-
13
BAB II
Resistensi Watmuri Diaspora Dari Perspektif Teori Gerakan
Perlawanan
Teori yang dipakai sebagai pisau analisis pada penelitian ini
yakni teori
gerakan perlawanan James Scott. James C. Scott lahir di Mount
Holly-New Jersey
pada tahun 1936. Tahun 1976 ia Menerima gelar sarjana dari
Williams College dan
gelar MA dan Ph.D dari Yale University. Kariernya meningkat
menjadi seorang guru
besar ilmu politik dan mengajar di University of Yale.
Penelitiannya menyangkut
ekonomi politik masyarakat agraris, teori hegemoni dan
perlawanan dan politik petani
Asia Tenggara. Dua buku terkait perlawanan petani Asia Tenggara
yang ia tulis yakni
The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in
Southeast Asia
yang diterbitkan tahun 1976 dan Perlawanan Kaum Tani tahun 1993.
Temuannya
mengungkapkan bagaimana petani sebagai kaum subordinat menolak
sistem
dominasi dari elit modal dan elit politik.1
Moral ekonomi yang terbentuk pada masyarakat petani di Asia
Tenggara
yakni hubungan patron-klien. Patron secara etimologis berarti
seseorang yang
memiliki kekuasaan (power) sedangkan klien berarti bawahan. Pola
hubungan patron-
klien tentu menempatkan klien pada posisi lebih rendah dan
patron pada kedudukan
lebih tinggi. Patron sebagai komunitas yang mempunyai kekuasaan
diharapkan dapat
melindungi klien-kliennya jika sewaktu-waktu mengalami perubahan
pasar yang
mengancam sosial ekonomi petani subsisten. Akan tetapi, harapan
kaum tani
ternihilkan oleh sikap eksploitatif petani kaya yang mengambil
keuntungan dari
1http://www.goodreads.com/author/show/11958.James_C_Scott
-
14
perubahan pasar yang dikuasai kapitalistik pascakolonial. Negara
sebagai tempat
perlindungan turut berkonspirasi dengan petani kaya dengan
menaikan pajak yang
makin tinggi sehingga tergoyahlah moral ekonomi petani.
Penindasan dan
ketidakadilan yang dialami petani menyebabkan mereka berontak
karena hubungan
patron-klien tidak lagi sebagai hubungan yang saling melindungi
melainkan
pengambilan keuntungan.2
2.1. Resistensi dan Definisinya
Resistensi pada dasarnya menjelaskan terjadinya perlawanan oleh
orang-orang
yang mengalami ketidakadilan.3 Perlawanan dapat berupa konflik,
demonstrasi atau
penyampaian aspirasi melalui surat-menyurat pada pihak-pihak
terkait untuk
menyuarakan keluhan yang mereka rasakan. Apapun bentuknya,
resistensi adalah
pernyataan sikap yang diaplikasikan melalui tindakan untuk
melawan segala bentuk
ketidakadilan.
Resistensi secara leksikal berdasarkan kamus besar bahasa
Indonesia adalah
penentangan atau perlawanan.4 Henry A Landsberger mengemukakan
gerakan protes
merupakan reaksi kolektif melawan kedudukan rendah yang rentan
terhadap
ketidakadilan baik yang berhubungan dengan status sosial,
ekonomi maupun politik.5
Sedangkan menurut Peter Burke, suatu kelompok yang simpati
tehadap situasi sosial
2James C Scott, Perlawanan Kaum Tani (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993), 14.
3Aldfathri Adlin, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realita
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 176.
4http://kbbi.web.id/resistensi> .
5Henry. A, Lansberger, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial.
Trans. Aswab Mahasin
(Jakarta: CV. Rajawali, 1981), 24-25.
-
15
dan menampakan dirinya dalam perdebatan politik seperti
demonstrasi atau
pemberontakan disebut gerakan.6 Latarbelakang bangkitnya
perlawanan tidak lepas
dari keresahan masyarakat terhadap otoritarian kaum elit politik
maupun pemilik
modal yang merampas hak masyarakat. Ini yang bagi Sidney Tarrow,
gerakan protes
merupakan tantangan kolektif sejumlah orang yang memiliki tujuan
dan solidaritas
yang sama untuk melawan kelompok elite dan penguasa.
