Top Banner
RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN JENIS RAPAT : RDPU I TANGGAL: 26 JANUARI 2011 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA BELUM DIKOREKSI
30

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

Nov 02, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

JENIS RAPAT : RDPU I TANGGAL: 26 JANUARI 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BELUM DIKOREKSI

   

Page 2: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

BELUM DIKOREKSI

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Masa Persidangan Tahun Sidang Sifat Jenis Rapat Hari / Tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Hadir

: : : : : : : : : : :

III 2010-2011 Terbuka Rapat Dengar Pendapat Umum dengan para Pakar Rabu, 26 Januari 2011 Pukul 10.27 WIB s.d. 13.15 WIB Ruang Rapat Pansus C Gedung Nusantara II DPR RI, Lantai 3 Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta SUTJIPTO, S.H., M.KN., ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si. Masukan/tanggapan dari Pakar

- Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH - Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH - Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra

terhadap RUU tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan. A. Pimpinan Pansus RUU tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan : 1. SUTJIPTO, S.H., M.KN./Fraksi Partai Demokrat; 2. DR. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H./Fraksi Partai Golkar; 3. RAHADI ZAKARIA/Fraksi Partai PDIP;

B. Anggota Pansus RUU tentang PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Fraksi Partai Demokrat: 4. DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH, LLM 5. H. HARRY WITJAKSONO Fraksi Partai Golongan Karya: 6. NURUL ARIFIN, S.IP, M.Si 7. Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si 8. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn 9. Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA, MM

1

Page 3: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia: 10. ASDY NARANG 11. EVA KUSUMA SUNDARI 12. ARIF WIBOWO Fraksi Partai Keadilan Sejahtera: 13. DRS. AL MUZAMMIL YUSUF 14. BUKHORI YUSUF

Fraksi Partai Amanat Nasional: 15. DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si 16. H. JAMALUDDIN JAFAR, SH

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan: 17. H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa : 18. MUH. HANIF DHAKIRI Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya: 19. RINDOKO DAHONO WINGIT, SH, M.Hum Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat:

- C. Undangan

- PROF. Dr. I GDE PANTJA ASTAWA, SH., MH - PROF. Dr. B. ARIEF SIDHARTA, SH - PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

2

Page 4: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Jalannya Rapat: KETUA RAPAT (SUTJIPTO):

(RAPAT DIBUKA PUKUL 10.27 WIB) Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semuanya Yang saya hormati Saudara Pimpinan dan Anggota Pansus, Yang saya hormati Saudara Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa dan Prof. Dr. P. Arif Sidharta. Hadirin yang berbahagia, Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semuanya sehingga kita bisa menghadiri pertemuan rapat dengar pendapat umum pada hari ini dalam keadaan sehat wal’afiat. Sesuai dengan acara maka pada hari ini Pansus mengundang rapat dengan pendapat umum untuk mendapatkan masukan-masukan dari para narasumber atas RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu sebelumnya kami melanjutkan rapat, perkenankanlah kami menyampaikan acara rapat pada hari ini sebagai berikut; (1) pengantar ketua rapat sebagaimana yang telah disampaikan, (2) penjelasan dari narasumber, (3) tanya jawab, penutup.

Rapat ini akan berlangsung sampai dengan pukul 12.00 WIB namun apabila masih ada hal yang belum didiskusikan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan rapat. Apakah acara rapat dan waktu yang kami bacakan tadi dapat disepakati?

(RAPAT: SETUJU) Terima kasih. Sebelumnya kami sampaikan kepada narasumber bahwa saya kira tidak asing lagi khususnya bagi Prof. Dr. Yuhzril yang juga pernah jadi anggota DPR. Kebetulan memang hari ini memang kegiatan hari Rabu ini ada rapat-rapat Komisi, Baleg, kemudian juga ada Timwas Century sehingga memang anggota tidak bisa sepenuhnya hadir sehingga bisa keluar masuk. Akan tetapi pimpinan kami siap dan juga kami ada tenaga ahli sehingga masukan-masukan dari para narasumber meskipun anggota kita kurang hadir akan tetap kita catat semuanya, kita dengarkan dan menjadi bahan yang sangat berharga dalam rangka kami membahas RUU biasanya kita sebut P3. Undang-undang 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memberikan pengetahuan mengenai teknis penyusunan dan kerangka peraturan perundang-undangan sehingga diharapkan dapat mengarahkan dan menjadi pedoman yang menjadikan adanya ketertiban dalam bentuk dan format pembentukan peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun daerah. namun dalam pelaksanaan terhadap kelemahan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, dengan adanya beberapa kelemahan tersebut maka perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 agar dapat menyeelsaikan permasalahan yang ada. beberapa permasalahan yang ada yang perlu ditanyakan kepada narasumber adalah:

1. Hirarki perundang-undangan 2. Pengesahan perjanjian internasional 3. Penguatan Prolegnas dan Prolegda 4. Pengundangan 5. Perananan instansi vertikal 6. Tenaga perancang perundang-undangan 7. Pembatalan peraturan daerah (Perda) 8. Status ketetapan MPR/MPRS

3

Page 5: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Untuk mempersingkat waktu kami persilakan pertama kali kepada Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra untuk menyampaikan saran dan masukannya. Kami persilakan Prof. PAKAR (PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA):

Terima kasih Saudara Pimpinan.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Pimpinan, Pak Gde Pantja, Pak Arif Sidharta, Hadirin, hadirat yang saya muliakan Saya berterima kasih karena hari ini saya diberikan kesempatan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran, masukan dan sumbang saran terhadap rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sedang dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat revisi atau mengubah ketentuan-ketentuan sebagaimana tertuang di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Saya baru menerima bahan-bahan ini kemarin sehingga saya tidak sempat menelaah dengan mendalam. Dan mungkin masukan saya mengenai hirarki peraturan perundang-undangan, salah satu masalah yang mungkin kita anggap paling krusial didalam pengaturan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Peraturan Perundang-undangan.

Saya masih ingat betul waktu menyusun Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini dalam keadaan yang tergesa-gesa, waktu yang sangat pendek sehingga meskipun Undang-undang ini selesai dibahas dan kemudian disetujui bersama oleh Presiden dan DPR dan disahkan menjadi Undang-undang namun seperti tadi disampaikan oleh Saudara Ketua bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu setelah dipraktekan selama enam atau tujuh tahun banyak sekali kekurangan-kekurangannya sehingga memang pantaslah kalau ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu kita adakan perbaikan-perbaikan disana sini, bahkan kalau memang perubahan itu sangat besar mungkin bisa kami ganti dengan satu undang-undang yang baru.

Seperti kita ketahui bersama di dalam sejarah ketatanegaraan kita, sejarah perundang-undangan kita sudah berapa kali kita merumuskan hirarki peraturan perundang-undangan yang ada di negara kita ini. baik dalam bentuk memorandum DPR-GR pada tahun1967 kemudian dengan ketetapan Majelis Permusyawartan Rakyat, kemudian juga terakhir sekali adalah setelah amandemen Undang-undang Dasar dinyatakan di dalam Undang-undang Dasar kita bahwa hal-hal terkait dengan peraturan perundang-undangan itu akan dituangkan dalam undang-undang dan lahirlah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya secara eksplisit juga mengatur tentang hirarki peraturan perundang-undangan.

Di dalam term of reference yang disampaikan kepada kami, masalah hirarki peraturan perundang-undangan itu menempati urutan yang pertama kita bahas, kita diskusikan bersama-sama mengingat kelemahan-kelemahan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 baik di dalam teori maupun di dalam praktek pelaksanaan selama adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu.

Memang Undang-undang Dasar secara terbatas hanya menyebutkan Undang-undang Dasar, Undang-undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang dan kemudian Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Bagaimanakah status dari berbagai bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan yang pernah ada di dalam sejarah ketatanegaraan kita, mempunyai kita warisi dari jaman kolonial Belanda dahulu yang berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 peralihan dahulu masih dinyatakan berlaku, belum diadakan perubahan atau penggantian dengan ketentuan-ketentuan yang baru. Kalau kita berpikir secara kaku tentu bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan ialah apa yang ada di dalam Undang-undang Dasar, Undang-undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan Pemerintah kita tidak mengenal bentuk-bentuk peraturan perundangan yang lain selain yang disebutkan dalam konstitusi kita. Namun dalam prakteknya kita menemukan lahirnya beberapa bentuk peraturan perundang-undangan yang diterima didalam praktek didasarkan juga atas keutuhan dan memang seharusnyalah demikian karena tidak mungkin negara itu berjalan pemerintahan itu tanpa bekerja secara efektif tanpa lembaga-lembaga pemerintahan itu dapat menjalankan kekuasaan, tugas dan wewenang yang ada pada mereka yang harus didasari dengan suatu peraturan perundang-undangan, ketentuan atau kaidah hukum yang dituangkan didalam peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang ada didalam

4

Page 6: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

pemerintahan itu maupun lembaga-lembaga lain yang berada diluar eksekutif Pemerintah yang sebenarnya juga memerlukan berbagai ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan yang harus dituangkan dalam suatu bentuk peraturan yang dapat kita katakan sebagai peraturan perundang-undangan atau sebuah peraturan kebijakan misalnya aturan-aturan yang dibuat oleh Bank Indonesia sebagai contoh atau peraturan-peraturan yang dibuat oleh institusi-institusi lain yang berada di luar Pemerintah seperti misalnya peraturan Tata Tertib DPR, DPD, MPR dan sebagainya yang semuanya itu dalam praktek ada didasarkan atas keutuhan untuk melaksanakan tugas dan wewenang tapi menimbulkan pertanyaan dimanakah letak dari bentuk peraturan perundang-undangan itu didalam tata hukum kita khususnya di dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang kita kenal di negara kita ini.

Karena itu saya berpendapat bahwa meskipun Undang-undang Dasar secara legitatif hanya menyebutkan empat bentuk peraturan perundang-undangan, Undang-undang Dasar kalau kita anggap peraturan perundang-undangan ya, undang-undang, Perpu, dan Peraturan Pemerintah, namun tidak mungkin negara ini dapat berjalan dengan baik dan sempurna kalau kita hanya membatasi peraturan pada empat bentuk peraturan perundang-undangan ini. Karena itu apa yang ada tumbuh di dalam praktek kita pelihara sepanjang itu kita anggap bermanfaat berguna di dalam menjalankan roda pemerintaha negara tapi kita harus menempatkan dimanakah letak bentuk peraturan perundang-undangan di dalam sistem hukum kita dan juga di dalam hirarki peraturan perundang-undangan kita khususnya apabila timbul pertanyaan-pertanyaan dalam penerapan hukum, yang manakah yang harus berlaku sehingga terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan atau bahkan pertentangan pengaturan-pengaturan katakanlah dengan peraturan daerah dan peraturan menteri dalam satu peraturan bupati misalnya dengan peraturan gubernur dengan peraturan menteri dalam negeri sementara peraturan-peraturan seperti ini tidak disebutkan dalam Undang-undang Dasar kita.

Karena itu menurut pendapat saya tentu tidak dapat secara legitatif seperti yang dirumuskan juga di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 maupun di dalam rancangan undang-undang sekarang ini tentang hirarki peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam Bab III Pasal 7 dalam rancangan undang-undang yang kita bahas sekarang ini. Kalau kita mau baca Pasal 7 memang disebutkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan Pemerintah, peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Sedangkan yang lain-lain seperti yang dikemukakan di dalam term of reference disebutkan misalnya dimana letak dari peraturan presiden, dimanakah letak dari peraturan menteri dan dimanakah letak dari peraturan menteri dan dimanakah hirarkinya dalam kaitan dengan peraturan-peraturan lain seperti peraturan daerah dan provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota.

Harus kita pikirkan dengan lebih seksama dimanakah kita harus menempatkan peraturan-peraturn ini secara hirarkis, artinya kita tidakbisa juga mengatakan ini tidak perlu ada. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu mencoba untuk lebih moderat menghadapi situasi konkrit yang diwarisi oleh pemerintahan baik oleh pemerintahan Presiden Soeharto maupun pemerintahan Presiden Soekarno sehingga pada waktu itu Pemerintah mengajukan, minta maaf saya sendiri pada waktu itu membedakan secara tegas antara apa yang namanya keputusan presiden, peraturan presiden dan kemudian instruksi presiden.

Di masa Presiden Soekarno itu dulu ada namanya penetapan presiden atau Pepres tapi dimasa Presiden Soeharto tidak dipakai lagi tapi digunakan istilah keputusan presiden. Keputusan presiden pada waktu itu agak rancu, ada keputusan presiden yang sifatnya itu mengangkat seseorang personil, seseorang dalam suatu jabatan tapi ada juga keputusan presiden yang bersifat pengaturan bahkan pengaturan itu baik di perintahkan suatu program atau oleh peraturan Pemerintah atau bahkan memang Presiden Soeharto dulu mengeluarkan suatu keputusan presiden (Kepres) yang isinya kalau kita telaah itu sudah sepantasnya itu diatur dengan sebuah undang-undang. Bahkan di Universitas Indonesia pada waktu itu ada satu distertasi doktor yang sangat kontroversial dari 40 profesor mengenai keputusan presiden yang berdasarkan…yang mengatakan memang presiden itu sebagai penjelmaan, kalau MPR penjelmaan rakyat, rakyat telah memberikan mandat kepada presiden maka presiden itulah sebenarnya dalam prakteknya dia adalah penjelmaan rakyat Indonesia dan karena itu dia bisa mengeluarkan, luar biasa disertasinya, betul-betul kontroversial. Tapi belakangan kita tidak menganut paham seperti itu lagi dan tidak sedikit yang menyebutkan presiden itu punya kewenangan-kewenangan yang bisa mengeluarkan kepres-kepres.

Menyadari kelemahan-kelemahan itu maka ketika kita memasuki era yang baru kita seperti tertuang didalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan peraturan presiden itu adalah sebuah peraturan yang bersifat normatif, sedangkan keputusan presiden semata-mata bersifat pengangkatan atau bersifat ya jadi bersifat penetapan dan sekali selesai

