Top Banner
TUGAS HUKUM PIDNA -RESUME MATERI HUKUM PIDANA- Dosen Pengajar : Davit Rahmadhan, S.H., M.H. oleh : DIENNISSA PUTRIYANDA Nim : 1209114065 Fakultas Hukum Universitas Riau
134

Resume Materi Hukum Pidana

Jan 13, 2015

Download

Documents

Ica Diennissa

 
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Resume Materi Hukum Pidana

TUGAS HUKUM PIDNA

-RESUME MATERI HUKUM PIDANA-

Dosen Pengajar : Davit Rahmadhan, S.H., M.H.

oleh :

DIENNISSA PUTRIYANDA

Nim : 1209114065

Fakultas Hukum Universitas Riau

2013

Page 2: Resume Materi Hukum Pidana

BAB IPENDAHULUAN

A. Pengertian Hukum Pidana

Pengertian Hukum Pidana menurut beberapa ahli : MenurutMoeljatno(sarjana Hukum Pidana Indonesia)

Hukum Pidana » Bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :(1) Menentukan perbuatan-perbuatan masa yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

(2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

(3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Menurut PompeHukum Pidana » Semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-

perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu.

Menurut SimonsHukum Pidana » Semua perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dan yang

diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa yang tidak menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh negara yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.

Menurut Van HattumHukum Pidana » Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti

dan ditetapkan oleh suatu negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengkaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa pidana.

Menurut Wirjono Prodjodikoro

Page 3: Resume Materi Hukum Pidana

Hukum Pidana » Peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

“Hukum pidana adalah seperangkat norma/aturan yang berlaku yang berisikan perintah, larangan, kebolehan serta mengandung sanksi yang nyata tentang perbuatan apa yang dilarang,

siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan.”

B. Tempat dan Sifat Hukum Pidana

Tempat atau Ruang Lingkup Hukum Pidana

Perbuatan Pidana» Perbuatan itu melanggar hukum.Pertanggungjawaban Pidana» Orang yang melanggar hukum.Sanksi Pidana» Ancaman pidana harus tetap merupakan ultimum remedium (upaya terakhir dalam hal penegakan hukum).

Sifat Hukum Pidana

Perbuatan Pidana

Pertanggungjawaban Pidana

Sanksi Pidana

Page 4: Resume Materi Hukum Pidana

Hukum Pidana termasuk hukum publik. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat diketahui berdasarkan :1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya telah mendapat persetujuan

terlebih dahulu dari korbannya;2. Penuntutan menurut hukum pidana, tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yan

telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan

barang menjadi penghasilan negara.

C. Perbedaan Antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata

1) Perbedaan antara Hakim yang mengadili.Di Indonesia (dan juga di negara Belanda) untuk sebagian besar diadili oleh Hakim dan pengadilan yang sama, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, di MA ada Ketua Muda Pidana dan Ketua Muda Perdata.Di Inggris, Pengadilan perkara perdata, yaitu High Court(untuk gugatan dengan jumlah besar), sedangkan Country Court (mengadili selebihnya). Untuk perkara pidana, Pengadilan tingkat pertama ialah Crown Court dan Magistrate Court, umumnya jika terdakwa mengaku (plea guilty). Ada pengadilan appeal, yaitu Divisional Court atau Court of Appeal. Pengadilan tingkat terakhir the final appeal court House of Lords.

2) Istilah berbeda.Yaitu dalam perkara pidana tuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas nama negara dengan surat dakwaan yang mengandung uraian delik yang didakwakan.Sedangkan dalam perkara perdata gugatan diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (yang dirugikan) sendiri.

3) Hasil berbeda.Jika dalam perkara pidana tuntutan jaksa penuntut umum yang tercantum dalam dakwaan terbukti dan meyakinkan hakim, maka terdakwa akan dijatuhi pidana (nestapa).Sedangkan dalam perkara perdata, jika gugatan diterima maka tergugat akan dihukum untuk mengganti kerugian atau melakukan suatu perbuatan.

4) Perbedaan pembuktian.Dalam perkara pidana yang dicari ialah kebenaran materiel, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh.Sedangkan dalam perkara perdata, cukup dengan kebenaran formiel, misalnya jika seorang tergugat mengaku berutang walaupun tidak, dia akan diperintahkan untuk membayar utang yang diakuiya itu.

D. Pembagian Hukum Pidana Umum dan KhususPembagian Hukum Pidana Umum

Page 5: Resume Materi Hukum Pidana

» yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pembagian Hukum Pidana Khusus» yang tercantum di dalam perundang-undangan di luar KUHP.

Page 6: Resume Materi Hukum Pidana

BAB IISEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Zaman VOC

Menurut Utrecht, hukum yang berlaku didaerah yang dikuasai oleh VOC ialah :

1) Hukum statute yang termuat didalam: Statuten van Batavia

2) Hukum Belanda kuno

3) Asas-asas hukum Romawi

Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statute itu ialah sebagai pelengkap, jika

statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan,

sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).

B. Zaman Hindia Belanda

KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputera juga saduran dari KUHP yang

berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918

pun, pidananya lebih berat daripada KUHP 1886. Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara

sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.

Kitab Undang-Undang 1809 memuat ciri-ciri modern didalamnya menurut Vos, yaitu :

1) Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim didalam pemberian pidana

2) Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja

3) Penghapusan perampasan umum

Berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886, dipikirkanlah oleh

pemerintah Belanda bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu tahun 1866 dan 1872 yang

banyak persamaannya dengan code penal Perancis, perlu diganti dan disesuaikan dengan

KUHP baru Belanda tersebut.

C. Zaman Pendudukan Jepang

Page 7: Resume Materi Hukum Pidana

WvS tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.

D. Zaman Kemerdekaan

Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan : “Segala badan Negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

E. Rancangan KUHP Baru

Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada tahun 1982, diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu, terus menerus Tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I sampai tersebut, dan menyusun Rancangan Buku II sampai tahun 1985. Pada tahun 1985 itu, diadakanlah Lokakarya lagi ditempat yang sama untuk membahas Buku II.

Page 8: Resume Materi Hukum Pidana

BAB IIITEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA

A. Pengertian

Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum

perdata. Dalam gugatanperdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar

jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang

sepadan untuk mengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana sebaliknya, seberapa

jauh terdakwa merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa

karena telah melanggar hokum (pidana).

Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.

Jika seorang anak dimasukkan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki

tingkah lakunya yang buruk.

B. Tujuan Pidana

Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan

satu D. tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan satu D ialah

Deterrence, yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan

khusus dan pencegahan umum).

Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan

berguna bagi masyarakat.

Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya

pelanggar hokum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.

Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.

Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual

maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan

kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel

kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya

Page 9: Resume Materi Hukum Pidana

pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana Hukum Islam yang mendasarkan teorinya

pada ajaran kisas dalam Al-Qur’an.

Teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang

mengatakan bahwa, apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana, maka timbullah perasaan

tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika.

Teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan

berlakunya suatu kehendak subjektif yang bertentangan dengan hukum.

Teori keempat, pertama kali dikemukan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant,

Rumelin, Nelson, dan Kranenburg. Asas persamaan hokum yang berlaku bagi semua

anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hokum yang sama terhadap setiap

anggota masyarakat.

Teori kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk

membalas tidak ditujukan kepada persoalan: apakah orang lain mendapat bahagia atau

penderitaan, tetapi keperluan untuk membahas itu ditujukan kepada niat masing-masing

orang.

Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika.

Menurut etika Spinoza, tiada seorangpun boleh mendapatkan keuntungan, karena suatu

perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (nemalis expeidiat esse malos).

Page 10: Resume Materi Hukum Pidana

BAB IVRUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

A. Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli

didalam bahasa Belanda disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan

berbunyi: “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana, selain berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya (Nullum Delictum Nulla Poena

Sine Praevia Legi Poenali).

Asas ini tercantum juga didalam Hukum Acara Pidana (Pasal 3 KUHP/Pasal 1

RKUHP) yang mirip dengan pasal 1 Strafvordering (KUHAP) Belanda, yang berbunyi:

“Strafvordering heft allen plaats op de wijze, bij de wet voorzien” (Hukum Acara Pidana

dijalankan hanya menurut cara yang ditentukan Undang-Undang).

Dasar pemikiran asas legalitas menurut Klaas Rozemond ialah :

1. Adanya kepastian hukum (rechtszekerheid)

2. Legitimasi demokratis (democratische legitimatie)

B. Penerapan Analogi

KUHP RRC mengenal juga analogi yang tercantum didalam pasal 79 KUHP RRC

yang berbunyi: “jika suatu kejahatan tidak diatur secara tegas didalam ketentuan Khusus

Undang-Undang ini, tetapi harus diajukan kepada Mahkamah Agung Rakyat untuk

disetujui”. Jadi, analogi diperkenankan, tetapi harus diperkuat oleh Mahkamah Agung.

Penerapan analogi menurut Hermann Mannheim, tidak menunjukkan suatu Negara

demokratis atau totaliter, karena KUHP Italia Fascist 1930 tegas melarang analogi,

sedangkan Negara demokrasi seperti Denmark menerima analogi. Jerman Timur (dulu) juga

menganut asas legalitas dan melarang analogi.

Penerapan analogi hanya diizinkan kata Pompe, jika ditemukan adanya kesenjangan

didalam Undang-Undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat

dipikirkan (hal-hal baru) oleh pembuat Undang-Undang dan karena itu Undang-Undang tidak

merumuskan lebih luas, sehingga meliputi hal-hal itu didalam teksnya.

Page 11: Resume Materi Hukum Pidana

Sebagai suatu kesimpulan, dapat dikatakan bahwa memang ada kekhawatiran dengan

memakai analogi asas legalitas dibahayakan. Hal ini dapat dilihat pada zaman Hitler. Tetapi

jika yang dimaksud adalah penerapan analogi secara terbatas dalam arti sama dengan

penafsiran ekstensif, sebagai contoh arrest aliran listrik, dan sekarang ini delik-delik

dibidang computer, maka sebenarnya masalah yang diperdebatkan hanya secara teoritis yang

hasilnya sama saja.

C. Hukum Transitoir (Peralihan)

Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum didalam

Pasal 1 ayat 1 KUHP, dibatasi dengan kekecualian yang tercantum didalam ayat 2 pasal itu.

Ayat 2 itu berbunyi: “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan

dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan

baginya”.

Perubahan, berarti perubahan rumusan delik dan atau kualifikasi seperti perubahan

ancaman pidana. Termasuk juga perubahan rumusan ketentuan umum dalam concreto,

misalnya perubahan ketentuan percobaan, penyertaan dan gabungan delik. Semua ini untuk

keuntungan terdakwa. Tentang perubahan perundang-undangan mengenai dapatnya dituntut

(pengaduan, lewat waktu, kekuasaan kehakiman ada dua putusan yang sangat baru, yaitu

H.R. 16 Maret 1993 rolnr 93.619 dan H.R. 23 Maret 1993, N.J. 1993,722).

Ketentuan ini logis, karena pasal 1 ayat 1 pun yang memuat asas Undang-Undang

tidak berlaku surut itu bermaksud untuk melindungi kepentingan orang-orang dari perbuatan

sewenang-wenang penguasa. Dengan sendirinya, ketentuan seperti tersebut dimuka,

bermaksud senada dengan itu. Jangan sampai peraturan yang kemudian keluar yang lebih

berat dapat dikenakan kepada terdakwa. Tetapi kalau menguntungkan justru diberlakukan.

Kemungkinan berlakunya Undang-Undang yang baru (yang diundangkan kemudian

dari perbuatan) merupakan kekecualian juga dari asas yang berlaku umum, bahwa Undang-

Undang yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (lex temporis delicti) yang diterapkan.

Ada Negara yang tidak menentukan secara tegas hal semacam ini, seperti Perancis, tetapi

yurisprudensi menganutnya. Beberapa KUHP asing seperti: Thailand, Korea, dan Jepang

Page 12: Resume Materi Hukum Pidana

menentukan bahwa ketentuan tentang perubahan perundang-undangan yang menguntungkan

terdakwa berlaku pula kepada terpidana (pidana penjara dapat dikurangi).

D. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang, Tempat, dan Orang

Pasal 2 KUHP

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap

orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.

Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, tindak pidana yang terjadi di wilayah

Indonesia (baik di daratan, lautan maupun udara) maka akan dikenakan aturan hukum pidana

Indonesia baik itu dilakukan oleh warga Negara atau warga asing.

Asas Hukum Pidana

Asas Teritorialitas

Asas Perlindungan atau

Asas Nasional Pasif

Asas Personalitasatau

Asas Nasional Aktif

Asas Universalitas

1. Asas Teritorialitas

Page 13: Resume Materi Hukum Pidana

Pasal 3 KUHP

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang

yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau

pesawat udara Indonesia.

Ketentuan pasal diatas merupakan perluasan dari Asas Teritorialitas Pasal 2 KUHP.

Dan menunjukkan bahwa :

a) Jika kendaraan/pesawat tersebut berada dilaut lepas yang berlaku adalah ketentuan

pidana Indonesia.

b)  Jika seorang yang berada diatas kendaraan/pesawat  tersebut sedang berlabuh di

tempat asing melakukan suatu tindak pidana, oleh penguasa asing belum dituntut,

maka sekembalinya ke Indonesia petindak tersebut dapat dituntut, tetapi jika sudah

selesai secara juridis maka berlaku asas “nebis in idem”.

c)  Sebaliknya jika ada seseorang asing yang berlabuh/mendarat kendaraan/pesawat di

Indonesia melakukan tindak pidana dapat dituntut sesuai ketentuan pidana Indonesia.

Pasal 4 KUHP

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap

orang yang melakukan di luar Indonesia :

(1) Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;

(2) Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara

atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan

oleh Pemerintah Indonesia;

(3) Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas

tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia termasuk pula pemalsuan

talon, tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan

tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-

surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak pals.

2. Asas Perlindungan atau Nasional Pasif

Page 14: Resume Materi Hukum Pidana

(4) Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446

tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada

kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara

secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang

mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Ketentuan pasal diatas mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan

kepentingan suatu negara, atau dengan kata lain yang diutamakan adalah keselamatan

kepentingan suatu negara. Sehingga asas ini dinamakan ‘asas perlindungan’

(beschermingsbeginsel). Inti dari pasal di ats mengenai :

- Ketentuan Hukum Pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap WNI maupun WNA

baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan hukum

Indonesia, seperti yang disebut Pasal 4 KUHP.

- Pasal 4 KUHP adalah jenis kejahatan yang mengancam kepentingan hukum Indonesia

yang mendasar, berupa keamanan, dan keselamatan negara, perekonomian Indonesia,

serta sarana dan prasarana angkutan Indonesia.

Pasal 5 KUHP(1) Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga

Negara yang di luar Indonesia melakukan :

Ke-1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan

Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.

Ke-2 : Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-

undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut

perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan

pidana.

(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika

terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.

Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, bagi warga negara yang melakukan

tindak pidana di luar wilayah Indonesia menyangkut pasal-pasal yang tertera pada ayat (1)

Pasal 5 KUHP, maka pelakunya akan dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh

3. Asas Personalitas atau Nasional Aktif

Page 15: Resume Materi Hukum Pidana

pengadilan Indonesia. Kepentingan nasionalnya disini terlihat agar pelaku tindak pidana yang

warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar negara Indonesia, tidak

diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa hukum atau

perbuatan pidana itu dilakukan. Inti dari asas ini, yaitu :

- Bergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya yakni warga negara di manapun

keberadaannya (Nasional Aktif).

- Asas ini tidak dapat diterapkan pada semua tindak pidana.

- Diatur dalam Pasal 5 KUHP dan diperluas Pasal 5 ayat (2), diperlunak Pasal 6, diatur

lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP.

Pasal 6 KUHP

Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan

pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan,

terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.

Tertonjolkannya asas personalitas dalam pasal 5 dan 6 KUHP, jelas ditentukan secara

tegas bahwa subyeknya adalah warga negara Indonesia. Perbedaan antara pasal 5 ayat 1 ke-1

dengan  sub ke-2 ialah bahwa tersebut dalam sub ke-1 tidak dipersoalkan apakah tindakan itu

merupakan tindak pidana atau tidak diluar negeri yang bersangkutan.

Pasal 7 KUHP

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat

yang di luar Indonesia melakukan salah-satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan

dalam Bab XXVIII Buku Kedua.

Ketentuan pasal diatas memperluas asas personalitas yaitu walaupun pegawai negeri

Indonesia (seseorang yang diangkat oleh penguasa umum dan ditetapkan untuk melakukan

suatu tugas umum yang merupakan sebagian dari tugas negara atau badan-badan negara)

itu pada umumnya berkewarganegaraan Indonesia, tapi tidak kurang banyaknya yang

berkewarganegaraan asing terutama dikedutaan-kedutaan RI, konsulat RI. Dalam hal ini yang

berkewarganegaraan asing itu lebih diutamakan kepegawaiannya dari pada

kewarganegaraannya.

Page 16: Resume Materi Hukum Pidana

Pasal 8 KUHP

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakoda dan

penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu melakukan

salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab

IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas

kapal Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.

Ketentuan pasal diatas berlaku jika :

- Tindak pidana diatas perahu

- Petindaknya yang telah ditentukan, yitu nakhoda dan penumpang

-  Kepentingan “perahu Indonesia” atau “pelayaran Indonesia” yang harus mendapat

perlindungan

Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam

hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal)

adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata

hukum sedunia (hukum internasional).

Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :

1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak

eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.

2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial. 

3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar

kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang

mempunyainya. 

4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.

E. Hukum Pidana Supranasional

4. Asas Universalitas

Page 17: Resume Materi Hukum Pidana

Bentuk yang paling sempurna berfungsinya hukum pidana supranasional ialah

diterimanya sejumlah peraturan-peraturan supranasional oleh Negara-negara berupa delik-

delik yang mempunyai sifat internasional ditetapkan sebagai dapat dipidana yang

berdasarkan ketentuan umum yang seragam, dipidana oleh Hakim yang supranasional.