Gerakan-gerakan itu
tumbuh untuk menyusun aksi mengacau atau melawan yang berakar
pada rasa
solidaritas atau identitas kolektif dan dilakukan atas dasar
tuntutan yang sama.7 Di
satu sisi gerakan-gerakan sosial merefleksikan ketidakmampuan
lembaga-lembaga
dan mekanisme kontrol sosial untuk mereproduksi kohesi sosial,
di sisi lain gerakan-
gerakan sosial menjadi upaya masyarakat untuk menanggapi
situasi-situasi krisis
dengan jalan mengembangkan kepercayaan bersama sebagai
dasar-dasar solidaritas
untuk bangkit dan melawan.8
Gamson menegaskan dorongan protes kolektif merupakan orientasi
kolektif
yang tercipta dalam satu tekad bersama bahwa partisipasi dalam
suatu gerakan akan
memberikan hasil dan berarti dalam pencapaiannya.9 Mereka yang
berpartisipasi
dalam suatu gerakan adalah golongan orang-orang marginal yang
akan bersedia untuk
melawan jika hasilnya akan menguntungkan mereka kelak. Bagi
Sing, situasi
6Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2003),134-135.
7Sidney Tarrow,Power in Movement: Social Movement Collective
Action and Mass Politics in
the Modern State. (Cambridge: Cambridge University Press, 1994),
4. 8Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstruksi
Identitas Pasca Konflik Posso:
studi sosiologis terhadap gerakan jemaat Eli Salom Kele’i di
Poso (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), 56.
9Gamson, Talking Politics (Cambridge: University of Cambridge
Press, 1992), 7.
-
16
ketimpangan dan dominasi sosial jika terus dijalankan dan
dipertahankan oleh
institusi dan lembaga-lembaga sosial maka perlawanan dan
pemberontakan akan
bangkit untuk menolak sistem dominasi tersebut.10
Sementara itu, studi Scott atas perlawanan tani di Asia Tenggara
menunjukan
geramnya kaum tani yang ditindas oleh penguasa terkait tingginya
biaya sewa tanah
yang dibebani oleh tuan tanah kaya dan pajak oleh negara. Dua
kewajiban yang harus
dibayar oleh kaum tani dianggap begitu memberatkan mereka. Akan
tetapi demi
memenuhi kebutuhan subsisten, para petani rela menjual tanah dan
bekerja pada tuan
tanah kaya. Hal ini menyebabkan hak atas tanah mulai terlepas
dari tangan-tangan
petani lahan kecil karena dikuasai oleh petani kaya yang
memiliki modal. Sulitnya
mempertahankan tanah dan memutuskan untuk menjualnya kepada tuan
tanah kaya
tentu tidak lepas dari perubahan pasar global pascakolonial
menuju modernisasi.
Pasar mulai dikuasai oleh paham kapitalistik yang membangkitkan
munculnya klas-
klas dalam masyarakat. Bagi yang memiliki modal dapat bertahan
dan yang tidak
tentu akan sulit untuk mengembangkan usahanya sedangkan petani
lahan kecil hanya
mengembangkan usaha tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga bukan
mencari
keutungan sebanyak-banyaknya. Ketika petani menjual tanah dan
bekerja pada tuan
tanah kaya atau menjadi penyewa tanah maka di sinilah terjadi
ketimpangan sosial.
Pola hubungan patron-klien tidak untuk melindungi melainkan
menindas dengan
memberikan harga sewa yang terlampau tinggi. Negara sebagai
tempat perlindungan
bahkan memberikan pajak yang begitu memberatkan petani.
Latarbelakang tersebut
10
Rajendra. Sing, Gerakan Sosial Baru (terj). (Yogyakarta: Resist
Book, 2010). 19.
-
17
yang menyebabkan kaum tani di Asia Tenggara berontak oleh karena
elit politk dan
pemilik modal telah merusak moral ekonomi petani.11 Dinamika
tersebut yang bagi
Scott resistensi petani adalah respon masyarakat atas penindasan
dan ketidakadilan
bagi kaum marginal.
2.2. Sifat dan Karakteristik Gerakan Perlawanan
Scott menggambarkan resistensi dalam dua cara yaitu pelawanan
yang bersifat
sungguh-sungguh dan perlawanan yang bersifat insidental.12
Perlawanan yang
sungguh-sungguh sifatnya: sistematis, terorganisasi dan
kooperatif berprinsip atau
tanpa pamrih, mempunyai akibat-akibat revolusioner atau
mengandung gagasan dan
tujuan meniadakan dominasi penindasan. Sedangkan resistensi yang
bersifat
insidental cenderung tidak terorganisasi, tidak sistematis dan
individualistis, bersifat
untung-untungan dan berpamrih serta tidak mempunyai
akibat-akibat revolusioner.