5

Page 7: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

walaupun dalam prakteknya masih timbul kerancuan seperti keadaan satgas anti mafia hukum seperti sekarang ini. Itu dibentuk oleh instruksi Presiden tapi mengangkat orang tapi didalamnya berisi tentang pengaturan tugas dan kewenangan dari satgas anti mafiahukum itu karena bentuk peraturannya adalah keputusan presiden dan ketika diuji material ke Mahkamah agung, Mahkamah Agung mengatakan ini keputusan presiden, keputusan presiden itu tidak bisa diuji di Mahkamah Agung karena bukan pengaturan. Tapi sebenarnya mengangkat orang tapi didalamnya ada pengaturan itupun yang sebenarnya mengangkat orang tapi dalamnya ada perangkat itupun yang sebenarnya adalah bahwa pembentukan lembaga seperti itu mengacu kepada Undang-undang 10 Tahun 2004 dibentuk dengan peraturan Presiden pembentukan lembaganya, institusinya, orang-orangnya Deny Prayana, dan lain-lain itu diangkat dengan keputusan Presiden yang benarnya itu seperti, tapi karena di Mahkamah Agung itu uji materiil, jadi materi Kepres itu mau diuji dengan undang-undang terus ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan Mahkamah Agung tidak berwenang menguji sebuah keputusan Presiden melainkan menguji sebuah peraturan Presiden, jadi memang agak akal-akalan begitu bentuknya. Tapi lain ceritanya kalau sekiranya mungkin kepada Mahkamah Agung diadakan bukan uji materiil tapi uji formil, apakah kalau begini bentuk pengaturannya bisa tidak dicantumkan dalam sebuah keputusan presiden, barangkali akan lain keputusan mahkamah Agung. Kemudian bagi kita sekarang ini yang penting didalam ketentuan yang baru Bab III Pasal 7 ini yang sudah menghilangkan Peraturan Presiden dengan alasan tidak disebutkan dalam Undang-undang Dasar, tapi saya tetap menanggap bahwa Peraturan Presiden tetap perlu bahkan juga ada peraturan menteri atau peraturan lembaga-lembaga pemerintahan seperti katakanlah peraturan Kapolri, Peraturan Jaksa Agung misalnya atau juga itu peraturan dari lembaga-lembaga negara yang berada diluar eksekutif yang memang dalam praktek akan tetap ada Cuma kita harus tempatkan dimana posisinya. Posisinya ini apakah kita mengatakan bahwa peraturan pemerintah dan kemudian secara terperinci kita katakan didalam peraturan Pemerintah ini juga termasuk didalam adalah bukan peraturan pemerintah, bukan peraturan presiden juga peraturan dari organ-organ atau lembaga-lembaga……pusat yang lain yag juga sebenarnya melahirkan membentuk suatu bentuk peraturan perundang-undangan. Jadi dengan demikian dapat menghimpun peraturan menteri, peraturan direktur jenderal dan sebagainya yang kalau tidak boleh mengeluarkan peraturan tidak bisa jalan juga tapi kalau boleh lantas tempatnya harus dimana jadi harus ada cantolannya juga dalam ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ini. Itu pertama nanti kalau terjadi tabrakan antara peraturan Menteri dengan Peraturan daerah, saya kira dibidang kehutanan itu banyak sekali tabrakan-tabrakan antara Peraturan Menteri Kehutanan dengan Peraturan dari Perda-perda yang mengatur tentang pemanfaatan hutan di daerah-daerah yang sebenarnya bersumber dari kerancuan yang terjadi pada masa transisi berlakunya Undang-undang 22 Tahun 1999 dahulu tentang Pemerintahan Daerah, dan sampai sekarang konflik peraturan itu masih ada dan masih belun terselesaikan sementara terjadinya konflik pengaturan di bidang kehutanan ini sebagai suatu contoh memang menghambat kegiatan-kegiatan investasi atau kegiatan-kegiatan masyarakat di daerah itu dalam rangka memanfaatkan hutan di daerahnya. Begitu juga sebenarnya dengan ketentuan-ketentuan yang lainnya. Jadi keberadaan peraturan-peraturan itu perlu dan saya menyarankan dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 7 ini bukan di dalam penjelasannya karena dulu pada waktu kami menyampaikan rancangan Undang-undang 10 Tahun 2004 ini tegas kita katakana bahwa penjelasan itu tidak bisa mengandung sebuah norma. Penjelasan itu hanya menjelaskan dogma yang ada di dalam pasal itu supaya memudahkan kita memahami apa yang tertuang di dalam pasal. Tidak bisa penjelasan itu mengandung satu norma sendiri. In misalnya kita lihat dalam undang-undang 38 atau 34 ya tentang Pajak dan Retribusi Daerah tahun 2009 yang disahkan oleh DPR dan Presiden itu banyak sekali kerancuan-kerancuan karena pasalnya mengandung ini tapi kemudian penjelasannya itu memberikan pengaturan sendiri, mengatur suatu norma. Jadi lebih baik kita pegang saja yang sudah ada di dalam ketentuan Undang-undang 10 Tahun 2004 bahwa yang mengatur norma hanya di dalam pasal, penjelasan tidak boleh mengandung norma apalagi penjelasan itu mengandung norma yang bertentang dengan norma yang ada di dalam pasalnya. Jadi kadang-kadang kita escape begitu, oh kita bikin saja Peraturan Presiden ada disini nanti dalam penjelasan kita sebutkan ada peraturan gubernur, peraaturan menteri, kalau kita konsisten sebenarnya penjelasan tidak boleh mengandung norma apapun maka dia harus dituangkan didalam pasal 7 ini, dimanakah letak peraturan presiden, peratuan menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati, walikota dan sebagainya. Jadi dia katakan sebagai satu rumpun aturan kebijakan Pemerintah dalam jajaran eksekutif. Kemudian hal-hal yang terkait dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan saya kira saya sepaham dengan ini dan kelihatannya mengandung jiwa yang sama dengan Undang-

6

Page 8: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu menempatkan Kementerian Hukum dan HAM sekarang ini secara implisit meskipun ini adalah Kementerian yang mengurusi masalah hukum untuk menjadi koordinator atau menjadi center dalam penyusunan peraturan perundang-undangan pada internal Pemerintah, karena disini memang spesifik dalam menyusun peraturan perundangan-undangan ditingkat undang-undang maupun di tingkat yang lain. Dan itu saya kira itu sudah dimulai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menempatkan Kementerian Hukum dan HAM menjadi center dalam segala kegiatan perancangan sampai pengundangan dan pendokumentasiannya. Kami pada waktu itulah pertama kali pengudangan itu tidak lagi dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara jadi pengundangannya itu mulai kami alihkan ke Kementerian Hukum dan HAM saya kira tentu di tahun 2004 dan sampai sekarang demikian sehingga peranan dari Sekretariat Negara dalam proses perumusan rancangan peraturan perundang-undangan itu memang dilakukan sedemikian minimalnya, itu pengalaman saya dan kebetulan saya minta maaf saya pernah menjadi Menteri Kehakiman terus jadi Menteri Sekretaris Negara nyambung begitu saya bilang, konsisten pokoknya Setneg jangan terlalu banyak ikut campur urusan materi-materi peraturan perundang-undangan ini. Tugas sekretaris negara hanyalah administratif membaca itu dan menyampaikan kepada presiden, dan… kewenangan kita serahkan seluruhnya kepada Sekretariat Negara walaupun biasalah pada prakteknya orang dikasih kekuasaan sedikit terus dia besar-besarkan kekuasaannya. Itu bisa terjadi tapi saya pikir semangat dari RUU ini bagus artinya Pemerintah itu satu pintu, tidak hanya pada tingkat Undang-undang dan peraturan pemerintah bahkan kalau perlu sebenarnya peraturan-peraturan yang lain itu di bawah koordinasi dan supervisi dari Kementerian Hukum dan HAM. DPR karena memang satu yang lebih mudah tentunya karena seluruh proses perancangan perundang-undangan akan dimulai dan bermuara di Badan Legislasi DPR.

Saya kira itulah pokok-pokok yang saya sampaikan, minta maaf semuanya bisa central, undang-undang, mudah-mudahan tidak sekali ini saja kapan-kapan waktu kita bisa bertemu lagi untuk mendiskusikan hal-hal tentang pembahasan ini. Mungkin nanti Pak Arif dan Pantja akan lebih dalam menyampaikan pokok-pokok pikiran. Terima kasih Saudara Ketua. KETUA RAPAT: Terima kasih Prof. Yusril Ihza Mahendra. Selanjutnya kami persilakan kepada Prof. Dr. Pantja Astawa untuk menyampaikan saran dan masukan-masukannya kepada kita semua. Silakan Prof. PAKAR (PROF. DR. I GDE PANTJA ASTAWA): Baik, terima kasih Saudara Ketua. Anggota Pansus yang saya hormati, Dan juga Prof. Yusril dan Prof. Arif Sidharta, Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Prof. Yusril tadi berkaitan dengan beberapa tambahan yang ingin saya sampaikan disini. Jadi dari agenda-agenda permasalahan yang diajukan kepada saya juga kepada teman-teman yang lain, saya ingin berbagi kavling saja,tidak seluruhnya saya respon, hanya beberapa yang saya anggap penting. Yang pertama, tadi dari Profesor menyinggung apakah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini direvisi atau, kalau mengacu pada RUU yang ada ini tegas bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu akan diganti baik dibaca dari konsideran menimbang maupun di dalam jumlah pasal. Banyak sekali perubahan-perubahan pasal disebutkan hampir dua kali lipat saya baca saya bandingkan antara Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan rancangan undang-undang yang ada. persoalannya bukan terletak apakah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini direvisi ataukah diganti, barangkali alasan-alasan reasoningnya kenapa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini diganti. Kalau boleh saya katakan didalam bahwa didalam konsideran menimbang tidak mereferensikan alasan-alasan kenapa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu perlu diganti sekurang-kurangnya dari tiga landasan yang sama-sama kita ketahui artinya mencerminkan tiga landasan utama; landasan yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena itu saya usulkan silakan nanti dipertimbangkan biar nampak jelas apa revisinya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu diganti. Saya garis bawahi tiga inti mengapa direvisi. Secara tertulis tadi sudah saya sampaikan apakah sudah ada pertanyaan, apakah diijinkan untuk dibacakan Pak Ketua.

7

Page 9: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

KETUA RAPAT: Kami persilakan. PAKAR (PROF. DR. I GDE PANTJA ASTAWA): Ini hanya saran saya saja. Dalam konsideran menimbang saya rumuskan demikian: a. Bahwa ketentuan Pasal 22a Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut

tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. b. Bahwa dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 22a Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peraturan perundang-undangan yang baik perlu dibuat undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semual lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.

c. Bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku selama ini memiliki banyak kekurangan dan tidak dapat menampung perkembangan pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu membentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sekali lagi ini hanya saran, silakan saja dipertimbangkan. Yang kedua, yang ingin saya sampaikan disini adalah berkenaan dengan rumusan atau batasan

pengertian peraturan perundang-undangan, ini penting untuk bisa membedakan atau biar tidak menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman antara mana yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, mana yang seakan-akan peraturan perundang-undangan padahal bukan. Karena dalam praktek seringkali saya jumpai di kalangan aparatur pemerintahan, belum lama juga kawan-kawan yang ada di DPRD-DPRD Kabupaten/kota sulit sekali membedakan mana yang peraturan perundang-undangan dan mana yang bukan. Mana yang dimaksud dengan restorikal dan mana beshiking mereka campur adukan. Mereka betapa pentingnya merumuskan pengertian peraturan perundang-undangan dalam rancangan undang-undang ini agar menjadi clear Pak sehingga tidak menimbulkan kebingungan di sana sini.

Saya mengutip beberapa pendapat para pakar. Memang pendapat para pakar ini satu sama lain berbeda sudut pandang artinya ini membuktikan bahwa betapa tidak mudah merumuskan satu pengertian peraturan perundang-undangan yang clear yang bisa mewakili atau yang representatif menggambarkan apa sebetulnya pengertian peraturan perundang-undangan yang utuh, yang baik. Tapi sekurang-kurangnya dari beberapa pendapat pakar yang saya kutip disini saya temukan beberapa ciri yang nanti pada akhirnya dari ciri-ciri yang ada ini bisa lahir sebuah rumusan, pengertian peraturan perundang-undangan.

Ciri yang dimaksud adalah pertama, peraturan perundang-undangan berupa keputusan atau peraturan tertulis. Jadi dia mempunyai bentuk untuk formatan. Yang kedua, dia dibuat, dibentuk atau ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. yang ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur, tidak bersifat sekali jalan. Tadi Prof. Yuzri menyinggung sebagai internal dengan beshiking atau sifatnya sekali jalan. Yang keempat, peraturan perundang-undangan yang mengikat secara umum karena ditujukan kepada umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu.

Dari ciri-ciri ini yang saya sarikan dari pendapat para pakar saya cobakan tawarkan peraturan perundangan-undangan meskipun di dalam rancangan undang-undang itu sudah ada, barangkali bisa dipertimbangkan rumusan pengertian peraturan perundang-undangan yang saya sampaikan berikut ini adalah peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga Negara ataupun siapa yang berwenang menurut prosedur yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta mengikat umum. Jadi kalau kata kunci untuk bisa membedakan dengan peraturan yang bukan peraturan perundang-undangan adalah dilihat dari sifat dan kekuatan mengikatnya kepada public. Kata kuncinya ada disini sebetulnya, ini saya tawarkan, silakan nanti dipertimbangkan.

8

Page 10: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Sekali lagi ini pentingnya untuk bisa memberikan suatu kepastian sehingga mereka-mereka yang membaca itu bisa memahami, bisa membedakan.

Maka sekali lagi saya perlu sampaikan di dalam praktek sering sekali yang dibikin orang edan di daerah terutama dari kalangan aparatur pemerintah itu dengan terbitnya SE, yang sering saya pelesetkan dengan surat edan. Bahkan barangkali Bapak-bapak pernah mendengar saudara-saudara kita yang jadi wakil rakyat di daerah Sibolga Sumatera Utara didakwa dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan SE, begitu. Inikan sudah penegak hukum tidak paham, dia pikir SE itu peraturan perundang-undangan. Itulah sebabnya kenapa saya sering agar di dalam melahirkan nanti rancang undang-undang yang akan digodok akan disetujui, pengertian peraturan perundang-undangan harus clear sehingga ada satu kepastian. Syukur-syukur dia memperoleh suatu gambaran yang utuh sehingga tidak bisa ditafsirkan lain. Itu yang kedua.

Yang ketiga, saya sangat sependapat dengan Prof. Yusril tadi yang berkenaan dengan jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Persoalan utama disini menurut saya, nanti silakan Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang ada yang duduk di Pansus ini, sepanjang legalitasnya adalah Undang-undang Dasar 1945 maka persoalan utamanya terletak pada apakah macam-macam atau jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang akan diatur hanya terbatas apa yang secara eksplisit disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 atau lebih luas lagi. Kalau membaca rancang undang-undang yang ada terutama Pasal 7 nampaknya di dalam rancang undang-undang ini memahami atau mengartikan jenis dan macam peraturan perundang-undangan itu hanya terbatas pada jenis atau macam peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit dinyatakan atau disebut dalam Undang-undang Dasar 1945 sehingga hirarkinya menjadi yang paling atas adalah Undang-undang Dasar 1945, dibawahnya adalah undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), dibawahnya adalah peraturan pemerintah dan dibawah lagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Kalau dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7 disitu ada jenis peraturan yang disebut dengan peraturan presiden menjadi hilang di dalam rancangan undang-undang yang sekarang ini. Artinya saya simpulkan bahwa di dalam rancangan undang-undang itu hanya menterjemahkan jenis atau macam peraturan perundang-undangan itu hanya terbatas eksplisit disebut. Persoalannya tergantung nanti kesepakatannya disini apakah hanya semata-mata hanya terbatas secara eksplisit ataukah lebih luas dalam arti tidak hanya eksplisit, juga yang implisit. Sekurang-kurangnya untuk memberi legalitas bagi keberadaan peraturan yang diterbitkan oleh presiden sebagai kepala pemerintah. Kenapa? Saya coba sampaikan pandangan atau pendapat dari pendapat pakar yang sebelumnya saya kutip misalnya tadi dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan; “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.” Ketentuan Pasal 4 ini mengandung makna bahwa Presiden adalah kepala pemerintahan atau chief of government. Pertanyaannya sekarang apa yang dimaksud dengan kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ini.

Disini saya kutip pendapat Jellinek yang berpendapat bahwa pemerintah mengandung makna dua segi pemerintah dalam bentuk formal dan materiil. Pemerintah dalam arti formal mengandung kekuasaan mengatur dan kekuasaan memutus. Dan pemerintah dalam arti materiil berisi unsur memerintah dan melaksanakan. Berdasarkan pendapat Jellinek ini maka presiden memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 mengandung arti bahwa Presiden bertugas menyelenggarakan pemerintahan termasuk juga pengaturan sehingga di dalam menjalankan pemerintah presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Oleh karena Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan Negara Indonesia. Fungsi pengaturan ini ini terlihat misalnya dalam pembentukan undang-undang bersama dengan DPR. Pembentukan peraturan pemerintah, pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu, disamping juga tentu saja pembentukan terserah nanti apa namanya putusan presiden. Kalau dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 peraturan presiden. Bisa jadi ini membedakan antara peraturan presiden yang sifatnya mengatur atau berisi pengaturan dengan keputusan presiden yang bersifat beshiking atau penetapan. Sehingga dipilihlah karena ini mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka dipilihlah penggunaan peraturan presiden, padahal tidak selalu di…kalau mau menggunakan istilah. Keputusan presiden itu memang kalau dilihat secara dari luarnya kalau kita tidak membaca substansi memang sulit membedakan mana yang bersifat pengaturan, mana yang bersifat pengaturan. Tapi dalam praktek justru banyak sekali kita jumpai keputusan presiden yang bersifat pengaturan atau regeling disamping tentu saja yang bersifat beshiking seperti mengatakan seseorang dalam jabatan menteri dan seterusnya.

