Page 1
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Pajak Bisa Selamatkan Indonesia
Selasa, 20 Januari 2015 - 16:14
Oleh Riki Alfian Ardiansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tak ada kesejahteraan tanpa daya dan upaya. 67 tahun sejak era
kemerdekaan telah berlalu, harapan dan konstitusi yang dirancang
oleh para pahlawan faktanya tak mampu dijalankan dengan baik oleh
generasi setelahnya.
Terbukti dengan merosotnya berbagai pilar penegak bangsa serta
makin maraknya Korupsi, kolusi dan nepotisme. Resolusi dan angan-
angan setiap pergantian rezim pun hanya sebatas puisi belaka.
Ketegasan mulai pudar, kemandirian kian menggantung.
Kini segalanya telah 'berubah', berubah dalam langkah yang kian tak
menentu. Acuan dan pandangan filsafat pendiri bangsa kini tak lagi
dirambui . Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia kian 'merana'.
Hidup berlandaskan Pancasila nyatanya tak benar-benar bisa dipahami dengan baik oleh semua pihak.
Banyak golongan yang menyalahi aturan hidup. Tanpa rasa bersalah dan dengan penuh kesadaran
mereka gelapkan kewajiban perpajakannya.
Peranan pajak dari waktu kewaktu semakin vital. Postur APBN kita lebih dari 80% ditopang oleh pajak.
Tak tercapainya penerimaan pajak akan membuat hutang semakin melilit. Kehidupan menjadi kian pelik.
Subsidi yang perlahan mulai dikurangi membuat Institusi Pajak kian di 'Pandang' oleh masyarakat.
Terakhir kali penerimaan pajak terpenuhi adalah 5 tahun silam. Saat itu gencar terobosan pemikiran yang
dicetuskan.
Salah satunya adalah sunset policy. Multiplier effect dari Sunset Policy diyakini mampu mendorong wajib
pajak agar lebih patuh di dalam memenuhi kewajiban perpajakan ditahun mendatang. Ide- ide semacam
inilah yang saat ini kita butuhkan. Semangat baru dengan segudang pengalaman.
Sejak masih kanak-kanak kita sering mendengar bahwa pengalaman adalah guru yang
terbaik. Pengalaman takkan pernah bisa dibeli dengan harga yang fantastis sekalipun. Dan akan tetap
seperti itu sampai kapanpun. Sekarang euphoria tahun baru telah usai, waktu bersantai sejenak dengan
orang-orang tercinta pun telah 'berakhir'.
Page 2
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Sekarang adalah saatnya kita mengabdikan diri pada negeri, Indonesia. Tugas mulia telah menanti,
target penerimaan telah disematkan di pundak kita. Sejuta langkah pengamanan penerimaan pun telah
disusun.
Kini tak ada alasan lagi yang 'memperbolehkan' penerimaan pajak tak terpenuhi. Ketegasan dan
Gijzeling. Undang- undang perpajakan menyatakan bahwa bagi para pengemplang pajak yang dengan
sengaja mengabaikan kewajiban perpajakan, baik itu dari segi formal maupun material serta diragukan
itikad baiknya dalam memenuhi kewajiban perpajakan, bisa dilakukan tindakan gijzeling (baca:
penyanderaan).
Faktanya, banyak pengemplang pajak yang masih bebas berkeliaran di bumi pertiwi, bahkan hingga
mancanegara. Untuk sekedar melakukan pencekalanpun seolah kita tidak 'mampu'. Aturan dibuat bukan
untuk dilanggar, namun ditegakkan. Satu orang pengemplang pajak yang lolos dari kewajiban
perpajakan. Hal tersebut akan membuat seluruh NKRI menanggung akibatnya. Ribuan bahkan jutaan
rakyat yang akan semakin sengsara.
Jangan sampai karena satu pengemplang pajak, maka rusak susu sebelanga. Ketegasan dan aturan
harus ditegakkan. Selama keputusasaan belum melanda diri, kegagalan tak akan menghampiri.
Semangat dan daya juang harus digelorakan, canangkan program- program unggulan yang berimplikasi
baik terhadap penerimaan pajak.
Hindarilah hal-hal yang bisa membuat motivasi menurun. Jika dan hanya jika penerimaan pajak bisa
terpenuhi, maka Indonesia bisa 'selamat' dari ancaman lilitan hutang yang siap menerkam kita kapanpun.
Buktikanlah pada diri sendiri dan dunia, KITA BISA! Salam Perubahan menuju Kesempurnaan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 3
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Aspek Perpajakan Produk Asuransi Unit Link
Jumat, 16 Januari 2015 - 10:26
Oleh Rizmy Otlani Novastria, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Modifikasi produk asuransi
untuk menarik minat
masyarakat semakin
beragam. Tujuan utama dari
asuransi murni yang
merupakan alat manajemen
risiko menjadi kurang
menarik dikarenakan
preferensi masyarakat yang
cenderung memilih produk
investasi dengan jaminan
pengembalian dana plus
imbal hasil di masa depan.
Sementara itu, asuransi
murni dirasa hanya
memberikan proteksi yang
bersifat sementara. Dalam hal risiko yang ditanggungkan tidak terjadi, maka premi yang telah dibayar
oleh pemegang polis akan hangus. Oleh karena itu perusahaan asuransi harus berpikir kreatif agar
mampu mengemas produk asuransi ke dalam bentuk lain yang lebih menarik.
Maka diciptakanlah produk asuransi unit link yang merupakan perpaduan produk asuransi dengan produk
investasi. Lalu bagaimanakah aspek perpajakan atas produk asuransi unit link ini?
Asuransi Unit Link Lebih Menggiurkan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fungsi utama dari asuransi adalah pengalihan resiko dari
pemegang polis asuransi kepada perusahaan asuransi. Oleh karena itu, dalam hal ini tujuan dari
perusahaan asuransi adalah memberikan perlindungan sesuai dengan risiko yang tercantum dalam
kontrak (jiwa, kesehatan, pendidikan, pensiun, dsb.) dengan imbalan berupa premi yang dibayar rutin
oleh pemegang polis.
Page 4
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Dalam asuransi tradisional
atau pure insurance, premi
ini merupakan bentuk
jaminan dari pemegang polis
bahwa risiko yang dialihkan
akan menjadi tanggung
jawab perusahaan asuransi.
Dapat dibayangkan satu
perusahaan asuransi
menanggung risiko dari
ratusan bahkan ribuan
pemegang polis yang bisa saja setiap pemegang polis mengajukan klaim dalam waktu yang bersamaan.
Tentu saja risiko lapse atau gagal
klaim dapat terjadi. Sementara
kontrak pure insurance benar-benar
menyatakan bahwa tanggung jawab
penanggungan resiko berada di
pihak perusahaan asuransi. Oleh
karena itu, semua perusahaan
asuransi pasti juga dicover oleh
beberapa perusahaan reasurasi di
belakangnya yang bertindak sebagai
reasuradur untuk risk sharing.
Bagaimanapun juga bisnis
perusahaan asuransi ini memikul
risiko tinggi yang penuh
ketidakpastian bagi perusahaan
asuransi. Oleh karena itu,
pemerintah memberikan perlakuan
perpajakan khusus bagi cadangan
premi asuransi yang deductible sesuai dengan PMK-219/PMK.011/2012 perubahan dari PMK-
81/PMK.03/2009 mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan
sebagai biaya.
Page 5
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Cadangan ini nantinya akan digunakan untuk membayar klaim pemegang polis yang terjadi. Sementara
itu, premi asuransi yang dibayarkan oleh pemegang polis sebagai jaminan merupakan penghasilan
taxable non final bagi perusahaan asuransi pada saat dibayarnya premi sesuai dengan pasal 4 ayat 1
huruf n Undang-Undang PPh.
Tingginya risiko pada perusahaan asuransi ini menuntut perusahaan asuransi untuk terus berekspansi
dengan cara menambah klien/pemegang polis. Oleh karena itu seringkali kita lihat bahwa pegawai
asuransi membutuhkan teknik marketing dan komunikasi yang baik agar dapat merekrut klien baru.
Namun sayangnya, seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan keuangan
dan investasi, di samping sikap wealth oriented yang menjangkiti sebagian besar masyarakat, seberapa
hebat kemampuan marketing pegawai asuransi dalam berkomunikasi tersebut menjadi kurang menarik
selama ada nama “asuransi” yang ia bawa. Oleh karena itu, dibentuklah sebuah konsep baru bernama
unit link untuk memikat masyarakat.
Produk asuransi unit link memang merupakan produk kompleks yang sulit dijelaskan baik dari segi
akuntansi maupun prosedur pengelolaan polis. Akan tetapi, produk asuransi ini memiliki kekhasan
tertentu yang berbeda dengan pure insurance.
Asuransi unit link memberikan keuntungan kepada pemegang polis dengan adanya dua manfaat dalam
satu produk, yaitu manfaat proteksi serta manfaat investasi dimana premi yang dibayarkan tidak akan
hilang dan justru memberikan imbal hasil dalam hal pengelolaan dana ditempatkan pada investasi yang
memiliki trend positif dalam pengembalian return.
Meskipun demikian, dalam hal ini pemegang polis juga harus tetap waspada dengan adanya penurunan
nilai investasi akibat pasar yang kurang bagus. Akan tetapi, pada intinya pemegang polis masih
menguasai kepemilikan preminya pada tahun-tahun mendatang, baik nilainya meningkat atau menurun
tergantung pada iklim investasi.
Dalam hal ini tanggung jawab resiko kenaikan/penurunan nilai investasi berada di tangan pemegang
polis. Tentu saja hal tersebut menjadi sangat menggiurkan bagi masyarakat yang menomorduakan risiko
dan mementingkan investment return.
Seakan lupa dengan tujuan utama asuransi, masyarakat yang cenderung memegang patokan ‘sekali
dayung dua tiga pulau terlampaui’ tentu saja lebih memilih produk unit link ini daripada pure insurance.
Melihat adanya potensi perubahan sikap masyarakat terhadap asuransi sejak adanya produk asuransi
unit link, perusahaan asuransi kini rela memberikan pelayanan ekstra kepada masyarakat.
Page 6
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk melakukan survei investasi serta tidak ingin kehilangan dana
preminya untuk pertanggungan asuransi murni dapat menanamkan preminya pada produk-produk
asuransi unit link. Akan tetapi, pelayanan ekstra tersebut tidaklah gratis, masyarakat harus merelakan
pemotongan-pemotongan tertentu atas premi dan imbal hasil polis seperti biaya akuisisi/biaya underwiter
dan biaya administrasi untuk dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
Sebagian dana ini nantinya akan digunakan untuk proteksi, dan sebagian lagi dikelola untuk ditempatkan
pada produk-produk investasi berupa reksadana, saham, obligasi, dsb. Tentu saja ada potensi
penghasilan final yang terkandung dalam kejadian akuntansi ini yang memerlukan perlakuan tertentu.
Begitu pula dengan perlakuan terhadap biaya pencadangan premi asuransi unit link.
Tidak bisa serta merta perusahaan memberlakukan aturan menurut PMK-219/PMK.011/2012 mengenai
pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya karena ada unsur
penghasilan final dalam sebagian aliran dana untuk investasi di atas.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai cara kerja unit link sangat diperlukan bagi perusahaan. Cara
Kerja Unit Link Unit link memiliki beberapa unsur, antara lain premi, biaya akuisisi/ biaya underwriting,
manfaat premi/proteksi, polis, biaya asuransi, biaya administrasi, biaya terhutang, unapplied premium,
serta imbal hasil. Konsep utamanya adalah bahwa premi yang dibayarkan pemegang polis dalam
asuransi unit link harus dipotong terlebih dahulu dengan biaya akuisisi.
Besarnya biaya akuisisi ini beragam dari tahun ke tahun. Untuk tahun pertama, seluruh premi akan
digunakan untuk membayar biaya akuisisi sampai dengan 100%. Sementara tahun kedua, menurun
menjadi 60%, tahun ketiga hingga kelima menurun menjadi 15%. Untuk tahun ke enam dan seterusnya
adalah 0%.
Sebagian pihak asuransi biasanya tidak memberikan detail pembagian biaya akuisisi ini secara
transparan karena akan disesuaikan dengan kondisi mana yang paling menguntungkan dan perbedaan
kebijakan dari setiap bank. Biaya akuisisi ini merupakan unsur pengurang penghasilan bruto secara
akuntansi.
Akan tetapi jika ditinjau secara pajak, biaya tersebut harus ditelaah lebih lanjut berkaitan dengan adanya
unsur 3M penghasilan final disana. Setelah premi pemegang polis dikurangkan dengan biaya akuisisi,
maka polis tesebut akan dibagi ke dalam dua jalur, yaitu dana untuk proteksi dan dana untuk investasi
yang merupakan unapplied premium.
