Page 1
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Tuberkulosis (TB)
a. Pengertian Penyakit TB
Tuberkulosis atau sering disebut TB adalah penyakit infeksi yang dapat
menginfeksi berbagai organ atau jaringan tubuh terutama paru - paru dan TB Paru
merupakan bentuk infeksi yang sering ditemukan. TB merupakan bagian dari
penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
Tuberculosis atau sering disebut kuman M.TB (Depkes RI, 2008).
TB merupakan persoalan penting bagi kesehatan masyarakat, Orang sehat
yang terpapar dari seorang penderita TB paru dapat menjadi penderita TB Paru
bila daya tahan tubuh rendah, status gizi yang buruk, tinggal di lingkungan
perumahan yang tidak sehat dan kumuh, kepadatan hunian, pendidikan kesehatan
yang rendah (Kemenkes RI, 2010).
b. Kuman Penyebab TB
Basil Mycobacterium Tuberculosis merupakan kuman penyebab penyakit TB.
Kuman tersebut dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan bakteriologis melalui
pemeriksaan mikroskopis spesimen dahak. Adapun kuman M. TB memiliki ciri –
ciri dan sifat sebagai berikut :
1) Berbentuk batang tipis atau agak bengkok berwarna merah pada pemeriksaan
mikroskop bersifat aerob atau dapat hidup dengan baik pada organ yang kaya
oksigen, memiliki ukuran panjang 1 – 4 mikron dan lebar 0.2 – 0.6 mikron.
2) Bersifat tahan terhadap pewarnaan asam dan alkohol sehingga disebut Basil
Tahan Asam (BTA) dengan metode Zeihn Neelson.
3) Berbentuk tunggal dan umumnya berantai atau berkelompok, dalam dahak
pada suhu 30 – 370 C kuman M. TB akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu, pada air mendidih dengan suhu 80oC akan mati dalam waktu 5 menit.
4) Kuman M.TB mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama
5) Mudah mati bila terpapar sinar matahari dan sinar ultraviolet secara langsung
dan dapat bertahan hidup berjam – jam pada tempat yang gelap bahkan hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 2
9
berbulan-bulan pada suhu kamar yang lembab pada suhu pada suhu 40C –
minus 70oC.
6) Dalam organ atau jaringan tubuh kuman M.TB dapat bersifat pasif atau tertidur
lama hingga bertahun – tahun (dormant).
(Kemenkes RI, 2014).
c. Epidemiologi TB
Epidemiologi penyakit tuberkulosis merupakan ilmu yang mempelajari tentang
interaksi antara kuman M.TB sebagai agent manusia sebagai host dan lingkungan
sebagai environment. Mencakup juga bagaimana distribusi penyakit, perkembang-
an dan persebarannya serta mencakup gambaran prevalensi dan insidensi dari
penyakit tersebut dapat timbul dalam suatu populasi yang tertular (Kemenkes RI,
2014).
Pada masa lalu penyakit TB dikenal sebagai penyakit penyebab kematian
yang menakutkan. Pada tahun 1882, seorang ilmuwan berkebangsaan jerman yang
bernama Robert Koch menemukan bakteri penyebab penyakit tuberkulosis
(Depkes RI, 2006). Penyakit TB masih menjadi kategori penyakit yang
mematikan dan sampai saat ini TB masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia meskipun telah dilaksanakan strategi DOTS dalam upaya
pengendaliannya (Kemenkes RI,2014).
Berdasarkan laporan WHO tahun 2013, diperkirakan sejumlah 8.6 juta
kasus TB dengan 1.1 juta orang (13%) diantaranya adalah penderita TB dengan
HIV positif, sejumlah 450,000 adalah menderita TB MDR dan 170,000
diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan sejumlah 530,000
(6%) kasus TB anak telah terjadi setiap tahunnya diantara kasus TB secara global
dan sejumlah 74,000 (8%) kematiannya disebabkan karena TB. Meskipun jumlah
kasus TB dan kematian akibat TB tetap tinggi, namun penyakit ini dapat dicegah
dan disembuhkan. Fakta menunjukkan bahwa angka insidensi TB secara global
dapat dihentikan dan telah menunjukkan penurunan 2% per tahun dan angka
kematian dapat diturunkan hingga 45% bila dibandingkan pada tahun 1990.
Sebagian besar (75%) penderita TB adalah kelompok usia produktif (15 – 50
tahun), diperkirakan penderita TB dewasa akan kehilangan 3 – 4 bulan waktu
kerjanya atau kehilangan 20 – 30% pendapatan rumah tangganya per tahun dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 3
10
jika meninggal akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Hal ini akan
berdampak buruk pada ekonomi keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2014).
TB merupakan permasalahan utama bagi kesehatan masyarakat dan
Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB terbesar kedua setelah India
(Fauziah, 2013). Pada tahun 2015, berdasarkan Survei Prevalensi TB tahun 2013
di Indonesia diperkirakan terdapat sejumlah 1 juta kasus baru TB per tahun atau
sebesar 10 % dari kasus TB secara global. Indonesia menempati urutan kedua
setelah India dengan insidensi TB sebesar 23%. Angka tersebut mengalami
kenaikan jika dibanding tahun 2014 yang hanya sebesar 460,000 kasus (Bimantara
dalam Kompas, Maret 2016).
d. Cara Penularan TB
Sumber penularan penularan utama dari penyakit tuberkulosis adalah penderita
TB yang memiliki hasil pemeriksaan dahak (BTA) positif melalui percikan dahak
(droplet nuclei), namun bukan berarti seseorang dengan hasil pemeriksaan dahak
(BTA) negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Seseorang dengan hasil
pemeriksaan dahak negatif tetap dapat menularkan hal ini dikarenakan didalam
pemeriksaan dahak diperlukan konsentrasi kuman lebih kurang 5.000 kuman
dalam setiap 1 mililiter spesimen dahak pada pemeriksaan mikroskopis secara
langsung. Penderita TB dengan hasil BTA positif memiliki peluang menularkan
sebesar 65% dan penderita TB dengan hasil BTA negatif dan kultur positif
memiliki peluang menularkan sebesar 26%, sedangkan pada penderita dengan
hasil BTA negatif dan foto rontgen dada (thoraks) positif memiliki peluang
menularkan sebesar 17% (Kemenkes RI, 2010)
Penularan terjadi pada saat penderita TB batuk atau bersin, dimana saat
aktivitas batuk atau bersin mengeluarkan percikan dahak yang terbang di udara,
sekali batuk akan menghasilkan lebih kurang 3,000 percikan dahak dan sekali
bersin lebih kurang 4,500 percikan dahak. Selnjutnya infeksi akan terjadi ketika
udara yang mengandung kuman M.TB tersebut terhirup oleh orang lain. Penularan
melalui inhalasi atau percikan dahak dengan besaran partikel kecil (1–5
nanomikron) dari sekresi saluran pernapasan yang berisi sedikitnya 1–3 basilus
tuberkel. Percikan dahak dihasilkan pada saat individu batuk, bersin atau ber-
bicara. Partikel kecil ini tetap mengambang di udara sampai terhirup, kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 4
11
mencapai alveolus paru karena ukurannya sangat kecil. Penularan dapat juga
terjadi secara tidak langsung bila dahak penderita diludahkan di tempat yang tidak
terkena sinar matahari langsung, kemudian mengering dan menyatu dengan debu,
bila debu ini terhisap orang sehat akan dapat menyebabkan sakit. Berdasarkan
cara penularan tersebut, tuberkulosis dapat digolongkan sebagai airborne disease
(Kemenkes RI, 2010).
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi yaitu berkisar 1 – 3 %. Sebagian
besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1%, hal ini berarti dalam 100,000 penduduk rata – rata
teradi 1,000 orang terinfeksi TB setiap tahunnya, 100 orang (10%) diantaranya
akan sakit TB dan diperkirakan 50 orang (separuh) diantaranya adalah penderita
TB dengan BTA positif (Kemenkes RI, 2010).
Risiko seseorang untuk sakit TB tergantung dengan konsentrasi atau
banyaknya jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia
seseorang yang terinfeksi, serta tingkat daya tahan tubuh, seseorang dengan daya
tahan tubuh rendah diantaranya karena infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk akan
memudahkan tertular dan mempercepat berkembangnya menjadi sakit TB
(Kemenkes RI, 2014). Risiko tinggi tertular TB adalah sebagai berikut :
1) Mereka yang memiliki kontak erat dengan penderita TB aktif.
2) Seseorang dengan imunosupresif seperti : lansia, penderita kanker, seseorang
yang menjalani terapi kortikosteroid.
3) Seseorang tanpa perawatan kesehatan yang adekuat seperti : tunawisma,
tahanan, etnik dan ras minoritas, anak – anak di bawah usia 15 tahun (Fauziah,
2013).
4) Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi seperti Asia Tenggara,
Afrika, India, Amerika Latin, Karibia.
5) Sesorang yang tinggal di daerah pemukiman kumuh, padat hunian dan kurang
memenuhi syarat kesehatan.
6) Petugas kesehatan yang kontak dengan penderita TB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 5
12
e. Patofisiologi TB
Saluran pernafasan umumnya adalah tempat masuknya kuman M.TB kedalam
tubuh karena sebagian besar infeksi TB adalah melalui udara yaitu melalui
inhalasi percikan dahak (droplet) yang mengandung kuman – kuman basil
tuberkel, berasal dari penderita TB. Masuknya kuman TB juga dapat melalui
saluran pencernaan terutama kuman jenis bovin yang penebarannnya melalui susu
yang terkontaminasi. Luka terbuka pada kulit juga dapat sebagai jalan masuknya
kuman TB.
Infeksi primer terjadi pada saat seseorang terpapar pertama kali oleh
kuman M. TB dan infeksi dimulai sejak kuman M. TB berhasil berkembang biak
dengan cara melakukan pembelahan diri didalam organ paru dan berakibat pada
peradangan paru. Selanjutnya kuman M. TB akan menyebar melalui saluran limfe
ke kelenjar getah bening di sekitar hilus paru dan terbentuklah primer kompleks.
Basil M. TB dapat dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah kebagian
tubuh lain seperti korteks cerebri, ginjal, tulang dan area paru lain yaitu lobus atas
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Infeksi primer dapat berkembang menjadi beberapa kemungkinan antara
lain tetap sebagai orang terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak menjadi penderita,
menjadi penderita tuberkulosis paru tidak menular karena kumannya hanya
menyerang jaringan paru dan tidak menjalar sampai ke saluran pernapasan atau
menjadi penderita TB Paru menular, karena kuman tidak hanya menyerang
jaringan paru saja tetapi sampai ke saluran pernapasan sehingga kuman dapat
keluar bersama dahak serta menjadi penderita tuberkulosis lainnya. Masa inkubasi
4 – 12 minggu meliputi mulai infeksi sampai terjadinya lesi pertama atau reaksi
tuberkulin yang bermakna. Pada tuberkulosis primer, peradangan terjadi sebelum
tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap M.TB yang kebanyakan didapat
pada usia satu sampai tiga tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post
primer (re-infeksi) adalah peradangan jaringan paru dikarenakan terjadi penularan
ulang yang di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil
tuberkulosis.
