REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA KARYA W.S. RENDRA DAN PUISI MEI KARYA JOKO PINURBO SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Firda Kania NIM 1116013000002 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2022
151
Embed
REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM
PUISI SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA KARYA
W.S. RENDRA DAN PUISI MEI KARYA JOKO PINURBO
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Firda Kania
NIM 1116013000002
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
i
ABSTRAK
Firda Kania (NIM: 11160130000002). “Representasi Tragedi Mei 1998 dalam
Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei
Karya Joko Pinurbo serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di
Sekolah” Jurusan Pnedidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum.
Kisah pilu yang bisa dikatakan sebagai sebuah tragedi kemanusiaan dalam
peristiwa Mei 1998 di Indonesia berhasil memunculkan banyak karya sastra
mengabadikannya. Beberapa sastrawan di Indonesia memilih untuk memotret
peristiwa itu dalam bentuk sajak yang bisa dijadikan salah satu memoar peristiwa
Mei 1998. W.S. Rendra mengabadikannya dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di
Indonesia dan Joko Pinurbo mengabadikannya dalam puisi Mei. Penelitian ini
bertujuan (1) memahami tragedi Mei 1998 yang ditampilkan dalam puisi Sajak
Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko
Pinurbo melalui struktur fisik dan batinnya; (2) memberikan perspektif segar
dalam memahami tragedi Mei 1998; (3) mendeskripsikan representasi tragedi Mei
1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi
Mei karya Joko Pinurbo; (4) menjelaskan bagaimana implikasi pengajaran puisi
Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko
Pinurbo terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif dengan teori representasi. Hasil analisis menemukan
bahwa W.S. Rendra pada puisinya menggambarkan perspektif psikologi
masyarakat yang mengalami represi, baik masyarakat secara komunal maupun
individual yang ditampilkan dengan nuansa yang sangat kompleks, memuat
berbagai suasana dan emosi, tragis, mencekam, dan kejam dengan penggambaran
perjuangan menyelesaikan krisis di negara yang kacau; sementara Joko Pinurbo
menampilkannya melalui penggambaran metafor tokoh Mei yang mengalami
perlakuan nista, keji, hancur, jahat, dan kejam sebagai korban tragedi saat itu.
Dalam konteks pembelajaran di sekolah, kedua puisi dapat dijadikan bahan ajar
materi puisi sekaligus sebagai alternatif bagi pengajaran tentang nilai moral dan
sejarah Indonesia.
Kata kunci: representasi, Mei 1998, W.S. Rendra, Joko Pinurbo, impilkasi
pembelajaran
ii
ABSTRACT
Firda Kania (NIM: 11160130000002). “Representation of The May 1998
Tragedy in The Poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia by W.S. Rendra and
The Poem Mei by Joko Pinurbo and Its Implications for Literature Learning at
Schools” Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty
of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University,
Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati, M.Hum.
The sad story that can be said as a human tragedy in the May 1998 incident in
Indonesia has succeeded in giving rise to many literary works to perpetuate it.
Several writers in Indonesia chose to photograph the event in the form of a poem
that could be used as one of the memoirs of the May 1998 incident. W.S. Rendra
immortalized it in the poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia and Joko Pinurbo
immortalized it in the poem Mei. This study aims to (1) understand the tragedy of
May 1998 which is shown in the poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia by W.S.
Rendra and the poem Mei by Joko Pinurbo based on the structures; (2) provide a
fresh perspective in understanding the tragedy of May 1998; (3) describe the
representation of the tragedy of May 1998 in the poem Sajak Bulan Mei 1998 di
Indonesia by W.S. Rendra and the poem Mei by Joko Pinurbo; (4) explains how
the implications of teaching the poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia by W.S.
Rendra and the poem Mei by Joko Pinurbo on literature learning at school. The
method used is descriptive qualitative method with representation theory. The
results of the analysis found that W.S. Rendra in his poetry describes the
psychological perspective of people who are experiencing repression, both
communally and individually, which are presented with very complex nuances,
containing various atmospheres and emotions, tragic, gripping, and cruel by
depicting the struggle to resolve the crisis in a chaotic country; while Joko
Pinurbo presented it through a metaphorical depiction of the character Mei who
was treated with humiliation, cruelty, destruction, evil, and cruelty as a victim of
the tragedy at that time. In the context of learning at school, the two poems can be
used as teaching materials for poetry as well as an alternative for teaching about
moral values and Indonesian history.
Keywords: representation, May 1998, W.S. Rendra, Joko Pinurbo, the
implications of learning
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ―Representasi Tragedi Mei
1998 dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan
Puisi Mei Karya Joko Pinurbo serta Impliikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra
di Sekolah‖. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw. serta pengikutnya karena syafaat merekalah yang diharapkan hingga ke
akhirat kelak. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang memberikan
bimbingan, dukungan, dan doa kepada penulis. Untuk itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta,
sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang senantiasa sabar
memberikan motivasi kepada penulis untuk lekas menyelesaikan skripsi
ini;
4. Rosida Erowati, M.Hum., sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan
ikhlas dan sabar dalam memberikan arahan, saran, dan dukungan kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar;
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta;
6. Teristimewa kepada orang tua, Almarhum Bapak yang sedang tersenyum
di surga, dan Mamah yang setiap saat berada di samping penulis.
iv
Keduanya selalu menjadi motivasi dan penyemangat utama bagi penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini;
7. Endang Hermawan, S.Pd.; Rina Marlina, S.Pd.; Ega Dianfikasari, S.Pd.;
Asep Sopian; dan Mira Anggraeni; sebagai keluarga yang selalu
mengalirkan bantuan dan dorongan terbaik;
8. Terkhusus Edi Wahyudi, pendukung terbaik yang amat sabar
mendampingi dan mengasihi penulis;
9. Sahabatku Sandra Sania, Lutfiana Sururin Mahmudah, dan Laras Caesar
Ayu Lestari yang menemani penulis memulai perjalanan di tahun-tahun
pertama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sayrif
Hidayatullah Jakarta;
10. Sahabatku Indah Sundari, Febriyanti, Siti Restu Rahayu, Hanum Ulfah
Nurbaiti, Wahyuningsih, Azizatul Atiah, dan Mei Suri Diah, Nur Siswo
Dipurnomo, dan Aldi Alfaruk sebagai pendukung terbaik dan tempat
―pulang‖ paling nyaman hingga saat ini dan nanti;
11. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2016
yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis;
12. Seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam pencarian data dan bahan,
serta membersamai bimbingan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan rasa bahagia.
Penulis berharap kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini agar selalu sehat, bahagia, dan dilimpahi keberkahan.
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan
oleh penulis demi menjadikan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.
Jakarta, 15 April 2022
Firda Kania
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah ................................................................................... 8
D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 9
F. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 9
G. Metode Penelitian ..................................................................................... 10
BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................. 12
A. Puisi ......................................................................................................... 12
Keamanan pada Kerusuhan Mei 1998 yang disusun oleh Pusat Data dan
Analisa Tempo pada tahun 2019 membeberkan perspektif media berita dan
menggambarkan sebab-sebab para aparat negara menghilang, seperti
keberadaan Panglima Kostrad Prabowo Subianto, Jenderal Wiranto, dan
Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin pada saat kerusuhan terjadi.4
Buku lainnya yang membongkar kerusuhan Mei 1998 juga ditulis
Fadli Zon, yaitu Politik Huru-hara Mei 1998 yang diterbitkan tahun 2004.
B.J. Habibie dengan bukunya, Detik-detik yang Menentukan: Perjalanan
Panjang Indonesia Menuju Demokrasi pada tahun 2006. Amien Rais juga tak
ketinggalan, ia meluncurkan buku Memimpin dengan Nurani. Selain itu, tidak
hanya yang terlibat langsung, penulis asing pun punya kepentingan. Di
antaranya, Edward Aspinall menulis The Last Day of President Soeharto.
Richard Mann menulis Plots and Schemes that Brought Down Soeharto,
termasuk Kevin O‘Rouke juga menulis The Struggle for Power in Post
Soeharto Indonesia.5
Selain buku-buku tersebut, masih sangat banyak buku yang
menceritakan situasi Mei 1998 dalam berbagai versi. Melalui penelitian ini,
penulis ingin membuktikan bahwa puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo tersebut bisa
memberikan perspektif segar dalam memahami pergolakan yang terjadi pada
Mei 1998, serta pembaca dapat menemukan pemahaman baru yang lebih
intim terhadap peristiwa tersebut, bukan hanya fakta historis, tetapi juga
psikologi kemasyarakatan.
Karya sastra merupakan hasil proses kreatif seorang pengarang
maupun penyair. Karya-karya tersebut tercipta dari ide dan gagasan yang
dimiliki oleh pengarang dan penyair yang berasal dari penghayatannya
terhadap fenomena-fenomena alam dan sosial, pengalaman kehidupan,
lingkungan sekitar, dan masyarakat yang hidup berdampingan bersamanya.
