1 RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY Dr. Toto Pranoto Dr. Willem A. Makaliwe (Tim Riset Lembaga Management FEUI) This research is designed as a learning material for the public, academics, as well as corporations, about the experience of restructuring state-owned enterprises. The method used in this study is based on a combination of the assessment on company performance, examination of SOEs restructuring strategic plan made by policy makers, and in-depth interviews with relevant resource persons. There are several SOE restructuring plan that inhibited or unperformed due to complexity of the bureaucratic process. Based on case studies noted that decision makers have to ensure some points, i.e. ideal restructuring model, simple bureaucratic, good planning, and great leadership, are fulfilled in order to succeed the corporate restructuring. Kunci keberhasilan restrukturisasi BUMN terletak pada bagaimana pemerintah secara tegas memilih metode yang paling sesuai dalam pencapaian hasil yang disepakati, seperti efisiensi pengendalian kebijakan, dan penguatan mata rantai aktivitas, untuk mencapai peningkatan nilai perusahaan. Merujuk praktek yang dijalankan di banyak negara, terdapat beberapa pilihan metode restrukturisasi, seperti pembentukan Holding Company, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merjer dan akuisisi), penjualan saham kepada publik (IPO), penjualan kepada mitra strategis (Strategic Sale), penjualan kepada manajemen pengelola (MBO), Kontrak Manajemen, serta aliansi strategis lainnya. Implementasi dari Masterplan 2014‐2019 Kementerian BUMN Republik Indonesia, terutama sehubungan dengan restrukturisasi BUMN, acapkali terhambat oleh karena realisi perencanaan tersebut harus disertai dengan produk hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini yang kemudian menjadi salah satu kelemahan restrukturisasi BUMN. Banyaknya stakeholder terkait, membuat proses pengambilan keputusan harus melewati proses birokrasi yang panjang dan rumit. Karena itu pihak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY
Dr. Toto Pranoto
Dr. Willem A. Makaliwe
(Tim Riset Lembaga Management FEUI)
This research is designed as a learning material for the public, academics, as well as
corporations, about the experience of restructuring state-owned enterprises. The method used in
this study is based on a combination of the assessment on company performance, examination of
SOEs restructuring strategic plan made by policy makers, and in-depth interviews with relevant
resource persons. There are several SOE restructuring plan that inhibited or unperformed due
to complexity of the bureaucratic process. Based on case studies noted that decision makers have
to ensure some points, i.e. ideal restructuring model, simple bureaucratic, good planning, and
great leadership, are fulfilled in order to succeed the corporate restructuring.
Kunci keberhasilan restrukturisasi BUMN terletak pada bagaimana pemerintah secara tegas memilih metode
yang paling sesuai dalam pencapaian hasil yang disepakati, seperti efisiensi pengendalian kebijakan, dan
penguatan mata rantai aktivitas, untuk mencapai peningkatan nilai perusahaan. Merujuk praktek yang
dijalankan di banyak negara, terdapat beberapa pilihan metode restrukturisasi, seperti pembentukan Holding
Company, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merjer dan akuisisi), penjualan saham kepada
publik (IPO), penjualan kepada mitra strategis (Strategic Sale), penjualan kepada manajemen pengelola
(MBO), Kontrak Manajemen, serta aliansi strategis lainnya.
Implementasi dari Masterplan 2014‐2019 Kementerian BUMN Republik Indonesia, terutama
sehubungan dengan restrukturisasi BUMN, acapkali terhambat oleh karena realisi perencanaan tersebut
harus disertai dengan produk hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini yang kemudian menjadi
salah satu kelemahan restrukturisasi BUMN. Banyaknya stakeholder terkait, membuat proses
pengambilan keputusan harus melewati proses birokrasi yang panjang dan rumit. Karena itu pihak
2
pengambil kebijakan akan menyusun Masterplan BUMN 2014‐2019 yang bersifat bottom‐up. Dalam hal
ini Kementerian melibatkan BUMN (terutama yang bergerak di bidang sekuritas dan investasi) untuk
melakukan kajian mengenai target dan perencanaan BUMN ke depan.
