ABSTRAK Malaria dan Filariasis limfatik adalah dua penyakit yang paling umum yang terbawa oleh nyamuk parasit. Di seluruh dunia yang dapat terjadi sebagai infeksi manusia secara bersamaan dan juga berbagi dari vektor nyamuk umum. Review ini menyajikan informasi terbaru pada transmisi co-manusia dari spesies Plasmodium dan Wuchereria bancrofti oleh nyamuk Anopheles. Aspek biologis dan epidemiologi yang penting juga dijelaskan termasuk siklus hidup dari setiap spesies parasit dan kekhususan mereka, keanekaragaman geografis dari masing-masing patogen dan vektor mereka di mana parasit tersebut menginfeksi dan biologis, faktor lingkungan dan iklim yang mempengaruhi transmisi. Cotransmission dari masing-masing penyakit digambarkan baik dari perspektif global dan tingkat penggunaan negara. Thailand sebagai studi kasus. Metode diagnostik yang berbeda disediakan untuk deteksi parasit dalam suatu sampel biologis mulai dari tradisional hingga metode recentmolecular, termasuk metodologi penggunaan tes deteksi secara bersamaan dari parasit W. bancrofti dan Plasmodium spp. Masalah yang relevan dari gabungan malaria dan kontrol strategi Filariasis Bancrofti akan ditinjau ulang dan dibahas. 1. PENGENALAN Diantara sekitar 4000 spesies nyamuk yang dikenal, kurang dari 10% dianggap sebagai vektor yang efisien dari agen patogenik penyakit menular memiliki dampak yang tinggi, baik langsung dan tidak langsung, pada kesejahteraan dan kesehatan manusia. Malaria
44
Embed
Review on Global Co-Transmission of Human Plasmodium Species and Wuchereria Bancrofti by Anopheles Mosquitoes (IND)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ABSTRAK
Malaria dan Filariasis limfatik adalah dua penyakit yang paling umum yang terbawa oleh
nyamuk parasit. Di seluruh dunia yang dapat terjadi sebagai infeksi manusia secara bersamaan
dan juga berbagi dari vektor nyamuk umum. Review ini menyajikan informasi terbaru pada
transmisi co-manusia dari spesies Plasmodium dan Wuchereria bancrofti oleh nyamuk
Anopheles. Aspek biologis dan epidemiologi yang penting juga dijelaskan termasuk siklus hidup
dari setiap spesies parasit dan kekhususan mereka, keanekaragaman geografis dari masing-
masing patogen dan vektor mereka di mana parasit tersebut menginfeksi dan biologis, faktor
lingkungan dan iklim yang mempengaruhi transmisi. Cotransmission dari masing-masing
penyakit digambarkan baik dari perspektif global dan tingkat penggunaan negara. Thailand
sebagai studi kasus. Metode diagnostik yang berbeda disediakan untuk deteksi parasit dalam
suatu sampel biologis mulai dari tradisional hingga metode recentmolecular, termasuk
metodologi penggunaan tes deteksi secara bersamaan dari parasit W. bancrofti dan Plasmodium
spp. Masalah yang relevan dari gabungan malaria dan kontrol strategi Filariasis Bancrofti akan
ditinjau ulang dan dibahas.
1. PENGENALAN
Diantara sekitar 4000 spesies nyamuk yang dikenal, kurang dari 10% dianggap sebagai
vektor yang efisien dari agen patogenik penyakit menular memiliki dampak yang tinggi, baik
langsung dan tidak langsung, pada kesejahteraan dan kesehatan manusia. Malaria dan Filariasis
limfatik (LF) adalah dua yang paling umum dan nyamuk parasit yang bisa diidentifikasi di
seluruh dunia (Gambar 1A, B). Keseluruhan prevalensi dan signifikansi kesehatan malaria dan
LF telah membuat mereka menjadi prioritas atas untuk penghapusan global dan program
pengendalian (Kyelem et al, 2008;. Molyneux dan Zagaria, 2002; WHO SEARO-, 2006; WHO,
2007b, 2008b).
Kedua penyakit ini dapat terjadi pada manusia secara bersamaan dan infeksi umumnya
terjadi di daerah tropis dan juga pada berbagai vektor (Buck et al., 1978). Setengah dari populasi
manusia diperkirakan 3,3 miliar orang tinggal di daerah yang memiliki resiko untuk terkena
malaria dan sekitar 250 juta orang telah terinfeksi malaria setiap tahunnya. Malaria diyakini
memiliki peran untuk sekitar satu juta kematian per tahun, terutama pada kalangan balita dan
wanita hamil (WHO, 2008a). Malaria merupakan endemik pada 109 negara terutama daerah
tropis Afrika, Asia, dan Amerika Latin (Gambar 1A). Kasus malaria tertinggi ditemukan di
benua Afrika dengan perkiraan 212 juta kasus (86 %) yang didistribusikan di 45 negara (Tabel 1)
benua lainnya memberikan kontribusi 35 juta kasus (WHO, 2008a). Kontrol efektif dari penyakit
malaria di banyak negara diperburuk oleh infrastruktur kesehatan yang kurang memadai dan
kondisi sosial ekonomi yang rendah. Situasi ini semakin memburuk selama 50 tahun terakhir
dengan meningkatnya resistensi terhadap obat anti malaria yang digunakan untuk mengatasi
infeksi dan resistensi terhadap insektisida dari nyamuk Anopheles betina yang berperan sebagai
vektor (Manguin et al, 2008a ; Mouchet et al, 2004).
Setelah malaria, filariasis dianggap sebagai penyakit nomor dua paling umum yang
ditularkan oleh arthropoda dengan perkiraan 128 juta orang terinfeksi dan didistribusikan di lebih
dari 78 negara endemik (Tabel 1) (WHO, 2008b). Seperti malaria, dominasi infeksi filariasis
ditemukan pada daerah tropis yang lembab seperti Asia, Afrika, Pasifik bagian barat, serta
tersebar di Amerika (Gambar 1b, Tabel 1) dengan perkiraan 1,3 miliar orang beresiko untuk
mengembangkan infeksi filariasis baru aktif per tahun (WHO, 2008b). Wilayah Asia Selatan dan
Tenggara memilik jumlah populasi terbesar yang beresiko terkena filariasis (891 juta atau 68 %
secara umum) dengan 454 juta orang beresiko di daerah India saja (WHO, 2008b). Daerah
Afrika yang tropis merupakan jumlah terbesar kedua yang beresiko terinfeksi filariasis,
diperkirakan 382 juta pada tahun 2007 (30 % secara umum) dan 51 juta kasus yang dianggap
serius telah menderita cacat (Lindsay and Thomas, 2000; Michael and Bundy, 1997; Muturi et
al., 2008; WHO, 2008b). Pada tahun 2005, negara-negara di bawah Asia Tenggara Programme
Review Group (PRG) untuk eliminasi filariasis ditargetkan hampir 543 juta dari populasi yang
beresiko filariasis di wilayah mereka sedangkan 44 juta kasus menjadi fokus negara-negara
Afrika (WHO, 2008b).
