Top Banner
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tuberkulosis (TB) a. Pengertian Penyakit TB Tuberkulosis atau sering disebut TB adalah penyakit infeksi yang dapat menginfeksi berbagai organ atau jaringan tubuh terutama paru - paru dan TB Paru merupakan bentuk infeksi yang sering ditemukan. TB merupakan bagian dari penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis atau sering disebut kuman M.TB (Depkes RI, 2008). TB merupakan persoalan penting bagi kesehatan masyarakat, Orang sehat yang terpapar dari seorang penderita TB paru dapat menjadi penderita TB Paru bila daya tahan tubuh rendah, status gizi yang buruk, tinggal di lingkungan perumahan yang tidak sehat dan kumuh, kepadatan hunian, pendidikan kesehatan yang rendah (Kemenkes RI, 2010). b. Kuman Penyebab TB Basil Mycobacterium Tuberculosis merupakan kuman penyebab penyakit TB. Kuman tersebut dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan bakteriologis melalui pemeriksaan mikroskopis spesimen dahak. Adapun kuman M. TB memiliki ciri ciri dan sifat sebagai berikut : 1) Berbentuk batang tipis atau agak bengkok berwarna merah pada pemeriksaan mikroskop bersifat aerob atau dapat hidup dengan baik pada organ yang kaya oksigen, memiliki ukuran panjang 1 4 mikron dan lebar 0.2 0.6 mikron. 2) Bersifat tahan terhadap pewarnaan asam dan alkohol sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA) dengan metode Zeihn Neelson. 3) Berbentuk tunggal dan umumnya berantai atau berkelompok, dalam dahak pada suhu 30 37 0 C kuman M. TB akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu, pada air mendidih dengan suhu 80 o C akan mati dalam waktu 5 menit. 4) Kuman M.TB mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama 5) Mudah mati bila terpapar sinar matahari dan sinar ultraviolet secara langsung dan dapat bertahan hidup berjam jam pada tempat yang gelap bahkan hingga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user
44

Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

Feb 23, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Tuberkulosis (TB)

a. Pengertian Penyakit TB

Tuberkulosis atau sering disebut TB adalah penyakit infeksi yang dapat

menginfeksi berbagai organ atau jaringan tubuh terutama paru - paru dan TB Paru

merupakan bentuk infeksi yang sering ditemukan. TB merupakan bagian dari

penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

Tuberculosis atau sering disebut kuman M.TB (Depkes RI, 2008).

TB merupakan persoalan penting bagi kesehatan masyarakat, Orang sehat

yang terpapar dari seorang penderita TB paru dapat menjadi penderita TB Paru

bila daya tahan tubuh rendah, status gizi yang buruk, tinggal di lingkungan

perumahan yang tidak sehat dan kumuh, kepadatan hunian, pendidikan kesehatan

yang rendah (Kemenkes RI, 2010).

b. Kuman Penyebab TB

Basil Mycobacterium Tuberculosis merupakan kuman penyebab penyakit TB.

Kuman tersebut dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan bakteriologis melalui

pemeriksaan mikroskopis spesimen dahak. Adapun kuman M. TB memiliki ciri –

ciri dan sifat sebagai berikut :

1) Berbentuk batang tipis atau agak bengkok berwarna merah pada pemeriksaan

mikroskop bersifat aerob atau dapat hidup dengan baik pada organ yang kaya

oksigen, memiliki ukuran panjang 1 – 4 mikron dan lebar 0.2 – 0.6 mikron.

2) Bersifat tahan terhadap pewarnaan asam dan alkohol sehingga disebut Basil

Tahan Asam (BTA) dengan metode Zeihn Neelson.

3) Berbentuk tunggal dan umumnya berantai atau berkelompok, dalam dahak

pada suhu 30 – 370 C kuman M. TB akan mati dalam waktu lebih kurang 1

minggu, pada air mendidih dengan suhu 80oC akan mati dalam waktu 5 menit.

4) Kuman M.TB mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama

5) Mudah mati bila terpapar sinar matahari dan sinar ultraviolet secara langsung

dan dapat bertahan hidup berjam – jam pada tempat yang gelap bahkan hingga

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 2: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

9

berbulan-bulan pada suhu kamar yang lembab pada suhu pada suhu 40C –

minus 70oC.

6) Dalam organ atau jaringan tubuh kuman M.TB dapat bersifat pasif atau tertidur

lama hingga bertahun – tahun (dormant).

(Kemenkes RI, 2014).

c. Epidemiologi TB

Epidemiologi penyakit tuberkulosis merupakan ilmu yang mempelajari tentang

interaksi antara kuman M.TB sebagai agent manusia sebagai host dan lingkungan

sebagai environment. Mencakup juga bagaimana distribusi penyakit, perkembang-

an dan persebarannya serta mencakup gambaran prevalensi dan insidensi dari

penyakit tersebut dapat timbul dalam suatu populasi yang tertular (Kemenkes RI,

2014).

Pada masa lalu penyakit TB dikenal sebagai penyakit penyebab kematian

yang menakutkan. Pada tahun 1882, seorang ilmuwan berkebangsaan jerman yang

bernama Robert Koch menemukan bakteri penyebab penyakit tuberkulosis

(Depkes RI, 2006). Penyakit TB masih menjadi kategori penyakit yang

mematikan dan sampai saat ini TB masih menjadi salah satu masalah kesehatan

masyarakat di dunia meskipun telah dilaksanakan strategi DOTS dalam upaya

pengendaliannya (Kemenkes RI,2014).

Berdasarkan laporan WHO tahun 2013, diperkirakan sejumlah 8.6 juta

kasus TB dengan 1.1 juta orang (13%) diantaranya adalah penderita TB dengan

HIV positif, sejumlah 450,000 adalah menderita TB MDR dan 170,000

diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan sejumlah 530,000

(6%) kasus TB anak telah terjadi setiap tahunnya diantara kasus TB secara global

dan sejumlah 74,000 (8%) kematiannya disebabkan karena TB. Meskipun jumlah

kasus TB dan kematian akibat TB tetap tinggi, namun penyakit ini dapat dicegah

dan disembuhkan. Fakta menunjukkan bahwa angka insidensi TB secara global

dapat dihentikan dan telah menunjukkan penurunan 2% per tahun dan angka

kematian dapat diturunkan hingga 45% bila dibandingkan pada tahun 1990.

Sebagian besar (75%) penderita TB adalah kelompok usia produktif (15 – 50

tahun), diperkirakan penderita TB dewasa akan kehilangan 3 – 4 bulan waktu

kerjanya atau kehilangan 20 – 30% pendapatan rumah tangganya per tahun dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

10

jika meninggal akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Hal ini akan

berdampak buruk pada ekonomi keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2014).

TB merupakan permasalahan utama bagi kesehatan masyarakat dan

Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB terbesar kedua setelah India

(Fauziah, 2013). Pada tahun 2015, berdasarkan Survei Prevalensi TB tahun 2013

di Indonesia diperkirakan terdapat sejumlah 1 juta kasus baru TB per tahun atau

sebesar 10 % dari kasus TB secara global. Indonesia menempati urutan kedua

setelah India dengan insidensi TB sebesar 23%. Angka tersebut mengalami

kenaikan jika dibanding tahun 2014 yang hanya sebesar 460,000 kasus (Bimantara

dalam Kompas, Maret 2016).

d. Cara Penularan TB

Sumber penularan penularan utama dari penyakit tuberkulosis adalah penderita

TB yang memiliki hasil pemeriksaan dahak (BTA) positif melalui percikan dahak

(droplet nuclei), namun bukan berarti seseorang dengan hasil pemeriksaan dahak

(BTA) negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Seseorang dengan hasil

pemeriksaan dahak negatif tetap dapat menularkan hal ini dikarenakan didalam

pemeriksaan dahak diperlukan konsentrasi kuman lebih kurang 5.000 kuman

dalam setiap 1 mililiter spesimen dahak pada pemeriksaan mikroskopis secara

langsung. Penderita TB dengan hasil BTA positif memiliki peluang menularkan

sebesar 65% dan penderita TB dengan hasil BTA negatif dan kultur positif

memiliki peluang menularkan sebesar 26%, sedangkan pada penderita dengan

hasil BTA negatif dan foto rontgen dada (thoraks) positif memiliki peluang

menularkan sebesar 17% (Kemenkes RI, 2010)

Penularan terjadi pada saat penderita TB batuk atau bersin, dimana saat

aktivitas batuk atau bersin mengeluarkan percikan dahak yang terbang di udara,

sekali batuk akan menghasilkan lebih kurang 3,000 percikan dahak dan sekali

bersin lebih kurang 4,500 percikan dahak. Selnjutnya infeksi akan terjadi ketika

udara yang mengandung kuman M.TB tersebut terhirup oleh orang lain. Penularan

melalui inhalasi atau percikan dahak dengan besaran partikel kecil (1–5

nanomikron) dari sekresi saluran pernapasan yang berisi sedikitnya 1–3 basilus

tuberkel. Percikan dahak dihasilkan pada saat individu batuk, bersin atau ber-

bicara. Partikel kecil ini tetap mengambang di udara sampai terhirup, kemudian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

11

mencapai alveolus paru karena ukurannya sangat kecil. Penularan dapat juga

terjadi secara tidak langsung bila dahak penderita diludahkan di tempat yang tidak

terkena sinar matahari langsung, kemudian mengering dan menyatu dengan debu,

bila debu ini terhisap orang sehat akan dapat menyebabkan sakit. Berdasarkan

cara penularan tersebut, tuberkulosis dapat digolongkan sebagai airborne disease

(Kemenkes RI, 2010).

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi yaitu berkisar 1 – 3 %. Sebagian

besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB. Pada daerah

dengan ARTI sebesar 1%, hal ini berarti dalam 100,000 penduduk rata – rata

teradi 1,000 orang terinfeksi TB setiap tahunnya, 100 orang (10%) diantaranya

akan sakit TB dan diperkirakan 50 orang (separuh) diantaranya adalah penderita

TB dengan BTA positif (Kemenkes RI, 2010).

Risiko seseorang untuk sakit TB tergantung dengan konsentrasi atau

banyaknya jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia

seseorang yang terinfeksi, serta tingkat daya tahan tubuh, seseorang dengan daya

tahan tubuh rendah diantaranya karena infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk akan

memudahkan tertular dan mempercepat berkembangnya menjadi sakit TB

(Kemenkes RI, 2014). Risiko tinggi tertular TB adalah sebagai berikut :

1) Mereka yang memiliki kontak erat dengan penderita TB aktif.

2) Seseorang dengan imunosupresif seperti : lansia, penderita kanker, seseorang

yang menjalani terapi kortikosteroid.

3) Seseorang tanpa perawatan kesehatan yang adekuat seperti : tunawisma,

tahanan, etnik dan ras minoritas, anak – anak di bawah usia 15 tahun (Fauziah,

2013).

4) Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi seperti Asia Tenggara,

Afrika, India, Amerika Latin, Karibia.

5) Sesorang yang tinggal di daerah pemukiman kumuh, padat hunian dan kurang

memenuhi syarat kesehatan.

6) Petugas kesehatan yang kontak dengan penderita TB.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

12

e. Patofisiologi TB

Saluran pernafasan umumnya adalah tempat masuknya kuman M.TB kedalam

tubuh karena sebagian besar infeksi TB adalah melalui udara yaitu melalui

inhalasi percikan dahak (droplet) yang mengandung kuman – kuman basil

tuberkel, berasal dari penderita TB. Masuknya kuman TB juga dapat melalui

saluran pencernaan terutama kuman jenis bovin yang penebarannnya melalui susu

yang terkontaminasi. Luka terbuka pada kulit juga dapat sebagai jalan masuknya

kuman TB.