Ide awal dari pembentukan holding company sebagai pilihan untuk restrukturisasi BUMN adalah untuk
optimalisasi manajemen. Jika beberapa BUMN di sektor yang sama di‐holding‐kan maka paling tidak
akan ada share support di dalam holding tersebut, misalkan human capital, distribution, information
communication and technology) dan sebagainya. Selain itu pembentukan holding BUMN akan
meningkatkan fleksibilitas perusahaan, yang pada gilirannya anak perusahaan akan bergerak sebagai
pure corporate. Bentuknya dapat berupa: financial (investment) holding company, strategic holding
company (dengan jenis varian yang ada), atau operational holding company, yang tergantung dari
perbedaan karakteristik anak perusahaan, value yang diharapkan dari holding. Pembentukan holding
company ini berbeda dengan perusahaan induk yang sudah berdiri dan membentuk anak‐anak
perusahaan untuk menunjang aktivitasnya.
Holding BUMN Industri Pupuk dan Semen telah berjalan saat ini, dengan proses inisiasi pembentukan
holding telah dimulai sejak tahun 1990‐an. Yang mana cikal bakal pembentukan Pupuk Indonesia
Holding Company (PIHC), dimulai sejak Pupuk Sriwijaya menjadi induk perusahaan bagi empat BUMN
sektor industri pupuk pada tahun 1997. Sedangkan, inisiasi pembentukan Semen Indonesia dimulai sejak
Semen Gresik mengakuisisi Semen Padang dan Semen Tonasa pada tahun 1995. Lebih lanjut terkait
dengan restrukturisasi BUMN dalam hal Holding Company, Peraturan Pemerintah (PP) tentang
pembentukan induk perusahaan BUMN Perkebunan dan Kehutanan sedang dalam tahapan menunggu
persetujuan Presiden. Hal tersebut dikarenakan rencana tersebut tidak tercantum dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).
Konsistensi merupakan salah satu isu yang harus diperhatikan guna mencapai kelancaran implementasi
Masterplan BUMN. Hal ini didasari oleh karena, produk hukum yang mendasari Masterplan BUMN
hanya dapat sebatas Peraturan Menteri, sehingga sangat dimungkinkan perombakan Masterplan
tersebut apabila terjadi pergantian Menteri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan konsistensi
kepemimpinan agar design pengelolaan BUMN dapat berjalan secara berkesinambungan.
3
Berdasarkan Undang‐Undang yang berlaku, restrukturisasi badan usaha terdiri dari empat opsi, di
antaranya adalah pembentukan holding, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Perbedaan
Holding Company dengan opsi lainnya merujuk pada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan.
Konsekuensi dari restrukturisasi suatu badan usaha adalah perubahan perlakuan dalam beberapa aspek
internal perusahaan. Beberapa aspek tersebut di antaranya adalah aspek teknis (operasional), aspek
legal, aspek organisasi dan sumber daya manusia, dan aspek perpajakan. Dimana menurut aspek legal,
keempat bentuk restrukturisasi tersebut memiliki beberapa perbedaan. Hal tersebut dapat dijelaskan
melalui tabel berikut.
Tabel 1. Aspek Hukum terkait Restrukturisasi
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
4
Tabel 2. Aspek Hukum terkait Restrukturisasi (lanjutan)
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
Selain aspek hukum, restrukturisasi suatu badan usaha juga perlu memperhatikan perubahan yang akan
terjadi dalam sistem kepegawaian perusahaan. Perubahan tersebut diantaranya adalah perbedaan
status kepegawaian, sistem remunerasi, budaya perusahaan, dan sebagainya. Beberapa poin dalam
aspek SDM dan budaya perusahaan dapat dijelaskan melalui tabel berikut.