Di antara tiga parasit penyebab filariasis pada manusia, Wuchereria bancrofti (Cobbald,
1877 ; Seurat, 1921) merupakan yang paling lazim. Parasit dalam berbagai periodik berada
dalam bentuk kosmopolitan yang sering terdapat pada daerah tropis, subtropis, Asia Selatan,
Asia Timur, Afrika, Pasifik bagian barat, dan lebih terbatas di Amerika (Michael dan Bundy,
1997; Sasa, 1976). Infeksi dari Wuchereria bancrofti meskipun tidak fatal sering dianggap
sebagai penyebaba utama kelemahan, cacat tetap, dan morbiditas kronis (Gambar 2).
Keempat plasmodium pada manusia secara eksklusif ditularkan oleh nyamuk Anopheles
dimana sekitar 70 spesies (15 % dari semua jenis Anopheles yang sudah diketahui) dianggap
sebagai epidemiologi yang signifikan (Manguin et al, 2008a;. Layanan dan Townson, 2002;
WHO, 1989). Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh nyamuk Culex dan nyamuk
Anopheles dalam bentuk nokturna periodik atau melalui spesies Aedes genera, Downsyomyia,
dan Ochlerotatus dalam bentuk subperiodik yaitu nokturna dan diurnal yang terdapat di Asia
Tenggara dan Pasifik bagian barat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membentuk dua program global inisiatif untuk
mengurangi malaria (Roll Back Malaria) dan mengurangi filariasis (Global Programme
toEliminate Lymphatic Filariasis). Tujuan dari program ini adalah untuk menghilangkan dua
penyakit ini sebagai prioritas non publik kesehatan pada tahun 2025 dan 2020. Satu keuntungan
dalam memberantas kedua penyakit ini adalah baik plasmodium pada manusia dan Wurchereria
bancrofti memiliki epidemiologi yang kurang pada host reservoir bukan manusia. Infeksi
terutama untuk menghilangkan faktor komplikasi dilakukan untuk mengendalikan atau
memberantas kedua penyakit ini. Bahkan filariasis merupakan salah satu dari enam penyakit
menular yang dianggap dihilangkan (WHO, 2008).
Program GPELP diberikan langsung untuk semua orang yang tinggal pada daerah riskan,
dengan pemberian oral sebanyak sekali dalam setahun, menggunakan 2 kombinasi obat, antara
albendazole + ivermectine, atau albendazole + diethylcarbamazim (DEC) untuk menghilangkan
atau membunuh mikrofilaria dalam darah dan mengacaukan sistem reproduksi betina dewasa.
Bagaimanapun, itu sangat penting bagi administrasi obat massal, kampanye mungkin gagal
untuk mempertahankan terapi maksimal dan untuk mencapai eliminasi filariasis limfatik secara
menyeluruh. Banyak tantangan bagi strategi pengeliminasian filariasis limfatik, termasuk
ketidakpastian dari awal dan durasi yang diperlukan untuk mencapai eliminasi, tidak
terkontolnya mobilitas dari individu yang terinfeksi, tidak ada partisipasi dari individu yang
terinfeksi, dan kemungkinan perkembangan yang resisten pada obat anti-filariasis. Pendekatan
penggabungan menggunakan keduanya, kontrol vektor untuk mencegah infeksi dari gigitan
nyamuk dan Mass drug administration untuk menghentikan mikrofilaremia pada populasi
manusia, dengan demikian berpotensi untuk menurunkan infeksi oleh vektor nyamuk. Hal ini
mungkin dapat dijadikan strategi terbaik untuk mengatasi beberapa tantangan ini. Potensi yang
berguna dari kontrol vektor meliputi (1) kemampuan untuk menghentikan penyebaran filariasis
tanpa perlu mengidentifikasi semua individu yang menderita penyakit ini, (2) mengurangi resiko
penyebaran dari individu-individu mikrofilaremik, (3) menurunkan resiko dari demam berdarah
dan penyebaran malaria, dimana spesies aedes/anopheles menjadi vektor untuk keduanya, baik
filariasis limfatik dan demam berdarah atau malaria.
2. PENYAKIT DAN DAUR HIDUP
2.1 Malaria
Protozoa dari genus plasmodium menjadi penyebab malaria pada manusia, ada 4 spesies
utama yang menginfeksi diantaranya Plasmodium falciparum,Plasmodium vivax, Plasmodium
malariae, dan Plasmodium ovale. Secara umum Plasmodium falciparum merupakan penyebab
utama infeksi malaria, menjadi penyebab bagi kurang lebih 80% dari semua kasus yang terjadi
dan 90% penyebab kematian. Plasmodium disebarkan oleh vektor Anopheles kepada manusia
melalui gigitan langsung dari parasit dengan kelenjar ludahnya, hingga masuk ke peredaran
darah. Dari 484 spesies Anopheles yang diketahui, hanya sekitar 20% atau kurang yang pada
umumnya berperan dalam penyebaran malaria. Dalam siklus hidupnya, nyamuk Anopheles
merupakan host definitif bagi parasit, dimana reproduksi seksual antara gamet jantan dan betina
terjadi, sedangkan manusia hanya menjadi host intermediet, sebagai tempat tejadinya reproduksi
aseksual. Anopheles betina menjadi infektif dengan terlihatnya gametosit matang pada sistem
darah perifer pada host. Dalam lambung nyamuk terjadi pembuahan ookinet dan bentuk
ookistanya berada pada lapisan luar dari dinding lambung. Setelah melakukan
perkembangbiakan, ookista yang lain akhirnya pecah dan mengeluarkan ratusan sporozoit ke
dalam tubuh nyamuk. Selanjutnya tinggal menunggu nyamuk menggigit manusia. Siklus
sporogonik (ookinet-ookista-sporozoit) dalam nyamuk berlangsung selama 10-14 hari,
tergantung juga pada suhu dan jenis plasmodiumnya.
2.2 Filariasis Limfatik
Penyakit ini disebabkan oleh cacing nematoda, yang mana Wuchereria bancrofti yang
bertanggung jawab bagi 90% manusia yang terinfeksi filariasis limfatik. Tedapat 3 cara
pengenalan Wuchereria bancrofti dalam fase periodik ditemukannya dalam jaringan darah
perifer, yaitu periodisitas nokturna, subperiodisitas nokturnal, dan subperiodisitas diurnal.