Infeksi primer terjadi pada saat seseorang terpapar pertama kali oleh

kuman M. TB dan infeksi dimulai sejak kuman M. TB berhasil berkembang biak

dengan cara melakukan pembelahan diri didalam organ paru dan berakibat pada

peradangan paru. Selanjutnya kuman M. TB akan menyebar melalui saluran limfe

ke kelenjar getah bening di sekitar hilus paru dan terbentuklah primer kompleks.

Basil M. TB dapat dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah kebagian

tubuh lain seperti korteks cerebri, ginjal, tulang dan area paru lain yaitu lobus atas

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Infeksi primer dapat berkembang menjadi beberapa kemungkinan antara

lain tetap sebagai orang terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak menjadi penderita,

menjadi penderita tuberkulosis paru tidak menular karena kumannya hanya

menyerang jaringan paru dan tidak menjalar sampai ke saluran pernapasan atau

menjadi penderita TB Paru menular, karena kuman tidak hanya menyerang

jaringan paru saja tetapi sampai ke saluran pernapasan sehingga kuman dapat

keluar bersama dahak serta menjadi penderita tuberkulosis lainnya. Masa inkubasi

4 – 12 minggu meliputi mulai infeksi sampai terjadinya lesi pertama atau reaksi

tuberkulin yang bermakna. Pada tuberkulosis primer, peradangan terjadi sebelum

tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap M.TB yang kebanyakan didapat

pada usia satu sampai tiga tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post

primer (re-infeksi) adalah peradangan jaringan paru dikarenakan terjadi penularan

ulang yang di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil

tuberkulosis.

Peradangan tuberkulosis post primer dapat terjadi secara endogen yaitu

fokus lama (dormant) mengalami kekambuhan dengan cara infeksi baru dari luar.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

13

Masa Inkubasi atau waktu yang diperlukan sejak terinfeksi kuman M.TB hingga

menjadi sakit TB diperkirakan membutuhkan waktu lebih kurang 6 bulan. Risiko

penularan paling tinggi pada anak dibawah usia lima tahun dan risiko jatuh sakit

paling tinggi pada kelompok usia dewasa muda (> 15 tahun). Faktor risiko

terinfeksi meliputi tingginya prevalensi TB Paru, kepadatan penduduk, kepadatan

hunian dan kurang gizi. Sedang faktor risiko jatuh sakit mencakup daya tahan

tubuh yang menurun, sedang menderita penyakit dan tingkat pemaparan yang

tinggi (Depkes RI, 2006).

f. Gejala dan Tanda TB Paru

Kegiatan penemuan penderita tuberkulosis meliputi penjaringan orang terduga

tuberkulosis (suspek TB), pemeriksaan fisik dan laboratoris melalui pemeriksaan

bakteriologis, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit serta

tipe pasien TB sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengobatan. Upaya

penemuan penderita TB, diperlukan upaya identifikasi untuk mengenali gejala

klinis yang sering dijumpai pada orang terduga menderita TB paru. Adapun gejala

klinis yang sering muncul antara lain :

1) Gejala utama adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Semua orang

yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut harus dianggap

sebagai seorang terduga tuberkulosis.

2) Batuk tersebut dapat disertai dengan gejala tambahan antara lain batuk

mengeluarkan dahak bercampur darah (haemoptysis), batuk darah

(haemaptoe), sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan

berkurang, berat badan mengalami penurunan, rasa kurang enak badan

(malaise), berkeringat malam hari tanpa aktifitas fisik dan demam meriang

lebih dari sebulan.

Gejala-gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang

penderita tuberkulosis maka kemungkinan besar juga menderita tuberkulosis.

Gejala-gejala dari tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terkena.

Nyeri dada pada tuberkulosis pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe

(limfadenitis tuberculosis) dan pembengkakan dari tulang belakang (spondilitis

tuberculosis) merupakan tanda-tanda yang sering dijumpai dari tuberkulosis

ekstra paru.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 7: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

14

Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia yang cukup tinggi maka

setiap orang yang datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala

tersebut di atas, harus dianggap sebagai orang terduga menderita TB dan

dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014).

Menurut Mansjoer (2000), pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda

– tanda sebagai berikut :

1) Tanda – tanda infiltrat ( gambaran redup, bronkhial, ronkhi basah)

2) Penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

3) Sekret (dahak) di saluran nafas dan ronkhi

4) Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan

bronkhus.

g. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung dilakukan untuk menegakkan

diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak tergantung pada konsentrasi basil dalam dahak. Basil TB akan

tampak dibawah mikroskop bila jumlah kuman paling sedikit ada 5,000 batang

per mililiter. Pengambilan spesimen dahak dilakukan sebanyak 3 kali (SPS) yaitu

Sewaktu (S) pertama diambil pada saat terduga TB datang pertama kali di fasilitas

pelayanan kesehatan (fasyankes), Pagi (P) adalah dahak yang diambil dirumah

oleh terduga TB pada pagi hari kedua setelah bangun tidur untuk diantar ke

fasyankes dan selanjutnya Sewaktu (S) kedua adalah dahak yang diambil pada

hari kedua setelah pengambilan dahak pagi yang diambil di fasyankes.

Pengambilan dahak tersebut ditekankan untuk memenuhi volume dahak 3 – 5 ml

pada setiap spesimen pengambilan dahak (Kemenkes RI, 2010)

Pemeriksaan biakan juga dapat dilakukan untuk untuk mengidentifikasi

kuman M.TB. Pemeriksaan biakan ini dilakukan untuk menegakan diagnosis

penderita TB tertentu seperti : TB ekstra paru, TB pada anak, dan pemeriksaan TB

dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis negatif. Namun pemeriksaan biakan

ini membutuhkan biaya yang lebih mahal dan waktu yang cukup lama yaitu 4 – 6

minggu (Kemenkes RI, 2010).

Pemeriksaan uji kepekaan terhadap obat dilakukan untuk menentukan ada

atau tidaknya resistensi kuman M.TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT),

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 8: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

15

pemeriksaan ini dilakukan melalui Tes Cepat Molekuler (TCM) pada labo-

ratorium yang memiliki fasilitas tersebut (Kemenkes RI, 2014).

h. Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB ditegakan dengan mengumpulkan data riwayat kesehatan,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak (basil tahan asam = BTA), kultur dahak dan

tes tuberculin. Pemeriksaan foto rontgen dada hanya menunjukkan lesi pada lobus

atas. Pemeriksaan hapusan BTA dan Kultur BTA akan menunjukkan keberadaan

kuman M. TB dalam dahak yang bersumber dari saluran pernafasan dan

merupakan prioritas unruk penegakan diagnosis TB (Smeltzer dan Bare, 2002).

Penegakan diagnosis TB adalah sebagai berikut :

1) Diagnosis TB pada orang dewasa

Penegakan diagnosis TB paru pada orang dewasa dipriotitaskan melalui

pemeriksaan dahak mikroskopis langsung (SPS), dan ditetapkan sebagai pasien

TB bila 1 spesimen dahak diperoleh hasil positif kuman M.TB. Bila dalam peme-

riksaan dahak mikroskopis tersebut diperoleh negatif maka penegakan diagnosis

dapat dilakukan secara klinis dengan menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan

pemerisaan penunjang berupa foto rontgen dada (toraks) yang sesuai dan

ditetapkan oleh dokter. Penegakan diagnosis TB pada orang dewasa tidak

dibenarkan dengan pemeriksaan serologis atau menggunakan dasar foto toraks

saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB

paru sehingga berpeluang besar untuk terjadinya overdiagnosis atau underdiag-

nosis ( Kemenkes RI, 2014)

2) Diagnosis TB Ektra Paru

Penegakan diagnosis pada pasien TB ekstra paru tergantung pada gejala dan

keluan yang muncul seperti kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada

pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB,

kelainan pada tulang belakang pada spondilitis TB. Disamping pemeriksaan klinis

berdasarkan gejala yang muncul juga perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis

bila dimungkinkan adanya gejala TB paru dan atau histopatologis atau

pemeriksaan jaringan dari organ tubuh yang terinfeksi (Kemenkes RI, 2014).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 9: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

16

i. Komplikasi TB

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB stadium lanjut adalah sebagai

berikut :

1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengkibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan

nafas.

2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

4) Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolaps spotan

karena kerusakan paru.

5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.

6) Insufisiensi kardio pulmonal.

Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan yang luas dan telah sembuh

(hasil BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini sering

diasumsikan keliru dengan kasus kambuh. Pada kondisi tersebut pengobatan OAT

tidak diperlukan namun cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila keadaan

semakin berat maka diperlukan ruukan ke spesialistik (Depkes RI, 2006).

j. Klasifikasi Penderita TB

Klasifikasi pengobatan pada penderita tuberkulosis menurut Kemenkes RI (2014),

mengenal beberapa klasifikasi pengobatan antara lain :

1) Klasifikasi pengobatan berdasarkan lokasi anatomi dan lokasi penyakit :

a) Tuberkulsosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang pada jaringan

parenkim paru dan bukan termasuk selaput paru (pleura) dan kelenjar pada

hilus.

b) Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

lain selain paru seperti menyerang pleura, selaput otak, selaput jantung,

kelenjar lymfe, tulang, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin dan

lain sebagainya. Bila didapatkan infeksi kuman TB pada jaringan parenkim

paru dan organ lain selain paru maka diklasifikasikan sebagai TB paru.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 10: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

17

2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

a) Penderita TB Baru adalah penderita yang belum pernah mendapatkan

pengobatan sebelumnya atau sudah pernah meminum OAT namun kurang

dari 1 bulan (< 28 dosis).

b) Penderita TB pernah pengobatan (pengobatan ulang) adalah penderita TB

yang sebelumnya pernah minum OAT selama 1 bulan atau lebih (> 28

dosis), yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan

terakhir :

(1) Kambuh adalah penderita TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat pada saat datang kembali didiagnosis TB

berdasarkan pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena kambuh

atau infeksi ulang)

(2) Gagal adalah penderita TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada

pengobatan terakhir dengan hasil BTA positif pada bulan ke–5 atau selama

pengobatan..

(3) Loss to follow up adalah penderita TB yang pernah diobati dan dinyatakan

putus berobat (default) 2 bulan atau lebih dengan hasil pemeriksaan BTA

positif.

(4) Lain – lain adalah penderita TB yang pernah diobati namun hasil

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

a) TB paru BTA positif adalah TB paru yang didukung hasil pemeriksaan

mikroskopis dahak sekurang kurangnya 1 spesimen dahak SPS diperoleh

hasil positif.

b) TB paru BTA negatif adaah TB paru yang dengan hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis SPS kesemuanya negatif dan didukung pemeriksaan penunjang

foto thoraks mendukung TB (Kemenkes RI, 2010)

k. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan dan mencegah

terjadinya kebal obat serta penularan TB kebal obat. Prinsip pengobatan TB dari

strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) adalah pengobatan TB

secara adekuat dengan memenuhi prinsip pemberian obat anti tuberkulosis (OAT)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 11: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

18

dalam bentuk paduan yang lengkap mengandung 4 macam OAT yaitu Rifamfisin

(R), Isoniazid (H), Pirazinamid (P), Etambuthol (E) dalam jumlah cukup dan

dosis yang tepat selama 6 – 8 bulan, diawasi langsung oleh pengawas menelan

obat atau disebut PMO (Kemenkes RI, 2014).

Pengobatan tuberkulosis diberikan meliputi 2 tahap yaitu tahap awal

(intensif) dan tahap lanjutan (intermiten).

