REVIEW TIGA PARADIGMA PEMBANGUNAN
(Strukturalis, Humanis Dan Empowering) Sebuah Komparatif dan Kritik serta Saran
Oleh :
Elkana Goro Leba (Ely)
Pembangunan adalah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat secara
terencana dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan sosial masyarakat dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan.
Singkatnya pembangunan adalah upaya untuk merubah keadaan sosial ekonomi ke arah yang
lebih baik. Upaya ini dilakukan oleh semua negara di dunia, baik negara maju maupun
negara-negara berkembang. Dalam perkembangannya dari masa ke masa, pembangunan
mengalami perubahan paradigma, teori dan pendekatan sebagai akibat dari perubahan cara
pandang para ahli mengenai kata pembangunan itu sendiri. Beberapa paradigma yang
dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
A. PARADIGMA STRUKTURALIS Fokus utama paradigma ini adalah politik dan ekonomi. Paradigma strukturalis
memungkinkan negara-negara berkembang untuk mentransformasikan struktur
perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsiten
tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan
perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor
jasa-jasa yang tangguh. Paradigma struktural tersebut dalam analisisnya menggunakan
perangkat-perangkat neo-klasik berupa konsep-konsep harga, alokasi sumber daya dan
metode-metode ekonomi untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi suatu negara.
Paradigma Struktural mempunyai dua model, yaitu:
1. Model Pembangunan Lewis
Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua
sektor:
1) Sektor Tradisional
Yaitu sektor dengan ciri-ciri di pedesaan, subsistem, kelebihan tenaga kerja
dan produktivitasnya marjinalnya. Dengan kata lain adalah sektor ini
2) Sektor Modern
Sektor modern meiliki ciri-ciri perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi,
sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit
dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses
pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di
Sektor Modern, yang dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja
di Sektor Modern.
2. Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan Hollis Chenery
Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan
struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi
barang industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan
bahwa peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary
but not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia,
diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi
tradisional kesistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh
fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi
permintaan konsumen, perdaganganinternasional serta perubahan-perubahan sosial-
ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.
Kritik Saya terhadap paradigma Strukturalis Teori ini tidak menghargai karakteristik dan budaya masyarakat lokal (petani dan
nelayan). Sebab paradigma strukturalis menginstruksikan negara-negara berkembang yang
notabenenya berkarakteristik pertanian tradisional untuk mentransformasikan struktur
perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsiten tradisional ke
perekonomian yang lebih modern dan lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan. Dengan
cara yang demikian, maka apa yang menjadi potensi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
lokal sama sekali akan dihilangkan dan ditransformasikan secara radikal ke dalam kehidupan
perkotaan yang individualistik.
Karena bila demikian halnya, maka akan menimbulkan hal-hal sebagi berikut:
1. Mengesampingkan karakteristik budaya, dan potensi masyarakat lokal yang bisa saja
diolah agar menjadi modal dalam memperkuat ekonomi masyarakat lokal.
2. Karena pendekatan pembangunan sturuktural yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi maka akan mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan social dan
menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilai-nilai hedonistik,
ketidak pedulian sosial, erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan,
3. Pendekatan juga ini mengakibatkan ketergantungan masyarakat desa pada pemerintah
sebagai penguasa dalam pembuatan kebijakan pembanugnan ekonomi karena mereka
tidak dilibatkan di dalamnya. Yaitu ketergantungan masyarakat pada birokrasi-birokrasi
sentralistik yang memiliki daya absorsi sumber daya yang sangat besar, namun tidak
memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal, dan secara sistematis telah
mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk memecahkan masalah-masalan yang mereka
hadapi.
4. Pembangunan yang berpolakan struktural ternyata meminggirkan posisi ekonomi
masyarakat lokal (the development of underdevelopment).
5. Menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat lokal, sehingga bukan kemajuan
yang dihasilkan dari proses modernisasi tersebut melainkan kemadegan. Dalam hal ini,
para scholars menyebutnya sebagai modernization without development.
6. Pola ini sangat menguntungkan pertumbuhan dan ekspansi modal serta proses akumulasi
kapital bagi perekonomian Barat serta Global.
7. Justru mendorong proses-proses disintegrasi sosial-masyarakat di kawasan sedang
berkembang, dimana semangat kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis
penting hilang secara dramatis.
