Top Banner
REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA KARYA W.S. RENDRA DAN PUISI MEI KARYA JOKO PINURBO SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Firda Kania NIM 1116013000002 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2022
151

REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

Apr 10, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM

PUISI SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA KARYA

W.S. RENDRA DAN PUISI MEI KARYA JOKO PINURBO

SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Firda Kania

NIM 1116013000002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2022

Page 2: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...
Page 3: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...
Page 4: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...
Page 5: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...
Page 6: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

i

ABSTRAK

Firda Kania (NIM: 11160130000002). “Representasi Tragedi Mei 1998 dalam

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei

Karya Joko Pinurbo serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di

Sekolah” Jurusan Pnedidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum.

Kisah pilu yang bisa dikatakan sebagai sebuah tragedi kemanusiaan dalam

peristiwa Mei 1998 di Indonesia berhasil memunculkan banyak karya sastra

mengabadikannya. Beberapa sastrawan di Indonesia memilih untuk memotret

peristiwa itu dalam bentuk sajak yang bisa dijadikan salah satu memoar peristiwa

Mei 1998. W.S. Rendra mengabadikannya dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia dan Joko Pinurbo mengabadikannya dalam puisi Mei. Penelitian ini

bertujuan (1) memahami tragedi Mei 1998 yang ditampilkan dalam puisi Sajak

Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko

Pinurbo melalui struktur fisik dan batinnya; (2) memberikan perspektif segar

dalam memahami tragedi Mei 1998; (3) mendeskripsikan representasi tragedi Mei

1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi

Mei karya Joko Pinurbo; (4) menjelaskan bagaimana implikasi pengajaran puisi

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko

Pinurbo terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan adalah

metode deskriptif kualitatif dengan teori representasi. Hasil analisis menemukan

bahwa W.S. Rendra pada puisinya menggambarkan perspektif psikologi

masyarakat yang mengalami represi, baik masyarakat secara komunal maupun

individual yang ditampilkan dengan nuansa yang sangat kompleks, memuat

berbagai suasana dan emosi, tragis, mencekam, dan kejam dengan penggambaran

perjuangan menyelesaikan krisis di negara yang kacau; sementara Joko Pinurbo

menampilkannya melalui penggambaran metafor tokoh Mei yang mengalami

perlakuan nista, keji, hancur, jahat, dan kejam sebagai korban tragedi saat itu.

Dalam konteks pembelajaran di sekolah, kedua puisi dapat dijadikan bahan ajar

materi puisi sekaligus sebagai alternatif bagi pengajaran tentang nilai moral dan

sejarah Indonesia.

Kata kunci: representasi, Mei 1998, W.S. Rendra, Joko Pinurbo, impilkasi

pembelajaran

Page 7: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

ii

ABSTRACT

Firda Kania (NIM: 11160130000002). “Representation of The May 1998

Tragedy in The Poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia by W.S. Rendra and

The Poem Mei by Joko Pinurbo and Its Implications for Literature Learning at

Schools” Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty

of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University,

Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati, M.Hum.

The sad story that can be said as a human tragedy in the May 1998 incident in

Indonesia has succeeded in giving rise to many literary works to perpetuate it.

Several writers in Indonesia chose to photograph the event in the form of a poem

that could be used as one of the memoirs of the May 1998 incident. W.S. Rendra

immortalized it in the poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia and Joko Pinurbo

immortalized it in the poem Mei. This study aims to (1) understand the tragedy of

May 1998 which is shown in the poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia by W.S.

Rendra and the poem Mei by Joko Pinurbo based on the structures; (2) provide a

fresh perspective in understanding the tragedy of May 1998; (3) describe the

representation of the tragedy of May 1998 in the poem Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia by W.S. Rendra and the poem Mei by Joko Pinurbo; (4) explains how

the implications of teaching the poem Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia by W.S.

Rendra and the poem Mei by Joko Pinurbo on literature learning at school. The

method used is descriptive qualitative method with representation theory. The

results of the analysis found that W.S. Rendra in his poetry describes the

psychological perspective of people who are experiencing repression, both

communally and individually, which are presented with very complex nuances,

containing various atmospheres and emotions, tragic, gripping, and cruel by

depicting the struggle to resolve the crisis in a chaotic country; while Joko

Pinurbo presented it through a metaphorical depiction of the character Mei who

was treated with humiliation, cruelty, destruction, evil, and cruelty as a victim of

the tragedy at that time. In the context of learning at school, the two poems can be

used as teaching materials for poetry as well as an alternative for teaching about

moral values and Indonesian history.

Keywords: representation, May 1998, W.S. Rendra, Joko Pinurbo, the

implications of learning

Page 8: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ―Representasi Tragedi Mei

1998 dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan

Puisi Mei Karya Joko Pinurbo serta Impliikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra

di Sekolah‖. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad

saw. serta pengikutnya karena syafaat merekalah yang diharapkan hingga ke

akhirat kelak. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan

gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang memberikan

bimbingan, dukungan, dan doa kepada penulis. Untuk itu, penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta;

3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta,

sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang senantiasa sabar

memberikan motivasi kepada penulis untuk lekas menyelesaikan skripsi

ini;

4. Rosida Erowati, M.Hum., sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan

ikhlas dan sabar dalam memberikan arahan, saran, dan dukungan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar;

5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta;

6. Teristimewa kepada orang tua, Almarhum Bapak yang sedang tersenyum

di surga, dan Mamah yang setiap saat berada di samping penulis.

Page 9: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

iv

Keduanya selalu menjadi motivasi dan penyemangat utama bagi penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini;

7. Endang Hermawan, S.Pd.; Rina Marlina, S.Pd.; Ega Dianfikasari, S.Pd.;

Asep Sopian; dan Mira Anggraeni; sebagai keluarga yang selalu

mengalirkan bantuan dan dorongan terbaik;

8. Terkhusus Edi Wahyudi, pendukung terbaik yang amat sabar

mendampingi dan mengasihi penulis;

9. Sahabatku Sandra Sania, Lutfiana Sururin Mahmudah, dan Laras Caesar

Ayu Lestari yang menemani penulis memulai perjalanan di tahun-tahun

pertama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sayrif

Hidayatullah Jakarta;

10. Sahabatku Indah Sundari, Febriyanti, Siti Restu Rahayu, Hanum Ulfah

Nurbaiti, Wahyuningsih, Azizatul Atiah, dan Mei Suri Diah, Nur Siswo

Dipurnomo, dan Aldi Alfaruk sebagai pendukung terbaik dan tempat

―pulang‖ paling nyaman hingga saat ini dan nanti;

11. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2016

yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis;

12. Seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam pencarian data dan bahan,

serta membersamai bimbingan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan rasa bahagia.

Penulis berharap kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan skripsi ini agar selalu sehat, bahagia, dan dilimpahi keberkahan.

Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan

oleh penulis demi menjadikan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat bagi penulis

dan pembaca.

Jakarta, 15 April 2022

Firda Kania

Page 10: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... i

ABSTRACT......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 8

C. Pembatasan Masalah ................................................................................... 8

D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 8

E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 9

F. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 9

G. Metode Penelitian ..................................................................................... 10

BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................. 12

A. Puisi ......................................................................................................... 12

1. Hakikat Puisi ....................................................................................... 12

2. Struktur Fisik Puisi .............................................................................. 15

3. Struktur Batin Puisi .............................................................................. 24

B. Representasi dalam Sastra ......................................................................... 27

C. Potret Historis Mei 1998 ........................................................................... 28

D. Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah ................................................. 31

E. Penelitian Relevan .................................................................................... 34

BAB III BIOGRAFI PENYAIR DAN PEMIKIRANNYA............................. 38

A. W.S. Rendra ............................................................................................. 38

1. Biografi dan Pemikiran ........................................................................ 38

2. W.S. Rendra sebagai Penyair ............................................................... 42

Page 11: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

vi

3. W.S. Rendra dan Tragedi 1998 ............................................................ 43

B. Joko Pinurbo ............................................................................................. 44

1. Biografi dan Pemikiran ........................................................................ 44

2. Karya ................................................................................................... 46

3. Joko Pinurbo sebagai Penyair............................................................... 47

4. Joko Pinurbo dan Tragedi Mei 1998..................................................... 51

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ....................................... 52

A. Analisis dan Pembahasan Struktur Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Karya W.S. Rendra dan Mei Karya Joko Pinurbo ...................................... 52

1. Analisis dan Pembahasan Struktur Fisik Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia .................................................................................................... 52

2. Analisis dan Pembahasan Struktur Batin Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia .................................................................................................... 70

3. Analisis dan Pembahasan Struktur Fisik Puisi Mei ............................... 74

4. Analisis dan Pembahasan Struktur Batin Puisi Mei .............................. 85

B. Representasi Tragedi Mei 1998 dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei Karya Joko Pinurbo ............. 87

C. Implikasi Representasi Tragedi Mei 1998 dalam Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei Karya Joko Pinurbo Terhadap

Pembelajaran Sastra di Sekolah............................................................... 101

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 106

A. Simpulan ................................................................................................ 106

B. Saran ...................................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109

LAMPIRAN ................................................................................................... 115

Page 12: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini negara Indonesia masih memiliki urgensi mengenai

kerukunan bangsa. Peristiwa-peristiwa kerusuhan di beberapa daerah masih

kerap terjadi, salah satunya adalah konflik bersenjata di Papua antara aparat

Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan masih terus terjadi. Huru-hara

pembakaran puluhan fasilitas publik terjadi di Intan Jaya, hingga menyerang

puluhan warga dan beberapa di antara mereka tewas seketika. Pembakaran,

kontak tembak, dan hujan mortir memenuhi udara. Jumlah masyarakat sipil

yang tewas dan tertembak terus bertambah.1 Dalam hal ini, konflik-konflik

serupa masih banyak terjadi di daerah-daerah perbatasan lainnya. Peristiwa-

peristiwa tersebut dipicu oleh beberapa hal, mulai dari informasi hoaks,

rasisme, provokasi, hingga kesalahpahaman. Konflik-konflik kerusuhan yang

tejadi di sejumlah daerah tersebut terbilang cukup memprihatinkan, sebab

sampai menelan korban jiwa, baik dari masyarakat, hingga aparat penegak

hukum, bahkan menimbulkan kerugian material.

Puluhan tahun berlalu Indonesia pernah mengalami sebuah peristiwa

kelam seperti yang saat ini masih terjadi di beberapa daerah. Tragedi yang

menjadi peringatan tahunan rakyat Indonesia, tak pernah habis dibahas dan

tak pernah usai diulik. Peristiwa tersebut menjadi titik mula sebuah perubahan

besar dengan pengorbanan yang tidak terbayar. Tragedi Mei 1998 adalah

kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Indonesia. Peristiwa

kerusuhan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks dinamika sosial masyarakat

Indonesia pada masa itu yang ditandai dengan rentetan peristiwa Pemilu

1997, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR RI tahun 1998, demonstrasi

mahasiswa, penculikan para aktivis, dan tertembaknya mahasiswa.

Seperti yang telah diketahui bahwa Mei 1998 merupakan peristiwa

penting bagi bangsa Indonesia, yakni masa di mana negara ini memulai Era

1 Abraham Utama, ―Konflik Bersenjata Papua: Kisah Bocah yang Menjadi Korban

Tembak, Bom, Mortir, dan Pihak Ketiga‖, dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-

59456672 (Jakarta: 30 November 2021) diakses pada 10 Juni 2022.

Page 13: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

2

Reformasi. Perjuangan mahasiswa dan kaum intelek lainnya dalam

menjatuhkan rezim Orde Baru berbuah manis. Akan tetapi, di balik suksesnya

perjuangan itu terdapat kisah pilu yang dapat dikatakan tragedi kemanusiaan.

Peristiwa yang menjadi tragedi besar dalam sejarah Indonesia ini

memunculkan banyak kemarahan dari berbagai pihak. Bentuk kritik dan

luapan kemarahan tersebut salah satunya muncul melalui karya sastra, yakni

puisi.

Beberapa sastrawan di Indonesia memilih untuk memotret peristiwa

tersebut dalam bentuk puisi yang bisa dijadikan sebagai salah satu memoar

peristiwa Mei 1998. Puisi merupakan salah satu media untuk mengungkapkan

perasaan atau kejadian yang pernah atau sedang dialami oleh seseorang.

Setiap penyair akan membuat puisi dengan memperlihatkan ciri-ciri tersendiri

yang membedakannya dengan penyair lain. Mereka akan berusaha

memperlihatkan ciri-ciri individualisme, orisinalitas, kepekaan terhadap

sekitar, dan gaya bahasa yang khas. Sebagai penyair yang besar, W.S. Rendra

dan Joko Pinurbo memiliki idealisme yang kuat dan sangat peka terhadap

realitas sosial yang terjadi di sekitar. W.S. Rendra konsisten dalam

menyuarakan keinginan rakyat melalui karya-karyanya, sementara Joko

Pinurbo menimbulkan imaji yang estetis menggunakan diksi sederhana dan

memperoleh makna setepat-tepatnya.

Di antara banyak karya sastra yang merekam peristiwa Mei 1998,

puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei

karya Joko Pinurbo sangat menarik untuk dikaji. Puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia diketahui sebagai puisi yang menyuarakan bentuk protes seorang

W.S. Rendra terhadap peristiwa Mei 1998. Puisi ini ditulis di saat

berlangsungnya porak-poranda tragedi terjadi. Sebab keintimannya dengan

peristiwa, puisi ini sangat relevan untuk dikaji. Selain itu, W.S. Rendra

dikenal sebagai penyair yang reaktif melalui karyanya terhadap fenomena-

fenomena yang terjadi di sekitarnya. Ia menuangkan perasaan yang sedang

dialami atau hanya sekadar melukiskan kejadian yang dilihat dan dialaminya

ke dalam sebuah puisi. Ia menggambarkan bagaimana kemirisannya atas

suasana yang terjadi pada peristiwa bersejarah Mei 1998 melalui puisi

Page 14: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

3

tersebut. Sajak ini terkait erat dengan peristiwa yang bersejarah sekaligus

kelam bagi bangsa Indonesia dan orang-orang yang mengalaminya.

Selanjutnya, puisi Mei karya Joko Pinurbo ditulis dua tahun setelah

peristiwa terjadi, yakni tahun 2000. Mei 1998 bukan hanya merupakan bulan

yang sangat bersejarah bagi bangsa ini, tetapi juga bagi Joko Pinurbo. Sebagai

peraih sastra khatulistiwa, ia bersama 34 penyair lainnya menyumbangkan

karya mereka dalam buku Merawat Ingatan Rahim: Puisi Tragedi 1998. Ia

menulis puisi berjudul Mei dengan menggambarkan kejahatan dan kekejaman

massal berbau rasial.

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra memiliki

intimasi yang kuat dengan peristiwa Mei 1998 karena diciptakan tepat pada

saat tragedi terjadi. Sementara itu, puisi Mei karya Joko Pinurbo diciptakan

sangat berjarak dengan tragedi tersebut yakni pada tahun 2000. Oleh karena

hal-hal tersebut, penulis mengambil puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurobo dalam penelitian ini.

Selain karya sastra, banyak dokumen-dokumen seperti buku yang

menceritakan peristiwa tersebut yang dibuat oleh banyak pihak sehingga

bervariasi pula perspektif sejarah yang digambarkan dan diterima oleh

masyarakat. Di antaranya, buku berjudul Reka Ulang Kerusuhan Mei 1998

karya Raymond R. Sinaga yang diluncurkan pada tahun 2005 yang di

dalamnya merekonstruksi kejadian tragis dan kerusuhan tersebut.2

Selanjutnya, buku karya Dewi Anggraeni Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya

Komnas Perempuan yang ditulis pada tahun 2014 berdasarkan pengamatan

dan penelusurannya sebagai perempuan yang pernah menjadi wartawan di

The Jakarta Post itu dengan maksud mencari keadilan untuk para perempuan

Tionghoa yang menjadi korban dan lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan

terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).3 Kemudian, Buku Putih

Prabowo: Kesaksian Tragedi 1998 yang diterbitkan oleh Penerbit Majalah

Berita Populer Totalitas pada tahun 2000. Buku Misteri Hilangnya Aparat

2 Aldian dan Satya Pandia, ―Buku Reka Ulang Kerusuhan Mei 1998 Diluncurkan‖, dalam

https://m.liputan6.com/news/read/101482/buku-reka-ulang-kerusuhan-mei-1998-diluncurkan

diakses pada September 2020. 3 Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2014), h. ix-x.

Page 15: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

4

Keamanan pada Kerusuhan Mei 1998 yang disusun oleh Pusat Data dan

Analisa Tempo pada tahun 2019 membeberkan perspektif media berita dan

menggambarkan sebab-sebab para aparat negara menghilang, seperti

keberadaan Panglima Kostrad Prabowo Subianto, Jenderal Wiranto, dan

Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin pada saat kerusuhan terjadi.4

Buku lainnya yang membongkar kerusuhan Mei 1998 juga ditulis

Fadli Zon, yaitu Politik Huru-hara Mei 1998 yang diterbitkan tahun 2004.

B.J. Habibie dengan bukunya, Detik-detik yang Menentukan: Perjalanan

Panjang Indonesia Menuju Demokrasi pada tahun 2006. Amien Rais juga tak

ketinggalan, ia meluncurkan buku Memimpin dengan Nurani. Selain itu, tidak

hanya yang terlibat langsung, penulis asing pun punya kepentingan. Di

antaranya, Edward Aspinall menulis The Last Day of President Soeharto.

Richard Mann menulis Plots and Schemes that Brought Down Soeharto,

termasuk Kevin O‘Rouke juga menulis The Struggle for Power in Post

Soeharto Indonesia.5

Selain buku-buku tersebut, masih sangat banyak buku yang

menceritakan situasi Mei 1998 dalam berbagai versi. Melalui penelitian ini,

penulis ingin membuktikan bahwa puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo tersebut bisa

memberikan perspektif segar dalam memahami pergolakan yang terjadi pada

Mei 1998, serta pembaca dapat menemukan pemahaman baru yang lebih

intim terhadap peristiwa tersebut, bukan hanya fakta historis, tetapi juga

psikologi kemasyarakatan.

Karya sastra merupakan hasil proses kreatif seorang pengarang

maupun penyair. Karya-karya tersebut tercipta dari ide dan gagasan yang

dimiliki oleh pengarang dan penyair yang berasal dari penghayatannya

terhadap fenomena-fenomena alam dan sosial, pengalaman kehidupan,

lingkungan sekitar, dan masyarakat yang hidup berdampingan bersamanya.

4 Pusat Data dan Analisis Tempo, Misteri Hilangnya Aparat Keamanan pada Kerusuhan

Mei 1998, (Jakarta: Tempo Publishing, 2019), h. 13—28. 5Arwan Tuti Artha, Kudeta Mei 1998: Perseteruan Habibie-Prabowo, (Yogyakarta:

Galangpress, 2007), h. 21—22.

Page 16: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

5

Karya sastra digubah untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh para

pembacanya.

Selain bisa dinikmati keindahaannya, sastra dapat merefleksikan

keadaan sosial, budaya, dan sejarah. Sejalan dengan itu, Thomas Warton

mengemukakan bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri

zamannya.6 Sastra menjadi potret kehidupan sosial serta fakta-fakta yang

terjadi. Sebagai potret sejarah, sastra menjadi dokumen dan pantulan

hubungan sebuah peristiwa terhadap peristiwa yang lain. Dengan adanya

representasi dan pemaknaan sebuah karya sastra, akan terungkap banyak

peristiwa hingga tragedi yang tersembunyi.