4 Pusat Data dan Analisis Tempo, Misteri Hilangnya Aparat Keamanan pada Kerusuhan
Mei 1998, (Jakarta: Tempo Publishing, 2019), h. 13—28. 5Arwan Tuti Artha, Kudeta Mei 1998: Perseteruan Habibie-Prabowo, (Yogyakarta:
Galangpress, 2007), h. 21—22.
5
Karya sastra digubah untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh para
pembacanya.
Selain bisa dinikmati keindahaannya, sastra dapat merefleksikan
keadaan sosial, budaya, dan sejarah. Sejalan dengan itu, Thomas Warton
mengemukakan bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri
zamannya.6 Sastra menjadi potret kehidupan sosial serta fakta-fakta yang
terjadi. Sebagai potret sejarah, sastra menjadi dokumen dan pantulan
hubungan sebuah peristiwa terhadap peristiwa yang lain. Dengan adanya
representasi dan pemaknaan sebuah karya sastra, akan terungkap banyak
peristiwa hingga tragedi yang tersembunyi.
Krisis Mei 1998 merupakan sejarah penting yang perlu diulas.
Urgensi memahami sejarah Indonesia termasuk Mei 1998 harus dipahami
oleh masyarakat luas, terutama generasi muda dan milenial di sekolah. Hal
tersebut bertujuan memahamkan bahwa bangsa Indonesia telah melalui
perjuangan besar untuk mencapai kemajuan yang dirasakan saat ini. Selain
itu, memberikan refleksi agar hal buruk yang serupa tidak terulangi di masa
kini serta lebih jauh lagi bisa menghasilkan generasi muda yang unggul,
nasionalis, peduli terhadap sejarah dan permasalahan bangsa, serta peduli
terhadap kemanusiaan, terutama di masa sulit akibat pandemi korona saat ini.
Strategi utama untuk meningkatkan pemahaman sejarah dan
membentuk karakter positif dapat dilakukan dengan menempuh pendidikan,
salah satunya melalui pengajaran sastra di sekolah. Membaca dan menelaah
karya sastra, salah satunya adalah puisi, bisa menjadi strategi menarik dalam
upaya memberikan pemahaman yang segar kepada masyarakat untuk menilik
sejarah dan memanfaatkan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Puisi membantu manusia menyadari fenomena alam dan fenomena
sosial yang terjadi di sekitar. Oleh karena itu, puisi berfungsi sebagai materi
pelajaran yang memberikan pengetahuan dan kesadaran. Sejak muda, peserta
didik seyogianya ditumbuhkan kegemaran membaca puisi, agar kepekaannya
terhadap kebajikan dan kekuatan moral jadi terasah. Dari pemahaman
tersebut, diharapkan peserta didik dapat memandang segala fenomena dan
6 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Diindonesiakan oleh Melani
Budianta, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h. 122.
6
kejadian di sekitar dengan detail dan dari berbagai pandangan sehingga
mampu memaknai segala hal dalam kehidupan sehari-hari dengan menelusuri
kebenarannya, bukan menerima secara mentah.
Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi
Mei karya Joko Pinurbo bermanfaat bagi peserta didik karena kedua puisi ini
dapat mengajarkan untuk memahami perjuangan dan pengorbanan cinta tanah
air. Berdasarkan wawancara dan observasi terbatas penulis terhadap beberapa
sekoah, guru, dan peserta didik, pembahasan peristiwa Mei 1998 dalam
pengajaran sastra khususnya puisi sepanjang tahun 2019 hingga 2021 masih
sangat kurang, bahkan hampir tidak ada sehingga pemahaman peserta didik
mengenai sejarah peristiwa tersebut sangat minim. Beberapa pengajaran pun
terbilang membosankan karena hanya mengacu pada pembelajaran tekstual.
Peserta didik tidak diarahkan mengeksplorasi lebih dalam selama
pembelajaran.
Melalui pembelajaran dan analisis unsur-unsur terhadap kedua puisi
tersebut, serta dengan memahami gambaran sosial di dalamnya, peserta didik
diharapkan dapat mengetahui realitas sosial pada masa transisi Orde Baru
dengan Era Reformasi, serta dapat menumbuhkan sikap berani, peduli,
nasionalis dan patriotik. Sekaligus, mereka dapat mengetahui peristiwa
sejarah bangsa Indonesia dan melihat bagaimana sastrawan menjadikan
runtuhnya Orde Baru sebagai perspektif yang menarik dalam karyanya.
Berdasarkan argumen-argumen di latar belakang tersebut, penulis
bermaksud menelaah tragedi Mei 1998 yang terekam dalam puisi Sajak Bulan
Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan Puisi Mei karya Joko Pinurbo
menggunakan telaah representasi sastra yang menitikberatkan hubungan
karya sastra dengan konteks sosial masyarakat. Selanjutnya diimplikasikan
terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, dengan harapan tidak
hanya memberikan pengetahuan tekstual dan kontekstual dalam puisi, tetapi
turut pula berpengaruh dalam pembentukan karakter positif peserta didik.
Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji Representasi Tragedi Mei
1998 di Indonesia dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya
7
W.S. Rendra dan Puisi Mei Karya Joko Pinurbo serta Impikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, beberapa permasalahan yang
ditemukan adalah sebagai berikut.
1. Peristiwa kerusuhan masih kerap terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
2. Belum adanya pembahasan spesifik sejarah Mei 1998 di sekolah melalui
pengajaran puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra
dengan puisi Mei karya Joko Pinurbo.
3. Belum adanya analisis representasi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei
1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dengan puisi Mei karya Joko
Pinurbo.
4. Minimnya pemahaman peserta didik mengenai tragedi Mei 1998 dan
gambaran sejarah yang terjadi pada saat itu.
5. Pembelajaran sastra di sekolah kurang variatif.
6. Adanya anggapan peserta didik dalam menerima pembelajaran sastra
sebagai bahan ajar yang membosankan, tidak menarik, dan tidak
informatif.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang terlalu meluas, peneliti
melakukan batasan terhadap masalah yang ada. Masalah yang disajikan
adalah bagaimana analisis struktur fisik, batin, dan representasi dalam puisi
Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya
Joko Pinurbo serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dilakukan, maka masalah
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana analisis struktur fisik dan struktur batin puisi Sajak Bulan
Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko
Pinurbo?
2. Bagaimana representasi tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei
1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo?
9
3. Bagaimana implikasi pengajaran puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo terhadap
pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian
ini bertujuan sebagai berikut.
1. Memahami tragedi Mei 1998 yang ditampilkan dalam struktur fisik dan
struktur batin puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra
dan puisi Mei karya Joko Pinurbo.
2. Mendeskripsikan representasi tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan
Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko
Pinurbo.
3. Menjelaskan implikasi pengajaran puisi Sajak Bulan Mei 1998 di
Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo terhadap
pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoretis maupun praktis. Adapun beberapa mantafaat yang dapat diberikan
melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah
keilmuan, khususnya sejarah Indonesia dalam pengkajian karya sastra,
bermanfaat bagi guru dan proses pembelajaran sastra Indonesia di sekolah,
serta masyarakat luas yang memiliki minat dan perhatian khusus terhadap
bidang sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sumber rujukan atau
referensial penelitian lanjutan terhadap karya-karya W.S. Rendra dan Joko
Pinurbo. Kemudian bagi pendidik, penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar
untuk meningkatkan kemampuan analisis peserta didik dalam
pembelajaran sastra, terutama dalam menganalisis struktur fisik dan batin
yang bisa memberikan gambaran tragedi Mei 1998 di Indonesia melalui
10
puisi. Lebih luas, penelitian ini dapat menambah pengetahuan sejarah
runtuhnya Orde Baru Indonesia, serta dapat membangun karakter positif
peserta didik.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Ratna menjelaskan bahwa metode deskriptif kualitatif
memperlihatkan hakikat nilai-nilai dan sumber datanya merupakan karya,
naskah, serta data formal yang digunakan ialah kata, kalimat, dan wacana.7
Oleh karena sifatnya yang deskriptif, maka semua hal yang berupa sistem
tanda penting dan saling berpengaruh satu dengan lainnya. Creswell
menambahkan bahwa penelitian deskriptif dilakukan untuk
menggambarkan sistem sosial, hubungan-hubungan sosial, atau kejadian-
kejadian sosial.8
Dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah
metode yang menyajikan data melalui gambaran atau deskripsi untuk
menyelidiki objek yang berupa kata-kata secara jelas dan sistematis.
Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis representasi
tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya
W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo dengan mengungkapkan
peristiwa, fenomena, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai media
pembentukan karakter peserta didik.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dituliskan, subjek dalam
penelitian ini adalah tinjauan representasi tragedi Mei 1998 yang tercermin
dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan
puisi Mei karya Joko Pinurbo dan sebagai objek dari penelitian ini adalah
teks puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra yang
dibuat pada tahun 1998 dan terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk
7 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 47. 8 Didik Suharjito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Bogor; IPB Press, 2019), h. 144.
11
Anak Cucu karya W.S. Rendra publikasi PT Bentang Pustaka9; dan teks
puisi Mei karya Joko Pinurbo yang dibuat pada tahun 2000 yang terdapat
dalam buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi publikasi PT Gramedia
Pustaka Utama10
, sebuah antologi puisi karya Joko Pinurbo. Kedua puisi
tersebut menjadi sumber data primer dan didukung oleh jurnal, surat
kabar, artikel, dan buku-buku lain yang menunjang penelitian.
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini dibuat agar pembahasan lebih terarah sehingga
mudah dipahami oleh pembaca. Fokus dari penelitian ini adalah
representasi tragedi Mei 1998 yang terkandung dalam puisi Sajak Bulan
Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko
Pinurbo dengan menggunakan pendekatan representasi sastra yang
berimplikasi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan oleh penulis dalam pengumpulan data
adalah kajian pustaka dan dokumentasi. Teknik kajian pustaka adalah
teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengkajian terhadap buku-
buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang
berkaitan dengan masalah yang dipecahkan. Penulis menganalisis secara
sistematis terhadap sumber data primer, yaitu puisi Sajak Bulan Mei 1998
di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo dengan
kemudian menganalisis struktur fisik, struktur batin, dan tragedi Mei 1998
melalui telaah representasi. Sementara itu, dokumentasi adalah sumber
data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik berupa sumber
tertulis, film, gambar, dan karya-karya monumental, yang semuanya itu
dapat memberikan informasi tambahan bagi proses peneitian. Penulis
mengumpulkan data dari buku, esai, jurnal, kamus, buku elektronik
(ebook), gambar, dan dokumen lain yang dapat memberikan rujukan dan
informasi dalam penelitian ini.
9 W.S. Rendra, Doa untuk Anak Cucu, (Jakarta: PT Bentang Pustaka, 2016). 10 Joko Pinurbo, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2016).
12
5. Teknik Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan proses
analisis kualitatif yang diawali dengan kegiatan membaca, mencatat,
mengumpulkan, dan mengklasifikasi, hingga membuat kategori data agar
menemukan sebuah pola dan hubungan-hubungan yang bermakna. Proses
tersebut dilakukan dengan langkah-angkah berikut.
a. Membaca dan mengidentifikasi struktur fisik dan batin yang terdapat
pada struktur puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S.
Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo. Kegiatan ini dilakukan
untuk mengaitkan unsur-unsur puisi dengan pembahasan masalah.
b. Menjelaskan struktur fisik dan batin puisi Sajak Bulan Mei 1998 di
Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo.
c. Menjelaskan representasi tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan
Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko
Pinurbo.
d. Mengimplikasikan hasil penelitian dalam rancangan pembelajaran
sastra Indonesia di sekolah.
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Puisi
1. Hakikat Puisi
Puisi termasuk salah satu karya sastra yang sudah hadir sejak zaman
dahulu hingga kini. Penyimpulan terhadap hakikat puisi tidaklah akan
menemukan definisi yang mutlak karena pada dasarnya karya sastra terus
berkembang mengikuti perubahan zaman. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Hasanuddin bahwa konsep puisi selalu bergeser dari
waktu ke waktu. Perubahan wawasan estetika para penyair ikut
memengaruhi perubahan tentang konsep puisi.1
Pengertian yang dipaparkan beberapa orang umumnya berkaitan
dengan struktur fisiknya saja atau struktur batinnya saja, tetapi ada juga
yang memberikan batasan yang meliputi keduanya. Untuk lebih meluaskan
pandangan kita tentang pengertian puisi, sebelum mengemukakan
beberapa pendapat tentang puisi, penulis menguraikan etimologi puisi.
Menurut hakikatnya, kata puisi ini adalah poetry yang erat
berhubungan dengan -poet dan –poem. Kata poet berasal dari bahasa
Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris, kata poet
ini lama sekali disebut maker. Sementara dalam bahasa Yunani sendiri,
kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya.2
Judith A. Stanford dalam bukunya mengemukakan bahwa pada
awalnya puisi sepenuhnya merupakan bentuk lisan yang diturunkan dari
pembicara ke pendengar. Saat membaca puisi, irama dan perangkat suara
(seperti sajak dan aliterasi) akan menciptakan percikan dalam pikiran kita,
terkadang harmonis, bahkan terkadang sumbang. Bayangan ini membantu
untuk menciptakan dan menekankan tema dan ide puisi. Para penyair lebih
sering menggunakan perangkat ini karena mereka berusaha menyampaikan
1 Hasanuddin W.S., Membaca dan Menilai Sajak, (Bandung: Angkasa, 2012), h. 1. 2 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2015), h. 4.
13
perasaan, pengalaman, kesenangan, dan kesedihan dengan kata-kata yang
jauh lebih sedikit. Berikut ini penegasannya.
Originally, poetry was entirely an oral form passed from a
speaker to a listener (who often then became a speaker for new
listeners). As we read poeams, the rhytms and sound devices
(such a rhyme and alliteration) shoud create spngs in our minds,
sometimes harmonious, sometimes discordant. These mental
songs help to create and emphasize the poem‟s themes and ideas.
Poets make use of these devices much more often because they
seek to convey feelings, experiences, pleasures, and sorrows in
far fewer words.3
Pengertian dasar puisi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
ialah (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta
penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya
dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang
akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat
penataan bunyi, irama, dan makna khusus; dan (3) sajak.4
Para ahli, Yohanes Sehandi misalnya, berpendapat bahwa puisi
adalah karya sastra yang terikat oleh bunyi bahasa (rima, irama, intonasi),
bentuk baris (larik), dan bait serta ditandai oleh penggunaan bahasa yang
padat.5 E. Kosasih menegaskan bahwa unsur-unsur yang membangun
tersebut menciptakan kekayaan makna dan keindahan. Menurutnya,
penggunaan bahasa dalam puisi lain halnya dengan bahasa yang digunakan
sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, tetapi maknanya
sangat kaya. Kata yang digunakannya adalah kata konotatif yang
mengandung banyak penafsiran dan pengertian.6
Dengan demikian dapat disintesiskan bahwa pengertian puisi
menurut etimologinya adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun
menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, persajakan,
dan kata-kata pilihan sehingga menciptakan rangkaian kata yang di
dalamnya memiliki multi-tafsiran.
3 Judith A. Stanford, Responding to Literature: Stories, Poems, Plays, and Essays,
(Stanford: Mc Graw Hill, 2005), h. 59. 4 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, ―puisi‖ dalam
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puisi, diakses pada 22 Agustus 2020 pukul 13.00 WIB. 5 Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), h. 61. 6 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 31.
menggunakan suara dan pola suara, mengungkapkan perasaan dan pikiran
mereka melalui gambar yang mereka buat dengan bahasa spesifik, untuk
menghidupkan imajinasi puisi. Berikut ini penjelasan keduanya.
… (1) Most poets relate experiences in ways that are meaningful
to others as well as to the poets themselves. To relate specific
experiences or massages most effectively, poets choose their
speakers carefully. (2)Poets use sounds and sound patterns to
increase the impact of their words. Some poets also give their
poems distinctive appearances. (3) Poets often express their
feelings and thoughts through images that they create with
specific, concrete language and surprising comparisons.10
7 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 25. 8 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1987), h. 13. 9 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2014), h. 7. 10 Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Best Poems, (Lincolnwood: Jamestown Publisher,
1998), h. 22.
15
Berdasarkan pendapat-pendapat yang diuraikan di atas, pada
dasarnya puisi merupakan karya sastra yang diciptakan penyair sebagai
media penyampai pesan dan makna yang dalam dan mengekspresikan
pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi
pancaindra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu
yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan
menarik, dan memberi kesan yang dibangun oleh unsur-unsur dalam
struktur fisik dan struktur batin.
2. Struktur Fisik Puisi
Penciptaan puisi adalah proses membangun puisi dengan struktur-
strukturnya. Struktur bentuk puisi disebut juga unsur pembangun puisi
secara fisik, menurut Ika Yuliana Putri. Menurutnya, unsur-unsur
pembangun puisi tersebut merupakan kesatuan struktur yang meliputi
larik, bait, pertautan, diksi, imajii, rima, dan irama.11
Sementara itu, E.