1) Pada tahap awal, penderita mendapatkan obat setiap hari dan diawasi langsung

untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua obat anti tuberkulosis.

Pengobatan tahap ini secara efektif dimaksudkan untuk menurunkan jumlah

kuman dalam tubuh penderita dan menurunkan pengaruh sebagian kecil kuman

yang sudah resisten. Pengobatan awal pada semua pasien baru diberikan

selama kurun waktu 2 bulan. Secara umum bila obat diminum secara teratur

selama 2 minggu maka tingkat penularan sudah sangat menurun.

2) Tahap lanjutan, penderita mendapatkan jenis obat yang lebih sedikit dan

diminum 3 kali dalam seminggu, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

yaitu dalam kurun waktu 4 bulan. Pengobatan tahap ini dimaksudkan untuk

membunuh sisa kuman yang masih ada didaam tubuh khusunya kuman yang

yang persisten/dormant sehingga penderita dapat sembuh dan tidak terjadi

kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).

Paduan OAT yang digunakan dalam Program Pengendalian Tuberkulosis

Nasional di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO pada tahap pengobatan

TB lini pertama adalah OAT KDT (Kombinasi Dosis Tetap) Kategori 1 dan

Kategori 2. Tablet OAT KDT kategori 1 terdiri dari kombinasi 4 jenis obat

(RHZE) dalam 1 tablet diberikan pada pengobatn tahap awal selama 2 bulan dan

kombinasi 2 jenis obat (RH) dalam 1 tablet yang diberikan pada pengobatan tahap

lanjutan selama 4 bulan. Dosis disesuikan dengan berat badan. Paduan OAT KDT

kategori 1 tersebut diberikan pada penderita TB baru yaitu penderita TB paru

terkonfirmasi bakteriologis, penderita TB paru terdiagnosis klinis dan penderita

TB ekstra paru (Kemenkes RI, 2014).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 12: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

19

Adapun paduan OAT KDT Kategori 1 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2(RHZE)/4(RH)3

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE

(150mg/75mg/400mg/275mg)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

selama 16 minggu

RH (150mg/150mg)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014

Paduan OAT Paket kombipak digunakan sebagai alternatif pada penderita

TB yang terbukti mengalami efek samping obat pada pengobatan dengan OAT

KDT sebelumnya. OAT tersebut terdiri paket obat lepas Rifamfisin (R), Pira-

zinamid (Z), Isoniazid (H) dan Etambuthol (E) yang dikemas dalam bentuk blister

(Kemenkes RI, 2014).

Tabel 2.2 Dosis Padua OAT Kombipak Kategori 1 : 2RHZE/4H3R3

Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Dosis per hari/kali

Jumlah

hari/kali

menelan

obat

Tablet H

@ 300

mg

Kaplet R

@ 450

mg

Tablet

Z

@500

mg

Tablet

E

@250

mg

Intensif/

Awal

2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan

4 bulan 2 1 - - 48

Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014

Paduan OAT KDT kategori 2 digunakan untuk pengobatan TB pengobatan

ulang yaitu penderita TB kambuh, gagal pengobatan dengan paduan OAT kategori

1 sebelumnya dan penderita TB yang kembali setelah putus berobat (Loss to

follow up). Paduan OAT yang terdiri dari kombinasi RHZE diminum pada 3 bulan

pertama dan injeksi streptomisin selama 2 bulan pertama pada tahap awal

pengobatan dan kombinasi RH dan E pada tahap lanjutan (Kemenkes RI, 2014).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 13: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

20

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 :

2 (RHZE)S/RHZE/5(RH)3E3

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan 3 kali

seminggu RH

(150/150) + E (400mg)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

Inj 500 mg

Streptomisin

2 tablet 2KDT 2 tablet 2KDT

2 tablet E

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

Inj 750 mg

Streptomisin

3 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT

3 tablet E

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

Inj 1000 mg

Streptomisin

4 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT

4 tablet E

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Inj 500 mg

Streptomisin

5 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT

5 tablet E

Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014

Paduan OAT Kombipak kategori 2 sebagai alternatif obat bila terjadi

sensitifitas pada salah satu jenis OAT adal sebagi berikut :

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 :

2 RHZES/RHZE/H3R3E3

Tahap

pengobatan

Lama

Pengobatan

Tab

H

@30

0mg

Kap

R

@45

0 mg

Tab

Z

@

500m

g

E

S

Inj

Jumlah

hari/ kali

menelan

Tab

@

250

mg

Tab

@

400

mg

Tahap Awal

(dosis

harian)

2 bulan

1 bulan

1

1

1

1

3

3

3

3

-

-

750

mg

-

56

48

Tahap

Lanjutan

(dosis 3 kali

seminggu

5 bulan

2

1

-

1

2

-

60

Sumber : Pedoman Nasional Program TB, Kemenkes RI, 2014

Dosis tahap awal dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,

sebaiknya diminum pada saat perut dalam keaadaan kosong. Upaya menjamin

kepatuhan penderita menelan obat agar paduan obat yang digunakan adekuat,

maka selama penderita menjalani pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan

obat (PMO).

PMO salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Dalam menjamin keteraturan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 14: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

21

pengobatan diperlukan seorang PMO yang memenuhi persyaratan tertentu yaitu

seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan

maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita. Seorang

PMO juga diharapkan tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu dengan

sukarela serta dilatih dan atau mendapatkan penyuluhan bersama-sama dengan

penderita (Depkes RI, 2006).

Seorang PMO dibutuhkan karena masa pengobatan yang cukup lama (6

bulan) sehingga sering menyebabkan kebosanan dan kejenuhan penderita.

Kebanyakan penderita merasa sudah sehat setelah minum obat 2 – 3 minggu

sehingga penderita memutuskan menghentikan pengobatan sebelum waktunya.

PMO sebaiknya adalah petugas kesehatan misalnya bidan desa, perawat, sani-

tarian, juru imunisasi, dan lain – lain. PMO juga dapat berasal dari kader kese-

hatan, guru, penggerak PKK, tokoh masyarakat atau anggota keluarga penderita.

Tugas seorang PMO bukanlah mengganti kewajiban penderita mengambil obat

dari unit pelayanan kesehatan tetapi untuk mengawasi penderita TB agar menelan

obat secara teratur sampai menyelesaikan pengobatan. PMO wajib memberi

dorongan dan dukungan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan

periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan

pada anggota keluarga yang mempunyai gejala-gejala terduga TB untuk segera

memeriksakan diri kepada petugas kesehatan (Depkes RI, 2006).

Pemeriksaan akhir pengobatan dimaksudkan untuk menilai hasil

pengobatan sembuh, pengobatan lengkap atau gagal pengobatan. Keberhasilan

pengobatan dinilai melalui pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir

pengobatan atau seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita

BTA positif baru dengan katagori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke–8

pegobatan ulang BTA positif (kambuh) dengan katagori 2. Pada penderita baru

BTA positif dengan katagori 1 dan penderita ulang BTA positif, dengan katagori

2, penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak paling sedikit

2 kali berturut – turut negatif. Salah satunya didapatkan dari hasil pemeriksaan

ulang dahak pada akhir pengobatan (Kemenkes RI, 2014).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 15: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

22

l. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan efek sampingnya

Paduan OAT lini pertama pada pengobatan penderita TB baru adalah sebagai

berikut :

1) Rifamfisin (R) adalah jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek

samping : efek samping Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine

berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash,

sesak nafas dan anemia hemolitik.

2) Isoniazid (H) adalah jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek

samping : neuropati perifer, psikosis toksik,gangguan fungsi hati dan kejang.

3) Pirazinamid (Z) adalah jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek

samping : gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, nyeri sendi.

4) Etambuthol (E) adalah jenis OAT yang bersifal bakteriostatik dan memiliki

efek samping : ganguan penglihatan, buta warna dan neuritis perifer.

5) Streptomisin (S) adal jenis OAT yang bersifat bakterisidal dan memiliki efek

samping : nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran,

shock anafilaktik, anemia, trombositopeni dan agranula sitosis

(Kemenkes RI, 2014)

m. Hasil Pengobatan TB

Penilaian keberhasilan pengobatan TB didasarkan pada hasil pemeriksaan

bakteriologi, radiologi dan klinis. Kesembuhan TB paru yang baik akan

menunjukkan hasil pemeriksaan bakteriologis sputum BTA negatif, perbaikan

radiologi seperti foto rontgen dada dan gejala yang berkurang (Saptawati et al.,

2012).

Hasil pengobatan pada penderita tuberkulosis menurut pedoman

penaggulangan TB Kemenkes RI (2010) adalah sebagai berikut :

1) Sembuh adalah penderita TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatannya

secara lengkap dengan pemeriksaan ulang dahak sedikitnya 2 kali berturut -

turut hasilnya negatif yaitu pada akhir tahap awal dan 1 bulan sebelum akhir

pengobatan atau akhir pengobatan.

2) Pengobatan lengkap adalah penderita TB yang menyelesaikan pengobatannya

secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 16: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

23

3) Gagal adalah Penderita TB ang hasil pemeriksaannya tetap positif atau kembali

menadi positif bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan.

4) Default (putus berobat) adalah penderita TB yang tidak berobat 2 bulan

berturut – turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

5) Meninggal adalah pasien TB yang meninggal dalam masa pengobatan oleh

sebab apapun.

6) Pindah adalah pasien TB yang pindah berobat ke unit dengan register TB. 03

yang lain.

n. Upaya Pencegahan Penyakit TB Paru

Prinsip yang selalu menjadi pedoman dalam penanggulangan TB adalah

mencegah lebih baik daripada mengobati. Upaya pencegahan yang dapat

dilakukan agar tidak tertular dan sakit TB adalah sebagai berikut :

1) Minum obat secara lengkap, teratur, dan tuntas hingga sembuh.

2) Penderita TB harus menutup mulut dan hidung saat bersin dan batuk. Hal ini

dikarenakan saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar

bercampur melalui percikan dahak. Kuman TB yang keluar bersama percikan

dahak saat bicara (0 – 200 kuman), batuk (0 – 3,500 kuman) dan bersin (4,500

– 1,000,000 kuman).

3) Tidak membuang dahak disembarang tempat, namun dahak dapat dibuang pada

tempat khusus seperti menggunakan wadah kaleng atau ember tertutup yang

sudah diberi pasir dan larutan antiseptik berupa karbol, deterjen. Pada saat

dahak dibuang maka ditimbun ke dalam tanah.

4) Mengimplementasikan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain :

a) Menjemur peralatan tidur, membuka jendela dan pintu setiap pagi agar

udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah, sirkulasi udara

lancar. Hal ini dapat mengurangi jumlah kuman di udara karena sinar

matahari mampu mematikan kuman TB.

b) Makan – makanan bergizi, tidak merokok dan minum – minuman keras.

c) Melakukan olah raga secara rutin dan teratur.

d) Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

e) Mencuci peralatan makan dan minum dengan bersih, memakai sabun

pencuci dan air mengalir.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 17: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

24

Seorang penderita TB yang tanpa pengobatan, maka setelah 5 tahun, 50%

diantaranya akan meninggal, 25% akan sembuh dengan sendirinya dengan daya

tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronik (Depkes RI, 2006).

o. Strategi dalam Pengendalian TB

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment

Short-course) sejak tahun 1995. Bank dunia menyatakan bahwa srtategis DOTS

sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis paling efektif.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita TB, dimana

prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menulara (BTA positif). Strategi ini

bertujuan untuk memutuskan rantai penularan TB sehingga dengan demikian akan

menurunkan insidensi TB di masyarakat. Adapun 5 komponen kunci DOTS antara

lain :

1) Komitmen politis dengan peningkatan kesinambungan pendanaan

2) Penemuan kasus sejak dini dan diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis yang terjamin mutunya.

