RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU: STUDI JURNAL PRISMA TAHUN 1979-1989 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Oleh: Lilis Shofiyanti NIM. 1111022000053 PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2016 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM
TENTANG PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU:
STUDI JURNAL PRISMA TAHUN 1979-1989
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
Lilis Shofiyanti
NIM. 1111022000053
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan mi saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi mi merupakan basil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana, jenjang Strata satu (Si)
di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan mi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negen (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian han terbukti bahwa karya mi bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menenima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 11 Oktober 2016
001 TE' MPE4
48CAEF1344
E IBURUPIAH - - -
Lulls ofivanti
111
iv
DEDIKASI
Didedikasikan untuk Ibundaku Tercinta Irawati, Ayahandaku Tercinta Suprapto
(Alm), dan kedua Kakakku Tersayang Malikul Kholil dan Khoirul Hadi.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat-Nya. Dia sang adi
kodrati. Dialah yang maha teliti dan tekun. Pemilik dan pengatur segala yang
tercipta. Raja di atas para raja yang ada. Dialah Tuhan Yang Maha Esa. Allah
SWT, karena cinta-Nyalah karya ini ada. Sudah sepatutnya tiap hembusan nafas
kita adalah jutaan rasa syukur kepada-Nya. Selanjutnya shalawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, sang insan kamil,
sang penyempurna akhlak, dan suri tauladan bagi umat semesta.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Tercinta Suprapto
(alm), meskipun jasatnya sudah tidak bersama namun petuahnya senantiasa
menjadi penyemangat penulis dan Ibunda Tercinta Irawati yang selalu
memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan do’a tanpa kenal lelah. Dan
juga penulis persembahkan untuk kedua Kakak Tercinta Malikul Kholil dan
Khoirul Hadi, yang senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
mereka.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam,
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tidak sedikit
kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun sedikit demi sedikit
akhirnya dapat terselesaikan juga berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan,
vi
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung. Segala kesulitan dapat penulis lewati dengan sebaik-baiknya sehingga
pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Nurhasan, MA, selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban
Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam
beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi kampus sehingga segalanya
menjadi mudah.
3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis selama menjadi
mahasiswa di SPI ini, baik yang berkenaan dengan surat menyurat ataupun
motivasi untuk terus berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
4. Dr. Halid, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah rela meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. Yang memberikan
banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber-
sumber skripsi, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan selama
dibimbing beliau.
5. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag., dosen pembimbing akademik yang
senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
vii
6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA., dosen penguji I sekaligus pembimbing
penulis. Yang selalu mengingatkan penulis untuk terus mengutamakan
pendidikan dan memberikan motivasi pada saat penulis mendapatkan
beasiswa bidikmisi.
7. Dr. Saiful Umam, MA., dosen penguji II dan juga dosen sejarah sekaligus
pembimbing penulis. Walaupun hanya beberapa semester saja dalam
perkuliahan namun beliau sangat memotivasi penulis. Ilmu yang diajarkan dan
motivasi yang disampaikan selalu membuat penulis semangat untuk senantiasa
belajar.
8. Prof. Dr. Oman fathurahman, M.Hum. Guru Besar Filologi Islam Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak pernah lelah untuk
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Segala bentuk
perhatian dan kasih sayang beliau kepada penulis sehingga seperti ayah
sendiri. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan, motivasi yang tak
pernah henti, dan beliau merupakan seorang dosen yang sangat menginspirasi
penulis.
9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar di lingkungan Prodi SPI
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
10. Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
BAB V : PENUTUP ................................................................................ 104
A. Kesimpulan .......................................................................... 104
B. Saran ...................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 109
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prisma1 merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga ini didirikan
pada tanggal 19 Agustus 1971, oleh kelompok kritis yang percaya pada
modernisasi. Berdirinya LP3ES sendiri dilandasi oleh adanya kesadaran kritis di
kalangan intelektual yang ahli dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik
Indonesia pada saat itu. LP3ES didirikan pada periode awal pelaksanaan Pelita I
dengan tujuan untuk pembinaan pengetahuan ekonomi, sosial kemasyarakatan
serta pengembangan pengetahuan secara lebih luas tentang keadilan sosial. LP3ES
dikenal sebagai organisasi non-pemerintah (ornop) yang bergulat di dunia
penelitian, pendidikan, dan penerbitan (penerangan).
Para penulisnya mayoritas adalah para cendekiawan, dan isu-isu yang
dimuat pun banyak memberikan kritik terhadap kinerja pemerintah pada masa itu.
Jurnal ini menjadi media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan
ekonomi, perkembangan sosial, dan perubahan-perubahan kultural di Indonesia.
Prisma menjadi sebuah bacaan ilmiah populer untuk komunitas intelektual,
mahasiswa, akademisi, bahkan para penentu kebijakan di pemerintahan maupun
1Merupakan jurnal yang menjadi buah bibir pada masa pemerintahan Orde Baru. Jurnal
ini ibarat menjadi “anak kesayangan” LP3ES. Jurnal ini sempat berhenti terbit pada 1998 dan
terbit kembali mulai 17 Juni 2009.
2
di dunia usaha dan berisi pemikiran-pemikiran alternatif,2 ringkasan hasil
penelitian, survei, hipotesis atau gagasan yang kritis dan segar tentang masalah
sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Menurut Ismid Hadad,3 Prisma sendiri bermaksud menangkap dan
menyeleksi pikiran-pikiran konstruktif atau pun kontroversial dalam masyarakat
serta membiaskan kembali sebagai pancaran pandangan-pandangan yang perlu
ditimbang dalam derap pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan
perubahan-perubahan kultural yang dialami Indonesia.4
Tepatnya pada 7 Juli 1970 sekelompok cendekiawan, akademisi, petinggi
pemerintahan, dan beberapa aktivis membentuk Perhimpunan Indonesia untuk
Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos).5 Setidaknya ada lima
nama yang dapat disebut sebagai perintis lahirnya Bineksos, antara lain: Nono
2Hal ini sesuai dengan penuturan Nono Anwar Makarim (salah satu perintisnya), bahwa
Prisma merupakan anak kandung dari LP3ES yang mana gagasan awal diterbitkannya Prisma
selaras dengan LP3ES yaitu untuk menjadikannya wadah alternatif sebagai persiapan buat para
aktifis melanjutkan perjuangannya. Karena hampir semua yang ikut mendirikan adalah kaum
aktifis gerakan 1966. Pada waktu itu ada sebuah gerakan aliansi mahasiswa dan ABRI yang
berencana untuk menegakkan apa yang waktu itu dinamakan „Orde Baru‟, akan tetapi mulai tahun
1967-1968 sudah mulai kelihatan tanda-tanda perpecahan antara mahasiswa, kesatuan aksi, dan
tentara. Pada masa itu mahasiswa benar-benar berkuasa, dan bisa mengatur banyak hal bahkan ada
sebanyak 13 mahasiswa yang menduduki kursi DPR. Nono Anwar Makarim menolak atas tawaran
yang diberikan kepadanya, yang saat itu mendapat jatah di kursi DPR, kemudian berfikir untuk
membagi tugas, ada yang harus masuk di dalam birokrasi, DPR, dan di luar itu. Pada saat itu yang
di luar hanya pers dan media massa. Akan tetapi dia berfikir bahwa media massa pun mudah
digempur, maka terpikirlah untuk membentuk semacam lembaga alternatif. Lihat Daniel
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003), h. 449-450. 3Direktur III LP3ES (1976-1980) dan juga sebagai redaktur/penanggungjawab jurnal
Prisma. 4Hal ini disampaikan oleh Ismid Hadad dalam “Pengantar Redaksi”. Baca Prisma No. 1
(tahun 1), November 1971, yang diterbitkan sebagai edisi “Perkenalan”. 5Bineksos merupakan organisasi berbadan hukum perkumpulan yang disahkan
Pemerintah Republik Indonesia lewat Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor Y.A. 5/36/12,
tertanggal 22 Januari 1973. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 26 April 1971, Friedrich
Naumann Stiftung (FNS), salah satu yayasan asal Republik Federasi Jerman, menjalin kerjasama
resmi dengan Pemerintah Indonesia.
3
Anwar Makarim6, Ismid Hadad
7, Dr. Emil Salim
8, Satrio B. Joedono, dan
Professor Soemitro Djojohadikusumo. Disamping mereka terdapat sejumlah nama
pendiri organisasi nirlaba tersebut, antara lain: Professor Dr. Ali Wardana,
Professor Dr. Selo Sumardjan, Dr. Suhadi Mangkusuwondo, Professor Dr.
Koentjaraningrat, Professor Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Dr. Taufik Abdullah, Dr.
Soedradjat Djiwandono, Dr. Zainul Yasni, Joewono Sudarsono, Bintoro
Tjokroamidjojo, Dorodjatun Kuntjojakti, Adam Malik, Daan Jahja, M. Yusuf
Ronodipuro, Harlan Bekti, Letnan Jenderal Ali Sadikin, dan lain-lain.
Bineksos mendapatkan bantuan teknis dari FNS9 yang sepenuhnya berada
di bawah pengawasan dan prosedur Departemen Perdagangan Republik
Indonesia.10
Pada 19 Agustus 1971, Ketua Pengurus Bineksos Emil Salim dan
Kepala Perwakilan FNS di Indonesia D.G. Wilke menandatangani sebuah
6Direktur Pertama LP3ES (1971-1973) dengan didampingi oleh D.G. Wilke sebagai
Wakil Direktur I. 7Wakil Direktur Kedua LP3ES (1973-1976). Kemudian menjadi Direktur Ketiga LP3ES
(1976-1980) dan didampingi M. Dawam Rahardjo sebagai Wakil Direktur III LP3ES. 8Emil Salim kemudian dipilih menjadi Ketua Pengurus Bineksos pertama didampingi
Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardana, dan Ali Sadikin sebagai Ketua Kehormatan. 9Orde Baru membuka Indonesia bagi modal asing yang mana salah satu modal
internasional yang ikut terserap adalah social capital dalam bentuk jaringan-jaringan internasional.
Dari sinilah hubungan dengan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) dirintis. Daniel Dhakidae dalam
“Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” menjelaskan bahwa modal adalah
sesuatu yang langka pada waktu itu, apalagi modal untuk mendirikan suatu yayasan. Namun, ada
suatu kebetulan yang membentu. Pada waktu itu Nono Anwar Makarim mengikuti suatu lomba
penulisan dan diundang membawakan karya tulisnya itu di Berlin. Di sana dia bertemu dengan
tokoh-tokoh gerakan mahasiswa Jerman dan beberapa orang dari yayasan-yayasan Jerman,
Stiftung, seperti Friedrich Naumann Stiftung. Itulah kontak pertama dengan Friedrich Naumann
Stiftung. Mereka mengirim Dieter Wilke ke Jakarta. Wilke sendiri adalah aktivis mahasiswa
Jerman yang banyak melakukan kontak dengan kaum aktivis Perancis seperti Daniel Cohn Bendit.
Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan.....Op.Cit., h. 450. 10
Perjanjian penerimaan bantuan ini ditandatangani Menteri Perdagangan Sumitro
Djojohadikusumo dan Kepala Perwakilan FNS di Indonesia, Dr. Dietrich G. Wilke. Pembentukan
Bineksos sesungguhnya tidak terlepas dari kemungkinan menjalin kerja sama dengan FNS yang
memerlukan sebuah organisasi sebagai counterpart-nya di Indonesia.
4
perjanjian.11
LP3ES yang secara resmi dibentuk pada 19 Agustus 1971
memperoleh bantuan dana kelembagaan dari FNS selama 10 tahun (1971-1981).
Fokus perhatian dan pilihan strategis ditekankan pada upaya investasi sumber
daya manusia. Pada awalnya, LP3ES didesain sebagai sebuah training group12
bagi pengembangan wawasan dan kapasitas kelompok usia muda agar mampu
berperan dalam menjawab persoalan dan tantangan yang ada.13
Menurut Adnan Buyung Nasution bahwa ketika pembangunan dimulai
pada awal dasawarsa 1970-an, masyarakat terutama kaum terpelajar sudah mulai
risau karena tekanannya yang terlalu kuat pada pertumbuhan ekonomi. LP3ES
membuka persepsi tentang bahaya pembangunan ekonomi yang hanya bertumpu
pada pertumbuhan, karena tidak akan tercapai tujuan atau sasaran pada
pemerataan dan keadilan. Hal itu dipelopori oleh pemikiran-pemikiran kritis
melalui hasil-hasil penerbitan dan penelitian yang dilakukan oleh LP3ES. Di
11
Wilke menjelaskan bahwa untuk mengejar tujuan-tujuan membantu pendidikan tenaga-
tenaga pimpinan Indonesia di bidang ekonomi dan sosial, khususnya di bidang pengembangan
sumber daya manusia usia muda, Bineksos dan FNS secara bersama-sama membentuk sebuah
perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksud adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). 12
LP3ES kerap menyelenggarakan pelatihan (diklat) misalnya metodologi penelitian
untuk mahasiswa, pelatihan pers mahasiswa dan jurnalistik radio, pelatihan untuk wartawan
daerah, lokakarya bagi penggiat LSM, dan sebagainya. 13
Sebagaimana dalam Anggaran Dasarnya, maksud dan tujuan LP3ES adalah pertama,
membina pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah pembangunan sosial
dan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Kedua, mengembangkan ilmu pengetahuan ekonomi dan
sosial pada umumnya mengingat pentingnya hal ini untuk pembangunan ekonomi dan perubahan
sosial di Indonesia. Ketiga, menyebarkan pengetahuan yang luas tentang keadaan sosial dan
ekonomi Indonesia kepada bangsa lain. Keempat, mengembangkan sumber daya manusia dan
masyarakat Indonesia khususnya di kalangan mereka yang berusia muda agar mampu menjawab
tantangan sosial dan ekonomi di masa mendatang. Kelima, bekerjasama dengan lembaga atau
organisasi lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dan sejalan dengan LP3ES.
5
sinilah lahir berbagai gerakan mahasiswa dan cendekiawan yang tidak terlepas
dari pengaruh sumbangsih yang diberikan LP3ES.14
Seperti yang diutarakan di awal, paling tidak selama dua dekade pertama
Orde Baru, LP3ES khususnya melalui Prisma telah memainkan peran yang sangat
penting dalam membuka cakrawala pemikiran bangsa kita, menciptakan dan
memantapkan kalangan terpelajar, dan memberi masukan berharga kepada
kalangan eksekutif, akademisi, mereka yang berkecimpung dalam dunia simbolik
serta masyarakat luas. Mochtar Pabottingi beranggapan bahwa semangatnya
produk-produk intelektual dalam bentuk tulisan lepas, kumpulan karangan, buku
utuh serta jurnal-jurnal ilmiah selama itu tak bisa lepas dari Prisma. Melalui
penerbitannya tiap nomor, Prisma telah meletakkan standar bagi bangsa kita
mengenai tulisan-tulisan ilmiah, terutama karena hampir semua tulisan yang
dimuatnya ditopang oleh penelitian.15
Proses pembangunan di negara-negara sedang berkembang seperti
Indonesia biasanya berhadapan dengan masalah sentralisasi yang ketat, dimana
pengambilan keputusan dan alokasi potensi sumber daya ekonomi lebih banyak
dimanfaatkan oleh pusat dan beberapa kota-kota besar yang ada. Sementara,
potensi sumber daya ekonomi, khususnya sumber daya alam, biasanya dimiliki
oleh daerah. Hal inilah yang mengakibatkan dilema bagi Indonesia dilihat dari
konteks hubungan pusat dan daerah-daerahnya. Posisi daerah dalam banyak kasus
sering berada dalam kondisi tarik menarik dengan pusat. Hal ini dilakukan untuk
14
Pada saat itu lahir gerakan-gerakan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa, misalnya
seperti Grup Diskusi Universias Indonesia (GDUI). Lihat Adnan Buyung Nasution, “LP3ES
Pelopor dalam Pemikiran Kritis” dalam Profil & Pendapat: Kenangan 30 Tahun LP3ES (Jakarta:
LP3ES, 2001), h. 10-11. 15
Lihat Mochtar Pabottingi, “Prisma Simbol Kaum Intelektual”. Ibid., h. 68-69.