Periodisitas nokturna merupakan bentuk mayoritas yang muncul pada mikrofilarian pada malam
hari (puncak periode 2200-3000 jam) dengan sangat sedikit pengamatan. Pola periodik ini
mengesankan adaptasi biologis jelas terlihat habitat nokturna dari vektor primer, diantara
keduanya spesies Anopheles penularannya pada daerah pedesaan dan Culex quinquefasciatus
pada daerah perkotaan. Periodisitas nokturna bertanggung jawab terhadap mayoritas infeksi yang
terjadi di belahan dunia, tapi dengan distribusi yang tidak merata baik pada daerah tropis maupun
subtropis. Periodisitas nokturna kemungkinan menunjukkan perkembangan spesies yang paling
tinggi dan terjadi pada daerah kota dan pedesaan. Kedua, bentuk subperiodik (disebut juga tipe
non periodik) penyebarannya lebih sempit. Bentuk subperiodik nokturna biasanya dapat
ditemukan pada wilayah Asia Selatan, khususnya di Thailand, Myanmar, Vietnam Utara, Sabah,
dan Filipina. Ketiga, bentuk subperiodik diurnal, khususnya terjadi pada kelompok pulau yang
berada di wilayah Pasifik Tenggara dan lautan Indian, di Nicobar dan Andaman. Mikrofilaria
pada kedua bentuk subperiodik, dapat terlihat pada sistem peredaran darah tepi selama 24 jam
dalam sehari, dengan puncaknya dapat dilihat pada waktu larut malam dan awal senja (1800-
2000 jam). Keberadaan dari mikrofilaria subperiodik berhubungan dengan waktu pemilihan
sampel darah dari vektor utama, yaitu Aedes dan Ochlerotatus, banyak diantaranya adalah
spesies diurnal yang aktif.
Lebih dari 70 spesies nyamuk dengan 7 jenis yang berbeda, merupaka vektor dari
Wuchereria bancrofti, termasuk Anopheles (43 spesies), Aedes/Ochlerotatus/Downsiomyia (20
spesies), Culex (6 spesies), Mansonia (3 spesies). Diantara Anopheles yang ada, sebanyak 36
spesies diantaranya menyebabkan malaria dan filariasis limfatik. Sebanyak 26 spesies
diantaranya merupakan mayoritas vektor penyebab filariasis limfatik.
Setelah mikrofilaria masuk ke dalam sistem peredaran darah, dengan perantara gigitan
nyamuk betina, mikrofilaria masuk dan menembus dinding lambung. Mikrofilaria tidak
berkembangbiak pada vektornya, namun perkembangbiakan terjadi pada cacing, untuk
melengkapi stadium larva 1 dan 2, beganti kulit untuk menjadi larva stadium 3 (bentuk infektif).
Larva stadium 3 akhirnya lepas dari sarungnya menjadi hemocoele. Sedangkan parasit malaria,
siklus perkembangan filaria pada nyamuk terjadi kurang lebih selama 10-14 hari dan tergantung
juga pada suhu. Ketika nyamuk menggigit manusia, larva stadium 3 yang infektif dengan
panjang 1,2-1,6 mm akan pecah dan menembus kulit ari atau muncul pada dasar (labellum) dari
labium pada kulit. Dengan demikian parasit diteruskan secara tidak langsung dan hanya dapat
masuk ke dalam tubuh host melalui perantara. Berlawanan dengan malaria, kelenjar ludah vektor
tidak langsung berperan dalam penyebaran.
Setelah masuk ke dalam tubuh, larva stadium 3 dibawa oleh pembuluh limfa menuju ke
limfa untuk memulai perkembangannya menjadi cacing betina atau jantan dewasa (dengan lebar
0,2 mm dan panjang 10 cm). Untuk Wuchereria bancrofti memakan waktu 4-15 bulan sebelum
mikrofilaria muncul pada sistem peredaran darah tepi. Berlawanan dengan plasmodium, nyamuk
berperan sebagai host intermediet dan manusia berperan sebagai host definitif untuk Wuchereria
bancrofti dan Brugia spp. Ketika cacing jantan dan betina kawin, cacing betina menghasilkan
banyak sekali mikrofilaria (panjang 250-300 µm dan lebar 8 µm). Cacing dewasa biasanya
terlihat pada sistem limfatik, dengan cacing betina yang menghasilkan 50.000 mikrofilaria per
hari, banyak diantaranya yang berada pada sistem peredaran darah. Cacing dewasa tinggal untuk
4-6 tahun, tapi mungkin juga hidup lebih lama sekitar 15 tahun atau lebih dan menghasilkan
jutaan mikrofilaria selama hidupnya. Mikrofilaria dapat bertahan hidup dan berada bebas dalam
sirkulasi darah manusia selama beberapa bulan atau lebih, sambil menunggu untuk dibawa oleh
nyamuk.
Terkait dengan intensitas penyebaran, infeksi filariasis limfatik selalu lebih dulu
menyerang ketika masa kanak-kanak. Ketika periode 10-20 tahun perlu juga ditelusuri sebelum
terlihat karakteristik gejala yang tidak wajar pada remaja atau dewasa. Walaupun fase kronis dari
penyakit ini hanya dalam persentase kecil. Filariasis limfatik dapat mengakibatkan kerusakan
sementara ataupun permanen pada tubuh penderita. Kondisi yang paling jelas terlihat adalah kaki
gajah, limfangitis, chyluria. Terlihat pembesaran pada kaki dan lengan, alat vital, dan kelenjar
susu. Perkembangan dari pembengkakan limfa, terlihat pembesaran yang terjadi sepanjang
waktu. Selain itu, cacing dewasa dan mikrofilaria juga dapat menyebabkan kerusakan internal
dan merusak beberapa organ seperti ginjal dan paru-paru. Stigma ini memberikan dampak
psikologis dan sosial yang besar, dan dampak mayoritas sosial dan ekonomi pada suatu negara,
dimana 10-50% laki-laki dan lebih dari 10% wanita memberikan dampak permanen pada sistem
limfanya.
3. PENULARAN KEDUA PENYAKIT DAN TEKNIK DIAGNOSA
3.1 Penularan kedua penyakit
Studi interaksi antara parasit dan efek pada kekuatan dan kelangsungan hidup vektor
kurang lengkap diketahui. Persaingan antar spesies terjadi antara W. bancrofti dan Plasmodium
dalam nyamuk Anopheles dan inang manusia, dimana satu parasit akan mempengaruhi
perkembangan parasit yang lain, atau sebaliknya. Sebagai contoh, gangguan fisik midgut
nyamuk yang mempengaruhi migrasi parasit ke hemocoele, yang bertanggung jawab pada
tingginya jumlah larva W. Bancrofti diamati pada punctulatus Anopheles (Burkot et al, 1990b),
serta tingkat sporozoite signifikan akan lebih tinggi pada Wuchereria terinfeksi Anopheles
gambiae daripada di non-terinfeksi nyamuk (Muturi et al., 2006a).