Krisis Mei 1998 merupakan sejarah penting yang perlu diulas.

Urgensi memahami sejarah Indonesia termasuk Mei 1998 harus dipahami

oleh masyarakat luas, terutama generasi muda dan milenial di sekolah. Hal

tersebut bertujuan memahamkan bahwa bangsa Indonesia telah melalui

perjuangan besar untuk mencapai kemajuan yang dirasakan saat ini. Selain

itu, memberikan refleksi agar hal buruk yang serupa tidak terulangi di masa

kini serta lebih jauh lagi bisa menghasilkan generasi muda yang unggul,

nasionalis, peduli terhadap sejarah dan permasalahan bangsa, serta peduli

terhadap kemanusiaan, terutama di masa sulit akibat pandemi korona saat ini.

Strategi utama untuk meningkatkan pemahaman sejarah dan

membentuk karakter positif dapat dilakukan dengan menempuh pendidikan,

salah satunya melalui pengajaran sastra di sekolah. Membaca dan menelaah

karya sastra, salah satunya adalah puisi, bisa menjadi strategi menarik dalam

upaya memberikan pemahaman yang segar kepada masyarakat untuk menilik

sejarah dan memanfaatkan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Puisi membantu manusia menyadari fenomena alam dan fenomena

sosial yang terjadi di sekitar. Oleh karena itu, puisi berfungsi sebagai materi

pelajaran yang memberikan pengetahuan dan kesadaran. Sejak muda, peserta

didik seyogianya ditumbuhkan kegemaran membaca puisi, agar kepekaannya

terhadap kebajikan dan kekuatan moral jadi terasah. Dari pemahaman

tersebut, diharapkan peserta didik dapat memandang segala fenomena dan

6 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Diindonesiakan oleh Melani

Budianta, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h. 122.

Page 17: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

6

kejadian di sekitar dengan detail dan dari berbagai pandangan sehingga

mampu memaknai segala hal dalam kehidupan sehari-hari dengan menelusuri

kebenarannya, bukan menerima secara mentah.

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi

Mei karya Joko Pinurbo bermanfaat bagi peserta didik karena kedua puisi ini

dapat mengajarkan untuk memahami perjuangan dan pengorbanan cinta tanah

air. Berdasarkan wawancara dan observasi terbatas penulis terhadap beberapa

sekoah, guru, dan peserta didik, pembahasan peristiwa Mei 1998 dalam

pengajaran sastra khususnya puisi sepanjang tahun 2019 hingga 2021 masih

sangat kurang, bahkan hampir tidak ada sehingga pemahaman peserta didik

mengenai sejarah peristiwa tersebut sangat minim. Beberapa pengajaran pun

terbilang membosankan karena hanya mengacu pada pembelajaran tekstual.

Peserta didik tidak diarahkan mengeksplorasi lebih dalam selama

pembelajaran.

Melalui pembelajaran dan analisis unsur-unsur terhadap kedua puisi

tersebut, serta dengan memahami gambaran sosial di dalamnya, peserta didik

diharapkan dapat mengetahui realitas sosial pada masa transisi Orde Baru

dengan Era Reformasi, serta dapat menumbuhkan sikap berani, peduli,

nasionalis dan patriotik. Sekaligus, mereka dapat mengetahui peristiwa

sejarah bangsa Indonesia dan melihat bagaimana sastrawan menjadikan

runtuhnya Orde Baru sebagai perspektif yang menarik dalam karyanya.

Berdasarkan argumen-argumen di latar belakang tersebut, penulis

bermaksud menelaah tragedi Mei 1998 yang terekam dalam puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan Puisi Mei karya Joko Pinurbo

menggunakan telaah representasi sastra yang menitikberatkan hubungan

karya sastra dengan konteks sosial masyarakat. Selanjutnya diimplikasikan

terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, dengan harapan tidak

hanya memberikan pengetahuan tekstual dan kontekstual dalam puisi, tetapi

turut pula berpengaruh dalam pembentukan karakter positif peserta didik.

Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji Representasi Tragedi Mei

1998 di Indonesia dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya

Page 18: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

7

W.S. Rendra dan Puisi Mei Karya Joko Pinurbo serta Impikasinya Terhadap

Pembelajaran Sastra di Sekolah.

Page 19: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

8

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, beberapa permasalahan yang

ditemukan adalah sebagai berikut.

1. Peristiwa kerusuhan masih kerap terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

2. Belum adanya pembahasan spesifik sejarah Mei 1998 di sekolah melalui

pengajaran puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra

dengan puisi Mei karya Joko Pinurbo.

3. Belum adanya analisis representasi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dengan puisi Mei karya Joko

Pinurbo.

4. Minimnya pemahaman peserta didik mengenai tragedi Mei 1998 dan

gambaran sejarah yang terjadi pada saat itu.

5. Pembelajaran sastra di sekolah kurang variatif.

6. Adanya anggapan peserta didik dalam menerima pembelajaran sastra

sebagai bahan ajar yang membosankan, tidak menarik, dan tidak

informatif.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang terlalu meluas, peneliti

melakukan batasan terhadap masalah yang ada. Masalah yang disajikan

adalah bagaimana analisis struktur fisik, batin, dan representasi dalam puisi

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya

Joko Pinurbo serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dilakukan, maka masalah

dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana analisis struktur fisik dan struktur batin puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko

Pinurbo?

2. Bagaimana representasi tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo?

Page 20: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

9

3. Bagaimana implikasi pengajaran puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo terhadap

pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian

ini bertujuan sebagai berikut.

1. Memahami tragedi Mei 1998 yang ditampilkan dalam struktur fisik dan

struktur batin puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra

dan puisi Mei karya Joko Pinurbo.

2. Mendeskripsikan representasi tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko

Pinurbo.

3. Menjelaskan implikasi pengajaran puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo terhadap

pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara

teoretis maupun praktis. Adapun beberapa mantafaat yang dapat diberikan

melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah

keilmuan, khususnya sejarah Indonesia dalam pengkajian karya sastra,

bermanfaat bagi guru dan proses pembelajaran sastra Indonesia di sekolah,

serta masyarakat luas yang memiliki minat dan perhatian khusus terhadap

bidang sastra Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sumber rujukan atau

referensial penelitian lanjutan terhadap karya-karya W.S. Rendra dan Joko

Pinurbo. Kemudian bagi pendidik, penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar

untuk meningkatkan kemampuan analisis peserta didik dalam

pembelajaran sastra, terutama dalam menganalisis struktur fisik dan batin

yang bisa memberikan gambaran tragedi Mei 1998 di Indonesia melalui

Page 21: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

10

puisi. Lebih luas, penelitian ini dapat menambah pengetahuan sejarah

runtuhnya Orde Baru Indonesia, serta dapat membangun karakter positif

peserta didik.

G. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif kualitatif. Ratna menjelaskan bahwa metode deskriptif kualitatif

memperlihatkan hakikat nilai-nilai dan sumber datanya merupakan karya,

naskah, serta data formal yang digunakan ialah kata, kalimat, dan wacana.7

Oleh karena sifatnya yang deskriptif, maka semua hal yang berupa sistem

tanda penting dan saling berpengaruh satu dengan lainnya. Creswell

menambahkan bahwa penelitian deskriptif dilakukan untuk

menggambarkan sistem sosial, hubungan-hubungan sosial, atau kejadian-

kejadian sosial.8

Dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah

metode yang menyajikan data melalui gambaran atau deskripsi untuk

menyelidiki objek yang berupa kata-kata secara jelas dan sistematis.

Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis representasi

tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya

W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo dengan mengungkapkan

peristiwa, fenomena, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai media

pembentukan karakter peserta didik.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dituliskan, subjek dalam

penelitian ini adalah tinjauan representasi tragedi Mei 1998 yang tercermin

dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan

puisi Mei karya Joko Pinurbo dan sebagai objek dari penelitian ini adalah

teks puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra yang

dibuat pada tahun 1998 dan terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk

7 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), h. 47. 8 Didik Suharjito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Bogor; IPB Press, 2019), h. 144.

Page 22: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

11

Anak Cucu karya W.S. Rendra publikasi PT Bentang Pustaka9; dan teks

puisi Mei karya Joko Pinurbo yang dibuat pada tahun 2000 yang terdapat

dalam buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi publikasi PT Gramedia

Pustaka Utama10

, sebuah antologi puisi karya Joko Pinurbo. Kedua puisi

tersebut menjadi sumber data primer dan didukung oleh jurnal, surat

kabar, artikel, dan buku-buku lain yang menunjang penelitian.

3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini dibuat agar pembahasan lebih terarah sehingga

mudah dipahami oleh pembaca. Fokus dari penelitian ini adalah

representasi tragedi Mei 1998 yang terkandung dalam puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko

Pinurbo dengan menggunakan pendekatan representasi sastra yang

berimplikasi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan oleh penulis dalam pengumpulan data

adalah kajian pustaka dan dokumentasi. Teknik kajian pustaka adalah

teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengkajian terhadap buku-

buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang

berkaitan dengan masalah yang dipecahkan. Penulis menganalisis secara

sistematis terhadap sumber data primer, yaitu puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo dengan

kemudian menganalisis struktur fisik, struktur batin, dan tragedi Mei 1998

melalui telaah representasi. Sementara itu, dokumentasi adalah sumber

data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik berupa sumber

tertulis, film, gambar, dan karya-karya monumental, yang semuanya itu

dapat memberikan informasi tambahan bagi proses peneitian. Penulis

mengumpulkan data dari buku, esai, jurnal, kamus, buku elektronik

(ebook), gambar, dan dokumen lain yang dapat memberikan rujukan dan

informasi dalam penelitian ini.

9 W.S. Rendra, Doa untuk Anak Cucu, (Jakarta: PT Bentang Pustaka, 2016). 10 Joko Pinurbo, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2016).

Page 23: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

12

5. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan proses

analisis kualitatif yang diawali dengan kegiatan membaca, mencatat,

mengumpulkan, dan mengklasifikasi, hingga membuat kategori data agar

menemukan sebuah pola dan hubungan-hubungan yang bermakna. Proses

tersebut dilakukan dengan langkah-angkah berikut.

a. Membaca dan mengidentifikasi struktur fisik dan batin yang terdapat

pada struktur puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S.

Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo. Kegiatan ini dilakukan

untuk mengaitkan unsur-unsur puisi dengan pembahasan masalah.

b. Menjelaskan struktur fisik dan batin puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo.

c. Menjelaskan representasi tragedi Mei 1998 dalam puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko

Pinurbo.

d. Mengimplikasikan hasil penelitian dalam rancangan pembelajaran

sastra Indonesia di sekolah.

Page 24: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

12

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Puisi

1. Hakikat Puisi

Puisi termasuk salah satu karya sastra yang sudah hadir sejak zaman

dahulu hingga kini. Penyimpulan terhadap hakikat puisi tidaklah akan

menemukan definisi yang mutlak karena pada dasarnya karya sastra terus

berkembang mengikuti perubahan zaman. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Hasanuddin bahwa konsep puisi selalu bergeser dari

waktu ke waktu. Perubahan wawasan estetika para penyair ikut

memengaruhi perubahan tentang konsep puisi.1

Pengertian yang dipaparkan beberapa orang umumnya berkaitan

dengan struktur fisiknya saja atau struktur batinnya saja, tetapi ada juga

yang memberikan batasan yang meliputi keduanya. Untuk lebih meluaskan

pandangan kita tentang pengertian puisi, sebelum mengemukakan

beberapa pendapat tentang puisi, penulis menguraikan etimologi puisi.

Menurut hakikatnya, kata puisi ini adalah poetry yang erat

berhubungan dengan -poet dan –poem. Kata poet berasal dari bahasa

Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris, kata poet

ini lama sekali disebut maker. Sementara dalam bahasa Yunani sendiri,

kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya.2

Judith A. Stanford dalam bukunya mengemukakan bahwa pada

awalnya puisi sepenuhnya merupakan bentuk lisan yang diturunkan dari

pembicara ke pendengar. Saat membaca puisi, irama dan perangkat suara

(seperti sajak dan aliterasi) akan menciptakan percikan dalam pikiran kita,

terkadang harmonis, bahkan terkadang sumbang. Bayangan ini membantu

untuk menciptakan dan menekankan tema dan ide puisi. Para penyair lebih

sering menggunakan perangkat ini karena mereka berusaha menyampaikan

1 Hasanuddin W.S., Membaca dan Menilai Sajak, (Bandung: Angkasa, 2012), h. 1. 2 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2015), h. 4.

Page 25: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

13

perasaan, pengalaman, kesenangan, dan kesedihan dengan kata-kata yang

jauh lebih sedikit. Berikut ini penegasannya.

Originally, poetry was entirely an oral form passed from a

speaker to a listener (who often then became a speaker for new

listeners). As we read poeams, the rhytms and sound devices

(such a rhyme and alliteration) shoud create spngs in our minds,

sometimes harmonious, sometimes discordant. These mental

songs help to create and emphasize the poem‟s themes and ideas.

Poets make use of these devices much more often because they

seek to convey feelings, experiences, pleasures, and sorrows in

far fewer words.3

Pengertian dasar puisi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

ialah (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta

penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya

dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang

akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat

penataan bunyi, irama, dan makna khusus; dan (3) sajak.4

Para ahli, Yohanes Sehandi misalnya, berpendapat bahwa puisi

adalah karya sastra yang terikat oleh bunyi bahasa (rima, irama, intonasi),

bentuk baris (larik), dan bait serta ditandai oleh penggunaan bahasa yang

padat.5 E. Kosasih menegaskan bahwa unsur-unsur yang membangun

tersebut menciptakan kekayaan makna dan keindahan. Menurutnya,

penggunaan bahasa dalam puisi lain halnya dengan bahasa yang digunakan

sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, tetapi maknanya

sangat kaya. Kata yang digunakannya adalah kata konotatif yang

mengandung banyak penafsiran dan pengertian.6

Dengan demikian dapat disintesiskan bahwa pengertian puisi

menurut etimologinya adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun

menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, persajakan,

dan kata-kata pilihan sehingga menciptakan rangkaian kata yang di

dalamnya memiliki multi-tafsiran.

3 Judith A. Stanford, Responding to Literature: Stories, Poems, Plays, and Essays,

(Stanford: Mc Graw Hill, 2005), h. 59. 4 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, ―puisi‖ dalam

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puisi, diakses pada 22 Agustus 2020 pukul 13.00 WIB. 5 Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), h. 61. 6 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 31.

Page 26: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

14

Selain dengan konstruksi penyusunnya yang mengikat, puisi

diciptakan untuk tujuan tertentu sebagaimana yang penyair inginkan.

Menurut Herman J. Waluyo, puisi adalah bentuk karya sastra yang

mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan

disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan

pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batin.7 Melalui

pengonstruksian itulah, puisi menurut Aminuddin mampu membuat

pembaca masuk ke dalam ilusi tentang estetikanya, terbawa angan-angan

ke dalam keindahan maupun unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun

suasana tertentu sewaktu membaca puisi.8

Dalam proses penciptaan puisi, penyair berangkat dari penyelaman

sumber batin positif dan negatif dari manusia. Penyelaman ini merupakan

proses kreatif dari sang penyair setelah mengendapkannya melalui jarak

yang cukup general. Karena jarak yang general ini pula menurut Rachmat

Djoko Pradopo, puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman

manusia yang penting, yang digubah dalam wujud yang paling berkesan.9

Sejalan dengan itu, Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost dalam Best

Poem menguraikan bagaimana penyair menghubungkan pengalaman,

menggunakan suara dan pola suara, mengungkapkan perasaan dan pikiran

mereka melalui gambar yang mereka buat dengan bahasa spesifik, untuk

menghidupkan imajinasi puisi. Berikut ini penjelasan keduanya.

… (1) Most poets relate experiences in ways that are meaningful

to others as well as to the poets themselves. To relate specific

experiences or massages most effectively, poets choose their

speakers carefully. (2)Poets use sounds and sound patterns to

increase the impact of their words. Some poets also give their

poems distinctive appearances. (3) Poets often express their

feelings and thoughts through images that they create with

specific, concrete language and surprising comparisons.10

7 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 25. 8 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1987), h. 13. 9 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2014), h. 7. 10 Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Best Poems, (Lincolnwood: Jamestown Publisher,

1998), h. 22.

Page 27: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

15

Berdasarkan pendapat-pendapat yang diuraikan di atas, pada

dasarnya puisi merupakan karya sastra yang diciptakan penyair sebagai

media penyampai pesan dan makna yang dalam dan mengekspresikan

pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi

pancaindra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu

yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan

menarik, dan memberi kesan yang dibangun oleh unsur-unsur dalam

struktur fisik dan struktur batin.

2. Struktur Fisik Puisi

Penciptaan puisi adalah proses membangun puisi dengan struktur-

strukturnya. Struktur bentuk puisi disebut juga unsur pembangun puisi

secara fisik, menurut Ika Yuliana Putri. Menurutnya, unsur-unsur

pembangun puisi tersebut merupakan kesatuan struktur yang meliputi

larik, bait, pertautan, diksi, imajii, rima, dan irama.11

Sementara itu, E.

Kosasih menyimpulkan bahwa struktur fisik puisi mencakup diksi

(pemilihan kata), pengimajinasian, kata konkret, bahasa figuratif (majas),

rima/ritma, dan tata wajah (tipografi).12

Jadi, struktur fisik puisi dapat

disimpulkan sebagai unsur-unsur yang secara visual dapat dilihat dan

tampak secara langsung yang meliputi tipografi, diksi, pengimajian, kata

konkret, bahasa figuratif atau majas, dan persajakan.

a. Tipografi (Tata Wajah)

Tipografi atau perwajahan merupakan salah satu pembeda yang

penting di antara karya sastra puisi, prosa, dan drama. Larik-larik puisi

tidak berbentuk paragraf, melainkan berbentuk bait. Pada

perkembangannya, dalam puisi-puisi kontemporer dan perkembangannya,

tipografi dianggap begitu penting sehingga menggeser kedudukan makna

kata-kata.13

Tipografi adalah aspek bentuk visual puisi yang berupa tata

hubungan dan tata baris. Selain dipergunakan untuk mengedepankan arti,

kata, frasa, atau kalimat tertentu, makna puisi disugestikan, tipografi juga

digunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik agar indah dipandang

11 Ika Yuliana Putri, Apreasiasi Puisi, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 2019), h. 13. 12 E. Kosasih, Op.Cit., h. 32—36. 13

Ibid., h. 36.

Page 28: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

16

oleh pembaca. Di samping itu, juga untuk mengedepankan arti-arti kata,

frasa, atau kalimat tertentu melalui susunan yang khas. Oleh karena itu,

tipografi juga dapat dipertimbangkan sebagai simbol pikiran dan perasaan

yang diekspresikan.

Secara sederhana, tipografi dapat disimpulkan sebagai susunan baris-

baris atau bait-bait puisi.14 Termasuk lainnya adalah pemakaian huruf-huruf

atau tanda baca tertentu untuk menuliskan kata-kata dalam puisi. Masalah

pembaitan dan ejaan juga termasuk dalm bidang tipografi. Oleh karena itu,

dalam kaitannya dengan pembacaanterhadap puisi secara keseluruhan,

tipografi seringkali berfungsi sebagai penunjuk yang mengarahkan irama

pembacaan.

b. Diksi (Pemilihan Kata)

Peranan diksi dalam puisi begitu penting sebab diksi merupakan

esensi penulisan puisi. Perwujudan unsur diksi (seperti kosakata, bahasa

kiasan, bangunan citra, dan sarana retorika) menciptakan keselarasan

dalam membuat kata-kata tersebut terkesan tidak hanya menempel dan

merekat, tetapi dinamis dan bergerak, serta memunculkan kesan yang

hidup.15

Menurut Herman J. Waluyo, kata-kata yang digunakan oleh

penyair dipertimbangkan dengan betul dari berbagai aspek dan efek

pengucapannya.16

Jika penyair berakhir pada penggunaan kata tertentu,

tentulah kata tersebut paling akurat dalam mewakili maksud yang ingin

diuraikannya.