6
kepentingan pembangunan daerah, tetapi selalu pemerintah daerah berada dalam
posisi yang tidak menentukan. Dengan demikian proses pembangunan daerah,
khususnya di negara yang menerapkan kebijaksanaan sentralisasi, selalu berada
dalam arahan pusat dan kurang memiliki inisiatif yang mandiri. Akhirnya
kelangsungan pembangunannya lebih banyak didorong oleh inisiatif dari pusat.16
Kurangnya inisiatif dari daerah disebabkan oleh faktor hegemoni
pemerintah pada masa itu. Pada masa Orde Baru, militer ibarat “anak
kesayangan” Soeharto, mereka banyak menempati kursi-kusrsi strategis dalam
pengambilan kebijakan pemerintahan. Militer pada saat itu mempunyai peran
yang sangat dominan dalam pengambilan kebijakan, termasuk di dalamnya yaitu
kebijakan tentang pembangunan ekonomi.
Para kontributor Prisma berusaha menjadikannya sebagai media atau alat
untuk mengkritisi rencana pembangunan-pembangunan ekonomi di Indonesia,
dalam hal ini, penulis ingin menganalisa tulisan-tulisan cendekiawan muslim
dalam jurnal Prisma tentang isu-isu pembangunan ekonomi Orde Baru. Pada
tahun 80-an Orde Baru sangat gencar melakukan pembangunan baik di bidang
industri, infrastruktur, maupun pertanian. Program pembangunan di era Orde Baru
dibentuk dalam program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang terdiri dari
rangkaian Pelita I sampai Pelita V. Di sinilah, banyak kritikus pemerintahan yang
16
Dalam membangun daerah, perlu pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada
potensi yang dikaitkan dengan upaya untuk melaksanakan proses desentralisasi. Membangun
partisipasi daerah agar lebih banyak berinisiatif merupakan bagian penting dari proses
desentralisasi. Hal ini dijelaskan oleh Hal Hill (editor), Unity and Diversity: Regional Economic
Development in Indonesia since 1970 (Singapore: Oxford University Press, 1989), dikutip dalam
Didik J. Rachbini, ”Pertumbuhan Nasional Bukan Refleksi Perkembangan Daerah” Prisma, No. 1
(Januari, 1990), h. 95.
7
terdiri dari para akademisi dan cendekiawan yang ikut menyuarakan aspirasinya
melalui pers baik dalam surat kabar atau majalah sebagai sebuah kritik terhadap
pemerintah Orde Baru. Isu tentang sentralisasi kekuasaan juga terus digulirkan
oleh para cendekiawan dalam berbagai media.
Seiring dengan hal itu, banyak cendekiawan muslim yang mengangkat isu
tentang pembangunan ekonomi Orde Baru. Dari latar belakang tersebut studi ini
berupaya untuk memberikan informasi bahwa, banyak cendekiawan muslim yang
mengangkat isu sentralisasi pembangunan ekonomi yang lebih menitikberatkan
pada pusat karena pemerintah dianggap tidak mampu membangun perekonomian
di daerah. Namun faktanya masyarakat di daerah justru merasa makmur secara
ekonomi di masa Orde Baru. Prisma yang berlandasan pada pemikiran-pemikiran
kritis ini, mencoba memposisikan perannya sebagai kontrol sosial atas
pelaksanaan pemerintahan pada masa itu. Oleh karenanya penulis memutuskan
hal ini sebagai objek kajian sejarah dengan melakukan peninjauan pada tulisan-
tulisan cendekiawan muslim dalam jurnal Prisma dan fakta pembangunan
ekonomi yang terjadi di lapangan dengan judul “Respons Cendekiawan Muslim
tentang Pembangunan Ekonomi Orde Baru: Studi Jurnal Prisma Tahun 1979-
1989.”
8
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis memilih batasan waktu dari tahun 1979
sampai 1989. Tahun ini adalah tahun saat berlangsungnya program Pelita III (1
April 1979 sampai 31 Maret 1984) yang mana lebih menitikberatkan pada Trilogi
Pembangunan, antara lain: pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang
menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Asas-asas pemerataan dituangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan,
seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatan kerja, memperoleh keadilan,
pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, perumahan, dan lain sebagainya. Dan
juga tahun berlangsungnya program Pelita IV (1 April 1984 sampai 31 Maret
1989) yang lebih menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu
sendiri. Agar proses penelitian ini lebih terarah, maka penelitian ini harus dibatasi
secara angka tahun objek yaitu antara tahun 1979-1989.
Dalam masa inilah pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya
melaksanakan pembangunan terutama dalam bidang ekonomi. Dan pada masa itu
pula Prisma sedang naik daun dan menjadi media (jurnal) yang banyak
diperbincangkan oleh khalayak. Merujuk ruang lingkup masalah tersebut, dan
untuk mempermudah proses pendeskripsian tersebut, maka penelitian ini
difokuskan dalam rumusan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana gambaran umum pembangunan ekonomi Orde Baru dan Jurnal
Prisma?
9
2) Apa yang dimaksud cendekiawan muslim dan kaitannya dengan Orde
Baru?
3) Bagaimana kritik cendekiawan muslim terhadap Orde Baru dalam ulasan
jurnal Prisma?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis jawab dalam uraian-uraian dan
analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian skripsi ini dirancang secara substansial untuk menggambarkan
kondisi atau situasi pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Dengan
menggunakan analisa faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, maka tujuan
penulisan dirincikan sebagai berikut.
1. Tujuan Penelitian
Secara akademik, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan
mendeskripsikan kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pembangunan
ekonomi. Hasil penelitian ini, akan diperoleh pengetahuan bagaimana
cendekiawan muslim memberikan kritik terhadap kinerja pemerintah Orde Baru
dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam merespons sentralisasi
pembangunan ekonomi pada saat itu.
2. Manfaat Penelitian
a. Diharapkan hasil penelitian sejarah kajian pers jurnal ini, dapat digunakan
sebagai tinjauan pemikiran baru dalam kajian sejarah dan memberikan
paradigma baru dalam penulisan sejarah.
10
b. Sebagai bahan motivasi para peminat dan penulis sejarah, khususnya peneliti
sejarah pers, untuk lebih bisa menghasilkan karya-karya yang bersifat terbuka
terhadap aspek lain sejarah.
c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan bagi penelitian
selanjutnya di bidang yang sama, guna menghasilkan penulisan yang lebih baik
lagi.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” yang
ditulisan oleh Daniel Dhakidae, terdapat satu bab yang memaparkan tentang
“media, bahasa, dan neo-fasisme Orde Baru”, yang mana sub-bab dari bab
tersebut membahas tentang “cendekiawan dalam pembiasan Prisma”. Tulisan
tersebut antara lain menjelaskan tentang bagaimana Prisma menjadi organ
intelektual Orde Baru, keterkaitan Prisma dengan cendekiawan Orde Baru dan
kaum kiri, Prisma dan krisis Orde Baru. Hal inilah yang memberikan inspirasi
bagi penulis untuk meneliti tentang hal tersebut. Untuk buku primer adalah
memang buku ini, yang mana Daniel Dhakidae turut berperan dalam proses
pembuatan dan penerbitan jurnal juga sekaligus sebagai Ketua Dewan Redaksi
Prisma saat itu. Dan sumber primer lainnya adalah koleksi-koleksi jurnal Prisma
tahun 1971-1989.
Kemudian penulis juga menggunakan buku-buku hasil proyek penelitian
pengembangan penerangan, Departemen Penerangan Republik Indonesia
bekerjasama dengan Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional, Lembaga
11
Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas-LIPI), tahun 1980 berjudul “Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia”. Yang mana salah satu wartawan
senior Indonesia, P. Suwantoro berkomentar bahwa buku ini tidak lain merupakan
sebuah kesadaran dan upaya setiap insan pers masing-masing untuk terus
membangun sikap dan kemampuan profesionalnya. Kejujuran yang merupakan
penopang utama kredibilitas adalah sikap mutlak harus menjiwai setiap insan
pers. Sedangkan kemampuan membuat tulisan atau berwacana lewat media audio-
visual harus didasari pengetahuan tangguh, baik pengetahuan umum maupun
pengetahuan mengenai bidang-bidang tertentu sesuai dengan lapangan tempat
tugasnya. Kebanyakan insan pers kita sangat minim pengetahuan umumnya. Di
antara mereka tidak sedikit pula yang minimalis, tidak terpacu untuk terus
menerus meningkatkan pengetahuannya. Padahal masyarakat yang kita layani
semakin maju.
Dalam buku yang telah disusun dan diterbitkan oleh Kementerian
Sekretaris Negara tahun 1975 berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka, berisi
tentang dokumentasi-dokumentasi Indonesia pada tahun 1979-1989, selayang
pandang hasil-hasil pembangunan dalam Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-
1989. Buku ini merupakan potret dokumentasi berbagai program Orde Baru yang
sudah terlaksana. Dari buku ini penulis dapat memperoleh gambaran tentang
pelaksanaan Pelita III dan Pelita IV pada masa Orde Baru.
Untuk pembahasan mengenai hubungan Orde Baru dengan Islam, dan
adanya cendekiawan muslim yang turut andil dalam pemerintahan Orde Baru,
penulis mencoba menggunakan buku karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy yang
12
berjudul “Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
Masa Orde Baru”. Dan juga buku “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20” yang ditulis oleh Yudi Latif. Buku-
buku tersebut penulis jadikan sebagai sumber utama terkait peran para
cendekiawan muslim dalam pembangunan ekonomi Orde Baru. Buku ini berusaha
menampilkan analisis sosial historis perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
Buku ini sangat membantu penulis dalam membahas keterkaitan Orde Baru
dengan Islam.
Untuk membahas respons cendekiawan muslim tentang pembangunan
ekonomi Orde Baru, penulis menghimpun, menelaah berbagai tulisan para
cendekiawan muslim yang dimuat dalam jurnal Prisma edisi tahun 1971 (tahun
Prisma pertama kali diterbitkan) sampai edisi tahun 1989 yang membahas isu-isu
tentang pembangunan ekonomi Orde Baru. Kemudian penulis juga menggunakan
sumber-sumber lainnya seperti surat kabar, majalah, dan jurnal lainnya untuk
melakukan triangulasi dan keabsahan dari data-data yang memiliki pembahasan
yang sama yaitu tentang pembangunan ekonomi Orde Baru.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan multidimensional. Poin-poin
penting yang akan ditulis dipaparkan sesuai dengan kejadian, suasana dan
masanya. Adapun analisa pada faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi menjadi
faktor pendukung untuk menilai kebijakan. Namun, pasti dalam penelitian ini
13
semua aspek akan saling berhubungan walaupun terdapat dominasi, karena
hubungan antara suatu aspek akan memberikan pengaruh kepada aspek lainnya17
.
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (historis)18
.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah oleh karena itu,
upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti itu ditempuh melalui
metode sejarah dan menggunakan penelitian deskriptif analisis, yaitu mencoba
memaparkan efektifitas isu-isu mengenai pembangunan ekonomi Orde Baru
dalam jurnal Prisma.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian sejarah dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian berupa data primer dan data sekunder. Dalam penelitian sejarah, perlu
dilakukan metode heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber
(Dokumen)19
. Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai
bahan penulisan dan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research)
dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam
skripsi ini seperti: buku-buku, majalah, koran, dan sebagainya. Dalam hal ini,
penulis mengunjungi beberapa tempat seperti Perpustakaaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan
17
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 1992), h. 87. 18
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 32. 19
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 54.
14
Kompas, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan LP3ES, Arsip koleksi
Jurnal Prisma, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan
mengunjungi beberapa toko buku yang berada di wilayah Jakarta.
3. Analisis Data
Semua data yang telah diperoleh, untuk selanjutnya dilakukan kritik
sumber terkait dengan keaslian sumber (otentisitas) terhadap semua sumber-
sumber yang telah terkumpul baik berupa buku-buku, majalah, koran, dan lain
sebagainya. Maka penulis melakukan kritik dan uji terhadapnya untuk
mengindentifikasi keabsahannya tentang keaslian sumber, yang dilakukan melalui
kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang di
telusuri melalui kritik intern20
.
Data-data yang sudah didapatkan, kemudian dilakukan interpretasi atau
penafsiran sejarah, yaitu mencoba menguraikan sebab dan akibat suatu kejadian.
Karena itu, data-data yang sudah terkumpul dilakukan metode kritik sumber,
biasanya masih berbeda-beda dalam isinya. Oleh sebab itu, dalam teknik
interpretasi ini, diharapkan peneliti mampu menemukan berbagai kronologi suatu
kebijakan dari suatu kejadian, dalam hal ini adalah kebijakan pemerintahan Orde
Baru mengenai pembangunan ekonomi. Jadi penulis memaparkan data-data yang
sudah diperoleh, diseleksi, dan dianalisis itu dalam bentuk deskripsi sehingga
menghasilkan paragraf dengan menggunakan bahasa baku dan bahasa penulis
sendiri.
20
Ibid., h. 58-64.
15
4. Tahapan Penyajian Data
Tahap terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi merupakan
cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah di
lakukan.21
Adapun teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012.
F. Landasan Teori
Penelitian ini menggunkan analisa wacana kritis (Critical Discourse
Analysis) dari Antonio Gramsci. Metode ini juga sekaligus merupakan teori yang
digunakan dalam penelitian ini. Titik perhatian dari Gramsci adalah melihat
“hegemoni” sebagai praktik kekuasaan. Dalam buku “Prison Notebooks” yang
ditulis oleh Antonio Gramsci, term “hegemoni” memiliki dua wajah. Pertama,
hegemoni yang kontras dengan “dominasi” (terikat dengan oposisi negara atau
masyarakat sipil). Kedua, hegemoni yang seringkali digunakan untuk menunjuk
suatu fase historis dimana kelompok tertentu bergerak melampaui posisi
keberadaan perusahaan, mempertahankan posisi ekonomi dan menginginkan
posisi sebagai pemimpin dalam arena politik dan sosial.22
Hegemoni bagi Gramsci
selanjutnya bisa dikatakan sebagai sebuah penguasaan kelas dominan terhadap
kelas bawah dengan cara mengarahkan ideologi dominan melalui rekayasa
21
Ibid., h. 76. 22
Antonia Gramsci, Prison Notebooks (London: Elecbook, 1999), h. 20.
16
kesadaran sehingga pada akhirnya kelas bawah secara tidak sadar rela mendukung
kekuasaan kelas dominan dan kemudian menganggap hal itu sebagai sesuatu yang
“lumrah”. Dalam kasus negara (masyarakat politik), hegemoni dilakukan oleh
kelas dominan (pemerintah) terhadap kelas bawah (masyarakat) melalui kaum
intelektual (sipil dan birokrasi militer) maupun institusi pendidikan dan seni.
Akibat dari dominasi tersebut, terlihat jelas pada kondisi Indonesia pada
masa pemerintahan Soeharto. Di masa Orde Baru, Soeharto dan militer
merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Tahun-tahun bersama Soeharto
inilah yang merupakan masa kejayaan militer. Sebagai seorang pemimpin negara,
banyak kebijakan yang ia ambil seperti halnya konsep dwifungsi para militer yang
memungkinkan militer mengurus pemerintahan padahal seharusnya militer hanya
diperkenankan mengurus keamanan negara. Militer telah mengambil porsi yang
besar dalam hal mengurus pemerintahan. Dominasi militer inilah yang juga
menyebabkan terbelenggunya masyarakat sipil di negaranya sendiri.
Pada masa Orde Baru, pemerintah sangat mendominasi kekuasaan.
Hampir seluruh pejabat negara berlatarbelakang militer, sehingga tersua bahwa
masa Orde Baru merupakan pemerintahan dengan sistem komando. Hal inilah
yang kemudian berimbas pada salah satu kebijakan politik ekonomi23
seperti
konsep trickle down effect24
yang diterapkan dalam pembangunan ekonomi Orde
Baru. Dalam teori ini, kemakmuran akan dapat tercapai dengan pertumbuhan
23
Politik ekonomi adalah kebijakan-kebijakan politik yang berdampak terhadap
perekonomian. 24
Trickle Down Effect adalah teori yang lahir dari aliran kapitalisme yang sangat
diagung-agungkan oleh pemerintahan Orde Baru. Teori ini dikembangkan oleh Albert Otto
Hirschman (1915-2012) yang menjelaskan bagaimana sebuah pertumbuhan akan berdampak pada
kemakmuran sebuah negara.