Peradangan tuberkulosis post primer dapat terjadi secara endogen yaitu
fokus lama (dormant) mengalami kekambuhan dengan cara infeksi baru dari luar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 6
13
Masa Inkubasi atau waktu yang diperlukan sejak terinfeksi kuman M.TB hingga
menjadi sakit TB diperkirakan membutuhkan waktu lebih kurang 6 bulan. Risiko
penularan paling tinggi pada anak dibawah usia lima tahun dan risiko jatuh sakit
paling tinggi pada kelompok usia dewasa muda (> 15 tahun). Faktor risiko
terinfeksi meliputi tingginya prevalensi TB Paru, kepadatan penduduk, kepadatan
hunian dan kurang gizi. Sedang faktor risiko jatuh sakit mencakup daya tahan
tubuh yang menurun, sedang menderita penyakit dan tingkat pemaparan yang
tinggi (Depkes RI, 2006).
f. Gejala dan Tanda TB Paru
Kegiatan penemuan penderita tuberkulosis meliputi penjaringan orang terduga
tuberkulosis (suspek TB), pemeriksaan fisik dan laboratoris melalui pemeriksaan
bakteriologis, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit serta
tipe pasien TB sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengobatan. Upaya
penemuan penderita TB, diperlukan upaya identifikasi untuk mengenali gejala
klinis yang sering dijumpai pada orang terduga menderita TB paru. Adapun gejala
klinis yang sering muncul antara lain :
1) Gejala utama adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Semua orang
yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut harus dianggap
sebagai seorang terduga tuberkulosis.
2) Batuk tersebut dapat disertai dengan gejala tambahan antara lain batuk
mengeluarkan dahak bercampur darah (haemoptysis), batuk darah
(haemaptoe), sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
berkurang, berat badan mengalami penurunan, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam hari tanpa aktifitas fisik dan demam meriang
lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang
penderita tuberkulosis maka kemungkinan besar juga menderita tuberkulosis.
Gejala-gejala dari tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terkena.
Nyeri dada pada tuberkulosis pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
(limfadenitis tuberculosis) dan pembengkakan dari tulang belakang (spondilitis
tuberculosis) merupakan tanda-tanda yang sering dijumpai dari tuberkulosis
ekstra paru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 7
14
Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia yang cukup tinggi maka
setiap orang yang datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala
tersebut di atas, harus dianggap sebagai orang terduga menderita TB dan
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014).
Menurut Mansjoer (2000), pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
– tanda sebagai berikut :
1) Tanda – tanda infiltrat ( gambaran redup, bronkhial, ronkhi basah)
2) Penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3) Sekret (dahak) di saluran nafas dan ronkhi
4) Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan
bronkhus.
g. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak tergantung pada konsentrasi basil dalam dahak. Basil TB akan
tampak dibawah mikroskop bila jumlah kuman paling sedikit ada 5,000 batang
per mililiter. Pengambilan spesimen dahak dilakukan sebanyak 3 kali (SPS) yaitu
Sewaktu (S) pertama diambil pada saat terduga TB datang pertama kali di fasilitas
pelayanan kesehatan (fasyankes), Pagi (P) adalah dahak yang diambil dirumah
oleh terduga TB pada pagi hari kedua setelah bangun tidur untuk diantar ke
fasyankes dan selanjutnya Sewaktu (S) kedua adalah dahak yang diambil pada
hari kedua setelah pengambilan dahak pagi yang diambil di fasyankes.
Pengambilan dahak tersebut ditekankan untuk memenuhi volume dahak 3 – 5 ml
pada setiap spesimen pengambilan dahak (Kemenkes RI, 2010)
Pemeriksaan biakan juga dapat dilakukan untuk untuk mengidentifikasi
kuman M.TB. Pemeriksaan biakan ini dilakukan untuk menegakan diagnosis
penderita TB tertentu seperti : TB ekstra paru, TB pada anak, dan pemeriksaan TB
dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis negatif. Namun pemeriksaan biakan
ini membutuhkan biaya yang lebih mahal dan waktu yang cukup lama yaitu 4 – 6
minggu (Kemenkes RI, 2010).
Pemeriksaan uji kepekaan terhadap obat dilakukan untuk menentukan ada
atau tidaknya resistensi kuman M.TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 8
15
pemeriksaan ini dilakukan melalui Tes Cepat Molekuler (TCM) pada labo-
ratorium yang memiliki fasilitas tersebut (Kemenkes RI, 2014).
h. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB ditegakan dengan mengumpulkan data riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak (basil tahan asam = BTA), kultur dahak dan
tes tuberculin. Pemeriksaan foto rontgen dada hanya menunjukkan lesi pada lobus
atas. Pemeriksaan hapusan BTA dan Kultur BTA akan menunjukkan keberadaan
kuman M. TB dalam dahak yang bersumber dari saluran pernafasan dan
merupakan prioritas unruk penegakan diagnosis TB (Smeltzer dan Bare, 2002).
Penegakan diagnosis TB adalah sebagai berikut :
1) Diagnosis TB pada orang dewasa
Penegakan diagnosis TB paru pada orang dewasa dipriotitaskan melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis langsung (SPS), dan ditetapkan sebagai pasien
TB bila 1 spesimen dahak diperoleh hasil positif kuman M.TB. Bila dalam peme-
riksaan dahak mikroskopis tersebut diperoleh negatif maka penegakan diagnosis
dapat dilakukan secara klinis dengan menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan
pemerisaan penunjang berupa foto rontgen dada (toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter. Penegakan diagnosis TB pada orang dewasa tidak
dibenarkan dengan pemeriksaan serologis atau menggunakan dasar foto toraks
saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB
paru sehingga berpeluang besar untuk terjadinya overdiagnosis atau underdiag-
nosis ( Kemenkes RI, 2014)
2) Diagnosis TB Ektra Paru
Penegakan diagnosis pada pasien TB ekstra paru tergantung pada gejala dan
keluan yang muncul seperti kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada
pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB,
kelainan pada tulang belakang pada spondilitis TB. Disamping pemeriksaan klinis
berdasarkan gejala yang muncul juga perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis
bila dimungkinkan adanya gejala TB paru dan atau histopatologis atau
pemeriksaan jaringan dari organ tubuh yang terinfeksi (Kemenkes RI, 2014).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 9
16
i. Komplikasi TB
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB stadium lanjut adalah sebagai
berikut :
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengkibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolaps spotan
karena kerusakan paru.
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
6) Insufisiensi kardio pulmonal.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan yang luas dan telah sembuh
(hasil BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini sering
diasumsikan keliru dengan kasus kambuh. Pada kondisi tersebut pengobatan OAT
tidak diperlukan namun cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila keadaan
semakin berat maka diperlukan ruukan ke spesialistik (Depkes RI, 2006).
j. Klasifikasi Penderita TB
Klasifikasi pengobatan pada penderita tuberkulosis menurut Kemenkes RI (2014),
mengenal beberapa klasifikasi pengobatan antara lain :
1) Klasifikasi pengobatan berdasarkan lokasi anatomi dan lokasi penyakit :
a) Tuberkulsosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang pada jaringan
parenkim paru dan bukan termasuk selaput paru (pleura) dan kelenjar pada
hilus.
b) Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru seperti menyerang pleura, selaput otak, selaput jantung,
kelenjar lymfe, tulang, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin dan
lain sebagainya. Bila didapatkan infeksi kuman TB pada jaringan parenkim
paru dan organ lain selain paru maka diklasifikasikan sebagai TB paru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 10
17
2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
a) Penderita TB Baru adalah penderita yang belum pernah mendapatkan
pengobatan sebelumnya atau sudah pernah meminum OAT namun kurang
dari 1 bulan (< 28 dosis).
b) Penderita TB pernah pengobatan (pengobatan ulang) adalah penderita TB
yang sebelumnya pernah minum OAT selama 1 bulan atau lebih (> 28
dosis), yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
terakhir :
(1) Kambuh adalah penderita TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat pada saat datang kembali didiagnosis TB
berdasarkan pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena kambuh
atau infeksi ulang)
(2) Gagal adalah penderita TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir dengan hasil BTA positif pada bulan ke–5 atau selama
pengobatan..
(3) Loss to follow up adalah penderita TB yang pernah diobati dan dinyatakan
putus berobat (default) 2 bulan atau lebih dengan hasil pemeriksaan BTA
positif.
(4) Lain – lain adalah penderita TB yang pernah diobati namun hasil
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
a) TB paru BTA positif adalah TB paru yang didukung hasil pemeriksaan
mikroskopis dahak sekurang kurangnya 1 spesimen dahak SPS diperoleh
hasil positif.
b) TB paru BTA negatif adaah TB paru yang dengan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis SPS kesemuanya negatif dan didukung pemeriksaan penunjang
foto thoraks mendukung TB (Kemenkes RI, 2010)
k. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan dan mencegah
terjadinya kebal obat serta penularan TB kebal obat. Prinsip pengobatan TB dari
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) adalah pengobatan TB
secara adekuat dengan memenuhi prinsip pemberian obat anti tuberkulosis (OAT)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 11
18
dalam bentuk paduan yang lengkap mengandung 4 macam OAT yaitu Rifamfisin
(R), Isoniazid (H), Pirazinamid (P), Etambuthol (E) dalam jumlah cukup dan
dosis yang tepat selama 6 – 8 bulan, diawasi langsung oleh pengawas menelan
obat atau disebut PMO (Kemenkes RI, 2014).
Pengobatan tuberkulosis diberikan meliputi 2 tahap yaitu tahap awal
(intensif) dan tahap lanjutan (intermiten).
1) Pada tahap awal, penderita mendapatkan obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua obat anti tuberkulosis.
Pengobatan tahap ini secara efektif dimaksudkan untuk menurunkan jumlah
kuman dalam tubuh penderita dan menurunkan pengaruh sebagian kecil kuman
yang sudah resisten. Pengobatan awal pada semua pasien baru diberikan
selama kurun waktu 2 bulan. Secara umum bila obat diminum secara teratur
selama 2 minggu maka tingkat penularan sudah sangat menurun.
2) Tahap lanjutan, penderita mendapatkan jenis obat yang lebih sedikit dan
diminum 3 kali dalam seminggu, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
yaitu dalam kurun waktu 4 bulan. Pengobatan tahap ini dimaksudkan untuk
membunuh sisa kuman yang masih ada didaam tubuh khusunya kuman yang
yang persisten/dormant sehingga penderita dapat sembuh dan tidak terjadi
kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).
