RESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KRISTENISASI DI INDONESIA (Studi Kasus: Era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh TOTO TOHARI 105032101049 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
97
Embed
RESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KRISTENISASI DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5214/1/TOTO... · lautan ujian untuk hamba-Nya dalam mengarungi kehidupan dengan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KRISTENISASI
DI INDONESIA
(Studi Kasus: Era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
TOTO TOHARI
105032101049
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
RESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KRISTENISASI
DI II\DONESIA(Studi Kasus: Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlah)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushulddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelal Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Toto TohariNIM.105032101049
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMAFAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA20tt/1432
LEMBAR PENGESAIIAN
Skipsi berjudul : Respons l\{uhammadiyah rerhadap Kristenisasi diIndonesia studi Kasus: Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan telah
diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UiN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Teologi (s.T'h.l) pada program Studi perbandingan
Agarna.
Jakart4 23 Juni 201I
Panitia Ujian Munaqasyah
Maulana- M.AqNIP. 19610312 198903 I 002
Anggota,
Pengu.|i.{l
NIP. 19651 129 199403 I 002
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Dengan ini saya :
Nama : Toto Tohari
NIM : 105032101049
Fak/Jur : Ushuluddin/Perbandingan Agama
Jusul Skripsi : “Respons Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi
di Indonesia Studi Kasus Era Kepemimpinan
K.H. Ahmad Dahlan”
Dosen pembimbing : Drs. M. Nuh Hasan, MA
Menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Paramadina, 1998), hal. 11 5 Bahkan menurut Almanak Pemerintah untuk Hindia-Belanda hanya ada 17 Pendeta, 27
Misionaris dan satu Pastur tapi jumlah ini meningkat pada tahun 1900, menjadi berturut-turut 27
4
Ada tiga bentuk hegemoni,6 yang digencarkan oleh kolonial penjajah
yakni glory, gospel, gold, untuk itu mereka juga memberikan pelayanan
pendidikan dan sosial, serta kolonial Belanda merekrut orang-orang Indonesia
untuk memperoleh pendidikan Barat. Westernisasi bersamaan dengan kegiatan
Misi Kristenisasi yang dilakukan di Indonesia.
Menurut Alwi Shihab, pada umumnya Islam memandang Kristen sebagai
Ahlul Kitab yang harus dihormati tetapi sepanjang perjalanan sejarah, hubungan
yang telah menjadi sumber kebaikan bagi keduanya ini telah menjadi sumber
berbagai kesalahpahaman, ketidakpercayaan dan konflik.7 Pandangan Alwi
Shihab di atas senada dengan Th. Sumartana, St. Sunardi dan Farid Warjidi, yang
mengatakan:
“Salah satu sebab pertentangan antara kedua agama besar ini (Islam-
Kristen) menyangkut hal penyebaran agama (dakwah, zending, Misi). Agama
pada masa itu menampilkan dirinya sebagai potensi disintegratif yang cukup
menonjol disamping bidang-bidang lainnya, seperti idiologi, politik, dan
kesukuan.8
Dalam kegiatan Misi Kristenisasi membutuhkan modal dan para ahli, baik
di bidang agama maupun di bidang teknis riset, dana dari luar negeri tentu saja
menjadi faktor pendukung yang singnifikan, misalnya dari International Christian
Pendeta, 33 Misionaris ,49 Pastur, bisa dilihat di karyanya. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju
Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung, Mizan, 1997, cet ke-1), hal. 11 6 Istilah „Hegemoni‟ dipeloporikan oleh Antonio Gramsci, sosiolog aliran Marxis.
Hegemoni dalam terminologi Gramsci adalah penguasaan terhadap kelas-kalas dibawahnya
dengan cara fersuasif, sebagai lawan dari domonasi (penguasaan dengan tekanan otoritarian dan
kekerasan). Hegemoni juga berarti penguasaan atas pihak lain dengan jalan consensus, dimana
pihak yang dikuasai menyetujui ide, gagasan, dan cara pandang pihak yang menguasainya. Lebih
lanjut baca: Roger Simon, Gagasan-gagasan politik Gramsci, (Jakarta, INSIST bekerja sama
dengan Pustaka Pelajar, 2001, cet. III), hal, 19. 7 Th. Sumartana, “Pengantar; Menuju Dialog antar Iman, dalam Dialog, Kritik dan
Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1999), hal. X 8 Th. Sumartana, “Pengantar; Menuju Dialog antar Iman, dalam Dialog, Kritik dan
Para evangelis dan zending dalam menyampaikan ajaran Kristen, mereka
memakai sumbernya dari segenap kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, atau
mereka bisa dikatakan Kristolog artinya jika pengertian tentang ke Kristenan atau
berita yang menyangkut tentang Yesus Kristus, berdasarkan Alkitab yang
disampaikan lewat ucapan, tulisan, atau yang lainya adalah murni.
2. Dalil Teologis Kristenisasi
Dalam bab satu telah penulis ulas mengenai doktin ajaran Kristen dikenal
adanya perintah untuk melakukan penginjilan (Evangelisasi) yaitu ketika Kristus
berpesan kepada muridnya untuk “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa
muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapak dan Anak dan Roh Kudus”,6
dan ajarlah mereka melakukan segala yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. (Matius
28:16-20)
Begitulah para penginjil dengan gigih teguh pada ayat di atas tersebut
meskipun harus ditebus dengan nyawa mereka dengan harapan mendapatkan
kehidupan baru di surga, mengingat ini adalah sebuah sebuah “Amanat Agung”
untuk menjadikan segala bangsa sebagai murid Yesus dan membaptis mereka atas
nama Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus.
Selain itu untuk memperkuat tentang dogma dalam Kristen yang
menyangkut Kristenisasi ialah Matius 28:19 dan Yahya 10:16 “Ada lagi padaKu
Domba yang lain, yang bukan masuk kandang domba ini; maka sekalian itu juga
6 Injil Matius 28:19, hal 19
21
wajib aku bawa. Artinya Yesus ingin menjadikan seseorang atau bangsa di luar
Israil dan seluruh umat manusia agar menjadi pengikut Jesus yang Kristus.
Adapun Doktrin agama Kristen yang lainnya terkait dengan Kristenisasi
adalah jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, dogma Kristen
menyatakan bahwa satu-satunya jalan keselamatan dunia dan akhirat hanya
ditawarkan oleh Yesus. "Siapa tidak besama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak
berkumpul bersama-Ku bercerai-berai" (Matius 12:30) yang kemudian
berkembang dengan slogan Extra Eccelesias Nulla Salus (di luar gereja tak ada
keselamatan).
Dari ketiga ayat di atas tersebut adalah doktrin agama dalam Kristen yang
dijadikan oleh para misionaris sebagai sumber untuk melaksanakan kristenisasi
karena ini adalah Amanat Agung.
3. Misi Kristenisasi
Ada beberapa tujuan dari kristenisasi yang ingin dicapai adalah sebagai
berikut:
1. Misi kriatenisasi Mencakup Pekabaran Injil dan Pelayanan Sosial.
Ada beberapa pandangan umum tentang Misi kristenisasi, salah satunya
menurut A. Scott Moreau, “Mission and Missions” dalam Evangelical Dictionary
of World Missions. Pandangan Tradisional melihat Misi kristenisasi identik (dan
terbatas pada) penginjilan saja, namun menurut pandangan Modern (kalangan
liberal) Misi Kristenisasi mencakup penginjilan dan memberikan pelayanan sosial,
namun bagi mereka penginjilan tidak lebih penting dari pada pelayanan sosial.
Adapun Perubahan paradigma dikalangan Injil tentang pengertian Misi
22
Kristenisasi dipelopori oleh John Stott. Ia berpendapat bahwa Misi Kristenisasi
Al-Kitabiah mencakup penginjilan dan pelayanan, akan tetapi penginjilan tetap
menjadi inti Misi kristenisasi, seperti murid-murid Yesus diutus untuk melakukan
Misi Kristenisasi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam
pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan
masalah sosial.
2. Misi Kristenisasi Berujung pada Pemuridan.
Mayoritas orang memahami inti amanat agung (Mat 28:19-21) adalah
terletak pada penginjilan (banda. kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat)
dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran.
Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti Amanat
Agung justru terletak pada pemuridan. Hal ini didasarkan pada mood imperatif
untuk kata kerja “jadikanlah murid” (muridkanlah) yang diikuti oleh tiga
participle (anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”.
Penggunaan kata “muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks
mempelajari hukum (ajaran) Yesus.
3. Mis Kristenisasii Merupakan Tugas Seluruh Orang yang Percaya.
Kesalahpahaman lain tentang Amanat Agung yang kadangkala muncul
adalah konsep bahwa pekerjaan Misi Kristenisasi merupakan tugas khusus untuk
murid-murid Tuhan Yesus (kaum rohaniwan, dan bukan untuk jemaat awam).
Bahkan ada yang berpendapat bahwa penginjilan merupakan karunia khusus yang
tidak harus dilakukan oleh setiap orang yang percaya. Pandangan ini tentu saja
tidak sesuai dengan esensi Amanat Agung. Padahal Amanat agung ditujukan bagi
23
“semua bangsa” dan disertai janji “sampai kesudahan jaman”. Dua hal ini tidak
mungkin hanya dimaksudkan untuk kaum rohaniawan sebagai murid Tuhan, akan
tetapi orang awampun yang percaya dipersilahkan untuk melakukan penyebaran
Misi.
dari yang telah dibahas di atas tadi, maka sebenarnya misi Kristenisasi
adalah ingin memproklamirkan kerajaan Allah, dengan harapan afar seluruh umat
manusia bisa masuk kedalam kerajaan Allah tersebut yang telah Mengutus Yesus
sebagai juru selamat bagi umat manusia.
B. Bentuk-bentuk Kristenisasi
Sebenarnya bentuk nyata dari adanya Kristenisasi adalah penjajahan, akan
tetapi untuk mempermudah prosesnya, maka hemat penulis dibagi kepada dua
katagori, yaitu:
1. Sistem Pendidikan Sekolah.
Sejak awal, penyebaran agama Kristen ke Indonesia melalui pendirian
sekolah-sekolah yang didukung oleh pamarintah Belanda. Proyek pendidikan
pemerintah Belanda dimulai sekitar pertengahan abad ke 19. Beberapa anak-anak
Indonesia dari kalangan menengah ke atas mendapat kesempatan untuk belajar di
sekolah untuk anak-anak Eropa yang sudah berdiri sejak 1816. Pemerintah
kolonial juga membuka sekolah guru untuk sekolah-sekolah Jawa dan sekolah
STOVIA untuk melayani kesehatan masyarakat pribumi. Karena meresa kurang
mencukupi, pada tahun 1879 pemerintah kolonial membuka Hofdenschoolen
24
(sekolah para kepala) untuk mendidik anak-anak Bupati dalam bidang
administrasi. Proyek pendidikan ini terus berlanjut sampai dengan pembukaan
lembaga pendidikan dasar yang disebut dengan sekolah kelas satu dan sekolah
kelas dua.7
Pada periode politik etis, atau periode setelah 1900-an, telah terjadi
perubahan pada pendidikan kolonial, baik dalam bentuk re-organisasi sekolah
maupun pembukaan sekolah-sekolah baru. Pada tahun 1900, tiga Hofdenschoolen
yang teletak di Bandung, Magelang, dan Probolinggo di-re-organisasi menjadi
OSVIA (Opleidingschoolen Voor Inlandsche Ambtenaren), dengan tujuan supaya
nyata-nyata menjadi lembaga pendidikan yang mencetak pejabat pribumi yang
secara tidak langsung mendidik mereka agar tertarik pada Belanda. Dan memang
untuk pembelajarannya di OSVIA adalah lima tahun, dengan pengantar bahasa
Belanda. Tahap berikutnya sekolah kelas satu berubah menjadi HIS (Hollandsch
Inlandsch School) atau bisa disebut sekolah Belanda-Pribumi pada tahun 1914.8
Di samping itu pemerintah kolonial Belanda juga telah membuka sekolah-
sekolah, seperti sekolah untuk orang Eropa ELS (Europessch Lagere School),
sekolah tingkat menengah HBS (Hogere Burger School), MULO (Meer
Uitgebreid Lafere Onderwijs) untuk melayani pendidikan tingkat menengah dan
AMS (Algemene Middelbare School) untuk melayani pendidikan tingkat atas,
7 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara
Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: LPJM UIN Jakarta press, 2009), hal. 86 8 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara
Modernisasi dan Identitas, , hal. 87
25
sekolah- sekolah di atas tersebut adalah mengakomodasi banyak gagasan dan cita-
cita pada tahun 1900-an STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsch Arsten).
Sekolah-sekolah ini sebagai tujuan integral dari cencana pemerintah
Kolonial belanda yang bekerjasama dengan para misionaris untuk
“membelandakan” anak-anak pribumi yang kelas menengah keatas dengan
harapan kelak masuk pada agama Kristen.