Mekanisme pertahanan alami dari sebuah vektor seperti pertahanan mekanisme fisik,
seluler dan humoral suatu nyamuk juga dapat mempengeruhi penyerangan dan pengembangan
parasit, beberapa di antaranya dapat mencegah infeksi atau penangkapan secara efektif
perkembangan parasit di tubuh host nyamuk (Christensen, 1986; Nelson,1964). Dapat dijelaskan
bahwa mekanisme seperti pengaruh kerusakan fisik yang disebabkan oleh enkapsulasi melanotik
tahap larva juga bisa dikarenakan adanya pengaruh sinyal selular, proteolisis, stres respon
regulasi, transkripsi dan perbaikan dapat mempengaruhi perkembangan dan penyerangan dari
parasit. Faktor lain yang juga mungkin memiliki dampak pada perkembangan parasit di tubuh
nyamuk, ialah seperti resistensinya parasit terhadap insektisida yang muncul untuk menghambat
perkembangan normal parasit di tubuh vektor (McCarroll et al, 2000).
Kapasitas vectorial dari vektor dalam tubuh nyamuk juga mempengaruhi interaksi antara
patogen, sehingga mempengaruhi kerentanan (kompetensi) dan transmisi (kapasitas) dari suatu
patogen. Misalnya saja campuran malaria dan filaria dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
dan perilaku vektor seperti pengurangan waktu terbang yang dapat mengurangi penularan dari
kedua parasit secara bersamaan (Bryan, 1986; Klein et al, 1986;. Kutz dan Dobson, 1974;
Townson, 1970).
Oleh karena itu, transmisi simultan dari dua parasit sangat langka terjadi. Ini telah
didokumentasikan di Tanzania (Muirhead-Thomson, 1953) dan sepanjang pantai Kenya di mana
persentase yang sangat rendah dari An.gambiae (0,06% dan 0,4%) karena telah ditemukan
mengandung dua parasit inectif pada tubuh nyamuk tersebut (Kubasu, 1997;. Muturi et
al,2006a).
Meskipun sedikit informasi yang tersedia tentang interaksi antara kedua parasit selama
infeksi bersamaan pada manusia, beberapa studi telah mengungkapkan bahwa intensitas dari P.
falciparum adalah umumnya lebih rendah pada individu microfilaremic daripada di
amicrofilaremic dan infeksi filaria dapat memiliki efek yang lebih jinak atau penekanan pada
pengembangan malaria. Oleh karena itu, ada kemungkinan interaksi antara malaria dan parasit
filaria yang dapat mempengaruhi presentasi klinis, patogenisitas, dan bahkan epidemiologi
penyakit (Ghosh dan Yadav, 1995).
Meskipun potensi kemungkinan vector sangat besar, jumlah sebenarnya infeksi simultan
pada manusia muncul lebih rendah dari dugaan misalnya di Orissa, India, hanya 0,3% dari
sampel darah yang diperiksa yang mengandung parasit (Ravindran et al, 1998.). Faktor-faktor
lingkungan dapat mempengaruhi durasi transmisi parasit, misalnya prevalensi yang lebih tinggi
dari W. bancrofti di Burkina Faso bertepatan dengan musim pendek malaria transmisi, hal ini
ditunjukkan bahwa kejadian malaria musiman periodik dapat mempengaruhi keberhasilan
transmisi filariasis di suatu daerah, sedangkan highintensity malaria dapat menghambat
perkembangan filaria pada manusia host (Schmidt dan Esslinger, 1981).
3.2 Penerapan teknik diagnosis, dari metode tradisional ke metode molekul
Untuk memperkirakan penularan kedua penyakit dan untuk mengevaluasi dampak dari
program filariasis malaria atau kontrol, cukup penting untuk memantau infeksi pada nyamuk
(Gage et al., 2008). Untuk parasit filaria dan malaria, metode tradisional diagnosis didasarkan
pada film Giemsa bernoda darah perifer, fosfatase deteksi mf, prosedur konsentrasi Knott, dan
membran filtrasi teknik. Deteksi penyakit dengan : teknik imunologi, misalnya, enzyme-linked
immunosorbent tes (ELISA) dan immuno-kromatografi (TIK) tes, telah telah dikembangkan
sebagai alternatif untuk penilaian yang akurat dari prevalensi patogen dalam populasi manusia
dan vektor (Nuchprayoon et al, 2003;.. Wirtz et al, 1985). Baru-baru ini, bahkan sederhana untuk
menggunakan, tes diagnostik yang lebih sensitif, didasarkan pada lebih teknologi canggih ICT
atau polymerase chain reaction (PCR), yang digunakan untuk memfasilitasi deteksi parasit dan
lebih baik menangkap program epidemiologi dan klinis malaria dan LF infeksi mirip wicking
teknologi uji telah dikembangkan menggunakan antigen baik atau format deteksi antibodi untuk
diagnosis malaria di manusia dan sporozoit dalam nyamuk yang terinfeksi (Bangs et al, 2002.;
Wirtz et al, 1985;. Wongsrichanalai, 2001).
Penting untuk keberhasilan program pengendalian adalah ketersediaan alat-alat sederhana
dan akurat untuk memantau adanya parasit dalam nyamuk dan manusia, sehingga lebih
menilai efektivitas intervensi kontrol. Sebagai contoh, Prevalensi LF dapat sangat diremehkan
ketika menggunakan Metode mikroskopis standar dibandingkan dengan tes imunologi
(6% dibandingkan dengan 22% atau 54% berdasarkan antigen atau antibodi LF
deteksi tes, masing-masing). Penggunaan teknik canggih dengan sensitivitas dan spesifisitas uji
yang lebih tinggi, seperti tes PCR, mungkin diperlukan untuk mendapatkan ukuran yang lebih
benar tentang prevalensi penyakit. Molekuler 'xenomonitoring' dengan deteksi
DNA parasit di host (tanpa-berdarah) dan darah yang dimakan vektor sebagai sarana mengukur
secara tidak langsung penyakit menular manusia telah telah dikembangkan menggunakan
beberapa tes PCR untuk mendeteksi sensitif filaria atau Plasmodium DNA dalam nyamuk.