1. Pengadilan penjahat perang dunia II

2. Mahkamah criminal internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda

Page 18: Resume Materi Hukum Pidana

BAB VINTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA

A. Pentingnya Interpretasi

Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang diapit oleh dua benua

[Asia dan Australia] dan dua samudra [Samudra Hindia dan Samudra Pasifik] dengan

puluhan suku bangsa yang berada adat istiadat, bahasa dan budaya, menyebabkan pentingnya

interpretasi Undang-Undang Pidana, sehingga rumusan delik yang abstrak dapat

diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkret.

Penafsir yang paling sesuai dengan ini ialah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan

kehidupan masyarakat setempat.

Dalam KUHP sendiri, khususnya Bab IX Buku I, tercantum penafsiran istilah secara

otentik. Ada pakar yang berpendapat, bahwa dengan penafsiran otentik atas suatu kata itu,

sebenarnya Undang-Undang sendiri telah secara tersamar menganut analogi.

Pelaksanaan peradilan pidana ditentukan oleh beberapa factor kata Herman

Mannheim. Faktor-faktor itu, ialah pertama teknik legislative yang dipergunakan untuk

merancang suatu Undang-Undang pidana, yang pada gilirannya akhirnya tergantung kepada

sifat masalah yang akan dipecahkan dengan Undang-Undang tertentu, yang kedua ialah

metode interpretasi yang akan dipergunakan oleh mereka yang dipercayakan melaksanakan

peradilan pidana, ketiga ialah sifat dan latihan pelaksana ini, yang keempat ialah sifat

pemulihan hokum yang menentukan terjaminnya kesatuan pelaksanaan peradilan

pidana.Butir kesatu dan kedua menyangkut hokum substantive, sedangkan yang ketiga dan

keempat menyangkut acara atau prosedur. Di sini, ternyata betapa pentingnya metode

interpretasi yang dipergunakan, sehingga peradilan pidana terlaksana dengan baik.

B. Penemuan Hukum oleh Hakim Pidana

Khusus Indonesia, Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

mengatakan, bahwa “Hakim sebagai penegak Hukum dan keadilan wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat’’. Ini berarti

Hakim harus menemukan hukum.

Page 19: Resume Materi Hukum Pidana

Menurut pendapat Penulis, bahwa “Hakim menggali hokum yang hidup di dalam

masyarakat’’, khususnya bagi hokum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hokum

melalui analogi, tetapi melalui interpretasi, hakim Indonesia dapat menerapkan hokum

pidana, sesuai dengan hokum yang hidup di dalam masyarakat.

Dalam hokum perdata, dikenal beberapa jenis interpretasi, yaitu:

a. interpretasi menurut tata bahasa [taalkundige atau grammatical interpretative],

b. penafsiran historis,

c. penafsiran sistematis,

d. penafsiran sosiologis atau teleologis.

Hakim perdata lebih bebas dalam menafsirkan Undang-Undang perdata daripada

Hakim Pidana. Bahkan dalam hokum perdata dikenal analogi dan penafsiran penghalusan

hokum [rechtsverfijning], serta juga penafsiran a contrario.

Mengenai pemakaian penafsiran hokum perdata ke dalam hokum pidana, dapat kit

abaca Jonkers yang menunjuk penafsiran yang tercantum dalam Pasal 1342 dan seterusnya

BW, yang menyatakan bahwa jika kata-kata jelas, maka diapakai kata-katanya yang ada di

situ, jadi bukan maksudnya, jika di nilai kata-katanya tidak jelas dan dapat ditafsirkan

bermacam-macam maka dipakai maksudnya [debedoeling]. Jika dipilih dua macam

pengertian, maka yang dipakai ialah yang dapat dilaksanakan.

Ketentuan Hukum Perdata ini dapat dipakai juga untuk Hukum Pidana kata Jonkers,

dengan alas an kesatuan hokum, karena perjanjian itu berlaku sebagai Undang-Undang, dan

ditunjukkan arrest Hoge Raad yang menerapkan interpretasi ini.

Sebagaimana telah diutarkan di dalam Bab III, dalam Hukum Pidana [Indonesia dan

Belanda] analogi dilarang. Maksudnya ialah analogi dalam arti luas, bukan analogi yang

orang identikkan dengan penafsiran ekstensif atau analogi terbatas.

C. Jenis-jenis Interpretasi Undang-Undang Pidana

Jenis-jenis interpretasi Undang-Undang Pidana yakni terdiri dari :

Page 20: Resume Materi Hukum Pidana

1

penafsiran gramatika artinya penafsiran ini berdasarkan kepada kata-kata Undang-Undang. Jika kata-kata Undang-Undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat Undang-Undang lain.

2penafsiran sistematis atau dogmatis, interpretasi ini didasarkan kepada hubungan secara umum suatu aturan pidana.

3penafsiran historis [historia legis]. Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat Undang-Undang ketika diciptakan.

4

penafsiran teleologis. Penafsiran ini mengenai tujuan Undang-Undang. Ada kritikan terhadap metode interpretasi berdasarkan tujuan Undang-Undang ini, yaitu jika melampaui kata-kata Undang-Undang.

5 penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran luas. Hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan hubungannya dengan analogi.

6 penafsiran rasional [rationeele interpretatie ]. Interpretasi ini didasarkan kepada ratio atau akal. Ini sering muncul dalam Hukum Perdata.

7 penafsiran antisipasi [Anticeperende interpretatie ]. Interpretasi ini didasarkan kepada Undang-Undang baru yang bahkan belum berlaku.

8 penafsiran perbandingan hukum. Interpretasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di berbagai Negara.

9 penafsiran kreatif [creatieve interpretatie ]. Interpretasi ini berlawanan dengan interpretasi ekstensif, di sini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.

10 penafsiran tradisionalistik [ traditionalistiche interpretatie ]. Dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang tersembunyi dan kadang-kadang jelas.

11 penafsiran harmonisasi [ harmoniserende interpretatie ]. Interpretasi ini didasarkan kepada harmoni suatu peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi.

12 penafsiran doktriner [doctrinaire interpretatie ]. Interpretasi ini didasarkan kepada doktrin.

13 Interpretasi sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu [ zaman]. Interpretasi inilah yang mestinya sering dipergunakan di Indonesia, agar unifikasi hokum pidana dapat menjangkau semua golongan etnik yang beraneka ragam. Juga perkembangan kemajuan zaman.

Page 21: Resume Materi Hukum Pidana

BAB VIPERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK

A. Pengertian Delik

Hukum pidana Belanda memakai istilah Stratbaarfeit,kadang-kadang juga delict yang

berasal dari bahasa latin delictum.Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WVS

Belanda,maka istilah aslinyapun sama yaitu Strafbaarfeit.Timbulah masalah dalam

menerjemahkan istilah strafbaarfeit itu kedalam bahasa Indonesia.

Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana,karena katanya peristiwa itu adalah

pengertian yang komplit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu

saja,misalnya matinya orang.Hukum pidana tidak melarang orang mati,tetapi melarang

adanya orang mati karena perbuatan orang lain.

Di negeri belanda dipakai diistilah feit dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi

hanya perbuatan atau handelen,tetapi juga pengabaian atau nalaten.Pemakaian istilah feit itu

disana dikritik oleh Van Der Hoeven,karena katanya yang dapat dipidana ialah

pembuat,bukan feit itu.Senada dengan itu,Van Hamel mengusulkan istilah Strafwaardigfeit

(Strafwaardige artinya patut dipidana).Oleh karena itu Hazewinkle Suringa mengatakan

istilah delict kurang dipersengketakan,hanya karena istilah “Strafbaarfeit” itu telah biasa

dipakai.

B. Rumusan Delik

Simons yang merumuskan bahwa Strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam dengan

pidana yang bersifat melawan hokum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan

oleh orang ang ampu bertanggung jawab.Jonkers dan Utrech memandang rumusan simons

merupakan rumusan yang lengkap,yang meliputi:

a)      Diancam dengan pidana oleh hukum

b)      Bertentangan dengan hukum

c)      Dilakukan oleh orang yang bersalah

d)     Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Page 22: Resume Materi Hukum Pidana

Van Hamel merumuskan delik atau Strafbaarfeit itu sebagai berikut.”Kelakan

manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang,melawan hukum,yang patut dipidana dan

dilakukan dengan kesalahan.

Simons,Van Hamel dan Vos semuanya merumuskan delik atau strafbaarfeit itu secara

bulat,tidak memisahkan antara perbuatan dan akbatnya disatu pihak dan pertanggung

jawaban dilain pihak. A.Z.Abidin menyebut cara perumusan delik seperti ini sebagai aliran

monistis tentang delik.Yang lain,yaitu yang memisahkan antara perbuatan dan akibatnya

disatu pihak dan pertanggung jawaban dilain pihak sebagai aliran dualistis.Memang di

Inggris dipisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam pidana

(actusreus) disatu pihak dan pertanggungjawaban (mensrea) dilain pihak. A.Z.Abidin

member contoh rumusan demikian seperti dibuat oleh Clark Marshall yang member batasan

delik atau crime.

Yang dilarang ialah perbuatan (termasuk pengabaian) dan yang diancam dengan

pidana ialah orang yang melakukan perbutan atau pengabaian itu. Hazewinkle-Suringa

menulis bahwa sesuai berfungsinya system undang-undang pidana belanda,lebih baik

dikatakan suatu kelakuan manusia (yang meliputi perbuatan dan pengabaian).Yang

memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.

Jadi meskipun yang memisahkan antara Actus reus pada kalimat pertama dan

Mensrea pada kalimat kedua,ia tidak memisahkan secara tajam antar keduanya.Yang pertama

bersifat konkrit,dan yang kedua bersifat umum.Ia menunjuk putusan Hooge Raad 1946,N.J.

1946 No.548,mengenai “Melawan Hukum” sebagai dapatnya dipidana (Strafbaarfeit) suatu

perbuatan.

C. Perbuatan dan Rumusan Delik dalam Undang-Undang

Telah dikemukakan dimuka,bahwa hokum pidana belanda selalu memakai istilah

feit.Seperti dikemukakan Hazewinkle Suringa dimuka,sebabnya karena dimaksudkan bukan

saja karena perbuatannya yang positif atau dengan melakukan sesuatu,tetapi juga pengabaian

atau dengan tidak melakukan sesuatu.

Van   Bemmelen member contoh bahwa WVS Belanda pada umumnya memakai

istilah feit seperti dasar peniadaan pidana (Strafuitsluitings grond), pasal 44-52 KUHP,semua

Page 23: Resume Materi Hukum Pidana

dimulai dengan “tidak diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan perbuatan (feit).

Juga tentang gabungan delik (Samenloop),dilakukan suatu perbuatan (feit) yang jatuh dalam

lebih dari satu ketentuan pidana (pasal 63 KUHP) dan tentang lebih banyak “Perbuatan”

(Feiten) pasal 65-71 KUHP.Sekali-kali dipakai juga istilah handelen.Pasal 65-75 KUHP.

Code Penal memakai infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan),delict (kejahatan

ringan).Hukum pidana inggris memakai istilah act dan lawannya omission.Menurut pendapat

penulis,act itu dapat dibaca “tindakan” dan omission dibaca “pengabaian”.

Oleh karena itulah,menurut pendapat penulis inilah tidak tepatnya istilah “tindak

pidana” itu,karena “tindak” pasti hanya meliputi perbuatan positif dan tidak meliputi

“pengabaian” (naleten).Seorang penjaga pintu jalan kereta api yang tidak menutup pintu jalan

tersebut tidak dapat dikatan “bertindak” karena ia hanya pasif saja tidak berbuat apa-apa.

D. Cara Merumuskan Delik

Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu

delik.Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan,

barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur

delik.tetapi di sini,tidak dipakai istilah “Unsur Delik’’, misalnya delik pencurian terdiri dari

bagian inti (Bestand delen):

1. Mengambil

2. Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

3. Dengan maksud memiliki

4. Melawan hukum

Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena ada delik menghilangkan

nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.

E. Pembagian Delik

Delik ini dapat dibedakan atas berbagai pembagian tertentu, seperti berikut ini :

Page 24: Resume Materi Hukum Pidana

a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen)

b. Delik Materiel dan delik formel (materiel en formele delicten)

c. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiediedelicten)

d. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voort gezette

delicten)

e. Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten)

f. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde delicten)

g. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde delicten)

h. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (doleuse en culpose delicten)

i. Delik politik dan delik komun atau umum (politieke en commune delicten)

j. Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten)

k. Delik – delik dapat dibagi juga atas kepentinganhukum yang dilindungi, seperti delik

terhadap keamanan negara, delik terhadap orang, delik kesusilaan, delk terhadap benda

dan lain-lain.

l. Untuk Indonesia, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 284,

dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, teroroisme,

dan lain-lain.

Pembagian delik tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Delik kejahatan dan pelanggaran : Delik ini muncul di dalam WvS (KUHP) Nederland

tahun 1986, yang kemudian turun ke WvS (KUHP) Indonesia tahun 1918. Pembagian

delik atas kejahatan dan pelanggaran di dalam Ned WvS 1886 dan WvS (KUHP)

Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan

sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur di dalam undang-undang, sudah

dipandang sebagai seharusnya dipidana (strafwaardig), sedangkan pelanggaran sering

disebut sebagai delik undang-undang, artinya barulah karena tercantum di dalam undang-

undang menyatakan sebagai dapat dipidana. Pasal itu misalnya Pasl 489 (Artikel 424

Ned.WvS, kenakalan terhadap orang atau barang sehingga dapat mendatangkan bahaya

atau kerugian atau kerusakkan), Pasal 490 (Artikel 425 Ned WvS), yaitu perbuatan

menggalakan hewan terhadap orang, Pasal 506 (Artikel 432 ayat 3 Ned WvS), yaitu

Page 25: Resume Materi Hukum Pidana

muncikari. Secara Kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan

pelanggaran itu :

1. Pasal  5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang merupakan

kejahatan di Indonesia

2. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana

3. Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada

apakah itu kejahatan atau pelanggaran

1. Pada delik materiel, disebutkan adanya akibat tertentu, dengan atau tanpa menyebut

perbuatan tertentu. Pada delik formel, disebut hanya satu perbuatan tertentu sebagai dapat

dipidana misalnya Pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP. Van Hamel keberatan adanya

perbedaan hakiki antara keduanya. Pada delik formel pun ada akiibat pada dunia luar,

yaitu mengenai waktu dan tempat perbuatan sering dapat dibedakan. Misalnya

penghinaan dengan telepon. Oleh karena itu ia hanya mau berbicara tentang delik dengan

perumuan formel atau materiel.

2. Delik komisi (delicta commissionis) ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan. Ini

dapat berupa delik yang dirumuskan secara materiel maupun formel. Di sini orang

melakukan perbuatan aktif dengan melanggar larangan. Delik omisi dilakukan dengan

membiarkan atau mengabaikan . Dibedakan antara delik omisi yang murni dan yang tidak

murni. Delik omisi yang murni ialah membiarkan sesuatu yang diperintahkan. Ini selalu

mengenai delik yang dirumuskan secara formel. Misalnya pasal-pasal 164, 224, 522, 511,

KUHP. Yang kedua ialah delik omisi yang tidak murni yang disebut delicto

commisionisper omissionem. Delik ini terjadi jika oleh undang-undang tidak dikehendaki

suatu akibat (yang akibat itu dapat ditimbulkan dengan suatu pengabaian). Misalnya

Pasal 338 KUHP yang dilakukan dengan jalan tidak memberi makan.

3. Mengenai delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan, dapat dibaca pada uraian

gabungan delik atau perbarengan (samenloop)

4. Delik yang selesai ialah delik terjadi dengan melakukan sesuatu atau beberapa perbuatan

tertentu. Delik yang berlangsung terus ialah delik yang terjadi karena meneruskan suatu

keadaan yang dilarang. Misalnya Pasal 169, 250 KUHP, Pasal 333 KUHP berisi baik

Page 26: Resume Materi Hukum Pidana

delik selesai (merampas kemerdekaan) dan delik yang berlangsung terus (karena tetap

merampas kemerdekaan).

5. Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan dengan lebih dari satu perbuatan

untuk terjadinya delik itu. Van Hamel menyebut ini sebagai delik kolektif. Contoh yang

paling utama, ialah delik yang dilakukan sebagai kebiasaan. Seperti Pasal 269 KUHP.

Kata Van Hamel, pada delik yang dilakukan sebagai kebiasaan, tiap-tiap perbuatan pada

dirinya sendiri tidak dipidana. Kata Vos, tidak sepenuhnya tepat. Pasal 481 KUHP

merupakan delik yang dilakukan sebgaia kebiasaan, tetapi tiap-tiapperbuatan merupakan

delik lain yaitu Pasal 480 KUHP. Dari delik kolektif, dibedakan delik sebagai pekerjaan

(beroeps delict). Di sini dengan satu perbuatan sudah cukup. Meskipun di sini dimaksud

sebagai pekerjaan.

6. Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk dasar, tetapi

satu atau lebih keadaan yang memperberat pidana (tidak menjadi soal apakah itu

merupakan unsur atau tidak), misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan

yang mengakibatkan kematian. Sebaliknya ialah delik ber-privilege, bentuk khusus yang

mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana (tidak menjadi soal apakah itu

unsur ataukah tidak), dipidana lebih ringan dari bentuk dasar, misalnya pembunuhan anak

sendiri karena takut ketahuan melahirkan, dipidana lebih ringan dari pembunuhan biasa.

7. Delik yang dilakukan dengan sengaja dan delik kelalaian (culpa) penting dalam hal

percobaan, penyertaan, pidana kurungan, pidana perampasan. Unsur-Unsur delik yang

diliputi culpa: Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan

perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai ”de

nogide en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian

dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut

Profesor SIMONS, culpa itu pada dasrnya mempunyai dua unsurmasing-masing ”het

gemis aan voorzichtigheid” dan ”het gemis van de voorzienbaarheid van het gevoig” atau

masing-masing ”tidak adanya kehati-hatian” dan ”kurangnya perhatian terhadap akibat

yang dapat timbul.