2. Inkulturasi (penyesuaian agama terhadap budaya setempat).
Prinsip bahwa agama Kristen harus disampaikan kepada pribumi dalam
bentuk yang bisa diterima oleh kebudayaan dan pandangan dunia masyarakat
tersebut,9 dengan mempertahankan hal yang fundamen dalam ajaran Kristen,
sehingga bentuk Alkitab bisa di terjemahkan dalam bahasa pribumi tersebut
seperti, Indonesia, melayu, Jawa, Sunda, dll. Dengan tujuan agar bisa diterima dan
dipahami oleh masyarakat setempat. Selain itu siakp yang ditonjolkan oleh para
misionaris adalah sikap akamodatif terhadap tradisi Jawa dan adat-istiadat Islam,
seperti memakai blangkaon, berbicara bahasa Jawa, dan yang paling menarik
mereka pun mempertahankan upacara adat selametan, yang di dalamnya adalah
kumpul dan makan bersama, karena tradisi ini adalah kegiatan yang menjadi
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Adapun bentuk Kristenisasi
yang lainnya adalah memanfaatkan tradisi yang menceritakan kisah-kisah dalam
Alkitab untuk menyampaikan pesan-pesannya melalui pementasan pewayangan
9 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1) hal 48
26
yang seperti yang dilakukan oleh seorang Wali Songo (Sunan Kalijaga) dalam
menyebarkan agama Islam di Jawa.
Selain itu bentuk Kristenisasi yang lainya adalah, dibukanya lahan
pertanian sebagai membuka lapangan pekerjaan untuk pribumi, dengan secara
perlahan mereka pun akan medah dalam menyampaikan ajaran agama Kristennya,
dan yang tidak kalah penting lagi merekan membuka pengobatan secara cuma-
cuma dan gratis kepada masyarakat yang dibarengi dengan pembaptisan.
C. Kristenisasi di Indonesia
Seperti yang sudah diungkapkan pada Bab pendahuluan, berbicara tentang
awal Misi Kristenisasi masuk ke kepulauan Indonesia sebagaimana yang di
katakan oleh Y. Bakker mengatakan bahwa masuknya agama Kristen di Indonesia
sudah terjadi pada pertengahan abad ke VII dengan berdirinya gereja Episkopat10
Syiria di Sumatera.
a. Prakemerdekaan:
1. Misi Kristenisasi di bawah Kolonial Portugis
Negara Portugis terletak di semenanjung Iberia, ujung barat daya benua
Eropa, dikenal sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen
Katolik. Dalam perjalanannya bangsa Portugis ini mengemban tiga Misi dalam
melakukan ekspansinya: berdagang, menaklukan wilayah, dan menyiarkan agama.
Ketiga hal tersebut sering diungkapkan dengan istilah Gospel, Gold, and Glory.
Maka setiap dalam ekspedisi bangsa Portugis selalu diikutkan sejumlah imam atau
10
Gereja-gereja yang Orang para pemimpinnya ditunjuk bukan dipilih oleh jemaat selaku
wakil-wakilnya. lebih lengkapnya baca: Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta: pt.
Intermasa bekerja sama EM.Emerald 2009), cet. I, hal. 173-174
27
rohaniawan katolik yang bertugas untuk melayani dan merawat para pedagang
dan personilnya, bahkan untuk mengabarkan Injil kepada penduduk pribumi,
sehingga para imam atau rohaniawan ini merangkap sebagai Misionaris. Agama
Kristen tiba di wilayah yang kini disebut Indonesia, menurut para sarjana Kristen
yaitu sejak periode bapak-bapak Kristen awal.11
. Dalam pelayarannya era
Columbus, orang-orang bangsa Portugis menemukan rute perjalanan menuju ke
Asia lewat Afrika selatan yang selanjutnya ini adalah proses awal dalam kegiatan
Misionaris di wilayah kepulauan Nusantara ini. Maka usaha Misi Kristenisasi
berikutnya yang di gencarkan oleh orang-orang Portugis meraih kesuksesan
terutama di wilayah Maluku sebagai kepulauan yang kaya rempah-rempah, pada
abad ke XVI. Orang –orang Portugis berhasil mendaratkan perahunya di Maluku,
setelah itu melebarkan ekspansinya ke Goa, dan Malaka yang dijadikan sebagai
pusat kegiatan Misi Krisren.12
Pada tahun 1511, bangsa Portugis telah menguasai Malaka, dan pada saat
tahun yang sama juga mereka telah menguasai Maluku, dan memperluas di
wilayah-walayah sekitarnya disertai dengan penyebaran agama Katolik dengan
simbol Salib ditancapkan dimana saja orang-orang Kristen berlabuh. Sehingga
gereja yang pertama diberdiri di wilayah Maluku pada tahun 1522. Maka untuk
memperluas tidak lama kemudian didatangkanlah sejumlah Misionaris dari India
untuk mengajarkan Alkitab.
11
Dr. Kurt Koch, Menyatakan bahwa penginjil Thomas, yang bekerja di India, mungkin
saja berlayar ke wilayah Indonesai bersama para pedagang India 12
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan Di
Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. ke-2, hal 56
28
Dalam sejarah penyebaran agama Katolik di Indonesia, tercatat sebuah
nama yang dianggap sebagai Misionaris paling termashur dalam sejarah gereja,
sebagaimana yang dikatakan, H. Berkhof, mencatat salah satu diantara para
Misionaris awal ini adalah Fransisco Xaverius/Francis Xavier (1506-1552) yang
berasal dari Masyarakat Yesus (Society of Jesus), yang sejak kelahirannya
mendapat panggilan “Rasul untuk orang-orang Indonesia”, sehingga ia dianggap
paling mashur dan berhasil menjalankan Misinya di Maluku sampai Ternate.
Kesuksesan para Misionaris ini selalu dikaitkan dengan kestabilan
kekuasaan Kolonial Portugis, sehingga pada periode pertama berdirinya gereja
mengalami perkembangan besar dalam jumlah penganut agama Katolik.
Sebagaimana dalam tulisannya Fransisco Xaverius, “(jika) setiap tahunnya selusin
saja para pendeta datng ke sini dari Eropa, maka gerakan Islam tidak akan
bertahan lama dan semua penduduk ke pulauan Indonesia akan menjadi pengikut
agama Kristen”.13
Dalam catatannya disebutkan sebagainama Fransisco Xaverius mengajar
untuk anak-anak dan dewasa dua jam setiap hari, ia berusaha mengenalkan Injil
dan ajaran-ajaran Katolik. Bahkan ia dengan kerja keras merumuskan pokok-
pokok iman Kristen, di samping itu dengan ide-ide yang cemerlang ia
menterjemahkan injil ke dalam bahasa Melayu dengan harapan agar penduduk asli
bisa memahami Injil, bahkan ia juga menyusun syair-syair yang berkenaan dengan
dua belas pasal iman.
13 Alwi Shihab, Pendahuluan Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1) hal 31
29
Keberhasilan usaha-usaha yang dirintis oleh Fransisco Xaverius banyak
diikuti dan ditiru serta kemudian diteruskan oleh para pastur-pastur yang lainnya
dibeberapa daerah. Diantaranya ada beberapa nama-nama seperti Seperto Antonio
De Taveiro pada tahun 1551 di daerah Flores, selain itu ada juga Peter Vicente
Viegas yang mengenalkan Injil dan ajaran-ajaran Katolik di Makasar, Fransiska
Dominika dan Diego Magelhaes, ia adalah seorang pastur yang ikut dalam
penyebaran Injil di Menado.14
Sebenarnya bila kita amati, Portugis memperkenalkan agama Katolik
dengan cara kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan dan permusuhan
tradisional terhadap Islam.15
Bagi mereka semua orang Islam adalah musuh yang
harus diperangi. Mereka sengaja datang keberbagai pelosok daerah antara lain
untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Maka
beberapa organisasi Zending maupun organisasi Misi berlomba-lomba yang
mendapat dukungan dana pemerintah Kolonial untuk beroperasi di tanah jajahan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu kekuasaan bangsa Portugis
secara perlahan-lahan melemah di wilayah ini, ditandai dengan terjadinya
penurunan keanggotaan gereja secara drastis. Bahkan orang-orang Portugis diusir
dari Maluku oleh VOC. Ada pun pertempuran antara orang-orang Belanda
melawan orang-orang Inggris, Spanyol dan Portugis mengakibatkan jatuhnya
koloni-koloni Portugis di tangan Belanda di wilayah Nusantara ini.
14
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia
(Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. ke-2, hal 59 15
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 16
30
Diakhir periode ini, perlawanan antara Portugis, Ingris dan Belanda untuk
menguasai jalur perdagangan berakhir dengan kemenangan dipihak Belanda.16
Yang pada akhirnya Misionaris Belanda memaksa orang-orang Katolik yang
mereka temui untuk memeluk agama Kristen Protestan yang menandai runtuhnya
gereja katolik di Indonesia timur, dan mulailah babak baru zending Protestan di
Nusantara.
2. Misi kristenisasi di bawah Kolonial Belanda
Orang-orang Belanda datang ke Nusantara sebenarnya lebih dimotivasi
oleh hasrat untuk mendapatkan keuntungan dagang ketimbang semangat untuk
menyebarkan agamanya atau membagikan keyakinan imannya kepada pribumi.
Adapun Misi Kristenisasi pada masa Kolonial Belanda diawali dengan
didirikannya Vereenign de Oost Indische Compagnie (VOC) adalah perkumpulan
perdagangan Belanda yang didirikan pada tahun 1602 dan dibubarkan pada tahun
1799. di bawah VOC, agama Kristen didominasi oleh gereja Reformasi, sehingga
VOC menyatakan bahwa agama Kristen apapun tidak boleh dipraktikan di
wilayah ini kecuali geraja Reformasi Belanda. Maka mereka mengambil alih
kongregasi-kongregasi katolik Portugis dan menunjuk pastor-pastor untuk
memimpin gereja. Di sini Belanda benar-benar ingin menghancurkan apa saja
yang sebelumnya dibangun oleh orang-orang Katolik. Penyebaran Kristen
Protestan senantiasa mengikuti gerak VOC. Oleh sebab itu VOC dengan kekuatan
politiknya mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dalam penyebaran Injil
di daerah-daerah yang dikuasainya.
16
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 16
31
Namun dalam kenyataannya perhatian yang tidak banyak dan sungguh-
sungguh yang diberikan oleh VOC kepada orang-orang Kristen untuk memperluas
wilayah dari gereja Katolik di Indonesia, yang terjadi malah sebaliknya mereka
memperkerjakan para pastor-pastor VOC dalam memimpin kebaktian di rumah
para pedagang Eropa, orang-orang Belanda hanya lebih memedulikan keamanan,
keuntungan komersial yang diraih dari pada mengkonversikan orang-orang
pribumi.17
Yang sangat mengecewakan bagi orang-orang Kristen yaitu dalam hal
kebijakan VOC di Jawa selama kurang lebih Dua ratus tahun, hal ini bisa terlihat
dari kegiatan gereja Belanda ditempat atau berjalan sendirian dalam memberikan
pelayanan kepada orang-orang Kristen Eropa. Tidak ada niatan yang sungguh-
sungguh untuk mendekati dan menjalankan Misi Kristenisasi kepada orang-orang
Jawa agar mereka tertarik dan pindah agama. Bahkan usaha-usaha untuk
mendekati itu justru mereka hindari oleh VOC karena khawatir akan pengaruh
negatifenya terhadap keuntungan ekonomi mereka. Namun di sisi yang lain orang-
orang Kristen harus berterimakasih kepada VOC dalam hal penerbitan Perjanjian
Baru dalam bahasa Indonesia. Kemungkinan dorongan ini didasari pada prinsip
17
Dalam hal ini VOC dan para pemegang saham maunya mencari keuntungan terus.
mereka tidak berminat pada berdakwah, akan tetapi pada pencarian keuntungan berdagang, hal ini
tercermin dalam langkah-langkah tertentu yang ditempuh Jan Pieterszoom Coen, yang menjadi
Gubernur Jendral VOC pada tahun 1618. dia melaksanakan sistem “pengiriman dan penjatahan
secara paksa” dengan benar-benar mengeksploitasi pulau-pulau Nusantara dalam bidang pertanian
para penduduk kepulauan, lewat para pemimpin lokal mereka, dipaksa menyediakan produk tropis
tertentu dan dalam jumlah tertentu untuk memnuhi komuditas ekspor VOC. Untuk mendapatkan
keuntungan lebih besar, Jan Pieterszoom Coen juga menaruh perhatian kepada orang Cina dan
memberikan mereka peluang-peluang tertentu untuk berdagang. Coenlah orang pertama Belanda
dalam mendesakan masuknya orang-orang Cina ke Indonesia. Coen bahkan menyerukan
penculikan orang-orang Cina jika mereka tidak mau secara sukarela tinggal di Indonesia. Sejak
saat itu, orang-orang Cina merupakan “kelas menengah” yang memperantarai para penguasa
Kolonial dan rakyat Indonesia. Lihat Wilfred T. Neil, Twentieth Century Indonesia ( New York:
Columbia University Press, 1973), hal. 284-285
32
pokok dalam melaksanakan penyebaran Misi Kristenisasi, agar secepat mungkin
orang-orang Kristen itu mempunyai Alkitab di tangan mereka dan dalam bahasa
mereka sendiri.
