Top Banner
Review Planning From The Bottom Up BAB 1 1.1. Pendahuluan Hanya sedikit kasus yang membahas tentang proses perencanaan berdasarkan pandangan dari kepemerintahan dan politik. Oleh sebab itu, keputusan politik terkesan kurang transparan bagi para perencana. Perencanaan membutuhkan analisis yang terstruktur dengan baik layaknya pada pengambilan keputusan formal serta pelaksanaannya, namun hal tersebut bertentangan dengan tujuan politikus dan LSM. Masalah utamanya yaitu selisih antara sistem politik yang demokrasi dengan perencanaan bottom-up. Penulis memberikan contoh kasusnya yaitu di Kolkata, India yang merupakan proses perencanaan dengan skala besar. Penulis membahas tentang interaksi antara perencana dengan pelaksanaan proses politik yang membentuk masalah tersebut. Menurutnya, proses perencanaan skala besar harus berfokus pada aturan mekanisme kelembagaan. Penelitian tersebut memberikan arah yang lebih baik bagi para masyarakat yang tak memihak untuk lebih berperan secara demokratis dalam kepemilihan. Penelitian ini juga membahas kelemahan masyarakat marginal yang ada di 1
80

Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Oct 26, 2015

Download

Documents

Dokumen ini berisi tentang review buku "Planning From The Bottom Up"
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Review

Planning From The Bottom Up

BAB 1

1.1. Pendahuluan

Hanya sedikit kasus yang membahas tentang proses perencanaan berdasarkan

pandangan dari kepemerintahan dan politik. Oleh sebab itu, keputusan politik terkesan

kurang transparan bagi para perencana. Perencanaan membutuhkan analisis yang terstruktur

dengan baik layaknya pada pengambilan keputusan formal serta pelaksanaannya, namun hal

tersebut bertentangan dengan tujuan politikus dan LSM.

Masalah utamanya yaitu selisih antara sistem politik yang demokrasi dengan

perencanaan bottom-up. Penulis memberikan contoh kasusnya yaitu di Kolkata, India yang

merupakan proses perencanaan dengan skala besar. Penulis membahas tentang interaksi

antara perencana dengan pelaksanaan proses politik yang membentuk masalah tersebut.

Menurutnya, proses perencanaan skala besar harus berfokus pada aturan mekanisme

kelembagaan. Penelitian tersebut memberikan arah yang lebih baik bagi para masyarakat

yang tak memihak untuk lebih berperan secara demokratis dalam kepemilihan. Penelitian ini

juga membahas kelemahan masyarakat marginal yang ada di Kolkata dengan di Mumbai,

dimana kedua kota tersebut mempunyai ukuran yang sama dan terletak di negara yang sama.

Tujuan riset ini yaitu untuk menumbuhkan kesadaran antara lembaga

pengembangan dan pendidikan yang merupakan tingkat paling dasar,yang menurut Arjun

Adupadarai (2004) merupakan suatu kebutuhann untuk memberi wewenang, yang disebut

dengan kapasitas untuk berkeingingan.

Riset ini bertujuan agar kota-kota di negara lain memiliki kecenderungan yang

sama dalam partisipasi pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat marginal berjalan baik

dalam perencanaan metropolitan seperti yang diterapkan di Kalkuta. Hal ini terjadi karena

Kalkuta memiliki pemerntahan komunis dan menerapkan perencanaan bottom-up 28 tahun

1

Page 2: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

terakhir. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian komparatif sehingga dapat memahami

pemberdayaan yang mengakar di kota India.

Yang membedakan Kalkuta dengan kota lain adalah adanya keingintahuan dari

berbagai disiplin ilmu yaitu politik dan budaya perencanaan, serta budaya dalam arti umum.

Dalam hal ini, Kalkuta memiliki gerakan sosial perkotaan yang akitf yang mengakibatkan

munculnya berbagai LSM yaitu Chinnamool Sramajibi Adhikari Samity dan the National

Campaign for Housing Rights. Organiasasi non-pemerintah juga membantu perencanaan

pembangunan perkotaan. Hal ini dilakukan dengan cara pendekatan personal dan

pengkaderisasian masyarakat.

Sebagai contoh Durbar Mahila Samanwaya Committee (DMSc). Program DCMs

berhasil karena Pemerintah Kolkata tidak menyetujui adanya pemindahan tempat prostitusi

ke tempat yang lebih baik. Paradigma baru pun bermunculan disebabkan tingginya kesadaran

akan budaya prostitusi. LSM dan Aktivis Sosial pun terbantu banyak akan hal itu.

Akhirnya sampailah pada analisa awal bahwa keputusan yang diambil Pemerintah

Kolkata berbeda dengan pemikiran LSM dan Partisipan Lokal. Akibatnya, keputusan lokal

akan memecah perdebatan diantara keduannya, dan nantinya akan membuat asumsi yang

mengambang terhadap keputusan yang diambil. Kasus yang diangkat nantinya pun akan

diberi penjelasan singkat bagaimana keputusan diambil melalui mekanisme dan dasar acuan

dari ; Skala Prioritas, Pengaruh Subjek, Perbedaan tradisi politik, dan semuanya diramu

menjadi sesuatu yang unik.

1.2 Kajian Pustaka

1.2.1 Asal mula pendekatan bottom-up dalam sumber perencanaan

Hubungan antara perencana (sebagai profesional), pemerintah dan masyarakat itu

sendiri memiliki hubungan yang kompleks yang selalu mengalami perubahan. Teori dasar

untuk memahami hubungan ini dikemukakan ole John Friedmann dalam bukunya, Planning

in the Public Domain (1987). Bagian ini kebanyakan membahas pemikirannya mengenai

peran prencanaan.

Pada bagian pendahuluan, Friedmann menulis tentang dua peninggalan dari

alasan dan demokrasi yang diwarisakan kepada kita pada abad ke-18. Alasan berarti

mempercayai dalam kapasitas untuk mempelajari proses antara manusia dengan lingkungan,

2

Page 3: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

dan untuk memahami mereka. Demokrasi berarti mempercayai orang-orang biasa untuk

mengatur dirinya sendiri. Alasan memiliki hubungan dengan fakta atau yang menjurus pada

kebenaran yang hanya dapat dijelaskan secara ilmiah. Dan demokrasi lebih berfokus pada

nilai yang umum dipelajari dari sifat manusia, tradisi sosial, dan kepentingan perorangan.

Salah satu referensi yang menjadi dasar dari ide Friedmann yaitu ‘Planning and decision-

making from the bottom up’ yang mengutip pernyataan Thomas Jefferson. Pernyataan

tersebut menjelaskan mengenai visinya untuk sebuah bentuk pemerintahan republik otoriter

yang mana unit yang paling mendasar yaitu lingkungan perdesaan, dalam surat yang ditulis

untuk temannya pada tahun 1816 (letter to Joseph C. Cabell, in Abbott, 1947).

Hanya pertanyaan tetentu yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat terendah

pemerintahan akan diselesaikan pada tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena visinya yang

mensyaratkan batas dari penalaran dalam diri masyarakatnya – sebuah keterkaitan antara

alasan dan demokrasi. Satu-satunya model yang masih bertahan seperti ‘elementary republic

of wards’ adalahh tradisi pemerintah lokal Swiss (Kalin, 1999; Linder, 1994) yang telah

berhasil mengatasi fokus yang berlebihan di tangan negara yang terpencil dan abstrak

(Friedmann, 1987)

Pada awal abad ke-19 gagasan mengenai ‘alasan’ dan realitas telah

ditransformasikan secara halus. Pada abad ke-20, ‘alasan’ dalam bentuk ilmiah dan teknis

telah menjadi peringkat tertinggi dalam kekuasaan. Kepastian urusan publik seharusnya

diinformasikan dengan perencanaan – dilakukan oleh ahli dalam bidangnya yang mengamati

kejadian ilmiah dan kejadian sebenarnya – yang didasarkan pada kepercayaan umum bahwa

pemikiran yang biasa yang tidak terpaku pada proses dari metode ilmiah, yang tidak sesuai

dengan logika orang yang mampu membuat keputusan dengan cara yang efisien untuk

mencapai tujuan. Oleh karena itu perencanaan dilihat sebagai usaha ilmiah dimana

perencanaan dalam kebijakan kolektif menghasilkan rencana dan anggaran yang

komprehensif, diatur secara rasional dan dilindungi dari kepentingan politisi (Tugwell,1939).

Pada permulaan tahun 1940-an perencanaan sosial mengalami masa

perkembangan yang luar biasa. Seperti yang terjadi selama Perang Dunia I, konflik global

memerlukan mobilisasi dan pengelolaan ekonomi perangoleh aparat perencanaan negara.

Ketika kembali pada masa perdamaian ekonomi yang bersikap sesuai dengan tugas yang

menantang. Pemerintah kembai menjadi agen pengambil keputusan. Peran baru dari sebuah

negara sebagai perencana pusat pelayanan sosial. Dan pada kelompok negara berkembang,

3

Page 4: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

perencanaan pembangunan menjadi hal yang diunggulkan untuk mempercepat pertumbuhan

ekonomi dan dasar dalam menerima bantuan pihak asing.

Pasca perang di Amerika Serikat, perencana menjadi bergantung pada

pengetahuan ilmiah dan teknologi terbaru untuk membuat keputusan. Contohnya seperti teori

dalam permainan dan dunia maya, yang dapat membantu menyediakan apa yang perencana

janjikan : seperti kebijakan rasional untuk menetapkan program – program kedepannya.

Sebagai anggota negara, perencana cenderung melihat keadaan secara tidak langsung, hanya

dari ‘atas’ sebagai penjaga kepentingan umum dan alat kemajuan sosial. Tetapi keinginan

untuk terus mengalami kemajuan bukanlah merupakan tujuan akhir perencanaan. 20 tahun

setelah perang dunia kedua, Amerika serikat terjebak dalam perangnya sendiri di Vietnam.

kemiskinan terkuak, kriminalitas meningkat, terjadi di dalam kota. Siswa militer membaca

Marx and Marques dan memutuskan untuk ikut terjun dalam perjuangan politik. Selama itu,

perencana mulai mendengarkan suara – suara rakyat dan partisipasi masyarakat dalam

pembaharuan kota, program perencanaan publik, dan penetapan undang – undang.

Menyangkut teori perencanaan karya Amitai Etzioni the active society (1968),

Etzioni mengusulkan model bimbingan sosial dimana masyarakat membuat tuntutan kepada

negara yang kemudian akan direspon dengan jawaban. Masyarakat selanjutnya diberikan

kewenangan dan negara membuat kesepakatan kebijakan. Dalam mengembangkan negara,

menurut Etzioni, model tersebut tidak terkecuali untuk perencanaan. Menurut Auguste Comte

Rexford Tugwell, perencana selalu mencari dukungan dari penguasa.

Tetapi dalam literatur mengenai hubungan pengetahuan untuk bertindak, masih

ada tradisi lain yang secara khusus membahas kebutuhan masyarakat. Pembela masyarakat

tersebut menggambarkan aspek strategis tertentu dari tiga gerakan politik – utopianisme,

anarkisme, dan historisisme – melihat kekuatan dalam tindakan kelompok yang Friedmann

tersebut sebagai mobilisasi sosial. Gerakan ini muncul sebagai tanggapan terhadap tindakan

yang buruk, ketidakadilan dan eksploitasi, kapitalisme industri. Tidak seperti teori bimbingan

sosial yang disusun oleh para penguasa dunia, pendukung mobilisasi sosial mengusahakan

perubahan yang radikal dari masyarakat.

Bagian kecil dari kelompok ini, terutama terdiri dari penganut historisisme

(seperti Marx, Lenin, dan Mao), tampak sebuah praktek revolusioner yang bertujuan

mengubah struktur dari sistem listrik yang ada, baik melalui serangan langsung terhadap

bentengatau melalui serangkaian reformasi radikal. Kekuatan politik mereka didasarkan pada

4

Page 5: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

gerakan sosial, khususnya tenaga kerja. Friedmann menemukan rencana untuk membimbing

masyarakat tak mampu dalam mengatasi krisis kapitalisme industri karena perencanaan selalu

disatukan dengan pemerintah pusat (Friedmann, 1987, hal.10). Dampaknya, masyarakat di

seluruh dunia mulai mencari alternatif pembangunan yang tidak terlalu terkait dengan

dinamika kapitalisme industri. Gerakan emansipasi telah muncul untuk mendorong visi ke

depan yang lebih baik saat sistem berpusat kepada masyarakat: dunia berperan dalam

menghilangkan ancaman nuklir dan dengan serius mengatasi keseimbangan alam, persamaan

gender, menghapuskan rasisme, dan pemberantasan kemiskinan. Walaupun menginspirasi

dengan cara yang berbeda – beda, gerakan – gerakan sosial muncul sebagai penyatu antara

dua strategi utama : kemandirian kelompok dalam membangun dan memulihkan komunitas

politik.

Demikian adanya kebutuhan mendesak dalam pertanyaan yang diajukan oleh para

ahli : apakah ‘alasan’ dan ‘demokrasi’ saling berhubungan? Dapatkah masyarakat dipercayai

dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri atau untuk kebijaksanaan umu yang

dibutuhkan? Dapat masyarakat membebaskan diri dari pegawasan pemerintah dan kekuatan

hukum dan menjadi otonom yang sekali lagi aktif dalam perannya sebagai pelaku rumah

tangga, masyarakat lokal, dan daerah? Kapitalisme industri telah menjawab pertanyaan ini

dalam pandangan yang negatif. Ini telah dipertanyakan oleh buruh, sarjana, dan para ahli.

Posisi ini sangat dipertahankan oleh sentralis, yang tetap curiga terhadap massa (Crozier et

al.,1975; Huntington, 1981). Sumber modern dalam perencanaan, bagaimanapun, telah

datang untuk memahami hampir keseluruhan pemikiran ilmiah – atau perencana – sebagai

ahli, diterapkan untuk urusan praktis, tidak bisa dipercayakan kepada dirinya sendiri. Dengan

menyajikan modal perusahaan, maka akan terperangkap di pusaran ekonomi yang tidak

terbatas. Melayani kebutuhan negara, akan membawa pada kehancuran ekonomi. Hanya

dengan melayani masyarakat secara lagsung, ketika masyarakat mempunyai pemikiran

bertindak atas nama kepentingan kelompok, itu akan memberikan konstribusi terhadap

alternatif pembangunan’ (Friedmann, 1987,hal.11).

1.2.2 Model untuk lembaga yang mendukung perencanaan berbasis masyarakat

Asumsikan pandangan Friedman tentang perencanaan berbasis masyarakat benar

– benar direalisasikan, pertanyaan yang akan timbul adalah : Institusi/lembaga seperti apakah

yang dibutuhkan untuk mendukung perencanaan yang melayani langsung masyarakat

daripada melayani perusahaan modal dan negara? Susan dan Norman Fainstein (1996)

5

Page 6: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

mengajukan sebuah tipologi perencanaan yang menyajikan sebuah kemudahan, alat praktik

untuk analisis empiris dari studi kasus perencanaan pemerintah terbaru.

Perencanaan adalah ilmu politik, dan berdasarkan Fainsteins, jenis – jenis praktik

perencanaan (tradisional, demokratis, keadilan, dan incremental) sebenarnya diturunkan dari

sebuah teori atau model ilmu politik (Teknokrasi, demokrasi, sosialis dan liberal) atau fungsi

dari jenis koalisi pemerintah (Irazabal, 2005). Jelasnya, ini adalah jenis perencanaan yang

ideal dan beberapa kasus perencanaan nyata akan memperlihatkan sebuah kombinasi yang

dinamis dari jenis perencanaan ini.

Di India, seperti di kebanyakan negara – negara berkembang lainnya (Kohl, 2003,

Manor 1995, Souza, 2001), model perencanaan demokrasi telah menghasilkan hasil yang

signifikan. Contohnya adalah Negara Bagian Barat Bengal yang merupakan pemrakarsa

perancanan kota berasaskan demokrasi desentralsasi di India.