Resistensi yang bersifat insidental biasanya dilakukan secara
perorangan dan
diwujudkan melalui aksi-aksi pembangkangan atau
tindakan-tindakan yang
menimbulkan kekacauan karena tidak terorganisir secara baik.
Sebagai pelengkapnya
Scott menggunakan istilah perlawanan publik atau terbuka dan
perlawanan tertutup
atau yang dilakukan secara individual.13 Perlawanan terbuka
yakni perlawanan yang
terjadi berdasarkan proses mobilisasi partisipan, diatur dalam
agenda-agenda yang
terarah dan memiliki tujuan dan sasaran yang tepat. Sedangkan
perlawanan tertutup
11
James C Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia (London: Yale University 1976),
8.
12Scott, Perlawanan Kaum, 305.
13Scott, The Moral Economy of the, 52-55.
-
18
berupa pembangkangan secara sembunyi-sembunyi dan dilakukan atas
nama
individu.
Peter Burke membedakan sifat-sifat gerakan perlawanan sebagai
berikut:14
1). Suatu gerakan dapat bertahan lama bergantung pada daya
pendukungnya,
tentang siapa yang bergerak, siapa pemandunya dan mengapa
orang-orang bersedia
untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan. Daya dukung yang
memadai menentukan
kualitas gerakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2). Gerakan mudah dihancurkan atau ditransformasikan oleh
generasi
berikutnya. Di Indonesia gerakan-gerakan perlawanan baik yang
dipelopori oleh
mahasiswa maupun organisasi kemasyarakatan banyak mengalami
jalan buntu karena
berhadapan dengan kekuasaan pemerintah. Contoh misalnya
perjuangan mama
Yosepha sebagai aktivis perempuan asli suku Amugme yang bangkit
melawan
pertambangan PT Freeport di Mimika-Papua. Perlawanan mereka
tidak menghasilkan
dampak positif untuk menghentikan pertambangan sebab yang
dilawan ialah
pemerintah yang memiliki power dan kekuasaan. Adakalanya ketika
perjuangan tidak
mencapai hasil yang signifikan akan cenderung redup.
Sementara itu, Douglas dan Waskler mengemukakan ada 4
model-model
perlawanan: pertama, perlawanan terbuka, perlawanan yang dapat
dilihat seperti
perkelahian, demonstrasi, konflik. Kedua perlawanan tersembunyi,
biasanya
diwujudkan dengan perilaku mengancam. Ketiga, perlawanan
agresif, perlawanan
14
Burke, Sejarah dan Teori, 132-133.
-
19
yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu. Keempat, perlawanan
defensif,
perlawanan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan
diri.15
Karakteristik dari gerakan perlawanan oleh Tarrow yakni pertama,
solidaritas
dan perasaan bersama, senasib dan rasa memiliki. Biasanya
bangkitnya perasaan
bersama dapat digunakan untuk memahami partisipasi individu yang
tergabung
dalam gerakan perlawanan. Kedua, konflik sebagai fokus aksi
kolektif. Konflik
diartikan sebagai para pelaku yang sama mencoba untuk melakukan
kontrol pada satu
objek yang sama. Di satu sisi pemerintah memperjuangkan sumber
daya hutan untuk
kesejahteraan masyarakat, di sisi lain masyarakat melihatnya
sebagai ancaman
terjadinya eksploitasi berlebih yang merusak alam. Ketiga,
keberhasilan pada satu
pihak berkemungkinan besar merugikan pihak yang lain. Keempat,
mengedepankan
bentuk-bentuk protes.16
2.3. Faktor-faktor Munculnya Gerakan Perlawanan
Scott menggambarkan transformasi tanah menjadi komoditas yang
dijual telah
mempunyai efek mendalam bagi petani. Kontrol terhadap tanah
semakin lepas dari
tangan-tangan masyarakat pedesaan, petani secara progresif
kehilangan hak-hak
kebebasan, hak- hak guna hasil dan menjadi penyewa serta petani
yang bekerja pada
tuan tanah kaya. Nilai-nilai yang diproduksi semakin diukur oleh
fluktuasi pasar yang
15
Jack D. Douglas & Waksler C. Frances, dalam Santoso.
Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 11
16Tarrow, Power In Movement, 76-77.
-
20
tidak menentu.17 Studi Scott menunjukan hilangnya hak kaum tani
atas tanah
disebabkan oleh perubahan pasar yang dikuasai kapitalistik.