17
ekonomi yang tinggi, tanpa perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam
pandangan teori ini, suatu suntikan ekspansi ekonomi di bawahnya sehingga akan
berimbas pada kemakmuran. Teori inilah yang menjadi jargon pada masa
pembangunan ekonomi Orde baru yang justru memarjinalkan perilaku ekonomi
menengah dan bawah. Akhirnya muncul sistem ekonomi berbasis kartel dan kroni
yang menguntungkan para pelaku ekonomi yang dekat dengan penguasa.25
Hal
inilah yang akhirnya menimbulkan banyak kritikan dari para intelektual atau para
cendekiawan Indonesia, yang mana mereka banyak memberikan kritikan terhadap
kinerja pemerintah pada saat itu melalui berbagai tulisan yang dimuat di berbagai
media massa seperti surat kabar dan jurnal, salah satunya jurnal Prisma.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus
memberikan gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung
dalam skripsi ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab
beserta bibliografi dengan urutan sebagai berikut:
BAB I : berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penulisan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
landasan teori dan sistematika penulisan.
BAB II : merupakan bab inti pertama yang akan membahas gambaran umum
pembangunan ekonomi Orde Baru, yang meliputi: orientasi pembangunan
25
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, jilid 1, edisi
kesembilan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 19-20.
18
ekonomi, kebijakan politik ekonomi Orde Baru, cendekiawan muslim dan Orde
Baru.
BAB III : merupakan bab inti kedua yang akan membahas tentang jurnal Prisma
dan Orde Baru, yang meliputi: dunia pers dan Orde Baru, gambaran umum jurnal
Prisma di dalamnya juga membahas tentang sejarah dan tujuan, pengelolaan,
analisis isi jurnal, dan para contributor di bidang ekonomi dan politik ekonomi,
serta membahas posisi dan peran jurnal Prisma dalam dinamika Orde Baru.
BAB IV : merupakan bab inti ketiga yang membahas respons cendekiawan
muslim terhadap pembangunan ekonomi Orde Baru, yang meliputi: isu-isu
ekonomi dalam jurnal Prisma dan respons cendekiawan muslim tentang
pembangunan ekonomi Orde Baru.
BAB V : mengandung dua sub-bab, yaitu kesimpulan yang merupakan pandangan
penulis tentang hasil penelitian. Kesimpulan merupakan hasil akhir yang dapat
penulis berikan sebagai hasil akhir dari penelitian yang telah dilakukan. Sub-bab
kedua yakni saran-saran yang merupakan anjuran penulis kepada para akademisi
yang memiliki perhatian terhadap penelitian sejarah dan kebudayaan Islam,
terutama agar menaruh perhatian terhadap kajian sejarah pers.
19
BAB II
GAMBARAN UMUM PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU DAN
JURNAL PRISMA
A. Orientasi Pembangunan Ekonomi
Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang mulai
memegang tampuk kekuasaan pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama
bagi pemulihan roda perekonomian. Sejumlah ahli ekonomi dari Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia ditarik sebagai penasehat ekonomi pemerintah,
dan beberapa di antaranya kemudian menduduki jabatan penting dalam kabinet.1
Pada masa awal Orde Baru, tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto
dikepalai oleh Widjojo Nitisastro dan lebih dikenal dengan “Mafia Berkeley”.2
Widjojo pada saat itu menyatakan bahwa penekanan pada retribusi ekonomi
hendaknya tidak menutup mata terhadap kebutuhan untuk meningkatkan tingkat
pendapatan perkapita. Redistribusi pendapatan jika tidak disertai dengan upaya
untuk meningkatkan tingkat pendapatan perkapita, hampir pasti akan menjadi
penghalang inisiatif, sehingga menyebabkan penurunan secara umum tingkat
perluasan produksi.3
1Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru: edisi terjemahan oleh Boediono,
cet. I (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 1. 2 Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang
ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal
pemerintahan Presiden Suharto. Mereka adalah lulusan ekonomi University of California,
Berkeley. 3 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992 (Jakarta:
KPG, 2002), h. 41.
20
Lebih lanjut, Widjojo menyandarkan perekonomian nasional pada usaha
swasta, domestik, maupun internasional, demi tercapainya kemakmuran dan
terselenggaranya pembangunan secara menyeluruh. Ia yakin bahwa perekonomian
yang berfungsi baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang mengatur
bekerjanya mekanisme pasar.4
Sementara itu pendukung faham nasionalisme ekonomi adalah Sarbini
Sumawinata. Dalam tulisannya “Menuju Masyarakat Adil dan Makmur, 70 Tahun
Ptof. Sarbini Sumawinata”,5 ia mengemukakan bahwa pada intinya bagi negara
berkembang seperti Indonesia, pembangunan seluruhnya merupakan tanggung
jawab dari pemerintah, dan negara memikul semua hambatan dalam pelaksanaan
pembangunan tersebut. Pembiayaan pembangunan harus sepenuhnya bersumber
dari dalam negeri.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan dan mewujudkan
pemerintahan yang stabil dan kuat, Orde Baru mencoba melebarkan fungsinya
menjadi mesin politik (political machine) dengan menjadikan birokrasi yang
berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk menata kehidupan
sosial politik masyarakat. Disamping sebagai alat administrasi pemerintahan,
birokrasi Orde Baru berkembang menjadi suatu wadah kekuatan politik dan
perpanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan roda kekuasaan maupun
melakukan rekayasa politik demi tercapainya strategi atau kebijakan politik yang
sudah ditetapkan. Adapun salah satu kebijakan politik penting rezim Orde Baru
ketika mulai memegang tampuk kekuasaan adalah dipilihnya modernisasi sebagai
4 Ibid., h. 42.
5 Ian Chalmers dan Vedi R. Hadiz, The Politics of Economic Development in Indonesia;
Contending Perspectives (London and New York: Routledge, 1997), h. 61.
21
titik tolak dan kerangka landasan pembangunan bangsa. Pilihan tersebut dianggap
sebagai satu-satunya jalan keluar untuk memajukan bangsa Indonesia setelah
rezim sebelumnya (Orde Lama) dianggap gagal dalam memenuhi tuntutan dan
harapan rakyat. Strategi rezim lama yang terlalu kuat berorientasi pada ideologi
dan politik, dinilai oleh rezim baru sebagai hal yang membawa ketidakstabilan
politik dan kehancuran ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu,
pemerintah Orde Baru merasa perlu melakukan modernisasi politik (political
modernization) sebagai kebijakan penting yang dianggap bisa mendukung
suksesnya pembangunan ekonomi. Pemerintah Orde Baru berharap bisa
memperoleh legitimasi politik rakyat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
sosial-ekonomi yang terbengkalai warisan dari Orde Lama.6
Modernisasi yang dipilih ini merupakan langkah awal yang ditempuh
karena pemerintah Orde Baru berusaha untuk menarik dukungan negara-negara
Barat atau para investor asing agar dapat memberikan bantuan bagi pelaksanaan
pembangunan pada masa-masa awal pemerintahan. Hal tersebut dilakukan karena
pemerintah pada saat itu tidak melihat alternatif lain untuk menarik dukungan
finansial bagi pembangunan, kecuali dari negara-negara Barat yang saat itu sudah
mapan secara ekonomi. Dengan program modernisasi, Indonesia akan
mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara Barat untuk pembiayaan
pembangunan. Bagaimana pun juga keberhasilan Orde Baru dalam meyakinkan
6 Karl D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of
Power and Communications in Indonesia”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political
Power and Communications in Indonesia (California: University of California Press, 1978), h. 3.
22
negara-negara pemberi bantuan di tengah kehancuran perekonomian nasional
warisan Orde Lama, perlu dicatat sebagai “prestasi” awal pemerintah Orde Baru.7
Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter sudah tercapai dengan cukup
baik, dan pada bulan April tahun itu Repelita I dimulai. Dasawarsa setelah itu
penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan ekonomi di
Indonesia. Perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya, pergeseran-pergeseran telah terjadi dalam
struktur perekonomian dan komposisi output nasional. Apabila kita menengok
pada tahun 60-an, tampak jelas bahwa telah terjadi perubahan-perubahan besar di
berbagai sektor perekonomian, selanjutnya perubahan-perubahan tersebut telah
menimbulkan pula akibat-akibat luas bagi pola kemasyarakatan pada umumnya.
Hal inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang sering diperbincangkan
bahkan menjadi perdebatan pada masa itu, tidak hanya di Indonesia saja bahkan di
luar Indonesia. Pendukung strategi pembangunan ekonomi pemerintah
mengatakan bahwa dalam sejarah Republik Indonesia baru sekarang ini tindakan
menyeluruh dan terpadu betul-betul dilaksanakan untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan kepadatan penduduk. Sebaliknya para kritikus mengatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi hanya memberikan manfaat kepada
golongan kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi,
7 Antara tahun 1964-1965, tingkat inflasi mencapai 73,2 %. Pada akhir tahun 1965-1966,
inflasi menurun walaupun masih tergolong besar untuk perekonomian sebuah negara, yakni 69,7
%. Tetapi pemerintah Orde Baru kemudian mengadakan sejumlah tindakan untuk mengatasi
parahnya perekonomian nasional, terutama melalui pinjaman luar negeri. Alternatif ini dipilih oleh
Orde Baru karena pemerintah tidak melihat cara lain untuk mengatasi kebobrokan ekonomi
warisan Orde Lama kecuali dengan jalan memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat. Ketika
ekspor minyak bumi kemudian juga menjadi “rezeki nomplok” pada decade 1970-an,
perekonomian Indonesia menjadi membaik, sementara pinjaman luar negeri terus mengalir. Lihat
Arif Budiman, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan (Jakarta:
Yayasan Padi dan Kapas, 1991), h. 47-49.
23
sedangkan sebagian besar masyarakat lainnya masih belum memperoleh
manfaatnya dan bahkan mungkin dirugikan.8
Setelah tahun 1966, Pemerintah Orde Baru makin mantap kedudukannya
dan nampak adanya prioritas-prioritas ekonomi baru yang tercermin dalam
berbagai pernyataan kebijaksanaan pemerintah. Tekanan khusus diberikan pada
produksi pangan (terutama beras) dan sandang, sedang modal asing didorong
terutama di sektor industri dan pertambangan. Apa yang dicapai oleh
kebijaksanaan pemerintah Orde Baru, sangat mengesankan. Menjelang tahun
1977 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur secara cukup
mencolok, sebagai akibat dari kebijaksanaan ekonomi pemerintah bersama-sama
dengan kenaikan harga minyak.9
Dari satu segi dukungan yang berhasil diperoleh Pemerintah Orde Baru
dikarenakan keberhasilannya melaksanakan pendekatan baru pada sistem
perencanaan ekonomi Indonesia secara lebih baik. Perencanaan ekonomi bukan
suatu hal baru di negeri ini. Di masa silam sudah ada dua rencana pembangunan
yang disusun, dan sebagian telah dilaksanakan dalam tahun 50-an. Satu rencana
pembangunan lagi, yaitu Rencana Delapan Tahun dibuat dalam masa ekonomi
terpimpin.10
Pemerintah Orde Baru mengalihkan perhatian utamanya dari
stabilitas ekonomi menuju pembangunan dengan menetapkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang pertama (Repelita I) untuk rentang tahun 1969-
8 Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru.. Op. Cit., h. 1-2.
9 Ibid., h. 3-5.
10 Rencana-rencana pembangunan ini dibicarakan dalam Dauglas Paauw, Financing
Economic Development: The Indonesian Case (New York: The Free Press of Glencoe, 1960).
Lihat juga Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru: edisi terjemahan oleh
Boediono, cet. I (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 16.
24
1974. Dalam Repelita I ini, investasi pemerintah lebih ditanamkan pada bidang
usaha yang menghasilkan dampak yang paling besar seperti pertanian,
infrastruktur ekonomi, dan perluasan industri ekspor dan pengganti impor. Tiga
perempat pengeluaran pada Repelita I dibiayai dari pinjaman asing yang
jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada tahun
1972, hutang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi
pengeluaran saat Soekarno berkuasa. 11
Dari beberapa segi, Repelita I (1969-1974) dan Repelita II (1974-1979)
menunjukkan adanya perbaikan-perbaikan lebih nyata dibandingkan dengan
beberapa rencana pembangunan sebelumnya. Kedua Repelita tersebut mengambil
target-target yang lebih realistis, dan keduanya merumuskan berbagai prioritas
pembangunan nasional secara lebih jelas, sehingga sangat membantu aparat
pemerintah dan para pemberi bantuan luar negeri dalam menentukan peranan
mereka masing-masing. Seperti kita ketahui Repelita I telah memberikan tekanan
pada peningkatan produksi pangan dan rehabilitasi prasarana, sedangkan Repelita
II dan Repelita III memberikan prioritas kepada masalah kesempatan kerja,
pemerataan dan pertumbuhan ekonomi.12
B. Kebijakan Politik Ekonomi Orde Baru
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pemeritah Orde Baru ketika mulai
memegang tampuk kekuasaan adalah mengatasi birokrasi yang tidak bertanggung
jawab dan kekuasaan otoriter warisan rezim lama, yang dianggap telah membawa
11
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-200, cet. I (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2008), h. 582. 12
Anne Booth dan Peter McCawley, Op. Cit., h. 17-18.
25
kemerosotan parah bagi ekonomi rakyat. Untuk itu pemerintah Orde Baru
disamping bertekad melaksanakan reformasi ekonomi secara radikal, juga
mengusahakan terlaksananya program pemerintah di seluruh wilayah negara agar
berfungsi efektif dan fungsional serta tidak diselewengkan oleh aparat
birokrasinya. Agar rezim baru itu dapat berfungsi, terutama dalam menangani
program modernisasi dan pembangunan ekonomi diperlukan suatu birokrasi yang
efektif dan tanggap terhadap pucuk pimpinan eksekutif.13
Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru kemudian berusaha menggunakan
birokrasi sebagai premium mobile atau penggerak utama program modernisasi dan
pembangunan. Untuk itu diupayakan langkah-langkah ke arah reformasi birokrasi
dengan cara: 1) mengalihkan wewenang pemerintah ke tingkat birokrasi lebih
tinggi, yakni dengan pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah; 2)
membuat birokrasi efektif dan tanggap pada pemerintah pimpinan pusat; 3)
memperluas wewenang pemerintah dan mengendalikan daerah-daerah. Ketiga
langkah tersebut diikuti dengan proses pembuatan kebijakan pemeritah yang
penting. Dari segi konsepsional, antara lain penyiapan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian
menempatkan para teknokrat sipil dan perwira militer yang berorientasi reformasi
dan bisa diawasi dalam jabatan-jabatan birokrasi. Selanjutnya menempatkan orang
yang bisa dikendalikan dari Jakarta dalam jabatan-jabatan penting di
13
Mohtar Mas‟oed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (Jakarta:
LP3ES, 1986), h. 150.
26
pemerintahan daerah, baik sebagai gubernur atau bupati. Kebanyakan yang
ditempatkan di daerah ini adalah para perwira ABRI.14
Dengan langkah-langkah dan kebijakan seperti itu, terciptalah birokrasi
Orde Baru yang kuat dan berporos pada eratnya hubungan militer dengan sipil.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan serta mewujudkan pemerintahan yang
stabil dan kuat, birokrasi Orde Baru kemudian melebarkan fungsinya dengan
menjadi mesin politik yang tangguh dalam merekayasa kehidupan sosial-politik
masyarakat. Sebab disamping menjadi alat administrasi pemerintahan, birokrasi
Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto telah berkembang menjadi wadah
kekuatan untuk mempertahankan status quo maupun melaksanakan suksesi
terencana di antara jaringan kekuasaan yang mengitarinya. Melihat kenyataan
tersebut, Donald K. Emmerson membandingkan birokrasi Orde Baru di bawah
Soeharto dengan birokrasi Mataram di bawah Raja Amangkurat I (1646-1677).15
Secara historis sumber-sumber, wilayah, dan penggunaan kekuatan politik
di antara keduanya memang tidak sama. Tetapi jika Amangkurat I mampu
membangun birokrasi Indonesia yang terkuat di zaman pra-kolonial, Soeharto pun
melakukan hal yang sama pada masa pasca colonial. Menurut Emmerson, ada tiga
upaya yang ditempuh oleh Soeharto untuk membangun birokrasi yang kuat itu.
Pertama, Soeharto mampu mengontrol jaringan pemerintahan yang amat besar. Ia
membersihkan ribuan orang yang terlipat dalam kegiatan partai komunis sebelum
tahun 1966. Kedua, Soeharto membuat aparatnya lebih loyal. Perwira-perwira
14
Ibid, h. 152. 15
Donald K. Emmerson, “The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength”,
dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political Power and Communication in Indonesia
(Berkeley and London: University of California Press), h. 82-83.