9

Page 11: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Jadi apapun nanti namanya tetap saya commit agar di dalam rancangan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ini mohon dipertimbangkan kembali dimasukan bentuk hukum dari keputusan presiden, apapun namanya nanti apakah peraturan presiden atau keputusan presiden, silakan. Saya masih tetap ingin mempertahankan menggunakan istilah Perpres saya jadi teringat pada masa pemerintahan Soekarno, disamping ada Perpres juga ada PRPS penetapan presiden, yang jelas sekali beda. PRPS atau peraturan presiden sifatnya pengaturan. PSPS penetapan presiden sifatnya beshiking, bisa mudah kita membedakan. Tapi misalnya ketika tetap dipertahankan Perpres dalam kenyataannya ada Kepres. Kepres pun dalam kenyatannya seperti tadi saya kemukakan banyak yang bersifat pengaturan. Jadi bagaimana membedakan antara peraturan presiden dengan keputusan presiden yang bersifat mengatur. Clearnya ini hanya saran dan pendapat dari saya sehingga nanti dipertimbangkan, tapi saya tetap commit bahwa jenis peraturan yang saya kemukakan mohon dipertimbangkan kembali untuk dimasukan karena ini penting nanti.

Yang berikut, saya kembali ke RUU yang ada. Saya memang sudah baca meskipun tidak sampai mendalam mengkajinya. Kita mulai dari bunyi Pasal 2, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum Negara. Pertanyaan saya sederhana, apakah rumusan pasal ini hanya sebuah literature atau sebuah pernyataan saja atau ada maknanya. Sepertinya terputus ini. Kalau hanya rumusan Pasal 2 itu hanya berbunyi Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Kok tidak ada satu keterkaitannya dengan keseluruhan pasal ini, kalau hanya dirumuskannya sebatas ini sehingga pertanyaan saya tadi apakah ini hanya sebuah literature saja, sebuah pernyataan saja padahal makna Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum itu sama-sama kita ketahui begitu dalam. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maksudnya apa, apakah dia dijadikan sebuah acuan setiap kali membentuk atau membuat sebuah peraturan perundang-undangan apapun jenisnya harus tetap mengacu kepada Pansila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau memang itu yang dimaksud kenapa rumusannya seperti ini? Jadi mohon biar ada hubungannya biar ada keterkaitannya dengan keseluruhan pasal yang ada dalam rancangan undang-undang terutama tentu saja berkaitan dengan jenis atau macam perundang-undangan.

Demikian juga dengan Pasal 4, ini agak membingungkan Pasal 4 ini kalau saya kaitkan dengan Pasal 3. Pasal 3 disini berbicara Undang-undang Dasar, ada tiga ayat disini. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah hukum dasar. Mungkin lebih tepat adalah hukum dasar tertulis karena ada hukum dasar tidak tertulis, disini hanya hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Kalau Pancasila tadi adalah sumber dari segala sumber hukum artinya Pancasila itu bukan hukum, ini adalah sumber hukum dalam arti tertulis seperti ini. Ini mohon ditambahkan “tertulis” karena disamping hukum dasar tertulis tertinggi kita jumpai apa yang disebut dengan…hukum ketatanegaraan.

Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia ditempatkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia. Ayat (3) Penempatan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuan. Pasal (4) “Peraturan perundangan-undangan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya.” Berarti Undang-undang Dasar 1945 tidak termasuk di dalamnya. Kalau tidak termasuk di dalamnya buat apa dirumuskan Pasal 3, buat apa dia ada di dalam tata urutan, sebab posisinya tertinggi kalau undang-undang ini hanya mengatur peraturan perundang-undangan yang diatur dalam undang-undang ini hanya meliputi undang-undang. Kan jadi berlawan dengan Pasal 7, jadi bertentangan dengan Pasal 3 itu. Ini mohon dipertimbangkan dirumuskan ulang ini, bisa jadi maksudnya mungkin begini, kenapa? Karena pembentuk undang-undang berwenang menentukan atau mengatur tentang undang-undang, persoalannya bukan disitu. Rancang undang-undang ini hanya mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan. Dia harus clear dulu yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan apa, yang tertinggi yang ada didalam rancangan undang-undang Pasal 7, Undang-undang Dasar, sudah benar hanya disebut jenisnya. Jadi jangan sampai berarti menyebut jenis pembentuk undang-undang DPR RI ini mengintervensi masuk ke dalam kewenangan yang berkenaan dengan kewenangan membuat Undang-undang Dasar bukan ini, inikan maksudnya. Kalau boleh saya usulkan Pasal 4 didrop Pak, akan bertabrakan dengan Pasal 7.

Bab II disini judulnya asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Bandingkan dengan Bab III judulnya, jenis, hirarki dan muatan sama, judulnya sama-sama materi muatan juga. begitu saya baca di Bab II kok ini asas semua, tidak ada urusannya dengan materi muatan. Materi muatan itu ada di Bab III. Jadi kalau bandingkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 sudah benar di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, judulnya asas pembentukan peraturan perundang-

10

Page 12: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

undangan. Karena pasal-pasal yang ada di Bab II ini sepenuhnya bicara tentang asas. Barulah materi muatan itu ada di pasal-pasal Bab III, bicara tentang materi antaralain misalnya tentang materi muatan.

Jadi itupun didalam Bab III, jadi saya ulangi Bab II ini sebaiknya judulnya tidak demikian langsung saja asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Yang kalimat dan materi muatan dihilangkan saja. Bab III, jenis hirarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Sebaiknya saya usulkan sebaiknya sebagaimana lazimnya dalam penyusunan dari aspek legislatif drafting, sesudah bab, bagian, ini kok lupa kawan-kawan ini lupa. Bagian kesatu jenis dan hirarki, baru Pasal 7. Saya usulkan.

Bagian kedua, materi muatan, Pasal 8. Ini nampak sistematis, dari bab ke bagian. Mohon maaf saya terpaksa masuk ke hal yang teknis. Mumpung saya ingat daripada terlewat nanti karena saya bandingkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Maaf coba silakan dilihat Pasal 7 ayat (4) dan (5) dalam rancangan undang-undang, ini pertanyaan saya apa hubungannya rancang undang-undang ini berbicara tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dengan ayat (4) dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, buat apa tetapkan klausul ini wong sudah jelas kok dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sudah ada soal pengujian, sudah ada, buat apa masukan.

Ayat (5) juga dalam hal suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sudah ada dalam Undang-undang Mahkamah Agung. Ini salah satu kewenangan Mahkamah Agung. Saya usulkan ini sebaiknya dihilangkan dua ayat ini tidak ada urusannya, itu domainnya beda. Pasal 8 materi muatan, dipertimbangkan kembali disini hanya sebatas a, b, c sampai e, padahal banyak sekali hal-hal yang bisa menjadi bagian dari materi muatan dari sebuah undang-undang. Banyak, tapi prinsip bukan banyak asal banyak saja, banyak tapi prinsip. Tidak ada yang berkenaan dengan kedaulatan, tidak ada yang berkenaan dengan wilayah, tidak ada yang berkenaan misalnya yang sedang ramai sekarang pemekaran wilayah, pemekaran daerah, itu juga melalui undang-undang. Menurut saya ini hal yang prinsip, masih perlu ditambahkan di Pasal 8, Pasal 9 ini mohon hati-hati di Pasal 9 karena ini bicara materi muatan Perpu. Ini muatan peraturan Pemerintah pengganti undang-undang mencakup materi muatan undang-undang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 meskipun dibelakangnya dalam hal terjadi kegentingan. Apa iya materi muatan Perpu itu sama dengan materi muatan undang-undang. Dari sifat keadaannya juga berbeda, dari penamaan bentuk hukumnya juga berbeda. Dari pemegang kekuasaan untuk menerbitkan sebuah undang-undang maupun sebuah perpu juga berbeda. Jadi di folder batas kita itu sudah mensecond sedemikian rupa dalam hal kondisi normal hal-hal yang bersifat prinsip diatur melalui undang-undang atau dengan undang-undang.

Dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintah juga selalu kondisinya normal. Inikan situasi-situasi tidak normal yang menurut……diistilahkan dengan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berarti ada kondisi khusus. Jangan dipahami bahwa Pasal 22a ini, hak ikhwal kegentingan yang memaksa itu identik dengan perang, identik dengan riot, identik dengan bencana alam, tidak selalu demikian. Situasi khusus itu bisa saja diterjemahkan hanya situasi yang mendesak, keadaannya yang mendesak. Ketika keadaanya mendesak sepenuhnya ada di tangan presiden. Dia bisa membuat atau menerbitkan perpu yang melampaui undang-undang. Ada suatu situasi khusus yang tidak bisa di predict sebelumnya, ketika itu terjadi direspon oleh presiden. Karena itu makanya di dalam Undang-undang Dasar ketika masih ada bunyi penjelasan disebut nooth ferdenence recht. Jadi hak presiden untuk menerbitkan atau membuat suatu peraturan khusus yang kita kenali dengan Perpu, dalam konstitusi sebelumnya konstitusi RIS maupun Undang-undang sementara disebut dengan undang-undang darurat.

Sekali lagi situasinya berbeda, kewenangan untuk menerbitkan juga berbeda, penamaan bentuk hukumnya juga berbeda. Lantas bagaimana logikanya materi muatan muatannya dibilang sama. Mohon dipertimbangkan. Pasal 9 Pak. dulu saya ketika saya itu Pasal 9. Ini Pasal 10 pernah saya diundang juga oleh Banles itu ada kawan pengen tetap peraturan presiden hilang saja katanya, karena jelas bedanya dengan peraturan pemerintah katanya. Ya beda atuh, kalau bahasa sundanya beda atuh.

Ini kembali nanti tergantung kalau misalnya usulan atau pendapat saya diterima tentu saja peraturan pemerintah sekali lagi apapun namanya apakah peraturan presiden apakah keputusan presiden itu berbeda dengan peraturan pemerintah meskipun yang menandatangani itu sama, presiden.

Saya masuk Pasal 13 di bawah Bab IV dengan judul Perencanaan Peraturan Perundang-undangan. Ini bicara prolegnas. Ini klausul yang tidak ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 khususnya rencana peraturan Pemerintah dilakukan oleh yang progam penyusunan peraturan pemerintah. Ini bagus ini, suatu kemajuan ini. Saya appreciate, karena acapkali prakteknya itu antara undang-undang yang diterbitkan dengan PP yang diperintahkan untuk terbit lama sekali. Yang terakhir saya ambil contoh

11

Page 13: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

yang terakhir, Undang-undang 27/2009 tentang MD3 itu. Banyak sekali diperintahkan untuk diterbitkan PP bahkan kawan-kawan kita yang menjadi wakil rakyat di DPRD Provinsi, kabupaten/kota kelabakan dia bagaimana harus membuat peraturan tata tertib katanya, padahal itu diperintahkan dalam bentuk PP disini belum terbit, bagaimana kami harus bekerja, jadi menunggu mereka. Bagaimana kami bisa membentuk alat-alat kelengkapan dewan katanya wong PPnya belum ada katanya. Padahal alat kelengkapan dewan yaitu dalam peraturan tata tertib, mau membuat peraturan tata tertib harus berpedoman kepada PP yang akan terbit entah kapan pada saat itu. Saya bilang kalau begini kapan negara bisa maju. Saya bilang sudah jalan saja jangan nunggu ini, tapi nanti salah. Itulah kebiasaan kita, siapa yang menyalahkan saya bilang begitu. Kalau misalnya nanti tertib PPnya, ternyata bertentangan ya ganti saja, kok begitu saja repot, yang penting jangan menunggu ambil inisiatif buat saja. Lagipula buat apa kepala daerah diberi otonomi kalau hanya mengurus, mengatur, membuat peraturan tata tertib harus menunggu terbitnya PP, bingung saya.

Tapi bagus sekali lagi ini, bila perlu satu paket dia. Apalagi ada klausul saya lupa di pasal mana itu, dikunci dengan batas waktu dia, bagus itu. Sehingga pengajuan sebuah rancang undang-undang itu juga dibarengi atau dilengkapi dengan pengajuan rancangan atau di penyiapan rancangan peraturan pemerintah. Siapkan saja rancangannya, begitu undang-undang ini sudah disetujui oleh dewan, diundangkan oleh lembaga negara ya sudah siap, tidak perlu menunggu terlalu lama. Bagus Pak, saya appreciate ini Pasal 13 ini.

Logikanya begini kalau Pasal 13 ayat (2) perencana penyusunan peraturan pemerintah dilakukan dalam satu program penyusunan peraturan pemerintah. Inikan nasional tingkat pusat, bagaimana dengan tingkat daerah? Kita tahu di tingkat nasional PP ini adalah melaksanakan ketentuan yang ada dalam undang-undang, Perdapun harus dilaksanakan melalui... Satu instrumen hukum yang namanya peraturan kepala daerah sehingga logika saya perlu tidak disini dimasukan? Biar satu paket juga dengan Perda begitu. Kalau PP ini satu paket dengan undang-undang di daerah Perda itu satu paket dengan peraturan kepala daerah. Seperti yang dimohonkan di dalam perundangan yang berkenaan dengan prolegnas dan prolegda. Sekali lagi ini usul, silakan dipertimbangkan.

Pasal 16 dalam rancang undang-undang. Atau saya bacakan dulu Pasal 16, “dalam penyusunan prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) penyusunan daftar rancang undang-undang didasarkan atas; a. Perintah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 b. Perintah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Saya tidak banyak komen, silakan Bapak pertimbangkan, perlu dimasukan yang b ini, silakan baca konsitusi kita. Silakan baca TAP yang menghendaki peninjauan materi yang ada dalam TAP MPRS maupun TAP yang pernah keluar dalam bentuk TAP MPR. Yang saran saya untuk yang huruf b.

Pasal Bab VII, tadi juga sempat disinggung oleh Prof. Yusril, ini berkaitan dengan Prolegda. Hukum dan HAM di daerah di level daerah, selama ini mereka bingung. Yang penting kalau kita punya aparat di biro hukum di provinsi itu cakap. Acapkali mereka juga bingung padahal ada partner atau mitranya bisa saja digandengkan dengan Kanwil, itu yang dipertanyakan masukan, bisa tidak dibebankan mereka. Instansi vertical yang ada di daerah, mereka justru menunggu dilibatkan meskipun kalau dilihat dari asasnya, satu asas itu sentralisasi otonomi, satu asasnya dikonsentrasi ke atas dia, tapi bisa saja kerjasama melibatkan mereka Kanwil. Karena itu tolong dirumuskan disini bagaimana melibatkan kantor wilayah instansi vertical yang ada dibawah ini terutama yang berkenaan penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah daerah, entah siapanya yang akan bertindak sebagai coordinator dilibatkan saja mereka. Jadi bisa masuk disini instansi vertical yang ada di daerah. Karena selebihnya ini banyak berbicara secara teknis saya tidak ada catatan dan ini memang banyak sekali pasal-pasal yang baru dibandingkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Dengan kata lain, tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya atas apa yang sudah dibuat dalam rancangan undang-undang ini saya hanya menyampaikan beberapa catatan saja silakan dipertimbangkan.

Sekian dari saya, terima kasih Pak Ketua.