8. Pada taraf lanjut, negara-negara tujuan investasi asing menjadi pasar bagi produk-produk
dari investasi asing tersebut.
9. Pada titik inilah berlangsung proses economic leakage (pembocoran sumberdaya
ekonomi) dari negara-negara berkembang ke negara maju.
Dengan demikian, maka akibat dari adanya pembangunan yang berorientasi pada
peradigma ini maka yang dihasilkan adalah:
1. Pembangunan tidak menghasilkan kemajuan, melainkan justru semakin meningkatkan
keterbelakangan (the development of underdevelopment).
2. Melahirkan ketergantungan (dependency) negara sedang berkembang terhadap negara
maju.
3. Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap negara/pemerintah.
4. Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat kecil (buruh, usaha kecil, tani,
nelayan dll) terhadap pemilik modal.
B. PARADIGMA HUMANIS Pada dasarnya, paradigma ini bermuara pada pandangan subyektivitas yang berpijak
pada kesadaran manusia. Sehingga lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan
dalam pembangunan. Implikasinya, pada persoalan etika, dan moralitas sebagai landasan
dan tujuan pembangunan. Paradigma Humanis lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.
Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai
potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan
pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat
kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.
Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran
humanisme. Tokoh-tokoh penting dalam paradigma ini antara lain adalah Arthur Combs,
Abraham Maslow, Carl Ransom Rogers, Aldous Huxley, David Mills dan Stanley Scher
Kaum humanis cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi
berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Mereka beranggapan bahwa kesadaran
manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh struktur idiologis yang berasal dari luar
dirinya. Sehingga dia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Oleh belenggu itu, membuat
pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya
dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan
dirinya sebagai manusia sejati.
Karena itu, fokus utama dari paradigma ini adalah memahami kesulitan manusia
dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat
perkembangan dirinya sebagai manusia. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah
bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam
pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya.
Berkaitan dengan proses penyadaran dan proses belajar manusia untuk mencapai
kesadarannya maka Ambar Teguh dalam Bukunya Kemitraan dan Model-model
Pemberdayaan (2004:83) mengatakan bahwa proses belajar dalam pemberdayaan
masyarakat dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga
merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri;
2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan
agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil
peran di dalam pembangunan;
3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan keterampilan, sehingga
terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan kepada kemandirian.
Peran Paradigma Humanis dalam Pemberdayaan Bertolak dari paparan di atas, terungkap bahwa paradigma humanisasi adalah suatu
kebutuhan pembangunan yang lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Pembangunan yang
bermuara pada pendekatan humanis adalah suatu proses pembangunan yang memberikan
perhatian terhadap persoalan peningkatan martabat kemanusiaan. Implikasinya, pada persoalan
etika, dan moralitas sebagai landasan dan tujuan pembangunan. Artinya, sebagai Landasan
Pembangunan, dalam melaksanakannya ada etika yang harus diperhatikan. Sedangkan Sebagai
Tujuan Pembangunan, Etika pembangunan tersebut harus menjadi arah dan sasaran
pembangunan. Dengan demikian maka akan tercapainya perpaduan antara tatanan negara
yang demokratis dengan sikap dan perilaku masyarakat yang manusiawi.
Menurut Magnis Suseno paradigma Pembangunan Humanis memiliki 3 prinsip etis yaitu:
4) Pembangunan harus menghormati hak-hak asasi manusia.
5) Adanya pembangunan yang demokratis
6) Prioritasnya harus menciptakan taraf minimum keadilan sosial.
Adapun tujuan pembangunan dari Pendekatan Humanis antara lain: 1. Human Capital
Yaitu Modal pembangunan ekonomi nasional adalah tenaga kerja yang murah (unskilled).
Eksploitasi pekerja murah di sektor primer dan sekunder. Seperti:
1) Migrasi tenaga kerja dari sektor primer ke sekunder(dari desa ke kota).
2) Rakyat hanya merupakan obyek, bukan subyek pembangunan.
2. Growth With Equity
Yaitu Pemerataan distribusi pendapatan melalui berbagai program untuk meringankan
beban masyarakat miskin. Seperti:
1) Program Padat Karya.
2) Perbaikan struktural di sektor produktif.
3) Pengurangan intervensi pemerintah untuk mengurangidistorsi pasar.
