Pasien dengan DakriosistitisRicky Suryamin*102012141Mahasiswa
Fakultas Kedokteran UKRIDAAlamat Korespondensi: Jl.Arjuna Utara
No.6 Jakarta Barat 11510e-mail: [email protected]
PendahuluanSistem lakrimal terdiri dari dua bagian, yaitu sistem
sekresi yang berupa kelenjar lakrimal dan sistem ekskresi yang
terdiri dari punctum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal,
duktus nasolakrimal, dan meatus inferior. Sistem eksresi lakrimal
cenderung mudah terjadi infeksi dan inflamasi karena berbagai
sebab. Membran mukosa pada saluran ini terdiri dari dua permukaan
yang saling bersinggungan, yaitu mukosa konjungtiva dan mukosa
nasal, di mana pada keadaan normal pun sudah terdapat koloni
bakteri. Tujuan fungsional dari sistem ekskresi lakrimal adalah
mengalirkan air mata dari kelenjar air mata menuju ke cavum nasal.
Tersumbatnya aliran air mata secara patologis menyebabkan
terjadinya peradangan pada sakus lakrimal yang biasa disebut dengan
dakriosistitis.Dakriosistitis dapat berlangsung secara akut maupun
kronis. Dakriosistitis akut ditandai dengan nyeri yang muncul
secara tiba-tiba dan kemerahan pada regio kantus medial, sedangkan
pada inflamasi maupun infeksi kronis dari sakus lakrimal ditandai
dengan adanya epifora, yaitu rasa nyeri yang hebat di bagian sakus
lakrimal dan disertai dengan demam. Selain dakriosistitis akut dan
kronis, ada juga dakriosistitis kongenital yang merupakan bentuk
khusus dari dakriosistitis. Patofisiologinya berhubungan erat
dengan proses embriogenesis dari sistem eksresi
lakrimal.Dakriosistitis umumnya terjadi pada dua kategori usia,
yaitu anak-anak dan orang dewasa di atas 40 tahun dengan puncak
insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun. Dakriosistitis pada bayi
yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari jumlah
kelahiran yang ada. Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa sekitar
70-83% kasus dakriosistitis dialami oleh wanita, sedangkan pada
dakriosistitis kongenital jumlahnya hampir sama antara laki-laki
dan perempuan.Anatomi Sistem LakrimalisSistem lakrimal terdiri dari
dua bagian, yaitu sistem sekresi yang berupa kelenjar lakrimalis
dan sistem ekskresi yang terdiri dari punctum lakrimalis, kanalis
lakrimalis, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan meatus
inferior. Kelenjar lakrimalis terletak pada bagian lateral atas
mata yang disebut dengan fossa lakrimalis. Bagian utama kelenjar
ini bentuk dan ukuranya mirip dengan biji almond, yang terhubung
dengan suatu penonjolan kecil yang meluas hingga ke bagian
posterior dari palpebra superior. Dari kelenjar ini, air mata
diproduksi dan kemudian dialirkan melalui 8-12 duktus kecil yang
mengarah ke bagian lateral dari fornix konjungtiva superior dan di
sini air mata akan disebar ke seluruh permukaan bola mata oleh
kedipan kelopak mata.1
Gambar 1. Kelenjar Lakrimalis dan Sistem Drainase
Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis,
superior dan inferior, kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang
terlihat sebagai penonjolan kecil pada kantus medial. Setelah itu,
air mata akan mengalir ke dalam sakus lakrimalis yang terlihat
sebagai cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari sini, air mata
akan mengalir ke duktus nasolakrimalis dan bermuara pada meatus
nasal bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus ini memiliki
panjang sekitar 12 mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding
medial orbita.2DakriosistitisDakriosistitis adalah peradangan pada
sakus lakrimalis akibat adanya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya akibat tidak
terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat
adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip
hidung.1,2,3Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis
dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis 3, yaitu:a. AkutPasien dapat
menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang menimbulkan
kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan abses pada
sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinya.
b. KronisMorbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis
yang berlebihan dan terjadinya infeksi dan peradangan pada
konjungtiva.c. KongenitalMerupakan penyakit yang sangat serius
sebab morbiditas dan mortalitasnya juga sangat tinggi. Jika tidak
ditangani secara adekuat, dapat menimbulkan selulitis orbita, abses
otak, meningitis, sepsis, hingga kematian. Dakriosistitis
kongenital dapat berhubungan dengan amniotocele, di mana pada kasus
yang berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Dakriosistitis
kongenital yang indolen sangat sulit didiagnosis dan biasanya hanya
ditandai dengan lakrimasi kronis, ambliopia, dan kegagalan
perkembangan.