5
Tabel 3. Aspek Sumber Daya Manusia dan Budaya Perusahaan terkait Restrukturisasi
SU B STAN S I HO LD IN G PENG GABUN G AN PELEBURAN P EN G AMB ILALIHAN
STATU S KEPEGAW AIAN
St a tus p egaw ai di perusahaan in duk bi sa berb eda dengan d i anak perusahaan
Sta t us pegawa i d i d ua peru sah aan yang dig abungk an menjadi sa t u (m o no st a tus)
St a tus p egaw ai di dua peru sah aan yan g dileb ur menjadi sa tu (m on o sta t us)
S ta tu s pegawa i di p eru sah aan ind uk bisa b erb eda dengan d i anak p eru sah aan
SIS TEM SD M (term asuk REM UN ERAS I)
Si stem SDM (term asuk rem u ner asi) di perusahaan in duk bi sa berb eda dengan d i anak perusahaan
Si st em SDM (term asu k rem un era si) di dua peru sah aan yang dig abungk an menjadi sa t u
Si stem SDM (term a suk re mu ner as i) di dua peru sah aan yan g dileb ur menjadi sa tu
S ist em SD M (term asuk r em un era si) di p eru sah aan ind uk bisa b erb eda dengan d i anak p eru sah aan
BU DAYA PERU SAHAAN
Bu daya perusahaan di perusahaan in duk bi sa berb eda dengan d i anak perusahaan
Bud ay a perusahaan di dua perusahaan yang di g ab ung kan menjadi sa tu
Bu daya perusahaan di dua peru sah aan yan g dileb ur menjadi sa tu
B uday a p erusahaan di p eru sah aan ind uk bisa b erb eda dengan d i anak p eru sah aan
JUM L AH PEG AWAI Jum l ah pegawa i akan bert am b ah ka r ena or g an isa si di kant or hol din g
Jum l ah pegaw ai dapa t berk ur an g ka r ena ada fung si y ang tadi ny a ad a di m asi ng‐masing peru sah aan seka r ang dij ad ik an sa tu
Jum lah pegawa i dapa t berk ur an g ka r ena ada fu ng si yan g tadin ya ada di masing ‐masing perusahaan seka r ang di jadik an sa tu
J um lah peg aw ai bi sa sa ja d iper tahank an seper ti sed ia k al a
BIAYA SDM Bi aya SDM bisa ber tam bah k a rena ada tam bah an per sone l di kant or holdin g.
Biay a pegaw ai ter ka i t go lden shakeh and tid ak sebesa r yang ter jadi di pe lebur an ka r ena akan dim anfaa tk an ol eh pegaw ai di sa tu peru sah aan saj a namun terg ant ung kebi ja k an sur viv a l com p any
Bi aya pegawa i ter ka i t gold en shake hand bisa sa ja besa r ka r ena akan dim anfaa t kan ol eh pegawa i d i dua peru sah aan
B iay a pegaw ai ter ka it gol den sh akehand ti dak seb esa r y ang ter jadi d i p e lebur an k a rena ad a k em ungk in an d im anfaa tk an ol eh p egaw ai di sat u p eru sah aan sa j a
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
6
Perbedaan bentuk restrukturisasi badan usaha akan berpengaruh terhadap perlakuan pajak yang
dikenakan pada badan usaha tersebut. Sehingga hal tersebut perlu dipertimbangkan sebelum
melakukan restrukturisasi. Perbedaan perlakuan pajak dalam empat bentuk restrukturisasi
dirangkumkan pada tabel berikut.
Tabel 4. Aspek Perpajakan terkait Restrukturisasi
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
7
2. Perjalanan Restrukturisasi BUMN di Indonesia
Pada tahun 1997/1998 program privatisasi di Indonesia tidak berjalan. Selain disebabkan kondisi sosial
politik yang tidak mendukung, program privatisasi juga dikritik karena tidak transparan, tidak memiliki
prosedur yang jelas, serta tidak dijalankan oleh lembaga yang memiliki komitmen dan kapabilitas yang
memadai. Situasi sosial politik tahun 1997‐1998 yang sangat bergejolak, di mana terjadi transformasi
kepemimpinan nasional secara fundamental, menyebabkan kebijakan privatisasi sulit untuk dijalankan.
Kebijakan privatisasi BUMN mulai marak terutama pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Pada
tahun 1999, pemerintah menerbitkan Master Plan Reformasi BUMN 1999‐2004, yang mengandung tiga
kebijakan pokok pengelolaan BUMN, yaitu restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi untuk mensinergikan
158 BUMN yang ada sehingga menciptakan nilai tambah bagi BUMN. Dalam fase ini, kebijakan privatisasi
BUMN terutama didorong oleh hasil kesepakatan antara International Monetary Fund (IMF) dengan
Pemerintah RI terkait dengan Kebijakan Reformasi Struktural (structural reform policy) yang tercantum
dalam berbagai Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani oleh Pemerintah RI sebagai kompensasi atas
pemberian pinjaman oleh IMF berupa extended fund facility (EFF) kepada Pemerintah RI.