27
direkrut untuk memperkuat jajaran birokrasinya dengan cara komando militer.
Departemen-departemen yang tidak fungsional di masa kejayaan partai-partai
politik diisi dengan pejabat-pejabat sipil yang mudah diatur secara terpusat.
Partai-partai politik, kaum buruh, petani, dan kelompok-kelompok mahasiswa
yang diperkirakan bisa menjadi kekuatan alternatif terhadap birokrasi dilarang,
dilebur, atau diganti dengan lembaga-lembaga semi resmi yang keanggotaannya
diatur secara otomatis. Ketiga, Presiden Soeharto menjadikan birokrasi lebih aktif.
Pendapatan dari pajak terus meningkat, dan secara proporsional digunakan untuk
pembiayaan pembangunan. Untuk meningkatkan kinerjanya, pegawai negeri
dinaikkan gajinya.16
Salah satu bentuk kebijakan politik ekonomi adalah adanya kebijakan
ekonomi luar negeri. Pada awal dasawarsa 1970-an Indonesia untuk pertama
kalinya sejak kemerdekaan mengalami arus investasi asing baru yang cukup
besar.17
Apabila melihat sejarahnya, bahwa pada masa awal pengakuan
kedaulatan, pemerintah cenderung bersifat sangat bermusuhan dengan Barat
sehingga kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia pada masa itu kurang
mengakomodasi kepentingan pihak Barat, sementara kebijakan ekonomi luar
negeri Indonesia pada masa Orde Baru cenderung sangat mengakomodasi
kepentingan pihak Barat. Perbedaan tersebut secara garis besar dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang berpengaruh
adalah adanya aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi
16
Hal ini dijelaskan dalam tesis M. Syafi‟I Anwar, Hubungan Cendekiawan Muslim dan
Birokrasi Orde Baru: Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam
Orde Baru 1966-1993 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), h. 60. 17
Thee Kian Wie, Penanaman Modal Asing Langsung di Indonesia Sejak Kemerdekaan
(Jakarta: PMB-LIPI, 1996), h. 2.
28
tersebut, disamping juga karena kondisi perekonomian pada masa itu. Sedangkan
faktor eksternalnya adalah adanya lembaga-lembaga keuangan internasional yang
memang sudah menjalin hubungan sejak lama dengan pemerintah Indonesia.18
Adanya aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi
luar negeri Indonesia di bidang investasi asing, adalah karena sekalipun kebijakan
investasi asing tersebut adalah kebijakan tingkat nasional, akan tetapi dalam
pembuatan state bukanlah merupakan unitary actor atau aktor tunggal yang
menghasilkan keputusan. Ada aktor-aktor di dalam negara yang mempengaruhi
kebijakan yang dihasilkan, dalam hal ini adalah adanya kelompok penganut faham
liberal dan penganut faham nasionalisme ekonomi. Tingkat keterbukaan atau
respon atas pengaruh dari luar akan dipengaruhi oleh persepsi dari kelompok-
kelompok ini.19
Selain itu faktor ekonomi juga berpengaruh terhadap perubahan kebijakan
ekonomi luar negeri di bidang investasi asing, sebagaimana diungkapkan oleh
Robert O. Keohane bahwa keputusan untuk melakukan perubahan yang cukup
radikal juga tergantung dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan strategis.20
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pendekatan para ekonom memang
mengarah keluar (outward looking) dan berorientasi pasar. Hal inilah yang
menandai secara tajam dari kecenderungan besarnya peran negara. Sepanjang
periode ini, kebijakan ekonomi hanya terfokus pada industrialisasi substitusi
18
Mohammad Sadli, “Pembentukan Kebijaksanaan Ekonomi di Masa Orde Baru:
Berbagai Dilema dan Resolusinya dalam Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan”,
Kumpulan Esai untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo, Disunting oleh Hendra Asmara
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), h. 387. 19
Robert O. Keohane dan Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics
(USA: Cambridge University Press, 1996), h. 14. 20
Ibid., h. 15.
29
impor yang dibiayai dengan pinjaman dan investasi asing. Proyek-proyek industri
besar dari masa Soekarno telah pudar dan para teknokrat liberal, dengan dukungan
Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional lainnya, berdiri di garis depan
kebijakan pembangunan.
Hingga pertengahan 1970-an, modal asing membentuk kira-kira 50% dari
total investasi di sektor non-minyak saja, dan fokus para industri-industri besar
telah ditinggalkan dan digantikan produksi barang konsumsi substitusi impor.
Kenaikan jumlah investasi asing di Indonesia menguntungkan bagi perwira
Angkatan Darat. Kebanyakan investasi asing yang masuk disalurkan melalui
perusahaan patungan (Joint Venture) dimana perwira Angkatan Darat memainkan
peran penting unutk menembus keruwetan birokrasi dan administrasi perizinan.21
Harold Crouch mencatat, para perwira di sini membentuk kekuatan ekonominya
tidak berdasarkan pada kemampuan kewiraswastaan namun pada pengaruh politik
yang mereka miliki.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, para pembuat kebijakan dan
perencanaan pembangunan ekonomi di Jakarta masih sangat percaya bahwa
proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa,
khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada
akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut “efek tetesan ke bawah”.22
21
K. Gunadi menulis bahwa ia menemui calon-calon investor dari Jepang, Belanda,
Inggris, Australia, dan Amerika yang memerlukan izin usaha dari 3 bulan sampai 2 tahun dengan
biaya antara $10.000 sampai $50.000. Lihat catatan No. 1, K. Gunadi, “Industri, Modal Asing, dan
Kesempatan Kerdja”, Prisma, No. 5 (Jakarta, LP3ES, Agustus 1972), h. 37. Mengenai uraian lebih
jauh tentang peran militer dalam ekonomi dapat dilihat pada Harold Crouch, Militer dan Politik di
Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), h. 335. 22
Efek “cucuran ke bawah”, bisa juga disebut “tetesan ke bawah” merupakan salah satu
topik penting di dalam pembahasan mengenai pembangunan ekonomi di negara sedang
berkembang pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Argumentasi teoretis yang menghasilkan
30
Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode Orde Baru
hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh
pemerintahan Soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi
nasional dimulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks
industri, gedung-gedung pemerintahan atau administrasi negara, kantor-kantor
perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih tersedia di Jawa, khususnya
Jakarta dan sekitarnya dibandingkan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja
yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai
tambah bruto yang tinggi. Mereka percaya bahwa nantinya hasil dari
pembangunan itu akan “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia
lainnya.23
Selain itu arah kebijakan luar negeri dari pemerintah Orde Baru lebih
condong kepada Barat yang didasarkan atas motif kerjasama ekonomi
internasional. Pemerintah Orde Baru disibukkan dengan pencarian modal yang
besar untuk pembangunan ekonomi Indonesia yang kala itu terpuruk. Oleh
karenanya, hubungan pemerintah Orde Baru dengan negara-negara Barat
dimanfaatkan untuk mencari pasokan modal tersebut, terutama dari Jepang yang
merupakan sekutu Amerika Serikat. Selain didasarkan atas kebutuhan modal
kesimpulan bahwa akan terjadi efek “cucuran ke bawah” dikembangkan pertama kali oleh Arthur
Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainnya. Dikutip oleh Tulus Tambunan,
Pembangunan Ekonomi Inklusif: Sudah Sejauh Mana Indonesia?, (Jakarta: LP3ES, 2016), h. 142. 23
Ibid., h. 142.
31
tersebut, kebijakan dan corak ekonomi yang didesain oleh para arsitek ekonomi
(ekonom) Orde Baru yang pada umumnya berpendidikan Barat, lebih condong
pada karakteristik ekonomi yang dianut oleh negara-negara Barat.
Pemerintah Orde Baru menitikberatkan agenda negara ke arah
pembangunan.24
Untuk menangani masalah ekonomi, Soeharto merekrut para
ekonom sipil dari Universitas Indonesia yang kemudian popular disebut sebagai
„teknokrat‟. Kebanyakan dari teknokrat ini studi di University of California,
Berkeley sehingga kelompok ini dijuluki “Mafia Berkeley”. Ideologi utama dari
para teknokrat ini adalah prinsip-prinsip ekonomi neoklasik yang secara umum
bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi masa Orde Lama yang cenderung
bersifat ekonomi kerakyatan (sosialis). Untuk menopang ide pembangunan ini,
Orde Baru menggunakan teori W.W. Rostow25
tentang “The Take off into Self-
Sustained Growth” (Teori Pertumbuhan Ekonomi).26
Ide Rostow ini kemudian
dirumuskan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pemerintah
Orde Baru juga menganut keynessian yang diperkuat dengan posisi UUD 1945
pasal 33, dimana peran pemerintah terhadap pengaturan ekonomi perlu
24
Definisi pembangunan ini sangat luas dan beraneka ragam, dalam arti yang paling
sederhana dan ideal dapat diartikan sebagai usaha membangun kesejahteraan ekonomi untuk
semua lapisan masyarakat. Lihat Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahathir dan Soeharto:
Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia (Jakarta: Japan Foundation,
2005). 25
Walt Withman Rostow adalah seorang teknokrat ekonomi dan politik Amerika Serikat.
Ia pernah menjabat Asisten Khusus NSA pada masa pemerintahan London B. Jhonson. 26
Tahapan perkembangan suatu masyarakat menurut W.W. Rostow: masyarakat
tradisional sebagai masyarakat pra-tinggal landas, tinggal landas, tahap pematangan, dan tahap
konsumsi masal. Lihat Hong Lan Oei, “Indonesia‟s Economic Stabilization dan Rehabilitation
Program: An Evaluation”, Southeast Asia Program Publications: Cornell University, Vol. 5, April
1968.
32
diperhitungkan.27
Dengan demikian, tak heran jika pada masa Orde Baru haluan
politik luar negerinya lebih condong ke Barat.
Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk menerapkan tiga langkah
pembangunan ekonomi pada masa awal pemerintahannya. Langkah pertama,
menjadwalkan kembali pelunasan hutang luar sebagai langkah awal untuk
mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi
yang tak terkontrol melalui program impor komoditi besar-besaran yang dibiayai
oleh pinjaman-pinjaman hasil renegosiasi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-
besarnya terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.28
Pemerintah yakin bahwa pertumbuhan karena suntikan modal dan
teknologi dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Rencana
ini diumumkan pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Ketetapan MPRS No. XXIII
tentang “Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan”. Rencana ini dirinci ke dalam 3 tahap pembangunan. Pertama,
tahap penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi
lebih buruk lagi. Kedua, tahap stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi, yang
mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi. Ketiga, tahap
pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.29
27
Inti dari gagasan Keynes adalah menghendaki adanya campur tangan pemerintah dalam
pengaturan ekonomi. Gagasan ini muncul sebagai tanggapan dari ide pasar bebas Adam Smith
yang dianggap gagal karena telah membuahkan depresi hebat tahun 1930. Lihat Jr. Ekelund,
Robert B, and Robert F. Herbert, A History of Economic Theory and Method, 5th
ed (Illinois:
Waveland Press Inc, 2007). 28
Zulkarnain Djamin, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Sejak repelita Pertama
(Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1984), h. 120. 29
Emil Salim “Seribu Hari Pertama Orde Baru 1965-1968” dalam St. Sularto (ed.),
Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Kompas, 2000).
33
Sebagai upaya untuk memperbaiki perekonomian bangsa, dikeluarkan
kebijakan ekonomi bernama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang
mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 1969. Pernyataan resmi mengenai rencana
akan dikeluarkannya kebijakan ini adalah pada tanggal 16 Agustus 1967, dalam
Pidato Acting Presiden RI Soeharto, pada upacara kemerdekaan RI. Dalam
pidatonya tersebut disampaikan bahwa rencana tersebut akan berlaku pada periode
1969-1973 dan akan dibahas terlebih dahulu selama tahun 1968 oleh Bappenas
(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) bersama-sama dengan instansi
terkait lainnya.30
Ide pembuatan Repelita ini tidak terlepas dari peran Widjojo dan
Emil Salim selaku penasehat ekonomi presiden yang merupakan Direktur dan
Wakil Direktur di Bappenas.
Dalam Repelita tersebut dinyatakan bahwa tugas utama dari pemerintah
baru adalah untuk menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina
landasan sehat bagi pertumbuhan ekonomi yang wajar.31
Untuk memungkinkan
ini maka terlebih dahulu perlu dilakukan pengendalian laju inflasi dan usaha
rehabilitasi ekonomi karena hanya apabila laju inflasi telah dapat dikendalikan
dan tercapai suatu stabilitasi ekonomi, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan
ekonomi yang wajar serta terbuka kesempatan bagi kesempatan produksi. Tingkat
inflasi pada tahun 1966 mencapai 650 persen, dan pada tahun 1967 adalah 120
persen sementara pada tahun 1968 turun kembali menjadi 85 persen.32
Dan
sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah di bidang pangan, sandang,
30
Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) No. 10, Februari 1968, h. 24. 31
Keppres RI No. 319 Tahun 1968. 32
Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980
(Jakarta: LP3ES, 1991), h. 51.
34
perbaikan sarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan pekerjaan dan
kesejahteraan rohani. Selain itu juga dilakukan berbagai upaya untuk melakukan
penambahan devisa.33
Pada tanggal 1 Januari 1967, pemerintah Orde Baru memberlakukan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA), yang terdiri dari insentif-
insentif pemerintah untuk modal asing.34
Dan pada tanggal 3 Juli 1968 pemerintah
memberlakukan UU No. 6 Tahun 1968 sebagai Undang-Undang Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN). Kedua Undang-Undang itu dimaksudkan untuk
membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta. Kebijakan
itu dirumuskan dengan bantuan dan nasihat dari ahli-ahli ekonomi dan tenaga-
tenaga profesional yang memiliki hubungan dekat dengan kalangan militer.
Kalangan militer pada masa Orde Baru memiliki kekuatan yang besar dalam
pemerintahan yang dilegitimasikan lewat Dwi Fungsi ABRI. Konsep ini
menyatakan bahwa kalangan militer memiliki kekuatan militer sekaligus kekuatan
sosial politik. Kekuatan militer ini semakin kuat setelah terjadi kudeta pada tahun
1965. Meskipun pada tahun 1950-an, militer juga sudah terpolitisasi.35
Tujuan
kalangan militer memasuki urusan politik luar negeri adalah untuk mengikis
anggota PKI dan simpatisannya dalam tubuh Departemen Luar Negeri. Bahkan
33
Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan sampai Banting
Stir (Jakarta: Pustaka Data, 1996), h. 3. 34
Lihat keterangan dalam Badan Penerbit Yayasan Dana Bantuan Kesejahteraan
Masyarakat Indonesia, Presiden Soeharto: Bapak Pembangunan Indonesia: Evaluasi Pembngunan
Pemerintah Orde Baru (Jakarta: BPYDBKMI, 1983). 35
Misalnya saja di tahun 1958, A.H. Nasution mengemukakan suatu ide yang dikenal
sebagai “Jalan Tengah” (Middle Way). Ia berpendapat bahwa militer tidak akan berusaha untuk
mengambil alih pemerintahan, namun tidak juga nonaktif secara politik. Realisasinya adalah
militer dapat mengajukan hak untuk memiliki perwakilan di pemerintahan, DPR, dan birokrasi.
Konsep ini diartikan sebagai peran militer dalam bidang non-keamanan. Ide dari Nasution ini
kemudian menjadi awal dari konsep Dwi Fungsi ABRI. Lihat Harold Crouch, “Patrimonialism and
Military Rule in Indonesia”, Cambridge University Press. Vol. 31 No. 4, Juli 1979.
35
militer duduk bersama dengan partai-partai politik dalam komisi I DPR (Komisi
Luar Negeri dan Pertahanan).36
Repelita I yang dijalankan ternyata menunjukkan keberhasilan yang
ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat yakni 9,4% pertahun, jauh
di atas target yang telah ditentukan yaitu kurang lebih 5 %. Pertumbuhan itu
terjadi di sektor pertanian, yang sebenarnya tercapai karena meningkatnya
kegiatan di bidang kehutanan (21,4 % pertahun) dan ekspor kayu gelondongan.
Pertumbuhan yang sangat pesat juga tampak di sektor-sektor produksi barang dan
pertambangan yang sebagian besar meliputi pertambangan minyak bumi dan
kegiatan manufaktur.37
Kesemuanya itu karena cepatnya arus masuk modal asing.