3) Pengobatan yang standar dengan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka

pendek yang benar meliputi dosis dan jangka waktu yang tepat dengan

Pengawas Menelan Obat (PMO). Hal ini sangat penting untuk mendukung

keberhasilan pengobatan.

4) Sistem pengelolaan dan menjamin kesinambungan ketersediaan OAT jangka

pendek dengan mutu terjamin.

5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

Pada tahun 2005 strategi DOTS tersebut oleh Global Stop TB Partnership

diperluas menjadi strategi “Stop TB” yang meliputi :

1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS.

2) Merespon masalah TB-HIV, MDR TB dan tantangan lainnya

3) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan

4) Melibatkan semua pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

5) Memberdayakan pasien dan masyarakat.

6) Melaksanakan dan mengembangkan penelitian.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 18: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

25

Pada tahun 2013 muncul usulan beberapa negara anggota WHO untuk

merumuskan strategi baru yang bertujuan untuk menahan laju infeksi baru,

mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB serta

meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka

insidensi TB berhasil diturunkan hingga mencapai 1 kasus TB per 1,000,000

penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi tersebut

(pra-eliminasi) adalah jika angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per

100,000 penduduk. Angka insidensi TB secara global pada tahun 2012 mencapai

122 per 100,000 penduduk dan penurunan angka insidensi 1 – 2% per tahun maka

TB akan memasuki kondisi pra – eliminasi tahun 2160.

WHO pada sidang World Health Assembly (WHA) ke 67 tahun 2014 telah

menetetapkan strategi pengendalian TB global pasca 2015 yaitu strategi “The End

TB” yang bertujuan menghentikan epidemi pada tahun 2035 yang ditandai dengan

penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dibanding tahun 2015 dan

penurunan angka insidensi TB sebesar 90% atau menjadi 10 per 100,000

penduduk.

Adapun strategi tersebut dituangkan ke dalam 3 pilar strategi utama dan

komponen – komponennya :

1) Integrasi layanan TB ang berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB

a) Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk ui kepekaan OAT bagi semua dan

penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan populasi berisiko tinggi

b) Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk penderita resisten obat

dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-

centred support).

c) Kolaborasi TB-HIV dan tatalaksana komorbid yang lain.

d) Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan

berisiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.

2) Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas

a) Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan

dan pencegahan TB.

b) Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan

pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 19: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

26

c) Penerapan layanan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) dan

kerangka kebiakan lain yang mendukung pengendalian TB sperti waib lapor

registerasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian

infeksi.

d) Jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk

mengurangi dampak determinasi sosial terhadap TB.

3) Intensifikasi riset dan inovasi

a) Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat metode

intervensi dan strategi baru dalam pengendalian TB.

b) Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan

merangsang inovasi – inovasi baru untuk mempercepat pengembangan

program pengendalian TB (WHO, 2015)

2. TB Kebal Obat (Tuberculosis Multi-Drug Resistence = TB MDR )

a. Pengertian TB MDR

TB kebal obat (TB MDR) adalah kondisi yang terjadi pada penderita TB di mana

kuman Mycobacterium Tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat

anti tuberkulosis (OAT). Kekebalan terhadap OAT terjadi sebagai akibat dari

pengobatan penderita TB yang tidak adekuat atau terjadi karena tertular dari

penderita TB resisten obat (Kemenkes RI, 2014). Multi-Drugs Resistence (MDR)

adalah rsesitensi terhadap 2 jenis obat lini pertama yaitu Rifamfisin (R) dan

Isoniazid (INH) dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya (Sembiring,

2008). Pengobatan penderita TB MDR lebih sulit dengan angka keberhasilan

pengobatan berkisar 50% dan biaya pengobatannya yang tinggi mencapai 100 kali

lebih mahal dibanding dengan pengobatan TB reguler (lini pertama). Hal ini

merupakan beban yang sangat berat bagi negara berkembang (Sulistyaningtyas,

2010).

TB MDR muncul sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat, TB

resisten ditularkan dengan cara yang sama dengan TB sensitif obat. Menurut Zhao

et al. (2012), TB resisten obat secara umum dibagi menjadi :

a) Resistensi primer adalah resistensi obat yang diperoleh karena tertular dari

penderita TB MDR, dimana sebelumnya paenderita belum pernah mem-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 20: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

27

peroleh obat anti tuberkulosis (OAT) atau pernah mendapatkan terapi OAT

kurang dari 1 bulan.

b) Resistensi sekunder adalah resistensi terhadap obat yang diperoleh karena

seleksi penggandaan kuman M.TB rsesiten sebagai akibat pengobatan sebe-

lumnya yang tidak adekuat, dimana penderita pernah mendapatkan terapi

OAT selama paling sedikit 1 bulan.

c) Resistensi initial adalh resistensi terhadap obat, dimana riwayat pengobatan

sebelumnya tidak diketahui.

b. Epidemiologi TB MDR

Laporan WHO (2011), memperkirakan terdapat sekitar 500,000 kasus TB MDR

di dunia setiap tahunnya dan 150,000 diantarana meninggal dunia. Berdasarkan

laporan WHO (2013), di Indonesia diperkirakan terdapat 6,800 kasus baru TB

MDR setiap tahunnya dan diperkirakan sebesar 2% dari kasus baru TB dan

sebesar 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.

Prevalensi kasus TB MDR di dunia diperkirakan 2 – 3 kali lipat lebih tinggi dari

insiden Global TB Report WHO pada tahun 2011, hasil surveilans resistensi OAT

di beberapa negara menunjukkan terdapatnya negara atau wilayah seperti negara

pecahan Uni Soviet telah menghadapi ancaman endemi dan pandemi TB MDR.

Hasil survei pada 35 negara menunjukkan bahwa sebesar 12.6 % kasus TB

resisten paling tidak terhadap 1 macam obat dan 2.2 % resisten terhadap 2 macam

obat yang digunakan yaitu Rifamfisin dan Isoniazid. Kebanyakan kasus TB adalah

sensitif terhadap obat pada saat didiagnosis dan hanya menjadi resisten terhadap

obat sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat (Sembiring, 2008).

WHO menitikberatkan pada penerapan strategi DOTS dalam program

pengobatan TB guna menekan kasus TB resisten obat. Penerapan progrm DOTS

ke seluruh negara di dunia hingga saat ini sejumlah 119 negara telah menerapkan

strategi DOTS dalam pengendalian tuberkulosis (Erah dan Ojieabu, 2009).

Keberhasilan strategi DOTS dalam pengendalian TB di berbagai negara

tergantung pada kebijakan pemerintah dalam berbagai upaya dalam mendeteksi

kasus TB dengan menggunakan pemeriksaan dahak mikroskopis terapi dengan

paduan rejimen yang lengkap dan dosis yang tepat serta dengan diawasi langsung

oleh pengawas menelan obat, menjamin ketersediaan OAT agar pengobatan tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 21: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

28

terputus dan memantau perkembangan pengobatan dengan pemeriksaan dahak

ulang dengan menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan standar (Price,

2006).

c. Jenis Resistensi Obat

Kemenkes RI (2014) mengelompokan resistensi OAT menjadi 5 kategori antara

lain :

1) Monoresistace adalah kondisi dimana seorang penderita TB resisten terhadap

salah satu jenis OAT, misalnya resisten obat Isoniazid (H).

2) Polyrsesistance adalah kondisi dimana seorang penderita TB resisten terhadap

lebih dari satu jenis OAT, selain paduan obat isoniazid (H) dan rifamfisin (R),

misalnya resisten isoniazid dan etambuthol (HE), rifamfisin etambuthol (RE),

isoniazid, etambuthol dan streptomisin (HES), rifamfisin etambuthol dan

streptomisin (RES).

3) Multi Drugs Resistence (MDR) adalah kondisi dimana seorang penderita TB

resisten terhadap isoniazid (H) dan rifamfisin (R), dengan atau tanpa jenis OAT

lini pertama yang lain, misalnya resisten HR, HRE, HRES.

4) Extensively Drugs Resistence (XDR) adalah kondisi dimana seorang penderita

TB MDR disertai dengan resistensi terhadap salah satu obat golongan

fluorokuinolon dan salah satu dari jenis OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,

kanamisin dan amikasin).

5) Totally Drugs Resistence (TDR) adalah kondisi dimana seorang penderita TB

mengalami resistensi terhadap semua jenis OAT lini pertama dan lini kedua

yang sudah dipakai saat ini.

d. Penemuan dan diagnosis TB MDR

Penemuan penderita TB resisten obat bermula melalui penjaringan penderita TB

terduga resisten obat (suspek TB MDR) berdasarkan pada kriteria suspek TB

MDR yang telah ditetapkan, berikut kriteria dalam menentukan suspek TB MDR

untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut, penegakan diagnosis dan

pengobatan :

1) Penderita TB gagal pengobatan kategori 2

2) Penderita TB pengobatan kategori 2 yang tidak mengalami konversi BTA

setelah 3 bulan pengobatan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 22: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

29

3) Penderita TB yang memiliki riwayat pengobatan TB tidak standar serta

menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan.

4) Penderita TB pengobatan kategori 1 yang gagal.

5) Penderita TB pengobatan kategori 1 yang tidak mengalami konversi BTA

setelah 2 bulan pengobatan.

6) Penderita TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2.

7) Penderita TB yang kembali setelah Loss to follow up (lalai berobat / default).

8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan penderita TB MDR.

9) Penderita ko-infeksi TB – HIV yang tidak ada perbaikan secara klinis maupun

tidak ada perubahan bakteriologis terhadap OAT yang diberikan.

(Kemenkes RI, 2014).

Penderita TB yang memenuhi salah satu kriteria terduga TB MDR di atas

harus segera dilakukan rujukan ke fasyankes rujukan TB MDR untuk pemeriksaan

tes cepat molekuler dan dilanjutkan dengan pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung, biakan dan uji kepekaan M.TB di laboratorium rujukan. Saat ini

terdapat 2 metode tes cepat (rapid test) untuk pemeriksaan adalah Gene-Xpert

untuk uji kepekaan terhadap rifamfisin dan LPA (Line Probe Assay) untuk uji

kepekaan rifamfisin dan isoniazid sedangkan metode konvensional yang dipakai

adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan MGIT. Pada tahun 2014 WHO mere-

komendasikan bahwa GeneX-pert M.TB dapat digunakan untuk mendiagnosis TB

MDR. Berdasarkan hasil uji kuman kepekaan kuman M.TB tersebut sebagai dasar

untuk menegakkan diagnosis TB resisten obat. Apabila hasil pemeriksaan uji

kepekaan tersebut diperoleh hasil resisten rifamsisin (RR) maka paduan OAT

MDR akan diberikan (Kemenkes RI, 2014). .

e. Penatalaksanaan TB MDR

Penatalaksanaan TB resistensi ganda (TB MDR) memerlukan seseorang spesialis

yang ahli dibidangnya, dalam program sering disebut Tim Ahli Klinis (TAK).