Pada tahun 1999 program privatisasi telah dilakukan atas sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Telkom
(lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri. Pada periode 1999‐2004 ini proses privatisasi
mengalami banyak hambatan tidak saja dari kalangan legislator dan karyawan namun juga dari publik
luas yang mencapai puncaknya pada kasus spinn‐off PT Semen Padang. Menurut referensi, penolakan ini
antara lain disebabkan oleh faktor kurangnya sosialisasi, dan perbedaan metoda divestasi. Walaupun
pemerintah telah memiliki tujuan kebijakan privatisasi yang dituangkan dalam Master Plan BUMN,
namun dalam pelaksanaannya terlihat unsur memenuhi kebutuhan defisit anggaran APBN lebih
dominan dibandingkan tujuan meningkatkan kinerja BUMN.
Pada masa Tanri Abeng, Menteri BUMN 1998‐1999, penyusunan Master Plan BUMN dimaksudkan
sebagai roadmap untuk penciptaan nila (value creation) BUMN, dengan melibatkan enam konsultan
internasional, ternyata tidak dijalankan sebagai mestinya karena terjadi lebih banyak distorsi politik yang
menjadi penghambat proses penciptaan nilai. Dimensi kepentingan politik dalam pengelolaan BUMN
belum dapat secara tuntas dipisahkan dari kekuasaan yang memang bersumber dari kekuatan politik.
8
Pada era reformasi, pembentukan Kementrian Negara pendayagunaan BUMN sudah memposisikan
BUMN sebagai korporasi yang seyogyanya terisolasi dari kepentingan politik serta kultur birokrasi.
Karenanya untuk memperkuat reformasi BUMN, Presiden Habibie pada 2009 telah mencanangkan
delapan pondasi korporasi BUMN. Selain itu master Plan BUMN 2000‐2005 telah memperoleh
persetujuan DPR di Agustus 1999, sehingga sesungguhnya proses politik sudah dipenuhi.
Dinamika politik 1998–2004 yang berjalan begitu cepat di mana terjadi empat kali pengantian presiden
membawa implikasi terhadap pelaksanaan reformasi BUMN dan implementasi master plan 1999 – 2004.
Dari Dinamika Politik tersebut bisa dibayangkan dalam waktu 10 tahun telah terjadi 7 kali penggantian
Menteri BUMN dan memunculkan keraguan terhadap konsistensi pelaksanaan kebijakan kementrian
BUMN.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dilakukan usaha penyesuaian masterplan
BUMN dengan dikeluarkannya Master Plan Revitalisasi BUMN 2005‐2009. Inti dari masterplan ini adalah
upaya untuk menciptakan BUMN Indonesia masa depan yang kompetitif, menembus batas sebagai
perusahaan multinasional yang berukuran menengah, memiliki core competence dan dapat masuk
dalam jajaran perusahaan terkemuka di dunia. Dalam Masterplan Revitalisasi BUMN 2005‐2009
disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan beberapa kebijakan strategis dalam rangka upaya
peningkatan kinerja, di antaranya dengan cara restrukturisasi BUMN untuk stand alone,
merger/konsolidasi, holding, divestasi, serta likuidasi.
Proses privatisasi sendiri akan dilaksanakan melalui mekanisme yang cukup ketat di antara pemerintah
dan DPR. Proses ini mengikuti tahapan sebagai berikut: 1) proses internal di pemerintah yang terdiri dari
proses penetapan BUMN yang akan di privatisasi melibatkan Komite Privatisasi yang diketuai oleh
Menko Ekonomi dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN serta Menteri Teknis
terkait; 2) proses persetujuan dan konsultasi di DPR yang dimulai dengan penetapan hasil privatisasi
dalam APBN (jika ada); 3) proses pelaksanaan privatisasi sesuai dengan program tahunan privatisasi dan
sesuai dengan persetujuan DPR.
9
3. Studi Kasus Holding Company: PT. Semen Indonesia, Tbk
Pembentukan Semen Indonesia sebagai induk perusahaan dari beberapa BUMN sektor Industri Semen
(Semen Gresik, Semen Padang, dan Semen Tonasa) telah dimulai sejak Bapak Dwi Soetjipto diangkat
oleh Menteri BUMN saat itu (Bapak Sugiharto), sebagai Direktur Utama Semen Gresik tahun 2005. Pada
waktu itu posisi Semen Gresik adalah sebagai Operating Holding dari dua BUMN semen lainnya yang
telah diakuisisi sejak tahun 1995.
Ide dasar pembentukan Holding Company adalah guna menciptakan value added, meningkatkan daya
saing perusahaan, serta menyelesaikan konflik yang terjadi diantara BUMN sektor industri semen.