Paduan OAT yang digunakan dalam Program Pengendalian Tuberkulosis
Nasional di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO pada tahap pengobatan
TB lini pertama adalah OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap) Kategori 1 dan
Kategori 2. Tablet OAT KDT kategori 1 terdiri dari kombinasi 4 jenis obat
(RHZE) dalam 1 tablet diberikan pada pengobatn tahap awal selama 2 bulan dan
kombinasi 2 jenis obat (RH) dalam 1 tablet yang diberikan pada pengobatan tahap
lanjutan selama 4 bulan. Dosis disesuikan dengan berat badan. Paduan OAT KDT
kategori 1 tersebut diberikan pada penderita TB baru yaitu penderita TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, penderita TB paru terdiagnosis klinis dan penderita
TB ekstra paru (Kemenkes RI, 2014).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 12
19
Adapun paduan OAT KDT Kategori 1 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat Badan
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE
(150mg/75mg/400mg/275mg)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
selama 16 minggu
RH (150mg/150mg)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014
Paduan OAT Paket kombipak digunakan sebagai alternatif pada penderita
TB yang terbukti mengalami efek samping obat pada pengobatan dengan OAT
KDT sebelumnya. OAT tersebut terdiri paket obat lepas Rifamfisin (R), Pira-
zinamid (Z), Isoniazid (H) dan Etambuthol (E) yang dikemas dalam bentuk blister
(Kemenkes RI, 2014).
Tabel 2.2 Dosis Padua OAT Kombipak Kategori 1 : 2RHZE/4H3R3
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari/kali
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet H
@ 300
mg
Kaplet R
@ 450
mg
Tablet
Z
@500
mg
Tablet
E
@250
mg
Intensif/
Awal
2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan
4 bulan 2 1 - - 48
Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014
Paduan OAT KDT kategori 2 digunakan untuk pengobatan TB pengobatan
ulang yaitu penderita TB kambuh, gagal pengobatan dengan paduan OAT kategori
1 sebelumnya dan penderita TB yang kembali setelah putus berobat (Loss to
follow up). Paduan OAT yang terdiri dari kombinasi RHZE diminum pada 3 bulan
pertama dan injeksi streptomisin selama 2 bulan pertama pada tahap awal
pengobatan dan kombinasi RH dan E pada tahap lanjutan (Kemenkes RI, 2014).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 13
20
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 :
2 (RHZE)S/RHZE/5(RH)3E3
Berat Badan
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu RH
(150/150) + E (400mg)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
Inj 500 mg
Streptomisin
2 tablet 2KDT 2 tablet 2KDT
2 tablet E
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
Inj 750 mg
Streptomisin
3 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT
3 tablet E
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
Inj 1000 mg
Streptomisin
4 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT
4 tablet E
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Inj 500 mg
Streptomisin
5 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT
5 tablet E
Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014
Paduan OAT Kombipak kategori 2 sebagai alternatif obat bila terjadi
sensitifitas pada salah satu jenis OAT adal sebagi berikut :
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 :
2 RHZES/RHZE/H3R3E3
Tahap
pengobatan
Lama
Pengobatan
Tab
H
@30
0mg
Kap
R
@45
0 mg
Tab
Z
@
500m
g
E
S
Inj
Jumlah
hari/ kali
menelan
Tab
@
250
mg
Tab
@
400
mg
Tahap Awal
(dosis
harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
750
mg
-
56
48
Tahap
Lanjutan
(dosis 3 kali
seminggu
5 bulan
2
1
-
1
2
-
60
Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014
Dosis tahap awal dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,
sebaiknya diminum pada saat perut dalam keaadaan kosong. Upaya menjamin
kepatuhan penderita menelan obat agar paduan obat yang digunakan adekuat,
maka selama penderita menjalani pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan
obat (PMO).
PMO salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung. Dalam menjamin keteraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 14
21
pengobatan diperlukan seorang PMO yang memenuhi persyaratan tertentu yaitu
seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita. Seorang
PMO juga diharapkan tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu dengan
sukarela serta dilatih dan atau mendapatkan penyuluhan bersama-sama dengan
penderita (Depkes RI, 2006).
Seorang PMO dibutuhkan karena masa pengobatan yang cukup lama (6
bulan) sehingga sering menyebabkan kebosanan dan kejenuhan penderita.
Kebanyakan penderita merasa sudah sehat setelah minum obat 2 – 3 minggu
sehingga penderita memutuskan menghentikan pengobatan sebelum waktunya.
PMO sebaiknya adalah petugas kesehatan misalnya bidan desa, perawat, sani-
tarian, juru imunisasi, dan lain – lain. PMO juga dapat berasal dari kader kese-
hatan, guru, penggerak PKK, tokoh masyarakat atau anggota keluarga penderita.
Tugas seorang PMO bukanlah mengganti kewajiban penderita mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan tetapi untuk mengawasi penderita TB agar menelan
obat secara teratur sampai menyelesaikan pengobatan. PMO wajib memberi
dorongan dan dukungan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan
periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan
pada anggota keluarga yang mempunyai gejala-gejala terduga TB untuk segera
memeriksakan diri kepada petugas kesehatan (Depkes RI, 2006).
Pemeriksaan akhir pengobatan dimaksudkan untuk menilai hasil
pengobatan sembuh, pengobatan lengkap atau gagal pengobatan. Keberhasilan
pengobatan dinilai melalui pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir
pengobatan atau seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita
BTA positif baru dengan katagori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke–8
pegobatan ulang BTA positif (kambuh) dengan katagori 2. Pada penderita baru
BTA positif dengan katagori 1 dan penderita ulang BTA positif, dengan katagori
2, penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak paling sedikit
2 kali berturut – turut negatif. Salah satunya didapatkan dari hasil pemeriksaan
ulang dahak pada akhir pengobatan (Kemenkes RI, 2014).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 15
22
l. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan efek sampingnya
Paduan OAT lini pertama pada pengobatan penderita TB baru adalah sebagai
berikut :
1) Rifamfisin (R) adalah jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek
samping : efek samping Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash,
sesak nafas dan anemia hemolitik.
2) Isoniazid (H) adalah jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek
samping : neuropati perifer, psikosis toksik,gangguan fungsi hati dan kejang.
3) Pirazinamid (Z) adalah jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek
samping : gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, nyeri sendi.
4) Etambuthol (E) adalah jenis OAT yang bersifal bakteriostatik dan memiliki
efek samping : ganguan penglihatan, buta warna dan neuritis perifer.
5) Streptomisin (S) adal jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek
samping : nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran,
shock anafilaktik, anemia, trombositopeni dan agranula sitosis
(Kemenkes RI, 2014)
m. Hasil Pengobatan TB
Penilaian keberhasilan pengobatan TB didasarkan pada hasil pemeriksaan
bakteriologi, radiologi dan klinis. Kesembuhan TB paru yang baik akan
menunjukkan hasil pemeriksaan bakteriologis sputum BTA negatif, perbaikan
radiologi seperti foto rontgen dada dan gejala yang berkurang (Saptawati et al.,
2012).
Hasil pengobatan pada penderita tuberkulosis menurut pedoman
penaggulangan TB Kemenkes RI (2010) adalah sebagai berikut :
1) Sembuh adalah penderita TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap dengan pemeriksaan ulang dahak sedikitnya 2 kali berturut -
turut hasilnya negatif yaitu pada akhir tahap awal dan 1 bulan sebelum akhir
pengobatan atau akhir pengobatan.
2) Pengobatan lengkap adalah penderita TB yang menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 16
23
3) Gagal adalah Penderita TB ang hasil pemeriksaannya tetap positif atau kembali
menadi positif bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan.
4) Default (putus berobat) adalah penderita TB yang tidak berobat 2 bulan
berturut – turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5) Meninggal adalah pasien TB yang meninggal dalam masa pengobatan oleh
sebab apapun.
6) Pindah adalah pasien TB yang pindah berobat ke unit dengan register TB. 03
yang lain.
n. Upaya Pencegahan Penyakit TB Paru
Prinsip yang selalu menjadi pedoman dalam penanggulangan TB adalah
mencegah lebih baik daripada mengobati. Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan agar tidak tertular dan sakit TB adalah sebagai berikut :
1) Minum obat secara lengkap, teratur, dan tuntas hingga sembuh.
2) Penderita TB harus menutup mulut dan hidung saat bersin dan batuk. Hal ini
dikarenakan saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar
bercampur melalui percikan dahak. Kuman TB yang keluar bersama percikan
dahak saat bicara (0 – 200 kuman), batuk (0 – 3,500 kuman) dan bersin (4,500
– 1,000,000 kuman).
3) Tidak membuang dahak disembarang tempat, namun dahak dapat dibuang pada
tempat khusus seperti menggunakan wadah kaleng atau ember tertutup yang
sudah diberi pasir dan larutan antiseptik berupa karbol, deterjen. Pada saat
dahak dibuang maka ditimbun ke dalam tanah.
4) Mengimplementasikan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain :
a) Menjemur peralatan tidur, membuka jendela dan pintu setiap pagi agar
udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah, sirkulasi udara
lancar. Hal ini dapat mengurangi jumlah kuman di udara karena sinar
matahari mampu mematikan kuman TB.
b) Makan – makanan bergizi, tidak merokok dan minum – minuman keras.
c) Melakukan olah raga secara rutin dan teratur.
d) Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
e) Mencuci peralatan makan dan minum dengan bersih, memakai sabun
pencuci dan air mengalir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 17
24
Seorang penderita TB yang tanpa pengobatan, maka setelah 5 tahun, 50%
diantaranya akan meninggal, 25% akan sembuh dengan sendirinya dengan daya
tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronik (Depkes RI, 2006).
o. Strategi dalam Pengendalian TB
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short-course) sejak tahun 1995. Bank dunia menyatakan bahwa srtategis DOTS
sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis paling efektif.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita TB, dimana
prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menulara (BTA positif). Strategi ini
bertujuan untuk memutuskan rantai penularan TB sehingga dengan demikian akan
menurunkan insidensi TB di masyarakat. Adapun 5 komponen kunci DOTS antara
lain :
1) Komitmen politis dengan peningkatan kesinambungan pendanaan
2) Penemuan kasus sejak dini dan diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar dengan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka
pendek yang benar meliputi dosis dan jangka waktu yang tepat dengan
Pengawas Menelan Obat (PMO). Hal ini sangat penting untuk mendukung
keberhasilan pengobatan.
4) Sistem pengelolaan dan menjamin kesinambungan ketersediaan OAT jangka
pendek dengan mutu terjamin.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Pada tahun 2005 strategi DOTS tersebut oleh Global Stop TB Partnership
diperluas menjadi strategi “Stop TB” yang meliputi :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS.
2) Merespon masalah TB-HIV, MDR TB dan tantangan lainnya
3) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
4) Melibatkan semua pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5) Memberdayakan pasien dan masyarakat.
6) Melaksanakan dan mengembangkan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 18
25
Pada tahun 2013 muncul usulan beberapa negara anggota WHO untuk
merumuskan strategi baru yang bertujuan untuk menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB serta
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka
insidensi TB berhasil diturunkan hingga mencapai 1 kasus TB per 1,000,000
penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi tersebut
(pra-eliminasi) adalah jika angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per
100,000 penduduk. Angka insidensi TB secara global pada tahun 2012 mencapai
122 per 100,000 penduduk dan penurunan angka insidensi 1 – 2% per tahun maka
TB akan memasuki kondisi pra – eliminasi tahun 2160.
