RINGKASAN EKSEKUTIF PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN BENCANA DI PROVINSI BALI DAN PROVINSI JAWA TIMUR 2018 Peneliti: Rahmi Yuningsih, Dina Martiany, Faridah Alawiyah, Sali Susiana, dan Tri Rini Puji Lestari PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
18
Embed
RINGKASAN EKSEKUTIF - berkas.dpr.go.id · holistik yang kompleks; menganalisis kata-kata; dan menguraikan laporan mengenai pendapat detail dari para responden. Melalui pendekatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RINGKASAN EKSEKUTIF
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA DI PROVINSI
BALI DAN PROVINSI JAWA TIMUR
2018 Peneliti:
Rahmi Yuningsih, Dina Martiany, Faridah Alawiyah, Sali Susiana, dan Tri Rini Puji Lestari
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
A. Pendahuluan
Letak geografis Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng atau kulit
bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian
utara dan Lempeng Pasifik di bagian timur, membuat Indonesia rentan mengalami
bencana alam. Intensitas kejadian bencana alam cenderung mengalami peningkatan.
Dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dihimpun oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), pada periode tahun 2005 hingga 2015 terjadi
11.648 kejadian bencana hidrometeorologi dan sekitar 3.810 bencana geologi.
Bencana hidrometeorologi berupa kejadian bencana banjir, gelombang ekstrim,
kebakaran lahan dan hutan, kekeringan dan cuaca ekstrim. Sedangkan bencana geologi
yang sering terjadi adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor.
Saat ini anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak cukup besar
untuk untuk membantu korban bencana dan untuk membangun kembali rumah,
sarana dan prasarana pascabencana. Dengan terbatasnya kemampuan pemerintah
dalam menangani korban dan pembangunan pascabencana, penanggulangan bencana
mengalami pergeseran paradigma, yaitu dari pemerintah sentris menjadi
partisipatoris. Partisipasi harus dimulai dari tingkat paling rendah, yaitu masyarakat.
Adanya partisipasi dari masyarakat juga membuat pergeseran paradigma
penanggulangan bencana, yaitu dari tanggap darurat menjadi kesiapsiagaan. Tanggap
darurat sampai saat ini memang penting dilakukan dan dibutuhkan oleh masyarakat
terdampak bencana. Namun tidak cukup hanya upaya tersebut saja. Yang lebih penting
adalah menyiapkan masyarakat untuk lebih cerdas dalam menghadapi bencana,
mengurangi dampak risiko serta mengelola pengetahuan menjadi kesadaran kolektif
di dalam masyarakat sehingga tahan atau tangguh dalam menghadapi bencana.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan penelitian ini adalah
“Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali
dan Provinsi Jawa Timur?”, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana?
(2) Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam upaya
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana?
B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih
karena sifatnya yang terbuka dan fleksibel. Peneliti akan membangun gambaran
holistik yang kompleks; menganalisis kata-kata; dan menguraikan laporan mengenai
pendapat detail dari para responden. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat
diperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya dari para narasumber dan informan,
sehingga dapat diperoleh gambaran yang utuh mengenai permasalahan.
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 19 - 25 Maret 2018 di Provinsi Bali dan
pada tanggal 16 - 22 April 2018 di Provinsi Jawa Timur. Teknik pemilihan informan
dalam penelitian ini dilakukan melalui purposive sampling. Sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, observasi langsung,
wawancara dan FGD dengan pihak-pihak yang berkepentingan seperti BNPB,
Kementerian Sosial, BPBD, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, PMI, lurah/ketua RW
setempat, pengurus Kampung Siaga Bencana dan Desa Tangguh Bencana setempat,
akademisi, masyarakat dan lainnya.
C. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana di Provinsi Bali
Terkait budaya Bali, terdapat beberapa pandangan masyarakat Bali mengenai
kejadian bencana, antara lain: (1) bencana tidak dapat ditentukan sebelumnya,
melainkan kehendak alam yang harus dihadapi dengan saling bahu membahu antara
unsur pemerintah, swasta dan masyarakat; (2) kejadian bencana merupakan dampak
dari dinamika pertumbuhan penduduk, perubahan iklim dan faktor alam sehingga
kejadian bencana tidak dapat terelakkan; (3) masyarakat masih memiliki pandangan
konvensional terhadap kejadian bencana seperti berpandangan klenik ataupun mistis,
terutama di daerah-daerah pedesaan yang belum terjangkau oleh sosialisasi ataupun
peningkatan kapasitas mengenai penanggulangan bencana. Namun pandangan ini
mulai bergeser setelah kejadian bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004, terutama
di wilayah-wilayah perkotaan yang banyak memiliki akses terhadap media
cetak/elektronik ataupun internet.