KETUA RAPAT: Terima kasih Profesor Dr. I Gde Pantja Astawa. Selanjutnya kami persilakan Prof. Dr. Arif Sidharta untuk menyampaikan saran dan masukannya. PAKAR (PROF. DR. ARIEF SIDHARTA):

12

Page 14: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Bapak Pimpinan dan bapak-bapak yang saya hormati, Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih atas penghargaan diundang hadir dalam pertemuan ini dan dimintakan pendapatnya. Saya juga seperti Prof. Yusril tadi, saya tidak mendapat kesempatan cukup waktu untuk mempelajarinya secara mendalam karena memang baru kemarin dan saya juga baru pulang dari Pontianak tiga hari di sana untuk kuliah berturut-turut tiga hari, setiap harinya sekitar 6 jam. Saya langsung pulang ke Bandung, pipi saya seperti kalau baal tapi saya kira sekarang sudah sempat tidur semalam lalu sudah hilang baalnya jadi saya bisa hadir pada hari ini. Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Yusril untuk uraian tadi yang bagi saya sangat sistematik, logis, konsisten dan jelas sekali apa yang ingin disampaikan oleh Prof. Yusril itu. Kemudian apa yang disampaikan oleh Prof. Gde itu sudah sangat mendetail dan saya tidak akan masuk ke situ dan saya akan membatasi diri pada bidang kajian saja yaitu pendekatan berarti pada tataran yang lebih sempit, artinya yang lebih filosofis, lebih general. Untuk itu saya akan langsung saja masuk bahan tertulisnya sudah saya sampaikan, nanti bisa dipelajari. Saya kira keberadaan kaidah-kaidah hukum positif itu kan beda dengan keberadaan benda-benda yang lain. Keberadaan hukum positif itu mempunyai keberadaan yang khas. Syarat keberadaan hukum yang khas itu biasanya disebut keberlakuan atau keabsahan. Syarat keberadaan yang khas ini mencakup berbagai aspek paling tidak ada tiga yang terlibat didalam keberadaan sebuah hukum itu. Ketiga aspek itu pertama keberlakuan factual, biasa disebut juga keberlakuan social atau keberlakuan sosiologis, atau keberlakuan empirical. Terus yang kedua, keberlakuan yuridik yang juga disebut keberlakuan formal, keberlakuan normative. Dan yang ketiga adalah keberlakuan moral yang disebut juga keberlakuan filosofical atau keberlakuan evaluasi atau keberlakuan materiil atau keberlakuan substansial. Sebuah undang-undang itu akan baik atau bisa efektif jika memenuhi ketiga keberlakuan itu, harus memiliki keberlakuan factual, yuridik maupun keberlakuan formal. Yang dimaksud keberlakuan faktual itu adalah bahwa kaidah hukum itu memiliki keberlakuan faktual jika kaidah itu dalam pernyataan sungguh-sungguh di dalam masyarakat nyata-nyata dipatuhi oleh warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang untuk itu jadi sungguh itu ditegakan, diterapkan dan dipertahankan. Misalnya saya sebagai contoh saja peraturan perundang-undangan kita di bidang lalu lintas kebanyakan itu nampaknya tidak memiliki keberlakuan faktual, tidak memiliki keberlakukan sosiologis, itu buktinya saya bisa lihat di depan kampus saya itu ada dipasang rambu-rambu jalan dilarang parkir disitu, disitulah para mahasiswa parkir. Polisi juga setiap hari lewat disitu tidak pernah bertindak terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa, begitu juga dosen yang ke kampusnya parkirnya juga disitu, dosen hukum itu. Juga polisi yang memampiri ada urusan ke….parkirnya juga disitu karena di dalam kampus juga penuh kira-kira begitu. Jadi ini menunjukan pasal tersebut kecenderungan tersebut memiliki keberlakuan faktual sampai rektor bertindaknya bukan menertibi yang salah-salah parkir itu tapi memundurkan parkirnya 5 meter ternyata efektif. Memundurkan itu sehingga tercipta selain lahan baru untuk parkir juga diberi lalu lintas jalan untuk angkot untuk menurunkan dan menaikan mahasiswa, lalu sekarang efektif sekali, persis itu tidak ada lagi mahasiswa parkir dibawah larangan parkir, ini saya kira rupanya menegakan peraturan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara tidak hanya sekedar menggunakan sanksi saja tapi juga dengan tindakan sosial yang tepat, sebuah peraturan yang tadinya tidak efektif menjadi amat sangat efektif, ini sebagai contoh. Kemudian jenis yang kedua, keberlakuan yuridik yang dimaksud adalah peraturan itu dibentuk sesuai dengan prosedur yang berlaku untuk itu oleh lembaga yang berwenang untuk itu dan juga dan juga substansinya juga tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lain jadi tidak tabrakan dengan peraturan lain terutama dengan peraturan yang statusnya lebih tinggi. Itu peraturan yuridik dan saya yakin sebagian besar dari peraturan-peraturan perundang-undangan kita pada saat sekarang ini memenuhi aspek keberlakuan yuridik ini. Kemudian yang ketiga, keberlakuan moral yaitu isinya secara moral disini oleh masyarakat isinya secara filosofis bisa dibenarkan artinya isinya itu adil dan oleh karena itu di…..oleh masyarakat secara umum. Inilah ketiga aspek ini, ketiga keberlakuan itu perlu dipenuhi. Apakah ketiga aspek itu akan dipenuhi atau tidak akan tergantung pada proses pembentukannya. Oleh karena itu berikut yang ingin saya sampaikan proses pembentukan perundang-undangan yang bisa diharapkan akan memenuhi ketiga aspek keberlakuan tersebut.

13

Page 15: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Agar undang-undang yang dibuat itu memperoleh keberlakuan faktual maka pembentukan undang-undang itu harus bertolak dari aspirasi masyarakat dan kebutuhan riil masyarakat pada peraturan yang bersangkutan. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu memerlukan artikulasi politik dan ini tugas para cendikiawan, para pakar terkait, para politisi, para media massa dan sebagainya untuk mengartikulasi aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat sehingga apa menjadi kepentingan politik dan ini akan dapat mendorong para anggota parlemen, para anggota DPR untuk memperjuangkannya menjadi sebuah undang-undang. Mungkin bahwa sebuah undang-undang itu harus berdasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat, saya bisa berikan contoh sebuah aturan yang sebetulnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, aturan yang menentukan bahwa barangsiapa ini undang-undang lalu lintas lagi, barangsiapa naik mobil duduk di bagian depan dari mobil harus mengenakan sabuk pengaman. Apa gunanya mengenakan sabuk pengaman, kenapa itu harus diancam dengan hukuman pidana.

Dulu pada waktu pertama kali diberlakukan ancaman pidananya itu maksimum 200 juta, sedangkan kalau orang mengenai mobil sembarangan membahayakan orang lain hukumannya hanya 100 juta. Kok peraturan yang membahayakan diri sendiri hukumannya lebih besar dari membahayakan oranglain. Inikan aneh, dan itu mendapat reaksi yang keras dari masyarakat. Sekarang memang saya kira sudah diubah sanksinya tapi masih tetap berlaku, tapi sebetulnya kan hak menggunakan sabut pengaman atau tidak, tidak ada kaitannya dengan ketertiban lalu lintas. Apalagi di kota-kota besar yang padat dan besar seperti Jakarta dan Bandung orang naik kendaraannya juga susah untuk bisa ngebut maka peraturan seperti itu tidak dibutuhkan. Tapi di Bandung dan di Jakarta itu ditegakan dengan keras oleh polisi. Jadi kalau ke Bandung kita naik mobil duduk di depan tidak pakai seat belt pasti akan berurusan dengan polisi kalau kebetulan polisinya “ngeh”. Tapi di beberapa kota yang lain tidak dilaksanakan peraturan itu toh lalu lintasnya tetap tertib juga. ini artinya bahwa sebetulnya keharusan mengenakan sabuk pengaman itu tidak relevan bagi ketertiban dan sebetulnya juga tidak dibutuhkan oleh masyarakat karena jelas di beberapa kota yang cukup besar yang tidak menegakan pasal itu ketertibannya tetap baik dan bagus malah lebih tertib dari Bandung. Kalau Bandung itu bukan tidak tertib, itu sudah kacau balau. Dalam proses artikulasi politik inilah maka saya sarankan seyogyanya PPHN yang sudah lama dibentukan dilibatkan lagi. Pada jaman Prof. Mochtar menjadi menteri kehakiman PPHNnya itu diaktifikan betulan dalam proses pembentukan undang-undang, paling tidak dalam mempersiapkan draft akademik. Juga tentu saja bisa dilibatkan dari dunia perguruan tinggi sebagai perguruan tinggi, bukan perorangan seperti sekarang ini lebih banyak perorangan. Proses artikulasi politik atau moment politik ini harus diinteraksikan dan dikaji artinya disaring dengan moment normatif tadi. jadi ketika lewat moment politik itu sudah dilewati, sudah bisa dicapai kesepakatan tentang substansi yang mau dijadikan undang-undang maka tahap berikutnya adalah moment yuridik, moment untuk memperoleh landasan keberlakuan yuridik yaitu apa hak yang dihasilkan oleh moment politik itu dikaji, diuji, disaring dengan moment yuridik itu dinilai dan dikaji dengan citra hukum yang dianut didalam masyarakat, Undang-undang Dasar tentu saja, nilai-nilai, asas-asas, kaidah-kaidah dan peralatan-peralatan hukum yang sudah ada termasuk juga Sekdas memberitahu bahwa hukum itu ada sehingga tidak menabrak peraturan-peraturan lain yang sudah ada. Penyaringan oleh pada moment normatif akan menjadi penting agar produknya tidak bertentangan dengan kaidah hukum lainnya terutama yang kedudukannya lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum yang hidup di dalam masyarakat dan dengan demikian substansi undang-undang yang baru dibentuk itu akan tertempatkan didalam keseluruhan sistem hukum yang sudah ada, yang sudah berlaku. Dengan begitu aturan tersebut akan, undang-undang yang akan dihasilkan akan memperoleh keberlakuan yuridik atau keberlakuan formal. Hanya saja ketika melakukan pengujian itu seyogyanya memperhitungkan juga moment filosofisnya yaitu memperhitungkan bahwa setiap pasal dari undang-undang yang ada terutama pasal-pasal dari konstitusi perlu dipahami diinterprestasi berdasarkan filsafat hukum yang dianut berdasarkan pandangan hidup yang dianut misalnya Pancasila, keyakinan keagamaan yang hidup di masyarakat itu semuanya harus digunakan untuk menyaring substansinya jangan sampai nanti dihasilkan undang-undang yang bertabrakan dengan keyakinan agama dan pandangan hidup yang dianut misalnya Pancasila.

Pancasila itu kan sudah jelas diterima sebagai landasan kemusyawaratan didalam kehidupan bernegara dan berpolitik di Indonesia. Kalau kita amati sejauh yang saya pahami, Pancasila itu kalau diterapkan dalam bidang ekonomi kan mustinya ekonomi yang berdasarkan Pancasila itukan bukan ekonomi kapitalis karena ekonomi kapitalisme itu landasannya adalah individualisme. Ekonomi yang dikehendaki oleh Pancasila itu adalah ekonomi kekeluargaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 itu.Tapi belakangan ini saya melihat banyak undang-undang yang

14

Page 16: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

nampaknya tidak dikaji dilandaskan pada Pancasila sehingga memunculkan perundang-undangan yang akhirnya itu tujuannya itu mengkomoditifikasikan bidang-bidang kehidupan yang seharusnya tidak dikomoditifikasikan. Saya akan mencoba memberikan sebuah contoh yaitu Undang-undang tentang Rumah Sakit yang sudah berlaku.

Di dalam Undang-undang tentang Rumah Sakit itukan dibedakan ada rumah sakit komersial dan rumah sakit non komersial. Rumah sakit publik yang non komersial dan rumah sakit swasta atau private yang komersial. Yang rumah sakit komersial itu badan hukumnya harus membentuk perseroan terbatas. Kalau perseroan terbatas komersial jadi bisa mencari keuntungan. Sedangkan badan hukum untuk rumah sakit yang sifatnya publik, yang tidak bersifat komersial itu bisa diadakan oleh Pemerintah, bisa juga diadakan oleh swasta. Saya kira sampai disini tidak ada masalah, tapi yang menjadi masalah sekarang di dalam undang-undang itu juga diatur bahwa badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit jadi badan hukum swasta yang menyelenggarakan rumah sakit hanya boleh menyelenggarakan rumah sakit saja, tidak boleh menyelenggarakan kegiatan lain yang bukan pelayanan kesehatan termasuk pendidikan. Padahal semua rumah sakit selalu membutuhkan perawat-perawat, karena itu dulu sejarahnya kalau ada rumah sakit dibentuk hampir selalu akan mendirikan kursus perawat supaya bisa menggunakan perawat yang dibutuhkan, terdidik dan terlatih.

Kursus-kursus ini semakin lama semakin berkembang akhirnya menjadi sekolah berbentuk sekolah formal lama-lama menjadi mencapai bahkan tingkat akademik sampai sekarang sudah mencapai tingkatan sekolah tinggi keperawatan. Hasilnya bisa mulai banyak. Ini tidak boleh lagi ditangani oleh badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit karena badan pendidikan ini harus dibawah kementerian pendidikan dan badan hukumnya itu yayasan. Pada dasarnya yayasan itukan tidak boleh mencari keuntungan, akibatnya karena sekolah-sekolah yang menyelenggarakan keperawatan itu hampir selalu mengalami kesulitan, saya sendiri kebetulan lama 40 tahun menjadi anggota sebuah badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit juga menyelenggarakan lembaga pendidikan dan keperawatan itu, lembaga pendidikan dan keperawatan itu walaupun sekarang sudah seperti sekolah tinggi dia menerima mahasiswa yang bebas dan dia membayar, uang yang bisa dibayarkan oleh para mahasiswa itu tidak akan pernah cukup terlalu sedikit untuk bisa mengelola sebuah sekolah tinggi keperawatan. Dari mana biaya untuk menutupi biaya sekolah tinggi ini, jadi apa yang dihasilkan oleh rumah sakitnya. Tapi kalau rumah sakitnya juga berbentuk yayasan atau perkumpulan dia tidak boleh mempunyai keuntungan. Kalau sekarang dia di rumah sakit itu hasil lebihnya diberikan kepada sekolah keperawatan itu akan dibaca sebagai sebuah keuntungan maka tidak bisa lagi.

Ini akibatnya rumah sakit-rumah sakit yang non komersial pun akhirnya akan membeli bentuk perseroan terbatas supaya hasil lebih hasil usahanya pada akhir tahun bisa digunakan, diserahkan ke yayasan yang menyelenggarakan sekolah keperawatan itu akibatnya lama-lama semua rumah sakit yang bukan Pemerintah pasti akan menjadi rumah sakit komersial. Ini akibatnya maka kesehatan manusia akan menjadi komoditas yang ujung-ujungnya juga manusianya juga akhirnya akan menjadi komoditas.

Menurut saya ini bisa terjadi karena ketika membentuk undang-undang ini aspek Pancasila, aspek ekonomi Pancasila tidak dilibatkan dalam proses pembentukan perumusan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga bisa menimbulkan implikasi di kemudian harinya yang bisa cukup jauh. Sekarang belum karena memang baru mengikat kalau tidak salah setahun atau dua tahun lagi. Kalau itu sudah diterapkan, tidak perlu terpaksa begitu. tapi yang banyak rumah sakit yang tadinya berbentuk yayasan akan berubah menjadi perseroan terbatas supaya bisa membiayai keperawatan yang diselenggarakannya, ini implikasi dari lebih ke jobnya ini.

Itulah beberapa hal yang ingin saya sampaikan, jadi kalau membentuk undang-undang perlu memperhitungkan, mengupayakan aspek keberlakuan faktual yang harus selalu berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, harus memperhitungkan aspek keberlakuan formal yaitu memperhitungkan peraturan-peraturan yang sudah ada mulai dari konstitusi sampai dengan peraturan lainnya yang dibawah yang sudah ada dan juga harus memperhitungkan pandangan hidup yang dianut masyarakat kira-kira keyakinan keagamaan yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dan inilah beberapa yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini.

Lalu yang lain-lainnya saya bermaksud nanti kemudian hari akan mempelajari lebih jauh, malah kalau boleh saya meminta ijin ingin menyelenggarakan diskusi tertutup di kalangan para dosen di kampus saya sendiri yang nanti barangkali hasilnya bisa disampaikan disini. Terima kasih. KETUA RAPAT:

15

Page 17: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Terima kasih banyak. Yang saya hormati para narasumber yang telah memberikan masukan dan syarat-syaratnya yang

sangat berharga bagi kita semuanya. Selanjutnya saya ingin menawarkan dulu kepada para narasumber dan para anggota karena kita tadi mulainya agak terlambat, sedangkan belum ada tanggapan atau pertanyaan dari para anggota, apakah setuju kita perpanjang setengah jam, 30 menit? PAKAR (PROF. DR.YUZRIL IHZA MAHENDRA): Sebelum kita tadi ingin saya ada kekurangan yang saya sampaikan. KETUA RAPAT: Silakan. Tapi perpanjangan 30 menit sudah disetujui?