Seperti yang didikusikan di bab 3, sistem politik Kolkata dan sedikit perencana

kota bangga bahwa faktanya perencanaan demokrasi telah memimpin sebuah pergerakan

nasional melalui emansipasi politik dari perwakilan masyarakat lokal walaupun tentunya

dengan tetap menghargai birokrat dan teknokrat. Mereka melihat hal ini sebagai tanda dari

sebuah kemajuan menuju demokrasi yang lebih besar dan kebertanggungjawaban dalam

perencanaan. Pemujaan mereka terhadap proses demokratisasi dari pembuatan kebijakan

lokal diruntuhkan oleh para sarjana yang menjunjung tinggi terbatasnya pemilihan sebagai

alat untuk memastikan keadilan sosial. Seperti yang Leonie Sandercock temukan bahwa

kerangka sah perencanaan demokrasi telah ditambahkan ke dalam sebuah konsep khusus

demokrasi sebagai aturan baku dan sebuah survey membuktikan bahwa hak terhadap

perbedaan hilang sekali keputusan mayoritas sudah ditetapkan. (Sandersock, 2000).

Saat ini ada isu perencanaan lain di dalam model perencanaan demokrasi – yaitu

untuk mengidentifikasi skala geografis dan administratif yang tepat. Jika sebuah rumah atau

RT/RW membutuhkan tambahan air minum, solusinya mungkin adalah dengan menggali

sumur. Jika sebuah kota membutuhkan tambahan air minum, pembangunan sistem

penyulingan air lokal sangat dibutuhkan. Jika seluruh negeri mempunyai sebuah air terjun

kecil, sebuah sistem bendungan untuk menahan air dan sebuah jaringan kanal buatan untuk

membawa air mungkin adalah solusinya. Maka dari itu, dari segi fisik dan temporal tidak ada

satu tingkatan yang pasti dimana sebuah struktur admnistratif sebuah wilayah telah

dikondisikan secara baik. (Berg et al., 1993). Jadi keikutsertaan perencanaan dalam wilayah

6

Page 7: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

publik harus menempatkan setiap masalah dalam skala prioritas yang tepat. Juga, setiap

tingkat perencanaan mempengaruhi perencanaan di tingkat atasnya. Contohnya, setiap

penambahan sumur tabung yang dibuat oleh RT/RW akan menambah tekanan tambahan pada

cadangan air tanah di suatu tempat jauh di bawah batas RT/RW. Jadi kota besar/kota madya

mungkin harus mengambil langkah – langkah untuk memperbesar cadangan air tanah dan

membatasi proses penipisannya melalui regulasi, proyek dan program.

Contoh di atas adalah sebuah versi yang idealis dari sebuah proses “Perencanaan

Bottom Up” dimana rencana – rencana pada satu tingkatan digabung dalam proses pembuatan

rencana untuk tingkatan yang lebih tinggi. Penggabungan rencana dimulai dari level rumah

tangga, kemudian naik ke RT/RW, desa, kota kecil, kota besar/kota metropolitan, negara

bagian, negara, bahkan sampai tingkat internasional. Maka dari itu setiap level yang lebih

tinggi berturut – turut dipikirkan untuk dapat bersatu dalam sebuah cara yang dapat

mendukung aksi yang diambil oleh wilayah dengan tingkat administrasi yang lebih rendah.

Di India, Konstitusi dan Badan – badan pemerintah yang mengelilinginya telah diatur untuk

mendukung proses perencanaan seperti perencanaan “bottom up”. (Bandyopadhyay, 2000).

Ada dua asumsi yang mendasari agar proses perencanaan “bottom up” dan

pembuatan keputusan dapat menyatu dari tingakat bawah sampai tingkat atas. Pertama adalah

bahwa kekuatan disebar secara merata, kedua kekuatan ini juga disebar di tingkatan

pemerintahan yang berbeda. Pada kenyataannya, tidak ada dari kedua asumsi ini yang

menyentuh kalangan bawah. Maka dari itu pendekatan bottom up dalam perencanaan sering

gagal dalam mengidentifikasikan level administratif yang pantas dimana para perencana

sebaiknya ikut campur dalam permasalahan. Hal ini disadari pada tahun 1990an, sehingga

membuat wacana ilmiah perencanan berpindah dari menggunakan aturan “bottom up” ke

penggambaran strategis dengan tingakatan yang berbeda – beda sampai proses perencanaan

publik. Hal ini disebut dengan perencanaan partisipatory. Perencanan ini adalah membatasi

peran masyarakat pada permasalahan di tingkat – tingkat yang lebih tinggi sehingga

dibutuhkan peran ahli walaupun hanya sebagai fasilitator. (Jain & Polman, 2003).

Perkembangan pembuatan keputusan dengan perencanana partisipatory membuat

pemerintah lebih mengakui otoritas masyarakat yang lebih besar. Tetapi mereka juga dapat

mengurangi kemampuan kaum – kaum mayoritas untuk mengekang hak prerogatif. Pakah

kebertanggungjawaban masih dapat dipegang jika masyarakat harus bergantung pada pihak

mayoritas? Fokus pada perdebatan tentang kebertanggungjawaban adalah pada bagaimana

7

Page 8: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

satu agen (pemilih, pengadilan) dapat mengontrol agen lain (pejabat terpilih, cabang

eksekutif). Salah satu kelemahan fokus tersebut adalah bahwa varian konseptual - horisontal,

vertikal, dan masyarakat - cenderung berjalan di trek paralel, dan juga bagamana

menampilkan warga negara, organisasi masyarakat sipil (OMS), politisi, dan institusi agar

dapat menempatkan cek interlocking pada ambisi aktor-aktor lain (Wampler , 2004, hal . 75) .

Lembaga partisipatory sebaliknya, memasuki semua tiga dimensi dari perdebatan. Lembaga

partisipatory memiliki potensi untuk bertindak sebagai pengecek pada hak prerogatif dan

tindakan administrasi walikota (horisontal), untuk memungkinkan warga negara dapat

memilih wakil-wakil dan kebijakan khusus (vertikal) , serta mengandalkan mobilisasi warga

ke proses politik sebagai sarana untuk melegitimasi proses pembuatan kebijakan baru

(sosial).

Akuntabilitas vertikal. Umumnya dibingkai sebagai kontrol dari pejabat publik

dengan warga , terutama melalui pemilu. Pemilu telah menerima perhatian yang signifikan.

Sebagian ahli telah menganalisis bagaimana warga negara dapat menggunakan pemilihan

umum sebagai alat kontrol terhadap publik pejabat (Przeworski dkk . , 1999) .

Akuntabilitas horizontal. Distribusi kewenangan antar departemen atau cabang

pemerintahan yang berbeda juga telah mendapat perhatian. Sebagian sarjana telah berusaha

untuk mengevaluasi konsekuensi dari pengaturan kelembagaan yang dirancang untuk

memperkuat demokrasi praktek dan hak (O'Donnell , 1998) .

Akuntabilitas sosial. Tekanan ditempatkan pada lembaga negara oleh organisasi

masyarakat sipil untuk mendorong terpilihnya pejabat dan birokrat untuk mematuhi aturan

hukum . Hal ini berfungsi sebagai penyeimbang dua pendekatan lainnya , karena langsung

dapat menghubungkan politik yang sedang berlangsung serta aktivitas masyarakat sipil untuk

lembaga-lembaga politik formal (Smulovitz & Peruzzotti, 2000).

Di antara berbagai cara untuk mencapai pendekatan partisipatif dalam

pengambilan keputusan publik , salah satu yang memiliki visibilitas terbesar - setidaknya di

India (lihat Dreze, 2000) , tetapi selain di India juga di banyak negara lain (Shah &

Thompson, 2004; Suwandi, 2001) - adalah melalui desentralisasi demokratis. Hal ini sudah

menjadi hal yang umumnya terkait dengan penyelenggaraan pemilu di tingkat lokal . Tetapi

hubungan antara desentralisasi-demokrasi dan meningkatkan partisipasi perencanaan dalam

domain publik belum didukung oleh penelitian empiris .Ada kompleksitas yang melekat

dalam hubungan antara pengambilan keputusan oleh lembaga negara yang ada , termasuk

wakil-wakil terpilih dan badan-badan pemerintah , dan pengambilan keputusan yang muncul

dari perencanaan partisipatif

8

Page 9: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Banyak politisi yang terpilih menentang kebanyakan bentuk partisipatif

pemerintahan karena mereka melihat diri mereka sebagai pengambil keputusan yang

sah ,dipilih oleh warga melalui proses demokratis , dan percaya proses partisipatif seperti

mengambil keputusan dan mengendalikan diri dari mereka (Cabannes , 2004; Etemadi ,

2004; Mitlin , 2004b). Oleh karena itu, sebagian ahli berpendapat bahwa perencanaan

partisipatif (hanya seperti tata pemerintahan yang partisipatif) adalah 'pelengkap yang

diperlukan untuk perwakilan demokrasi' (Mitlin , 2004b). Demokrasi perwakilan seringkali

gagal untuk mewakili kepentingan kelompok yang kurang kuat, terutama dalam situasi

sumber daya terbatas. Hal ini terjadi di kota – kota kecil dimana pemilu menjadi cara

mengalokasikan keuntungan negara yang terbatas daripada membuat pilihan-pilihan politik.

Di Amerika Utara, Eropa dan Australia sudah ada pengakuan kebutuhan untuk menanamkan

demokrasi perwakilan dengan demokrasi partisipatif dan juga untuk memperluas demokrasi

partisipatif (misalnya dengan mendanai kelompok-kelompok non - hukum, mengirimkan

delegasi ke lingkungan / kelompok masyarakat, referendum, suara warga, dll) . Kebutuhan ini

belum diakui oleh negara – negara berkembang.

Penelitian ini berkaitan dengan proses komunikatif kebijakan dan pengambilan

keputusan. Saya mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi di kantor perencanaan Kolkata

dengan menggunakan konsep Habermasian perencanaan komunikatif (Habermas , 1984).

‘Saya sangat tertarik pada apa yang Jean Hillier sebutkan yiatu bagaimana dan mengapa

terdapat masalah dalam pengambilan keputusan kebijakan’. Siapa yang benar-benar

mengambil keputusan? Mengapa proses tersebut digunakan? Hubungan antara berbagai

peserta serta apa daya yang dapat terungkap? (Hillier , 2002, hal . 3)

Saya Ashamedly mengakui telah terinspirasi oleh karya John Forester ,Jean

Hillier , Patsy Healey , dan Judith Innes pada khususnya. Saya setuju dengan Forester (1999,

hal . 3) tentang pentingnya perencana berurusan dengan fakta yang lebih jauh dari perkiraan.

Jika perencanaan adalah untuk dianggap serius di masa depan, perencana harus

menyesuaikan pola pikir mereka dengan perubahan kebutuhan dan tantangan masyarakat

demokratis (Albrecht & Denayer , 2001 , hal. 371). Dengan meningkatnya sejumlah kota di

dunia yang bergerak menuju bentuk demokrasi partisipatif maka ini adalah tantangan yang

lebih besar bagi perencana. Seperti yang Young katakan (2000, hal . 4) bagaimanapun, 'kami

telah tiba di momen bersejarah ketika hampir semua orang menikmati demokrasi, tetapi

tampaknya beberapa percaya bahwa pemerintahan demokratis bisa melakukan apa saja.

9

Page 10: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Proses demokrasi tampaknya melumpuhkan pembuatan kebijakan' [ penekanan dalam aslinya

] .

Dalam keadaan seperti itu, tidak mengherankan bahwa perencana akan menolak

bekerja dengan pemerintah. Beberapa perencana mungkin senang berbicara dan

menyembunyikan informasi sehingga mereka tampaknya akan melakukan sesuatu tanpa

benar-benar mempertaruhkan sesuatu. Dalam kebanyakan kasus pengukuran kinerja

perencana tergantung pada meminimalkan kesalahan dengan menghindari mengambil

tanggung jawab. Meskipun menekankan pada peran perencana dalam proses perencanaan,

akhir-akhir ini telah terjadi meningkatnya kesadaran bahwa ada beberapa aktor yang

seharusnya juga ikut terlibat. Penelitian ini menggunakan kerangka kerja tata kelola

perkotaan (Pierre ,2005, hal . 16) untuk mengurai aktor dalam proses perencanaan kota

metropolitan besar karena konteks sumber daya yang terbatas. kerangka ini memungkinkan

kita untuk mengamati semua aktor (negara dan non-negara) dalam pengelolaan perkotaan

secara holistik dan tidak dipisahkan dari satu sama lain. (Untuk lebih detail literatur pada

aktor dan proses melalui daerah perkotaan diatur , lihat Penjual , 2002a , hal. 6) .

Ada penelitian yang mencoba untuk membandingkan negara atau wilayah global

dalam hal struktur pemerintahan dan menggunakannya untuk menjelaskan bagaimana daerah

kekuasaan pemerintah atas terhadap daerah lokal. Pengaruh pemerintah dan politik

mencakup berbagai kebijakan dan lembaga biasanya tertanam di tingkat pemerintahan yang

lebih tinggi. Di samping klasifikasi struktur teritorial seperti federalisme dan kesatuan

pemerintah di tingkat yang lebih tinggi dari negara, baru-baru ini didirikan tipologi

pemerintah daerah dan politik yang bertujuan memberikan bagian dari dasar untuk

memahami bagaimana pengaruh ini bervariasi .

Dalam literatur pemerintahan perkotaan ada sarjana yang telah datang dengan

model untuk menggambarkan hubungan antara berbagai aktor yang secara aktif mengambil

bagian dalam atau mempengaruhi perencanaan kota dan proses pengambilan keputusan

(Lihat Gambar . 1.1 untuk kategorisasi pelaku ini dalam Negara - Pasar – Sipil Masyarakat

framework) . Selain para pelaku ini, ada agen eksternal 'dari perubahan' (seperti lembaga

bantuan bilateral dan multilateral internasional) yang kadang-kadang dapat memainkan peran

penting dalam mengubah keseimbangan kekuasaan dalam struktur pengambilan keputusan

lokal. Meskipun mereka berfungsi secara topdown, ketika mereka memilih untuk bekerja

secara langsung dengan kelompok-kelompok akar rumput atau mempromosikan kelompok-

10

Page 11: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

kelompok di dalam struktur formal pemerintahan lokal, mereka melakukan perubahan positif

terhadap pendekatan bottom-up untuk pengambilan keputusan publik.

Dalam kasus Kolkata, seperti yang akan kita lihat dalam bab-bab selanjutnya,

aktor baru adalah DFID, yang mencoba untuk mengubah struktur yang ada pengambilan

keputusan metropolitan. Hal ini dibahas secara lebih rinci dalam Bab 5 .

1.2.3 Desentralisasi, partisipasi, dan demokrasi

Desentralisasi yang dibahas oleh penulis dalam buku ini adalah desentralisasi

pengambilan keputusan.

(Devas, 2004)

Banyak pendapat yang meyakini bahawa desentralisasi menawarkan potensi

pemerintahan yang lebih baik. World Bank mengakui perlunya keterlibatan dalam

pembangunan di tingkat supra maupun sub-nasional terutama daerah serta menganjurkan

desentralisasi pemerintah agar pengambilan keputusan lebih dekat kepada masyarakat.

11

Page 12: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Desentralisasi tersebut juga diyakini mampu memelihara pemerintahan yang responsif dan

efisien (World Bank,2000).

Contoh desentralisasi yang terkenal berasal dari Cina. Desentralisasi tersebut

memberikan keuntungan ekonomi bagi Cina. Desentralisasi tersebut memiliki konsekuensi :

- Mendorong kompetisi di pemerintah, pekerja, dan pemilik modal asing, yang misalnya

mendorong pembelajaran bagi pemerintah daerah dalam hal regulasi.

- Desentralisasi memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan ekonomi.

- Desentralisasi memberi perlindungan terhadap gangguan politik oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah dan perusahaan (Montinola et al., 1995).

Wacana politik dan akademis terbaru tentang pewarisan kekuasaan cenderung

menekankan keuntungan ekonomi dari pengalihan kekuasaan nasional (pusat) ke

daerah. Keuntungan ekonomi itu muncul melalui kemampuan pemerintahan yg diberikan

untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan lokal, menghasilkan inovasi dalam

pemberian pelayanan melalui persaingan antar-wilayah, memungkinkan pembagian biaya

dengan masyarakat setempat dalam penyampaian layanan, serta mendorong partisipasi dan

akuntabilitas dengan mengurangi jarak antara penguasa dan masyarakat. Beberapa hal yang

memberatkan dari pewarisan kekuasaan, yaitu :

- Ada banyak kekuatan yang menyertai pewarisan kekuasaan yang bekerja secara

berlawanan.