Unapplied premium ini dalam kata lain merupakan hasil dari pengurangan biaya-biaya terhadap dana
proteksi yang nantinya akan digunakan untuk diversifikasi investasi pada investasi yang sesuai, misal
Page 7
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
reksadana, saham, dsb. Hasil dari aliran dana investasi ini akan menghasilkan imbal hasil yang lebih
tinggi daripada bunga tabungan sebab dana tersebut ditempatkan di pasar uang yang cenderung volatile.
Yield dan polis akan diputar dan diolah lagi sesuai alur tersebut sehingga menghasilkan polis dengan
nilai yang besar dan mampu mengcover risiko. Dengan demikian, pendapatan perusahaan asuransi unit
link didapatkan dari tiga sumber yakni dari pendapatan premi, pendapatan premi subdana investasi dan
hasil investasi dari penanaman premi subdana investasi.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai cara kerja unit link, penulis memberi ilustrasi berdasarkan
gambar di atas. Pada asuransi unit link, risiko naik turunnya dana polis ditanggung oleh pemegang polis
(bukan oleh perusahaan asuransi) dan hal tersebut dilaporkan secara berkala kepada pemegang polis
sehingga pemegang polis dapat menentukan rate imbal hasil positif atau negatif dari polis asuransi.
Dalam hal nilai polis yang tersedia tidak mencukupi untuk klaim proteksi, maka pemegang polis harus
melakukan top up premi.
Begitu pula sebaliknya. Bila dana polis yang tersedia saat kontrak berakhir melebihi dana premi yang
terkumpul, maka kelebihan tersebut merupakan keuntungan bagi pemegang polis yang dapat diambil
oleh pemegang polis saat jatuh tempo sebagai hasil dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan unit
link.
Pada ilustrasi gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun-tahun awal, hampir seluruh premi
digunakan untuk membayar biaya akuisisi. Lalu bagaimana bila terjadi klaim pada tahun yang
bersangkutan padahal polis belum mencukupi? Dalam hal ini pihak asuransi akan memberikan
‘pinjaman/hutang’ terlebih dahulu kepada pemegang polis agar pemegang polis tetap dapat menikmati
klaim proteksi.
Pada tahun-tahun berikutnya, hutang ini akan dibayar melalui pemotongan terhadap polis dan hasil
investasi premi yang dikelola perusahaan asuransi. Sungguh suatu sistem yang sangat menarik dan
menguntungkan kedua belah pihak dengan adanya dualisme manfaat yang diperoleh. Jika dilihat dari
segi akuntansi dan pajak, jelas terlihat bahwa aliran dana untuk proteksi perlakuan perpajakannya harus
dibedakan dengan aliran dana untuk investasi.
Sebagaimana terlihat bahwa terdapat potensi penghasilan final di sini dimana biaya-biaya yang terkait
dengan pengelolaan dana untuk investasi tersebut tidak seharusnya dapat dibebankan karena berkaitan
dengan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang bersifat final sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Page 8
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Aspek Perpajakan Asuransi Unit Link
Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai aspek perpajakan asuransi unit link, ada baiknya kita
memahami sekilas pengenaan pajak pada perusahaan asuransi murni. Perusahaan asuransi murni
memiliki unsur pengurang berupa biaya-biaya dan juga cadangan sebagaimana diatur dalam PMK-
81/PMK.03/2009 jo. PMK-219/PMK.011/2012. Unsur cadangan dibagi menjadi dua, yaitu cadangan
premi tanggungan sendiri dan cadangan klaim tanggungan sendiri (claim on retention).
Ketentuan mengenai cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana yang diatur dalam PMK tersebut
adalah sebesar 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun
pajak yang bersangkutan sebagaimana ketentuan yang diwajibkan oleh Bapepam LK. Yang dimaksud
premi tanggungan sendiri dalam hal ini merupakan premi asuransi setelah dikurangi premi reasuransi.
Cadangan premi yang dapat dikurangkan adalah 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan. Cadangan premi tanggungan sendiri
tersebut merupakan premi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan
pada tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh, perusahaan asuransi kerugian Pasti Untung (PU) dalam tahun 2012 dapat mengumpulkan premi
tanggungan sendiri sebesar Rp100 milyar dan pada tahun 2013 sebesar Rp 120 milyar. Maka besar
cadangan premi pada tahun 2013 adalah sebesar 40% dari penghasilan premi tanggungan sendiri tahun
lalu, yaitu 40% x Rp100 milyar = Rp40 milyar.
Khusus untuk perusahaan asuransi jiwa, besarnya cadangan premi ditentukan sesuai dengan
penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Berbeda dengan cadangan premi, besarnya cadangan klaim yang dapat
dikurangkan adalah sebesar 100% dari jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar dan
klaim yang sudah dilaporkan dan sedang dalam proses (tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan).
Cadangan ini dibentuk pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal jumlah cadangan klaim
tanggungan sendiri seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, maka kelebihan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Sementara dalam hal jumlah klaim tanggungan
sendiri dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi jumlah kekurangan cadangan tersebur
boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh pada kasus di atas, PT PU menerima claim on retention pada tahun 2013 sebesar 5 milyar. Maka
cadangan klaim tanggungan sendiri pada tahun 2013 adalah sebesar 5 milyar. Dengan demikian total
cadangan yang dapat dibiayakan adalah sebesar Rp40 milyar + Rp5 milyar = Rp 45 milyar.
Page 9
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Bila besarnya biaya underwriting yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto tahun 2013
adalah sebesar 40 milyar, biaya administrasi dan lain-lain 5 milyar, dan besarnya cadangan premi tahun
2012 sebesar Rp25 milyar, sedangkan realisasi pembayaran klaim tahun 2013 adalah sebesar Rp8
milyar, maka perhitungan PPh terutang perusahaan asuransi dapat disajikan sebagai berikut:
Akun Nilai Premi tanggungan sendiri Rp120.000.000.000
Biaya underwriting selain beban klaim on retention Rp 40.0000.000.000
Laba Bruto Rp 80.000.000.000
Biaya Cadangan Premi tanggungan sendiri 40% x Rp100 milyar=40 M
Biaya Cadangan Klaim tanggungan sendiri Rp5 milyar
Total Cadangan Rp45.000.000.000
Biaya Administrasi dll. Rp 5.000.000.000
Total Pengurang Rp 50.000.000.000
Penghasilan Usaha Rp 30.000.000.000
Penghasilan Cadangan (cadangan premi tahun lalu yang tidak terealisasi) 25 milyar – 8 milyar = 17
milyar Rp 17.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 47.000.000.000 PPh terutang 25% Rp 11.750.000.000
Perhitungan tersebut merupakan perhitungan untuk pajak penghasilan perusahaan asuransi murni yang
memang penghasilannya bersifat non final dan pencadangan biayanya sesuai dengan PMK-
219/PMK.0.11/2012. Lalu bagaimana dengan perhitungan pajak penghasilan untuk asuransi unit link
dimana sebagian dana digunakan untuk proteksi dan sebagian lagi untuk investasi?
Ternyata Direktorat Jenderal Pajak telah mengambil langkah cekatan untuk mengantisipasi laba asuransi
unit link yang diperkecil dikarenakan pembiayaan cadangan premi dan cadangan klaim. Hal tersebut
tertuang dalam SE-97/PJ/2011 tentang perlakuan pajak penghasilan atas pembentukan atau pemupukan
dana cadangan premi bagi wajib pajak yang bergerak di bidang usaha asuransi jiwa yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Surat edaran tersebut belum dicabut meskipun PMK-81/PMK.03/2009 telah digantikan dengan PMK-
219/PMK.011/2012. SE-97/PJ/2011 mengatur mengenai besarnya biaya cadangan premi asuransi unit
link yang dapat dikurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajak. Dengan mengacu pada
ketentuan pasal 9 PP 94 tahun 2010 bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
termasuk antara lain biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak dan/atau pengenaan pajaknya bersifat final.
Page 10
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Dengan demikian, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak yang dikenai tarif umum Pasal 17 UU
PPh, penghasilan dari aliran dana investasi tidak boleh digabungkan karena penghasilan tersebut bersifat
final seperti halnya investasi di bidang reksadana, saham, obligasi, dsb. Imbal hasil ini seharusnya
dikenakan tarif PPh final sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh beserta juklak peraturan
pemerintahnya, misalnya 10% untuk imbal hasil dari investasi saham (biasa disebut dengan deviden)
yang diterima oleh orang pribadi.
Demikian pula dengan biaya yang digunakan untuk memelihara penghasilan tersebut. Seluruh biaya
yang terkait dengan aliran dana investasi hendaknya tidak boleh dikurangkan. Kecuali dalam hal rincian
biaya untuk aktivitas penghasilan yang bersifat final tersebut tidak diketahui, maka harus digunakan
proporsi penghasilan final atas seluruh penghasilan yang diterima.
Dalam SE-97/PJ/2011 juga diatur bahwa cadangan premi asuransi jiwa yang dibentuk berdasarkan
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau yang bukan merupakan objek pajak, tidak
dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak yang pajaknya dikenakan
dengan menggunakan tarif umum. Jika aturan pada SE-97/PJ/2011 diterapkan pada contoh kasus PU di
atas, dalam hal PU merupakan asuransi unit link dengan proporsi aliran dana untuk proteksi dan untuk
investasi adalah 40% : 60% serta terdapat pendapatan dari hasil subdana investasi adalah sebesar 20
milyar, maka perhitungan PPh-nya disajikan sebagai berikut:
Akun Nilai Premi tanggungan sendiri Proporsi Penghasilan non final : Proporsi total = 40% x 120
M=Rp 48.000.000.000
Biaya underwriting selain beban klaim on retention Proporsi non final : Proporsi total = 40% x 40
M=Rp 16.0000.000.000
Laba Bruto Rp 32.000.000.000 Biaya Cadangan Premi tanggungan sendiri 40% x 100 M=Rp
40.000.000.000
Biaya Cadangan Klaim tanggungan sendiri Rp 5 milyar
Total Cadangan yang boleh dibebankan Proporsi non final : Proporsi total = 40% x 45
M=Rp18.000.000.000 (Biaya Administrasi dll)
Proporsi non final : Proporsi total = 40% x 5 M=Rp 2.000.000.000
Total Pengurang Rp 20.000.000.000
Penghasilan Usaha Rp 12.000.000.000
Penghasilan Cadangan (cadangan premi tahun lalu yang tidak terealisasi) 25 milyar – 8 milyar = 17
milyar
Proporsi non final : Proporsi total = 40% x17 M=Rp 6.800.000.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 18.800.000.000
PPh terutang 25% Rp 4.700.000.000
Page 11
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Sementara itu, atas penghasilan final sebesar 60% atas pengelolaan investasi yaitu atas penghasilan
dari hasil subdana investasi, harus dilakukan pemotongan PPh final atas setiap yield dalam bentuk
apapun yang diterima perusahaan maupun oleh pemegang polis sesuai dengan rate PPh final yang
berlaku. Nilai PPh yang terutang sebagaimana perhitungan di atas bisa jadi lebih besar daripada asuransi
murni dalam hal Wajib Pajak memasukkan seluruh unsur cadangan sebagai biaya tanpa memilah mana
yang dikenakan final dan tidak.
Sedangkan di sisi lain, penghasilan premi yang diakui oleh Wajib Pajak hanya sebesar premi asuransi
murni. Tentu saja jika ditemui hal tersebut, pemeriksa harus melakukan koreksi positif atas cadangan
premi dan klaim yang telah dibebankan.
Penutup
Agar pemeriksa pajak tidak salah langkah dalam melakukan koreksi fiskal, serta agar perusahaan
asuransi mampu mengaplikasikan prinsip perpajakan yang paling tepat, masing-masing pihak harus
mengenali mana karakteristik produk asuransi murni dan mana yang bersifat unit link. Kriteria produk unit
link diatur dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-
104/BL/2006 tentang Produk Unit Link.
Keputusan tersebut mengatur bahwa Produk Unit Link adalah produk asuransi jiwa yang memenuhi
kriteria sebagai berikut : 1.nilai manfaat yang dijanjikan ditentukan oleh kinerja subdana investasi yang
dibentuk untuk Unit Link tersebut; 2.nilai manfaat yang diperoleh dari subdana investasi dinyatakan
dalam unit; dan 3.mengandung pertanggungan risiko kematian alami.
Dengan mengenali karakteristik tersebut, pihak DJP diharapkan lebih jeli dalam memilah serta
melakukan koreksi atas laporan keuangan perusahaan asuransi agar tidak menimbulkan loophole
penerimaan pajak. Tapi disisi lain juga tidak merugikan perusahaan asuransi yang bersangkutan akibat
salah melakukan koreksi fiskal. Oleh karena itu, pada akhirnya catatan atas laporan keuangan yang
transparan atas proporsi final dan tidak final ini harus jelas agar tidak menimbulkan dispute yang
merugikan salah satu pihak di masa mendatang.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja
**) Artikel ini telah dimuat dalam Majalah Indonesian Tax Review Vol. VIII/Edisi 01/Tahun 2015 dengan
hak cipta penulisan berada di tangan penulis
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 12
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Kanwil DJP Jakarta Barat Berikan Sosialisasi Pajak bagi Konsultan
Selasa, 20 Januari 2015 - 15:48
Selasa, 16 Desember 2014, bertempat di Graha Finelink Jakarta Pusat, Kantor Wilayah (Kanwil)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakata Barat bekerjasama dengan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia
(IKPI) Jakarta Barat menggelar acara Sosialisasi Perpajakan.