Strategi utama yang digunakan adalah sinergi antara BUMN semen yang dilakukan secara bertahap
(adanya process to readiness). Adapun untuk mencapai suatu sinergi, selain proses, juga diperlukan
kepemimpinan yang mampu membangun kepercayaan, sehingga perubahan ini dapat diterima dan
diimplementasikan dengan baik.
Tahapan awal yang dilalui dalam proses pembuktian sinergi BUMN sektor Industri Semen adalah dengan
“memaksa” orang untuk mau bersinergi (human approach). Proses pembuktian sinergi melalui human
approach ini terlebih dahulu dimulai di lingkup internal Semen Gresik, yang kemudian dilanjutkan
dengan proses pembentukan kepercayaan BUMN semen yang lain bahwa pembentukan holding adalah
demi kepentingan bersama. Untuk mengatasi permasalahan antar‐BUMN, dibutuhkan leadership yang
didukung oleh aspek legal dari pemerintah guna memberikan wewenang kepada induk perusahaan.
Pada tahun 2009, Semen Gresik mulai menjajaki system approach di antaranya dengan mengkaji bentuk
Holding Company, sistem operasi, serta strategi yang ideal untuk digunakan. Kajian tersebut diselesaikan
pada tahun 2011, dan mulai tahun 2012 PT. Semen Indonesia, Tbk terbentuk serta mulai beroperasi
sebagai strategic holding. Adapun terdapat beberapa tahapan sebelum Semen Indonesia beroperasi
dengan pendekatan strategic holding. Beberapa tahapan tersebut, diantara lain:
• Tahapan Operating Holding (periode 2003‐2005): Semen Gresik menjadi induk dari Semen
Padang dan Semen Tonasa, namun masih menjalankan kegiatan operasional.
• Tahapan Functional Holding (periode 2005‐2011): Penerapan sinergi antar‐perusahaan di
beberapa fungsi operasional utama (pemasaran, pengadaan, dan capital project) guna
10
meningkatkan kinerja operasional dan keuangan operating company. Namun, Semen Gresik
sebagai induk perusahaan masih menjalankan fungsi opersional.
Beberapa BUMN sektor kehutanan menunjukkan pola pertumbuhan pendapatan dan earning stability
yang cenderung beragam. Berdasarkan pemetaan keuangan perusahaan dalam sektor tersebut, didapati
beberapa perusahaan memiliki rata‐rata pertumbuhan pendapatan yang bernilai negatif, sedangkan
beberapa perusahaan lain mencapai rata‐rata pertumbuhan dua digit. Adapun rata‐rata pertumbuhan
pendapatan BUMN sektor kehutanan mencapai 40 %, disertai dengan hasil perhitungan rata‐rata
earning stability sebesar 0,42. Angka tersebut menggambarkan kondisi keuangan BUMN sektor
kehutanan yang cenderung tidak stabil relatif terhadap BUMN sektor lainnya. Lebih lanjut, kinerja
beberapa BUMN pada sektor kehutanan dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
17
Gambar 2. Pemetaan Kinerja BUMN Sektor Kehutanan
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI (2013)
Pada gambar di atas dapat terlihat beberapa perusahaan yang memiliki laba tahun berjalan yang
cenderung besar diantaranya adalah Perhutani dan Inhutani I. Beberapa perusahaan yang memilki rata‐
rata pertumbuhan pendapatan bernilai negatif. Di sisi lain, beberapa BUMN yang relatif stabil
pertumbuhannya di antaranya adalah Perhutani, Inhutani I, dan Inhutani IV. Hal tersebut didasari oleh
nilai earning stability beberapa BUMN tersebut yang berada di bawah rata‐nilai rata earning stability
sektoral. Adapun tingginya rata‐rata pertumbuhan pendapatan pada sisi mikro, tidak tergambar pada
sisi makro. Sebagaimana terlihat pada gambar di atas bahwa rata‐rata pertumbuhan PDB sektor
kehutanan sebesar 1,04 %, dengan rasio CV sebesar 0,02.
Sebelumnya dari hasil pemetaan kinerja BUMN pada sektor kehutanan didapati rata‐rata pertumbuhan
pendapatan dan nilai CV yang cenderung beragam. Namun demikian, dari sisi kegiatan usaha, terdapat
beberapa variabel lain yang dipertimbangkan untuk menentukan model restrukturisasi BUMN. Beberapa
variabel tersebut sebagaimana dijelaskan melalui matriks berikut.