Pada era baru penyebaran agama Kristen Protestan terjadi di Maluku, yang
sebelumnya telah beragama Katolik. Akan tetapi sejak kedatangan penguasa baru
VOC, para pemeluk Katolik harus dipaksa menjadi Protestan. Orang Belanda
pertama yang ditugaskan di Maluku untuk sebagai „Penyebar Injil” ialah Stollen
Beeker, yang dalam perjalanannya kemudian mendirikan Majelis Gereja pada
tahun 1615. Majelis Gereja ini mempunyai tugas menyelenggarakan pemeliharaan
rohani di daerah Maluku dan sekitarnya‟
Selain di daerah Maluku yang menjadi basis penginjilan Protestan, maka
sasaran selanjutnya adalah Sulawesi Utara yang daerahnya sejak tahun 1563
penduduknya memeluk agama Katolik, dan lagi-lagi harus tunduk pada kompeni
Belanda (VOC), orang-orang katolik di sana dipaksa untuk menjadi Protestan,
bahkan yang lebih tragis pemuka-pemuka agama Katolik dibunuh dan setempat
diancam kecuali kalau tunduk pada perjanjian untuk beralih kepada Kristen
Protestan.
Belanda (VOC) pun melebarkan penginjilannya ke daerah Jawa, disinilah
menjadi lahan empuk dalam kegiatan Misi Kristenisasi, karena daerah Jawa
dianggap daerah yang paling mudah di Kristenkan. Hal ini didasari atas asumsi
bahwa sinkretisnya Islam di kawasan ini mempermudah penaklukannya. Bahkan
dalam catatannya, Alwi Shihab mengungkap, “ dari sekian banyak daerah yang
menjadi tujuan Kristenisasi, daerah jawalah yang paling sukses, tidak bisa
33
ditandingi oleh keberhasilan kegiatan Misi Kristenisasi di wilayah Islam lain
manapun”18
Melihat dari keberhasialan tersebut, tidak terlepas dari usaha yang
dilakukan para Misionaris Protestan yang dengan gigih berupaya menyebarkan
Injil kepada para penduduk pribumi. Mereka mulai mewartakan pesan-pesan
Kristus, padahal jumlah mereka tidak seberapa, namun mampu memberikan
kontribusi yang luar biasa, dibalik kesuksesan kegiatan Misi Kristenisasi di daerah
Jawa, maka berkaitan dengan hal itu, berikut penulis cantumkan beberapa tokoh
yang dianggap memainkan peran dalam penyebaran Misi Kristenisasi di Jawa,
antara lain:
1. Johannes Emde (1811)
Ialah seorang pendeta dari Jerman yang saleh, berdomisi di Surabaya
pekerjaan sehari-harinya selain sebagai pendeta, ia juga sebagai pembuat jam,
yang dalam perjalanannya untuk melancarkan gerakan Misi Kristenisasi di Jawa,
ia pun mengawini perempuan Jawa sebagai jalinan kontak dengan dengan
penduduk pribumi atau lokal dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran agama
Kristen. maka ia terdorong untuk menterjemahkan beberapa Al-Kitab ke dalam
bahasa Jawa19
. Seirng perjalananya pada tahun 1845, Pastor Johannes Emde telah
berhasil membangun kongregasinya di Surabaya yang dikenal dengan nama
“Kesalehan Surabaya”, di bawah kepemimpinan Johannes Emde, dapat
mengembangkan sebuah kelompok pribumi Jawa yang menjadi pengikutnya.
18
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia
(Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. ke-2, hal 76
19
Alwi Syihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Misi
Kristen di Indonesia, (Bandung, 1998), hal 31.
34
Emde berharap pengikut barunya yang berasal dari pribumi Jawa dapat menerima
cara hidup Barat, sehingga Emde mengajarkan sepenuhnya dengan corak barat
kapada 220 pribimi Jawa yang telah dibaptisnya.
2. Pastor Coenraad Laurens Coolen (1775-1873)20
Tokoh ini lahir dari seorang bapak berkewarganegaraan Rusia dan
berimigrasi ke Indonesia yang mengabdikan diri menjadi prajurit upahan tentara
VOC. Ibunya berasal dari Indonesia tepatnya seorang perempuan Jawa dari
keturunan bangsawan. Sedangkan bapaknya dari Rusia, dari sang ayah, Coolen
mewarisi nilai-nilai agama Kristen Barat, sedangkan dari ibunya, Coolen mewarisi
ruh mistik kebudayaan Jawa.
Keberhasilannya dalam menarik orang-orang pribumi untuk masuk agama
Kristen Protestan dikarnakan metode yang diterapkannya, yaitu “Metode
Pribumi”. Cara Colleen mendakwahkan bahwa untuk menjadi Kristen tidak perlu
menanggalkan/melepaskan watak dan kebudayaan Jawa mereka. Oleh sebab itu,
Coleen melarang pembaptisan. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menarik
hati orang-orang pribumi agar masuk agama Kristen dengan berusaha menjadikan
orang-orang Jawa menjadi Kristen (menjawakan Kristen).
Sebagai usaha yang dilakukan Coleen, untuk menarik pribumi, Coleen
memanfaatkan tradisi Jawa, salah satunya Coleen memanfaatkan wayang sebagai
media untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab dan menyampaikan pesan-pesan
agamanya. Melihat caranya, sepintas penulis teringat upaya yang dilakukan salah
20
Lihat Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia
(Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005), hal 87
35
seorang wali dari Wali Songo, para sufi yang ikut menyebarkan agama Islam di
Jawa, tepatnya Sunan Kalijaga. Teknik dan strategi ini sama persis dengan yang
digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menarik perhatian orang kepada Islam
beberapa abad sebelumnya yaitu dengan menggunakan metode wayang..
Kerja keras Coleen dan beberapa yang lainnya mengikuti metodenya,
dengan berprinsip bahwa agama Kristen harus tersampaikan kepada masyarakat
Jawa dalam model bentuk yang bisa diterima oleh kebudayaan dan pandangan
orang Jawa. Dengan mempertahankan ajaran-ajaran Kristen fundamentalnya, oleh
karena itu Alkitab diadaptasikan ke dalam kebudayaan local, dengan
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Karena menurut Coleen pesan-pesan ajaran
Kristen pada dasarnya bersifat universal yang tidak terikat kepada kebudayaan
tertentu.
Konsekuensi logis terhadap penekanan kebudayaan Jawa, maka banyak
bermunculan para penginjil yang disebarkan oleh orang Jawa, di antaranya tokoh-
tokoh orang Jawa itu adalah Singotruno, Paulus Tosari, Matius Niep, dan yang
besar pengaruhnya terhadap penyebaran Misi Kristenisasi diantara mereka yaitu
Kiayi Sadrach (1835)21
, lahir di Kewedanaan Jepara yang menjadikan Purworejo,
Jawa Tengah, sebagai pusat keagamaan Kristen.
Kebanyakan para Misionaris yang lainnya tidak keberatan terhadap
Kristen Jawa, dalam hal ini kasus Sadrach. Namun segelintir Misionaris yang
memandang Sadrach sebagai pemimpin komunitas independen, sehingga ini
meresahkan segelintir para Misionaris salah satunya adalah Frans Lionb Cachet
21
C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985,
cet I) hal 55
36
(1835-1899), ia seorang pendeta reformasi, yang sangat menentang gerakan
Sadrach, maka dengan tegas Frans Lionb Cachet mengecam doktrin dan praktik
Sadrach dngan kata-kata berikut ini:
“Misi harus memisahkan dari Sadrach si pembohong, yang
meracunibidang Misi kita sepenuhnya dan melahirkan sebuah agama Kristen Jawa
yang sama sekali tidak memberikan tempat bagi Kristus”
Untuk itu, Coleen dan para pengikutnya, terutama Sadrach, telah
mengantisipasi konsep yang telah berkembang dengan sebutan “Inkulturasi”
(inculturation).22
Sehingga dalam tahun-tahun terakhir ini, dalam dokumen resmi
gereja sering ditulis dan dibcarakan mengenai perlunya membangun dan
mengembangkan hubungan dinamis antara gereja dan kebudayaan-kebudayan
lokal yang beragam atau yang disebut “inkulturasi” yang menjadi kosa kata resmi
dalam agama Kristen. Konsep inkulturasi ini adalah hasil dari kerja keras yang
dibangun oleh Coleen dalam menjalankan Misi kristenisasinya.
Dari sinilah menimbulkan polemik ditubuh para Misionaris, seperti Pastor
Amt, berdiri pada ekstrem yang sangat bertolak belakang dengan posisi Coleen,
Amt lebih terdorong untuk menghadirkan agama Kristen dalam bentuk yang
“murni Eropa” ketimbang dari yang lainnya. Karena bagi Amt, walik
22
Banyak definisi yang diberikan untuk kata „inkulturasi” (Inculturation), tetapi kata itu
pada mulanya merujuk kepada pendidikan teologi di neraga-negara non Barat, namun belakangan
kata ini merujuk kepada konsep hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan yang pesan-pesan
Kristeiani belum sampai kepadanya. Atau meminjam definisi Ary Roest Crollius. S.J. inkulturasi
adalah hubungan dinamis antara pesan-pesan Kristiani dengan kebudayaan-kebudayaan yang
dimasukan kehidupan Kristiani ke dalam kebudayaan dan proses interaksi, dan asimilasi yang
timbale-balik dan kritis.”. yang kemudian kata itu menjadi sebuah konsep yang banyak digunakan
dan diakui manfaatnya dalam bidang Misiologi. Atau inkulturasi juga bisa disederhanakan sebagai
penyesuaian kehidupan iman dengan kebudayaan penduduk setempat. Akibatnya keagamaan
diperkaya oleh nilai-nilai tradisi. Untuk lebih jelas lihat Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas
Agama, (Jakarta: Emerald, 2009) hal 333
37
sesungguhnya pesan Kristus yaitu orang Kristen Barat, karena ini melihat dari
nasib agama Kristen secara historis sudah ada ditangan Eropa.
Yang pada akhirnya kedua model metode ini (inkulturasi dan Kristen
murni Eropa) saling bertentangan terhadap peran penting dalam memperkenalkan
agama Kristen kepada masyarakat Jawa. Masing-masing dari para pendukung
kedua metode ini membangun kongregasinya sendiri-sendiri, sehingga kedua
belah pihak sering cakar-cakaran, akan tetapi pada sisi yang lain mereka saling
mendukung.
3. J. Van Rhijn dan Pastor Jellesma dari Masyrakat Misionaris Belanda
(Netherlands Missionary Society) 1846
Untuk memperluas gerakan Misionarisnya, maka Jellesma oleh Masyrakat
Misionaris Belanda (Netherlands Missionary Society) ditunjuk sebagai
penanggung jawab aneka kerja Misionaris di Jawa. kehadiran Jellesma sebenarnya
untuk merekonsiliasikan kedua kelompok Kristen Jawa yang saling bertentangan.
Sehingga dia dapat mengkombinasikan sisi terbaik kedua belah pihak, secara
bijaksana. Sikap netral yang ditunjukan oleh Jellesma yang berdomisi di wilayah
baru temapt dia mengembangkan program latihan bagi para penginjil Jawa. Maka
dalam kata-kata kraemer Jellesma adalah “…seorang dengan bawaan apostolik
yang sepenuhnya mengabdikan diri kepada tujuan mengkonversi masyarakat
Jawa.” Dalam riwayatnya sebelum wafat, Jellesma telah berhasil membaptis
sekitas 2500 orang Jawa. Sehingga dalam perjalanannya Sadrach, seorang
penginjil Jawa yang sangat terkenal dan berpengaruh sempat bertemu dengan
Jellesma pada tahun 1855, yang juga dipengaruhi olehnya.
38
Dalam beberapa tahun berikutnya para Misionaris profesioanal mulai
terlibat langsung dalam penyebaran ajaran-ajaran Injil di Jawa, untuk memperkuat
maka dibangunlah konsolidasi agama Kristen yang pada akhirnya menjadi kokoh
lagi, ini dicerminkan dalam kebijakan pembangunan desa-desa Kristen yang
digagas oleh Pieter Jans, ia adalah seorang Misionaris Mennonit. Dalam
pandangan Jans mengenai kehidupan masysrakat Jawa selalu terkait dengan desa
mereka, oleh karena itu kerja-kerja Misi Kristenisasi dilaksanakan dengan cara
membuka diri terhadap desa baru yang menjadi target agar para Misionaris yang
baru dapat menyebarkan agama Kristen.
