RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TESIS Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum Islam Oleh: Chindya Pratisti Puspa Devi 10.2.00.0.01.01.0389 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD KONSENTRASI HUKUM ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/ 1435 H
207
Embed
RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41492/1/CHINDYA... · tulisan ini penulis persembahkan untuk putra tersayang, Muhammad
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA
ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
TESIS
Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Sebagai Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum Islam
Oleh:
Chindya Pratisti Puspa Devi
10.2.00.0.01.01.0389
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/ 1435 H
ii
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, syukur yang tak terhingga atas segala petunjuk
dan kemurahan-Nya tesis yang berjudul Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam ini bisa
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk sang
junjungan, Nabi Muhammad yang memberi jalan penerangan melalui
dakwah dan pendidikan.
Atas terselesaikannya tesis ini, penulis banyak berhutang budi
kepada beberapa pihak yang telah membantu, baik moral maupun
material. Kepada mereka, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya dan berdoa semoga Allah Ta’ala
memberikan balasan yang tinggi serta menjadi nilai amal yang baik di
sisi-Nya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut penulis
sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar,
MSPD sebagai pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan
dalam penulisan tesis ini, kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA
dan Prof. Azyumardi Azra, MA sebagai Rektor dan Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para deputi
yang telah menyiapkan sarana, fasilitas, dan memberikan kebijakan-
kebijakan untuk memacu berkembangnya suasana akademik di
Sekolah Pascasarjana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
tim penjamin mutu, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Yusuf Rahman, Dr.
Fuad Jabali, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, Prof. Dr. H. M.
Yunan Yusuf, MA, Prof. Murodi, Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Dr.
Sudarnoto Abdul Hakim, MA yang telah memberikan masukan dan
kritikan melalui beberapa ujian work in progress (WIP).
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam membantu
penyelesaian penelitian ini, seperti petugas perpustakaan Sekolah
Pascasarjana, Pak Roviq yang telah membantu penulis dalam mencari
buku-buku yang diperlukan, petugas akademik di sekretariat Sekolah
Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, Mba Ima,
Mas Adam, keluarga Bapak Sugiarto dan anak-anaknya serta kawan-
kawan diskusi yang banyak memberikan inspirasi dalam penulisan
tesis, Zuhriyah Hidayati, Ali Syukron, Rosdelima, Zaura, Pipit, Riri,
dan teman-teman seangkatan lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-satu.
iv
Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Unit
Penanganan Permasalahan Perempuan dan Anak (UP2A) di
KAPOLRES Bekasi Ibu AKP Tri Murti Rahayu beserta jajaran, UP2A
Polresta Cikarang Bpk Sumantri, SH beserta jajaran, Balai
Pemasyarakatan Kelas II Bogor, Ibu Darmalinggawati, Bc.IP. SH. MH.
M.Si, Ibu Teolina, Ibu Heidy Manurung, S.Pd beserta jajaran,
Pengadilan Negeri Bekasi dan Hakim Anak Bpk Bambang Budi
Mursitoh, SH atas waktu dan informasinya dalam membantu penulis
menyelesaikan penelitian tesis ini.
Terakhir namun teristimewa, ucapan terima kasih penulis
kepada suami tercinta, H. Aminuddin Lc, M.Si atas semua cinta,
tanggung jawab, kesabaran, dan semuanya yang diberikan kepada
penulis, terima kasih telah menjadi terlalu baik untuk penulis. Untuk
orang tua penulis, Ayahanda Djati Pratisto, SE dan Ibunda Hadiatty
Tjatur Dewi, SE, penulis sampaikan salam ta’zhim yang tertinggi atas
semua doa dan ridhonya hingga akhirnya penulis merampungkan
sekolah ini. Untuk adik-adikku, Chandyka dan Chendy terus semangat
belajar dan pantang menyerah untuk mencapai cita-cita. Akhirnya,
tulisan ini penulis persembahkan untuk putra tersayang, Muhammad
Alvaro Asyraf Pasya, Muhammad seorang pemimpin yang mulia.
Sebagai hasil karya penelitian, tesis ini dipastikan banyak
kekurangan dan sarat dengan kelemahan dikarenakan kedangkalan
penalaran penulis dan kurangnya informasi serta referensi. Oleh karena
itu, penulis berharap ada masukan dan kritik yang membangun dan
bisa memperbaiki sehingga penelitian bisa diperbaiki dan
disempurnakan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh
sesama dan kemajuan bangsa dan negara.
Jakarta, 28 April 2014
Penulis,
Chindya Pratisti Puspa Devi
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Chindya Pratisti Puspa Devi
NIM : 10.2.00.0.01.01.0389
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1987
Alamat : Perumahan Duren Jaya Jl Eboni 3 Blok
C No 409 Bekasi Timur 17111
menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM adalah karya asli penulis, kecuali
kutipan-kutipan yang jelas sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan
kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Jika kemudian hari karya ini terbukti bukan hasil karya penulis atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa
paksaan dari siapapun.
Jakarta, 28 April 2014
Chindya Pratisti Puspa Devi
vi
vii
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN
Tesis yang berjudul: Restorative Justice Pada Hukum Pidana
Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam, disusun oleh Chindya
Pratisti Puspa Devi NIM 10.2.00.0.01.01.0389 telah dinyatakan lulus
pada ujian Pendahuluan yang diselengarakan pada hari/tanggal Selasa,
15 April 2014.
Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para
penguji sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.
Jakarta, 28 April 2014
No Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Prof. Dr. Suwito, MA
(Ketua Sidang/ merangkap
Penguji)
2. Prof. Dr. Abdul Mujib, MSi
(Penguji 1)
3. Dr. H.M Asrorun Ni’am,
MA
(Penguji 2)
4. Prof. Dr. H.M. Atho
Mudzhar, MSPD
(Pembimbing/ merangkap
Penguji)
viii
ix
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan aparat penegak
hukum dalam hal penanganan masalah kenakalan anak dengan
mengedepankan keadilan restoratif telah membangun partisipasi
bersama antara pelaku, korban dan masyarakat dalam menyelesaikan
suatu peristiwa tindak pidana. Pemberian hukuman ta‘zi>r pada tindak
pidana ringan terhadap anak -pelaku tindak pidana- dengan
pengampunan dan pemberian hukuman minimum mengandung banyak
unsur keadilan. Konsep ini sejalan dengan prinsip-prinsip restorative justice. Penelitian ini mendukung pernyataan Nawal H. Ammar (2001)
dan Mutaz M. Qafisheh (2012) yang mengatakan bahwa keadilan
restoratif bertujuan untuk mendamaikan pihak yang berkonflik. Jika
pelanggar bisa direhabilitasi dengan langkah-langkah lain yang lebih
baik maka hukuman harus dihindari. Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan pemberian hukuman minimum merupakan sistem
peradilan pidana Islam yang dapat merubah sistem pidana dari
retributif menjadi restoratif. Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross
(1975), John Rawls (1980) dan Kathleen Daly (2001) yang
menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban,
ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang melakukan
kesalahan dan sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan
kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dalam
penyajian datanya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan
jenis-jenis sumber data yang diperlukan. Sumber data diperoleh
melalui wawancara dan observasi dengan instansi hukum terkait yang
menangani perkara tindak pidana anak seperti Kepolisian, Petugas
Peneliti Kemasyarakatan (Bapas) dan Hakim Anak.
x
xi
ABSTRACT
This study concluded that the policy of law enforcement
officers in the handling of child delinquency problem by promoting
restorative justice have built joint participation among the offender,
the victim and the public in solving an incident of criminal acts.
Establishes punishment ta'zi>r on minor criminal child with forgiveness
and minimum sentencing contained many elements of justice. This
concept is in line with the principles of restorative justice.
This study support the statement of Nawal H. Ammar (2001)
and Mutaz M. Qafisheh (2012) which states that restorative justice
aims to reconcile the conflicting parties. If offenders can be
rehabilitated with the other steps are better than the punishment
should be avoided. In ta‘zir , remission and the minimum punishment
is a criminal justice system of Islam that can change retributive
punishment to be restorative. This study rejects the notion of Alf Ross
(1975), John Rawls (1980) and Kathleen Daly (2001) which state that
the punishment is needed to defend the victim, the imposition of
punishment directed at the suffering of the people who make mistake
and aims to provide criminal sanction for offender suffering as a result
of his action that he felt.
This research is a qualitative research methods with normative
juridical approach in presenting descriptive analytical data. Methods
of data collection in this study using literature study, interview and
observations according to the type of data source types required.
Sources of data obtained through interviews and observations with the
relevant legal agencies that handle criminal cases children as police
B. Efektifitas Implementasi Restorative Justice dalam perubahan
sikap mental, prilaku, dan menjauhi tindak kiriminal terhadap
anak ..................................................................................... 86
xxii
C. Hambatan dan Kendala dalam menerapkan konsep Restorative Justice ................................................................................... 90
D. Restorative Justice dan Ta‘zi>r sebagai Praktek Keadilan dalam
Hukum Pidana Anak ............................................................. 92
BAB IV: PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DAN
TA‘ZI>R DALAM PENANGANAN KASUS TINDAK
PIDANA ANAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Penyelesaian Kasus Pembunuhan pada Tindak Pidana Anak..... 97
B. Penyelesaian Kasus Pencurian pada Tindak Pidana Anak ......... 111
C. Penyelesaian Kasus Penipuan dan Penggelapan pada Tindak Pidana
Anak ........................................................................................... 123
D. Penyelesaian Kasus Asusila pada Tindak Pidana Anak ............ 128
E. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana
12 Rolando V. Del Carmen and Chald R. Trulson, Juvenile Justice: The System, Process and Law (Thomson: Wadsworth, 2006), 22.
13 Santi Kusumaningrum, dkk, ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial
untuk Anak di Indonesia‛, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia, 2011), 3.
menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dalam memberikan
perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak anak di Indonesia.14
Dalam hal ini peradilan yang tepat untuk pelaku pidana anak
seharusnya adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki
dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni
kehidupan terjaga.15
Penanganan ABH melalui pendekatan keadilan
restoratif dapat menjadi alternatif. Hal ini sejalan dengan prinsip yang
termuat dalam Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan kemudian dikukuhkan
lagi dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Dalam kedua peraturan itu tampak jelas adanya upaya untuk
melindungi ABH khususnya menyangkut prinsip The Best Interest of The Child. Oleh karena itu pemidanaan terhadap anak harus dijadikan
sebagai langkah akhir (ultimatum remedium).
Penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak
harus lebih mementingkan kepada masalah pendidikan yang perlu
diberikan kepada pelaku pidana anak. Oleh karena itu hakim harus
sadar bahwa hal terpenting bagi anak adalah bukan apakah anak
tersebut harus dihukum, melainkan tindakan yang bagaimana yang
harus diambil untuk mendidik anak itu.
Pada dasarnya sistem peradilan pidana di Indonesia seperti
peradilan pidana pada umumnya di negara-negara lain, bersifat
retributif yang menitik beratkan pada penghukuman pelaku
(retributive punishment). Orientasi penghukuman ini bertujuan untuk
melakukan pembalasan dan pemenuhan tuntutan kemarahan publik
akibat perbuatan pelaku. Alternatif dari retributive punishment ini
adalah gagasan yang menekankan pentingnya solusi untuk
memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan
harmoni pada masyarakat dan tetap menuntut pertanggung jawaban
pelaku. Teori ini dikenal sebagai restorative justice atau keadilan
restoratif.16
14 Komisi Nasional Perlindungan Anak, ‛Menggugat Peran Negara,
Pemerintah, Masyarakat Dan Orang Tua Dalam Menjaga Dan Melindungi Anak‛,
21 Desember 2011, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-
2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/(Diakses pada 19 Oktober 2012). 15Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 193. 16 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, ‚Kata Sambutan Mas Achmad
Santosa- Pegiat Akses Terhadap Keadilan, Salah Seorang Penggagas Indonesia
Dalam aturannya, hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi
pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena menjadi tidak
manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Hukum pidana juga tidak
benar jika hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht), karena akan timbul kesan memanjakan penjahat dan kurang
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan korban
tindak pidana.17
Alternatif keadilan retributif mengasumsikan bahwa
perdamaian tidak akan pernah dapat tercapai dengan melakukan
tindakan-tindakan pembalasan sehingga tindakan pemaafan dan
pengampunan dilibatkan dalam menyediakan proses penyehatan yang
sangat diperlukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.18
Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma
baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice
(keadilan restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan
dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena
menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.19
Di banyak negara
konsep restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan
penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus menerus
dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang.20
Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban
kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun
perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk
bertanggungjawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat.21
PBB
Institutefor Conflict Resolution‛, dalam buku Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia (Depok: Indie Publishing, 2011), xxiii.
17Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban
Dalam Bidang Hukum Pidana Formil,
http://eprints.undip.ac.id/35224/3/HasilPenelitian.pdf (diakses pada 10 Maret 2013). 18 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 65. 19 DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes and Special
Children’s Court in Indonesia‛, 4. 20 Marlina, Peradilan Pidana anak di Indonesia- Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 196. 21DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes , 4.
sebagai aturan dalam hukum Islam. Sistem peradilan Islam bisa
menjadi bagian dari upaya untuk mengembangkan standar keadilan
restoratif karena ketentuan hukum Islam hampir semua berbentuk
alternatif yang dikenal dalam sistem keadilan restoratif. 25
Dalam pelaksanaan hukum pidana, Ulama-Ulama dahulu
banyak memahaminya lewat pendekatan jawa>bir. Sebagian Ulama
yang lain ada yang memandang bahwa pelaksanaan hukum pidana
disamping mengandung unsur jawa>bir juga mengandung unsur zawa>jir. Jawa>bir artinya hukuman itu dilaksanakan dengan tujuan agar pelaku
kejahatan/ terpidana merasa kapok tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya dan pihak lain yang berniat jahat merasa takut sehingga
mengurungkan niat jahatnya tersebut.
Menurut Ibrahim Hosen, dalam rangka pembaharuan hukum
Islam, khususnya di bidang hukum pidana, kita dapat berpedoman dan
menerapkan teori zawa>jir. Atas dasar ini pelaku kejahatan dapat
dikenakan hukuman apa saja, asal dengan hukuman itu dapat dijamin
bahwa yang bersangkutan akan kapok dan tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Dengan teori zawa>jir ini pemberian hukuman tidak
harus persis seperti apa yang ditegaskan oleh nas}, namun tidak berarti
kita meninggalkan nas}. Hukuman yang ditetapkan oleh nas} tetap
berlaku dan dianggap sebagai hukuman maksimal. Teori zawa>jir dalam pelaksanaan hukuman ini sebagai cerminan pendekatan ta’a>quli> dalam memahami nas}.26
Dalam hal ini terdapat kesalahan bahwa hukum pidana Islam
hanya bertujuan untuk membalas (retributive justice) karena orang
hanya teringat dengan qis}a>s} saja. Padahal hukuman dalam hukum
pidana Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan (lebih tampak pada
hukuman qis}a>s} – diyat), membuat jera pelaku/ prevensi khusus (lebih
nampak pada hukuman hudu>d), memberi pencegahan secara umum/
prevensi general, dan memperbaiki pelaku (lebih tampak pada
hukuman ta‘zi>r).27
25Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences vol 7 issue 1 (January-June 2012), 503,
http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/mutazaicjs2012istissue.pdf (accessed February 25,
2013). 26 Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: CV
Putra Harapan, 1990), 127. 27Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani,
diserahkan kepada U>lil ‘Amr baik tentang jenisnya maupun tentang
kadarnya dan disesuaikan dengan perbedaan jarimahnya. Menurut
mazhab Hanbali, hukuman ta‘zi>r diserahkan kepada U>lil ‘Amr untuk
ditetapkan sesuai dengan jari>mah dan keadaan pelakunya.31
Pemberian hukuman ta‘zi>r adalah sebagai peringatan yang
bersifat mendidik karena tujuan hukum pada umumnya adalah
menegakkan keadilan sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman
pada masyarakat. Oleh karena itu putusan hakim seharusnya
mengandung rasa keadilan dan didasarkan pada pertimbangan akal
sehat dan keyakinan untuk mewujudkan mas}lahah agar dipatuhi oleh
masyarakat.
Islam mengedepankan pandangan realistis terhadap hak-hak
manusia dalam penetapan syariatnya, selaras dengan fitrah
kemanusiaan, dan gambarannya bersifat tetap.32
Menurut Ibnu
Khaldun, meskipun syariat menentukan sanksi-sanksi untuk tindak
pidana, tetapi syariat tidak menentukan secara khusus sarana-sarana
yang dapat digunakan untuk menahan pelaku dan membawanya untuk
diadili. Hal itu terletak pada kekuasaan politik untuk mengadakannya
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Jadi prosedur-prosedur
penyidikan dan penuntutannya dianggap dalam wilayah politik
(siya>sah) atau dari kekuasaan yang diserahi.33
Dalam hukum Islam anak-anak diberikan kebebasan dan belum
dibebani oleh tanggungjawab akan hukum. Dalam hadits diriwayatkan
‚Telah menceritakan kepadaku Husyaim, katanya: telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ali r.a ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Diangkat pembebanan hukuman dari tiga jenis orang: anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sembuh. (HR Ahmad).
34
Hukum Islam yang sangat memperhatikan dan mengedepankan
pandangan realistis terhadap hak-hak manusia terdapat kesamaan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi tampaknya aparat
yang menindak perkara hukum anak di Indonesia terlalu bertindak
legalistik, sehingga secara yuridis normatif perkara pidana sekecil
31Nurrohman, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka al-Kasyaf, 2007),
Menurut Romli Atmasasmita penjatuhan pidana kepada pelaku
kejahatan dalam teori retributif ini, mempunyai sandaran pembenaran
sebagai berikut:
1) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai pemuasan rasa balas
dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya,
maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak
dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.
Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;
2) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap
perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan
dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima
ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;
3) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai penunjuk adanya
kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana
yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.22
Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu
kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Keadilan
yang ingin dicapai melalui penerapan hukum pidana dalam
penanggulangan kejahatan akan sulit terwujud bila disandarkan pada
tujuan pemidanaan retributif. Oleh karena itu diperlukan pencarian
justifikasi keadilan yang sesuai untuk mencapai keadilan dalam
penerapan hukum pidana.
C. Restorative Justice sebagai Paradigma Keadilan yang Demokratis
dan Manusiawi
1. Definisi dan Posisinya dalam Hukum Pidana.
Dalam dua puluh lima tahun terakhir keadilan restoratif23
telah
menjadi sebuah konsep hukum yang mendunia dan dinamis pada
22Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologidalam
tulisan Mahmud Mulyadi, ‚Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam
Penegakan Hukum Pidana Indonesia‛ (2006), 8,
http://library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf. (Diakses pada 21 Februari 2013). 23 Istilah ‚restorative justice‛ diciptakan oleh seorang psikolog, Albert
Eglash pada tahun 1977, dalam sebuah tulisannya tentang ganti rugi atau pampasan
(reparation). Keadilan restoratif sangat peduli dengan usaha membangun kembali
hubungan-hubungan setelah terjadinya tindak pidana, tidak sekedar memperbaiki
hubungan antara pelaku dan masyarakat. tetapi juga sebagai pertanda dari sistem
peradilan pidana modern. Muladi, ‚Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem
D7/2?accountid=25704 (accessed March 12, 2013). 27Mark S. Umbreit, ‚Victim Sensitive Victim Offender Mediation Training
Manual‛,An International Resource Center in Support of Restorative Justice Dialogue, Research and Training Center for Restorative Justice and Mediation(1998), 37,
Menurut Braithwaite restorative justice merupakan sebuah
konsep penyembuhan bukan pembalasan. Konsep restoratif
menggunakan gagasan tradisional seperti pemulihan dan pencegahan
suatu kejahatan untuk menjadikan hukuman pidana lebih demokratis
dan manusiawi.28
Howard Zehr mengemukakan bahwa keadilan
restoratif merupakan proses untuk mengidentifikasi dan mengatasi
bahaya, serta untuk menyembuhkan dan menempatkan hal-hal yang
benar.29
Teori restorative justice merupakan teori normatif peradilan
pidana dan gerakan reformasi yang berkembang. Keadilan restoratif
merupakan suatu bentuk dialog yang berada di luar lembaga peradilan
pidana biasa dan bebas dari prosedur hukum yang formal. Dalam hal
ini korban bisa berkomunikasi dengan pelaku dan pelaku bisa
mengakui kesalahan dan menerima tanggung jawab. Semua bentuk
keadilan restoratif bersifat sukarela, partisipatif, dialog dan
musyawarah untuk menghasilkan beberapa bentuk solusi yang dapat
memuaskan dan menyembuhkan bahaya dan konflik yang akan
terjadi.30
Jeff Christian seorang pakar lembaga permasyarakatan
Internasional dari Kanada mengemukakan bahwa konsep restorative justice adalah sebuah penanganan tindak pidana yang tidak hanya
dilihat dari kacamata hukum semata tetapi juga dikaitkan dengan
aspek-aspek moral, sosial, ekonomi, agama dan adat istiadat lokal
serta berbagai pertimbangan lainnya.31
Oleh karena itu Eva Achjani
Zulfa menyatakan bahwa nilai yang diusung oleh keadilan restoratif
28John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation (Oxford
University Press, 2002), 4-5. 29Howard Zehr, ‚Doing Justice Healing Trauma : The Role of Restorative
Justice in Peacebuilding‛, South Asian Journal of Peacebuilding Vol 1 No 1(Spring
2008), 3-4,
http://www.wiscomp.org/pp-v1/Howard_Zehr_Paper.pdf (accessed May 1, 2013). 30 Albert W. Dzur, ‚Civic Implications of Restorative Justice Theory:
Citizen Participation and Criminal Justice Policy‛, Journal of Social Deliberation : The Practice of Restorative Justice,Vol 36 Issue 3/4 Dec 2003, http://e-
resources.pnri.go.id:2058/docview/221329511?accountid=25704. (accessed May 1,
2013). 31Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Anak Tanpa
berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti
keseimbangan, keharmonisan, serta kedamaian dalam masyarakat.32
Model keadilan restoratif memang sebuah pilihan sistem
peradilan anak masa depan di seluruh dunia bila kita ingin melihat
anak-anak di dunia terbebas dari kekerasan karena tuduhan-tuduhan
melakukan tindak pidana. Braithwaite, Ahmed, Morrison, dan
Reinhart mencatat bahwa praktek restoratif fokus pada
mempertahankan dan memperkuat ikatan sosial untuk mencegah anak-
anak dari perasaan terisolasi oleh komunitas sekolah dan masyarakat.33
Dari penjelasan teori retributif dan restoratif diatas kita dapat
menyimpulkan perbedaan antara konsep keadilan retributif dan
restoratif sebagaimana terlihat pada matrik dibawah ini34
32Eva Achjani Zulfa, ‚Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di
Indonesia‛, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol 6 No II(Agustus 2010), 184,
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1114/1022 (diakses 1 Mei 2013). 33 Glenn Rideout, Karen Roland, Geri Salinitri, Marc Frey, ‚Measuring the
Effect of Restorative Justice Practices: Outcomes and Contexts‛,Journal of Educational Administration and Foundation Vol 21 Issue 2 (2010),
Matrik 1. Perbedaan konsep Keadilan Retributif dan Restoratif
KEADILAN RETRIBUTIF KEADILAN RESTORATIF
Perilaku buruk / tindak pidana
terhadap pelaku kejahatan
yang ditetapkan oleh pihak
yang berwenang atas suatu
pelanggaran hukum.