WHO pada sidang World Health Assembly (WHA) ke 67 tahun 2014 telah
menetetapkan strategi pengendalian TB global pasca 2015 yaitu strategi “The End
TB” yang bertujuan menghentikan epidemi pada tahun 2035 yang ditandai dengan
penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dibanding tahun 2015 dan
penurunan angka insidensi TB sebesar 90% atau menjadi 10 per 100,000
penduduk.
Adapun strategi tersebut dituangkan ke dalam 3 pilar strategi utama dan
komponen – komponennya :
1) Integrasi layanan TB ang berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a) Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk ui kepekaan OAT bagi semua dan
penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan populasi berisiko tinggi
b) Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk penderita resisten obat
dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-
centred support).
c) Kolaborasi TB-HIV dan tatalaksana komorbid yang lain.
d) Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan
berisiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2) Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas
a) Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan
dan pencegahan TB.
b) Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan
pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 19
26
c) Penerapan layanan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) dan
kerangka kebiakan lain yang mendukung pengendalian TB sperti waib lapor
registerasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian
infeksi.
d) Jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk
mengurangi dampak determinasi sosial terhadap TB.
3) Intensifikasi riset dan inovasi
a) Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat metode
intervensi dan strategi baru dalam pengendalian TB.
b) Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan
merangsang inovasi – inovasi baru untuk mempercepat pengembangan
program pengendalian TB (WHO, 2015)
2. TB Kebal Obat (Tuberculosis Multi-Drug Resistence = TB MDR )
a. Pengertian TB MDR
TB kebal obat (TB MDR) adalah kondisi yang terjadi pada penderita TB di mana
kuman Mycobacterium Tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat
anti tuberkulosis (OAT). Kekebalan terhadap OAT terjadi sebagai akibat dari
pengobatan penderita TB yang tidak adekuat atau terjadi karena tertular dari
penderita TB resisten obat (Kemenkes RI, 2014). Multi-Drugs Resistence (MDR)
adalah rsesitensi terhadap 2 jenis obat lini pertama yaitu Rifamfisin (R) dan
Isoniazid (INH) dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya (Sembiring,
2008). Pengobatan penderita TB MDR lebih sulit dengan angka keberhasilan
pengobatan berkisar 50% dan biaya pengobatannya yang tinggi mencapai 100 kali
lebih mahal dibanding dengan pengobatan TB reguler (lini pertama). Hal ini
merupakan beban yang sangat berat bagi negara berkembang (Sulistyaningtyas,
2010).
TB MDR muncul sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat, TB
resisten ditularkan dengan cara yang sama dengan TB sensitif obat. Menurut Zhao
et al. (2012), TB resisten obat secara umum dibagi menjadi :
a) Resistensi primer adalah resistensi obat yang diperoleh karena tertular dari
penderita TB MDR, dimana sebelumnya paenderita belum pernah mem-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 20
27
peroleh obat anti tuberkulosis (OAT) atau pernah mendapatkan terapi OAT
kurang dari 1 bulan.
b) Resistensi sekunder adalah resistensi terhadap obat yang diperoleh karena
seleksi penggandaan kuman M.TB rsesiten sebagai akibat pengobatan sebe-
lumnya yang tidak adekuat, dimana penderita pernah mendapatkan terapi
OAT selama paling sedikit 1 bulan.
c) Resistensi initial adalh resistensi terhadap obat, dimana riwayat pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
b. Epidemiologi TB MDR
Laporan WHO (2011), memperkirakan terdapat sekitar 500,000 kasus TB MDR
di dunia setiap tahunnya dan 150,000 diantarana meninggal dunia. Berdasarkan
laporan WHO (2013), di Indonesia diperkirakan terdapat 6,800 kasus baru TB
MDR setiap tahunnya dan diperkirakan sebesar 2% dari kasus baru TB dan
sebesar 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.
Prevalensi kasus TB MDR di dunia diperkirakan 2 – 3 kali lipat lebih tinggi dari
insiden Global TB Report WHO pada tahun 2011, hasil surveilans resistensi OAT
di beberapa negara menunjukkan terdapatnya negara atau wilayah seperti negara
pecahan Uni Soviet telah menghadapi ancaman endemi dan pandemi TB MDR.
Hasil survei pada 35 negara menunjukkan bahwa sebesar 12.6 % kasus TB
resisten paling tidak terhadap 1 macam obat dan 2.2 % resisten terhadap 2 macam
obat yang digunakan yaitu Rifamfisin dan Isoniazid. Kebanyakan kasus TB adalah
sensitif terhadap obat pada saat didiagnosis dan hanya menjadi resisten terhadap
obat sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat (Sembiring, 2008).
WHO menitikberatkan pada penerapan strategi DOTS dalam program
pengobatan TB guna menekan kasus TB resisten obat. Penerapan progrm DOTS
ke seluruh negara di dunia hingga saat ini sejumlah 119 negara telah menerapkan
strategi DOTS dalam pengendalian tuberkulosis (Erah dan Ojieabu, 2009).
Keberhasilan strategi DOTS dalam pengendalian TB di berbagai negara
tergantung pada kebijakan pemerintah dalam berbagai upaya dalam mendeteksi
kasus TB dengan menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis terapi dengan
paduan rejimen yang lengkap dan dosis yang tepat serta dengan diawasi langsung
oleh pengawas menelan obat, menjamin ketersediaan OAT agar pengobatan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 21
28
terputus dan memantau perkembangan pengobatan dengan pemeriksaan dahak
ulang dengan menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan standar (Price,
2006).
c. Jenis Resistensi Obat
Kemenkes RI (2014) mengelompokan resistensi OAT menjadi 5 kategori antara
lain :
1) Monoresistace adalah kondisi dimana seorang penderita TB resisten terhadap
salah satu jenis OAT, misalnya resisten obat Isoniazid (H).
2) Polyrsesistance adalah kondisi dimana seorang penderita TB resisten terhadap
lebih dari satu jenis OAT, selain paduan obat isoniazid (H) dan rifamfisin (R),
misalnya resisten isoniazid dan etambuthol (HE), rifamfisin etambuthol (RE),
isoniazid, etambuthol dan streptomisin (HES), rifamfisin etambuthol dan
streptomisin (RES).
3) Multi Drugs Resistence (MDR) adalah kondisi dimana seorang penderita TB
resisten terhadap isoniazid (H) dan rifamfisin (R), dengan atau tanpa jenis OAT
lini pertama yang lain, misalnya resisten HR, HRE, HRES.
4) Extensively Drugs Resistence (XDR) adalah kondisi dimana seorang penderita
TB MDR disertai dengan resistensi terhadap salah satu obat golongan
fluorokuinolon dan salah satu dari jenis OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin dan amikasin).
5) Totally Drugs Resistence (TDR) adalah kondisi dimana seorang penderita TB
mengalami resistensi terhadap semua jenis OAT lini pertama dan lini kedua
yang sudah dipakai saat ini.
d. Penemuan dan diagnosis TB MDR
Penemuan penderita TB resisten obat bermula melalui penjaringan penderita TB
terduga resisten obat (suspek TB MDR) berdasarkan pada kriteria suspek TB
MDR yang telah ditetapkan, berikut kriteria dalam menentukan suspek TB MDR
untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut, penegakan diagnosis dan
pengobatan :
1) Penderita TB gagal pengobatan kategori 2
2) Penderita TB pengobatan kategori 2 yang tidak mengalami konversi BTA
setelah 3 bulan pengobatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 22
29
3) Penderita TB yang memiliki riwayat pengobatan TB tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan.
4) Penderita TB pengobatan kategori 1 yang gagal.
5) Penderita TB pengobatan kategori 1 yang tidak mengalami konversi BTA
setelah 2 bulan pengobatan.
6) Penderita TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2.
7) Penderita TB yang kembali setelah Loss to follow up (lalai berobat / default).
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan penderita TB MDR.
9) Penderita ko-infeksi TB – HIV yang tidak ada perbaikan secara klinis maupun
tidak ada perubahan bakteriologis terhadap OAT yang diberikan.
(Kemenkes RI, 2014).
Penderita TB yang memenuhi salah satu kriteria terduga TB MDR di atas
harus segera dilakukan rujukan ke fasyankes rujukan TB MDR untuk pemeriksaan
tes cepat molekuler dan dilanjutkan dengan pemeriksaan dahak mikroskopis
langsung, biakan dan uji kepekaan M.TB di laboratorium rujukan. Saat ini
terdapat 2 metode tes cepat (rapid test) untuk pemeriksaan adalah Gene-Xpert
untuk uji kepekaan terhadap rifamfisin dan LPA (Line Probe Assay) untuk uji
kepekaan rifamfisin dan isoniazid sedangkan metode konvensional yang dipakai
adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan MGIT. Pada tahun 2014 WHO mere-
komendasikan bahwa GeneX-pert M.TB dapat digunakan untuk mendiagnosis TB
MDR. Berdasarkan hasil uji kuman kepekaan kuman M.TB tersebut sebagai dasar
untuk menegakkan diagnosis TB resisten obat. Apabila hasil pemeriksaan uji
kepekaan tersebut diperoleh hasil resisten rifamsisin (RR) maka paduan OAT
MDR akan diberikan (Kemenkes RI, 2014). .
e. Penatalaksanaan TB MDR
Penatalaksanaan TB resistensi ganda (TB MDR) memerlukan seseorang spesialis
yang ahli dibidangnya, dalam program sering disebut Tim Ahli Klinis (TAK).
Menurut Sembiring (2008), ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan pada
penatalaksanaan TB MDR yaitu teknik diagnostik, pemberian obat dan kepatuhan
minum obat. Paduan obat dan dosis yang tepat diharapkan separuh dari penderita
TB MDR ini akan sembuh dan dapat selamatkan dari kemungkinan komplikasi
yang buruk dan meninggal dunia. Sejak tahun 2009, Indonesia telah menerapkan
program MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 23
30
Obat) secara bertahap di seluruh wilaah Indonesia sehingga diharapkan seluruh
pasien TB MDR dapat mengakses penatalaksanaan TB MDR ang terstandar dan
cepat. Program ini bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian
akibat TB MDR dan memutus rantai penularannya di masyarakat dengan cara
menemukan dan mengobati sampai sembuh semua pasien TB MDR. Penerapan
MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS, saat
ini penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB resisten Rifamfisin dan TB
MDR (Kemenkes RI, 2014).
Paduan OAT yang diberikan untuk pengobatan penderita TB kebal obat
adalah paduan standar, dimana OAT ini diberikan kepada semua penderita yang
terkonfirmasi secara laboratoris TB RR/TB MDR. Paduan OAT diberikan dalam 2
tahap yaitu tahap awal dan lanjutan. Pada tahap awal adalah pemberian obat oral
dan suntikan paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah konversi biakan. Tahap
lanjutan adalah pemberian paduan OAT secara oral tanpa suntikan. Paduan OAT
yang diberikan adalah Kanamisin (Km), Levofloxacin (Lfx), Etoniamid (Eto),
Cycloserin (Cs), Pirazinamid (Z) dan Etambuthol (E). Sedangkan untuk tahap
lanjutan adalah pemberian OAT oral tanpa suntikan Kanamicin (Km) (Kemenkes
RI, 2014).
Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan, lama pengobatan berkisar 19 – 24 bulan. Selama menjalani
pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respon pengobatan
dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk,berdahak, demam
dan berat badan menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan
pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respon
pengobatan. Konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif (Kemenkes RI, 2014)
Pemantauan lanjutan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi
pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik,
pemeriksaan dahak, biakan dan foto thoraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali
selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB (Kemenkes RI, 2014).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 24
31
f. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB MDR
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap obat
adalah perilaku manusia baik dari sisi penderita TB, pemberi jasa pelayanan
kesehatan / petugas kesehatan (provider) dan program pengendalian TB dalam
tatalaksana pengobatan.
1) Pemberi jasa layanan kesehatan / Petugas kesehatan (provider) berkontribusi
dalam resistensi obat dikarenakan :
a) Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada belum seluruhnya terlibat
sepenuhnya dalam program pengendalian TB. Pada tahun 2012 untuk
BBKPM/BKPM/RS. Paru sudah mencapai 100% dan 98 % Puskesmas telah
menerapkan strategi DOTS, namun rumah sakit pemerintah maupun swasta
hanya mencapai 38% telah menerapkan strategi DOTS.
b) Ketenagaan, sudah 98% petugas TB di Puskesmas terlatih DOTS dan baru
24 % petugas TB di rumah sakit terlatih DOTS.
c) Penegakan diagnosis tidak tepat, terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan
yang tersertifikasi dalam pelayanan pengobatan TB resisten obat
menjadikan terbatasnya akses pengobatan yang berkualitas bagi penderita
TB resisten obat. Pada tahun 2011, Program TB Nasional merumuskan
program PMDT (Programmatic Management of Drugs Resistence TB) yang
kemudian diperkuat dengan Permenkes RI No. 13 Tahun 2013 tentang
Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat (MTPTRO)
sebagai pedoman dalam penatalaksnaan dalam mencegah, mengobati dan
mengendalikan penularan TB resisten Obat. Program tersebut menjamin
penyediaan akses dalam diagnosis dan pengobatan baik di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta.
d) Pengobatan yang tidak menggunakan paduan OAT yang tepat; pemberian
dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat oleh
petugas kesehatan. Kegagalan dalam mengidentifikasi resistensi obat
sehingga berdampak dalam tatalaksana bagi penderita TB resisten yang
tidak adekuat (Fauziah,2013).
e) Edukasi yang diberikan petugas kesehatan pada penderita dan keluarga yang
tidak adekuat : kurang memberikan informasi yang jelas dan lengkap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 25
32
tentang penyakit, proses pengobatan, pentingya keteraturan dan tuntasnya
berobat, efek samping obat yang mungkin terjadi (Nugraheni dan Malik,
2015).
2) Penderita TB berkontribusi dalam resistensi obat dikarenakan :
a) Tidak patuh terhadap anjuran dokter / petugas kesehatan, tidak teratur dalam
menelan paduan OAT yang diberikan. Berdasarkan penelitian tentang
kepatuhan penderita TB dalam berobat oleh Listyowati (2008) menunjukkan
bahwa beberapa aspek yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB
atara lain : jenis dan jumlah obat, dosis obat yang diberikan dan jangka
waktu pengobatan yang lama. Hal lain yang mempengaruhi kepatuhan
penderita adalah biaya yang dikeluarkan dan interaksi petugas kesehatan
dengan penderita, Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa kepatuhan berobat
penderita dipengaruhi 3 hal yaitu perilaku petugas kesehatan, sistem
kesehatan dan karakteristik penderita.
b) memutuskan berhenti berobat secara sepihak sebelum menyelesaikan
pengobatan. Pengetahuan penderita yang rendah dapat mempengaruhi
ketidakpatuhan penderita dalam meminum obat, hal ini dikarenakan
kurangnya informasi dari petugas kesehatan tentang penyakit TB yang
diderita, cara pengobatan, bahaya yang diakibatkan bila tidak teratur minum
obat dan pencegahan penyakit (Jain dan Dixit, 2008). Tingkat pengetahuan
penderita yang rendah beresiko 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan
dibandingkan dengan penderita yang berpengetahuan tinggi sebagai akibat
dari ketidakpatuhan berobat. Ketidakpatuhan terhadap tatalaksana
pengobatan meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak ulang
selama menjalani pengobatan yaitu pada akhir tahap awal, sebulan sebelum
akhir pengobatan maupun pada akhir pengobatan (Gelaw, 2015).
c) Gangguan penyerapan obat.
Pada kasus penderita TB dengan komorbid Diabetes Melitus memiliki
kelemahan dalam proses penyerapan obat pada saluran pencernaan sehingga
dapat berdampak terhadap keberhasilan pengobatannya (Fauziah, 2013).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 26
33
d) Status Gizi
Penderita TB berisiko mengalami status gizi yang buruk dikarenakan
penurunan nafsu makan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status
gizi bagi penderita TB adalah tingkat kecukupan energi dan protein,
perilaku penderita terhadap konsumsi makanan dan kesehatannya, penda-
patan keluarga dan lamanya sakit TB (Mulyadi et al., 2011). Kekurangan
gizi pada seseorang akan berdampak terhadap kekuatan daya tahan tubuh
dan respon imunologi tubuh terhadap penyakit (Patiung et al., 2014).
3) Program pengendalian TB
Program pengendalian TB dapat berkontribusi dalam resistensi obat dikare-
nakan : kurangnya persediaan OAT, kualitas OAT yang disediakan rendah
(Kemenkes RI, 2014). Persediaan OAT yang kurang merupakan salah satu
penyebab terhadap terjadinya pengobatan TB tidak adekuat (Fauziah, 2013).
4) Keluarga berkontribusi dalam resistensi obat dikarenakan kurangnya dukungan
dan motivasi terhadap penderita TB untuk meminum obat secara teratur dan
berobat tuntas hingga selesai pengobatan (Sarwani et al., 2012).
3. Faktor - faktor yang berkaitan dengan perilaku
Menurut Green dan Kreuter (2000), faktor penentu atau determinan perilaku
manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai
faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Perilaku manusia sebenarnya
merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan,
minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Selanjutnya Green mencoba
menganalisis perilaku manusia tersebut sebagai penyebab perilaku (behavior
causes). Perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yang meliputi faktor
predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.
Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan
persepsi, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak.
Dalam arti umum, kita dapat mengatakan bahwa faktor predisposisi sebagai
preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu
pengalaman belajar. Hal ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat
dalam setiap kasus. Termasuk dalam faktor predisposisi adalah faktor demografis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 27
34
seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga (Green dan
Kreuter, 2000)
Faktor pemungkin mencakup sumber daya yang perlu untuk melakukan
perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi ketersediaan sarana dan
ketercapaian berbagai sumber daya. Faktor penguat antara lain : lingkungan
keluarga sangat dominan dalam mempengaruhi pembentukan perilaku seseorang.
Perilaku seseorang cenderung untuk berkiblat pada perilaku yang berlaku dalam
keluarga individu tersebut. Lingkungan keluarga yang ideal dalam arti suatu
keadaan yang menjamin kenyamanan pada tiap-tiap anggota keluarga akan
membentuk perilaku yang terarah dan cenderung untuk bersikap terbuka terhadap
nilai-nilai baru yang tentu saja diterima oleh keluarga tersebut. Lingkungan
keluarga yang nyaman mempunyai respon yang kuat terhadap aktivitas-aktivitas
yang dilakukan anggota keluarganya. Keadaan demikian ini memungkinkan
lingkungan keluarga lebih peduli terhadap apa yang dilakukan anggota
keluarganya (Green dan Kreuter, 2000).
a. Teori Model Kepercayaan Kesehatan
Teori HBM (Health Belief Model) menurut Becker (1997), secara umum diyakini
bahwa individu akan mengambil tindakan untuk menghindarkan, memeriksa atau
mengendalikan kondisi kesehatan buruk jika mereka memandang rentan terhadap
kondisi itu, jika mereka percaya bahwa tindakan tertentu yang tersedia akan
menguntungkan dalam mengurangi kerentanan atau keparahan kondisi, dan jika
mereka percaya bahwa hambatan yang terantisipasi untuk mengambil tindakan
dipertimbangkan dengan keuntungan. Teori HBM digunakan untuk memprediksi
perilaku preventif dalam bentuk perilaku sehat dan juga respon perilaku terhadap
pengobatan yang akan dilakukan. HBM adalah model kognitif yang menjelaskan
dan memprediksi perilaku sehat dengan menitikberatkan pada sikap dan
keyakinan pada individu. Salah satu teori sikap yang yang berpengaruh dalam
menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada
2 hal yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah
individu meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi
ancaman kesehatan yang dirasakan. Menurut Nurhayati et al. (2015) apabila
individu bertindak melawan atau mengobati penyakitnya, terdapat 4 hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 28
35
mempengaruhi tindakan tersebut yaitu kerentanan yang dirasakan terhadap suatu
penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan hambatan yang
dialami dalam tindakannya melawan penyakit dan hal – hal yang memotivasi
tidakan tersebut.
Komponen Health Belief Model menurut Becker dan Nancy (1997) adalah
sebagai berikut :
1) Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)
Seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, seseorang
harus merasakan bahwa dirinya rentan (susceptible) terhadap penyakitnya. Suatu
tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah
merasakan bahwa dirinya atau keluarganya rentan terhadap penyakit yang
diderita. Pada perilaku sakit, seseorang sudah terdiagnosis sakit. Maka konsep dan
tingkat kerentanan individu harus dirubah dengan penambahan dimensi baru. Tiga
pendekatan dilakukan dengan cara :
a) Pemeriksaan individu untuk ketepatan diagnosis, adanya ancaman penyakit,
tidak yakin pada dokter atau prosedur diagnostik, kepercayaan yang salah
tentang kesehatan, pasien bisa menolak kesimpulan dokter, kemudian
mempertahankan pandangan yang salah tentang kerentanan individu terhadap
suatu penyakit.
b) Menyampaikan perkiraan individu terhadap kerentanan kembali atau
kemungkinan kambuh penyakit sebelumnya.
c) Mengukur perasaan individu terhadap keparahan berbagai penyakit lain, atau
penyakit secara umum.
2) Keseriusan/keparahan yang dirasakan (perceived severity).
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan
didorong oleh keseriusan penyakit terhadap individu atau masyarakat. Perceived
seriousness adalah persepsi subjektif dari individu terhadap seberapa parah
konsekwensi fisik dan sosial dari penyakit yang akan dideritanya. Persepsi
terhadap keseriusan dampak penyakit terbentuk dari informasi medis dan
pengetahuan individu tentang kesulitan dari penyakit yang diderita yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Ketika seseorang percaya bahwa mereka
berisiko terhadap sebuah penyakit, mereka akan lebih sering melakukan sesuatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 29
36
untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Namun sebaliknya ketika seseorang
percaya bahwa mereka tidak berisiko atau berisiko kerentanan yang rendah, maka
perilaku tidak sehat cenderung untuk diperoleh. Persepsi terhadap peningkatan
kerentanan atau berisiko dihubungkan dengan perilaku sehat dan penurunan
kerentana terhadap perilaku sehat.