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab penggunaan

kata harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan

irama, bahkan kedudukan kata tersebut dalam konteks kata lainnya, serta

kedudukannya dalam keseluruhan isi puisi itu. Oleh karena itu, di

samping memilih kata yang tepat, penyair pun mempertimbangkan urutan

katanya dan kekuatan atau daya makna dari kata-kata tersebut. selain itu,

pemilihan kata-kata mempertimbangkan aspek estetis, maka pemilihan

bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat.

14 Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Puisi, Cet. II, (Yogyakarta: Gama Media, 2008),

h. 330. 15 Ibid., h. 143—144. 16

Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 3.

Page 29: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

17

c. Pengimajian

Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau susunan

kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti

penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Suminto A. Sayuti menerangkan

bahwa sebuah kata atau kata-kata membawa pengalaman keindraan atau

kesan ke dalam rongga imajinasi manusia yang mengasosiasikan indra-

indra pembaca sehingga mampu menangkap makna yang dikomunikasikan

oleh penyair.17

Lebih lanjut lagi menurut Hasanuddin, di dalam sajak

diperlukan adanya kekonkretan gambaran, kejelasan, dan hidupnya

gambaran. Dengan demikian, pembaca atau penikmat sajak dapat turut

merasakan dan hidup dalam pengalaman batin penyair, sehingga ide-ide

abstrak yang sebelumnya tidak bisa ditanggap alat-alat indra manusia,

diberi gambaran atau dihadirkan dalam gambar-gambar indraan. Dengan

begitu, ide yang semula abstrak dapat ditangkap seolah-olah dilihat,

didengar, dirasa, dicium, diraba, atau dipikirkan. Olehsebab itu, gambaran

menjadi sangat jelas nyata yang membuat timbulnya suasana tertentu di

dalam batin pembaca.18

Dalam penciptaan puisi, menurut Patricia Opaskar dan Mary Ann

Trost, penyair banyak mengandalkan penciptaan imaji melalui kata-kata

yang menghadirkan gambaran mental bagi pembaca. Biasanya imaji-imaji

yang menarik bagi satu atau lebih indra, di antaranya penglihatan,

pendengaran, pengecapan, penciuman, dan sentuhan sehingga mereka

disebut imaji sensorik.19

Jadi, pengimajian adalah kata atau susunan yang dapat menimbulkan

khayalan atau imajinasi yang mengajak pembaca untuk bisa menghadirkan

imaji yang dibangun oleh penyair dalam puisi. Penggambaran imaji-imaji

tersebut untuk menimbulkan suasana yang khusus dan membuat lebih

hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik

perhatian pembaca. Imaji-imaji tersebut diuraikan oleh Herman J. Waluyo

sebagai berikut.

17 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 169—171. 18 Hasanuddin W.S., Op. Cit., h. 78. 19

Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 93.

Page 30: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

18

1) Imaji pendengaran (auditif)

Imaji auditif adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga

pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan

oleh penyair. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang

berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori

pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio.20 Baris

atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara. Jika penyair

menginginkan imaji pendengaran, maka ketika menghayati puisi itu,

kita seolah-olah mendengarkan sesuatu.

2) Imaji penglihatan (visual)

Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan

apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh

pembaca. Imaji visual tersebut mengusik indra penglihatan pembaca

sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya

sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan

visual itu.21 Baris atau bait puisi itu seolah mengandung benda yang

tampak. Jika penyair ingin melukiskan imaji pengelihatan, maka

puisi itu seolah-olah melukiskan sesuaitu yang bergerak-gerak.

3) Imaji perasaan (taktil)

Imaji taktil merupakan penciptaan ungkapan oleh penyair yang

mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh

perasaannya.22

Baris atau bait puisi itu seolah mengandung sesuatu

yang bisa kita rasakan, raba, atau sentuh. Jika imaji taktil yang ingin

digambarkan, maka pembaca seolah-olah mersakan sentuhan

perasaan.

4) Imaji rabaan (taktil)

20 Ali Imron dan Farida Nugahani, Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi, (Surakarta: CV

Djiwa Amarta, 2017), h. 58. 21 Ibid. 22

Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 10—11.

Page 31: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

19

Imaji taktil merupakan penciptaan ungkapan oleh penyair yang

mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh

perasaannya.23

Baris atau bait puisi itu seolah mengandung sesuatu

yang bisa kita rasakan.

Pengimajian juga berarti mengingatkan kembali pengalaman yang

pernah terjadi karena kemahiran penyair dalam menggambarkan suatu

peristiwa juga sebagai usaha penyair untuk menciptakan menggugah

timbulnya imaji dalam diri pembacanya sehingga pembaca tergugah untuk

menggunakan daya bayangnya untuk melihat benda-benda, warna, dengan

daya dengarnya menangkap bunyi-bunyian, dan dengan perasaannya dapat

menyentuh dan merasakan keindahan.

d. Kata Konkret

Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus

diperkonkret atau diperjelas. Kata konkret merupakan syarat atau

penyebab terjadinya pengimajian sehingga pembaca dapat membayangkan

secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan penyair.24

Kata

konkret atau concrete language merujuk kepada kata-kata atau frasa-frasa

yang menggambarkan sesuatu yang dapat dialami oleh indra. Lebih lanjut

Patricia Opaskar dan Mary Ann menguatkan bahwa concrete language

begitu spesifik menciptakan gambaran di benak pembaca dan menarik

semua indra yang diasosiasikan oleh pembaca dengan objek tertentu.25

Setiap penyair berusaha mengkonkretkan hal yang ingin dikemukakannya

agar pembaca membayangkan dengan lebih hidup apa yang dimaksudnya.

e. Bahasa Figuratif (Majas)

Karya sastra puisi sangatlah kdengan bahasa bermajas. Mengutip

Sudjiman, Hasanuddin mengemukakan bahwa bahasa bermajas adalah

bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja

disimpangkan dari susunan dan arti biasa, dengan maksud mendapatkan

kesegaran dan kekuatan ekspresi dengan cara memanfaatkan

perbandingan, pertentangan, atau pertautan antara hal satu dengan hal

23 Ibid. 24 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 81. 25

Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 94.

Page 32: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

20

lain.26

Bahasa figuratif (majas) ialah bahasa yang digunakan penyair untuk

mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata

lain. Majas mengiaskan atau mempersamakan sesuatu dengan yang lain.

Maksudnya, agar gambaran benda yang dibandingkan itu lebih jelas.

Penggunaan gaya bahasa atau majas ini dipandang lebih efektif

untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena mampu

menghasilkan imaji tambahan sehingga sesuatu yang abstrak menjadi

konkret dan menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya.

Bahasa figuratif mengarahkan pembaca untuk berpikir kreatif.

Penyair mencoba mencari perbandingan baru untuk menyatukan dua hal

yang berbeda dengan sedemikian rupa sehingga pembaca dipaksa untuk

memikirkan hal-hal umum dengan cara yang tidak biasa. Membuat

perbandingan dikenal sebagai menggunakan bahasa kiasan (majas).

Metafora, simile, dan jenis perbandingan lainnya merupakan contoh majas.

Menurut Patricia, bahasa kiasan memiliki karakteristik sebagai berikut.

Poets can use effective methapors, similes, or other figure of

speech to help readers discover unexpected similarities between

two people or objects. Figure of speech evoke in readers

particular ideas and feelings, enabling the poet to express thems

more powerfully than would otherwise be possible.27

Puisi dapat menggunakan majas yang efektif untuk membantu

pembaca menemukan kesamaan yang tidak terduga antara dua orang atau

objek. Majas dapat membangkitkan ide dan perasaan tertentu pada

pembaca dan memungkinkan penyair bisa mengekspresikan tema dengan

lebih kuat daripada yang memungkinkan. Bahasa kiasan yang cenderung

digunakan dalam puisi dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu

kelompok perbandingan (metafora-simile), penggantian (metonimi-

sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi).28

1) Perumpamaan dan Perbandingan (Metafora dan Simile)

26 Hasanuddin W.S. Op. Cit., h. 107. 27 Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit. h. 162. 28

Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 195.

Page 33: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

21

Metafora merupakan perbandingan yang memperlakukan dua hal

seolah-olah mereka identik.29

Dalam metafora, perbandingannya

bersifat implisit, yakni tersembunyi di balik ungkapan

harfiahnya. Sementara itu, simile bentuk perbandingannya

bersifat eksplisit, yang ditandai oleh unsur konstruksional

semacam kata seperti, serupa, bagai, laksana, bagaikan, bak,

dan ada kalanya juga morfem se-.30

Pengiasan langsung artinya

benda yang dimaksud itu tidak disebutkan, sementara

perbandingan atau simile merupakan pengiasan tidak langsung

artinya benda atau hal yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama

pengiasnya.

2) Penggantian (Metonimi dan Sinekdoki)

Metonimi merupakan jenis bahasa kias yang berwujud pelekatan

atribut sebuah objek atau sesuatu yang hubungannya erat untuk

menggantikan objek tersebut. Sementara sinekdoki merupakan

satuan ungkapan yang ditandai adanya perwakilan sebagian bagi

keseluruhan atau sebaliknya, perwakilan keseluruhan bagi

sebagian.31

3) Pemanusiaan (Personifikasi)

Personifikasi adalah ungkapan yang ditandai oleh adanya

penautan yang bukan manusia dengan ciri kemanusiaan, tautan

antara noninsani dengan insani.32

Pengiasan ini merujuk pada

keadaan atau peristiwa alam yang dianggap sebagai manusia atau

persona. Bend-benda mati dibuat seolah dapat bergerak, berpikir,

dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini membuat hidup

daya bayang yang konkret.

29 Judith Ferster, Arguing Through Literature, (New York: McGraw-Hill Companies,

2005), h. 117. 30 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 196. 31 Suminto A. Sayuti, Puisi, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2019), h. 4.4, dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=PBIN421302 diakses pada 11 Oktober 2020. 32

Ibid., h. 4.4.

Page 34: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

22

4) Hiperbola

Gaya bahasa ini dimanfaatkan oleh penyair dalam upaya

menggambarkan objek, ide, dan lain-lain dengan memberi bobot

tekanan secara berlebihan untuk memperoleh efek yang intens.33

Sementara itu, Gorys Keraf mengklasifikasikan gaya bahasa

menurut penggunaannya dalam aspek kebahasaan, salah satunya

berdasarkan struktur kalimat, yaitu mencakup klimaks, antiklimaks,

paralelisme, antitesis, dan repetisi.34

Berikut ini uraian masing-masing

jenis gaya bahasa tersebut.

1) Klimaks

Gaya bahasa klimaks diturunkan dari gaya yang bersifat

periodik, yakni bagian terpenting atau gagasan yang ditekankan

terletak di bagian akhir kalimat.35

Gaya bahasa ini berupa

susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung

penekanan.36

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang

mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali makin

meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.

2) Antiklimaks

Sebagai bentuk yang berkebalikan dari klimaks, antiklimaks

memiliki susunan kalimat yang mengendur. Oleh karena itu,

gaya bahasa ini mengurutkan gagasan-gagasan yang terpenting

berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.37

3) Paralelisme

Paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai

kesejajaran dalam pemakaian kata-kata, frasa-frasa yang

menduduki fungsi gramatikal yang sama. Bentuk paralelisme

biasanya dipergunakan untuk menonjolkan kata atau kelompok

kata tertentu yang sama fungsinya.

33 Siswantoro, Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah

Surakarta, 2002), h. 34. 34 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 2006), h. 124—127. 35 Ibid., h. 124. 36 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2021), h. 79. 37

Gorys Keraf, Op. Cit., h. 125.

Page 35: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

23

4) Antitesis

Gaya antitesis menghadirkan perbandingan atau komparasi

antara dua antonim (kata-kata yang mengandung ciri-ciri

semantik yang bertentangan).38

Gaya bahasa ini mengandung

gagasan-gagasan yang bertentangan, biasanya mempergunakan

kelompok kata-kata yang berlawanan.

5) Repetisi

Gaya repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata, atau

bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan

dalam sebuah konteks yang sesuai. Gaya repetisi ini pun

bervariasi, di antaranya perulangan kata atau frasa pertama,

perulangan kata atau frasa pada akhir baris, perulangan kata atau

frasa pada tengah-tengah baris, dan lainnya.39

f. Rima (Persajakan)

Suminto A. Sayuti memperluas pemaknaan rima sebagai kesamaan

dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih yang

bertempat di akhir kata maupun perulangan bunyi yang disusun pada

rentangan tertentu secara teratur.40

Rima (dimaknai sebagai persajakan)

merupakan unsur yang memperindah puisi. Hampir setiap penyair amat

memperhatikan aspek persajakan dalam puisi-puisinya terutama untuk

menimbulkan pemaknaan yang kuat yang dihasilkan dari pola

persajakannya.

Penyair mengulangi suara konsonan dan vokal yang dipilih untuk

menghubungkan kata atau ide, untuk menarik perhatian ke kata-kata

tertentu, dan untuk menyarankan suasana hati tertentu. Banyak penyair

membuat pola suara menarik dengan kata-kata berima. Dalam penyusunan

kata-katanya untuk menghasilkan irama yang teratur, mereka

memvariasikan ritme agar tidak terdengar monoton.41

Persajakan

merupakan perulangan yang sama dalam puisi. Pengertian ini dapat

diperluas sehingga persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan dan atau

38 Henry Guntur Tarigan, Op. Cit., h. 223. 39 Gorys Keraf, Op. Cit., h. 127. 40 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 104-105. 41

Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 130.

Page 36: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

24

kemiripan bunyi tertentu di akhir kata, maupun yang berupa perulangan

bunyi-bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu

secara teratur.

Persajakan dalam puisi pun dapat diklasifikasikan. Dilihat dari segi

bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak

mutlak, aliterasi, dan asonansi. Sementara dari posisi kata yang

mengandungnya, dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang,

sajak berangkai, dan sajak berpeluk.42

Klasifikasi tersebut bersifat tidak

mutlak sebagaimana sifat puisi yang dinamis. Sebuah larik bisa saja

mengandung berbagai pola persajakan sekaligus. Hal yang penting adalah

bagaimana persajakan yang digunakan menambah estetikanya suatu puisi

atau tidak.

3. Struktur Batin Puisi

Selain struktur fisik yang diuraikan sebelumnya, puisi disusun oleh

unsur-unsur batin yang membangunnya. Herman J. Waluyo mengungkapkan

ada empat unsur batin yang membangun puisi, yakni tema (sense), perasaan

penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan

amanat (intention).43

a. Tema (Sense)

Tema atau sense merupakan gambaran dunia yang diciptakan

penyair. Gambaran ini dapat diperoleh melalui pertanyaan ‖Apa yang

ingin disampaikan penyair melalui puisi yang diciptakannya?‖44

Tema

merupakan gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya.

Tema berfungsi sebagai landasan utama penyair dalam puisinya.

Tema puisi bersifat lugas, objektif, dan khusus. Tema puisi harus

dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang

terimajinasikan. Oleh karenanya, tema bersifat khusus (penyair), tetapi

objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).45

Dalam

penciptaan puisi, seorang penyair selalu mempunyai keinginan dan tujuan.

42 Suminto A. Sayuti, Op. Cit., h. 105. 43 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 106. 44 Maman Suryaman dan Wiyatmi, Puisi Indonesia, (Yogyakarta: 2013), h. 85. 45

Ibid., h. 106—107.

Page 37: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

25

Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui

puisinya. Seringkali mereka ingin berbagi pesan bijak dan wawasan hidup

dengan pembaca melalui tema yang disampaikan.46

Adapun tema-tema

yang terdapat dalam puisi, di antaranya tema ketuhanan, tema

kemanusiaan, tema patriotisme atau kebangsaan, tema kedaulatan rakyat,

dan tema keadilan sosial.

Tema ketuhanan (religius) merupakan tema yang mampu membawa

manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan, dan

menghargai alam seisinya. Tema kemanusiaan sering digambarkan melalui

peristiwa atau tragedi yang terjadi dalam puisi. Penyair berusaha

meyakinkan pembaca tentang ketinggian martabat kemanusiaan. Oleh

karena itu, manusia harus dihargai, dihormati, diperhatikan hak-haknya,

dan diperlakukan secara adil dan manusiawi. Sementara tema patriotisme

atau kebangsaan, biasanya penyair mengajak pembaca untuk meneladani

orang-orang yang telah berkorban demi bangsa dan tanah air. Tema

kedaulatan rakyat biasanya menggambarkan bahwa rakyat memiliki

kekuasaan karena sebenarnya rakyatlah yang menentukan pemerintahan

suatu negara. Sementara tema keadilan sosial sering ditampilakn oleh

puisi-puisi yang menuntut keadilan bagi kaum tertindas. Puisi tersebut

biasanya kerap disebut puisi protes sosial karena mengungkapkan protes

karena ketidakadilan di dalam masyarakat yang dilakukan oleh kaum kaya,

penguasa, bahkan negara terhadap rakyat jelata.47

b. Perasaan (Feeling)

Perasaan merupakan sikap penyair terhadap persoalan-persoalan

yang dikemukakan dalam puisinya. Perasaan yang menjiwai puisi dapat

berupa perasaan gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, takut, patah

hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, dan menyesal.48

Pengutaraan

rasa dan tema berkaitan erat dengan latar belakang penyair, baik sosial

maupun psikologis. Misanya, latar belakang agama, pendidikan, kelas

sosial, pengalaman sosiologis dan psikologis, usia, atau bahkan jenis

46 Patricia Opaskar dan Mary Ann Trost, Op. Cit., h. 231. 47 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 17—28. 48

Ibid., h. 40.

Page 38: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

26

kelamin. Dengan demikian, meskipun hendak mengungkapkan tema yang

sama, penyair yang satu akan menghasilkan puisi yang berbeda dengan

penyair lainnya.

c. Nada dan Suasana (Tone)

E. Kosasih mengungkapkan bahwa dalam menulis puisi, penyair

memiliki sikap tertentu terhadap pembaca: apakah dia ingin bersikap

menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya

menceritakan sesuatu kepada pembaca. 49

Dalam hal tersebut, nada atau

tone merupakan sikap penyair terhadap pembacanya. Sikap ini akan

sejalan dengan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang

dihadapinya.50

Usai membaca puisi, sebagai seorang pembaca kerap mengalami

seolah merasakan suasana yang terbawa dalam puisi tersebut. Membaca

puisi terasa lebih hidup ketika pembaca merasakan suasana yang

diciptakan penyair. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi.

Adapun suasana adalah akibat yang ditimbulkan puisi itu terhadap jiwa

pembaca.

d. Amanat (Intention)

Amanat merupakan pesan moral atau ajaran yang dapat dipetik dari

sebuah karya sastra, puisi misalnya. Tentu saja untuk dapat memetik atau

mengambil ajaran atau pesan moral dalam sebuah karya sastra diperlukan

interpretasi terhadap karya sastra.51

Amanat yang hendak diutarakan oleh

penyair dapat ditelaah usai pembaca memahami tema, rasa, dan nada puisi

itu. Karya sastra termasuk puisi selain sebagai hiburan, tentu juga

berfungsi sebagai sarana pendidikan. Amanat, pesan, dan nasihat

merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi.

Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca melalui sikap dan pengalaman

pembaca. Selain itu, amanat tidak dapat lepas dari tema da nisi puisi yang

dikemukakan penyair.

49 E. Kosasih, Op. Cit, h. 39. 50 Maman Suryaman dan Wiyatmi, Op. Cit., h. 84. 51Ali Imron Al-Ma‘ruf dan Farida Nugrahani, Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi,

(Surakarta: CV Djiwa Amarta Press, 2017), h. 71.

Page 39: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

27

Berdasarkan uraian struktur puisi di atas, dapat diketahui bahwa puisi

bersifat sistemis. Sistemis yang dirujuk yakni susunan unsur-unsur yang

bersistem, yang antar-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling

menentukan. Jadi, unsur-unsur dalam sebuah puisi saling terikat, saling

berkaitan, dan saling bergantung.

B. Representasi dalam Sastra

Hal mengungkapkan pengertian dasar representasi bahwa menurutnya

konsep tentang representasi memiliki tempat baru dan penting dalam studi

kebudayaan. Representasi menghubungkan makna dalam bahasa untuk

kebudayaan. Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan

sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili dunia yang penuh makna.

The concept of representation has come to occupy a new and

important place in the study of culture. Representation connects

meaning and language to culture. Representation means using

language to say something meaningful about, or to represent, the

world meaningfully.52

Dwi Susanto mengutip Gayatri Spivak (1990) yang memperkenalkan

dua istilah untuk representasi. Pertama, dia mendefinisikannya sebagai politik

atau membicarakan seseorang, hasrat seseorang, atau sesuatu. Kedua,

representasi sebagai ‗wakil‘ dan ‗lukisan orang‘.53

Representasi dalam politik

berarti beberapa orang yang dipilih oleh rakyat dan berpihak kepada

masyarakat secara keseluruhan sebagai ‗perwakilan‘ mereka dalam kongres

atau parlemen. Hal yang sama berlaku dalam bahasa, media, dan komunikasi,

representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan hal lainnya yang

mewakili ide, emosi, fakta, dan sebagainya.54

Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan

dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang

bermacam-macam atau sistem tekstual. Hal ini melalui fungsi tanda

52 Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, (Great

Britain: Sage Publicatons Ltd., 1997), h. 5. 53 Dwi Susanto, ―Representasi dalam Cerita Pieter Elberveld Karya Tio Ie Soei: Suatu

Kajian Pascakolonial‖, dalam http://journals.ums.ac.id/index.php/KLS/article/view/4952, (Jurnal

Kajian Linguistik dan Sastra, 2008), h. 13 diakses pada 22 Oktober 2020. 54 John Hartley, Communication, Cultural, & Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta:

Jalasutra, 2010), h. 265.

Page 40: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

28

‗mewakili‘ yang kita tahu dengan mempelajari realitas.55

Mengenai hal ini,

Nur Farida dan Eggy Fajar dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa

representasi merupakan gambaran atau cerminan kehidupan nyata suatu

masyarakat dalam sebuah karya sastra.56

Hal tersebut ditunjukkan oleh Dwi

Susanto dalam penelitiannya bahwa sebuah cerita dalam teks Pieter Elberveld

karya Tio Ie Soei melakukan pendiskreditan yang juga dimaknai sebagai

bentuk penolakan terhadap gagasan eksklusif dan anti-nasionalis.57

Sebagai salah satu karya sastra, puisi juga dapat memuat berbagai

persoalan dalam kehidupan manusia. Puisi sering kali digunakan sebagai

media kritik oleh penyair sehingga bentuk empati dan simpati penyair larut

dalam sebuah puisi terhadap kritik situasi kehidupan sosial atau masyarakat

yang tidak sesuai dengan norma yang seharusnya. Berbagai aspek kehidupan

manusia terekam dan direpresentasikan secara baik dalam puisi. Oleh

karenanya, puisi kerap menjadi dokumen sosio bahkan histori dalam

masyarakat.

C. Potret Historis Mei 1998

Remuknya ekonomi masa Orde Baru bertemu dengan represi politik

yang memuncak, serta situasi-situasi krusial lain yang menyertai tersebut

mengantarkan jatuhnya Soeharto, presiden kedua Indonesia yang lebih dari

tiga puluh tahun berkuasa. Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi

perekonomian bangsa. Periode ini berlangsung sangat tragis dan tercatat

sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Hanya

dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang

diraih dalam dua dekade seolah tenggelam begitu saja.58

Awal Juli 1997 terjadi Krisis Moneter Asia yang diawali dengan

anjloknya mata uang baht di Thailand. Dengan cepat Indonesia terseret ke

55Ibid. 56 Nur Farida dan Eggy Fajar, ―Representasi Kesenjangan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Pesisir dengan Perkotaan dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer‖, dalam

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/kembara/article/view/7447, (Jurnal Kembara, 2019), h. 2,

diakses pada 22 Oktober 2020. 57 Sayidatul Ummah, ―Representasi Keindonesiaan dalam Fatimah (1938) Karya Hoesin

Bafagih‖, dalam http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/view/11745/pdf, (Jurnal

Buletin Al-Turas, 2019), h. 321, diakses pada 22 Oktober 2020. 58 Arin Kusumaningrum, Runtuhnya Orde Baru, (Tangerang: Maraga Borneo Tarigas,

2019), h. 1.

Page 41: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

29

dalam krisis dan rupiah merosot. Dalam waktu singkat, krisis menggerogoti

seluruh kawasan dan menyebabkan masyarakat panik. Terjadi pemborongan

dan penumpukan barang serta pangan oleh masyarakat elite. Semua bahan

pangan pokok nyaris hilang dari pasar. Rakyat yang tidak mampu

menjangkau kebutuhannya semakin menderita.

Pemilihan umum keenam dalam pemerintahan Orde Baru

dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Pemerintah menyesuaikan Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pada 7 Januari 1998

dengan lonjakan dolar yang mencapai Rp11.700 per dolar. Dua hari

setelahnya, pasar swalayan bahkan tradisional diserbu setelah muncul isu

akan terjadi kelangkaan pangan sehingga sembako ludes dalam sekejap dan

dolar melambung hingga 16000-an. Soeharto dipilih kembali sebagai presiden

untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung pada 1—

11 Maret 1998 dengan wakil presiden B.J. Habibie. Setelah susunan Kabinet

Pembangunan VII diumumkan, bau nepotisme dan wajah baru menghiasi.59

Pada 18 April 1998 aksi mahasiswa marak di mana-mana, panglima

ABRI berupaya meredamnya dengan mengadakan dialog dengan mahasiswa

di arena Pekan Raya Jakarta, tetapi tanpa banyak hasil, demo terus

berlangsung. Berlanjut ketika 1 Mei 1998 rapat Menteri Kabinet

Pembangunan VII dengan diketuai Soeharto memutuskan bahwa reformasi

seperti yang dituntut mahasiswa akan dilaksanakan setelah tahun 2003, yakni

setelah berakhirnya masa jabatan Soeharto. Namun, tak lama kemudian

diralat bahwa reformasi akan segera dilaksanakan.60

Situasi kian hari kian buruk. Proyek-proyek prasarana yang sangat

dibutuhkan, mandek. Lebih parah lagi, tidak kelihatan langkah-langkah

maupun gejala-gejala yang memberi indikasi situasi akan membaik.61

Situasi

ini semakin memicu kerusuhan dan bentrokan terjadi di banyak titik. Aparat

keamanan yang membabi buta kepada mahasiswa dan rakyat.

59 Pusat Data dan Analisa Tempo, Detik-detik Terjadinya Kerusuhan Mei 1998, (Jakarta:

Tempo Publishing, 2019), h. 47—49. 60 Ibid.,h. 49—50. 61

Dewi Anggraeni, Op. Cit., h. 20.

Page 42: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

30

Pada 11 Mei 1998 reformasi meminta korban. Empat mahasiswa

Universitas Trisakti, masing-masing Elang Mulia, Heri Hartanto,

Hendriawan, dan Hafidin Royan tewas diterjang peluru aparat ketika bentrok

mahasiswa yang berkampus di Grogol, Jakarta Barat, itu dengan aparat tak

terhindarkan. Seiring dengan gugurnya pahlawan reformasi dari Trisakti,

kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan serampak melanda seluruh pelosok.

Ratusan orang di dalam gedung, pasar, dan supermarket terperangkap serta

tewas terpanggang api.62

Di Jakarta, mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan

akademisi mulai menyuarakan tuntutan agar Presiden Suharto turun dari

jabatannya. Namun, dalam aksi-aksinya pengunjuk rasa ini menghadapi

bahaya fisik serius karena aparat keamanan langsung dikerahkan untuk

―mengamankan‖ mereka. Kendati demikian, aksi-aksi ini tidak berhenti

begitu saja. Tiap hari ada saja sejumlah pendemo yang ditangkapi lalu

ditahan. Keadaan yang demikian membuat kemarahan, rasa dikhianati,

sehingga pendemo semakin bertambah dan keputusasaan dirasakan oleh

rakyat.

Empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta tewas dan

kawasan bisnis dan pemukiman yang banyak dihuni warga etnis Tionghoa

menjadi sasaran kerusuhan hebat. Pembakaran, penjarahan, penganiayaan

terjadi tanpa ada aparat keamanan yang datang menolong, meskipun warga

mengatakan berkali-kali menelepon dan memanggil mereka. Bahkan aparat

yang kelihatan di dekat tempat-tempat itu, menurut kisah warga, hanya

mengawasi dan tidak berbuat apa-apa untuk menghalangi apalagi

menghentikan aksi-aksi kejahatan di dekat dan di sekitarnya.

Aksi kekerasan ini makin lama makin mengerikan. Mal-mal yang ada

toko-toko milik etnis Tionghoa juga dibakar. Sebelum dibakar, sejumlah

individu tak dikenal meneriakkan yel-yel yang mengobar-ngobarkan

kebencian terhadap etnis Tionghoa, dan kerumunan rakyat yang ―kena‖

hasutan ini disemangati untuk masuk ke dalam untuk menjarah.

62

Pusat Data dan Analisa Tempo, Op. Cit., h. 52—53.

Page 43: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

31

Dalam hiruk-pikuk politik ini, luput dari pemberitaan media nasional,

peristiwa keji yang terjadi selama kerusuhan perusakan, penghancuran,

penjarahan, dan penganiayaan di kawasan-kawasan yang dimukimi etnis

Tionghoa di Jakarta pada 13-15 Mei. Namun, ini tidak berarti warga yang

menyaksikan tidak membicarakannya. Akhirnya, para aktivis sosial yang

tergabung dalam lembaga-lembaga swadaya masyarakat mulai

mengendusnya.

Pada tahun 1997—1998, sastrawan seperti tersihir oleh gerakan

reformasi dan sekadar bertindak sebagai penonton. Sastrawan Indonesia

memang terlibat aktif dalam gerakan yang berhasil meruntuhkan kekuasaan

Orde Baru itu, tetapi mereka tidak memainkan peranan penting dalam ikut

menentukan arah gerakan reformasi.63

Rentetan-rentetan peristiwa tersebut pada akhirnya memuncak dan

megakibatkan pengorbanan yang sangat besar dari rakyat yang tertindas.

Meskipun demikian, pengorbanan tersebut tidak sia-sia, menghasilkan

perubahan besar dalam sejarah perkembangan kehidupan, politik, ekonomi,

dan sosial bangsa Indonesia.

D. Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah

Undang-Undang Sisdiknas tahun 1989 menguraikan bahwa pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya dan masyarakat.64

Secara sederhana, pendidikan mengupayakan

pembentukan manusia dengan kepribadian dan nilai-nilai yang sesuai dan

berlaku di masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, pendidikan

memiliki berbagai perubahan kurikulum yang pada akhirnya dewasa ini

63 Maman S. Mahayana, Jalan Puisi: Dari Nusantara ke Negeri Poci, (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2016), h. 183. 64 Muhammad S. Sumantri dan Durotul Yatimah, Pengantar Pendidikan, dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=MKDK400102,, (Tangerang Selatan:

Universitas Terbuka, 2016), h. 2.2, diakses pada 26 Oktober 2020.

Page 44: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

32

menggunakan Kurikulum 2013 yang menekankan aspek kompetensi dan

karakter peserta didik.

Badan Standar Nasional Pendidikan pada tahun 2006

menyempurnakan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia bahwa

kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan

penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap

bahasa dan sastra Indonesia. Dengan demikian, peserta didik harus memiliki

kemampuan mengapresiasi karya sastra.

Pada dasarnya hakikat pendidikan adalah membina peserta didik ke

arah pertumbuhannya menjadi manusia yang dapat bermasyarakat dengan

baik. Oleh karena itu, sejalan dengan sifatnya, karya sastra ―menghibur‖ dan

―mendidik‖ memiliki tujuan yang merupakan bagian dari tujuan pendidikan

secara keseluruhan karena proses belajar dan mengajarkan sastra merupakan

bagian dari proses pendidikan. Hal itu menunjukkan bahwa karya sastra dapat

menyimpan berbagai ajaran hidup yang dapat membantu peserta didik menjadi

insan yang tumbuh dengan baik di masyarakat. Menurut B. Rahmanto,

pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh jika mencakup

empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan

pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta membentuk

watak.65

Karya sastra bermanfaat bagi kemampuan berbahasa terutama

perkembangan pola linguistik dan kemahiran berbahasa reseptif maupun

produktif. Dengan memperkenalkan karya sastra sejak dini, hal tersebut akan

meningkatkan kemampuan berbahasa anak-anak. Kemampuan berbahasa di

sini meliputi kemampuan linguistik yang mencakup fonologi, sintaksis, hingga

semantik, serta kemampuan empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak,

membaca, berbicara, dan menulis. Semakin didekatkan dengan karya sastra

yang bermutu, semakin meningkat pula kemampuannya menyimak, membaca,

berbicara, dan menulis sastra.66

65 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 16. 66 Memen Durachman dkk., Pengajaran Apresiasi Sastra, dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?subfolder=PBIN4219/&doc=M3.pdf (Tangerang

Selatan: Universitas Terbuka), h. 3.9, diakses pada 25 Oktober 2020.

Page 45: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

33

Selain mampu menambah kompetensi berbahasa, karya sastra pun

mampu meluaskan pengetahuan pembaca pada beragam budaya, baik budaya

negeri sendiri maupun budaya negara lain. Dengan menguraikan budaya yang

ada di dalam karya sastra yang dipelajari, hal tersebut memperkuat pembaca

untuk lebih mengenal dan memahami latar tempat, sejarah, dan waktu suatu

peristiwa. Hal tersebut akan memunculkan sikap bangga terhadap budaya

bangsa sendiri dan mampu bersaing dengan percaya diri di tengah arus budaya

bangsa lain.

Apresiasi sastra adalah kegiatan membaca karya sastra disertai dengan

penghayatan yang sungguh-sungguh hingga menimbulkan penghargaan yang

baik terhadapnya dan menimbulkan pemahaman terhadap nilai-nilai berupa

pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.67

Hal tersebut meliputi

kepekaan perasaan dan kepedulian akan nilai-nilai kehidupan, terutama

kemanusiaan sehingga memiliki bukan saja simpati melainkan empati dan

toleransi terhadap sesama manusia. Yosi Abdian Tindaon mengutip Oemarjati

bahwa pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu

memperkaya pengalaman peserta didik dan menjadikannya lebih tanggap

terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah

menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-

masalah manusiawi, pengenalan, dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik

dalam konteks individual, maupun sosial.68

Kontribusi pembelajaran sastra yang penting lainnya adalah berperan

dalam pembentukan watak, karakter, dan moral peserta didik. Hal tersebut

menjadi pokok yang sengaja disampaikan sastrawan melalui karya sastra yang

ditulisnya. Dalam hal ini, moral merupakan hal abstrak, maka penanaman

nilai-nilainya dalam lingkungan pendidikan pun semestinya dilakukan melalui

sarana yang imajinatif. Karya sastra hadir sebagai sarana imajinatif yang

memuat khazanah nilai-nilai kebaikan untuk peserta didik.69

Pengalaman-

pengalaman peserta didik tersebut diperoleh dengan menyintesiskan

67 Ali Imron Al-Ma‘ruf dan Farida Nugrahani, Op. Cit., h. 26—27. 68 Yosi Abdian Tindaon, ―Pembelajaran Sastra sebagai Salah Satu Wujud Implementasi

PendidikanBerkarakter‖,dalamhttps://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/basastra/article/view/198

/77 (Jurnal Basastra, 2012), diakses pada 27 Oktober 2020. 69

Memen Durachman dkk., Op. Cit., h. 3.32.

Page 46: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

34

pengalaman yang dibawa oleh pengarang/penyair dalam karya sastranya yang

mampu membawa peserta didik untuk menggunakan wawasan imajinatif,

fiktif, hingga wawasan realitas yang dimilikinya.70

Pembentukan watak,

karakter, dan moral diharapkan mampu membangun moralitas dalam benak

peserta didik hingga diimplementasikan dalam kehidupannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidik harus

membiasakan peserta didik membaca sastra sehingga dalam proses

menganalisisnya peserta didik mampu mengapresiasi karya sastra dengan

baik, serta mampu memahami bahkan mangaplikasikan nilai-nilai kebaikan

yang terkandung di dalam karya sastra tersebut, sehingga berujung pada

pembentukan karakter peserta didik yang cerdas, berbudaya, simpati dan

empati terhadap kemanusiaan, serta bermoral dalam kehidupan

bermasyarakatnya.

E. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan diperlukan sebagai referensi dan rujukan

terhadap penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga dijadikan acuan

untuk menghindari plagiasi saat penelitian dilakukan. Penelitian ini memiliki

beberapa penelitian yang dianggap relevan mengenai puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo.

Pertama, akan diuraikan penelitian yang relevan dengan puisi Sajak

Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra di antaranya adalah skripsi

berjudul Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya

W.S. Rendra oleh Yusuf, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tahun 2015. Penelitiannya menguraikan nilai-nilai pendidikan puisi-puisi

dalam antologi tersebut, salah satunya Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

sebagai kajian nilai pendidikan religius dan nilai pendidikan sosial. Tujuan

penelitian ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung

dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra, yaitu

ditemukan beberapa nilai-nilai pendidikan di antaranya: nilai kebersamaan,

kebebasan, keserakahan, perlawanan, kritik terhadap para elite politik,

70 Suhariyadi, ―Pembelajaran Sastra Prinsip, Konsep, dan Model Pembelajaran Sastra‖,

dalam http://journal.unirow.ac.id/index.php/teladan/article/download/8/7, (Jurnal Teladan, 2016),

h. 66, diakses pada 29 Oktober 2020.

Page 47: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

35

ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan kritik terhadap para penguasa,

saling menghargai antarumat beragama, kesadaran hidup, serta memberikan

pendidikan yang baik bagi masyarakat, mengingat dalam puisi diberikan

gambaran bagaimana seharusnya pendidikan itu.71

Penelitian lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah

skripsi berjudul Protes Sosial dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Karya W.S. Rendra: Tinjauan Sosiologi Sastra oleh Manisyah Haraito

Panggabean, Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara pada tahun 2018.