3. Social Capital & Social Development
Yaitu memprioritaskan pembangunan pada perbaikan kelembangaan sosial, pertumbuhan
dan hak-hak sosial anak, perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang kondusif bagi
peningkatan produktivitas yang mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi. Lebih pro
rakyat miskin melalui berbagai program dalam peningkatan kualitas pelayanan sosial,
pendidikan, kesehatan, pelatihan kerja. Namun masih cenderung bias pada sektor-sektor
produktif/sistempasar, para pelaku pasar & aparatur pemerintah sebagaipelaksana/agen
pembangunan.
4. Human Development
Yaitu, dilandasi oleh keyakinan dan pengakuan atas kekuatan people choices, rakyat
diberi kesempatan untuk menggunakan kapabilitas dan kapasitasnya untuk membangun
dirinya sendiri. Bersifat universal, non diskriminatif, menempatkan masyarakat sebagai
subyek pembangunan, mendorong peningkatan kapabilitas dan penggunaannya, serta
mengurangi deprivasi/penderitaan dan berorientasi pada sustainability atau keberlanjutan
kesejahteraan generasi penerus.
Skema pembangunan dari sudut pandang Humanistik
PEMBANGUNAN
Aktualisasi diri secara maksimal
Kesulitan mengenali potensi diri
HUMANIS
Transformasi nilai melalui pendidikan
Demokrasi
Sumber: Nur Ida Febriany 2012; Paradigma Humanis Administrasi Pembangunan.
Dari skema di atas, kita melihat bahwa Pendekatan Humanis secara langsung akan
memampukan masyarakat untuk mengaktualisasikan diri mereka secara maksimal. Dengan
pendekatan yang humanis ini ada nilai-nilai yang ditransformasikan melalui pendidikan yang
dilaksanakan secara demokratis dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan dan
pemerataan. Namun disisi lain, terkadang masyarakat sulit mengenali potensi diri mereka
secara utuh bahwa mereka mempunyai potensi untuk berubah.
Catatan Kritis pada Teori Humanistik
1) Kelebihan pembangunan yang menganut Pendekatan Humanis 1) Memotivasi pemerintah untuk mempertibangkan aspek kemanusiaan dalam
pembangunan
2) Menciptakan ide-ide baru pembangunan transportasi perkotaan harus dikembalikan
menjadi satu sistem transportasi yang humanis dan terpadu melalui penyelenggaraan
transportasi publik yang efektif, efisien, handal, terjangkau dan berkelanjutan.
3) Masyarakat dituntut untuk berusaha agar lambat launmampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya.
4) Dengan menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan maka hak-hak dasar manusia akan
menjadi tolok ukur dalam pembangunan.
5) Memberikan pendidikan yang menyeluruh agar manusia dapat mencapai kesadaran
masksimal dalam membangun dirinya untuk mendukung pelaksanaan pembagunan.
6) Harus demokrasi
7) Melakukan internalisasi dan tranformasi nilai-nilaikemanusiaan melalui pendidikan.
Untuk meningkatkankesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial.
2) Kelemahan pembangunan yang menganut Pendekatan Humanis 1) Para administratif kesulitan dalam mengenal diri dan potensi-potensi yang ada pada
diri mereka.
2) Teori humanistik tidak bisa diuji dengan mudah.
3) Banyak konsep dalam psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah
berhasil mengaktualisasikan dirinya, ini masih buram dan subjektif.
4) Psikologi humanistik mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
C. PARADIGMA EMPOWERING Pemberdayaan masyarakat (empowering) dimaknai sebagai upaya yang disengaja
untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola
sumberdaya lokal, sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan (daya) dan
kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. [Subejo dan Supriyanto (2004)].
Konsep pemberdayaan mulai menjadi tema sentral dalam teori atau pendekatan
pembangunan sekarang ini, terutama di negara-negara dunia ketiga. Munculnya
pendekatan pemberdayaan dalam teori pembangunan modern merupakan akibat dari
gagalnya pembangunan ala barat yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dan
bertumpu pada sektor industri dan padat modal. Hal ini dinilai sangat kontradiksi dengan
metode pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang mengandalkan sektor
pertanian dan padat karya serta meletakkan manusia sebagai subjek atau utama dalam
pembangunan. pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
ala barat dinilai telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan social dan
menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilai-nilai hedonistik,
ketidak pedulian sosial (individualistik), rusaknya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan.