Mengingat posisi Bali sebagai kawasan yang masuk dalam jalur ring of fire,
diperlukan kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang dapat mengancam sewaktu-
waktu. Terkait dengan bencana erupsi Gunung Agung, masyarakat yang tinggal di desa
paling terdampak erupsi mulai berinisiatif membentuk relawan yang tergabung dalam
Pasemetonan Jagabaya (Pasebaya) Gunung Agung, terdiri dari perwakilan 28 desa di
sekitar Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Mereka berperan aktif memberikan
informasi kepada warga di wilayah terpapar bencana erupsi. Ini merupakan bentuk
nyata dari kekuatan modal sosial masyarakat Bali melalui gotong royong. Keberadaan
Pasebaya Gunung Agung ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Evakuasi
menjadi lebih mudah, karena mereka mengedukasi serta melakukan pendekatan
personal kepada warga.
Selain itu, konsep menyama braya menjadi modal dasar bagi masyarakat Bali
dalam ikut serta penanggulangan bencana. Menyama braya dalam konteks umum
mempunyai makna jiwa kebersamaan, gotong royong, saling asah, asih, dan asuh.
Dalam konteks kekinian, konsep tersebut diimplementasikan menjadi bekerja dalam
team work. Konsep menyama braya didukung oleh sistem cluster (banjar) yang
membuat solidaritas, toleransi dan rasa kemanusiaan menjadi lebih kuat. Konsep
menyama braya dan tulus ngayah menjadi motivasi besar bagi masyarakat Bali untuk
berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana. Konsep menyama braya
diimplementasikan misalnya pada saat terjadi erupsi Gunung Agung, masyarakat
dengan sukarela mempersilahkan fasilitas umum yang dimilikinya seperti bangunan
banjar untuk dapat ditempati oleh para pengungsi yang tersebar di hampir seluruh
Bali.
Bali juga memiliki konsep tri hita karana atau memelihara keharmonisan
hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan
melalui kearifan lokal dan budaya yang berlaku di tiap desa. Hubungan manusia
dengan lingkungan mengajarkan masyarakat untuk tetap menjaga kebersihan
lingkungan sebagai bagian dari upaya pra-bencana. Selain itu, terdapat beberapa nilai
lokal atau local wisdom yang dimiliki masyarakat Bali yang sangat mendukung
partisipasi dalam penanggulangan bencana, yaitu: (1) Jengah; (2) Ngayah; dan (3)
Lascarya.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali
antara lain:
a. Participation in decision making: (1) Masyarakat ikut serta dalam setiap
program kebencanaan dan menindaklanjuti program tersebut dengan
berkoordinasi dengan perangkat desa sebagai pengambil kebijakan tingkat hilir;
(2) Masyarakat membantu memberikan informasi kerentanan dan jalur-jalur yang
memungkinkan untuk dilakukannya tindakan evakuasi dan data lain dibutuhkan;
(3) Membuat kesepakatan dalam komunitas, misalnya dalam membuat rencana
kontijensi penanggulangan bencana, peraturan/awig-awig terhadap kelestarian
lingkungan, latihan mandiri, dan memberi dan menggalang bantuan untuk korban
bencana; (4) Masyarakat berkontribusi dalam uji coba penanggulangan bencana
serta membangun perkumpulan atau relawan tanggap bencana.