Penelitian tersebut mendeskripsikan protes sosial dalam puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia karya W.S. Rendra. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi

sastra. Instrumen penelitian dilakukan dengan studi dokumentasi. Hasil dari

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa protes sosial pada puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia berkaitan dengan protes dalam bentuk keprihatinan,

penolakan, penyanggahan, dan pengutukan.72

Selanjutnya penelitian lain mengenai puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra terdapat skripsi berjudul Kritik Sosial dalam

Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra: Analisis Semiotik

oleh Onie Wanung Siwi Hasanah, Universitas Widya Dharma Klaten pada

tahun 2019. Penelitian tersebut menggunakan teori hermeneutika untuk

mengurai bentuk kritik sosial pada kumpulan puisi tersebut, salah satu

kajiannya puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia. Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode analisis semiotika. Metode ini memfokuskan pada tanda dan

teks sebagai kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami

kode di balik tanda dan teks objek yang diteliti. Analisis semiotika yang

dipakai dalam penelitian ini adalah analisis semiotika Riffaterre. Objek

penelitian ini adalah muatan kritik sosial dalam kumpulan puisi Doa untuk

71 Yusuf, ―Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S.

Rendra‖ (Tangerang: UIN Jakarta), dalam

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/28089. 72 Manisyah Haraito Panggabean, ―Protes Sosial dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia Karya W.S. Rendra: Tinjauan Sosiologi Sastra‖, dalam

http://repository.umsu.ac.id/xmlui/handle/123456789/9920 (Medan: Universitas Muhammadiyah

Sumatra Utara, 2018).

Page 48: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

36

Anak Cucu karya W.S. Rendra. Dalam penelitian ini diperoleh simpulan bahwa

kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu adalah

kritik terhadap kondisi Indonesia pada masa Orde Baru yang dapat

dikategorikan ke dalam empat kategori sebagai berikut: 1) kritik terhadap

penderitaan rakyat kecil, 2) kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintah,

3) kritik terhadap pelanggaran HAM, dan 4) kritik terhadap fakta dan

kenyataan sosial yang dialami masyarakat.73

Selain skripsi, terdapat makalah berjudul Analisis Simbolik Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia oleh A.M. Bayu Al Gazali S.M., mahasiswa Sastra

Inggris Universitas Hasanuddin Makasar pada tahun 2007 telah mengkajinya

menggunakan teori semiotik. Makalah tersebut dengan singkat mengemukakan

bahwa Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia ini tentang jatuhnya sebuah rezim

kekuasaan yang disebabkan sebuah kepercayaan rakyat yang telah dilanggar

dan hukum menjadi tidak lagi berarti sehingga rakyat menjadi korban.74

Selain itu, terdapat artikel jurnal berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan

Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra menggunakan pendekatan

sosiologi sastra dan teori hermeneutika membahas puisi-puisi di dalam antologi

tersebut yang salah satunya adalah puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.

Dengan mengambil sejumlah 22 buah puisi, penelitian oleh Jamiatul Hamidah

ini mendeskripsikan bentuk-bentuk kritik sosial yang tercermin dalam

kumpulan puisi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi

sastra dan pendekatan hermeneutika yang mengutamakan teks sebagai bahan

penelaahan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial yang

ditemukan dan tergambar dalam puisi Rendra adalah fenomena nyata yang

pernah terjadi atau ada di kehidupan sekitar pengarang. Adapun jenis kritik

sosial yang paling dominan adalah jenis kritik sosial terhadap masalah keadilan

73 Onie Wanung Siwi Hasanah, ―Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu

Karya W.S. Rendra: Analisis Semiotik‖, dalam http://repository.unwidha.ac.id:880/1651/

(Universitas Widya Dharma, 2019). 74 A.M. Bayu Al Gazali S.M., ―Analisis Simbolik Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia‖,

(Makasar: Universitas Hasanuddin, 2007), dalam https://id.scribd.com/doc/14122162/Analisis-

Simbolik-Sajak-Bulan-Mei-1998-Di-Indonesia.

Page 49: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

37

(12 puisi), kejahatan (10 puisi), ekonomi (10 puisi), birokrasi/pemerintahan (9

puisi), dan pelanggaran norma-norma masyarakat (6 puisi).75

Selanjutnya, sebuah makalah berjudul Analisis Puisi Londo Ireng

(Riekhe D. Pitaloka) dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia (W.S. Rendra)

oleh Dyah Nanda Pratiwi Handoyo Putri mahasiswa Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Universitas Brawijaya, pada tahun 2014 yang membahas

struktur fisik dan struktur batin yang membangun puisi tersebut.76

Selanjutnya, penelitian yang relevan dengan puisi Mei karya Joko

Pinurbo di antaranya makalah berjudul Analisis Puisi „Mei‟ dan Puisi „Bayi di

dalam Kulkas‟ Karya Joko Pinurbo: Kajian Stilistika Puisi oleh Fitria

Cahyaningrum, mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Indonesia,

Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2015. Peneliti tersebut

menyimpulkan bahwa Joko Pinurbo lebih menekankan makna puisi dengan

menggunakan diksi yang berbeda dan mengandung konotasi. Dari kedua puisi

yang diteliti, Joko Pinurbo menyoroti kegalauan masyarakat terkait nasib dan

kesejahteraan melalui bahasa kiasan yang dimunculkan pada diksi puisi Mei

dan puisi Bayi di Dalam Kulkas.77

Selain itu, tulisan berjudul Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh

Potensi oleh Okke Kusuma Sumantri Zaimar dalam acara Gelar Sastra Dunia:

Seminar Hasil Penelitian tahun 2005, mengkaji puisi Mei sebagai salah satu

karya yang menunjukkan bagaimana gaya penulisan Joko Pinurbo.78

Penelitian ini berjudul Representasi Tragedi Mei 1998 dalam Puisi

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei Karya

Joko Pinurbo serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ini

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena akan memfokuskan

75 Jamiatul Hamidah, ―Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya

W.S. Rendra‖, (Universitas Lambung Mangkurat: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajaran, 2015),

dalam https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jbsp/article/view/3708. 76 Dyah Nanda Pratiwi Handoyo Putri, ―Analisis Puisi Londo Ireng (Riekhe D. Pitaloka)

dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia (W.S. Rendra), (Malang: Universitas Brawijaya, 2014)‖

dalamhttps://www.academia.edu/29113391/ANALISIS_PUISI_LONDO_IRENG_RIEKA_D_PIT

ALOKA_DAN_SAJAK_BULAN_MEI_1998_DI_INDONESIA_W_S_RENDRA_. 77 Fitria Cahyaningrum, ―Analisis Puisi ‗Mei‘ dan Puisi ‗Bayi di dalam Kulkas‘ Karya Joko

Pinurbo: Kajian Stilistika Puisi‖, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2015), dalam

https://id.scribd.com/document/328442145/Analisis-Puisi-Joko-Pinurbo. 78 Okke Kusuma Sumantri Zaimar, ―Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh Potensi‖,

(Depok: Universitas Indonesia, 2005).

Page 50: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

38

kajian kedua puisi dalam merepresentasikan tragedi Mei 1998 dengan kajian

representasi sastra dan melihat bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran

sastra di sekolah.

Page 51: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

38

BAB III

BIOGRAFI PENYAIR DAN PEMIKIRANNYA

A. W.S. Rendra

1. Biografi dan Pemikiran

Raden Mas Willibrordus Surendra Broto merupakan nama asli

sastrawan besar W.S. Rendra. Ia lahir pada 7 November 1935 di Surakarta

(Solo), Jawa Tengah dan meninggal tahun 2009 di Depok, Jawa Barat.

Ayahnya, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo (Broto), terkenal sebagai

guru bahasa terutama Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa SMA Katolik di

Solo. Selain bergelut dengan pendidikan bahasa Indonesia di SMA Katolik

Solo, Pak Broto juga terkenal sebagai orang yang bisa bermain drama

tradisional.1

Seperti kedua orang tuanya yang beragama Katolik, W.S. Rendra

Rendra lahir dan tumbuh di keluarga Katolik dan lingkungan budaya Jawa.

Akan tetapi, ketika ia menikah dengan istrinya yang kedua, Sitoresmi

Prabuningrat, pada 12 Agustus 1970 dia beralih ke agama Islam dan namanya

hanya Rendra. Istrinya yang pertama ialah Sunarti Soewardi, banyak

memberikan inspirasi dalam puisi-puisinya. Sunarti dan Sitoresmi, keduanya

pemain drama dalam grup teater Rendra. Istri yang terakhir, Ken Zuraida,

juga pemain drama.

W.S. Rendra memulai pendidikannya di taman kanak-kanak tahun

1942. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan dasar dan menengah hingga

tahun 1952. Semua pendidikan itu dijalaninya di sekolah Katolik, Solo, Jawa

Tengah. Setelah tamat SMA, ia berniat belajar di Akademi Luar Negeri di

Jakarta. Akan tetapi, sekolah itu telah ditutup sebelum W.S. Rendra tiba di

Jakarta, yang kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas

Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tetapi hanya mencapai gelar

1 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, ‖Rendra‖ dalam

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Rendra diakses pada 7 Juni 2021.

Page 52: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

39

sarjana muda. Pada 2008 ia memperoleh gelar doctor honoris causa dari

universitas ini.2

Sejak di bangku sekolah dasar, W.S. Rendra aktif membaca karya-

karya sastra dan mulai menulis sajak, mengarang, dan mementaskan drama

untuk kegiatan di sekolahnya. Tulisannya meliputi berbagai bidang seni, yaitu

puisi, cerita pendek, esai, dan drama, hingga kegiatannya tidak lepas bermain

drama dan membaca puisi. Ketika bersekolah di SMA ia telah menerbitkan

majalah drama sejumlah 500 eksemplar. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam

berbagai majalah tahun 50-an. Hingga saat ini, beberapa karyanya

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda.3

W.S. Rendra adalah seorang seniman dan memulai pekerjaannya di

atas panggung. Ia membentuk dan menghidupkan grup teater di Yogyakarta

(yang dinamainya Bengkel Teater) setelah kembali dari perjalanan keduanya

ke Amerika pada tahun 1968. Hingga kini Bengkel Teater Rendra sangat

terkenal di Indonesia dan tetap menjadi basis untuk kegiatan keseniannya.

Bengkel Teater tersebut memberi suasana baru dalam kehidupan teater

Indonesia.

Karya-karya sastra yang sejak awal ia baca terutama karya-karya

Chairil Anwar. Dalam perjalanannya, W.S. Rendra amat mengagumi

Frederico Garcia Lorca, penyair Spanyol yang juga membawa pengaruh besar

dalam aliran romantik atau kembali ke alam. Kekagumannya sampai-sampai

ia menyelaraskan singkatan F.G. Lorca dengan namanya menjadi W.S.

Rendra.

Namanya sebagai sastrawan besar amat mashur hingga kini sejak

tahun 1950-an. Julukan sebagai ―Si Burung Merak‖ diberikan karena

penampilannya sebagai deklamator selalu penuh pesona. W.S. Rendra adalah

salah satu penyair penting asal Jawa yang di dalam puisi-puisinya tak dapat

menghindarkan diri dari pengaruh kebudayaan (Jawa) yang telah melahirkan

dan membesarkannya.4

2 Ibid. 3 Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud, Sastrawan Indonesia Penerima

Hadiah Sastra Asia Tenggara, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 3—5. 4 Maman S. Mahayana, Op. Cit., h. 178.

Page 53: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

40

Sebagai salah satu tokoh utama penyair 1950-an, di mana periode ini

disebut sebagai periode romantik dan kembali ke alam. Puisi-puisi yang

digubahnya pada tahun 1950-an tentu beraliran romantik. Di samping

terwujud dalam puisi bertema cinta dan petualangan, juga tampak pada kata

pengantar kumpulan puisinya bahwa ia menuis karena perasaan, gunung-

gunung, daun-daun, dan air sungai (bersifat mementingkan emosi dan banyak

melukiskan alam). Di tahun-tahun tersebut W.S. Rendra juga banyak menulis

puisi-puisi naratif balada. Balada-balada karyanya tersebut dikumpulkan

dalam buku Ballada Orang-orang Tercinta.

Umumnya puisi-puisi W.S. Rendra ada tiga jenis, yaitu puisi romantik

(tahun 1950 sampai 1960), puisi protes sosial (Blues untuk Bonnie, 1971;

Potret Pembangunan dalam Puisi, 1978; Orang-orang Rangkas Bitung,

1996) serta puisi-puisi renungan hidup (Disebabkan Karena Angin, 1997).

Puisi-puisi romantiknya sangat lembut, manis, dan alami, kemudian

dikumpulkan dalam Empat Kumpulan Sajak (1961), Balada Orang-orang

Tercinta (1957), dan Sajak-sajak Sepatu Tua (1972). Empat Kumpulan Sajak

terdiri atas empat bagian, yaitu ―Kakawin-kawin‖, ―Malam Stanza‖,

―Nyanyian dari Jalanan‖, dan ―Sajak-sajak Dua Belas Perak‖. ―Kakawin-

kawin‖ mengisahkan romantisnya masa pacaran sampai perkawinan W.S.

Rendra dengan Sunarti Suwandi, seorang penyanyi seriosa, putri seorang

tokoh dan pengasuh acara musik di RRI Yogyakarta.5

Puisi W.S. Rendra mengandung banyak lambang. Penciptaan lambang

ini merupakan kekhususan dan sekaligus kelebihannya dalam berpuisi.

Penyair hebat ini adalah perpaduan antara berbagai pesona dari sikap kritis

yang berani, pandangan sosial-politik yang tajam, sikap budaya yang kokoh,

drama dan teater yang aktual, puisi liris yang lembut, puisi sosial yang aktual,

dan pembacaan puisi yang memukau.6 Muncul sebagai sastrawan Indonesia,

W.S. Rendra memilih jalur perlawanan pada apapun yang dianggapnya

5 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 81. 6Jamal D. Rahman, dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 403—404.

Page 54: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

41

bertentangan dengan harkat dan hak asasi manusia. Itulah sebabnya puisi-

puisinya dikenal sebagai puisi-puisi protes.7

Ia adalah salah satu dari sedikit seniman Indonesia yang mau dan

mampu merumuskan pemikiran kebudayaan dan pendirian-pendirian

keseniannya. Sebagai seniman, dia tidak melihat kebudayaan dengan dingin

dalam sikap ketat seorang peneliti, melainkan sebagai orang-dalam yang

secara sadar turut memberi bentuk kepada kebudayaan itu.8 Kesadaran alam

dan kesadaran budaya sangat memengaruhi W.S. Rendra sebagai seniman,

khususnya sebagai penyair, dan kesadarannya sebagai pemikir kebudayaan.

Karya-karya W.S. Rendra antara lain adalah yang berbentuk (1)

kumpulan puisi a) Balada Orang-Orang Tercinta (1957), b) Kumpulan Sajak

(1961), c) Blues untuk Bonnie (1971), d) Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972), e)

Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), f) Nyanyian Orang Urakan (1985),

g) Disebabkan oleh Angin (1993), dan h) Orang-Orang Rangkasbitung

(1993), (2) naskah drama a) Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), b)

Selamatan Anak Cucu Sulaiman (1967), c) Mastodon dan Burung Kondor

(1972), d) Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), e) SEKDA (1977), dan f)

Panembahan Reso (1986), (3) pentas drama (teater) dengan naskah

pengarang lain, antara lain, a) ―Paraguay Tercinta‖ (1961) karya Fritz

Hochwalder, b) ―Oedipus Sang Raja‖ karya Sophocles, c) ―Oedipus di

Colonus‖ karya Sophocles, d) ―Antigone‖ karya Sophocles, e) ―Lysistirata‖

karya Aristophanes; f) ―Menunggu Godot‖ karya Samuel Beckett, g)

―Macbeth‖ karya William Shakespeare, h) ―Hamlet‖ karya William

Shakespeare, i) ―Pangeran Homburg‖ karya Heinrich von Kleist, j) ―Kasidah

Barzanji‖ karya Al Barzanji terjemahan Syu'bah Asa, k) ―Egmont‖ karya

Goethe, (4) pentas drama karya sendiri (a) ―Mastodon dan Burung Condor‖

(1973), (b) ―Perjuangan Suku Naga‖, (c) ―Panembahan Resso‖, (d) ―Sabda‖

(banyolan), (5) Kumpulan Esai Mempertimbangkan Tradisi (1983).

7 Maman S. Mahayana, Op. Cit., h. 179. 8 W.S. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 101.

Page 55: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

42

2. W.S. Rendra sebagai Penyair

Selain dikenal sebagai dramawan, W.S. Rendra menyebut dirinya

sebagai penyair. Dalam wawancaranya dengan majalah Gamma, ia diminta

untuk mendeskripsikan siapa dirinya. Ia menjawab dengan lugas ―penyair!‖.9

Dr. Boen S. Oemajati juga pernah membenarkan bahwa W.S. Rendra adalah

penyair. Dia menyebutkan bahwa W.S. Rendra ini pada hakikatnya seorang

penyair, seorang yang ajek menyelami dunia dan sekitarnya melalui intuisi

seorang penyair. 10

W.S. Rendra memang seorang penyair, dia menyampaikan

pesan dan gagasannya dengan medium sajak atau puisi.

Kumpulan puisi W.S. Rendra yang pertama adalah Ballada Orang-

orang Tercinta pada tahun 1957. Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku,

puisi-puisi tersebut telah dimuat dalam majalah Kisah. Tidaklah

mengherankan jika ia telah dikenal sebagai penyair, sebelum buku

pertamanya diterbitkan.11

Dalam puisi ini memunculkan pembaruan dari

puisi-puisi yang pernah ditulis oleh penyair-penyair lain yaitu dalam bentuk

balada. W.S. Rendra adalah penyair pertama yang menghadirkan balada

dalam kahazanah perpuisian Indonesia.

Di awal berkeseniannya, W.S. Rendra menulis puisi dan mementaskan

drama. Keduanya mempunyai napas yang sama, yaitu tidak lepas dari

kehidupan nyata. Dalam berkeseniannya berkiblat pada pesan-pesan Raden

Mas Soedjono atau Sultan Hamengkubowono I. Ia pun menulis ―Latihan

Sultan Hamengku Buwono di Masa Remaja‖. W.S. Rendra benar-benar

memahami dan mendalami sosok inspirasinya tersebut. Dari Sri Sultan yang

diajarkan oleh Mas Janadi (pengasuh Rendra saat Remaja), ia mendapat

sebuah falsafah “manjing sajroning kahanan” atau masuk dalam keadaan

(kenyataan). W.S. Rendra dalam puisi-puisinya selalu mengungkapkan

persoalan-persoalan kehidupan nyata yang langsung dilihat, dihayati, dan

dialaminya. Situasi aktual dan penuh kritik sosial seperti menjadi ciri khas

dalam puisi-puisinya yang syarat dengan tema kemanusiaan, politik, dan

sebagainya.

9 Bakdi Sumanto, Rendra Karya dan Dunianya, (Jakarta: Grasindo, 2017), h. 161. 10 Edi Haryono, Membaca Kepenyairan Rendra, (Yogyakarta: Kepel Press, 2005), h. 256. 11

Bakdi Sumanto, Op. Cit., h. 162.

Page 56: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

43

Kumpulan puisi lain yang ia tulis adalah Blues untuk Bonie yang saat

berada di Amerika. Selanjutnya, kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam

Puisi diterbitkan pada tahun 1983. Keduanya banyak mengungkapkan

kemanusiaan dan kritik sosial terhadap kekuasaan. Dalam Potret

Pembangunan dalam Puisi, W.S. Rendra berpihak pada kaum lemah miskin.

Ia bersimpati kepada mereka yang tertindas, terimpit, terampok, dan

kehilangan daya hidupnya. Ia ingin membangkitkan daya hidup mereka.

Daya hidup yang dimaksud W.S. Rendra adalah daya kreasi, akal

sehat, daya tumbuh kembang dalam diri manusia. Karena hidup bagi penyair

ini adalah kebudayaan, yang mesti selalu diolah dan dikembangkan.12

Sedangkan daya mati bukan mati secara kodratnya melainkan sifat yang

mengganggu daya hidup.