Melalui desa-desa yang baru dibangun ini, komunitas Kristen Jawa
menjadi tulang punggung bagi gereja di Jawa. Sehingga bagi para Misionaris cara
ini lebih efektif untuk menarik perhatian para pemeluk Kristen baru di wilayah-
wilayah yang sangat kuat keislamannya. Namun dalam perjalanannya metode
pembukaan desa-desa baru tidak meraih kesuksesan seperti yang dicita-citakan
pada saat priode awalnya. Sebenarnya metode itu punya peranan penting dan
pengaruh yang sangat kuat dalam membumikan beberapa pusat Kristen
dikemudian hari sehingga bertebaran di wilayah Jawa.
Dalam catatan sejarah awal Misi Kristenisasi di Indonesia mengaitkan
beberapa tokoh penting dalam proses penyebaran agama Kristen. Dalam kasus
penyebaran ini, terbagi menjadi dua peristiwa penting diantaranya adalah
dilakukan oleh orang-orang yang awam dan yang kedua dilakukan oleh orang-
orang professional yang bergabung kepada beberapa organisasi Misi pada masa
itu..
39
Berikut ini penulis akan membatasi beberapa tokoh yang ikut dalam
menyumbangkan penyebaran agama Kristen sebelum muncul gerakan organisasi
Islam Muhammadiayah.
1.1. Samuel Eliza harthoorn, tahun (1831-1883)
adalah seorang yang dianggap berpengaruh terhadap usaha Misi
Kristenisasi di pulau Jawa, tidak jauh berbeda dengan usaha yang dilakukan
sebelumnya. Eliza beranggapan bahwa dibutuhkan sikap yang akomodatif
terhadap tradisi Jawa dan adat-istiadat Islam
satu hal yang menjadi perhatian Eliza dan ini terus dipertahankannya
adalah ketika upacara adat selametan. Selametan adalah upacara praktik makan
bersama dengan dibarengi ritual yang sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari orang Jawa, sehingga ini diresapi dengan nilai-nilai gereja. Untuk itu
selametan ini dapat ditemukan di Kristen jawa, serta yang paling mengesankan
adalah proses selamatan semuanya bercorak dikristenkan. Lebih dari itu, yang
menarik dari Kristen Jawa adalah setiap praktik yang dilakukan oleh para sufi
untuk mengingat Allah seperi dzikir, tahlil, dipraktikan oleh mereka dipakai
dengan cara agama Kristen juga.
1.2. Carel Poensen Tahun (1836-1919)
Setibanya di pulau Jawa sebagai Misionaris pada tahu 1860, Poensen
langsung bergabung serta bekerja pada Masyarakat Misionaris Belanda, dan ia
menetap di sana sampai 1890. uniknya dalam pandangan-pandangan Poensen
mengenai Islam, ia relatif moderat, bahkan ia menemukan aspek-aspek positif dari
Islam selama berada di Jawa. Menurutnya orang-orang Jawa tidak mudah
40
terpengaruh hal-hal buruk dari luar, seperti candu, alkohol, dan judi sebagaimana
orang-orang Eropa dan China. Akan tetapi dalam pandangannya, Poensen
menyatakan bahwa Islam belum mampu untuk memenuhi kebutuhan paling
pokok jiwa manusia.23
Membangun sebuah komunitas Kristen di tengah-tengah mayoritas umat
Islam adalah suatu hal yang tidak mungkin, terkecuali ada upaya dan srtategis
baru dalam penerapan konversi terhadap umat Islam. Untuk itu Poensen
membentuk pusat-pusat Misi Kristenisasi dengan membuka ladang-ladang
pertanian baru di bawah manajemen orang-orang Kristen. Berangkat dari
membuka ladang-ladang pertanian, lalu masyarakat setempat diundang ke tempat
ladang pertanian dan dengan secara perlahan-lahan diperkenalkan dengan ajaran-
ajaran Kristen. Maka dengan demikian mereka masuk agama Kristen. Dan
mereka tidak merasa terasingkan dari masyarakat.
Dengan keahlian yang dikuasai Poensen baik itu bahasa dan kebudayaan
Jawa, maka ia dihormati sebagai seorang sarjana dan Misionaris dengan memiliki
pengetahuan mendalam tentang kebudayaan Jawa, yang bisa menjalin hubungan
erat dengan kelompok penduduk pribumi, yang pada hal-hal tertentu, ia kritis
terhadap Pemerintah Belanda dengan menyalurkan aspirasi penduduk pribumi
seprti mengkritik keras terhadap ekploitatif dan menindas yang dilakukan
Pemerintah Belanda
23
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke I) hal 53-54
41
Selain itu keberhasilan yang telah dilakakukan oleh Misionaris Poensen
dalam merekrut orang-orang Kristen baru terhadap orang-orang Jawa dengan cara
lewat keuntungan materi, artinya Poensen menciptakan lapangan pekerjaan dan
memberikan kemakmuran untuk orang-orang Jawa sebagai alat penyempaian dan
menyebarluaskan agama Kristen, yang kemudian dikenal “kebijakan beras
Krisren” .
1.3. Lion Cachet Tahun (1835-1899)
Lion Cachet adalah seorang Misionaris yang tergabung dalam Misi
Reformasi (Reformed Mission) pada tahun 1855, dan ia juga sebagai seorang
pendeta Nieuwe Westerwerk di Belanda, kemudian ia berlayar ke Hindia-Belanda
pada 1891 dan menjadi seorang inspektur kerja Misionaris selama sepuluh tahun
berdomisi di Jawa. Ia mengkritik pemerintahan Belanda yang dalam kurun waktu
tiga setengah abad memerintah Jawa, tetapi tidak berhasil dalam menyebarkan
agama Kristen kepada pribumi Jawa.
Kritik Lion Cachet kepada Pemerintah Belanda adalah tentang rendahnya
standar sosial untuk para Misionaris serta buruknya penampilan fisik gereja yang
disebabkan oleh sederhananya para pejabat Misi Kristen, yang dinilainya kurang
mendapat kemakmuran dari Pemerintah Belanda. Serta ia menyesalkan prosedural
yang lambat dan berbelit-belit yang harus dilewati oleh para Misionaris dari
Belanda terhadap perolehan surat izin menjalankan Misi Kristenisasi.
Adapun langkah yang diterapkan oleh Lion Cachet terhadap Misi
kristenisasi yaitu menolak dengan tegas bentuk agama Kristen Jawa dan
mengecam praktik-praktik Sadrach sebagai seorang penginjil Jawa. Dalam sisi
42
yang lain, Lion Cachet melihat Islam sebagai bentuk keras terhadap penolakan
penuh agama Kristen, sehingga dalam pandangannya Islam Jawa sebagai salah
satu hambatan dalam menjalankan proses Misi Kristenisasi di Nusantara.
Untuk itu Lion Cachet dan para pemimpin Misi di Belanda cemas, maka
sebagai reaksinya para pemimpim Misi itu melakukan upaya-upaya yang
komprehensif untuk meningkatkan standar sosial para Misionaris dan
memperbaiki kondisi bangunan gereja di Jawa. Lion Cachet telah memainkan
peranan yang sangat beras dalam perbaikan-perbaikan ini, sehingga ia dikukuhkan
sebagai salah satu figur penting dalam pertumbuhan dan konsilidasi agama
Kristen di Jawa.
1.4. Pendeta Baron Van Boetzelaer tahun (1873-1956)
Boetzelaer tergabung dalam Consul for Missions (Konsul Misi) berada di
Batavia, sebagai ibu kota Pemerintah Belanda di Hindia-Belanda. Berbagai usaha
dijalankan Boetzelaer untuk mengubah kebijakan Belanda dengan tujuan agar
menguntungkan agama Kristen, untuk itu dengan sekuat tenaga, ia bumbujuk dan
menekan Pemerintah Belanda dalam memberikan “dukungan pemerintah terhadap
gerakan Misi Kristenisasi” yang menjadi prioritas agenda pemerintah Belanda.
Pengaruh Boetzelaer kepada pemerintahan Belanda terhadap kerja
Misionaris, Misi kristenisasi di Jawa mendapat bantuan finansial
b. Masa Kemerdekaan Sampai Akhir Orde Lama.
1. Misi Pada Masa Kemerdekaan Sampai Akhir Orde Lama
Babak sejarah baru Indonesia sebagai Negara merdeka dimulai, tepatnya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno-Hatta didaulat untuk memproklamirkan
43
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Adalah suatu hal yang wajar kalau
seluruh rakyat Indonesia (tanpa kecuali), merayakan kemenangan besar ini, yang
diraih dengan penuh pengorbanan jiwa yang tanpa pamrih.
Ketika berbicara mengenai hubungan Islam-Kristen pada masa
kemerdekaan, maka akan dikaitkan kepada peristiwa Piagam Jakarta24
(Mukaddimah UUD) selalu menjadi rujukan, persoalan yang dianggap sebagai
ketegangan pertama dalam hubungan Islam-Kristen di Indonesia.25
Berawal ketika naskah”Pembukaan UUD” diajukan ke depan Panitia
Besar pembentukan UUD 1945, pertentangan tajam muncul menyangkut pasal-
pasal agama. Kalangan Kristen, dan beberapa tokoh nasionalis sekuler, menolak
dengan tegas hal yang kemudian dikenal sebagai “tujuh kata” dalam naskah
“pembukaan” itu. Pernyataan krusial dalam naskah “pembukaan” yang menunjuk
pada “tujuh kata” tersebut adalah (“….dengan kewajiban menjalankan syari‟at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”)26
Bagi kalangan Kristen, naskah yang dipersoalkan diatas, yang
mengandung bobot hukum yang besar dapat digunakan sebagai titik awal bagi
upaya pembentukan Negara Islam di Indonesia. Meskipun kelompok muslim
24
Piagam Jakarta semula hanyalah sebuah rancangnan Mukaddimah UUD Republik
Indonesia dan sekaligus sebagai pidato saat-saat Proklamasi Republik Indonesia dikumandangkan.
Piagam Jakarta tersebut dihasilkan oleh 9 orang tokoh perjuangan dalam suatu rapat PPKI dengan
anggota-anggotanya: Soekarno, Hatta, Soebardjo, Moh. Yamin, Wahid Hasjim, Agus Salim,
Kahar Mudzakkir, Abi-keosno Cokrosoejoso, dan AA Marasim. Disebut Piagam Jakarta atau
Djakarta Charter. Menurut Mr. Moh Yamin karena diputuskan di Djakarta tanggal 22 Juni 1945.
satu diantara lain isi Piagam Jakarta ialah memuat 7 kata yang menyatakan kewajiban bagi umat
Islam menaati syariat agamanya. Lebih lanjut baca buku Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas
Agama, (Jakarta: Emerald, 2009) hal 595 25
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1) hal 168 26
M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Diantara umat Beragama di Indonesia. (Jakarta:
Media Dakwah, 1983), hal. 5
44
berusaha mengklarifikasi maksudnya bahwa mereka tidak ingin mendirikan
Negara Islam kecuali lewat prosedural yang domokratis, kelompok Kristen
bersikeras menolak “tujuh kata” itu sepenuhnya. Selanjutnya mereka mengancam
jika hal itu tidak diterima, maka mereka akan membentuk sebuah negara
tersendiri. Pertentangan yang berlangsung sengit antara kedua umat beragama itu
tentu saja berperan penting dalam memperburuk situasi.27
Pada priode antara proklamasi RI pada 1945 dan 1950, perjuangan
melawan Belanda, yang memaksa masuk kembali dan menjajah Indonesia,
semakin meningkat, pada periode itu, di tengah konfrontasi fisik melawan
kembali masuknya musuh bersama, ketegangan antara kelompok muslim dan
kelompok Kristen yang sebelumnya akut, untuk sementara mereda. Bagi seluruh
rakyat Indonesia perjuangan melawan Belanda, adalah perjuangan demi negara
dan agama. Para Misionari pribumi walaupun besar atas didikan pemerintah
Kolonial Belanda, bersatu padu menggalang persatuan untuk melawan penjajah di
negeri ini. Yang muncul kemudian adalah sentimen atau kepentingan bersama
bahwa semangat untuk menjadikan Indonesia merdeka, bersih dari segala macam
bentuk penjajahan, harus diwujudkan. Sehingga ketika itu, kegiatan Misionari
Kristen yang gencar dilakukan oleh para zending Kolonial maupun Misionari
pribumi terhenti, dengan keinginan untuk menjadikan Indonesia merdeka
mengalahkan segalanya.
27
Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nasional antara Islam dan Nasional Sekuler tentang Dasar Negara RI 1945-1949, (Bandung:
pustaka Bandung 1981), hal. 10 dan lihat Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta:
Emerald, 2009) hal 595
45
Namun, setelah kemerdekaan diraih, udara kebebasan sudah dihirup
kembali, usaha-usaha kegiatan Misi Kristenisasi terkuak lagi. Luka lama kembali
membuka hubungan meruncing antara Islam dan Kristen. Rupanya sikap kaum
penjajah Portugis dan Belanda, yang tidak akan senang melihat kaum muslim taat
melaksanakan perintah agamanya, sikap itu terwarisi dengan baik oleh orang-
orang Kristen pribumi.