Perilaku buruk / tindak pidana
yang didefinisikan sebagai
tindakan terhadap korban dan
masyarakat (Kejahatan adalah
tindakan terhadap orang lain dan
masyarakat).
Pelaku bertanggung jawab
kepada otoritas untuk perilaku
atau pelanggaran.
Pelaku bertanggung jawab
kepada korban dan masyarakat.
Pertanggung jawaban
disamakan dengan
penderitaan, jika pelanggar
menderita maka mereka telah
bertanggung jawab atas
kesalahannya.
Pertanggung jawaban
didefinisikan sebagai mengambil
tanggung jawab dan
memperbaiki kerusakan yang
telah diperbuat, sukses diukur
dengan berapa banyak perbaikan
dicapai.
Korban bukanlah fokus utama
dari proses.
Korban dan masyarakat terlibat
langsung dan memainkan peran
kunci dalam respon terhadap
masyarakat.
Pelanggar didefinisikan
sebagai kenakalan / perilaku
buruk dan korban
didefinisakan sebagai material
dan kerugian psikologis.
Pelanggar ditentukan oleh
kemampuan mereka untuk
mengambil tanggung jawab atas
tindakan mereka dan perubahan
perilaku. Korban didefinisikan
sebagai kerugian dan kapasitas
untuk berpartisipasi dalam proses
pemulihan kerugian dan
penyembuhan.
34
Kenakalan/kejahatan adalah
hasil dari pilihan individu
dengan tanggungjawab
individu.
Kenakalan/kejahatan memiliki
kedua dimensi individual dan
sosial dan merupakan hasil dari
pilihan individu dan kondisi yang
mengarah pada perilaku.
Sistem peradilan anak yang berlandaskan pada keadilan
retributif hanya memberikan wewenang kepada Negara yang
didelegasikan pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
sipir penjara). Pelaku dan korban sedikit sekali mendapat kesempatan
untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara
menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan
hukuman penjara pada pelaku. Hal seperti ini menyebabkan tindak
kriminal yang dilakukan anak semakin meningkat karena di penjara
mereka justru mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan
dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya.35
Hasil penelitian dan pengamatan pakar hukum tentang anak
yang bermasalah atau pelaku delinkuen yang pernah diproses dengan
hukum, tidak terhindar dari penyebutan yang hina atau stigmatisasi
sebagai anak yang pernah dipenjarakan ‚mantan napi kecil‛. Oleh
karena itu pidana penjara yang merupakan perampasan kemerdekaan
untuk anak-anak sebaiknya dihapuskan. Alternatif yang lebih ringan
(less harm) harus diperbanyak sehingga tersedia banyak pilihan bagi
hakim. Kebijakan diskresi dan diversi seharusnya lebih banyak
diterapkan. Pemenjaraan berat untuk kasus-kasus tertentu harus
dijadikan sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium).36
Pendekatan keadilan restoratif ini sangat penting dan strategis,
karena dengan proses keadilan restoratif, yang berubah dan bergeser
tidak hanya persoalan kelembagaan dan aspek norma kebijakan serta
regulasi, tetapi juga berkaitan dengan persoalan perubahan budaya
yang berkaitan dengan nilai persepsi, sikap dan filosofi. Konsep
retributif yang hanya berorientasi pada pelaku harus diubah menjadi
konsep restoratif yang berorientasi pada pelaku, korban dan
35DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, 26. 36 Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional
Dalam Hukum Pidana (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), 52.
35
masyarakat untuk menghasilkan dasar pendekatan keseimbangan (the balanced approach).37
Matrik 2. Perbedaaan paradigma dalam penanganan ABH
Perbedaan Restitusi Retribusi Restorasi
Landasan
Filosofi
Memperbaiki
kesalahan
dengan
mengganti atau
memperbarui.
Mencapai
keadilan dengan
memberi
balasan atas
derita/ sakit
yang
ditimbulkan.
Memberikan
maaf sebagai
dasar
memperbaiki
hubungan antar
manusia.
Cara Korban
menerima ganti
rugi.
Pelaku dijatuhi
hukuman yang
setimpal atau
lebih berat.
Pelaku
menyesali
perbuatan,
berjanji tidak
mengulangi
dengan
memberikan
ganti rugi jika
diperlukan.
Fokus Korban. Pelaku. Korban dan
pelaku.
2. Variasi Penerapan Restorative Justice
Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di
Negara Eropa, Amerika Serikat, Canada Austalia dan New Zealand
dapat dikelompokkan dalam empat jenis praktik penerapan restorative justice yaitu : Victim Offender Mediation, Conferencing/ Family Group Conferencing, Circles dan Restorative Board/ Youth Panel.
2.1 Victim Offender Mediation (VOM)
37Muladi, ‚Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak‛, 44.
36
Proses restorative justice terbaru yang pertama adalah victim offender mediation. VOM dimulai sekitar tahun 1960 dan pada tahun
1970 dilaksanakan pada tingkatan lokal. Pada saat dilakukan di tingkat
lokal itulah mulai banyak orang direkrut untuk menjadi mediator,
banyak juga yang ditangani oleh lawyer atau sarjana hukum sukarela
dan belum melakukan pertemuan tatap muka.
VOM adalah proses yang menyediakan korban berkesempatan
untuk bertemu pelaku dalam lingkungan yang aman dan terstruktur
serta terlibat dalam diskusi mediasi kejahatan. Dengan adanya bantuan
seorang mediator yang terlatih, korban dapat memberitahu pelaku
tentang kerugian fisik, emosional, dan keuangan atas dampak
kejahatan itu.38
Tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian
terhadap peristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi
alternatif bagi pelaku atau melakukan pembinaan ditempat khusus
bagi pelanggaran yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya
proses ini melibatkan dan membawa korban dan pelaku bersama
kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi
pertemuan.
Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan terhadap korban
dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan
berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku
belajar terhadap akibat dari perbuatannya dan mengambil tanggung
jawab langsung atas perbuatannya serta membuat rencana
penyelesaian kerugian yang terjadi.39
Dalam melaksanakan program
mediasi, mediator harus melakukan segala kemungkinan untuk
memastikan bahwa korban tidak akan dirugikan dengan cara apapun.
Korban juga harus diberikan pilihan mengenai keputusan seperti kapan
dan di mana sidang mediasi akan berlangsung, yang akan hadir, yang
dilakukan pelaku terhadap korban. Jika pelaku kaya, maka ia harus
mengkompensasi dari uangnya sendiri. Adapun jika ia terbukti kurang
mampu secara financial atau perbuatan yang ia lakukan adalah karena
unsur ketidak sengajaan (kealpaan/ kesalahan) maka kompensasi juga
dibebankan kepada ‘aqila58.
Imam Ahmad) sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta, tidak ada
bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, mirip sengaja dan tidak sengaja
(kesalahan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‚Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta‛ (HR Ibnu Ma>jah).
Pembayaran diyat pembunuhan sengaja dengan 100 ekor onta dengan
perincian yaitu 30 ekor onta hiqqah, 30 onta jaz‘ah, 40 onta hamil yang mengandung
janin diperutnya sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‚Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaz‘ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka‛. (HR Ibnu Mājah)‛
Diyat pembunuhan semi sengaja usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‚Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil‛.
Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada
`Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah:
جم ل يت انسر أة عهى اننصص ي سل يت انل
Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki. (HR al-Baihaqi)
Hal ini telah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnul-Mundzir rahimahullah :
‚Para Ulama berijmâ bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki‛.
Standar pembayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat
mayoritas Ulama. Dalam riwayat s}ah}ih} dari Umar bin al-Khat}a>b Radhiyallahu ‘anhu
ketika berbicara di atas mimbar: ‚Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi
mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000
dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik
kambing 2000 domba‛. (HR Abu Dāwud). Dalam hal ini nampak Umar Radhiyallahu
‘anhu menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga
jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat, sedangkan yang lain mengikuti nilai
c) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan, antara lain: memberikan
informasi kepada para pihak mengenai adanya pertemuan,
mendapatkan informasi dari para pihak yang akan membantu,
memfasilitasi pertemuan dan menentukan tempat, ruang, dan
pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut.
2. Pelayanan di masyarakat
Pelayanan yang bersifat pemulihan dapat dilakukan oleh
lembaga-lembaga dan organisasi independen peduli anak yang
bergerak dibidang perlindungan anak. Dalam kasus anak sebagai
korban maupun pelaku dapat diterapkan nilai-nilai keadilan
restoratif untuk pemulihan korban serta memberikan
pendampingan psikologis bagi korban dan pelaku.
3. Disetiap tahapan sistem peradilan
Pada setiap tahapan sistem peradilan- mulai dari penyidikan,
penuntutan, hingga proses persidangan- wajib dilakukan diversi
melalui forum musyawarah/ mediasi dengan tujuan pemulihan bagi
pelaku, korban dan masyarakat.66
Hasil kesepakatan keadilan
restoratif dapat berupa: 1) perdamaian dengan atau tanpa ganti
kerugian; 2) penyerahan kembali kepada orang tua/wali; 3)
pemberian pendidikan atau pelatihan kepada lembaga pendidikan,
lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau lembaga
kesejahteraan sosial.
Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka
timbul beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice. 67
Di Negara Italia menurut aturan pidananya ada beberapa
macam tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan perdamaian
tanpa perlu ke pengadilan yaitu perbuatan melukai seseorang tanpa
sengaja, penghinaan, pencemaran nama baik, penyerangan dan
beberapa permasalahan yang tidak berat. Di Norwegia semua tindak
pidana dapat dilakukan mediasi seperti pencurian, pengrusakan barang,
perbuatan ugal-ugalan dalam berkendara, kecuali tindak pidana sangat
serius dan berat. Di Negara Australia pelanggaran yang dapat
66DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal, 40-41. 67 Helen Duffy, ‚Overview: Truth Commissions as a response to State-
sanctioned Crime‛, Paper to the ancilliary meeting on Restorative Principles in Responde to State Sanctioned Crime at the 10th UN Crime Congress, (Vienna May
2000). Dikutip dari buku Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 196.
48
dialihkan kepada restorative justice adalah tindak pidana selain yang
terjadi cukup serius seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan,
pelanggaran konsumsi alkohol, dan keselamatan jalan raya yang harus
ditangani oleh pengadilan. Pelanggaran selain itu diputuskan dengan
diskresi oleh polisi.68
Di Amerika Serikat dan Eropa, bentuk paling terkenal dari
keadilan restoratif adalah Victim Offender Mediation (VOM) yaitu
proses yang menyediakan korban berkesempatan untuk bertemu pelaku
dalam lingkungan yang aman dan terstruktur dengan dipimpin oleh
seorang mediator yang terlatih. Korban dan pelaku datang bersama-
sama dalam sebuah pertemuan untuk menjawab pertanyaan yang akan
diajukan. Pertemuan dalam konsep VOM awalnya digunakan untuk
kejahatan ringan, namun banyak yurisdiksi saat ini menawarkan
kemungkinan yang sama dalam kasus yang berat. Ribuan program
tersebut beroperasi di Amerika Utara, Eropa dan tempat lain.69
Di Austria, pada mulanya diversi atau pengalihan penuntutan
hanya untuk anak, namun kemudian digunakan juga untuk orang
dewasa dengan bentuk VOM. Menurut Pasal 90g KUHAP Austria
Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan
apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti
rugi dan mendapatkan ancaman dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun
penjara atau 10 tahun dalam kasus anak. Di Jerman pada tahun 1990,
OVA (Offender Victim Arrangement) dimasukkan ke dalam hukum
pidana anak secara umum dan dinyatakan sebagai ‚a means of diversion‛. Apabila pelaku memberi ganti rugi/ kompensasi kepada
korban secara penuh atau sebagian besar, maka pidananya dapat
dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan dengan
syarat apabila diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau
360 unit denda harian.70
Penerapan pendekatan restorative justice yang semakin
berkembang memunculkan anggapan bahwa paradigma ini membawa
68 Lode Walgrave, Repositioning Restorative Justice (UK : Willan
Publishing First edition), 289. Dikutip dari buku Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 226-227.
69Howard Zehr, ‚Doing Justice Healing Trauma : The Role of Restorative
Justice in Peacebuilding‛, South Asian Journal of Peacebuilding Vol 1 No 1(Spring
banyak keuntungan perubahan yang positif terhadap masyarakat dan
negara. Keuntungan dari program ini antara lain adalah : 1)
masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri
permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil; 2) beban negara
dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya berkurangnya beban
untuk mengurusi tindak pidana yang dapat diselesaikan secara mandiri
oleh masyarakat serta berkurangnya jumlah perkara yang masuk
kedalam sistem peradilan; 3) beban untuk menyediakan anggaran
penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal
penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan. Dalam penerapan konsep
ini dapat diharapkan lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih
baik dan berdayaguna (sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam
rancangan KUHP Indonesia saat ini).71
Pada Oktober 2012, Mahkamah Agung RI berkesempatan
untuk menghadiri Konferensi Penyelesaian Sengketa Alternatif yang
diadakan di Supreme Court of Singapore yang di wakili oleh Ketua
Pengadilan Negeri Stabat Ibu Diah Sulastri Dewi. Dalam konferensi
ini para Panelis memaparkan perkembangan Mediasi di masing-masing
negaranya. Hongkong dan Malaysia merupakan Negara-negara yang
menerapkan undang-undang untuk implementasi mediasi dan masih
terus mengembangkan cara untuk menerapkannya.
Adapun Singapura dalam mengembangkan konsep restorative justice telah membentuk Pusat Mediasi Masyarakat (Community Mediation Center atau yang disingkat menjadi CMC) guna
mengantisipasi perkembangan masyarakat di kota yang padat
penduduknya dan membantu masyarakat untuk menyelesaikan konflik
sosial yang tinggi. CMC dimotori oleh para akademisi dan anggota
parlemen dan dalam pelaksanaannya para anggota parlemen langsung
turun ke lapangan untuk melihat potensi konflik dan segera berupaya
mencari pemecahan salah satunya melalui CMC. Hasilnya 72%
konflik di masyarakat berhasil diselesaikan melalui mediasi oleh para
mediator dibawah naungan CMC. Hal ini yang menjadi inspirasi bagi
Indonesia untuk terus mengembangkan konsep restorative justice.72
71 Eva Achjani Zulfa, ‚Restorative Justice di Indonesia-Peluang dan
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik
restorative justice telah digunakan oleh berbagai Negara di dunia
untuk menyelesaikan tindak pidana melalui proses diluar peradilan
pidana formal. Secara umum konsep restorative justice tidak
membatasi tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan dengan
proses ini, hanya saja proses tersebut harus sesuai dengan prinsip
utama restorative justice. Dibutuhkan sumber daya manusia yang ikut
berperan dalam mengembangkan konsep restorative justice untuk
mendapatkan hasil yang terbaik bagi semua pihak yang ikut terlibat.
D. Pemberian Hukuman Ta‘zi>r Terhadap Pelaku Tindak Pidana dalam
Hukum Pidana Islam
Klasifikasi kejahatan dalam hukum pidana Islam yang paling
penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum adalah h}udu>d, qis}a>s} dan ta‘zi>r. Kategori pertama adalah hudu>d. Kejahatan h}udu>d adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana
Islam. Kejahatan h}udu>d merupakan kejahatan publik yang berkaitan
dengan hak Allah. H}udu>d merupakan kejahatan yang diancam dengan
hukuman h}ad yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.
Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair yang tergolong
kejahatan h}udu>d ada 7 yaitu: riddah (murtad), al-baghi> (pemberontak),
Kategori kedua adalah qis}as}. Sasaran dari kejahatan ini adalah
integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Jari>mah qis}a>s} dikenal dengan kejahatan terhadap manusia atau crimes against person, seperti: pembunuhan dengan sengaja (qatl al-‘amd),
pembunuhan dengan menyerupai sengaja (qatl shibh} al-‘amd),
pembunuhan karena kealpaan (qatl al-khata>’), penganiayaan, dan
menimbulkan luka/ sakit akibat kealpaan.
Kategori terakhir adalah ta‘zi>r. Landasan dan penentuan
hukumannya didasarkan pada ijma’ (konsensus) untuk menghukum
semua perbuatan yang tidak pantas yang menyebabkan kerugian fisik,
sosial, politik, finansial atau moral bagi individu atau masyarakat.73
Ta‘zi>r dalam pengertian hukum Islam adalah hukuman yang bersifat
mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi h}ad
dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam
73Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek
dan Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 22-23.
51
jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‘zi>r diserahkan
semuanya kepada kesepakatan manusia.74
Jika sifat jari>mah dikaji lebih mendalam hanya jari>mah ta‘zi>r yang dapat dianggap sepadan dengan delik dalam hukum pidana.
Karakter jari>mah h}udu>d dan qis}as} lebih dogmatis dan menjadi hak
Allah yang tidak mungkin diubah atau dikurangi oleh kekuasaan
manusia. Karakter jari>mah h}udu>d dan qis}as} berbeda dengan karakter
delik pidana yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat.75
Dalam pelaksanaan hukuman ta‘zi>r, Imam Malik, Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat jika ta‘zi>r berhubungan dengan
hak-hak Allah, Hakim/ Imam wajib melaksanakan hukuman seperti
h}udu>d kecuali apabila ada pengampunan dan syafa’at dari pihak
korban dan menurut Hakim/ Imam tidak dilaksanakannya hukuman
membawa mas}lahah. Jika ta‘zi>r berhubungan dengan hak-hak adami> maka tidak wajib untuk dilaksanakan hukuman tersebut apabila pihak
korban mau berdamai dan memberikan maaf.76
Hukuman ta‘zi>r suatu ketika bisa dibatalkan, meskipun kita
telah mewajibkannya. Hal tersebut terjadi apabila si pelanggar adalah
seorang anak kecil atau seorang yang sudah dewasa tetapi dia
melakukan pelanggaran kecil, maka tidak wajib baginya dikenakan
hukuman ta‘zi>r. Hal ini dikarenakan tidak adanya hukuman ringan
yang bisa mencegah dan tidak diwajibkan atasnya hukuman yang
berat.77
Kata ta‘zi>r berasal dari bahasa arab dengan asal katanya -
حعصيسا– يعصز – عصز yang berarti mencegah atau menolak dan mendidik.
Disebut mencegah dan menolak karena ta‘zi>r dapat mencegah atau
menolak pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi kembali
kejahatannya yang dapat menyakiti dan merusak harta benda orang
lain. Disebut mendidik karena mendidik pelaku kejahatan supaya dapat
menyadari dan merubah sikap dan perilaku buruknya sehingga tidak
mengulangi kembali.78
74Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 10. 75 Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, 16. 76 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5283. 77 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5284. 78 Mans}u>r ibn Yu>nu>ss al-Bahu>t}i>, Ar Raud} al-Murbi’ bi Sharh} Za>d al-
Mustaqni> (Beirut : Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1996), 511. Lihat juga M. Shabir U,
‚Relevansi Hukuman Takzir Dalam Fikih Dengan Hukuman Sebagai Alat
Pendidikan‛, Jurnal Lentera Pendidikan Vol 11 no 2, (Desember 2008), 209,
52
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ta‘zi>r adalah hukuman
yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat
di dalam al-Qur’an dan Hadits.79
Tujuan diberikannya hak dalam
menentukan hukuman ta‘zi>r kepada penguasa (aparat penegak hukum)
adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan-kepentingannya serta dapat menghadapi dengan sebaik-
baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.80
Menurut Muhammad ‘Abdulla>h al- Jarda>ni>, ta‘zi>r adalah
pendidikan hukum (ta’di>b) atas dosa yang tidak ada had padanya dan
tidak pula kaffarah.81
Burha>n ad-Di>n Abi> ar-Rifa>’i Ibra>him
menyatakan bahwa ta‘zi>r adalah pendidikan hukum (ta’di>b), perbaikan
(is}la>h}), dan pencegahan (zajr) atas dosa-dosa yang tidak disyariatkan
untuk diberlakukan h}udu>d dan tidak pula kaffarah.82
Menurut Wahbah Zuhaili> ta‘zi>r adalah pertolongan, karena
melarang si pelaku untuk mendapat hukuman berat, kemudian terkenal
dengan istilah bahwa ta‘zi>r merupakan hukuman yang berupa
pendidikan. Hukuman ta‘zi>r merupakan hukuman yang tidak
ditetapkan oleh syari’at dan keputusan hukumannya diserahkan kepada
Negara (aparat penegak hukum) sesuai dengan berat dan ringannya
perbuatan tindak pidana tersebut. 83
Diwajibkan atas seseorang dikenai hukuman ta‘zi>r apabila dia
tidak melakukan kejahatan yang mewajibkan atasnya hukuman h}ad dan qis}as}.84
Meskipun tujuan ta‘zi>r adalah mencegah atau menolak
pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi kejahatannya dengan
perbaikan dan pendidikan tetapi syari’ah Islam menghindari hukuman
Fikr al-‘Arabi>, 1976), 293. 86Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5283. 87Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Terj. Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law. Penerjemah Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany (Yogyakarta: LKis Yogyakarta,
2004), 197-198.