Health Belief Model menyatakan bahwa ketika seseorang mengetahui
adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa penyakit akan berakibat serius
pada organ tubuh. Kasus kerentanan mengacu persepsi subyektif seseorang
dibanding dengan perkiraan medis kemungkinan seberapa berat penyakit itu.
Adanya gejala-gejala fisik mungkin mempengaruhi persepsi keparahan, motivasi
pasien untuk mengikuti instruksi dokter untuk mencegah kekambuhan.
Contohnya, perilaku yang meningkatkan kemungkinan adanya korelasi antara
persepsi keparahan dan kepatuhan, paling tidak untuk tahap awal pengobatan.
Pasien sering mengatakan bahwa mereka menghentikan kepatuhan terhadap
regimen karena merasa lebih baik.
3) Manfaat dan biaya yang dirasakan (perceived benefits and cost)
Persepsi manfaat ditunjukkan oleh hubungan kepatuhan pasien dengan
pengobatan. Pada studi yang berhubungan dengan perilaku sakit, identifikasi
keraguan terhadap prosedur yang direkomendasikan sebagai alasan pasien untuk
tidak mengikuti instruksi dokter yang berhubungan dengan penyakitnya. Persepsi
terhadap biaya atau hambatan, merupakan prediksi variabel penyebab
ketidakpatuhan. Sebaliknya yang berhubungan dengan kepatuhan adalah aspek
yang menentukan regimen pengobatan seperti : biaya untuk mengadopsi pola
perilaku baru (terutama jika pasien bekerja, keluarga, atau ada problem sosial),
kompleksitas, jangka waktu, dan efek samping.
4) Hambatan yang dirasakan (perceived barrier)
Pembentuk terakhir HBM adalah persepsi terhadap hambatan yang akan dihadapi
dari tindakan yang diambil atau perilaku kesehatan. Suatu tindakan bisa saja tidak
diambil seseorang, meskipun individu tersebut percaya terhadap keuntungan yang
didapat bila tindakan tersebut dilakukan. Hal ini bisa saja disebabkan oleh adanya
hambatan yang dihadapi. Hambatan mengacu pada karakteristik dari pengukuran
upaya pencegahan yang diambil seperti merepotkan, mahal, tidak menyenangkan.
Karakteristik tersebut akan berdampak pada individu menjauh dari tindakan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 30
37
diharapkan seharusnya dilaksanakan. Bila indivividu merasa dirinya rentan
terhadap penyakit yang dianggap serius maka dirinya akan melakukan suatu
tindakan tertentu, tindakan yang dilakukan terganttung pada manfaat yang
dirasakan dan hambatan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut.
Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan dari pada hambatan –
hambatan yang mungkin dihadapi dalam melakukan suatu tindakan.
5) Faktor Modifikasi (Modifying Factor)
Variabel lain yang berkaitan dengan perilaku kepatuhan adalah variabel demografi
(umur, jenis kelamin, ras, etnis). Sosiopsikologi (kepribadian, kelas sosial,
kelompok dan referensi kelompok, tekanan sosial) dan struktural (pengetahuan
tentang penyakit, pengalaman terhadap suatu masalah).
6) Isyarat atau tanda – tanda (cues to action)
Tingkat penerimaan yang benar terkait kerentanan, kegawatan dan manfaat
tindakan, maka diperlukan isyarat atau tanda – tanda dari faktor eksternal, antara
lain berupa : pesan – pesan dari media masa, informasi dari surat kabar, nasihat
dari seorang ahli kesehatan, gejala yang dialami, pengalaman sakit dari teman atau
anggota keluarga.
7) Percaya kemampuan diri (self efficacy)
Kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk melakukan suatu tindakan, pada
umumnya orang tidak mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru, melainkan
mereka berpikir dapat melakukannya apa tidak. Bila seseorang percaya suatu
perilaku baru yang berguna (manfaat dirasakan), namun berpikir bahwa dirinya
tidak mampu melakukan (hambatan yang dirasakan), dimungkinkan perilaku atau
tindakan itu tidak akan dilakukan.
Perilaku pencarian pelayanan kesehatan individu dipengaruhi oleh persepsi
seseorang terhadap suatu penyakit. Persepsi yyang pertama menentukan adalah
perilaku kesehatan seseorang untuk bertindak adalah persepsi tentang ancaman
penyakit. Persepsi tersebut ditentukan leh perasaan mudah tertular atau mudah
terjangkit penyakit TB dan adanya dampak yang parah atau serius dirasakan dari
penyakit atau masalah kesehatan yang dialami. Tinggi atau rendahnya ancaman
seseorang terhadap penyakit TB dipengaruhi oleh kemampuan seserang untuk
memahami informasi atau pengetahuan tentang TB yang diperoleh dari media
masa maupun petugas kesehatan. Pemahaman tersebut selanjutnya dikaitkan
dengan pengalamannya selama bersama penderitan dan lingkungannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 31
38
Berikut model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) menurut
Becker (1984) dalam Glanz et al. (2002) :
Individual Perception Modifying Factors Likelihood of Action
Gambar 2.1 Kerangka Teori Health Belief Model (HBM)
b. Perilaku peran terhadap sakit
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh
individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Perilaku sakit adalah
reaksi/respon seseorang terhadap sakit dan penyakit yang diderita. Reaksi ini
sangatlah ditentukan oleh sistem sosialnya. Perilaku sakit erat hubungannya
Perceived
Susceptibility to
Diseases
Demographic
Variables (age,sex
race, Etnic etc)
Sociopsychologiccal
Variables
(personality, social
class peer and
references group,etc)
Structural Variables
(Knowledge about
the disease, prior
experience of
disease,etc)
Perceived
benefit of
taking action,
Minus
Perceived
barriers to to
action
Likelihood of
taking
recommended
health action
Perceived Threat of
Diseases
Perceived Severity
of Diseases
Cues to Action
Raised Awareness (Mass
Media Campaign,
Newspaper article)
Personal advice ( Reminder
from Health Professional)
Personal Symptoms
Illness of Family Member or
Friend
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 32
39
dengan konsep diri, penghayatan kondisi yang dihadapi, pengaruh petugas
kesehatan, serta pengaruh birokrasi (Grochman, 1988)
Faktor utama yang menentukan perilaku sakit meliputi 2 faktor, pertama
adalah persepsi atau pemahaman seseorang tentang suatu situasi/penyakit, kedua
adalah kemampuan seseorang untuk melawan serangan penyakit tersebut. Maka
dapatlah dipahami mengapa ada orang yang mampu mengatasi gangguan
kesehatan yang cukup berat, sedangkan orang lain yang gangguannya lebih ringan
malah memperoleh berbagai masalah, bukan saja fisik, melainkan masalah psikis
dan sosial.
Pada masyarakat primitif, penyakit diartikan sebagai kekuatan otonom,
misalnya roh jahat, yang menyerang orang dan berdiam di tubuh mereka untuk
membuat mereka kesakitan atau mati. Selama jaman pertengahan, penyakit
diartikan sebagai hukuman atas dosa-dosa, dan perawatan penyakit dianggap
sebagai amalan agama. Sakit diartikan sebagai suatu keadaan atau kondisi
penderitaan sebagai akibat dari suatu penyakit. Ilmiah modern mengartikan bahwa
sakit adalah suatu gangguan biologis abnormal atau gangguan mental dengan
suatu sebab, karakteristik gejala-gejala, dan metode perawatan (Grochman,1988).
Pandangan medis mengenai sakit adalah penyimpangan dari norma
biologis mengenai perasaan sehat dan sejahtera. Pandangan ini mencakup adanya
mekanisme patogenik di dalam tubuh yang bisa didokumentasikan secara
obyektif. Diagnosis suatu penyakit, dihasilkan dari korelasi gejala-gejala yang
bisa diamati dengan pengetahuan mengenai fungsi fisiologis manusia. Misalnya,
seseorang dinyatakan sakit jika gejala-gejala, keluhan, atau hasil dari pemeriksaan
fisik dan atau uji laboratorium mengindikasikan suatu abnormalitas. Kriteria
tradisional untuk mengidentifikasikan penyakit adalah: pengalaman pasien
mengenai perasaan subyektif tentang sakit; hasil oleh dokter bahwa pasien
mengalami fungsi tubuh yang tidak sesuai; dan gejala-gejala pasien yang sesuai
dengan pola klinis yag bisa dikenali (Grochman,1988).
Fungsi dokter didalam perawatan sakit meliputi : membuat diagnosis, dan
melakukan tindakan penyembuhan dengan cara-cara sedemikian rupa untuk
mengembalikan organisme manusia pada keadaan normal. Evaluasi mengenai
sakit oleh dokter berisi definisi medis mengenai apa yang dimaksud dengan baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 33
40
dan normal, dibandingkan dengan apa yang dimaksud dengan buruk dan
abnormal. Di dalam sosiologi medis, sakit dianggap sebagai keadaan sosial yang
menyimpang yang disebabkan oleh gangguan perilaku normal melalui penyakit
(biologis). Ahli sosiologi pada umumnya lebih memilih untuk menjelaskan sakit
sebagai suatu kejadian sosial bukannya biologis karena kondisi penderitaan adalah
pengalaman subyektif yang biasanya menyebabkan individu memodifikasikan
perilaku mereka. Oleh karena itu, bila suatu penyakit merepresentasikan entitas
medis yang bisa didefinisikan dalam hal fungsi biologi, fisiologi, dan psikologi,
maka sakit bisa dianggap sebagai entitas sosial yang bisa didefinisikan dalam hal
fungsi sosial (Grochman,1988).
Banyak faktor yang menyebabkan orang bereaksi terhadap penyakit,
antara lain :
1) Dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang
dari keadaan biasa.
2) Banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan
bahaya.
3) Dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan
dalam kegiatan sosial lainnya.
4) Frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya.
5) Nilai ambang dari mereka yang terkena gejala itu (susceptibility atau
kemungkinan individu untuk diserang penyakit itu).
6) Informasi, pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu.
7) Perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenalnya.
8) Adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit.
9) Tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut,
tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial :
rasa malu, takut, dan sebagainya.
(Grochman, 1988).
Faktor-faktor diatas dapat dibuat kategorisasi faktor pencetus perilaku
sakit, yaitu faktor persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio
budaya; faktor intensitas gejala (menghilang atau terus menetap); faktor motivasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 34
41
individu untuk mengatasi gejala yang ada; serta faktor sosial psikologis yang
mempengaruhi respons sakit.
Menurut Grochman (1988), dalam menganalisa kondisi tubuhnya,
biasanya orang melalui dua tingkat analisa, yaitu:
1) Batasan sakit menurut orang lain : orang-orang disekitar individu yang sakit
mengenali gejala sakit pada diri individu itu dan mengatakan bahwa dia sakit
dan perlu mendapat pengobatan. Penilaian orang lain ini sangat besar artinya
pada anak-anak dan bagi orang dewasa yang menolak kenyataan bahwa dirinya
sakit.
2) Batasan sakit menurut diri sendiri : individu itu sendiri mengenali gejala
penyakitnya dan menentukan apakah dia akan mencari pengobatan atau tidak.