(RAPAT: SETUJU)

Iya, terima kasih. Silakan Prof. Yusril ada yang mau disampaikan lagi. PAKAR (PROF. DR.YUZRIL IHZA MAHENDRA): Baik, minta maaf saya mau tambahkan sedikit. Dari apa yang diuraikan oleh Pak Gde Pantja maupun oleh Pak Arif Sidharta memang ada yang perlu disempurnakan dalam rancangan undang-undang ini khususnya mengenai ketentuan Bab I ini, ketentuan umum biasanya hanya mengatur defenisi-defenisi, pengertian-pengertian. Tapi disini di dalam Bab I ketentuan umum membicarakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, UUD 1945 yang saya kira tidak semestinya itu ditempatkan di dalam ketentuan umum. mungkin sesudah ketentuan umum itu ada yang lebih dalam sebelum asas pembentukan materi muatan di dalam Bab II membahas tentang landasan penyusunan peraturan perundang-undangan dimanakah letak pancasila termasuk frasa kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa yang ada pada setiap undang-undang itu justru sesudah undang-undang nomor sekian tentang ini tentang rahmat Tuhan Yang Maha Esa, tidak kita jelaskan apa artinya dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, ada disitu sekonyong-konyong dia muncul di dalam lampiran. Ada frasa ketuhanan yang maha esa, artinya implikasinya apa tidak kita jelaskan disini. Seyogyanya lah Ketua kita menempatkan Pancasila ini sebagai apa landasan filosofis dalam peraturan perundang-undangan, implikasinya apakah setiap undang-undang itu dengan frasa jadi kita mengerti bahwa disini sekonyong-konyong ketentuan umum lalu mengatur tentang pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Saya hanya ingin memberikan catatan mengenai Pasal 2 ini. Pada tahun 1967 itu ada satu sikap resmi dari majelis agung wali gereja Indonesia yang keberatan dengan rumusan pancasila itu sebagai sumber segala sumber hukum sehingga yang keberatan dengan rumusan Pancasila itu adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum karena di dalam iman Katolik katanya sumber dari segala sumber hukum itu adalah Yesus Kristus Tuhan kita, jadi bukan itu, jadi tolong diingat-ingat. Kalau orang Islam katakan wah ini bisa jadi syirik, khususnya PKS. Mengacu kepada apa yang dikatakan oleh, saya tidak bilang Islam tapi keputusan dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia itu penting sebab katanya iman katolik sumber dari segala sumber hukum adalah Yesus Kristus. Jadi rumusan yang lebih bisa diterima oleh agama-agama lah seperti yang disampaikan tadi.

Kedua, harapan saya nanti setelah undang-undang ini jadi tidak terjadi tabrakan dengan hal-hal lain undang-undang lain termasuk hal-hal yang sudah dalam pengalaman-pengalaman kami yang lalu sangat susah payah kami menyelesaikannya yaini ketentuan-ketentuan di Pasal 12 tentang materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang, peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten. Kemudian ketentuan pidana ini huruf c ancaman pidana kurung 6 (enam) bulan dan seterusnya saya berharap ini hati-hati karena bisa menabrak mulai dari undang-undang tentang Aceh Darussalam sebagai daerah otonomi sampai dengan undang-undang Pemerintahan Aceh. Karena di dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh itu tegas dikatakan bahwa syariat itu berlaku di Aceh dituangkan di dalam kanon artinya peraturan-peraturan daerah Aceh dan juga kita sudah mengamandemen undang-undang tentang pengadilan agama. Memperluas kewenangan pengadilan

16

Page 18: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

agama di Aceh menjadi Mahkamah Syariah dengan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara pidana yang diatur didalam kanon daerah Pemerintahan Aceh. Karena kanon tentang amar, kanon tentang meisir, kanon tentang zina di Aceh itu nanti bisa teranulir dengan ketentuan-ketentuan ini, Pasal12 dari undang-undang ini. Jadi ini akan menimbulkan persoalan baru di Aceh.

Jadi tolong nanti agak hati-hati dalam merumuskan ini supaya tidak menabrak hal yang susah payah kita selesaikan di Aceh dan juga hal yang sama juga susah payah kita merumuskan tentang berlakunya kaidah-kaidah hukum adat masyarakat Papua dalam undang-undang tentang Otonomi Papua. Jadi saya masih ingat betul pada waktu deadlock membahas RUU Papua di DPR ini saya dan Prof. Abdul Gani Abdullah pada waktu itu dirjen peraturan perundang-undangan deadlock karena orang Papua tidak ingin konflik antar suku diselesaikan berdasarkan undang-undang nasional. Jadi bagaimana, tidak mau pakai KUHP, jadi itu justru diselesaikan dengan merujuk pada hukum syariat islam bahwa tentang pihak, jadi kalau suku A membunuh suku B maka tidak bisa pakai KUHP tapi berdasarkan fiat dalam hukum islam bahwa ganti rugi jadi kalau kalau laki-laki A membunuh laki-laki suku B maka ganti ruginya itu wajib menikahi perempuan dari suku B itu sampai dapat anak laki-laki pengganti yang dibunuh tadi. jadi syariat islam dipakai untuk menyelesaikan krisis deadlock undang-undang Papua pada waktu itu. Selesai, kita ketawa-tawa sama Pak Gani.

Lucu memang, jadi pengalaman-pengalaman kita yang lalu tapi saya pikir kebijaksaan bagi kita yang tolong supaya undang-undang ini tidak nanti nabrak Aceh maupun Papua. Ini yang sudah saya ketahui dulu jangan di bongkar-bongkar lagi. Tambahan saya Pak Ketua, terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih Prof. Yusril. Perlu kami sampaikan bahwa sesuai dengan Tatib DPR memang untuk pembahasan itu ada dua masa persidangan tapi kemarin kita sepakati. Oleh karena itu RUU ini juga dianggap sangat penting sebagai semacam undang-undang induk. Sedangkan pada waktu masa persidangan kedua sangat pendek, memang kita ingin menyelesaikan RUU ini mungkin tiga masa persidangan. Oleh karena itu segala masukan tadi yang sudah disampaikan oleh Prof. Arif tentu kita akan terima, demikian juga narasumber lain kalau masih nanti ada masukan karena kita masih punya waktu. Tapi sebelum saya serahkan kepada anggota mungkin Profesor mohon diteliti apakah yang disampaikan terakhir tadi belum cukup yang ada di rumusan ayat (2) di Pasal 12 karena disini juga ada ketentuan pidana Perda boleh semacam itu memang sesuai peraturan perundang-undangan. Selanjutnya kami persilakan para anggota untuk silakan sekalian memperkenalkan karena tadi belum perkenalan, silakan pendapat atau pertanyaannya. ANGGOTA F-PKS (BUKHORI YUSUF): Terima kasih Pimpinan.

Terima kasih kepada para narasumber, para profesor yang saya hormati. Nama saya Bukhori dari Fraksi PKS daerah pemilihan Sumatera Selatan II Pak. Pertama saya ucapkan kepada Prof. Yusril yang telah menyampaikan banyak masukan. Saya

hanya ingin mendapatkan kejelasan mungkin tadi saya tidak begitu memperhatikan atau ada yang terlewat terkait dengan perlunya Perpres dimasukan dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan khususnya tadi terkait dengan Pasal 7 tetapi belum dimasukan dan belum diberikan alternatif posisinya dimana, nampaknya masih lepaskan mengambang, bagaimana pandangan Prof dalam hirarkinya apakah dia sesuai dengan pasal yang ada di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang sudah ada ataukah pada posisi yang lain? Ini pertanyaan saya kepada Prof. Yusril.

Yang kedua kepada Prof. Gde Pantja Astawa ini, ini menarik sekali banyak hal yang disampaikan. Saya mencatat banyak hal dan terutama beliau menyinggung terhadap suatu defenisi yang itu memang saya sangat mendasar. Saya kira memang defenisi yang disampaikan tadi juga berusaha memberikan pembatasan yang jelas sehingga mana yang disebut peraturan perundang-undangan dan mana kemudian yang sebenarnya bukan peraturan perundang-undangan tetapi dianggap peraturan perundang-undangan. Tadi saya kira sangat berterima kasih sekali.

Tapi Prof. ada beberapa yang ingin saya sampaikan atau saya tanyakan, tadi terkait dengan masalah peraturan presiden mengacu kepada filosofi pembagian kekuasaan dalam demokrasi dimana di

17

Page 19: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

dalam Undang-undang Dasar 1945 itu sudah sangat jelas bahwa kekuasaan membentuk undang-undang itu adalah DPR. Mungkin dari sanalah sesungguhnya segala peraturan itu sesungguhnya bersumber dari legislatif. Eksekutif tentunya adalah sebagai pelaksana dari perintah undang-undang itu sendiri. Oleh karenanya ketika presiden telah diberikan satu kewenangan secara bersama oleh Undang-undang Dasar dalam mengesahkan dan membahas undang-undang maka tentunya akan terlalu sangat lebar, akan terlalu sangat banyak ketika kemudian masih diberikan kewenangan membuat suatu aturan yang bersifat regeling dan ini tentunya akan semakin banyak. Nanti akan semakin banyak lagi terkait dengan Perpu yang akan saya tanyakan pula. Bagaimana kemudian kita menjelaskan pembagian kekuasaan ini dalam konteks menetapkan kembali peraturan presiden di dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Ini pertanyaan untuk Prof yang pertama.

Yang kedua, terkait dengan TAP MPR. TAP MPR memang merupakan kalau dalam Undang-undang Dasar sekarang tidak akan membuat TAP MPR tetapi kita tahu bahwa sekian TAP MPR ini telah diklasifikasi dan masih ada paling tidak ada dua klasifikasi, klasifikasi yang dia tetap berlaku dan klasifikasi TAP MPR yang berlaku sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Bagaimana kalau kemudian TAP MPR itu tidak dimasukan di dalam khususnya di Pasal 16 huruf b lalu kemudian jadi bagaimana nasib TAP MPR yang masih dua kategori tadi, kita posisikan seperti apa dan dimana.

Yang ketiga yang terakhir, saya ingin tanyakan kepada para seluruh narasumber berkenaan dengan Perpu. Kalau di dalam Undang-undang Dasar disana memberikan suatu reasoning bahwa Perpu itu alasannya kegentingan yang memaksa ini baik secara faktual yang tadi disampaikan oleh Prof. Arif bahwa kalau suatu undang-undang yang baik itu harus memenuhi tiga kriteria. Salah satu kriteria adalah bisa diterima dan bisa diterapkan artinya bersifat formal dan yuridik maka dalam prakteknya sebenarnya kategori tentang kegentingan yang memaksa itu tidak bisa melahirkan suatu situasi yang kondusif dalam terbitnya setiap Perpu. Banyak sekali kasus, mungkin yang paling mutakhir adalah kasus tentang masalah Perpu berkenaan dengan Century, Perpu berkenaan dengan masalah KPK. Ini sebenarnya adalah karena Perpu disitu tidak ada batasan yang jelas, tidak ada satu kategori apa yang dimaksud dengan kegentingan memaksa. Tadi disinggung oleh Prof bahwa kegentingan yang memaksa atau perpu itu sesungguhnya adalah salah satu undang-undang yang bersifat darurat. Saya jadi teringat di dalam satu kaidah hukum Islam bahwa darurat itu sebenarnya punya batasan, ada dua hal mendasar di dalam kategori yang hal itu bisa disebut darurat. Yang pertama harus adanya kejelasan kedaruratan itu sendiri, apakah itu menyangkut terhadap kerusakan, menyangkut kepada bahaya maut dan seterusnya. Yang kedua, harus ada ukuran. Makanya didalam kaidah-kaidah hukum Islam bahwa…….. (bahasa Arab) jadi darurat itu bisa melampaui aturan-aturan yang ada tetapi bahwa kedaruratan itu harus punya batas. Pertanyaan saya, apakah perlu bahwa untuk menjelaskan kedaruratan yang memaksa yang dimaksudkan oleh Undang-undang Dasar itu dimasukan di dalam klausul-klausul atau dimasukan didalam norma, di dalam peraturan perundang-undangan ini agar nanti setiap Perpu yang lahir itu meskipun itu adalah bersifat subyektif, namun subyektifitas itu adalah ada batas sehingga logika tentang pembagian kekuasaan itu akan tetap konsisten sebagaimana yang diterapkan dalam Undang-undang Dasar.

Terima kasih para profesor, silakan jawabannya. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. KETUA RAPAT: Silakan anggota yang lain, biar jadi satu saja Pak. Bu Eva kami persilakan. F-PDIP (EVA KUSUMA SUNDARI): Saya langsung pada pertanyaan, memang masalah ukuran dan tadi saya agak ingin dibriefing lebih dalam bagaimana memasukan bahwa melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang akan direvisi ini lagi bisa berdampak pada semakin berkurangnya undang-undang produk DPR yang akan di yudicial review. Jadi artinya ukuran konsitusi itu seperti apa dan dimana kira-kira untuk menjelaskan, tadi mungkin sudah dimulai dengan isu tentang bagaimana mengoperasionalisasikan Pancasila. Mungkin lebih jauh lagi kalau saya melihatnya karena pancasila bukan pada ketuhanannya Pak tapi bagaimana membentuk konstruksi masyarakat untuk sosialis. Pancasila inikan bukan dikuasai oleh pemuda seperti

18

Page 20: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

saat rakyat semakin tidak punya akses dan kontrol dan resources. Inikan yang gawat itukan bobolnya banyak undang-undang justru undang-undang produk yang muaranya di….karena kemudian undang-undang yang inisiatif Pemerintah itu banyak karena letter of intend dengan IMM, yang sebagai konsekuen dari sudah meratifikasi WTO dan dipaksa WTO dengan jelas bahwa siapapun yang meratifikasi dia harus menindaknya, tidak perduli, tidak ada omongan DPR, seperti itu. Itu yang nampaknya makin banyak karena undang-undang kemudian goal, migas goal dan macam-macam dan kalau kita lihat dasarnya disitu. Jadi kira-kira peluang untuk semakin menguatkan konstitusi yang aspek ekonominya itu dimana Pak peluangnya. Kemudian yang kedua saya ingin bertanya tentang tadi Pasal 2 yang Pak Yusril sudah mengingatkan agar akomodatif terhadap undang-undang Pemerintah Aceh karena pidanapun bisa diaturl di Perda. Apa ini nanti kalau kita assessment impactnya tidak justru kemudian mendatangkan dorongan karena kita paham sekarang sudah ada 86 Perda bernuansa, kalau saya dari perempuan ya ngomongnya diskriminatif ya, dan itu nuansanya syariah. Untuk menjaga agar itu tidak terjadi seperti apa, maksud saya jalan tengah PA tidak dimatikan tapi di satu sisi bisa mencegah agar tidak kemudian dipakai untuk menjustifikasi keinginan untuk kemudian yang saya melihatnya juga memarginalkan atau mendown grade kan konstitusi kita. Itu Pak pertanyaan saya. Terima kasih. KETUA RAPAT: Dari anggota masih ada? silakan. F-PKS (Drs. AL MUZZAMMIL YUSUF) : Terima kasih Pimpinan. Para narasumber yang saya hormati, Dalam kasus perdebatan pada periode lalu di Komisi III itu terkait dengan sanksi pidana, banyak anggota DPRD karena diterapkanya PP 110. Saya lupa waktu itu bertentangan dengan undang-undang berapa tapi pakar yang kita panggil mengatakan jelas bertentangan, PP itu sendiri bertentangan undang-undang. Tetapi dalam praktek lapangan tidak ada itu tetap diberlakukan walaupun kemudian di Sumatera Barat tidak dieksekusi, sudah diketok, tidak ada tidak eksekusi, saya minta fatwa MA pun lama. Kondisi-kondisi seperti ini bagaimana cara mengatasinya kalau itu terjadi lagi, ada PP yang bertentangan dengan undang-undang tapi PP itu yang dilanggar itu adalah pasal pidana. Diterapkan dengan PP jelas bertentangan dengan undang-undang. waktu itu perdebatannya ada yang mengatakan batal demi hukum, PP. tapi pas ketok palu di pengadilan sedang berlangsung, sekarang terakhir masih terjadi. Oleh karena itu Prof. Yusril, Prof. Gde dan Prof. Arif mohon penjelasannya bagaimana kita mengatur ini supaya itu tidak terulang kembali. Karena tuduhan kepada koruptor itu…..ringan, teman-teman kita semua partai hampir kena di Sumatera Barat. Yang kedua, ketika Kepmendagri bertentangan dengan Perda. Teman-teman kita di DPRD mengeluhkan itu. Cuma bagaimana mengatasi untuk hal ini tidak terulang lagi. Karena realitanya terjadi, pasal apa yang harus dibunyikan karena perdebatan di Komisi III yang mengatakan batal demi hukum, Prof. Trias juga bilang batal demi hukum PP itu toh sudah kita harus hormati lembaga peradilan yang sudah ketok palu. Mahkamah Agung juga lambat kita mintakan fatwanya. Mohon hal seperti ini tolong dibunyikan bagaimana pasalnya bagaimana sehingga menjadi pamungkas tidak perlu terulang lagi yang secara hirarki perundang-undangan telah bertentangan antara hirarki di bawahnya dengan undang-undang diatasnya. Terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT: Masih ada? F-PPP (H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI) :

19

Page 21: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

Arwani dari Fraksi PPP. Terima kasih Pimpinan, para anggota. Prof. Yusril yang pertama terima kasih banyak sekali masukan-masukan terkait dengan bahan ini.