Gambar 2. Dakriosistitis Akut
Gambar 3. Dakriosistitis Kongenital
EtiologiDakriosistitis dapat disebabkan oleh bakteri Gram
positif maupun Gram negatif. Bakteri Gram positif Staphylococcus
aureus merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada
dakriosistitis akut, sedangkan Coagulase Negative-Staphylococcus
merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada dakriosistitis
kronis. Selain itu, dari golongan bakteri Gram negatif, Pseudomonas
sp. juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya dakriosistitis
akut dan kronis.4Literatur lain menyebutkan bahwa dakriosistitis
akut pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophylus influenzae,
sedangkan pada orang dewasa sering disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Streptococcus -haemolyticus. Pada literatur ini, juga
disebutkan bahwa dakriosistitis kronis sering disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae.2 EpidemiologiPenyakit ini sering
ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas 40 tahun,
terutama perempuan 2 dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70
tahun.Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi,
hanya sekitar 1% dari jumlah kelahiran yang ada dan jumlahnya
hampir sama antara laki-laki dan perempuan.6 Jarang ditemukan pada
orang dewasa usia pertengahan kecuali bila didahului dengan infeksi
jamur.Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah
adanya obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi duktus
nasolakrimalis pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya
membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya
penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung.5Obstruksi
pada duktus nasolakrimalis ini dapat menimbulkan penumpukan air
mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang
merupakan media pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.4
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini
dapat diketahui dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis.
Tahapan-tahapan tersebut antara lain: Tahap obstruksiPada tahap
ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga
yang keluar hanyalah air mata yang berlebihan. Tahap InfeksiPada
tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus,
mukopurulen, atau purulent tergantung pada organisme penyebabnya.
Tahap SikatrikPada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata
maupun pus lagi. Hal ini dikarenakan sekret yang terbentuk tertahan
di dalam sakus sehingga membentuk suatu kista.
Gejala KlinisGejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya air
mata dan kotoran. Pada dakriosistitis akut, pasien akan mengeluh
nyeri di daerah kantus medial (epifora) yang menyebar ke daerah
dahi, orbita sebelah dalam dan gigi bagian depan. Sakus lakrimalis
akan terlihat edema, lunak dan hiperemi yang menyebar sampai ke
kelopak mata dan pasien juga mengalami demam. Jika sakus lakrimalis
ditekan, maka yang keluar adalah sekret mukopurulen.2,6Pada
dakriosistitis kronis gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi
yang berlebihan terutama bila terkena angin. Dapat disertai
tanda-tanda inflamasi yang ringan, namun jarang disertai nyeri.
Bila kantung air mata ditekan akan keluar sekret yang mukoid dengan
pus di daerah punctum lakrimal dan palpebra yang melekat satu
dengan lainnya.2,6Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu
pasien akan mengeluh mata pasien merah pada satu sisi, bengkak pada
daerah pangkal hidung dan keluar air mata diikuti dengan keluarnya
nanah terus-menerus. Bila bagian yang bengkak tersebut ditekan
pasien akan merasa kesakitan (epifora).
DiagnosisUntuk menegakkan diagnosis dakriosistitis dibutuhkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
dapat dilakukan dengan cara autoanamnesis dan heteroanamnesis.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik. Jika, dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik masih belum bisa dipastikan penyakitnya, maka
boleh dilakukan pemeriksaan penunjang.Beberapa pemeriksaan fisik
yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi
serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik yang
digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein clearance
test dan John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat
warna fluorescein 2% sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa
letak obstruksinya dapat digunakan probing test dan anel test. 6Dye
dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna
fluorescein 2% pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian
permukaan kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi
pada salah satu mata akan memperlihatkan gambaran seperti di bawah
ini.
Gambar 4. Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri
Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi
saluran ekskresi lakrimal. Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat
warna fluorescein 2% pada mata yang dicurigai mengalami obstruksi
pada duktus nasolakrimalisnya. Setelah itu pasien diminta berkedip
beberapa kali dan pada akhir menit ke-6 pasien diminta untuk
beringus (bersin) dan menyekanya dengan tissue. Jika pada tissue
didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak mengalami
obstruksi.3Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan
fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu
Jones Test I dan Jones Test II. Pada Jones Test I, mata pasien yang
dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya
ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-2 tetes. Kemudian
kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal
inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan
berwarna hijau berarti tidak ada obstruksi pada duktus
nasolakrimalisnya. Pada Jones Test II, caranya hampir sama dengan
Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5 tidak didapatkan
kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan irigasi pada
sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna
hijau pada kapas, maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya
dalam keadaan baik. Bila lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada
zat warna hijau pada kapas sama sekali setelah dilakukan irigasi,
maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem lakrimalnya sedang
terganggu. 6
Gambar 5. Irigasi mata setelah ditetesi fluorescein pada Jones
dye test II
Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi
ekskresi air mata ke dalam rongga hidung. Tes ini dikatakan positif
bila ada reaksi menelan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sistem
ekskresi lakrimal normal. Pemeriksaan lainnya adalah probing test.