18
Tabel 6. Matriks Model Restrukturisasi BUMN Sektor Kehutanan
Sumber: Diolah oleh Lembaga Management FEUI (2013), dari Model Kocourek‐Hyde (2001)
Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa terjadi overlaps di sisi Customer Base pada studi kasus BUMN
sektor kehutanan. Hal tersebut dikarenakan produk hasil kehutanan antar perusahaan yang serupa,
antara lain: kayu dan produk olahan dari kayu. Input atau sumber daya (Resources) yang digunakan
setiap perusahaan pada sektor tersebut juga serupa. Risiko usaha pada bisnis sektor kehutanan akan
berpengaruh pada seluruh unit perusahaan. Di sisi Market Certainty, dapat dikatakan cukup stabil
mengingat volatilitas pasar komoditas primer yang relatif rendah. Sedangkan dapat diketahui bahwa
Strategic Agenda antar perusahaan pada sektor ini cenderung serupa, mengingat core business yang
sama. Sehingga dari hasil observasi tersebut didapati rekomendasi model restrukturisasi yang ideal
untuk BUMN sektor kehutanan adalah pembentukan Operational Holding Company.
7. Benchmark Khazanah Nasional Bhd
Khazanah Nasional Berhad sebagai induk perusaahaan BUMN yang bersifat komersial di Malaysia
didirikan sejak tahun 1994. Fungsi Khazanah adalah sebagai super holding company yang mengelola
kelompok BUMN yang bersifat komersial di Malaysia. Nilai portfolio Khazanah yang dihitung
19
berdasarkan Net Worth Adjusted (NWA) telah berkembang tiga kali lipat selama 10 tahun terakhir,
dimana value pada tahun 2004 sebesar RM 33,3 billion atau setara US$ 10.63 billion telah berkembang
menjadi RM 103.5 billion atau setara US$ 33.04 billion pada akhir 2013. Sebagai investment holding
company Khazanah saat ini beroperasi secara global ,termasuk diantaranya investasi di negara seperti
Singapura, India, China, Indonesia dan beberapa negara di Eropa. Saat ini Khazanah Nasional bertindak
sebagai investment holding company yang membawahi 11 sub holding lainnya meliputi industri :
properti, transportasi dan logistik, utilitas, keuangan, infrastruktur dan konstruksi, media & komunikasi,
kesehatan, agrikultur , basic material , teknologi dan biotek, dan bisnis lainnya (Other). Holding
Khazanah ini tidak termasuk didalamnya kelompok Petronas dan kelompok Proton .
Sumber keberhasilan peningkatan value Khazanah ini, berdasarkan wawancara LM dengan Abdullah
Abdul Hamid ,Executive Director of Transformation Program Khazanah , diantaranya adalah : a) clear
industry and regulatory structure and reporting lines ; b) professional management and board working in
unision ; c) independence in key decision making; d) strong internal culture of performance and emphasis
on systems and control ; e) focus on financial dicipline in addition to service delivery ; f) dicipline access
to credit and orderly competition.
Salah satu kunci keberhasilan tersebut adalah struktur organisasi yang jelas dalam membagi tugas
antara Board dan Manajemen, dimana Board (yang dianggap sebagai perwakilan pemerintah) hanya
mengatur masalah makro dan regulasi, sementara Manajemen dibawah CEO mengatur aspek mikro
pengelolaan korporasi. Artinya pihak executing agency dijalankan pihak manajemen profesional . CEO
Khazanah (dijabat oleh Tan Sri Dato Azman bin Hj Mohktar sejak 2004) bertanggung jawab langsung
kepada Perdana Menteri Malaysia, sehingga intervensi pihak lain dapat dihindari seminimal mungkin .
Pada tahun 2005 Perdana Menteri Abdulah Badawi mengambil inisiatif untuk pemberdayaan seluruh
Goverment Link Companies (GLC) dengan mendirikan Putrajaya Committee on GLC High Performance
(PCG) dimana Khazanah bertindak sebagai koordinator/ pusat sekretariat. PCG dipimpin Deputi Menteri
Keuangan dan beranggotakan pimpinan GLC meliputi Permodalan Nasional Berhad (PMN), EPF,
Lembaga Tabung Haji (LTH), Khazanah Nasional, dan LTAT. Struktur komisi tersebut melibatkan juga
konsultan internasional sebagai penasehat manajemen. Tugas utama PCG adalah melakukan review dan
20
membuat kebijakan yang sifatnya mendorong GLC Malaysia untuk masuk dalam kategori high
performer. Struktur selengkapnya PCG dapat dilihat pada Gambar 3.