Kosasih menyimpulkan bahwa struktur fisik puisi mencakup diksi
(pemilihan kata), pengimajinasian, kata konkret, bahasa figuratif (majas),
rima/ritma, dan tata wajah (tipografi).12
Jadi, struktur fisik puisi dapat
disimpulkan sebagai unsur-unsur yang secara visual dapat dilihat dan
tampak secara langsung yang meliputi tipografi, diksi, pengimajian, kata
konkret, bahasa figuratif atau majas, dan persajakan.
a. Tipografi (Tata Wajah)
Tipografi atau perwajahan merupakan salah satu pembeda yang
penting di antara karya sastra puisi, prosa, dan drama. Larik-larik puisi
tidak berbentuk paragraf, melainkan berbentuk bait. Pada
perkembangannya, dalam puisi-puisi kontemporer dan perkembangannya,
tipografi dianggap begitu penting sehingga menggeser kedudukan makna
kata-kata.13
Tipografi adalah aspek bentuk visual puisi yang berupa tata
hubungan dan tata baris. Selain dipergunakan untuk mengedepankan arti,
kata, frasa, atau kalimat tertentu, makna puisi disugestikan, tipografi juga
digunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik agar indah dipandang
11 Ika Yuliana Putri, Apreasiasi Puisi, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 2019), h. 13. 12 E. Kosasih, Op.Cit., h. 32—36. 13
Ibid., h. 36.
16
oleh pembaca. Di samping itu, juga untuk mengedepankan arti-arti kata,
frasa, atau kalimat tertentu melalui susunan yang khas. Oleh karena itu,
tipografi juga dapat dipertimbangkan sebagai simbol pikiran dan perasaan
yang diekspresikan.
Secara sederhana, tipografi dapat disimpulkan sebagai susunan baris-
baris atau bait-bait puisi.14 Termasuk lainnya adalah pemakaian huruf-huruf
atau tanda baca tertentu untuk menuliskan kata-kata dalam puisi. Masalah
pembaitan dan ejaan juga termasuk dalm bidang tipografi. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan pembacaanterhadap puisi secara keseluruhan,
tipografi seringkali berfungsi sebagai penunjuk yang mengarahkan irama
pembacaan.
b. Diksi (Pemilihan Kata)
Peranan diksi dalam puisi begitu penting sebab diksi merupakan
esensi penulisan puisi. Perwujudan unsur diksi (seperti kosakata, bahasa
kiasan, bangunan citra, dan sarana retorika) menciptakan keselarasan
dalam membuat kata-kata tersebut terkesan tidak hanya menempel dan
merekat, tetapi dinamis dan bergerak, serta memunculkan kesan yang
hidup.15
Menurut Herman J. Waluyo, kata-kata yang digunakan oleh
penyair dipertimbangkan dengan betul dari berbagai aspek dan efek
pengucapannya.16
Jika penyair berakhir pada penggunaan kata tertentu,
tentulah kata tersebut paling akurat dalam mewakili maksud yang ingin
diuraikannya.
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab penggunaan
kata harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan
irama, bahkan kedudukan kata tersebut dalam konteks kata lainnya, serta
kedudukannya dalam keseluruhan isi puisi itu. Oleh karena itu, di
samping memilih kata yang tepat, penyair pun mempertimbangkan urutan
katanya dan kekuatan atau daya makna dari kata-kata tersebut. selain itu,
pemilihan kata-kata mempertimbangkan aspek estetis, maka pemilihan
bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat.
14 Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Puisi, Cet. II, (Yogyakarta: Gama Media, 2008),
h. 330. 15 Ibid., h. 143—144. 16
Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 3.
17
c. Pengimajian
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau susunan
kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Suminto A. Sayuti menerangkan
bahwa sebuah kata atau kata-kata membawa pengalaman keindraan atau
kesan ke dalam rongga imajinasi manusia yang mengasosiasikan indra-
indra pembaca sehingga mampu menangkap makna yang dikomunikasikan
oleh penyair.17
Lebih lanjut lagi menurut Hasanuddin, di dalam sajak
diperlukan adanya kekonkretan gambaran, kejelasan, dan hidupnya
gambaran. Dengan demikian, pembaca atau penikmat sajak dapat turut
merasakan dan hidup dalam pengalaman batin penyair, sehingga ide-ide
abstrak yang sebelumnya tidak bisa ditanggap alat-alat indra manusia,
diberi gambaran atau dihadirkan dalam gambar-gambar indraan. Dengan
begitu, ide yang semula abstrak dapat ditangkap seolah-olah dilihat,
didengar, dirasa, dicium, diraba, atau dipikirkan. Olehsebab itu, gambaran
menjadi sangat jelas nyata yang membuat timbulnya suasana tertentu di
dalam batin pembaca.18
Dalam penciptaan puisi, menurut Patricia Opaskar dan Mary Ann
Trost, penyair banyak mengandalkan penciptaan imaji melalui kata-kata
yang menghadirkan gambaran mental bagi pembaca. Biasanya imaji-imaji
yang menarik bagi satu atau lebih indra, di antaranya penglihatan,
pendengaran, pengecapan, penciuman, dan sentuhan sehingga mereka
disebut imaji sensorik.19
Jadi, pengimajian adalah kata atau susunan yang dapat menimbulkan
khayalan atau imajinasi yang mengajak pembaca untuk bisa menghadirkan
imaji yang dibangun oleh penyair dalam puisi. Penggambaran imaji-imaji
tersebut untuk menimbulkan suasana yang khusus dan membuat lebih
hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik
perhatian pembaca. Imaji-imaji tersebut diuraikan oleh Herman J. Waluyo
sebagai berikut.
17 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 169—171. 18 Hasanuddin W.S., Op. Cit., h. 78. 19
Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 93.
18
1) Imaji pendengaran (auditif)
Imaji auditif adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga
pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan
oleh penyair. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang
berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori
pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio.20 Baris
atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara. Jika penyair
menginginkan imaji pendengaran, maka ketika menghayati puisi itu,
kita seolah-olah mendengarkan sesuatu.
2) Imaji penglihatan (visual)
Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan
apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh
pembaca. Imaji visual tersebut mengusik indra penglihatan pembaca
sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya
sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan
visual itu.21 Baris atau bait puisi itu seolah mengandung benda yang
tampak. Jika penyair ingin melukiskan imaji pengelihatan, maka
puisi itu seolah-olah melukiskan sesuaitu yang bergerak-gerak.
3) Imaji perasaan (taktil)
Imaji taktil merupakan penciptaan ungkapan oleh penyair yang
mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh
perasaannya.22
Baris atau bait puisi itu seolah mengandung sesuatu
yang bisa kita rasakan, raba, atau sentuh. Jika imaji taktil yang ingin
digambarkan, maka pembaca seolah-olah mersakan sentuhan
perasaan.
4) Imaji rabaan (taktil)
20 Ali Imron dan Farida Nugahani, Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi, (Surakarta: CV
Djiwa Amarta, 2017), h. 58. 21 Ibid. 22
Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 10—11.
19
Imaji taktil merupakan penciptaan ungkapan oleh penyair yang
mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh
perasaannya.23
Baris atau bait puisi itu seolah mengandung sesuatu
yang bisa kita rasakan.
Pengimajian juga berarti mengingatkan kembali pengalaman yang
pernah terjadi karena kemahiran penyair dalam menggambarkan suatu
peristiwa juga sebagai usaha penyair untuk menciptakan menggugah
timbulnya imaji dalam diri pembacanya sehingga pembaca tergugah untuk
menggunakan daya bayangnya untuk melihat benda-benda, warna, dengan
daya dengarnya menangkap bunyi-bunyian, dan dengan perasaannya dapat
menyentuh dan merasakan keindahan.
d. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus
diperkonkret atau diperjelas. Kata konkret merupakan syarat atau
penyebab terjadinya pengimajian sehingga pembaca dapat membayangkan
secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan penyair.24
Kata
konkret atau concrete language merujuk kepada kata-kata atau frasa-frasa
yang menggambarkan sesuatu yang dapat dialami oleh indra. Lebih lanjut
Patricia Opaskar dan Mary Ann menguatkan bahwa concrete language
begitu spesifik menciptakan gambaran di benak pembaca dan menarik
semua indra yang diasosiasikan oleh pembaca dengan objek tertentu.25
Setiap penyair berusaha mengkonkretkan hal yang ingin dikemukakannya
agar pembaca membayangkan dengan lebih hidup apa yang dimaksudnya.
e. Bahasa Figuratif (Majas)
Karya sastra puisi sangatlah kdengan bahasa bermajas. Mengutip
Sudjiman, Hasanuddin mengemukakan bahwa bahasa bermajas adalah
bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja
disimpangkan dari susunan dan arti biasa, dengan maksud mendapatkan
kesegaran dan kekuatan ekspresi dengan cara memanfaatkan
perbandingan, pertentangan, atau pertautan antara hal satu dengan hal
23 Ibid. 24 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 81. 25
Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 94.