Beberapa pengamat menyatakan bahwa Repelita I ini bersifat politis,
karena sebagai upaya Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitasi, akibat
adanya rasa frustasi atas beban perekonomian yang buruk. Repelita ini dilakukan
untuk pencapaian kondisi perekonomian yang lebih baik di masa depan. Selain itu
juga dianggap sebagai suatu bentuk penghormatan atas ideologi populer bahwa
Indonesia sebagai negara yang masih belum berkembang berusaha untuk
menunjukkan jati dirinya sebagai negara yang memiliki perekonomian yang
terencana dan terstruktur.38
36
Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto (Jakarta: LP3ES,
1998), h. 50-53. 37
Yahya A. Muhaimin, Op. Cit., h. 54. 38
BIES, Op. Cit., h. 25.
36
C. Jurnal Prisma dan Orde Baru
1. Sejarah dan Tujuan
Salah satu lembaga swasta atau lembaga non-pemerintah yang berperan
dalam pelaksanaan pemerintahan Orde Baru adalah Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Beberapa orang di
dalam dewan tersebut pernah mendekap di dalam penjara atau mengalami masa
pembuangan yang lama seperti salah satunya yaitu Soemitro Djojohadikusumo.
Dari kalangan yang lebih muda beberapa tokoh seperti Nono Anwar Makarim dan
Ismid Hadad yang memegang peran penting dalam aksi menghancurkan Partai
Komunis Indonesia dan menjatuhkan Soekarno pada tahun 1965-1968. Mereka
adalah kelompok yang mempelopori berdirinya LP3ES. Mereka adalah para
mantan aktivis mahasiswa yang bekerjasama dengan militer Indonesia dalam
menghancurkan PKI dan menjatuhkan Soekarno.39
Koalisi kaum cendekiawan
profesional, mahasiswa, para professor dengan Orde Baru dan pendukung
utamanya (militer) adalah gabungan yang tidak nyaman bagi kedua belah pihak.
Budaya berpikir kritis pihak cendekiawan dan nafsu menguasai dari pihak militer
adalah gabungan rapuh yang tidak menjadi jaminan bagi suatu koalisi abadi justru
karena adanya kekuatan asimetrik antara mahasiswa dan militer. Sebenarnya
kekecewaan terhadap Orde Baru sudah terjadi tidak lama setelah Soekarno jatuh
ketika terjadi kudeta sesungguhnya oleh militer pada tanggal 11 Maret 1966.40
39
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 443-444. 40
Kudeta itu terjadi dengan sepucuk surat yang disebut sebagai “Surat Perintah Sebelas
Maret” yang sangat kontroversial. Hal itu menjadi persoalan apakah surat itu benar ada atau tidak
karena tidak ada satu orang pun yang pernah melihat versi asli surat tersebut. Apa pun yang terjadi
dengan surat tersebut suatu kudeta terhadap Soekarno oleh militer yang sesungguhnya terjadi pada
37
LP3ES merupakan jelmaan politik dari dua ide utama yang disandang PSI
(Partai Sosialis Indonesia) yang akan diterjemahkan ke dalam situasi Indonesia
pasca-kemerdekaan dan pasca Demokrasi Terpimpin.41
Gagasan awal mendirikan
LP3ES itu adalah untuk menjadikannya wadah alternatif untuk persiapan buat
para aktivis melanjutkan perjuangannya. Karena hampir sebagian besar yang
mendirikannya adalah kaum aktivis gerakan 1966, sebagaimana kita ketahui
bahwa pada masa itu sangat banyak gerakan aliansi mahasiswa dan ABRI.42
LP3ES didirikan pada bulan Agustus 1971 dengan pikiran menjadi suatu lembaga
alternatif. Sejak saat itulah pemerintah Orde Baru membuka kerjasama dengan
Friedrich Naumann Stiftung.43
Pada 7 Juli 1970, sekelompok cendekiawan, akademisi, petinggi
pemerintahan dan beberapa aktivis membentuk Perhimpunan Indonesia untuk
Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos)44
dengan sejumlah pendiri organisasi
hari itu. Lihat penjelasan Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru, Op. Cit., h. 144. 41
Hal yang sama sebenarnya bisa dikatakan untuk kelompok yang berhimpun di sekitar
LP3ES dan Prisma, yang pada dasarnya berorientasi “Sjahrir-ian” dalam pandangannya tentang
modernisasi, modernisme, dan pembangunan ekonomi. 42
Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 449. 43
Modal adalah sesuatu yang langka pada waktu itu, apalagi modal untuk mendirikan
suatu yayasan. Namun, kebetulan ada yang membantu. Pada waktu itu Nono Anwar Makarim
mengikuti suatu lomba penulisan dan diundang membawakan karya tulisnya di Berlin. Di sana
bertemu dengan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa Jerman dan beberapa orang dari yayasan-yayasan
Jerman, Stiftung, seperti Friedrich Naumann Stiftung. Itulah kontak pertama dengan Friedrich
Naumann Stiftung. Mereka mengirim Dieter Wilke ke Jakarta. Dieter Wilke itulah yang
mengerjakan segala-galanya dan sejak itu mondar-mandir antara Indonesia-Jerman. Wilke sendiri
adalah aktifis mahasiswa Jerman yang banyak melakukan kontak dengan kaum aktivis Perancis
seperti Daniel Cohn Bendit. Hal ini dijelaskan oleh Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 450. 44
Bineksos merupakan organisasi berbadan hukum perkumpulan yang disahkan
Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor Y.A.5/36/12,
tertanggal 22 Januari 1973. Setidaknya terdapat lima nama yang disebut sebagai perintis lahirnya
Bineksos: Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, Dr. Emil Salim, Dr. Satrio B. Joedono, dan Prof.
Soemitro Djojohadikusumo. Pembentukan Bineksos sesungguhnya tidak terlepas dari
kemungkinan menjalin kerjasama dengan FNS yang memerlukan sebuah organisasi sebagai
counterpart-nya di Indonesia. Lihat http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September,
atau dosen perguruan tinggi, 9 persen kalangan swasta, 7 persen kaum
profesional, dan 3 persen anggota TNI dan Polri dan kelompok lainnya. Dengan
kata lain, 69 persen pembaca Prisma adalah golongan muda 19-34 tahun, 72
persen berpendidikan sarjana muda atau lebih, dan 49 persen bekerja di
lingkungan perguruan tinggi. Hasil survei itu membuktikan bahwa ide dasar dan
tujuan penerbitan Prisma untuk menjadi forum komunikasi dan pembahasan
masalah pembangunan sosial ekonomi bagi para sarjana dan cendekiawan muda
serta media informasi bagi para praktisi dan pejabat pemeintahan telah berhasil
dicapai.
Akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an merupakan masa kejayaan
Prisma. Hal ini sejalan dengan pembaharuan isi Prisma yang kian semarak dengan
rubrik-rubrik baru. Tahun 1978 Prisma menghadirkan rubrik “Laporan Khusus”.59
Sebelumnya, pada tahun 1976 Prisma menghadirkan rubrik “Dialog”.60
Rubrik
lain yang diperkenalkan sejak 1979 antara lain “Dunia Ketiga61
, Tesis62
, Tinjauan
59
Sebuah laporan jurnalistik yang digarap oleh redaksi dan disajikan setiap tiga bulan
yang tidak harus sejalan dengan topik utama. 60
Berupa wawancara dengan beberapa tokoh. 61
Merupakan artikel terjemahan tentang berbagai masalah negeri-negeri berkembang di
Asia Tenggara. 62
Berupa ringkasan tesis atau disertasi bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora mengenai
msalah Indonesia yang ditulis oleh sarjana Indonesia.
44
Buku63
dan Kritik dan Komentar”. Pada 1982, Prisma memunculkan rubrik
“Tokoh” berupa tulisan mendalam tentang saksi atau pelaku sejarah yang
memiliki andil dalam perjalanan negeri ini. Rubrik itu banyak mencuri perhatian
pembaca, termasuk rezim Orde Baru saat mengangkat dan mengulas tokoh-tokoh
tertentu yang ditulis oleh penulis atau cendekiawan tertentu. Bagaimanapun juga
rubrik-rubrik tersebut membuat isi Prisma lebih bervariasi.
3. Analisis isi Jurnal
Apabila kita perhatikan Prisma sejak tahun 1971, maka bisa dikatakan
bahwa secara teoritis majalah ini berada di jalur-jalur dari teori-teori modernisme
dan modernisasi. Hampir seluruh asumsi dan basis teoritis yang melatarbelakangi
para editor dan para penulisnya adalah berbasis teori modernisasi. Prisma hampir
tidak mungkin melepaskan diri dari tuntutan zaman pada saat itu. Beberapa
asumsi teoritis bisa ditelusuri. Pertama, modernisasi tidak lain adalah kegiatan
mengubah persepsi dan sikap menuju pertumbuhan ekonomi dan perubahan
teknologi. Keberhasilan mengubah keduanya adalah langkah utama dalam
membawa modernisasi. Kedua, kalau modernisasi menjadi sasaran utama maka
hampir semua sektor lain akan menjadi instrument bagi pencapaian tujuan
modernisasi tersebut. Ketiga, modernisasi tidak bisa dicapai tanpa industrialisasi.
Sedangkan industrialisasi menimbulkan social problem, karena itu modernisasi
pada dasarnya membawa masalah-masalah sosial. Modernisasi membawa
masalah-masalah partisipasi, persoalan rakyat kecil dan lain sebagainya.64
63
Yang mengulas secara ringkas dan mendalam isi sebuah atau beberapa buku. 64
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Op. Cit., h.
459-460.
45
Semuanya tentu saja ditebus dalam pandangan Prisma tentang ekonomi.
Tanpa menghiraukan semua yang terjadi di bidang politik, dan terutama dalam
bidang ekonomi politik, maka ekonomi Prisma terbagi menjadi dua. Dalam moral
ekonomi seluruh lembaga LP3ES dan Prisma sendiri berpihak kepada kaum
lemah. Dalam paham ekonomi dan dalam manajemen ekonomi seluruhnya berada
dalam tataran reifikasi, dalam artian semua pikiran yang diberikan Prisma adalah
kepada ekonomi makro. Ekonomi makro dalam artian Keynesian memberikan
kesempatan campur tangan pemerintah dengan mengolah kestabilan dengan alat-
alat seperti kebijakan moneter, fiskal, mengontrol neraca perdagangan dan neraca
pembayaran dan lain-lain sebagainya. Namun, persoalan siapa yang menguasai
industri minyak, kemana seluruhnya dipakai, tidak pernah menjadi soal Prisma.65
65
Hal ini dijelaskan secara jelas dalam tulisan yang dimuat dua kali berturut-turut dalam
dua nomor Prisma, No. 4 dan No. 5 tahun 1972. Di sana dikemukakan statistik ekspor minyak
Indonesia. “Minyak bumi merupakan komoditi ekspor terbesar Indonesia. Pada tahun 1970, ekspor
minyak bumi bernilai US$ 450 juta atau 39,1% dari keseluruhan jumlah ekspor Indonesia, tahun
1971 sebanyak US$ 541 juta dan merupakan 41,85 dari ekspor Indonesia”. Sementara semua
angka statistic ekspor ini benar dan di pihaknya dengan sendirinya mengatakan bahwa kebijakan
ekonomi berada di dalam jalur yang benar, kontrol ekonomi makro tidak mampu melihat apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam dunia real ekonomi sesungguhnya. Tulisan ini sama sekali
mengabaikan kenyataan ini. yang terjadi di sini adalah korupsi yang tidak tertandingkan. Baca
artikel Dahlan Thalib, Índustri Minyak Bumi di Indonesia”, Prisma No. 4 dan 5 tahun 1972.
46
4. Para Kontributor (Penulis) di Bidang Ekonomi dan Politik Ekonomi
Dalam seluruh penerbitannya, Prisma menerbitkan 1595 kaum intelektual
pada umumnya sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini.
Para Penulis Prisma, 1971-199866
Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Total Persentase
Pria Perempuan
Lain-lain 19 0 19 2
SLTA/ Mahasiswa 32 1 33 3
Akademi/D-III 6 3 9 0.9
Strata-1 259 29 288 29
Strata-2 203 25 228 23
Strata-3 374 33 407 41
Total 893 91 984 98.9
Tabel tersebut menunjukkan dominasi mereka yang berada dalam strata
akademi tertinggi, para doctor dalam bidang masing-masing baru setelah itu
disusul oleh strata satu dan strata dua. Kaum akademis sungguh-sungguh
menguasai jurnal ini. Dominasi mereka yang berasal dari strata tiga untuk satu hal
menunjukkan dominasi kaum spesialis dan bidang tertentu, yang kelak akan
memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap komposisi dan struktur kaum
cendekiawan Indonesia sendiri. Kemudian table berikut ini menunjukkan asal
muasal mereka yang menulis di jurnal Prisma.
66
Sumber: Database Prisma, yang disusun khusus. Jumlah tidak sampai seratus persen
karena pembulatan ke atas dan ke bawah. Lihat Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 761.
47
Wilayah Studi Para Penulis Prisma67
Bidang Studi Benua Tempat Studi: Strata Satu, Strata Dua dan Strata
Tiga
Indones
ia
Afr
ika
Am
erik
a
Asi
a
Aust
rali
a
Ero
pa
Total Persentase
Ekonomi 109 0 218 33 21 69 450 28
Hukum 24 0 14 0 0 8 46 3
Ilmu Sosial
dan
Kemanusiaan
394 1 363 45 67 175 1045 66
Iptek 12 0 28 0 1 13 54 3
Total 539 1 623 78 89 265 1595 100
Bersama itu pula kelihatan bahwa dominasi kaum laki-laki begitu besar,
91 persen sehingga hanya menonjolkan perbedaan begitu besar dengan kaum
perempuan yang berkiprah di dalam jurnal ini, 9 persen. Meskipun demikian data
ini hanya bisa ditafsirkan degan mengingat beberapa hal berikut ini. Pertama,
sebagian besar penulis adalah atas inisiatif redaksi dengan demikian ini lebih
menunjukkan kemana minat para pengasuhnya dan tidak menunjukkan minat dan
kemampuan intelektual suatu bangsa. Kedua, meskipun demikian karena Prisma
67
Sumber: Database Prisma. Angka-angka di atas menunjukkan jumlah tulisan yang ada
dalam jurnal Prisma. Setiap penulis yang dalam biodata mengatakan pernah memperoleh ijazah
strata satu sampai dengan tiga di salah satu tempat di luar Indonesia langsung dikategorikan
mengambil pendidikan di sana. Dengan begitu yang berada dalam kategori Indonesia adalah
mereka yang semuanya berpendidikan S-1 sampai S-3 yang berlangsung di Indonesia. Ibid, h. 761.
48
juga mengumumkan topik dan lain sebagainya maka ini juga mencerminkan
persediaan, availability, yang berada di dalam masyarakat intelektual.68
Secara keseluruhan dikatakan bahwa 40 persen para penulis Prisma adalah
mereka yang dididik di dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk ekonomi, di universitas-
universitas di Amerika Serikat dengan pengaruh yang sangat menentukan.
Dominasi perguruan tinggi Amerika Serikat dalam Prisma berlangsung dari
periode ke periode Prisma, dengan dominasi pada periode pertama yaitu 1971-
1975, sebanyak 44 persen para penulis adalah mereka yang mengenyam
pendidikan di Amerika Serikat.
Perubahan besar di dalam Prisma terjadi tahun 1976 dan berjalan sriring
dengan perubahan-perubahan keorganisasian dalam ilmu-ilmu sosial yang
ditimbulkan oleh pemunculan organisasi seperti HIPIIS69
dan ISEI70
dan lain-lain.
Prisma pada awalnya terbit sebagai suatu kwartalan, empat kali setahun yang
berarti terbit setip tiga bulan, kemudian Prisma terbit menjadi dwi bulanan, kini
diubah menjadi terbit setiap bulan.71
Pada pertengahan dan akhir tahun 1970-an terjadi berbagai pemberontakan
di kampus-kampus. Yang mana pada saat itu tujuan utamanya adalah untuk
menggantikan Orde Baru sambil dalam jangka pendek tidak bersedia membiarkan
Soeharto mencalonkan dirinya kembali. Sebagai akibatnya kampus-kampus
ditutup menjadi suatu dunia enclave di dalam sistem sosial dan politik dengan
suatu semboyan yang sangat efektif yakni “Normalisasi Kehidupan Kampus”.