Pemilik lahan kecil
sering bergantung pada elit bertanah misalnya untuk urusan
pembelian benih,
peralatan, transportasi dan pemasaran serta kadang-kadang
kebutuhan kredit. Dengan
begitu pemilik lahan kecil akan berhutang pada pemilik lahan
besar yang lama
kelaman kehilangan tanahnya karena tidak mampu membayar hutang
pada elit
bertanah.18 Setelah kehilangan tanah sudah tentu mereka akan
mengabdi dan bekerja
pada tuan tanah atau menyewa tanah untuk bercocok tanam demi
mencukupi
kebutuhan subsisten mereka. Tingginya biaya sewa dan pajak
menggerakan para
petani berontak karena ketidakadilan tersebut telah merusak
moral ekonomi petani
yang mengolah tanah untuk kelangsungan hidup keluarganya bukan
untuk mencari
keutungan sebesar-besarnya.19
Scott menjelaskan petani dalam dua tipologi yaitu: a) Petani
adalah pencocok
tanam yang tinggal di pedesaan, fokus usahanya demi pemenuhan
ekonomi keluarga
dan terus berputar pada periodik siklus tanam dan panen. b)
Petani adalah masyarakat
yang menggantungkan hidupnya pada pengelolaan hasil pertanian.20
Tipologi ini
menerangkan secara jelas akan pentingnya tanah bagi para petani
sebagai lahan
komoditi. Barangsiapa mengancam atau mengubah pola yang telah
terbentuk sejak
17
Scott, The Moral Economy of the, 7 18
Scott, Perlawanan Kaum, 35 19
Scott, Perlawanan Kaum, 49 20
Scott, The Moral Economy, 165-167
-
21
dahulu tentu akan membangkitkan perlawanan untuk menentang
pihak-pihak
tersebut.
Situmorang mengemukakan bangkitnya gerakan perlawanan
dipengaruhi oleh
tinggi tidaknya sekelompok masyarakat merasakan dampak negatif
dari aktifitas
perusahaan mengelola sumber daya alam.21 Pengelolaan sumber daya
alam yang
mengabaikan dampak ekologis akan membangkitkan resistensi
masyarakat. Bagi
Arif Budiman pembangunan yang dianggap berhasil ternyata tidak
memiliki daya
kelestarian yang memadai.22 Berbagai kasus yang terjadi di
Indonesia misalnya
lumpur lapindo, limbah industri yang mencemarkan air dan
lingkungan, pengundulan
hutan oleh kebijakan pembangunan kehutanan yang mengabaikan
rehabilitasi hutan
dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya adalah efek dari
pembangunan yang
kurang terkontrol secara baik. Borrong menegaskan, kerusakan
lingkungan terjadi
sebagai akibat dari pengelolaan sumber-sumber daya yang tidak
mempedulikan
etika.23 Kerusakan alam sebagai akibat dari pandangan bahwa
sumber daya alam
sebagai kumpulan sumber daya untuk manusia yang dapat dipakai
secara bebas untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Pandangan demikian jika tidak
ditindaklanjuti akan
mempengaruhi makluk hidup yang menempati bumi. Selain itu,
munculnya gerakan
perlawanan tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi
kemunculan dan perkembangannya.
21
Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Beberapa
Perlawanan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 104
22Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,
1996), 6-7. 23
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000), 33.
-
22
2.3.1 Faktor Ekonomi Politik
Pemerintah Indonesia mulai memberi perhatian pada sektor
kehutanan akhir
tahun 1960-an ketika rezim orde baru menghadapi masalah ekonomi.
Hutan menjadi
stigma bagi keuntungan dan devisa negara sementara sektor
tradisional masyarakat
dianggap konservatif, statis sehingga harus diubah agar seluruh
masyarakat dapat
berkembang lebih maju. Aksentuasinya mengarah pada pengelolaan
sumber daya
hutan demi mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar
hutan sehingga
dikeluarkanlah UU pokok kehutanan dan pertambangan serta UU
Investasi tahun
1967 yang memberikan peluang bagi investor untuk menanamkan
modal di
Indonesia. Peraturan no. 21 tahun 1970 tentang pengusahaan hutan
merupakan
instrument legal untuk memulai pemanfaatan hutan dengan model
HPH (hak
pengusahaan hutan).24
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002
tentangTata
Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan Dan
Penggunaan Kawasan Hutan, HPH berubah namanya menjadi IUPHHK-HA
Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Cara
kerjanya tetap sama
yakni ijin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan produksi yang
kegiatannya
terdiri atas pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan,
pengamanan dan
pemasaran hasil hutan kayu. Jangka waktu IUPHHK-Ha pada hutan
produksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan pemerintah RI Pasal 34 ayat
(1) huruf a
24
Abdul Wahib Situmorang, Dinamika Protes Kolektif Lingkungan
Hidup Di Indonesia 1968-2011 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
2-4.