Menurut Sembiring (2008), ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan pada

penatalaksanaan TB MDR yaitu teknik diagnostik, pemberian obat dan kepatuhan

minum obat. Paduan obat dan dosis yang tepat diharapkan separuh dari penderita

TB MDR ini akan sembuh dan dapat selamatkan dari kemungkinan komplikasi

yang buruk dan meninggal dunia. Sejak tahun 2009, Indonesia telah menerapkan

program MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 23: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

30

Obat) secara bertahap di seluruh wilaah Indonesia sehingga diharapkan seluruh

pasien TB MDR dapat mengakses penatalaksanaan TB MDR ang terstandar dan

cepat. Program ini bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian

akibat TB MDR dan memutus rantai penularannya di masyarakat dengan cara

menemukan dan mengobati sampai sembuh semua pasien TB MDR. Penerapan

MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS, saat

ini penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB resisten Rifamfisin dan TB

MDR (Kemenkes RI, 2014).

Paduan OAT yang diberikan untuk pengobatan penderita TB kebal obat

adalah paduan standar, dimana OAT ini diberikan kepada semua penderita yang

terkonfirmasi secara laboratoris TB RR/TB MDR. Paduan OAT diberikan dalam 2

tahap yaitu tahap awal dan lanjutan. Pada tahap awal adalah pemberian obat oral

dan suntikan paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah konversi biakan. Tahap

lanjutan adalah pemberian paduan OAT secara oral tanpa suntikan. Paduan OAT

yang diberikan adalah Kanamisin (Km), Levofloxacin (Lfx), Etoniamid (Eto),

Cycloserin (Cs), Pirazinamid (Z) dan Etambuthol (E). Sedangkan untuk tahap

lanjutan adalah pemberian OAT oral tanpa suntikan Kanamicin (Km) (Kemenkes

RI, 2014).

Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi

konversi biakan, lama pengobatan berkisar 19 – 24 bulan. Selama menjalani

pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respon pengobatan

dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk,berdahak, demam

dan berat badan menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan

pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respon

pengobatan. Konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan

jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif (Kemenkes RI, 2014)

Pemantauan lanjutan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi

pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik,

pemeriksaan dahak, biakan dan foto thoraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali

selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB (Kemenkes RI, 2014).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 24: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

31

f. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB MDR

Faktor utama yang menyebabkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap obat

adalah perilaku manusia baik dari sisi penderita TB, pemberi jasa pelayanan

kesehatan / petugas kesehatan (provider) dan program pengendalian TB dalam

tatalaksana pengobatan.

1) Pemberi jasa layanan kesehatan / Petugas kesehatan (provider) berkontribusi

dalam resistensi obat dikarenakan :

a) Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada belum seluruhnya terlibat

sepenuhnya dalam program pengendalian TB. Pada tahun 2012 untuk

BBKPM/BKPM/RS. Paru sudah mencapai 100% dan 98 % Puskesmas telah

menerapkan strategi DOTS, namun rumah sakit pemerintah maupun swasta

hanya mencapai 38% telah menerapkan strategi DOTS.

b) Ketenagaan, sudah 98% petugas TB di Puskesmas terlatih DOTS dan baru

24 % petugas TB di rumah sakit terlatih DOTS.

c) Penegakan diagnosis tidak tepat, terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan

yang tersertifikasi dalam pelayanan pengobatan TB resisten obat

menjadikan terbatasnya akses pengobatan yang berkualitas bagi penderita

TB resisten obat. Pada tahun 2011, Program TB Nasional merumuskan

program PMDT (Programmatic Management of Drugs Resistence TB) yang

kemudian diperkuat dengan Permenkes RI No. 13 Tahun 2013 tentang

Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat (MTPTRO)

sebagai pedoman dalam penatalaksnaan dalam mencegah, mengobati dan

mengendalikan penularan TB resisten Obat. Program tersebut menjamin

penyediaan akses dalam diagnosis dan pengobatan baik di fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta.

d) Pengobatan yang tidak menggunakan paduan OAT yang tepat; pemberian

dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat oleh

petugas kesehatan. Kegagalan dalam mengidentifikasi resistensi obat

sehingga berdampak dalam tatalaksana bagi penderita TB resisten yang

tidak adekuat (Fauziah,2013).

e) Edukasi yang diberikan petugas kesehatan pada penderita dan keluarga yang

tidak adekuat : kurang memberikan informasi yang jelas dan lengkap

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 25: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

32

tentang penyakit, proses pengobatan, pentingya keteraturan dan tuntasnya

berobat, efek samping obat yang mungkin terjadi (Nugraheni dan Malik,

2015).

2) Penderita TB berkontribusi dalam resistensi obat dikarenakan :

a) Tidak patuh terhadap anjuran dokter / petugas kesehatan, tidak teratur dalam

menelan paduan OAT yang diberikan. Berdasarkan penelitian tentang

kepatuhan penderita TB dalam berobat oleh Listyowati (2008) menunjukkan

bahwa beberapa aspek yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB

atara lain : jenis dan jumlah obat, dosis obat yang diberikan dan jangka

waktu pengobatan yang lama. Hal lain yang mempengaruhi kepatuhan

penderita adalah biaya yang dikeluarkan dan interaksi petugas kesehatan

dengan penderita, Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa kepatuhan berobat

penderita dipengaruhi 3 hal yaitu perilaku petugas kesehatan, sistem

kesehatan dan karakteristik penderita.

b) memutuskan berhenti berobat secara sepihak sebelum menyelesaikan

pengobatan. Pengetahuan penderita yang rendah dapat mempengaruhi

ketidakpatuhan penderita dalam meminum obat, hal ini dikarenakan

kurangnya informasi dari petugas kesehatan tentang penyakit TB yang

diderita, cara pengobatan, bahaya yang diakibatkan bila tidak teratur minum

obat dan pencegahan penyakit (Jain dan Dixit, 2008). Tingkat pengetahuan

penderita yang rendah beresiko 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan

dibandingkan dengan penderita yang berpengetahuan tinggi sebagai akibat

dari ketidakpatuhan berobat. Ketidakpatuhan terhadap tatalaksana

pengobatan meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak ulang

selama menjalani pengobatan yaitu pada akhir tahap awal, sebulan sebelum

akhir pengobatan maupun pada akhir pengobatan (Gelaw, 2015).

c) Gangguan penyerapan obat.

Pada kasus penderita TB dengan komorbid Diabetes Melitus memiliki

kelemahan dalam proses penyerapan obat pada saluran pencernaan sehingga

dapat berdampak terhadap keberhasilan pengobatannya (Fauziah, 2013).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 26: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

33

d) Status Gizi

Penderita TB berisiko mengalami status gizi yang buruk dikarenakan

penurunan nafsu makan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status

gizi bagi penderita TB adalah tingkat kecukupan energi dan protein,

perilaku penderita terhadap konsumsi makanan dan kesehatannya, penda-

patan keluarga dan lamanya sakit TB (Mulyadi et al., 2011). Kekurangan

gizi pada seseorang akan berdampak terhadap kekuatan daya tahan tubuh

dan respon imunologi tubuh terhadap penyakit (Patiung et al., 2014).

3) Program pengendalian TB

Program pengendalian TB dapat berkontribusi dalam resistensi obat dikare-

nakan : kurangnya persediaan OAT, kualitas OAT yang disediakan rendah

(Kemenkes RI, 2014). Persediaan OAT yang kurang merupakan salah satu

penyebab terhadap terjadinya pengobatan TB tidak adekuat (Fauziah, 2013).

4) Keluarga berkontribusi dalam resistensi obat dikarenakan kurangnya dukungan

dan motivasi terhadap penderita TB untuk meminum obat secara teratur dan

berobat tuntas hingga selesai pengobatan (Sarwani et al., 2012).

3. Faktor - faktor yang berkaitan dengan perilaku

Menurut Green dan Kreuter (2000), faktor penentu atau determinan perilaku

manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai

faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Perilaku manusia sebenarnya

merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan,

minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Selanjutnya Green mencoba

menganalisis perilaku manusia tersebut sebagai penyebab perilaku (behavior

causes). Perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yang meliputi faktor

predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.

Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan

persepsi, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak.

Dalam arti umum, kita dapat mengatakan bahwa faktor predisposisi sebagai

preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu

pengalaman belajar. Hal ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat

dalam setiap kasus. Termasuk dalam faktor predisposisi adalah faktor demografis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 27: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

34

seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga (Green dan

Kreuter, 2000)

Faktor pemungkin mencakup sumber daya yang perlu untuk melakukan

perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi ketersediaan sarana dan

ketercapaian berbagai sumber daya. Faktor penguat antara lain : lingkungan

keluarga sangat dominan dalam mempengaruhi pembentukan perilaku seseorang.

Perilaku seseorang cenderung untuk berkiblat pada perilaku yang berlaku dalam

keluarga individu tersebut. Lingkungan keluarga yang ideal dalam arti suatu

keadaan yang menjamin kenyamanan pada tiap-tiap anggota keluarga akan

membentuk perilaku yang terarah dan cenderung untuk bersikap terbuka terhadap

nilai-nilai baru yang tentu saja diterima oleh keluarga tersebut. Lingkungan

keluarga yang nyaman mempunyai respon yang kuat terhadap aktivitas-aktivitas

yang dilakukan anggota keluarganya. Keadaan demikian ini memungkinkan

lingkungan keluarga lebih peduli terhadap apa yang dilakukan anggota

keluarganya (Green dan Kreuter, 2000).

a. Teori Model Kepercayaan Kesehatan

Teori HBM (Health Belief Model) menurut Becker (1997), secara umum diyakini

bahwa individu akan mengambil tindakan untuk menghindarkan, memeriksa atau

mengendalikan kondisi kesehatan buruk jika mereka memandang rentan terhadap

kondisi itu, jika mereka percaya bahwa tindakan tertentu yang tersedia akan

menguntungkan dalam mengurangi kerentanan atau keparahan kondisi, dan jika

mereka percaya bahwa hambatan yang terantisipasi untuk mengambil tindakan

dipertimbangkan dengan keuntungan. Teori HBM digunakan untuk memprediksi

perilaku preventif dalam bentuk perilaku sehat dan juga respon perilaku terhadap

pengobatan yang akan dilakukan. HBM adalah model kognitif yang menjelaskan

dan memprediksi perilaku sehat dengan menitikberatkan pada sikap dan

keyakinan pada individu. Salah satu teori sikap yang yang berpengaruh dalam

menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada

2 hal yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah

individu meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi

ancaman kesehatan yang dirasakan. Menurut Nurhayati et al. (2015) apabila

individu bertindak melawan atau mengobati penyakitnya, terdapat 4 hal yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 28: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

35

mempengaruhi tindakan tersebut yaitu kerentanan yang dirasakan terhadap suatu

penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan hambatan yang

dialami dalam tindakannya melawan penyakit dan hal – hal yang memotivasi

tidakan tersebut.

Komponen Health Belief Model menurut Becker dan Nancy (1997) adalah

sebagai berikut :

1) Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)

Seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, seseorang

harus merasakan bahwa dirinya rentan (susceptible) terhadap penyakitnya. Suatu

tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah

merasakan bahwa dirinya atau keluarganya rentan terhadap penyakit yang

diderita. Pada perilaku sakit, seseorang sudah terdiagnosis sakit. Maka konsep dan

tingkat kerentanan individu harus dirubah dengan penambahan dimensi baru. Tiga

pendekatan dilakukan dengan cara :

a) Pemeriksaan individu untuk ketepatan diagnosis, adanya ancaman penyakit,

tidak yakin pada dokter atau prosedur diagnostik, kepercayaan yang salah

tentang kesehatan, pasien bisa menolak kesimpulan dokter, kemudian

mempertahankan pandangan yang salah tentang kerentanan individu terhadap

suatu penyakit.

b) Menyampaikan perkiraan individu terhadap kerentanan kembali atau

kemungkinan kambuh penyakit sebelumnya.

c) Mengukur perasaan individu terhadap keparahan berbagai penyakit lain, atau

penyakit secara umum.