Analisa orang lain dapat sesuai atau bertentangan dengan analisa individu,
namun biasanya analisa itu mendorong individu untuk mencari upaya
pengobatan.
Uraian di atas tampak bahwa perilaku sakit merupakan suatu pola reaksi
sosio–budaya yang dipelajari. Pada saat individu dihadapkan pada gejala suatu
penyakit, gejala itu akan dikenal, dinilai, ditimbang untuk diputuskan apakah akan
bereaksi atau tidak, tergantung dari penghayatan/pemahaman seseorang tentang
situasi tersebut. Pemahaman seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
budaya dan pola sosialisasi yang berlaku, sehingga reaksi individu dalam suatu
komunitas tertentu mungkin berbeda dengan individu dari komunitas lain yang
menganut norma sosial dan budaya yang berbeda.
Menurut Grochman (1988) perilaku sakit adalah tindakan untuk
menghilangkan rasa tidak enak / tidak nyaman atau rasa sakit sebagai akibat dari
timbulnya gejala tertentu. Grochman menganalisa pola proses pencarian
pengobatan dari segi individu maupun petugas kesehatan. Menurut pendapatnya,
terdapat 5 macam reaksi dalam proses pencarian pengobatan yaitu :
1) Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna
menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosis dan pengobatan
sesuai dengan harapan si sakit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 35
42
2) Fragmentation, adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan
pada lokasi yang sama, misalnya : berobat ke dokter, sekaligus ke sinse dan
dukun.
3) Procrastination, adalah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun
gejala penyakitnya sudah dirasakan.
4) Self medication, adalah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai
ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya.
5) Discontinuity, adalah penghentian proses pengobatan.
Grochman (1988) menjelaskan bahwa Individu menentukan
reaksi/tindakan sehubungan dengan gejala penyakit yang dirasakannya, individu
berproses melalui tahap-tahap sebagai berikut :
1) Tahap pengenalan gejala. Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya
dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak enak dan keadaan itu
dianggapnya dapat membahayakan dirinya.
2) Tahap asumsi peran sakit, karena merasa sakit dan memerlukan pengobatan,
individu mulai mencari pengakuan dari kelompok acuannya (keluarga,
tetangga, teman sekerja) tentang sakitnya itu dan kalau perlu meminta
pembebasan dari pemenuhan tugas sehari-harinya.
3) Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan. Di sini individu mulai
menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalamannya atau dari
informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis
pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan
sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemanjuran sarana
tersebut.
4) Tahap ketergantungan si sakit, seseorang memutuskan bahwa dirinya, sebagai
orang yang sakit dan ingin disembuhkan, harus menggantungkan diri dan
pasrah kepada prosedur pengobatan. Dia harus mematuhi perintah orang yang
akan menyembuhkannya agar kesembuhan itu cepat tercapai.
5) Tahap penyembuhan atau rehabilitasi. Pada tahap ini si sakit memutuskan
untuk melepaskan diri dari peranan sebagai orang sakit. Hal ini terjadi karena
dia sudah sehat kembali dan dapat berfungsi seperti sediakala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 36
43
Konsep Parsons mengenai peran sakit didasarkan pada asumsi bahwa
menjadi sakit bukanlah kesengajaan dan bukan merupakan pilihan yang diketahui
oleh orang yang sakit, meskipun sakit mungkin terjadi sebagai akibat dari paparan
yang sengaja, infeksi atau cidera. Namun, Parsons mengingatkan bahwa beberapa
orang mungkin tertarik ke peran sakit agar absennya dari tanggung jawab sosial
bisa disetujui. Pada umumnya masyarakat menyetujui pembedaan diantara peran-
peran menyimpang dengan menghukum penjahat dan menyediakan perawatan
terapeutik bagi si sakit. Kedua proses tersebut berfungsi untuk mengurangi
penyimpangan dan mengubah kondisi yang mengganggu kepatuhan terhadap
norma-norma sosial. Kedua proses tersebut juga membutuhkan campur tangan
agensi-agensi sosial, penegakan hukum atau pengobatan, dalam rangka
mengendalikan perilaku yang menyimpang. Menjadi sakit, bukan semata
mengalami kondisi fisik yang sakit; bahkan ini merupakan peran sosial karena
meliputi perilaku berdasarkan ekspektasi institusional dan dikuatkan oleh norma-
norma masyarakat yang berkaitan dengan ekspektasi-ekspektasi ini (Grochman,
1988).
Ekspektasi utama mengenai orang sakit adalah bahwa mereka tidak
mampu mengurusi dirinya sendiri, karena itu penting bagi si sakit untuk mencari
bantuan medis dan bekerjasama dengan ahli medis. Perilaku ini didasarkan pada
asumsi yang dibuat oleh Parsons bahwa menjadi sakit adalah suatu keadaan yang
tidak dikehendaki dan orang sakit ingin menjadi sehat. Seseorang mungkin ingin
mempertahankan peran sakit secara permanen karena ada keuntungan kedua, yaitu
pengecualian dari kewajiban normal dan keistimewaan-keistimewaan lain yang
biasanya diberikan pada si sakit. Karena itu, praktek medis menjadi suatu
mekanisme dimana sistem sosial mencoba mengontrol si sakit dengan
mengembalikannya pada keadaan normal.
Aspek-aspek tertentu dari konsep Parsons (dalam Sarwono, 1997)
mengenai peran sakit bisa dijelaskan dalam empat kategori dasar :
1) Orang sakit dikecualikan dari peran-peran sosial yang normal. Sakit seseorang
merupakan dasar bagi pengecualiannya dari kinerja peran yang normal dan
tanggung jawab sosial. Pengecualian ini adalah bersifat relatif terhadap sifat
dan beratnya sakit. Semakin berat sakitnya, maka semakin besar penge-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 37
44
cualiannya. Pengecualian memerlukan legitimasi oleh dokter sebagai pihak
berwenang. Legitimasi tersebut memiliki fungsi sosial yaitu melindungi
masyarakat dari orang yang berpura-pura sakit.
2) Orang sakit tidak bertanggungjawab atas kondisinya. Sakitnya individu
biasanya dianggap berada di luar kendalinya. Kondisi tubuh yang sakit perlu
diubah, dengan beberapa proses kuratif, terlepas dari keinginan atau motivasi
orang tersebut, diperlukan agar orang tersebut menjadi sembuh.
3) Orang sakit harus mencoba untuk sembuh. Dua aspek pertama dari peran sakit
adalah bertanggungjawab pada aspek ketiga, yaitu pengakuan oleh si sakit
bahwa menjadi sakit adalah tidak dikehendaki. Pengecualian dari tanggung
jawab normal bersifat sementara dan tergantung pada keinginan untuk
mendapatkan kembali kesehatan yang normal. Jadi, orang sakit memiliki
kewajiban untuk sembuh.
4) Orang sakit harus mencari bantuan yang kompeten secara teknis dan
bekerjasama dengan dokter. Kewajiban untuk sembuh meliputi kewajiban lebih
lanjut di pihak si sakit untuk mencari bantuan yang kompeten secara teknis,
biasanya dari dokter. Orang sakit juga diharapkan bekerjasama dengan dokter
di dalam proses untuk mencoba menjadi sembuh.
Dua hal yang berkaitan dengan peran individu yang sakit dalam
lingkungan sosialnya, yaitu hak dan kewajiban. Hal ini berarti orang yang
berperan sebagai si sakit mempunyai pula hak dan kewajiban tertentu. Hak yang
pertama bagi orang sakit ialah dibebaskannya dari tanggung jawab sosial dan
pekerjaan sehari-hari. Pemenuhan hak ini tergantung dari tingkat/persepsi
keparahan penyakitnya. Jika penyakit itu dianggap tidak begitu parah, maka si
sakit hanya diberikan sedikit kebebasan dari peran dan tanggung jawabnya.
Namun jika penyakitnya parah, si sakit berhak menuntut untuk dibebaskan sama
sekali dari tanggung jawab sosialnya sebab kalaupun dipaksakan dia akan
menghasilkan pekerjaan yang mutunya rendah. Apalagi jika penyakitnya itu
menular, kehadirannya di lingkungannya justru akan mengganggu orang lain
karena menularkan penyakitnya. Hak yang kedua adalah hak untuk menuntut
bantuan atau perawatan dari orang lain, biasanya orang sakit itu berada dalam
kondisi lemah sehingga dia membutuhkan bantuan orang lain untuk merawat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 38
45
dirinya agar kesehatannya dapat dipulihkan sehingga dia dapat kembali berfungsi
dalam masyarakat. Di samping mempunyai hak tertentu, orang sakit harus pula
menjalankan kewajibannya, terutama kewajiban untuk mencapai kesembuhan.
Kewajiban ini dapat dipenuhi sendiri maupun dengan pertolongan orang lain
misalnya petugas kesehatan (Sarwono, 1997).
c. Perilaku Penderita TB MDR berdasarkan teori HBM
Health Belief Model (HBM) adalah suatu model perilaku kesehatan ang mampu
memprediksi perilaku individu terhadap kesehatan (health behaviour), perilaku
terhadap sakit yang dirasakan (illness behaviour) dan perilaku terhadap penyakit
yang diderita (sick role behaviour). Ketika seseorang didiagnosis menderita TB
MDR, pada kenyataannya bukan sesuatu yang mudah untuk mendorong mereka
untuk berobat secara teratur. Adapun faktor penyebabnya adalah karena kurang
menyadari bahwa kondisi penyakit yang diderita, sebenarnya dapat memberikan
ancaman bagi kesehatan mereka. Kurangnya dukungan sosial kepada penderita,
dapat menyebabkan seseorang tidak mau melakukan pengobatan secara teratur.
Setiap indovidu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil suatu
tindakan pencegahan atau penyembuhan terhadap masalah kesehatan yang
dirasakan. Hal ini tergantung pada keyakinan masing – masing untuk meneruskan
pengobatan secara teratur atau tidak. Dalam Health Belief Model, persepsi
individu terhadap suatu penyakit mencakup 2 penilaian yairu perceived threat,
perceived benefits dan perceived barrier. Perceived threat adalah ancaman yang
dirasakan individu terhadap gejala dan tanda penyakit yang dialami, semakin
besar individu merasakan ancaman maka semakin cepat individu mencari
pertolongan medis. Perceived benefits adalah penilaian individu mengenai
manfaat/keuntungan yang diperoleh ketika mengadopsi perilaku kesehatan yang
dianjurkan dan perceived barrier adalah penilaian individu mengenai hambatan
yang diperoleh ketika mengadopsi perilaku kesehatan yang dianjurkan (Nurhayati
et al., 2015).
Kepercayaan yang dimiliki oleh masing – masing individu terhadap
masalah kesehatan yang dirasakan, akan menentukan upaya individu dalam
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Bila individu merasa
dengan melakukam pengobatan secara tertatur dapat mengurangi tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 39
46
keparahan penyakitnya, memperoleh manfaat/ keuntuingan yang lebih besar
daripada hambatan/kerugian yang didapat, maka individu tersebut akan melaku-
kan pengobatan secara teratur untuk mengatasi masalah kesehatan yang diderita
(Safri et al., 2013).