Komite tersebut bekerja cukup komprehensf dan kemudian telah merekomendasikan beberapa rencana
aksi (action plan) yang segera bisa diimplementasikan. Beberapa aktivitas yang dilaksanakan diantaranya
melakukan analisis GLC operating framework untuk mendapatkan kerangka pengelolaan GLC yang lebih
baik, melakukan interview dengan ratusan top leader bisnis (CEO GLC dan GLIC, foreign investor) dan
melakukan benchmarking secara global dan regional untuk mendapatkan pola yang paling ideal untuk
menjadi global champion .Keberadaan PCG ini mampu mengkoordinasikan potensi seluruh BUMN dan
lembaga keuangan lainnya milik negara dalam sinergi yang optimal. PCG ini mampu menembus
kelambanan birokrasi karena di Malaysia tidak ada Kementrian khusus yang menangani BUMN .
Gambar 3 Struktur PCG dan JWT
Sumber : Joint Working Team Compilation, PCG, 2005
21
8. Penutup
Riset LM‐FEUI mengenai restrukturisasi BUMN ini, khususnya pembentukan holding company, ditujukan
untuk kepentingan publik, yaitu kalangan akademik sebagai kajian lebih lanjut, dan bagi korporasi, untuk
pembelajaran proses restrukturisasi yang semakin baik. Penulisan didasarkan pada metode konseptual,
perkembangan terkini, pengalaman PT Semen Indonesia Tbk dan Pupuk Indonesia Holding Company,
serta rekomendasi model untuk BUMN industri kehutanan dan perkebunan. Tim LM‐FEUI juga
mengevaluasi performa BUMN dan proses restrukturisasi pada masing‐masing industri menurut master
plan yang telah disusun. Pada akhirnya, untuk menjamin keberhasilan restrukturisasi beberapa hal perlu
dicermati, seperti: penentuan metode restrukturisasi, birokrasi yang sederhana, perencanaan yang
terarah, dan adanya kepemimpinan yang kuat.
Daftar Referensi
Bornstein, Morris. 2000. “Post‐Privatization Enterprise Restructuring”, Working Paper Number 327, University of Michigan.
Forrer, John, and James Kee. 2004. Privatization and organizational change: Lesson from cross_national research. Working Paper.
Haque, M. Samsul. 2000. “Privatization in developing countries: Formal causes, critiqal reason and adverse impact”, in Ali Farazmand (ed), Privatization or public enterprise reform? Westpoint, Conn: Greenwood Press, 2000.
Husnan, S. 1996. “Penjualan saham BUMN: Apakah terjadi distribusi kemakmuran”, dalam Siagian (Editor) Reformasi BUMN dalam perspektif krisis ekonomi mikro. Jakarta: Pusat Reformasi dan Pengembangan BUMN, hal 175‐193.
Ho, Daniel, and Angus Young. 2013. “China’s Experience in Reforming Its State‐Owned Enterprises: Something New, Something Old and Something Chinese?,” International Journal of Economy, Management and Social Sciences.
Kementerian BUMN Republik Indonesia. 2012. Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara (BUMN) untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2012.
Kementerian BUMN Republik Indonesia. 2009. Masterplan Kementerian BUMN Tahun 2010‐2014. Khazanah Media Statement. 2014. Tenth Khazanah Annual Review (KAR 2014) Kocourek, Paul, and Paul Hyde. 2001. “The Model 2 Organization: Making Your Company Safe for
Zealots”. Strategy+Business, Q1 2001, Issue 22. Pranoto, Toto. 2011. “Faktor‐Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Privatisasi BUMN: Studi
Komparatif Indonesia‐Malaysia”. Disertasi Program Pascasarjana FISIP UI. PT. Perkebunan Nusantara III. 2014. Holding BUMN Perkebunan: Menuju World Class Holding Company.
Bahan Presentasi Diskusi bersama Lembaga Management FEUI tanggal 19 Februari 2014.
22
Putrajaya Committee on GLC High Performance (PCG). 2005. Shirley, Mary M. 1999. “Bureaucrats in business: The role of privatization in state owned enterprise
reform”, World Development., 27:1, pp. 115‐136. Soetjipto, Dwi. 2014. Road to Semen Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Vickers, J. and G. Yarrow. 1988. Privatization: An economic analysis. London: MIT Press.