2) Keseriusan/keparahan yang dirasakan (perceived severity).

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan

didorong oleh keseriusan penyakit terhadap individu atau masyarakat. Perceived

seriousness adalah persepsi subjektif dari individu terhadap seberapa parah

konsekwensi fisik dan sosial dari penyakit yang akan dideritanya. Persepsi

terhadap keseriusan dampak penyakit terbentuk dari informasi medis dan

pengetahuan individu tentang kesulitan dari penyakit yang diderita yang

mempengaruhi kehidupan mereka. Ketika seseorang percaya bahwa mereka

berisiko terhadap sebuah penyakit, mereka akan lebih sering melakukan sesuatu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 29: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

36

untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Namun sebaliknya ketika seseorang

percaya bahwa mereka tidak berisiko atau berisiko kerentanan yang rendah, maka

perilaku tidak sehat cenderung untuk diperoleh. Persepsi terhadap peningkatan

kerentanan atau berisiko dihubungkan dengan perilaku sehat dan penurunan

kerentana terhadap perilaku sehat.

Health Belief Model menyatakan bahwa ketika seseorang mengetahui

adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa penyakit akan berakibat serius

pada organ tubuh. Kasus kerentanan mengacu persepsi subyektif seseorang

dibanding dengan perkiraan medis kemungkinan seberapa berat penyakit itu.

Adanya gejala-gejala fisik mungkin mempengaruhi persepsi keparahan, motivasi

pasien untuk mengikuti instruksi dokter untuk mencegah kekambuhan.

Contohnya, perilaku yang meningkatkan kemungkinan adanya korelasi antara

persepsi keparahan dan kepatuhan, paling tidak untuk tahap awal pengobatan.

Pasien sering mengatakan bahwa mereka menghentikan kepatuhan terhadap

regimen karena merasa lebih baik.

3) Manfaat dan biaya yang dirasakan (perceived benefits and cost)

Persepsi manfaat ditunjukkan oleh hubungan kepatuhan pasien dengan

pengobatan. Pada studi yang berhubungan dengan perilaku sakit, identifikasi

keraguan terhadap prosedur yang direkomendasikan sebagai alasan pasien untuk

tidak mengikuti instruksi dokter yang berhubungan dengan penyakitnya. Persepsi

terhadap biaya atau hambatan, merupakan prediksi variabel penyebab

ketidakpatuhan. Sebaliknya yang berhubungan dengan kepatuhan adalah aspek

yang menentukan regimen pengobatan seperti : biaya untuk mengadopsi pola

perilaku baru (terutama jika pasien bekerja, keluarga, atau ada problem sosial),

kompleksitas, jangka waktu, dan efek samping.

4) Hambatan yang dirasakan (perceived barrier)

Pembentuk terakhir HBM adalah persepsi terhadap hambatan yang akan dihadapi

dari tindakan yang diambil atau perilaku kesehatan. Suatu tindakan bisa saja tidak

diambil seseorang, meskipun individu tersebut percaya terhadap keuntungan yang

didapat bila tindakan tersebut dilakukan. Hal ini bisa saja disebabkan oleh adanya

hambatan yang dihadapi. Hambatan mengacu pada karakteristik dari pengukuran

upaya pencegahan yang diambil seperti merepotkan, mahal, tidak menyenangkan.

Karakteristik tersebut akan berdampak pada individu menjauh dari tindakan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 30: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

37

diharapkan seharusnya dilaksanakan. Bila indivividu merasa dirinya rentan

terhadap penyakit yang dianggap serius maka dirinya akan melakukan suatu

tindakan tertentu, tindakan yang dilakukan terganttung pada manfaat yang

dirasakan dan hambatan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut.

Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan dari pada hambatan –

hambatan yang mungkin dihadapi dalam melakukan suatu tindakan.

5) Faktor Modifikasi (Modifying Factor)

Variabel lain yang berkaitan dengan perilaku kepatuhan adalah variabel demografi

(umur, jenis kelamin, ras, etnis). Sosiopsikologi (kepribadian, kelas sosial,

kelompok dan referensi kelompok, tekanan sosial) dan struktural (pengetahuan

tentang penyakit, pengalaman terhadap suatu masalah).

6) Isyarat atau tanda – tanda (cues to action)

Tingkat penerimaan yang benar terkait kerentanan, kegawatan dan manfaat

tindakan, maka diperlukan isyarat atau tanda – tanda dari faktor eksternal, antara

lain berupa : pesan – pesan dari media masa, informasi dari surat kabar, nasihat

dari seorang ahli kesehatan, gejala yang dialami, pengalaman sakit dari teman atau

anggota keluarga.

7) Percaya kemampuan diri (self efficacy)

Kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk melakukan suatu tindakan, pada

umumnya orang tidak mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru, melainkan

mereka berpikir dapat melakukannya apa tidak. Bila seseorang percaya suatu

perilaku baru yang berguna (manfaat dirasakan), namun berpikir bahwa dirinya

tidak mampu melakukan (hambatan yang dirasakan), dimungkinkan perilaku atau

tindakan itu tidak akan dilakukan.

Perilaku pencarian pelayanan kesehatan individu dipengaruhi oleh persepsi

seseorang terhadap suatu penyakit. Persepsi yyang pertama menentukan adalah

perilaku kesehatan seseorang untuk bertindak adalah persepsi tentang ancaman

penyakit. Persepsi tersebut ditentukan leh perasaan mudah tertular atau mudah

terjangkit penyakit TB dan adanya dampak yang parah atau serius dirasakan dari

penyakit atau masalah kesehatan yang dialami. Tinggi atau rendahnya ancaman

seseorang terhadap penyakit TB dipengaruhi oleh kemampuan seserang untuk

memahami informasi atau pengetahuan tentang TB yang diperoleh dari media

masa maupun petugas kesehatan. Pemahaman tersebut selanjutnya dikaitkan

dengan pengalamannya selama bersama penderitan dan lingkungannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 31: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

38

Berikut model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) menurut

Becker (1984) dalam Glanz et al. (2002) :

Individual Perception Modifying Factors Likelihood of Action

Gambar 2.1 Kerangka Teori Health Belief Model (HBM)

b. Perilaku peran terhadap sakit

Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh

individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Perilaku sakit adalah

reaksi/respon seseorang terhadap sakit dan penyakit yang diderita. Reaksi ini

sangatlah ditentukan oleh sistem sosialnya. Perilaku sakit erat hubungannya

Perceived

Susceptibility to

Diseases

Demographic

Variables (age,sex

race, Etnic etc)

Sociopsychologiccal

Variables

(personality, social

class peer and

references group,etc)

Structural Variables

(Knowledge about

the disease, prior

experience of

disease,etc)

Perceived

benefit of

taking action,

Minus

Perceived

barriers to to

action

Likelihood of

taking

recommended

health action

Perceived Threat of

Diseases

Perceived Severity

of Diseases

Cues to Action

Raised Awareness (Mass

Media Campaign,

Newspaper article)

Personal advice ( Reminder

from Health Professional)

Personal Symptoms

Illness of Family Member or

Friend

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 32: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

39

dengan konsep diri, penghayatan kondisi yang dihadapi, pengaruh petugas

kesehatan, serta pengaruh birokrasi (Grochman, 1988)

Faktor utama yang menentukan perilaku sakit meliputi 2 faktor, pertama

adalah persepsi atau pemahaman seseorang tentang suatu situasi/penyakit, kedua

adalah kemampuan seseorang untuk melawan serangan penyakit tersebut. Maka

dapatlah dipahami mengapa ada orang yang mampu mengatasi gangguan

kesehatan yang cukup berat, sedangkan orang lain yang gangguannya lebih ringan

malah memperoleh berbagai masalah, bukan saja fisik, melainkan masalah psikis

dan sosial.

Pada masyarakat primitif, penyakit diartikan sebagai kekuatan otonom,

misalnya roh jahat, yang menyerang orang dan berdiam di tubuh mereka untuk

membuat mereka kesakitan atau mati. Selama jaman pertengahan, penyakit

diartikan sebagai hukuman atas dosa-dosa, dan perawatan penyakit dianggap

sebagai amalan agama. Sakit diartikan sebagai suatu keadaan atau kondisi

penderitaan sebagai akibat dari suatu penyakit. Ilmiah modern mengartikan bahwa

sakit adalah suatu gangguan biologis abnormal atau gangguan mental dengan

suatu sebab, karakteristik gejala-gejala, dan metode perawatan (Grochman,1988).

Pandangan medis mengenai sakit adalah penyimpangan dari norma

biologis mengenai perasaan sehat dan sejahtera. Pandangan ini mencakup adanya

mekanisme patogenik di dalam tubuh yang bisa didokumentasikan secara

obyektif. Diagnosis suatu penyakit, dihasilkan dari korelasi gejala-gejala yang

bisa diamati dengan pengetahuan mengenai fungsi fisiologis manusia. Misalnya,

seseorang dinyatakan sakit jika gejala-gejala, keluhan, atau hasil dari pemeriksaan

fisik dan atau uji laboratorium mengindikasikan suatu abnormalitas. Kriteria

tradisional untuk mengidentifikasikan penyakit adalah: pengalaman pasien

mengenai perasaan subyektif tentang sakit; hasil oleh dokter bahwa pasien

mengalami fungsi tubuh yang tidak sesuai; dan gejala-gejala pasien yang sesuai

dengan pola klinis yag bisa dikenali (Grochman,1988).

Fungsi dokter didalam perawatan sakit meliputi : membuat diagnosis, dan

melakukan tindakan penyembuhan dengan cara-cara sedemikian rupa untuk

mengembalikan organisme manusia pada keadaan normal. Evaluasi mengenai

sakit oleh dokter berisi definisi medis mengenai apa yang dimaksud dengan baik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 33: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

40

dan normal, dibandingkan dengan apa yang dimaksud dengan buruk dan

abnormal. Di dalam sosiologi medis, sakit dianggap sebagai keadaan sosial yang

menyimpang yang disebabkan oleh gangguan perilaku normal melalui penyakit

(biologis). Ahli sosiologi pada umumnya lebih memilih untuk menjelaskan sakit

sebagai suatu kejadian sosial bukannya biologis karena kondisi penderitaan adalah

pengalaman subyektif yang biasanya menyebabkan individu memodifikasikan

perilaku mereka. Oleh karena itu, bila suatu penyakit merepresentasikan entitas

medis yang bisa didefinisikan dalam hal fungsi biologi, fisiologi, dan psikologi,

maka sakit bisa dianggap sebagai entitas sosial yang bisa didefinisikan dalam hal

fungsi sosial (Grochman,1988).

Banyak faktor yang menyebabkan orang bereaksi terhadap penyakit,

antara lain :

1) Dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang

dari keadaan biasa.

2) Banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan

bahaya.

3) Dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan

dalam kegiatan sosial lainnya.

4) Frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya.

5) Nilai ambang dari mereka yang terkena gejala itu (susceptibility atau

kemungkinan individu untuk diserang penyakit itu).

6) Informasi, pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu.

7) Perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenalnya.

8) Adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit.

9) Tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut,

tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial :

rasa malu, takut, dan sebagainya.

(Grochman, 1988).

Faktor-faktor diatas dapat dibuat kategorisasi faktor pencetus perilaku

sakit, yaitu faktor persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio

budaya; faktor intensitas gejala (menghilang atau terus menetap); faktor motivasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 34: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

41

individu untuk mengatasi gejala yang ada; serta faktor sosial psikologis yang

mempengaruhi respons sakit.