-
23
diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun. IUPHHK dalam
hutan alam dapat
diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 5 (lima)
tahun oleh menteri
kehutanan.25 Akan tetapi kebijakan pemerintah mengelola sumber
daya hutan untuk
pengembangan ekonomi dan kesejahteraan dinilai merugikan
masyarakat lokal.
Dalam kerja HPH, hutan menjadi sepenuhnya hak pengusaha
sedangkan masyarakat
tidak berhak atas hutannya sendiri. Sistem eksploitasi hutan
oleh HPH bahkan tidak
terkontrol secara baik oleh pemerintah sehingga menyebabkan
kerusakan hutan yang
berujung pada deforestasi (pengundulan). HPH melakukan
pengrusakan namun tidak
dikenakan sanksi dari pemerintah, sebaliknya jika masyarakat
yang melakukan
pengrusakan maka pemerintah dengan cepat mengambil tindakan
bahkan sampai
pada menjadikan kawasan hutan sebagai area konservasi. Salah
satu kewajiban utama
negara yang merupakan cerminan dari hakekat keberadaannya ialah
melindungi
warga negaranya agar tetap aman. Perlindungan tersebut pada
intinya bertujuan
memberi jaminan agar warga negara tidak saja mengalami rasa aman
dalam
kehidupannya dan bebas dari rasa takut tetapi merasakan iklim
politik yang terbuka
sehingga dapat mengekspresikan diri dan hak asasinya secara
leluasa dan merdeka.
Jaminan terhadap pengungkapan diri tersebut merupakan modal
utama dalam
mengurus kepentingan diri dan masyarakatnya sehingga mereka bisa
bertahan dan
25
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19756/node/545/pp-no-34-tahun-2002-tata-hutan-dan-penyusunan-rencana-pengelolaan-hutan,-pemanfaatan-hutan-dan-penggunaan-kawasan-hutan
-
24
berkembang.26 Pada konteks ini, jika pemerintah melakukan
monopoli pada hak
rakyat atas hutan ulayat yang diakui secara turun-temurun apakah
negara telah sesuai
dengan hakekatnya? Demikian yang dikemukakan oleh Scott, faktor
ekonomi pada
akhirnya mengarah pada untung dan rugi. Siapa yang diuntungkan
dan pihak mana
yang dirugikan. Tentu kedua aspek ini akan menggambarkan
kecenderungan dari dua
sosok yang berbeda yakni yang diuntungkan adalah pihak yang
memiliki kekuasaan
dan yang rugi ialah masyarakat yang marginal.27 Atas dasar
ketidakadilan yang
berkaitan dengan untung rugi inilah yang membangkitkan
resistensi, karena pada
dasarnya yang disebut keadilan ialah kedua pihak sama-sama
menikmati hasil yang
sama untuk tujuan kemakmuran.
2.3.2. Faktor Budaya
Secara empiris citra lingkungan masyarakat adat bersifat mistis
karena selain
bertalian dengan kehidupan di alam nyata juga erat kaitannya
dengan pemeliharaan
keseimbangan hubungan dengan alam gaib. Masyarakat yang
menghargai adat-
istiadat akan melihat alam sebagai kesatuan kosmos yang tidak
boleh dimanfaatkan
secara berlebihan. Jika dalam pemanfaatannya menyebabkan
kerusakan pada
lingkungan maka akan menimbulkan berbagai bencana baik banjir,
tanah longsor,
kekeringan dan lain sebagainya. Bencana-bencana itu akan dilihat
sebagai
pengejawantahan dari kemarahan roh-roh penjaga alam. Bagi
Elliade perjumpaan
26
Dewan Pengurus YLBHI,Demokrasi Antara Represi Dan Resistensi
Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1993
(Jakarta:Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1994), 224.
27Scott, The Moral Economy, 167
-
25
dengan yang sakral dirasakan seperti bersentuhan dengan sesuatu
yang bersifat dasyat
menggetarkan, sangat berbeda, transenden dan suci. Tidak hanya
batu, pohon, tetapi
bagi mereka yang memiliki pengalaman religius, seluruh alam
dapat mengungkapkan
dirinya sebagai sakralitas kosmik.28
Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan
mempengaruhi sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungannya.