68
Ibid, h. 467. 69
Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. 70
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. 71
Ibid, h. 470.
49
Namun suatu gerak balik terjadi di luar rencana Orde Baru. Dengan memaksakan
kampus-kampus menjadi enclave maka kultur diskursus kritis bertumbuh subur di
sana. Karena kontak yang efektif antara Prisma dan kampus-kampus maka
kegusaran yang hampir sama juga melanda Prisma.
Mereka menjadi penguasa keadaan dalam arti bahwa struktur politik
menghilangkan ancaman-ancaman terhadap mereka biarpun mereka belum
atau bukan penguasa keadaan. Pokoknya optimisme golongan
cendekiawan menengah kota menghadapi persoalan-persoalan lain dari
pada sebelumnya. Dan Prisma adalah penjelmaan yang khas dari suasana
ini. Yang menjadi persoalan di sana bukan lagi eksistensi dirinya atau
manusia akan tetapi bagaimana penyelesaian persoalan-persoalan dan
garis-garis gerak masyarakat dan negara, karena dia telah menjadi bagian
dari keadaan dan bukan lagi perenung tentang keadaan seperti
sebelumnya. Hal ini sebenarnya agak bertentangan dengan tujuan
Prisma.72
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Onghokham terhadap Prisma,
dapat dikatakan bahwa Prisma adalah sebagai alat pembudayaan bahasa para
teknokrat, terutama bahasa statistik, berpihak pada kelas menengah kota, dan
menjadi bagian dari masyarakat dagang. Setidaknya ada tiga hal yang dikehendaki
oleh kelas menengah kota dengan Prisma. Pertama, Prisma adalah suatu alat
untuk membudayakan bahasa para teknokrat. Para cendekiawan ingin
menunjukkaan pada masyarakat persoalan apa dan bagaimana pemecahannya.
Dalam hal ini Prisma berdialog dengan masyarakat khususnya pada para
pendukungnya dan berada di pihak pemerintah. Kedua, Prisma mengambil sikap
berpihak pada golongannya dalam arti kelas menengah kota dan menjelaskan pada
masyarakat tentang persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dan negara
pada umumnya, serta kemungkinan-kemungkinan jawaban masyarakat atau
72
Baca Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia Sebagaimana Terekam dalam
Prisma”, Prisma, November 1980, h. 61.
50
unsur-unsurnya terhadap keadaan. Ketiga, Prisma hanya ingin menjadi suatu alat
cendekiawan populer dan hanya ingat pada grafik sukses dan jumlah-jumlah
penjualan, jadi hanya mengikuti selera masyarakat. Namun faktor ketiga ini agak
penting untuk menjaga bahwa Prisma tidak terlalu menjadi irrelevant bagi
masyarakatnya.73
Onghokham membandingkan Prisma dengan Horison yang lebih
mengambil sikap “menolak satu kekuatan monolitik, menolak usaha-usaha yang
memutuskan apa yang baik untuk rakyat”. Menurut Onghokham semua majalah
mengambil sikap kultural “menanyakan eksistensi manusia” dan hal-hal semacam
itu hampir tidak didapatkan di dalam Prisma.
Kita menolak usaha-usaha untuk membina di negeri kita satu kekuasaan
yang monolitik, yang hendak mencap seluruh bangsa kita dalam satu
warna yang dibolehkan oleh pihak resmi saja, yang hendak membuat
seluruh rakyat kita jadi beo, yang hendak memutuskan apa yang baik
untuk rakyat tanpa persetujuan rakyat kita.74
Bahwa Prisma dengan demikian sudah terjerumus ke dalam alam
teknokratis dan menjadi “anti-intelektual”. Prisma sudah mengambil alih wacana
Orde Baru dan menjadi kawan seiring dalam wacana pembangunan. Karena itu
salah satu jenis perubahan adalah membuat Prisma lebih historis dalam arti lebih
berorientasi pada dialektika kekuatan dalam masyarakat. Dialektika diambil dalam
pengertiannya yang sederhana yaitu relasi dan konflik yang dihasilkan kekuatan-
kekuatan dalam masyarakat dalam berbagai jenisnya baik relasi kekuatan
ekonomi, kekuasaan politik, dan relasi sosial yang membawa konsekuensi
ekonomi-politik.
73
Hal ini berdasarkan penjelasan Daniel Dhakidae, Cendekiawan … Op. Cit., h. 481. 74
Dikutip dari “Kata Perkenalan” dalam Horison, Th. I, No. 1 Juli 1965, h. 3.
51
Menurut seorang peneliti Perancis, Marcell Bonneff, tinjauan Onghokham
sendiri tajam menembus pada saat itu dan malah kejam bagi dunia cendekiawan
dan untuk Prisma, dan memang agak merusak diri sendiri, bagi penulisnya, auto-
destructeur, karena sebagaimana diketahui Onghokham adalah salah satu
kontributor yang paling sering menulis di Prisma dan juga tentu salah satu dari
yang paling brilian.75
75
Ketika Prisma menerbitkan Manusia-manusia dalam Kemelut Sejarah maka yang
dikerjakan di sana lebih dari sekedar seperti dikatakan oleh Marcell Boneff sebagai une
rehabilitation de Soekarno, rehabilitasi Soekarno. Di sana dicoba memanggungkan suatu
perlawanan ideologis dan historis terhadap Orde Baru dibandingkan dengan turun ke jalan untuk
mementaskan kerja “parlemen jalanan”. Dikutip dari Daniel Dhakidae, Cendekiawan…, Op. Cit.,
h. 487.
52
BAB III
CENDEKIAWAN MUSLIM DAN ORDE BARU
A. Sejarah Profil
Istilah pertama dalam bahasa Indonesia (Melayu) yang mengindikasikan
lahirnya inteligensia Hindia Belanda adalah „bangsawan pikiran‟ yang mulai
muncul dalam ruang publik pada dekade pertama abad ke-20. Istilah itu
merupakan sebutan untuk generasi baru dari orang-orang Hindia Belanda yang
terdidik secara modern dan ikut serta dalam gerakan menuju kemajuan,
berlawanan dengan istilah „bangsawan oesoel‟ yang dikaitkan dengan
kebangsawanan yang lama. Istilah „bangsawan pikiran‟ digunakan baik untuk
menunjuk pada individu „intelektual‟ maupun pada entitas kolektif „inteligensia‟
Hindia Belanda. Untuk menegaskan mulai hadirnya komunitas baru inteligensia
seperti yang dibayangkan, maka kolektivitas „bangsawan pikiran‟ itu kemudian
diberi nama „kaoem moeda‟, sementara kolektivitas „bangsawan oesoel‟ diberi
nama „kaoem toea‟ atau „kaoem koeno‟. Pada tahun 1910-an, penentangan para
anggota inteligensia terhadap bangsawan tua memunculkan sebuah upaya untuk
memisahkan kata „pikiran‟ dari kata „bangsawan‟, karena istilah „bangsawan‟
secara implisit berarti mengagung-agungkan hak istimewa dari bangsawan lama.
Maka, kemudian muncullah istilah „kaoem terpeladjar‟ atau „pemoeda peladjar‟
53
atau jong (dalam bahasa Belanda). Istilah-istilah ini digunakan untuk merujuk
kepada sebuah entitas kolektif dari orang-orang yang terdidik secara modern.1
Kesulitan yang dialami oleh orang Indonesia untuk membedakan antara
„intelligentsia‟ dan „intelektual‟ menjadi lebih parah lagi setelah populernya
istilah „cendekiawan‟. Menurut kamus bahasa Melayu sebelum abad ke-20 yang
disusun oleh R.J. Wilkinson, istilah „cendekiawan‟ secara etimologis berasal dari
bahasa Hindustan „chhandi-kya‟ atau „chandakiya‟ yang ketika diadopsi ke dalam
bahasa Melayu klasik (sebelum abad ke-20) memiliki arti „penipu‟ atau „pendaya‟
(orang yang licik). Kata ini misalnya dipakai dalam teks Melayu tradisional,
Hikayat Gul Bakuwali, dalam ungkapan-ungkapan seperti „chandakiya mana‟,
yang memiliki arti „sungguh seorang penipu‟ atau „sungguh seorang yang licik‟.
Sir Richard Winstedt juga mendeksripsikan kata chèndèkia dalam bahasa Melayu
sebagai bentuk ubahan dari kata chandakia yang bermakna penipu atau pendaya,
namun di daerah Melayu hal itu berarti „cherdek‟ (cerdik) atau „pintar‟.2
Dalam bahasa Indonesia, kata „tjendekia‟ muncul dalam kamus yang
disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1951), kata tersebut berarti berakal, pandai, tjerdik dan litjik, dan dalam kamus
susunan Sutan Mohammad Zain, yaitu Kamus Modern Bahasa Indonesia (1960),
disebutkan kata itu memiliki arti tjerdik. Lebih dari itu, Zain menyatakan bahwa
kata itu berkaitan dengan kata Tjanakja, yang merupakan mantan Perdana Menteri
dari sebuah Kerajaan di India pra-modern, yang terkenal karena kepintarannya
dalam beretorika. Yang terakhir, J. Gonda dalam karyanya Sanskrit in Indonesia
1 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad Ke-20 (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), h. 33. 2 Ibid., h. 35.
54
berargumen bahwa kata „cendekia‟ atau „candakiya‟ (dalam bahasa Melayu
klasik) merupakan turunan dari kata „canakya‟. Kata tersebut merujuk pada nama
dari seorang menteri dalam pemerintahan Candra Gupta di India (pada abad ke-4)
yang terkenal karena dia cerdik dan pintar dalam beretorika. Sebagai alternatif,
dia mengatakan kata „canakya‟ bisa juga merupakan turunan dari kata Hindi
„chandi‟ yang memiliki arti licik dan penipu. Sehingga, dalam dunia
Minangkabau, kata itu telah dipakai untuk menyebut seseorang yang sangat cerdik
ataupun licik.3
Pada tahun 1960-an, istilah “cendekiawan” mulai memiliki konotasi
politik bersinonim dengan konsep „intelektual‟ atau „inteligensia‟. Hal ini terlihat
dari berdirinya sebuah perhimpunan intelektual Organisasi Tjendekiawan
Indonesia (OTI) pada awal tahun 1965. Tidak lama kemudian majalah perjuangan
milik Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) Cabang Bandung yaitu
Tjendekiawan Berdjuang terbit pada tahun 1966. Pada tahun 1970-an, istilah
tersebut dipergunakan secara regular dalam wacana publik Indonesia sebagai
dampak dari kebijakan Orde Baru untuk menggantikan kata-kata dan istilah-
istilah dari Barat dengan kata-kata dan istilah-istilah Indonesia. Pada 29 Maret
sampai 2 April 1979, berlangsung sebuah seminar di Manado mengenai ‘Peranan
dan Tanggung Jawab Cendekiawan dalam Pembangunan. Beberapa tahun
kemudian (November 1976), Prisma menerbitkan edisi khusus (No. 11) yang
berjudul „Cendekiawan‟. Dalam kedua kasus itu, istilah ‘cendekiawan’
dipergunakan untuk merujuk baik pada individu „intelektual‟ (yang mencakup
3 Ibid., h. 36.
55
mulai dari ulama dan jenius lokal sampai dengan intelektual berpendidikan
modern) maupun pada representasi kolektif dari „intelligensia‟.
Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, istilah ‘cendekiawan muslim’ telah
dipergunakan secara luas dalam wacana publik. Pengaitan cendekiawan dengan
kata sifat Muslim dalam rentang waktu tersebut mencerminkan semakin
berkembangnya pengaruh dari inteligensia Muslim sebagai akibat dari
meningkatnya jumlah sarjana Muslim, penemuan ruang komunikatif inteligensia
Muslim yang berpusat di masjid-masjid kampus universitas, berkembangnya
pengaruh para intelektual Muslim yang berlatar pendidikan universitas di Barat,
serta pendalaman akomodasi inteligensia Muslim ke dalam politik dan birokrasi
Orde Baru. Dalam konteks inilah, istilah cendekiawan terutama dipertautkan
dengan identitas-identitas kolektif particular yang berasal dari panggilan‟ historis
atau fungsi sosial tertentu (yang merupakan dasar bagi terbentuknya kolektivitas
intelektual).
Kata sifat „Muslim‟ sebagai suatu ikon dari suatu identitas atau tradisi
kolektif tertentu sering dihidupkan dalam perjuangan kuasa baik dalam poros
relasi negara-masyarakat maupun dalam perbenturan-perbenturan antar kelompok
dalam masyarakat. Berdirinya berbagai perhimpunan kaum terdidik Muslim
seperti JIB (1925), SIS (berdiri tahun 1934), GPII (berdiri tahun 1945), HMI
(berdiri tahun 1947), PII (berdiri tahun 1947), IPNU (berdiri tahun 1954), PMII
(berdiri tahun 1960), IMM (berdiri tahun 1964), Persami (berdiri tahun 1964),
ICMI (berdiri tahun 1990), dan KAMMI (berdiri tahun 1998) bisa dilihat sebagai
monumen-monumen dalam reproduksi tradisi-tradisi dan identitas-identitas
56
kolektif inteligensia Muslim. Jelas bahwa kolektivitas dari orang-orang terdidik
Muslim dalam berbagai perhimpunan tersebut dan juga dalam banyak organisasi
kultural dan politik lainnya lebih baik dipahami sebagai kolektivitas dari
„inteligensia‟ dari pada sebagai kolektivitas dari „para intelektual‟. Meski
demikian, penting dicatat bahwa tidak ada kolektivitas tanpa para intelektual.4
B. Peran-Peran Strategis
Para elite Orde Baru menyadari bahwa pilihan terhadap modernisasi akan
membawa pengaruh tersendiri. Preferensi model pembangunan yang dipilih atas
dasar pengalaman negara-negara Barat itu, membawa konsekuensi bagi muculnya
proses transformasi kultural dan pembaruan sosial yang tidak selalu sejalan
dengan nilai-nilai yang sudah ada dan berkembang. Namun, pilihan ini tidak
hanya mendapat dukungan dari kalangan militer dan teknokrat yang
mengendalikan birokrasi, melainkan juga dari kalangan intelektual modernis
sekuler yang berada di luar birokrasi. Dukungan kelompok ini bisa dipahami,
mengingat kerinduan mereka akan munculnya suasana baru setelah sekian lama
kehidupan mereka terkadang terbelenggu oleh rezim Orde Lama. Selain itu, sejak
awal dekade 1960-an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab
dengan teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negara-
negara Barat maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh.
Sebaliknya, di kalangan umat muslim Indonesia, modernisasi merupakan
persoalan yang relatif baru. Apalagi pada saat itu mereka dihadapkan pada
4 Ibid., h. 37-38.
57
kenyataan bahwa modernisasi yang sudah menjadi pilihan pemerintah Orde Baru,
menempatkan preferensi ideologis yang nyata-nyata berkiblat pada Barat. Atau
menolak dengan konsekuensi kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi secara
aktif dalam program pembangunan yang sudah mendapat dukungan luas dari
berbagai pihak, termasuk pihak-pihak di luar Islam. Dilema tersebut menimbulkan
perbedaan di kalangan Islam dalam menanggapi modernisasi, yang secara garis
besarnya dapat dikemukakan dalam beberapa pola.5
Dimensi terpenting dari kebijakan Orde Baru adalah komitmen mereka
terhadap modernisasi. Pada dasarnya komitmen pada modernisasi ini disamping
merupakan pilihan yang dianggap strategis, juga sengaja dirancang untuk
mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat. Selain itu juga dijadikan sebagai
upaya untuk menarik dukungan negara-negara Barat atau investor asing untuk
bisa memberikan bantuan bagi pelaksanaan pembangunan di masa-masa awal
Orde Baru. Belajar dari kegagalan Orde Lama yang sangat mengutamakan
orientasi ideologis bagi pembangunan, Orde Baru menempuh pendekatan yang
berorientasi pada program. Ketidakstabilan politik yang menyebabkan kehancuran
ekonomi di masa rezim Orde Lama, dianggap sebagai dampak dari pertentangan
ideologis yang lahir dari kebijakan “politik sebagai panglima”. Akibatnya semua
aspek non politik seperti pembangunan ekonomi, industrialisasi, atau pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat terabaikan.6
5 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), h. 381-382. 6 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 249. Lihat juga Mohtar Mas‟oed,
Op. Cit., h. 47-48.