Yang ingin saya tanyakan kepada Prof. Yusril adalah mungkin perlu diberikan tambahan elaborasi terkait dengan pengalaman Prof. Yusril sendiri yang terlibat banyak di Pemerintahan terkait dengan posisi baik ketika mendampingi presiden sebagai sekretaris negara dan juga kepada posisi Menkumham. Sejauhmana carut marut di dalam pelaksanaan undang-undang itu bisa lebih diberikan elaborasi terutama terkait dengan semakin berkembangnya, semakin suburnya muncul atau semakin banyak munculnya lembaga-lembaga negara, ada badan, ada komisi yang ratusan jumlahnya. Masing-masing juga mengeluarkan keputusan lembaga atau keputusan badan atau keputusan komisi, dan ini juga menjadi satu pertimbangan kita karena di beberapa lapangan, di beberapa prakteknya sering terjadi dualisme didalam pelaksanaan undang-undang itu sendiri. Artinya masing-masing lembaga punya tafsir sendiri-sendiri dan itu tidak atau belum diakomodir dalam suatu regulasi yang terpusat. Mungkinkah di dalam revisi Undang-undang Nomor 10 ini hal itu bisa diatur? Setidaknya sampai kapan kita akan mentoleransi tumbuh berkembangnya lembaga-lembaga negara yang semakin hari semakin justru tidak punya fungsinya ini.

Yang kedua, terkait dengan otonomi daerah. Masing-masing menurut saya atau menurut Prof. Yusril baik Prof. Arif maupuan Prof. Gde apakah terkait dengan otonomi daerah ini peraturan….(terputus) Perda Tingkat II, dengan sistem otonomi ini mestinya dua-duanya inikan sejajar tidak saling membawahi ini kalau saya mempunyai pemahaman sendiri barangkali menurut Profesor bagaimana di dalam memaknai otonomi daerah ini bahkan sampai ke tingkat desa, apakah ini dimaknai sebagai suatu tatanan yang saling berdiri sendiri, sejajar, tidak saling membawahi. Demikian Pimpinan. Terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih. Selanjutnya saya tawarkan kepada meja pimpinan, ada? silakan. F-PG (Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H.): Terima kasih Pak. Prof. Yusril, Prof. Arif, dan Prof. Gde yang saya hormati dan saya banggakan,

Terima kasih atas paparan dan masukannya soal TAP. Jadi kalau TAP ini dicantumkan dalam hirarki perundang-undangan tentu letaknya dimana kalau setelah Undang-undang Dasar. Tentu ada pertanyaan kemudian yang kemarin kita konsultasi dengan Pimpinan MPR ini juga menimbulkan pertanyaan sendiri dan mudah-mudahan pada kesempatan sekarang ini bisa terelaborasi dan terjawab paling tidak dari ketiga narasumber yang kompeten. Jadi kalau undang-undang bertentang dengan undang-undang pusat itu dihilangkan, bisa direview di MK. Tetapi kalau perundang-undangan bertentangan dengan tatib bagaimana itu. Itu yang pertama.

Yang kedua, ini pengalaman sebagai pakar sekaligus juga praktisi dan pejabat pemerintahan. Sejak jaman orde baru prof minta masukan berkaitan dengan produk perundang-undangan. Jadi dari pengalaman Prof. Yusril apakah kepres ini atau tadi diusulkan oleh Prof. Gde ini dalam bentuk peraturan presiden karena itu sifatnya mengatur, apakah ini tidak mengganggu dalam pengertian seperti prakteknya praktek pemerintah. Jadi itukan bertentangan dengan undang-undang tetapi prakteknya itu yang dianggap sakti itu. Bahkan dulu jaman Pak Soeharto inikan Inpres itu lebih sakti daripada undang-undang. Karena aparat itu lebih respect dan lebih mengikuti. Dalam konteks mendudukan atau kontruksi system peraturan perundang-undangan seperti apa. Lalu memang itu akan digunakan dalam bentuk perpres seperti apa yang semestinya kita masih lakukan tolerasi kalau memang kita masih pakai.

Yang ketiga, ini berkaitan dengan konvensi. Tadi Prof. Gde menyebutkan jadi Undang-undang Dasar ini sebagai hukum dasar tertulis tapi ada konvensi. Apakah sekarang ini masih ada konvensi atau yang namanya perjanjian internasional ini bagaimana apakah masih sebab semangat kawan kami

20

Page 22: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

konvensi ini praktek ketatanegaraan yang tidak tertulis tapi masih digunakan. Apakah ada konvensi yang masih digunakan.

Yang terakhir, ini soal perda. Yudisial perda inikan ke MA tetapi dengan menumpuknya perkara di MA artinya kapasitas MA untuk menangani hal itu juga mendapat problem justru dalam prakteknya. Apakah mungkin tidak kewenangan MA itu dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi di daerah sehingga kalau memang ada masyarakat yang melakukan itu bisa dilakukan di daerah dengan kewenangan yang dilimpahkan MA ke pengadilan tinggi.

Kemudian yang terakhir sekali ini, saya ingin merespon saja berkaitan dengan karena kita akan kunjungi Papua dan Aceh. Tadi Prof Yusril menjelaskan bahwa undang-undang ini juga harus mengapresiasi, mengakomodasi peraturan yang memang sudah diatur dengan undang-undang. Tetapi disisi lain kita juga menemukan ada perda-perda yang diluar Aceh dan Papua maksud saya itu dianggap bermasalah sehingga pertanyaan saya adalah ukurannya parameternya itu seperti apa, Bapak menjelaskan bahwa memang harus mengakomodasi tapi disisi lain memang kita tidak bisa menutup mata ada perda-perda yang dianggap memang bertentangan dalam konteks indifikasi hukum nasional, dalam konteks hukum nasional.

Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Ini ada anggota yang baru, cukup ya? Kami persilakan narasumber, terserah mau siapa yang paling dulu memberikan klarifikasi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pak Yusril mau pertama, silakan. PAKAR (PROF. DR. YUSRIL IZHA MAHENDRA): Terima kasih Pak Ketua. Pertama mengenai Perpu. Memang Undang-undang Dasar mengatakan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan saya berpendapat memang lebih baik tidak diatur secara detail apakah yang dimaksud hal ikhwal kegentingan yang memaksa karena makin dibatasi itu makin menyusahkan presiden dalam mengambil langkah kebijakan justru pada saat hal ikhwal kegentingan memaksa itu muncul dandiperlukan suatu tindakan yang konkrit.

Jadi seperti tadi dijelaskan dalam fiqih Islam ada ketentuan-ketentuan sampai sejauhmanakah dia darurat dan penggunaan darurat itu memang ada batasnya, jadi tidak bisa digunakan secara berlebih-lebihan begitu. Dalam prakteknya hal ikhwal kegentingan memaksa itu bisa muncul karena satu aturan undang-undang yang ada, itu memberi keadaan perangkat-perangkat untuk melaksanakan norma itu belum ada, institusinya belum ada dan sebagainya sehingga timbul keadaan kalau ini dibiarkan Pemerintah bisa dituduh melanggar undang-undang. Tapi untuk dilaksanakan ini tidak mungkin, terpaksalah pasal undang-undang itu ditunda. Kelihatannya sepele, mulai dari tahun 1974 pertama kali kasus ini terjadi pada waktu Pak Wuke menjadi kapolri berdasarkan Undang-undang Lalu Lintas tentang penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor berlaku tanggal kalau tidak salah 31 Desember 1974 sudah selesai mulai 1 Januari itu sudah berjalan. Tapi sosialisasinya belum cukup dan segala macam lalu dikeluarkan Perpu hanya menunda ini dan banyak dalam praktek dan pengalaman saya juga pernah tiga kali mengeluarkan Perpu, menyiapkan untuk ditanda tangani Ibu Megawati hanya karena KPU belum selesai menyiapkan administrasi Pemilu.

Jadi dalam undang-undang itu tegas dikatakan bahwa tahap ini selesai tanggal sekian, tahap ini selesai tanggal sekian, pas besoknya dia mau selesai KPU belum selesai dan ini bisa mengganggu pemilu. Dikeluarkan Perpu hanya untuk menunda itu berapa hari, itu bisa terjadi juga. Jadi lebih baik tidak di shut down tapi pembatasannya toh saya senang sekali dengan rancangan undang-undang yang baru ini bahwa atau tidak ada Perpu, ketika pemerintah menyampaikan perpu itu disahkan, jadi yang diajukan harus dua disini adalah bahwa diajukan adalah pengesahan perpu itu disahkan menjadi undang-undang atau RUU tentang penolakan perpu itu. Jadi tidak tunggu-tunggu lagi, dan itu satu hal yang sangat kikuk saya pikir. Tahun 2004 belum terpikir bagaimana mengatasi masalah ini karena satu perpu itu ditolak oleh DPR nanti bagaimana mencabutnya, mencabut perpu itu pakai apa? Pakai peraturan pemerintah, tidak. Nanti perpu tidak berlaku dicabut pakai perpu. Perpu mencabut itu harus lagi, bolak balik tidak selesai-selesai, begitukan. Tapi ini bagus jadi pada waktu pemerintah mengeluarkan perpu maka ada kewajiban

21

Page 23: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

pemerintah dalam masa sidang berikut itu mengajukan dua RUU bersamaan, RUU pengesahan perpu itu dan satu lagi RUU penolakan. Ini kan DPR tidak bisa diskusi mengamandemen isi perpu, DPR RI hanya mengatakan terima sahkan, tolak cabut. Nah itu bagus, saya memuji yang mendraft ini, kami 2004 tidak terpikir waktu membikin Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 bagaimana mengatasi cara kesulitan ini. Jadi keterbatasan presiden itu sebenarnya waktu juga, waktu sampai sidang berikut harus menyampaikan perpu itu dan kalau misalnya apa yang kita anggap apa yang diatur oleh presiden itu tidak semestinya ya DPR RI sepakat mengatakan tolak perpu dan seketika itu juga kalau ditolak maka RUU penolakan perpu itulah pencabutan perpu itulah yang disahkan, tapi kalau disetujui ya perpu tetap persetujuan. Saya kira memang sangat efektif dengan cara ini tapi mungkin tidak perlu dibatas-batasi harus seperti ini. Jadi kita ini kadang-kadang kalau belum berkuasa kita menyadari ini kita membatasi semua, tapi kalau begitu kita berkuasa wah kita mau besar-besarkan kekuasaan kita, pengalaman saya begitu. Saya pikir lebih baik kita moderat saja jadi diangkat saja beri keleluasaan kepada presiden walaupun tidak genting hal ikhwal kegentingan memaksa ini tidak seperti dipahami orang awam. Pasal undang-undang yang ada deadline tidak bisa dipenuhi pun jangan sampai pemerintah itu melanggar undang-undang, menunda itu hanya 3 hari tapi itu terlibat jalannya pemerintahan supaya sesuai dengan undang-undang yang lain.

Kemudian ini hal yang menarik bagaimana kita membuat undang-undang dengan pikiran supaya bagaimana ya supaya tidak terlalu banyak dibawa ke MK. Sebenarnya tentu yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita merumuskan suatu kadang Mahkamah Konstitusi ini menguji norma yang berlaku dalam undang-undang bertentangan atau tidak dengan norma yang diatur di dalam konstitusi. Itu bisa dia merupakan pertentangan karena dia bertentangan dia tidak batalkan tapi sebenarnya dia itu disebut dengan conditionally unconstitusional. Jadi kalau ditafsirkan begini dia bisa bertentangan. Oleh karena itu kita minta MK membuat penafsiran atas pasal itu supaya dia menjadi sesuai dengan konstitusi. Kalau tidak ditafsirkan begini dia melanggar konstitusi. Jadi MK sebenarnya juga bisa memainkan peran sebagai penafsir terhadap konstitusi dan penafsir terhadap undang-undang supaya sejalan dengan konstitusi. Yang tentu harus kita lakukan itu kembali yang tadi kita bicarakan semua Pak Arif maupun Pak Gde bahwa landasan filosofis kita dalam menyusun suatu norma undang-undang itu betul-betul norma undang-undang itu adalah penerjemahan ke dalam bentuk yang praktis dari prinsip-prinsip yang dianut dalam konstitusi itu. Kalau itu yang kita lakukan dia tidak akan banyak pertentangan walaupun tentu dengan berjalannya waktu hal-hal yang dulu kita tidak anggap bertentangan dia malah kita anggap sebagai hal yang bertentangan.

Hal lain juga yang sebenarnya menjadi problem di Mahkamah Konstitusi sekarang ini adalah pada waktu itu kami menyampaikan dan membahas dengan DPR ini, itu memang salah satu perdebatan yang sangat sulit seperti ini adalah bukan karena saya berkotbah….sampai sejauhmanakah undang-undang itu bisa diuji di Mahkamah Konstitusi. Kami maunya pada waktu itu ialah undang-undang yang lahir setelah amandemen ‘45. Bagaimana kita mau menguji KUHP bertentangan dengan UUD 1945, kan tidak logis, bahwa KUHP itu dibuat jaman belanda mestinya itu diuji dengan undang-undang dasarnya, bukan dengan UUD. Terang saja ini dibikin jaman belanda, acuannya undang-undang belanda atau paling tidak ini susah regeling, tidak cocok begitu. Tapi pasal itu sudah kita sepakati tapi anehnya Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal itu. Itu sampai saya bilang kepada Pak Kifli, saya bilang mestinya andaikata itu bisa membatalkan undang-undang mana saja kecuali undang-undang yang mengatur…kalau kita batalkan juga, kacau juga dunia ini saya bilang. Memang tidak dilarang dibatalkan, kurang etis katanya. Tapi dengan cara itu Mahkamah Konstitusi bisa menguji undang-undang yang jaman belanda UUD’45 tapi krusial begitu, sebenarnya ada legislative review dan ada yudicial review. Saya pikir kalau misalnya kita mampu sebenarnya menterjemahkan sebenarnya prinsip-prinsip di dalam undang-undang Dasar, kaidah-kaidah yang fundamental ke dalam norma yang praktis di dalam undang-undang maka dia tidak akan begitu diuji oleh MK, belum tentu juga mereka bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi sebenarnya hal yang fundamental yang bisa…tapi hal yang sangat….seperti misalnya orang minta nasihat sama saya Pak bisa tidak Undang-undang Minerba dibawa ke MK. Yang mana saya bilang? Ini orang kampung saya, orang Bangka Belitung. Disitu dikatakan bahwa untuk mendapatkan……..(suara tidak terdengar jelas) bagaimana orang mau eksplorasi tambang timah, tanah itu suruh tambang timah itu di 28 hektar, 15 tahun belum selesai dia nambang. Kalau Pulau Belitung kecil, kalau 5000 hektar satu kavling habis ini pulau, pasar-pasar, kantor bupati itu digusur semua, bisa tidak itu di MK. Saya bilang, memang undang-undang ini tidak benar karena ini cocok untuk batu bara tapi tidak cocok untuk timah. Tapi kalau diuji ini dengan pasal berapa UUD’45 yang bilang ini bertentangan, tidak ketemu juga. Sekarang percobaannya dibawa ke MK. Memang undang-undang ini tidak cocok, mintalah ke DPR RI supaya diadakan amandemen karena yang menyusun undang-undang itu mungkin di kepalanya batu bara. Mana ada orang tambang timah 5000 hektar. Kalau Cuma 5 hektar saja 5 tahun tidak selesai. Jadi karena itu saya kira kekhawatiran itu selalu

22

Page 24: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

ada bahwa akan ada review tapi sebenarnya tidak banyak hal juga yang bisa dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemudian ini soal perda-perda ini memang disini ada dibicarakan tentang perda ini dibatalkan oleh peraturan menteri dalam negeri apa masih dipertahankan atau tidak? Saya kurang sepaham juga bagaimana DPR RI itu dipilih oleh rakyat langsung, bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat sementara orang yang tidak jelas darimana juntrungannya tiba-tiba dia jadi mendagri langsung bisa batalkan, itukan aneh. Jadi saya kira memang perlu kita pikirkan soal apakah memang demikian adanya apakah tidak katakanlah mengkaji bisa seperti menteri dalam negeri juga tidak begitu paham betul apakah perda itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Karena disitu ada direktorat jenderal peraturan perundangan dan ada direktorat harmonisasi peraturan daerah sehingga akan lebih paham, sehingga tidak…….(suara tidak jelas terdengar) perda.