54
Tujuan dari hukuman ta‘zi>r antara lain: 1) mencegah seseorang
dari berbuat maksiat; 2) memberikan hukuman terhadap pelaku tidak
dimaksudkan untuk balas dendam melainkan untuk kemaslahatan; 3)
menjadikan hukuman yang berat adalah upaya terakhir dalam menjaga
seseorang agar tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. Diantara hal-hal
yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim adalah besar
kecilnya pelanggaran, adanya unsur sengaja atau kelalaian, baru
pertama kali dilakukan atau sudah berkali-kali dan sebagainya.88
Dalam hukuman ta‘zi>r ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan hapusnya hukuman ta‘zi>r, diantaranya pelaku meninggal
dunia, korban memberikan maaf kepada pelaku, dan pelaku melakukan
taubat. Meninggalnya si pelaku jari>mah ta‘zi>r merupakan salah satu
sebab hapusnya sanksi ta‘zi>r. Hal ini berlaku bila sanksi ta‘zi>r yang
harus dijalani adalah berupa sanksi badan atau sanksi yang berkaitan
dengan diri pelaku. Apabila sanksi ta‘zi>r berupa denda, maka kematian
tidak menyebabkan hapusnya ta‘zi>r dan menjadi utang si pelaku yang
berkaitan dengan harta pusaka yang ditinggalkannya.
Adapun sebab lain terhapusnya sanksi ta‘zi>r adalah pihak
korban memaafkan pelaku. Hal penting dalam penerapan ta‘zi>r adalah
harus sesuai dengan kaidah al-ta‘zi>r yad}urru ma‘a al-mas}lahah (ta‘zi>r itu tergantung kepada maslahat). Apabila ta‘zi>r berkaitan dengan hak
adami maka hanya dapat dimaafkan oleh pihak korban dan tidak dapat
dimaafkan oleh U>lil ‘Amr. Sanksi ta‘zi>r yang berhubungan dengan hak
Allah dapat dihapuskan dengan taubat. Taubat dapat dilihat dengan
adanya rasa menyesal pelaku terhadap perbuatan yang telah
dilakukannya, menjauhkan diri dari perbuatan itu, dan memantapkan
niatnya untuk tidak kembali melakukannya. Apabila jari>mah berkaitan
dengan hak adami maka indikator taubat harus ditambah dengan cara
meminta maaf kepada korban.89
Adakalanya anak-anak melakukan perbuatan jari>mah dan tidak
menutup kemungkinan kejahatan itu disengaja atau tidak disengaja.
Dasar penerapan ta‘zi>r bagi anak berdasarkan makna yang dikandung
dari beberapa hadits Rasulullah SAW diantaranya ‚Dari Abdul Malik
bin Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya dan dari kakeknya Rasulullah
SAW bersabda : Ajarkanlah anakmu shalat untuk usia 7 tahun dan
88M. Shabir U, ‚Relevansi Hukuman Takzir Dalam Fikih Dengan Hukuman
Sebagai Alat Pendidikan‛, 211. 89Nurrohman, Hukum Pidana Islam, 103-105.
55
pukullah mereka karena tidak shalat ketika berusia 10 tahun (HR al-
Baihaqi). 90
Dalam suatu riwayat diceritakan ‚Abdullah bin Busr al-Mazini
berkata: Ibuku mengutusku untuk mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah, namun aku memakannya sebelum sampai kepada beliau. Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer telingaku (secara halus) dan memanggilku dengan sebutan ‚wahai penghianat kecil‛.
91
Dalam memberikan hukuman ta‘zi>r bagi anak, sanksi yang
diberikan sifatnya harus mendidik dapat diberikan melalui putusan
hakim atau dari orang tua mereka. Pemberian hukuman ta’di>b dilakukan terhadap perbuatan buruk yang telah dilakukan bukan
kekhawatiran perbuatan buruk yang akan dilakukan. Orang tua
dibenarkan memukul anaknya dengan tidak melukai, tidak memukul
bagian rawan yang sensitif dan pemberian ta’di>b tidak boleh
berlebihan.92
Rasulullah juga melarang untuk memanjakan anak dan
menuruti semua kemauannya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda ‚Gantungkan cambuk (alat pemukul) ditempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka‛. Dibalik kecintaan dan kasih sayang orang tua terhadap
anaknya, Rasulullah tidak menginginkan adanya sikap memanjakan
secara berlebihan. Maksud dari hadits ini bukanlah agar orangtua
sering memukul anggota keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. Sikap memanjakan
dan memberikan kasih sayang yang berlebihan mengakibatkan anak
tidak pernah dibiasakan taat kepada Allah dan batasan-batasan
hukumNya.93
90 Abu Bakar Ahmad bin Husen bin Ali al-Baihaqi, Sunan Saghir (Beirut:
Da>r al-Kita>b al-Islami>yah, 1998) Jilid 1, 173. 91Musnad Asy-Syamiyyin : II, 355. 92‘Abdul Qa>dir ‘Audah, at-Tashri> al-Jinā‘ī al-Isla>mi>, 516. 93 Hadits riwayat ‘Abdur Razzaq dalam Al-Mus}annaf : 9/477 dan At}-
T}abra>ni dalam Al-Mu’jamul Kabi>r no. 10671.
56
57
BAB III
KEBIJAKAN HUKUM
DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA ANAK
Pada bab ini dijelaskan kebijakan aparat penegak hukum
(Kepolisian, Bapas, Jaksa dan Hakim) dalam mengembangkan dan
mempraktekan konsep keadilan restoratif serta kebijakan menetapkan
suatu hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Dalam bab ini dijelaskan hambatan dan kendala dalam menetapkan
konsep keadilan restoratif serta bagaimana efektifitas keadilan
restoratif terhadap perubahan sikap, mental, prilaku dan menjauhi
tindak kriminal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Pada
bab ini juga dijelaskan penerapan keadilan restoratif pada pelaku
tindak pidana sebagai praktek keadilan.
A. Arah Kebijakan Restorative Justice sebagai Penanggulangan
Kejahatan
Masalah perlindungan anak yang semakin mendapat perhatian
publik menjadikan Indonesia sangat aktif dalam mempromosikan
realisasi hak-hak anak dan perlindungan anak. Tonggak kebijakan
perlindungan anak merupakan upaya untuk meningkatkan
perkembangan, perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan anak-
anak, serta penetapan sasaran yang jelas dalam mengurangi kekerasan,
dan eksploitasi terhadap anak-anak.1
1 Tinjauan Tengah Waktu (Mid-Term Review) 2008 tentang program
kolaborasi antara UNICEF dan Pemerintah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia (RPJMN) 2010-2014
menggarisbawahi beberapa masalah yang mengkhawatirkan. Hampir setengah (44
persen) dari anak-anak Indonesia yang berusia antara 13 sampai 18 tahun tidak
bersekolah. Sebagian anak-anak (22 persen) yang lulus Sekolah Dasar, tidak
melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama. Sekitar tiga juta anak terlibat dalam
sektor pekerjaan berbahaya. Antara 80.000 hingga 100.000 perempuan dan anak di
Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual atau diperdagangkan untuk tujuan
tersebut setiap tahun. Sekitar 30 persen perempuan korban eksploitasi seksual yang
bekerja sebagai pekerja seks merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun,
bahkanditemukan yang semuda 10 tahun.Sekitar 12 persen anak perempuan
Indonesia dipaksa menikah pada usia 15 tahun atau di bawahnya. RPJMN juga
menyoroti angka hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang memperkirakan bahwa minimal ada 3
juta perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan setiap tahun. Sedangkan
58
Banyak teori ditawarkan dalam upaya memahami sebab-sebab
terjadinya perilaku kenakalan anak. Salah satu teori yang
mengetengahkan sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan anak
adalah Teori Kontrol Sosial dari Travis Hirschi. Hirschi melandaskan
pada pertanyaan berbeda dalam mengetengahkan penjelasan mengapa
anak-anak terlibat kenakalan. Pakar kriminologi anak pada lazimnya
bertanya ‚mengapa seorang anak melakukan kejahatan?‛, sementara
Hirschi berangkat dari pertanyaan dasar ‚mengapa seorang anak patuh
norma‛. Pijakan dasar bukan pada perilaku penyimpangan anak
melainkan pada kepatuhan anak pada norma. Hirschi menyimpulkan
‚semakin anak terikat dengan masyarakatnya, kecil kecenderungannya
terlibat kenakalan, sebaliknya bila ikatan anak dengan masyarakatnya
lemah maka anak akan bebas melakukan kenakalan‛.
Menurut Paulus Hadisuprapto bila pintu masuk seorang anak
melakukan kejahatan adalah lemah atau terputusnya ikatan sosial anak
maka tinggi kecenderungan anak untuk tidak patuh norma (melakukan
kenakalan). Bila hal ini ditanggapi secara tidak proposional maka
besar kemungkinan anak akan mengulangi lagi perbuatan
kenakalannya di masa datang. Hal inilah yang rasanya perlu
diperhatikan dan memperoleh perhatian sebagai salah satu upaya
perlindungan hukum anak-anak yang bermasalah dengan hukum.2
Dalam hal ini perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana
sama pentingnya dengan perlindungan anak sebagai korban. Perbuatan
anak yang melanggar hukum sekiranya dapat dipertimbangkan dan
diperhatikan rasa keadilannya yang berpedoman pada hak-hak asasi
manusia terutama pada anak-anak. Hal ini sangat penting untuk
memberikan gambaran terhadap peradilan pidana anak yang harus
data yang dikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas
Perempuan) menunjukkan bahwa hanya sekitar 20.000 perempuan dan anak korban
kekerasan yang menerima bantuan medis, hukum dan sosial yang layak. Santi
Kusumaningrum, dkk, ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial untuk Anak di
Indonesia‛, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia), 2011, 4.
2Paulus Hadisuprapto, ‚Peradilan Restoratif: Model Alternatif Perlindungan
Hukum Anak Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Internasional‛ di dalam Hukum Pidana dalam Perspektif Editor Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings
Pusdatin Depsos (tahun 2003) menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi anak melakukan pelanggaran hukum atau melakukan
tindak pidana diantaranya faktor kemiskinan yang menempati urutan
tertinggi yaitu 29,35%.21
Faktor kemiskinan menjadi penyebab utama
kriminalitas juga dinyatakan oleh Makmur dalam kegiatan Sosialisai
Anak Berhadapan Dengan Hukum di PSMP Todopuli Makassar.
Menurut Makmur persoalan yang paling besar dalam mengatasi
permasalahan sosial adalah permasalahan anak, dan juga persoalan
kemiskinan. Faktor kemiskinan mendorong anak melakukan berbagai
tindakan kriminalitas. Persoalan utama seseorang melakukan tindak
pidana karena mereka butuh makan, uang dan kehidupan.22
Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, penyelesaian
dengan cara mediasi merupakan pilihan terbaik dalam menyelesaikan
perkara ABH dibandingkan dengan memasukkan anak ke dalam
hanya merusak hubungan tahanan dan keluarganya tapi juga merusak hubungan
keluarga dengan masyarakat akibat stigma negatif karena mempunyai anggota
keluarga sebagai tahanan;
- penjara adalah tempat maraknya narkoba dan obat terlarang. Banyak tahanan
yang sebelumnya bersih jadi mengenal dan memakai narkoba ketika di penjara;
- efek jera penjara adalah sebuah mitos. Banyak hakim beralasan ketika
menjatuhkan putusan penjara agar pelaku pidana jera atau kapok untuk
mengulangi perbuatan melanggar hukum. Ancaman ini hanya mitos karena
walaupun ancaman hukuman tindak pidana terus ditingkatkan, angka
kriminalitas tetap naik;
- penjara menyebabkan biaya tinggi. Biaya penyelenggaraan kehidupan dan
pemeliharaan gedung penjara adalah mahal. Begitu banyak biaya yang harus
dikeluarkan namun sedikit sekali yang digunakan untuk rehabilitasi atau
pendidikan para tahanan. 21
Faktor kemiskinan menduduki urutan tertinggi penyebab seseorang
(dewasa/ anak) melakukan tindak pidana, disusul oleh faktor lingkungan 18,07%,
salah didik sebesar 11,3%, keluarga tidak harmonis sebesar 8,9% dan minimnya
pendidikan agama 7,28%. Dengan demikian penyebab faktor eksternal seperti
kemiskinan dan faktor lingkungan yang buruk pada anak nakal sampai melakukan
tindak kriminal lebih menonjol dibandingkan faktor disharmonis keluarga. Yanuar
Farida Wismayanti, ‚Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum‛, Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Informasi Vol 12 No 03 (2007),
penjara. Mediator wajib melihat dan menganalisis semua aspek yang
melingkupi perkara tersebut secara komprehensif, tidak sekedar fakta
hukum yang terjadi. Mediasi juga sering dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM) dan merupakan salah satu bentuk keadilan
restoratif.23
Dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai
negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi sebagai
salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Ide
dan prinsip dalam mediasi antara lain24
:
a. penanganan konflik (conflict handling/ konfliktbearbeitung).
Dalam melakukan mediasi, tugas mediator adalah membuat para
pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat
dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa
kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah
yang dituju oleh proses mediasi;
b. berorientasi pada proses (process orientation/ prozessorientierung).
Mediasi lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil,
yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya,
kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari
rasa takut dsb;
c. proses informal (informal proceeding/ informalität). Mediasi
merupakan suatu proses yang informal, tidak mempunyai sifat
birokratis dan menghindari prosedur hukum yang ketat;
d. ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (active and autonomous participation/ parteiautonomie/subjektivierung). Dalam hal ini para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai
objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang
mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat.
Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
23 Mediasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses terstruktur namun
informal, dilakukan oleh beberapa pihak terkait, tidak ada paksaan selama sesi
mediasi, kedua pihak yang terlibat konflik mempresentasikan pandangan mereka dan
mediator bekerja dengan kedua belah pihak secara aktif membantu mereka dalam
merancang sebuah keputusan yang memuaskan diantara kedua belah pihak. Mark S.
Umbreit, ‚Mediation of Youth Conflict :A Multi System Perspective‛, Child and Adolescent Social Work Vol 8 No 2 (April 1991), 142.
http://link.springer.com/article/10.1007%2FBF00757555#page-1 (accessed October 4,
2013). 24 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Demi kepentingan umum, aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik
profesi kepolisian.28
Dalam menindak anak yang berhadapan dengan hukum, aparat
kepolisian membuat peraturan khusus yang diatur dalam Peraturan
KAPOLRI No 10 Th 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (UP2A). Dalam peraturan ini, UP2A bertugas memberikan
pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak
yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap
pelakunya.29
Dalam hal ruang pelayanan khusus yang diatur dalam
Perkap No 3 Th 2008, dinyatakan bahwa ruangan haruslah aman dan
nyaman dan diperuntukkan khusus bagi saksi atau korban tindak
pidana serta tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan
anak yang patut diperlakukan secara khusus, dan perkaranya sedang
ditangani di kantor polisi.30
Dalam Undang-Undang No 3 Th 1997 tentang penyidikan
anak, polisi (penyidik) mempunyai wewenang untuk melakukan
penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup. Dalam hal ini penyidik juga wajib
memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.31
UU yang baru
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (e) melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan memotret seorang; (g)
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (h)
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara; (i) mengadakan penghentian penyidikan; (j) mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab. 28Hal ini diatur dalam UU RI no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
RI Bab 3 Tugas dan Wewenang Kepolisian Pasal 18. 29Peraturan KAPOLRI No 10 Th 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak Pasal 3. 30Perkap No 3 Th 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus
dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/ atau Korban Tindak Pidana. 31 UU No 3 Th 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 41-42 tentang
Penyidikan.
Dalam UU No 3 Th 1997 tentang penahanan terhadap anak dinyatakan bahwa
‚Penahanan untuk anak berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari, jangka waktu
tersebut diperlukan guna kepentingan pemeriksaan. Jika belum selesai, atas
permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang,
paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik
sudah harus
71
tentang Peradilan Anak No 11 Th 2012 juga mengatur perihal
penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka pidana anak yang harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan
diupayakan konsep diversi.32
Kebijakan diversi inilah yang menjadi
acuan aparat kepolisian untuk mewujudkan keadilan anak yang
restoratif.
Dasar hukum penerapan diversi ini juga diatur dalam pasal 18
ayat 1 huruf L yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang
No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian yang berbunyi ‚Polisi dapat
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku, tindakan tersebut selaras dengan kewajiban
hukum/ profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan, tindakan
tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup
jabatannya, serta didasarkan pada pertimbangan yang layak
berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi
Manusia‛.
Pada TR Kabareskrim juga terdapat pengertian mengenai
diversi, yaitu ‚suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian
yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam
bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak‛.33
Dalam
hal ini dapat diartikan bahwa pengalihan kasus-kasus yang berkaitan
dengan anak yang berhadapan dengan hukum atau anak sebagai pelaku
tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur diversi.34
menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. Apabila
jangka waktu dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Namun, proses penahanan ini dianggap terlalu lama, oleh karena itu dalam UU No 11
Th 2012 sebagai pengganti UU No 3 Th 1997 tentang penahanan anak Pasal 33
dinyatakan bahwa ‚Penahanan tersangka anak untuk kepentingan penyidikan
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari. Jangka waktu penahanan atas permintaan
Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari.
Dalam hal jangka waktu telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. 32UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 12. 33TR Kabareskrim No. Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD. 2. 34TR Kabareskrim Polri No.Pol.: TR/ 1124/XI/2006 yang memberi petunjuk
dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Hal ini memberi pedoman dan
wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk
72
Menurut UU No 11 Th 2012 tentang Peradilan Anak, diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi bertujuan untuk: 1)
mencapai perdamaian antar korban dan Anak; 2) menyelesaikan
perkara Anak di luar proses peradilan; 3) menghindarkan anak dari
perampasan kemerdekaan; dan 4) menanamkan rasa tanggung jawab
kepada Anak.
Diversi hanya dapat dilakukan dalam hal tindak pidana penjara
di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
pelaku dan orang tua serta korban dan orang tua, petugas pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan
pendekatan keadilan restoratif. Kesepakatan Diversi untuk
menyelesaikan tindak pidana tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat dan dapat dilakukan bersama-sama serta dapat
melibatkan tokoh masyarakat.
Penyidik wajib mengupayakan diversi paling lama 7 hari
setelah melakukan penyidikan. Diversi dilaksanakan paling lama 30
hari setelah dimulainya diversi. Apabila proses diversi berhasil
mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi
beserta kesepakatan kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat
penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib menyampaikan berita
acara diversi dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan
melampirkan berita acara diversi dan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.35
Kewenangan penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana ditentukan oleh Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia yang ditegaskan bahwa dalam melakukan penyidikan
terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau
saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan. Dalam hal dianggap perlu, Penyidik juga
dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog,
psikiater, tokoh agama dan tenaga ahli lainnya.36
Dalam setiap pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan
hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau
kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. 35UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 29. 36UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 26-27.
73
pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Penyidik dapat menghentikan proses pemeriksaan pada
tahap penyelidikan atau penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti,
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, adanya pencabutan
laporan dari korban atau adanya pemberhentian penyidikan
dikarenakan alasan hukum seperti pelaku meninggal dunia atau karena
asas oportunitas.37
Bagan 2: Implementasi Kebijakan Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Anak
3.3. Balai Pemasyarakatan
Peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) sangat diperlukan dalam
penentuan keputusan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum melalui hasil penelitian masyarakat (Litmas). Hasil olah data
wawancara dengan anak yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh
37Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti ini dilakukan
sehubungan dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat yaitu minimal 2 alat bukti.
Terjadi tindak pidana
dengan anak sebagai pelaku
Ada laporan atau aduan
tindak pidana anak kepada
penyidik Bagian Pelayanan Masyarakat
BAPAS Ada proses Restorative
Justice : Musyawarah yang
melibatkan penyidik, pelaku
dan orang tuanya, korban
dan keluarganya,
Pembimbing
Kemasyarakatan, LSM,
masyarakat setempat dan
pihak lain yang terkait.
Menerima hasil
musyawarah dan setuju
dilakukan Diversi
Menolak hasil musyawarah,
perkara dilimpahkan ke
Penuntut Umum dan
berlanjut ke Pengadilan Anak
74
petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dengan cara melihat
riwayat hidup si anak, kondisi keluarga, keadaan ekonomi dan
lingkungan masyarakat tempat tinggal anak tersebut.
Laporan penelitian kemasyarakatan ini berguna sebagai bahan
dasar guna menentukan program pembinaan, baik sebelum maupun
sesudah keputusan Hakim. Dalam hal ini juga diharapkan Hakim dapat
mempertimbangkan pemberian hukuman pidana bersyarat dan bahan
pertimbangan pemberian lepas bersyarat sehingga dapat memutuskan
perkara yang sesuai dengan keputusan terbaik bagi anak.