Model-model Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat
(Ambar Teguh Sulistiyani, 2004:117)
1. Pendekatan CIPOO (Context-Input-Process- dan output-outcome) Ambar Teguh dalam bukunya yang berjudul Kemitraan dan Model-model
Pemberdayaan Masyarakat menemukan kerangka kerja konseptual yang kemudian
dikenal dengan pendekatan CIPOO (Context-Input-Process- dan output-outcome).
1) Context
Yaitu konteks pemberdayaan agen pembaharu menjelaskan program atau kegiatan
yang sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan agen pembaharu.
2) Input
Yaitu menggambarkan sumber daya, fasilitas yang diperlukan dalam
memperdayakan agen pembaharu.
3) Process
Yaitu menggambarkan serangkaian langkah ataua tindakan yang ditempuh untuk
memperdayakan agen pembaharu.
4) Output
Yaitu hasil akhir setelah serangkaian proses pemberdayaan dilakukan akan mencapai
kompetensi sebagai agen pembaharu yang berdaya dan mampu implementasi
pendampingan kepada masyarakat untuk melakukan program aksi dari perencanaan,
pelaksanaa, monitoring dan evaluasi program pemberdayaan masyarakat miskin.
5) Outcome
Yaitu nilai manfaat yang ditimbulkan setelah agen pembaharu memiliki tingkat
keberdayaan tertentu, sehingga agen pembaharu mampu bertindak sebagai agen
pembaharu dengan melakukan peran dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin,
yaitu dengan tingkat peran linaer atau berbanding lurus dengan tingkat keberdayaan
yang sudah dimiliki tersebut.
2. Pendekatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Pengetahuan (Knowledge), Sikap (Attitude), dan Praktek (Practice). Faktor perilaku
ini tidak bisa diubah dalam waktu singkat, tetapi perlu pendekatan konsep KAP (Knowledge,
Attitude, Practice). Artinya masyarakat perlu diberi pengetahuan (Knowledge) untuk
mengubah sikap (Attitude), dan dengan berubahnya sikap, akan mengubah perilaku (Practice)
masyarakat ke arah yg lebih baik.
Faktor perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap individu maupun
masyarakat. Perilaku aktif dapatlah dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif tidaklah tampak,
seperti misalnya pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-
bentuk perilaku. Misalnya:
Bloom membedakan antara:
1. Perilaku kognitif (yang menyangkut kesadaran atau pengetahuan);
2. Afektif (emosi) dan
3. Psikomotor (tindakan/gerakan).
Ki Hajar Dewantoro menyebutnya sebagai :
1. Cipta (peri akal),
2. Rasa (peri rasa) dan
3. Karsa (peri tindak).
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespons (secara positif
atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu.
Ambar Teguh dalam bukunya Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan
Masyarakat (2004:84) mengemukakan tahapan pemberdayaan (Knowledge), Sikap
(Attitude), dan Praktek (Practice) dengan pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik
dan Konatif yang dapat disimak dalam tabel berikut:
Tabel Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitude, Practice (KAP) dengan pendekatan
Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik dan Konatif
Tahapan Afektif Tahapan Kognitif Tahapan
Psikomotorik Tahapan Konatif
Belum merasa sadar
dan peduli
Belum memiliki
wawasan dan
pengetahuan
Belum memiliki
keterampilan dasar
Tidak berperilaku
membangun
Tumbuh rasa
kesadaran dan
kepedulian
Menguasai
pengetahuan dasar
Menguasai
keterampilan dasar
Bersedia terlibat
dalam pembangunan
Memupuk
semangat,
kesadaran dan
keperdulian
Mengembangkan
pengetahuan dasar
Mengembangkan
keterampilan dasar
Berinisiatif untuk
mengambil peran
dalam pembangunan
Merasa
membutuhkan
kemandirian
Mendalami
pengetahuan pada
tingkat yang lebih
tinggi
Memperkaya variasi
keterampilan
Berposisi secara
mandiri untuk diri
dan lingkungan
Sumber: Ambar Teguh (Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan Masyarakat,
2004:84)
Catatan Kritik saya terhadap Pendekatan Empowering Pendekatan Empowering atau sering dipopuler dengan Pemberdayaan dalam hal ini
memberikan daya atau kemampuan bukan memberi kekuasaan, memang pendekatan yang
sangat diandalkan oleh pemerintah modern terutama negara-negara yang sedang berkembang
dan tak luput juga Indonesia. Pemerintah yakin bahwa dengan pilihan pendekatan
pembangunan ini akan membawa dampak positif untuk mengeluarkan negara ini dari krisis
pembangunan yang berlanjutan. Sebab, pendekatan ini dianggap sangat cocok dengan
keadaan penduduk Indonesia di pedesaan dan bermata pancaharian pertanian. Dan karena itu,
pendekatan pemberdayaan (empowering) mencoba memanfaatkan potensi lokal yang ada di
daerah.