- Sistem pemerintahan yang dilimpahkan dapat membawa dampak negatif dalam

efisiensi dan keadilan ekonomi nasional

(Rodriguez-Pose & Gill, 2005)

Desentralisasi dianggap sebagai ‘pedang bermata dua’ karena dapat memperluas

kontrol negara atas rakyat menyertai desentralisasi yang dapat membantu kontrol rakyat atas

negara dan kegiatannya (Webster, 1992, hal. 130).

Kesimpulannya, dengan membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat,

desentralisasi telah memperbesar peluang untuk bermusyawarah dan berpartisipasi serta

memberikan masyarakat hak-hak dan tanggung jawab yang lebih nyata dan ‘rasa dekat

dengan rumah’ dalam proses politik.

12

Page 13: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Namun penelitian oleh Merilee Grindle tentang efek desentralisasi di Meksiko

sejak 1980-an menyatakan bahwa efek dari kebijakan desentralisasi terhadap kinerja

pemerintah daerah bervariasi dari kota ke kota. Grindle menyimpulkan bahwa kinerja

pemerintah adalah konsekuensi dari kombinasi faktor-faktor :

- Peluang dan sumber daya baru yang dibuat setelah desentralisasi,

- Dampak motivasi kepemimpinan dan pilihan pada tingkat daerah

- Pengaruh sejarah masyarakat

- Efek dari lembaga yang membatasi dan memfasilitasi inovasi (Grindle , 2007)

Berdasar penelitian Grindle, dapat disimpulkan bahwa dampak desentralisasi

adalah nyata dalam masyarakat penelitian. Penulis menggunakan kata 'desentralisasi' yang

berpihak pada kebijakan yang memungkinkan pengambilan keputusan dari bawah ke atas

(bottom-up) dengan penggabungan rencana dari tingkat terendah.

Menurut definisi, dalam pemerintahan desentralisasi, tidak ada satu tingkat dalam

hirarki pemerintahan yang dapat mengklaim untuk menjadi tingkat yang paling tepat bagi

semua pengambilan keputusan publik. Penggabungan keputusan dilakukan oleh unit-unit

penyusun dari tingkat yang terendah.

Karya-karya dari Flyvbjerg, Forester, Hall, Hillier, Healey, dan Innes telah

menguji batas-batas perencanaan dengan politik. Pengaruh kekuasaan dalam proses

'menggunakan pengetahuan teknis dalam pengambilan keputusan publik' (definisi

perencanaan Friedmann) telah dipelajari secara panjang lebar. Penelitian tersebut berfokus

pada satu aspek dari kekuasaan – yaitu bagaimana kekuasaan yang dipegang oleh partai

politik mempengaruhi pengambilan keputusan dan cara yang mungkin untuk mengatasi

kekurangan dari akuntabilitas.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kajian teori perencanaan dari subab sebelumnya, penulis menyimpulkan

bahwa desentralisasi demokratis seharusnya merupakan hasil dari proses inklusif dari

perencanaan partisipatori yang bersifat bottom-up dan penulisn menyampaikan beberapa

pertanyaan berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Kalkuta yaitu :

Apa yang menyebabkan perbedaan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemutusan

kebijakan publik pada tingkat lokal

Bagaimana pejabat terpilih diberbagai tingkat pemerintahan, perencana profesional,

dan interaksi publik, dan pemain mana yang paling dominan dalam proses

13

Page 14: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

perencanaan metropolitan

Seberapa efektifkah strategi dari desentralisasi demokratid yang terjadi di Kolkata

menjadi lebih partisipatif

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengerti konteks politik sebenarnya yang

dapat mensuport perencanaan partisipatori. Konstitusi pada amandemen UU yang ke 74

menyatakan bahwa pemerintah negara bagian dan wilayah persatuan akan mengambil

tindakan untuk meloloskan undang-undang baru atau merevisi UU yang ada pada 31 Mei

1994 untuk membawa mereka sesuai dengan ketentuan konstitusi untuk melakukan

desentralisasi demokratis seperti yang diusulkan dalam UU itu sendiri. Tugas menyesuaikan

legislasi sejak itu telah selesai. Pada tahap ini, beberapa pertanyaan penting yang muncul dari

kota desentralisasi meliputi:

Apakah ketentuan dalam amandeman UU yang ke-74 memadai untuk mencapai

tujuan? 

Apakah undang-undang menyediakan ukuran yang memadai untuk menghormati

tindakan perubahan semangat?

Apa yang harus dilakukan lebih lanjut untuk meneruskan proses desentralisasi? 

Apa itu metode studi kasus?

Metode penelitian yang dipilih berdasarkan pertanyaan penelitian dan juga pada

apa yang praktis. Pertanyaan yang diperlukan yaitu mengenai komparatif analisis kasus

antara Kolkata dan beberapa kota lainnya. Menurut “Gissendanner , 2003, hal . 663“

menyebutkan bahwa penelitian tata kelola perkotaan akan mendapat manfaat besar dari

penggunaan deskriptif yang lebih luas, serta metode dan teknik yang menghasilkan hasil yang

mudah untuk membandingkan seluruh kota. Dengan demikian akan memperluas dasar untuk

membangun teori induktif.

Pengumpulan data

Selain review selektif literatur perencanaan dan wawancara dengan

aktor politik utama, penelitian ini bergantung pada analisis studi kasus. Materi empiris untuk

studi kasus ini datang di bagian dari pengamatan langsung, dari wawancara dengan aktor

yang terlibat dalam proses perencanaan, dan dari membaca dokumen, termasuk laporan

14

Page 15: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

penelitian, risalah rapat, dan memo resmi yang diproduksi oleh lembaga perencanaan dan

organisasi-organisasi lain serta individu yang terlibat dan pemerintah negara bagian.

Artikel dari surat kabar, majalah lokal dan nasional juga digunakan untuk mendukung

beberapa informasi yang dikumpulkan dari sumber lain. Data yang dikumpulkan yaitu data

primer dan sekunder. Pada tahap awal penelitian, sebelum pergi ke lapangan, dilakukan

pengumpulan data akademik dan non – akademik literatur yang berhubungan dengan isu-isu

perkotaan yang akan direncankan. (sebagian besar dalam bentuk rencana, laporan, artikel

surat kabar, dll). Dalam beberapa hal menggambarkan metodologi yang mirip dengan

grounded theory.

Grounded theory lebih digunakan sebagai cara menghasilkan teori melalui

penelitian data daripada ide pengujian yang dirumuskan di muka pengumpulan data dan

analisis. Proses menghasilkan ide-ide melalui data membutuhkan pendekatan inovatif untuk

seleksi data. Alih-alih mengidentifikasi sampel di awal, grounded theory melibatkan proses

'sampling teoritis' situs berturut-turut dan sumber, dipilih untuk menguji atau memperbaiki

ide-ide baru yang muncul dari data. Situs dan sumber dipilih secara fleksibel untuk relevansi

teoritis mereka dalam menghasilkan perbandingan dan memperpanjang atau memperbaiki

ide-ide, bukan untuk nilai representasi mereka dalam memungkinkan generalisasi dari

populasi tertentu. Proses analisis data berpusat pada 'coding' data ke dalam kategori untuk

tujuan perbandingan. Melalui 'konstan perbandingan,' hubungan dan sifat mereka dapat

diidentifikasi dan diperbaiki.

Grounded theory menawarkan petunjuk tentang bagaimana membawa penelitian

dengan sukses. Pengumpulan data berhenti bila mencapai kategori 'teoritis saturasi', yaitu,

ketika data lebih lanjut tidak lagi meminta perbedaan baru atau perbaikan ke teori yang

muncul.

15

Page 16: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

BAB 2A. Politik Partisan

Kolkata dan sebagian Benggala Barat telah menembus angka periode kekacauan.

Partisi Bengal dan menyebabkan dua dampak besar bagi pengungsi dari Pakistan Timur

(sekarang Bangladesh) yang menambahkan tekanan pada infrastruktur yang sudah lumpuh

dari Kolkata. Keberhasilan pemilu awal CPI-M telah membesarkan popularitas kebijakan

redistribusi tanah, sebagian besar di antara kaum miskin pedesaan. Selama 28 tahun

terakhir, ia telah mengkonsolidasi basis kekuatan di seluruh negara bagian. Baik lokal

maupun media nasional ‘melaporkan’ penyimpangan pemilu di kedua kota dan dewan

legislatif negara.

Meskipun tuduhan ini tidak dapat diverifikasi secara independen, CPI-M menuduh

partai-partai oposisi justru menikmati kekerasan pemilu ini. perhatian yang lebih besar

adalah jumlah kursi. Fakta tetap bahwa salah satu pihak telah memegang kekuasaan atas

administrasi negara dalam jangka waktu yang panjang, dan status ini satu partai telah

menyebabkan negara berada di kondisi terbaik yang bisa digambarkan sebagai pseudo-

demokrasi.

Partai-partai oposisi di negara bagian sangat tidak teratur dan terpecah-belah.

Perpecahan internal antara faksi-faksi dalam partai oposisi utama dan perpecahan di antara

partai-partai oposisi yang berbeda telah membantu Left Fronts dalam pemilu. Dengan

tambahan, dimana sejumlah besar pejabat terpilih sebagai calon independen tanpa afiliasi

politik, politik electoral Kolkata sangat partisan secara alami, dengan beberapa independen

yang memenangkan pemilu.

16

Page 17: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

B. Masyarakat Sipil

Kehidupan masyarakat sipil di Bengal barat terdiri dari serikat pekerja,

perdagangan, koperasi, komunitas atau organisasi masyarakat, dan organisasi non-

pemerintah (LSM). Namun tidak semuanya tersebar di seluruh Bengal barat. Masing-

masing kelompok atau ormas atau LSM tersebut memiliki peran dalam perencanaan,

misal kelompok pemuda berada pada setiap permukiman dan beberapa kasus

penyediaan keamanan bagi orang miskin.

Mereka telah disewa oleh konsultan dalam proyek untuk meningkatkan pelayanan

di KMA (Area Metropolitan Kalkota) yang berperan sebagai potensi pada peningkatan

kualitas hidup sehingga nantinya dapat menguntungkan bagi masyarakat miskin. Masih

sedikitnya kelompok yang ikut dalam pengambilan keputusan dan masih adanya

komunitas yang terkait dengan partai politik membuat proyek ini masih belum sukses

untuk dijalankan.

C. Socio-economic context

Kolkata merupakan salah satu kota dengan populasi terbesar dan juga merupakan

salah satu kota termiskin di India dengan infrastruktur publik yang kurang dan angka

kemiskinan yang terus bertambah (Chakravorty, 2000). Ada beberapa bagian kota yang

dapat dibedakan berdasarkan profil ekonomi dan demografinya (Fig.2.1)

17

Page 18: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Urban demographic trends in India and West Bengal

Berdasarkan sensus tahun 2001, sekitar 285 juta orang di India atau sekitar 28

% hidup di area perkotaan. Berdasarkan sensus tahun 1991 ada sekitar 23 kota terdiri

dari 32.5 % dari total populasi perkotaan. Beberapa kota metropolitan di India

mempunyai tingkat kepadatan populasi tertinggi di dunia (Kundu, 2003).

Daerah perkotaan memiliki daya tarik bagi jutaan migran dari penduduk

pedesaan, sehingga pertumbuhan kota terutama di daerah metropolitan menjadi

18

Page 19: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

tereksploitasi dan menjadi kacau. Akibatnya pengangguran meningkat, kekumuhan,

polusi hingga menurunnya kualitas pelayanan publik.

Pada tingkat makro, perekonomian metropolitan Kolkata, India mengalami

penurunan, banyak situs industri yang terlantar. Hal ini tercermin dalam pertumbuhan

penduduk lambat, tingkat pengangguran yang tinggi dan ketergantungan pada sektor

informal, orang miskin bersaing untuk bertahan hidup sebagai pedagang asongan,

penarik becak atau pembantu rumah tangga. Pengangguran pemuda yang tinggi dan

banyak yang akhirnya berpartisipasi dalam kegiatan antisosial-perjudian, menggunakan

obat-obatan atau minuman keras terlarang, dan prostitusi. Banyak rumah tangga miskin

tergantung pada pendapatan perempuan.

Sektor yang paling dinamis adalah sektor informal kecil yang sering diletakkan

di lingkungan miskin/kumuh namun menyediakan sumber penting pekerjaan.

Kegiatan-kegiatan ini berbahaya dan kondisi kerja yang buruk, dengan upah rendah,

jam kerja yang tinggi, ketergantungan, sehingga perhatian untuk kesehatan dan

keselamatan pekerja terabaikan dan sering menggunakan pekerja anak. jika industri

tradisional tutup dan memberhentikan pekerja mereka, kehidupan orang miskin dan

kelas menengah bawah menjadi semakin kurang dan kurang aman.

Pemilik toko kelontong : seringkali dengan modal sedikit, menjual pakaian/kain bekas kualitas rendah untuk kelas menengah kebawah di pasar atau pinggir jalan Kolkalata.

Penjual Keliling : menjual eceran barang domestic seperti sayuran maupun warung-warung kopi di sisi jalan.

Penarik becak : sebagai pekerjaan full-time atau part-time, biasanya melibatkan pembayaran sewa atau potongan keuntungan kepada pemilik asli becak tersebut.

Pekerja Domestik : ribuan orang miskin, wanita penganggurang yg datang kekota setiap hari dengan kereta.

Memancing : pekerjaan untuk komunitas kedua sisi sungai ini mulai menurun. Nelayan yang lebih berhasil pindah ke pulau-pulau dengan pengembang biakan ikan yang lebih teratur.

Penyapu jalan & pemulung : rumah tangga miskin mulai dari pemungut sampah hingga penyapu kantong plastic, kertas, botol, dan lain-lain yang menjual hasil pungutan ke pembeli, khususnya wanita lanjut usia.

Kemiskinan di KMA: Garis besar

Sulit untuk mengukur kemiskinan secara tepat di KMA. Survey SUDA tentang Below Poverty Line(BPL), rumah-rumah tangga dibawah garis kemiskinan, yaitu sekitar 425,000 BPL yang berlokasi diluar area Kolkata. Dengan rata-rata 5-6 orang per rumah

19

Page 20: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

tangga, 30% dari total populasi memiliki pendapatan yang tidak dapat mencukupi tiap-tiap rumah tangga.

West Bengal telah berhasil mengurangi kemiskinan dari 55% menjadi 36%(tahun 1993-1994). Meskipun begitu, kemiskinan kota telah meningkat secara absolute. Definisi kemiskinan disini adalah pendapatan yang berada dibawah garis kemiskinan/BPL.

Di tahun 1997, ULB diharapkan dapat melakukan survey untuk mengidentifikasi populasi dan tingkat kemisikinan didalamnya. Prioritas survey tersebut ditentukan berdasarkan 7 kriteria non-ekonomi terkait kondisi kehidupan, akses persediaan air dan sanitasi, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status anak-anak. Namun, akurasi dari survey tersebut masih dipertanyakan. Kemiskinan kota di karakterisasi dengan linguistic dan perbedaan etnis yang direfleksikan dari proses migrasi historis dengan KMA. Mereka termasuk pengungsi dari Bangladesh, migrant dari area rural West Bengal dan sekitar –khususnya Uttar Pradesh dan Bihar—dan grup minoritas, khususnya kaum Muslim yang telah berasosiasi dengan Kolkata dari generasi ke generasi.

Situasi kemiskinan dikarakterkan oleh pengangguran dan rendahnya pendapatan, menurunnya kualitas lingkungan, rendahnya pelayanan dasar dan berbagai macam derajat ekslusi sosial.Karakter suatu tingkat kemiskinan ditentukan oleh masalah pengangguran, pendapatan rendah, lingkungan buruk, ketidak cukupan fasilitas dasar.

Berdasarkan United Central Refugee Council. 10 % dari total permukiman yang paling miskin memiliki masalah hak milik tanah. Permukiman ini dihuni oleh orang-orang yang tidak memiliki tujuan dan orang yang tidak dapat membayar sewa rumah. Termasuk mereka yang sebagia besar merupakan orangtua single, janda, atau wanita yang memiliki suami sakit.