Pada masa awal kemerdekaan, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda pada tahun 1949. ketika bahaya bersama yaitu penjajah Belanda
sudah hilang, pertikaian kelompok muslim dan kristem muncul kembali.28
Bagi
umat Kristen, berkat republik baru, sebagian daerah Indonesia yang sebelumnya
merupakan wilayah yang terbatas bagi kalangan Misionari, kini terbuka lebar.29
Setelah kemerdekaan Indonesia, agama Kristen menikmati hak-hak
istimewa yang sama seperti Islam dan agama-agama lainnya. Dengan demikian
agama Kristen diberi tempat sederajat diantara agama-agama yang diakui di
negeri ini.
Usaha Misionari diperkuat dengan didirikannya Dewan Gereja Indonesia
(DGI) oleh umat Protestan pada 25 Mei 1950. tujuan mereka tidak lain ialah
membantu program gereja-gereja anggota, khususnya dalam hal persaksian dan
pelayanan di daerah-daerah.
28
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet ke 1 hal 173 29
Ketika kekuasaan masih ditangan Pemerintah Belanda, ada aturan mengenai pembagian
wilayah Misionari Protestan dan Katolik. Pulau Flores dan Sulawesi Selatan, misalnya hanya bisa
dimasuki Misionari Katolik, sedangkan daerah Batak hanya boleh dimasuki para Misionari
Protestan. Lebih lanjut baca, Alwi Shihab, Membendung Arus, hal 173
46
Gereja-gereja anggota DGI tersebut, terdiri dari gereja-gereja Protestan
dan Pantekosta. Selain itu tercatat masih banyak gereja-gereja di Indonesia yang
berada di luar DGI, yaitu:
1. Gereja-gereja yang memiliki tingkat Nasional, seperti gereja Kristen
Protestan di Pematang Siantar, gereja Baptis di Semarang.
2. Gereja-gereja yang bertingkat provinsi, seperti gereja Kristen Batak di
Tarutung, gereja Protestan Minahasa di Menado dan lain-lain.
Perlu diketahui, selain dalam bentuk penyebaran doktrin agama, Misi
Kristen juga terlihat dalam bentuk pendirian beberapa lembaga keagamaan
berkedok sosial, seperti bantuan pendidikan, kesehatan, atau keuangan bagi
masyaratak non Kristen. Namun reaksi dari kaum muslim juga semakin tegas, di
sisi lain upaya Misi Kristen semakin meningkat, akan tetapi karena keadan politik
dalam negeri yang belum stabil pada masa ini, ditambah lagi boomingnya
peristiwa pemberontakan G30 S/PKI, membuat kegiatan Misionaris pada masa
ini, belum memetik hasilnya. Setelah munculnya era baru di bawah Presiden
Soeharto, dimana kondisi politik negeri ini cendrung menafikan umat Islam, baru
Misi Kristenisasi bisa dirasakan hasilnya.
BAB III
MUHAMMADIYAH ERA K.H. AHMAD DAHLAN
A. Sejarah Berdirinya Muahammadiyah
Lahirnya suatu pemikiran baru atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan
dari kondisi kehidupan sosial dan budaya yang melingkupinya. Boleh jadi,
munculnya pemikiran atau gerakan baru itu merupakan respons terhadap kondisi
yang ada. Atau sebaliknya, yaitu sebagai kekuatan yang ditujukan untuk
mendukung kemapanan itu sendiri agar menjadi lebih kukuh, yang jelas, salah
satu dari kedua motivasi tersebut selalu ada dalam setiap fenomena yang muncul.
Namun untuk proses kemunculan suatu fenomena tentu tidak begitu mudah,
karena banyak faktor yang saling berpengaruh. Dalam hal ini Yogyakarta adalah
salah satu kota perjuangan dan bersejarah, karena itu kota ini sering tampil dalam
sejarah pusat perjuangan. Di samping itu kota ini memegang peranan penting
dalam membangun nasional, ada beberapa peristiwa penting yang telah terjadi di
kota ini, seperti perjuangan dari pahlawan Sultan Agung Hanjokrokusimo (1591-
1645), Pangeran Diponogoro (1775-1855), keduanya adalah putera Yogyakarta,
bahkan pada waktu revolusi dahulu, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan dan
perjuangan sehingga pantas Yogyakarta disebut kota revolusi.
Begitu juga dengan berdirinya organisasi sosial-keagamaan
Muhammadiyah,1 sebagai gerakan Islam bercorak modernis yang berdiri awal
1 Secara bahasa (etimologi), Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad
SAW”. Yaitu nama Nabi dan Rasul Allah SWT yang terakhir, kemudian mendapat imbuhan „ya‟
nisbah yang artinya menjeniskan atau menisbahkan dan “ta” marbuthah yang memiliki makna
pengikut. Jadi Muhammadiyah itu artinya “ umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad
47
48
abad ke 20 M, tentu tidak dapat dipisahkan dari situasi serta sejumlah faktor yang
melatarbelakangi munculnya organisasi tersebut di Indonesia.2
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggsl 8 Dzulhijjah 1330
H/18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan.3 Setelah melalui saran dari
saw”, yaitu semua orang Islam yang mengikuti dan meyakini bahwa nabi Muhammad adalah
hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Dengan demikian siapa saja yang mengaku beragama
Islam sesungguhnya ia adalah Muhammadiyah tanpa harus dilihat dan dibatasi oleh adanya
perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis dan sebagainya
Secara istilah (terminologi ), Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah ma‟ruf nahi
mungkar, berakidah Islam yang bersumber pada Al-Qur‟an dan sunnah nabi. Muhammadiyah
didrikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M, di Kauman kota
Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk
bertafaul (berpenghargaan baik) dapat mencontoh jejak perjuangan nabi Muhammad saw dalam
rangka menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam
wal muslimin, kejayaan Islam sebagai cita-cita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas.
Untuk lebih lengkap lihat, Mustafa Kamal Pasya, dkk, Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid
(Yogyakarta: Citra Karsa Mandir, 2003), hal. 43-44 2 Muhammadiyah yang lahir di Indonesia merupakan respons dari situasi dan kondisi
masyarakat yang terpuruk akibat Kolonialisme Belanda dan ajaran Islam yang dipandang sudah
tidak murni dan bercampur dengan ajaran yang menyimpang. Lihat, Sutarmo, Muhammadiyah:
Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal. 18-19 3 Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta yaitu sebagai seorang Khatib dan
pedagang (batik). Melihat keadaan umat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan
penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak
mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis, oleh
karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai
khatib dan pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya
mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar keluar kampung
Kauman, bahkan sampai keluar daerah dan keluar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan
tersebut maka didirikanlah perserikatan Muhammadiyah, serta mendirikan organisasi untuk kaum
perempuan dengan nama Aisyiyah yang disitulah istri K.H. Ahmad Dahlan, Nyi Walidah Ahmad
Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya. Di samping memberi kegiatan
pelajaran/pengetahuan kepada laki-laki, beliau juga memberikan pelajaran kepada kaum ibu muda
dalam forum pengajian yang disebut “sidhratul muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-
anak laki-laki, dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang sudah dewasa. Di samping
memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga
mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai-dengan 1918 beliau telah mendirikan Sekolah
Dasar 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan.
Tahun 1921 diganti namanya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah
menjadi dua, laki-laki sendiri dan perempuan sendiri, dan akhirnya tahun 1930 namanya dirubah
menjadi Mu‟allimin. Untuk lebih lengkap lihat Y.B. Sudarmanto, Jejak-jejak Pahlawan dari
Sultan Agung hingga Syekh yusuf, (Jakarta: Rasindo, 1996), hal. 64
49
murid-muridnya yang berada di organisasi Budi Utomo untuk mendirikan sebuah
lembaga yang permanent.4
Di kampung Kauman inilah yang terletak disekitar keraton, terkenal
penduduknya taat beragama. Pada abad ke sembilan belas di sana ada seorang
alim ulama bernama Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Sulaiman yang menjabat
sebagai Khatib di mesjid besar kesultanan Yogya. Pada tahun 1868 M keluarga H.
Abubakar dikaruniai Tuhan seorang putera yang ke empat. Kepada sang bayi
lelaki yang baru lahir itu diberi nama Muhammad Darwisy (nama sewaktu masih
kecil K.H. Ahmad Dahlan) yang kelak mendirikan ormas Islam Muhammadiyah,
akan tetapi hari kelahirannya belum diketahui dengan pasti selain tahunnya saja.
Adapun silsilah Muhammad Darwisy, sepanjang pengetahuan penulis
ialah Muhammad Darwisy bin Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Sulaiaman bin
Kiai Murtadha bin Kiai Ilyas bin Demang Jurang Juru Kapido bin Demang
Jurang Juru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin
Maulana Mohammad Fadlul‟llah (Prapen) bin Maulana „Ainun Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim aliyullah.5
Sebagaimana halnya anak-anak kecil lainnya. Muhammad Darwis diasuh
serta didik oleh kedua orang tuanya, dan diajarkan membaca Al-Qur‟an di
rumahnya dan ditempat yang lain. Sebenarnya secara ekonomi K.H. Abu Bakar
mampu untuk menyekolahkan putera-puterinya, akan tetapi karena sekolah-
sekolah pada waktu itu dibawah manajemen Kolonial Belanda, akhirnya beliau
4 Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996),
hal. 84 5 Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya, (Ciputat- Tangerang, Al
Wasat Publising House, 2009) hal. 56
50
memilih untuk mengajarkan putera-puterinya yang berjumlah tujuh (7) orang6, di
pesantren Kauman yang dipimpinnya..
Seorang Orientalis Belanda, Pijper, mengatakan bahwa Muhammadiyah
timbul sebagai reaksi atas politik Pemerintah Hindia-Belanda yang berusaha
menasranikan orang Indonesia. Agaknya statement Pijper mendekati benar, kalau
boleh dibilang benar, karena menurut K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri
pertama Muhammadiyah, sebagai orang yang pertama merespons tentang efek
yang ditimbulkan dari meningkatnya kegiatan Misi Kristenisasi di Indonesia.
Namun dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, menentang dan melawan peran
aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi secara langsung
itu tidak mungkin,7 baginya membangun kesadaran kaum muslim tentang akibat
dari kegiatan Misi Kristenisasi tersebut merupakan sesuatu yang lebih efektif dan
strategis.
Menurut Alwi Shihab ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya
gerakan Muhammadiyah, internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan erat
dengan kondisi keberagamaan umat Islam Indonesia yang dianggap telah
menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, maka Muhammadiyah
muncul sebagai respons terhadap pertentangan yang berlangsung lama dalam
masyarakat Jawa. Pada masa itu, keyakinan keagamaan dalam masyarakat Jawa
6 Tujuh orang putera-puteri K.H. Abu Bakar yaitu lima orang perempuan (Nyi.Hj.Khatib
Hasan, Nyi.Hj. Muchsin, Nyi.Hj. Muhammad Saleh, Nyi.Hj.Abdurrahman, dan Nyi.Hj.
Muhammad Fakih) dan dua orang laki-laki (K.H. Ahmad Dahlan, dan H. Muhammad Basyir) 7 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi
Misi Kristenisasi di Indonesia, hal 160
51
sangat diwarnai oleh pengeruh takhayul, khurafat, mitologi, dan sebagiannya yang
berbau sinkretisme (kejawen).8
. Sementara faktor eksternal disebabkan kebijakan politik Belanda
mengenai dibolehkannya umat Islam Indonesia melakukan ibadah haji ke tanah
suci, dari sanalah pengaruh ide-ide dan pemikiran gerakan dari Timur Tengah
mulai masuk ke dalam pemikiran beberapa tokoh dan pemimpin Islam Indonesia,
sehingga mempercepat masuk dan berkembangnya gerakan Muhammadiyah,
maka kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaharu
Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke 20. Pada
masa itu di Timur Tengah, khususnya di Mesir Jalaludin Al-Afghani (1839-
1897)9, di Mesir Muhammad Abduh (1849-1905)
10, dan Rasyid Ridha (1865-
8 Sazali, Muhammadiyah dan Masyrakat Madani; independensi, rasionalitas, dan
pluralisme, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005) hal 73-74 9 Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan didekat Kabul, Afghanistan pada tahun 1939 M dan
meninggal di Istambul, Turki pada 1897 M. Adapun pokok-pokok pemikirannya dalam masalah
keagamaan antara lain: Pertama, Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa pada segala
masa. Kedua, untuk menjawab segala perkembangan dan tantangan zaman yang senantiasa maju
karena perkembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi, maka pendirian bahwa pintu ijtihad tetap
terbuka adalah pendirian yang benar, sebab hanya dengan jalan ijtihad tantangan tersebut dapat
dijawab. Ketiga, umat Islam dimana-mana terlihar dalam perpecahan dan kehancuran. Hal tersebut
terjadi karena lemahnya tali persaudaraan, lemahnya rasa ukuah Islamiyah dan solidaritas Islam,
sehingga ia menyerukan Pan Islamisme.