Dalam hal memberikan rekomendasi atas hukuman yang akan
diberikan kepada pelaku anak, Bapas sudah berupaya semaksimal
mungkin agar pelaku tindak pidana anak dapat diupayakan putusannya
dengan konsep keadilan restoratif. Dalam hal putusan hukuman
pidana, Bapas tidak mempunyai kewenangan karena keputusan
hukuman terhadap anak berada di tangan hakim yang mempunyai
wewenang penuh atas putusan. Faktanya Perlindungan Anak masih
jauh dari memuaskan. Rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat
terhadap isu ABH (Anak berhadapan dengan hukum) dan belum
adanya kesamaan persepsi serta kurangnya koordinasi aparat penegak
hukum menyebabkan pidana penjara masih merupakan primadona
pemidanaan. Secara yuridis hal ini menyebabkan peran Bapas pasif.38
Bagan 3: Posisi Bapas dalam Sistem Peradilan Pidana
38Hasil Wawancara Pribadi dengan Ibu Heidy Manurung, S.Pd bagian Badan
Klien Anak (BKA) di Balai PemasyarakatanKelas II Bogor pada 02 September 2013.
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
BAPAS M
A
S Y
A
R
A
K
A
T
JAKSA HAKIM RUTAN/ LP POLISI
TINDAKAN
75
Tugas dan Kewajiban Bapas diatur dalam UU No 12 Th 1995
tentang Kemasyarakatan. Dalam Undang-undang ini Balai
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah pranata untuk
melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Sistem pembinaan
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman,
pendidikan, pembimbingan penghormatan harkat dan martabat
manusia serta asas kekeluargaan.39
Pada Pasal 6 UU No 12 Th 1995, bimbingan oleh Bapas
terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan terhadap anak yang
mendapat hukuman terpidana bersyarat, pembebasan bersyarat atau
cuti menjelang bebas, putusan pengadilan yang pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial serta anak yang
mendapat penetapan pengadilan bimbingannya dikembalikan kepada
orang tua atau walinya. Penelitian Kemasyarakatan terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum, dilaksanakan untuk memberikan
bantuan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim guna
kepentingan pemeriksaan dalam proses persidangan. Dalam Pasal 59
UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa
guna kepentingan anak, hakim wajib memperhatikan hasil Penelitian
Kemasyarakatan.
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-
PK.04.10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa tugas Pembimbing
Kemasyarakatan Bapas yaitu:
1) melakukan penelitian kemasyarakatan untuk : a) membantu tugas
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal
(bermasalah dengan hukum); b) menentukan program pembinaan
narapidana di LAPAS dan anak didik pemasyarakatan di LAPAS
anak; c) menentukan program perawatan tahanan di RUTAN; d)
menentukan program bimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi
klien pemasyarakatan;
2) melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi
klien pemasyarakatan;
3) memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang
meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu;
4) mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang
melaksanakan tugas pembimbingan; dan
5) melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi
pidana pengawasan dan terhadap terpidana anak didik
39UU No 12 Th 1995 tentang Kemasyarakatan Pasal 5.
76
pemasyarakatan yang diserahkan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh serta memberikan pengawasan terhadap orang tua, wali
dan orang tua asuh yang diberi tugas pembimbingan atas anak
terpidana.
Lahirnya Undang-Undang No 11 Th 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak memberikan peran besar bagi Bapas dalam
penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Melalui
tugas ini, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) tidak hanya menjadi
instansi yang melakukan penelitian masyarakat berkaitan dengan anak
yang terlibat dalam perkara pidana saja, tetapi menjadi salah satu
unsur penting dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan
atau melibatkan anak.
UU SPPA ini mengatur secara jelas dan tegas peran yang harus
dijalankan oleh Bapas. Peran tersebut bergerak sejak tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana dengan mengedepankan upaya pemulihan secara berkeadilan
dan menghindarkan anak dari proses peradilan. Jika dalam hal tertentu
anak harus masuk ke dalam proses peradilan maka Bapas mempunyai
kewajiban untuk memberikan pendamping terhadap anak dalam setiap
tingkat pemeriksaan.40
Dalam proses diversi, Bapas mempunyai peran strategis yaitu:
1) pembimbing kemasyarakatan harus terlibat dalam proses diversi
yang dilakukan pada setiap tingkat pemeriksaan. Keterlibatan
petugas PK Bapas adalah dengan memberikan pertimbangan kepada
penyidik, penuntut umum dan hakim selama proses diversi yang
dimuat dalam penelitian masyarakat;
2) memberikan rekomendasi tentang bentuk kesepakatan diversi yang
dilakukan oleh penyidik untuk menyelesaikan tindak pidana yang
berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa
korban atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
mínimum provinsi setempat.
3.4. Jaksa
Dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan
tuntutan pidana bagi anak nakal yang paling utama adalah berdasarkan
40 Andi Wijaya Rivai, Bapas Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
doktrin, tradisi, dan pengalaman praktik penerapan pendekatan
keadilan restoratif telah lama ada dan diberlakukan umat Hindu,
Budha, Islam, Yahudi, Sikh, Tao dan Kristen.18
Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan hukuman minimum
untuk pelaku tindak pidana merupakan konsep utama dalam hukuman
ini. Ta‘zi>r merupakan kekuatan diskresi hakim (kebijakan aparat
penegak hukum) dalam memberikan hukuman terhadap pelaku tindak
pidana.
Konsep ta‘zi>r adalah klasifikasi hukuman yang paling bisa
menerima pendekatan rekonsiliasi korban dan pelaku, resolusi konflik,
meredam kemarahan, dan kompensasi. Sebagai hukuman, ta‘zi>r juga
mengandung banyak unsur keadilan restoratif termasuk menghormati
dan menjaga martabat pelaku. Satu-satunya unsur keadilan restoratif
dalam Hukum Islam adalah gagasan tentang perbaikan/ pemulihan. Hal
ini menjadikan hukuman ta‘zi>r sangat restoratif.19
Penerapan keadilan restoratif dalam masyarakat Islam bukanlah
tugas yang sulit. Interpretasi Islam yang memungkinkan untuk
mempertemukan antara pelaku dan korban serta partisipasi masyarakat
dalam menyelesaikan suatu permasalahan menjadikan konsep keadilan
restoratif pada tingkat teoritis bukanlah hal yang baru dalam Islam
sebagai penyelesaian konflik. Komunitas muslim sudah terbiasa
melakukan praktek mediasi, diskresi, kompensasi, pengampunan/
pemaafan (al-‘afwu). Oleh karena itu konsep keadilan restoratif
bukanlah hal asing dalam hukum Islam baik secara teori maupun
praktek.20
Dalam hukum pidana Islam yang berlaku hukum qis}as}-diyat. Hukuman bagi pelakunya adalah setimpal sesuai perbuatannya (qis}as}) dan ini sesuai rasa keadilan korban, tetapi perbuatan memaafkan dan
perdamaian dari korban/ keluarganya dipandang sebagai sesuatu yang
lebih baik. Pihak pelaku bisa dijatuhi sanksi diyat (yaitu ganti rugi
sejumlah harta tertentu untuk korban dan keluarganya). Hal ini
membawa kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada lagi dendam
antara kedua pihak itu. Pihak korban mendapat perbaikan dari sanksi
18Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 198. 19Nawal H. Ammar, ‚ Restorative Justice in Islam: Theory and Practice ‚
The Spiritual Roots of Restorative Justice edt by Michael L. Hadley,(Albany: State
University of New York Press, 2001), 175. 20Nawal H. Ammar, ‚ Restorative Justice in Islam, 178.
94
yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses
peradilan pidana.21
Disinilah sebenarnya aspek penting dalam hukum
pidana Islam, yaitu aspek restorative justice. Jika pelanggar bisa
direhabilitasi dengan cara selain hukuman berat, tujuan akan tercapai.
Hukuman harus dihapus, namun korban harus selalu memiliki
kemungkinan untuk mendapatkan obat yang efektif.
Syariah Islam menginginkan kemudahan kepada pemeluknya
dan hukuman itu dibuat untuk kemudahan dan kebaikan serta terhindar
dari berbagai kerusakan agar tercapai kemaslahatan.22
Syari’at
ditegakan untuk mewujudkan mas}lah}ah dan menolak mafsadah.
Mas}lah}ah adalah mengambil suatu manfaat dan menolak kerugian
(mud}arrah) atau kerusakan (mafsadah) bagi individu dan masyarakat.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mas}lah}ah adalah
pertimbangan kepentingan publik. Kecenderungan fukaha untuk kasus-
kasus baru, terutama untuk utilitas akhirnya memunculkan pengakuan
konsep mas}lah}ah sebagai istilah teknis dalam pembahasan hukum
Islam.23
Dalam Islam hukuman untuk kejahatan yang ringan atau biasa
disebut (minor felonies) tidak ditentukan secara tegas dalam al-Qur’an
maupun Sunnah, sehingga para hakim bebas menetukan bentuk
hukumannya sesuai dengan situasi dan keadaan yang ditemui. Dalam
menentukan bentuk hukuman yang akan ditimpakan kepada para
pelaku kejahatan, hakim biasanya akan mendasarkan keputusannya
pada prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan besar kecilnya kejahatan
yang dilakukan.24
Sanksi pidana bukanlah satu-satunya mekanisme untuk
menegakkan moralitas dan kemaslahatan umum. Dalam menentukan
ruang lingkup pidana, suatu tingkat toleransi tertentu dan niat baik
21Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syariat
dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 93. 22 Mas}lah}ah secara harfiah adalah "kesejahteraan, kepentingan umum,"
dipandang sebagai tujuan dasar Shari’ah dan juga sebagai sumber independen
hukum. Farhat J. Ziadeh, ‚Usu>l al Fiqh‛, Journal Oxford Islamic Studies, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0831?_hi=3&_pos=3#match.
(accessed, July 11, 2013). 23 Nik Abdul Rahim NikAbdulGhani,Hayatullah Laluddin , Amir Husin
MatNor, Mas}lah}ah as a Source of Islamic Transactions (Mu'amalat), http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/1012196427/13F4615F5FC7739BB8D/1?a
ccountid=25704. (accessed, May 11, 2012). 24Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, 97.
harus ada dalam perdebatan tersebut jika ingin menghasilkan
kebijakan legislatif dan penerapan yang adil dan diterima secara luas.25
Pada kejahatan kategori ta‘zi>r kita bisa menemukan logika kemajuan
dalam sistem pidana Islam. Hukuman tidak lagi didasarkan pada
pernyataan kitab suci yang kaku tapi lebih kepada kebutuhan untuk
mengikuti rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat.26
Meskipun dalam kerangka normatif proses keadilan restoratif
banyak dipertanyakan, namun dalam kenyataannya terdapat pula
praktek penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana,
utamanya oleh lembaga pengadilan adat. Keadilan restoratif berakar
dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat seperti nilai
keseimbangan, keharmonisan serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh
karena itu di beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat
tetap dipertahankan sebagai sarana bagi masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang dialaminya termasuk
didalamnya perkara pidana.27
Sasaran akhir konsep peradilan restoratif ini mengharapkan
berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara, menghapuskan
stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia
normal, menyadarkan pelaku kejahatan atas kesalahannya sehingga
tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi,
jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas, menghemat keuangan Negara,
tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh
korban dan korban cepat mendapatkan ganti rugi, memberdayakan
masyarakat dalam mengatasi kejahatan serta mengintegrasikan
kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.28
25Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, 198. 26Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, 73-74. 27Eva Achjani Zulfa, ‚Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di
Indonesia‛, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol 6 No 2 (Agustus 2010), 184,
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1114/1022 (diakses pada 1 Mei
2013). 28Setyo Utomo, ‚Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis
Restorative Justice‛, Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur vol V no 01 (2010), 25,
pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang
hakekat kejahatan.
Meskipun dalam Islam belum ada ketentuan yang jelas
bagaimana ketetapan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana anak,
namun sangat dibutuhkan sistem peradilan pidana anak yang dapat
memberikan manfaat demi kepentingan terbaik bagi anak karena
sistem peradilan pidana anak yang saat ini banyak menimbulkan
permasalahan disebabkan ketidaksesuaian dengan hak-hak anak. Oleh
karenanya harus diciptakan aturan perundang-undangan tentang sistem
peradilan pidana anak yang berhadapan dengan hukum dengan
memfasilitasi adanya diversi untuk mencapai suatu keadilan yang
restoratif dengan konsep restorative justice.
Dibawah ini adalah contoh kasus pembunuhan yang dilakukan
oleh anak di bawah umur yang masih berusia 8 tahun.
Kronologi Peristiwa
Hari Rabu tanggal 24 Maret 2013 pukul 16.00, YI (8 tahun)
dan AB (12 tahun) selesai berenang di danau galian Summarecon
Bekasi, Margamulya, Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat. Mereka
berpapasan dengan NAK (6 tahun) yang datang bersama LH (7 tahun)
dan MAS (7 tahun) menuju danau galian untuk memancing. YI yang
tinggal di Harapan Jaya, Bekasi Utara, memang pernah bermain
dengan NAK warga Harapan Mulya, Medan Satria. Pelaku mengenal
korban saat orangtua korban mengontrak di dekat rumah pelaku.
Saat berpapasan, YI menyatakan bahwa NAK pernah
berhutang padanya Rp 1.000 dan YI menagihnya. NAK
menyanggahnya sehingga berujung perkelahian. Saat YI dan NAK
berkelahi, ketiga teman mereka menghindar dan menjauh. Dalam
perkelahian itu, NAK sempat mencakar YI. YI mendorong NAK ke
danau galian yang dalamnya sekitar 80 sentimeter. YI bahkan
menceburkan diri lalu beberapa kali menenggelamkan NAK.
Akibat ditenggelamkan, NAK kehabisan napas sehingga mulut
mengeluarkan ludah berbusa bercampur darah. Melihat itu, YI
menghentikan aksinya. YI kemudian mengangkat korban dan berusaha
menyelamatkan NAK dengan menekan dada guna memicu jantung dan
memberi napas buatan. Pada saat NAK tidak bereaksi, YI pun panik
dan menceburkan NAK ke danau galian lalu melarikan diri.
YI tertangkap seusai bermain playstation di tempat persewaan
di Pasar Kranji, Bekasi Barat, Jumat pukul 02.30. YI didakwakan
99
dengan UU No 3 Tahun 1997 ayat 4 tentang anak-anak yang dapat
diajukan ke sidang peradilan sekurang-kurangnya berusia 8 tahun dan
Pasal 80 ayat 3 UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengenai kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.3
Analisis Kasus
Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam KUHP Bab XIX Pasal
338-340. Kejahatan terhadap nyawa dapat diartikan sebagai kejahatan
yang menyangkut kehidupan seseorang. Kejahatan terhadap nyawa
dapat dikelompokkan menjadi 2 dasar yaitu:
(a) atas dasar unsur kesalahan :
1. Dilakukan dengan sengaja. Hal ini diatur dalam pasal 338
KUHP: "Barang siapa yang sengaja menghilangkan jiwa orang lain, karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun‛. Adapun pembunuhan yang
dilakukan karena direncanakan, diatur pasal 340 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan yang direncanakan dengan hukuman penjara seumur hidup/penjara selama-lamanya 20 tahun‛.
2. Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan. Hal ini diatur dalam
pasal 359 KUHP: ‚Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun‛.
3. Disebabkan oleh tindak pidana lain yang mengakibatkan
kematian. Hal ini diatur dalam pasal 339 KUHP: ‚Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun‛.
(b) atas dasar obyeknya (nyawa) : kejahatan terhadap nyawa orang
terdapat pada pasal 338, 339, 340, 344 dan 345 KUHP. Adapun
kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan terdapat pada pasal 341, 342 dan 343 KUHP. Kejahatan
terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya
(janin) terdapat pada pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP.4
Dalam hal menyebabkan seorang anak meninggal maka pelaku
dikenakan tuntutan pasal 80 Undang-Undang Perlindungan anak No 23
Th 2002 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap
anak dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan. Apabila anak
sebagaimana diatas mengalami luka berat maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Apabila anak tersebut mati
maka pelaku dipidana dengan pidana 10 tahun.5
Dalam hukum Pidana Islam pembunuhan diatur dalam al-Qur’an surat
al-Isra’ ayat 33 yaitu :6
Menurut Wahbah Zuhaili>, dalam Islam membunuh merupakan
dosa besar karena menghilangkan nyawa seseorang dan mengusik rasa
4Kitab Undang-Undang Hukum PidanaBab XIX Pasal 338-349. 5Pasal 80 Undang-Undang No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak. 6 ‚Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar, dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan‛. Maksudnya yang
dibenarkan oleh syara' seperti qiṣaṣ membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
Maksud dari kekuasaan di sini ialah hak ahli waris yang terbunuh atau penguasa
untuk menuntut qis}a>s} atau menerima diyat.
101
keamanan masyarakat. Pembunuhan dalam Islam dibagi menjadi 2
macam: pertama: pembunuhan yang diharamkan yaitu semua jenis
pembunuhan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang;
kedua: kewajiban untuk membunuh. Menurut Syafi’iyyah ada 5
macam hukum dalam membunuh, yaitu (a) membunuh menjadi wa>jib
kepada orang murtad yang tidak mau bertaubat7 dan musuh perang jika
belum masuk Islam; (b) membunuh menjadi hara>m jika yang dibunuh
adalah orang yang darahnya terjaga seperti orang mu’min dan turis/
orang kafir yang tidak memerangi kaum muslim dan yang mendapat
jaminan keamanan dari Negara; (c) membunuh menjadi makru>h jika
yang yang dibunuh seorang kafir yang tidak menghina Allah dan
Rasulnya; (d) membunuh menjadi mandu>b jika yang dibunuh adalah
seseorang yang hampir kafir dan menghina Allah dan RasulNya; (e)
membunuh menjadi muba>h yaitu membunuh orang yang dikenai qis}a>s}, membunuh karena melakukan pembelaan.
8
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10/MUNAS
VII/MUI/14/2005 tentang hukuman mati dalam tindak pidana tertentu
menyatakan bahwa Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan
memberlakukannya dalam jari>mah h}udu>d, qis}a>s} dan ta‘zi>r. Fatwa ini
sekaligus memberikan legalitas bahwa Negara boleh melaksanakan
hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu.9
YI adalah anak dari satu keluarga yang tidak harmonis (broken home). YI jarang tinggal di rumah bersama ibunda dan ayahanda
tirinya. YI kerap menghabiskan waktu di jalanan dengan mengamen
dan mengemis bersama anak-anak sebaya. Uang yang didapat YI dari
hasil mengamen dan mengemis digunakan untuk jajan dan bermain
playstation.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Bekasi Kota Komisaris
Besar Priyo Widyanto, pelaku mengaku pada awalnya ingin memberi
pelajaran, tetapi ternyata malah berujung kematian korban. Menurut
7Dalam Islam hukuman terhadap orang murtad adalah wajib dibunuh setelah
diberi kesempatan taubat dan ia tidak mau kembali kepada Islam. Hukuman berat ini
dijatuhkan atasnya karena setelah mengetahui kebenaran ia meninggalkan kebenaran
dan menentangnya. Semakin dibenarkannya membunuh orang yang murtad apabila ia
terang-terangan berani menghina dan mencerca Allah dan Rasulnya dan ajaran Islam. 8Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5616. 9 Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, ‚Fatwa Tentang
lm..Anak Reporter Ambrosius Harto, Terbit Online Sabtu 27 April 2013. 11Dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang dimohonkan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
Medan. Pemberian kategori ‚Anak Nakal‛ merupakan justifikasi yang dapat
dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan
dibuktikan di muka hukum. Dengan perubahan batasan usia minimal
pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka Mahkamah
berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum
(minimum age floor) bagi Anak Nakal (deliquent child) sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan, ‚Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin‛. Oleh karenanya,
Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pasal a quo tidak dimintakan pengujiannya
attasabib (membunuh karena sebab kealpaan/ kesalahan) seperti
menggali lubang di jalan atau ditempat yang bukan miliknya tanpa izin
Negara atau pemiliknya dan menyebabkan orang lain jatuh dan
meninggal.14
Menurut pendapat Ulama seperti Syafi’iyyah dan Hanabilah
bahwa pembunuhan dibagi menjadi 3 macam: qatl al-‘amd (pembunuhan sengaja), qatl shibhu al-‘amd (pembunuhan menyerupai
sengaja) dan qatl khoto>’. Adapun qatl al-‘amd/ pembunuhan sengaja
menurut hukum pidana Islam adalah bermaksud sungguh-sungguh
membunuh. Pembunuhan sengaja dapat berupa spontan atau adanya
perencanaan dan dengan menggunakan benda-benda tajam yang dapat
membunuh seperti pedang, pisau dll.
Sanksi bagi pembunuhan sengaja ada beberapa jenis yaitu
hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok pembunuhan adalah qis}a>s}. Jika keluarga korban
memaafkan pelaku maka hukuman penggantinya adalah diyat. Jika
sanksi qis}a>s} atau diyat dimaafkan maka hukuman penggantinya adalah
ta‘zi>r. Hukuman tambahan bagi jari>mah ini adalah terhalangnya hak
atas warisan dan wasiat.15
Menurut Malikiyah, jika tidak diwajibkan atas pelaku hukuman
qis}a>s} maka wajib bagi pelaku dikenakan hukuman ta‘zi>r dengan
memberikan hukuman 100 kali dera dan di penjara selama 1 tahun.