3. W.S. Rendra dan Tragedi 1998

Bulan Mei 1998 dipenuhi tangis dan darah. Amarah meledak di

hampir seluruh pojok Jakarta, juga di beberapa kota lain di Indonesia. Entah

berapa persisnya orang yang meregang nyawa di pertokoan dan gedung

perkantoran yang sengaja dibakar, entah oleh siapa. Tak pernah ada proses

yang terang benderang untuk mengusut kekejian di hari-hari gelap yang

disusul kejatuhan penguasa Orde Baru, Soeharto.

Peristiwa ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan

tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat

pun berkurang.13

Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional

gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan

agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.

Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung

DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di

Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat

bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organ mahasiswa

yang mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena

mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa

12Ibid., h.. 27. 13 Pusat Data dan Analisis Tempo, Detik-detik Terjadinya Kerusuhan Mei 1998, (Jakarta:

Tempo Publishing, 2019), h. 44.

Page 57: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

44

menuntut lengsernya Sang Presiden tercapai pada tanggal 21 Mei 1998, tapi

perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi semanggi dengan

gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat militer

bersenjata.

W.S. Rendra melalui Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia ingin

mengemukakan tentang jatuhnya sebuah rezim kekuasaan dikarenakan

kepercayaan telah dilanggar, ketika hukum tak lagi berarti, hingga rakyat

menjadi korban. Masa kejatuhan seorang penguasa dan kekuasaannya

dikiaskan dengan ―bulan gelap raja-raja‖. Pada bulan gelap raja-raja inilah

terjadi pergolakan di masyarakat, di mana korban-korban berjatuhan dan rasa

amarah telah mendominasi hati dan pikiran manusia. Dengan demikian, inilah

sisi buram kehidupan sebuah ketragisan hidup dan nasib manusia.

B. Joko Pinurbo

1. Biografi dan Pemikiran

Joko Pinurbo merupakan sastrawan Indonesia terkemuka di masa

2000-an hingga kini. Dikenal sebagai penyair yang lahir di Sukabumi, Jawa

Barat pada 11 Mei 1962. Karya-karyanya telah menorehkan gaya dan warna

tersendiri dalam dunia puisi Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan

terakhirnya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas)

Sanata Dharma, Yogyakarta. Kegemarannya mengarang puisi ditekuninya

sejak di sekolah menengah atas.

Selama perjalanan hidupnya, Joko Pinurbo Di antara sejumlah penyair

tahun 1980-an, ia juga memilih jalur sendiri, meskipun pengaruh Sapardi

Djoko Damono masih terasa dalam gaya pengucapannya.14

Joko Pinurbo

dimasukkan ke dalam kategori penyair yang masuk kelompok buku Tonggak

4 (Gramedia, 1987). Korrie Layun Rampan menyebut Joko Pinurbo banyak

berkarya sekitar tahun 2000 dan sesudahnya. Karya puisinya dimuat di

berbagai majalah dan surat kabar, antara lain Horison, Basis, Republika,

Puisi, dan Kompas. Puisi-puisinya juga didapatkan dalam buku-buku

kumpulan puisi, antara lain Sembilu (1991), Ambang (1992), Mimbar Penyair

Abad 21 (1996), Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998), Celana (2000).

14

Maman S. Mahayana, Op. Cit., h. 182.

Page 58: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

45

Pada tahun 2001 ia mendapat penghargaan dari Yayasan Lontar untuk

kumpulan puisi yang berjudul Celana (2000), jugan mendapat SIH Award

dari Yayasan Puisi Indonesia sebagai buku kumpulan puisi terbaik tahun

2001. Sementara bukunya yang berjudul Di Bawah Kibaran Sarung

(Indonesia Tera, 2001) mendapat penghargaan terbaik ketiga dari Dewan

Kesenian Jakarta.15

Joko Pinurbo dengan ciri khasnya di mana puisi tidak tampil sebagai

sesuatu yang ―angker‖ di satu kutub, sementara kutub lainnya diisyaratkan

keterampilan dan upaya yang sungguh-sungguh dalam mengolah kata. Dalam

membangun kalimat-kalimat puisinya, Joko Pinurbo menulisnya dengan

kalimat-kalimat sederhana. Namun, di dalam kesederhanaannya itu

mengandung kejutan-kejutan yang semua itu bermunculan atas daya

intelektual Joko Pinurbo dalam menafsir pengalamannya.16

Riris K. Toha Sarumpaet dalam pidato pemberian penghargaan

kepada Joko Pinurbo mengungkapkan bahwa Joko Pinurbo

menjungkirbalikkan kaidah artistik puisi dengan justru mengembalikan

bahasa puitik ke bahasa sehari-hari. Sajak-sajaknya juga kaya akan simbol,

lembut, dan mengandung misteri kehidupan. Selain itu, keunggulannya juga

terletak pada gaya ekspresinya yang pada umumnya berupa kontradiksi-ironi

dan paradoks, serta gaya surealistis dan imajis.17

Puisi-puisi yang dibuatnya banyak menceritakan ihwal kehidupan

sehari-hari, dari hal yang wajar untuk dikemukakan sampai kepada hal yang

tabu (menurut masyarakat), semuanya dikupas, diolah, dan dipoles sehinggah

menajdi suatu karya yang indah dan mudah untuk dibaca. Menurut Prof. Dr.

Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Staf Pengajar Program Studi Prancis FIB-

UI, jika ia membandingkan dengan puisi karya penulis modern Indonesia

lainnya, seperti W.S. Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, puisi Joko

15 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 174. 16Heni Hendrayani, Menikmati Pacar Senja, (Bandung: Harian Pikiran Rakyat), pada 26

Juni 2005, didokumentasikan PDS H.B. Jassin. 17Angela, ―Sabar, Lembut, dan Misterius‖, (Ruang Baca Koran Tempo, Edisi 30 September

2005) dalam http://jokpin.blogspot.com/2007/06/sabar-lembut-dan-misterius.html?m=1 diakses

pada Oktober 2021.

Page 59: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

46

Pinurbo ini memang mempunyai gaya tersendiri. Puisi-puisi ini tidak bergaya

―wah‖, melainkan penuh kesederhanaan.

Legitimasi terhadap Joko Pinurbo menunjukkan bahwa ada

pembaharuan dalam tradisi besar puisi lirik dan keinginan untuk menempuh

jalan lain yang berbeda dengan yang sudah ditempuh oleh penyair lain.

Ikhtiar untuk menjauh dari lirik dan mengonstruksi identitas penyair yang

dilakukan Joko Pinurbo ditempuh dengan pilihan-pilihan dan keputusan

dalam kegelisahan. Kegelisahan itu kemungkinan terkait dengan teknik

dan gaya penulisan. Keputusan dan pilihan besar akhirnya menjadikan Joko

Pinurbo memiliki identitas berbeda dengan penyair lain dalam keunikan dan

kekuatan yang mengagumkan.

2. Karya

1) Celana, IndonesiaTera, Magelang, 1999

2) Di Bawah Kibaran Sarung, IndonesiaTera, Magelang, 2001

3) Pacarkecilku, IndonesiaTera, Magelang, 2002

4) Telepon Genggam, Kompas, Jakarta, 2003

5) Kekasihku, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004

6) Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan, Grasindo, Jakarta, 2005

7) Kepada Cium, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007

8) Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2007

9) Tahilalat, Omahsore, Yogyakarta, 2012

10) Haduh, aku di-follow, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013

11) Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2013

12) Bulu Matamu: Padang Ilalang, Motion Publishing, Agustus 2014

13) Surat Kopi, Motion Publishing, Agustus 2014

14) Surat dari Yogya: Sepilihan Puisi, Reboeng dan Elmatera, Oktober

2015

15) Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan, Gramedia

Pustaka Utama, Juni 2016

Page 60: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

47

16) Malam Ini Aku Akan Tidur Di Matamu: Sehimpun Puisi Pilihan,

Gramedia Widiasarana Indonesia, Agustus 2016

17) Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi, Gramedia Pustaka Utama, Juli

2017

18) Srimenanti, Gramedia Pustaka Utama, April 2019

19) Perjamuan Khong Guan, 2020

20) Telepon Genggam, 2020

21) Salah Piknik, 2021

22) Sepotong Hati di Angkringan, 2021

3. Joko Pinurbo sebagai Penyair

Karya-karya Joko Pinurbo yang mengandung sentuhan jenaka yang

membungkus tema-tema serius merupakan karya-karya yang seringkali

menarik kritikus untuk mengkaji. Meskipun seringkali cara pandangnya

terhadap suatu tema diangkat secara jenaka atau terkesan main-main namun di

sisi lain Joko Pinurbo mengangkat hal-hal serius yang telah atau sedang

berlangsung di tengah-tengah masyarakat, tema-tema yang diusungnya sangat

penting dan menarik untuk dikaji.

Joko Pinurbo adalah penyair kontemporer yang memiliki kebebasan

dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih. Puisi naratifnya sangat ringan

ketimbang puisi dengan larik lirik yang rumit, namun, tetap sarat akan misteri

dankedalaman. Hal serupa diungkapkan oleh Ignas Kleden yang menilai

bahwa pada puisi Joko Pinurbo yang mendapat sorotan utama adalah badan,

diselidikinya dengan renungan yang intens, dan diberi peran ganda, baik

sebagai tanda (signifier) maupun sebagai apa yang hendak ditandai (the

signified).18

Lebih dalam lagi Ignas menjelaskan sebagai berikut:

―Pandangan penyair terhadap badan, jauh dari pandangan erotis, yang

melihat tubuh sebagai penjelmaan keindahan, daya tarik atau sex appeal,

tetapi lebih berupa suatu pandangan filosofis, yang kadang eksistensial,

18 Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya,

(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), h. 247.

Page 61: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

48

kadang ontologis sifatnya, tetapi selalu disertai dengan humor yang kental

uang kadang mendekati sarkasme.‖19

Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah ironi-ironi yang diungkapkan dengan

kata-kata banal. Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang

sakral meski tidak berarti ia menyepelekan suatu konteks yang membangun

puisi itu sendiri. Sapardi mengatakan, ―Beberapa sajak Joko Pinurbo mungkin

lucu, terutama jika di lisankan di hadapan khalayak yang belum pernah secara

cermat membacanya.‖20

Lebih jauh Sapardi menganggap benda-benda yang disebutkan dalam

puisi Joko Pinurbo merupakan lambang-lambang yang membentuk sistem

perlambangan tertentu yang erat sekali hubungannya dengan dunia bawah

sadar. Sapardi mencontohkan ketika ia membaca puisi Joko Pinurbo yang

berjudul Boneka. Sajak Boneka (1) yang sedikit banyak menyidir keadaan

masyarakat kita sekarang, menggambarkan seorang pembuat boneka yang

tidak betah tinggal di negerinya sendiri dan melarikan diri ke negara boneka.21

Joko Pinurbo membuat strategi teks puisi yang berbeda dengan

menghadirkan kekuatan komedi dan tragedi. Imaji-imajinya dalam setiap puisi

yang ia ciptakan bergerak dalam berbagai wacana dan terjadi sistem

pemaknaan yang kompleks dan juga alur dari peristiwa-peristiwa dalam puisi-

puisinya diakhiri dengan konklusi yang tragis. Hal ini dapat dilihat lewat salah

satu puisinya yang paling terkenal, yaitu Celana, 1. Dalam puisisi ini, komedi

yang terasa sejak awal kemudian berakhir menjadi tragedi yang berada dalam

suatu totalitas kisah manusia dengan celana, yang seolah memberikan

gambaran bagaimana seorang manusia sangat bergantung pada sebuah celana,

namun disisi lain celana seperti simbol eksistensialis dari seorang manusia.

Celana, 1

Ia ingin membeli celana baru

buat pergi ke pesta

supaya tampak lebih tampan

dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana

di berbagai toko busana

19 Ibid, h. 248 20 Joko Pinurbo, Celana, (Magelang: Indonesia Tera, 1999), h.72. 21

Ibid, h.71.

Page 62: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

49

namun tak menemukan satu pun

yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga

yang merubung dan membujuk-bujuknya

ia malah mencopot celananya sendiri

dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya

aku sedang mencari celana

yang paling pas dan pantas

buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir

tanpa celana

dan berkelana

mencari kubur ibunya

hanya untuk menanyakan:

“Ibu, kausimpan di mana celana lucu

yang kupakai waktu bayi dulu?

Puisi Celana, 1 tampaknya menjadi awalan intensitas dan konsistensi

Joko Pinurbo menuliskan puisi yang reflektif dan kontemplatif, yang dalam

sebagian puisi-puisinya mengandung sebuah kritik. Joko Pinurbo bermain

dengan kenaifan, kenakalan, dan kritik yang kuat dalam bentuk puisinya yang

naratif, jauh dari tradisi lirik.

―Kau adalah mata, aku airmatamu‖, tulis Joko Pinurbo dalam sebuah

sajaknya yang berjudul Kepada Puisi. Joko Pinurbo menganggap jika puisi

adalah mata, maka ia sebagai penyair adalah air mata. Mungkin bagi Joko

Pinurbo antara puisi dengan penyairnya terdapat sebuah hubungan yang

intim, ini seperti mengacu pada sebuah anggapan yang mengatakan penyair

adalah orang yang harus ―menzinahi‟ kata-kata hingga melahirkan bentuk

puisi yang matang.

Alex R. Nainggolan dalam esainya yang berjudul Diksi Genit Joko

Pinurbo mengatakan bahwa penyair harus menemukan kesabarannya dengan

menelurkan ide/sajaknya. Ia adalah pangeran sejati yang membuka rahasia

kata paling dalam, menelusupinya dari hari ke hari, dan mengeraminya.22

Alex menganggap Joko Pinurbo menyederhanakan semua ke kompleksan

puisinya. Ia menuliskan dengan pilihan kata yang sederhana, acapkali

menjaga ruang antarkalimat, segalanya baur dan susunannya membuka

22 Alex R. Nainggolan, Diksi Genit Joko Pinurbo, dalam Harian Suara Merdeka, 5

Desember 2004.

Page 63: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

50

peristiwa lain terhadap dunia. Mungkin fragmen itu diambilnya hanya

separuh, tetapi ia membuka kemungkinan masuknya muatan makna yang lain.

Bagi Alex, Joko Pinurbo merupakan penyair yang berhasil

menempatkan kata-kata menjadi puisi yang kaya, dan yang paling

mengagetkan adalah ketika seolah-olah Joko Pinurbo pun mengamini hal itu.

Dalam esainya yang dimuat dalam Harian Tempo ia mengemukakan bahwa

dirinya sering kali menulis sajak yang mencoba melebur lebih dari satu tema,

bahkan kadang ia suka menulis sajak yang seakan-akan merupakan peleburan

lebih dari satu puisi.23

Dalam puisi-puisinya, Joko Pinurbo juga seolah tak mau ketinggalan

menunjukkan proses kreatifnya dengan terbuka kepada para pembacanya.

Kisah-kisah dan konsep keberpuisian atau kepenyairannnya hadir dalam

sebagian puisipuisinya yang mengarah pada biografi penyair dan biografi

puisi, akan tapi masih kuat mengandung humor-humor yang tragis. Misalnya

saja pada puisi berikut:

Orang Gila Baru

Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.

Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik

gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru

yang dengan setengah waras berkata,

“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”

Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,

“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”

Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,

“Ini rumahmu, bukan rumahku.”

Secara keseluruhan Joko Pinurbo mengambil apapun unsur-unsur

yang ada atau karakter-karakter yang ada di sekitarnya, baik itu celana, becak,

ranjang tidur, seorang guru, tetangganya maupun sosok ibu dan ayah, yang

dihadirkan dalam puisi-puisinya menjadi sistem simbolik yang cerdas untuk

mengungkapkan karakter-karakter kontradiktif, situasi batas, absurditas, dan

hipokritas manusia di dalam dirinya maupun di dalam relasinya dengan orang

lain.

23

Joko Pinurbo, Kepada Kekasihku, dalam Harian Tempo, 30 Oktober 2005.

Page 64: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

51

4. Joko Pinurbo dan Tragedi Mei 1998

Salah satu sejarah yang kelam di Indonesia adalah terjadinya

kerusuhan tahun 1998. dengan adanya rentetan peristiwa-peristiwa berkaitan

erat dengan sosial-politik masya- rakat Indonesia pada 13--15 Mei 1998.

Krisis ekonomi, sidang Umum MPR RI Tahun 1998, pemilu 1997,

demonstrasi mahasiswa, dan penculikan para aktivis dan mahasiswa,

merupakan peristiwa yang tidak bisa dilepaskan dari kerusuhan yang terjadi

pada waktu itu. Permasalahan yang paling utama dari tuntutan dan

demonstrasi mahasiswa adalah Presiden Soeharto yang sudah tidak dipercaya

lagi oleh masyarakat Indonesia karena banyak hal merugikan negara dan

masyarakat Indonesia sendiri, khususnya ketika ekonomi menjadi memburuk

(krisis moneter).

Akibat krisis moneter tersebut, tanggal 12--15 Mei 1998 terjadi

kerusuhan dan kekerasan massa dalam bentuk perusakan fasilitas umum

maupun pribadi, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan. Kerusuhan

tersebut terjadi di berbagaikota di Indonesia, yaitu di Jakarta, Solo, Surabaya,

Lampung, dan Palembang. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi makin menjalar

ke berbagai daerah di Indonesia. Dampak-dampak dari kerusuhan tersebut

menyebabkan banyaknya korban berjatuhan karena ulah oknum yang tidak

bertanggung jawab.

Banyak yang menjadi korban perusakan, penjarahan toko-toko, dan

pemerkosaan pada perempuan etnis Tionghoa. Banyak dari etnis Tionghoa

tersebut menjadi korban oknum-oknum yang tidak tahu akar masalah

kerusuhan tersebut. Di Jakarta khususnya, kerusuhan ini menyebabkan

adanya perusakan, penjarahan dan sentimen terhadap etnis Tionghoa.

Masyarakat tersulut untuk menganiaya bahkan memperkosa para etnis

Tionghoa tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan aksi massa yang

merusak dan menjarah setiap toko yang dimiliki oleh orang-orang etnis

Tionghoa, contohnya seperti di Tomang Plaza, Roxy Mas, Harmony, dan

Petukangan.

Peristiwa kerusuhan 1998 memakan korban dan merusak apa saja.

Tragedi tersebut dikemukakan oleh Joko Pinurbo melalui puisi-puisinya. Joko

Page 65: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

52

Pinurbo dikenal sebagai penyair yang jenaka, tetapi dalam kumpulan puisinya

Telepon Genggam banyak menyiratkan tragedi memilukan 1998. Puisi-

puisinya seperti Laki-laki Tanpa Celana atau Ibu yang Tabah dapat menarik

kesan kejadian Tragedi Trisakti dan aktivis serta demonstran yang ditahan

atau dibunuh.

Page 66: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

52

BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis dan Pembahasan Struktur Puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Mei Karya Joko Pinurbo

Langkah awal untuk memahami inti dari suatu karya adalah dengan cara

menganalisis dan mengidentifikasi struktur yang membangunnya. Hal ini penting

sebab di dalam struktur tersebut terdapat unsur-unsur yang saling terhubung

dalam rangka membentuk keutuhan karya. Demikian pula ketika ingin memahami

puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan Mei karya Joko

Pinurbo, maka hal pertama yang dilakukan adalah menganalisis struktur fisik dan

batin dari kedua karya tersebut.

Berikut ini hasil analisis struktur puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra dan Mei karya Joko Pinurbo.