Di samping pemikiran keagamaan seperti diatas, Jalaluddin Al-Afghani juga banyak
berbicara dan berbuat dalam bidang politik antara lain: Pertama, tidak henti-hentinya
mengingatkan kepada dunia Islam terhadap ancaman dan bahaya penjajahan bangsa-bangsa Barat.
Kedua, dunia Nasrani, (Kristen) sekalipun berbeda-beda dalam keturunan dan kebangsaan,
manakala menghadapi Timur, khususnya Islam, mereka bersatu untuk menghancurkan negara
Islam. Ketiga, Perang Salib masih tetap berkobar sepanjang masa, demikian juga semangat panatik
petapa Pertrus. Keempat, harus diciptakan suatu kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara
yang didalamnya juga ditentukan batas-batas kekuasaan dan kewenangan dari pada penyelenggara
negara agar dengan demikian para pengusa tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang
dalam memimpin negara (despotisme). Lebih lanjut lihat, Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan
Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal. 19-20, dan lihat.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakatra: Bulan
Bintang, 1975), hal. 51-57 10
Muhammad Abduh, dilahirkan disuatu desa di Mesir pada tahun 1849 M dan
meninggal pada tahun 1905. Sesudah menamatkan studinya di Universitas Al Azhar dengan
predikat “alim (Cum-Laude), kemudian ia diangkat sebagai dosen di Universitas Al Azhar itu juga.
Muhammad Abduh memegaskan bahwa umat Islam hanya bisa bangkit dari kenistaan hidupnya
52
1935)11
, yang tengah gencar-gencarnya mempelopori gerakan pembaharuan Islam.
Begitu juga K.H. Ahmad Dahlan sebelum memdirikan Muhammadiyah termasuk
salah seorang yang menerima pengaruh gagasan-gagasan dan penafsiran Abduh
tentang perlunya reformasi dan pembaharuan dalam pendidkan keagamaan.
Faktor-faktor yang mendukung lainnya Muhammadiyah berdiri di
Indonesia antara lain adalah:
kalau mereka mau membekali jiwa dan semangat berkorban semata-mata karena Allah SWT
dengan menjadikan Al Qur‟an dan Hadis sebagai pedoman hidupnya.
Adapun pokok-pokok pemikiran Muhammad Abduh antara lain: pertama, sebab musabah
yang membawa kemunduran umat Islam karena adanya kejumudan atau kebekuan berpikir
dikalangan umat Islam, yaitu kebekuan dalam memahami ajaran-ajaran Islam, dalam hal ini
populer sekali ucapannya yang berhubungan dengan jumudnya umat Islam Al-Islamu Mahjubun
bil muslimin, artinya ajaran Islam tertutup kesempurnaannya oleh umat Islam sendiri. Kedua,
ajaran Islam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal fikiran. Oleh karena itu,
agama Islam adalah agama yang sesuai dengan akal. Ketiga, ajaran Islam pasti sesuai dengan
pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran agama Islam, maka
oleh sebab itu, umat Islam harus sanggup mendalami ilmu pengetahuan modern. Keempat, satu-
satunya usaha yang harus ditempuh untuk memajukan ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam
ialah dengan mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. lihat, Sutarmo,
Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2005), hal.20-21. dan lihat. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, (Jakatra: Bulan Bintang, 1975), hal. 58-68 11
Rasyid Ridha adalah salah satu murid dari Muhammad Abduh yang sangat cerdas dan
pandai, serta murid yang paling disayangi dan dekat dengan gurunya Muhammad Abduh,. Rasyid
Ridha dilahirkan disebuah desa Libanon pada tahun 1865 dan wafat pada tahun 1935. Pokok-
pokok pikirannya dalam pembaharuan Islam dapat dikatakan hampir sama dengan Jalaluddin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha pun dikenal sebagai seorang politikus yang sangat
cermat dan kritis.
Adapun pokok-pokok pikiran pembaharuannya antara lain: Pertama, paham umat Islam
tentang agamanya serta tingkah laku mereka banyak menyeleweng dari ajaran Islam yang suci
murni. Untuk itu umat Islam harus dibimbing ke jalan Islam yang sebenarnya, yang bersih dari
segala macam bentuk bid‟ah, khurafat, serta syirik. Kedua, agar segera terwujud kesatuan dan
persatuan umat Islam, sekali-kali jangan didasarkan pada kesatuan bahasa atau bangsa, tetapi atas
dasar kesatuan iman dan Islam. Di samping itu, dianjurkan kepada umat Islam agar dijaga
kerukunan umat Islam atas dasar penuh toleransi atau tenggang rasa sekalipun mazhab mereka
berbeda-beda. Ketiga, kaum wanita harus diikutsertakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Keempat, sebagian paham dan ajaran kaum sufi dianggapnya memperlemah agama Islam karena
mereka melalaikan tugas kewajibannya diatas dunia, mereka menanamkan paham yang pasif,
pasrah pada keadaan tanpa berusaha dan berikhtiar. Padahal yang benar ialah bahwa ajaran Islam
adalah agama yang penuh dinamika dan optimisme, yang mendorong umatnya agar aktif mengolah
bumi untuk mendapat kenikmatan Allah dan mensyukurinya. Lihat Sutarmo, Muhammadiyah:
Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal.21-22. dan
lihat. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakatra:
Bulan Bintang, 1975), hal. 69-76
53
1. Munculnya Gerakan Modern Islam di Indonesia.
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban
yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada massanya.
Kemunduran progressif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah
Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan
warga Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah
gerakan wahabi, sebuah gerakan reformis puritan (salafiah), gerakan ini
merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuaan Islam abad
ke-20 yang lebih bersifat intektual.12
Di antara sekian banyak daerah muslim di Asia Tenggara, kepulauan
Nusantara merupakan bagian terpenting, paling tidak sejak awal abad ke-19 M,
sebagaimana diakui oleh Alfian (1989), telah muncul bibit-bibit baru
pembaharuan yang bercorak Wahabi yang ditandai dengan kepulangan tiga orang
haji dari studinya di Mekkah.13
Berkembangnya ide-ide pembaharuan Islam dari
Timur Tengah ke wilayah Nusantara itu menjadi sangat mungkim, karena salah
satunya adalah semakin meningkatnya jema‟ah haji Indonesia sejak akhir abad
ke-19 M hingga awal abad ke-20 M jema‟ah haji tersebut bukan hanya untuk
menunaikan ibadah haji semata-mata, akan tetapi hal yang sangat penting adalah
semangat besar untuk belajar Islam langsung dari tempat Islam itu sendiri. Oleh
sebab itu, tidak dapat dielakan lagi bahwa pelajar dari tanah Jawa (K.H. Ahmad
Dahlan) bersentuhan dengan gagasan pembaharuan yang sedang brkembang di
12
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), hal. 257 13
Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2005), hal. 88
54
Timur Tengah pada saat itu, hampir dapat dipastikan bahwa dari kelompok inilah
yang menjadi pergerak utama pembaharuan di kepulauan Nusantara pada awal
abad ke-20.
2. Sikap Beragama Masyarakat Jawa
Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia-Belanda (Indonesia),
terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang
bersifat animistik, yang kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang
dari Hindu dan Budha, maka terbentuk filsafat baru berupa kepercayaan terhadap
kekuatan gaib yang animistik, maka bentuk-bentuk kepercayaan baru tersebut
berupa percaya ruh-ruh nenek moyang yang dianggap jelmaan dari Tuhan.
Kepercayaan semacam itu memberikan kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan
dalam cara-cara berkomunikasi denga Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika Islam datang ke Indonesia, kepercayaan-kepercayaan tradisional
masih melekat. Kedatangan ahli-ahli tasawwuf itu pada masa perkembangan dan
penyebaran, ahli-ahli tasawwuf dari Persia dan India, tetapi masih berkisar di
pulau Jawa dan Sumatera.14
Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat,
masuk ke Nusantara bercorak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India,
seperti sistem kepercayaan Hindu-Budha, sehingga dengan demikian Islam dapat
masuk ke Nusantara dengan cara damai, karena diantara unsur-unsur terdapat
persamaan dengan pola kepercayaan dan pemikiran orang Jawa khususnya, dan
pulau-pulau di Nusantara lainnya.
14
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional
Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hal. 203
55
Hal ini memungkinkan terjadinya pembaruan antara keyakinan-keyakinan
tradisional dengan ajaran Islam yang bercorak tasawwuf, maka muncullah
keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Harry J. Benda menyimpulkan bahwa
Islam di Jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan kurang murni jika
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.15
Paling tidak bahwa untuk
jangka waktu yang lama sebagai pemenang agama di Jawa adalah agama
Kejawen, adat istiadat Jawa, feodalisme jawa, dan bukannya peradaban Islam
yang urban. Kemenangan agama Kejawen atas Islam dalam waktu yang cukup
lama itu menjadikan kehidupa umat Islam Jawa dilengkapi oleh kepercayaan
kepada ruh-ruh yang dianggap dapat mempengaruhi nasib, seperti kepercayaan
kepada keramat yang dimiliki orang-orang yang disucikan para dukun, dan
sebagainya. Semuanya masih menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa
terpisahkan sampai awal abad ke-20.
Dari keyakinan sinkretisme ini, maka bermunculan pengamalan ajaran
Islam yang menyimpang dari Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi, yang selanjutnya
tampil dalam bentuk takhyul, bid‟ah, dan khurafat. Keyakinan sinkretis ini sebagai
asimilass kebudayaa yang lama dengan ajaran Islam, dan itu kemudian melahirkan
apa yang disebut agama Jawa atau Kejawen.16
Maka sebagai respons dari hal
tersebut di atas muncullah Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi yang
dibawakan oleh K.H. Ahmad Dahlan.
15
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hal. 31 16
Geertz memakai istilah Kejawen dihadapkan dengan kelompok santri. Kelompok
kejawen cirri-cirinya adalah tidak menjalankan ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, haji, dll,
tetapi tetap mengaku sebagai pemeluk Islam. Lebih lengkap lihat Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jawa, 1983), hal. 13
56
3. Pendidikan, Kristenisasi dan politik Hindia-Belanda
Kedatangan agama Kristen tidak bisa dipisahkan dari kedatangan
penjajahan kolonialisme ke Indonesia, dengan dimulainya penaklukan Malaka
oleh Portugis pada tahu 1511, yang disusul oleh kedatangan Belanda dengan
melakukan politik etis mencerminkan peralihan penting dalam strategi pemerintah
Kolonial ke arah Misi Kristenisasi di Indonesia. Kebijakan nertalitas agama yang
digemborkan oleh Belanda hanya isu dan isapan jempol saja, Belanda mempunyai
kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang Kristen pribumi di Indonesia, untuk
memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan Misi Kristenisasi di
Indonesia.17
Umat Islam menganggap agama Kristen baik Katolik maupun
Protestan adalah agama kaum Kolonial yang ingin menjajah negeri ini dan
menukar agama rakyat, akibatnya, pemberontakan yang timbul menentang
penjajahan itu di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, yang sebagian besar
merupakan pemberontakan yang bermotif agama.
B. Perkembangan Muhammadiyah Era K.H. Ahmad Dahlan
Muhammadiyah didirikan untuk menegakan dan menjungjung tinggi
agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya.
Atas berdirinya organisasi Muhammadiyah, maka reaksi terhadap
organisasi itupun datang dari berbagai pihak, yang bersifat positif maupun negatif.
Reaksi positif datang dari “kaum muda” (kelompok Boedi Oetomo), yang
memang merasa se-ide dan sejalan dengan gerakan Muhammadiyah dalam
17
Alwi shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi kristenisasi di Indonesia, hal 44
57
perubahan ajaran-ajaran yang dianggap (sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
rasulullah SAW) dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sementara reaksi negatif
jelas terlihat oleh Pemerint Kolonial Belanda, yang walaupun secara de-yure,
Pemerintah Kolonial Belanda mengizinkan berdirinya ormas Muhammadiyah,
namun pada kenyataannya Pemerintah Kolonial sangat mengkhawatirkan
berkembangnya gerakan Muhammadiyah, kekhawatiran Pemerintah Kolonial
Belanda memang sangat beralasan sebab, hanya organisasi Muhammadiyah yang
dianggap paling vokal dalam menyuarakan kebijakan-kebijakan Pemerintah
Kolonial, terutama mengenai statement pemerintah yang pada awalnya
mengatakan netral-agama, namun pada kenyataannya jelas Pemerintah Kolonial
Belanda sangat berkepentingan membela kegiatan Misi Kristenisasi, yang gencar
dilakukan oleh para zending protestan, baik hal dukungan politik maupun dana
yang jumlahnya tidak sedikit.