Menurut Hanafiyah hukuman ta‘zi>rnya adalah di penjara seumur
hidup. Adapun menurut Jumhu>r , tidak diwajibkan atas pelaku
dikenakan hukuman ta‘zi>r. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan
untuk memilih hukuman yang lebih maslahat bagi pelaku.16
14Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5618. 15 Qis}a>s} ialah mengambil pembalasan yang sama yaitu memberlakukan
seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain, karena pelaku
menyebabkan kematian korban maka dia harus dihukum sesuai perbuatannya yaitu
dengan dibunuh (qatlu). Qis}a>s} itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat
maaf dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang
wajar. Pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak
yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,
umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Apabila ahli waris si korban
membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima
diyat, maka terhadapnya di dunia diambil qis}a>s} dan di akhirat dia mendapat siksa
yang pedih. 16 Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5717
105
Dasar hukum qis}a>s} terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 178-179: 17
Unsur jari>mah pembunuhan sengaja diantaranya adalah : (1)
korban merupakan orang yang hidup; (2) perbuatan si pelaku
menyebabkan kematian korban; dan (3) ada niat bagi si pelaku untuk
menghilangkan nyawa korban.18
Adapun syarat diberlakukannya
hukum qis}a>s} bagi pelaku pembunuhan adalah : (1) pelaku pembunuhan
haruslah seorang yang mukallaf. orang gila atau anak-anak tidak wajib
baginya dikenakan hukum qis}a>s}; (2) pelaku pembunuhan haruslah
mempunyai niatan/ sengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang
(muta’ammidan fi al-qatl) dan bukanlah pembunuhan karena
17‚Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qis}a>s} berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qis}a>s} itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa‛.
18‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 12. Lihat juga Topo
Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, 37.
106
kesalahan; (3) pelaku pembunuhan haruslah dalam keadaan sadar dan
bukan karena paksaan seseorang.19
Gugurnya pelaksanaan hukuman qis}a>s} disebabkan oleh 3 (tiga)
hal; pertama: hilangnya si pelaku seperti meninggal dunia sebelum
dijatuhkan qis}a>s} kepadanya; kedua: adanya pengampunan (al-‘afwu) dari pihak korban terhadap pelaku; ketiga: adanya perdamaian (s}ulh}) antara kedua belah pihak (pelaku dan korban).
Adapun sebab pertama, apabila si pelaku meninggal dunia
maka keluarganya tidak berkewajiban melaksanakan hukuman itu,
karena qis}a>s} tidak dapat diwariskan. Jika seorang pelaku pembunuhan
meninggal dan mempunyai anak tidak wajib bagi anak itu untuk
melaksanakan hukuman qis}a>s} orang tuanya. Dalam hal ini fuqaha>
sepakat apabila telah hilang kewajiban qis}a>s} pada pelaku maka tidak
wajib menggantinya dengan diyat. Adapun sebab kedua, Jumhu>r fuqaha> sepakat bahwa jika sudah
ada pengampunan dari keluarga korban maka tidak wajib bagi pelaku
mendapat hukuman qis}a>s}. Dalam hal ini memberikan maaf lebih utama
daripada melaksanakan qis}a>s}. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
pengampunan adalah menghilangkan kewajiban qis}a>s} secara cuma-
cuma. Barangsiapa dihilangkan kewajiban qis}a>s} atasnya dengan cuma-
cuma disebut pengampunan, begitu juga apabila dihilangkan
kewajiban qis}a>s} atasnya dengan cara membayar diyat disebut juga
pengampunan. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mensyaratkan
pengampunan harus dengan persetujuan keluarga korban.
Adapun sebab ketiga, Jumhu>r fuqaha> sepakat bahwa boleh
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (pelaku dan korban)
untuk tidak dilaksanakannya hukuman qis}a>s}. Dalam hal ini perdamaian
dapat berupa ganti rugi sesuai dengan jumlah diyat atau lebih sedikit
dari diyat. Apabila pelaku dan keluarga pelaku tidak mempunyai harta,
maka perdamaian dilakukan dengan musyawarah antara kedua belah
pihak dan hakim menetapkan ganti rugi sesuai kemampuan pelaku dan
kesepakatan keduanya.20
Qatlu shibhu al-‘amd atau pembunuhan semi sengaja
(menyerupai sengaja) adalah perbuatan penganiayaan terhadap
seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi
mengakibatkan kematian. Pembunuhan yang dilakukan dengan alat
yang tidak biasa digunakan untuk membunuh juga termasuk dalam
jenis ini. Perbuatan ini adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk
memberi pelajaran tetapi mengakibatkan kematian seseorang.
Unsur-unsur dalam pembunuhan semi sengaja adalah (1)
adanya pelaku yang mengakibatkan kematian; (2) adanya maksud
penganiayaan disebabkan pertikaian antara kedua belah pihak (jadi
bukan niat untuk membunuh); dan (3) adanya hubungan sebab akibat
antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.
Hukuman pokok pada pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kaffarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‘zi>r, sedangkan hukuman tambahannya adalah terhalang menerima warisan
dan wasiat.21
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hanbal, diyat untuk pembunuhan semi sengaja ini
dibebankan pada ‘aqilah (keluarga pelaku) dan tidak dibebankan pada
si pelaku. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, dia berkata: ‚Dua orang perempuan dari Hudzail berkelahi, salah seorang melempar lawannya dengan batu dan menewaskan orang yang dilempar, maka Rasul menghukum dengan membebankan diyatnya wanita itu pada keluarganya, (yakni keluarga wanita yang menganiaya itu). Mereka mengatakan bahwa pembunuhan sengaja berbeda dengan pembunuhan semi sengaja, pembunuhan jenis pertama ada unsur sengaja berbuat dan sengaja menewaskan sehingga hukumannya harus diperberat sedang pada jenis pembunuhan kedua si pelaku hanya bermaksud menganiaya korban dan tidak bermaksud membunuh.22
Menurut Jumhu>r fuqaha> (Hanafiyah Syafi’iyyah dan
Hanabilah), pembayaran diyat pada pembunuhan semi sengaja dengan
cara tolong menolong antar keluarga yaitu diangsur (dimudahkan/
diringankan). Dalam hal diwajibkannya diyat pada pembunuhan semi
21 Hukumandiyat pada pembunuhan semi sengaja sama halnya seperti
hukuman diyat pada pembunuhan sengaja . Jika hukuman pelaku pembunuhan
merasa tidak mampu untuk melaksanakan hukuman diyat, maka dikenakan hukuman
kafarat yaitu dengan memerdekan hamba sahaya yang mukmin. Jika pelaku
pembunuhan merasa tidak mendapatkan hamba sahaya maka hukumannya diganti
dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dalam hukuman pengganti berupa ta‘zi>r, hakim harus memilih hukuman yang sesuai dengan perbuatan pelaku dan pihak
kelurga korban diberikan kesempatan oleh hakim untuk bersikap dalam memilih
hukuman atau memaafkan pelaku pembunuhan. 22 ‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 191. Lihat juga
Nurrohman, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka al-Kasyaf, 2007), 57.
108
sengaja berbeda dengan diyat pembunuhan sengaja. Pembayaran diyat pada pembunuhan sengaja dibebankan pada si pelaku dan disegerakan
tidak boleh ditunda-tunda, sedangkan pembayaran diyat pada
pembunuhan semi sengaja dibebankan pada ‘aqilah (keluarga pelaku)
dan dapat diangsur/ pembayarannya dapat dicicil selama 3 tahun.
Dalam hal ini mazhab Malikiyah berbeda pendapat dengan
mazhab Jumhu>r fuqaha>. Menurut mazhab Malikiyah kewajiban untuk
membayar diyat pembunuhan semi sengaja disamakan dengan diyat pembunuhan sengaja yaitu dibebankan atas harta pelaku dan harus
disegerakan. Hal ini di karenakan menurut Malikiyah pembunuhan
hanya ada 2 jenis yaitu qatlu al-‘amd (pembunuhan sengaja) dan qatlu al-khoto>’ (pembunuhan karena kesalahan/ kealpaan).
23
Jika tidak diwajibkan hukuman diyat atas si pelaku dengan
suatu sebab, maka hukuman diyat digantikan dengan hukuman ta‘zi>r. Menurut Malikiyah, dalam hukuman ta‘zi>r hakim harus memberikan
hukuman yang sesuai terhadap pelaku. Adapun menurut Jumhu>r
Fuqah>a’ hukuman ta‘zi>r diserahkan kepada kebijakan hakim dalam
menentukan hukuman terhadap pelaku untuk kemaslahatan bersama.24
Qatl al-Khot}o>’ atau pembunuhan karena kealpaan/ kesalahan
adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
tetapi tidak berniat sama sekali untuk menciderai orang tersebut, yang
dituju adalah makhluk lain. Dalam hal ini, misalnya seseorang
bermaksud menembak rusa tetapi yang terkena adalah manusia
sehingga menyebabkan kematian orang tersebut.25
Sanksi pokok pembunuhan karena kealpaan (kesalahan) adalah
diyat dan kaffarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‘zi>r, sedangkan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak
wasiat. Dasar hukum qatl al-khot}o>’ terdapat dalam surat an-Nisā ayat
92:26
23Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5722. 24 Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5733. 25Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, 96. 26‚Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diyat). Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
109
Menurut mazhab Hanafiyah dan Hanabilah ukuran diyat qatl al-khoto>’ (pembunuhan karena kesalahan) adalah 1/5 dari ukuran diyat qatl al-‘amd (pembunuhan sengaja). Dalam sebuah hadits Rasul yang
diriwayatkan oleh Ibnu mas’ūd, Rasulullah SAW bersabda: ‚Diyat qatl al-khoto>’ adalah 20 hiqqah, 20 jaz‘ah, 20 bintu makha>d}, 20 bintu labu>n, 20 bani makha>d}‛.27
Dalam hal pembunuhan dengan menenggelamkan dan
membakar seseorang, Ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’ī
dan Imam Ahmad, menenggelamkan seseorang ke dalam air atau
memasukkannya ke dalam api yang tidak memungkinkan bagi korban
untuk keluar dari air atau api merupakan qatl al-‘amd, begitu juga
apabila pelaku melarang korban untuk keluar dari air dengan cara
menenggelamkannya terus menerus juga merupakan pembunuhan
sengaja karena menyebabkan kematian. Jika korban dimasukkan ke
dalam air/ api yang memungkinkan korban bisa keluar, namun ia tetap
berada di dalam air/ api sampai meninggal maka pelaku tidak
bertanggung jawab atas kematian korban.
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana‛.
27Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5709.
110
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah membedakan antara
menenggelamkan dan membakar. Membakar seseorang sama seperti
membunuh dengan pedang karena api merupakan alat pembunuhan
yang menyebabkan seseorang langsung meninggal. Apabila orang yang
dibakar langsung meninggal maka perbuatannya disebut dengan qatl al-‘amd. Jika hanya menyebabkan luka bakar maka perbuatannya
dinamakan dengan qatl shibhu al-‘amd. Dalam hal pembunuhan korban
dengan cara dibakar Imam Abu Hanifah sepakat dengan Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad. Adapun dengan menenggelamkan, Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa korban yang dimasukkan ke dalam air
merupakan perbuatan qatl shibhu al-‘amd karena seperti melempar
seseorang dengan batu berat yang tidak langsung menyebabkan korban
itu meninggal. Imam Malik berpendapat bahwa membakar dan
menenggelamkan seseorang merupakan perbuatan qatl al-‘amd dengan
syarat ada niat melakukan pembunuhan tersebut dan bukan main-main
(karena kesalahan).
Perbedaan pendapat fuqaha dalam hal diatas adalah perbedaan
dengan melihat alat pembunuhannya. Pembunuhan dengan cara
membakar atau menenggelamkan apakah sesuai dengan qatl al-‘amd yang mensyaratkan bahwa alat dari pembunuhan sengaja adalah alat
yang dapat langsung membunuh korban disertai dengan niat untuk
membunuh, atau sesuai dengan qatl shibhu al-‘amd yang merupakan
alat yang tidak dapat membunuh secara langsung dan tidak diniatkan
untuk membunuh tetapi hanya ingin memberi pelajaran.28
Perbuatan pelaku yang terinspirasi dari film dan game
permainan yang sering dilihatnya menandakan bahwa selain anak
menjadi pelaku tindak pidana, anak juga menjadi korban kurangnya
perhatian dan pengawasan orangtuanya dan juga korban salah
pergaulan. Dalam hal ini kesalahan pelaku tidak dapat dibebankan atas
dirinya saja, tetapi orangtua juga harus bertanggung jawab atas
kesalahan anaknya.
Dalam hal kasus pembunuhan yang dilakukan oleh YI anak
berusia 8 tahun yang membunuh temannya adalah akibat dari suatu
perkelahian diantara keduanya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
pembunuhan yang dilakukan oleh YI adalah pembunuhan menyerupai
sengaja (qatl shibhu al-‘amd) dan bukanlah merupakan pembunuhan
sengaja (qatl al-‘amd) seperti yang diungkapkan oleh kepolisian pada
Dalam kasus ini bahwa terdakwa ARK pada hari Jum’at
tanggal 15 Februari 2013 sekitar pukul 11.00 WIB atau setidak-
tidaknya dalam waktu lain pada bulan Februari 2013 bertempat di Kel.
Sukamaju Kec. Cilodong Depok ‚mengambil suatu barang berupa
handphone yang seluruhnya kepunyaan saksi korban RIN dengan
maksud untuk memiliki dan menjual kembali HP tersebut guna dipakai
terdakwa jajan dan ke warnet‛. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
sebagai berikut:
Bahwa pada hari Jum’at 15 Februari 2013 sekitar pukul 06.00
WIB terdakwa dan kedua orang temannya RIN dan HF pulang pagi
dari Pasar Agung Depok. Mereka pulang kerumah terdakwa lalu
mereka tidur di rumah terdakwa di Depok. Sekitar pukul 11.00 WIB
terdakwa bangun dan melihat di dekat RIN tergeletak sebuah HP merk
Cross lalu terdakwa mengambil dan menyimpannya di lemari pakaian.
Sekitar pukul 13.00 RIN dan HF menanyakan pada terdakwa tentang
HP nya namun terdakwa mengatakan tidak mengetahui dan tidak
mengambilnya. Setelah sore hari ketika teman terdakwa pulang dari
rumah terdakwa, terdakwa langsung menjual HP tersebut ke tetangga
terdakwa seharga Rp.50.000. Pada saat terdakwa menyetel lagu-lagu
HP terdakwa di dengar oleh korban dan kawa-kawannya, akhirnya
korban mengetahui bahwa terdakwa yang mencuri HP korban ketika
tidur di rumah terdakwa.
Perbuatan terdakwa mengambil sebuah handphone tidak
memiliki izin dari pemilik sehingga saksi korban RIN mengalami
kerugian atas kehilangan handphonenya dan rugi waktunya dijadikan
saksi Korban. Perbuatan terdakwa diancam Pasal 362 KUHP dan Pasal
26 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.32
Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa saat melakukan tindak pidana terdakwa
masih merupakan anak dibawah umur yaitu tepatnya berusia 17 tahun.
Dalam melakukan tindak pidana ini, anak tersebut belum dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya atas pidana yang dilakukan
karena anak sebagai pelaku tindak pidana bukanlah sebagai pelaku
murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga korban.
32Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas PK
Bapas Kelas II Bogor, No Register 14/Lit.PN/II/2013 memenuhi surat permintaan
dari Ka. Polsek Sukmajaya No. B/…/II/2013Sek SKJ 22 Pebruari 2013.
114
Dalam hal ini anak sebagai korban ekonomi (kemiskinan
keluarga) dan korban kurang perhatian dari orang tua karena kedua
orang tua terdakwa bercerai. Ibu terdakwa bekerja sebagai pembantu
rumah tangga, sedangkan ayah terdakwa tidak bertanggung jawab atas
biaya kehidupan terdakwa dan keluarga, sehingga dapat dikatakan
anak melakukan suatu perbuatan tindak pidana bukanlah atas
kehendak pribadi akan tetapi adanya faktor dorongan eksternal.
Dalam hal ini anak tidak seharusnya bertanggung jawab
sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukannya. Anak pelaku tindak
pidana haruslah dilindungi hak-haknya, haruslah dipulihkan menjadi
anak bangsa yang memiliki masa depan sebagai harapan bangsa.
Menimbang, bahwa adanya keterangan dari orang tua/ ibu
kandung terdakwa bahwa orang tua terdakwa masih mampu mendidik
dan membimbing anak tetapi tidak mampu menyekolahkan anak
karena faktor ekonomi. Untuk mencari nafkah ibu terdakwa bekerja
sebagai pembantu rumah tangga.
Dalam hal ini, sebagai orang tua akan berusaha meneruskan
niat terdakwa untuk mendukung cita-cita terdakwa yang ingin sukses
dibidang Informatica Telecomunication (IT) walaupun harus belajar
secara otodidak (belajar sendiri) karena tidak ada biaya untuk
bersekolah. Dalam permohonannya, orang tua terdakwa mengharapkan
agar terdakwa dikembalikan kepada orang tua.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi di kepolisian telah
ditandatangani kesepakatan perdamaian pada hari Selasa tanggal 19
Februari 2013 oleh pihak-pihak terkait dengan tujuan pemulihan dan
keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat yang pada pokoknya
klausul-klausul kesepakatan tersebut sebagai berikut:
1. Bahwa korban telah mencabut laporannya kepada polisi.
2. Bahwa terdakwa dan orang tua telah meminta maaf kepada
korban, dan sebaliknya korban telah memafkan perbuatan
terdakwa.
3. Bahwa korban berharap terdakwa tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
4. Bahwa orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum
lagi.
Menimbang, bahwa lebih lanjut ada beberapa hal yang
meringankan bagi terdakwa, yaitu:
115
1. Terdakwa bersikap sopan, mengaku terus terang dan menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2. Terdakwa masih muda dan besar harapan dapat memperbaiki
dirinya demi masa depan yang lebih baik.
3. Terdakwa dan orangtua terdakwa telah meminta maaf kepada
korban dan keduanya telah saling bermaafan.
4. Bahwa terdakwa baru pertama kali berhadapan dengan hukum
dan belum pernah berbuat yang meresahkan masyarakat
dilingkungan tersebut.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta hukum
tersebut di atas, maka aparat kepolisian memberhentikan penyidikan
terhadap anak pelaku tindak pidana didasarkan oleh adanya
pencabutan laporan dari korban, serta adanya kesepakatan mediasi
antara kedua belah pihak. Dalam hal ini terdakwa dapat dibebaskan
dan dapat segera mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi ibunya
dan menjadi warga negara yang baik.33
Putusan
1. Dengan adanya pencabutan laporan korban atas terdakwa dan
adanya kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak,
maka perkara diberhentikan dan tidak dilanjutkan ke
persidangan.
2. Dalam forum mediasi juga telah ditandatangani kesepakatan
perdamaian pihak-pihak terkait dengan tujuan pemulihan dan
keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat dengan pokok
kesepakatan seperti yang telah disebutkan diatas.
3. Putusan Diskresi Kepolisian kepada terdakwa untuk
dikembalikan kepada orang tuanya berdasarkan pencabutan
laporan yang dilakukan oleh korban di tempat korban
melapor.
Analisis Kasus
Menurut Undang-undang yang berlaku bagi tindak pidana di
Indonesia pada kasus pencurian mengacu pada pasal 362- 367
33Hasil Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian yang dilakukan oleh PK
Bapas Kelas II Bogor.
116
KUHP.34
Adapun dalam sistem peradilan Anak apabila ia melakukan
tindakan pidana maka diberi putusan pidana mengacu pada pasal 26
ayat 1 UU No 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU RI No 23
Th 2002 tentang Perlindungan Anak.35
Dalam Hukum Islam pencurian termasuk jari>mah h}udu>d. Dasar
hukum penjatuhan sanksi bagi jari>mah as-Sari>qoh adalah firman Allah
al-Maidah ayat 38:36
Jika sudah ditetapkan seseorang sebagai pencuri wajib baginya dikenai
hukuman h}ad potong tangan, atau dikenai denda ganti rugi apabila
tidak wajib baginya dikenakan h}ad potong tangan.37
34‚Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah‛. Dalam hal perkara pencurian ringan
sangatlah tidak tepat apabila di dakwa dengan menggunakan pasal 362 yang
ancaman pidananya 5 tahun. Dalam hal pencurian ringan seharusnya masuk ke dalam
kategori tindak pidana ringan dengan ancaman pidananya 3 bulan penjara dan denda
250,00. Sedangkan dalam masalah pidana denda diatur dalam Perma dalam hal
pidana denda, Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyesuaian nilai rupiah
berpedoman pada harga emas. Pada tahun 1960 harga emas murni perkilogram
adalah 50.510,80, sementara itu harga emas per 2012 adalah 509.000. Berdasarkan
perbandingan ini maka MA menetapkan bahwa pidana denda dikali 10.000 dari
jumlah denda yang ditetapkan di undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar para
penegak hukum mudah dalam memutuskan perkara. 35
Pasal 26 ayat 1 UU no 3 Th 1997 menyatakan ‚Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa‛.
36‚Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛
37Ulama sepakat apabila barang yang dicuri masih ada ditangan pencuri
maka wajib untuk dikembalikan kepada pemiliknya, namun apabila barang tersebut
sudah tidak ada pada si pencuri, ada beberapa perbedaan pendapat. :
- Menurut Hanafiyah: apabila barang sudah tidak ada di tangan pencuri, maka
pencuri wajib dikenai hukuman h}ad potong tangan atau denda sesuai nilai barang
tersebut, apabila pencuri memilih untuk membayar denda ganti rugi maka tidak
wajib baginya hukuman h}ad potong tangan.