Participation in implementation: (1) Masyarakat langsung menuju tempat
pengungsian yang telah disiapkan sebelumnya. Hal ini terlihat pada saat banjir
bandang di Gerokgak Buleleng, longsor di Songan Bangli, dan erupsi gunung
Agung; (2) keterlibatan langsung masyarakat dalam kegiatan dapur umum di
lapangan; (3) masyarakat membantu menyalurkan kebutuhan dasar korban
bencana seperti sembako dan pakaian; (4) memberikan bimbingan konseling
kejiwaan bagi korban bencana
Participation in benefit: Masyarakat mengikuti kegiatan pemeliharaan kebersihan
rumah dan lingkungan. Sesuai dengan konsep tri hita karana atau memelihara
kebersihan dan keharmonisan hubungan dengan lingkungan melalui kearifan lokal
dan budaya yang berlaku di tiap desa
Participation in evaluation: Masyarakat turut mengawasi, memberikan saran dan
kritik terhadap upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah, antara lain
dengan melakukan kritik/koreksi terhadap jalur evakuasi korban dan memberikan
saran terhadap jalannya penanggulangan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendukung dalam upaya meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali yaitu:
1. faktor agama dan keyakinan masyarakat Bali yang sebagian besar beragama hindu
yang percaya dengan adanya hukum karmaphala (hukum karma) dan konsep
hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan lingkungan
(konsep Tri Hita Karana)
2. faktor budaya masyarakat Bali yang kental dengan semangat gotong-royong
(menyama braya), rasa kemanusiaan, persaudaraan, toleransi dan solidaritas yang
tinggi menimbulkan rasa tulus dan ikhlas dalam membantu sesama
3. pengaruh adat dan budaya Bali yang tumbuh dan berkembang dalam konteks desa
pekraman di mana masyarakat hidup rukun dan saling menolong
4. Pulau Bali sebagai destinasi pariwisata yang membutuhkan kapasitas masyakat
dalam menjamin wisatawan dapat merasa aman dan nyaman di Bali termasuk
ketika terjadi bencana
5. semakin gencarnya program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah maupun stakeholder lainnya dalam bentuk desa tangguh, desa siaga,
siaga bencana berbasis masyarakat, kampung siaga bencana, dan lainnya
6. semakin banyak lembaga atau organisasi sosial kemanusiaan terkait dengan
penanggulangan bencana yang bersentuhan langsung dengan masyarakat
termasuk dalam upaya pemberian sosialisasi dan pelatihan
Adapun faktor penghambat dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali yaitu:
1. masyarakat masih belum sepenuhnya memahami dan peduli akan kejadian
bencana di Provinsi Bali. Masyarakat cenderung berpandangan bahwa
menghindari risiko bukanlah hal yang penting, mereka tetap melakukan rutinitas
sehari-hari yang bisa saja mengancam keselamatan jiwanya. Misalnya, masyarakat
masih banyak yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana dan juga
masyarakat kurang berminat untuk berperan aktif dalam sosialisasi kebencanaan.
Bahkan dalam kejadian erupsi Gunung Agung, ada beberapa masyarakat yang
tetap melakukan pekerjaan kesehariannya di daerah yang rawan. Namun ketika
bencana itu terjadi, masyarakat malah menilai pemerintah lamban dalam
menangani dan mengantisipasinya.
2. urusan kebencanaan masih banyak dianggap tabu untuk dibahas (entah karena
kaitannya dengan upacara/persembahan ataupun karena dalih pariwisata yang
diusung pemerintah sebagai jargon “turis akan takut datang ke Bali jika kita bicara
bencana”). Beberapa wilayah yang telah mendapatkan sosialisasi ataupun
pendampingan baik dari pemerintah maupun lembaga nonpemerintah lebih
terbuka menyikapi isu-isu mengenai kesiapsiagaan, penanggulangan dan
pengurangan risiko dibandingkan daerah yang tidak tersentuh intervensi program
sama sekali.
3. masih adanya anggapan bahwa masyarakat hanya sebagai objek bukan subjek.
Padahal urusan penanggulangan bencana adalah urusan pemerintah, swasta dan
masyarakat. Hal ini membuat masyarakat bersikap pasrah dan sangat bergantung
pada program-program pemerintah.
4. belum maksimalnya koordinasi antara masyarakat dan pemangku kepentingan
dalam penanggulangan bencana. Koordinasi juga belum maksimal dilakukan antar
instansi pemerintah maupun stakeholder lain. Hal ini terlihat dalam belum
bersinerginya program-program pemberdayaan masyarakat dalam
penanggulangan bencana yang dilakukan di masing-masing instansi seperti
program destana, kampung siaga bencana, desa siaga dan sibat.
5. pendanaan program atau kegiatan penanggulangan bencana untuk masyarakat
yang masih minim
6. upaya sosialisasi pra-bencana kurang intens dilakukan khususnya di daerah-
daerah pelosok. Biasanya sosialisasi gencar dilakukan setelah dalam keadaan
sudah terancam bahaya bencana.