Mereka yang menjadi peserta
sosialisasi adalah para Konsultan
Pajak yang tergabung menjadi
anggota IKPI Jakarta Barat.
Kegiatan ini secara resmi dibuka
oleh Subakir selaku Ketua IKPI
Pusat. Dalam sambutan
pembukaannya, Subakir
menyampaikan bahwa para
Konsultan Pajak harus menjadi
rekan kerja Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) guna mengejar
penerimaan negara, bukannya
malah menjadi lawan.
Materi yang disosialisasikan
terkait dengan Perubahan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi (SPT
PPh OP) Tahun 2014 dan aplikasi e-Billing (Billing System). "Para Konsultan Pajak yang menjadi
anggota IKPI ini mendapat kesempatan pertama dalam menerima sosialisasi dari Kanwil DJP Jakarta
Barat terkait perubahan tersebut. Hal ini dilakukan karena memandang kerjasama dan hubungan baik
yang selama ini telah terjalin antara IKPI dan DJP," tutur Sakli Anggoro, selaku Kepala Kanwil DJP
Jakarta Barat dalam sambutannya.
Tak lupa pula pada kesempatan kali ini diperkenalkan pula pengurus baru IKPI Jakarta Barat di bawah
kepemimpinan Soleman Titus. Materi sosialisasi pertama terkait “Perubahan SPT Tahunan PPh OP”
disampaikan dengan lantang oleh Nikodemus P. Simamora. Sedangkan materi kedua disampaikan oleh
Uki Yusranul Hakim. Kedua pemateri tersebut dari Seksi Bimbingan Penyuluhan Kantor Wilayah DJP
Jakarta Barat.
Page 13
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Selepas penyampaian materi sosialisasi, dibuka sesi tanya jawab yang dipandu oleh Kurnianto Rustan,
yang juga merupakan Sektretaris IKPI Jakarta Barat. Tim Panelis dipimpin langsung oleh Temi Utami
selaku Kepala Bidang P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Barat dengan didampingi oleh kedua pemateri.
Suasana tanya jawab berlangsung sangat hangat dan dipenuhi dengan serangkaian pertanyaan dari
para peserta yang sudah tidak sabar untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai bagian dari
materi yang belum mereka pahami.
Tak jarang pula pertanyaan -pertanyaan meluas ke hal-hal lain di luar materi tersebut namun masih
dalam ranah dunia perpajakan. Tim Panelis mencoba menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga
masing-masing peserta merasa puas. Demikian acara berlangsung dengan sangat hidup, bahkan harus
diakui bahwa masih ada pertanyaan yang belum terjawab sepenuhnya.
Namun dikarenakan keterbatasan waktu, maka harus dilakukan pembatasan. Tak ayal lagi, selepas
acara para peserta masih “mengejar” pemateri untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut. Dari sinilah
disadari bahwa sebenarnya para Konsultan Pajak juga masih butuh sosialisasi.
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 14
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
KPP Pratama Rantau Prapat Gelar Penyuluhan PPN atas Barang Hasil Pertanian sesuai SE-24/2014
Selasa, 20 Januari 2015 - 15:44
Minggu keempat pada bulan Nopember
2014 menjadi salah satu minggu paling
padat sekaligus menjadi minggu bertajuk
semangat penyuluhan di KPP Pratama
Rantau Prapat. Rentang 15-19 Nopember
2014 KPP Pratama Rantau Prapat
mengadakan penyuluhan SE-24/PJ/2014
dengan tema PPN atas Barang Hasil
Pertanian yang Dihasilkan dari Kegiatan
Usaha di Bidang Pertanian, Perkebunan
dan Perhutanan di tiga kabupaten
berbeda, yakni Labuhanbatu Selatan,
Labuhanbatu dan Labuhanbatu Utara.
Kabupaten pertama yang menjadi destinasi para awak KPP Pratama Rantau Prapat adalah Labuhanbatu
Selatan. Bertempat di Hall Sudi Mampir, Kota Pinang, penyuluhan SE-24 dimulai pada pukul 09:00 pagi,
Selasa, 18 Nopember 2014.
Hadir pada penyuluhan tersebut, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I, Kepala Seksi
Ekstensifikasi Perpajakan KPP Pratama Rantau Prapat dan Kepala KP2KP Kota Pinang, beserta dua
orang Account Representative selaku presentator. Rabu, 19 Nopember 2014, penyuluhan SE-24
diadakan di Aula KPP Pratama Rantau Prapat, yang beralamatkan jalan Sisingamangaraja no.47, Ujung
Bandar, Rantau Prapat.
Pada penyuluhan kedua tersebut, acara dibuka oleh Kepala KPP Pratama Rantau Prapat, dan pada
kesempatan itu pula Kepala KPP Pratama Rantau Prapat berharap agar penyuluhan-penyuluhan rutin
yang dilakukan oleh KPP Pratama Rantau Prapat dapat bermanfaat dan tepat sasaran sehingga
peraturan-peraturan seputar perpajakan bisa tersosialisasikan dengan baik kepada para Wajib Pajak.
Total 34 peserta dari beberapa Wajib Pajak Badan besar hadir pada penyuluhan SE-24, yang di
antaranya PT Siringo-Ringo, PT Torganda, PT Hoek Lie. Labuhanbatu Utara menjadi destinasi terakhir
para awak KPP Pratama Rantau Prapat dari serangkaian kegiatan penyuluhan SE-24. Kegiatan
penyuluhan diadakan di Hall Grans Hotel Aek Kanopan pada hari Kamis, 20 Nopember 2014.
Page 15
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Antusiasme para peserta terasa begitu luar biasa untuk mengikuti penyuluhan SE-24 yang diadakan oleh
KPP Pratama Rantau Prapat, total 80 Wajib Pajak Badan menjadi peserta penyuluhan, dari 3 kabupaten
yang menjadi areal kerja KPP Pratama Rantau Prapat. Melalui penyuluhan-penyuluhan yang diadakan
oleh KPP Pratama Rantau Prapat, diharapkan para Wajib Pajak, baik Wajib Pajak Badan maupun Wajib
Pajak Orang Pribadi, dapat lebih mengenal kewajiban-kewajiban ataupun hak-hak perpajakannya.
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 16
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Ditjen Pajak Serahkan Empat Orang Tersangka Komplotan Faktur Pajak Tidak Sah ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
MEDIA RELEASE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN
Bandung, 18 Desember 2014 – Hari ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyerahkan empat orang
Tersangka komplotan Faktur Pajak yang Tidak Berdasarkan Transaksi yang Sebenarnya (Faktur Pajak
Tidak Sah), inisial Sd alias U, S, R dan E ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, karena diduga telah
membantu dan turut serta melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam rangka menerbitkan
Faktur Pajak Tidak Sah melalui PT Rezatama Niaga Sepakat, PT Menoreh Persada Mandiri dan PT
Samudera Victory Abadi dan perusahaan-perusahaan lainnya.
Penyidikan atas tersangka Sd alias U, S, R dan E merupakan hasil pengembangan dari kasus Sumarno
yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Cibinong berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Cibinong Nomor 295/Pid Sus/2014/PN.Cbi atas nama terdakwa SUMARNO terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya.
Tindak pidana yang dilakukan mulai tahun pajak 2008 sampai dengan tahun pajak 2012 tersebut
dilakukan oleh para tersangka dengan modus operandi sebagai berikut:
Terpidana Sumarno menjual Faktur Pajak Tidak Sah kepada “Sd alias U” seharga 16% dari nilai
PPN yang tertera dalam Faktur Pajak.
Selanjutnya Faktur Pajak Tidak Sah tersebut dijual oleh “Sd alias U” kepada “S” seharga 22,5 %
dari nilai PPN yang tertera dalam Faktur Pajak.
Kemudian “S” menjual kepada “R” seharga 25 % dari nilai PPN yang tertera dalam Faktur Pajak.
Terakhir, “R” menjual lagi Faktur Pajak Tidak Sah tersebut kepada perusahaan-perusahaan
penguna Faktur Pajak seharga 40 % dari nilai PPN yang tertera dalam Faktur Pajak
Sedangkan uang hasil penjualan Faktur Pajak Tidak Sah oleh komplotan tersebut ditampung
dalam rekening bank atas nama tersangka “E”
Sedikitnya ada 47 perusahaan yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah dari komplotan ini. Adapun
keuntungan bagi perusahaan yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah tersebut adalah mengurangi
PPN yang harus disetor ke kas Negara. Kerugian negara akibat perbuatan yang dilakukan Sumarno
sebesar 25 milyar dan dari empat tersangka diatas sebesar 15 milyar, namun total kerugian negara
akibat komplotan ini diperkirakan sampai ratusan milyar rupiah.
Keempat tersangka telah ditahan di Bareskrim Polri sejak 27 Oktober 2014 dan berdasarkan Surat
Pemberitahuan dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, atas penyidikan kasus ini dinyatakan telah lengkap
Page 17
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
(P21) dan saat ini dilakukan penyerahan Tersangka dan Barang Bukti dari Penyidik kepada Jaksa
Penuntut Umum untuk ditindaklanjuti ke tingkat penuntutan Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan,
para tersangka diancam hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling banyak
6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak.
Tindakan ini juga merupakan peringatan bagi para pelaku lainnya bahwa Ditjen Pajak dengan dukungan
Bareskrim Polri akan terus melakukan penegakan hukum di bidang perpajakan untuk mengamankan
penerimaan negara demi tercapainya pemenuhan pembiayaan Negara dalam APBN.
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 18
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Siapa yang Bertangung Jawab terhadap Kepatuhan Pembayar Pajak?
Kamis, 20 Nopember 2014 - 18:37
Oleh Didy Supriyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Setiap orang di negara ini pasti akan mengatakan
Direktorat Jenderal Pajak-lah yang paling
bertanggung jawab terhadap kepatuhan pembayar
pajak. Kepatuhan masyarakat untuk mendaftarkan
diri mendapatkan NPWP/PKP, kepatuhan
pembayaran, dan pelaporan sampai ke substansi
kebenaran pembayaran yang sudah dilaporkan
oleh Wajib Pajak.
Dan memang benar perundang-undangan perpajakan sebagai bagian dari produk hukum administrasi
yang memiliki aturan untuk memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar pasal-pasal yang ada
di dalam ketentuan tersebut atau biasa disebut administrative penal law, telah memberikan kewenangan
kepada DJP untuk menetapkan NPWP/PKP secara jabatan, menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat
tagihan pajak serta pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak.
Penegakan hukum di bidang perpajakan yang dilakukan meliputi penegakan hukum administratif dan
penegakan hukum pidana. Karena perundang-undangan perpajakan memuat dua sanksi, yaitu sanksi
administratif berupa denda dan bunga, serta sanksi pidana.
Masih terkait dengan judul di atas, ketika ditanyakan, “Mengapa masyarakat harus membayar pajak?”
Tentu banyak jawaban, seperti: Undang-undang mengatakan demikian, bahwa pajak kontribusi wajib
yang dipaksakan; Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara; Pajak untuk pembangunan;
Agar tidak terkena sanksi; dan seterusnya.
Ya, benar, pajak merupakan sumber pembiayaan terbesar bagi negara ini untuk menjalanakan amanat
pada pembukan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Jika memperhatikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2105 (UU APBN), dalam pasal 3 dan 4, menunjukkan bahwa seluruh total
pendapatan negara yang ditargetkan untuk tahun 2015 sebesar Rp1.793.588.917.577.000,00, dan
diupayakan dapat diperoleh dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.379.991.627.125.000,00 atau
76,94%.
Page 19
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
UU APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. RUU APBN atau RAPBN sendiri disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Dimana DPR sebagai pemegang kekuasaan untuk membentuk UU, salah satunya UU APBN ini,
selanjutnya melakukan pembahasan RUU bersama presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Jadi, jelas bahwa negara membutuhkan dana yang besar dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara, sehingga perekonomian nasional bisa terwujud dan semua pihak wajib dan berhak untuk terlibat
dalam pembangunan ekonomi.
Wajib dalam arti sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing, baik langsung maupun tidak
langsung, terlibat menggerakan roda perekonomian. Berhak dalam arti mendapatkan kesempatan dan
kemudahan yang seluas-luasnya untuk mengakses sumber-sumber daya untuk dimanfaatkan dengan
bertanggung jawab.
Uraian tentang APBN di atas, hanya ingin menunjukkan bahwa tantangan ke depan semakin berat bagi
semua pihak, tidak hanya otoritas perpajakan semata, dalam rangka mendukung tercapainya
penerimaan negara yang bersumber dari perpajakan.