إذا قطع انسازق فال غسو عهي
117
Mencuri berarti mengambil hak orang lain yang menyebabkan
kerugian sepihak. Ketentuan potong tangan bagi para pencuri
menunjukkan bahwa pencuri yang dikenai sanksi hukum potong
tangan adalah pencuri yang profesional bukan pencuri iseng atau
bukan karena keterpaksaan.38
Dalam Islam hukuman potong tangan dapat dilaksanakan
apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat pertama: barang/
harta yang diambil/ dicuri oleh pelaku dilakukan secara diam-diam
dengan tanpa diketahui dan sudah berpindah dari penguasaan si
pemilik ke penguasaan si pencuri; kedua: barang/ harta yang dicuri
harus memiliki nilai. Hukuman potong tangan tidak akan dijatuhkan
bagi pencuri rumput atau pasir atau juga barang-barang yang tidak
legal seperti minuman atau makanan; ketiga: barang/ harta yang dicuri
berasal dari tempat yang aman; keempat: barang/ harta yang dicuri
merupakan milik orang lain; kelima: barang/ harta yang dicuri haruslah
mencapai nilai mínimum tertentu (nis}a>b).39
Jumhur Fuqaha> (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal), sepakat bahwa mencuri barang
yang tidak berharga (tidak mempunyai nilai) tidak dikenai h}ad potong
tangan. Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbali, yang dimaksud
dengan benda berharga adalah benda yang dimuliakan syara’ dan
bukanlah benda yang diharamkan oleh syara’ seperti mencuri anjing,
babi, khamr (minum-minuman keras) karena menurut Islam dan kaum
muslimin benda tersebut tidak ada harganya, maka tidak wajib bagi si
pencuri dikenai h}ad potong tangan. Menurut Imam Abu Hanifah yang
‚Jika sudah dikenai hukuman potong tangan maka ia tidak wajib membayar ganti
rugi‛.
- Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabillah: wajib bagi pencuri dikenakan
hukuman h}ad potong tangan dan ganti rugi barang yang dicurinya karena ganti
rugi merupakan hak wajib terhadap manusia sedangkan potong tangan merupakan
hak terhadap Allah.
- Menurut Wahbah Zuhaili> pendapat Syafi’iyyah dan Hanabillah adalah pendapat
yang ra>jih karena hadits yang dipakai oleh Hanafiyah adalah hadits d}o‘ i>f. Wahbah
Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, 5425-5426. 38Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 67. 39 Menurut Imam Malik nis}a>b/ batasan minimum barang curian adalah
sebesar harga ¼ dinar atau lebih. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah nis}a>b
pencurian senilai 10 dirham atau 1 dinar. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam- Penegakan Syari’at Dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani,
2003), 28-29.
118
dimaksud dengan benda berharga adalah benda yang dapat
menyebabkan si pencuri menjadi kaya dengan hasil curiannya.40
Seorang pencuri dapat dikatakan mencuri apabila dia
mengambil barang curiannya dari tempat penyimpanan harta (h}irz).
Para ulama sepakat bahwa tempat penyimpanan harta (h}irz)
dikategorikan menjadi 3 macam: pertama: h}irz bi al maka>n yaitu
tempat penyimpanan harta yang berbentuk bangunan seperti rumah,
gedung, toko, kandang dan sebagainya yang berbentuk bangunan;
kedua: h}irz bi nafsihi yaitu penyimpanan harta yang dijaga oleh diri
sendiri seperti cincin yang sedang dipakai; ketiga: h}irz bi al h}a>fiẓ atau
h}irz bi goirihi yaitu suatu tempat yang bukan untuk menyimpan
barang tetapi tempat itu bisa dijadikan h}irz jika ada yang menjaganya
seperti di tempat parkiran, lapangan, masjid dan lain-lain.41
Ketentuan yang mengatur masalah pengembalian anak sebagai
pelaku tindak pidana kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya
diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam pasal ini dinyatakan
bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah
mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh. Adapun
aturan lebih lanjutnya tidak diatur sehingga dalam prakteknya aparat
penegak hukum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Pengembalian seorang anak kepada orang tua, wali atau orang
tua asuhnya harus dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Bahwa pada waktu melakukan penuntutan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana haruslah belum berumur 18 tahun ataupun
belum pernah menikah sebelum umur 18 tahun.
2. Bahwa tujuan dikembalikan anak kepada orang tua, wali atau
orang tua asuhnya adalah agar anak dapat dididik sendiri dengan
memperhatikan tindakan-tindakan lain yang perlu diambil agar
jangan sampai anak melakukan tindakan pidana kembali.
Undang-undang tidak mengatur jenis tindak pidana yang
membolehkan anak pelaku tindak pidana dikembalikan kepada orang
tua, wali atau orang tua asuh. Dalam hal ini bukan merupakan suatu
hambatan bagi aparat penegak hukum untuk memerintahkan agar anak
dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh. Aparat
penggelapan.html Terbit online 23 Januari 2011 (Diakses pada 1 Februari 2014). 47Yu>suf al-Qard}a>wi>, The Lawful and The Prohibited in Islam (London: al-
Bīr Foundation, 2003), 239.
‚Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
Perbuatan menipu dapat mengakibatkan hilangnya rasa
kepercayaan di antara masyarakat dan rasa tolong menolong pun akan
lenyap. Tolong menolong adalah faktor terpenting bagi
terselenggaranya hubungan muamalah yang sehat. Dibawah ini adalah
salah satu kasus penipuan dan penggelapan suatu barang yang
dilakukan oleh anak di bawah umur.
Kronologi Peristiwa
Dalam kasus ini bahwa terdakwa RAR pada hari Rabu tanggal
6 Februari 2013 sekitar pukul 07.30 WIB atau setidak-tidaknya dalam
waktu lain pada bulan Februari 2013 bertempat di Kp. Baru kaum
Desa/Kec. Cileungsi Kab. Bogor ‚melakukan tindak pidana penipuan
dan penggelapan sebuah sepeda motor temannya untuk dijual dan
uangnya digunakan terdakwa untuk kebutuhannya‛. Perbuatan
tersebut dilakukan terdakwa sebagai berikut :
Peristiwa penipuan dan penggelapan sepeda motor bermula dari
profesi terdakwa yang sehari-hari sebagai montir Elektronik (Service
HP Free lane). Pada hari Rabu 6 Februari 2013 sekitar pukul 07.30
WIB terdakwa mendatangi rumah temannya yang bernama BNA yang
bermaksud menservice HP ber-merk Nokia type 5130. Untuk
memperbaiki HP tersebut membutuhkan onderdil dan onderdilnya
berada di Counter miliknya di Plaza Cibubur. Plaza Cibubur dengan
rumah korban BNA sangat jauh, oleh karena itu terdakwa berpura-pura
meminjam sepeda motor merek Yamaha Jupiter milik temannya untuk
mengambil onderdil di Plaza Cibubur. Terdakwa menjual sepeda motor
milik korban melalui bantuan seorang temannya BR dan berhasil
menjual kedua barang tersebut seharga Rp.1.600.000- dan sebuah
Handphone seharga Rp. 150.000.-
Perbuatan terdakwa membawa sebuah sepeda motor untuk
pergi ke Plaza Cibubur dengan tujuan mengambil onderdil handphone
yang akan diservice memiliki izin dari pemilik tetapi kedua barang
tersebut disalahgunakan oleh terdakwa dengan dijual kembali dan
uangnya digunakan untuk keperluan pelaku tanpa seizin korban.
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.‛
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ل غشرا فهيلس يرا ي الح فهيلس يرا م عهيلا انسن ل ح ي
‚Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami maka dia bukan dari golongan
kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.‛ (HR.
Muslim no. 101).
124
Korban mengalami kerugian berupa satu unit Sepeda Motor dan
sebuah Handphone.
Perbuatan terdakwa diancam Pasal 378 dan 372 KUHP serta
Pasal 26 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.48
Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa saat melakukan tindak pidana terdakwa
masih merupakan anak dibawah umur yaitu tepatnya berusia 15 tahun.
Dalam melakukan tindak pidana, kategori umur 15 tahun masuk ke
dalam kategori peradilan anak karena masih di bawah umur 18 tahun.
Perbuatan yang dilakukan oleh anak belum dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya atas pidana yang dilakukan
karena anak sebagai pelaku tindak pidana bukanlah sebagai pelaku
murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga korban. Dalam hal ini anak
sebagai korban salah pergaulan dan kurangnya pendidikan terhadap
diri terdakwa.
Kondisi ekonomi keluarga terdakwa tergolong keluarga yang
cukup mampu dan kedua orangtua terdakwa mempunyai pekerjaan
masing-masing. Ayah terdakwa bekerja sebagai penyedia jasa jual beli
kendaraan bermotor/ mobil, sedangkan Ibu terdakwa sebagai pengelola
salon dan sekaligus pemilik salon kecantikan di kawasan Cileungsi-
Cibubur.
Terdakwa hanya mengikuti pendidikan formil sampai kelas III
MTs dan tidak melanjutkan ke SLTA dikarenakan terdakwa lebih suka
menggeluti dan menggandrungi tekhnik elektronik terutama tehnik
electronik telepon genggam/ seluler. Hal ini menunjukkan bahwa anak
mendapatkan pergaulan yang salah karena kurangnya pendidikan yang
didapatnya. Anak pelaku tindak pidana haruslah dilindungi hak-
haknya, haruslah dipulihkan menjadi anak bangsa yang memiliki masa
depan sebagai harapan bangsa.
Menimbang, bahwa adanya keterangan dari orang tua kandung
terdakwa bahwa orang tua terdakwa masih mampu mendidik dan
membimbing anak dan akan menyekolahkan terdakwa ke jenjang SMK
sesuai dengan keinginan terdakwa apabila permasalahan hukumnya
48Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas PK
BapasKelas II Bogor, No Register 11/Lit.PN/II/2013 memenuhi surat permintaan
dari Kepolisian Sektor Cileungsi Kab. Bogor No. B/22/II/2013/ Reskrim 20 Pebruari
2013.
125
telah selesai. Terdakwa telah menyadari bahwa kesenangan dan
kegandrungannya terhadap tehnik electronik tanpa diikuti dengan
pendidikan formal menyebabkan terdakwa memilih teman yang salah
dan berhadapan dengan hukum.
Menimbang, bahwa adanya pengampunan/ pemaafan dari pihak
korban dan tidak adanya tuntutan yang memberatkan dari pihak
korban serta adanya perdamaian antara kedua belah pihak yang
diselesaikan dengan cara kekeluargaan oleh pihak-pihak terkait dengan
tujuan pemulihan dan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat.
Kesepakatan perdamaian tersebut terdapat pada klausul-klausul
sebagai berikut:
1. Bahwa korban telah memaafkan terdakwa dan bersedia
berdamai dengan diselesaikan secara kekeluargaan.
2. Bahwa terdakwa dan orang tua telah meminta maaf kepada
korban, dan sebaliknya korban telah memafkan perbuatan
terdakwa.
3. Bahwa korban berharap terdakwa tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
4. Bahwa orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum
lagi.
Menimbang, bahwa lebih lanjut ada beberapa hal yang
meringankan bagi terdakwa, yaitu:
1. Terdakwa bersikap sopan, mengaku terus terang dan menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2. Terdakwa masih muda dan besar harapan dapat memperbaiki
dirinya demi masa depan yang lebih baik.
3. Terdakwa dan orangtua terdakwa telah meminta maaf kepada
korban dan keduanya telah saling bermaafan.
4. Bahwa terdakwa baru pertama kali berhadapan dengan hukum
dan belum pernah berbuat yang meresahkan masyarakat
dilingkungan tersebut.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta hukum
tersebut di atas dihubungkan dengan dakwaan alternatif tersebut maka
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang di dukung oleh Sidang Team
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Balai Pemasyarakatan Kelas II
Bogor pada hari Kamis tanggal 28 Februari 2013 merekomendasikan
126
agar kepada terdakwa diberi putusan untuk dikembalikan kepada orang
tua.49
Putusan
1. Menyatakan terdakwa RAR terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ‚Penipuan dan Penggelapan‛.
2. Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa dikembalikan kepada
orang tuanya dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor sampai
terdakwa dewasa.
Analisis Kasus
Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana
atau kejahatan terhadap harta benda. Tindak pidana ini diatur dalam
pasal 378-395 bab XXV KUHP. Penipuan tidak menggunakan paksaan
akan tetapi dengan tipu muslihat seseorang untuk mempengaruhi
orang lain sehingga orang tersebut bertindak tanpa kesadaran penuh.
Unsur-unsur penipuan pokok dalam pasal 378 KUHP dapat
dirumuskan menjadi: unsur- unsur objektif yang meliputi perbuatan
menggerakan atau membujuk, perbuatan yang bertujuan agar orang
lain menyerahkan suatu benda dengan tipu muslihat dan rangkaian
kebohongan dan unsur- unsur subjektif dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
Adapun penggelapan diatur pada pasal 372 KUHP.
Penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain
dimana penguasaan barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan
itu terjadi secara sah. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang
atau uang yang ada dalam penguasaannya yang mana barang/uang
tersebut milik orang lain. Jika dilihat dari obyek dan tujuannya,
penipuan lebih luas daripada penggelapan. Jika penggelapan terbatas
pada uang atau barang, penipuan termasuk juga untuk memberikan
hutang maupun menghapuskan hutang..50
49Hasil Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian yang dilakukan oleh PK
Bapas Kelas II Bogor. 50 Isi pasal 372 dan 378 KUHP:
- Pasal 372 Penggelapan ‚Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.‛
127
Akad/ perjanjian yang terjadi antara pelaku dan korban
merupakan akad yang sah dimana diantara keduanya terdapat kontrak /
ijab qabul yang disetujui oleh keduanya.51
Dalam hal ini pelaku telah
menyalahgunakan perjanjian yang telah disepakatinya dengan
melakukan penipuan.
Kategori penipuan merupakan jari>mah ta‘zi>r yang
menyinggung hak adami (individu).52
Oleh karena itu ta‘zi>r didasarkan
pada pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada
prinsip keadilan masyarakat.
Dalam kasus ini pelaku tindak pidana (terdakwa) adalah teman
korban dan keduanya sudah saling mengenal. Dengan demikian hakim
anak sebelum menjatuhkan hukuman telah memperhatikan Laporan
Hasil Penelitian Kemasyarakatan atas nama terdakwa. Hakim juga
telah mempertimbangkan kondisi orangtua terdakwa yang pada
pokoknya orangtua terdakwa masih mampu mendidik dan
membimbing anak dengan kondisi ekonomi yang cukup mampu untuk
menyekolahkan terdakwa.
Dengan demikian hakim memberikan kesempatan kepada
korban, orang tua korban, pelaku (terdakwa) dan orang tua terdakwa
untuk melakukan forum mediasi untuk mencapai suatu kesepakatan
dan menjadikan hukuman penjara adalah hukuman terakhir dan
bukanlah hukuman utama. Kesepakatan perdamaian bertujuan untuk
pemulihan dan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat dengan
pokok kesepakatan bahwa terdakwa dan orang tua telah meminta maaf
kepada korban, dan sebaliknya korban telah memafkan perbuatan
terdakwa. Korban berharap terdakwa tidak mengulangi perbuatannya
- Pasal 378 Penipuan ‚Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau
supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.‛ 51Secara etimologi akad (al-aqd) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Ikatan antara dua perkara baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara
maknawi dari satu segi maupun dari dua segi. Adapun al-ahd secara etimologis
berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. Secara terminology
akad merupakan perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan
syara; yang berdampak pada objeknya. Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, jilid 4, 2919.
52Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh , 5301.
128
lagi dan orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum lagi.
Perbuatan terdakwa menipu dan menggelapkan barang milik
orang lain yang dilakukan terdakwa semata-mata karena terdakwa
ingin membantu temannya yang mengalami kesulitan ekonomi. Hal ini
berkaitan dengan sifat dan kepribadian terdakwa serta rasa sosial dan
setia kawan yang tinggi, namun belum dapat mempertimbangkan
dampak dari perbuatannya. Perbuatan terdakwa dengan menolong
temannya bisa dianggap suatu kebaikan apabila dengan cara yang baik.
Allah selalu memerintahkan agar manusia tolong menolong dalam
ketaatan dan ketakwaan dan bukan menolong dalam kejahatan.
Dengan proses musyawarah/ mediasi yang berlangsung antara
pelaku dan korban. Pelaku sudah mengakui kesalahannya dan berjanji
mengembalikan motor yang telah dijualnya dan juga mengembalikan
Hp milik korban yang telah dijualnya dengan perjanjian tertulis diatas
materai. Pelaku dijatuhi putusan agar dikembalikan kepada orang tua
dibawah pengawasan Polisi dan Bapas dan wajib untuk melaporkan
kegiatannya serta perkembangan perubahan dirinya kepada Bapas.
Kesimpulan
Penipuan yang dilakukan oleh terdakwa termasuk kategori
jari>mah ta‘zi>r. Perbuatan pelaku/ terdakwa yang melakukan tindak
pidana penipuan dan penggelapan barang korban telah menimbulkan
kerugian terhadap korban. Perbuatan terdakwa yang ingin menolong
temannya dengan cara yang salah menyebabkan terdakwa harus
berurusan dengan para penegak hukum.
Dengan adanya proses mediasi yang dilakukan antara korban
dan terdakwa yang menghasilkan suatu kesepakatan bahwa terdakwa
dan orang tua terdakwa berjanji akan mengembalikan barang-barang
korban yang telah dijualnya, maka korban memaafkan terdakwa,
disamping itu terdakwa dan korban sudah saling mengenal.
D. Kasus Asusila/ Persetubuhan
Perilaku generasi muda yang semakin banyak melanggar etika
dan kurangnya moral serta kurangnya pendidikan agama harus menjadi
perhatian serius bagi kita semua. Perbuatan persetubuhan yang
dilakukan antara pasangan yang belum menikah merupakan salah satu
perbuatan asusila yang layak dijauhi. Berita tentang tindak pidana
persetubuhan anak di bawah umur yang banyak kita jumpai di media
129
televisi maupun media cetak baik yang dilakukan secara terpaksa
maupun atas dasar suka sama suka disebabkan oleh pergaulan bebas
yang berkembang dan sangat memprihatinkan disekitar kita.
Dibawah ini adalah kasus tindak pidana asusila (persetubuhan)
yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang sudah pernah melakukan
proses mediasi namun tidak berhasil dan dilanjutkan ke proses
peadilan.
Kronologi Peristiwa
Dalam kasus ini bahwa terdakwa SYH pada hari Sabtu tanggal
23 Februari 2013 pergi menjemput korban AK di sekolahnya. Setelah
Terdakwa dan korban pergi kerumah teman korban di daerah Bekasi
yang berdekatan dengan rumah terdakwa. Korban diajak oleh terdakwa
untuk bermain di rumahnya. Pada saat dirumah terdakwa, terdakwa
dan korban menonton TV diruang tamu sambil mengobrol. Tidak
berapa lama terdakwa mencium kening korban, saat dicium keningnya
korban diam saja, kemudian terdakwa langsung mencium pipi korban
dan bibir korban, karena tidak ada perlawanan dari korban maka
terdakwa mengajak korban untuk melakukan persetubuhan.
Pada pertengahan bulan Mei 2013 terdakwa menjemput korban
di gang tempat mereka biasa bertemu. Pada hari itu korban sedang
tidak masuk sekolah, kemudian terdakwa membawa korban
kerumahnya. Korban bercerita kepada terdakwa bahwa orang tua
korban tidak setuju dengan hubungan mereka. Terdakwa memeluk
korban untuk menenangkan hati korban dan mengajak korban untuk
kembali melakukan persetubuhan.
Pada bulan Juni 2013 ketika korban bermain kerumah
terdakwa, korban bercerita bahwa korban positif hamil karena sudah
tidak menstruasi sejak bulan Maret 2013. Pada bulan Juli, datang
orang tua korban kerumah terdakwa untuk meminta pertanggung
jawaban terdakwa karena korban telah hamil 7 bulan atas perbuatan
terdakwa. Pada hari Jum’at tanggal 26 Juli 2013 terdakwa menikahi
korban di KUA Pabayuran dengan dihadiri oleh keluarga inti pelaku
dan keluarga inti korban, ketua RT setempat dan petugas KUA.
Setelah menikah terdakwa dan korban mengontrak rumah di
dekat rumah orang tua korban, namun karena tidak ada biaya lagi
terdakwa mengajak korban untuk tinggal dirumah terdakwa. Hal ini
tidak disetujui oleh orang tua korban, sehingga akhirnya terdakwa
130
kembali ke rumah orang tuanya dan korban tinggal bersama orang
tuanya di Karawang.
Pada pertengahan bulan Agustus terdakwa dipanggil oleh
Komnas Anak untuk dimintai keterangan atas perbuatannya kepada
korban. Terdakwa sudah menjelaskan bahwa terdakwa sudah berusaha
untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dengan menikahi korban.
Pihak Komnas Anak menyarankan kepada orang tua terdakwa dan
orang tua korban untuk mengadakan mediasi.
Pada tanggal 8 Oktober 2013 datang 4 orang petugas dari
Polresta kerumah terdakwa, terdakwa saat itu tidak berada dirumah,
petugas Polresta memberitahukan kepada orang tua terdakwa agar
terdakwa datang ke Kantor Polisi Polres Kota Bekasi. Pada tanggal 10
Oktober 2013 terdakwa datang untuk dimintai keterangan dan
diperiksa lebih lanjut.
Terdakwa dan korban sudah berpacaran sejak bulan Februari
2013, persetubuhan yang dilakukan keduanya di dasari atas suka sama
suka. Terdakwa dan korban melakukan persetubuhan sebanyak 3 kali
pada bulan Februari, Mei dan Juni 2013 sehingga mengakibatkan
korban hamil 7 bulan (keterangan kehamilan berdasarkan hasil USG Bidan).
Terdakwa diduga melakukan tindak pidana Persetubuhan
sebagaimana dimaksud Pasal 81 UU RI No. 23 Th 2002 dan Pasal 26
ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.53
Pertimbangan Hukum
Berdasarkan dari data yang berhasi dihimpun dan dianalisa
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa saat melakukan tindak pidana
terdakwa masih merupakan anak dibawah umur yaitu tepatnya berusia
17 tahun. Terdakwa merupakan anak sulung dari dua bersaudara yang
dibesarkan dalam kondisi ekonomi yang kurang sehingga kedua orang
tua terdakwa sangat sibuk dan jarang berada dirumah. Hal ini
menyebabkan terdakwa kurang perhatian dan pengawasan dari orang
tua dan tidak adanya didikan agama pada diri terdakwa.