Ia memberi
tuntutan kepada manusia untuk berprilaku yang serasi dan selaras
dengan irama alam
semesta sehingga tercipta keseimbangan hubungan antar manusia
dengan alam
lingkungannya.29 Kendati tampak tidak rasional dan tidak logis
namun secara faktual
perilaku terhadap alam dengan sikap yang bercorak mistis dan
magis kadangkala
menciptakan kelestarian dan keberlanjutan yang harmonis dengan
lingkungan hidup.
Masyarakat desa yang masih melestarikan adat-istiadat warisan
leluhur kadangkala
ditemukan kesejukan lingkungan yang dikelilingi oleh hutan yang
menghijau.
Filosofi alam yang dibangun baik tentang air, gunung, batu dan
hutan menjadi dasar
melindungi alam dari keserakahan. Air melambangkan darah, hutan
sebagai pori-pori
atau urat nadi, tanah sebagai daging dan batu sebagai tulang
adalah kelengkapan yang
berhubungan satu sama lainnya.30 Merusak atau menghancurkan
salah satu dari
28
Mircea. Eliade,The Sacred And The Profane, trans. Wiliam R.
Trask (San Diego
New York – London: A Harvest/HBJ Book, 1959), 8-11. 29
Ibid, 6-7 30
Penjelasan dalam wawancara wartawan Net News dengan mama Aleta
Baun yang diunggah pada sosial media (facebook) tanggal 25 Januari
2017 tentang perlawanan masyarakat Molo-NTT menentang
pertambangan.
-
26
unsur-unsur itu akan menyebabkan ketidakseimbangan pada makluk
hidup yang
bergantung pada alam.
Kendati demikian, pada masyarakat adat pasti menemui filosofi
tentang
tempat, benda, hewan, pohon yang dianggap mengandung unsur
kesakralan yang
memiliki kekuatan dibalik elemen-elemen itu. Bagi Emile Durkheim
seluruh
keyakinan manusia baik yang religius (agama suku) maupun
Beragama (diakui oleh
negara) tentu membagi dunia mereka dalam dua elemen terpisah
yakni yang sakral
dan yang profan. Ciri-ciri yang sakral yakni superior, berkuasa,
terlarang, suci
sedangkan profan lebih pada kebiasaan sehari-hari, tidak
memiliki kekuatan dan
tampak biasa.31 Menentukan area, benda maupun hewan sebagai dewa
bersama
memberi kesan pelestarian bagi objek tersebut. Hal ini tidak
saja berhubungan dengan
agama bersama yang diciptakan masyarakat lebih dari itu yakni
upaya melestarikan
alam dan lingkungan hidup yang dapat memberikan dampak positif
bagi manusia di
bumi.
Untuk meminimalisir penggunaan hutan dari ancaman kerusakan,
masyarakat
kadangkala mengembangkan local knowledge atau pengetahuan lokal.
Pengetahuan
ini tumbuh dan berkembang dalam budaya atau kelompok etnik
tertentu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsisten sesuai kondisi
lingkungan yang ada.
Mereka mengumpulkan informasi terhadap kondisi alam untuk
memecahkan masalah
produksi pertanian dan disampaikan secara oral dari generasi ke
generasi sehingga
31
Emile Durkheim, The Elementary Forms Of Religious Life : Sejarah
Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar (Jogjakarta: IRCisod, 2011),
167-169.
-
27
terjadi pemahaman yang mendalam terhadap sumber daya lokal dan
proses-proses
yang berlangsung.32 Pengetahuan lokal memberikan kesan positif
bagi masyarakat
dalam memanfaatkan hutan secara bijaksana sehingga minim dari
kerusakan. Jika
sewaktu-waktu hutan masyarakat dikelola berdasarkan pembangunan
kehutanan
maka rehabilitasi (pemulihan) menjadi kewajiban pengelola agar
tidak mengancam
masyarakat sekitar hutan yang bergantung terhadapnya. Apabila
kewajiban tersebut
tidak terealisasi maka akan membangkitkan resistensi sebab hutan
yang rusak akan
berdampak bagi masyarakat yang berada di sekitarnya.