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian oleh Nugraheni dan Malik (2015) dengan judul : “Analisis Penyebab
Resistensi Obat Anti Tuberkulosis di RS. HA. Rotinsulu Kota Bandung”.
Penelitian analitik dilakukan dengan rancangan studi kasus-kontrol menun-
jukkan hasil bahwa resistenti OAT penderita TB disebabkan oleh riwayat
pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat seperti penegakan diagnosis yang
tidak tepat, pengobatan tidak menggunakan paduan OAT, jenis dan dosis tepat;
jumlah obat dan jangka waktu pengobatan yang tidak adekuat, tidak teratur
dalam minum OAT dan menghentikan secara sepihak sebelum waktu pengo-
batan selesai. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan
penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitiam studi kasus
tunggal. Subjek penelitian yang akan dilakukan tidak hanya pada penderita TB
MDR namun juga pada dokter / petugas kesehatan yang memberikan
pelayanan pengobatan, anggota keluarga dan petugas pengelola program TB
puskesmas.
2. Penelitian oleh Sarwani et al. (2012), dengan judul “Faktor Risiko Multi-Drugs
Resistence Tuberkulosis (MDR-TB) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)
Purwokerto”. Penelitian obsevasional dengan rancangan studi kasus – kontrol,
menunjukkan hasil bahwa faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian TB
MDR adalah motivasi penderita TB yang rendah dan ketidakteraturan minum
obat. Kurangnya pengetahuan penderita tentang penyakitnya dan bagaimana
mengobatinya, pelayanan yang kurang memuaskan dari pemberi layanan
kesehatan dan faktor budaya memiliki pengaruh terhadap motivasi penderita
dalam menyelesaikan pengobatan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan
adalah rancangan penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang
akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 40
47
studi kasus tunggal. Subjek penelitian yang akan dilakukan tidak hanya pada
penderita TB MDR namun juga pada dokter / petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan pengobatan, anggota keluarga dan petugas pengelola
program TB puskesmas.
3. Penelitian oleh Nugroho (2011) dengan judul : “Studi Kualitatif Faktor yang
Melatarbelakangi Drop Out Pengobatan Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan
Penyakit Paru (BP4) Tegal”. Menunjukkan hasil bahwa drop out pengobatan
TB terjadi disebabkan oleh penderita merasa kondisinya sudah sehat ditandai
dengan gejala klinis hilang setelah menjalani pengobatan tahap awal (2 bulan)
sehingga pasien merasa sudah sembuh, pembiayaan pengobatan yang tidak
gratis, kurangnya pengetahuan pasien tentang tahapan pengobatan yang
dijalani dan komplikasi pengobatan TB, efek samping obat yang dialami dan
transportasi menuju ke tempat pengobatan yang jauh. Sedangkan dukungan
keluarga tidak menjadi alasan kuat penderita untuk menghentikan pengobatan.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada subjek
penelitian, dimana pada penelitian ini berfokus pada penderita TB MDR
dengan menggali proses pengobatan yang dilakukan pada pengobatan TB
sebelum terdiagnosis TB MDR dengan berdasar pada teori Health Belief
Model. Penelitian yang dilakukan juga menggali peran keluarga, dokter-
/petugas kesehatan yang memberikan pelayanan pengobatan serta anggota
keluarga dalam berkontribusi pada kejadian TB MDR.
4. Penelitian oleh Murtatiningsih dan Wahyono (2010) dengan judul “Faktor –
faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Purwodadi 1 Kabupaten Grobogan”. Penelitian dengan metode
survei analitik dengan pendekatan kasus – kontrol. Menunjukkan hasil bahwa
faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan penderita TB adalah
keteraturan berobat, status gizi dan pendapatan sedangkan penyuluhan oleh
petugas kesehatan dan dukungan Pengawas Menelan Obat tidak berhubungan
dengan kesembuhan penderita TB. Perbedaan dengan penelitian yang dilaku-
kan adalah rancangan penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 41
48
akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian
studi kasus tunggal.
5. Penelitian oleh Desmukh et al. (2015) dengan judul : “ Patient and Provider
Reported Reasons for Loss to Follow Up TB MDR Treatment : Aqualitative
Study from a Drug Resistent TB in Centre India”. Penelitian kualitatif semi
struktur personal interview, menunjukkan hasil bahwa Loss to follow up pada
penderita TB MDR yang diobati dikarenakan oleh efek samping obat, beban
minum obat yang banyak dan lama pengobatan selama 24 bulan. Hal tersebut
merupakan penghambat bagi kepatuhan penderita dalam minum obat dan
memutuskan untuk berhenti berobat.
6. Penelitian oleh Shean et al. (2015) dengan judul : “Loss to Follow Up on
Multidrugs Resistent Tuberculosis Treatment in Gujarat India”. Menunjukkan
hasil yang sejalan dengan penelitian Desmukh et al. (2015) bahwa Loss to
follow up pada penderita TB MDR yang diobati dikarenakan oleh efek samping
obat, beban minum obat yang banyak dan lama pengobatan selama 24 bulan.
Hal tersebut merupakan penghambat bagi kepatuhan penderita dalam minum
obat dan memutuskan untuk berhenti berobat. Perbedaan dengan penelitian
yang akan dilakukan adalah pada fokus penggalian data, dimana penelitian
yang dilakukan akan menggali proses pengobatan yang dilakukan pada proses
pengobatan TB lini pertama sebelum terdiagnosis TB MDR dengan berdasar
pada teori Health Belief Model. Variabel penelitian persepsi penderita tentang
kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan serta efikasi diri adalah hal yang
akan diungkap dalam penelitian ini. Motivasi/dukungan keluarga, penerapan
strategi DOTS oleh pemberi layanan pengobatan dan pengelolaan program TB
oleh petugas di puskesmas juga akan digali dalam penelitian ini.
7. Penelitian oleh Fauziah (2013) dengan judul : “Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian TB MDR di RSUP Persahabatan”. Penelitian
menggunakan rancangan kasus-kontrol, hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB MDR adalah umur,
konsumsi alkohol, riwayat kontak TB, kepatuhan minum obat penderita, status
gizi dan komorbid : diabetes melitus. Dalam penelitian tersebut menelaskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 42
49
bahwa untuk mendukung penerapan program DOTS, penderita harus
dimonitoring dan dikontrol selama pengobatan, terutama dalam kepatuhan
minum obat. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan
penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus
tunggal.
8. Penelitian oleh Safri et al. (2014) dengan judul Analisis Faktor yang
berhubungan dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru Berdasarkan
Health Belief Model di Wilayah Kerja Puskesmas Umbulsari Kabupaten
Jember. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif
observasional dengan rancangan studi cross-sectional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya hubungan keempat variabel konstruk Health
Belief Model dengan kepatuhan pengobatan penderita. Perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan adalah rancangan penelitian yang dilakukan, dimana
dalam penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif
dengan strategi penelitian studi kasus tunggal.
9. Penelitian oleh Zhao et al. (2012) dengan judul : “Social Behaviour Risk
Factors for Drug Resistent Tuberculosis in Mainland China : Meta-Analysis”.
Penelitian ini menggunakan metode Meta-Analysis yaitu analisis dengan
menggunakan sumber data penelitian terdahulu baik penelitian dengan
menggunakan metode cross sectional, case-control dan cohort. Menganalisa
faktor – faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya TB MDR. Menunjukkan
hasil penelitian bahwa faktor – faktor risiko mempengaruhi kejadian TB MDR
adalah riwayat pengobatan sebelumnya, pengobatan dengan kualitas DOTS
rendah, kepatuhan pengobatan penderita yang rendah, lamanya menderita
penyakit, dan tingkat pendapatan yang rendah (kemiskinan yang di alami).
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan penelitian yang
dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan menggunakan
pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus tunggal.
10. Penelitian oleh Kumar et al. (2014) dengan judul : “Nutritional Status in
Multi Drugs Resistence-Pulmonary Tuberculosis Patients”. Penelitian
observasional dengan menggunakan rancangan studi cross-sectional. Hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 43
50
penelitian menunjukkan bahwa pengobatan pada penderita TB MDR dengan
status gizi buruk memperlihatkan hasil yang tidak optimal. Perbedaan
penelitian dengan penelitian yang dilakukan adalah pada jenis dan rancangan
penelitian. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan
penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus
tunggal. Variabel penelitian persepsi penderita tentang kerentanan,
keseriusan, manfaat dan hambatan serta efikasi diri adalah hal yang akan
diungkap dalam penelitian ini. Motivasi/dukungan keluarga dalam kepatuhan
berobat penderita, penerapan strategi DOTS dalam penegakan diagnosis dan
tatalaksana pengobatan oleh dokter selaku pemberi layanan pengobatan serta
pengelolaan program TB oleh pengelola program TB di puskesmas dan
rumah sakit juga akan digali dalam penelitian ini.
C. Kerangka Berpikir Penelitian
Persepsi terhadap kerentanan dan keseriusan penyakit yang dirasakan, manfaat
dari tindakan pengobatan, hambatan yang dirasakan dan keyakinan diri penderita
mendorong seseorang untuk patuh berobat sesuai dengan anjuran pengobatan
yang telah diprogramkan dokter/petugas kesehatan. Pemahaman seseorang
terhadap kerentanan dan keseriusan penyakit yang diderita serta efikasi diri
diyakini menghasilkan kekuatan untuk berperilaku, namun tindakan pengobatan
yang dipilih akan dipengaruhi oleh keyakinan tentang manfaat dan hambatan yang
dirasakan, termasuk prosedur yang harus dijalani selama mengikuti pengobatan.
Seseorang akan menimbang efektifitas tindakan dengan hambatan yang
diperkirakan. Apabila diprediksi bahwa manfaat lebih besar daripada hambatan,
maka tindakan kepatuhan dalam pengobatan akan dilakukan. Kejadian resistensi
terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan dampak dari perilaku penderita
TB dalam menjalani pengobatan, status gizi yang dimiliki penderita; perilaku
dokter selaku pemberi layanan pengobatan (provider) dalam memberikan edukasi
bagi penderita dan keluarga serta tatalaksana diagnosis dan pengobatan yang
adekuat bagi penderita (penerapan tatalaksana standar pedoman TB–DOTS);
perilaku keluarga dalam memberikan dukungan/motivasi serta pengawasan
minum obat penderita TB dalam menjalani pengobatan serta pengelolaan program
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Page 44
51
TB oleh pengelola program TB fasyankes setempat dalam memberikan edukasi
sebeleum pengobatan, menjamin ketersediaan OAT berkualitas dan penerapan
strategi pengelolan program pengendalian TB – DOTS. Berikut kerangka berpikir
penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian
Persepsi
Kerentanan
Penyakit
Kepatuhan
Minum Obat
Persepsi
Hambatan
dirasakan
Persepsi
Manfaat
Tindakan
Persepsi
Keseriusan
Penyakit
Status Gizi
TB MDR
Pengobatan
Tidak
Adekuat
Ketersediaan
OAT
Penerapan
Pengobatan
DOTS
Efikasi
Diri
Motivasi /
Dukungan
Keluarga
Edukasi
Petugas
Kesehatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user