20
lain.26
Bahasa figuratif (majas) ialah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata
lain. Majas mengiaskan atau mempersamakan sesuatu dengan yang lain.
Maksudnya, agar gambaran benda yang dibandingkan itu lebih jelas.
Penggunaan gaya bahasa atau majas ini dipandang lebih efektif
untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena mampu
menghasilkan imaji tambahan sehingga sesuatu yang abstrak menjadi
konkret dan menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya.
Bahasa figuratif mengarahkan pembaca untuk berpikir kreatif.
Penyair mencoba mencari perbandingan baru untuk menyatukan dua hal
yang berbeda dengan sedemikian rupa sehingga pembaca dipaksa untuk
memikirkan hal-hal umum dengan cara yang tidak biasa. Membuat
perbandingan dikenal sebagai menggunakan bahasa kiasan (majas).
Metafora, simile, dan jenis perbandingan lainnya merupakan contoh majas.
Menurut Patricia, bahasa kiasan memiliki karakteristik sebagai berikut.
Poets can use effective methapors, similes, or other figure of
speech to help readers discover unexpected similarities between
two people or objects. Figure of speech evoke in readers
particular ideas and feelings, enabling the poet to express thems
more powerfully than would otherwise be possible.27
Puisi dapat menggunakan majas yang efektif untuk membantu
pembaca menemukan kesamaan yang tidak terduga antara dua orang atau
objek. Majas dapat membangkitkan ide dan perasaan tertentu pada
pembaca dan memungkinkan penyair bisa mengekspresikan tema dengan
lebih kuat daripada yang memungkinkan. Bahasa kiasan yang cenderung
digunakan dalam puisi dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu
kelompok perbandingan (metafora-simile), penggantian (metonimi-
sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi).28
1) Perumpamaan dan Perbandingan (Metafora dan Simile)
26 Hasanuddin W.S. Op. Cit., h. 107. 27 Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit. h. 162. 28
Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 195.
21
Metafora merupakan perbandingan yang memperlakukan dua hal
seolah-olah mereka identik.29
Dalam metafora, perbandingannya
bersifat implisit, yakni tersembunyi di balik ungkapan
harfiahnya. Sementara itu, simile bentuk perbandingannya
bersifat eksplisit, yang ditandai oleh unsur konstruksional
semacam kata seperti, serupa, bagai, laksana, bagaikan, bak,
dan ada kalanya juga morfem se-.30
Pengiasan langsung artinya
benda yang dimaksud itu tidak disebutkan, sementara
perbandingan atau simile merupakan pengiasan tidak langsung
artinya benda atau hal yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama
pengiasnya.
2) Penggantian (Metonimi dan Sinekdoki)
Metonimi merupakan jenis bahasa kias yang berwujud pelekatan
atribut sebuah objek atau sesuatu yang hubungannya erat untuk
menggantikan objek tersebut. Sementara sinekdoki merupakan
satuan ungkapan yang ditandai adanya perwakilan sebagian bagi
keseluruhan atau sebaliknya, perwakilan keseluruhan bagi
sebagian.31
3) Pemanusiaan (Personifikasi)
Personifikasi adalah ungkapan yang ditandai oleh adanya
penautan yang bukan manusia dengan ciri kemanusiaan, tautan
antara noninsani dengan insani.32
Pengiasan ini merujuk pada
keadaan atau peristiwa alam yang dianggap sebagai manusia atau
persona. Bend-benda mati dibuat seolah dapat bergerak, berpikir,
dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini membuat hidup
daya bayang yang konkret.
29 Judith Ferster, Arguing Through Literature, (New York: McGraw-Hill Companies,
2005), h. 117. 30 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 196. 31 Suminto A. Sayuti, Puisi, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2019), h. 4.4, dalam
http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=PBIN421302 diakses pada 11 Oktober 2020. 32
Gaya bahasa ini dimanfaatkan oleh penyair dalam upaya
menggambarkan objek, ide, dan lain-lain dengan memberi bobot
tekanan secara berlebihan untuk memperoleh efek yang intens.33
Sementara itu, Gorys Keraf mengklasifikasikan gaya bahasa
menurut penggunaannya dalam aspek kebahasaan, salah satunya
berdasarkan struktur kalimat, yaitu mencakup klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antitesis, dan repetisi.34
Berikut ini uraian masing-masing
jenis gaya bahasa tersebut.
1) Klimaks
Gaya bahasa klimaks diturunkan dari gaya yang bersifat
periodik, yakni bagian terpenting atau gagasan yang ditekankan
terletak di bagian akhir kalimat.35
Gaya bahasa ini berupa
susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung
penekanan.36
Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali makin
meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
2) Antiklimaks
Sebagai bentuk yang berkebalikan dari klimaks, antiklimaks
memiliki susunan kalimat yang mengendur. Oleh karena itu,
gaya bahasa ini mengurutkan gagasan-gagasan yang terpenting
berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.37
3) Paralelisme
Paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata, frasa-frasa yang
menduduki fungsi gramatikal yang sama. Bentuk paralelisme
biasanya dipergunakan untuk menonjolkan kata atau kelompok
kata tertentu yang sama fungsinya.
33 Siswantoro, Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2002), h. 34. 34 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 2006), h. 124—127. 35 Ibid., h. 124. 36 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2021), h. 79. 37
Gorys Keraf, Op. Cit., h. 125.
23
4) Antitesis
Gaya antitesis menghadirkan perbandingan atau komparasi
antara dua antonim (kata-kata yang mengandung ciri-ciri
semantik yang bertentangan).38
Gaya bahasa ini mengandung
gagasan-gagasan yang bertentangan, biasanya mempergunakan
kelompok kata-kata yang berlawanan.
5) Repetisi
Gaya repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan
dalam sebuah konteks yang sesuai. Gaya repetisi ini pun
bervariasi, di antaranya perulangan kata atau frasa pertama,
perulangan kata atau frasa pada akhir baris, perulangan kata atau
frasa pada tengah-tengah baris, dan lainnya.39
f. Rima (Persajakan)
Suminto A. Sayuti memperluas pemaknaan rima sebagai kesamaan
dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih yang
bertempat di akhir kata maupun perulangan bunyi yang disusun pada
rentangan tertentu secara teratur.40
Rima (dimaknai sebagai persajakan)
merupakan unsur yang memperindah puisi. Hampir setiap penyair amat
memperhatikan aspek persajakan dalam puisi-puisinya terutama untuk
menimbulkan pemaknaan yang kuat yang dihasilkan dari pola
persajakannya.
Penyair mengulangi suara konsonan dan vokal yang dipilih untuk
menghubungkan kata atau ide, untuk menarik perhatian ke kata-kata
tertentu, dan untuk menyarankan suasana hati tertentu. Banyak penyair
membuat pola suara menarik dengan kata-kata berima. Dalam penyusunan
kata-katanya untuk menghasilkan irama yang teratur, mereka
memvariasikan ritme agar tidak terdengar monoton.41
Persajakan
merupakan perulangan yang sama dalam puisi. Pengertian ini dapat
diperluas sehingga persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan dan atau
38 Henry Guntur Tarigan, Op. Cit., h. 223. 39 Gorys Keraf, Op. Cit., h. 127. 40 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 104-105. 41
Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 130.
24
kemiripan bunyi tertentu di akhir kata, maupun yang berupa perulangan
bunyi-bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu
secara teratur.
Persajakan dalam puisi pun dapat diklasifikasikan. Dilihat dari segi
bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak
mutlak, aliterasi, dan asonansi. Sementara dari posisi kata yang
mengandungnya, dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang,
sajak berangkai, dan sajak berpeluk.42
Klasifikasi tersebut bersifat tidak
mutlak sebagaimana sifat puisi yang dinamis. Sebuah larik bisa saja
mengandung berbagai pola persajakan sekaligus. Hal yang penting adalah
bagaimana persajakan yang digunakan menambah estetikanya suatu puisi
atau tidak.
3. Struktur Batin Puisi
Selain struktur fisik yang diuraikan sebelumnya, puisi disusun oleh
unsur-unsur batin yang membangunnya. Herman J. Waluyo mengungkapkan
ada empat unsur batin yang membangun puisi, yakni tema (sense), perasaan
penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan
amanat (intention).43
a. Tema (Sense)
Tema atau sense merupakan gambaran dunia yang diciptakan
penyair. Gambaran ini dapat diperoleh melalui pertanyaan ‖Apa yang
ingin disampaikan penyair melalui puisi yang diciptakannya?‖44
Tema
merupakan gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya.
Tema berfungsi sebagai landasan utama penyair dalam puisinya.
Tema puisi bersifat lugas, objektif, dan khusus. Tema puisi harus
dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang
terimajinasikan. Oleh karenanya, tema bersifat khusus (penyair), tetapi
objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).45
Dalam
penciptaan puisi, seorang penyair selalu mempunyai keinginan dan tujuan.