2.3.3. Faktor Ekologi
Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos berarti rumah atau
tempat tinggal
atau tempat hidup atau habitat dan logos yakni ilmu, studi atau
kajian. Secara harfiah
ekologi berarti ilmu tentang makluk hidup dalam rumahnya atau
ilmu tentang habitat
makluk hidup.33 Menurut Haskarlianus Pasang ,ekologi mencakup;
a) pengetahuan
mengenai hubungan antara organisme dan lingkungannya, b) studi
atau telaah
mengenai hubungan antara organisme dengan lingkungan mereka.34
Secara umum
ekologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik antara
makluk hidup dan lingkungannya. Ekologi menaruh perhatian pada
cara-cara
bagaimana semua aspek alam mengadakan interaksi satu sama lain.
Inti ekologi ialah
32 Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas
Resistensi Berbasis Pengetahuan
Lokal (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), 15. 33
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
(Jakarta: Djambatan, 1991).19.
34Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan (Jakarta: Literatur
Perkantas, 2011), 83.
-
28
manusia menyesuaikan diri dengan sistem alam, tidak
eksploitatif, tidak merusak
sehingga ekosistem terpelihara.35
Bagi steward, kajian ekologi umumnya memposisikan manusia
dan
lingkungan dalam satu ekosistem yang tidak dapat dipisahkan dan
saling
ketergantungan. Perubahan lingkungan akan mempengaruhi pola
hidup manusia dan
makluk hidup lainnya oleh karena itu, pengelolaan hasil alam
baik untuk bercocok
tanam, pertambangan, perkebunan skala besar dan berbagai bentuk
pembangunan
kehutanan lainnya mesti mempertimbangkan dampak yang akan timbul
dikemudian
hari.36 Alam dieksploitasi secara berlebihan akan berbuntut pada
ketidaseimbangan
ekosistem yang ada.
Selain itu, Penggunaan ekologi dalam perencanaan pembangunan
memiliki
dua tujuan yakni meningkatkan mutu pencapaian pembangunan
serta
memperhitungkan pengaruh aktivitas pembangunan pada daerah
sumber daya yang
akan dieksploitasi. Pertimbangan terhadap prinsip-prinsip
ekologi yang tepat akan
membantu minimnya dampak dari pembangunan terhadap lingkungan
dan manusia.
Pembangunan acapkali membawa tingkat perubahan yang bervariasi
terhadap
lingkungan sehingga pembangunan yang ditentukan oleh
batasan-batasan ekologi
akan menghindari dampak bagi masyarakat di sekitarnya.37
35
Raymond F Dasmann dkk, trans. Idjah Soemarwoto, Prinsip Ekologi
Untuk Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gramedia, 1977), 2.
36 Julian, H Steward, Theory Of Culture Change: The Methodology
Of Multiliniar Evolution
(Urbana: University Of Illinois Press. 1955), 39-42. 37
Raymond F Dasmann dkk, trans. Idjah Soemarwoto, Prinsip Ekologi,
26.
-
29
AMDAL atau analisis mengenai dampak lingkungan sangat penting
dalam
mengelola sumber daya hutan. Analisis tersebut merupakan hasil
studi yang
terintegrasi dari rencana kegiatan pembangunan meliputi komponen
ekologis, sosio-
ekonomis dan budaya. Langkah awal dari prosedur tersebut adalah
penyusunan PIL
(penyajian informasi lingkungan) atau PEL (Penyajian Evaluasi
lingkungan) yang
mendeskripsikan apakah suatu proyek berpengaruh bagi lingkungan,
selanjutnya
dilakukan SEL (studi evaluasi lingkungan). AMDAL maupun SEL
meliputi: kajian
secara mendalam tentang dampak lingkungan potensial dari suatu
kegiatan yang
direncanakan. AMDAL dirumuskan sebagai suatu analisis mengenai
dampak
lingkungan dari suatu proyek yang meliputi evaluasi dan
pendugaan dampak proyek,
prosesnya maupun sistem proyek terhadap lingkungan yang
berlanjut ke lingkungan
hidup manusia.38 Pendugaan dampak dapat di definisikan sebagai
aktivitas untuk
menduga dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat
suatu aktivitas
manusia (proyek). Dampak yang diduga menjadi ukuran untuk
membedakan antara
lingkungan yang tanpa proyek dan lingkungan dengan proyek.39
Oleh karena itu,
sebelum menjalankan suatu proyek sangat penting bagi setiap
pemegang ijin
melakukan AMDAL di lokasi pembangunan.
Dari sudut ekologis ada dua faktor mekanis yang menjadi penyebab
bencana.