Namun, terlepas dari optimisme tersebut di atas, pendekatan ini tdak semulus yang
diharapkan pemerintah saat ini. Dengan fokusnya kepada pemberdayaan (memberi daya atau
kemampuan) kepada masyarakat desa sambil diikuti dengan suntikan modal kepada
masyarakat, seringkali pendekatan ini terbentur oleh berbagai masalah klasik yang timbul
karena egoisme pemerintah itu sendiri.
Dengan demikian maka saya mencoba membangun kritik terhadap pendekatan ini
berdasarkan apa yang terjadi selama ini.
1) Paradigma Pemberdayaan terbentur dengan prinsip birokrasi yang Max Weber: Birokrasi tersentralisasi dan hirarkhis;
Birokrasi yang dituntun oleh aturan;
Birokrasi yang terstandarisasi dan impersonal;
Birokrasi yang menggunakan proses-proses administratif;
Birokrasi yang memilih staf berdasarkan ujian bukan kriteria subyektif; (David
Osborn & Peter Plastrik, 2000)
Birokrasi, masalah tentang sistem, proses dan prosedur birokrasi publik, dan
Masalah kelembagaan birokrasi (Miftah Toha, 1996).
2) Implementasi pendekatan ini tidak sejalan dengan semangat atau misi utama yang dibawa oleh kata empowering itu sendiri.
Sebab ketika pendekatan ini diimplementasikan di lapangan, pemerintah terlalu
memanjakan masyarakat lokal dengan dana dan dana, sehingga mindset (pola pikir)
masyarakat selalu berorientasi pada dana yang diberikan pemerintah. Dan lebih
parahnya lagi, dana yang diberikan pemerintah terkadang tanpa pengawasan dan
evaluasi yang jelas, sekalipun ada pengawasan dan evaluasi, seringkali hanya
formalitas semata, dan sarat dengan pencitraan. Sehingga dalam evaluasi itu, program
pemerintah yang tidak berhasil pun dikatankan berhasil. Ada kebohongan yang terjadi
di sana, dan kebohongan itu, tidak lain adalah untuk mengangkat citra pemerintah
yang bersangkutan, karena itu sekali kelak mereka akan disanjung sebagai pemrintah
yang berhasil dalam membangun daerahnya.
3) Pendekatan ini diimplemntasikan oleh birokrasi yang strukturalis dan kaku.
Akibatnya adalah bukan kepentingan atau potensi masyarakat lokal yang dijadikan
acuan dalam pelaksanaannya tetapi keinginan pemerintah atau birokrasi lokal
sehingga terkesan semua yang dilaksanakan di lapangan, para birokrat mendikte
masyarakat untuk melakukan ini da itu sesuai dengan misi yang mereka bawa,
padahal itu misi itu tidak sesuai dengan potensi masyarakat lokal. Seakan masayarakat
dipaksakan untuk melakukan hal yang diluar kemampuan mereka. Timbul
pertanyaan, mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya sederhana yaitu, pemerintah takut
program mereka dikatakan gagal dalam pandangan publik.
4) Pemerintah tidak inovatif. tidak kreatif, tidak responsif.
Pemerintah seringkali mati gaya dalam mengurus masyarakat, terutama
masyarakat pedesaaan. Pemerintah tidak punya jiwa inovatif dan kreatifitas dalam
menyusun program-program pemberdayaan masyarakat. Ini menjadi hambatan dalam
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
Hal ini sangat dibutuhkan sebab pemerintah mengahadapi:
Terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia yang baik dan profesional;
Terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang
berasal dari kemampuan desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar
(eksternal);
Belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara
efektif;
Belum terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas;
Kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional.