Meskipun metode PCR berbasis untuk deteksi larva filaria pada nyamuk dikembangkan di
awal 1990-an, teknik telah ditingkatkan untuk menjadi alat yang lebih praktis untuk
pemantauan rutin. Akibatnya, lebih sensitif restriction fragmen length polymorphism (RFLP)-
pengujian PCR (deteksi sesedikit 0,1 pg DNA genomik W. bancrofti) berdasarkan enzim
restriksi SSPI dari DNA 188 bp yang sangat berulang urutan dari W. bancrofti, telah standar dan
divalidasi. ).Uji lain dari RFLP-PCR, berdasarkan amplifikasi dan pencernaan dengan Ase I
spacer ditranskripsi internal yang 1 (ITS-1) urutan, telah dikembangkan untuk mendeteksi
berbagai filaria spesies. PCR menjadi sangat menguntungkan di daerah LF hypoendemic untuk
mencari eliminasi penyakit dan membutuhkan pemantauan sensitif dan banyak nyamuk liar
yang tertangkap akan diuji. Sebuah algoritma telah dikembangkan menggunakan metode
berbasis PCR dan sampai 50 nyamuk dikumpulkan per pengujian untuk deteksi parasit. Sebuah
program software, Poolscreen 2.0 (trunnasch @geomed.dom.uab.edu), memungkinkan
perhitungan diperkirakan prevalensi infeksi pada populasi berbasis vektor pada ukuran kolam
dan proporsi kolam negatif disaring. PCR ini berbasis tes akan terbukti
sangat berguna untuk aplikasi yang luas dan xenomonitoring penularan selama pelaksanaan skala
besar kontrol program.
3.3.
Dua tes berbasis PCR telah dikembangkan secara bersamaan untuk mendeteksi baik
parasit, W. bancrofti dan Plasmodium spp. dalam vektor tunggal. . Salah satunya adalah uji
multipleks yang menggunakan satu set dari empat primer memperkuat fragmen 400 bp dan 450
untuk W. Bancrofti dan 208 bp untuk P. falciparum fragmen. Yang lainnya adalah real-time PCR
multipleks kuantitatif yang dapat mendeteksi W. bancrofti secara bersamaan dengan P.
falciparum dan P. vivax di nyamuk dengan sensitivitas lebih tinggi dari tes PCR konvensional
dengan memungkinkan deteksi rendah tingkat DNA parasit awal. Hal ini dipertimbangkan
bahwa kemajuan yang berkelanjutan di teknologi deteksi molekul akan menghasilkan
pengembangan sederhana dan metode pengujian yang cepat dan dapat lebih mudah dikerahkan
di lapangan.
4. VEKTOR DI BERBAGAI DUNIA
4.1 Asia
Meskipun daerah ini memiliki perkiraan total populasi berisiko masing-masing 67% dan
68% untuk malaria dan LF, yang penting adalah infeksi filaria aktif memberikan kontribusi
sekitar 59% dari beban dunia didistribusikan ke lebih dari 15 negara (Tabel 1). Lebih dari 70%
dari kasus LF terjadi di anak benua India, khususnya India, Bangladesh, Maladewa, Nepal, dan
Sri Lanka. Survei terbaru yang dilakukan di China dan Korea menunjukkan bahwa kedua negara
tidak dapat lagi memiliki fokus aktif dan hanya wilayah selatan Laos masih mungkin memiliki
penyebaran LF. Ada dua jenis LF di Asia, Bancroftian (W. bancrofti) dan Brugian (Brugia
Brugia malayi dan timori) filariases (Tabel 2, Gambar. 1B). Bancroftian filariae dalam berbagai
bentuk mereka yang ditularkan oleh C. Quinquefasciatus (85%), Anopheles spp. (9%), dan
Aedes / Ochlerotatus / Downsiomyia (1%) dan Mansonia spp. (5%). Brugian filariae yang
mayoritas ditemukan di lokasi pedesaan dan divektori oleh spesies Anopheles dan Mansonia
nyamuk untuk B. malayi, dan oleh Anopheles barbirostris untuk B. timori. Brugia malayi terjadi
dari daerah yang tersebar dari India (selatan dan utara-timur) dan Sri Lanka untuk Asia Tenggara
(utara Kamboja, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina. B. timori merupakan terbatas pada
sekelompok kecil kepulauan Sunda Kecil Nusantara, terutama Timor, Flores, Rote, Alor, dan
Sumba. Di Flores dan pulau sekitarnya (misalnya, Alor), B. Timori telah ditemukan bersama-
endemis dengan W.bancrofti. Mengingat luasnya geografis dan
prevalensi LF, kehadiran tiga bentuk periodisitas dari W.bancrofti di wilayah Asia, bersama
dengan dua infeksi pada manusia Brugia spesies (Gambar 1B), menunjukkan Asia Tenggara
sebagai kemungkinan habitat leluhur parasit ini dan dari mana W.bancrofti akhirnya
disebarluaskan ke benua lain. Pentingnya bionomics, ekologi dan epidemiologi vector anopheles
yang terlibat dalam penyebaran dari malaria dan Filariasis masih kurang dipahami di Asia
Tenggara. Di Asia (Tabel 3), setidaknya 36 spesies nyamuk milik enam genera yang baik primer
atau sekunder telah dicurigai sebagai vektor dari W. bancrofti, dengan mayoritas spesies
Anopheles yang (24 spp.) diikuti oleh aedine nyamuk (7 spp.), Culex (4 spp.), dan
dua Mansonia (M. penyelaman, M. uniformis). Berdasarkan review kami, setidaknya 19
Spesies Anopheles telah terlibat dalam transmisi dari malaria dan parasit LF di Asia. Malaria dan
parasit LF dapat dan lakukan secara alami berbagi pada vektor sama, dalam spesies tertentu dari
Anopheles dirus dan Anopheles minimus kompleks, Anopheles maculatus kelompok, Anopheles
aconitus dan Anopheles vagus. Di Pulau Banggi (timur laut Sabah, Malaysia), Anopheles
balabacensis dan Anopheles flavirostris telah dilaporkan sebagai vektor malaria dan Filariasis
Bancroftian dan bertanggung jawab untuk menjaga holo-ke hiper-endemik tingkat
kedua penyakit. Di Sarawak (Borneo Malaysia), An.barbirostris, Anopheles donaldi, Anopheles
letifer, dan Anopheles latens (sebelumnya Anopheles leucosphyrus A), dianggap vektor untuk
malaria dan Filariasis Bancroftian. Timur Indonesia menghadirkan situasi yang unik untuk
malaria, bersama dengan W. bancrofti dan B. timori menyebar dan ditularkan masing-masing
oleh Anopheles subpictus dan An. Barbirostris. Di Orissa, India, Anopheles culicifacies s.l. telah
dicurigai sebagai vektor P. falciparum dan W. bancrofti dengan prevalensi penyakit pada
manusia masing-masing 9,6% dan 8,5% , dan sekitar 0,3% dari populasi dengan infeksi
bersamaan. Di Cina selatan, setidaknya ada empat spesies Anopheles, An. s.l. dirus, Anopheles
lesteri, An.minimus sl, dan Anopheles sinensis muncul yang terlibat di alam dalam penyebaran
malaria dan W. Bancrofti.