Karena itu, sejak Muhammadiyah didirikan selalu membangun sekolah-
sekolah, madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, serta mendirikan
majalah-majalah yang bernuansa Islam. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang
tertua dan terbesar jasanya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia di
antaranya: Kweekschool Muhammadiyah di Yogyakarta, Mu‟alimin
Muhammadiyah di Solo dan di Jakarta, Mu‟alimat di Yogyakarta,
Zu‟ama/Za‟imat di Yogyakarta, Kulliyah Muballighin/Muballighat di Padang
Panjang, Sumatera Tengah, Tabligh Scool di Yogyakarta, H.I.K. Muhammadiyah
di Yogyakarta, H.I.S. Muhammadiyah, MULO, A.M.S. Muhammadiyah, dan
madrasah lainnya.
58
Sejak didirikannya Muhammadiyah 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan,
tahun-tahun pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara
anggota-anggota pengurus, hingga tahun 1917 yang masih berkisar di daerah
Kauman, Yogyakarta saja. Organisasi Muhammadiyah mulai mengalami
perkembangan ke beberapa pulau Jawa dan luar pulau Jawa sejak 1917, yang
dimulai dengan adanya kongres Budi Utomo yang diselenggarakan di rumah K.H.
Ahmad Dahlan dan atas usalan meraka agar muhammadiyah membuka cabang-
cabangnya. Pada tahun 1920 Kegiatan Muhammadiyah meliputi daerah pulau
Jawa dan pada tuahun Berikutnya mulai tersebar ke berbagai wilayah di
Indonesia.
Cabang Muhammadiyah yang berada di luar pulau Jawa pertama kali
didirikan di Sumetera Barat yaitu Minangkabau, Muhammadiyah di sana didirika
oleh H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Tahun 1925 ia mulai mendirikan
cabang muhammadiayah di sana, setelah ia melakukan kunjungan ke Jawa. H.
Abdul Karim Amrullah mengubah sebuah organisasi lokal yang bernama Sendi
Aman Tiang Selamat dijadikan sebagai cabang Muhammadiyah di Minangkabau,
dan pada tahun yang sama juga murid-murid dari H. Abdul Karim Amrullah ikut
menyebarkan organisasi ini ke seluruh Minangkabau.
Pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah melebarkan sayapnya
memperluas ke luar Jawa dan secara bertahap berkembang menjadi salah satu
Organisasi Indonesia yang terbesar sebelum Perang Dunia II18
. Pada tahun 1925
organisasi Muhammadiyah memiliki 29 cabang dengan 4000 anggota, di bidang
18
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta :Gema Insani
press 1996) hal 134
59
pendidikan telah mendirikan 8 Hollan Inlanndse School Muhammadiyah sebuah
sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah Sekolah Dasar lima tahun, dan 1 buah
Schakelschool, 14 Madrasah, seluruhnya dengan 119 orang guru dan 4000 murid.
Dalam bidang sosial telah terdapat dua buah klinik di Yogyakarta dan
Surabaya, di daerah itu sekitar 12000 pasien memperoleh pengobatan.
Muhammadiyah juga membangun rumah miskin dan dua rumah yatim piyatu.19
Tahun 1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu,
Banjarmasin, dan Amuntai, sedangkan pada tahun 1929 Muhammadiyah tersebar
ke daerah Aceh dan Makasar, memiliki 1.9000 anggota Muhammadiyah, ini
semua tercatat sebagai peserta-peserta kongres yang berasal dari semua pulau
yang ada di Indonesia kecuali Kalimantan, dalam acara kongres tersebut
Muhammadiyah telah menerbitkan sejumlah 700.000 buah buku maupun brosur.
Di Solo telah membuat sebuah klinik mata dan di malang telah membuat sebuah
klinik yang lainnya.
Pada tahun 1930 kongres Muhammadiyah yang diadakan di luar pulau
Jawa, yaitu Bukit Tinggi, tercatat sebanyak 112 cabang-cabang dengan 2.4000
anggota. Keanggotaan Muhammadiyah bertambah menjadi 43.000 pada tahun
1935 dengan 710 cabang-cabang termasuk 316 di pulau Jawa, 286 di Sumatera,
79 di Sulawesi dan 29 di Kalimantan. dan pada tahun 1938 berkembang cabang-
cabang serta 898 kelompok yang belum berstatus cabang, seluruhnya ada 250.000
anggota Muhammadiyah.20
Di samping itu Muhammadiyah pun telah memelihara
834 Masjid dan langgar, 31 perpustakaan dan 1774 sekolah. Oleh karena itu
19
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hal 95 20
Deliar Noer, Gerakan, hal 95
60
tidaklah berlebihan jika Prof. Deliar Noer menyebutnya sebagai Muhammadiyah
sebagai “organisasi sosial Islam terpenting di Indonesia”. Bahkan seorang penulis
Barat James L. Peacock, mengatakan “Muhammadiyah telah membuktikan dirinya
sebagai organisasi pembaharuan Islam yang paling kuat di Asia Tenggara.
Bahkan mungkin di Dunia”.21
C. Metode dan Bentuk Gerakan Dakwah Muhammadiyah Era K.H. Ahmad
Dahlan.
Lahirnya gerakan Muhammmadiyah yang bertujuan untuk memurnikan
Islam di Indonesia, karena memang pada masa itu, K.H. Ahmad Dahlan,
memandang masyarakat Islam Indonesia sedang ditimpa berbagai macam krisis,
banyak umat Islam mengamalkan ritual dan berbagai tradisi yang pada dasarnya
tidak sesuai dengan tuntunan agama yang berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis.
Mereka telah melakukan bid‟ah, khurafat, dan syirik, sehingga hal inilah yang
menyebabkan mereka jauh dari tuntunan agama yang sebenarnya.
K.H. Ahmad Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal
untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh,
menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin umat ke jalan yang benar
dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan agama Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik
harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (Dakwah) kepada seluruh umat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
21
James L. Peacock, Pembaharuan dan Pembaharuan Agama. (Yogyakarta:
Hanindinata, 1983) hal 8
61
Berangkat dari pemikiran di atas tadi, dan secara subyektif K.H. Ahmad
Dahlan dalam memahami pesan-pesan Al-Qur‟an, terutama QS. Ali Imran: 104,
secara eksplisit merupakan perintah untuk melakukan dakwah amar makruf nahi
munkar.
Dalam Al-Qur‟an Allah SWT, berfirman:
)۴۰۱(
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar,22
merekalah orang-orang yang beruntuk” (QS. Ali-Imran: 104)
Maka untuk merealisasikan gerakannya itu, K.H. Ahmad Dahlan
mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai pembaharu Islam di bumi
Nusantara, dengan tujuan ingin mengadakan pembaharuan dalam cara berpikir
dan beramal menurut agama Islam, serta mengajak umat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut Al-Qur‟an dan Hadis
1. Metode Dakwah dan Bentuk Dakwah
Sebelum Muhammadiyah didirikan, lembaga pendidikan yang dimiliki
umat Islam Indonesia barulah berupa pondok pesantrean yang tidak memenuhi
tuntunan dan kehendak zaman, yang memiliki sistem pelajaran secara tradisional,
tanpa kurukulum, tanpa tahun ajar, tanpa administrasi, dengan murid-murur duduk
22
Ma‟ruf artinya segala jenis perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan
Munkar artinya segala jenis perbuatan yang menjauhkan kita dari Allah.
62
melingkar disekelilingi guru. Maka dengan melihat keadaan seperti itu, K.H.
Ahmad Dahlan tergerak untuk memberikan pencerahan melalui pengajaran
dirumahnya kepada laki-laki dan perempuan dengan menggunakan metode papan
tulis, dan kapur, bangku, serta alat peraga, sebenarnya sekolah ini awalnya berupa
sebuah pengajian yang menggabungkan sstem pengajaran pesantren dengan
pendidikan Barat.
Selanjutnya langkah K.H. Ahmad Dahlan dalam merintis jalan
pembaharuan dikalangan umat Islam Indonesia, misalnya membetulkan arah
Kiblat23
yang tidak tepat menurut semestinya. Dengan semangat memurnikan
ibadah dan dengan berdasarkan perhitungan ilmu falak (astronomi) yang
dimilikinya, beliau menjadi orang kedua di Indonesia setelah Syekh Arsyad al-
Banjari yang berupaya meluruskan alah kiblat langgar, mushalla, dan mesjid di
Indonesia yang kala itu tidak mengarah persis ke Ka‟bah Baitullah di Mekkah.
Disamping itu untuk menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap tanah air
Indonesia, maka pada tahun 1918 Muhammadiayh mendirikan kepanduan yang
bernama Hizbul Wathan (HW) yang artinya pembela tanah air, dari sinilah
ditanamkan kesadaran rasa kebangsaan dan rasa bertanah air kepada generasi
muda agar disiplin, bekerja keras, dan juga juga menjalankan syariat ajaran Islam,
serta sebagai salah satu pertahanan bangsa dari kolonial Belanda.
Sebagai gerakan yang mengedepankan penegakan ajaran agama Islam di
indonesia, maka dalam melakukan dakwah-dakwahnya melalui pengajian, K.H.
Ahmad Dahlan senantiasa menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
23
Abdul munir mulkan, Pemikiran K.H. Ahmad dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal 18
63
Yogyakarta memakai nama lain , misalnya cabang Muhammadiyah di Pekalongan
dengan nama Nurul Islam, di Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di garut
dengan nama Ahmadiyah, dan sedangkan di solo berdiri perkumpulan Sidiq
Amanah Tabligh Fathonah (SATF). Bahkan di kota Yogyakarta sendiri Ahmad
Dahlan menganjurkan adanya jemaah dan perkumpulan untuk mengadakan
pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Adapun perkumpulan-
perkumpulan dan jemaah-jemaah ini mendapat bimbuingan dari Muhammadiyah,
diantaranya Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub, Priya Ulama, Dewan Islam, wal-Fajri, wal-Ashri dan yang
lainnya.24
Hidup K.H. Ahmad Dahlan seluruhnya diabdikan untuk tegaknya agama
Islam di Indonesia dan terbebasnya Indonesia dari kolonial penjajah. Selama
beliau sakit menjelang wafatnya, paling tidak ada dua dokter yang pernah
menangani dan merawat, ia adalah dokter Van den Borno (Jerman) dan dokter
Zede (Belanda). Sesudah beliau menderita sakit yang paling lama, akhirnya pada
tanggal 23 Februari 1923 M, dalam usia 55 tahun, atau yang bertepatan dengan
tanggal 7 Rajjab 1340 H beliau berpulang ke rahmatullah (wafat) bertempat di
rumah kediamannya di kampong Kauman Yogyakarta.25
Zenajah beliau
dikebumikan di makam Karangkajen, Kemantren Mergangsan, yang letaknya dua
setengah kilometer di sebelah tenggara dari ibu kota Yogyakarta.
24
Junus salam, K.H Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, hal 99 25
Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan, hal. 69-70
64
64
BAB IV
RESPONS MUHAMMADIYAH ERA K.H. AHMAD DAHLAN
TERHADAP KRISTENISASI
A. Pandangan Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi.
Semenjak kedatangan kolonial Belanda ke Nusantara berkaitan dengan
penyebaran Protestan, maka agama Katolik tidak diakui oleh Protestan yang
dibawa oleh Belanda, malah sebaliknya yang sudah memeluk agama Katolik
ditekan unuk pindah ke Protestan, termasuk masyarakat pribumi Nusantara yang
mayoritas agama Islam menjadi target selanjutnya untuk dikonversikan kepada
Kristen.
Sebenarnya tidak ada kegiatan dalam bidang agama pada zaman VOC
(Vereenign de Oost Indische Compagnie) selama berkuasa lebih dari dua ratus
tahun di Nusantara, pemerintah Belanda telah mengirimkan sebanyak 245
pendeta ke Hindia-Belanda, terutama ke daerah bekas koloni Portugis dan Spayol
di Maluku, Minahasa, dan lain-lain, dalam rangka menyebarluaskan agama
Kristen.
Beberapa pendeta ditempatkan di daerah Jawa pada kota-kota yang
didiami orang-orang Eropa, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, walaupun
tugas pertama mereka adalah memberi pelayanan terhadap orang-orang Eropa,
dan juga mereka memberi pelayanan kepada pribumi yang sudah masuk Kristen.
Maka ini bisa dilihat di Batavia, selain jemaah orang-orang Belanda, ada juga
jemaah dari “melayu” yang berasal dari orang-orang Maluku.
65
Minimnya hasil Kristenisasi di Jawa yang dilakukan oleh para zending
Protestan, ini sangat berkaitan dengan dukungan pemeritahan kolonial Belanda.
Sangat berbeda dengan Katolik yang di bawa oleh Portugis, mereka melakukan
propaganda agama sebagai salah satu alasan ekspansinya. Hal yang berbeda
dengan orang-orang Belanda, terutama VOC, mereka mempunyai tujuan-tujuan
yang sifatnya duniawi, yang lebih mementingkan mereka untuk merauk rempah-
rempah, ketimbang menyebarluasakan agama Kristen kepada pribumi di pulau
Jawa.