Saran Saya Terhadap Pendekatan Pemberdayaan sekarang ini
Bertolak dari kritik yang saya uraikan di atas, maka saya menyarankan beberapa hal
sebagai berikut agar mendukung pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam mencapai
cita-cita pembangunan yang merata di negeri ini.
a. Program-program pemberdayaan (empowering) perlu menerapkan prinsip-prinsip birokrasi sebagai berikut: Pemerintah yang katalik yang lebih berfungsi sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai
implementator;
Pemerintah yang sinergik yang mampu melihat kelemahan sendiri dan kebaikan pihak
lain dan kemudian mengupayakan perbaikan yang lebih kompreshensif dan produktif;
Pemerintah dari satu masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat bukan
hanya untuk mengatur saja;
Pemerintah yang kompetitif yang mampu meng-energized semangat dalam pelayanan
publik;
Pemerintah yang lebih didorong oleh misi yang jelas, bukannya sekedar birokrasi yang
mendasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis;
Pemerintah yang berorientasi kepada pengaruh ketimbang mengutamakan kekuasaan saja;
Pemerintah yang lebih fleksibel dan mengurangi kekakuan aturan.
b. Mereformasi Birokrasi dan menerapkan Prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Reinventing Government Reinventing Government adalah transformasi system dan organisasi pemerintah
secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas,
efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini
dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur
kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan.
Prinsip-prinsip Reinventing Government :
Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Steering Rather Than Rowing)
Berfokus pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan public.
- Memisahkan fungsi mengarahkan (kebijaksanaan dan regulasi) dari
fungsi mengayuh (pemberian layanan dan compliance).
- Peranan pemerintah lebih sebagai fasilitator dari pada langsung
melakukan semua kegiatan operasional;
Pemerintah adalah Milik Masyarakat
- Memberdayakan Ketimbang Melayani (Empowering raher than Serving ).
- Mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan
diserahkan kepada masyarakat;
- Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat,
perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah;
- Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan
adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada
masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya
sendiri (community self-help).
Pemerintah yang kompetitif
- Menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan (Injecting
Competition into service Delivery)
- Pemberian jasa/layanan harus bersaing dalam usaha berdasarkan kinerja
dan harga
- Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak memberikan
pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public;
- Pelayanan public yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat
monopoli tetapi harus bersaing
- Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya. Oleh sebab itu
pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan satu-
satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas
pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat
ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Pemerintah Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan (Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi
digerakkan oleh misi (mission-driven).
- Secara internal, dapat dimulai dengan mengeliminasi peraturan internal
dan secara radikal menyederhanakan system administrasi.
- Perlu ditinjau kembali visi tentang apa yang harus dilakukan oleh
pemerintah
- Misi pemerintah harus jelas dan peraturan perundangan tidak boleh
bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah
bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD.
APBD memang harus disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan
baku, tetapi pemenuhan prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Pemerintah yang berorientasi pada hasil dengan tidak mengabaikan proses
- Membiayai hasil bukan masukan (Funding outcomes, Not input).
- Berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif
- Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu
memecahkan masalah.
- Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk
mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja.
Pemerintah berorientasi pada pelanggan: Memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy)
- Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya.
- Pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti
apa yang diminta masyarakat
- Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan
selera konsumen;
- Perlu dilakukan penelitian untuk mendengarkan pelanggan mereka,
- Perlu penetapan standar pelayanan kepada pelanggan
- Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai
maksimum kepada para pelanggannya.
- Menciptakan dual accountability (masyarakat dan bisnis, serta DPRD dan
pejabat).
Pemerintah wirausaha
- Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather than Spending)
- Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya bukan hanya
membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang) melainkan
memperolehnya.
- Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna dan biaya
dampaknya (impact fees); pendapatan atas investasinya dan dapat
menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana)
- Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga dapat meringankan
beban pemerintah. Contoh pelaksanaan :
Pemerintah antisipatif (anticipatory government)
- Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than Cure)
- Bersikap proaktif
- Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah.
- Visi membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak
terduga, tanpa menunggu perintah.
Pemerintah desentralisasi (decentralized government)
- Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to
Participation and Teamwork) Dengan melihat beberapa tantangan dari
masyarakat, diantaranya :
(a) Perkembangan teknologi sudah sangat maju.
(b) Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks.