Mengapa semua pihak? Karena tanggung jawab pembangunan negara ini juga merupakan tanggung
jawab semua pihak, pemerintah sebagai pelaksana APBN, DPR sebagai penyusun APBN sekaligus
pengawas terhadapnya jalannya pemerintahan, sementara sektor swasta sebagai bagian pelaku
bergeraknya perekonomian.
Sektor swasta, baik perorangan maupun badan usaha, dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya juga
akan terikat kewajiban yang sama dalam hal pembayaran dan pelaporan perpajakan yang menjadi
tanggung jawabnya.
Bahkan setiap belanja barang/jasa/modal yang bersumber dari dana APBN/APBD juga terdapat
kewajiban untuk melakukan pembayaran dan pelaporan pajak. Dengan melihat besarnya prosentase
penerimaan perpajakan sebagai penopang belanja negara, menunjukkan bahwa jalannya roda
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik menjadi terganggu apabila penerimaan
perpajakan tidak sepenuhnya dapat terealisasi.
Page 20
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Yang kemudian juga akan mengganggu aktivitas pihak-pihak swasta atau masyarakat sehari-hari.
Akhirnya kembali lagi, ketika aktivitas ekonomi terganggu, secara langsung akan mengakibatkan jumlah
penghasilan menurun dan pajak yang dibayarkan semakin kecil.
Dengan menggunakan istilah yang ada di dalam UU APBN, “mendukung terwujudnya perekonomian
nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan...”, menurut penulis, prinsip
kebersamaan inilah yang sangat penting di dalam mewujudkan kepatuhan pembayar pajak.
Ya, tanggung jawab bersama, karena DJP dalam hal ini, dengan kapasitas yang ada sekarang, akan
sangat kesulitan untuk mengawasi masyarakat dan Wajib Pajak dalam rangka menguji kepatuhan
pembayaran pajak, apalagi dalam melakukan penegakan hukum baik administrasi maupun pidana.
Mengutip dari Luigi Alberto Franzoni dari tulisannya Tax Evasion and Tax Compliance, 1998: “As a
complex phenomenon, tax compliance can be addressed from a variety of perspectives. Taxpayers’
stance is influenced by many factors, including their disposition towards public institutions, the perceived
fairness of the taxes, prevailing social norms, and the chances of noncompliance being detected and
punished”.
Tax compliance merupakan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, yang dibedakan menjadi dua,
yaitu: voluntary compliance dan enforced compliance. Voluntary compliance merupakan kesadaran
sendiri masyarakat dan Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan kewajiban
perpajakannya dengan benar, jelas dan lengkap serta tepat waktu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Luigi Alberto Franzoni dalam tulisan yang sama, “compliance with the tax
law typically means: (i) true reporting of the tax base, (ii) correct computation of the liability, (iii) timely
filing of the return, and (iv) timely payment of the amounts due”.
Sedangkan enforced compliance adalah kepatuhan yang dibangun dengan adanya campur tangan
fiskus, mulai dari pengawasan, pemeriksaan, sampai ke tahap penyidikan, dengan konsekuensi
timbulnya sanksi, baik administrasi maupun pidana.
Tingkat kepatuhan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan dapat didasarkan pada Kelman’s tripartite
typology dalam tulisan Benno Torgler,Tax Compliance and Tax Morale, a Theorical and Empirical
Analysis, 2007, dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) compliance, (2) identification, dan (3) internalization.
Compliers membayar pajak, karena kewajiban dan ada ancaman sanksi bagi yang tidak mambayar
pajak. Identifiers dipengaruhi oleh norma sosial dan keyakinan serta perilaku orang-orang di
sekelilingnya.
Page 21
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Sedangkan internalizers mempunyai suatu konsistensi antara keyakinan dan perilaku.Ketika muncul
voluntary compliance dari pembayar pajak tergantung tingkat keikhlasannya, diawali dengan takut
dikenakan sanksi jika pengawasan dari otoritas pajak berjalan maksimal, karena keterlambatan
pembayaran dan pelaporan pun akan menjadi beban operasional bagi seorang pengusaha, tidak hanya
finansial tapi juga waktu dan tenaga.
Itu pun otoritas pajak dituntut memiliki sumber daya manusia yang cukup serta data/informasi yang
akurat. Tapi ganjalan akan selalu muncul jika para pembayar pajak type ini, karena belum merasakan
dampak pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial/umum apalagi melihat pada saat
pembeIanjaannya masih ada korpusi dalam bentuk mark-up atau melihat fasilitas pejabat publik yang
serba mewah.
Sampai pada perilaku yang memang benar-benar ikhlas, menghitung, membayar, dan melaporkan
dengan benar dan tepat waktu. Ini sejalan dengan pemikiran Allingham dan Sandmo dalam Income Tax
Evasion: A Theoretical Analysis, “Voluntary compliance is rarely the outcome of altruistic behaviour;
rathertax compliance is the result of policies that rely on deterrence, that is, theability of tax administration
and other state organisations effectively todetect and punish citizens who disobey the tax laws.”
Kesadaran sendiri untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar masih sangat jarang,
sebagaimana Kelman’s tripartite typology, yaitu pribadi internalizers yang mengutamakan kepentingan
orang lain dan konsisten antara keyakinan dan perilakunya, bahwa membayar pajak sebagai suatu
bentuk pengorbanan untuk berbagi dengan orang lain, yaitu warga negara yang masih belum mampu.
Jika dikaitkan dengan suatu kata bijak, pribadi internalizers adalah pribadi yang masih bersyukur dengan
diberikan tagihan pajak yang besar, karena dengan demikian kepadanya masih diberikan banyak rezeki
untuk masih bisa berbagi dengan orang lain.
Dari uraian di atas dapat dibedakan ke dalam dua faktor terkait dengan kepatuhan pembayar pajak, yaitu:
1. Faktor internal meliputi:
keyakinan, seperti yang ada pada sebagian warga Swedia bahwa dengan membayar pajak
merupakan kontribusi/partisipasi membangun bangsa dan negara, serta membayar pajak
bukan beban tetapi sarana yang secara bersama digunakan untuk mempertahankan
kemakmuran negara.
perilaku, yang didorong keyakinan yang dimiliki oleh wajib pajak ditambah dengan norma sosial
di sekelilingnya yang mendorong apakah harus membayar pajak seluruhnya atau sebagian
atau tidak sama sekali.
Page 22
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
2. Faktor-faktor eksternal meliputi:
Norma sosial, menurut Fehr dan Gächter dalam tulisan Benno Torgler, “a social norm as a
behavioural regularity that is based on a socially shared belief about how one ought to behave
that triggers the enforcement of the prescribed behaviour by informal social sanctions”.
Seandainya dalam suatu komunitas memiliki kesadaran untuk membayar membayar pajak
yang menjadi suatu sikap bersama yang harus didukung, maka anggota komunitas tersebut
juga akan berperilaku yang sama.
Fairness of the taxes, keadilan dalam hukum pajak merupakan insentif bagi seseorang untuk
mematuhi ketentuan hukum pajak. Yang kaya membayar pajak yang lebih besar, dan yang
setara membayar pajak dengan jumlah yang relatif sama. Ketidakadilan di dalam sistem pajak
dapat mendorong seseorang untuk berbuat curang. Selain itu, diberikan kemudahan kepada
wajib pajak untuk berinteraksi di dalam sistem pajak dan tidak membebani waktu, uang, dan
tenaga (compliance cost), ketika interaksi tersebut sejak pendaftaran, pelaporan SPT, sampai
pada saat enforcement.
Penegakan hukum, adanya penegakan hukum yang cepat, tepat dan tegas, ketika seseorang,
baik karena kelalaian maupun dengan sengaja mencoba untuk melanggar hukum pajak. Jika,
pengakan hukum tidak dilakukan secara cepat dengan sanksi yang tepat dan tegas, akan
mendorong seseorang berbuat curang dengan berharap tidak terdeteksi dan dihukum sampai
masa daluwarsa berakhir.
Sumber daya otoritas pajak yang memadai, ketika penegakan hukum harus dilakukan secara
cepat, tepat, dan tegas, maka kapasitas sumber daya yang dimiliki otoritas pajak harus
memadai. Karena hal ini terkait dengan biaya untuk mengumpulkan penerimaan pajak,
meskipun kapasitas sumber daya besar, tetapi ketika didukung manajemen yang baik dan
efisiensi, tax compliance dapat selalu ditingkatkan.
Pelayanan dan fasilitas publik, ketika beban pengeluaran negara semakin tergantung pada
penerimaan pajak, maka menjadi wajar jika masyarakat menuntut pemerintah menyediakan
pelayanan dan fasilitas publik yang lebih baik kepada masyarakat
Dukungan harus didasarkan politicall will pemimpin tertinggi negara, dan diteruskan sampai kepada level
ke bawah instansi pemerintah. Harus ada kesadaran bagi seluruh aparat pemerintah bahwa gaji dan
pengeluaran instansinya berasal dari pajak masyarakat, jadi harus dipertanggungjawabkan sekecil
apapun pengeluaran tersebut.
Begitu juga wajib pajak harus selalu mengingatkan perbaikan layanan publik, karena mereka telah
berkontribusi membayar pajak. Karena hal tersebut juga sekaligus mengingatkan masyarakat sendiri
untuk tetap membayar pajak.
Page 23
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Jadi, seluruh institusi publik sangat berperan dalam meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Kebijakan
dan realisasi dalam pemberian pelayanan, perizinan, dan perbaikan fasilitas publik sangat besar
pengaruhnya bagi masyarakat dan Wajib Pajak untuk menyadari arti penting membayar pajak.
DJP tidak bisa berjalan sendiri, meskipun terdapat aturan yang memberikan kewenangan bagi DJP untuk
mempidanakan pihak ketiga yang tidak memberikan keterangan/bukti dan data/informasi sebagaimana
pasal 41A dan 41C UU KUP, tentunya koordinasi pemenuhan keterangan/bukti atau data/informasi dari
seluruh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sebagaimana pasal 35 dan 35A UU KUP
harus selalu ditingkatkan.
Pemimpin tertinggi negara ini menjadi penanggung jawab terbesar bagi terwujudnya perekonomian
nasional yang mandiri, sehingga perlu penguatan komitmen bagi seluruh instansi pemerintah, lembaga,
asosiasi, dan pihak lain untuk memberikan keterangan/bukti dan data/informasi kepada DJP. Hal ini juga
dalam rangka memaknai bentuk kerja, kerja, dan kerja bagi semua pihak, dengan terkoordinasinya
semua bentuk kerja setiap pihak akan memberikan dampak yang luar biasa bagi peningkatan
perekonomian nasional.
Pada akhirnya, DJP dengan sumber daya manusia yang terbatas sekarang ini dapat memanfaatkan
keterangan/bukti dan data/informasi tersebut untuk menguji kepatuhan pembayar pajak, dengan harapan
penerimaan perpajakan dapat terpenuhi atau malah terlampaui, sehingga pengeluaran atau belanja
negara tidak perlu lagi ditutup dengan utang negara.
Untuk itulah seharusnya setiap penetapan pejabat publik, tidak hanya didasarkan pertimbangan
keterlibatan korupsi semata, tetapi seberapa besar kesadaran para calon pejabat publik terhadap
pembayaran pajak mereka, karena dipundak mereka lah beban belanja negara yang sebagian besar
bersumber dari pajak akan dipertaruhkan.
Bagi Wajib Pajak yang tingkat kepatuhuan pemenuhan kewajiban perpajakan tinggi, tentu tidak perlu
khawatir, karena seluruh manfaat dari pemenuhan kewajiban perpajakan akan kembali juga kepada
Wajib Pajak sebagai bentuk perwujudan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja.
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 24
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Urgensi Peninjauan Aturan Pajak Final atas Obligasi Selasa, 11 Nopember 2014 - 09:04
Oleh Rizmy Otlani Novastria, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perkembangan era teknologi digital dewasa kini
semakin tak dapat dibendung. Batas negara dan benua
seolah menjadi tak berarti dengan kemajuan teknologi
yang melaju pesat. Begitu pula dalam dunia investasi.
Transaksi sekuritas seperti saham dan obligasi pun kini
beralih dari sistem manual yang dulunya tak pernah
lepas dari bukti kepemilikan hardcopy menjadi sistem
kepemilikan yang scriptless sehingga frekuensinya
semakin lama semakin meningkat drastis.
Dalam sepersekian detik, kepemilikan
sekuritas dapat berpindah dari satu
investor ke investor lainnya yang
sebagian besar berinvestasi untuk
tujuan trading semata. Ditambah lagi
dengan serangan spekulan yang
membuat perputaran transaksi
semakin cepat. Perputaran transaksi
sekuritas yang sangat cepat tidak serta
merta membuat otoritas perpajakan
menyerah hingga mengecualikan
segala potensi penghasilan dari
transaksi saham maupun obligasi.