Menurut Grochman (1988), dalam menganalisa kondisi tubuhnya,

biasanya orang melalui dua tingkat analisa, yaitu:

1) Batasan sakit menurut orang lain : orang-orang disekitar individu yang sakit

mengenali gejala sakit pada diri individu itu dan mengatakan bahwa dia sakit

dan perlu mendapat pengobatan. Penilaian orang lain ini sangat besar artinya

pada anak-anak dan bagi orang dewasa yang menolak kenyataan bahwa dirinya

sakit.

2) Batasan sakit menurut diri sendiri : individu itu sendiri mengenali gejala

penyakitnya dan menentukan apakah dia akan mencari pengobatan atau tidak.

Analisa orang lain dapat sesuai atau bertentangan dengan analisa individu,

namun biasanya analisa itu mendorong individu untuk mencari upaya

pengobatan.

Uraian di atas tampak bahwa perilaku sakit merupakan suatu pola reaksi

sosio–budaya yang dipelajari. Pada saat individu dihadapkan pada gejala suatu

penyakit, gejala itu akan dikenal, dinilai, ditimbang untuk diputuskan apakah akan

bereaksi atau tidak, tergantung dari penghayatan/pemahaman seseorang tentang

situasi tersebut. Pemahaman seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial

budaya dan pola sosialisasi yang berlaku, sehingga reaksi individu dalam suatu

komunitas tertentu mungkin berbeda dengan individu dari komunitas lain yang

menganut norma sosial dan budaya yang berbeda.

Menurut Grochman (1988) perilaku sakit adalah tindakan untuk

menghilangkan rasa tidak enak / tidak nyaman atau rasa sakit sebagai akibat dari

timbulnya gejala tertentu. Grochman menganalisa pola proses pencarian

pengobatan dari segi individu maupun petugas kesehatan. Menurut pendapatnya,

terdapat 5 macam reaksi dalam proses pencarian pengobatan yaitu :

1) Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna

menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosis dan pengobatan

sesuai dengan harapan si sakit.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 35: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

42

2) Fragmentation, adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan

pada lokasi yang sama, misalnya : berobat ke dokter, sekaligus ke sinse dan

dukun.

3) Procrastination, adalah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun

gejala penyakitnya sudah dirasakan.

4) Self medication, adalah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai

ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya.

5) Discontinuity, adalah penghentian proses pengobatan.

Grochman (1988) menjelaskan bahwa Individu menentukan

reaksi/tindakan sehubungan dengan gejala penyakit yang dirasakannya, individu

berproses melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1) Tahap pengenalan gejala. Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya

dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak enak dan keadaan itu

dianggapnya dapat membahayakan dirinya.

2) Tahap asumsi peran sakit, karena merasa sakit dan memerlukan pengobatan,

individu mulai mencari pengakuan dari kelompok acuannya (keluarga,

tetangga, teman sekerja) tentang sakitnya itu dan kalau perlu meminta

pembebasan dari pemenuhan tugas sehari-harinya.

3) Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan. Di sini individu mulai

menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalamannya atau dari

informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis

pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan

sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemanjuran sarana

tersebut.

4) Tahap ketergantungan si sakit, seseorang memutuskan bahwa dirinya, sebagai

orang yang sakit dan ingin disembuhkan, harus menggantungkan diri dan

pasrah kepada prosedur pengobatan. Dia harus mematuhi perintah orang yang

akan menyembuhkannya agar kesembuhan itu cepat tercapai.

5) Tahap penyembuhan atau rehabilitasi. Pada tahap ini si sakit memutuskan

untuk melepaskan diri dari peranan sebagai orang sakit. Hal ini terjadi karena

dia sudah sehat kembali dan dapat berfungsi seperti sediakala.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 36: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

43

Konsep Parsons mengenai peran sakit didasarkan pada asumsi bahwa

menjadi sakit bukanlah kesengajaan dan bukan merupakan pilihan yang diketahui

oleh orang yang sakit, meskipun sakit mungkin terjadi sebagai akibat dari paparan

yang sengaja, infeksi atau cidera. Namun, Parsons mengingatkan bahwa beberapa

orang mungkin tertarik ke peran sakit agar absennya dari tanggung jawab sosial

bisa disetujui. Pada umumnya masyarakat menyetujui pembedaan diantara peran-

peran menyimpang dengan menghukum penjahat dan menyediakan perawatan

terapeutik bagi si sakit. Kedua proses tersebut berfungsi untuk mengurangi

penyimpangan dan mengubah kondisi yang mengganggu kepatuhan terhadap

norma-norma sosial. Kedua proses tersebut juga membutuhkan campur tangan

agensi-agensi sosial, penegakan hukum atau pengobatan, dalam rangka

mengendalikan perilaku yang menyimpang. Menjadi sakit, bukan semata

mengalami kondisi fisik yang sakit; bahkan ini merupakan peran sosial karena

meliputi perilaku berdasarkan ekspektasi institusional dan dikuatkan oleh norma-

norma masyarakat yang berkaitan dengan ekspektasi-ekspektasi ini (Grochman,

1988).

Ekspektasi utama mengenai orang sakit adalah bahwa mereka tidak

mampu mengurusi dirinya sendiri, karena itu penting bagi si sakit untuk mencari

bantuan medis dan bekerjasama dengan ahli medis. Perilaku ini didasarkan pada

asumsi yang dibuat oleh Parsons bahwa menjadi sakit adalah suatu keadaan yang

tidak dikehendaki dan orang sakit ingin menjadi sehat. Seseorang mungkin ingin

mempertahankan peran sakit secara permanen karena ada keuntungan kedua, yaitu

pengecualian dari kewajiban normal dan keistimewaan-keistimewaan lain yang

biasanya diberikan pada si sakit. Karena itu, praktek medis menjadi suatu

mekanisme dimana sistem sosial mencoba mengontrol si sakit dengan

mengembalikannya pada keadaan normal.

Aspek-aspek tertentu dari konsep Parsons (dalam Sarwono, 1997)

mengenai peran sakit bisa dijelaskan dalam empat kategori dasar :

1) Orang sakit dikecualikan dari peran-peran sosial yang normal. Sakit seseorang

merupakan dasar bagi pengecualiannya dari kinerja peran yang normal dan

tanggung jawab sosial. Pengecualian ini adalah bersifat relatif terhadap sifat

dan beratnya sakit. Semakin berat sakitnya, maka semakin besar penge-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 37: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

44

cualiannya. Pengecualian memerlukan legitimasi oleh dokter sebagai pihak

berwenang. Legitimasi tersebut memiliki fungsi sosial yaitu melindungi

masyarakat dari orang yang berpura-pura sakit.

2) Orang sakit tidak bertanggungjawab atas kondisinya. Sakitnya individu

biasanya dianggap berada di luar kendalinya. Kondisi tubuh yang sakit perlu

diubah, dengan beberapa proses kuratif, terlepas dari keinginan atau motivasi

orang tersebut, diperlukan agar orang tersebut menjadi sembuh.

3) Orang sakit harus mencoba untuk sembuh. Dua aspek pertama dari peran sakit

adalah bertanggungjawab pada aspek ketiga, yaitu pengakuan oleh si sakit

bahwa menjadi sakit adalah tidak dikehendaki. Pengecualian dari tanggung

jawab normal bersifat sementara dan tergantung pada keinginan untuk

mendapatkan kembali kesehatan yang normal. Jadi, orang sakit memiliki

kewajiban untuk sembuh.

4) Orang sakit harus mencari bantuan yang kompeten secara teknis dan

bekerjasama dengan dokter. Kewajiban untuk sembuh meliputi kewajiban lebih

lanjut di pihak si sakit untuk mencari bantuan yang kompeten secara teknis,

biasanya dari dokter. Orang sakit juga diharapkan bekerjasama dengan dokter

di dalam proses untuk mencoba menjadi sembuh.

Dua hal yang berkaitan dengan peran individu yang sakit dalam

lingkungan sosialnya, yaitu hak dan kewajiban. Hal ini berarti orang yang

berperan sebagai si sakit mempunyai pula hak dan kewajiban tertentu. Hak yang

pertama bagi orang sakit ialah dibebaskannya dari tanggung jawab sosial dan

pekerjaan sehari-hari. Pemenuhan hak ini tergantung dari tingkat/persepsi

keparahan penyakitnya. Jika penyakit itu dianggap tidak begitu parah, maka si

sakit hanya diberikan sedikit kebebasan dari peran dan tanggung jawabnya.

Namun jika penyakitnya parah, si sakit berhak menuntut untuk dibebaskan sama

sekali dari tanggung jawab sosialnya sebab kalaupun dipaksakan dia akan

menghasilkan pekerjaan yang mutunya rendah. Apalagi jika penyakitnya itu

menular, kehadirannya di lingkungannya justru akan mengganggu orang lain

karena menularkan penyakitnya. Hak yang kedua adalah hak untuk menuntut

bantuan atau perawatan dari orang lain, biasanya orang sakit itu berada dalam

kondisi lemah sehingga dia membutuhkan bantuan orang lain untuk merawat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 38: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

45

dirinya agar kesehatannya dapat dipulihkan sehingga dia dapat kembali berfungsi

dalam masyarakat. Di samping mempunyai hak tertentu, orang sakit harus pula

menjalankan kewajibannya, terutama kewajiban untuk mencapai kesembuhan.

Kewajiban ini dapat dipenuhi sendiri maupun dengan pertolongan orang lain

misalnya petugas kesehatan (Sarwono, 1997).

c. Perilaku Penderita TB MDR berdasarkan teori HBM

Health Belief Model (HBM) adalah suatu model perilaku kesehatan ang mampu

memprediksi perilaku individu terhadap kesehatan (health behaviour), perilaku

terhadap sakit yang dirasakan (illness behaviour) dan perilaku terhadap penyakit

yang diderita (sick role behaviour). Ketika seseorang didiagnosis menderita TB

MDR, pada kenyataannya bukan sesuatu yang mudah untuk mendorong mereka

untuk berobat secara teratur. Adapun faktor penyebabnya adalah karena kurang

menyadari bahwa kondisi penyakit yang diderita, sebenarnya dapat memberikan

ancaman bagi kesehatan mereka. Kurangnya dukungan sosial kepada penderita,

dapat menyebabkan seseorang tidak mau melakukan pengobatan secara teratur.

Setiap indovidu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil suatu

tindakan pencegahan atau penyembuhan terhadap masalah kesehatan yang

dirasakan. Hal ini tergantung pada keyakinan masing – masing untuk meneruskan

pengobatan secara teratur atau tidak. Dalam Health Belief Model, persepsi

individu terhadap suatu penyakit mencakup 2 penilaian yairu perceived threat,

perceived benefits dan perceived barrier. Perceived threat adalah ancaman yang

dirasakan individu terhadap gejala dan tanda penyakit yang dialami, semakin

besar individu merasakan ancaman maka semakin cepat individu mencari

pertolongan medis. Perceived benefits adalah penilaian individu mengenai

manfaat/keuntungan yang diperoleh ketika mengadopsi perilaku kesehatan yang

dianjurkan dan perceived barrier adalah penilaian individu mengenai hambatan

yang diperoleh ketika mengadopsi perilaku kesehatan yang dianjurkan (Nurhayati

et al., 2015).

Kepercayaan yang dimiliki oleh masing – masing individu terhadap

masalah kesehatan yang dirasakan, akan menentukan upaya individu dalam

memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Bila individu merasa

dengan melakukam pengobatan secara tertatur dapat mengurangi tingkat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 39: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

46

keparahan penyakitnya, memperoleh manfaat/ keuntuingan yang lebih besar

daripada hambatan/kerugian yang didapat, maka individu tersebut akan melaku-

kan pengobatan secara teratur untuk mengatasi masalah kesehatan yang diderita

(Safri et al., 2013).