Di daerah-daerah ini , di mana nyamuk Anopheles adalah vektor-vektor utama untuk
malaria dan filariasis Bancroftian, anggota An. kelompok punctulatus yang paling efisien.
Kelompok ini terdiri dari sedikitnya 12 spesies, di antaranya tiga vektor utama adalah Anopheles
koliensis, An. Anopheles punctulatus dan farauti, yang terakhir menjadi anggota dari tujuh
spesies diidentifikasi dalam kompleks Farauti. An. koliensis dianggap dominan malaria dan
vektor LF di bawah 650 m dpl dengan tingkat infeksi hingga 4% dan 5%, masing-masing
(Hawking dan Denham, 1976). An. punctulatus adalah nyamuk anthropophilic, biasanya terjadi
dalam kepadatan terbesar di ketinggian di atas 1000-2000 m dpl. Tingkat infektif vektor untuk
W. bancrofti di ketinggian rendah bisa tinggi dengan nilai berkisar antara 4% sampai 15%
(Bockarie et al, 1998;. Hawking dan Denham, 1976). An. farauti s.l. dapat terjadi sampai 1500 m
dpl, namun An. farauti adalah didominasi dataran rendah, pesisir, spesies air payau dan telah
ditemukan dengan tingkat infeksi bervariasi dari 3% sampai 25% untuk semua tahap larva filaria
dan 0,5% untuk infeksi L3 (Bockarie et al, 2002;. Hawking dan Denham, 1976 ). Anopheles
bancroftii, sebuah dataran rendah, hutan-hunian spesies, juga dilaporkan ikut memainkan peran
fokus sebagai vektor malaria dan LF.
Elevasi merupakan faktor pembatas yang jelas untuk malaria dan transmisi LF sebagai
probabilitas bahwa nyamuk infektif akan berbanding terbalik dengan meningkatnya ketinggian
(Attenborough et al., 1997). Cooler berarti suhu ambient ditemukan pada ketinggian yang lebih
tinggi bisa menghalangi penangkapan atau pengembangan plasmodia dan L3 di nyamuk dalam
hidup normal vektor. Hal ini sesuai dengan temuan dari Papua (sebelumnya Irian Jaya),
Indonesia, dimana survei transek garis elevasi medis menemukan titik cutoff untuk infeksi W.
bancrofti pada populasi manusia untuk berada di bawah 1000 m dpl, sementara semua parasit
malaria empat dan vektor mampu transmisi sampai ke titik cutoff dari 1400-1600 m (Bangs MJ,
data tidak dipublikasikan). Meskipun pengembangan kali dalam nyamuk sangat mirip, akan
terlihat bahwa suhu yang lebih rendah memiliki dampak yang lebih besar pada transmisi W.
bancrofti selain malaria.
4.4. Amerika
Malaria dan LF diperkirakan memiliki 2,7 juta dan 400.000 kasus aktif, masing-masing
(Molyneux dan Zagaria, 2002; WHO, 2008b). W. bancrofti periodik nokturnal bertanggung
jawab untuk LF di sepanjang dataran pantai Amerika Tengah dan Selatan, terutama di sepanjang
daerah pesisir Atlantik dan Karibia pulau Hispaniola. Nematoda parasit kemungkinan besar
diperkenalkan oleh perdagangan budak Afrika pada 1700-an (Hawking, 1979). Tujuh negara di
Amerika dianggap LF-endemik, termasuk Brasil, Republik Domini-bisa, Guyana, Haiti, Kosta
Rika, Suriname, dan Trinidad dan Tobago, meskipun tiga negara terakhir tidak lagi aktif dan
transmisi laporan, di Brazil, transmisi terus hanya di metropolitan Recife (Negara Pernambuco)
(Gambar 1B) (WHO, 2008b). Regional, tingkat prevalensi berkisar dari LF terendah 0,03% di
Brazil menjadi 7,3% di Guyana (Michael dan Bundy, 1997). Haiti adalah negara yang paling
parah terkena di wilayah dengan 80% dari populasi yang dianggap berisiko infeksi, dan mewakili
70% dari seluruh penduduk berisiko di Amerika (WHO, 2006). Penularan malaria lebih luas
(Tabel 1) dan terjadi di sebagian besar negara di Amerika tropis mulai dari Brazil melaporkan
59% dari semua kasus (negara kawasan yang paling padat penduduknya) sampai 3% di Haiti
(PAHO, 2008). Transmisi secara serentak dari kedua plasmodia dan parasit filaria yang paling
mungkin terjadi di daerah-daerah di mana kedua hidup bersama. Namun, malaria dan infeksi
filariasis bercampur hanya dilaporkan di Guyana (Chadee et al., 2003). LF terutama infeksi
perkotaan dan relatif jarang terjadi di daerah pedesaan, kecuali Guyana. C. quinquefasciatus
adalah vektor utama fokus di perkotaan; sedangkan spesies Anopheles, terutama Anopheles
darlingi, dan juga Anopheles albimanus dan Anopheles aquasalis adalah vektor-vektor yang
terlibat dalam kedua transmisi malaria dan LF di daerah pedesaan (Tabel 3). C. pipiens adalah
vektor utama di zona beriklim lebih dari Amerika.
5. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN KONDISI PENENTU PADA
DINAMIKA TRANSISI
Deforestasi untuk pengembangan penebangan dan pertanian berlangsung pada kecepatan
yang mempercepat seluruh dunia dan adanya kekhawatiran yang meluasakibat perubahan
ekologi yang cepat mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap penyebaran penyakit
vector-borne dan kesehatan manusia (Gratz, 1999;. Patz et al, 2000 ; Sutherst, 2004). Namun,
dengan peningkatan pembangunan pertanian dan kimia yang terkait dan menggunakan
insektisida, perubahan tanaman, penggundulan hutan, dan serangan manusia, telah ada
penyelidikan relatif sedikit tentang bagaimana perubahan pada keanekaragaman hayati dan
habitat memiliki atau dapat mempengaruhi transmisi malaria atau filariasis. Konsekuensi dari
perubahan lingkungan oleh manusia belum hati-hati dinilai sebagai penyebab utama dalam hal
vektor penyakit. Di Asia Tenggara, perbaikan situasi malaria selama dekade terakhir tampaknya
sebagian karena perubahan lingkungan seperti deforestasi yang mengurangi habitat dari salah
satu vektor utama, An. dirus s.l. (Delacollette et al., 2009). Namun, penelitian telah menunjukkan
bahwa vektor malaria sekunder yang normal atau kecil dapat berkontribusi cukup untuk
transmisi malaria berikut perubahan lingkungan (misalnya, irigasi, pengembangan lahan,
deforestasi), yang dapat menggeser preferensi makan mereka lebih terhadap manusia dan
selanjutnya mendukung kelangsungan hidup mereka, sehingga meningkatkan status vektorial
mereka (Amerasinghe dan Ariya-sena, 1990;. Maheswary et al, 1992). Di Asia Di Asia
Tenggara, dua spesies menunjukkan perbedaan paling minimum kompleks ekologi yang jelas
disorot oleh tanggapan terhadap deforestasi yang telah mengubah lanskap kelangsungan dan
iklim mikro lokal (Matola et al., 1987). Praktek pertanian telah mempengaruhi distribusi spesies
yang terkait erat. Di Thailand, An. minimus dikaitkan dengan preferensi habitat yang lebih luas,
dari kanopi hutan lebat ke bidang pertanian, dibandingkan dengan spesies saudaranya,
Anopheles harrisoni, yang memiliki kisaran habitat yang lebih sempit (Rongnoparut et al., 2005).
Di Vietnam utara, An. minimus ditemukan di lingkungan yang lebih stabil atau tidak terganggu
seperti bukit berhutan utuh dan agrosystems beras, sedangkan An. harrisoni dikaitkan untuk
agrosystems jagung yang biasanya memerlukan deforestasi yang signifikan (Garros, 2005).
Perubahan lingkungan, baik karena proses alami atau aktivitas manusia secara langsung,
diharapkan untuk mengerahkan pengaruh yang nyata pada munculnya kebangkitan dan
proliferasi atau penyakit parasit yang baru dan yang sudah ada. Peningkatan surveilans dan
pemantauan perubahan iklim dan lanskap dan kemungkinan dampaknya pada malaria dan
transmisi filaria sangat diperlukan sebagai sarana untuk identifikasi tepat waktu masalah dan
respon kontrol dan melayani sebagai dasar untuk mengembangkan model prediksi yang lebih
baik. Selain itu, faktor fisik seperti suhu dan kelembaban udara ambient memainkan peran
penting dalam transmisi malaria dan filariasis. ('Kapasitas vectorial' yaitu,) efisiensi transmisi
vektor umumnya ditingkatkan dengan suhu tinggi dan kelembaban relatif (misalnya, lebih
pendek waktu pengembangan, umur panjang vektor meningkat) yang juga penting untuk
keberhasilan propagasi patogen dan kelangsungan hidup (misalnya, dikurangi ekstrinsik waktu
inkubasi dan transmisi ditingkatkan). Bulan-bulan hangat musim hujan tropis, dan bulan musim
panas daerah yang lebih subtropis dan sedang, lebih kondusif untuk transmisi filaria dan
berkontribusi terhadap infeksi yang lebih tinggi dan tingkat infektivitas dan periode
pengembangan yang lebih pendek dari parasit dalam vektor (Chandra, 2008). Oleh karena itu,
dinamika epidemiologi malaria dan LF harus dilihat sebagai saling berkaitan erat yang mencakup
interaksi dekat nyamuk (vektor) populasi, manusia (reservoir), dan parasit (patogen) menanggapi
dan beradaptasi dengan lingkungan-mental penentu transmisi. Penyakit epidemiologi melibatkan
ekologi lansekap, pengukuran yang akurat, deteksi kuantitatif, dan kemampuan analitis yang
disediakan oleh sistem informasi geografis (GIS) teknologi, penginderaan jauh dan statistik
spasial menyediakan sarana untuk mengumpulkan, mengintegrasikan, dan lebih baik memahami
kompleksitas vector-borne patogen banyak pada sebuah situs tingkat khusus sehingga tindakan
pengendalian hanya sesuai, tepat waktu dan ditargetkan diterapkan.
6. THAILAND SEBAGAI CONTOH
Thailand menyediakan model yang sangat baik untuk meninjau co-transmisi malaria dan
Filariasis Bancroftian karena beban kedua penyakit endemik tetap tinggi pada segmen tertentu
dari populasi Thailand (Gambar 4). Meskipun tahun kesuksesan secara nasional, malaria tetap
menjadi prioritas kesehatan masyarakat, terutama di daerah pedesaan dan hutan di sepanjang
perbatasan nasional dengan Myanmar dan Semenanjung Malaysia (Gambar 4A). Kedua daerah
saja mewakili 90% (55% dan 35%, masing-masing) dari kasus malaria nasional (Departemen
Kesehatan Masyarakat, 2008a). Kejadian parasit tahunan (API, malaria, kasus per 1000
penduduk) sangat bervariasi di sepanjang perbatasan, melebihi 500% di dekat perbatasan
Myanmar-Thailand (Chareonviriyaphap et al., 2000). Pada tahun 1947, API malaria nasional
diperkirakan 286% tetapi secara bertahap turun menjadi hanya 2,2% pada tahun 1975 dekade
berikutnya intensif kampanye anti malaria. Pada tahun 1981, prevalensi malaria resurged
menjadi 10,6% dan tetap meningkat 6,8% pada tahun 1988. Hal ini diikuti oleh penurunan
bertahap API mencapai 2% pada tahun 1998, dan kemudian hanya 0,4% pada 2008 (Chareonvir-
iyaphap et al, 2000;. Departemen Kesehatan Masyarakat, 2008a). Dalam hal jumlah dikonfirmasi
kasus dan kematian akibat malaria sejak 1999, ketika epidemi terakhir dilaporkan, penurunan
serupa telah ditunjukkan mulai dari 125.359 kasus dan 740 kematian pada 33.178 kasus dan 97
kematian pada tahun 2007 (Delacollette et al., 2009 ).