42 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 105. 43 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 106. 44 Maman Suryaman dan Wiyatmi, Puisi Indonesia, (Yogyakarta: 2013), h. 85. 45
Ibid., h. 106—107.
25
Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui
puisinya. Seringkali mereka ingin berbagi pesan bijak dan wawasan hidup
dengan pembaca melalui tema yang disampaikan.46
Adapun tema-tema
yang terdapat dalam puisi, di antaranya tema ketuhanan, tema
kemanusiaan, tema patriotisme atau kebangsaan, tema kedaulatan rakyat,
dan tema keadilan sosial.
Tema ketuhanan (religius) merupakan tema yang mampu membawa
manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan, dan
menghargai alam seisinya. Tema kemanusiaan sering digambarkan melalui
peristiwa atau tragedi yang terjadi dalam puisi. Penyair berusaha
meyakinkan pembaca tentang ketinggian martabat kemanusiaan. Oleh
karena itu, manusia harus dihargai, dihormati, diperhatikan hak-haknya,
dan diperlakukan secara adil dan manusiawi. Sementara tema patriotisme
atau kebangsaan, biasanya penyair mengajak pembaca untuk meneladani
orang-orang yang telah berkorban demi bangsa dan tanah air. Tema
kedaulatan rakyat biasanya menggambarkan bahwa rakyat memiliki
kekuasaan karena sebenarnya rakyatlah yang menentukan pemerintahan
suatu negara. Sementara tema keadilan sosial sering ditampilakn oleh
puisi-puisi yang menuntut keadilan bagi kaum tertindas. Puisi tersebut
biasanya kerap disebut puisi protes sosial karena mengungkapkan protes
karena ketidakadilan di dalam masyarakat yang dilakukan oleh kaum kaya,
penguasa, bahkan negara terhadap rakyat jelata.47
b. Perasaan (Feeling)
Perasaan merupakan sikap penyair terhadap persoalan-persoalan
yang dikemukakan dalam puisinya. Perasaan yang menjiwai puisi dapat
berupa perasaan gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, takut, patah
hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, dan menyesal.48
Pengutaraan
rasa dan tema berkaitan erat dengan latar belakang penyair, baik sosial
maupun psikologis. Misanya, latar belakang agama, pendidikan, kelas
sosial, pengalaman sosiologis dan psikologis, usia, atau bahkan jenis
46 Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 231. 47 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 17—28. 48
Ibid., h. 40.
26
kelamin. Dengan demikian, meskipun hendak mengungkapkan tema yang
sama, penyair yang satu akan menghasilkan puisi yang berbeda dengan
penyair lainnya.
c. Nada dan Suasana (Tone)
E. Kosasih mengungkapkan bahwa dalam menulis puisi, penyair
memiliki sikap tertentu terhadap pembaca: apakah dia ingin bersikap
menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya
menceritakan sesuatu kepada pembaca. 49
Dalam hal tersebut, nada atau
tone merupakan sikap penyair terhadap pembacanya. Sikap ini akan
sejalan dengan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang
dihadapinya.50
Usai membaca puisi, sebagai seorang pembaca kerap mengalami
seolah merasakan suasana yang terbawa dalam puisi tersebut. Membaca
puisi terasa lebih hidup ketika pembaca merasakan suasana yang
diciptakan penyair. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi.
Adapun suasana adalah akibat yang ditimbulkan puisi itu terhadap jiwa
pembaca.
d. Amanat (Intention)
Amanat merupakan pesan moral atau ajaran yang dapat dipetik dari
sebuah karya sastra, puisi misalnya. Tentu saja untuk dapat memetik atau
mengambil ajaran atau pesan moral dalam sebuah karya sastra diperlukan
interpretasi terhadap karya sastra.51
Amanat yang hendak diutarakan oleh
penyair dapat ditelaah usai pembaca memahami tema, rasa, dan nada puisi
itu. Karya sastra termasuk puisi selain sebagai hiburan, tentu juga
berfungsi sebagai sarana pendidikan. Amanat, pesan, dan nasihat
merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi.
Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca melalui sikap dan pengalaman
pembaca. Selain itu, amanat tidak dapat lepas dari tema da nisi puisi yang
dikemukakan penyair.
49 E. Kosasih, Op. Cit, h. 39. 50 Maman Suryaman dan Wiyatmi, Op. Cit., h. 84. 51Ali Imron Al-Ma‘ruf dan Farida Nugrahani, Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi,
(Surakarta: CV Djiwa Amarta Press, 2017), h. 71.
27
Berdasarkan uraian struktur puisi di atas, dapat diketahui bahwa puisi
bersifat sistemis. Sistemis yang dirujuk yakni susunan unsur-unsur yang
bersistem, yang antar-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling
menentukan. Jadi, unsur-unsur dalam sebuah puisi saling terikat, saling
berkaitan, dan saling bergantung.
B. Representasi dalam Sastra
Hal mengungkapkan pengertian dasar representasi bahwa menurutnya
konsep tentang representasi memiliki tempat baru dan penting dalam studi
kebudayaan. Representasi menghubungkan makna dalam bahasa untuk
kebudayaan. Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan
sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili dunia yang penuh makna.
The concept of representation has come to occupy a new and
important place in the study of culture. Representation connects
meaning and language to culture. Representation means using
language to say something meaningful about, or to represent, the
world meaningfully.52
Dwi Susanto mengutip Gayatri Spivak (1990) yang memperkenalkan
dua istilah untuk representasi. Pertama, dia mendefinisikannya sebagai politik
atau membicarakan seseorang, hasrat seseorang, atau sesuatu. Kedua,
representasi sebagai ‗wakil‘ dan ‗lukisan orang‘.53
Representasi dalam politik
berarti beberapa orang yang dipilih oleh rakyat dan berpihak kepada
masyarakat secara keseluruhan sebagai ‗perwakilan‘ mereka dalam kongres
atau parlemen. Hal yang sama berlaku dalam bahasa, media, dan komunikasi,
representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan hal lainnya yang
mewakili ide, emosi, fakta, dan sebagainya.54
Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan
dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang
bermacam-macam atau sistem tekstual. Hal ini melalui fungsi tanda
52 Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, (Great
Britain: Sage Publicatons Ltd., 1997), h. 5. 53 Dwi Susanto, ―Representasi dalam Cerita Pieter Elberveld Karya Tio Ie Soei: Suatu
Kajian Pascakolonial‖, dalam http://journals.ums.ac.id/index.php/KLS/article/view/4952, (Jurnal
Kajian Linguistik dan Sastra, 2008), h. 13 diakses pada 22 Oktober 2020. 54 John Hartley, Communication, Cultural, & Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta:
sarjana muda. Pada 2008 ia memperoleh gelar doctor honoris causa dari
universitas ini.2
Sejak di bangku sekolah dasar, W.S. Rendra aktif membaca karya-
karya sastra dan mulai menulis sajak, mengarang, dan mementaskan drama
untuk kegiatan di sekolahnya. Tulisannya meliputi berbagai bidang seni, yaitu
puisi, cerita pendek, esai, dan drama, hingga kegiatannya tidak lepas bermain
drama dan membaca puisi. Ketika bersekolah di SMA ia telah menerbitkan
majalah drama sejumlah 500 eksemplar. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam
berbagai majalah tahun 50-an. Hingga saat ini, beberapa karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda.3
W.S. Rendra adalah seorang seniman dan memulai pekerjaannya di
atas panggung. Ia membentuk dan menghidupkan grup teater di Yogyakarta
(yang dinamainya Bengkel Teater) setelah kembali dari perjalanan keduanya
ke Amerika pada tahun 1968. Hingga kini Bengkel Teater Rendra sangat
terkenal di Indonesia dan tetap menjadi basis untuk kegiatan keseniannya.
Bengkel Teater tersebut memberi suasana baru dalam kehidupan teater
Indonesia.
Karya-karya sastra yang sejak awal ia baca terutama karya-karya
Chairil Anwar. Dalam perjalanannya, W.S. Rendra amat mengagumi
Frederico Garcia Lorca, penyair Spanyol yang juga membawa pengaruh besar
dalam aliran romantik atau kembali ke alam. Kekagumannya sampai-sampai
ia menyelaraskan singkatan F.G. Lorca dengan namanya menjadi W.S.
Rendra.
Namanya sebagai sastrawan besar amat mashur hingga kini sejak
tahun 1950-an. Julukan sebagai ―Si Burung Merak‖ diberikan karena
penampilannya sebagai deklamator selalu penuh pesona. W.S. Rendra adalah
salah satu penyair penting asal Jawa yang di dalam puisi-puisinya tak dapat
menghindarkan diri dari pengaruh kebudayaan (Jawa) yang telah melahirkan
dan membesarkannya.4
2 Ibid. 3 Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud, Sastrawan Indonesia Penerima
Hadiah Sastra Asia Tenggara, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 3—5. 4 Maman S. Mahayana, Op. Cit., h. 178.