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian oleh Nugraheni dan Malik (2015) dengan judul : “Analisis Penyebab

Resistensi Obat Anti Tuberkulosis di RS. HA. Rotinsulu Kota Bandung”.

Penelitian analitik dilakukan dengan rancangan studi kasus-kontrol menun-

jukkan hasil bahwa resistenti OAT penderita TB disebabkan oleh riwayat

pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat seperti penegakan diagnosis yang

tidak tepat, pengobatan tidak menggunakan paduan OAT, jenis dan dosis tepat;

jumlah obat dan jangka waktu pengobatan yang tidak adekuat, tidak teratur

dalam minum OAT dan menghentikan secara sepihak sebelum waktu pengo-

batan selesai. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan

penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitiam studi kasus

tunggal. Subjek penelitian yang akan dilakukan tidak hanya pada penderita TB

MDR namun juga pada dokter / petugas kesehatan yang memberikan

pelayanan pengobatan, anggota keluarga dan petugas pengelola program TB

puskesmas.

2. Penelitian oleh Sarwani et al. (2012), dengan judul “Faktor Risiko Multi-Drugs

Resistence Tuberkulosis (MDR-TB) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)

Purwokerto”. Penelitian obsevasional dengan rancangan studi kasus – kontrol,

menunjukkan hasil bahwa faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian TB

MDR adalah motivasi penderita TB yang rendah dan ketidakteraturan minum

obat. Kurangnya pengetahuan penderita tentang penyakitnya dan bagaimana

mengobatinya, pelayanan yang kurang memuaskan dari pemberi layanan

kesehatan dan faktor budaya memiliki pengaruh terhadap motivasi penderita

dalam menyelesaikan pengobatan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

adalah rancangan penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang

akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 40: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

47

studi kasus tunggal. Subjek penelitian yang akan dilakukan tidak hanya pada

penderita TB MDR namun juga pada dokter / petugas kesehatan yang

memberikan pelayanan pengobatan, anggota keluarga dan petugas pengelola

program TB puskesmas.

3. Penelitian oleh Nugroho (2011) dengan judul : “Studi Kualitatif Faktor yang

Melatarbelakangi Drop Out Pengobatan Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan

Penyakit Paru (BP4) Tegal”. Menunjukkan hasil bahwa drop out pengobatan

TB terjadi disebabkan oleh penderita merasa kondisinya sudah sehat ditandai

dengan gejala klinis hilang setelah menjalani pengobatan tahap awal (2 bulan)

sehingga pasien merasa sudah sembuh, pembiayaan pengobatan yang tidak

gratis, kurangnya pengetahuan pasien tentang tahapan pengobatan yang

dijalani dan komplikasi pengobatan TB, efek samping obat yang dialami dan

transportasi menuju ke tempat pengobatan yang jauh. Sedangkan dukungan

keluarga tidak menjadi alasan kuat penderita untuk menghentikan pengobatan.

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada subjek

penelitian, dimana pada penelitian ini berfokus pada penderita TB MDR

dengan menggali proses pengobatan yang dilakukan pada pengobatan TB

sebelum terdiagnosis TB MDR dengan berdasar pada teori Health Belief

Model. Penelitian yang dilakukan juga menggali peran keluarga, dokter-

/petugas kesehatan yang memberikan pelayanan pengobatan serta anggota

keluarga dalam berkontribusi pada kejadian TB MDR.

4. Penelitian oleh Murtatiningsih dan Wahyono (2010) dengan judul “Faktor –

faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Purwodadi 1 Kabupaten Grobogan”. Penelitian dengan metode

survei analitik dengan pendekatan kasus – kontrol. Menunjukkan hasil bahwa

faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan penderita TB adalah

keteraturan berobat, status gizi dan pendapatan sedangkan penyuluhan oleh

petugas kesehatan dan dukungan Pengawas Menelan Obat tidak berhubungan

dengan kesembuhan penderita TB. Perbedaan dengan penelitian yang dilaku-

kan adalah rancangan penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 41: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

48

akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian

studi kasus tunggal.

5. Penelitian oleh Desmukh et al. (2015) dengan judul : “ Patient and Provider

Reported Reasons for Loss to Follow Up TB MDR Treatment : Aqualitative

Study from a Drug Resistent TB in Centre India”. Penelitian kualitatif semi

struktur personal interview, menunjukkan hasil bahwa Loss to follow up pada

penderita TB MDR yang diobati dikarenakan oleh efek samping obat, beban

minum obat yang banyak dan lama pengobatan selama 24 bulan. Hal tersebut

merupakan penghambat bagi kepatuhan penderita dalam minum obat dan

memutuskan untuk berhenti berobat.

6. Penelitian oleh Shean et al. (2015) dengan judul : “Loss to Follow Up on

Multidrugs Resistent Tuberculosis Treatment in Gujarat India”. Menunjukkan

hasil yang sejalan dengan penelitian Desmukh et al. (2015) bahwa Loss to

follow up pada penderita TB MDR yang diobati dikarenakan oleh efek samping

obat, beban minum obat yang banyak dan lama pengobatan selama 24 bulan.

Hal tersebut merupakan penghambat bagi kepatuhan penderita dalam minum

obat dan memutuskan untuk berhenti berobat. Perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan adalah pada fokus penggalian data, dimana penelitian

yang dilakukan akan menggali proses pengobatan yang dilakukan pada proses

pengobatan TB lini pertama sebelum terdiagnosis TB MDR dengan berdasar

pada teori Health Belief Model. Variabel penelitian persepsi penderita tentang

kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan serta efikasi diri adalah hal yang

akan diungkap dalam penelitian ini. Motivasi/dukungan keluarga, penerapan

strategi DOTS oleh pemberi layanan pengobatan dan pengelolaan program TB

oleh petugas di puskesmas juga akan digali dalam penelitian ini.

7. Penelitian oleh Fauziah (2013) dengan judul : “Faktor – Faktor yang

Mempengaruhi Kejadian TB MDR di RSUP Persahabatan”. Penelitian

menggunakan rancangan kasus-kontrol, hasil penelitian menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB MDR adalah umur,

konsumsi alkohol, riwayat kontak TB, kepatuhan minum obat penderita, status

gizi dan komorbid : diabetes melitus. Dalam penelitian tersebut menelaskan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 42: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

49

bahwa untuk mendukung penerapan program DOTS, penderita harus

dimonitoring dan dikontrol selama pengobatan, terutama dalam kepatuhan

minum obat. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan

penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus

tunggal.

8. Penelitian oleh Safri et al. (2014) dengan judul Analisis Faktor yang

berhubungan dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru Berdasarkan

Health Belief Model di Wilayah Kerja Puskesmas Umbulsari Kabupaten

Jember. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif

observasional dengan rancangan studi cross-sectional. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa adanya hubungan keempat variabel konstruk Health

Belief Model dengan kepatuhan pengobatan penderita. Perbedaan dengan

penelitian yang dilakukan adalah rancangan penelitian yang dilakukan, dimana

dalam penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif

dengan strategi penelitian studi kasus tunggal.

9. Penelitian oleh Zhao et al. (2012) dengan judul : “Social Behaviour Risk

Factors for Drug Resistent Tuberculosis in Mainland China : Meta-Analysis”.

Penelitian ini menggunakan metode Meta-Analysis yaitu analisis dengan

menggunakan sumber data penelitian terdahulu baik penelitian dengan

menggunakan metode cross sectional, case-control dan cohort. Menganalisa

faktor – faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya TB MDR. Menunjukkan

hasil penelitian bahwa faktor – faktor risiko mempengaruhi kejadian TB MDR

adalah riwayat pengobatan sebelumnya, pengobatan dengan kualitas DOTS

rendah, kepatuhan pengobatan penderita yang rendah, lamanya menderita

penyakit, dan tingkat pendapatan yang rendah (kemiskinan yang di alami).

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan penelitian yang

dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan menggunakan

pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus tunggal.

10. Penelitian oleh Kumar et al. (2014) dengan judul : “Nutritional Status in

Multi Drugs Resistence-Pulmonary Tuberculosis Patients”. Penelitian

observasional dengan menggunakan rancangan studi cross-sectional. Hasil

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 43: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

50

penelitian menunjukkan bahwa pengobatan pada penderita TB MDR dengan

status gizi buruk memperlihatkan hasil yang tidak optimal. Perbedaan

penelitian dengan penelitian yang dilakukan adalah pada jenis dan rancangan

penelitian. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah rancangan

penelitian yang dilakukan, dimana dalam penelitian yang akan dilakukan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus

tunggal. Variabel penelitian persepsi penderita tentang kerentanan,

keseriusan, manfaat dan hambatan serta efikasi diri adalah hal yang akan

diungkap dalam penelitian ini. Motivasi/dukungan keluarga dalam kepatuhan

berobat penderita, penerapan strategi DOTS dalam penegakan diagnosis dan

tatalaksana pengobatan oleh dokter selaku pemberi layanan pengobatan serta

pengelolaan program TB oleh pengelola program TB di puskesmas dan

rumah sakit juga akan digali dalam penelitian ini.

C. Kerangka Berpikir Penelitian

Persepsi terhadap kerentanan dan keseriusan penyakit yang dirasakan, manfaat

dari tindakan pengobatan, hambatan yang dirasakan dan keyakinan diri penderita

mendorong seseorang untuk patuh berobat sesuai dengan anjuran pengobatan

yang telah diprogramkan dokter/petugas kesehatan. Pemahaman seseorang

terhadap kerentanan dan keseriusan penyakit yang diderita serta efikasi diri

diyakini menghasilkan kekuatan untuk berperilaku, namun tindakan pengobatan

yang dipilih akan dipengaruhi oleh keyakinan tentang manfaat dan hambatan yang

dirasakan, termasuk prosedur yang harus dijalani selama mengikuti pengobatan.

Seseorang akan menimbang efektifitas tindakan dengan hambatan yang

diperkirakan. Apabila diprediksi bahwa manfaat lebih besar daripada hambatan,

maka tindakan kepatuhan dalam pengobatan akan dilakukan. Kejadian resistensi

terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan dampak dari perilaku penderita

TB dalam menjalani pengobatan, status gizi yang dimiliki penderita; perilaku

dokter selaku pemberi layanan pengobatan (provider) dalam memberikan edukasi

bagi penderita dan keluarga serta tatalaksana diagnosis dan pengobatan yang

adekuat bagi penderita (penerapan tatalaksana standar pedoman TB–DOTS);

perilaku keluarga dalam memberikan dukungan/motivasi serta pengawasan

minum obat penderita TB dalam menjalani pengobatan serta pengelolaan program

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 44: Resistensi-obat-anti-tuberkulosis-studi-kasus-TB-MDR-di ...

51

TB oleh pengelola program TB fasyankes setempat dalam memberikan edukasi

sebeleum pengobatan, menjamin ketersediaan OAT berkualitas dan penerapan

strategi pengelolan program pengendalian TB – DOTS. Berikut kerangka berpikir

penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian

Persepsi

Kerentanan

Penyakit

Kepatuhan

Minum Obat

Persepsi

Hambatan

dirasakan

Persepsi

Manfaat

Tindakan

Persepsi

Keseriusan

Penyakit

Status Gizi

TB MDR

Pengobatan

Tidak

Adekuat

Ketersediaan

OAT

Penerapan

Pengobatan

DOTS

Efikasi

Diri

Motivasi /

Dukungan

Keluarga

Edukasi

Petugas

Kesehatan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user