Jadi memang kalau menempuh jalan yudicial review Mahkamah Agung bisa membatalkan tapi tadi ada saran apakah tidak mendelegasikan kepada pengadilan tinggi? Saya sependapat. Mahkamah Agung bisa membatalkan peraturan daerah provinsi misalnya sementara peraturan daerah kabupaten/kota dikatakan pengadilan tinggi provinsi sama seperti sekarang kita juga supaya Mahkamah Konstitusi tidak dibebani perkara-perkara pilkada menghambat yang lain-lain, bolehlah kalau misalnya itu karena dulu DPR RI dan Pemerintah pada waktu membahas, MPR pada waktu membahas amandemen UUD’45 yang dipikirkan pada waktu itu bahwa MK itu menyelesaikan sengketa itu yang kita bayangkan pada waktu itu pemilu yang nasional itu tidak kita bayangkan bahwa belakangan itu pilkada dibilang pemilu juga, tidak ada waktu itu dalam pikiran kita sehingga tidak dimasukan itu sebagai kewenangan dari, tidak terpikirkan sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sekarang ini MK itu berjalan sebagian besar waktunya habis mengadili perkara-perkara pilkada kabupaten/kota yang sudah semestinyalah kalau kita mau membatasi pemilihan presiden, pemilu nasional itu ditangani olehh MK paling-paling pilkada provinsi dan kabupaten/kota cukup diserahkan kepada pengadilan tinggi.

Kiranya pengujian jangan Mahkamah Agung kebanjiran yudicial review karena minta dari semua kabupaten/kota padahal cukup pada pengadilan tinggi setempat. Tapi peraturan provinsi, perda provinsi bisa ditangani oleh Mahkamah Agung. Jadi saya sejujurnya sependapat bahwa memang tidak tepat kalau menteri dalam negeri bisa membatalkan perda-perda. Jadi kalau mau dibatalkan tetap harus menunggu jalan kepada yudicial, bukan kepada….(suara tidak jelas) review, karena tidak sulit juga kalau dikatakan peraturan kabupaten dibatalkan oleh peraturan daerah provinsi karena tidak cocok juga di tempat saya.

Kemudian mengenai komisi-komisi ini memang selama ini kita sadari betul bahwa Pemerintah pun sudah melakukan review terhadap keberadaan-keberadaan komisi baik kalau komisi yang dibentuk dengan undang-undang dasar seperti KPU itu sudah apa boleh buat begitu. Tapi Pemerintah dan DPR sering diajak juga membatasi komisi-komisi yang dibentuk dengan perundangan. Ada komisi dibentuk dengan peraturan Pemerintah dan ada komisi dibentuk dengan peraturan presiden. Dan kebanyakan komisi-komisi itu bertumpang tindih dan tidak jelas apa perbedaannya. Misalnya ada Komisi Ombudsman tidak begitu jelas kerjanya karena sudah banyak diambil alih oleh KPK dan lain-lain, ada komisi Hukum Nasional yang tidak begitu jelas kerjanya dan terjadi….(suara tidak jelas) pada waktu Komisi III DPR yang lalu karena ketua Komisi Hukum Nasional itu ketuanya Prof. Sahetapy, beliau sendiri anggota Komisi III terus raker diundang, beliau sendiri yang rapat disitu, itukan jadi aneh. Jadi saya sependapatlah bahwa komisi-komisi yang tidak jelas kerjanya itu DPR bisa mengangkat pada Pemerintah bubarkanlah saja kembali komisi yang tidak jelas.

Kemudian terakhir mengenai keputusan presiden dan itu memang kalau kita membaca rumusan draft Pasal 7 undang-undang selain ayat (1) diakui keberadaannya yaitu sepanjang diperintahkan oleh peraturan dari perundangan yang lebih tinggi. Tapi kemudian timbul pertanyaan kira-kira ada dimana? Jadi tidak menuang, tidak menampung ketentuan di dalam Pasal 7 ayat (1). Dan saya berpendapat bahwa peraturan presiden itu tetap harus ada tetapi sebagaimana juga peraturan Pemerintah itu dikeluarkan karena memang diperintah undang-undang memang peraturan presiden juga dikeluarkan kalau diperintah oleh peraturan pemerintah. Tapi hirarki dia berada di bawhah perturan pemerintah. Begitu juga peraturan menteri juga bisa dikeluarkan tapi nanti harus ditempatkan dimana letaknya di dalam rumusan dari Pasal 7 ayat (1) itu sepanjang peraturan menteri itu diperintahkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak mungkin tidak ada peraturan. Ini kita lihat praktek negara tidak bisa jalan nanti pemerintahan, ambil contoh misalnya kita buat Undang-undang Imigrasi tentang tata cara permohonan pembuatan paspor. Kan tidak mungkin juga diatur dalam peraturan pemerintah karena menyangkut tata cara. Tata cara pembuatan paspor mestinya dikeluarkan dalam bentuk peraturan menteri, tetapi kemudian tentang zona-zona kantor imigrasi. Misalnya orang depok bisa tidak bikin paspor di Surabaya,itukan tidak perlu

23

Page 25: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

peraturan menteri, tidak akan keluar juklak juknis yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Imigrasi, jadi ada peraturan Dirjen. Tapi nanti peraturan dirjen itu dikeluarkan karena dengan peraturan menteri, mengatakan bahwa zona-zona permohonan paspor diatur lebih lanjut dengan peraturan…. (suara tidak jelas) Jadi scopenya terbatas pada tugasnya masing-masing tapi dia mengacu pada peraturan yang lebih tinggi. Jadi benar sudah dirumuskan di dalam Pasal 7 ayat (2) tapi perlu ditegaskan dalam letaknya secara hirarkis kalau dinyatakan dirasakan ada pertentangan mengenai hal itu.

Lagi-lagi misalnya ini ambil contoh mengenai imigrasi karena kepentingan hukum dan ham itu dia tidak terkena kepada otonomi daerah, kan begitu. banyak juga supaya imigrasi diserahkan kepada daerah-daerah, tapikan tidak mungkin karena imigrasi harus netral. Jadi tentu kewenangan ini pengaturannya tetap harus seragam. Kalau sekarang sudah boleh orang Surabaya mau bikin paspor di Depok boleh saja karena sudah tidak jadi masalah lagi tapi kalau dulu tidak bisa, jadi kalau orang Depok harus bikin di Depok tidak bisa di Surabaya. Jadi itukan mempersulit orang juga.

Jadi saya kira supaya Pemerintah ini jalan memang peraturan-peraturan ini harus tetap ada dan nanti memudahkan kita untuk melakukan yudisial review kalau dia itu jelas mana kakeknya, mana bapaknya, mana cucunya. Jadi kalau Undang-undang Keimigrasian ada bapaknya kemudian ada anaknya peraturan presiden, ada juga peraturan menteri, ada cucunya lagi peraturan irjen sampai ke bawah sehingga kita review, itu jelas begitu. Jadi masalahnya kadang-kadang tumpang tindih kalau menyangkut kewenangan yang sebenarnya diklaim oleh beberapa pihak, seperti saya ambil contoh tadi misalnya banyak peraturan kehutanan, ada peraturan menteri kehutanan tapi menteri kehutanan kan tidak punya hutan, menteri kehutanannya ada disitu, sebetulnya hutannya ada di kampung-kampung, di daerah-daerah. sementara bupati mengatakan hutannya hutan kita di kampung ini, lalu ada Perda atau peraturan pengganti mengatur pemanfaatan hutan yang…..(suara tidak jelas) aturan dari menteri kehutanan. Hal-hal seperti ini yang memang membutuhkan tingkat kehati-hatian lebih tinggi. Saya kira itulah hal-hal yang perlu saya jawab.

Terima kasih. Pak Arif, Pak Gde dapat menjelaskan lagi hal-hal yang ditanyakan kepada beliau-beliau. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Yang saya hormati para narasumber dan para anggota, Tadi kita sepakati sampai jam 12.30, mohon persetujuannya kita perpanjang sampai jam 13.00 WIB.

(RAPAT: SETUJU) Terima kasih. Silakan Pak Gde dulu. PAKAR (Prof. Dr. I GDE PANTJA ASTAWA): Baik, terima kasih. Yang menarik ini soal Perpu, tadi sudah disampaikan oleh Pak Yusril, saya hanya ingin mempertegas saja. Dengan mengutip pendapat dari……..(suara tidak jelas) hal yang semacam perpu ini di Amerika Serikat dikatakan sebagai constitusional dictatorship. Kalau kita pahami istilah constitusional dictatorship ini seperti contradictio in terminus, dua istilah yang bertentangan. Di satu sisi konstitusional tetapi di sisi lain dictatorship atau kediktatoran. Kalau kita maknai kediktatoran dengan suatu yang pas dari sebuah landasan hukum ini kok konsitusional, ini ada dua istilah yang bertentangan satu sama lain. Maksudnya resitator begini, karena situasinya khusus. Kenapa dikatakan dictatorship, seakan-akan dictatorship? Karena ketika seorang presiden menjawab situasi yang khusus ini, jadi ruang timbang bebas itu hanya ada pada presiden, dia sepenuhnya mempertimbangkan kapan dia harus mengeluarkan Perpu, karena itu kewenangan presiden yang ada pada Pasal 22 itu sering dikatakan sebagai kewenangan istimewa, hanya dia yang tahu dan Tuhan untuk menjawab situasi khusus itu. Berbahaya tidak? Berbahaya. Bisa saja dia dengan alasan situasi khusus dia bisa mengeluarkan Perpu yang esensinya atau

24

Page 26: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

sejatinya bisa menabrak. Itu oleh Clinter tadi dikatakan…..(suara tidak jelas) tetapi kalau konstitusional mengapa? Karena memang konstitusi mengijinkan. Kenapa diijinkan karena tanggung jawab presiden sebagai penyelenggaraan kekuasaan tertinggi di Indonesia yang bertanggung jawab untuk merespon situasi khusus itu. tidak usah khawatir sepertinya terkesan tidak ada pembatasan, ada menurut saya meskipun diberikan keleluasaan kepada presiden untuk mengambil suatu untuk hukum yang namanya Perpu untuk menjawab situasi tapi toh pada saat dia menerbitkan Perpu memang tidak melibatkan siapapun, bukankah konstitusi sudah menentukan batasnya segera sesudah perpu itu terbit segera disampaikan kepada Dewan. Disinilah sebetulnya esensi pembatasan itu dan ini tergantung dewan mengontrolnya, kalau menurut Dewan ditolak, tolak perpu ini. Jadi tidak perlu khawatir sebetulnya batas-batas itu sudah memagari itu, tidak membiarkan seorang presiden itu menjadi seorang diktator. Jadi ada pengimbang ketika Perpu sudah terbit segera disampaikan kepada DPR, itu sebaiknya disetujui atau ditolak. Kemudian yang berkenaan dengan keberadaan MPR, ini sesungguhnya bicara tentang legislatif, review. Saya hanya melihat perintah pasal 1 aturan tambahan, usulan perubahan dari Undang-undang Dasar 1945, disitu menugasi MPR untuk melakukan legislatif review, mana materi-materi yang ada dalam TAP MPRS maupun TAP MPR yang perlu dituangkan dalam undang-undang dan seterusnya. Faktanya the existing, ada diantaranya masih tetap berlaku artinya belum ditampung, belum dimasukan dalam materi muatan undang-undang yang ini kita dihadapkan suatu kondisi obyektif bahwa MPR itukan join session. Join session dari DPR dan DPD. Ketika dia bergabung ini kan dia MPR. Persoalannya kita dihadapkan fakta sekarang, saya beranggapan bahwa TAP MPR ini keberadaannya sudah tidak dibutuhkan lagi dengan adanya aturan tambahan Pasal 1 itu. Tinggal persoalannya sekarang kalau TAP MPR yang ada masih tersisa ini yang belum ditampung dalam undang-undang itu dimasukan akan menjadi repot. Jadi pertanyaan tadi, kalau ada undang-undang yang bertentangan dengan MPR kemana larinya? Kita hanya mengatakan satu undang-undang bertentangan dengan undang-undang diatasnya dilarikan ke MK. Tapi saya tetap sependapat pada akhirnya nanti semua materi TAP yang ada dituangkan dalam bentuk undang-undang sehingga tidak lagi kita gunakan TAP MPR yang sudah-sudah pada masa Pemerintah orde baru itu. Yang ketiga ini berkenaan dengan peraturan presiden, saya hanya mendapatkan apa yang disampaikan oleh Prof….saya melihat dari sisi ini, selain dia agak ship of government dia adalah barangkali sering dilupakan, dia adalah dari perspektif hukum dia adalah pejabat instansi negara, administratur negara yang tertinggi. Ketika dia dalam posisi sebagai pejabat tata usaha negara atau pejabat instansi negara dia mempunyai kewenangan pengaturan meskipun administratif, dia punya kewenangan. Karena itu tadi saya katakan, dengan mengutip pendapat Jellinek barangkali Bapak belum datang tadi, sudah ya Pak, barangkali bisa dibaca di makalah saya. Di dalam posisinya sebagai chief of government maupun sebagai pejabat instansi negara dia mempunyai kewenangan pengaturan, membuat aturan. Hal ini maka perlu, kenapa? Karena kalau kita kembali pada tata urutan yang ada, PP membreakdown undang-undang, perpres pun membreakdown PP kalau memang diperintahkan oleh itu. Selain itu dengan kapasitasnya sebagai pejabat instansi negara dia mempunyai wewenang untuk menerbitkan peraturan. Dasarnya apa? Deskripsi. Dasarnya apa? Pasal 4 ayat (1) itu.

Terus Pak, saya kembalikan kembali, apakah kesepakatan dalam menentukan jenis macam peraturan perundang-undangan ini hanya terbatas eksplisit saja ataukah eksplisit plus implisit. Karena disepakati eksplisit, implisit yang ada dalam Undang-undang Dasar 1945 tentu saja jenis peraturan presiden itu harus dimasukan, itu usul saya.