Pertama, faktor kekacauan ekosistem yaitu bencana yang
disebabkan oleh manusia
38
Goltenboth Friedhelm dkk, Ekologi Asia Tenggara: Kepulauan
Indonesia(Jakarta:Salemba Teknika, 2012), 488.
39Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2004), 5.
-
30
misalnya kesalahan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
penataan lingkungan
atau tata ruang yang mengakibatkan terjadinya kerusakan alam.
Kedua deforestasi
atau pengundulan hutan yang menyebabkan perubahan iklim global
sebagai dampak
banyaknya emisi gas karbon dioksida (C02) dan gas buangan yang
tidak terhisap oleh
tumbuhan karena pohon-pohon yang terus berkurang.40 Diantara
kedua aspek ini,
deforestasi merupakan ancaman yang tampak terasa oleh masyarakat
sekitar hutan.
Mengapa? hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar adalah aset
penyimpan air bagi
kesuburan tanah sekaligus pemberi oksigen bagi makluk hidup,
dapat dibayangkan
ketika yang berdiri hanya sisa-sisa dari tumbangan pohon tentu
akan memberikan
pengaruh besar bagi para para petani juga manusia yang berada di
sekitar hutan.
resiko yang dialami masyarakat dari suatu pembangunan yang tidak
efektif justru
pemicu bangkitnya perlawanan-perlawanan. Oleh karena itu,
sebelum menjalankan
suatu proyek pembangunan di pedesaan yang harus didahulukan
yakni mengetahui
sistem sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat setempat agar
tidak menimbulkan
berbagai keluhan di kalangan masyarakat.
2.4. Kesimpulan
Perlawanan sosial oleh James Scoot mengungkapkan ketidakadilan
yang
dialami subordinat (kaum tani) dari kelompok superordinat (elit
modal dan negara).
Tingginya pajak dan biaya sewa tanah menekan keberadaan kelompok
tani dalam
mempertahankan hidup. Negara sebagai perlindungan warga yang
bernaung di
40
Fachruddin M Mangunjaya, Hidup Harmonis Dengan Alam: Esai-Esai
Pembangunan Lingkungan, Konservasi Dan Keanekaragaman Hayati
Indonesi(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) 15.
-
31
dalamnya justru tidak menunjukan sikap keberpihakan sehingga
bangkitlah
perlawanan. Bagi scott, protes individu atau kelompok yang
menyebar dalam
kekerasan maupun pemberontakan adalah rentetan dari cara petani
untuk mandiri dan
keluar dari pemaksaaan dan penindasan para penguasa. Perubahan
pasar yang
bercorak kapitalistik menyebabkan elit modal dan elit politik
mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dari kelemahan kaum tani. Bangkitnya
perlawanan kaum tani
adalah cara mereka mengekspresikan diri atas berbagai
ketimpangan yang dialami.
Tujuan yang diharapkan yakni kembalikan moral ekonomi petani
yang dihancurkan
oleh para penguasa agar mereka secara leluasa dapat
mengembangkan diri untuk
hidup secara adil.
Indonesia ketika menghadapi ketimpangan ekonomi pada rezim orde
baru,
berbagai upaya dilakukan untuk keseimbangan perekonomian negara.
Salah satu
kebijakan yang tampak terlaksana yakni pembangunan berbasis
sumber daya alam.
Paradigma UUD 1945 pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam
yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat” menjadi kekuatan negara
mengembangkan
pembangunan tersebut. Seiring jalannya kebijakan itu, berbagai
resistensi masyarakat
bangkit melawannya karena faktanya pembangunan kehutanan tidak
mensejahterakan
masyarakat melainkan memuaskan para penguasa. Kembalikan tanah
dan hutan ke
tangan masyarakat lokal jika ingin meretas munculnya
protes-protes kolektif. Lebih
dari itu, pemerintah mesti sejalan dengan harapan masyarakat
yang menuntut
-
32
keadilan. Pembangunan yang efektif ialah suatu proyek yang tidak
mengabaikan
sosial budaya, ekonomi dan dampak ekologi bagi masyarakat di
sekitar hutan. Pada
akhirnya masyarakat yang akan menuai berbagai kerugian dan
dampak dari suatu
proyek jika terjadi kerusakan lingkungan. Oleh karena itu,
pemegang ijin proyek
mesti melakukan AMDAL sebelum mengadakan suatu pembangunan
serta
mengetahui sosial budaya masyarakat setempat agar tidak
menguntungkan elit modal
dan merugikan masyarakat lokal.