Setiap transaksi sekuritas dianggap
memiliki potensi penghasilan yang
harus dikenakan pajak baik atas bagi
hasil/bunga/deviden maupun atas
capital gain saat terjadi penjualan
saham maupun obligasi. Akan tetapi, otoritas perpajakan Indonesia mengakui bahwa dengan segala
macam otomatisasi dan kemajuan teknologi digital, tetap tidak akan mampu meng-handle perhitungan
pajak yang beragam atas ratusan ribu transaksi yang terjadi setiap detiknya khususnya bagi transaksi di
luar bursa.
Page 25
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Oleh karena itu, demi menggali potensi perpajakan yang prospektus di dunia sekuritas, melalui PP 41
tahun 1994 juncto PP 14 tahun 1997, DJP memberanikan diri untuk memberlakukan perlakuan pajak final
atas setiap transaksi pengalihan saham di bursa sebesar 0,1% (atau tambahan 0,5% untuk saham
pendiri) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan tanpa melihat apakah transaksi tersebut untung atau
rugi. Dalam kondisi ini, definisi sebuah capital gain atas pengalihan saham menjadi tidak lagi berlaku
dalam dunia perpajakan.
Kontroversi publik pun sempat terjadi dengan tuduhan DJP telah menciderai asas keadilan yang
dicetuskan oleh Adam Smith. Akan tetapi, pada akhirnya publik mulai merasakan kesederhanaan
penghitungan dan kemudahan sistem administrasi yang merupakan efek pemberlakuan single rate serta
withholding system. Pengingkaran asas keadilan Adam Smith telah di-tradeoff oleh berkurangnya cost
compliance yang sebelumnya menjadi beban Wajib Pajak akibat kerumitan sistem perpajakan.
Sementara saham telah melaju dengan sangat cepat akibat perkembangan teknologi, kebijakan
quantitative easing di Amerika turut memberikan andil tersendiri bagi peningkatan frekuensi transaksi
sekuritas. Pada masa quantitative easing dimana negara-negara maju seperti Amerika Serikat memiliki
excess capital yang harus disalurkan kepada negara-negara emerging market, obligasi dan instrumen
pasar keuangan lainnya di Indonesia turut mengalami kemajuan dengan pesat.
Investor dari berbagai negara maju berlomba-lomba menanamkan modalnya di negara-negara
berkembang dengan harapan memperoleh profit gap dari suku bunga pinjaman The Fed yang saat itu
hanya berkisar pada angka 0,2% dibandingkan dengan suku bunga di Indonesia yang mencapai angka
8%. Investasi asing seketika bercampur dengan investasi domestik sehingga adanya perbedaan tarif
pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri akan semakin
mempersulit sistem perhitungan pajak final.
Ketika perekonomian Amerika mulai pulih dengan adanya kebijakan quantitative easing tersebut, sekitar
pertengahan Juni 2013 The Fed mengumumkan sebuah pernyataan yang membuat investor di seluruh
dunia bergejolak. Pengumuman tersebut adalah mengenai pemberlakuan tapering yang akan
dilaksanakan setahap demi setahap pada tahun 2013. Yang dimaksud dengan tapering di sini adalah
suatu kebijakan penarikan modal asing terhadap negara-negara emerging market. Modal yang biasanya
mengalir pada angka US $ 80 miliar/bulan menjadi hanya sekitar US $ 60 miliar/bulan.
Tentu saja kebijakan tapering ini menimbulkan kepanikan investor seketika. Modal dalam bentuk saham,
obligasi, maupun instrumen keuangan lain berlomba-lomba untuk ditarik dan dialihkan hanya dalam
jangka waktu 3 bulan saja. Pada bulan September 2013, The Fed menyatakan bahwa tapering akan
ditunda hingga tahun 2014. Kepanikan pasar dapat diredam dan gejolak ekonomi mulai stabil. Investor
asing kembali menanamkan modalnya di Indonesia sehingga terjadilah pembelian berbagai instrumen
Page 26
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
keuangan termasuk saham dan obligasi. Lagi-lagi kepemilikan sekuritas beralih dalam waktu yang relatif
singkat.
Jika perlakuan pengenaan pajak atas sekuritas masih rumit di tengah instabilitas kondisi ekonomi,
akankah potensi penggalian pajak dapat berjalan maksimal?
Pajak Obligasi tak Sesuai Zaman
Setelah menelaah kondisi ekonomi global yang mau tidak mau berdampak pada kondisi ekonomi
Indonesia sekitar tahun 2012 hingga hari ini, marilah kita meninjau ketentuan pajak obligasi yang berlaku
di Indonesia.
Pengenaan pajak penghasilan atas obligasi diatur dalam PP 16 tahun 2009 yang merupakan pengganti
PP 6 tahun 2002. Peraturan pemerintah ini berlaku mulai 1 Januari 2009 dan mengatur mengenai pajak
atas penghasilan bunga obligasi yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final. Jenis penghasilan yang
dikenakan pajak final tersebut ada dua jenis, yaitu atas penghasilan berupa kupon dan atas penghasilan
dari diskonto/capital gain.
Meskipun pengertian dari obligasi sendiri adalah surat utang atau surat utang negara yang berjangka
waktu lebih dari 12 bulan, kemungkinan adanya diskonto/capital gain yang lebih dari sekali untuk setiap
obligasi itu tetap saja sering terjadi. Misalnya dalam hal terjadi perpindahan kepemilikan sebelum masa
jatuh tempo. Besaran tarif yang dikenakan terhadap bunga obligasi dengan kupon adalah sebesar 15%
bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, serta 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap dari jumlah bruto
bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
Contohnya, PT ABC selaku investor membeli 10 lembar obligasi bernominal Rp10.000.000,00 per lembar
yang diterbitkan pada tanggal 1 Juli 2014 dengan harga Rp9.000.000,00 per lembar. Jangka waktu
obligasi 5 tahun (jatuh tempo pada tanggal 1 Juli 2019). Bunga tetap (fixed rate) sebesar 15% per tahun,
jatuh tempo bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember. Dengan demikian penghitungan bunga pada
tanggal jatuh tempo 31 Desember 2014 adalah sebesar (6/12 x 15% x 10.000.000,00) x 10 =
7.500.000,00. Maka, penghitungan PPh final untuk Wajib Pajak Dalam Negeri adalah sebesar 15% x
Rp7.500.000,00 = Rp1.125.000,00. Jika ABC adalah seorang Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak
memiliki perjanjian P3B dengan Indonesia, maka tarif yang dikenakan adalah 20%.
Lebih rumit lagi bila ABC adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki perjanjian P3B dengan negara
Indonesia. Tarif yang dikenakan akan berbeda-beda antara satu negara dan negara lain. Kerumitan
ketentuan pajak kedua dalam peraturan pemerintah ini yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
adalah adanya pajak atas diskonto atau capital gain. Pengenaan pajak atas diskonto adalah sebesar
Page 27
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
15% bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan 20% bagi Wajib Pajak Luar Negeri atas selisih lebih harga jual
atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
Contohnya PT ABC pada contoh sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2015 melakukan penjualan
obligasinya di over the counter (di luar bursa) kepada PT XYZ dengan harga jual Rp10.500.000,00 per
lembar termasuk bunga berjalan. Dengan demikian, bunga berjalan selama masa 3 bulan adalah
(3/12x15%x10.000.000)x10 = 3.750.000 untuk 10 lembar. Sedangkan penghitungan diskonto adalah
sebesar ((10.500.000-375.000)-9.000.000)x10 = 1.125.000. Maka PPh final yang dikenakan jika PT ABC
merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri adalah 15% x 3.750.000 untuk bunga berjalan dan 1.125.000
untuk capital gain.
Kerumitan bagi pemotong pajak semakin bertambah bila investor asing berdomisili di negara mitra P3B
yang sebagian menjadikan capital gain sebagai tax exempt, menganggap capital gain termasuk dalam
definisi bunga, atau mengenakan tarif yang berbeda-beda atas capital gain.
Emiten/Kustodian/Efek/Dealer selaku pemotong pajak harus pandai-pandai memilah transaksi yang
terjadi hampir tiap sepersekian detik. Perlu diingat di sini bahwa book entry settlement system yang ada
saat ini belum memfasilitasi pemotongan dan penghitungan pajak yang berbeda-beda atas berbagai jenis
transaksi dan ketentuan P3B yang berlaku.
Sistem berupa OTC-FIS (Over the Counter- Fix Income Service) juga belum mampu menentukan secara
spesifik pengenaan pajak yang harus dikenakan terhadap investor. OTC-FIS merupakan sebuah sistem
dimana semua kuotasi yang masuk ke dalam sistem dapat dilihat secara langsung (real time) oleh pelaku
pasar lainnya, serta adanya sistem yang secara otomatis merekam nilai par. Dari sini dapat dilihat bahwa
ketentuan yang ada masih kurang applicable dalam praktiknya di lapangan.
Pajak Penghasilan Final adalah Lex Spesialis
Sebagian besar pajak final yang dikenakan di Indonesia berlaku tarif pajak single rate dengan tarif pajak
khusus yang tidak mengikuti pasal 17 karena ruh dari pajak penghasilan final harus mengikuti kerentuan
dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh. Hampir seluruh ketentuan pengenaan pajak final diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah dengan tarif single rate dan perhitungan pajak yang sederhana.
Contohnya adalah pengenaan pajak atas pengalihan tanah atau bangunan yang dikenakan tarif PPh final
sebesar 5% (PP 71 tahun 2008), tarif pajak atas bunga deposito yang dikenakan tarif 20% (PP 132 tahun
2000), deviden yang dikenakan tarif 10% (Pasal 17 ayat 2c UU PPh), hadiah undian dengan tarif pajak
25%, bunga simpanan koperasi dengan tarif 10% (PP 15 tahun 2009), dsb. Dapat dillihat di sini bahwa
tidak ada perbedaan perlakuan pengenaan pajak baik atas Wajib Pajak dalam negeri maupun luar
negeri.
Page 28
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Disinilah letak keistimewaan dari pajak penghasilan final yang tidak lagi berekor pada ketentuan pasal 17
ayat 1 atau 2 UU PPh (kecuali deviden), pasal 23 maupun pasal 26 UU PPh. Dapat dikatakan secara
singkat bahwa pajak penghasilan final adalah lex spesialis yang seharusnya dapat dirumuskan
sedemikian rupa tanpa menyingkirkan prinsip keadilan Adam Smith demi mencapai kesederhanaan
administrasi dan menekan cost compliance.
Lalu bagaimana dengan pengenaan pajak obligasi di Indonesia? Telah kita bahas sebelumnya bahwa
pajak obligasi di Indonesia masih memiliki rasa “tenggang rasa” terhadap ketentuan pasal 23 dan pasal
26 UU PPh dimana pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri maupun Wajib Pajak Luar
Negeri dibedakan. Selain itu, pengenaan pajak atas perhitungan capital gain yang rumit membuat para
Emiten/Kustodian/Efek/Dealer mengerahkan Sumber Daya Manusia yang lebih banyak dalam rangka
melaksanakan kewajiban pemotongan pajak atas diskonto obligasi.
Perlu diingat sekali lagi bahwa para witholder/pemotong tersebut hanyalah agen/perantara yang tidak
memiliki kewajiban untuk melakukan pencatatan akuntasi secara detail mengenai bunga berjalan yang
diterima oleh setiap investor sesuai dengan masa kepemilikan atau diharuskan mencatat capital gain
yang diterima investor. Namun, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perpajakan yang pada
akhirnya berdampak pada internal audit, witholder akhirnya membuat sebuah sistem pengawasan khusus
atas transaksi obligasi selain yang telah disebutkan di atas walaupun masih belum mampu
mengakomodir perhitungan pajak atas transaksi yang berbeda-beda.
Sebenarnya aturan lama mengenai pengenaan pajak obligasi yang tercantum dalam PP 6 tahun 2002
telah mengatur pengenaan pajak single rate sebesar 20% baik untuk bunga berjalan maupun untuk
capital gain. Akan tetapi, dalam PP 16 tahun 2009 ketentuan tersebut diubah sehingga tarif pengenaan
pajak untuk Wajib Pajak Luar Negeri dibedakan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 23 dan pasal 26 UU PPh yaitu perbedaan tarif 15% dan 20%.
Perlunya Penyederhanaan Regulasi
Ketidakpraktisan di lapangan atas pelaksanaan pajak atas bunga/diskonto obligasi seperti telah dibahas
sebelumnya membuat concern terhadap regulasi pajak bunga/diskonto obligasi perlu ditingkatkan.
Witholder selain harus memilah transaksi obligasi mana yang dikenakan tarif sesuai P3B, juga harus
dipusingkan dengan Wajib Pajak mana yang harus dikenakan tarif 15% atau 20%.
Selain itu, tingkat pengembalian/yield dari obligasi secara normal lebih tinggi daripada tingkat
pengembalian dari deposito. Bila bunga deposito menurut PP 131 tahun 2002 saja dikenakan tarif single
rate sebesar 20%, mengapa atas bunga berjalan transaksi obligasi juga tidak dikenakan tarif single rate
sebesar 20% (dengan tetap mengindahkan ketentuan P3B)? Menurut pengakuan beberapa bank
Page 29
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
kustodian bahwa atas bunga berjalan obligasi dalam praktiknya ternyata dipukul rata sebesar 20%
dengan argumen kekhawatiran akan terjadinya kekurangan pemotongan pajak.