Probing test bertujuan untuk menentukan letak obstruksi pada
saluran ekskresi air mata dengan cara memasukkan sonde ke dalam
saluran air mata. Pada tes ini, punctum lakrimal dilebarkan dengan
dilator, kemudian probe dimasukkan ke dalam sackus lakrimal. Jika
probe yang bisa masuk panjangnya lebi dari 8 mm berarti kanalis
dalam keadaan normal, tapi jika yang masuk kurang 8 mm berarti ada
obstruksi.3
Gambar 6. Anel Test
Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan
penegakkan diagnosis dakriosistitis. CT scan sangat berguna untuk
mencari tahu penyebab obstruksi pada dakriosistitis terutama akibat
adanya suatu massa atau keganasan. Dacryocystography (DCG) dan
dacryoscintigraphy sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan
anatomi pada sistem drainase lakrimal.6
Gambar 7. Probing Test
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan
dengan masase kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga
diberikan antibiotik amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40
mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan dapat pula diberikan
antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau
azithromycin 1%) atau menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari.4Pada
orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan
kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang
cukup sering. Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o.
tiap 6 jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik yang baik
untuk orang dewasa 17. Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat
diberikan analgesik oral (acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu
dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian antibiotik
secara intravena, seperti cefazoline tiap 8 jam. Bila terjadi abses
dapat dilakukan insisi dan drainase. Dakriosistitis kronis pada
orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi dengan
antibiotik. Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan
cara pembedahan jika sudah tidak radang lagi. Penatalaksaan
dakriosistitis dengan pembedahan bertujuan untuk mengurangi angka
rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada
dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR
ini dibuat suatu hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal
dengan cavum nasal dengan cara melakukan bypass pada kantung air
mata. Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal dengan
pendekatan melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak
dokter telah menggunakan teknik endonasal dengan menggunakan
scalpel bergagang panjang atau laser.
Gambar 8. Teknik Dakriosistorinostomi Eksternal
Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan dakriosistorinostomi eksternal. Adapun
keuntungannya yaitu, (1) trauma minimal dan tidak ada luka di
daerah wajah karena operasi dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi
tulang, (2) lebih sedikit gangguan pada fungsi pompa lakrimal,
karena operasi merestorasi pasase air mata fisiologis tanpa membuat
sistem drainase bypass, dan (3) lebih sederhana, mudah, dan cepat
(rata-rata hanya 12,5 menit).Kontraindikasi relatif dilakukannya
DCR adalah usia yang ekstrim (bayi atau orang tua di atas 70 tahun)
dan adanya mucocele atau fistula lakrimalis.
KomplikasiDakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan
pecahnya kantong air mata sehingga membentuk fistel. Bisa juga
terkadi abses kelopak mata, ulkus, bahkan selulitis
orbita.6Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR.
Komplikasi tersebut di antaranya adalah perdarahan pascaoperasi,
nyeri transien pada segmen superior os.maxilla, hematoma
subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi yang
tampak jelas.PrognosisDakriosistitis sangat sensitif terhadap
antibiotika namun masih berpotensi terjadi kekambuhan jika
obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat,
sehingga prognosisnya adalah buruk. Akan tetapi, jika dilakukan
pembedahan baik itu dengan dakriosistorinostomi kekambuhan sangat
jarang terjadi sehingga prognosisny baik.
Daftar Pustaka1. AAO. 2007. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System.
Singapore:American Academy of Ophtalmology.h.36-9.2. Anonim. 2006.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF. Ilmu Penyakit Mata Ed.III.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.h.15-34.3. Ellis, Harold.
2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical
Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell
Publishing, Inc.h.3-20.4. Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik
Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.h.40-3.5. Ilyas, Sidharta. 2008.
Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.h.66-79.6. Leitman, M.W. 2007. Manual for Eye
Examination and Diagnosis Seventh Edition. Massachusetts, USA :
Blackwell Publishing, Inc.h.23-5.1