Dalam sejarahnya banyak penduduk miskin tumbuh sebagai orang rantauan yang mencari pekerjaan sebagai buruh dari luar kota. Populasi di KMA town juga membengkak dikarenakan adanya arus pengungsi di tahun 1947 sampai 1971 di akibatkan perang pada timur Pakistan. Para pengungsi menetap di tanah Negara, swasta, rel kereta, hingga daerah yang berbahaya untuk ditinggali.

Disamping keberagaman penduduk dengan pendapatan rendah dalam kota KMA, masih dapat di indentifikasi dengan membuat tipologi, yaitu:

a. Peri-urban settlement : berada dipinggiran kota dengan karakter beragam, populasi heterogen dengan kepemilikan tanah pribadi. Biasanya ada di daerah yang kurang menguntungkan.

b. Refugees settlement : karakter sama dengan penduduk pinggiran kota, namun tidak memiliki hak kepemilikan tanah karena mereka hanya meminjam tempat untuk mengungsi dari ganggua daerah asal.

20

Page 21: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

c. Industrial large density settlement : penduduk yang tinggal di pinggiran sungai Hooghly yang merupakan para pekerja. Mereka menyewa rumah dengan kualitas buruk dan terus berkembang di bantaran sungai.

d. Squatter settlement : merupakan neighborhood termiskin dengan situasi permukiman yang tidak menentu yang berada di tanah pemerintah maupun swasta.

e. Pavement dweller : berada pada area kota yang dinamis dan jumlahnya besar disekitar howrah station.

D. Lembaga Perencanaan India

Amandemen Konstitusi Undang-Undang ke-74 pada tahun 1992 berperan untuk:

a. Pemilihan dewan kota dilakukan secara rutin dan adil oleh Komisi Pemilihan Negara

yang disahkan menurut UU.

b. Membatasi kekuasaan negara untuk bertindak jauh terhadap proses pemilihan

pemerintah kota yang demokratis.

c. Wakil rakyat yang memadahi bagi pihak-pihak yang lemah serta para wanita dalam

tubuh pemerintah kota melalui kuota kursi.

d. Konstitusi dari lingkungan komite dalam dewan kota dengan populasi 300ribu jiwa atau

lebih, tanpa berpatok pada komite seperti di kota-kota yang memiliki jumlah penduduk

lebih sedikit, untuk menjamin partisipasi masyarakat dalam urusan sipil mulai dari akar

rumput.

e. Spesifikasi oleh hukum, melalui badan legislatif Negara, tanggung jawab kekuasaan dan

peran untuk dipercayakan kepada dewan kota dan komite lingkungan.

f. Hubungan antara pemerintah Negara bagian dengan badan-badan lokal perkotaan yaitu

pada pijakan perusahaan berhubungan pajak derah dan bagi hasil antara pemerintah

negara bagian dan pemerintah lokal melalui hukum komisi keuangan negara, untuk

kemudian dievaluasi setiap 5 tahun

g. Keterlibatan wakil-wakil rakyat terpilih dalam perencanaan di level distrik dan

metropolitan.

Lembaga perencanan di India begitu kompleks dan biasanya memiliki wilayah

hukum yang saling bentrok satu sama lain. Fungsi dari Komisi Perencanaan Nasional

dalam level nasional adalah yang paling menonjol; termasuk mempersiapkan model

perencanaan untuk alokasi sumber daya nasional antara kementrian-kementrian dan

negara-negara yang berbeda. Pekerjaan ini sering dilihat tidak relevan oleh sebagian

orang, termasuk dalam komisi.

21

Page 22: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Komisi Perencanaan juga telah diserang karena tidak menyadari bahwa

konstitusi telah memandatkan perencanaan di tingkat distrik dan kota besar disiapkan

oleh Komisi Perencanaan Tingkat Distrik dan Komisi Perencanaan Tingkat Kota Besar

masing-masing, yang merupakan entitas konstitusional. Hal ini dipandang oleh banyak

orang sebagai pelanggaran atas konstitusi oleh komisi perencanaan, yang tidak

mengakui perencanaan distrik dan kota besar dan tidak pula mencoba untuk

memasukkan mereka ke dalam perencanaan di tingkat pusat atau negara.

Fungsi perencanaan pada tingkat sub nasional telah ditugaskan kepada lembaga

yang berbeda untuk tingkat perencanaan yang berbeda pula. Badan perencanaan untuk

tingkat negara telah ditetapkan oleh UU. Badan ini tidak memiliki kekuasaan hukum

apapun. Rencana 5 tahunan mengacu pada perumusan rencana nasional, tidak hanya

kontennya tetapi juga metode serta teknik penyusunannya. Tugas Badan Perencanaan

disini adalah untuk mengalokasikan sumber daya yang ada di India dan kemudian

didistribusikan ke daerah-daerah. Dewan ini juga memiliki masalah yang sama dengan

yang dihadapi Komisi Perencanaan yang telah dibahas sebelumnya. Mereka tidak

mengurusi masalah tata ruang dalam konteks sektoral seperti perumahan,

infrastruktur, guna lahan, dan pembangunan pedesaan serta perkotaan. Rencana di

tingkat negara secara teoritis disiapkan secara independen dengan mengabaikan draft

perencanaan di tingkat distrik. Hal ini tentu menimbulkan kecanggungan dalam

pembangunan Bottom-up.

Rencana lima tahunan baik dalam (level nasional maupun negara) masih sedikit

direncanakan untuk kota. 85% masyarakat India tinggal di desa menjadikan kemiskinan

di pedesaan dipandang sebagai tantangan utama bagi pemimpin politik, ekonomi serta

perencana. Kesuksesan rencana lima-tahunan difokuskan pada pedesaan dan dalam

jumlah besar dialokasikan untuk pertanian, pembangunan pedesaan, dan kekeringan,

kelaparan.

Namun masalah perkotaan India hampir tidak diakui, dan hal ini terutama berlaku

untuk Kolkata. Communist Party of India-Marxist (CPI-M), pemerintah di negara bagian

Bengal Barat memberikan perhatian yang relatif sedikit ke Kolkata. Baik ideologi

maupun politik memusatkan perhatiaannya pada pedesaan di Bengal Barat.

22

Page 23: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Akibat urbanisasi (dimana masyarakat perkotaan sebanyak 300juta jiwa), pola

pikir mengenai prioritas kepada daerah pedesaan telah berubah. Konstitusi India

mempelajari sejauh mana sektor tertentu yang menjadi perhatian jatuh dalam domain

legislatif dari pemerintah pusat India. Sektor yang jatuh di bawah negara seperti

perumahan dan pembangunan perkotaan, baik pemerintah pusat dan negara memiliki

yuridiksi dalam pendidikan, hukum pidana, ekonomi dan perencanaan sosial.

Meskipun kebijakan menunjukan progresif di masa lalu, banyak pemerintah

negara India terus menerapkan kebijakan pembangunan perkotaan dengan sedikit atau

tanpa kepedulian terhadap kaum miskin perkotaan dan politik lain menjadikan bagian

dari masyarakat perkotaan terpinggirkan. Pelanggaran janji polling dan perjanjian-

perjanjian internasional yang India tandatangani menjadikan banyak kampung

dihancurkan, tidak hanya di Maharashtra (ibukota Mumbai) namun juga di Kolkata.

Tindakan oleh pemerintah ini menimbulkan keraguan mendasar tentang

kesehatan demokrasi dan menggarisbawahi kerentanan masyarakat miskin dimana ada

konsensus di partai politik, bagian-bagian penting dari media, serta industri dan

perdagangan.

E. Institusi perencanaan di Bengal Barat

Pengalaman perencanaan colonial Kolkata penting dalam beberapa alasan.

Pertama, hal itu termasuk upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya pada transfer

teknologi perencanaan barat ke kota dunia ketiga. Kedua, transfer ini mewakili

'pergeseran paradigma' dari rencana induk fisik dari pemerintahan kolonial Inggris

terhadap kinerja dan pendekatan perencanaan strategis yang dipengaruhi oleh ilmu-

ilmu sosial kontemporer. Ketiga, hal ini berfungsi sebagai contoh bagaimana gambaran

dari masa depan kota ditarik oleh kekuatan politik dan ekonomi.

Sejak kepergian ahli asing dari Kolkata, aparat kelembagaan untuk perencanaan

telah mengalami beberapa mutasi yang telah disesuaikan dengan keahlian lokal, politik

dan birokrasi. Rencana pendekatan induk Inggris yang masih populer di sebagian besar

dunia, dijatuhkan. Konsep Basic Development Plan (BDP) diajukan sebagai gantinya.

Rencana tersebut dipandang lebih menyeluruh dan strategis dalam lingkup fisik master

plan. BDP adalah pembangunan ekonomi dengan menekankan dalam konteks regional.

23

Page 24: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Dokumen perencanaan mengusulkan agar dipisahkan, rencana rinci untuk air dan

sanitasi, dan untuk lalu lintas dan transportasi dilakukan dalam semua kerangka BDP,

serta menggariskan arah yang diinginkan pertumbuhan. Rencana dimaksudkan secara

komprehensif, mencakup semua aspek kehidupan perkotaan termasuk kesehatan,

pendidikan, rekreasi dan kecantikan. Kebijakan latihan perencanaan perkotaan lingkup

seperti itu pernah dicoba sebelumnya di India. Namun, persyaratan data sangat besar,

sementara sumber daya kurang.

Dokumen BDP akhirnya terbit pada Desember tahun 1966 untuk periode 20

tahun yaitu dari 1966-1986. BDP adalah perspektif pertama rencana kota Kolkata,

meskipun tidak dimaksudkan untuk menjadi proyek tertentu namun, kini BDP masuk

sebagai daftar sebuah proyek yang sedang dipertimbangkan dan menjadi esensi utama

dari BDP itu sendiri. Seiring berjalannya waktu BDP dikritik sebagai rancana yang

sangat baik namun kurang tepat dalam pelaksanaanya untuk mendapatkan keuntungan

yang besar. BDP juga dikritik lalai dalam mendorong partisipasi lembaga kerja

masyarakat setempat dan pemerintah daerah, sektor informal juuga dihiraukan dalam

perspektif BDP padahal sektor informal sangat dominan di Kolkata.

Pada akhir tahun 1960an Bengal Barat diguncang oleh ketidak stabilan politik

yang mengakibatkan proyek BDP terpinggirkan. Setelah konflik ini meluas hingga

mengakibatkan kekerasan akhirnya pemerintah nasional turun tangan dengan

pemikiran yang dibutuhkan Kolkata dan Bengal Barat adalah suntikan dana yang

banyak untuk memperbaiki kondisi fisik, menciptakan lapangan kerja, dan pada

akhirnya dapat menyelsaikan konflik.

Pemerintah daerah mulai diberikan anggaran dana untuk merencanakan sebuah

aksi untuk jangka waktu 5 tahun dengan diberikan beberapa pedoman ( seperti

mendorong penggunaan teknologi yang tersedia secara lokal, dan menekankan sanitasi

dan air bersih , keuangan disiplin , dan pendapatan target kinerja dengan insentif dan

hukuman melekat pada pendanaan berdasarkan apakah target tersebut terpenuhi ). Hal

ini dilakuakan karena perencanaan terpusat yang dipraktekan KMDA sebelumnya

terbukti gagal pada kasus-kasus yang menjadi kebutuhan dan prioritas di tingkat lokal

yang seharusnya.

24

Page 25: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Badan Perencanaan Negara lebih mengutamakan menangani isu-is di tingkat

nasional. Pemerintah Bengal timur melakukan desentralisasi dengan harapan sebagai

berikut :

a. Menciptakan struktur empat lapis ( Thomas Isaac & Franke , 2002, hal . 15 )

b. melaksanakan reformasi tanah di pedesaan daerah sehingga dapat meningkatkan

kekuatan elektoral .

Pada dasarnya ada dua kategori rencana, dibedakan dari segi tujuan mereka secara

keseluruhan. Perencanaan dan Pembangunan didefinisikan oleh Kota Benggala Barat

dan Negara sebagai Pemanfaatan Lahan dan rencana Pengendalian Pembangunan.

Rencana ini berisi pernyataan tertulis yang merumuskan kebijakan dan proposal

umum termasuk peta dari Perencanaan Authority (KMDA) dalam hal pengembangan

dan penggunaan umum lahan di daerah itu terutama menyangkut dengan langkah-

langkah untuk perbaikan fisik lingkungan .

Kolkata Metropolitan Area, KMDA telah membuat otoritas perencanaan hukum

sesuai Kota Benggala Barat dan Negara (Perencanaan dan Pengembangan). Undang-

undang ini menetapkan prosedur rinci untuk penerbitan informasi. Dalam beberapa

kasus pembangunan atau proyek infrastruktur dalam KMA mungkin melibatkan

tindakan pada bagian dari beberapa departemen tingkat negara.

F. Perencanaan Metropolitan

Kisah amandemen konstitusi ke-73 dan ke-74 tahun 1992 menandai adanya evolusi

perencanaan di tingkat lokal dan pengambilan keputusan di India. Untuk pertama

kalinya institusi panchayati raj (dewan desa) di pedesaan India, kota dan perusahaan

kota di perkotaan diberikan status dalam dua amandemen. Oleh karena itu mereka

diberikan status ‘pemerintah’ di tingkat lokal, seperti pemerintah serikat buruh di

tingkat nasional dan pemerintah negara bagian di tingkat negara.

Perkembangan status konstitusional “perencanaan” di bagi menjadi menjadi 3

tingkatan yaitu: (1) tingkat desa dan kota, (2) tingkat kabupaten dan (3) tingkat

metropolitan. Komisi perencanaan nasional di tingkat nasional didirikan oleh eksekutif

fiat dan tidak memiliki status konstitusional. Tapi perencanaan ditingkat lokal dan

kabupaten (regional) diberikan status konstitusional yang menggarisbawahi

25

Page 26: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

pentingnya kelas politik nasional yang di wadahi dalam bentuk desentralisasi

(Bhattacharya, 1998). Maksud dari amandemen konstitusi tersebut adalah untuk

mendorong legislatif negara untuk membuat undang-undang yang akan mengarah pada

devolusi kekuasaan dan tanggung jawab ke kota sehubungan dengan penyusunan

rencana pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Nilai dari komite lingkungan, bagaimanapun juga diterima dan sebagian besar

komite bertemu dengan masyarakat secara terbuka dalam hitungan bulanan dan

tahunan. Keanggotaan dalam komite lingkungan ditentukan oleh panitia aturan

lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah Barat Bengal. Latar belakang dan berbagai

anggota bervariasi dari lingkungan tergantung pada faktor-faktor seperti anggota

dewan dan ketua. Di daerah yang tergolong miskin terdapat representasi yang lebih

besar miskin dan para penganggur. Beberapa anggota dewan menempatkan penekanan

pasa representasi dari mereka yang hidup di daerah tersebut dan beberapa yang

lainnya memastikan bahwa komite harus memiliki orang-orang dari berbagai latar

belakang supaya memiliki keahlian yang berbeda-beda.

Representasi dari kalangan miskin dan integrasi dari SJSRY dengan komite

perencana harus ditengahi oleh anggota dewan dikarenakan secara umum anggota

komite SJSRY dan pekerja IPP VIII tidak dipresentasikan di hadapan komite. Agenda

tentang kemiskinan terkadang lebih terintegrasi dengan kerja dari komite.

Komite mempersiapkan rencana tahunan untuk memprioritaskan kebutuhan

mereka termasuk kebutuhan infrastruktur skala kecil secara mendasar, rencana yang

dibuat umumnya berjangka pendek dan lebih kepada daftar keinginan dari kebutuhan-

kebutuhan dan biaya yang disiapkan dengan masukan dari sedikit atau tidak ada

teknisi. Proses perencanaan lemah karena beberapa alasan yaitu:

a. rencana berjangka pendek dengan fokus pada skala kecil tanpa

pandangan yang terintegrasi

b. mekanisme untuk konsultasi publik terbatas

c. perencanaan lokal ditangani dengan bsis informasi yang terbatas dan

hanya sedikit informasi tentang masalah yang berhubungan dengan

kemiskinan atau terintegrasi dengan kebutuhan identifikasi para level

dari SJSRY

26

Page 27: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Member komite umumnya mengenali kebutuhan dari pengetahuan dasar mereka.