(c) Staf banyak yang berpendidikan tinggi Maka pemerintah perlu untuk
- Menurunkan wewenang melalui organisasi, dengan mendorong mereka
yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk lebih banyak membuat
keputusan (Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat, asosiasi,
pelanggan, LSM.)
- Tujuan : Untuk memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya
suasana kerja Tim.
- Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat (from-line
workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan
kewenangan yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi
cross functional antar semua instansi yang terkait.
Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government)
Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging change throught the
Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar ( sistem insentif )
dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan).
Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme
administratif. Mekanisme pasar terbukti yang terbaik di dalam mengalokasi
sumberdaya.
(a) Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar, tidak
memerintah dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan
sistem insentif agar tidak merugikan masyarakat.
(b) Lebih baik merekstrukturisasi pasar guna memecahkan masalah
daripada menggunakan mekanisme administrasi seperti pemberian
layanan atau regulasi, komando dan control;
(c) Tidak semua pelayanan public harus dilakukan oleh pemerintah sendiri.
(d) Kebijaksanaan public harus dapat memanfaatkan mekanisme pasar
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
(e) Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.
b. Good Governance Prinsip-prisp Good Governance a. Partisipasi
Mendorong Setiap Warga Untuk Mempergunakan Hak Dalam
Menyampaikan Pendapat Dalam Proses Pengambilan Keputusan, Yang
Menyangkut Kepentingan Masyarakat Baik Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung.
b. Penegakkan Hukum Mewujudkan Adanya Penegakkan Hukum Yang Adil Bagi Semua Pihak
Tanpa Pengecualian, Menjunjung Tinggi Ham Dan Memperhatikan Nilai-
Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat. c. Transparansi
Menciptakan Kepercayaan Timbal Balik Antara Pemerintah Dan Masyarakat
Melalui Penyediaan Informasi Dan Menjamin Kemudahan Di Dalam
Memperoleh Informasi Yang Akurat Dan Memadai
d. Kesetaraan Memberi Peluang Yang Sama Bagi Setiap Anggota Masyarakat Untuk
Meningkatkan Kesejahteraan-Nya.
e. Daya Tanggap Meningkatkan Kepekaan Para Penyelenggara Pemerintah Terhadap Aspirasi
Masyarakat Tanpa Terkecuali.
f. Wawasan Ke Depan Membangun Daerah Berdasarkan Visi Dan Strategi Yang Jelas Dan
Mengikutsertakan Warga Dalam Seluruh Proses Pembangunan, Sehingga
Warga Merasa Memiliki Dan Ikut Bertanggung Jawab Terhadap Kemajuan
Daerahnya.
g. Akuntabilitas Meningkatkan Akuntabilitas Para Pengambil Keputusan Dalam Segala
Bidang Yang Menyangkut Kepentingan Masyarakat.
h. Pengawasan Meningkatkan Daya Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Dan
Pembangunan Dengan Mengusahakan Keterlibatan Swasta Dan Masyarakat
Luas.
i. Efisiensi Dan Efektifitas Menjamin Terselenggaranya Pelayanan Kepada Masyarakat Dengan
Menggunakan Sumber Daya Yang Tersedia Secara Optimal Dan Bertanggung
Jawab.
j. Profesionalisme Meningkatkan Kemampuan Dan Moral Penyelenggara Pemerintahan Agar
Mampu Memberi Pelayanan Yang Mudah, Cepat, Tepat Dengan Biaya Yang
Terjangkau
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan akhirnya saya dapat
membandingkan ketiga pendekatan (Strukturalis, Humanis dan Empowering). Dimana
1) Paradigma strukturalis itu menekankan pada pembangunan ekonomi secara besar-besaran
yang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola
perekonomian pertanian subsiten tradisional ke perekonomian yang lebih modern dan
lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan.
2) Paradigma humanis adalah paradigma pembangunan yang lebih menekankan nilai-nilai
kemanusiaan. Pendekatan humanis adalah suatu proses pembangunan yang memberikan
perhatian penuh terhadap persoalan peningkatan martabat kemanusiaan. Implikasinya, pada
persoalan etika, dan moralitas sebagai landasan dan tujuan pembangunan.
3) Paradigma Empowering yang kemudian dikenal dengan pendekatan Pemberdayaan Pada intinya,
lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Masyarakat
menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan. Negara adalah
fasilitator dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.