40
Sebagai salah satu tokoh utama penyair 1950-an, di mana periode ini
disebut sebagai periode romantik dan kembali ke alam. Puisi-puisi yang
digubahnya pada tahun 1950-an tentu beraliran romantik. Di samping
terwujud dalam puisi bertema cinta dan petualangan, juga tampak pada kata
pengantar kumpulan puisinya bahwa ia menuis karena perasaan, gunung-
gunung, daun-daun, dan air sungai (bersifat mementingkan emosi dan banyak
melukiskan alam). Di tahun-tahun tersebut W.S. Rendra juga banyak menulis
puisi-puisi naratif balada. Balada-balada karyanya tersebut dikumpulkan
dalam buku Ballada Orang-orang Tercinta.
Umumnya puisi-puisi W.S. Rendra ada tiga jenis, yaitu puisi romantik
(tahun 1950 sampai 1960), puisi protes sosial (Blues untuk Bonnie, 1971;
Potret Pembangunan dalam Puisi, 1978; Orang-orang Rangkas Bitung,
1996) serta puisi-puisi renungan hidup (Disebabkan Karena Angin, 1997).
Puisi-puisi romantiknya sangat lembut, manis, dan alami, kemudian
dikumpulkan dalam Empat Kumpulan Sajak (1961), Balada Orang-orang
Tercinta (1957), dan Sajak-sajak Sepatu Tua (1972). Empat Kumpulan Sajak
terdiri atas empat bagian, yaitu ―Kakawin-kawin‖, ―Malam Stanza‖,
―Nyanyian dari Jalanan‖, dan ―Sajak-sajak Dua Belas Perak‖. ―Kakawin-
kawin‖ mengisahkan romantisnya masa pacaran sampai perkawinan W.S.
Rendra dengan Sunarti Suwandi, seorang penyanyi seriosa, putri seorang
tokoh dan pengasuh acara musik di RRI Yogyakarta.5
Puisi W.S. Rendra mengandung banyak lambang. Penciptaan lambang
ini merupakan kekhususan dan sekaligus kelebihannya dalam berpuisi.
Penyair hebat ini adalah perpaduan antara berbagai pesona dari sikap kritis
yang berani, pandangan sosial-politik yang tajam, sikap budaya yang kokoh,
drama dan teater yang aktual, puisi liris yang lembut, puisi sosial yang aktual,
dan pembacaan puisi yang memukau.6 Muncul sebagai sastrawan Indonesia,
W.S. Rendra memilih jalur perlawanan pada apapun yang dianggapnya
5 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 81. 6Jamal D. Rahman, dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 403—404.
41
bertentangan dengan harkat dan hak asasi manusia. Itulah sebabnya puisi-
puisinya dikenal sebagai puisi-puisi protes.7
Ia adalah salah satu dari sedikit seniman Indonesia yang mau dan
mampu merumuskan pemikiran kebudayaan dan pendirian-pendirian
keseniannya. Sebagai seniman, dia tidak melihat kebudayaan dengan dingin
dalam sikap ketat seorang peneliti, melainkan sebagai orang-dalam yang
secara sadar turut memberi bentuk kepada kebudayaan itu.8 Kesadaran alam
dan kesadaran budaya sangat memengaruhi W.S. Rendra sebagai seniman,
khususnya sebagai penyair, dan kesadarannya sebagai pemikir kebudayaan.
Karya-karya W.S. Rendra antara lain adalah yang berbentuk (1)
kumpulan puisi a) Balada Orang-Orang Tercinta (1957), b) Kumpulan Sajak
(1961), c) Blues untuk Bonnie (1971), d) Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972), e)
Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), f) Nyanyian Orang Urakan (1985),
g) Disebabkan oleh Angin (1993), dan h) Orang-Orang Rangkasbitung
(1993), (2) naskah drama a) Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), b)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (1967), c) Mastodon dan Burung Kondor
(1972), d) Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), e) SEKDA (1977), dan f)
Panembahan Reso (1986), (3) pentas drama (teater) dengan naskah
pengarang lain, antara lain, a) ―Paraguay Tercinta‖ (1961) karya Fritz
Hochwalder, b) ―Oedipus Sang Raja‖ karya Sophocles, c) ―Oedipus di
Colonus‖ karya Sophocles, d) ―Antigone‖ karya Sophocles, e) ―Lysistirata‖
karya Aristophanes; f) ―Menunggu Godot‖ karya Samuel Beckett, g)
―Macbeth‖ karya William Shakespeare, h) ―Hamlet‖ karya William
Shakespeare, i) ―Pangeran Homburg‖ karya Heinrich von Kleist, j) ―Kasidah
Barzanji‖ karya Al Barzanji terjemahan Syu'bah Asa, k) ―Egmont‖ karya
Goethe, (4) pentas drama karya sendiri (a) ―Mastodon dan Burung Condor‖
(1973), (b) ―Perjuangan Suku Naga‖, (c) ―Panembahan Resso‖, (d) ―Sabda‖
(banyolan), (5) Kumpulan Esai Mempertimbangkan Tradisi (1983).
7 Maman S. Mahayana, Op. Cit., h. 179. 8 W.S. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 101.
42
2. W.S. Rendra sebagai Penyair
Selain dikenal sebagai dramawan, W.S. Rendra menyebut dirinya
sebagai penyair. Dalam wawancaranya dengan majalah Gamma, ia diminta
untuk mendeskripsikan siapa dirinya. Ia menjawab dengan lugas ―penyair!‖.9
Dr. Boen S. Oemajati juga pernah membenarkan bahwa W.S. Rendra adalah
penyair. Dia menyebutkan bahwa W.S. Rendra ini pada hakikatnya seorang
penyair, seorang yang ajek menyelami dunia dan sekitarnya melalui intuisi
seorang penyair. 10
W.S. Rendra memang seorang penyair, dia menyampaikan
pesan dan gagasannya dengan medium sajak atau puisi.
Kumpulan puisi W.S. Rendra yang pertama adalah Ballada Orang-
orang Tercinta pada tahun 1957. Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku,
puisi-puisi tersebut telah dimuat dalam majalah Kisah. Tidaklah
mengherankan jika ia telah dikenal sebagai penyair, sebelum buku
pertamanya diterbitkan.11
Dalam puisi ini memunculkan pembaruan dari
puisi-puisi yang pernah ditulis oleh penyair-penyair lain yaitu dalam bentuk
balada. W.S. Rendra adalah penyair pertama yang menghadirkan balada
dalam kahazanah perpuisian Indonesia.
Di awal berkeseniannya, W.S. Rendra menulis puisi dan mementaskan
drama. Keduanya mempunyai napas yang sama, yaitu tidak lepas dari
kehidupan nyata. Dalam berkeseniannya berkiblat pada pesan-pesan Raden
Mas Soedjono atau Sultan Hamengkubowono I. Ia pun menulis ―Latihan
Sultan Hamengku Buwono di Masa Remaja‖. W.S. Rendra benar-benar
memahami dan mendalami sosok inspirasinya tersebut. Dari Sri Sultan yang
diajarkan oleh Mas Janadi (pengasuh Rendra saat Remaja), ia mendapat
sebuah falsafah “manjing sajroning kahanan” atau masuk dalam keadaan
(kenyataan). W.S. Rendra dalam puisi-puisinya selalu mengungkapkan
persoalan-persoalan kehidupan nyata yang langsung dilihat, dihayati, dan
dialaminya. Situasi aktual dan penuh kritik sosial seperti menjadi ciri khas
dalam puisi-puisinya yang syarat dengan tema kemanusiaan, politik, dan
sebagainya.
9 Bakdi Sumanto, Rendra Karya dan Dunianya, (Jakarta: Grasindo, 2017), h. 161. 10 Edi Haryono, Membaca Kepenyairan Rendra, (Yogyakarta: Kepel Press, 2005), h. 256. 11
Bakdi Sumanto, Op. Cit., h. 162.
43
Kumpulan puisi lain yang ia tulis adalah Blues untuk Bonie yang saat
berada di Amerika. Selanjutnya, kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam
Puisi diterbitkan pada tahun 1983. Keduanya banyak mengungkapkan
kemanusiaan dan kritik sosial terhadap kekuasaan. Dalam Potret
Pembangunan dalam Puisi, W.S. Rendra berpihak pada kaum lemah miskin.
Ia bersimpati kepada mereka yang tertindas, terimpit, terampok, dan
kehilangan daya hidupnya. Ia ingin membangkitkan daya hidup mereka.