Menimbang, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
dilatarbelakangi atas dasar suka sama suka antara terdakwa dan korban
dan tidak ada paksaan (pemerkosaan) terhadap korban. Terdakwa
53Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas PK
BapasKelas II Bogor, No Register 17/Lit.PN/X/2013 memenuhi surat permintaan
dari Kepolisian Resor Kota Bekasi No. B/960/X/2013/ Resta BKS 16 Oktober 2013.
131
mengakui bahwa ketika terdakwa melakukan persetubuhan terhadap
korban karena terdakwa merasa sayang kepada korban.
Menimbang, bahwa terdakwa baru pertama kali menjalani
proses hukum dan terdakwa sudah berusaha bertanggung jawab
terhadap korban dengan menikahi korban dan terdakwa berjanji akan
merubah prilaku terdakwa dan sangat menyesali perbuatannya dan
berjanji akan memperhatikan korban sebagai istrinya dan bertanggung
jawab penuh terhadap korban dan anak-anaknya kelak.
Menimbang, bahwa berdasarkan data diatas maka diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa terdakwa masih mempunyai kedua orang tua yang utuh
untuk mengarahkan terdakwa ke jalan yang benar.
2. Bahwa terdakwa mengaku sangat menyesali perbuatannya dan
berjanji tidak akan mengulangi pelanggaran hukum.
3. Masyarakat setempat masih memberikan tanggapan yang
positif terhadap diri terdakwa. Terdakwa selalu berperilaku
baik kepada tetangga dan tidak pernah berbuat sesuatu yang
meresahkan.
4. Bahwa orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum
lagi.
Menimbang, bahwa lebih lanjut ada beberapa hal yang
meringankan bagi terdakwa, yaitu:
1. Terdakwa bersikap sopan, mengaku terus terang dan menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2. Terdakwa masih muda dan besar harapan dapat memperbaiki
dirinya demi masa depan yang lebih baik.
3. Terdakwa dan orangtua terdakwa telah meminta maaf kepada
korban dan bertanggung jawab atas semua kesalahan terdakwa.
4. Bahwa terdakwa tidak pernah berbuat yang meresahkan
masyarakat dan perilakunya dinilai baik dan sopan oleh
masyarakat setempat.
Hal yang memberatkan terdakwa adalah orang tua korban tidak
mau memaafkan terdakwa. Orang tua terdakwa sudah beberapa kali
menemui orang tua korban dengan maksud musyawarah namun
pembicaraan tidak mempunyai titik temu.
132
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta hukum
tersebut di atas dihubungkan dengan dakwaan alternatif tersebut maka
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merekomendasikan agar kepada
terdakwa diberi putusan ‚Pidana Penjara seringan-ringannya‛ mengacu
pada pasal 26 ayat 1 UU No 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak dan
UU RI No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak sehingga terdakwa
dapat kembali bekerja dan menjadi warga Negara yang baik
dikemudian hari.54
Tuntutan Jaksa
Terdakwa dituntut pidana penjara 3 tahun dan denda
Rp60.000.000,- yang kemudian pidana denda diganti menjadi wajib
bekerja di Dinas Sosial selama 60 hari (3 jam setiap harinya).
Putusan
1. Menyatakan terdakwa SYH terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan.
2. Menjatuhkan tindakan pidana penjara selama 2 tahun dan denda
Rp40.000.000,- yang kemudian pidana denda diganti menjadi wajib
bekerja di Dinas Sosial selama 40 hari (2 jam setiap harinya).55
Analisis Kasus
Di dalam KUHP diatur berbagai jenis tindak pidana atau delik,
termasuk diantaranya delik kesusilaan namun KUHP tidak mengatur
secara eksplisit tentang tindak pidana/ kejahatan kesusilaan, melainkan
hanya mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. KUHP
membagi delik kesusilaan menjadi dua kelompok tindak pidana
yaitu:kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Buku II dan
pelanggaran kesusilaan yang diatur dalam Bab IV Buku III. Delik-delik
yang termasuk kejahatan kesusilaan diatur pada Pasal 281 sampai
dengan Pasal 303 KUHP. Adapun delik-delik yang termasuk
pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 532 sampai dengan Pasal
547.
Di dalam Pasal 27 BW, seseorang dianggap oleh hukum telah
melakukan perzinaan apabila bersetubuh dengan orang lain selain isteri
54 Hasil Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian yang dilakukan oleh PK
Bapas Kelas II Bogor. 55 Penulis mengikuti sidang anak di Pengadilan Negeri Bekasi pada 11
Desember 2013.
133
atau suaminya sendiri (berlaku asas monogami), sedangkan hubungan
seksual di luar suatu pernikahan antara dua orang yang masih berstatus
lajang sama sekali bukan merupakan tindakan perzinaan.56
Jika hukum
ini digunakan di Indonesia jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan masyarakat Indonesia yang religius dan mayoritas beragama
Islam.
Dalam hukum Islam kasus asusila/ persetubuhan disebut
dengan zina yang berarti fahishah (tindakan yang tidak terpuji). Zina
dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang
lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat
dalam hubungan perkawinan, melakukan hubungan yang dinyatakan
haram bukan karena syubhat dan atas dasar syahwat.57
Menurut Jumhur Ulama> pelaku zina yang dapat dikenai sanksi
h}ad dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu: yang sudah menikah
disebut juga muh}s}an /muh}s}anah dan yang belum menikah disebut
dengan goiru muh}s}an /muh}s}anah. Hukuman bagi pelaku zina yang
belum menikah di dasarkan pada ayat al-Qur’an surat An-Nu>r ayat 2:58
Adapun bagi orang yang sudah menikah (muh}s}an /muh}s}anah)
hukumannya adalah rajam59. Hukuman ini disandarkan pada sunah
56Laila Mulasari, ‚Kebijakan Formulasi Tentang Tindak Pidana Kesusilaan
Di Dunia Maya Dalam Perspektif Hukum Islam‛, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41 No 1 (Januari 2012), 103.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/4165 (Diakses pada 28
Januari 2014). 57Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 37. 58‚Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman‛
59Menurut para ahli hukum Islam rajam adalah dilempari batu sampai mati.
Nabi SAW ketika beliau merajam seorang laki-laki bernama Maiz
yang telah berbuat zina dan hal ini disaksikan oleh para sahabat lalu
disyariatkan.60
Hukuman h}ad pada zina lebih berat dibanding dengan jari>mah h}udu>d lainnya karena zina merupakan dosa besar.
61 Seseorang dapat
dikenai hukuman h}ad zina dengan beberapa syarat, diantaranya:
a. orang yang melakukan zina haruslah dewasa, bagi anak-anak yang
belum dewasa maka tidak wajib baginya h}ad zina menurut
kesepakatan ulama;
b. orang yang berzina haruslah orang berakal, dan tidak wajib dikenai
h}ad zina bagi orang gila;
c. orang yang berzina haruslah orang Islam. Dalam hal ini beberapa
ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyah, orang yang
60
سة قال جاء ياعص ل أبي سيل ت ع ل أبي سه س ع ل ع د بل ر ل يح او ع ر ع انل أبي شيلبت حدرثا عبرا بل س بل حدرثا أب بكل
ل ثىر قال إني سض ع ل ثىر قال إني قدل شيلج فأعل سض ع سهرى فقال إني شيلج فأعل عهيل يانك إنى انربين صهرى هللار بل
ا أصابخل انلحجازة ر جى فه ل يسل أ اث فأيس ب بع يسر ل حخرى أقسر أزل سض ع ل ثىر قال قدل شيلج فأعل سض ع شيلج فأعل
يسرخل انلحجازة سهرى فساز حي عهيل م فضسب فصسع فركس نهربين صهرى هللار ي ج نحل خد فهقي زجم بيد بس يشل أ ل
خ فقال فالر حسكل
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Abbad bin Al Awwam dari Muhammad bin Amru dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata; "Maiz bin Malik datang menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah aku telah berzina.' Akan
tetapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengacuhkannya. Lalu ia berkata
kembali, "Aku telah berzina." Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun
mengacuhkannya. Kemudian ia berkata lagi, "Aku telah berzina." Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tetap mengacuhkannya. Lalu ia berkata kembali, "Aku
telah berzina." Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tetap tidak
memperdulikannya sampai ia mengikrarkan perihal tersebut sebanyak empat kali.
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar ia dihukum rajam.
Di saat tubuhnya terkena lemparan batu, ia pun melarikan diri karena kesakitan.
Kemudian bertemu dengan seorang yang membawa tulang rahang unta di tangannya,
laki-laki ini akhirnya memukul Maiz sampai pingsan. Perihal larinya Maiz saat
terkena lemparan batu itu diceritakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
lalu beliau bersabda: "Tidakkah sebaiknya kalian membiarkannya?" (Hadist Ibnu
Majjah:2544) 61 Dalam surat Al-Isra> ayat 32 dijelaskan bahwa perbuatan zina merupakan
perbuatan yang keji dan merupakan dosa besar.
‚Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.‛
135
dikenai h}ad zina adalah orang Islam, karena berzina dengan orang
kafir dinamakan juga zina shubhat dan tidak menjadi
disyariatkannya h}ad zina. Menurut Jumhur Ulama orang kafir yang
melakukan zina juga wajib dikenai h}ad tetapi tidak dikenai
hukuman rajam hanya dikenai hukuman dera (cambuk) saja;
d. orang yang melakukan zina dikenai h}ad zina apabila
mengerjakannya bukan karena unsur paksaan;
e. orang yang diajak melakukan berzina (baik laki-laki atau
perempuannya) haruslah sudah dewasa, apabila berzina dengan
anak kecil maka tidak dikenai h}ad zina.62
Sanksi terhadap pelaku zina demikian berat mengingat dampak
negatif yang ditimbulkan akibat perbuatan zina baik terhadap diri
sendiri, keluarga dan masyarakat. Di antara dampak negatif melakukan
zina, antara lain sebagai berikut:
a. dapat terinfeksi penyakit kelamin seperti HIV / AIDS, penyakit
gonorchoo atau siphilis, penyakit tersebut berjangkit melalui
hubungan kelamin; b. perbuatan zina menjadikan seseorang enggan melakukan
pernikahan sehingga dampak negatif akibat keengganan seseorang
untuk menikah cukup kompleks baik terhadap kondisi mental
maupun fisik seseorang;
c. keharmonisan hubungan keluarga sebagai suami isteri berkurang
lantaran salah satu pihak yaitu suami atau isteri telah mengadakan
hubungan lawan jenis yang bukan suami/ istrinya yang sah.63
Dalam Undang-undang sistem peradilan anak, apabila seorang
anak melakukan tindakan persetubuhan dengan seseorang yang juga
masih dibawah umur maka pasal yang disangkakan terhadap tersangka
anak adalah pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya paling sedikit 3 tahun dan
paling lama 15 tahun.64
Dalam putusannya aparat penegak hukum
62Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, jilid 7, 5360-5361. 63Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 51. 64Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
‚(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
136
memperhatikan bahwa tersangka masih dibawah umur menurut
batasan umur dalam Undang-Undang Peradilan Anak, maka penegak
hukum memperhatikan UU RI No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak.
Dalam kasus ini terdakwa SYH melakukan tindak pidana
Persetubuhan terhadap AK yang didasarkan atas suka sama suka. Hal
ini menyebabkan perbuatan yang dilakukan oleh SYH bermasalah
dengan hukum. Dalam kasus ini SYH dituntut oleh jaksa penuntut
dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda wajib Rp60.000.000,-
Kasus persetubuhan yang dilakukan SYH meskipun menurut
pengakuan SYH kasus itu dilakukan secara ‚suka sama suka‛ tapi ia
tetap dipidanakan. Demikian pula ketika kasus ini dibawa ke ranah
mediasi, keluaga korban menolak untuk berdamai. Keluarga pelaku
telah berulangkali meminta berdamai dengan keluarga korban, namun
keluarga korban tetap tidak mau memaafkan dengan alasan bahwa
pelaku tidak dapat bertanggung jawab.65
Dalam hal in SYH sudah
berusaha untuk bertanggung jawab dengan menikahi AK.
Dalam Hukum Islam kasus persetubuhan atau zina yang
dilakukan oleh SYH dan AK termasuk kategori goiru muh}s}an /muh}s}anah (belum menikah, masih berstatus lajang). Dalam kategori
bulu>gh, SYH dan HK termasuk orang yang sudah dewasa jika dilihat
dari syarat-syarat bulu>gh dalam Islam yaitu bisa menghamili wanita
(bagi laki-laki) dan bisa hamil (bagi perempuan).
Jika seorang bikr (perawan/ perjaka) melakukan zina maka
hukumannya adalah dengan di dera 100 kali (jild) dan diasingkan
(taghri>b). Hukuman jild merupakan hukuman yang ditetapkan
ukurannya dan bagi hakim tidak boleh untuk mengurangi atau
menambahkannya dengan sebab apapun. Dalam hukuman jild tidak
ada kompensasi pengganti hukum dan tidak ada pengampunan.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.‛
Dengan adanya Undang-undang Perlindungan anak khususnya Pasal 81 maka dapat
dikatakan bahwa Pasal 287 KUHP sudah tidak dapat diterapkan lagi bagi pelaku
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, sebab dalam Pasal 81 Undang-undang
Perlindungan Anak telah diatur secara khusus mengenai ketentuan pidana materiil
delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak. 65 Hasil wawancara dengan terdakwa di Pengadilan Negeri Bekasi 11
Desember 2013.
137
Selain hukuman jild seorang pezina bikr juga dikenai hukuman
pengasingan, namun fuqaha> berbeda pendapat dalam kewajiban
melaksanakannya. Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan hukuman
pengasingan tetapi membolehkan untuk menghukum dengan keduanya
(jild dan taghri>b). Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad hukuman wajib bagi pezina bikr adalah menggabungkan
hukuman jild dan pengasingan (taghri>b) karena pengasingan (taghri>b) merupakan hukuman had seperti jild. Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah
pengasingan (taghri>b) termasuk hukuman h}ad seperti jild.66 Menurut mazhab Hanafiyah, hukuman taghri>b (diasingkan) dan
jild (dera) tidak bisa dilakukan dalam satu hukuman. Menurut Imam
Hanafi taghri>b bukanlah h}ad, namun jika menurut Imam/ hakim
taghri>b mendatangkan kebaikan, boleh dilakukan. Menurut mazhab
Syafi’i>yah dan Hanabilah, membolehkan untuk menggabungkan
hukuman jild dan taghri>b dalam satu hukuman. Menurut Malikiyah
bagi laki-laki hukuman taghri>b atau dimasukkan ke dalam penjara
selama 1 tahun, sedangkan bagi perempuan tidak wajib baginya
hukuman taghri>b.67
Dalam hal ini hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara
dan wajib kerja di Dinas Sosial selama 40 hari setelah keluar dari
penjara kepada pelaku. Hukuman yang diterima oleh terdakwa adalah
hukuman ta‘zi>r yang bersifat penjara (h}abs). Maksud dari h}abs disini
adalah menahan pelaku tindak pidana dan mencegahnya dari perbuatan
maksiat terhadap Allah.68
Pidana penjara merupakan suatu pidana yang berupa
pembatasan kebebasan seseorang untuk bergerak dengan mewajibkan
orang tersebut untuk menaati peraturan tata tertib yang berlaku.
Dengan dibatasinya kebebasan bergerak, jelas pidana penjara membuat
SYH tidak dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai Kepala
Keluarga dan tidak dapat menafkahi kebutuhan isteri dan anak-
anaknya.
Dengan demikian dalam penjatuhan pidana terhadap SYH
terdapat dua kepentingan yang bertentangan yakni kepentingan
Negara untuk menjalankan hukum dan menghukum orang-orang yang
melanggar hukum dan kepentingan korban dan anak korban yang akan
mengalami penderitaan apabila SYH menjalani pidana penjara karena
tidak dapat mencari nafkah dan tidak dapat menghidupi keluarganya.
Kesimpulan
Dalam persidangan telah menjadi alasan umum terdakwa
bahwa persetubuhan yang dilakukan terhadap korban atas dasar suka
sama suka. Apa yang mereka lakukan didasari kehendak dan kemauan
masing-masing meski terdakwa menyadari bahwa korban masihlah di
bawah umur dan belum layak untuk dikawini begitu juga dengan
pelaku yang belum cukup umur untuk melakukan pernikahan apabila
melihat Undang-undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dimana bagi laki-laki harus berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Hukuman yang diterima oleh terdakwa adalah hukuman ta‘zi>r yang bersifat penjara (h}abs) yaitu hukuman 2 tahun penjara dan wajib
kerja di Dinas Sosial selama 40 hari setelah keluar dari penjara kepada
pelaku. Putusan majelis hakim terhadap terdakwa di dalamnya juga
sedikit mengandung keadilan restoratif dengan dikurangi hukuman
atas tuntutan jaksa terhadap pelaku, dan mengganti hukuman denda
dengan wajib bekerja di dinas sosial.
E. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana Anak
Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian
terhadap anak pelaku tindak pidana. Laporan ini diteliti berdasarkan
aspek kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan
pelaku, jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang
disangkakan terhadap pelaku, modus operandi pelaku, motivasi
pelakumelakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat atas
perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan
putusan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dapat dilihat pada
matrik di bawah ini:
139
Matrik 4: Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana
Anak
Perihal Pelaku
Pembunuhan.
Pelaku Pencurian Pelaku Penipuan
dan Penggelapan
Pelaku Tindak
Asusila
Inisial Pelaku YI ARK RAR SYH
Umur Pelaku 8 tahun. 17 tahun. 16 tahun. 17 tahun.
Jenis Kelamin Laki-Laki. Laki-Laki. Laki-Laki. Laki-Laki
Kondisi Pelaku Tidak bersekolah,
dan sering
menghabiskan
waktunya di
warnet dan
mengamen
dijalanan.
Berhenti sekolah
saat duduk di
kelas 2 SMK
karena kurang
biaya sekolah
sebab ayah pelaku
menikah lagi dan
tidak bertanggung
jawab terhadap
anak-anaknya.
Pelaku bernah
bekerja di sebuah
warnet dengan
gaji Rp 500.000
per bulan untuk
tambahan biaya
sekolah.
Belakangan ini
pelaku berhenti
bekerja di warnet
dan menganggur.
Sudah tidak
bersekolah lagi
sejak berhenti di
kelas 3 SMP.
Pelaku
mendalami tehnik
Electronic Hand
Phone dan sempat
kursus
Operasional
Bongkar Pasang
Telepon Selular
di Jakarta.
Pada saat
melakukan tindak
pidana pelaku
masih duduk di
kelas II SMEA.
Kondisi
Keluarga
Tidak harmonis
(Kedua Orangtua
bercerai). Ibu
pelaku menikah
lagi. Ibu pelaku
bekerja mencari
nafkah sehingga
pelaku kurang
mendapat
perhatian dan
kasih sayang.
Tingkat sosial
ekonomi keluarga
sangat minim.
Kedua Orangtua
bercerai. Ibu
pelaku bekerja
sebagai pembantu
rumah tangga.
Tingkat sosial
ekonomi keluarga
sangat minim
untuk membiayai
2 orang anak,
sedangkan ayah
pelaku tidak ada
tanggung jawab.
Kedua Orangtua
utuh. Kondisi
ekonomi keluarga
pelaku tergolong
keluarga cukup
mampu dan kedua
orangtua pelaku
mempunyai
pekerjaan masing-
masing. Ayah
pelaku bekerja
sebagai penyedia
jasa jual beli
kendaraan
bermotor. Ibu
pelaku bekerja
Kedua Orangtua
utuh. Ayah pelaku
bekerja sebagai
sopir pada Toko
Furniture,
sedangkan ibunya
bekerja di kuwait
untuk membantu
memenuhi
kebutuhan sehari-
hari dan biaya
sekolah anak-
anaknya.
140
sebagai pengelola
salon dan
sekaligus pemilik
salon kecantikan/
pengrias
pengantin.
Kondisi
Lingkungan
Penduduk
setempat
mayoritas adalah
pendatang serta
merupakan
keluarga dengan
kondisi ekonomi
menengah
kebawah.
Mata pencaharian
penduduk setempat
terdiri dari
berbagai usaha
seperti PNS,
karyawan swasta,
buruh serabutan,
usaha dagang, dll.
Sosial ekonomi
keluarga rata-rata
golongan
menengah
kebawah.
Penduduk
setempat
mayoritas adalah
pendatang dari
berbagai daerah
serta merupakan
keluarga dengan
kondisi ekonomi
menengah
kebawah.
Penghasilan
masyarakatnya
didapat dari
pekerjaan sebagai
karyawan,
wiraswasta dan
buruh.
Warga sekitar
rumah tinggal
orangtua pelaku
mayoritas bekerja
sebagai buruh
harian. Latar
belakang
pendidikan
masyarakat
setempat beragam
dari tingkat SD
sampai dengan
SLTA. Mayoritas
tamatan SLTP.
Jenis Tindak
Pidana
Pembunuhan. Pencurian. Penipuan dan
Penggelapan.
Tindakan Asusila.
Pasal yang
disangkakan
terhadap pelaku
Pasal 80 ayat 3
UU RI No 23 Th
2002 tentang
Perlindungan
Anak mengenai
kesengajaan
menghilangkan
nyawa orang lain.
Pasal 362 KUHP. Pasal 378 KUHP. Pasal 81 UU RI
No 23 Th 2002.
Modus
Operandi
YI yang berumur
8 tahun berkelahi
dengan NAK
yang berumur 6
tahun. YI
menyatakan
bahwa NAK
pernah berhutang
padanya sebesar
Rp 1.000 kepada
YI, ketika ditagih
NAK
menyanggah.
Dalam
ARK mengambil
HP milik
temannya yang
sedang tidur dan
menyimpan- nya
di lemari
pakaiannya.