Dengan demikian, saya membuat komparatif di antara ketiga paradigma di atas. Yaitu Strukturalis yang
dalam hal ini saya sebut dengan pendekatan lama dan empowering dan humnis yang saya sebut dengan
pendekatan baru. Seperti yang tampak dalam tabel berikut:
Perbandingan Tiga Paradigma
PENDEKATAN LAMA (strukturalis) PENDEKATAN BARU ( Humanis, Empowering)
Pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir, tidak peduli pada hadirnya sindroma ketergantungan.
Keadilan sosial, kedamaian, kualitas pertumbuhan, peningkatan kualitas lingkungan sebagai tujuan terpenting
Redistribusi kesejahteraan hanya dilakukan (melalui dan oleh) negara dan pasar Seringkali tidak fair
Merangkul semua pihak 1) dilakukan secara partisipatif 2) mengikutsertakan semua pihak
Tumbuhnya kekuasaan otoriter dipahami sebagai konsekuensi tak terelakkan (harga) dari prestasi pencapaian pembangunan (target angka pertumbuhan)
Pencapaian kebebasan, otonomi, dan kedaulatan sebagai prinsip penting pembangunan untuk direalisasikan.
Subsisdi ekonomi disediakan oleh Negara, rakyat menjadi sangat tergantung pada kekuatan Negara, tuntutan berbagai hal terhadap negara menjadi sangat tinggi
Memberdayakan lokalitas untuk pertumbuhan secara mandiri (self-reliance), masyarakat lokal berprakarsa dan ikut memecahkan segala persoalan
Transfer teknologi dan pembangunan berlangsung dari kawasan yang maju ke kawasan miskin, sindroma ketergantungan sangat tinggi
Pengembangan teknologi yang partisipatif dan pengakuan terhadap pengetahuan local, bottom-up, apresiasi terhadap indigenous knowledge and local wisdom
Pemerintah (negara) sangat menentukan nilai ekonomi suatu sumberdaya Masyarakat lokal menentukan penilaian dan cara penilaian atas sumberdaya alamnya
Prinsip pembangunan yang Kompartementalistik, terkotak-kotak berdasarkan bidang yang tersekat-sekat secara ketat, egoisme sektoral
Prinsip pembangunan yang holistik dan mempedulikan semua aspek kehidupan, termasuk eksistensi komponen alam bukan manusia (non human society)
Daftar Pustaka
Jurnal Ali, S.S., Apr.June 2006, Kautilya And The Concept Of Good Governance The Indian,
Jurnal Of Political Science Vol. LFVII NO. 2
NANDA, VED P., JANUARY 2006, The "Good Governance" Concept Revisited, AANALS,
AAPPSS, 603
Godbole, Madhav, March 13 2004, Good Governance: A Distant Dream Economic And
Political Weekly.
Mkandawire, Thandike, Agustus 2007, 'Good Governance': The Itinerary of an Idea
Development In Practice, Volume 17, Number 4-5.
Lelah, Larry James, October 2005, Application Of An Appreciative Inquiry And Work-Out,
Intervention: The Influence On Empowerment
Rashid, Yahya, September 2013, Women Empowerment In The Corporate Sector Of
Pakistan: Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business
Institute Of Interdisciplinary Business Research 518 Vol. 5, No. 5
Gandz, Jeffrey; Bird, Frederick G, Apr 1996, The ethics of empowerment; Journal of
Business Ethics;; 15, 4; pg. 383
Darling, Michele, Jun/Jul 1996, Empowerment: Myth or reality? Executive Speeches; 10, 6;
ABI/INFORM Complete, pg. 23
Joiner, Therese A; Bartram, Timothy, Sep 30, 2004, How Empowerment And Social
Support Affect Australian Nurses' Work Stressors; Australian Health Review;
28, 1; ABI/INFORM Complete, pg. 56
Buku Teguh Sulistiyani, Ambar, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Yogyakarta:
Gava Media
Hazen, Mary Ann, 1994, A Radical Humanist Perspective Of Interorganizational
Relationships Volume-47, New York : SAGE PUBLICATIONS, INC.
Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Haq, Mahbub ul, 1995, Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Habermas, J., 1990, Ilmu dan teknologi sebagai ideology, Jakarta: LP3ES.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., 2003, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana
Ritzer, G., 2004, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Poloma, MM., 2004, Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sanderson, SK., 2003, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi
kedua), PT. Raja Grafindo Persada