58
Untuk itu pemerintah Orde Baru berusaha meyakinkan rakyat dan para
pendukungnya, bahwa masa depan Indonesia haruslah bebas dari politik yang
didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dianggap sebagai warisan masa lalu
yang harus disingkirkan. Sebagai gantinya, aparat birokrasi dan intelektual yang
mendukung Orde Baru mengajukan argument tentang perlunya pembentukan
suatu masyarakat yang bebas dari konflik ideologis dan memprioritaskan
pembangunan ekonomi yang berorientasi keluar.
Argumen ini mendapat sambutan hangat di kalangan kaum intelektual,
yang memang sudah sejak lama menghendaki terwujudnya pembaharuan sistem
politik setelah demokrasi terbelenggu oleh rezim lama. Sambutan positif terutama
datang dari kaum intelektual yang memberikan apresiasi terhadap implementasi
nilai-nilai modernitas yang sekuler di Indonesia, seperti: pragmatisme,
rasionalisme, dan internasionalisme. Mereka ini, kalaulah tidak semua, banyak di
antaranya mempunyai ideologi kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Walau PSI
dibubarkan oleh rezim Soekarno pada tahun 1960, pengaruh kelompok apresiatif
terhadap nilai-nilai modernitas yang sekuler itu cukup luas, khususnya di
kalangan intelektual dan kelompok mahasiswa tertentu di Jakarta dan Bandung
pada tahun 1960-an.7
Sebenarnya kemunculan kelompok intelektual apresiatif terhadap nilai-
nilai modern yang sekuler itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosialis eropa.
Dalam dasawarsa 1950-an dan awal 960-an, kaum intelektual tersebut secara
informal mengelompok di sekitar pemimpin-pemimpin yang oleh Herbert Feith
7 Mohtar Mas‟oed, Op. Cit., h. 132.
59
disebut bertipe “administrator”,8 seperti Mohammad Hatta, Sultan Hamengku
Buwono IX, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Tetapi artikulasi paling menonjol dari
intelektual ini ada di lingkungan PSI. Sebab partai ini, meskipun sedikit jumlah
anggotanya, namun merupakan satu-satunya partai yang mana kaum intelektual
beraliran liberal aktif melibatkan diri dalam pertukaran gagasan dan literatur
tentang masalah-masalah kontemporer.9 Di antara berbagai pandangan ideologis
selama dekade 1940-an dan 1950-an yang relevan dengan masa awal Orde Baru
adalah apa yang dikemukakan oleh pemimpin sosialis Sutan Sjahrir. Menurut
Sjahrir, tujuan akhir Indonesia adalah:
Menciptakan suatu ekonomi berdasar industri, suatu masyarakat
egalitarian, dan suatu negara kesejahteraan yang aktif berdasarkan prinsip-
prinsip demoratis. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan dukungan dan
kerjasama dengan Barat yang telah berpengalaman dalam mencapai
kemajuan industri.10
Seorang tokoh sosialis lainnya, Soedjatmoko, dalam perspektif lain
menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia dekade 1950-an yang penuh
dengan pertentangan politik. Dalam sebuah artikel yang dimuat dalam majalah
Konfrontasi tahun 1953, Soedjatmoko mengkritik bahwa pemimpin-pemimpin
politik lama yang terlalu terlibat dalam percaturan politik yang jauh dari
kepentingan rakyat. Mereka ini menjadi sumber dari kelumpuhan gerakan rakyat
dan menghambur-hamburkan tenaga nasional melalui konflik antar ideologi dan
aliran politik. Sementara pengabdian daerah telah menimbulkan berbagai masalah
8 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Itacha and
London: Cornell University Press, 1962), h. 113-122. 9 Hal ini dijelaskan dalam M. Syafi‟I Anwar, “Hubungan Cendekiawan Muslim dan
Birokrasi Orde Baru: Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam
Orde Baru 1966-1993” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
1994), h. 63. 10
Mohtar Mas‟oed, Op. Cit., h. 134.
60
yang juga terlihat di lapangan kebudayaan dan mengancam persatuan Indonesia.
Dalam hal ini Soedjatmoko berkata:
Lukisan seluruhnya adalah suatu lukisan yang menunjukkan terhentinya
perkembangan nasional, kebuntuan, tiada bertujuan, perpecahan, serta
disintegrasi masyarakat11
Oleh karena itu ketika Orde Baru muncul dengan melakukan
pembaharuan-pembaharuan politik dan ekonomi, Soedjatmoko termasuk di antara
tokoh yang sangat optimis. Dalam suatu pertemuan internasional untuk Dyason
Memorial Lectures di Australia tahun 1967, Soedjatmoko menyampaikan
ceramah yang kemudian menjadi sangat terkenal, “Indonesia: Problems and
Opportunities”.12
Dalam analisisnya yang mendalam, Soedjatmoko menguraikan
dinamika dan perkembangan politik Indonesia modern, perlu dilihat dua aliran
utama tradisi kebudayaan yang menjadi akar-akarnya yakni Jawa dan Islam, serta
pertemuan dan pergumulannya dengan aliran dan ideologi-ideologi modern
lainnya seperti nasionalisme, sosialisme, internasionalisme, demokrasi dan
sebagainya.13
Di bidang ekonomi, pemikiran W. W. Rostow juga berpengaruh di
kalangan intelektual pendukung Orde Baru, khususnya para ekonom. Lewat
karyanya The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Rostow
menguraikan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa dan
Amerika dalam beberapa tahapan yakni: tahapan masyarakat tradisional
11
Soedjatmoko, “Perlunya Penyesuaian Kreatif”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles,
ed., Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, terj. Min Yubhaar (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 243. 12 Sodjatmoko, “Indonesia: Problems and Opportunities”, Australian Outlook, Vol. 21
Number 3, December, 1967, h. 263-286. 13
Dijelaskan dalam M. Syafi‟I Anwar, “Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi
Orde Baru: Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam Orde Baru
1966-1993” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1994), h. 64.
61
(traditional society), tahapan pra-kondisi untuk tinggal landas (the pre-conditions
for take off), dan akhirnya tahapan lepas landas (the take-off).14
Meskipun Rostow
menguraikan pengalaman empiris pembangunan ekonomi negara-negara Eropa
Barat dan Amerika, pandangannya itu banyak ditransformasikan oleh kaum
intelektual dan para pengambil kebijakan di negara-negara sedang berkembang
yang sedang melaksanakan program pembangunan, termasuk Indonesia.
Sebenarnya jika dilihat dari segi sosio-historis, persoalan modernisasi
yang mencuat di Indonesia dalam dasawarsa tahun 1960-an merupakan tema baru
dalam konteks perubahan-perubahan sosial politik di Indonesia. Masyarakat dan
pemerintah di negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara, sudah lebih dahulu
berkenalan dan menerimanya. Dengan demikian, pada dasarnya Indonesia bisa
disebut sebagai “penumpang gerbong terakhir” di kawasan ini dalam tema
modernisasi. Tema ini dipilih sebagai alternatif terhadap tema “revolusi” yang
dianut oleh Orde Lama. Kaum intelektual dan elite Orde Baru waktu itu setidak-
tidaknya memang sulit untuk menemukan pilihan lain selain modernisasi,
walaupun mereka akhirnya menyadari bahwa hal itu akan membawa persoalan-
persoalan baru jika dihadapkan pada tradisi, nasionalisme, dan paham keagamaan
yang dominan di Indonesia.15
Dengan cara pandang seperti itu, Orde Baru secara sadar mengajukan
preferensi model pembangunan seperti yang dialami oleh negara-negara Barat.
14
W. W. Rostow, The Stages of Economic Growth, 2nd
edition (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), h. 4-7, seperti dikutip Manuel B. Garcia, Sosiology of Development:
Perspectives and Issue (Manila: National Book Store, Inc, 1985), h. 18-20. 15
M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekulerisasi
Nurcholis Madjid”, kata pengantar untuk buku Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h. 15-16.
62
Melihat pengalaman-pengalaman empiris dan keberhasilan negara-negara maju,
pemerintah Orde Baru sulit mencari alternatif lain untuk mengakselerasikan
pembangunan selain modernisasi. Apalagi pilihan ini juga berhasil mengundang
dukungan negara-negara Barat terhadap kebijakan pembangunan di Indonesia,
antara lain melalui pinjaman-pinjaman keuangan untuk pembiayaan
pembangunan.16
C. Peran Cendekiawan Muslim sebagai Kontributor Prisma dalam
Dinamika Orde Baru
Para kontributor memilih untuk menjadikan Prisma sebagai media
alternatif, yang mana tidak semata-mata mencari dan mengolah koalisi baru,
namun juga tidak memisahkan diri dari koalisi lama, dan karena itu membangun
konflik di sana-sini dan dengan itu memaksakan suatu keseimbangan baru. Dalam
hal itu ekonomi politik mereka juga memihak pada upaya untuk menjelaskan
bagaimana seseorang atau kelompok bahkan negara Orde Baru memproduksi dan
memupuk kekayaan, kapan, sambil mengabaikan mengapa dan siapa yang
menjadi korban. Kapitalisme Indonesia sedang bergerak ke arah yang tidak
pernah terjadi sebelumnya. Masuknya militer di dalam bisnis sudah menjadi suatu
gejala yang hampir tidak terkendalikan. Pada tingkat tertinggi perusahaan-
perusahaan besar seperti perusahaan minyak, perusahaan yang bergerak di bidang
distribusi pangan, dan perdagangan berada di tangan militer. Dalam bidang
perminyakan penguasaan terutama adalah pada Pertamina yang menjadi sapi
16
Ibid, h. 75.
63
perahan paling utama yang sama sekali tidak berada di dalam kontrol dewan
perwakilan. Kemenangannya di bidang politik dipakai Soeharto untuk
membangun kerajaan bisnisnya sendiri.17
Arus informasi merupakan hal yang sangat penting dalam berjalannya
suatu negara. Media massa mempunyai peran yang sangat vital sebagai alat
penyebarluasan berita dan juga sebagai kontrol sosial, baik pada pemerintah
maupun pada masyarakat itu sendiri. Kedua fungsi tersebut, terkadang
memberikan banyak masalah bagi pemerintah. Kritik publik yang tajam seringkali
dianggap dapat mengganggu stabilitas jalannya pemerintahan.
Hal tersebut terjadi hampir seluruh periode sejarah Indonesia sejak bangsa
ini mengenal media massa. Hal yang sama berlaku juga pada pemerintahan Orde
Baru. Menyadari peran penting pers, pada masa awal pemerintahan, Orde Baru
membentuk Dewan Pers. Pembentukan maupun peran lembaga tersebut diatur
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966.18
Saat itu hubungan antara penguasa
Orde Baru dengan pers masih terlihat harmonis, dalam arti pemerintah Orde Baru
masih membutuhkan peran besar pers dalam menyebarkan propaganda anti Orde
Lama19
dan komunis.20
17
Hal ini dijelaskan oleh Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Itacha and
London: Cornell University Press, 1978), h. 273. 18
Abdurrachman Surjomohardjo, dkk., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002), h. 375-383. Pada buku ini ketentuan mengenai Dewan Pers
terdapat pada UU No. 11/ 1966, Bab III. Pada pasal-pasal lainnya juga diatur mengenai
kewenangan dan peran Dewan Pers, posisi lembaga tersebut terhadap pemerintah. Biasanya
ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam undang-undang tersebut akan dibuat oleh Dewan
Pers bekerjasama dengan pemerintah. 19
Orde Lama adalah sebutan pemerintah Orde Baru untuk pemerintahan Demokrasi
Terpimpin, akan tetapi penulisan selanjutnya pada skripsi ini akan tetap ditulis Orde Lama. 20
Ahmad Zaini Abrar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia (Jakarta: LKiS, 1995), h. 65-68.
64
Lembaga yang terdiri dari berbagai tokoh pers, para ahli dan juga tokoh
masyarakat ini berfungsi sebagai pembuat aturan-aturan yang berkaitan dengan
pemberitaan.21
Dewan Pers terdiri atas perwakilan dari berbagai lembaga pers
seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Penerbit
Suratkabar). Selain itu, terdapat wakil-wakil dari kalangan pemerintahan dan
sejak 1984 ditambah anggota dari berbagai ahli di bidang pers dan akademisi.
Dewan Pers berwenang dalam menentukan batasan-batasan dalam
lingkungan pers. Biasanya wewenang itu disebut self regulation (pembatasan
terhadap diri sendiri). Dalam praktiknya di Indonesia, intervensi pemerintah
menjadi tidak terhindarkan, self regulation menjadi anjuran untuk self
censorship.22
Semua itu karena kepentingan propaganda pemerintah sangat
berkaitan dengan fungsi media massa. Sebenarnya konsep dewan pers bersifat
independen, karena pers itu sendiri seharusnya independen terhadap pemerintah.23
Wewenang Dewan Pers dalam membuat peraturan-peraturan, rancangan
perundang-undangan, dan juga kode etik jurnalistik cukup besar. Pemerintah
merasa perlu membentuk dan mengintervensi langsung ke dalam lembaga ini.
Apa yang dibuat oleh Dewan Pers dianggap sebagai persetujuan dari seluruh
kalangan pers. Dan peraturan yang dibuat dianggap sebagai hasil yang diperoleh
dengan perundingan di kalangan pers sendiri dengan elemen masyarakat lainnya,
21
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: PT.
Inti Dayu Pers, 1988), h. 176. 22
Yasuo Hanazaki, Pers Terjebak (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998), h. 43-44. 23
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 05 Tahun 1967 tentang Dewan
Pers pun mengatur keindependenan dari Dewan Pers. Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut yang
mengatur tentang status Dewan Pers menyebutkan, “Dewan Pers adalah suatu lembaga di dalam
lingkungan Departemen Penerangan yang berstatus otonom di dalam operasinya dan beruang
lingkup nasional.
65
jadi harus dipatuhi oleh mereka yang membuatnya dalam konteks ini adalah
lembaga penerbitan pers.
Sebenarnya terjadi pertentangan konsep antara pemerintah dengan
kalangan pers tentang bagaimana seharusnya Dewan Pers berfungsi. Pemerintah
Orde Baru tentu memiliki konsep tersendiri tentang fungsi Dewan Pers yang
disesuaikan dengan kepentingan politik mereka. Sedangkan kalangan pers
mempunyai perspektif tersendiri mengenai fungsi lembaga ini yaitu dengan
lembaga yang dapat mengembangkan kualitas pers dan dapat menjadi
penghubung jika terjadi perselisihan di antara pemerintah dan pers. Posisi Dewan
Pers menjadi sangat penting karena Pemerintah Orde Baru membutuhkan alat
untuk mengendalikan pers.
Peristiwa G30S telah dijadikan momentum untuk terjadinya pergantian
kekuasaan. Selanjutnya pada tahun 1966 mengawali suatu perubahan dalam
sejarah pers Indonesia. Peralihan dalam dunia politik itu pun pada akhirnya akan
mempengaruhi perubahan sifat pers dari masa pemerintahan Soekarno ke
pemerintahan Soeharto. Sejak tahun 1965, Soeharto mulai membangun dasar-
dasar bagi kekuatan politiknya, dan pers termasuk salah satu unsur dalam
pembangunan kekuatan politik tersebut. Jadi pemerintah Orde Baru (Soeharto)
memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap pers untuk memperoleh
dukungan dari masyarakat. David T. Hill yang mengutip Ariel Haryanto
menuliskan bahwa:
The mass media, including press and the electronic media, have been
the most important area of maintenance and reproduction of the New
Order‟s legitimation… Understandably, the Indonesian press has
66
been an institution of cultural practice that went through the most
severe and most frequent blow of the (New Order) State.24
Peralihan dari Soekarno ke Soeharto dilakukan secara bertahap. Hal
tersebut dilakukan karena di dalam tubuh militer masih banyak kelompok yang
mendukung Soekarno. Di samping itu Soeharto juga berhati-hati untuk tidak
menonjolkan kekuasaan militer yang otoriter, dalam arti ia tidak ingin
menganggap konflik fisik yang frontal dan besar-besaran yang dilakukan adalah
solusi untuk menyingkirkan unsur-unsur pendukung Soekarno dalam militer. Ia
lebih memilih untuk menggunakan prinsip “alon-alon sing penting klakon”
(lambat asal tujuan terlaksana) untuk secara perlahan menguatkan kedudukannya
di kalangan militer.25
Pada masa konsolidasi kekuasaan, Soeharto lebih
memfokuskan tindakan politik pada kalangan militer.26
Dalam masa tersebut
pemerintah menjadi cenderung untuk tidak represif dengan pers yang merupakan
kekuatan dari kalangan sipil. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, sikap
itu pun akan berubah sesuai dengan keadaan yang kemudian berkembang.