Dengan dibentuknya masyarakat misionaris Nederlandshe Zending
Genotschap (NZG) merasa prihatin melihat situasi seperti ini, maka diutuslah
pendeta Van Rhijn pada tahun 1847, untuk melakukan peninjauan terhadap
pengembangan agama Kristen. Sehingga kritik yang diberikan pendeta inilah yang
menyebabkan betul-betul dimulainya Kristenisasi babak baru, dengan dibuktikan
pengiriman misionaris Jellesma tahun 1948,1 maka perhatian Belanda untuk
mengkristenkan kaum pribumi merupakan hal yang cukup baru dan agresif.
Sebaliknya akan menjadi momok yang sangat menakutkan dan
meresahkan bagi umat Islam jika konversi agama dilakukan secara gencar,
agresif, dan terlembagakan serta dilakukan kepada orang-orang yang sudah
mempunyai agama. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh kolonial Belanda
pada saat menjajah di bumi Nusantara ini yang menerapkan kebijakan netralitas
terhadap agama, tidak memihak kepada agama tertentu, dan tidak memandang
1 C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985),
hal. 5-6
66
agama tertentu pula sebagai sesuatu yang berbahaya.2 Akan tetapi ini adalah
isapan jempol belaka yang diterapkan oleh kolonial belanda, akan tetapi dibalik
itu semua, melalui para zendingnya, mereka gencar melakukan berbagai cara
terhadap umat Islam Indonesia agar pindah agama kepada Kristen. Inilah yang
sebenarnya menjadi salah satu titik permasalahan bagi K.H. Ahmad Dahlan,
sehingga ia mendirikan ormas Islam yang bernama Muhammadiyah.
Sebelum K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, beliau terlebih
dahulu melihat fenomena sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat pada saat
itu, menurutnya antara lain :
1. Kehidupan beragama tidak sejalan lagi dengan Al-Qur‟an dan Sunnah,
sehingga merajalelanya perbuatan syirik, bid‟ah, khurafat,3 dan akhlak
masyarakat yang runtuh sehingga menyebabkan Islam jadi beku.
2. Khususnya untuk umat Islam dan umumnya rakyat Indonesia hidup dalam
kemiskinan, kebodohan, kekolotan, kemunduran, serta tidak terwujudnya
semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak ada organisasi Islam yang kuat
dan kompak.
3. Lembaga pendidikan Islam (pesantren) tidak memenuhi dan fungsinya
dengan baik, tidak efesien, dan juga sistem pesantren yang sudah kuno.
2 Sudarno, Shobron, Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Histories, Idiologis, Dan
Organisasi, (Surakarta: LPID Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008, cet. Ke- VII), hal. 50 3 Syirik adalah perguatan yang mensekutukan Allah, baik kekuaaan-Nya, Kebesaran dan
Keagungannya dengan sesuatu, sehingga orang yang mensyirikkan Allah disebut musyrik.
Sedangkan Khurafat adalah mempercayai takhyul, mempercayai mitos-mitos, atau mempercayai
dongeng-dongen yang seolah-olah dibenarkan dalam agama Islam. Adapun Bid‟ah adalah
perbuatan, tindakan, atau bacaan dalam agama Islam berlebihan dari ketetapan yang sudah
digariskan oleh Al-Qur‟an dan Hadits Nabi saw), atau lebih simpelnya menambah-nambahkan dari
yang sudah ditetapkan dalam peribadatan Islam. Lebih lengkap baca Abujamin, Roham,
Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald bekerjasama dengan PT. Inter Masa, 2009), hal.
667, dan 88
67
Selain itu ada juga faktor yang datangnya dari luar yang meliputi:
1. Merajalelanya kolonialisme Belanda di Indonesia.
2. Agresifnya kegiatan Kristenisasi yang dilakukan oleh para zending,
sehingga mencapai kemajuan di Indonesia.
3. Adanya rencana politik Kristenisasi dari pemerintah Belanda, untuk
kepentingan politik kolonialnya.4
Melihat persoalan di atas tadi, maka ada sebuah keresahan dari seorang
tokoh umat Islam Indonesia, sehingga puncaknya berdirilah ormas Islam
Muhammadiyah sebagai counter atas adanya kegiatan Kristenisasi pada saat itu.
Maka dalam pandangan Muhammadiyah era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan,
Kristenisasi memiliki concern yang cukup besar, sehingga beliau tergerak hatinya
untuk memperdayakan umat Islam Indonesia yang selama ratusan tahun
mengalami marginalisasi oleh kolonial di berbagai bidang kehidupan.
Kaitannya dengan kegiatan Kristenisasi, dalam pandangan K.H. Ahmad
Dahlan ini adalah konspirasi kolonial Belanda melalui kebijakan-kebijakannya
yang seolah-olah netral terhadap agama, tetapi dibalik itu semua adalah upaya
untuk mengkristenkan pribumi. Ini terbukti dengan kebijakan kolonial Belanda
yang menggunakan dua strategi, pertama, Belanda membuat kebijakan-kebijakan
yang sifatnya membendung, misalnya memantau, membatasi berbagai kegiatan
pengalaman ajaran Islam, kedua, Belanda melalui para zendingnya melakukan
Kristenisasi kepada penduduk Indonesia dengan berbagai cara, seperti membuat
sekolah, menterjemahkan Alkitab kedalam bahasa (Jawa, Indonesia, Melayu,
4 M. Margono Puspo Suwarno. Gerakan Islam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan,
1986, cet. Ke-3), hal. 27
68
Sunda), melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempat, seperti memakai
bangklo, memakai pakaian Jawa, memberikan lapangan pekerjaan melalui
penyediaan lahan pertanian, dan yang lainnya. Sehingga untuk mengatasi ini
semua menurut K.H. Ahmad Dahlan bukan dengan cara perlawanan fisik atau
konfrontasi, melainkan dengan jalan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan,
keagamaan dan sosial sebagai counter untuk menghambat kegiatan Kristenisasi.
B. Respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi
Sebenarnya selama era K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah memelihara
hubungan baik dan harmonis dengan kalangan Kristen, walaupun ada indikasi
mengenai terjadinya permusuhan antara kedua belah pihak, Muhammadiyah
dengan Kristen. Alasan logis K.H. Ahmad Dahlan, mengapa memilih untuk
berhubungan baik dengan Kristen, adalah beliau ingin berusaha menghindari
konfrontasi dengan pihak manapun, termasuk para misi Kristen. Sebaliknya beliau
memainkan peran melalui gagasasnya untuk menghambat kemajuan misi
Kristenisasi, dengan cara meningkatkan kesadaran Islami kepada para
pengikutnya. Maka alternatifnya menurut K.H. Ahmad Dahlan yang tepat yaitu
dalam bentuk persaingan melalui pembangunan lembag-lembaga pendidikan dan
keagamaan seperti mereka, ketimbang terlibat dalam perlawanan fisik atau
semacam konfrontasi langsung.5
Walaupun kegiatan misi Kristenisasi yang disebarluaskan oleh para
zending telah mengambil langkah-langkah besar, dan mempunyai dampak penting
di negeri ini, akan tetapi dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, menentang dan
5 Alwi, Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 160
69
melawan secara fisik, serta menghentikan dengan cara konfrontasi langsung
adalah suatu cara yang tidak efektif dan tidak strategis, menurutnya yang
terpenting adalah membangkitkan kesadaran kaum muslim mengenai akibat-
akibat yang akan muncul dari kegiatan misi Kristenisasi tersebut. Oleh karena itu
yang lebih efektif adalah membangun inspratuktur gerakan lebih diutamakan
daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Hal
inilah yang menyebabkan Muhammadiyah dibenci sebagian kalangan, karena
dicap mendukung rezim kolonial atau seperti tidak menentang dengan adanya
kegiatan Kristenisasi.
Lahirnya Muhammadiyah justru untuk membela dan menjunjung tinggi
agama Islam, dalam hal ini Muhammadiyah menyiarkan dan mengembangkan
agama Islam secara modern. Memberantas perbuatan syirik, bid‟ah, dan khurafat
yang tidak bersumber pada ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi saw.
Maka jalur yang ditempuh K.H. Ahmad Dahlan untuk mewujudkan cita-
cita tersebut ialah dengan mempergunakan berbagai jalan. Misalnya
menyelenggarakan tabligh, pengajian, kursus-kursus agama, mendirikan
madrasah-madrasah dari tingkat bawah sampai atas, mengajarkan agama-agama
pada sekolah-sekolah umum, menggunakan pengetahuan dan perhitungan secara
hisab dalam menentukan puasa Ramadhan, ataupun hari-hari raya Idul Fitri dan
Idul Adha.
Adapun Muhammadiyah era K.H. Ahmad Dahlan, dalam rangka
membendung misi Kristenisasi, yaitu dengan cara ikut mencardaskan rakyat,
karena di masa penjajahan, dimana pemerintah Kolonial Belanda menutup pintu
70
bagi rakyat kelas bawah untuk menuntut ilmu pengetahuan sebanyk mungkin, dari
tingkat terendah sampai tingkat teratas, maka K.H. Ahmad Dahlan melalui
melalui organisasi Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang
menggabungkan pelajaran agama dengan pelajaran umum, setingkat dengan
sekolah-sekolah negeri. Adapun bentuk sekolah zaman penjajahan sekolah-
sekolah seperti HIS, Kweekschool, dan AMS, dengan melihat rakyat Indonesia
jarang diberi kesempatan untuk mengenyam di sekolah tersebut, maka K.H
Ahmad Dahlan membuat gebrakan baru, yaitu mendirikan sekolah-sekolah
semacam itu HIS Muhamadiyah, Kweekschool Muhammadiyah, dan AMS
Muhamadiyah yang bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesai dari segala lapisan
dan golongan dengan menggunakan pelajaran agama Islam dan umum. Lebih dari
itu pembangunan sekolah-sekolah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
semata-mata untuk mengimbangi dan mencegah kemajuan Kristenisasi melalui
dunia pendidikan. Akibat dari penjajahan penghidupan rakyat sangat
menyedihkan, banyak anak-anak yang terlantar karena ditinggalkan oleh orang
tuanya, maka dikumpulkanlah anak-anak itu untuk dipelihara dan diberi
pendidikan, sebagaimana terjelma dalam bentuk adanya rumah yatim- piyatu.
Sebagai bahan perbandingan, sepirit Muhammadiyah sampai saat ini telah
memiliki sejumlah hasil amal usaha nyata di tengah-tengah umat, seperti Bidang
kesehatan (Rumah Sakit Umum) 43 buah; Rumah Sakit bersalin 31 buah; balai
pengobatan Ibu dan Anak 110 buah, dan Poliklinik sebanyak 205 buah. Dalam
bidang Panti Sosial (bidang kesosialan umum); Panti Jompo 54 buah; Panti
Asuhan 338 buah; Asuhan Keluarga 54 buah; Rehabilitasi cacat 82 buah. Di
71
bidang keekonomian; Bank Perkreditan Rakyat 19 buah; Baitul Tamwil/Baitul
Ma Wat Tamwil 190 buah; Koperasi 808 buah; balai pertemuan 656 buah. Di
bidang Pendidikan; Taman Kanak-kanak 3370 buah; Sekolah Dasar 1134 buah;
Madrasah Tsanawiyah 535 buah; Madrasah Aliyah 172 buah; Sekolah Menengah
Pertama 1181 buah; Sekolah Menengah Atas 512 buah; Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) 250 buah; Pondok Pesantren 57 buah; Mu‟allimin/Mu‟allimat 25
buah; Sekolah Luar Biasa (SLB) 71 buah; Universitas 36 buah; Sekolah Tinggi 66
buah; Akademi 61 buah, dan Politeknik 3 buah. Semuanya tersebar disegenap
pelosok tanah Air Indonesia.6
Artinya melihat keberadaan Muhammadiyah dari waktu kewaktu
mengalami peningkatan yang sangat signifikan bagi pertumbuhan dan sekaligus
sumbangsi Muhammadiyah dalam membangaun, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Di samping itu, sampai saat inipun Muhammadiyah masih tetap konsisten
dalam mencerdaskan ummat agar tidak terjadi kejumudan dan konversi agama,
maka sebagai bukti dikirimkanlah dai-dai muda Muhammadiyah keberbagai
wilayah pedesaan dan pedalaman untuk memberi pencerahan kepada ummat Islam
dan sekaligus sebagai counter atas terhadap maraknya praktik kristenisasi akhir-
akhir ini. Adapun upaya lain yang ditempuh oleh Muhammadiyah sekarang ini
dalam mencegah terjadinya Kristenisasi di masyarakat, maka Muhammadiyah
menerbitkan media cetak seperti majalah Tabligh yang konsen dalam
mengcounter isu Kristenisasi pada saat ini dan masa yang akan datang.