Korban RIN tidak
mengetahui
bahwa Hpnya
telah dicuri oleh
terdakwa ARK.
Pelaku menjual
HP korban kepada
Korban meminta
tolong kepada
pelaku untuk
menservice Hp
pelaku.
Dikarenakan
pelaku harus
mengambil
onderdil di
Counter Plaza
Cibubur. Pelaku
berpura-pura
meminjam motor
korban. Sepeda
Pelaku berpacaran
dengan korban
sejak bulan
Februari 2013.
Atas dasar suka
sama suka pelaku
dan korban
melakukan
persetubuhan
dirumah pelaku
sebanyak 3 kali
pada bulan
Februari, Mei dan
Juni 2013
141
perkelahian YI
mendorong NAK
ke danau galian
yang dalamnya
sekitar
80sentimeter dan
sempat
menenggelamkan
korban sehingga
menyebabkan
kematian korban.
tetangganya
seharga Rp
50.000,-. Pada
saat pelaku
menyetel lagu-
lagu di HP
pelaku, hal ini
didengar oleh
korban. Korban
merasa lagu-lagu
tersebut mirip
dengan lagu di
memory card
yang ada di HP
korban. Akhirnya
RIN (korban)
mengetahui
bahwa ARK
(pelaku) yang
telah mencuri HP
korban ketika
sedang tidur
dirumahnya.
motor yang
dipinjam pelaku
dari korban
dijualnya melalui
bantuan seorang
temannya. Pelaku
berhasil menjual
HP dan motor
korban. Pada saat
pelaku bermain di
sekitar SHC,
pelaku bertemu
dengan korban.
Pada saat
pertemuan pelaku
sempat cekcok
mulut dengan
korban dan
sempat dipukuli
korban. Pelaku
dijemput oleh
aparat kepolisian
untuk diamankan
dan diminta
keterangan
sehubungan
dengan adanya
laporan korban
atas kehilangan
sepeda motor dan
Hand Phonenya.
sehingga
mengakibatkan
korban hamil 7
bulan (keterangan kehamilan berdasarkan hasil USG bidan).
Motivasi
melakukan
tindak pidana
Menuntut hak
utang piutang dan
memberi
pelajaran
terhadap korban,
namun berujung
kematian.
Ingin memiliki
Handphone
tersebut untuk
dijual guna
dipakai pelaku
untuk jajan dan
ke warnet.
Ingin membantu
temannya yang
mengalami
kesusahan dan
membutuhkan
biaya. Hal ini
berkaitan dengan
sifat dan
kepribadian rasa
sosial serta setia
kawan yang
tinggi, namun
belum dapat
mempertimbangk
an dampak dari
perbuatannya.
Pelaku melakukan
hal tersebut
terhadap korban
atas dasar suka
sama suka.
142
Akibat yang
ditimbulkan
oleh perbuatan
pelaku
Menyebabkan
kematian korban.
Pelaku harus
menghadapi
proses penyidikan
kepolisian.
Keluarga korban
merasa sedih dan
kecewa. Keluarga
pelaku sangat
menyesal atas
kejadian yang
menimpa pelaku
dan korban.
Pelaku ditahan di
Kepolisian
setempat.
Sebelum ditahan
pelaku sempat
dipukul oleh
teman-temannya
dan juga diarak
keliling kampung.
Orang tua pelaku
sangat merasa
malu dan susah
memikirkan
pelaku. Korban
merasa rugi
dengan
kehilangan
Handphone dan
merasa rugi
waktunya
dijadikan saksi
korban.
Pelaku menjalani
pemeriksaan dan
penahanan di
kepolisian
setempat. Pihak
keluarga merasa
sedih dan prihatin
atas tindakan
yang telah
dilakukan oleh
pelaku dan
merasa tidak
berdaya untuk
membinanya.
Korban
mengalami
kerugian berupa
satu buah motor
dan sebuah
Handphone.
Pelaku harus
menjalani
penahanan di
Rutan Polres Kota
Bekasi dan untuk
sementara waktu
tidak dapat
bekerja. Keluarga
pelaku malu
terhadap tetangga,
merasa sangat
sedih dan terpukul.
Korban merasa
malu terhadap
lingkungan sekitar
serta tidak dapat
melanjutkan
sekolah karena
telah hamil.
Tuntutan
Keluarga
Korban
Putusan hukum
diserahkan
kepada pihak
yang berwajib.
Korban meminta
agar Handphone
yang dicurinya
dapat
dikembalikan lagi
kepada korban.
Korban meminta
ganti rugi
terhadap pelaku.
Menyerahkan
kepada pihak yang
berwajib.
Reaksi
Masyarakat
Masyarakat
setempat
menyerahkan
semuanya kepada
pihak yang
berwajib.
Masyarakat
dilingkungan
TKP sempat
mendamaikan
kedua belah pihak
sebelum diurus ke
kantor kepolisian.
Masyarakat
setempat sudah
memaafkan
perbuatan pelaku
karena dinilai
bahwa pelaku
tidak pernah
berbuat yang
meresahkan
masyarakat
sebelumnya.
Hubungan
Masyarakat
menyesalkan atas
perbuatan pelaku
yang seharusnya
tidak perlu
dilakukan, karena
pelaku tergolong
keluarga yang
mampu dari segi
ekonomi.
Masyarakat
menyangka
bahwa hal ini
terjadi
kemungkinan
pengaruh
perasaan sosial
yang peka dan
solidaritas sesama
Masyarakat di
tempat tinggal
orang tua pelaku
menyatakan ikut
prihatin dengan
pelanggaran
hukum yang telah
dilakukan oleh
pelaku. Menurut
para tetangga di
lingkungan
tinggalnya, selama
ini perilaku pelaku
dinilai baik dan
sopan serta
menurut kepada
orangtua.
143
masyarakat
setempat dengan
keluarganya
(Ibunya) biasa
saja.
teman yang tinggi
dengan tanpa
melihat dampak
akibat yang telah
diperbuatnya.
Hubungan
keluarga pelaku
juga sangat baik
terhadap
masyarakat
setempat. Ibu
pelaku saat
sebelum kejadian
sedang
dicalonkan
sebagai Kepala
Desa setempat
yang
pemilihannya
akan berlangsung
pada bulan
berikutnya.
Putusan Aparat
Penegak Hukum
Dibina dan
dibimbing di
Dinas Sosial.
Dikembalikan
kepada orangtua
dengan putusan
dikresi kepolisian.
Pembinaaan
mental dan
spiritual di Panti
Rehabilitasi
Sosial.
Menjatuhkan
hukuman terhadap
pelaku dengan
tindakan penjara
selama 2 tahun
dan bekerja di
Dinas Sosial
selama 40 hari 2
jam setiap harinya.
Pertimbangan
Putusan
Dengan
dilakukannya
sebuah mediasi
dan adanya
pemaafan dan
pengampunan
dari pihak korban,
maka keputusan
yang disepakati
antara kedua
belah pihak
adalah pelaku
dibina dan
dibimbing di
Dinas Sosial demi
kepentingan
Dengan adanya
maaf dari korban
terhadap pelaku
serta adanya
pencabutan
laporan dari
korban agar
permasalahan-nya
tidak dilanjutkan
ke persidangan.
Oleh karena itu
kepolisian
memberhentik-an
penyidikan dan
melepaskan
pelaku dari
Pihak korban
telah memaafkan
pelaku dan
bersedia untuk
berdamai dengan
diselesaikan
secara
kekeluargaan.
Pihak pelaku
bersedia
memberikan ganti
rugi kepada
korban.
Pelaku mengakui
kesalahannya dan
sangat menyesali
perbuatannya.
Pelaku bersikap
sopan di dalam
persidangan.
Tidak ada
tuntutan yang
memberatkan dari
masyarakat karena
pelaku tidak
pernah berbuat
yang meresahkan.
Oleh karena itu
Hakim
144
terbaik bagi
pelaku. Hal ini
dikarenakan
pelaku adalah
anak dibawah
umur yaitu 8
tahun.
tahanan
kepolisian.
memberikan
peringanan hukum
dari tuntutan yang
diberikan oleh
jaksa yaitu pidana
penjara 3 tahun
dan bekerja di
Dinas Sosial 60
hari ( dengan 3
jam setiap
harinya).
Dari paparan data diatas maka dapat dijelaskan bahwa
partisipasi antara pelaku/ keluarga pelaku, korban/ keluarga korban
serta keikut sertaan masyarakat dalam memutuskan hukuman bagi
anak sangat diperlukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Adanya
maaf dan pengampunan yang diberikan dari pihak korban kepada
pelaku merupakan prinsip restorative justice yang telah diupayakan
oleh aparat penegak hukum untuk mendamaikan kedua belah pihak.
145
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian kasus pada bab-bab lalu tesis ini
berkesimpulan bahwa kebijakan aparat penegak hukum dalam hal
penanganan masalah kenakalan anak dengan mengedepankan keadilan
restoratif telah membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban
dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa tindak pidana.
Pemberian hukuman ta‘zi>r pada tindak pidana ringan terhadap anak
pelaku tindak pidana dengan pengampunan dan pemberian hukuman
minimum mengandung banyak unsur keadilan. Konsep ini sejalan
dengan prinsip-prinsip restorative justice. Penelitian ini mendukung pernyataan Nawal H. Ammar (2001)
dan Mutaz M. Qafisheh (2012) yang mengatakan bahwa keadilan
restoratif bertujuan untuk mendamaikan pihak yang berkonflik. Jika
pelanggar bisa direhabilitasi dengan langkah-langkah lain yang lebih
baik maka hukuman harus dihindari. Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan pemberian hukuman minimum merupakan sistem
peradilan pidana Islam yang dapat merubah sistem pidana dari
retributif menjadi restoratif. Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross
(1975), John Rawls (1980) dan Kathleen Daly (2001) yang
menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban,
ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang melakukan
kesalahan dan sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan
kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.
Aparat penegak hukum yang menangani permasalahan
kenakalan anak selalu berusaha untuk menggunakan konsep keadilan
restoratif dalam menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban.
Dalam hal ini Penelitian Kemasyarakatan (Bapas) juga ikut dihadirkan
sebagai mediator (penengah) guna memberikan pengarahan untuk
menghasilkan keputusan terbaik bagi pelaku tindak pidana yang
dilakukan oleh anak di bawah umur, dengan melihat kepentingan
terbaik bagi pelaku dan korban.
Pemberian hukuman yang dimaksudkan membuat anak menjadi
jera dan tidak mengulangi perbuatannya tidak jarang menurunkan
harga diri anak, menimbulkan dendam dan kebencian pada anak. Oleh
karena itu, hukuman berupa retributif atas kejahatan yang diberikan
146
kepada anak-anak telah diupayakan menjadi restoratif dan
mengedepankan azaz kepentingan terbaik bagi anak.
Berbagai kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang
berakhir di pengadilan disebabkan karena pemahaman masyarakat
yang sangat kurang mengenai keadilan restoratif. Dalam banyak kasus,
masyarakat yang menjadi korban lebih banyak yang tidak bersedia
memakai jalur restoratif. Masih banyak korban yang bersifat
emosional puas dengan balas dendam dan tidak mau mendengarkan
ajuan perdamaian dari pihak korban sehingga kurang mendukung
fungsi pembinaan.
Setiap perundang-undangan yang ditentukan oleh Negara
dalam menghukum pelaku tindak pidana didasarkan pada kebijakan
untuk menghasilkan suatu mas}lahah/ kebaikan untuk masyarakatnya.
Undang-Undang yang dibuat oleh Negara juga bisa dikatakan dengan
hukuman ta‘zi>r . Menurut Wahbah Zuhaili>, hukuman ta‘zi>r diserahkan
semuanya kepada kebijakan Negara dengan melihat kemas}lahatan
penduduknya. Hukuman yang ditetapkan oleh Undang-Undang (qanu>n al-wad}i>) masuk kedalam kategori ta’zi>r.
Pemberian hukuman minimum serta adanya pengampunan dan
pemaafan di dalam hukuman ta‘zi>r terhadap pelaku tindak pidana
dalam hukum Islam, menjadikan hukuman ta’zi>r mengandung prinsip-
prinsip keadilan restoratif. Tujuan pemberian hukuman ta‘zi>r diantaranya untuk mencegah seseorang dari berbuat maksiat dan
memberikan hukuman sesuai kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
Pemberian hukuman pada orang yang melakukan kejahatan
dimaksudkan bukan untuk membalas dendam melainkan untuk
kemaslahatan. Pemberian hukuman adalah upaya terakhir dalam
menjaga seseorang agar tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. Hal ini
sejalan dengan prinsip restorative justice yang juga ditentukan oleh
kebijakan aparat penegak hukum dengan melihat keputusan terbaik
bagi pelaku dan korban. Salah satu unsur keadilan restoratif dalam
hukum Islam adalah gagasan tentang perbaikan dan pemulihan.
Ta‘zi>r dalam pengertian hukum Islam adalah hukuman yang
bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenakan
sanksi h}ad dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum
Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‘zi>r diserahkan semuanya kepada kesepakatan manusia. Hukuman ta‘zi>r terdapat dalam setiap jari>mah, baik dari segi hukuman yang
menyinggung hak Allah seperti makan siang pada bulan Ramadhan
147
tanpa alasan yang jelas, meninggalkan shalat, riba; maupun hukuman
yang menyinggung hak adami> seperti berkhalwat, mencuri sesuatu
yang tidak sampai nis}ab, mencuri barang yang tidak dijaga, berbuat
curang/ melakukan penipuan dan lain sebagainya.
Jika kita cermati terdapat unsur-unsur persamaan konsep
restorative justice yang terdapat dalam pengertian hukum Islam dan
dalam pengertian hukum positif. Konsep keadilan restoratif dalam
hukum positif yang merupakan pembentukan kembali keadilan melalui
sebuah kesepakatan yang melibatkan pelaku, masyarakat serta korban
dalam menyelesaikan konflik permasalahan, sejalan dengan konsep
keadilan restoratif dalam Islam yang juga bertujuan untuk
mendamaikan pihak yang berkonflik dan merehabilitasi pelaku dengan
langkah-langkah lain yang lebih baik serta menghindari hukuman yang
retributif.
Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan dengan kebijakan
restorative justice telah membawa partisipasi masyarakat dan
mediator sebagai salah satu kumponen penting selain aparat penegak
hukum. Gagasan yang digunakan dalam konsep restorative justice
merupakan gagasan tradisional seperti pemulihan dan pencegahan
kejahatan untuk menjadikan hukuman pidana lebih demokratis dan
manusiawi. Hal ini membuktikan bahwa keadilan restoratif lebih
mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahannya.
Dalam penulisan tesis ini juga ditemukan hambatan para
penegak hukum dalam menindak pelaku tindak pidana anak yang
masih dibawah umur. Masih banyaknya orang tua dari pihak korban
bersifat emosional puas dengan balas dendam dan tidak mau
mendengarkan ajuan perdamaian dari pihak pelaku, menyebabkan
inisiatif aparat penegak hukum dalam melaksanakan konsep ini justru
khawatir melanggar hukum. Hal ini dikarenakan, disamping aparat
penegak hukum harus menegakkan hukum demi keadilan, aparat
penegak hukum juga harus melindungi ABH.
Dengan adanya Undang-Undang Sistem Peradilan Anak yang
baru No 11 Th 2012 tentang peradilan pidana anak, maka dengan
demikian dapat menjadi pedoman sistem peradilan yang baru bagi
anak dengan mengubah konsep retributif menjadi konsep keadilan
restoratif.
148
B. Saran
Pertama, upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan
hukum apabila diberlakukan secara konkrit baik substansi, struktural
maupun kultural diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan maka
akan menciptakan mekanisme sistem peradilan pidana anak yang
bernuansa restoratif, bervisikan penyelesaian konflik dan mempunyai
misi keadilan bagi semua kepentingan, terutama the best interest of child.
Kedua, untuk para penegak hukum sangat diperlukannya
koordinasi atau persamaan resepsi dengan masyarakat setempat (yang
sedang berurusan dengan hukum baik orang tua pelaku maupun orang
tua korban, ketua RT atau orang yang dianggap penting untuk bisa
mendamaikan keduanya). Dalam menentukan hukuman yang terbaik
bagi anak seharusnya diadakan forum mediasi/ musyawarah, karena
perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana menjadi
suatu permasalahan yang wajib untuk diperhatikan mengingat anak
dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan masih memiliki
sifat labil. Ketiga, apabila forum mediasi tidak berhasil dan putusan sudah
berlanjut ke dalam ruang sidang maka di dalam forum sidang
seharusnya orang tua diikut sertakan baik orang tua pelaku maupun
orang tua korban. Keduanya harus mengikuti persidangan sampai
adanya putusan hakim atas pelaku anak. Hal ini sangat dibutuhkan
pada psikologi anak, agar dia tidak merasa menanggung beban
kesalahnnya sendirian, karena perbuatan pidana yang dilakukan oleh
anak tidak sepenuhnya murni kesalahan anak. Orang tua juga harus
bertanggung jawab atas kesalahan anaknya.
Keempat, sistem restorative justice dalam Islam seperti
kompensasi (diyat), konsiliasi (s}ulh}) dan pengampunan (‘afwu)
merupakan klasifikasi hukuman yang paling bisa menerima pendekatan
rekonsiliasi korban dan pelaku, resolusi konflik, meredam kemarahan,
dan kompensasi mengandung banyak unsur keadilan restoratif. Hal ini
dapat menjadi inspirasi bagi hukum pidana positif yang berlaku di
Indonesia.
Penulis menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Hasil yang digagas
tentang kebijakan dan implementasi restorative justice pada kasus
149
pidana anak perlu untuk dilanjutkan dan dibuktikan dengan penelitian
lainnya dan semoga penelitian ini bisa menjadi inspirasi bagi peneliti
selanjutnya dalam kajian hukum.
150
151
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abu Yasid. Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum Islam- Hukum Barat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Ami>r, ‘Abdul Azi>s. at-Ta‘zi>r fi as-Shari’ah al-Islamiyyah. Beirut : Da>r
al-Fikr al-‘Arabi>, 1976.
Ammar, Nawal H. Restorative Justice in Islam: Theory and Practice - The spiritual Roots of Restorative justice, edited by Michael
L. Hadley. Albany: State University of New York Press,
2001.
al-Andalusy, Imam al-Qa>ḍi Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Aḥmad ibn
Muh}ammad ibn Aḥmad ibn Rushd al-Qurṭubi>. Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtas}id. Beirut : Da>r al-Fikr,
1995.
Anshori, Ibnu. Perlindungan Anak dalam Agama Islam. Jakarta: KPAI
2006.
Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan. Semarang: Penerbit Pustaka Magister Semarang,
al-Bahu>t}i>, Mansu>r ibn Yu>nu>s. Ar Raud} al-Murbi’ bi Sharh}Za>d al- Mustaqni>. Beirut : Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1996.
Baidhawy, Zakiyuddin.Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
al-Baihaqi,Abu Bakar Ahmad bin Husen bin Ali. Sunan Saghir. Beirut:
Da>r al-Kita>b al-Islami>yah, 1998.
Braithwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford: University Press, 2002.
Chawazi, Adami. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2001.
Del Carmen, Rolando V and Chald R. Trulson. Juvenile Justice: The System, Process and Law. Thomson: Wadsworth, 2006.
152
Dewi, DS. dan Fatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Depok:
Indie Publishing, 2011.
Hosen, Ibrahim. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV
Putra Harapan, 1990.
Ibn Farhu>n, Burha>n ad-Di>n Abi> ar-Rifa>’i> Ibra>him. Tabshirrah al-Hukka>m fi Us}u>l al-Aqd}i>yah wa Mana>hij al-Ah}ka>m. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Ibn Hanbal, Imam Ahmad. Musnad. Cairo: Darussalam, 2008.
al-Jarda>ni>, Muhammad ‘Abdulla>h. Fath al-‘Alla>m bi Syarh} Mursyid al-Ana>m. Cairo: Da>r al-Sala>m, 1990.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008.
. Tradisi Hukum Indonesia. Cianjur: IMR Press, 2012.
Marlina. Peradilan Pidana anak di Indonesia- Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT Refika
Aditama, 2009.
Mufti>, Muh}ammad Ah}mad dan Sa>mi> S}a>lih} al-Waki>l.H}uqu>q al-Insa>n fi> al-Fikr as-Siya>si> al-Gharbi> wa ash-Shar‘i> al-Isla>mi>. Beirut:
Da>r an-Nahd}ah al-Islami>yah, 1992.
Mukhaimar, Fua>d ‘Ali>.ash-Shaba>b wa Qada>ya> al-‘As}r. Cairo: al-
Jam’i>yah ash-Shar’i>yah ar-Rai>si>yah, 1993.
Muladi, ‚Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan
Pidana dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak‛. Materi Kuliah Program Magister Hukum Universitas Diponegorodan Universitas Semarang. November 2013.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
an-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Terj. Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law. Penerjemah Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany.
Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2004.
Nurrohman. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Al-Kasyaf, 2007.
153
Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung:Nusa
Media, 2011.
Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: Permata Press, 2013.
Ramzy, Ahmad. ‚Perdamaian dalam Hukum Pidana Islam dan
Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaruan
Hukum Pidana di Indonesia‛. Tesis Hukum Universitas
Arief, Barda Nawawi. ‚Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di
Luar Pengadilan‛. Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance. Inter Continental Hotel. Jakarta: 27 Maret 2007.
Kusumaningrum, Santi. dkk. ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial
untuk Anak di Indonesia‛. Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia, 2011.
Latimer, Jeff and others, eds. ‚The Effectiveness of Restorative Justice
Practices‛. The Prison Journal, Vol. 85 No. 2. June 2005.
. ‚Victim Sensitive Victim Offender Mediation Training Manual‛. An International Resource Center in Support of Restorative Justice Dialogue, Research and Training Center for Restorative Justice and Mediation, 1998.