Dari segi strategi konsolidasi di bidang pers, Soeharto membredel berbagai
surat kabar yang dianggap pendukung komunis dan Orde Lama. Hal tersebut
sudah dilakukan sejak 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah,
selaku Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, melarang semua penerbitan tanpa
izin khusus, kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Maka sejak Oktober
1965 tersebut aksi pembersihan terhadap surat kabar komunis dan pro-Orde Lama
24
David T. Hill, The Press in New Order Indonesia (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan,
1995), h. 35. 25
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,
1999), h. 248-249. 26
Ibid, h. 255-272.
67
mulai terjadi.27
Sejak terjadinya peristiwa 30 September, dikeluarkan juga suatu
mekanisme perizinan lain yang dikenal sebagai Surat Izin Cetak (SIC) yang
dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban Daerah (Laksus Kopkamtibda).28
Selain itu beberapa surat kabar yang
pernah dilarang terbit oleh Pemerintah Orde Lama pun diterbitkan kembali.
Berbagai surat kabar tersebut antara lain Indonesia Raya, Merdeka, dan
Pedoman.29
Suara-suara (surat kabar) pendukung Orde Lama dibungkam dan
suara-suara yang anti Orde Lama semakin diberi jalan untuk menjalankan
penerbitan. Dapat terlihat bahwa pada 1965, berdasarkan izin baru yang
dikeluarkan, terdapat 31 penerbitan. Angka tersebut semakin bertambah pada
1966 sebanyak 502 penerbitan. Sedangkan pada 1967 tidak sebanyak tahun
sebelumnya yaitu 91 penerbitan baru.30
Meskipun begitu sikap semua surat kabar tersebut tidaklah sama. Secara
lebih khusus lagi Abar mengutip Judith B. Agassi yang melakukan
pengelompokkan terhadap berbagai penerbitan dengan berdasarkan “peta
ideologi” pers pada periode awal kebangkitan Orde Baru.31
Akan tetapi
27
Tribuana Said, Op. it., h. 161 28
Abdurrachman Surjomihardjo, Op. Cit., h. 185. Jadi pada masa Orde Baru berlaku dua
macam surat izin, yaitu SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, dan SIC yang
dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtibda. Khusus untuk SIC dihapuskan pada 3 Mei 1977. 29
Yazou Hanazaki, Pers Terjebak (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998), h. 19. 30
Soebagio I. N, Sejarah Pers Indonesia (Jakarta: Dewan Pers, 1977), h. 159. 31
Pembagian tersebut antara lain, pertama Pers Militer, yaitu: Berta Yudha, Angkatan
Bersenjata, Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru, dan Warta Harian. Yang kedua adalah Pers
Nasionalis (memiliki hubungan dengan PNI) antara lain Suluh Marhaen dan El-Bahar. Ketiga
adalah Pers Kelompok Intelektual, yaitu Harian Kami, Nusantara, Indonesia Raya, dan Pedoman.
Yang keempat adalah Pers Kelompok Muslim yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru,
Mercusuar, dan Abadi. Kelima, dari Kelompok Kristen yaitu Harian Kompas (Katolik) dan Sinar
Harapan (Protestan). Yang terakhir dalam klasifikasi adalah Kelompok Independen yaitu
Merdeka, Jakarta Times, serta Revolusioner. Ahmad Zaini Abrar, Op. Cit., h. 57-58.
68
pengelompokkan tersebut bukanlah hal yang mutlak, sifat suatu surat kabar bisa
saja berubah sesuai dengan tuntutan zaman.32
Setelah pengaruh komunis dan Orde Lama sudah mulai terkikis, pola
pemberitaan pers menjadi lebih kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Memang
hal tersebut tidak dapat digeneralisasikan. Tidak semua surat kabar yang hidup di
masa itu bersifat kritis terhadap pemerintah. Akan tetapi hal tersebut merupakan
sebuah gejala umum dari pers yang pada masa sebelumnya dikekang, dan pada
saat itu memperoleh “angin segar” dari pemerintah, maka terjadi euforia dalam
kebebasan berbicara. Mochtar Lubis, seorang tokoh pers yang terpandang saat itu
mengatakan bahwa masa tersebut adalah masa “bulan madu” antara pemerintah
dengan pers.33
Beberapa surat kabar yang cukup kritis pada masa itu adalah Indonesia
Raya, Kompas, Pedoman, Kami, Duta Masyarakat, Abadi dan lain-lain. Ada tiga
isu utama yang menjadi sorotan sampai pada awal 1970-an. Isu-isu tersebut antara
lain adalah kasus-kasus korupsi yang sudah tercium sejak awal pemerintahan
Orde Baru. Lalu persoalan penentuan kebijaksanaan politik ekonomi
pembangunan juga banyak dipermasalahkan. Isu pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah juga mendapat banyak sorotan tajam dari media massa. Banyak
32
Omi Intan Naomi, Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru (Depok: Gorong-gorong
Budaya dan Institut Arus Informasi, 1996), h. 81. 33
Sebagian besar tokoh pers lainnya pun berpendapat tidak jauh berbeda. Mereka antara
lain Rosihan Anwar, Suardi Tasrif, dan lain-lain.
69
pemberitaan yang turut juga menggambarkan ketimpangan ekonomi yang terjadi
di Indonesia.34
Mulai tahun 1970-an kritik pers dianggap dapat menimbulkan
ketidakstabilan keamanan negara. Mulai saat itu pemerintah mulai melakukan
berbagai tindakan terhadap pers dan mencapai puncak pada tahun 1974. Pada
tahun inilah pola hubungan antara pers dengan pemerintah mulai berubah. Pada
tahun yang sama juga merupakan tonggak perubahan pola pemberitaan media
massa. Pers Indonesia pun akhirnya memasuki suatu masa peralihan menuju era
bisnis. Karena pemerintah mengekang pemberitaan-pemberitaan yang lebih
bersifat politis, pers lebih dapat berkembang dari segi bisnis dan bersikap hati-hati
terhadap isu-isu yang sensitif.
Secara garis besar kebijakan politik Orde Baru menitikberatkan pada
stabilitas nasional untuk pembangunan ekonomi. Hal tersebut berlaku sepanjang
periode Orde Baru. Pemerintah Orde Baru sejak awal berkeyakinan bahwa
pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama dalam kehidupan nasional.
Pemikiran yang ada dalam kebijakan tersebut adalah dengan adanya ekonomi
yang berkembang dan maju maka rakyat Indonesia akan dijauhkan dari
kemiskinan dan keterbelakangan. Jika telah tercapai pembangunan ekonomi yang
maju maka ancaman dari bahaya komunisme dapat diatasi, karena kemiskinan
adalah bibit dari berkembangnya ajaran komunisme dalam masyarakat.
Pembangunan ekonomi hanya bisa dilaksanakan dengan baik jika telah ada
34
Akhmad Zaini Abrar, “Kebebasan Pers, Kekecewaan Masyarakat dan Keperkasaan
Negara (Studi Sejarah Pers Awal Orde Baru, 1966-1972)” Prisma No. 4, April 1974, LP3ES, h.
23-41.
70
stabilitas nasional. Dan hal tersebut diciptakan dengan pendekatan keamanan yang
sangat ketat.35
Memang pembangunan yang dilaksanakan oleh Orde Baru sangat
bergantung pada investasi dari luar negeri.36
Tentunya para penanam modal
tersebut baru mau menginvestasikan modal mereka jika negara dalam keadaan
yang aman dan stabil. Pendekatan keamanan yang ketat diperlukan untuk
mencapai keadaan tersebut. Hal itu dapat dilihat dari terbentuknya lembaga-
lembaga represif seperti Opsus (Operasi Khusus) di bawah komando Ali
Moertopo sebagai Aspri (Asisten Pribadi)37
, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen) di
bawah kontrol Angkatan Darat, Laksus/ Kopkamtib dan lain-lain. Lembaga-
lembaga tersebut digunakan oleh pemerintah untuk mereka yang kritis,
oposisionis, dan menentang.38
Kemudian yang menjadi ciri dari Orde Baru, dari
awal berdiri sampai setidaknya akhir 1980-an adalah dominannya peranan militer,
meskipun masih samar untuk dikatakan bahwa pemerintahan Orde Baru adalah
rezim militer.39
Selanjutnya secara singkat sifat-sifat lain dari pemerintahan Orde
Baru yang kemudian mempengaruhi kebijakan-kebijakannya adalah
antikomunisme, lembaga kepresidenan yang sangat dominan dibandingkan
35
Afan Gafar, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), h. 148-149. 36
Mohtar Mas‟oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 (Jakarta: LP3ES,
1989), h. 6. Lihat juga Mohtar Mas‟oed, Negara Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), h. 23-74. 37
Asisten Pribadi Presiden adalah semacam badan penasehat akan tetapi pada praktiknya
wewenang mereka meluas sehingga banyak menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan
jabatan yang lainnya. Dua tokohnya adalah Ali Moertopo yang menangani bidang politik, dan
Soedjono Hoemardani yang menangani bidang ekonomi. Lihat penjelasannya dalam Heru
Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998), h. 36. 38
Gafar, Op. Cit., h. 149. 39
Untuk lebih jelasnya mengenai tipe pemerintahan Orde Baru dapat dilihat pada
Mas‟oed, 1989, Op. Cit., h. 4-19.
71
lembaga tinggi negara lainnya, birokrasi sebagai instrument kekuasaan,
sentralisasi, penyakralan terhadap Pancasila dan UUD 1945 dan beberapa sifat
lainnya.40
Sifat-sifat politik dari Orde Baru tersebut juga banyak sekali
mempengaruhi kinerja maupun hasil-hasil keputusan Dewan Pers, atau bisa juga
dikatakan bahwa Dewan Pers menjadi bagian dari pelaksanaan kebijakan-
kebijakan politik tersebut ke dalam dunia pers. Meskipun begitu, tidak selalu
pengaruh represif dari pemerintahan Orde Baru mempengaruhi dunia pers. Pada
masa awal Orde Baru kalangan pers cukup mendapatkan angin dalam
menjalankan aktifitasnya, tentu saja yang antikomunis. Hal tersebut termasuk
dalam pembuatan Undang-Undang pokok Pers pertama yang dibuat oleh negara
Indonesia. Meskipun di dalamnya masih dimasuki oleh pasal-pasal yang
kemudian bisa dimanfaatkan untuk mengekang kehidupan pers.
Dalam rangka menyambut 17 Agustus 1977, Prisma menerbitkan suatu
nomor khusus yang diberi judul “Manusia dalam Kemelut Sejarah yang
membahas tokoh-tokoh besar dalam kekelaman sejarah Indonesia”. Pada saat itu
hampir segala bidang kehidupan ditentukan oleh negara dan dikuasai oleh
Departemen Penerangan, agama dikuasai Departemen Agama, dan daftar masih
bisa diteruskan. Suasana pengap tahun-tahun terakhir dasawarsa tujuh puluhan
lebih menggambarkan suatu paradoks yang sulit dipahami. Sirkulasi Prisma
berlipat ganda seperti tidak pernah terjadis ebelumnya, dan tidak pernah terjadi
dalam sejarah penerbitan suatu jurnal dimana jurnal dicetak lagi untuk kedua
40
Gafar, Op. Cit., h. 150. Lihat juga bab IV dari Mas‟oed, Op. Cit., h. 128-196.
72
kalinya. Jumlah dua kali cetak itu menaikkan sirkulasi Prisma menjadi dua puluh
lima ribu eksemplar, sesuatu yang tidak pernah terulang lagi dalam sejarah
Prisma. Kemudian dicetak lagi dalam bentuk buku (Februari 1978) dan terjual di
pasar dengan sambutan yang boleh dibilang luar biasa, diulas dalam berbagai
surat kabar besar dan menjadi tajuk yang dibahas, bulan Februari 1979 dicetak
lagi untuk kedua kalinya.41
Dalam Prisma Nomor 8, Agustus 1977 itu seluruh nomor membahas dan
menilai kembali delapan tokoh: Soekarno, Soedirman, Sutan Sjahrir, Haji Agus
Salim, Tan Malaka, Kahar Muzakkar, Amir Sjarifudin, Rahmah El-Yunusiyyah.
Tiga tokoh yang dicetak miring (Soekarno, Tan Malaka, dan Amir Sjarifudin)
praktis tidak boleh dibicarakan secara terbuka pada masa Orde Baru pada tahun-
tahun tersebut. Soekarno karena “perannya” dalam peristiwa tanggal 1 Oktober
1966, yaitu percobaan “kudeta” terhadap pemerintahan Soekarno. Tan Malaka
dan Amir Sjarifudin jelas tidak boleh dibahas di depan publik karena mereka oleh
Orde Baru disisihkan karena mereka adalah “komunis”. Komunisme dan kaum
komunis “tidak boleh berperan” dalam membangkitkan nasionalisme dan
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir dibebaskan oleh Orde Baru namun
peran PSI dalam pemberontaakan tidak terlalu meluangkan kemungkinan
membahasnya. Kahar Muzakkar adalah pemberontak Darul Islam, karena itu juga
tidak pernah dibahas secara publik. Pada saat itu Prisma boleh dikatakan
membuka belukar dan menyiangi lorong-lorong gelap penuh semak.42
41
Lihat Prisma No. 8, Agustus 1977. 42
Nomor tersebut meledak di pasar. Apalagi ketika nomor tersebut diulas oleh harian
Kompas maka untuk pertama kalinya dalam sejarah Prisma dan kelak baru disadari untuk pertama
kalinya dalam sejarah penerbitan jurnal dimana pun bahwa edisi tersebut dicetak ulang dalam
73
Pada tanggal 2 Maret 1983, Departemen Penerangan Republik Indonesia
mengirim surat ditujukan kepada Pemimpin Umum Majalah Prisma berisi sebagai
berikut:
Setelah mengadakan penelitian terhadap beberapa penerbitan majalah
Prisma yang dikirimkan kepada Departemen Penerangan sebagai nomor
bukti penerbitan, kami temukan beberapa hal yang menurut penilaian kami
patut mendapat perhatian serius dari Saudara. Majalah Prisma dalam
rubric khusus “TOKOH” menonjolkan tokoh-tokoh yang perlu diketahui
antara lain: Mr. Amir Syarifuddin, Aidit dan Cornel Simanjuntak dan lain
sebagainya. Menurut penilaian kami penonjolan tokoh-tokoh tersebut
seolah-olah merupakan Perjuangan Politik Komunis untuk melakukan
penggalangan terhadap masyarakat melalui Majalah Prisma, agar dapat
menerima kembali kehadiran PKI dalam masyarakat atau usaha
menghidupkan kembali PKI di Indonesia. Adapun majalah prisma yang
dimaksud antara lain: 1) Prisma No. 2 Februari 1982, halaman 73-87
dengan judul “Cornel Simanjuntak Cahaya, Datanglah” yang ditulis oleh
Hersri S. 2) Prisma No. 5 Mei 1982, halaman 79-96 dengan judul “S.M.
Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar Jalan” yang ditulis oleh Hersri S.
dan Joebar Ajoeb. 3) Prisma No. 7 Juli 1982, halaman 61-79 dengan judul
“Aidit dan Partai Pada Tahun 1950” yang ditulis oleh Jacques Leclerc. 4)
Prisma No. 9 September 1982, halaman 68-89 dengan judul “Oerip
Soemohardjo Kebungkaman Yang Ampuh” yang ditulis oleh S.I.
Poeradisastra. 5) Prisma No. 12 Desember 1982 halaman 53-73 yang
ditulis oleh Jacques Lecrerc.43
Surat yang ditandatangani Direktur Bina Kewartawanan Departemen
Penerangan Republik Indonesia, Drs. Daan S. Sahusilawane itu juga menyertakan
kalimat bahwa:
Pemuatan tulisan-tulisan tersebut bertentangan dengan Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966, Tap MPR No. V/MPR/1973 dan Tap MPRNo.
IX/MPR/1978 tentang “Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-
Leninisme.44
tempo seminggu atau dua minggu. Kelak nomor itu dicetak ulang dalam bentuk buku dan
mengalami cetakan ulang juga dalam bentuk buku. Inilah keberhasilan Prisma yang tidak pernah
bisa diulangi lagi. Lihat Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 478. 43
http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September 2016, pukul 20:30 WIB) 44