Mengenai capital gain obligasi yang lebih dikenal sebagai diskonto obligasi, justru lebih mempersulit para
pemotong pajak dengan adanya ketentuan kompensasi kerugian terhadap bunga berjalan. Dapat
dibayangkan, untuk setiap transaksi penjualan obligasi, kustodian, efek, atau broker harus mengawasi
apakah obligasi tersebut untung atau rugi selain memikirkan mengenai tarif yang harus dikenakan.
Padahal sekali lagi, mutasi obligasi terjadi dalam waktu sepersekian detik. Prosedur penentuan untung
rugi transaksi juga tidak boleh sembarangan karena metode yang diperbolehkan dalam PMK-
85/PMK.03/2011 jo. PMK-07/PMK.11/2012 hanyalah metode First In First Out (FIFO). Padahal dalam
praktiknya investor belum tentu menjual obligasi berdasarkan mana yang pertama dibeli. Investor
kebanyakan pasti menjual obligasi mana yang memberikan profit terbesar di tengah volatilitas pasar.
Ketentuan tersebut di lapangan menimbulkan banyak perbedaan penafsiran antara satu kustodian
dengan kustodian lain sehingga menimbulkan distorsi dan persaingan yang tidak sehat. Logisnya,
investor akan memilih kustodian/efek/bank mana yang melaksanakan ketentuan perpajakan yang paling
menguntungkan bagi diri mereka. Padahal seharusnya jika metode pengenaan pajaknya lebih
disederhanakan, maka perbedaan metode pengenaan pajak dapat ditiadakan sehingga terjadi
persaingan sehat antara satu kustodian dengan kustodian lain, antara satu dealer/bank dengan
dealer/bank yang lain.
Penulis berpendapat bahwa pajak atas capital gain/ diskonto hendaknya digantikan dengan pajak atas
transaksi penjualan obligasi seperti halnya ketentuan pajak atas transaksi penjualan saham di bursa
dengan tarif single rate yang lebih rendah/moderat tanpa melihat adanya untung atau rugi. Walaupun
sekilas solusi tersebut tidak populis dan tidak menunjukkan prinsip keadilan, ketidakadilan tersebut akan
mampu di trade off oleh biaya cost compliance yang nantinya dirasakan oleh pemotong pajak maupun
investor.
Selain itu, dengan pengenaan tarif yang lebih rendah, tax coverage terhadap transaksi penjualan obligasi
yang selama ini tidak dilaporkan (khususnya transaksi di luar bursa karena kurangnya pengawasan) akan
mampu diperluas. Selain itu tax potensial akan mampu ditingkatan. Mengapa?
Alasan pertama adalah investor sebagian besar akan melakukan transaksi pelepasan obligasi dalam
kondisi untung. Sangat jarang seorang investor menjual obligasi yang sedang merugi kecuali dalam
keadaan terpaksa. Dengan penyederhanaan aturan dan penurunan tarif, loophole hilangnya penerimaan
pajak akan mampu dicover.
Page 30
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Alasan kedua, pemotong pajak tidak perlu lagi dipusingkan antara pertentangan keinginan investor
versus kewajiban metode FIFO yang harus dilaksanakan sesuai PMK-85/PMK.03/2011 jo. PMK-
07/PMK.11/2012. Bagaimanapun juga, hak penjualan atas obligasi mana yang dijual berada di tangan
investor dan tidak seharusnya berada di tangan pemotong pajak maupun fiskus. Dalam hal ini investor
akan diuntungkan karena dia bebas memilih obligasi mana yang layak dijual demi memperoleh profit
yang tertinggi.
Alasan ketiga, pemotong dapat mengurangi jumlah Sumber Daya Manusia yang bertugas mengawasi
ribuan transaksi obligasi yang terjadi setiap detiknya. Tentu saja pengurangan SDM berarti pengurangan
upah atau gaji yang bermakna pengurangan cost compliance.
Alasan keempat, adanya ketentuan pelaporan harga dan tanggal perolehan obligasi terhadap pemotong
pajak dalam PMK-85/PMK.03/2011 jo. PMK-07/PMK.11/2012 juga menambah beban cost compliance
bagi investor.
Dalam hal penjual obligasi tidak memberitahukan harga perolehan dan tanggal perolehan obligasi yang
sebenarnya kepada pemotong pajak, maka atas penghasilan bunga dan/atau diskonto yang tidak atau
kurang diberitahukan, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana mestinya dalam tahun diketahuinya
ketidakbenaran dimaksud ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga. Ketentuan ini muncul
demi mengakomodir perhitungan capital gain yang diterima oleh investor dan pajak yang harus
dikenakan.
Dapat dilihat bila ketentuan pajak atas capital gain dihapuskan dan digantikan dengan pajak atas
transaksi penjualan obligasi, maka kewajiban investor untuk melaporkan harga perolehan dan tanggal
perolehan obligasi dapat dihapuskan. Selain itu, adanya tax potensial loss pengenaan pajak capital gain
dan pengenaan sanksi administrasi bunga atas kekurangan pemberitahuan dapat ditiadakan sehingga
menguntungkan ketiga pihak, baik negara, pemotong pajak, maupun investor.
Alasan kelima dan yang terakhir adalah adanya pengecualian pengenaan pajak atas capital gain di
beberapa negara mitra P3B. Dengan digantikannya pajak capital gain/diskonto obligasi dengan pajak
transaksi pengalihan obligasi baik di bursa maupun di OTC-FIS bertarif moderat, maka tax coverage
dapat diperluas karena tarif P3B di antara negara-negara OECD berkisar antara 7,5% hingga 10%.
Indonesia akan menjadi negara investasi yang lebih menarik bagi negara-negara P3B sehingga
diharapkan akan mampu mendorong iklim investasi dan perekonomian Indonesia.
Pada akhirnya, perbaikan sistem pengawasan di luar bursa (OTC-FIS) yang sesuai dengan ketentuan
perpajakan, serta koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai institusi baik BEI, PT KSEI selaku
Page 31
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
pemegang rekening efek untuk obligasi perusahaan, Bank Indonesia selaku sub registry untuk obligasi
pemerintah, OJK, DJP, dan Ditjen Pengelola Utang Negara perlu ditingkatkan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengawasan terhadap transaksi obligasi yang frekuensinya
semakin meningkat dalam era krisis ekonomi global akibat tapering yang diberlakukan The Fed sejak
awal tahun 2014 lalu.
Jangan sampai ketentuan perpajakan justru menjadi bumerang bagi Direktorat Jenderal Pajak dengan
segala kerumitan perpajakan yang bahkan oleh Albert Einstein diakui sebagai hal tersulit untuk dipahami
di dunia ini, bahkan mengalahkan kerumitan teori relativitas!
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja
**) Artikel ini telah diterbitkan pada Majalah Indonesian Tax Review Volume VII/Edisi 15/2014 ISSN 1829-
5096 dengan hak cipta tulisan berada di tangan penulis di atas.
***) Hak cipta gambar disadur dari : http://market.bisnis.com/
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 32
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Reformasi Otoritas Pajak: Harga Mati untuk Indonesia yang Lebih Baik Senin, 10 Nopember 2014 - 11:35
Oleh Galih Ardin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Reformasi secara umum dapat diartikan sebagai perubahan
terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.
Reformasi pajak jilid pertama dimulai pada kurun waktu
antara tahun 1983 sampai dengan 1985, dimana pada waktu itu negara menerbitkan beberapa undang-
undang perpajakan beserta peraturan pelaksanaannya antara lain UU ketentuan umum dan tatacara
perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Pajak Bumi dan
Bangunan, dan UU Bea Materai yang menggantikan UU Perseroan, UU Dividen, UU Pajak Penjualan
dan IPEDA.
Lantas, kenapa penerbitan Undang-undang tersebut disebut sebagai reformasi? Hal ini tidak lain karena
Undang undang tersebut mengubah sistem pajak di indonesia yang semula official assasement menjadi
self assasement. Reformasi kedua digulirkan pada pertengahan tahun 2002, ketika itu atas arahan
International Monetary Fund (IMF) didirikanlah Kanwil WP Besar yang mengadministrasikan Wajib Pajak
terbesar yang ada di Indonesia. Kantor ini disebut-sebut sebagai kantor pajak modern pertama di
Indonesia karena telah menerapkan teknologi informasi dalam melayani masyarakat.
Pun orientasinya tidak hanya sebagai penegak hukum tetapi juga pelayan masyarakat. Pendirian kantor
ini menjadi tonggak perubahan manajemen SDM pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena nilai-nilai
integritas dan profesionalisme ditanamkan, sistem reward and punishment diakomodasi. Jatuh bangun,
dihina dipuji, merupakan hal yang wajar dalam perubahan. Tidak ada yang sempurna dalam perubahan.
Yang salah telah dihukum, tetapi yang baik harusnya tetap ditingkatkan.
Era baru perpajakan seharusnya disambut gempita oleh masyarakat, karena sisitem perpajakan yang
ada sekarang sangat memudahkan warga negara dalam memenuhi kewajibannya, mulai dari dropbox,
espt, efiling, layanan unggulan, dan lain sebagainya. Setelah aturan diperbaiki dan SDM dibenahi maka
visi selanjutnya untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan adalah membuat DJP berdaulat di
negeri sendiri. Lebih dari 70% APBN (700 triliun rupiah) berasal dari pajak, oleh karena tanggung jawab
sedemikian besar maka banyak para ekonom berpendapat sudah selayaknya DJP berdiri sendiri menjadi
suatu badan di bawah Presiden (Badan Penerimaan Negara).
Dengan posisi saat ini di bawah Kementerian Keuangan, paling tidak ada 3 masalah utama yang tidak
terpecahkan. Pertama dari segi Kewenangan SDM, DJP tidak dapat merekrut atau memberhentikan
Page 33
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
pegawainya secara langsung, harus melalui suatu sistem brirokrasi yang panjang dan berbelit untuk
merekrut atau memberhentikan pegawai.
Kedua dari segi kewenangan anggaran, tax coverage kita rendah karena kantor pajak tidak mampu
menjangkau ke seluruh pelosok negeri hal ini tidak lain disebabkan karena untuk mengajukan
penambahan anggaran guna membangun kantor baru harus diusulkan 3 tahun sebelumnya dan ini pun
belum tentu disetujui.
Ketiga dari sisi kewenangan menindak Wajib Pajak, untuk melakukan penyitaan/penyidikan atau bahkan
menangkap Wajib Pajak nakal DJP tidak dapat bertindak langsung, melainkan harus atas koordinasi
polri, kejaksaan maupun KPK. Menurut pendapat saya, jika hal ini berlangsung terus kedepannya
dikhawatirkan banyak WP nakal yang lolos.
Opsi kedua yang dapat dipilih adalah dengan tetap menempatkan DJP di bawah kementerian keuangan
tetapi dengan diberi kewenangan dari sisi SDM, Anggaran dan penindakan. Menurut saya, hal ini lah
yang paling realistis, karena untuk merubah DJP terpisah dari Kementerian Keuangan dampaknya
sangat besar. Banyak peraturan pelaksanaan pajak yang harus diubah baik secara material maupun
formal karena perubahan kewenangan dan nomenklatur jika dipisah dari Kemenkeu.
Jika kita menengok otoritas pajak di negara lain, misalkan di Amerika Serikat, otoritas pajaknya
bertanggung jawab langsung kepada presiden, bahkan konon IRS lebih ditakuti daripada Kepolisian
federal sekalipun, hal ini tidak lain karena IRS mempunyai hak untuk langsung mempidanakan Wajib
Pajak yang tidak taat. Hampir serupa dengan di Amerika, di National Tax Agencies (NTA) Jepang berada
setara dengan Kementerian Keuangan Jepang, bahkan Tax Tribunal (Pengadilan Pajak) berada di
bawah NTA.
Berbeda dengan Amerika dan Jepang, otoritas pajak di Malaysia berada di bawah koordinasi
Kementerian Keuangannya. Nah, apapun bentuk DJP kedepannya nanti, kita sebagai warga negara ingin
agar Indonesia mandiri, tidak tergantung pada negara lain dan menjadi bangsa yang makmur sejahtera.
Amin.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 34
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Benci Bayar Pajak, Siapa yang Diuntungkan? Rabu, 5 Nopember 2014 - 12:05
Oleh Ujang Sobari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Jika sebagian besar atau semua
masyarakat Indonesia membenci dan
memboikot pajak, siapakah yang
diuntungkan dan pihak mana saja yang
dirugikan? Bisa kita lihat dari sisi
pengumpulan pajak dan sisi
pemanfaatannya. Dilihat dari sisi
pengumpulan pajak (Pajak
penghasilan/PPh). Sistem perpajakan di Indonesia menggunakan asas self assessment system dimana
Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah Pajak Penghasilan
(PPh) yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri.