Mekanisme konsultatif formal tidak terlaksana dengan baik. 

Organisasi perburuhan, koperasi dan unit kegiatan lain yang berorientasi pada

kepentingan rakyat miskin sudah ada hampir di setiap kawasan di kota Kolkata.

Berbagai kalangan masyarakat pun antusias meramaikan organisasi ini, baik dari

masyarakat miskin sendiri maupun dari kalangan pemerintahan. Namun keterwakilan

masyarakat miskin dalam hal ini masih sangat dipertanyakan. Kesehteraan para buruh

masih jauh dari baik, mengingat gaji para CO dan MPS berkisar antara 2000Rs – 4000Rs

yang mana setara dengan gaji pensiunan dengan biaya transportasi (terkadang sangat

jauh) termasuk didalamnya.

27

Page 28: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

BAB 3

Pemerintahan di Kalkota mengambil kebijakan desentralisasi yang

lebih dipandang sebagai demokrasi/perwakilan lokal. Sejak India

merdeka , telah terjadi bias pedesaan sistematis tidak hanya di Benggala

Barat tetapi di seluruh India . Pada saat kemerdekaan 85 persen

penduduk India tinggal di daerah pedesaan . Kemiskinan di pedesaan

dipandang sebagai tantangan yang lebih besar bagi para pemimpin politik

dan ekonom . Masalah di perkotaan India hampir tidak diakui ( Burra ,

2005 , hal. 68 ) .

Sistem administrasi negara setelah kemerdekaan dirancang dengan

populasi besar pedesaan dengan sangat sedikit perhatian yang diberikan

kepada perkotaan administrasi. Di Bengal Barat khususnya eksperimen

dengan desentralisasi dimulai pada tahun 1960, dipimpin Amerika koalisi

Barisan yang mencoba untuk menerapkan kebijakan skala besar distribusi

ulang lahan pertanian di daerah pedesaan . benih untuk administrasi

desentralisasi telah menabur . Setelah CPI - M kembali berkuasa pada

tahun 1977 , terutama karena dukungan yang diterima dari masyarakat

miskin pedesaan, memulai desentralisasi yang lebih besar dengan fokus

pada penguatan basis dukungan pedesaan.

Proses desentralisasi di West Bengal terjadi bukan karena

direncanakan tetapi dengan terjadi begitu saja dimulai dengan praktek di

daerah pedesaan. Daerah pemerintahan yang berkaitan dengan

konsultasi untuk kebijakan publik dan perencanaan memerlukan tindakan

di tingkat kota dan sekitarnya , di mana konflik antara pendekatan

representatif dan partisipatif datang ke fokus yang lebih tajam. Ketika

lima rencana sektoral disiapkan oleh KMPC ini, harus dibuat publik

sebelum disetujui , sehingga warga negara yang bersangkutan atau

kelompok dapat berkomentar atau mengajukan keberatan. Setelah KMPC

menyetujui rencana itu akan bersifat final. KMPC mengesahkan adopsi

rencana tanpa melibatkan masyarakat umum atas dasar bahwa sudah

ditetapkannya anggota KMPC. Sebuah non-partisan organisasi masyarakat

28

Page 29: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

sipil, Asosiasi Bus dan Kereta Api Komuter , misalnya, mereka tidak

langsung diikutkan dalam penyusunan lalu lintas dan rencana sektor

transportasi di Kolkata.

Proses perencanaan KMDA yang awalnya diadopsi pada model

perencanaan komprehensif rasional di mana 'para ahli ' dipersenjatai

dengan data dan alat prediksi membuat keputusan tentang penggunaan

lahan dan infrastruktur pembangunan tanpa ( atau dengan sedikit )

partisipasi masyarakat lokal atau pengguna akhir. Mr Kalyan Roy ,

Direktur ( Keuangan Mikro ) di KMDA ada dua alasan mengapa proses ini

gagal. Pertama , gagal untuk menangkap kebutuhan dan prioritas di

tingkat lokal . Kedua , operasi dan pemeliharaan infrastruktur yang

dibangun oleh KMDA dipindahkan ke kota , tetapi mereka gagal untuk

mengambil kepemilikan ( dalam hal tanggung - jawab ) dari proyek-

proyek ini karena mereka tidak pernah menjadi bagian dari proses

perencanaan sebelumnya .

Ide ini, yang berkaitan dengan proyek pengembangan, awalnya

adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja, dan dalam

beberapa kasus, untuk mendorong pembagian biaya. Alasan ini sangat

berbeda dari pengalokasian ide pemberdayaan dan pengembangan

kapasitas yang telah diadvokasikan oleh sektor LSM. Selanjutnya hal ini

menyebabkan pengembangan dan pemberdayaan kapasitas dan

selanjutnya memungkinkan masyarakat melanjutkan fingsi biasa mereka

serta berpartisipasi dalam pembahasan proyek yang efektif.

3. Politik Partisan dan Perencanaan kota

Politik partisan dalam konteks ini membahas tentang politik partisan

studi kasus Bengal Barat (India). Jadi, Banyak pejabat di pemerintahan

Front Kiri Bengal Barat sering mengklaim bahwa itu adalah pelopor dalam

desentralisasi demokratis dan perencanaan bottom-up di India. Webster

(1992) telah mencatat kesenjangan antara retorika resmi dan beberapa

fakta di Calcutta (India) perencanaan dilakukan menggunakan metode

top-down. Telah dikemukakan juga bahwa perencanaan secara

fundamental ‘negara ap-paratus’ (negara yang menganut konsep penting

29

Page 30: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

dalam kajian budaya ) dan konsep ‘negara ap-paratus’ ini berlaku di India.

Setelah 40 tahun perkembangan organisasi postkolinial, beberapa kota

dapat direncanakan dan beraktivitas oleh gerakan kelompok dan

masyarakat dalam jumlah kecil.

Callcutta (India), meskipun budaya politik tinggi namun masayarakatnya

tidak apatis terkecuali staf sarana umum perkotaan. Mereka

beranggapan bahwa partai politik memiliki sedikit intensif untuk

mendesentralisasikan perencanaan. Dalam penelitiannya tentang

perencanaan tingkat kabupaten di Bengal Barat , Ghosh ( 1988)

menunjukkan bahwa gagasan perencanaan bottom-up bertentangan

dengan kerangka kerja politik , terlepas dari siapa yang memegang

kekuasaan. Sementara reformasi pedesaan dikejar oleh front kiri, di lain

sisi telah meningkat secara signifikan kesadaran politik dan partisipasi di

Panchayat Gram dan meningkatnya PancahayatSamiti, ketika politik

partisan masih membentuk kebijakan. Banerjee & Chakravorty, (1994)

meneliti dan menegasakan ketidakcocokan antara hirarki top-down yang

ketat dimana dimotori oleh partai-partai politik yang terorganisasi

sedangkan pendekatan bottom-up memiliki hirarki yang diusulkan oleh

konstitusi amandemen.

As Susanne Rudolph dalam catatan artikelnya mengenai masyarakat sipil

( Rudolph , 2000), tidak semua masyarakat sipil ( dalam kata-katanya , '

asosiasionalisme ' ) ramah bagi demokrasi. Pembedaan jenis asosiasi ini,

dapat menciptakan efek penilaian yang lebih baik terhadap demokrasi.

Untuk membedakan 3 jenis asosiasi yang dimaksud, digunakan 3

pertanyaan berikut :

(1) Apakah asosiasi ini politik atau non politik, jika politik apakah mereka

berorientasi pada kepentingan sendiri ?

(2) Apakah mereka hirarkis atau egaliter (pandangan akan ‘sama-rata’

derajat manusia) ?

(3) Apakah mereka(masyarakat) sukarela atau alami ?

Menurut Rudolph, perbedaan tersebut mungkin konsekuensi antara

hubungan asosiasi dan demokrasi. Dalam kasus Kolkata (calcutta), bentuk

dominan dari kelompok sipil merupakan bagian dari proses pengambilan

30

Page 31: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

keputusan metropolitan, dalam konteks ini yaitu keputusan akan partai

politik. Partai politik adalah asosiasi yang ketat hirakis. Asosiasi ini

terstruktur pada prinsip kepemimpinan Leninistyle (Vladimir Lenin).

Anggota dalam asosiasi berdiri dalam tanggungan masing-masing dan

terhubung klientelis untuk pelanggan . Asosiasi ini terbiasa untuk

mematuhi dan bertindak atas arahan dari mereka yang

berwenang(pemimpin). Asosiasi ini bersifat hirarkis sehingga tidak

mungkin untuk menciptakan semacam prasyarat psikologis yang

dianggap menghasilkan modal sosial sebagai prasyarat bagi demokrasi.

Sejak tahun 1977 organisasi partai CPI - M di Bengal Barat , bersama

dengan berbagai front massa telah menyaksikan pertumbuhan stabil

dalam keanggotaan yang telah membuat ‘sempit’ jembatan antara

penduduk dan anggota partai. Pada bagian berikut dipaparkan proses

perencanaan pada tiga tingkatan yaitu metropolitan , kota dan tingkat

lingkungan - secara lebih mendalam dan mendetail.

3.3.1 Tiga tingkatan Dalam Perencanaan Metropolitan

Perencanaan di India berlangsung pada tingkat federal dan wilayah.

Tujuan perencanaan ini adalah untuk menyelaraskan ide-ide antara politik

31

Page 32: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

dan pemerintah. Dimana pemerintah berkepentingan untuk memberikan

kebijakan yang merepresentasikan kebutuhan sosial, dan pemikiran

masyarakat seluruh masyarakat.

Setiap dewan memiliki ide politik masing-masing. Dalam

pemerintahan, mereka harus menghindari konflik antara anggota dewan

yang memiliki ide berbeda. Bahkan seorang anggota dewan harus

memiliki dukungan dari pemerintah untuk dapat mencalonkan diri dan

melanjutkan posisi dalam pemilihan anggota dewan periode berikutnya.

Oleh karenanya, komunikasi dan koordinasi antara pemerintah provinsi

dengan pemerintah lokal. Salah satunya adalah demokrasi dan

desentralisasi dalam pengembangan perkotaan.

Terdapat anggota dewan terpilih di KMPC yang berasal dari partai

politik selain yang yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa

dalam pemerintahan negara. Tentu saja, kelompok ini minoritas

dibandingkan lingkungan dan politisi tingkat kotamadya yang lebih bebas

untuk menyuarakan keprihatinan lokal mereka dalam pembahasan

tingkat metropolitan . Tapi mereka hanya segelintir jumlahnya

dibandingkan dengan mayoritas yang berasal dari koalisi yang berkuasa

Front Kiri . Selain itu, sebagian besar anggota KMPC dipilih dari partai

politik di luar Front Kiri gagal untuk mengambil minat aktif dalam cara

kerja KMPC. Mereka merasa bahwa mereka memiliki pengaruh politik

yang sangat sedikit dalam pengambilan keputusan melalui KMPC karena

representasi yang sangat terbatas mereka. Mereka jarang menghadiri

pertemuan KMPC .

Hubungan hirarkis seperti patronase tidak terbatas pada lingkaran

pejabat daerah yang terpilih . Mereka juga berlaku bagi para teknokrat

bekerja di KMDA , termasuk perencana mereka. Ketika berbicara dengan

para pejabat perencanaan dari KMDA , dan akademisi beberapa yang

telah berpaling ke menasihati negara isu governmenton berkaitan dengan

perencanaan kota dan pengambilan keputusan , tampaknya ada

pengertian umum persetujuan ( dan dalam beberapa kasus , dukungan

antusias ) dari kiri pemerintah Front di negara bagian dan di banyak kota

di KMA . Beberapa warga telah mencatat dan menyuarakan keprihatinan

32

Page 33: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

mereka atas kurangnya independensi mesin birokrasi di negara bagian

Bengal Barat dari pengaruh partai politik yang dominan :

Friedmann (2004 ) telah mengemukaakan bahwa fungsi perencanaan

India diarahkan oleh birokrat pegawai negeri elit . Dan layanan sipil India

ujian masuk pengetahuan umum mendukung atas keterampilan khusus ,

yang mengarah ke kritik bahwa pelayanan sipil tidak memiliki

kemampuan profesional dan teknis dalam berupaya seperti perencanaan .

Selain itu, partai politik yang berkuasa sangat berpengaruh dalam

keputusan seperti promosi dan transfer birokrat ini .

Disisi lain, para perencana di KMDA memiliki peran bagaimana

mengalokasikan sumber daya yang terbatas di antara berbagai negara

proposal rencana yang berasal dari anggota terpilih banyak KMPC ,

mereka harus membenarkan masuknya beberapa proposal dan

menjatuhkan orang lain yang didasarkan pada beberapa jenis ' analisis

teknis ' . Risalah pertemuan KMPC tidak memberikan data yang cukup

untuk menguraikan setiap pola nyata dalam cara beberapa proposal

membuat jalan mereka dalam rencana tahunan.

KMPC dan apakah dan bagaimana hubungan kekuasaan antara para

anggota KMPC memiliki peran untuk bermain dalam apa yang disebut

'teknis' analisis yang dilakukan oleh KMDA . Namun demikian , dominasi

partai yang berkuasa negara dan organisasi hirarkis resimen yang

tampaknya secara signifikan mengurangi proposal alternatif yang

kemudian dibahas dalam KMPC .

3.3.2 Perubahan dari Proses Desentralisasi

Perencana professional di KMDA bertentangan dengan konsesus

thesis dari Sandercock (1998) menemukan sebuah consensus dan

pemikiran tentang perencanaan pembangunan kota “pemerintahan”.

Gagasan tingkat pemerintahan (dalam hal ini nasional), maupun lokal

mengimplementasi kebijakan desentralisasi demokratis yang sukar

dimengerti oleh masyarakat luas (ambigu).

Perubahan apapun bisa terjadi di negara berkembang yang

diprakarsai oleh pemerintah. Sebagai contoh di Benggala barat,

33

Page 34: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

perubahan dimulai ketika pemerintah Front Kiri berkuasa pada tahun

1977. Mereka (pemerintah front kiri) mengadopsi kebijakan desentralisasi

perencanaan dan pembangunan baik di daerah perkotaan maupun di

daerah pedesaan. Menelisik dari sebuah pengalaman di WB, pemerintah

pusat memprakarsai Rancangan Undang-Undang ang diusulkan untuk

amandemen konstitusi di Parlemen.

Meskipun begitu, menurut Perdana Menteri Rajiv Gandhi,

penghubung yang lebih luas dengan pemerintah. Khususnya sebagai

peran inisiator dari proses desentralisasi, tidak hanya di salah satu negara

melainkan di seluruh negara. Di dalam Kongres (I) pemerintah yang

memimpin di tingkat nasional mengadopsi kebijakan yang akan

diterapkan secara nasional melalui konstitusi ke 73 dan 74 melalui

Konstitusi Amandemen UU tahun 1992. Para pembuat amandemen

konstitusi mengamatkan bahwa semua pemerintah negara bagian untuk

mengubah hokum yang berkaitan dengan hokum lokal. Jadi dengan cara

ini, pemerintah nasional mengadopsi kebijakan desentralisasi seperti yang

dipraktikan di daerah Bengal Barat.

Di dalam penelitian Nas (2005), penelitian ilmu social perkotaan saat

ini sering mengabaikan peran-peran dari seorang perencana dan

pengambil kebijakan untuk suatu perubahan perkotaa. Pemerintah Bengal

Barat, sebagai penentu utama struktur perkotaan dan perubahan.

Lembaga perencanaan lokal dan organisasi juga dipengaruhi oleh

lembaga-lembaga yang memberikan pengaruh penting sebagai salah satu

yang sering diabaikan dari literature tentang pemerintah daerah. Di kota

Kolkata, Department Inggris untuk Pembangunan Internasional (DFID)

telah menjadi lembaga penting bagi pembangunan perkotaan. Baru saja,

DFID setuju untuk mendanai layanan kota Kolkata bagi masyarakat miskin

(KUSP). Program ini dimuai pada bulan Maret 2004 dan dijadwalkan untuk

berjalan selama 8 tahun dengan anggaran sebesar Rs 800.