7. tidak semua masyarakat mempunyai kehidupan perekonomian yang mencukupi.
Padatnya rutinitas keseharian yang mempersulit masyarakat berperan aktif
dalam organisasi atau kegiatan sosial
D. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa
Timur
Mayoritas bencana terjadi di desa sehingga penanganan pertama pada saat
bencana akan optimal jika dilakukan oleh masyarakat sekitar. Keterlibatan aktif
masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana di Jawa Timur banyak dilakukan
melalui program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
provinsi maupun kabupaten/kota. Tak hanya pihak tersebut, namun pihak swasta
seperti universitas juga berperan dalam menumbuhkan peran aktif masyarakat
daklam penanggulangan bencana. Seperti program Destana yang diinisiasikan oleh
BNPB, Kampung Siaga Bencana (KSB) oleh Kemensos, Desa Siaga oleh Kementerian
Kesehatan, SIBAT oleh PMI dan lainnya. Dari program tersebut, Desa Siaga merupakan
jumlah program pemberdayaan paling banyak di Jawa Timur (90% dari jumlah desa
yang ada) walau Desa Siaga lebih menitikberatkan pada upaya kesehatan secara umum
namun tetap menyiratkan program kebencanaan khususnya kegawatdaruratan medis
akibat bencana. Tujuan program tersebut sama-sama ingin membentuk pemahaman
masyarakat mengenai bencana beserta upaya penanggulangan yang melibatkan
masyarakat sehingga masyarakat dapat mandiri melakukan upaya penanggulangan.
1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang
memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu
mengorganisasi sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus
meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan
dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan,
kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk
pemulihan pascakeadaan darurat. Dalam Desa/Kelurahan Tangguh Bencana,
masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau,
mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka,
terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.
Hikmat, Harry. 2004. Pengarusutamaan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Cipruy.
IDEP. 2007. Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Bali: Yayasan IDEP.
Isnanta, Fahri. 2014. Implementasi Program Kampung Siaga Bencana (KSB) dalam Rangka Penanggulangan Bencana Berbasiskan Masyarakat di Kelurahan Rawa Buaya RW 11 Jakarta Barat. Depok: Tesis FISIP UI.
Ministry of Social Affairs. 2015. Himpunan Perundang-undangan Penanggulangan Bencana Bidang Perlindungan Sosial. Jakarta: Directorate of Social Protection for Natural Disaster Victims Ministry of Social Affairs RI.
Ministry of Social Affairs. 2016. Buku Saku Kampung Siaga Bencana (KSB). Jakarta: Directorate of Social Protection for Natural Disaster Victims Ministry of Social Affairs RI.
Ministry of Social Affairs. 2016. Petunjuk Teknis Kampung Siaga Bencana (KSB). Jakarta: Directorate of Social Protection for Natural Disaster Victims Ministry of Social Affairs RI.
Health Crisis Center of Ministry of Health 2017. Profil Penanggulangan Krisis Kesehatan Kabupaten/Kota Rawan Bencana Jawa Timur.
Sugiyanto, dkk. 2012. Bantuan Stimultan Pemulihan Sosial: Studi Evaluasi Bantuan Stimulan Bahan Bangunan Rumah Berupa Uang Melalui Kelompok Masyarakat Penerima Bantuan. Jakarta: P3KS.
Yustiningrum, Emilia, dkk. 2016. Bencana Alam, Kerentanan dan Kebijakan di Indonesia: Studi Kasus Gempa Padang dan Tsunami Mentawai. Yogyakarta: Calpilus.
Zubaedi. 2016. Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik. Jakarta: Kencana.
“1.655 KK Pengungsi Sinabung akan di Relokasi tahap Tiga’, http://news.analisadaily.com/read/1655-kk-pengungsi-sinabung-akan-di-relokasi-tahap-tiga/424224/2017/09/30, accessed on February 8th, 2018.
“Belum Rampung Dibangun, Jembatan di Brebes ini Roboh Tersapu Banjir”, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3844425/belum-rampung-dibangun-jembatan-di-brebes-ini-roboh-tersapu-banjir/komentar, accessed on February 8th, 2018.
“Jatim Juara Lagi, Mensos Khofifah Berikan Penghargaan untuk Pakde Karwo”, https://duta.co/jatim-juara-lagi-mensos-khofifah-berikan-penghargaan-untuk-pakde-karwo/, accessed on February 8th.