Yang dari PKS ya, sebetulnya PP 110 itu sudah mati Pak, sudah tidak dipakai lagi karena saya tahu persis, karena saya keliling dunia. Jadi bukan apa-apa, sering dikatakannya pembela koruptor, membela kawan-kawan kita yang kena musibah, DPRD itu, provinsi yang di kabupaten/kota juga. Jadi yang sekarang dipakai adalah PP 105 justru Pak, jadi beralih. Lucunya penegak hukum kita tidak paham PP 105 ini sebetulnya wilayah ini wilayah eksekutif, tidak ada urusannya dengan Dewan. Susah juga kita berhadapan dengan kawan-kawan penegak hukum ini. Faktanya Bapak tunjukan contoh bahwa ada Kemendagri bertentangan sama Perda saya yakin pasti Perda dikalahkan, berdasarkan doktrin tertib hukum itu. Peraturan perundangan yang lebih rendah kedudukannya kalau bertentangan dengan yang lebih tinggi, akan dikalahkan yang lebih rendah. Sebetulnya doktrin ini bisa dibantah dengan acuannya pada pemahaman tentang otonomi. Tidak selamanya Perda yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi harus perda yang kalah. Kalau perda dihadapkan pada peraturan yang lebih tinggi ternyata peraturan yang lebih tinggi ini mengatur yang bukan kewenangan peraturan lebih tinggi mengatur sesuatu yang sudah diatur oleh daerah, bukan perda yang kalah, ini yang kalah, dengan dasar apa? Seperti Kemendagri

25

Page 27: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

misalnya atau PP 110, wong undang-undang memerintahkan yang berkenaan dengan hak-hak keuangan Dewan silakan Anda atur sendiri, Dewan yang mengatur. Muncul PP 110, bukan urusannya dia mengatur, begitu. jadi ketika dihadapkan oleh dua hal ini mestinya ini yang kalah tapi faktanya kan doktrin tertib hukum itukan selalu yang rendah yang kalah, menurut saya tidak, saya balik itu, tidak bisa. Oleh itu buat apa daerah diberikan otonomi? Semuanya diatur saja oleh pusat, provisi oleh pusat, selesaikan tidak perlu ada daerah otonom. F-PKS (Drs. AL MUZZAMMIL YUSUF) : Bisa sedikit interupsi Pimpinan? Pada posisi inilah mungkin tidak undang-undang ini muncul satu pasal sehingga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Bagaimana kita membunyikan dalam bentuk pasal misalkan berdasarkan peristiwa dimana perpu peraturan perundang-undangan itu tidak bisa menjadi kekuataan hukum untuk menjerat orang dalam pidana, termasuk juga yang Prof katakan ketika Kemendagri bertentangan dengan Perda. Tidak otomatis Perda dikalahkan, bagaimana kita membunyikan itu karena faktanya itukan berjalan, jadi itu persoalan. Terima kasih. PAKAR (PROF. DR. I GDE PATJA ASTAWA): Memang tidak mudah Pak karena ini berkenaan dengan doktrin tertib hukum. Karena selalu doktrinnya begitu, peraturan yang lebih rendah kalau berdasarkan pada hirarki ya, kalau lebih rendah katakan ya kalah. Sekarangkan persoalannya dihadapkan pada fakta bahwa daerah itu diberikan otonomi, bagaimana membunyikan itu dihadapkan pada aturan. Saya mempunyai dasar-dasar pemikiran dari perspektif organisasi. Cuma ketika saya ditanya bagaimana merumuskan ini biar bunyi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini dalam RUU ini, barangkali saya membutuhkan waktu mempertimbangkan itu. Maka saya ajukan nanti pemikirannya. Mengenai, kembali ke soal otda ini, peraturan yang dibentuk masing-masing daerah itu tidak saling membawahi, inikan persoalan regeling Pak, regeling dalam arti kalau kita melihat susunan Pemerintahan kita ada aturan Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, bukan persoalan atasan dan bawahan disini. Persoalan susunana Pemerintah kita demikian. Ini yang pertama. Yang kedua, lingkup keberlakuan sebuah aturan, kalau perda provinsi tentu saja sejauh wilayah provinsi. Kabupaten/kota sejauh wilayah kabupaten/kota artinya scopenya lebih sempit Perda kabupaten/kota dibanding dengan perda provinsi. Tentu saja kalau dilihat diletakan dalam kerangka hirarki peraturan perundang-undangan dengan sendirinya Perda provinsi lebih tinggi daripada Perda kabupaten/kota. Itu pemikiran saya begitu Pak. Perda ini soal pembatalan perda Pak, kalau provinsi kan perda yang dibatalkan dalam arti diuji berkenaan dengan yudicial review karena ada banyak sekali fakta Perda dibatalkan dalam konteks pengawasan. Pengawasan dalam arti secara administratif, Pemerintah pusat mengawasi daerah. sumbernya apa? Ada. Karena dalam sebuah united states, dalam sebuah negara kesatuan tidak ada sebuah daerah dan sebuah negara kesatuan itu dibiarkan leluasa dalam arti sebebas-bebasnya controlling untuk pengawasan tetap ada, meskipun…… (suara tidak jelas).

Jadi pengawasan disini itu memang selalu melekat oleh Pemerintah pusat yang berkenaan dengan misalnya terbitnya sebuah peraturan daerah. Karena itu disini dalam Undang-undang 32/2004 disebutkan ada 4 substansi yang memerlukan pengawasan, APBD, retribusi, pajak daerah dan tata ruang. Seringkali perda-perda yang berkenaan dengan retribusi dan pajak daerah yang dibatalkan oleh Pemerintah pusat. Atas pembatalan ini kemudian kepada daerah dimungkinkan dibuka peluang untuk mengajukan keberatan. Kemana? Ke Mahkamah Agung, tidak dalam konteks yudicial review, melawan pembatalan itu. Dan itu sudah terjadi, saya ambil contoh Perda Indramayu berkenaan dengan retribusi pengolahan minyak, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Dilawan oleh Pemerintah Indramayu ke Mahkamah Agung, Mahkamah Agung memenangkan dia dalam arti pembatalan dilakukan oleh Pemerintah pusat dalam hal ini kementerian dalam negeri harus dicabut, dimenangkan dia. Tapi semuanya ini tidak dalam konteks yudicial review. Masalahnya masalah pengawasan secara administratif. Ada dua sebetulnya Pak, ada perda yang dimohonkan dan ada perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, larinya ke Mahkamah Agung memang, yudicial review seperti yang disampaikan oleh beliau. Tapi yang saya kemukakan itu dalam konteks pengawasan. Itu hak yang selalu melekat ada pada pemerintahan

26

Page 28: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

dalam sebuah negara kesatuan. Yang saya catat itu, barangkali ada yang terlewat, mohon maaf kalau ada yang terlewat. Soal provinsi, sebetulnya pada masa orde baru sering Pak. Saya dulu sempat bermimpi ketika konvensi ini ditumbuh kembangkan bisa dipakai sebagai sebuah entry point untuk tidak dilakukan amandemen secara formal terhadap Undang-undang Dasar 1945. Bisa ditempuh melalui konvensi ketatanegaraan. Contohnya apa misalnya? Menurut saya itu the accident democracy yang ada pernah terjadi ketika pemilihan presiden dilakukan oleh MPR seharusnya yang dipilih itu adalah pemenang pemilu tapi yang terpilih bukan pemenang pemilu disitu dikatakan the accident democracy. Dasar itulah kemudian menjadi mengilhami untuk mengubah sistem pemilihan presiden dari dipilih oleh MPR dipilih langsung oleh rakyat, menurut saya tidak perlu, cukup dikembangkan konvensi. Dengan cara apa? Siapapun pemenang pemilu legislative, pimpinan pemilu legislative itu dikukuhkan sebagai presiden oleh MPR, disitulah logika demokrasi, kalau disini belum. Bukankah itu pilihan rakyat? Rakyat sudah memenangkan bahkan saya pernah terlontar pemikiran tidak perlu lagi diselenggarakan berbagai macam jenis pemilihan umum, rasanya nafas sudah sesak, belum sempat bernapas, selesai pemilu legislative, pilpres. Mending pilpresnya sekali, dua kali. Belum selesai bernapas, pilgub, pilwakot, kapan selesainya rakyat itu, pusing rakyat itu. Kenapa tidak misalnya begini, pemilu itu apapun sekali putaran, sekali jalan pemilu itu. Semua jabatan-jabatan Pemerintah itu terisi. Caranya seperti tadi saya katakan, begitu digelar pemilu siapa partai pemenang pemilu tingkat nasional.

Sebagai contoh 2009 kemarin katakanlah kita ambil contoh itu, Partai Demokrat, pimpinan Partai Demokrat dikukuhkan oleh MPR sebagai presiden, tingkat nasional. Provinsi lihat partai mana pemenangnya. Golkar misalnya di provinsi yang bersangkutan pimpinan Golkar menjadi gubernur. Kabupaten belum sama kan, kota juga belum tentu sama. Ini obsesi saya. Bisa tidak, tergantung komitmen sekarang. Daripada kita sekarang sudah susah sombong. Bayangkan saja berapa biaya pilpres, pemilu legislative, pilgub, pilwakot, pemilukada gubernur, berapa miliar itu. Kalau di Bandung sekian miliar itu pakai beli peyeum, bisa dipakai untuk tujuh turunan itu. Maka saya katakana tadi sudah susah sombong, mending kalau biaya untuk penyelenggara pemilu itu benar-benar bersumber dari dalam. Kan bagaimanapun juga kita masih melaksanakan, jadi pengemis kita kan.itulah demokrasi yang kita pilih. Nah ini maksud saya Pak, kembali ke soal konvensi itu, ini bisa ditemukan lewat konvensi Pak. tapi ya tidak tahu ketika reformasi itu ya maaf ini karena itu sudah terjadi saya tidak ingin memutar jam sejarah, itu sudah terjadi, coba ketika itu tenang, suasana reformasi yang namanya kebebasan itu baru terbuka ya sudah tidak pikir panjang. Tapi kalau tenang kembangkan konvensi saja, kalau saya sekarang Tanya masih ada tidak konvensi? Saya belum temukan itu. Paling tidak saya bisa lihat adalah pidato kenegaraan menjelang peringatan 17 Agustus, itu saja saya lihat konvensi itu masih jalan. Coba saja Pak konvensinya. Sekian Pak dari saya, yang saya catat disini. KETUA RAPAT: Terima kasih. Saya mohon persetujuan pada anggota dan narasumber karena waktu tadi jam satu, saya mau ijin perpanjang sampai Prof. Arif Sidharta memberikan jawabannya. Terima kasih. Setuju ya?

(RAPAT: SETUJU)

Silakan Prof. Arif Sidharta. PAKAR (PROF. DR. ARIEF SIDHARTA): Terima kasih. Saya kira semua pertanyaan tadi sudah terjawab oleh Prof. Yusril dan Prof. Gde, karena itu saya hanya memberikan tambahan sedikit saja jadi tidak terlalu lama. Pertama soal pengertian perpu itu, tentang pengertian kegentingan memaksa, memang barangkali bisa kita pahami sebagai keadaan mendesak itu keadaan yang memerlukan tindakan cepat yang itu untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu barangkali tadi pengertian kepatokan dalam islam yang tadi dikemukan tadi menurut saya sangat baik sekali. Alangkah baiknya kalau itu dibahasakan Indonesia saja kemudian diwacanakan sehingga bisa membuat pengertian kegentingan memaksa menjadi lebih jelas. Tadi saya merasa menangkap kok jelas sekali tadi ketika saya menangkapnya, kalau itu

27

Page 29: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

dibahasakan Indonesia mungkin akan baik. Tapi saya akan memberikan satu contoh konkrit yang pernah terjadi di dalam sejarah kita yaitu pada tahun 1945 setelah memproklamasikan kemerdekaan kan kita mendapat serangan diplomasi yang sangat berat dari Belanda yang menunjukan bahwa Republik Indonesia itu Republik boneka buatan jepang, system pemerintahannya pun sama seperti pemerintahan jepang, memang pada waktu itu presiden kita berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 memegang dua kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislative dan ada ditambah oleh aturan peralihan yang menyatakan selama DPR dan MPR belum terbentuk maka kewenangan-kewenangan dan kekuasaan DPR dan MPR itu dijalankan oleh presiden dan memang itu menimbulkan kesan bahwa presiden pada saat itu memegang kekuasaan mutlak.

Sehubungan dengan itu maka untuk melawan serangan diplomatic maka sebagai tindakan perlawanan maka muncullah maklumat nomor x itu, nomor x yang menyatakan bahwa selama DPR belum terbentuk kekuasaannya dilakukan oleh KNIP. KNIP melaksanakan tugas-tugas dari DPR itu. Dengan demikian kemudian disusul dengan maklumat wapres berikutnya yang menyatakan bahwa menteri-menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden tetapi bertanggung jawab kepada KNIP sebagai DPR. Dengan serangan balik itu saya kira serangan belanda bisa dilumpuhkan, lalu dari situlah kemudian terbentuk komisi tiga negara yang memperlancar proses pengakuan kemerdekaan kita oleh semua. Itu tentang hal yang pertama. Dalam kaitan ini memang seorang guru besar filsafat hukum dari Belanda mengatakan bahwa memang pembentukan hukum itu ada dua jalan, pertama perundang-undangan yang biasa, yang kedua itu tindakan konkrit. Tindakan konkrit itulah merupakan tindakan ekskutif yang didasarkan pada satu tindakan yang mungkin tidak ada dasar hukumnya tapi mengubah system hukum yang ada lalu diterima tapi diterima oleh semua pihak. Itu yang terjadi dengan Maklumat nomor X itu yang disusul dengan maklumat wapres berikutnya oleh semua pihak Indonesia diterima dan nanti itu berjalan lancer. Lalu Undang-undang Dasar 1945 sebetulnya dengan itu sudah berubah dari system presidensial menjadi system parlementer. Tapi dikatakan juga, hanya tindakan konkrit itu bisa berbahaya, bisa membuat kekuasaan menjadi dictatorial, oleh karena itu sebaiknya hanya satu kali saja dilakukan maka dirujuklah istilah….(bahasa belanda). Kalau sudah terlalu sering ya jadi kekuasaan dictator seperti yang terjadi di Filipina. Memang pada kekuasaan Pak Harto juga terjadi kekuasaan dictator tapi semuanya ini formal benar, sebab kekuasaan Soeharto itu terbentuk lewat proses procedural yang benar sehingga formal, tidak bisa disalahkan sebenarnya. Itu tambahan saya yang pertama, catatan saya yang pertama. Yang kedua, yang penting juga saya kira ini adalah berkaitan dengan masalah Pancasila itu tadi sebagai patokan didalam pembentukan undang-undang. Sebetulnya agak lebih konkrit dari sila-sila dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah Pasal 33, hanya Pasal 33 itu juga masih harus tetap abstrak yaitu perlu dikonkritkan lebih jauh supaya bisa menjadi patokan untuk menentukan apakah undang-undang itu bisa baik, bisa diterima atau tidak. Hanya saya sayang saja soal Pancasila itu sejauh yang saya ketahui jarang didiskusikan secara mendalam.

Seingat saya hanya ada dua kali diskusi tentang Pancasilayang sangat mendalam yaitu pada tahun 1959 di Yogya terjadi seminar tentang Pancasila yang sangat bagus sekali dibaca makalah-makalahnya. Yang kedua kali terjadi lima puluh tahun kemudian tahun 2009 bulan Desember di Jogja juga diadakan kongres Pancasila, penyelenggaranya adalah fakultas filsafat Gadjahmada dan Mahkamah Konstitusi dan hasilnya juga sudah dibukukan hanya saya karena ini mungkin produk Mahkamah Konstitusi tidak bisa diperjualbelikan sehingga tidak merata, hanya orang-orang tertentu saja yang menerima kiriman hasil kongres Pancasila yang bisa menikmati makalah-makala yang cukup lumayan untuk dikembangkan mewacanakan Pancasila sehingga bisa menjadi patokan dalam pembentukan undang-undang itu dalam menjabarkannya ke dalam peraturan-peraturan yang lebih konkrit. Barangkali itu tambahan dari saya. KETUA RAPAT: Terima kasih. Yang saya hormati para narasumber dan para anggota Dari anggota sudah cukup ya? Terima kasih. Demikianlah acara rapat pada hari ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kita semuanya sehingga kita bisa menjalankan tugas kita masing-masing. Demikian.

28

Page 30: RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-095005-3880.p… · panitia khusus rancangan undang-undang tentang . pembentukan

 

 

29

Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 13.15 WIB)

Jakarta, 26 Januari 2011 a.n. KETUA PANSUS RUU

TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEKRETARIS RAPAT,

ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si. NIP. 19690801 199403 2 001