Daya hidup yang dimaksud W.S. Rendra adalah daya kreasi, akal
sehat, daya tumbuh kembang dalam diri manusia. Karena hidup bagi penyair
ini adalah kebudayaan, yang mesti selalu diolah dan dikembangkan.12
Sedangkan daya mati bukan mati secara kodratnya melainkan sifat yang
mengganggu daya hidup.
3. W.S. Rendra dan Tragedi 1998
Bulan Mei 1998 dipenuhi tangis dan darah. Amarah meledak di
hampir seluruh pojok Jakarta, juga di beberapa kota lain di Indonesia. Entah
berapa persisnya orang yang meregang nyawa di pertokoan dan gedung
perkantoran yang sengaja dibakar, entah oleh siapa. Tak pernah ada proses
yang terang benderang untuk mengusut kekejian di hari-hari gelap yang
disusul kejatuhan penguasa Orde Baru, Soeharto.
Peristiwa ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan
tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat
pun berkurang.13
Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional
gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan
agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.
Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung
DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di
Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat
bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organ mahasiswa
yang mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena
mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa
12Ibid., h.. 27. 13 Pusat Data dan Analisis Tempo, Detik-detik Terjadinya Kerusuhan Mei 1998, (Jakarta:
Tempo Publishing, 2019), h. 44.
44
menuntut lengsernya Sang Presiden tercapai pada tanggal 21 Mei 1998, tapi
perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi semanggi dengan
gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat militer
bersenjata.
W.S. Rendra melalui Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia ingin
mengemukakan tentang jatuhnya sebuah rezim kekuasaan dikarenakan
kepercayaan telah dilanggar, ketika hukum tak lagi berarti, hingga rakyat
menjadi korban. Masa kejatuhan seorang penguasa dan kekuasaannya
dikiaskan dengan ―bulan gelap raja-raja‖. Pada bulan gelap raja-raja inilah
terjadi pergolakan di masyarakat, di mana korban-korban berjatuhan dan rasa
amarah telah mendominasi hati dan pikiran manusia. Dengan demikian, inilah
sisi buram kehidupan sebuah ketragisan hidup dan nasib manusia.
B. Joko Pinurbo
1. Biografi dan Pemikiran
Joko Pinurbo merupakan sastrawan Indonesia terkemuka di masa
2000-an hingga kini. Dikenal sebagai penyair yang lahir di Sukabumi, Jawa
Barat pada 11 Mei 1962. Karya-karyanya telah menorehkan gaya dan warna
tersendiri dalam dunia puisi Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan
terakhirnya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas)
prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari apa yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan
metode sesuai kaidah keilmuan.
118
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi
3.17 Menganalisis unsur-unsur
pembangun puisi.
3.17.1 Mendefinisikan unsur-unsur pembangun puisi
(intrinsik dan ekstrinsik).
3.17.2 Mengklasifikasi unsur-unsur pembangun
puisi (intrinsik dan ekstrinsik).
3.17.3 Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun
puisi (intrinsik dan ekstrinsik).
4.17 Menginterpretasi unsur-
unsur pembangun puisi.
4.17.1 Menguraikan hasil identifikasi unsur-unsur
pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).
4.17.1 Mempresentasikan hasil identifikasi unsur-
unsur pembangun puisi (intrinsik dan
ekstrinsik).
C. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, peserta didik diharapkan mampu:
1. Mendefinisikan unsur-unsur pembangun puisi.
2. Mengklasifikasi unsur-unsur pembangun puisi.
3. Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun puisi.
4. Menguraikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi.
5. Mempresentasikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi.
D. Materi Pembelajaran
1. Pengertian puisi.
2. Unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).
E. Pendekatan, Metode, dan Model Pembelajaran
Pendekatan: Saintifik
Model: Discovery Learning
Metode: Diskusi, tanya jawab, dan penugasan
F. Media, Bahan, dan Sumber Belajar
1. Media/Alat
- Laptop
- Infokus
- Power Point
119
2. Bahan
- Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi
Mei Karya Joko Pinurbo
3. Sumber Belajar
- Kemendikbud. Buku Guru Bahasa Indonesia Kelas X. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017.
- Priyatni, Endah Tri. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam
Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.
G. Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Ke-1 (2x45 menit)
No Urutan Kegiatan PPK
4C
Literasi HOTS Waktu Berpikir
Kritis
Komuni
katif
Kolabo
ratif
Kreat
if
1
Kegiatan Pendahuluan
15
Menit
Orientasi Guru datang tepat waktu.
Guru mengucapkan salam dan direspons oleh peserta didik sebagai tanda syukur kepada Tuhan.
Guru menanyakan kabar peserta didik, mengecek kebersihan kelas, dan
absensi.
Mendoakan peserta didik yang tidak hadir karena sakit atau halangan lainnya.
Apersepsi Peserta didik menerima informasi tentang materi pelajaran yang akan
dibahas.
Peserta didik menerima informasi tentang kompetensi, tujuan, dan manfaat pembelajaran yang akan dicapai.
Peserta didik menerima informasi
secara proaktif tentang keterkaitan materi sebelumnya dengan materi yang akan dibahas.
Motivasi Peserta didik diberi tahu bahwa materi pelajaran harus dikuasai dan dikerjakan secara sungguh-sungguh, sehingga mereka mampu memahami
dan menjelaskan informasi yang ada di dalam teks karya ilmiah baik yang didengar maupun yang dibaca.
2
Kegiatan Inti
60
Menit
Pemberian Rangsangan Peserta didik dibagi menjadi 4 kelompok diskusi.
Peserta didik diberi pertanyaan tentang definisi puisi dan unsur-unsur pembangunnya (intrinsik dan ekstrinsik)
Peserta didik membaca secara cermat
120
unsur-unsur pembangunnya (intrinsik
dan ekstrinsik)
Guru menanyakan informasi yang ditangkap oleh peserta didik berkaitan dengan definisi puisi dan unsur-unsur pembangunnya (intrinsik dan ekstrinsik).
Identifikasi Masalah
Peserta didik membaca secara cermat tentang definisi dan unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik) yang ditampilkan melalui powerpoint.
Peseta didik menyimakpenjelasan guru tentang definisi dan unsur-unsur
pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik)
Pengumpulan Data Secara berkelompok, peserta didik ditugaskan untuk mengidentifikasi unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).
Pengolahan Data Peserta didik mendiskusikan unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik) yang diidentifikasi.
Pemeriksaan Data Masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil identifikasi dan ditanggapi oleh kelompok lain.
Penarikan Simpulan Setiap kelompok dibimbing untuk menyimpulkan hasil diskusi tentang unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).
3
Kegiatan Penutup
15
Menit
Guru menilai hasil diskusi dan identifikasi dari masing-masing
kelompok. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang dianggap paling tepat dan mampu bekerja sama dengan baik.
Peserta didik dibimbing untuk menyimpulkan keseluruhan materi yang telah diajarkan.
Guru memberikan tugas dan menyampaikan rencana pembelajaran berikutnya.
121
H. Penilaian
1. Teknik Penilaian
Penilaian Sikap : Pengamatan guru terhadap peserta didik selama proses
pembelajaran berlangsung.
Tes Praktik : Perintah kerja
Tes Tulis : Pertanyaan
2. Instrumen Penilaian
a. Penilaian Sikap
No
Nama
Peserta
Didik
Perilaku yang Diamati Selama Proses Pembeajaran
Jujur Disiplin
Tangg
ung
Jawab
Peduli Santun Respon
sif Proaktif
b. Tes Praktik
Perintah kerja:
1) Secara berkelompok, baca dan identifikasi unsur-unsur pembangun
puisi Sajak Bulan mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan
puisi Mei karya Joko Pinurbo, kemudian susunlah dalam bentuk
ringkasan menggunnakan bahasa Ada!
2) Secara bergilir, masing-masing perwakilan keompok
mempresentasikan hasil ringkasan di depan kelompok lain untuk
ditanggapi!
Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja. Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan. Amarah merajalela tanpa alamat. Ketakutan muncul dari sampah kehidupan. Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.
O, zaman edan! O, malam kelam pikiran insan! Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan. Kitab undang-undang tergeletak di selokan. Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan. O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak Zaman Ibrahim dan Musa Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi
Mei Jakarta, 1998 Tubuhmu yang cantik, Mei telah kaupersembahkan kepada api. Kau pamit mandi sore itu. Kau mandi api. Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi. Api sangat mencintai tubuhmu sampai dilumatnya yang cuma warna, yang cuma kulit, yang cuma ilusi. Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami
122
dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! O, rasa putus asa yang terbentur sangkur! Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya! Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara. Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat, apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya. Wahai, penguasa dunia yang fana! Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta! Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap telah kamu bukakan! Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Air mata mengalir dari sajakku ini.
dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei. Kau sudah selesai mandi, Mei. Kau sudah mandi api. Api telah mengungkapkan rahasia cintanya ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan