamil dan menyusui jika khawatir terhadap anak-
anaknya maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah).” (HR
Abu Daud)
Page 14
Rukhsah Puasa | 13
C. KESIMPULAN
Ibadah puasa terutama puasa ramadhan diwajibkan Allah SWT kepada
setiap orang Islam yang sudah memenuhi seluruh persyaratan yaitu seorang muslim
yang berakal, baligh, sehat, dan mabit/mukim (menetap di tempat tinggalnya).
Meskipun demikian, Allah SWT selalu memberikan peraturan sesuai dengan
kondisi dan kemampuan hamba-Nya. Karena itulah, Allah SWT juga memberikan
rukhsah(keringanan) kepada orang-orang yang wajib berpuasa akan tetapi tidak
memungkinkan untuk melaksanakan sebagaimana mestinya.
Rukhsah atau keringanan yang diberikan kepada mukallaf yang tidak
dapat melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan bukan berarti memberi
keleluasaan bagi mukallaf untuk meninggalkan kewajibannya terhadap perintah
Allah SWT. Namun ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu yang
memperbolehkan mukallaf untuk memperoleh rukshah. Oleh karena itu sangat
penting bagi pemeluk agama Islam untuk memahami aturan-aturan dan syarat-
syarat yang mengatur tentang rukhsah dalam berpuasa.
Page 15
Rukhsah Puasa | 14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahan
Asyrafuddin,Nurul Mukhlis.2011. Makna Rukhsah dan Pembagiannya.
Melalui Internet: http//almanhaj.or.id/content/3000/slash/0/makna-
rukhshah-dan-pembagiannya
Aljaami.2011. Wanita Hamil dan Nifas Dilarang Berpuasa Ranadhan.
Melalui Internet://aljaami.wordpress.com/2011/11/13/wanita-haid-
dan-nifas-dilarang-berpuasa
Faturohman.2010.Rukhsah (Kelapangan dan Kemudahan) dalam
Puasa Ramadhan. Melalui Internet: https://coretantanpakertas.
wordpress.com/2010/07/04/rukhsah-kelapangan-dan-kemudahan-
dalam-puasa-ramadhan
Ihwansalafi.2008. Puasa Wanita Hamil dan Menyusui. Melalui Internet:
https: / / ihwansalafy.wordpress.com /2008 /08 /27 /puasa -wanita-
hamil-dan-menyusui
Jamaluddin,Syakir.2010. Kuliah Fiqh Ibadah. Yogyakarta: LPPI UMY
Nashr,Al-‘Alim.2002. Meniti Kesempurnaan Ibadah. Solo: Nur
Muhammad
Rahmadhani.2013.Pegertian Hukum Azimah dan Rukhsah. Melalui
Internet: http://rahmadhani032.blogspot.com/2013/05/pengertian-
hukum-azimah-dan-rukhsah.html
Salim,Muhammad Ibrahim.2007. The Miracle of Shaum. Jakarta:
AMZAH
Tabrizi,Malaki.2005. Puasa Lahir Puasa Batin. Jakarta: Al-Huda