Selain itu, penting untuk mengidentifikasikan lembaga yang menolak

perubahan menuju desentralisasi di Bengal barat. Selain itu juga telah

mencatat masalah inersia dalam birokrasi yang diwariskan tanpa

perubahan serius dari masa lalu kolonial. Di dalam birokrasi India, seperti

34

Page 35: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

di sebagian besar birokrasi, struktur hierarkis komando dan tanggung

jawab lembaga berada di pemerintah negara. (Webster, 1992 hal 131).

Salah satu responden dari lembaga perencanaan, seorang aktivis

perumahan veteran di Kota Kolkata menjelaskan bahwa KMDA sebagai

“mafia organisasi dan mengatakan bahwa dengan beberapa perkecualian,

sebagai besar perencana yang memiliki jabatan tinggi yang mendapatkan

manfaat dari perencanaan terpusat melalui alokasi tanah dan hak-hak

pembangunan.

BAB 4

1. Mengapa Mempelajari Perbandingan Politik Perkotaan

Dalam metodologi komparatif makro - sosiologi , dikatakan bahwa dengan menekankan

perbedaan antara dua metodologi, sifat masalah metodologis kunci dikaburkan. Namun,

ditunjukkan bahwa pendekatan berorientasi kasus menimbulkan tantangan penting untuk

variabel penelitian yang berorientasi, dan akan membuat variabel penelitian yang berorientasi

lebih ketat . Sebagai contoh , dalam penelitian variabel berorientasi sebagian sampel

pengamatan yang relevan biasanya ditetapkan pada awal penelitian dan tidak terbuka untuk

reformulasi atau redefinisi. Dalam variabel yang paling berorientasi penelitian, sulit untuk

memeriksa beberapa penyebab karena peneliti tidak memiliki pengetahuan yang mendalam

tentang kasus. Akhirnya, dalam penelitian variabel berorientasi, kebanyakan ketidaktahuan

35

Page 36: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

kasus dapat menemukan jalan ke vektor kesalahan model probabilistik.

Ada tantangan penting dalam melakukan penelitian ilmu sosial perbandingan

internasional. Tetapi penelitian perkotaan adalah bidang yang lebih menjanjikan penelitian

komparatif daripada perbandingan antar negara. Selanjutnya , dengan menggunakan negara

sebagai kasus dan kota-kota sebagai unit analisis, peneliti dapat melakukan intra -nasional serta

perbandingan internasional.

2. Kerangka Kerja Untuk Perbandingan

Jon Pierre menyarankan menggunakan tata kota sebagai kerangka kerja untuk analisis

komparatif politik perkotaan. Perbandingan pemerintahan kota memiliki potensi yang luar

biasa untuk membantu para peneliti dalam mengungkap mekanisme sebab akibatl dan pemicu

perubahan politik, ekonomi, dan sosial di tingkat perkotaan. Kerangka ini membuat beberapa

proposisi: pertama, bahwa segala analisis livabilitas harus dimulai dengan melihat masyarakat,

LSM, partai politik.

Teori rezim Perkotaan menjadi terkenal dengan publikasi penelitian Clarence Stone dari

Atlanta pada tahun 1989 , meskipun penelitian sebelumnya oleh Fainstein & Fainstein (1983 )

dan Elkin ( 1987) juga telah berpengaruh. Sejak itu, analisis rezim telah banyak digunakan

untuk memeriksa politik perkotaan. Mossberger & Stoker ( 2001) berpendapat bahwa

penggunaan luas analisis rezim merupakan pengakuan nilai dan wawasan tetapi beberapa

aplikasi telah membentang konsep melampaui makna aslinya ke titik bahwa konsep itu sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa analisis rezim telah membantu jauh dalam reorientasi perdebatan

kekuasaan di Amerika Utara dan dalam memfasilitasi analisis politik luar institusi-institusi

pemerintah. Konsep jenius adalah sintesis dari unsur ekonomi politik, pluralisme, dan

institusionalisme. Meskipun rezim merupakan cara di mana aktor lokal memediasi tekanan

eksternal seperti perubahan ekonomi, fokus dalam analisis rezim adalah pada dinamika internal

membangun koalisi, pada kerjasama masyarakat. Dengan definisi ini , tata kelola Kalkuta tidak

cocok dengan gagasan rezim untuk dua alasan. Pertama , jelas tidak memiliki prasyarat kerja

sama publik-swasta dalam mengejar agenda bersama. Pemerintah sayap kiri di Bengal Barat

telah menunjukkan sedikit minat dalam bermitra dengan perusahaan lokal dan organisasi akar

rumput pada istilah yang sama tetapi lebih suka untuk menawarkan dukungan politik kepada

OCCA. Mereka percaya bahwa hanya sektor publik yang dapat mengembalikan ekonomi lokal

meskipun keyakinan ini semakin dipertanyakan oleh bagian dari Pemerintah sayap kiri baik di

tingkat negara dan kota .

Kedua, hubungan antar pemerintah antara lokal dan tingkat propinsi yang sangat

berbeda dari sebagai contoh rezim perkotaan. Kota-kota Amerika yang ada di lingkungan

kebijakan secara substansial berbeda dari kota-kota di India karena pemerintah daerah amerika

36

Page 37: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

lebih tergantung pada kerjasama dengan bisnis untuk melaksanakan proyek-proyek seperti

pembangunan kembali pusat kota atau mempertahankan basis pajak daerah. Di India,

pemerintah daerah bergantung pada pemerintah negara, lebih dari pada bisnis dan pendapatan

fiskal daerah.

Jika Kalkuta tidak memiliki rezim perkotaan, seperti apa kerangka tata kelola perkotaan

dapat digunakan untuk membandingkan Kalkuta dengan kota-kota lain? Menurut Halfani

( 1997) pemerintahan menyediakan kerangka kelembagaan di mana wilayah publik sipil

dikelola. Para aktor dan lembaga yang terlibat meliputi: usaha sektor swasta , baik perusahaan

maupun informal, masyarakat sipil, termasuk organisasi berbasis masyarakat, LSM, partai

politik, kelompok agama, serikat buruh dan asosiasi perdagangan, dan seluruh jajaran lembaga

pemerintah nasional, pemerintah daerah, dan lokal, termasuk otoritas tradisional di mana

mereka ada. Pemerintahan kota juga krusial karena melibatkan warga negara dan rumah tangga

sebanyak mereka memiliki pengaruh terhadap apa yang terjadi. Dalam kerangka ini,

pemerintah kota hanyalah salah satu unsur, meskipun sering yang terbesar dan paling jelas.

Ada studi banding di India di mana unit analisis adalah negara daripada kota. Satu studi

tersebut membandingkan kemajuan yang dibuat terhadap keputusan terdesentralisasi di

Karnataka, Andhra Pradesh, dan Bengal Barat. Ia menemukan bahwa percobaan Karnataka telah

banyak dipuji untuk cara non-partisan di mana itu dilakukan dan untuk devolusi substantif

wewenang dari tingkat negara kepada lembaga lokal, baik dari segi kekuasaan eksekutif dan

sumber daya keuangan negara. Selain Andhra Pradesh, Karnataka, West Bengal, Kerela dan

Tamil Nadu tidak membuat upaya berarti untuk mengembalikan badan-badan lokal terpilih di

daerah pedesaan.

Pemulihan demokrasi di tingkat lokal itu pasti membantu dalam memperluas basis

politik dari partai yang berkuasa di tingkat dasar negara masing. Tetapi sama pentingnya adalah

argumen bahwa partai yang berkuasa di negara-negara lain yang bebas untuk mengikuti

strategi yang sama.

Tidak akan ada keaslian tentang desentralisasi kecuali ada pelimpahan terjamin dana. Anggaran

negara bagian Karnataka dibagi menjadi dua, menyediakan anggaran yang terpisah untuk

badan-badan lokal. Tindakan dari negara badan legislatif dalam hal ini memungkinkan transfer

hukum. Tidak ada ketentuan untuk alokasi dana hukum antara badan-badan lokal, apalagi

mesin, di Andhra Pradesh dan Bengal Barat. Pada yang terakhir, ada dugaan bahwa saat ini

devolusi keuangan dari negara pemerintah kepada lembaga pemerintah daerah dilakukan

secara sewenang-wenang.

Selain kelembagaan kota, perkotaan India penuh dengan sejumlah perusahaan milik

negara, dan badan-badan departemen berurusan dengan layanan perkotaan, di samping

kegiatan peraturan umum melalui administrasi kepolisian dan kabupaten, begitu banyak

37

Page 38: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

sehingga substansi pemerintahan kota benar-benar terletak dengan pemerintah negara bagian.

Dijelaskan fenomena ini dalam studi kasus tentang kota politik: Sebagian besar keputusan

penting yang mempengaruhi takdir politik kota itu dibuat eksternal, pada tingkat yang lebih

tinggi dari politik.

Satu perbandingan terbaru dari delapan studi kasus ( Mitlin & Satterthwaite, 2004 )

menyimpulkan bahwa salah satu alasan kegagalan pemerintah adalah keengganan untuk

bertindak dengan tepat. Membandingkan Kalkuta dengan delapan studi kasus yang disajikan

dalam penelitian di atas, termasuk kategori orang-orang yang tidak memiliki tekanan

demokratis dan orang-orang dengan devolusi kekuasaan yang tidak memadai dan sumber daya

untuk pemerintah daerah.

Kalkuta menyerupai Cina, lebih dari itu menyerupai seluruh India, meskipun sampai

KMPC didirikan pada tahun 2001 itu juga berbagi masalah sisa India - bahwa badan-badan

pembangunan negara yang dikontrol pemerintah kuat melewati badan-badan lokal. Hal ini

diyakini bahwa sebagian besar negara berkembang tampaknya mendukung administratif

daripada politik desentralisasi di tingkat lokal. Pandangan diadakan bahkan oleh Bank Dunia

tidak terlalu lama. Buruknya kualitas pemimpin politik, kekurangan birokrasi terlatih dan

berkualitas, status umumnya rendah yang diberikan kepada pemerintah daerah dan korupsi

resultan dan kinerja yang buruk. Bagian pemerintah daerah konsumsi publik utama fungsi-

fungsi sudah naik di banyak negara yang mengadopsi kebijakan desentralisasi.

3. Studi Kasus Kota Mumbai dan Kalkuta

Seperti yang telah dijelaskan pada chapter 1 bahwa dalam penelitan terdapat dua faktor

dalam efektifitas organisasi masyarakat di Mumbai dan Kalkuta. Seperti yang terjadi di Kalkuta

bahwa tidak adanya ruang politik bagi organisasi tersebut dan administrasi perencanaan

birokrasinya sangat bergantung pada politik tidak seperti di Mumbai.

Keberhasilan yang terjadi di Mumbai dikarenakan oleh tuntutan yang dibuat oleh

organisasion yang mewakili kaum miskin kota. Seperti tuntutan kasus yang terjadi di SPARC

terdapat penggusuran bagi gelandangan, namun mereka menolak untuk digusur karena

ketidakmampuan mereka untuk memiliki tempat tinggal sendiri dan menuntut agar memberi

solusi atas masalah tersebut. Yang kemudian diberi alternatif kredit dan tabungan yang sesuai

dengan keadaan rumah. Para gelandangan tersebut telah menunjukan secara terbuka rumah

38

Page 39: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

seperti apa yang mereka inginkan. karena birokrat lebih condong untuk menghindari risiko jauh

lebih dan baru akan menerima ide baru jika mereka melihatnya bekerja dalam praktek. Mumbai

telah menggunakan pengaturan preseden untuk mengubah banyak peraturan kota termasuk

model rumah sehingga lebih banyak ruang dan lebih fleksibel tetapi dengan biaya yang lebih

murah yang dibangun dalam salah satu daerah kumuh terpadat dan terbesar di Mumbai untuk

memungkinkan semua penduduk akses ke akomodasi yang lebih berkualitas . ini merupakan

contoh bottom-up dalam pengambilan keputusan publik dimana keputusan ditingkat kota

bantuan mendukung solusi yang diusulkan.

Sama halnya dengan yang terjadi di Kalkuta yang sukses dalam perancanaan dari bawah

meski pemerintah komunisyang ideologis promiskin. Mereka memiliki potensi melakukan hal

semacam itu tap runtuh karena didorong mitra LSM nya yang hancur karena adanya

perpecahan internal yang berakibat dari kurangnya organisasi yang independen. Abhirup

Sarkar (2006) berpendapat bahwa stagnasi ekonomi telah benar-benar membantu menjaga

stabilitas politik dinegara bukan menentangnya. Dia mencirikan stagnasi ekonomi di

negara untuk fokus pada sektor informal yang terus meningkat.

Peran informalisasi ekonomi dalam menciptakan dependensi baru untuk perlindungan

politik sangat relevan. Kolkata tergantung pada partai politik sebagai mata pencaharian

mereka . Partai politik memberi mereka perlindungan dan sebagai imbalannya mendapat

dukungan mereka pada waktu pemilu. Memang orang yang menetap dalam masyarakat politik

memiliki satu peran penting komoditas selain dari pekerjaannya, yaitu haknya untuk memilih,

yang membuatnya menarik bagi partai politik. Kontras ini ke Mumbai, di mana penghuni trotoar

yang umumnya dipandang sebagai gangguan oleh sebagian besar penduduk. Hal ini

menyebabkan kelompok swadaya antara trotoar penduduk Mumbai untuk memanfaatkan

ruang politik ini menjadi wakil mereka sendiri dalam keputusan komunitas mereka keputusan.

Mereka kemudian mencari bantuan dari LSM yang lebih formal seperti sebagai SPARC dalam

bernegosiasi dengan pemerintah kota untuk mengenali masyarakat mereka solusi.

Perbandingan dengan Mumbai demikian menguatkan argumen yang berkaitan dengan

kebutuhan ruang politik yang memadai untuk akar rumput non-partisan organisasi dalam

rangka untuk mempromosikan dan mempertahankan pendekatan bottom-up untuk

pengambilan keputusan publik.

4. Birokrasi Politik Independen

Alasan lain untuk perbedaan dalam keberhasilan masyarakat berbasis organisasi -

organisasi di Mumbai dan Kalkuta adalah perbedaan sejauh mana perencanaan dan birokrasi

administrasi di dua kota tergantung pada pemimpin politik mereka. Benggala Barat telah

39

Page 40: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

mengadopsi sistem Walikota dalam Dewan administrasi perkotaan di seluruh negara bagian,

sehingga memperkuat power dari kelas politik atas birokrat di daerah perkotaan. Sebaliknya, di

Mumbai dan di seluruh Maharashtra, meskipun walikota adalah kepala rumah, perannya

sebagian besar hanya seremonial dan hampir semua kekuatan tersebut berada dalam komisaris.

Komisaris adalah orang India layanan administrasi pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah

negara bagian Maharashtra. Dia bertanggung jawab untuk infrastruktur kota dan dalam hal

pemeliharaan , Limbah, pencahayaan, jalan, sekolah, air, sampah. Semua hal tersebut adalah

tanggung jawabnya.

Pengalaman Aliansi Mumbai menunjukkan bahwa birokrat menunjukkan diri untuk

menjadi mitra yang lebih baik untuk organisasi berbasis masyarakat dari politisi yang terpilih.

Di kebanyakan kota di mana federasi masyarakat miskin telah berhasil, pilihan pertama mereka

telah memulai dialog dengan birokrasi lokal, bukan politisi. Hal ini memiliki beberapa

keunggulan dalam kebanyakan kasus, ini adalah birokrasi yang pada akhirnya paling

mempengaruhi keputusan politik. Hal tersebut tidak begitu di Kalkuta, di mana walikota

memegang kekuasaan yang paling berpengaruh dalam keputusan politik di tingkat lokal.

Selain itu, mendidik PNS dan memasukkannya ke dalam musyawarah federasi dan

inisiatif dari awal telah sangat bermanfaat di Mumbai. Ini juga merupakan investasi jangka

panjang yang sering membawa manfaat bagi federasi di Maharashtra.

Untuk mengakomodasi keragaman masyarakat India dalam pelayanan sipil, kebijakan

resmi di tempat untuk menarik perempuan, minoritas etnis dan agama, orang cacat, orang-

orang dari kasta tertentu dan penduduk pedesaan. Namun , dalam banyak hal, cerita resmi ini

memungkiri realitas di lapangan, baik dari segi bukti empiris dan seperti yang dirasakan oleh

publik. Perempuan sangat kurang terwakili, dan pegawai negeri dikelola terutama oleh anggota

dari kelas menengah atas perkotaan. Yang lebih bermasalah adalah masalah struktural yang

telah membatasi tindakan pegawai negeri di India. Baik di tingkat federal dan negara, pegawai

negeri adalah lingkungan kerja yang sangat ketat. Dalam bidang perencanaan, hal ini telah

menyebabkan kejanggalan skala besar dan korupsi yang berkaitan dengan pengalokasian tanah

dan hak pembangunan. Ketidakmampuan untuk mengangkat standar hidup warga negara India

yang umum dalam kombinasi dengan berita skandal korupsi telah mulai mengikis kepercayaan

masyarakat terhadap pelayanan publik, dan penetapan perencanaan negara semakin dilihat

sebagai elit yang berorientasi pada karier dengan insentif untuk mempertahankan status quo

sementara meminimalkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Tanggapan Bengal Barat ke kegagalan seperti birokrasi yang dipimpin administrasi lokal

adalah untuk memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada walikota terpilih. Pada sebagian

besar masyarakat di dunia modern, perencana dan politisi yang terpilih umumnya menerima

norma yang mendefinisikan peran mereka dalam proses pengambilan keputusan publik. Para

40

Page 41: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

perencana cenderung untuk mengambil peran teknis ahli rasional yang memanfaatkan

informasi dan pengetahuan untuk merancang aksi publik menuju tujuan sosial yang lebih besar.

Para politisi yang terpilih, memikul tanggung jawab untuk menentukan tujuan-tujuan yang lebih

besar. Tetapi pada sifat hubungan kelembagaan antara perencanaan birokarsi dan kelas politik,

di mana satu adalah bos dari yang lain, ada bahaya ketergantungan politik yang tidak

semestinya dari birokrasi perencanaan sejauh mungkin merugikan kepentingan publik.

Proyek di kota Aalborg di Denmark, menunjukkan bahwa moderen rasionalitas tidak

lebih dari ideal ketika dihadapkan dengan rasionalitas yang terlibat dalam pengambilan

keputusan oleh aktor sentral dalam pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat sipil. Dia

menjelaskan bagaimana merasionalisasi keputusan perencana yang telah dibuat di tempat lain,

mengalahkan tujuan divisi dari tanggung jawab antara perencana dan politisi.

Dalam bab ini, disajikan kerangka kerja untuk penelitian komparatif tentang tata kelola

perkotaan, berikut yang pelajaran yang bisa diperoleh dari beberapa perbandingan nasional

dan lembaga internasional dan proses menggunakan proses perencanaan Kalkuta seperti yang

dijelaskan dalam bab sebelumnya sebagai patokan perencanaan. Telah dibahas bagaimana

politik ruang mengorganisir bisa dibuka di tempat-tempat itu yang belum ada sebelumnya. Dan

juga telah dijelaskan beberapa temuan gagal dan peluang yang birokrat miliki dalam

perencanaan bottom-up lembaga itu.

BAB 5

5.1. Implikasi Teori

Penelitian ini difokuskan pada perencanaan dalam konteks desentralisasi

kewenangan pemerintahan. Apa yang mempengaruhi besarnya peran aktor non -

pemerintah dalam pengambilan keputusan publik ? hal ini merupakan pertanyaan

penting terkait dengan teori perencanaan yang harus di jawab saat ini.

41

Page 42: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Dalam literatur dijelaskan bahwa pendukung lokal insisiatif yang timbul dari

lingkungan masyarkat mengalami kesulitan besar untuk menggeser budaya

pemerintahan yang lebih mendominasi, oleh sebab itu, beberapa metode perlu untuk

dilakukan untuk analisisnya sebagaimana yang diusulkan oleh Gonzales & Healey

(2005), yakni;

1. Bagaimana cara untuk mengidentifikasi dan menilai bahwa tata kelola

perkotaan yang berkembang memiliki potensi signifikan dalam mengubah

cara-cara pengolahannya?

2. Bagaiamana mengevaluasi kemungkinan inovasi sosial yang akan muncul ?

3. Kekuatan seperti apa dalam inisiatif sosial inovatif dan resistensi yang temui

oleh inisiatif tersebut dalam memperluas dan melembagakan?

Di dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagiamana pengaruh kebijakan

terhadap beberapa faktor lain seperti hubungan antar aktor, kepentingan, lembaga

yang terkait, proses pengambilan keputusan, kekuatan kepentingan dan legitmasi,

serta kendala dan kekuatan.

Proses yang terjadi untuk mencapai pembangunan yang diharapkan tentu tidak

hanya proses formal akan tetapi juga proses informal. Proses yang ada saat ini

merugikan masyarakat miskin. Maka dari itu, dalam penelitian ini akan

mengeksplorasi pengaruh berbagai faktor tersebut. Adanya perubahan dinamika

dalam kekuasaan lokal, mengakibatkan perubahan profil sosial-ekonomi dari

beberapa lingkungan

Implikasi penting dari penelitian ini adalah bahwa wacana biasa tentang

kebutuhan partisipatif dan komunikatif perencanaan seperti Habermas, Innes, Hillier

dan orang lain telah dijelaskan, tidak berlaku untuk Kolkata yang dipimpin oleh satu

partai di negara demokrasi yang secara historis memiliki kelas yang kaku , jender ,

dan hierarki sosial lainnya . Ada juga literatur tentang sistem tata kota China di mana

beberapa telah dijelaskan lokal pemerintah sebagai organisasi ' amfibi ' ( Friedmann ,

2005a ) yang sangat desentralisasi dalam hal kebebasan mereka dalam keputusan

investasi lokal. Pemerintah amfibi lokal bertindak kurang sebagai sebuah negara dan

lebih sebagai bisnis perusahaan . Kolkata tidak cocok dengan model ini. Apa jenis

perencanaan yang dapat menggambarkan skenario di Kolkata? Maka menurut penulis

yang paling baik adalah teori partisipasi masyarakat.

42

Page 43: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

5.2 Gambaran Pelajaran

Pengetahuan adalah aspek penting untuk dapat dengan mudah mempengaruhi

masyarakat atas kebijakan yang diterapkannya. Pengetahuan dapat dijadikan alat bagi

para pemangku kebijakan untuk membuat kebijakannya dan menentukan arah apakah

kebijakan itu akan mendapatkan keberhasilan atau kegagalan. Ketika pembuat

kebijakan berada di bawah tekanan besar untuk bertindak dan tidak tahu apa yang

harus dilakukan , maka peran lain sangat dibutuhkan seperti seorang konsultan

maupun seorang pengusaha kebijakan untuk membantu mengarahkan kebijakan. Jika

pertimbangan tadi dapat dibarengi dengan bukti-bukti bahwa hal itu dapat membawa

kepuasan di tempat lain , maka akan mendapatkan keuntungan kredibilitas yang lebih

besar ( Rose , 1993, hal . 14 )

Meskipun penelitian ini didasarkan pada satu kasus dari proses perencanaan ,

ada sejumlah pelajaran yang dapat ditarik dari yaitu untuk digunakan di kota-kota lain

. Di bawah ini penulis membahas beberapa prinsip yang dipelajari dari penelitiannya,

yakni;

1. Ada perbedaan nyata bagi suatu negara untuk mengejar desentralisasi dan apa

yang mengklaim di balik kebijakan desentralisasi . Perbedaan ini

menyembunyikan dampak nyata dari kebijakan pada proses perencanaan . Wacana

kebijakan kemudian cenderung untuk menekankan indikator 'input' ( reformasi

legislatif , program khusus, dll ) bukannya ‘efek’ dalam mengukur keberhasilan

desentralisasi demokrasi dalam membuat proses perencanaan bottom-up .

Di Kolkata contohnya , retorika resmi dari Front Kiri pemerintah

menekankan keputusan desentralisasi membuat sebagai sarana untuk

mendemokratisasikan proses perencanaan dan memperbaiki ketidakseimbangan

strktur sejarah antara kelas-kelas yang berbeda- beda dari masyarakat. Tujuan

kedua adalah untuk membuat keputusan perencanaan yang lebih responsif

terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Pada kenyataannya , penelitian ini

menyimpulkan bahwa lembaga-lembaga perencanaan terdesentralisasi di Kolkata

sebenarnya telah membantu memperkuat pengaruh partai yang berkuasa tetapi

masih melakukan sedikit demokratisasi pengambilan keputusan lokal atau

merespon kebutuhan lokal dari aspirasi masyarakat . Banyak pemimpin dalam

kader CPI - M berasal dari latar belakang sederhana yang menyambut perubahan

43

Page 44: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

dari elit sosial yang digunakan untuk mendominasi ruang politik sebelum Front

Kiri datang menjadi penguasa . Tapi itu hanya pergantian penjaga , hubungan

lama antara penguasa dan pememerintahan seperti yang saya berpendapat

sebelumnya , sebenarnya telah memburuk, karena tidak adanya oposisi

kredibilitas untuk partai yang berkuasa . Meskipun demikian , eksperimen Bangsa

Barat dalam menempatkan di lembaga-lembaga untuk penyusunan rencana

desentralisasi yang ditunjuk oleh banyak orang sebagai salah satu contoh

penekanan pada usaha membangun pemerintah negara dalam menempatkan

undang-undang untuk perencanaan terdesentralisasi, karena telah dibayangi

dampak nyata bahwa legislasi pada institusi perencanaan.

Literatur tentang devolusi fiskal dan administrasi China untuk tingkat kota

( Friedmann , 2005a , Wu , 2002) juga menunjukkan kesenjangan antara

menyatakan tujuan untuk kebijakan tersebut dan konsekuensi yang sebenarnya

dari implementasi . Jika kita hanya pergi dengan indikator masukan untuk

mengevaluasi proses desentralisasi di Cina , dapat dikatakan sangat sukses .

Memang , kawasan kantor dan jalan dalam kota Beijing telah menaikkan

pendapatan yang cukup besar melalui desentralisasi fiskal , sehingga secara

signifikan meningkatkan infrastruktur perkotaan . Tapi persaingan di antara

kabupaten-kabupaten yang berbeda bagi investasi asing juga dapat menimbulkan

konsekuensi negatif .

2. Proses perencanaan tidak mungkin benar-benar bottom-up jika kekuasaan

terkonsentrasi dengan satu organisasi politik. Dengan tidak adanya persaingan

untuk mengorganisir diri untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan , warga

dan kelompok lingkungan bisa dioptimalkan oleh pemerintah , sehingga mereka

dapat mengoptimalkan keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Fenomena ini

tepat digambarkan oleh V. Ramaswamy , seorang aktivis sosialis di Kolkata ,

sebagai 'kepuasan oleh elit politik '.

Di Kolkata , kurangnya partai oposisi yang efektif terhadap partai yang

berkuasa , bersama dengan kelangkaan organisasi masyarakat sipil nonpartisan di

kota , berarti ada kesempatan yang sangat terbatas untuk masyarakat untuk

menyalurkan suara mereka dalam perencanaan daerah. Untuk mewakili

keragaman suara dalam suatu wilayah perlu ada beberapa organisasi yang dapat

44

Page 45: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

bersaing satu dengan lain atas dasar kesetaraan . Menurut Leonie Sandercock ,

perencanaan publik perlu dilihat sebagai 'mengelola keeksistensian dalam ruang

bersama' , dengan pengakuan bahwa ada 'perbedaan' dalam pendapat , nilai-nilai ,

dan aspirasi di antara individu dalam suatu wilayah. Kerangka kerja tata kelola

perkotaan Kolkata tertanam dalam konsep tentang demokrasi yang ketat dan

percaya pada suara mayoritas.

3. Pendanaan eksternal , baik dari lembaga internasional atau tingkat pemerintahan

yang lebih tinggi , memiliki potensi untuk memaksa perubahan dalam struktur

lokal dan regional pembuatan keputusan, sehingga suara orang biasa dimasukkan

dalam pengambilan keputusan publik . Perubahan pada struktur kekuasaan yang

ada tidak mudah . Pendanaan DFID untuk KUSP , dibuat bergantung pada

pelaksanaan UU MPC , Cukup tentang bagaimana lembaga pendanaan eksternal

secara signifikan dapat mengubah perencanaan praktik-praktik lokal. Tingginya

tingkat lembaga donor pemerintah atau internasional yang berbagi nilai-nilai

bersama dalam hal keputusan secara demokratif dapat mengubah hambatan

struktur lokal untuk ikut berpartisipasi aktif. Namun, juga harus dicatat bahwa

pengaruh mereka hanya dapat membawa perubahan peraturan formal, mereka

tidak mengubah keseimbangan informal kekuasaan antara warga biasa , birokrat

dan politisi yang terpilih. Para pemimpin lokal yang memiliki ideologi tinggi

cenderung ke arah perencanaan bottom-up dan dapat menciptakan peluang bagi

pemerintah daerah kota untuk mengekspresikan suara mereka dalam perencanaan

lokal, tetapi tidak bisa benar-benar memberdayakan mereka untuk membuat

keputusan sendiri tanpa permintaan yang berkelanjutan untuk pemberdayaan

tersebut.

Perbandingan antara Wali Kota Kalyani dan Wali Kota Borough 1 Kolkata

juga menunjukkan perbedaan bahwa orang kuat dapat membuat dan merubah

sistem yang ada. Kedua Wali Kota milik Partai Komunis India - Marxis dan

keduanya terpilih anggota KMPC tersebut . Sedangkan Wali Kota Kalyani

proaktif dalam mendirikan dan melakukan pertemuan rutin komite lingkungan

dalam kota itu, Wali Kota Borough 1 dari KMC menyatakan tertarik dalam

komite lingkungan atau peran mereka dalam perencanaan daerah.

45

Page 46: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

Di Meksiko , Grindle ( 2007) menemukan bahwa Wali Kota yang dipilih

dan ditunjuk untuk menjabat merupakan sumber yang paling penting dari

perubahan dalam pemerintah daerah. Walikota di Meksiko hampir selalu

penggerak utamanya dari pemerintah lokal . Tapi dia juga mengakui bahwa

kurangnya kelembagaan, memungkinkan walikota untuk melaksanakan

kebijaksanaan untuk membawa perubahan yang sulit, juga secara sistematis

melemahkan keberlanjutan perubahan sebagai kesuksesan membalikkan kebijakan

ketika mereka datang ke kantor.

Demikian pula, ada banyak kesempatan dalam hal pembangunan

internasional untuk menjadi agen aktif perubahan di tingkat lokal . Hal Ini dapat

terjadi dengan cara lebih dari satu. Untuk satu lembaga dapat membuat pendanaan

proyek dan program bergantung pada reformasi aturan-aturan dasar yang

membentuk dasar dari pengambilan keputusan lembaga lokal untuk mendukung

bottom-up perencanaan pembangunan. ( Pendanaan DFID untuk KUSP adalah

contoh pengaruh dari lembaga-lembaga eksternal. ) Tapi ada cara lain juga. Mitlin

& Satterthwaite ( 2007 ) menggambarkan sebuah inisiatif di mana pendapatan

internasional dapat mendukung secara langsung dengan menyiapkan dana

internasional yang dikelola oleh jaringan, untuk pendanaan antar wilayah kumuh /

penduduk miskin / tunawisma. Federasi masyarakat dan LSM mendukungan

mereka. Lembaga bantuan internasional resmi dan bank pembangunan tidak diatur

untuk bekerja dengan kelompok-kelompok masyarakat miskin atau bertanggung

jawab langsung kepada mereka, bahkan jika pekerjaan mereka dilegitimasi atas

dasar kebutuhan kelompok-kelompok ini. Birokrasi terutama lembaga tersebut

bekerja dengan pemerintah nasional dan umumnya dapat mengkatalisasi atau

mendukung proses sosial setempat yang diperlukan untuk membuat pembiayaan

eksternal yang efektif dalam menangani banyak aspek kemiskinan. Dana tersebut

menunjukkan kepada badan-badan internasional apa uang mereka bisa digunakan

jika mereka bersedia untuk melepaskan lebih banyak kekuatan pengambilan

keputusan dan finansial kontrol untuk organisasi lokal masyarakat miskin

ketimbang pemerintah lokal, regional atau nasional. Dengan demikian , mereka

juga secara mendasar mengubah hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok

perkotaan miskin dan pemerintah daerah.

46

Page 47: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

4. Dalam konteks perencanaan dibutuhkan system bottom up yaitu system dimana

pergerakannya dari bawah ke atas. Maksud dari bawah yaitu masyarakat

kemudian ke atas yaitu pemerintah sebagaimana telah dijelaskan friedmann (tokoh

pemberdayaan masyarakat). Hal tersebut diperlukan karena yang akan merasakan

perencanaan tersebut adalah masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah hanya

bertindak sebagai fasilitator dan pembuat serta penetap kebijakan.

5. Penerapan system bottom up pada realitas kehidupan masih sangat sulit untuk

diterapkan. Pasalnya ada beberapa hal yang harusnya menjadi faktor pendukung

malah bertolak belakang dengan perannya. Permasalahan ini terletak pada

masyarakat itu sendiri misalnya. Mereka tidak begitu peduli terhadap penataan

ruang mereka namun setelah rencana tersebut diterapkan masyarakat banyak yang

protes. Permasalahan berikutnya yaitu pihak dari pemerintah itu sendiri, yang

terkadang lebih mementingkan kelompok tertentu daripada kepentingan publik.

Hal tersebut diakibatkan dari system politik yang kurang benar.

6. Perencanaan bottom-up membutuhkan perencanaan dengan kapasitas yang

dibangun dari akar organisasi. Hal ini memerlukan tanggung jawab dan sarana /

sumber daya untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut ke tingkat terendah

perencanaan.

5.3 implikasi dari segi kebijakannya

Berdasarkan perbadingan kasus Kalkuta kemudian dengan literatur tentang

kota-kota lain di dunia, penulis dalam seksi ini mencoba mendiskusikan dampak

kebijakan untuk masing-masing kategori, apa saja rekomendasi penting untuk

pendekatan bottom-up dalam perencanaan perkotaan (yang disebut penulis dengan

metropolitan planning)

5.3.1 Pelajaran dan kebijakan bagi organisasi masyarakat (organisasi

masyarakat)

*)Kasus penelitian: desentralisasi di negara demokrasi dan hubungannya

dengan planning

47

Page 48: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

**)Yang disebut organisasi masyarakat/ civil society organization di tulisan

ini adalah:

1. Organisasi masyarakat nonparpol

2. Federations of urban communities (kelompok/ perkumpulan masyarakat,

biasanya dari golongan menengah-bawah), dalam tulisan disebut dengan

federations atau kelompok masyarakat

Non-government organization dimasukkan dalam kategori intermediary

organization, tidak termasuk kelompok ini.

Penelitian ini melihat ambiguitas peran masyarakat dalam restrukturisasi

pemerintahan (desentralisasi) yang mengakibatkan perubahan ekonomi, social dan

politik sehingga membutuhkan model perencanaan bottom-up. Namun melalui

beberapa contoh di berbagai negara terutama di Kalkuta, India, peneliti melihat peran

organisasi masyarakat nonparpol di masa perubahan ini penting dalam menjembatani

perbedaan kepentingan publik dan kepentingan privat.

Pelajaran dan rekomendasi yang bisa ditarik untuk organisasi masyarakat nonparpol:

1. Masyarakat sebagai salah satu aktor pembangunan diharapkan dapat

berkontribusi untuk menyikapi perubahan model pemerintahan demokrasi

utamanya di kota-kota baru. Organisasi masyarakat selama ini dianggap

mampu menyampaikan suara kaum marjinal.

2. Organisasi masyarakat dan intermediary organization merupakan kelompok

yang berkembang secara bottom-up sehingga merupakan “agen” yang cocok

untuk mengawal perencanaan perkotaan yang terdesentralisasi.

Organisasi masyarakat memiliki konsistensi dan kemampuan untuk mengubah

standard an aturan menjadi lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

3. Alat yang dipakai untuk aksi mereka adalah negosiasi, serta program mereka

berjangka panjang sehingga bisa menuju ke perubahan hukum, aturan dan

sistem keuangan.

4. Tugas organisasi masyarakat: memberikan pendampingan dan bantuan

terutama dalam mendapatkan akses ke isu-isu yang kurang bisa dijangkau

masyarakat, contohnya alokasi lahan dan infrastruktur.

5. Organisasi masyarakat berperan penting dalam pengelolaan proses

pembangunan, tetapi menurut peneliti dan aktivis perlu juga diperhatikan

48

Page 49: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

aspek peran pemerintah, kepentingan politis dan iklim demokrasi.

6. Pengawasan kebijakan bottom-up akan sangat sulit tanpa adanya organisasi

masyarakat nonparpol yang kuat dan efektif. Contoh di Bengal Barat (West

Bengal): desentralisasi dan bottom-up planning merupakan agenda Partai

Komunis dan tidak ada pengawasan maupun evaluasi dari pihak luar parpol

sehingga kegagalan yang terjadi tidak diperhatikan. Hal ini mengakibatkan

jarak antara rencana dengan kenyataan yang tidak sesuai di lapangan.

7. Strategi yang sebaiknya digunakan organisasi masyarakat dalam aksinya

adalah yang melibatkan kemitraan antara masyarakat dan pemerintah.

Strategi menuntut pemerintah memenuhi hak dan kebutuhan terbukti tidak

efektif sehingga strategi yang harusnya dipakai adalah organisasi masyarakat

secara konstruktif bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan

kesuksesan bersama. Kesuksesan bersama ini akan mengakibatkan juga rasa

percaya diri dari organisasi masyarakat.

8. Strategi dan tujuan organisasi masyarakat dengan kata lain berubah dari

“menuntut” pemerintah menjadi “menunjukkan” apa yang bisa

dilakukan dan dicapai bersama pemerintah. Contoh nyata: kerja sama

pemerintah Kamboja dan Thailand dan organisasi masyarakat di negeri

masing-masing, menunjukkan bagaimana terjadinya perubahan struktural

pemerintah dalam negara, serta apa dan bagaimana tugas pemerintah harusnya

dilaksanakan.

9. Contoh di Amerika Latin: organisasi masyarakat lebih kuat dan fokus dalam

pergerakan melawan kediktatoran dan menuntut keadilan atas hak-hak

masyarakat dalam demokrasi, akibatnya ketika pergerakan selesai, organisasi

masyarakat tersebut akan melemah dan menimbulkan disintegrasi.

10. Organisasi masyarakat yang digerakkan hanya untuk menuntut kepentingan,

hak dan keadilan saja tidak akan bertahan dan berkelanjutan. Skema yang

terjadi di negara demokrasi selama ini: organisasi masyarakat

nonparpoltuntutan dijawab berkuasa tokoh-tokohnya mendapat posisi

di pemerintahan organisasi masyarakat menjadi parpol/ digerakkan oleh

parpol tidak efektif.

11. Tokoh-tokoh organisasi masyarakat nonparpol harus menentukan, merancang

dan mengelola “solusi” yang dinilai cocok untuk permasalahan masyarakat

terutama masyarakat miskin.

49

Page 50: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

12. Agar organisasi masyarakat tetap berfungsi secara efektif maka organisasi

masyarakat nonparpol harus tetap independen, tidak ditumpangi parpol

manapun, serta tidak terikat/ dimanfaatkan politisi atau birokrat. Organisasi

masyarakat rawan untuk dimanfaatkan menjadi daya tarik politis apalagi bila

sudah sukses dan besar. Namun organisasi masyarakat tetap menjaga

hubungan baik dan saling menguntungkan dengan politisi dan birokrat untuk

beberapa programnya.

13. Alasan pentingnya organisasi masyarakat menjauhkan diri dari politik:

a. Menjaga agar organisasi masyarakat tetap terbuka bagi siapa saja yang

ingin berkontribusi

b. Melindungi kemerdekaan, kapasitas dan keberlanjutan dalam melakukan

aksi-aksi independen. Ketika organisasi masyarakat independen/ tidak ikut

parpol manapun maka organisasi masyarakat tersebut juga terjaga dari

ancaman pemerintah yang represif dan tidak demokratis yang menarget

pihak oposisi.

c. Jauh dari kepentingan politik membuat organisasi masyarakat bebas

bernegosiasi dan bekerja dengan siapapun yang berkuasa baik di tingkat

lokal, regional, hingga nasional karena organisasi masyarakat tidak

bergantung pada parpol-yang-berkuasa.

14. Politik yang terjadi di dalam tubuh organisasi masyarakat adalah “politik

kesabaran” dalam negosiasi, membangun konsensus dan aksi jangka panjang

—bukan konfrontasi, dan berdasarkan pemahaman bahwa dengan

membentuk kelompok/ kesatuan maka masyarakat akan menjadi lebih kuat.

15. Model kelompok masyarakat: mengajar-belajar, dengan tujuan masyarakat

miskin memiliki keahlian yang diperlukan untuk mengklaim, mengamankan

dan mengkonsolidasi hak-hak dasar dalam perumahan perkotaan dan akses

ke jasa/ infrastruktur. (lihat poin nomor 4)

5.3.2 Pelajaran dan Kebijakan untuk Kelas Politik

Dalam kelas politik penelitian ini merupakan hal yang penting bagi semua

tingkatan. Pada level Pemerintah Nasional pelajaran ini memiliki peran untuk

menetapkan agenda politik dan nilai-nilai seperti keadilan sosial, keputusan

partisiparif seperti suara kaum marginal dan suara perempuan dalam mendorong

adanya transparansi dalam proses perencanaan. Meskipun dalam tingkat tersebut

50

Page 51: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

pedekatan bottom-up tidak efektif digunakan sebagai dasar perencanaan. Dalam The

Freedom of Information tahun 2005 memungkinkan para perencana, birokrat dan

politisi yang terlibat dalam pengambilan keputusan public untuk mengawasi dan

memobilisasi dalam mendukung atau menentang keputusan yang ada.

Pada level lokal perencanaan Bottom-up pengendalian perencanaan tidak bisa

dilakukan secara bersama-sama. Terdapat kebutuhan “departisanise” perencanaan,

politisasi lokal tidak bisa dihindari tetapi terdapat presiden sehingga perencanaan

politik tidak partisipatif. Sebagai contoh yang diungkapkan Aars & Ringkjob, 2005 di

Skandinavia dan Amerika Utara mengenai pemilihan tidak partisipatif dimana politik

lokal tidak mengontrol hal-hal yang berkaitan dengan partai politik. Meskipun dalam

amandemen konstitusi di India perencanaan mengadopsi dari Negara bagian, dimana

pemerintah Negara berkomitmen untuk menggunakan pendekatan Bottom-up dalam

pengambilan keputusan, maka pemimpin Negara perlu menunjukkan kemauan politik

untuk meningkatkan partisipasi dari organisasi maupun partisipan ditingkat bawah.

Pada level kota hanya pemimpin karismatik (seperti Dr Shantanu Jha, kota

Kalyani) benar-benar berkomitmen untuk menggunakan perencanaan partisipatif dari

bawah ke atas dan benar-benar membuat perbaikan yang signifikan pada komite

lingkungan dan melibatkan warga dalam pembahasan tingkat distrik. Untuk meniru

hal tersebut partai politik memanfaatkan KMPC sebagai forum untuk pencalonan diri

dalam pemilu.

Salah satu peran penting tradisional partai politik adalah bertindak sebagai

perantara antara masyarakat dan lembaga Negara dalam pemasokan infrastruktur dan

pelayanan bagi masyarakat. Menurut Evans, 2002 bahwa hubungan tersebut dapat

memecah belah dan mendemobilisasi, sehingga perlu seimbang agar tidak terjadi efek

negative politik dari infrastruktur tersebut. Partai-partai oposisi mungkin kurang

efektif untuk memberikan jasa tradisional, namun lebih memberikan efek positif dari

partai politik. Ketika partai oposisi menang dalam pemilu lokal maupun Negara,

mereka akan melakukan 2 hal penting menurut Evans, 2002 yaitu :

1. Ketika mereka tumbuh dari basis sosial dan gerakan komunitas, partai oposisi

akan mendukung peningkatan partisipasi masyarakat dan kelompok gerakan

sosial.

51

Page 52: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

2. Mereka menantang eksklusif penekanan pada akumulasi yang umumnya

mencirikan wacana partai dominan (elit ekonomi yang mendukung mereka).

Hal tersebut dapat dilihat dinegara-negara Asia seperti (Taiwan) dan di

Amerika Latin (Meksiko dan Brasil). Jika dalam perjalanan tidak sejalan maka partai-

partai oposisi akan memberikan dua jenis dukungan. Pada tingkat makro, mereka

dapat membuka ruang politik bagi masyarakat dan kelompok gerakan sosial lainnya

untuk berpartisipasi dalam debat dalam pembuatan kebijakan dan peraturan.

Sedangkan pada tingkat mikro, mereka dapat memberikan celah pada tokoh

masyarakat yang inovatif.

5.3.3. Pelajaran dan kebijakan bagi para perencana dan birokrat

Lembaga-lembaga publik pemerintahan (perencana dan birokrat) harus

mampu mengkombinasikan aksi-aksi publik secara efektif serta tanggap terhadap

kebutuhan masyarakat bukan hanya terkait perencanaan semata.

Para perencana merupakan salah satu aktor yang mampu memahami dan

menggunakan kekuasaan internal dalam suatu birokrasi negara namun sebagian besar

perencana enggan untuk mengambil risiko dalam proses perencanaan sebagai

ancaman bagi kekuasaan dan otoritas mereka. Sehingga para perencana perlu dilatih

dan dididik tentang keahlian dalam berkomunikasi dan memahami dinamika

kekuasaan dari konteks politik yang lebih luas serta memasukkan keterampilan

perencanaan yang lebih luas, bukan hanya sekedar mengumpulkan dan menganalisis

data serta membuat proyeksi untuk masa depan .

5.4 Arah Masa Depan Penelitian

Dari banyaknya pandangan-pandangan terhadap sistem bottom-up,sistem ini

menimbulkan kerugian jika salah satu pihak yang dominan melakukan oposisi. Dapat

dilihat dari beberapa kasus pada kota-kota lain di dunia. Penelitian ini dilakukan

dengan harapan sebagai sebuah studi yang berfokus pada kebutuhan dengan tujuan

mengevaluasi dampak,biaya,dan manfaat dari desentralisasi pemerintah. Setiap

metode penelitian memiliki kekuatan dan kelemahan . Penelitian ini juga terfokus

pada 'bagaimana ' dan ' mengapa' terjadinya peristiwa dan isu-isu permasalahan yang

muncul. Selain itu,Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami proses kompleks

perencanaan di kota metropolitan di negara berkembang . Dalam proses penulis

52

Page 53: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

berharap untuk menemukan pelajaran yang lebihsebagai studi bagi pemerintah untuk

memahami tentang perencanaan bottom-up .

Beberapa tokoh berpendapat seperti Wampler (2004) menyatakan

akuntabilitas vertikal, umumnya dibingkai sebagai suatu kontrol pejabat publik oleh

warga negara, terutama melalui pemilu, membuat perhatian yang signifikan sebagai

ahli telah menganalisis bagaimana warga negara dapat menggunakan pemilihan

melakukan kontrol terhadap pejabat publik. Sistem bottom-up perlu dipahami lebih

dalam, mengingat masing-masing pelaku yang terlibat dalam proses pemerintahan

masih memiliki kekurangan dalam menjalankan perannya masing-masing. Konsep

dari ' ekologi agen ' yang diajukan oleh Peter Evans dalam bukunya Livable Cities

menyatakan bahwa sangat penting untuk mencapai perubahan struktural yang

kemungkinan dapat digunakan dalam pendekatan yang benar-benar bottom-up untuk

pengambilan keputusan pada kota-kota metropolitan. Peran pelaku proses

perencanaan sangat diperhatikan sebagai sebuah potensi dimana jika pelaku

perencana dan memanfaatkan sumberdaya ideologis yang mereka miliki. Karena di

masa yang akan nanti penelitian diarahkan untuk dapat membantu mengidentifikasi

dan menganalisis potensi tersebut dalam konteks tertentu.

53

Page 54: Review Buku Planning From The Bottom Up.docx

54