8. Delik politik dibagi atas : yang murni, yaitu tujuan politikyang hendak dicapai yang

tercantum dalam Bab 1 Buku II, seperti Pasal 107 KUHP. Di dalam konperensi hukum

pidana di Kopenhagen 1935 diberikan definisi tentang delik politik sebagai berikut :

Page 27: Resume Materi Hukum Pidana

”Suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi negara dan juga

hak-hak warga negra yang bersumber dari situ”. Delik politik campuran, setengah delik

poliotik setengah delik komun (umum) seperti pembunuhan seorang tiran. Di sini

pembunuhan politik.

9. Dengan Delicta propria diartikan delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang

yang mempunyai kualitas tertentu, seperti delik jabatan, delik militer, dan sebagainya.

10. Lihat judul-judul bab pada Buku II KUHP

F. Waktu dan Tempat Terjadinya Delik (Tempus et Locus Delicti)

Delik dilakkan di saat tertentu dan di tempat tertentu. Saat itu dapat berupa jangka

waktu tertentu, seperti pelanggaran terhadap larangan parkir, penyanderaan (perempasan

kemerdekaan). Dalam surat dakwan harus dicantumkan waktu dan tempat terjadinya delik

(temous et locus delict). Dalam rangka pembelaan diri terdakwa perlu mengetahui kapan dan

di mana perbuatan yang didakwakan itu terjadi. Suatu delik ada masa lewat waktunya untuk

menuntut (verjaard)

Sering pula rumusan delik sendiri menunjukkan kapan delik itu dilakukan, seperti

pencurian pada waktu malam di sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya

(Pasal 363 ayat (1) ke 3 KUHP.

Ada lima hal yang waktu menentukan terjadinya delik :

1. Menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal 1 ayat 1 KUHP)

2. Berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik

ataukah belum

3. Menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan/concursus)

delik

4. menyangkut lewat waktu (verjaring)

5. Rumusan delik sendiri menetukan, pencurian pada waktu malam, pencurian pada waktu

banjir, gempa dan seterusnya.

Tidak disebut mengenai tempat terjadinya delik atau locus delicti. Hal ini diserahkan

kepada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi untuk menjawabnya.

Page 28: Resume Materi Hukum Pidana

Penting tempat terjadinya delik ditentukan karena :

1. Menyangkut kompetensi relatif hakim

2. Berlakunya KUHP Indonesia (Pasal 2-8 KUHP)

3. Ada delik yang menetukan di tempat tertentu, misalnya di muka umum.

4. Tempat0tempat yang terbatas berlakunya suatu ketentuan pidana. Misalnya peraturan

daerah yang hanya berlaku di wilayahnya sendiri.

5. Tempat menjadi bagian rumusan delik misalnya seperti tersebut di muka pencurian di

sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya. Kejahatan yang

dilakukan di atas kapal laut atau udara dan lain-lain.

Menurut Cleiren & Nijboer, et al., ada 4 (empat)teori mengenai locus delicti, yaitu:

1. Ajaran perbuatan badan (de leer van lichamelijke gedraging). Ajaran ini cocokuntu delik

dengan rumusan formel, yang terjadinya akibat bukan bagian inti (bestanddeel) delik.

Misalnya pada delik pencurian (HR 8 Februari 1926 NJ. 1926, 285)

2. Ajaran yang kedua disebut ajaran instrumen atau alat (de leer vanhet instrument). Ajaran

ini berkaitan dengan delik yang dilakukan dengan sebuah alat seperti senapan, racun,

bom, dll. Ajaran ini mengatakan bahwa locus delicti ialah tempat bekerjanya alat itu. Jika

A mengirim pesan melalui internet dari Singapura ke Jakarta untuk menipu, maka Jakarta

adalah locus delictinya

3. Ajaran ketiga disebut ajaran terciptanya akibat (de leer van constitutieve gevolg). Locus

delicti berdasarkan ajaran ini ialah tempat delik menjadi sempurna dengan terjadinya

akibat. Ajaran ini hanya berlaku jika akibat tertentu menjadi bagian inti (bestanddeel)

seperti pembunuhan (moord;murder;mord). Ajaran ini sering jatuh bertepatan dengan

ajaran instrumen, misalnya pembunuhan dengan bom surat. Akan tetapi sering juga tidak

demikian, misalnya seseorang mengirim bom surat dari Keulen ( Jerman) ke Breda

(Nederland) dan meledak di situ, tetapi korbandilarikan ke rumah sakit Antwerpen

(Belgia) dan dia mati di sana. Dengan demikian, Antwerpen (Belgia) menjadi locus

delicti. Oleh karena faktor kebetulan memainkan peran dalam teori ini maka kurang

diperhatikan oleh literartur.

Page 29: Resume Materi Hukum Pidana

4. Ajaran yang keempat disebut ajaran ”terjadi di mana-mana” (ubiquiteitsleer) kata-kata

”atau”. Diganti dengan ”dan”, ”dan” (HR 4 Februari 1958, NJ. 1958, 294). Hoge Road

mengakui secara eksplisit pada 6 April 1954, NJ. 1954, 368, dimungkinkannya lebih dari

satu locus delicti yang berarti berlebihan untuk mencari locus delicti yang sebenarnya

yang mnyampingkan semua yang lain. Tempat berita dan dokumen dari penipu diterima

oleh korban harus dipandang sebagai tempat bersama locus delicti. Selanjutnya HR

tanggal 4 Februari 1958, 294; memutuskan tempat surat penghinaan dikirim dan tempat

orang yang dihina menerimanya sebagai locus delicti. Lebih lanjut, HR 27 April 1993,

NJ. 1993, 744; memutuskan bahwa delik dilakukan di tempat-tempat secara bersama di

mana bilyet pemberitahuan diserahkan. Di Jerman ajaran ini sudah masuk ke dalam

KUHP (STGB) Part 9.

Dalam hal delik omisi locus delicti ialah tempat perbuatan yang diabaikan itu

seharusnya dilakukan (HR 19 April 1940, NJ. 1940, 805). Tempat- tempat itu sering

merupakan kebetulan.

Penyertaan seperti pemancingan (uitlokking), membuat orang lain melakukan (doen

plegen) dan pembantuan mengenal locus delictinya sendiri. Misalnya dalam kasus

penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996, tempat pemancingan untuk melakukan

penyerbuan di tempat lain, tetapi locus delicti penyerbuan ialah di Jl. Diponegoro.

Page 30: Resume Materi Hukum Pidana

BAB VIIKESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM

A. Sengaja

“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste) richting van den wil open bepaald misdrijven,

(Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu

dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori

kehendak. Menurut teori ini, maka “kehendak” merupakan akikat sengaja itu. Bantahan dari teori

kehendak adalah teori membayangkan teori dikemukakan oleh frank dalam tulisan Ueber den

Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat

dikehendaki

B. Kelalaian ( Culpa)

Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis: Kurang melihat ke depan yang perlu, kurang

pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib hati-

hati.

Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.

Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di

Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.

C. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti

yang, yaitu: Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat. Tidak adanya dasar peniadan pidana

yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan

dalam arti sempit (Culpa).

Page 31: Resume Materi Hukum Pidana

D. Melawan Hukum

Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu

perbutan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum

secaraFormil.

E. Subsosialitas (subsocialiteit)

Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu

mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya

demikian, maka unsur subsosialitas tidak ada.

F. Taatbestandmassikeit dan Wesenchau

Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima

adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik

tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu

perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman

ajaran ini diganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan

ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah

selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan

suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan

delik yang dipandang sebagai delik.

Page 32: Resume Materi Hukum Pidana

BAB VIIIDASAR PENIADANAAN PIDANA

A. Pengertian

Dasar peniadaan pidana haruslah dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan,

yang pertama ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya

perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang

dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak

menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhkan pidana. Ia harus dibedakan

dengan dipisahkan dari dasar peniadaan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut

jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang.

B. Pembagian Dasar Peniadaan Pidana

Dasar peniadaan pidana lazim dibagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf :

1. Dasar Pemaaf, unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada

pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini misalnya:

a. adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (Pasal 44 ayat 1)

b. adanya daya paksa mutlak dan perlampuan keadaan darurat (noodtoestandexces,

Pasal 48)

c. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)

d. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51

ayat 2)

2.   Dasar Pembenar, sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti, maka

perbuatan terdakwa dianggap patut dan benar sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh

hakim. Dalam hal ini misalnya :

adanya daya paksa relative dan keadaan darurat (overmacht, Pasal 48)

adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1)

karena sebab menjalankan undang-undang (Pasal 50)

karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1)

Page 33: Resume Materi Hukum Pidana

C. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan

Pasal 44 KUHP menyatakan orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam 2 hal,

yaitu : jiwanya cacad dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit jiwa.

Ketidakmapuan bertanggungjawab meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu

termasuk dasar pemaaf.

Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan

bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak

akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van

Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa

seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :

a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan

nilai dari perbuatannya.

b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.

c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.

Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara

negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan

bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang-

undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan

berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim, maka dalam hal

kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu

mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana karena

melakukan perbuatan.

Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si

pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu

bertanggungjawab, yaitu :

metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal

yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab;

metode psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari ciri-

ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab

atau tidak;

Page 34: Resume Materi Hukum Pidana

metode gabungan.

Dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan bertanggungjawab memerlukan selain

perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakiy yang disebabkan gangguan kejiwaan,

juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan.

Misalnya, hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu

bertanggungjawab terhaap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada

hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya seperti cleptomanie, tidak membebaskan

pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain, misalnya penganiayaan,

pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu kerjasma hakim dan psikiater menjasi syarat

mutlak tentang penentuan bertanggungjawab atau ketidakmampuan bertanggungjawab.

D. Daya Paksa (Overmacht)

Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan

perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan

KUHP) bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan.

Menurut Jonkers, Daya Paksa terbagi dalam 3 macam, yaitu :

1. Daya paksa mutlak;

2. Daya paksa relatif;

3. Keadaan darurat.

a. Daya Paksa Mutlak (absulte overmacht)

Pembuat tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat

melawan, dengan kata lain ia tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat

demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan rohaniah. Absulte

Overmacht termasuk alasan pemaaf dalam dasar peniadaan pidana.

Misalnya : seseorang yang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar

jendela, sehingga terjadi pengrusakan barang. Maka orang yang dilemparkan keluar jendela,

sehingga kaca jendela pecah tak dapat dipidana menurut pasal 406 KUHP. Contoh lain daya

paksa rohaniah, seorang dihipnotis, lalu dalam keadaan tak sadar berlari telanjang bulat.

Page 35: Resume Materi Hukum Pidana

Orang tersebut tak dapat dipidana menurut Pasal 281 KUHP. Dalam keadaan demikian orang

yang melemparkannya keluar dan orang yang menghipnotislah yang sebagai pembuat

menurut pasal 55.

b. Daya Paksa Relatif (relatieve overmacht)

Kekuasaan, kekuataan, dorongan atau paksaan fisik atau psikis terhadap orang yang

bersangkutan bersifat relatif atau nisbi.

Misalnya pada perampokan bank, bankir diancam dengan pistol supaya menyerahkan

uang. Bilamana ia tidak melakukannya maka ia akan ditembak. Bankir tersebut tidak dapat

melawan dengan risiko mati ditembak, bilamana ia tidak melawan dan menuruti kehendak

perampok, maka ia tidak dapat dipidana, sekalipun ia telah mewujudkan delik.

Perbedaan daya paksa absolut dan relatif ialah, pada absolut orang yang memaksa dan

mendoronglah yang berbuat, sedangkan relatif orang yang diancam, dipaksa, atau

didoronglah yang berbuat, sekalipun ia berbuat karena ancaman atau dorongan. Dalam hal ini

relatieve overmach termasuk alasan pembenar.

c. Keadaan darurat (noodtoestand)

Suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk

menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyatannya

melanggar kepentingan hukum yang lain. Noodtoestand dalam dasar peniadaan pidana

termasuk alas an pembenar.

Dalam doktrin hukum bentuk noodtoestand ada 3 macam ialah:

dalam hal terjadi dua kepentingan hukum (rechtsbelang);

dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum (rechtsplicht) dengan

kepentingan hukum;

dalam hal terjadinya dua kewajiban hukum.

·   Pertentangan antara dua kepentingan hukum (rechtsbelang)

apabila terjadi suatu keadaan dimana terjadi konflik antara dua kepentingan hukum yang

saling berhadapan, dimana tidak dapat memenuhi semua kepentingan hukum yang saling

bertentangan itu sekaligus, melainkan dengan terpaksa harus mengorbankan atau melanggar

kepentingan hukum yang lain tersebut tidak dapat dipidana.

Page 36: Resume Materi Hukum Pidana

Contoh : Ketika terjadi kecelakaan laut, ada dua orang penumpang yang usahanya hendak

menyelamtakan nayawanya berpegang pada sebuah papan, yang papan mana hanya dapat

menahan satu orang. Apabila keduanya tetap berpegang pada papan, maka kedua orang itu akan

tenggelam dan mati. Maka dalam usaha menyelamatkan diri dari ancaman kematian

(mempertahankan kepentingan hukumnya agar tetap hidup), maka seorang diantaranya

mendorong orang lain yang juga sedang berpegang pada papan itu (melanggar kepentingan

hukum atau kesalamatan orang lain), dan karena dorongan yang kuat itu maka terlepaslah

pegangannya dari papan tersebut dan matilah dia.

·    Pertentangan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum

Apabila terdapat suatu keadaan dimana seseorang hendak melaksanakan kewajiban

hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kepentingan hukumnya

sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegkkan kepentingan hukumnya sendiri

dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang-undang,

maka dia tidak dapat dipidana.

Contoh: Seorang dokter ahli forensik yang diminta oleh Pengadilan Negeri untuk

memberikan keterangan ahli tentang sebab kematian seorang korban dalam sidang perkara

pidana, pada saat yang sama dia menderita luka-luka karena kecelakaan lalu lintas, yaitu dalam

keadaan ini ia memilih melanggar kewajiban hukumnya dengan tidak memenuhi panggilan

Pengadilan Negeri, karena dia lebih mementingkan meneggakkan kepentingan hukumnya

dengan berisitirahat di rumah demi segera menyembuhkan luka-lukanya. Dalam hal ini si dokter

melanggar pasal 224 KUHP.

·   

 Pertentangan antara dua kewajiban hukum (rechtsplicht)

Apabila suatu keadaan dimana seseorang diwajibkan untuk menjalankan dua kewajiban

hukum sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yang keduanya tidak dapat dilakukannya, dan

kemudian dia melaksanakan salah satu saja dari kewajiban hukumnya itu.

Contoh : seorang dokter pada saat yang sama dia harus menjalankan operasi seseorang

karena karena kecelakaan yang tidak ada dokter lain yang dapat melakukannya, yang ketika itu

ia juga dipanggil pengadilan untuk memberikan keterangan ahli. Si dokter hendak melaksanakan

kewajiban hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kewajiban

hukumnya sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegakkan kewajiban hukumnya

Page 37: Resume Materi Hukum Pidana

sendiri dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang-

undang, maka dia tidak dapat dipidana.

E. Pembelaan Terpaksa

Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan

perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan

atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman

serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.

Dalam hal ini, asas yang harus diperhatikan adalah asas subsdiariteit dan asas

propositionaliteit. Asas ini mensyaratkan bahwa bilamana terdapat cara pembelaan yang

sifatnya lebih ringan, maka yang diserang tidak boleh meggunakan cara yang memberikan

kerugian yang lebih besar pada penyerang. Dengan kata lain pembelaan yang diberikan itu

haruslah tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan, yang diserang harus memilih

cara yang tidak mendatangkan kerugian yang lebih besar pada penyerang daripada yang

perlu. Kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai harus maksimal dan seimbang dengan

kepentingan yang dikorbankan.

Menurut Zainal Abidin Farid, Noodweer ialah pembelaan yang diberikan karena

sangat mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Yang mana serangan

itu dilakukan terhadap dirinya sendiri atau diri orang lain terhadap serangan yang bersifat

fisik; dalam hal membela kehormataan kesusilaan diri sendiri atau orang lain; dalam hal

pembelaan harta benda sendiri atau orang lain. Dalam noodweer ada alas an pembenar dalam

dasar peniadaan pidana.

Syarat pembelaan terpaksa :

karena terpaksa sifatnya;

yang dilakukan ketika timbulnya ancam serangan dan berlangsungnya serangan;

untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat mewalan hukum;

yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam;

pembelaan terpaksa itu terbatas dalam hal mempertahankan 3 macam kepentingan

hukum.

Perbedaan Overmacht dan dan Noodweer Pada Overmacht:

Page 38: Resume Materi Hukum Pidana

overmacht terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh yang diserang (korban)

adalah perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan oleh penyerang;

orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki oleh si

penyerang, karena dia tidak berdaya melwan serangan yang memaksa itu;

tidaklah ditentukan bidang kepentigan hukum apa dan dalam hal apa penyerangan yang

dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa;

pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik

antara dua kepentingan hukum, konflik antara kewajiban hukum dan konflik antara

kewajiban dan kepentingan hukum.

Pada Noodweer:

Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak

menjadi atau maksud si penyerang;

Pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan

untuk berbuat untuk melawan serangan;

Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang

bersifat mewalan hukum dalam 3 bidang;

Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.

F. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas,

yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau

ancaman serangan itu tidak dapat dipidana.

Apa yang dimaksudkan dengan noodweer exces ialah perlampuan batas pembelaan

terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang

lain yang mengancam dan dapat terjadi walaupun serangan telah tiada. noodweer exces

termasuk alas an pemaaf dalam dasar peniadaan pidana

Perbedaannya dengan pembelaan terpaksa (noodwer):

a. perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan

yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya

Page 39: Resume Materi Hukum Pidana

haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui

dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer exces perbuatan

apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi diri apa yang diperlukan dalam hal

pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu

sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang

lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu

(noodweer) tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan

menembaknya (noodweer exces).

b. dalam hal pembelaan terpakasa, perbuataan pembelaan hanya dapat dilakukan pada

ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh

dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer exces

perbuataan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.

Tidak dapat dipidananya si pembuat noodweer karena sifat melawan hukum pada

perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar. Sedangkan pada noodweer exces adanya

alasan penghapusan kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar

tidak dipidananya si pembuat noodweer exces terletak pada diri orangnya bkan pada

perbuatannya.

G. Menjalankan Ketentuan Undang-Undang

Dirumuskan dalam Pasal 50 barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan unang-undang, tidak dipidana. Dari rumusan yang singkat ini, ada beberapa yang

perlu diterangkan yaitu :

Tentang ketentuan undang-undang

Perbuatan

Melaksanakan ketentyuan undang-undang

Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat oleh

kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang.

Page 40: Resume Materi Hukum Pidana

Tentang perbuatan yang dimaksudkan itu ialah perbuatan mana pada dasarnya jika tidak ada

undang-undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya adalah berupa suatu tindak

pidana.

Melaksanakan perintah undang-undang, tidak hanya terbatas pada melakukan

perbuatan yang diperintahakan oleh undang-undang akan tetapi lebih luas lagi ialah meliputi

pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-

undang.

Contoh : Algojo yang menjalankan tugas menembak mati terpidana yang divonis

hukuman mati

H. Menjalankan Perintah Jabatan

Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 barangsiapa melakukan perbuatan untuk

melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak

dipidana.”

Perbedaannya dengan menjalankan perintah undang-undang, dalam perintah jabatan

ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah

yang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah

jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada

menjalakan perintah undang-undang keabsahan pada menjalankan perintah itu ada pada

undang-undangnya. Keduanya termasuk dalam alasan pembenar.

Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah seorang penyelidik

mendapat perintah dari penyidik untuk menangkap seorang tersangka. Antara penyelidik dan

penyidik ada hubungan publik yang berdasarkan undang-undang, hubungan inilah yang

memberi dasar bagi penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam

upaya menjalankan perintah jabatan.

I. Dasar Peniadaan Pidana di Luar Undang-Undang

Page 41: Resume Materi Hukum Pidana

Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 2 perintah jabatan tanpa wewenang, tidak

menyebabkan hapusnya pidana kecuali apabila orang yang menerima perintah dengan itikad

baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksannya termasuk dalam

lingkungan pekerjannya.

Hal ini dapat dilihat dari syarat subjektif dan syarat objektif:

a.  Syarat subjektif; syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah ialah dia

mengira bahwa perintah itu sah adanya. Alasan sikap batin yang demikian haruslah

didasarkan pada hal-hal yang masuk akal, dan oleh karena itu faktor-faktor rasional dan

masuk akal yang menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah.

Dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah memerlukan syarat yaitu : orang yang

memberikan perintah itu disdadarinya adalah benar yang berhak. Dan mengenai apa yang

menjadi isi perintah itu disadarinya memang masuk dalam ruang lingkup kewenangan

yang memberi perintah.

Contoh: seorang penyidik menurut Pasal 16 (1) KUHAP berwenang memberi perintah

pada penyidik pembantu utnuk melakukan penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan

pada orang yang telah diketahui penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah

orang yang dibenci, apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik pembantu menjadi masuk

akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad baik dalam menjalakan perintah iitu dan

dia tidak dapat dipidana. Sikap batin “mengira perintah yang sah” adalah harus ditujukan

pada kedua faktor diatas.

Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan (1) orang yang memberi perintah secara objektif

bukanlah orang yang berwenang (2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar.

b.  Syarat Objektif; syarat kedua berupa isinya perintah harus menjadi bidang pelaksaannan

tugasnya, adalah berupa hubungan antara jkabatannya dan tugas pekerjan suatu jabatan.

Pada jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik merupakan pelaksanaan hak

jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan.

Misalnya : pejabat penyidik pembantu atas dasar perintah penyidik dia berwenang

melakukan penangkapan yang sekaligus berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah itu,

ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam jabatannya. Andaikata si penyidik

memerintahkan pada penyidik pembantu untuk memukuli tersangka yang tidak memberikan

keterangan berisi pengakuan, lalu perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik

Page 42: Resume Materi Hukum Pidana

pembantu ini sudah berada diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung

jawab sepenuhnya taas penyiksaan.

Peniadaan Pidana Di Luar KUHP

Dasar peniadaan pidana di luar KUHP dan merupakan hukum tertulis menurut van

Bemmelen ialah :

Hak mendidik orang tua dan wali terhadap anaknya, hak mendidik guru, dosen, (dan guru

mengaji) terhadap murid/siswanya.

Hak jabatan atau pekerjaan dokter, apoteker, bidan, dan peneliti ilmu-ilmu alam.

izin mereka yang kepentingannya dilanggar, kepada orang yang melanggar kepentingan

itu, yang perbuatannya merupakan delik seandainya tak ada izin tersebut. 

Zaakwarnerming menurut pasal 1354-1358 KUHPerdata. 

 Tak ada sifat melawan hukumnya yang materiel.

Tak ada kesalahan

Selaian yang disebut oleh Bemmelen, tentu masih ada peraturan hukum lain yang

mengandung dasar pembenar dan dasar pemaaf, misalnya :

1. Hak dukun kampong mengobati atau menyunat orang, atau melakukan pekerjaan bidan;

2. Hak KONI untuk mengadakan adu orang;

3. Ketentuan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila.

Page 43: Resume Materi Hukum Pidana

BAB IXTEORI-TEORI TENTANG SEBAB AKIBAT

A. Pengertian

Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian social tidak lah terlepas dari

rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah merupakan rangkaian

akibat dari peristiwa alam atau social yang sudah ada sebelumnya. Setiap peristiwa social

menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya yang satu

mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat.

Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.

Penentuan sebab suatu akibat dalam hokum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit

dipecahkan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP], pada dasarnya tidak

tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan

suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik

tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya delik atau

actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu ‘’ a. delik

materiel, misalnya pembunuhan [Pasal 33 KUHP]. Penipuan [Pasal 38 KUHP]. b. delik culpa,

misalnya karena kelalainnya mengakibatkan kematian orang lain [Pasal 359 KUHP], karena

lalainya menyebabkan lukanya orang lain [Pasal 360 KUHP], dan sebagainya.

Ada pula yang berupa syarat yang memperberat pidana dengan terjadinya akibat

tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang dikualifikasikan karena akibatnya misalnya

penganiayaan yang berunsurkan luka berat [Pasal 351 ayat-ayat KUHP] dan matinya orang lain

[Pasal 351 ayat 3 KUHP], Pasal 18tujuh ayat 3 KUHP yang mengandung unsure timbulnya

bahaya terhadap nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan apabila

perbuatan itu dilakukan dengan suatu kesengajaan [Pasal 354 KUHP] untuk membuat luka berat

orang lain, kemudian apabila kesengajaan itu dilakukan untuk atau demi kematian orang lain.

Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formel yang tidak mensyaratkan

adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu [Pasal 242 KUHP], pemalsuan surat-surat

[Pasal 263 KUHP], pencurian [Pasal 362 KUHP], penghasutan [Pasal 160 KUHP], pemalsuan

Page 44: Resume Materi Hukum Pidana

materai dan merek [Pasal 253 KUHP], dan sebagainya. Dalam hal ini delik formel ini, ajaran

kausalitas tidak diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu.

B. Teori-teori Kausalitas

Keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai

permasalahan yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang

menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan factor

berangkai yang menimbulkan akibat.

Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas tersebut adalah Von Buri dengan

teori condition sine qua non yang pertama kali dicetuskan pada tahun 18tujuh3. Menurut Von

Buri bahwa semua factor, yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan

yang tidak dapat weggedacht [dihilangkan] dari rangkain factor-faktor yang bersangkutan harus

dianggap causa [sebab] akibat itu. Tiap factor yang dapat dihilangkan [weggedacht] dari

rangkaian factor-factor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak

diberi nilai. Demikian sebaliknya tiap factor yang tidak dapat dihilangkan [niet weggedacht] dari

rangkaian factor-factor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang

bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua factor tersebut adalah sama dan sederajat.

Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang berpendapat bahwa pada prinsipnya

teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimabangi dengan restriksi [pembatasan].

Menurut Van Hamel restriksi tersebut dapat ditemukan dalam pelajaran tentang kesengajaan dan

kealpaan [opzet en schuldleer].

Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang berusaha untuk

memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam teori Van Buri, di antaranya adalah

teori mengindividualisasikan [individualiserende theorien] yang dipelopori oleh Birkmeyer.

Pendapat Birkmeyer berpangkal pada dalil Ursache ist die wirksamste Bedingung, yang menjadi

causa adalah factor [Bedingung, kejadian] yang paling berpengaruh [atas terjadinya delik yang

bersangkutan]. Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah terutama apabila di

Page 45: Resume Materi Hukum Pidana

antara semua factor itu sama berpengaruh atau apabila sifat dan coraknya dalam rangkaian

factor-faktor itu tidak sama.

Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi, menimbulkan teori baru

yang menggeneralisasi [generaliserende theory]. Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan

bahwa teori Vin Buri terlalu luas sehingga harus dipilih satu factor saja yaitu yang menurut

pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa [sebab].

Teori yang menggeneralisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Teori adaequaat dari Von Kries > Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang,

sepadan. Jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau

sebading dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui.

2. Teori obyektif – nachttraglicher Prognose dari Rumelling. Teori Rumelling

mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah factor obyektif yang

diramalkan dari rangkaian factor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik

setelah delik itu terjadi. Tolak ukur teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi

menetapkan harus timbul suatu akibat.

3. Teori adaequaat dari Traeger > Menurut Traeger bahwa akibat delik haruslah in het

algemeen voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai

suatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh Van

Bemmelen bahwa yang disebut dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge

mate van waarschijnlijkheid yang artinya adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat

mungkin dapat terjadi.

Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu delik omisi yang

sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Menurut Vos pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada

masalah kausalitas, dapat dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat.

Pada delik omisi yang tidak sebenarnya, muncul masalah kausalitas.

Pompe menerima kausalitas pada pengabaian, tetapi sejauh pengabaian itu menimbulkan

akibat. Jadi, dia juga menerapkan formula sebab adekuat dalam pengabaian.

Page 46: Resume Materi Hukum Pidana

Van Hamel menerapakan ajaran kausalitas condition sine qua non secara konsekuen, karena ia mengatakan bahwa jika pengabaian itu ditiadakan dari pikiran [wegdenkt], maka tidak ada akibat juga.

Page 47: Resume Materi Hukum Pidana

BAB XHUKUM PENITENSIER

A. Pendahuluan

Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum

B. Jenis-jenis Pidana

Jenis-jenis Pidana

a. Pidana Pokok

i. Pidana Mati

ii. Pidana Penjara

iii. Pidana Kurungan

iv. Pidana Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim

a. Pidana Pokok

Rincian pidananya adalah sebagai berikut :

1. Pidana Mati

Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu

:

1.1 Pasal 104 KUHP

1.2 Pasal 111 ayat (2) KUHP

1.3 Pasal 124 ayat (1) KUHP

1.4 Pasal 124 bis KUHP

1.5 Pasal 140 ayat (30) KUHP

1.6 Pasal 340 KUHP

1.7 Pasal 365 ayat (4) KUHP

Page 48: Resume Materi Hukum Pidana

1.8 Pasal 444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.

2. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga

berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke

sebrang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.

3. Pidana Kurungan

Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah

sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik-

delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana.

Yang kedua sebagai custodia simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik

pelanggaran

4. Pidana Denda

Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa

pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya

pidan ayang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.

5. Pidana Tutupan

Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan

oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan

tersebut diterapkan.

b. Pidana Tambahan

Pidana tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari :

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim

Sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :

Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan)

Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,

pengumuman putusan hakim

Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana suatu

perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh kondisi social

Page 49: Resume Materi Hukum Pidana

yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan itu

akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU penyalahgunaan narkotika

( UU No. 9 / 1976), dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan

yang dapat dipidana.

De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam

hukum positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan masyarakat berubah menjadi

perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan

barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum diancam

dengan hukuman penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka pelaksanaan

program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh BKKBN, dengan

kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik daya paksa.

Masalah pokok didalam Hukum Penitensier

1.  Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )

2.  Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)

3.  Terpidana ( siapa yang diproses )

Alasan perubahan KUHP

Pertimbangan politis

Bahwa RI sudah merdeka 60 tahun dan sudah sepantasnya dan sewajarnya memilik

KUHP Nasional hasil karya bangsa sendiri karena KUHP yang ada sekarang ini adalah hasil

karya pemerintahan kolonial Belanda dan dibuat diBelanda, bila bangsa Indonesia memiliki

KUHP Nasional dapat menumbuhkan kebanggaan nasional yang dapat mengangkat harkat dan

martabat bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di dunia.

Pertimbangan sosiologis

Karena KUHP yang kita miliki sekarang dibuat oleh pemerintahan Belanda sudah barang

tentu hanya menjamin kepentingan-kepentingan sosial masyarakat Belanda khususnya

masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, maka dari itu bila KUHP Nasional lahir, sudah

barang tentu dirujuk dan mengacu pada nilai-nilai social dan kepentingan masyarakat Indonesia

yang sangat prularistik (beragam).

Pertimbangan praktis

KUHP yang ada sekarang di Republik Indonesia adalah merupakan hasil terjemahan

tidak resmi, keberadaanya itu hanyalah merupakan hasil terjemahan dari para ahli hukum kita

Page 50: Resume Materi Hukum Pidana

yang kebetulan menguasai bahasa Belanda, dengan demikian dengan adanya hasil terjemahan

beberapa para ahli menurut Prof. Muladi tidak mustahil adanya hasil terjemahan yang tidak

konsisten satu sama lainnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi para penegak hukum.

Tujuan pemidanaan

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hokum demi

pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang

baik dan berguna dalam masyarakayt.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan memulihkan

keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.

Kewajiban Hakim sebelum menjatuhkan pidana

a. Kesalahan sipelaku

b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana

c. Cara melakukan tindak pidana

d. Sikap batin sipelaku

e. Riwayat hidup dan keadaan sosial sipelaku

f. Sikap sipelaku sesudah melakukan tindak pidana

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan sipelaku

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban & keluarga

j. Tindak pidana yang dilakukan terencana atau tidak

Hak Narapidana

Hak mendapat pemeliharaan kesehatan

Hak mendapat kunjungan keluarga, saudara, atau kerabat

Hak mendapat kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

Hak remisi

Hak asimilasi

Hak mendapat cuti

Hak pembebasan bersyarat

Hak cuti sebelum bebas

Page 51: Resume Materi Hukum Pidana

Kewajiban Narapidana

Mantaati semua peraturan tata tertib yang diterapkan dilingkungan LP tersebut,meliputi :

Kewajiban bekerja

Kewajiban berperilaku baik

Proses pelaksanaan pembinaan terhukum atau narapidana di Indonesia dihadapkan pada kendala

yang pokok yaitu :

SDM pembinaan belum memiliki profesionalisme

Dari segi struktur bangujnan LP seratus persen masih menggunakan struktur kepenjaraan,

padahal pedoman-pedoman kepenjaraan sudah dihapus sejak program pemasyarakatan

dicanangkan pada tahun 1970.

Objek hukum penitensier adalah putusan Hakim yang berkaitan dengan perkara pidana, putusan

Hakim dalm kasus pidana, dalam kitab undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia,ada 3

(tiga) jenis yaitu

¤ Putusan bebas

¤ Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan atau didakwakan oleh jaksa penuntut

umum sama sekali tidak terbukti dipersidangan.

¤ Dilepaskan semua dari tuntutan hukum

¤ Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim apabila Hakim berkesimpulan bahwa yang dituduhkan oleh

jaksa penuntut umum itu terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupak perbuatan yang dapat

dipidana.

¤ Contohnya kasus utang piutang yang oleh jaksa penuntut umum di dakwakan sebagai

perbuatan pidana.

¤ Penghukuman

¤  Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum seluruhnya

atau sebagian terbukti.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum penitensier ini hanyalah berkaitan dengan

putusan hakim yang berisi “pemidanaan”  atau  “penghukuman” saja.

Sering kali putusan hakim yang mengadili tindak pidana ringan putusannya itu adalah

pidana bersyarat atau disebut juga pidana percobaan.

Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana si terpidana tidak usah menjalani pidana

tersebut melainkan tetap berada ditengah-tengah masyarakat terkecuali bilamana si terpidana

Page 52: Resume Materi Hukum Pidana

dalam waktu masa percobaan tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana apapun maka

hukuman penjara harus segera dilaksanakan.

Ex : Terpidana dijatuhi hukuman pidana bersyarat 1 Tahun, “artinya” bahwa si terpidana

tersebut tidak perlu menjalani pidananya didalam Lembaga Pemasyarakatan ( LP ) melainkan

tetap berada didalam masyarakatnya , tetapi dalam kurun waktu 1 tahun itu si terpidana tidak

boleh melakukan pelanggaran tindak pidana apapun dan apabila sebelum masa 1 tahun itu habis

si terpidana melakukan pelanggaran tindak pidana lagi maka putusan I yang berisi hukuman 1

tahun penjara harus segera dilaksanakan.

Fungsi dari penegakan hukum adalah menempatkan hukum pada posisi yang tepat

sebagai bagian usaha manusia untuk menjadikan dunia ini lebih nyaman untuk di tinggal. ( The

function of law enforcement is to put in law prover prespective as a part man effort to make this

world better place in which to life )

Hak perogatif  Presiden berkaitan dengan masalah pemidanaan

1. Pemberian Grasi

Masalah grasi telah diatur tersendiri oleh undang-undang pengajuan grasi hanya dapat diajukan

oleh terhukum atau ahli warisnya, putusan grasi yang dikeluarkan oleh presiden dapat berupa :

a.  Penolakan atau ditolak grasinya

b.  Diterima grasinya dalam bentuk :

Pemidanaannya dirubah, contoh : Dari pidana mati dirubah menjadi pidana seumur hidup

Lama pemidanaannya, contoh : Dari pidana 20 tahun penjara dirubah menjadi pidana 10

tahun penjara

2. Pemberian Amnesti

Amnesti adalah putusan presiden yang berisi pembebasan  terhadap semua terhukum khususnya

terhadap terhukum yang berkaitan dengan kejahatan politik dan maker. Masalah amnesti ini

diatur berdasrkan kepres yang bersifat situasional.Contoh : Presiden mengeluarkan Kepres No 22

Tahun 2005 tentang membebaskan semua terhukum GAM.

3. Pemberian abolisi

Abolisi adalah putusan presiden yang berisi pembebasan penuntutan hukum terhadap

kejahatan politik dan maker. Masalah abolisi ini diatur berdasarkan kepres yang bersifat

situasionalContoh : Semua anggota GAM yang menyerah setelah 15 september 2005 dibebaskan

dari penuntutan hukum.

Page 53: Resume Materi Hukum Pidana

Perjanjian ekstradisi adalah suatu perjanjian antara 2 negara yang berisi pengembalian 

seorang tersangka atau terdakwa yang melarikan diri kenegara yang bersangkutan maka negara

yang kedatangan  pelarian tersebut wajib menangkap dan mengembalikan ke Negara asal

sebaagaimana dalam perjanjian.

Masalah pemidnaan anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997

Tentang anak ini bila melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu

adalah manusia yang belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang

baru lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil.

Di dalam UU No.3 tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang

disebut seorang anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung

mencbut pasal 44 tentang batasan usia.

Tentang hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan

tindakan pidana tidak diancam pidana mati, maka :

Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung  1/3 apabila tindakan pidan tersebut

dilakukan oleh orang dewasa.

Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan

kepada orang tuanya.

Dipidana sebagai anak negara untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan anak.

Proses pemidanaan bagi seorang anak yang melakukan tindak pidan berdasarkan UU

No.3 Tahun 1997 antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di

pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak

menggunakan pakaian uniform (seragam dinas).

Pelaksanaan pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak

pidana ini harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah

ditentukan bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain terhadap

seorang anak tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana mati. Masalah pidana mati

diatur dalam UU No. 2 Tahun 1964.

Ketentuan-ketentuan pokok tentang pidana mati itu disebutkan

1. pidana mati hanya dapat dilaksanakan setelah segala upaya hukum termasuk grasi telah

ditolak oleh Presiden, dan kasasi ditolakn oleh MA

Page 54: Resume Materi Hukum Pidana

2. Apabila grasi telah ditolak oleh Presiden, penolakan itu ahrus disampaikan kepada

pengadilan dimana keputusan pidana mati dijatuhkan.

3. Oleh pengadilan penolakan upaya hukum pidana mati disampaikan kepada  Kejaksaan

Tinggi sesuai dengan wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan.

4. 3 X 24 jam setelah Kejaksaan Tinggi menerima perihal penolakan dari pengadilan,

Kejaksaan Tinggi memberitahukan kepada terpidana bahwa upaya hukum telah ditolak.

5. Kejaksaan Tinggi memohon kepada Kapolda untuk menyiapkan regu tembak eksekusi

(12 orang) yang dipimpin oleh seorang perwira polisi.

6. Si terpidana mati berhak tuntunan rohaniawan sesuai dengan agama dan kepercayaanya.

7. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan apabila si terpidan dalam keadaan sakit atau hamil.

8. Permohonan terakhir siterpidana mati harus dicatat oleh petugas LP

9. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan dimuka umum dalam arti harus jauh dari keramaian

dan tempatnya sesuai dengan wilayah hukum dimanapidana mati dijatuhkan

10. Yang menghadiri eksekusi pidana mati :Jaksa atau Hakim yang menjatuhkan pidan

mati,Dokter yang ditunjuk oleh pihak kejaksaan, rohaniawan

11. Jenazah terpidana mati harus dikembalikan kepada pihak keluarganya dan jika pihak

keluarga tidak mau menenrima jenazah tersebut segala urusn jenazah ditanggung negara

Tentang pidana penjara

Pidana penjara lamanya berdasarkan KUHP minimal 1 (satu) hari dan maximal 15 tahun

atau diperberat menjadi 20 tauhn.

Pidana penjara pelaksaannya belum tentu sesuai sepenuhnya dengan putusan Hakim,

karena setiap narapidana memiliki hak-hak remisi dan hak-hak asimilasi atau apabila

narapidana mengajukan grasi dan diterima grasinya oleh presiden bias berubah baik jenis

pidananya maupun lama pidananya.

Pidana penjara ini dalam masa reformasi sekarang masih belum sesuai dengan apa yang

diharapkan dalam system pemasyarakatan, sebagaimana yang diatur dalam UU No.12

Tahun 1995.

C. Tindakan (Maatregel)

Page 55: Resume Materi Hukum Pidana

Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan mamperbaiki terpidana.

D. Pidana Bersyarat

Pidana abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi dari Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara keduanya. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan sedangkan syart khusus akan ditentukan oleh hakim dan ada juga yang disebut syarat khusus.

E. Pelepasan Bersyarat

Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3 nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan “dapat” dierikan pelepasan bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.

Page 56: Resume Materi Hukum Pidana

BAB XIDASAR PENIADAAN PENUNTUTAN

Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis telah uraikan dengan

dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan pidana ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar

peniadaan penuntutan ditujukan kepada Penuntut Umum. Seperti telah diuraikan sebelumnya

bahwa dasar peniadaan pidana terbagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari

segi pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan,

dan terdakwa seharusnya dibebaskan. Sedangkan bilamana terdapat dasar pemaaf berarti

perbuatan criminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.

Dasar Peniadaan Penuntutan yang ada di dialam KUHP adalah :

1. Ne Bis In Idem (Pasal 76)

2. Lampau Waktu/Verjaring (Pasal 79)

3. Kematian Terdakwa atau Terpidana (Pasal 77)

4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan (Pasal 82)

5. Tidak adanya aduan pada Delik Aduan

Dasar Peniadaan Penuntutan di Luar KUHP :

1. Abolisi

2. Amnesti

Dasar peniadaan penuntutan di dalam Bab VIII KUHP adalah sebagai berikut :

1. Asas Ne Bis In Idem

Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam Pasal 76 KUHP yang menyatakan bahwa orang tidak

boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili

dengan keputusan yang menjadi tetap (putusan inkra).

Asas ne bis in idem mempunyai dua segi yaitu yang bersifat pribadi (persoonlijk) dan

yang bersifat peristiwa (zakelijk).

Ne bis idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai

tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwapada suatu saat

(nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketetuan pidana

terhadap suatu delik tertentu. Azas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan

pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah

mendapat putusan hukum yang tetap.

Page 57: Resume Materi Hukum Pidana

Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama

juga untuk menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang

sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap.

Tujuan dari azas ini ialah agar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti

juga menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam

masyarkat. Kuota putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukumyang tetap apabila upaya

hukum yang biasa yaitu perlawanan, banding, kasasi tidak dapatlagi digunakan baik karena lewat

waktu, atau pun karena tidak dimanfaatkan atau putusanditerima oleh pihak-pihak. Agar supaya

suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila :

Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yangdidakwakan

terdahulu.

Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.

Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyaikekuatan

hukum yang tetap.

Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadapseseorang

itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakimdengan vonis yang

tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:

1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa

terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkankepadanya; atau

2. Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim

memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itudibuktikan dengan

cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya

kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas

perbuatannya itu, atau

3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa

yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.

2. Lampau Waktu/Verjaring

Daluwarsa adalah pengaruh lampau waktu yang diberikan oleh Undang-undanguntuk

menuntut seseorang tertuduh dalam perbuatan pidana. Yang menjadi dasar ataualasan pembuat

KUHP menerima lembaga lewat waktu (verjaring) adalah :

Page 58: Resume Materi Hukum Pidana

1. Sesudah lewatnya beberapa waktu, apalagi waktu yang lewat itu cukup panjang,maka

ingatan orang tentang peristiwa telah berkurang bahkan tidak jarang hampir hilang.

2. Kepada individu harus diberi kepastian hukum (rechtsverligheid) terutama

apabilaindividu terpaksa tinggal di luar negeri dan dengan demikian untuk

sementarawaktu merasa kehilangan atau dikurangi kemerdekaannya.

3. Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudahlewatnya

waktu yang agak lama. Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai

berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya

sesudah perbuatan dilakukan”.

Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai berjalannya jangkawaktu

daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan”.

Pembuat KUHP juga menentukan saat istimewa mulai berjalannya lewat waktunya

tuntutan pidana dalam tiga hal yaitu :

1. Dalam hal memalsu atau meniru uang logam atau kertas atau uang kertas bank, maka

jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada harisesudah hari uang palsu

itu dipakai

2. Dalam hal salah satu kejahatan yang tercantum dalam Pasal-pasal 328KUHP

(Penculikan), 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, dan Pasal 333 KUHP, maka jangka lewat

waktunya tuntutan pidana mulai berjalan sesudah hari dibebaskannya atau meninggal

dunianya korban.

3. Dalam hal pelannggaran peraturan-peraturan Pencatatan Sipil (Pasal 556-558 a KUHP)

maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana muali berjalan padahari sesudah hari daftar-

daftar yang bersangkutan telah diserahkan kepada Panitia Pengadilan tersebut.

Verjaring dapat dicegah (gestuit) atau dipertangguhkan (geschorst). Beda antara

pencegahan dengan penangguhan adalah sebagai berikut :

Dalam hal pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang samasekali,

sedangkan dalam hal penangguhan jangka lewat waktu yang telah dilalui sebelum diadakannya

pertangguhan itu dapat diperhitungkan terus.

Pasal 80 KUHP mengatur pencegahan jangka lewat waktunya tuntutan pidana :“tiap-tiap

perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lewat waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh

Page 59: Resume Materi Hukum Pidana

orang yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara yangditentukan oleh undnag-

undang”.

Pasal 81 KUHP mengatur mengenai penangguhan lewat waktunya tuntutan pidana itu

disebabakan oleh apa yang disebut “question prefudictelleau judgement” atau perselisihan pra

yudiciil. Ini merupakan perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dahulu harus

diselesaikan sebelum perkara pidananya dilanjutkan.

3. Kematian Terdakwa/Terpidana

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 77 KUHP : “Kewenangan menuntut pidana hapus jika

terdakwa meninggal dunia”

Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan

maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu

dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harusoleh pengadilan

dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya

demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masihharus memutuskan

perkaranya.

Dalam pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus

ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana

itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja artinya tidak

dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.

Pengecualiannya diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam

hal menuntut denda, ongkos perkara atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai

pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan kepada ahli

waris orang yang bersalah. Oleh karena sifat individual hukum acara pidana, maka baik

wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang disangkamelakukan delik,

maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena kematian terdakwa atau terpidana.

4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan

Hal ini diatur dalam Pasal 82 KUHP. Yang bunyinya sebagai berikut :

Pasal 82 ayat (1)

Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari

pada denda, tidak berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiridan

Page 60: Resume Materi Hukum Pidana

demikian juga dibayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izinamtenaar yang

ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.

Pasal 82 ayat (2)

Jika perbuatan itu terencana selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu

ataudibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama.

Pasal 82 ayat (3)

Dalam hal hukuman itu ditambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh

juga tambahan itu dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebeb pelanggaran yang dilakukan

dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu.

Pasal 82 ayat (4)

Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum cukup umur 

yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.

Ketentuan ini memuat lembaga hukum pidana yang terkenal dengan namaafkoop yaitu

penebusan tuntutan pidana karena pelanggaran. Jadi dalam hal kejahatan afkoop ini tidak

mungkin, yang diatasnya tidak ditentukan, hukuman pokok lain dari pada denda, dengan

membayar sukarela maksimum denda.

Menurut Pasal 82 KUHP ada 2 macam syarat untuk dipenuhi agar seorang dapat lepas

dari pidana yang harus dijalankan atas pelanggaran itu, yaitu :

1. Dengan membayar secara sukarela denda tertinggi (maksimum) yangdiancamkan kepada

pelanggaran ini.

2. Dengan ijin dari pegawai yang ditunjuk undang-undang, misalnya KepalaJawatan Pajak

dalam hal orang yang melanggar peraturan di dalam hukum fiscal.

5. Tidak Adanya Aduan pada Delik Aduan

Tidak adanya pengaduan pada delik aduan (Pasal 166, 221 ayat (2) KUHP) Delik aduan

adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dariyang berhak mengadukannya.

Delik aduan ini ditentukan secara khussus dalam beberapaPasal KUHP. Misalnya Perzinahan

(Pasal 284 KUHP)

Sedangkan yang diatur di luar KUHP

Abolisi dan Amnesti

Abolisi dan Amnesti ini tidak tercantum dalam KUHP. Tetapi diatur dalamUndang-undang

Darurat No. 11/1954 tentang Manesti dan Abolisi, LN.1954 No.146 .Abolisi adalah meniadakan

Page 61: Resume Materi Hukum Pidana

wewenang dari Penuntut Umum untuk menuntut hukuman. Sedangkan Amnesti adalah suatu

wewenang yang lebih luas lagi, yaitu amnesti tidak hanya meniadakan wewenang untuk

menuntut hukuman tetapi juga wewenang untuk mengeksekusi hukuman, baik dalam hal

eksekusi itu belum dimulai maupun telah dimulai. Amnesty dan Abolisi ini diberikan oleh

Presiden atas kepentinan Negara. Amnesty dan Abolisi ini diberikan setelah mendapat nasehat

dari Mahkamah Agung.

Page 62: Resume Materi Hukum Pidana

BAB XIIDASAR PEMBERATAN PIDANA

Menurut Jonkers, bahwa dasar umum pemberatan atau penambahan pidana adalah:

1. Kedudukan sebagai pegawai negeri

2. Recidive (pengulangan delik)

3. Samenloop atau Concursus (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik)

1. Kedudukan sebagai pegawai negeri

Hal ini diatur dalam Pasal 52 KUHP yang berbunyi :

Jikalau seorang pegawai negeri (abtenaar) melanggar kewajiban yang istimewa dalam

jabatannya karena melakukan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan

perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana

memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena jabatannya, maka

pidananya boleh diotambah sepertiganya.

Ketentuan ini jarang sekali digunakan oleh Penuntut Umum dan Pengadilan, seolah-oleh

tidak dikenal mungkin juga karena kesulitan untuk membuktikan unaur pegawai negeri menurut

Pasal 52 KUHP, yaitu:

1. Melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatnnya; atau

2. Memakai kekuasaan atau daya upaya yang diperoleh karena jabatannya.

Misalnya seorang dosen yang memukul mahasiswanya tidak memenuhi syarat butir a,

sekalipun ia seorang pegawai negeri. Seorang polisi yang bertugas menjaga ketertiban dan

ketentraman umum yang mencuri tidak juga memenuhi syarat butir a. barulah anggota Polisi itu

melanggar kewajibannya yang istimewa karena jabatannya kalau ia memang ditugaskan khusus

untuk menjaga uang suatu Bank Negara, lalu ia sendiri yang mencuri.

Begitupula dengan butir b, misalnya seorang pegawai negeri yang bekerja di Kantor

Kepolisian sebagai juru tik tidak dapat dikenakan pasal 52 KUHP kalau ia menahan seseorang

didalam tahanan. Sebaliknya kalau ia seorang penyidik perkara pidana yang merampas

kemerdekaan seseorang memenuhi syarat butir b. seorang anggota kepolisian yang merampas

nyawa orang lain dengan menggunakan senjata dinsana memenuhi pula syarat itu.

Page 63: Resume Materi Hukum Pidana

Pasal 52 KUHP tidak dapat diberlakukan terhadap delik jabatan (ambtsdelicten) yang

memang khusus diatur didalam Pasal 413-437, yang yang sebaginnya telah dimasukkan ke

dalam Undang-undang tindak pidana pemberantasan korupsi.

Unsur-unsur pegawai negeri sebagai berikut :

1. Pengangkatan oleh pejabat yang berwenang;

2. Memegang suatu jabatan tertentu;

3. Melaksanakan sebagian tugas Negara dan badan-badannya;

4. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima

gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau

daerah; yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal

atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.

Sebelum berlakunya Undang-undang Tipikor No. 31/1999, dalam hukum pidana tidak

ada unsure menerima gaji dalam hal pegawai negeri.

2. Recidive (Pengulangan Delik)

Recidive atau pengulangan kejhatan tertentu terjadi bilamana orang yang sama

mewujudkan lagi suatu delik, yang diantarai oleh putusan pengadilan negeri yang telah

memidana pembuat delik.

Adapun yang menjadi alasan untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat bagi residivis

adalah "Apabila orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian ia melakukan perbuatan itu lagi,

maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang kurang baik. Meskipun ia telah dipidana tetapi

karena sifatnya yang kurang baik itu, ia kembali melakukan perbuatan pidana. Oleh karena

sifatnya yang demikian itu, maka reeidivis perlu dijatuhi pidana yang lebih berat lagi meskipun

ia telah dididik dalam Lembaga Pemasyarakatan agar mereka kemudian setelah kembali ke

dalam masyarakat dapat hidup normal sebagai warga masyarakat lainnya. Tetapi meskipun

demikian teh juga ia melakukan perbuatan pidana lagi".

Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu

hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :

1. Sistim Residive Umum, menurut sistem ini setiap pengulangan terhadap jenis tindak

pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk

Page 64: Resume Materi Hukum Pidana

memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan

tidak ada daluwarsa dalam residivenya.

2. Sistem Residive Khusus, menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan

alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang

dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang

waktu yang tertentu pula.

Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan

Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa

kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.

Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan

yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya

pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana

(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.

3. Concursus atau Samenloop (gabungan atau perbarengan delik)

Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan adalah terjadi nya dua atau lebih delik

oleh satu orang dimana delik yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara

delik yang awal dengan delik berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.

Pada pengulangan juga terdapat lebih dari suatu delik yang dilakukan oleh satu orang.

Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada pengulangan delik yang dilakukan pertama atau lebih

awal telah diputus oleh hakim dengan memidana si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik

sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah

diperlukan.

Sehubungan dengan lebih dari satu delik yang dilakukan oleh satu orang, maka ada 3

kemungkinan yang terjadi yaitu :

1. Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua delik

tidaklah telah ditetapkan satu pidana karena delik yang paling awal di antara kedua delik

itu. Dalam hal ini, dua atau lebih delik itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara

dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini

tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa

delik itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup

Page 65: Resume Materi Hukum Pidana

dengan satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang

diancamkan pada masing-masing delik. Misalnya dua kali pembunuhan (Pasal 338)

tidaklah dipidana dengan dua kali yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum

15 tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun

ditambah sepertiga, Pasal 56).

2. Apabila delik yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat oleh

hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada

pemidanaan si pembuat karena delik yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini

terdapat pemberian pidana dengan sepertiganya.

3. Dalam hal delik yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana si pembuatnya,

namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hokum pasti, maka disini tidak terjadi

perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiap delik itu dijatuhkan tersendiri sesuai

dengan pidana maksimum yang diancamkan pada beberapa delik tersebut.

Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi pembarengan dan disana tidak

terjadi pemberatan tetapi justru peringanan. Pendapat itu tidaklah berlaku umum karena ada

beberapa macam bentuk perbarengan dengan system penjatuhan pidananya tersendiri, dan

demikian juga tergantung dari jenis dan maksimum pidana yang diancamkan pada masing-

masing delik dalam perbarengan itu.

Misalnya : yang satu pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian korban

(365 (4))diancam penjara 15 tahun, dan yang lain melakukan pemerkosaan (285) diancam

penjara 12 tahun. Maka menurut Pasal 66 hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap delik

Pasal 365 ayat 4 dengan ditambah sepertiganya menjadi maksimum 20 tahun, apabila

dipidananya tersendiri maka berjumlah 27 tahun.

Benar dalam perbarengan seperti ini terdapat peringanan bukan pemberatan, tetapi tidak

tepat pendapat Utrecht itu apabila 2 delik yang berat ancaman pidana maksimumnya berbeda

cukup jauh, misalnya terjadi pembunuhan (338) 15 tahun penjara dan pencemaran (310 (1)) 9

bulan penjara, yang dapat dijatuhkan satu pidana penjara pada si pembuat dua delik itu dengan

maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah spertiganya)., yang apabnila dipidana tersendiri secara

maksimum adalah 15 tahun 9 bulan. Dalam kasus ini jelas perbarengan adalah memperbat

pidana.

Page 66: Resume Materi Hukum Pidana

juga pendapat itu tidak tepat jika yang terjadi adalah perbarengan dengan kejahtan dan

pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 yang

menggunakan system penjatuhan pidana dengan kumulasi murni, artinya untuk si pembuat

beberapa delik itu dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan yang diancamkan pada masing-

masing delik. Dalam hal ini tidak ada factor pemeberatan pidana dan peringanan pidana.

Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar memperberat pidana atau peringanan pidana,

bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu,

tidaklah bersifat general untuk segela kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa

hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana

yang terberat, tanpa melihat disana ada beberapa delik, maka disini perbarengan dapat dianggap

sebagai alasan pemeberatan.akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa delik, tetapi

hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan yang terberat (seperti pasal 65) maka

tampaknya ada perbarengan tidaka ada pemberatan.

Page 67: Resume Materi Hukum Pidana

BAB XIIIDASAR PERINGANAN PIDANA

Menurut Jonkers (1946 : 169), bahwa sebagai dasar peringanan atau pengurangan pidana

yang bersifat umum, biasa disebut:

a.    Percobaan untuk melakukan kejahatan (pasal 53 KUUHP).

b.    Pembantuan (pasal 56 KUUHP); dan

c.    Strafrechtelijke minderjarigheid, atau orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana

(pasal 45 KUUHP).

Titel ketiga KUUHP hanya menyebut butir c, karena yang disebut pada butir a dan b

bukanlah dasar peringanan pidana yang sebenarnya. Pendapat Jonkers tersebut sesuai dengan

pendapat Hazewinkel¬ Suringa (1973 : 571), yang mengemukakan bahwa percobaan dan

pembantuan adalah bukan suatu bentuk keadaan yang memberikan ciri keringanan kepada suatu

delik tertentu, tetapi percobaan dan pemban¬tuan merupakan bentuk keterwujudan yang berdiri

sendiri dan tersendiri delik-delik.

Jonkers (1946 : 169) menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 53 (2) dan (3) serta

pasa157(2) dan (3) KUUHP bukanlah dasar pengurangan pidana berdasarkan keadaan-keadaan

tertentu; tetapi adalah algemene straffixering (penentuan pidana umum) pembuat percobaan dan

pembantu, yang merupakan pranata hukum yang diciptakan khusus oleh pembuat undang-

undang. Kalau di Indonesia masih terdapat satu dasar peringanan pidana umum seperti tersebut

di dalam pasa145 KUUHP, maka di Nederland pasa139 oud WvS, yang mengatur hal yang

sama, telah dihapuskan pada tang¬gal  9 November 1961, Staatsblad No. 402 dan 403, dan

dibentuk Kinderstrafivet (Undang-undang Hukum Pidana Kanak-kanak) dan Beginselenwet voor

de Kinderbescherming (Undang-undang Pokok Tentang Perlindungan Kanak-kanak), yang

memerlukan karangan tersendiri.

Pasal 45 KUUHP, yang sudah ketinggalan zaman itu, mem¬berikan wewenang kepada

hakim untuk memilih tindakan dan pemidanaan terhadap kanak-kanak yang belum mencapai

usia 16 tahun, yaitu: mengembalikan kanak-kanak itu kepada orang tuanya atau walinya tanpa

dijatuhi pidana; atau memerintahkan supaya anak¬-anak itu diserahkan kepada Pemerintah tanpa

Page 68: Resume Materi Hukum Pidana

dipidana dengan syarat¬-syarat tertentu; atau pun hakim menjatuhkan pidana. Jikalau

kemung¬kinan yang ketiga dipilih oleh hakim, maka kalau ia hendak menjatuhkan pidana

maksimum kepada kanak-kanak itu, maka pidananya harus dikurangi dengan sepertiganya.

Misalnya seorang murid SMP menghilangkan nyawa seorang murid SMA, yang usianya

barulah 13 tahun. Kalau hakim hendak menjatuhkan pidana tertinggi, maka pidananya ialah 15

tahun dikurangi 5 tahun = 10 tahun penjara. Perlu juga penulis jelaskan bahwa pidana yang

dijatuhkan oleh hakim tidaklah perlu yang tertinggi sebagaimana pandangan keliru sebagian

mahasiswa Fakultas Hukum yang terbaca dalam skripsi mereka, tetapi hakim dapat memilih

pidana yang paling ringan yaitu satu hari menurut pasal 12 (2) KUUHP sampai pidana

maksimum yang ditentukan di dalam pasal 338 KUUHP yang dikurangi dengan sepertiganya,

dengan kata lain pidana terendah ialah satu hari, dan yang tertinggi ialah sepuluh tahun penjara.

Hanya hakim perlu memperhatikan bunyi pasal 27 Undang-undang Pokok Kekuasaan

kehakiman, yang memerintahkan hakim memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup di dalam

masyarakat serta memperhatikan tujuan pemidanaan yang dianut di Indonesia, yaitu membalas

sambil mendidik.

Selain satu-satunya dasar peringanan pidana umum yang terdapat di dalam pasal 45

KUUHP, terdapat juga dasar peringanan pidana yang khusus yang diatur di dalam Buku Dua

KUUHP, yaitu:

a.    Pasal 308 KUUHP,

menetapkan bahwa seorang ibu yang menaruh anaknya di suatu tempat supaya

dipungut oleh orang lain tidak berapa lama setelah anak itu dilahirkan, oleh karena takut akan

diketahui orang bahwa ia telah melahirkan anak atau dengan maksud akan terbebas dari

pemeliharaan anaknya, meninggalkan¬nya, maka pidana maksimum yang tersebut dalam pasal

305 dan 306 KUUHP dikurangi sehingga seperduanya. Pidana maksimum tersebut dalam pasal

305 KUUHP ialah lima tahun enam bulan penjara. Jadi pidana maksimum yang dapat dijatuhkan

oleh hakim kalau terdapat unsur delik yang meringankan yang disebut dalam pasal 308

(misalnya karena takut diketahui orang bahwa ia telah melahirkan) ialah dua tahun dan sembilan

bulan.

Page 69: Resume Materi Hukum Pidana

Pasal 306 (1) dan pasal 306 (2) KUUHP sesungguhnya mengandung dasar pemberatan

pidana, yaitu kalau terjadi luka berat, maka pidana diperberat menjadi tujuh tahun enam bulan

serta kalau terjadi kematian orang maka diperberat menjadi sembilan tahun. Jadi kalau terdapat

unsur "takut diketahui bahwa ia telah melahirkan" dapat dibuktikan, maka pidana maksimumnya

dikurangi dengan seperduanya.

b.    Pasal 341 KUUHP

mengancam pidana maksimum tujuh tahun penjara bagi seorang ibu yang menghilangkan

nyawa anaknya ketika dilahirkan atau tidak lama setelah itu, karena takut ketahuan bahwa ia

sudah melahirkan. Ketentuan ini sebenarnya mempe¬ringan pidana seorang pembunuh yaitu dari

15 tahun penjara menjadi tujuh tahun, karena keadaan ibu tersebut. Sebenarnya untuk Indonesia

kata "takut" harus diganti dengan perkataan "merasa aib", karena itulah yang terbanyak yang

menyebabkan perempuan-perempuan membunuh bayinya. Pembunuhan bayi dan pembuangan

bayi banyak terjadi oleh karena menjamumya budaya pacaran yang meruru-niru kehidupan

orang-orang Barat.

c.    Pasal 342 KUUHP

menyangkut Pembunuhan bayi oleh ibunya yang direncanakan lebih dahulu, yang

diancam pidana maksimum sembilan tahun, sedangkan ancaman Pidana maksimum  bagi

pembunuhan yang direncanakan ialah pidana mati, penjara seumur hidup atau dua puluh tahun.

Delik-delik tersebut di atas sering disebut geprivilingieerde delicten (delik privilege) atau

delik yang diringankan pidananya, dan termasuk dasar pengurangan atau peringanan pidana yang

subyektif. Lawannya disebut delik berkualifikasi, delik yang diperberat pi¬dananya

dibandingkan dengan bentuk dasar delik itu.

BAB XIVDELIK PERCOBAAN (POGING/ATTEMPT)

A. Pengertian Percobaan (Poging)

Page 70: Resume Materi Hukum Pidana

Percobaan adalah suatu usaha untuk hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam

keadaan diuji (Poerwodarminto, 1976:209). Dari apa yang diterangkan diatas, kiranya ada dua

arti percobaan.

Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang

telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi

selesai.

Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam keadaan diuji”

adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa mealukan perbuatan atau rangkaian perbuatan

dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu.

Percobaan (poging) diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP

Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”. Yang dirumuskan

hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan.

Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:

(1) ada niat

(2) adanya permulaan pelaksanaan, dan

(3) tidak selesainya pelakasanaan yang bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Adapun bunyi pasal 53 KUHP tersebut adalah sbb:

a) Mencoba melakukan kejahatan yang dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata adanya dari

adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata

disebabkan karena kehendaknya sendiri.

b) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal ini percobaan dapat dikurangi

sepertiga.

c)  Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

d)  Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.

Mengenai sebab mengapa undang-undang merumuskan tersendiri tentang syarat-syarat

untuk dapatnya dipidana pada percobaan kejahatan, ialah karena menurut bunyi rumusan semua

Page 71: Resume Materi Hukum Pidana

tindak pidana itu telah selesai diwujudkan, artinya dari perbuatan yang dilakukan si pembuat

semua unsur tindak pidana telah terpenuhi.

Untuk mengetahui arti dari perobaan dapat kita peroleh dari M.V.T (Memori Van

Toelichting) mengenai pembentukan pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut adalah sebuah kalimat

yang berbunyi sebagai berikut:

‘’percobaan melakukan kejahatan adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang

telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan

kejahatan tertentu yang telah diwujudkan didalam suatu permulaan pelaksanaan’’.

Apabila kita membandingkan pengertian poging, maka harus terlebih dahulu dipahami

bilamana delik telah dianggap selesai. Dan untuk menentukan bahwa suatu delik telah selesai,

kita harus mengambil dasar sebagai suatu perbedaan yang terdapat dalam jenis delik:

a.  Delik formil adalah delik telah dianggap telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang

dilarang. Misalnya, pasal 362 KUHP: yang dilarang mengambil barang orang lain.

b.  Delik materiil adalh delik telah dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang

terlarang. Misalnya, pasal 338 KUHP yang dilarang adalah menyebabkan matinya orang lain.

B.Syarat (unsur-unsur percobaan)

Dalam ilmu hukum pidana, percobaan melakukan kejahatan diancam sebagai suatu

perbuatan terlarang. Hal ini diatur dalam pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Percobaan untuk melakukan kejahatan dapat dihukum apabila maksud akan melakukan

kejahatan itu sudah nyata dengan suatu permulaan pelaksanaan dan perbuatan itu tidak selesai

disebabkan hal ihwal yang tidak tergantung pada kemauannya sendiri.”

Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) KUHP diatas, unsur-unsur percobaan adalah:

Adanya Niat

Syarat (unsur-unsur percobaan)

Arti Pelaksanaan tidak selesai bukan sebab dari kehendaknya sendiri

1. Adanya Niat

Page 72: Resume Materi Hukum Pidana

Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat disini diartikan sama dengan kesengajaan

(opzettelijk). Pendapat sempit telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat di sini sebagai

kesengajaan sebagai tujuan saja. Tentang niat di sini tampak secara jelas bahwa praktik hukum

menganut pandangan yang pada umumnya dianut oleh para ahli hukum , ialah niat adalah sama

artinya dengan kesengajaan dalam segala bentuknya.

Niat juga berarti maksud. Maksud dari orang yang hendak melakukan kejahatan, yang

diancam sanksi oleh suatu norma pidana. Kata “maksud” di sini adalah sengaja (opzet) sebagai

salah satu bentuk kesalahan. Kesengajaan tersebut harus ditujukan pada suatu kejahatan. Dengan

demikian, tidak dapat diberlakukan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang terjadi karena

kealpaan. Pada umumnya para pakar menganut pendapat bahwa yang dimaksud dengan niat

dalam percobaan atau poging adalah kesengajaan dalam arti luas, pendapat ini demikian dianut

oleh Van Hamel, Van Hattum, Johnkers, dan Van Bemmelen.

2. Permulaan Pelaksanaan

Mengenai semata-mata niat, sejahat apapun niat, tidaklah mempunyai arti apa-apa dalam

hukum pidana. Karena niat itu sendiri adalah suatu sikap batin yang belum ada apa-apanya,

murni masih di dalam batin seseorang, sikap batin mana boleh sembarang apa yang

dimaksudnya, tanpa dimintai pertanggung jawaban, dan tanpa ada akibat hukum apapun. Barulah

mempunyai arti menurut hukum pidana, apabila niat itu telah diwujudkan dalam suatu tingkah

laku tertentu, dan tingkah laku tertentu ini oleh pasal 53 ayat (1) dirumuskan sebagai permulaan

pelaksanaan. Persoalannya ialah permulaan pelaksanaan dari apa? Persoalan ini telah melahirkan

pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Sebagaimana telah diketahui dilam hal percobaan kejahatan, terdapat dua ajaran yang

saling berhadapan, yaitu:

Ajaran Subjektif

Ajaran Objektif

Kedua ajaran diatas berbeda pokok pangkal dalam memandang hal permulaan

pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran

subjektif bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat atau niat jahatn orang itu yang dinilai telah

Page 73: Resume Materi Hukum Pidana

mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sedangkan ajaran objektif bertitik tolak dari

sudut wujud perbuatannya atau wujud permulaan pelaksanaan itu yang telah dinilai mengancam

kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang, jadi telah mengandung sifat berbahaya bagi

kepentingan hukum.

Berdasarkan pijakan masing-masing dari kedua ajaran itu, maka menghasilkan

kesimpulan yang berbeda. Menurut ajaran subjektif ada permulaan pelaksanaan ialah apabila dari

wujud perbuatan yang dilakukan telah tampak secara jelas niat atau kehendaknya untuk

melakukan suatu tindak pidana. Tetapi sebaliknya menurut ajaran objektif, adanya permulaan

pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari

wujud perbuatan ialah pada tindak pidana tertentu.

Permulaan pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsure

dari norma pidana, misalnya:

“Kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya,

telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukkan tangan ke kantong orang yang

hendak dicopet.”

Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan. Pengertian perbuatan

pelaksanaan menurut Hoge Raad adalah sebagai berikut:

“Bahwa hanya perbuatan yang menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan

lain lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbauatan pelaksanaan.

(Hoge Raad dengan arrest tanggal 19-3-1934, N.J. 1934 halaman 450) Act of preparation

merupakan perbuatan persiapan yang belum termasuk perbuatan pelaksanaan karena masih

dibutuhkan perbuatan lain lagi untuk mencapai maksudnya, misalnya:

a. A hendak menganiaya B, maka A mempersiapkan diri dengan membeli sebilah pisau,

kemudian diasah.

b. R bermaksud membakar rumah Y, kemudian B mempersiapkan diri dengan membeli

bensin.

Perbuatan-perbuatan tersebut masih memerlukan perbuatan lain lagi untuk merealisasikan

maksud atau kehendak si pelaku.

Page 74: Resume Materi Hukum Pidana

3. Arti Pelaksanaan tidak selesai bukan sebab dari kehendaknya sendiri

Pada syarat kedua yang telah dibicarakan, ialah harus telah memulai pelaksanaan

(permulaan pelaksanaan). Seperti dia atas telah diterangkan bahwa dari sudut proses, permulaan

pelaksanaan adalah mendahului dari perbuatan pelaksanaan, yang sesungguhnya perbuatan

pelaksanaanlah. Pasal 53 ayat (1) sendiri sesungguhnya membedakan antara permulaan

pelaksanaan dengan pelaksanaan. Tentang permulaan pelaksanaan terdapat dalam kalimat “jika

niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan. Sedangkan pelaksanaan atau

perbuatan pelaksanaan terdapat dalam kalimat selanjutnya yang berbunyi: “dan tidak selesainya

pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya. Syarat ketiga tentang dapat

dipidananya melakukan percobaan kejahatan ialah pada kalimat yang disebutkan terakhir diatas.

Pada syarat ketiga ini, ada 3 unsur atau hal yang penting untuk dibicarakan, ialah:

a. Tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan?

b. Tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan dengan syarat apa yang disebut

dengan pelaksanaan yang tidak selesai?

c. Tetntang apa yang dimaksud dengan bukan semata-mata disebabkan karena

kehendaknya sendiri.

Di dalam literatur lain, keadaan yakni pelaksanaan itu tidak selesai hanya karena

keadaan-keadaan yang tidak tergantung pada kehendak si pelaku. Dalam hal ini, jika si pelaku

sendiri membatalkan niat atau kehendaknya, tidak terpenuhi syarat baginya untuk dikenakan

sanksi, misalnya:

Si A hendak membunuh si C dan telah membidik dengan pistol, tetapi pada saat hendak

menembak atau menekan pelatuk, dalam pikirannya, terlintas rasa iba kepada istri C yang

kebetulan masih ada hubungan keluarga dengannya, sehingga ia membatalkan niat tersebut.

Percobaan melakukan kejahatan merupakan delik jika si pelaku tidak meneruskan

perbuatannya karena ada rintangan atau hambatan di luar kehendak si pelaku, misalnya:

A hendak mencuri di rumah P. Setelah diamatinya, A berencana masuk ke rumah P melalui

jendela samping yang tampaknya mudah dirusak. Demikianlah, A mulai melakukan aksinya,

namun pada saat merusak jendela rumah P, petugas ronda malam memergokinya sehingga ia

ditangkap.

Page 75: Resume Materi Hukum Pidana

C. Jenis-jenis Percobaan

Adapun jenis-jenis percobaan yaitu sebagai berikut:

-  Percobaan Selesai (violtooid poging)

-  Percobaan Tertunda (tentarif poging)

-  Percobaan Percobaan yang Dikualifikasikan

-  Percobaan Mampu

-  Percobaan Tidak Mampu (endulig poging)

a. Percobaan Selesai / Percobaan Lengkap (Violtooid Poging / Delik Manque)

Adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang

pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi karena sesuatu

hal tindak pidana itu tidak terjadi.

Selain itu suatu percobaan apabila sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk

menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tidak terwujud bukan atas kehendaknya maka juga

disebut sebagai violtooid poging. Contoh : A menembak B tetapi meleset.

b. Percobaan Tertunda / Percobaan Terhenti / Tidak Lengkap (tentarif poging /

geschorste poging)

Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk

selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai

atau percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya

kejahatan. Contoh : A akan membunuh B dengan membidikan pistol ke arah B tetapi dihalangi

oleh C.

Untuk contoh lainnya misalnya, seorang pencopet yang telah mengulurkan dan

memasukkan tangannya dan tela memegang dompet dalam tas seorang perempuan, tiba-tiba

perempuan itu memukul tangan pencopet tersebut, sehingga terlepas dompet yang telah

dipegangnya.

c. Percobaan Yang Dikualifisir (gequalificeerde poging)

Adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaanya merupakan tindak pidana selesai yang

lain daripada yang dituju atau melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai

hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau

tersendiri.

Page 76: Resume Materi Hukum Pidana

Contoh: seorang bermaksud membunuh orang yang dibencinya dengan tusukan pisau,

tetapi orang tersebut tidak mati hanya luka-luka berat. Maka dalam hal ini pelaku dikenakan

penganiayaan yang menimbulkan luka berat (351 ayat 3), atau mungkin penganiayaan berat (351

ayat 1), penganiayaan berencana yang menimbulkan luka berat (351 ayat 2), atau penganiayaan

berat berencana (355 ayat 1).

d. Percobaan Mampu

1)      Menurut Simons

Percobaan yang mampu ada apabila perbuatan dengan menggunakan alat tertentu dapat

membahayakan benda hukum. Contoh : Gula tidak berbahaya tetapi dalam keadaan tertentu

(bagi pengidap penyakit gula) dapat membahayakan orang itu.

2)      Menurut Pompe

Ada percobaan mampu apabila perbuatan dengan memakai alat yang mempunyai

kecenderungan (strekking) atau menurut sifatnya (naar haar aard) mampu untuk menimbulkan

penyelesaian kejahatan yang dituju.

Contoh : Orang yang dengan maksud membunuh musuhnya, yang sebelumnya datang ke

apotik membeli arsenicum karena kekeliruan pegawainya telah memberikan gula, kemudian

orang itu memasukkan kepada minuman yang disuguhkan pada musuhnya, sehingga tidak

menimbulkan kematian, kasus ini tidak boleh dipandang dari sudut gulanya saja, tetapi harus

secara meneluruh.

Dari peristiwa ini maka telah ada percobaan yang dapat dipidana. Pandangan Pompe ini

berpijak dari ajaran percobaan subjektif. Pandangan Pompe ini lemah jika dilihat dari syarat

dipidananya percobaan pasal 53 (1) KUHP. Perbuatan demikian telah selesai penuh hanya

akibatnya saja yang tidak timbul berhubung alatnya yang mutlak tidak sempurna.Syarat mutlak

pembunuhan harus timbul akibat kematian.

3)      Menurut Van Hattum

Dalam menghadapi percobaan tidak mampu yang dapat dipidana atau tidak dapat

dipidana dengan menggunakan ajaran adekuat kausal yang penting ialah bagaimana caranya kita

memformulering perbuatan si pembuat dalam menggeneralisasi perbuatan itu sedemikian rupa

untuk dapat menentukan apakah perbuatan itu adekuat menimbulkan akibat yang dapat dipidana

atau tidak.

Page 77: Resume Materi Hukum Pidana

Contoh : Orang hendak membunuh musuhnya dengan pistol, pistol itu di isi peluru

kemudian ditaruh disuatu tempat. Tanpa diketahuinya ada orang lain mengosongkan pistol itu.

Ketika musuhnya lewat, pistol diambil dan ditembakkan pada musuhnya, tapi tidak meletup.

Dalam kasu ini keadaan konkret yang kebetulan ialah adanya orang yang mengosongkan isi

pistol, hal ini tidak perlu dimasukakan dalam pertimbangan.

Dengan demikian pada kejadian ini dapat diformulering sebagai berikut : ” mengarahkan

pistol yang sebelumnya telah diisi peluru kepada musuhnya dan menembaknya ” adalah adekuat

untuk menimbulkan kematian, dengan demikian dapat dipidana.

4)      Menurut Mulyatno

Mengenai persoalan mampu atau tidak mampunya percobaan tidak dapat dipecahkan melalui

teori adekuat kausal karena dalam kenyataannya tidak menimbulkan akibat yang dituju. Untuk

memecahkan persoalan ini kita harus kembali kepada delik percobaan ialah pada sifat melawan

hukumnya pada perbuatan. Jika percobaan bersifat melawan hukum maka percobaannya adalah

percobaan mampu sehingga dapat dipidana

e. Percobaan Tidak Mampu (endulig poging)

Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk

menimbulkan tindak pidana selesai karena : (1) alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana

adalah tidak mampu dan (2) obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun

relative.

Percobaan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan

pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-

undang tidak timbul (Arif, 1984: 18). Menurut hukum pidana percobaan tidak mampu dibedakan

antara:

·         Percobaan tidak mampu karena objeknya tidak sempurna

-          Objek yang tidak sempurna obsulut

-          Objek yang tidak sempurna relatif

·         Percobaan tidak mampu karena alatnya tidak sempurna

1)      Alatnya yang tidak sempurna relatif

2)      Alatnya yang tidak sempurna absolut

1)   Percobaan Tidak Mampu karena Objeknya Tidak Sempurna

Page 78: Resume Materi Hukum Pidana

a)      Objek Yang Tidak Sempurna Absolut

Adalah suatu kejahatan mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna dan oleh

karena itu kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi. Karena objek yang tidak

sempurna absolut, secara mutlak tidak dapat menjadi objek kejahatan.

Contoh : A hendak membunuh B, pada suatu malam A yang mengira B sedang tidur

sehingga ditembaknya beberapa kali, dan A yakin B telah mati karena tembakannya. Ternyata

menurut visum dokter, B telah meninggal sebelum kena tembakan A tersebut, dikarenakan B

terkena serangan jantung mendadak. Berarti dia telah menembak mayat.

Objek mayat, tidak mungkin dapat dilakukan kejahatan pembunuhan pada orang yang

dikira tidur padahal ia sudah meninggal sebelumnya atau tidak mungkin menggugurkan

kandungan pada wanita yang tidak hamil karena objek itu tidak ada. Dalam kasus ini tidak dapat

dipidana.

b)     Objek Yang Tidak Sempurna Relatif

Adalah suatu perbuatan yang ditujukan untuk mewujudkan kejahatan tertentu pada objek

tertentu, yang pada umumnya dapat tercapai tetapi dalam khusus tertentu objek tersebut

menyebabkan kejahatan tidak terjadi.

Contoh : brankas yang berisi uang yang pada umumnya pencuri membongkar brankas

dan mengambil uang yang didalamnya. Tetapi dalam keadaan tertentu , misalnya siang harinya

uang telah digunakan untuk membayar gaji karyawan sehingga brankas kosong. Brankas dalam

keadaan kosong adalah objek yang tidak sempurna relatif.

Contoh tersebut, pembuat telah menjalankan perusakan brankas oleh karena itu telah

terdapat permulaan pelaksanaan dari pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan

kejahatan atau sampai pada barang yang diambil dengan merusak (pasal 363 ayat 5 KUHP ), atau

dapat dipidana karena perusakan benda (pasal 406 ayat 1 KUHP ).

2)   Percobaan Tidak Mampu Karena Alatnya Tidak Sempurna

a) Alatnya Yang Tidak Sempurna Relatif

Yaitu melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan

menggunakan alatnya yang tidak sempurna relatif, maksudnya disini adalah percobaan tersebut

sebenarnya telah sampai kepada penyelesaian kejahatan yang diniatkan pelaku.

Page 79: Resume Materi Hukum Pidana

Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehinga kemungkinan penyelesaiannya

berkurang. Namun hal ini telah membahayakan kepentinga hukum sehingga pelaku perlu

dipidana.

Contoh : A berniat membunuh B dengan menggunakan racun tikus (arsenikum), ternyata

setelah dimakan oleh B, ia hanya sakit perut saja, hal ini mungkin disebabkan dosisnya kurang

atau B mempunyai daya tahan yang kuat terhadap arsenikum tsb.

Dalam hal ini: racun, alatnya kejahatan dapat mematikan jika diminum orang pada

umumnya, tetapi dapat menjadi relatif jika dosisnya kurang dan tidak cukup mematikan atau

orang yang dituju mempunyai daya tahan yang kuat terhadap jenis racun tersebut.

Disini dapat terjadinya percobaan karena dalam hal demikian kejahatan dapat terjadi (jika

dosisnya cukup). Oleh karena itu percobaan tidak mampu yang alatnya tidak sempurna relatif

dapat dipidana.

b) Alatnya Yang Tidak Sempurna Absolut

Yaitu melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan

menggunakan alatnya yang tidak sempurna absolut, sehingga kejahatan tersebut tidaklah dapat

melahirkan tindak pidana atau mustahil akan terjadi.

Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan dengan menggunakan

alatnya yang tidak sempurna absolut kejahatan itu tidak mungkin terjadi. Syarat-syarat yang

ditentukan dalam pasal 53 ayat 1 KUHP tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna

absolut (mutlak).

Contohnya : Menembak musuh dengan pistol tetapi lupa mengisi pelurunya, secara

absolut pembunuhan tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu percobaan juga tidak mungkin

terjadi. MvT WvS Belanda menerangkan bahwa ”syarat-syarat umum percobaan menurut pasal

53 yaitu syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan tertentu dalam buku II KUHP untuk

terwujudnya kejahatan itu harus ada objeknya, kalau tidak ada objeknya tidak ada percobaannya.

Dapat ditarik kesimpulan dari apa yang diterangkan MvT bahwa percobaan tidak mampu

hanya ada pada alat yang tidak sempurna saja dan tidak pada objeknya yang tidak sempurna.

3).   Batas Antara Percobaan Mampu dan Percobaan Tidak Mampu

Simons

Page 80: Resume Materi Hukum Pidana

Ia mengatakan bahwa percobaan mampu yaitu yang membahayakan benda hukum. Tidak

bahaya itu harus ternyata di dalam keadaan khusus dalam mana perbuatan dilakukan.

Pompe

Menurut beliau ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang dipakai pada

umumnya mempunyai kecndrungan atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik

selesai. Misalnya: mencoba mau membunuh orang dengan terus menerus mendoakan supaya

mati, bukan percobaan yang mampu.

Van Hattum

Adalah oranag yang terang-terangan menerangkan mampu atau tidaknya percobaan atas dasar

hukuman adaequat, artinya perbuatan terdakwa itu ada hubungan kausal yang adekwet dengan

akibat yang dilarang dengan undang-undang.

4).    Perbedaan Percobaan Mampu Dengan Percobaan

Tidak Mampu

Perbedaan dalam hal ini hanya bagi mereka yang menganut teori obyektif. Bagi mereka

yang menganut teori ini tidak mengenal pemisahan antara percobaan mampu dan percobaan

tidak mampu, karena menurut penganut ajaran ini menganggap bahwa dasar dipidananya

percobaan kejahatan itu terletak pada niat untuk melakukan kejahatan.

Barda Nawari Arif mengatakan, bahwa menurut MvT tidak mungkin ada percobaan pada

objek yang tidak mampu (tidak memadai), yang ada hanya pada alatnya saja, dengan demikian

dapat ditarik kesimpulan bahwa yang membedakan antara percobaan mampu dan tidak mampu

adalah pada alat yang digunakan percobaannya saja.

D. Sanksi Terhadap Percobaan

Hal ini diatur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)yang berbunyi sebagai berikut:

(2) Maksimum hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan

sepertiga.

Page 81: Resume Materi Hukum Pidana

(3) Kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka

dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.

Hukuman bagi percobaan sebgaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP

dikurangi sepertiga dari hukuman pokok maksimal dan paling tinggi lima belas tahun penjara.

Dalam ayat (2) dari pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan

dasar perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan diancaman

hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya

diancamkan hukuman maksimum 15 tahun penjara.

Dalam hal percobaan maksimum anacaman hukuman (bukan yang diajtuhkan) pada

kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup

diganti dengan hukuman penjara maksimum 15 tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan

sama saja halnya dengan kejahatan yang selesai dilakukan.

E. Percobaan yang tidak diancam dengan sanksi

Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Ternyata KUHP

mencantumkan hal tersebut dengan memuat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak

pidanan tertentu tidak dapat dihukum, antara lain:

a. Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahiaan tanding antara seseorang

lawan seseorang;

b. Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang;

c. Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan

penganiayaan ringan;

d. Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.

Menurut ketentuan pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian antara

seseorang lawan seseorang itu tidak dapat dihukum, dengan alasan bahwa pembentuk undang-

undang ingin memberi kesempatan kepada setiap orang yang mengetahui adanya maksud

mengadakan perkelahian antara seseorang lawan seseorang, untuk sampai saat terakhir mau

Page 82: Resume Materi Hukum Pidana

memberitahukan masalah tersebut kepada polisi, denga menganggap tidak perlu melakukan

penuntutan terhadap pihak-pihak yang tersangkut didalamnmya apabila perkelahiannya itu

sendiri dan dapat dicegah.

Menurut ketentuan pasal-pasal 351 ayat (5) dan 352 ayat (2) KUHP, percobaan-percobaan

melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan itu tidak dapat dihukum, oleh karena hal

tersebut tidak dianggap begitu penting oleh pembentuk undang-undang.

F. Percobaan sebagai Delik Tersendiri

Hal ini bermakna bahwa percobaan disamakan dengan delik. Dalam KUHP dirumuskan

bahwa percobaan melakukan delik, antara lain:

1. Pasal-pasal 104-107, 139a, dan 139b KUHP, yakni mengenai makar. Hal ini dirumuskan

dalam pasal 87 KUHP yang berbunyi:

“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat itu sudah nyata

dengan permulaan melakukan perbuatan itu, seperti dimaksudkan dalam pasal 53.”

2. Pasal-pasal 110, 116, 125, dan 139c KUHP, yakni tentang permufakatan atau jahat. Hal

ini dirumuskan pasal 88 KUHP yang berbunyi:

“Dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih bersama-sama sepakat

akan melakukan kejahatan itu.

G. Perbuatan Persiapan sebagai Delik

Perbuatan persiapan yang secara umum, pelakunya tidak dapat dihukum. Namun, pada

pasal 250, 261, dan pasal 275 KUHP dirumuskan sebagai delik. Untuk jelasnya, perlu dicemati

pasal-pasal tersebut yakni:

1. Pasal 250 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa membuat atau menyediakan bahan atau barang yang diketahuinya bahwa

itu disediakan untuk meniru, memalsukan atau mengurangi harga mata uang, atau meniru

memalsu uang kertas negeri atau uang kertas bank, dihukum penjara selama-lamanya

4tahun….”

Page 83: Resume Materi Hukum Pidana

2. Pasal 261 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa menyimpan bahan atau benda, yang diketahuinya bahwa diperuntukkan

untuk melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 253 atau dalam pasal

260 bis berhubung dengan pasal 253, diancam…”

3. Pasal 275 KUHP bunyinya:

(1) Barang siapa yang menyimpan bahan atau barang yang diketahuinya akan digunakan

untuk salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 264, nomor 2-5,dihukum.

H. Yurisprudensi tentang Percobaan

1. Hoge Raad tentang “permulaan pelaksaan”

a. Arrest tanggal 19 Mei 1919, N.J.1919, halaman 643, W.10424, antara lain memuat:

“pencurian dengan pengrusakan itu merupakan satu kejahatan. Dengan merusak penutup

sebuah rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian.”

b. Arrest Hoge Raad tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920, halaman 458, W. 10554, antaralain

memuat:

“suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai telah

terjadi, yaitu segera setelah kejahatan mulai dilakukan oleh pelakunya. Perbuatan

menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan

didepan orang lain dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan didalam tulisan itu,

merupakan suatu permualaan dari tindakan pelaksanaan yang dapat dihukum.”

c. Arrest tanggal 4April 1932, halaman 786, W.12515,antara lain memuat:

“pada delik-delik yang oleh undangundang telah dirumuskan secara materil itu, suatu

percobaan yang dapat dihukum dianggap sebagai telah terjadi yaitu setelah tindakan yang

dilakukan pelakunya itu, menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat

yang terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan suatu

tindakan yang lain.

2. Automobilist-arrest (arrest Hoge Raad tanggal 6-2-1951, N.J.1951 No.475).

Page 84: Resume Materi Hukum Pidana

Kasus posisi: Seorang pengendara mobil diperintahkan seorang polisi untuk berhenti

dalam rangka pemeriksaan, tetapi pengendara mobil tersebut dengan kecepatan tinggi

mengarahkan mobil yang dikendarainya lurus kepada anggota polisi yang bersangkutan.

Untungnya, anggota polisi tersebut pada waktu yang tepat sempat menyelamatkan dirinya

dengan melompat kepinggir sehingga terhindar dari kematian.

Hoge Raad berpendapat, pengemudi mobil tersebut terbukti bersalah telah melakukan

percobaan pembunuhan. Pengemudi mobil tersebut sadar akan kemungkinan

terlanggarnya anggota polisi itu dan secara wajar dapat memperkirakan bahawa anggota

polisi itu dapat meninggal dunia apabila ia benar-benar terlanggar.

3. Vrijwillige terugtred-arrest (arrest mundur dengan sukarela)

Arrest Hoge Raad tanggal 22 November 1915, N.J. 1916, halaman 169 dalam perkara

percobaan pembunuhan, antara lai memuat:

“orang banyak yang hadir pada waktu itu sebenarnya tidak dapat menghalanginya untuk

menusuk. Akan tetapi, pada waktu melihat perubahan muka M.M.B. dan mendengar jerita

oranglain, ia tidak mau lagi menyelesaikan rencananya membunuh M.M.B.”

Atas perkara tersebut, Hoge Raad berpendapat:

“bahwa keputusan menarik diri, yang diambil ketika adanya pengaruh dari luar dan keadaan

yang menghalangi pelaksanaan bukanlah keputusan untuk menarik diri dengan sukarela. Juga,

walaupun dalam mengambil keputusan itu turut bicara factor yang tergantung pada kehendak

sipelaku, namun sebab-sebab dari luar yang menghalanginya memaksanya untuk mengundurkan

diri.

Page 85: Resume Materi Hukum Pidana

BAB XVDELIK MELAKUKAN DAN BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

A. Pendahuluan

Judul bab V buku I KUHP yang diterjemahkan oleh Moeljatno “Tentang penyertaan

dalam melakukan perbuatan pidana, didalam Pasal 55 KUHP disebut juga pelaku (pleger), yaitu

seseorang yang memenuhi seluruh unsur delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.

Pasal 59 Code Penal Prancis menentukan pembantu (complices) memiliki ancaman

pidana yang sama dengan pembuat (auctores). Menurut Pasal 60 Code Penal yang disebut

complices meliputi pembantu seperti Pasal 56 KUHP. Pemancing atau penganjur (uitlokker:

assists another personally with knowledge that he has commited) menurut pasal 55 ayat (1) ke 2

KUHP.

Pasal 66 KUHP Belgia menyebut secara limitative orang-orang yang dapat dipidana yang

dikategorikan sebagai pembuat, yaitu pelaku-pelaku peserta, pembantu dan pemancing. Satu-

satunya bentuk pembuat yang dikenal oleh Pasal 55 KUHP Indonesia yang tidak disebut doen

pleger yaitu adalah orang yang membuat sedemikian rupa sehingga orang lain melakukan

perbuatan yang mewujudkan delik yang tidak dapat dipidana karena tidak bersalah.

Principle in the first degree sejajar dengan pleger (pelaku) dan mencakup juga doen

pleger seperti tercantum didalam pasal 55 KUHP Indonesia.

B. Ajaran Formel dan Ajaran Materiel Pembuat dan Peserta

Hazewinkel-Suringa menganut ajaran formel dan menyatakan bahwa menurut sistem

undang-undang telah dilakukan suatu grondfeit (peristiwa dasar) yaitu suatu peristiwa yang

diuraikan didalam undang-undang ditambah dengan beberapa perluasan menurut undang-undang

(termasuk pula Pasal 56 KUHP yang mengatur tentang pembantu)

Ajaran materiel tentang hal pembuat yang sangat ekstensif adalah hal pembuat yang

antologis atau riil (nyata). Penganut ajaran yang ekstensif (luas) berpendapat yang pada

hakikatnya dapat dilakukan oleh pembuat undang-undang ialah mengakui bentuk-bentuk

pembuat dan peserta sebelum diundangkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang

merumuskannya untuk kepentingan praktik.

Menurut pandangan Materiel ini ketentuan tentang deelneming (penyertaan) sama sekali

bukanlah sesuatu yang menyangkut Ausdehnung atau perluasan pengertian sebab tanpa

Page 86: Resume Materi Hukum Pidana

ketentuan tentang penyertaan, perluasan orang yang bukan pelaku, tetapi yang “turut serta” akan

tinggal tidak terpidana.

C. Arti Daders (Pembuat-pembuat) Ex Pasal 55 Ayat (1) KUHP

Noyon Langemeijer berpendapat bahwa daders (Para pembuat) merupakan pengertian

perkumpulan yang murni berdasarkan Undang-undang. Dengan kata lain, orang berpangkal lebih

dahulu pada yang melakukan yang sesuai dengan perbuatan yang dilarang menurut uraian delik

dalam undang-undang, lalu memperluas pengertian sehingga mencakup juga orang yang

mempunyai saham relevan.

Istilah pembuat merupakan istilah penghimpun bagi semua orang yang disebut didalam

Pasal 55 ayat (1) dan (2) KUHP. Adapun bagiannyaadalah sebagai berikut .

Pembuat (dader) Ex. Pasal 55 KUHP

1. Pelaku (pleger)

2. Pelaku Peserta (Medepleger)

3. Pembuat Pelaku atau Penyuruh (Doen pleger)

4. Pemancing atau Penganjur (Uitlokker)

D. Apakah Penyertaan termasuk Strafausdehnungsgrund Ataukah

Tatbestandausdehnungsgrund

Sebagian besar sarjana hukum di Nederland dan Indonesia memandang ajaran tentang

penyertaan sebagai Strafausdehnungsgrund yaitu dasar yang memperluas dapat dipidana nya

orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik, sebagaimana halnya dengan ajaran tentang

percobaan.

Hazwinkel-Suringa salah seorang sarjana hukum terkenal di Nederland berpendapat bahwa

ajaran tentang penyertaan memperluas pertanggungjawaban (Tatbestand) selain pelaku yang

mewujudkan seluruh isi delik (dehnungsgrund) atau dalam bentuk percobaan juga mencakum

orang-orang turut serta mewujudkannya yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak dapat

dipidana karena mereka tidak mewujudkan delik. Oleh karena itu, disamping delik-delik biasa, ada

delik-delik percobaan dan delik-delik penyertaan. Delik penyertaan ini adalah juga

tatbestandausdehnungsgrund seperti halnya delik percobaan.

Page 87: Resume Materi Hukum Pidana

E. Dua Sistem Pokok tentang Batas-batas Pertanggungjawaban Peserta

Pihak yang dimaksud oleh pengarang dengan peserta (deelnemers) ialah :

1. Pelaku peserta (medelplegers)

2. Pembuat pelaku (doen pledgers) yaitu mereka yang membuat sehingga orang yang tidak

dapat dipidana melakukan yang oleh para pengarang disebut penyuruh.

3. Pemancing (uitlokkers) yang oleh Moeljatno dinamakan penganjur dan oleh pengarang

lain disebut pembujuk.

4. Pembantu pada saat delik dilakukan

5. Pembantu sebelum delik dilakukan

Para peserta yang disebut pada butir 1-3 didalam pasal 55 KUHP yang bersama dengan pelaku

(pleger) termasuk kategori pembuat (dader). Dengan sendirinya, pelaku yang seorang diri

mewujudkan delik tidak termasuk peserta.

Para peserta yang disebut pada butir 4 dan 5 disebut di dalam pasal 56 KUHP yang ancaman

pidana tertingginya lebih ringan daripada ancaman pidana bagi yang termasuk kategori pembuat

(dader) dalam hal melakukan kejahatan.

F. Pelaku (Pleger, Enkelvoudige Daderschap)

Hazewinkel-Suringa menyimpulkan bahwa pelaku (Pleger) ialah barangsiapa memenuhi

bagian inti (bestanddelen) delik (termasuk juga delik dalam bentuk percobaan). Kemampuan

bertanggungjawab menurut Moeljatno cs adalah unsur diam-diam pertanggung jawaban pembuat

delik dan bukan merupakan unsur perbuatan melawan hukum (actus reus).

Actus reus pada umumnya terdiri atas :

1. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negative

2. Yang melawan hukum formel dan materiel

3. Akibat (khusus untuk delik-delik materiel)

4. Keadaan yang menyertai perbuatan (khusus delik-delik tertentu)

5. Tidak adanya dasar pembenar

G. Orang yang Membuat Orang Lain Melakukan atau Penyuruh (Doen Pleger)

Doen pleger secara harfiah dapat diterjemahkan dengan pembuat pelaku karena setiap

orang di Indonesia sudah memakai istilah penyuruh, dalam tulisan ini dipakai istilah pembuat

Page 88: Resume Materi Hukum Pidana

pelaku atau penyuruh bentuk keikutsertaan dalam terwujudnya delik yang disebut doen plegen

adalah ciptaan pembuat Undang-undang di Nederland yang tidak dikenal di negara lain.

Doen pleger (pembuat pelaku atau penyuruh) berbeda dengan pelaku. Hanyalah pembuat

peserta (mededader) dan medepleger (pelaku peserta) adalah pembuat (daders) yang sebenarnya,

sedangkan pembuat pelaku atau penyuruh dan pemancing atau penganjur (doen pleger dan

uitlokker) bukanlah dader, tetapi mereka dipidana sebagai pembuat (dader).

H. Pelaku-Peserta (Medeplegen)

Lamintang menjelaskan bentuk medeplegen sebagai berikut :

“Oleh karena itu didalam bentuk deelneming ini selalu terdapat seseorang pelaku dan seorang

atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya sehingga

bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu mededaderschap”.

Dengan demikian, medeplegen itu disamping merupakan bentuk deelneming, ia juga

merupakan suatu bentuk daderschap.

Menurut Langemeijer bahwa medeplegen (turut serta melakukan) sebagai suatu bentuk

penyertaan, tidak mensyaratkan bahwa tiap-tiap orang yang bekerja sama harus mewujudkan

semua unsur delik seperti pada rumusan doen plegen (penyuruhan, hal pembuat pelaku).

Langemeijer termasuk dalam lingkaran :

a. Tiap-tiap peserta melakukan seluruh delik

b. Ada yang sedemikian ada yang tidak

c. Tak ada yang sendirian mewujudkan seluruh deli, tetapi bersama

Dari uraian tersebut dibuat definisi batasan sebagai berikut. “Para pelaku-peserta (medeplegers)

ialah dua atau lebih orang bekerja sama secara sadar dan bersama-sama melakukan perbuatan-

perbuatan yang secara keseluruhan mewujudkan delik ataupun sesuai dengan kesepakatan

pembagian peran, seorang melakukan perbuatan pelaksanaan seluruhnya, sedangkan kawan

berbuatnya melakukan perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik.

I. Pembantu (Medeplichtige, Gehilfe atau Accomplice)

Pasal 57 (4) KUHP berbunyi sebagai berikut. “dalam menentukan pidana bagi pembantu

yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, serta

akibat-akibatnya.

Page 89: Resume Materi Hukum Pidana

Dari uraian diatas dapatlah diberikan definisi atas batasan sebagai berikut:

1. Pembantu ialah barangsiapa yang dengan sengaja memberikan bantuan pada saat kejahatan

diwujudkan oleh pembuat.

2. Pembantu intelektual ialah barangsiapa yang dengan sengaja melakukan perbuatan untuk

melakukan kejahatan dengan menggunakan salah satu diantara tiga upaya yang disebut

secara limitative didalam pasal 56 kedua, yaitu dengan sengaja memberi kesempatan atau

sarana ataupun keterangan untuk melakukan kejahatan.

J. Pemancing (Uitlokker) dan Terpancing (Uitgelokte)

Isitilah uitlokker oleh sebagian sarjana hukum pidana di Indonesia diterjemahkan dengan

istilah pembujuk. Hanya Moeljatno yang menggunakan istilah penganjuran untuk uitlokking.

Sudah tentu orang yang melakukannya disebut penganjur.

Didalam pasal 55 (2) KUHP dinyatakan bahwa terhadap pemancing hanya perbuatan

dengan sengaja dipancing sajalah yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Ketentuan semacam

ini tidak lagi dicantumkan didalam Rancangan KUHP.

K. Pengertian

Menyangkut istilah samenloop van strafbare feiten atau bahasa Jerman verbrechens

konkurrenz (gabungan delik), ada pakar yang mempersoalkan seperti von liszt menyebutnya

gesetzeskonkurrenz (gabungan peraturan Undang-undang karena satu perbuatan) atau feit seperti

dimaksud pasal 63 ayat 1 KUHP hanya dapat mengakibatkan satu feit saja. Oleh karena itu,

Schaffmeister, et.al., menyebut gabungan delik dalam pasal 63 ayat (1) KUHP yang orang

Belanda sebut sebagai eendaadse samenloop (gabungan satu perbuatan) sebagai gabungan

peraturan, sedangkan concursus realis yang merupakan gabungan beberapa perbuatan seperti

dimaksud dalam pasal 65, 66, dan 70 sebagai gabungan perbuatan (feiten). Begitu pula

Hazewinkel-Suringa lebih senang memakai istilah concursus idealis daripada eendaadse

samenloop.

L. Jenis Gabungan Delik

1. Concursus Idealis

Page 90: Resume Materi Hukum Pidana

Dalam bahasa Belanda concursus idealis disebut eendaadse samenloop yang kalau dibahasa

Indonesiakan akan menjadi gabungan satu perbuatan. concursus idealis tercantum Pasal 63 ayat

(1) KUHP yang berbunyi: “jika suatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan pidana,

hanyalah dikenakan satu saja ketentuan itu, jika pidananya berlainan, yang dikenakan ialah

ketentuan terberat pidana pokoknya”.

2. Concursus Realis

Delik ini khususnya menyangkut kejahatan diluar perbuatan berlanjut (voortgezette

handeling), diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 69 KUHP. Pidana yang tidak sejenis pokoknya,

misalnya concursus realis penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1 KUHP) dan kejahatan yang

tercantum dalam Pasal 403 KUHP (Pasal 347 Ned. WvS) dijatuhkan masing-masing pidana,

sedangkan mengenai pidana denda (dalam pasal 403 KUHP) akan diperhitungkan kurungan

penggantinya.

M. Gabungan Penjatuhan Pidana pada Gabungan Delik

Ada empat sistem atau stelsel penjatuhan pidana pada gabungan delik, yaitu sebagai

berikut :

a. Sistem absorpsi atau menghisap, yang diterapkan pada concursus idealis atau

gabungan peraturan yang diatur dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP.

b. Sistem absorpsi yang diperberat (dipertajam) berlaku bagi concursus realis atau

gabungan perbuatan (meerdaadse samenloop) yang tercantum didalam Pasal 65

KUHP.

c. Sistem kumulasi yang diperingan atau terbatas berlaku bagi concursus realis

kejahatan yang ancaman pidana pokoknya tidak sejenis. Pasal 66 KUHP mengatur

tentang gabungan kejahatan (concursus realis) yang diancam dengan pidana tidak

sejenis.

d. Sistem kumulasi penuh atau tidak terbatas berlaku bagi concursus realis

pelanggaran. Hal ini diatur Pasal 70 KUHP yang menentukan gabungan kejahatan

dan pelanggaran serta pelanggaran dan pelanggaran.

N. Perbuatan Berlanjut (Voortgesette Handeling)

Page 91: Resume Materi Hukum Pidana

Perbuatan Berlanjut (Voortgesette Handeling) sebenarnya semacam concursus realis juga

tetapi dengan pengaturan penjatuhan pidana yang khusus, yaitu hanya satu pidana yang dikenakan.

Dalam perbuatan berlanjut, kesamaan jenis perbuatan (feiten) sangat penting. Van Hattum

mengkritik putusan HR yang menyatakan Pasal 56 (Pasal 64 KUHP) diterapkan pada pembukaan

beberapa took dihari yang sama. Menurut Van Hattum perbuatan berlanjut dapat diterapkan pada

delik yang dilakukan tidak dengan sengaja.

O. Lex Specialis Derogat Legi Generali

Lex Specialis Legi Generali merupakan asas penting yang tercantum dalam Pasal 63

ayat(2) KUHP. Asas ini sangat penting bagi hukum pidana bahkan kata Utrecht, sangat penting

untuk seluruh hukum. Menurut asas lex specialis derogate legi generali, semua unsur-unsur suatu

rumusan delik terdapat atau ditemukan kembali didalam peraturan yang lain, sedangkan peraturan

yang disebut kedua (yang khusus) itu disamping semua unsur-unsur peraturan yang pertama (yang

umum) memuat pula satu atau beberapa unsur lain. Misalnya, ketentuan umum tentang

pembunuhan yang tercantum dalam pasal 338 KUHP, sedangkan bentuk khusus pembunuhan ada

beberapa antara lain, pembunuhan atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan sungguh-

sungguh (Pasal 344 KUHP).

SELESAI