Selain itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah PPh yang terhutang dan telah
dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Namun untuk
memudahkan system pembayaran PPh, dikenal adanya pemotongan PPh melalui
pemberikerja/bendahara pemerintah. Masyarakat kelas bawah, pekerja, karyawan buruh dengan level
rendah, setiap menerima penghasilan dari majikan/pemberi kerja langsung dipotong PPh…nyaris tidak
ada cara untuk menghindari pajak.
Namun bagi mereka sebagian lain yang mencari penghasilan sebagai Pengusaha, Wiraswastawan,
Pedagang dan jenis usaha lainnya selain buruh/karyawan dan sejenisnya, mereka memiliki peluang
untuk tidak membayar PPh dengan benar bahkan sama sekali tidak membayar PPh baik karena sengaja
maupun tidak. Padahal memiliki tingkat kesejahteraan dan asset yang tinggi. Nah jika gerakan boikot
pajak dan pelemahan DJP ini berhasil, maka kelas pekerja/buruh nyaris tidak bisa menghindarkan diri
dari pemungutan PPh, karena jelas sistem pemungutan PPh melekat di sumber pemberi penghasilan.
Kecuali memang pemberi kerja berani menggelapkan pajak atas karyawan. Artinya sama sekali tidak
memotong pajak atas pemberian penghasilan (gaji, upah, honor) kepada karyawan, namun ini tindakan
konyol dan gampang ketahuan.
Gerakan boikot pajak bisa jadi mendorong para Pengusaha, Wiraswatawan, Pedagang dan jenis usaha
lainnya selain buruh/karyawan untuk tidak menghitung pajak dengan jumlah yang benar. Jika ini terjadi
dan pada saat yang sama masyarakat sudah antipati pada pajak dan DJP, siapa yang akan mengawasi
Page 35
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
kebenaran pembayaran para Pengusaha, Wiraswatawan, Pedagang dan jenis usaha lainnya selain
buruh/karyawan? Jadi ketika ada aksi boikot pajak, maka ada sebagian eleman warga Negara yang tidak
membayar pajak, sementara masyarakat kelas pekerja, karyawan, buruh, kuli terus dan tetap membayar
pajak dengan pemotongan dari penghasilan bulanan.
Apakah adil jika ada ketimpangan seperti ini? Dari sisi pemanfaatan Jika aksi boikot pajak berhasil dan
mengganggu APBN dari sisi penerimaan Negara, maka dampaknya banyak program sosial
kemsyarakatan yang ngadat, pertanyaannya siapa pihak yang paling dirugikan dari mandeknya program
sosial kemasyarakatan, jawabannya kembali lagi masyarakat kelas pekerja, karyawan, buruh, kuli yang
paling merasakan akibatnya. Berkurangnya (lumpuhnya) layanan kesehatan puskesmas dan rumah sakit,
pengurangan subsidi obat-obatan, makanan, pendidikan, BBM.
Namun sebagian lain masyarakat yang mencari penghasilan sebagai Pengusaha, Wiraswastawan,
Pedagang dan jenis usaha lainnya selain buruh/karyawan dan memiliki kekayaan lebih, tentunya tidak
terpengaruh karena mereka mampu membeli jasa layanan kesehatan swasta bahkan ke luar negeri. Jika
pendidikan di negeri ini mengalami kemunduran, mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya ke
universitas termahal di amerika, inggris, dan belahan dunia lainnya. Kondisi paradoks ini tentu bukan
impian kita sebagai masyarakat modern demokratis.
Kita sebagai warga Negara yang baik dan taat hukum, menginginkan kontribusi adil dalam pembayaran
pajak dari seluruh warga Negara tanpa kecuali. Dan pemanfaatan APBN diharapkan berhasil
mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, adil dan bermartabat. Semoga pihak-pihak yang
selama ini mempelopori gerakan boikot pajak dan yang sekedar ikut-ikutan berfikir ulang karena gerakan
baikot pajak mencederai hak dari warga Negara lainnya.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja
**) Seperti dimuat dalam Koran Harian Kontan Edisi 28-10-2014
Sumber : http://www.pajak.go.id/
Page 36
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Administrasi Pajak Ideal Masa Depan
Senin, 27 Oktober 2014 - 13:23
Oleh Gatot Subroto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Allen Kagina, mantan Komisioner Jenderal Uganda Revenue
Authority, pernah berujar “we should elevate ourselves from
being just tax collectors and tax administrators to being state
builders.” Sementara Sergei Kiriyenko, mantan Perdana
Menteri Rusia, pernah mengatakan “if the state does not learn
to collect taxes, it will cease to exist.” Pernyataan dua figur
dari belahan dunia dan ruang waktu berbeda ini menunjukkan
pentingnya suatu negara melakukan pemajakan dengan cara
yang benar untuk mendukung kemajuan atau bahkan untuk menjaga eksistensinya.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, terdapat beberapa kriteria ideal yang patut diperhatikan dalam
rangka pembenahan administrasi pajak di masa depan. Sebagai organisasi terbuka yang sensitif
terhadap dinamika perkembangan lingkungan domestik dan global, serta perubahan zaman, reformasi
administrasi pajak memerlukan perubahan paradigma dari model tradisional yang hanya fokus pada
pengamanan penerimaan.
Sejumlah ancaman dan kesempatan yang menghadang perlu disikapi dengan reformasi berkelanjutan
melalui langkah-langkah terobosan (breakthorugh) dan visioner, bukan langkah-langkah biasa (business
as usual). Para pengambil keputusan harus memiliki kepekaan terhadap, meminjam istilah Habermas
dan Hegel, zeitgeist (spirit of the time) alias ruh zaman.
Memperkuat Bangunan Negara (State Builder)
Semenjak Indonesia mulai menjadi tax state, administrasi pajak telah menjadi andalan pemerintah dalam
menghimpun penerimaan. Administrasi pajak ideal dalam konteks ini terwujud manakala ia mampu
bekerja secara efektif untuk menjawab kebutuhan fiskal, yaitu memastikan dana yang menjadi hak
negara terkumpul sebagaimana mestinya.
Namun peran administrasi pajak dalam suatu tax state sesungguhnya bukan hanya sebagai mesin
pencari uang yang diukur dari performa fiskalnya. Lagi pula tax state bukan hanya berkaitan dengan
kriteria matematis proporsi penerimaan suatu negara dari sektor pajak, tetapi juga bagaimana pajak
berperan dominan dalam state building. Di sini administrasi pajak menjadi pilar demokrasi yang
memperkuat kontrak sosial fiskal rakyat dan negara.
Page 37
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Dewasa ini dunia menyaksikan adanya pergeseran orientasi reformasi administrasi pajak yang
berlangsung di berbagai berbagai belahan dunia, dari yang sebelumnya secara tradisional berfokus pada
memaksimalkan pendapatan, efisiensi, ekonomi, dan kepatuhan, menjadi lebih fokus pada state building.
Penguatan peranan pajak dalam area ini dapat memperkuat relasi negara dan warga yang membawa
konsekuensi positif pada kapasitas negara dan juga responsivitas dan akuntabilitas pemerintah kepada
warga negara (OECD 2010:17).
Agen Perubahan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Administrasi pajak berada pada posisi strategis dalam konteks hubungan negara dan rakyat di titik
sentral saluran yang disebut Pierre (1995) sebagai two-way street. Relasi negara dan warganya berisi
aliran input dan output yang masing-masing berwujud kontribusi rakyat ke (penyelenggara) negara dan
layanan publik yang disediakan negara untuk menyejahterakan rakyat. Administrasi pajak berperan
sebagai wahana saluran input finansial (pajak), sementara input politik berupa suara (vote) atau aspirasi
menjadi tugas partai atau lembaga politik.
Pada arah yang sebaliknya, administrasi pajak berperan di saluran output dengan turut mewujudkan
kontraprestasi pajak. Pada prinsipnya, manfaat pajak manifes melalui pelayanan yang disediakan seluruh
elemen negara. Namun sebagai bagian pemerintahan yang berada di posisi terdepan, administrasi pajak
harus menjadi contoh tauladan penyediaan kontraprestasi pajak.
Dalam dua arah itu, administrasi pajak berperan besar dalam memperbaiki kualitas birokrasi, membentuk
pemerintah yang akuntabel dan responsif dan memperkuat legitimasi negara. Secara teoretis,
ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan pajak memiliki efek positif pada kualitas pemerintahan
(Moore 2007). Karenanya, masih dalam konteks state building, administrasi pajak masa depan juga
harus mampu menjadi katalisator perbaikan birokrasi.
Sebagai lumbung negara, administrasi pajak berada di sektor hulu yang bertindak sebagai penyalur
energi ke sektor lain. Administrasi pajak yang responsif dan akuntabel, serta yang amanah (bebas
korupsi, bersih) dan adil, dapat memainkan peran sebagai motor pembenahan layanan pemerintahan.
Lebih jauh lagi, administrasi pajak ideal bahkan diharapkan berperan sebagai agen perubahan
kerhidupan berbangsa dan bernegara. Efektivitas pemajakan memerlukan lingkungan yang baik dan
untuk itu administrasi pajak juga dituntut untuk menciptakan lingkungan yang mampu mengarahkan
warga untuk menjadi patuh secara sukarela (Bird 2004:138).
Mungkin merupakan pekerjaan yang besar dan sangat berat untuk mengubah lingkungan suatu
masyarakat seperti Indonesia yang tidak kondusif bagi kesuksesan misi perpajakan. Namun upaya
mengubah lingkungan sosial, politik, budaya, dan hukum dengan menggunakan instrumen perpajakan
bukanlah pungguk merindukan bulan.
Page 38
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Pajak memiliki fungsi social control yang dapat digunakan untuk memengaruhi pola kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini, administrasi pajak bisa bertindak sebagai agen pemicu perubahan dalam
masyarakat dan menjadi lokomotif perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Antisipasi Kesempatan Masa Depan
Economy outlook Indonesia sangat menjanjikan dan ditambah dengan pertumbuhan kelas menengah
dan bonus demografi, terbentang windows of opportunity yang lebar. Kalangan swasta telah
mengantisipasi hal ini dengan menyiapkan berbagai strategi dan restrukturisasi bisnis untuk menangkap
peluang. Bola kini ada di tangan pemerintah. Transformasi yang hanya terjadi dalam satu generasi, atau
disebut sebagai “kesempatan seabad sekali,” ini membutuhkan pengelolaan yang hati-hati, strategis, dan
cerdas.
Untuk menangkap peluang dengan optimal, pemerintah dituntut untuk memainkan berbagai peranan
penting (pivotal role), terutama berkaitan dengan masalah kuantitas dan kualitas SDM (McKinsey Global
Institute 2012). Peluang bonus demografi yang mengacu pada kenaikan jumlah relatif penduduk usia
produktif itu tidak otomatis berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian.
Pemerintah harus menjamin generasi penerus, bagian dari "dividen demografi" yang akan segera habis
dalam dua dekade ke depan, mendapat akses pendidikan yang lebih berkualitas. Jika tidak disiapkan
dengan baik, SDM berkualitas rendah dan menganggur justru akan menjadi beban atau malah
malapetaka demografi dan bangsa ini akan kembali kehilangan momentum.
Di samping melalui kebijakan yang tepat, peran penting yang diharapkan dilakukan pemerintah
memerlukan dana yang cukup. Dalam hal ini, administrasi pajak memiliki peranan krusial berkaitan
dengan fungsi budgetair danregulern pajak. Administrasi pajak yang efektif dapat menunjang optimalisasi
fungsi budgetair pajak untuk memenuhi kebutuhan dana pemerintah, termasuk ketersediaan dana secara
berkelanjutan dalam investasi peningkatan kualitas SDM seperti anggaran pendidikan yang dipatok
konstitusi (20%).
Administrasi pajak juga diharapkan berperan optimal melalui fungsi regulern pajak dalam merekayasa
kehidupan sosial dan ekonomi. Sebagai salah satu instrumen penting kebijakan pemerintah, pajak,
misalnya melalui fungsi redistributifnya, dapat dioptimalkan untuk mengatasi kesenjangan sosial, dan
demikian pula dengan fungsi stimulan untuk mendorong investasi dan pertumbuhan.
Singkron dengan Sistem dan Kebijakan Perpajakan
Keseluruhan rancang bangun sistem perpajakan sangat bergantung pada bagaimana efektivitas
administrasi pajak menjalankan fungsinya. Sistem perpajakan yang sempurna sekalipun akan sia-sia jika
pengadministrasiannya buruk.Four maxim terkenal Adam Smith yang terdiri
dari equity, certainty, convenience dan economy merujuk pada kondisi ideal yang mungkin terwujud jika
Page 39
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
administrasi pajak bekerja dengan baik. Kegagalan administrasi pajak berfungsi dengan benar yang
menyebabkan kecilnya tax coverage dan menganganya tax gap akan menyebabkan kebocoran dan rasio
pajak yang rendah.