Keberhasilan luar biasa dalam mengurangi angka malaria di sebagian besar negara telah
dikaitkan dengan program-program vektor yang efektif dan terorganisir dengan baik kontrol di
daerah pedesaan didasarkan pada penyemprotan insektisida secara rutin dalam ruangan dan
kampanye nasional distribusi kelambu piretroid diresapi, siap untuk diagnosis akurat dan
pengobatan yang tepat, intensifikasi kolaborasi lintas batas, dan pendanaan konsisten untuk
mempertahankan program
Prasarana dan staf karena kemauan politik dari pemerintah Thailand untuk membuat
pengendalian malaria nasional prioritas (Char-eonviriyaphap et al, 2000;. Delacollette et al,
2009.). Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan, dalam beberapa tahun
terakhir, hingga 60,000-70,000 kasus telah dilaporkan di populasi Thailand dan non-Thailand,
dengan hampir 70% dari penduduk Thailand masih di-risiko infeksi karena transmisi
diperbaharui atau meningkat . Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang hidup di sepanjang
perbatasan internasional barat dan selatan di mana masuknya reguler yang terinfeksi malaria
pendatang atau pengungsi dari negara tetangga dapat memfasilitasi penularan malaria intens
untuk melanjutkan (Chareonviriyaphap et al, 2000;. Delacollette et al, 2009.) . Selain itu,
wilayah yang mengalami perubahan dramatis dalam penggunaan lahan dan tutupan lahan
memiliki potensi untuk meningkatkan risiko penularan (Petney et al, 2009.). Sejak tahun 1997, P.
falciparum dan P. vivax telah menunjukkan proporsi yang hampir sama di Thailand; namun di
sepanjang perbatasan Myanmar-Thailand epidemiologi klinis dari dua parasit malaria telah
sangat berbeda pada populasi etnis Karen yang terletak di sebuah kamp pengungsi besar
permanen di kabupaten Mae Sot (Provinsi Tak). Sementara P. vivax adalah infeksi yang paling
umum terlihat pada anak-anak, dengan penurunan insiden dengan bertambahnya usia, P.
falciparum tingkat insiden justru naik antara 20 dan 29 tahun, meskipun risiko mengembangkan
malaria berat menurun dengan bertambahnya usia dikaitkan dengan peningkatan sebagai
kekebalan parsial yang didapat (Luxemburger et al., 1996). Selain pergerakan populasi yang luas
melintasi perbatasan internasional, sumber-sumber lain infeksi dapat terjadi di desa-desa hutan
terisolasi (Singhanetra-Renard, 1986) di mana penduduk terkena sering menghabiskan bagian
dari tahun di pondok-pondok sederhana dalam rangka untuk menarik produk-produk pertanian
dan sumber daya lain dari lahan (Somboon et al, 1998.). Dekat perbatasan, karet perkebunan dan
kebun buah-buahan asli juga kondusif untuk transmisi dan tingkat penyakit yang tinggi karena
adanya vektor malaria efisien dalam kompleks Dirus, dan eksposur pekerja dan penduduk dekat
ini fokus transmisi (Singhasivanon et al., 1999) .
Filariasis Bancroftian juga endemik di pedesaan, perbukitan, sebagian besar area hutan di
sepanjang perbatasan Myanmar-Thailand (Gambar 4B) di mana tiga juta orang diperkirakan
terkena infeksi (Pothika-sikorn et al., 2008). Dua bentuk LF terjadi di Thailand, nocturnal
subperiodic menunjukkan puncak microfilaremia antara tahun 1800 dan 2000 h (Gould et al
1982;.. Harinasuta et al, 1974) dan lebih baru ini melaporkan periodik (NP) bentuk yang diyakini
telah diperkenalkan ke barat Thailand oleh pekerja migran Myanmar
(Triteeraprapab et al., 2000). Parasit NP terutama ditularkan oleh C. quinquefasciatus, dan
biasanya di daerah perkotaan, Oleh karena itu pembentukan kemungkinan siklus penularan di
Thailand telah menimbulkan keprihatinan (Triteeraprapab et al., 2000). Hanya data yang terbatas
yang tersedia pada prevalensi LF di Thailand dan epidemiologi masih kurang dipahami
(Nuchprayoon et al., 2003). Tingginya prevalensi LF sepanjang wilayah perbatasan barat
tercermin dalam satu studi yang menunjukkan hingga 54% dari Thailand-Karen darah
sampel dengan anti-filaria IgG4 antibodi (Nuchprayoon et al., 2003). Studi lain mengungkapkan
W. bancrofti dalam populasi sentinel hidup di dalam Thailand memiliki prevalensi tinggi di
antara lintas batas Karen migran (36,8%) dan Myanmar (24%) keturunan (Bhumiratana et al.,
2005). Survei sebelumnya menemukan prevalensi Filariasis mencapai 4,4% di kalangan pekerja
migran Myanmar di Tak Provinsi dan 2,4% di Propinsi Prachuab Khiri Khan, selatan-barat
Thailand (Triteeraprapab dan Songtrus, 1999; Wiwanitkit, 2001). Lintas-perbatasan populasi
telah dianggap sebagai sumber untuk pengiriman ke sekolah lokal dan berisiko tinggi terkena
kelompok di daerah tersebut.
Transmisi malaria dan Filariasis Bancroftian di hutan daerah-daerah sepanjang
perbatasan Myanmar-Thailand dianggap berisiko tinggi dan intens untuk alasan lain, kehadiran
vektor sangat efisien. Di daerah ini, Plasmodium spp. dan pedesaan strain dari W. Bancrofti
berbagi Anopheles vektor spesies yang sama, khususnya dipilih anggota Dirus kompleks dan
paling bungsu dan maculatus kelompok (Chareonviriyaphap et al, 2000;.. Pothikasikorn et al,
2008). Para Dirus kompleks (dalam kelompok Leucosphyrus lebih besar) di Asia mencakup
tujuh spesies yang diketahui yang lima hadir dalam Thailand, empat dari mereka, An. dirus
(mantan Sebuah dirus A.), Anopheles cracens (An. dirus B), Anopheles scanloni (An. dirus C),
dan Anopheles baimaii (An. dirus D), yang dianggap sebagai vektor malaria efisien dengan
sporozoite rates hingga 10% (Peyton, 1989; Sallum et al, 2005.). Kompleks paling bungsu
memiliki tiga saudara spesies dijelaskan; dua yang hadir di Thailand, An. paling bungsu (mantan
Sebuah paling bungsu A.) dan An. harrisoni (An. paling bungsu C). Tidak seperti An. paling
bungsu, yang tepat Sebuah distribusi. harrisoni masih belum jelas, serta yang sejati vectorial
kapasitas dan peran dalam transmisi dalam skala besar, karena tes identifikasi molekuler belum
diterapkan sampai sangat baru-baru sebagai sarana untuk memisahkan dua spesies isomorfis
(Chen et al, 2002;. Garros et al, 2006;. Manguin et al, 2008b.; Sungvornyothin et al, 2006;.
Trung et al, 2004;.. Vythilingam et al, 2003). Para maculatus kelompok, yang mencakup
setidaknya delapan saudara spesies (Harbach, 2004) didistribusikan ke seluruh Asia selatan, dan
yang terjadi di Thailand dengan lima spesies diwakili sepanjang Myanmar-Thailand perbatasan