Administrasi pajak merupakan elemen yang sangat menentukan bulat-lonjongnya sistem perpajakan
dalam realita. Kebijakan pajak yang dibuat pemerintah dan kemudian dituangkan dalam regulasi pajak,
dalam kenyataan, tidak serta-merta akan menjadi seperti yang diformulasikan. Bagaimana administrasi
pajak menjalankan undang-undang perpajakan begitulah kebijakan pajak yang sebenarnya berlangsung.
Bagi pebayar pajak, sistem pajak yang sebenarnya dirasakan bukan pada hukum pajak yang tertulis di
atas kertas semata, tetapi pada bagaimana sesungguhnya peraturan itu dijalankan (Bird 2004:135). Vito
Tanzi melukiskan hal ini dengan membuat distingsi antara real (effective) tax system dan statutory tax
system, sementara Casanegra de Jantscher mengatakan bahwa ‘tax administration is tax policy’ (Bird
2004:135). Administrasi pajak yang ideal dalam konteks ini adalah yang mampu meminimalisir
diskrepansi antara real dan statutory tax system.
Administrasi Pajak yang Pro-Pelayanan
Ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan pajak memang memiliki efek positif pada kualitas
pemerintahan, namun hubungan itu tidak otomatis Moore (2007). Meskipun sepenuhnya bergantung
pada pajak sebagai sumber pendapatan, pemerintah tidak akan serta-merta menjadi kapabel, akuntabel,
atau responsif. Penguasa mungkin saja memungut pajak secara paksa (coercive), yang dengan
demikian memicu tata kelola yang buruk. Pendekatan pemajakan yang digunakan memengaruhi kualitas
pemerintahan sehingga bagaimana (how) pajak dipungut (baca: kualitas pelayanan) adalah sama
pentingnya dengan berapa banyak (how much) pajak yang dikumpulkan (Bird 2010).
Kecuali menjadi manifestasi pemajakan demokratis, administrasi pajak juga harus mengedepankan
pelayanan sebagai strategi pemajakan itu sendiri. Mazhab pro-pelayanan memperlakukan pebayar pajak
sebagai klien (pelanggan) yang harus dilayani, bukan sebagai maling yang harus ditangkap (Bird 2010).
Memberi prioritas pada kualitas pelayanan adalah cara yang tepat meningkatkan kontribusi perpajakan
rakyat lantaran kondisi ideal bagi kesuksesan misi perpajakan adalah bersandar pada kepatuhan
sukarela yang didorong oleh manfaat pajak (public goods and services) yang diterima.
Di sisi lain, pendekatan pemaksaan dan intimidatif dalam pemajakan tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman. Enforcement ternyata tidak lebih efektif, termasuk jika penguasa sangat kuat
sekalipun. Sebaliknya, pendekatan pelayanan dapat mempromosikan kepatuhan sukarela karena
melibatkan cost of taxation yang relatif lebih rendah (efisien) (Serra 2004). Bagaimanapun
mengutamakan pelayanan tidak akan mengurangi koersivitas negara dalam menarik pajak.
Lagi pula pelayanan sudah menjadi tema umum operasi kebanyakan organisasi baik sektor publik
maupun bisnis. Dalam dunia usaha, kualitas pelayanan merupakan strategi favorit menghadapi
Page 40
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
persaingan merebut pelanggan dan pasar. Klien administrasi pajak memang tidak memiliki pilihan untuk
minggat (attrition), dan tidak pula memiliki pilihan alternatif seperti di sektor swasta di mana terdapat
banyak penyedia jasa yang kompetitif: pelanggan yang tidak puas dapat dengan mudah beralih
ke supplier atau produk lain.
Dalam konteks pemajakan, para pebayar pajak mau tidak mau harus tetap berada dalam sistem
pelayanan administrasi pajak. Namun para pelanggan ini (baca: pebayar pajak) mungkin akan mengelak
dengan cara yang berbeda, seperti evasi pajak atau minimal tax avoidance melalui progressive tax
planning, atau lebih buruk lagi menempuh langkah ilegal, seperti bribery.
Selain itu, suatu kekeliruan untuk mengatakan bahwa administrasi pajak tidak menghadapi persaingan
sama sekali. Dalam konteks lingkungan global, administrasi pajak di semua negara saling bersaing untuk
menjadi yang terbaik. Dunia sudah memasuki era persaingan internasional dan banyak pihak membuat
pemeringkatan untuk banyak hal. Sebut sebagai contoh, Doing Business Survey oleh Wolrd Bank
menjadikan urusan pembayaran pajak sebagai salah satu variabel untuk menilai kemudahan investor
memulai usaha di suatu negara. Demikian pula OECD dan lembaga internasional lain secara periodik
melakukan survei yang menghasilkan penilaian komparatif administrasi pajak antar-negara.
Administrasi pajak ideal masa depan harus menjadi “taxpayer centric organization,” menyiapkan diri
sebagai institusi yang melayani manusia, tepatnya memanusiakan manusia (homo humanum) secara
langsung dan tidak langsung, secara eksternal dan internal, bukan sebuah organisasi yang mengejar
setoran per se. Sebuah organisasi yang mampu melindungi dan menghormati hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional.
Pelayanan yang berkualitas dapat dipandang sebagai suatu bentuk apresiasi kepada pebayar pajak yang
patuh, sementara enforcement yang tegas merupakan bentuk penerbitan bagi yang tidak patuh.
Keberhasilan administrasi pajak dapat diukur dari seberapa banyak pebayar pajak yang berhasil digiring
ke dalam wilayah atau kelompok patuh. Dengan demikian, administrasi pajak Indonesia bisa menjadi
institusi yang disegani sekaligus bersahabat dan menjadi mitra yang dapat dipercaya, bukan yang
menakutkan apalagi dibenci.
Administrasi Pintar Berbasis Teknologi Informasi
Secara keseluruhan, administrasi pajak membutuhkan sumber daya yang bertumpu pada kekuatan otot,
otak, dan otomasi. Fitur otomasi yang mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah
alternatif terbaik dibanding dua yang pertama (yang melekat pada SDM), sekaligus menutupi
kekurangannya, untuk tidak mengatakan menggantikannya. Mengandalkan otot dan otak mensyaratkan
administrasi pajak memiliki sumber daya yang memadai, suatu kondisi yang sering tidak mudah
dipenuhi.
Page 41
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Di Indonesia, administrasi pajak berhadapan dengan terbatasnya sumber daya, padahal beban kerjanya
sangat berat baik dilihat dari besarnya penerimaan yang dikelola maupun jumlah pelanggan yang harus
dilayani dengan permasalahan yang kompleks dan tersebar di wilayah yang demikian luas. Beban kerja
tersebut ke depan akan bertambah dengan pertumbuhan kelas menengah dan bonus demografi.
Administrasi pajak perlu mengembangkan kapasitas untuk mengidentifikasi setiap penduduk (lebih dari
230 juta) plus pebayar pajak asing dan badan berada di dalam basis data sistem perpajakan. Ditambah
lagi, sistem perpajakan Indonesia memperlakukan keluarga sebagai satuan unit pemajakan dan
tanggung jawab diletakkan di pundak kepala rumah tangga, maka setiap penduduk harus dapat
diidentifikasi secara tepat dengan keluarga satuan pemajakannya.
Demikian pula, jika nomor induk kependudukan digunakan sebagai basis untuk mengadopsi metode
registrasi piggy-back system, maka sistem harus mendefinisikan pebayar pajak utama dan para
dependen (anggota keluarga). Di sinilah letak keunggulan TIK atau otomasi, yaitu pada kemampuannya
dalam mengatasi paradoks beban kerja yang besar dan sumber daya yang terbatas.
Keniscayaan mengandalkan TIK juga berkaitan dengan konsekuensi dari pengaruh perkembangan dari
teknologi informasi itu sendiri dalam membentuk pola perilaku manusia. Bonus demografi akan
melahirkan generasi muda dan membentuk kelas menengah yang konsumtif dan melek teknologi,
kelompok yang akan menjadi bagian penting pebayar pajak masa depan. Sebagai negara dengan
pengguna internet terbesar, Indonesia perlu menyiapkan administrasi pajak untuk incoming generation,
generasi abad ke 21, generasi milenium, generasi smartphone, atau disebut juga generasi Y, dalam
bentuk yang cocok dengan kehidupan mereka.
Kehidupan yang berlangsung paralel di dunia maya bukan sekadar dihiasi pergaulan sosial melalui social
media, para netizen juga menjalankan transaksi bisnis sehingga melahirkan apa yang disebut digital
economy dan e-commerce. Tanpa mengembangkan kapasitas IT, administrasi pajak akan semakin
tertinggal dan gagal memanfaatkan peluang dan potensi pajak dunia maya.
Selain itu, administrasi pajak pintar berbasis teknologi informasi memungkinan untuk menutupi
kelemahan self assessment system yang tidak optimal beroperasi dalam lingkungan masyarakat
Indonesia. Administrasi pajak dapat bertindak lebih proaktif memfasilitasi kepatuhan sukarela hingga ke
wilayah pebayar pajak dan sekaligus untuk pengawasan. Dalam konteks ini, TIK kembali menawarkan
keunggulan lainnya, yaitu mampu merangkai proses pelayanan sekaligus pengawasan secara efisien
dan cerdik menuju terciptanya administrasi pajak pintar.
Smart tax administration memberikan prioritas pada pelayanan, namun tidak serta-merta
mengabaikan enforcement, hanya cara dan prosesnya lebih halus dan elegan. Kecanggihan TIK
memungkinkan rekayasa ulang proses bisnis dengan menembus dan melebur beragam aktivitas yang
tersekat-sekat dalam kelompoknya untuk menjadi saling menguatkan (mutually enforcing).
Page 42
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
Salah satu fitur smart tax administration adalah penyediaan SPT siap saji (pre-filled return) dengan
menggunakan data pihak ketiga (Bird 2010). Layanan ini, selain menekan biaya kepatuhan di pundak
pebayar pajak dan membebaskan administrasi pajak dari beban administratif yang tidak perlu, juga
mengintegrasikan aspek pengawasan kepatuhan secara terselubung dalam fitur pelayanan. TIK juga
memungkinkan pengembangan berbagai fitur administrasi pajak pintar lainnya, seperti rekening untuk
setiap pebayar pajak (taxpayer account) beserta hak untuk mengaksesnya (taxpayer access point).
Administrasi Pajak Kelas Internasional
Terakhir, administrasi pajak berkelas internasional bukan semata-mata berkisar pada standar pelayanan
(yang penting dalam konteks persaingan dengan negara lain), tetapi yang tak kalah krusialnya adalah
kapasitasnya dalam mengatasi permasalahan perpajakan internasional untuk mencegah Indonesia
menderita kerugian akibat ekses buruk globalisasi. Sebagaimana negara lain, Indonesia juga
menghadapi ancaman eksternal yang dihadirkan globalisasi, seperti liberalisasi perdagangan, operasi
perusahaan multinasional lintas teritorial, harmful tax competition, digital economy, dan beraneka
macam illegal activities.
Administrasi pajak harus kapabel mendukung kebijakan internasional pemerintah dalam bidang
perdagangan dan investasi. Di tingkat regional, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera berlaku di
tahun 2015 mendatang. Demikian pula, upaya pemerintah yang getol berjuang menyuarakan agenda
anti-kejahatan pajak internasional di berbagai forum internasional, seperti G-20 atau forum kerja sama
lainnya, perlu didukung administrasi pajak yang handal. Tanpa itu, berbagai upaya, inisiatif, dan ratifikasi
konvensi akan menjadi sia-sia.
Administrasi pajak harus terampil melakoni perannya dalam melindungi kepentingan nasional mengatasi
evasi pajak yang juga memiliki kaitan dengan kejahatan lainnya, seperti pencucian uang dan korupsi.
Minimal administrasi pajak masa depan harus mampu mencegah Indonesia terjerumus menjadi tax
haven disebabkan lax administration. Dalam lingkungan global, administrasi pajak yang tidak berfungsi
secara efektif dalam menangani evasi pajak dan celah pajak, secara tidak sengaja akan membuat suatu
negara menjadi tax haven terselubung. Dan “surga pajak” yang tidak diniatkan seperti ini jauh lebih
berbahaya dan liar dibanding negara yang mencanangkan dirinya dengan sengaja untuk menjadi tax
haven.
Negara-negara yag memutuskan diri menjadi tax haven biasanya telah melakukan perghitungan cost and
benefit anaysis yang matang mengenai trade off kehilangan potensi pajak dengan keuntungan lain yang
diperoleh dari membanjirnya dana yang masuk ke negaranya. Sementara “surga pajak” akibat lax
administration lebih rentan dimanfaatkan oleh para pemodal nakal untuk melakukan pencucian uang,
Page 43
REYHAN DHANI PRATAMA 11010112140340
evasi pajak, dan menjalankan skema kejahatan keuangan lainnya dengan memanfaatkan administrasi
pajak yang tidak efektif.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja
Sumber : http://www.pajak.go.id/