1. Analisis dan Pembahasan Struktur Fisik Puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia

a. Tipografi atau Perwajahan

Tipografi atau perwajahan dalam analisis ini mencakup pembaitan,

pungtuasi yang mencakup ejaan dan tanda baca, tipografi, dan

enjambemen. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra

ini merupakan puisi bebas yang terdiri atas 7 (tujuh) bait dan 41 (empat

puluh satu) larik. Pada bait pertama dan kedua puisi ini terdapat lima larik.

Sementara bait ketiga, terdiri atas enam larik. Pada bait keempat memiliki

tujuh larik, sedangkan bait kelima dan keenam terdiri atas delapan larik,

serta bait ketujuh terdiri atas dua larik.

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia memperlihatkan tipografi

yang tergolong bebas. Hal tersebut dapat dilihat dari sistematika bait dan

larik yang dijabarkan. Sebagaimana kekhasan W.S. Rendra pada puisi-

puisinya, penulisan puisi ini mencirikan bentuk naratif karena jumlah larik

yang panjang, yaitu 41 larik. Selain itu, Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia tidak mempunyai pola yang tetap dalam pembaitan. Artinya,

Page 67: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

53

penulisannya terbagi atas bait-bait, tetapi tidak terikat pada jumlah suku

kata atau jumlah larik tertentu. Faktor pembaitan ini melibatkan pembaca

dalam suasana puitik. Tidak seperti bait yang lainnya terdiri atas lima

hingga delapan larik, bait terakhir tergolong pendek karena hanya

memiliki dua larik. Ini seperti menampilkan ―simpulan‖ Aku-lirik

(penyair) sebagai penutup terhadap kedukaan yang dilalui oleh seluruh

negeri.

Bentuk tipografi yang menonjol selanjutnya pada puisi ini adalah

aspek pungtuasi yang mencakup ejaan dan tanda baca. Pada Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia penggunaan tanda baca yang hadir adalah tanda

titik, koma, titik dua, tanda seru, dan tanda tanya. Penulisan larik-larik

pada puisi ini diawali dengan huruf kapital, kecuali pada larik-larik yang

sebelumnya memiliki tanda baca koma dan titik dua. Ini menandakan

bahwa larik-larik dalam puisi tersebut mengandung kalimat-kalimat yang

untuh dalam membentuk satuan makna serta memberikan kesan bahwa

kalimat tersebut berdiri sendiri. Selain itu, penulisan huruf kapital secara

khusus oleh penyair digunakan pada Daulat Rakyat. Penyair seolah ingin

menonjolkan pemaknaan keagungan yang sebenarnya adalah dipegang

atau dikuasai oleh rakyat itu sendiri.

Pada puisi ini W.S. Rendra cenderung tidak melakukan

penyimpangan dalam penulisan ejaan setiap kata, kecuali pada penulisan

kata tatawarna pada larik ke-11. Jika mengikuti kaidah kebakuan Kamus

Besar Bahasa Indonesia, baik kata tata maupun warna, keduanya bukan

merupakan bentuk terikat, sehingga seharusnya ditulis terpisah menjadi

tata warna. Penyimpangan grafologis ini tetap bermakna dan dapat dinilai

atau dirasa sebagai pendukung kata selanjutnya, yaitu fatamorgana.

Penyair juga tampak konsisten mengakhiri setiap larik

menggunakan tanda baca. Tanda baca yang muncul pada puisi ini adalah

tanda titik, koma, tanda seru, titik dua, dan tanda tanya. Tanda titik

digunakan mengakhiri larik ke-1 hingga ke-5; larik ke-8, hingga ke-10;

serta larik ke-20, ke-24, ke-31, ke-40, dan ke-41. Tanda titik tersebut

digunakan penyair untuk mengakhiri larik-lariknya dengan menandakan

Page 68: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

54

bahwa larik tersebut merupakan satu pernyataan yang mengandung satuan

makna yang utuh. Selanjutnya penggunaan tanda koma pada larik ke-27

hingga ke-30, berfungsi merinci keriuhan batin penyair yang memuncak

terhadap bentuk-bentuk kekejaman yang dilakukan oleh para penguasa.

Pada larik ke-6, ke-7, ke-11, ke-12, ke-17, ke-18, ke-19, ke-21, ke-32, ke-

33, dan ke-39, penggunaan tanda seru berfungsi sebagai penegasan atau

intonasi tinggi. Tanda seru ini seolah menjadi penegasan terhadap

kompleksitas perasaan penyair terhadap emosi yang kuat. Sementara itu,

tanda titik dua digunakan pada larik ke-26 yang memberikan tanda bahwa

lima larik setelahnya merupakan penjabaran dari larik ke-26 tersebut di

mana penyair menguraikan sebab-sebab pergolakan yang terjadi. Terakhir,

tanda tanya muncul pada larik ke-34 dan ke-35 berfungsi sebagai sarana

retoris penyair dalam mengungkapkan keironisan situasi bahwa tipu daya

para penguasa yang berpura-pura tidak merasakan atau mengedepankan

kemanusiaan.

Berdasarkan pengamatan penulis, puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia lebih tepat disebut sebagai puisi suasana, sebab larik-lariknya

(terutama pada bait ke-1 dan ke-2) cenderung menampilkan suasana yang

dirasakan penyair yakni murung, kacau, dan tragis. Hal ini secara reseptif

membuat pembaca lebih cepat terlibat dalam suasana puisi yang hendak

ditampilkan. Puisi tersebut menyajikan atmosfer yang mengobarkan

kepiluan penyair, kehancuran sosial tanah air, dan nasib tragis rakyat.

Aspek enjambemen muncul pada bait ketiga, keempat, kelima, dan

keenam difungsikan untuk menonjolkan pikiran W.S. Rendra secara

ekspresif. Berikut ini adalah larik-larik yang menggunakan enjambemen

dalam puisi tersebut.

Page 69: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

55

Tabel I

Enjambemen Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Bait Enjambemen

III

Dari sejak Zaman Ibrahim dan Musa⸥

Allah selalu mengingatkan⸥

bahwa hukum harus lebih tinggi⸥

dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara⸥

IV

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama⸥

adalah Hukum Adil⸥

V

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara⸥

menjadi saksi yang akan berkata: ⸥

Apabila saran akal sehat kamu remehkan⸥

berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap⸥

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap⸥

telah kamu bukakan!⸥

VI

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara⸥

menjadi saksi yang akan berkata:⸥

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,⸥

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,⸥

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,⸥

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,⸥

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.⸥

Secara semantis, larik Allah selalu mengingatkan,

bahwa hukum harus lebih tinggi dari keinginan para politisi, raja-raja

dan tentara merupakan kelanjutan dari larik sebelumnya, yaitu Dari sejak

Zaman Nabi Ibrahim dan Musa.

Dalam puisi tersebut, larik Allah selalu mengingatkan,

bahwa hukum harus lebih tinggi, dari keinginan para politisi, raja-raja

dan tentara menjadi terkedepankan. Artinya, keseluruhan larik tersebut

masih merupakan satu kesatuan sintaksis yang utuh. Perloncatan baris

yang dilakukan oleh penyair ini disadari untuk memperoleh efek tertentu,

yakni efek pengedepanan bahwa penyair menggunakan kaitan religius

dengan merujuk kepada Allah dan hukumnya yang merupakan akal sehat

Page 70: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

56

manusia, bukan kepentingan serakah milik segelintir orang. Pemanfaatan

enjambemen pada bagian-bagian tersebut seolah menuntut perhatian

tersendiri dari pembacanya serta menjadi sangat nyata peranannya.

Demikian pula penjelasan enjambemen pada bait keempat, kelima, dan

keenam.

b. Versifikasi

Dalam mengidentifikasi struktur versifikasi pada puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia, penulis merujuk pada pendapat Herman J. Waluyo

yang menguraikan bahwa versifikasi mencakup rima, ritme, dan metrum,

yang di penjelasan selanjutnya Herman J. Waluyo menyamakan pengertian

ritme dan metrum.

Jika merujuk pada tipografi puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia yang cenderung bebas, rima hadir hampir pada setiap larik.

Artinya, pada satu larik dengan larik lain memiliki persamaan bunyi huruf

yang mampu menciptakan suatu irama. Terlihat bahwa pada puisi ini W.S.

Rendra tidak mengutamakan pola bunyi yang teratur, tetapi kombinasi-

kombinasi bunyi vokal dan konsonan yang dihadirkan membuat sajaknya

tetap berirama dan liris. Pertama, penyair menciptakan bunyi vokal

(asonansi) melalui huruf-huruf vokal /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ serta

dikombinasikan dengan bunyi konsonan /b/, /d/, /g/, /z/, dan /w/ yang berat

dan rendah mendukung perasaan gundah penyair. Di samping itu, pada

puisi ini cenderung memiliki kombinasi bunyi kakofoni sehingga

memberikan efek tidak merdu, parau, dan penuh bunyi /k/, /p/, /t/, /s/

(bunyi konsonan tidak bersuara), bunyi sengau /m/, /n/, /ng/, bunyi likuida

/r/ dan /l/ bunyi palatal /c/ dan /j/ kombinasinya yang mendukung

penggambaran suasana tak teratur, tidak menyenangkan, kacau balau,

bahkan memuakkan penyair, sebagaimana terdapat pada bait berikut ini.

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

Page 71: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

57

Selain itu, pada bait ke-1 pengulangan bunyi /p/ muncul pada setiap

lariknya, yaitu hadir pada kata gelap, aspal, tanpa, sampah, simpul-simpul,

merupakan ulangan suara sehingga irama larik-larik tersebut menjadi lebih

dinamik.

Selanjutnya, rima atau persajakan yang mempunyai frekuensi

cukup tinggi pada puisi tersebut adalah jenis anafora, yakni terdapat suatu

pengulangan bunyi di awal baris. Hal ini terdapat pada larik-larik berikut.

Tabel II

Rima Anafora Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Bait Rima Anafora

II O, zaman edan!

O, malam kelam pikiran insan!

III O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!

O, sihir berkilauan dari mah kota raja-raja!

IV O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

V

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

VI Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

VII

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta!

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?

Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Pola anaforis yang muncul tersebut berfungsi menggiring atau

memfokuskan perhatian pembaca ke arah tertentu, yakni arah yang

diyakini W.S. Rendra sebagai aspek yang dikedepankan bertujuan untuk

memperlihatkan sebuah penekanan gagasan protesnya terhadap

pemerintah.

Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia menggambarkan protes sosial W.S. Rendra terhadap

kekejaman pemerintahan dan keadaan yang carut-marut, sehingga nada

Page 72: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

58

yang ditangkap penulis ketika membaca puisi ini adalah penuh penekanan

yang menunjukkan bentuk kemarahan dan pengutukan W.S. Rendra

terhadap kesemrawutan yang terjadi seperti kekerasan yang disertai

tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat negara hingga

menimbulkan banyak korban, mengecam kapitalistis pemerintah terhadap

rakyat, serta kemiskinan yang merajalela di mana-mana (digambarkan

pada bait dua, tiga, empat, dan enam). Selain itu, penyair larik-larik

terakhir sebagai penutup dalam puisi ini menggambarkan bentuk

keprihatinannya terhadap nasib buruk rakyat yang ditindas oleh

pemerintah.

c. Diksi

Penggunaan diksi pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

memiliki kekhasan yang menjadi kecenderungan penyair. Pada puisi ini,

W.S. Rendra cenderung menggunakan diksi kiasan dan simbolik yang

memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi-tafsir pada pembaca.

Selain itu, pilihan kata yang digunakan cenderung memberikan kesan

tajam dan sangat pedas yang secara keseluruhan merupakan ungkapan isi

hati dan pikiran serta pengalaman langsung W.S. Rendra dalam

menyaksikan peristiwa kerusuhan yang terjadi kala itu. Hubungan

antarkata yang dipergunakan bersifat sederhana, wajar, dan langsung

menimbulkan asosiasi pada suasana tertentu. Secara umum, W.S. Rendra

menampilkan hubungan antarkata-kata yang bersifat sederhana, wajar, dan

langsung menimbulkan asosiasi suasana peristiwa yang terjadi pada bulan

Mei 1998 itu.

Pada bait I penyair menggunakan Aku-lirik yang posisinya dalam

bait tersebut sebagai pengamat. Subjek lirik pada bait I ini hadir dengan

jelas pada larik ke-1. Penyair memilih diksi Aku sebagai subjek lirik untuk

menciptakan efek kedekatan dengan pembaca dan mengarahkan pelukisan

pengamatan atau perasaannya yang sangat pribadi. Hal ini ditunjukkan

pada larik-larik berikutnya yang menguraikan keadaan yang diamati dan

disaksikan oleh Aku-lirik bahwa terdapat bangkai-bangkai, amarah,

Page 73: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

59

ketakutan, dan pikiran kusut yang berasal dari orang lain dan keadaan yang

diamatinya.

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

Pada bait I ini, kata bulan yang seharusnya menjadi pusat penerang

kegelapan pada malam hari, justru disandingkan dengan kata gelap

sehingga menimbulkan gambaran sebagai imitasi watu (masa) yang sangat

kelam. Penyair mengisyaratkan bahwa di larik-larik berikutnya dalam

keseluruhan puisi ini ia akan menampilkan masa-masa suram yang terjadi

pada Mei 1998 yang penuh dengan prahara dalam pemerintahan dan

masyarakat. Penyair akan menunjukkan adanya gejolak, baik di antara

pemimpin negara dan rakyat, maupun pemimpin negara dan para penguasa

lainnya.

Diksi-diksi simbolik juga dominan hadir pada puisi ini. Penyair

menggunakan kata raja pada puisi ini untuk merefleksikan buruknya para

penguasa atau rezim Orde Baru. Secara harfiah, raja merupakan pemimpin

tertinggi pada suatu kerajaan. Namun, dalam beberapa hal, istilah ini

menunjuk pada suatu kepemimpinan yang sewenang-wenang, korup,

brutal, dan kejam. Oleh karena itu, W.S. Rendra memaksudkan para

penguasa rezim Orde Baru ke arah sifat-sifat raja tersebut. Diksi tersebut

muncul pada bait I, dan II, yakni pada larik Aku tulis sajak ini di bulan

gelap raja-raja; O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja; dan dari

keinginan politisi, raja-raja, dan tentara.

Selanjutnya, penyair menggunakan kata mahkota yang memiliki

makna hiasan kepala atau songkok kebesaran bagi raja. Penyair

memaksudkan simbolisasi mahkota sebagai bentuk-bentuk kekuasaan yang

mahal dan bisa digunakan sewenang-wenang oleh pemiliknya.

Sebagaimana ajaib dan sakti sihir, para penguasa ini dilukiskan memiliki

kekuatan yang dapat mengendalikan alam, termasuk konstitusi, juga

rakyat.

Page 74: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

60

Berikutnya, untuk menguraikan keadaan rakyat dan para korban,

W.S. Rendra lebih memilih menggunakan diksi bangkai-bangkai untuk

memberikan gambaran jasad yang begitu banyak jumlahnya dan berserak

di jalanan, baik hasil dari pembunuhan maupun terbunuh dengan tidak

sengaja akibat pemberontakan terjadi sehingga kesan sadis dan tidak

manusiawi muncul. Selain itu, diksi sampah yang dengan kasar memiliki

gambaran di mana rakyat atau para korban dianggap sudah tidak lagi

memiliki nilai dan harga diri sebagai manusia oleh para penguasa sehingga

diperlakukan seperti sesuatu yang tidak ada artinya.

W.S. Rendra memiliki harapan dan jalan terang yang melalui

simbolisasi tenda kepercayaan dimaksudkan pada arti anggapan atau

keyakinan tentang sesuatu yang dipercayai pada para penguasa, namun

dinegasikan dengan koyak-moyak yang pada akhirnya harapan tersebut sia-

sia dan rusak. Selanjutnya, Ratu Adil ditampilkan sebagai tokoh yang

diharapkan menjadi pembebas dari kesengsaraan. Untuk menegakkan

keadilan, keadilan Tuhanlah yang pentas ditegakkan, keadilan yang tidak

pernah berpihak pada manusia manapun. Terlepas dari Tuhan yang

Mahaadil, Ratu Adil pada bait ini merupakan sebuah simbol keadilan yang

juga tidak memihak. Dalam berbagai kebudayaan, Ratu Adil sering

digambarkan sebagai seorang perempuan yang tangan kanannya

memegang sebuah timbangan dan tangan kirinya memegang sebilah

pedang, serta matanya tertutup oleh kain.

Keadaan dan situasi yang digambarkan tidak memiliki arah,

berantakan, dan semrawut ditampilkan melalui frasa pikiran kusut

diasosiasikan dengan kabut ketakutan yang menunjukkan hilangnya rasa

keberanian, suram, kegelisahan, dan kekhawatiran. Selain itu, cadar kabut

duka cita menjadi simbol berkahirnya klimaks yang menggambarkan

kondisi buram masyarakat menyelimuti rakyat dan negara yang

diakibatkan oleh para penguasa.

Di samping pemilihan diksi-diksi simbolis, penyair juga dalam

larik-lariknya cenderung menampilkan pola kalimat yang lengkap, yakni

subjek, predikat, dan keterangan. Ini menunjukkan bahwa larik-larinya

Page 75: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

61

merupakan serangkaian bermakna dalam hubungannya dengan yang lain

dan keseluruhannya. Tidak ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau

dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut

hubungannya sangat erat. Selanjutnya, penyair memilih kata kerja dasar

atau tidak berimbuhan, yaitu tulis dan muncul. Penghilangan imbuhan ini

dipergunakan untuk mendapatkan kekuatan ekspresivitas dengan maksud

mengucapkan yang inti saja.

Kesan hiperbolik juga kerap ditampilkan oleh penyair. Pada bait I,

penyair menggambarkan korban-korban yang sedemikian banyak terbujur

dan bersimpuh darah hingga lengket di mana-mana bahkan ke aspal

jalanan. Selanjutnya, penggambaran suasana kekacauan berasal dari semua

orang yang riuh dalam penjarahan, pemberontakan, dan penembakan.

Nuansa hiperbolik ini memberikan gambaran lugas suasana yang lebih

mengerikan.

d. Gaya Bahasa

Penggunaan gaya bahasa banyak dimanfaatkan dalam puisi Sajak

Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra ini. Gaya bahasa tersebut

menunjang penggambaran suasana dan situasi yang dihadirkan. Beberapa

gaya bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut.

1) Repetisi

Gaya repetisi atau pengulangan pada puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia ini beberapa terdiri atas pengulangan kata atau

kalimat yang bertujuan untuk lebih menekankan pesan. Gaya repetisi

yang digunakan adalah sebagai berikut.

O, zaman edan!

O, malam kelam pikiran insan!

Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.

Kitab undang-undang tergeletak di selokan.

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.

Gaya repetisi pada bait II tersebut ditunjukkan dengan bentuk

pengulangan kata ―O‖ pada larik pertama dan kedua. Pengulangan

tersebut menyatakan seruan, keheranan, dan kekecewaan penyair

dalam sajak ini. Bentuk pengulangan ―O‖ ini juga kembali hadir

Page 76: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

62

sebanyak dua larik pada masing-masing bait III dan IV, sehingga

membuat puisi ini menjadi sangat hidup.

Bentuk repetisi yang berbeda hadir pada bait IV, yaitu

sebagai berikut.

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Frasa Ratu Adil muncul sebanyak tiga kali pada bait

tersebut. Pengulangan tersebut untuk menegaskan keberadaan

pemegang keadilan yang keberadaannya telah hilang bagi masyarakat

yang tertindas. Sebagai simbol di berbagai kebudayaan, Ratu Adil,

sering digambarkan sebagai seorang perempuan yang tangan

kanannya memegang sebuah timbangan dan tangan kirinya memegang

sebilah pedang, serta matanya tertutup oleh kain. Pada bait ini penyair

mengharapkan keadilan yang diterima oleh manusia seharusnya tidak

memihak.

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Bentuk repetisi pada bait di atas ditunjukkan dengan

pengulangan kata /apabila/ pada larik ke 4, 5, dan 6. Kata tersebut

merupakan sebuah kata yang menjadi penghubung syarat untuk suatu

hal dapat terjadi. Pengulangan tersebut menegaskan bahwa ketamakan

dan kekejaman dilakukan berulang-ulang serta intens oleh pemerintah,

orang-orang kaya, dan aparat keamananlah yang menjadikan rakyat

tertindas memberontak dan menyebabkan huru-hara semakin beringas.

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Page 77: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

63

Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta!

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?

Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan!

Pengulangan susuan kata wahai pada larik 1 dan 2

menegaskan seruan penyair dalam memperingatkan pemimpin-

pemimpin bangsa yang tak kunjung memperhatikan kesengsaraan

yang dialami rakyat atas ketamakan yang telah menguasai

pemerintahannya. Selanjutnya, pengulangan kata tanya apakah masih

pada bait di atas sebanyak dua kali menunjukkan klimaks

kebingungan yang tiada ujung dan puncak dari kemarahan penyair

terhadap kebebalan pemerintah.

2) Sinekdoke

Sinekdoke merupakan gaya bahasa yang menyebutkan

sebagian untuk maksud keseluruhan (pars pro toto) atau menyebutkan

keseluruhan untuk maksud sebagian (totem pro parte). Singkatnya,

gaya bahasa ini dipahami sebagai penggunaan suatu atribut untuk

menggantikan sebuah objek. Sinekdoke pada puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia dominan digunakan pada bait I yang ditunjukkan

pada larik-larik berikut.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

Kata bangkai-bangkai, amarah, ketakutan, pikiran kusut,

termasuk pada sinekdoke pars pro toto karena kata-kata tersebut

ditafsirkan sebagai sesuatu yang mewakili perasaan emosional seluruh

manusia (rakyat) yang menjadi korban dan terlibat pada peristiwa saat

itu. Dalam hal ini, sinekdoke pada bait tersebut juga mendukung

penggambaran latar suasana kacau yang kuat.

3) Metafora

Page 78: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

64

Metafora pada puisi Sajak Buan Mei 1998 di Indonesia

ditunjukkan pada larik-larik berikut.

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Bait tersebut menunjukkan adanya pengibaratan secara

langsung makna ‗keadilan yang tidak memihak‘, tetapi telah hilang

keberadaannya. Dalam bait ini, penyair mengharapkan keadilan yang

mutlak ingin dibangun dan ditegakkan. Ratu Adil ditampilkan sebagai

tokoh yang diharapkan menjadi pembebas dari kesengsaraan. Dalam

berbagai kebudayaan, Ratu Adil sering digambarkan sebagai seorang

perempuan yang tangan kanannya memegang sebuah timbangan dan

tangan kirinya memegang sebilah pedang, serta matanya tertutup oleh

kain.

4) Personifikasi

Personifikasi pada puisi ini dimanfaatkan untuk mendukung

terciptanya suasana yang kuat. Pada bait II, larik

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan. Larik tersebut

sebagai personifikasi penggambaran masa depan yang berjalan tidak

memiliki arah pasti. Kemudian, di bait V, frasa bau anyir darah

seolah-olah persona yang bisa berbicara dan memberikan kesaksian

atas monopoli pemerintah, aparat keamanan, dan para kapitalis

terhadap rakyat ditunjukkan pada larik berikut.

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Selanjutnya, pada bait terakhir, larik Cadar kabut duka cita menutup

wajah Ibu Pertiwi sebagai penggambaran persona yang memiliki

Page 79: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

65

tangan dan kemampuan untuk bergerak menutup wajah bangsa

Indonesia dengan rasa malu dan kedukaan yang amat menyedihkan.

5) Hiperbola

Untuk melukiskan keotoriteran para pemimpin negara,

penyair melukiskannya sebagai raja-raja yang bersama pemerintahan,

aparat keamanan, dan cukong-cukong, yang menjarah hak-hak rakyat.

Sementara rakyat yang menderita dilukiskannya sebagai sampah

kehidupan. Kesan hiperbolik ini memberikan gambaran lugas tentang

ketimpangan kedudukan dan nasib antara penguasa dan rakyat.

6) Litotes

Gaya bahasa litotes digunakan pada larik kitab undang-

undang tergeletak di selokan di mana larik tersebut menggambarkan

kitab undang-undang atau dalam hal ini norma-norma kemanusiaan

dan hukum-hukum yang berlaku sudah tidak dihargai bahkan

keberadaannya di tempat kotor dan tidak dijunjung tinggi lagi.

7) Metonimi

Metonimi pada puisi ini digunakan pada bait terakhir, yaitu

pada larik Cadar kabut duka cita menutup Ibu Pertiwi. Penggunaan

istilah Ibu Pertiwi oleh penyair adalah sebagai kiasan penggantian

nama negara Indonesia.

Berbagai gaya bahasa yang digunakan tersebut memperkuat kesan

suasana getir, putus asa, ironis, carut-marut, dan duka yang dialami

masyarakat yang menjadi korban tragedi saat itu. Penggunaan gaya repetisi

menjadi penting untuk menekankan peristiwa kesengsaraan yang seolah

hadir bertubi-tubi dengan kekejaman yang datang dari para penguasa.

Penggunaan sinekdoke, metafora, personifikasi, hiperbola, litotes, dan

metonimi sengaja dipakai pula sebagai bentuk perumpamaan dan

perbandingan yang akhirnya memunculkan keironisan dan sindiran yang

lugas.

e. Kata Konkret dan Kata Abstrak

Penggunaan kata konkret dalam puisi memiliki maksud agar

pembaca seakan-akan melihat, mendengar, atau merasakan apa yang

Page 80: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

66

dilakukan atau dirasakan oleh penyair. Berikut ini merupakan kata konkret

yang terdapat pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.

Page 81: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

67

Tabel III

Kata Konkret Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Bait Larik Kata Konkret

I 1 aku, sajak

2 bangkai-bangkai, lengket, aspal jalan

II 9 kitab undang-undang, selokan

10 comberan

III 12 mahkota, raja-raja

16 politisi, raja-raja, tentara

IV

17 kabut

18 sangkur

19, 20, 21 Ratu Adil

22 kita

V

25 bau anyir darah

26 saksi

27 pemerintah

28 cukong-cukong

29 aparat keamanan

30 rakyat, penguasa

31 penjarah, pasar, jalan raya

VI

32 penguasa dunia

34 hati

35 diri sendiri

36 kamu

37 pintu

38 sudut-sudut gelap

39 kamu

VII 40 cadar kabut, wajah Ibu Pertiwi

41 air mata, sajakku

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kata konkret yang

muncul pada puisi tersebut sangat variatif. Kata-kata tersebut didominasi

oleh kata benda, baik yang memiliki kedudukan sebagai subjek maupun

sebagai objek.

Berbeda dengan kata konkret, kata abstrak berfungsi sebagai

penambah estetika yang terdapat dalam puisi. Berikut ini merupakan kata-

kata abstrak yang terdapat pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.

Page 82: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

68

Tabel IV

Kata Abstrak Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Bait Larik Kata Abstrak

I

1 tulis, bulan gelap

2 tergeletak

3 amarah, merajalela, alamat

4 ketakutan, muncul, sampah kehidupan

5 pikiran kusut, membentur, simpul-simpul

sejarah

II

6 zaman edan

7 malam kelam, pikiran insan

8 koyak moyak, keteduhan, tenda

kepercayaan

9 tergeletak

10 kepastian hidup, terhuyung-huyung

III

11 fatamorgana, kekuasaan

12 sihir berkilauan

13 Zaman Ibrahim dan Musa

14 mengingatkan

15 hukum, tinggi

16 keinginan

IV

17 kebingungan, muncul, kabut ketakutan

18 rasa putus asa, terbentur

19 berhentilah, mencari

21 tipu daya

22 tegakkan

V

24 prahara

25 memenuhi, udara

26 menjadi, berkata

27 menjarah, daulat rakyat

28 menjarah, ekonomi bangsa

29 menjarah, keamanan

30 terkekang, mencontoh

31 menjadi, penjarah

VI

32 fana

33 jiwa, tertenung, sihir takhta

34 buta, tuli

35 menipu

36 saran, akal sehat, remehkan

37 pikiran-pikiran kalap

38 muncul

39 telah, bukakan

VII 40 duka cita, menutup

41 mengalir

Page 83: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

69

Berdasarkan data di atas, kata abstrak yang muncul pada puisi

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia dominan memiliki kedudukan sebagai

predikat (P). Hal tersebut menandakan bahwa Aku-lirik cenderung

memahami aktivitas yang dilakukan oleh objek lirik sehingga membuat

simpulan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada situasi yang

digambarkan tersebut sangat berdampak besar pada subjek lirik.

f. Imaji atau Pencitraan

Identifikasi kata konkret dan abstrak sebelumnya secara lebih lanjut

menghasilkan gambaran-gambaran dalam pikiran sehingga menjadi lebih

nyata. Melalui imaji yang dipilih secara tepat, penyair berhasil melukiskan

dengan jelas, menciptakan suasana yang khusus, serta menyihir lebih

hidup tentang gambaran yang hendak disampaikan. Imaji-imaji tersebut

mencakup imaji pengelihatan (visual), imaji pendengaran (auditif), imaji

rabaan (taktil), imaji penciuman, dan imaji gerak. Berikut ini adalah

klasifikasi imaji yang digunakan W.S. Rendra pada puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia.

Tabel V

Imaji Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Jenis Imaji Larik Keterangan

Imaji

Pengelihatan

1 aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja

2 bangkai-bangkai tergeletak

7 malam kelam

8 koyak moyak, keteduhan

9 kitab undang-undang tergeletak

12 sihir berkilauan, mahkota raja-raja

16 para politisi, raja-raja, dan tentara

kebingungan yang muncul dari kabut

ketakutan

27,28,29 menjarah

32 tertenung

34 buta

35 menipu

37 sudut-sudut gelap

38 telah kamu bukakan!

Page 84: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

70

40 menutup wajah

41 air mata mengalir

34 tuli

Imaji Rabaan 2 lengket

Imaji

Penciuman 25 bau anyir darah

Imaji Gerak

3 amarah merajalela

4 ketakutan muncul

5 pikiran kusut membentur

10 kepastian hidup terhuyung-huyung

18 rasa putus asa yang terbentur sangkur

36 pikiran-pikiran kalap

Berdasarkan klasifikasi penggunaan imaji pada puisi Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia ini, dapat dilihat bahwa penyair memiliki keunikan

tersendiri dalam membangunkan pengalaman indrawi pembaca. Kekhasan

puisi ini adalah nuansa yang tragis. Hal demikian mampu divisualisasi

oleh penyair melalui penggunaan imaji yang tepat. Penggunaan imaji ini

yang kemudian berpadu dengan kata konkret telah berhasil mewujudkan

kesan emosional yang lebih nyata dalam pikiran pembaca. Bentuk-bentuk

pengimajian di atas, khusunya imaji pengelihatan (visual) yang

mendominasi dalam puisi itu kemudian ditegaskan dan diekspresikan

melalui padatnya penggunaan kata kerja. Hal tersebut mendukung pada

teknik naratif yang digunakan penyair sehingga menjadikan puisi terasa

lebih hidup bagi pembaca.

2. Analisis dan Pembahasan Struktur Batin Puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia

a. Tema

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra

adalah puisi yang mengangkat suatu zaman dan keadaan, yakni mengenai

buruknya keadaan sosial politik Indonesia pada Mei 1998. Puisi tersebut

mengangkat tema protes sosial dan politik, kemanusiaan, serta kedaulatan

rakyat.

….

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Page 85: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

71

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta!

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?

Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan!

Penyair pada puisi ini begitu sensitif perasannya untuk

menekankan kedaulatan rakyat yang seharusnya dipegang penuh oleh

rakyat digambarkan telah berpindah tangan kepada pemerintah. Pada puisi

di atas, kehendak dan suara rakyatlah yang seharusnya menentukan

langkah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengurusi negara. Pada

ketiga bait tersebut penyair sangat kuat meneriakkan bentuk protes

terhadap ketidakpedulian dan ketidakadilan secara sosial maupun politik

atas kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa (pemerintah) yang tidak

mendengarkan jeritan rakyat, sehingga menyebabkan penderitaan dan

kemiskinan rakyat semakin parah, menimbulkan kericuhan penjarahan

yang terjadi di mana-mana, terjadinya banyak pertumpahan darah, hingga

kepada kejahatan kemanusiaan. Selain itu, penyair juga mebicarakan kritik

atau protes atas sikap pemerintah pada zaman Orde Baru. Sebagaimana

larik-larik di atas, Soeharto dan pemerintahannya saat itu telah dibutakan

oleh kedudukan tahta seolah tersihir dengan kekuasaan jabatan yang

semena-mena. Dengan melukiskan protes-protes tersebut, W.S. Rendra

ingin agar keadilan masyarakat diperjuangkan dan ditegakkan.

b. Perasaan

Rasa yang muncul pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

adalah rasa tidak adil atau diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah,

Page 86: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

72

orang-orang kaya (berkuasa), dan aparat keamanan, kepada masyarakat

yang lemah.

O, zaman edan!

O, malam kelam pikiran insan!

… O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta!

Penggalan-penggalan larik di atas menunjukkan perasaan sangsi

penyair yang ditonjolkan dengan mengemukakan kritik yang cukup keras

karena penyair merasa bahwa ketidakadilan sudah begitu merajalela.

Protes sosial yang dikemukakan itu disampaikan dengan perasaan dan

seruan-seruan keras.

c. Nada dan Suasana

Nada dan suasana tidak lepas dengan tema dan rasa. Sudah

dijelaskan sebelumnya bahwa tema puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra adalah kedaulatan rakyat dan protes sosial.

Melalui tema yang diangkat, maka nada dan suasana yang muncul adalah

W.S. Rendra mengajak pembaca untuk melihat kesengsaraan dan

ketidakadilan yang dialami oleh rakyat pada saat tragedi 1998 terjadi,

bahkan selama para penguasa otoriter memimpin negara. Dalam puisi ini,

W.S. Rendra menggunakan pilihan kata yang ―sangat pedas‖ dan sarat

akan sindiran-sindiran ―tajam‖ menunjukkan nada dan suasana yang

ditujukan kepada pemerintah dan aparat keamanan negara saat itu akan

sikap mereka yang sewenang-wenang dan tidak mau meredam kemarahan

massa yang membabi buta serta menunjukkan perilaku yang sangat buruk,

terutama dalam hal kehidupan sosial-politik dan ekonomi yang terkesan

Page 87: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

73

seenaknya sendiri, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam

masyarakat dan menyebabkan masyarakat beradu gejolak dengan

melakukan aksi demo yang berujung pada kerusuhan besar-besaran dan

kejahatan kemanusiaan.

d. Amanat

Melalui puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia, W.S. Rendra

ingin mengungkapkan suatu makna yang mempertinggi martabat

kemanusiaan. Bagi siapapun, terutama para pemilik kekuasaan

pemerintah. Hendaknya dipergunakan sejalan dengan nilai-nilai

kemanusiaan. Tidak memperkaya pribadi, mengutamakan kepentingan-

kepentingan rakyat, sensitif dan responsif terhadap kesulitan-kesengsaraan

negara dan rakyat.

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

Dari sejak Zaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara

Selain itu, penyair juga mengaskan bahwa penegakkan hukum

harus dijunjung tinggi daripada ketamakan para politisi dan aparat negara

yang memiliki kekuasaan. Penyair juga menyerukan bahwa kita harus

terus memperjuangkan dan menegakkan keadilan.

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Seluruh larik yang disebutkan di atas dapat ditarik simpulan bahwa

puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia mengusung pesan ketidakadilan

dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada

masyarakat. Ketidakadilan tersebut di antaranya adalah kekuasaan penuh

dipegang oleh penguasa, orang-orang kaya yang memonopoli ekonomi

bangsa, dan aparat negara yang membabi buta menindas rakyat yang

sengsara.

Page 88: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

74

3. Analisis dan Pembahasan Struktur Fisik Puisi Mei

a. Tipografi atau Perwajahan

Tipografi atau perwajahan pada puisi Mei meliputi pembaitan,

pungtuasi yang mencakup ejaan dan tanda baca, tipografi, serta

enjambemen. Puisi Mei karya Joko Pinurbo ini merupakan puisi yang

terdiri atas 4 (empat) bait dan 24 (dua puluh empat) larik. Bait pertama

terdiri atas empat larik, bait kedua memiliki enam larik, sedangkan pada

bait ketiga dan keempat masing-masing terdapat tujuh larik.

Puisi Mei menggunakan huruf kapital pada awal larik yang

dianggap sebagai awal kalimat, serta secara khusus digunakan pada kata

―Mei‖. Penyair juga konsisten mengakhiri setiap larik menggunakan tanda

baca. Tanda baca yang terdapat pada puisi tersebut di antaranya titik,

koma, dan titik koma. Berikut ini merupakan salah satu bait yang

menunjukkan hal tersebut.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Tanda titik digunakan mengakhiri larik ke-2, 3, 4, 5, 7, 10, 13, 17,

18, 19, dan 24. Tanda titik tersebut digunakan penyair untuk mengakhiri

larik-lariknya yang dianggap sebagai satuan kalimat yang utuh meskipun

terbagi atas beberapa larik. Selanjutnya penggunaan tanda koma pada larik

ke-1, 5, 12, 17, 18, dan 24, yakni sebelum kata ―Mei‖ yang secara

pungtuasi sebagai bagian dari kata sapaan, sedangkan penggunaan koma

pada larik ke-9 dan 10, berfungsi sebagai pemerincian. Kemudian,

penggunaan tanda titik koma pada larik ke-22 merupakan sebagai

pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat setara pada larik

21 dan 22 dengan larik 23 dan 24.

Pada puisi Mei karya Joko Pinurbo ini aspek enjambemen mucul

pada setiap bait puisi. Hal tersebut ditunjukkan pada bait-bait berikut.

Page 89: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

75

Tabel VI

Enjambemen Puisi Mei

Bait Enjambemen

I

Tubuhmu yang cantik, Mei⸥

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

II

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu⸥

sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu⸥

sampai dilumatnya yang cuma warna,⸥

yang cuma kulit, yang cuma ilusi.

III

Tubuh yang meronta dan meleleh⸥

dalam api, Mei⸥

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya⸥

dan tubuh dusta kami⸥

dengan membakar habis⸥

tubuhmu yang cantik, Mei.

IV

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya⸥

ketika tubuhmu hancur dan lebur⸥

dengan tubuh bumi; ⸥

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan⸥

nama dan warna kulitmu, Mei.

Pada bait I, makna pada larik kedua telah kaupersembahkan

kepada api berkaitan erat dengan keseluruhan larik pertama, Tubuhmu

yang cantik, Mei. Artinya, keseluruhan larik kedua ini masih merupakan

satu kesatuan sintaksis dengan kelompok larik pertama. Sementara pada

bait II untuk larik sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi. yang sebenarnya

masih kelanjutan larik sebelumnya, Api mengucup tubuhmu. Demikian

pula penjelasan enjambemen pada larik-larik berikutnya. Perloncatan-

perloncatan baris tersebut dilakukan oleh penyair didasari untuk

memperoleh efek pengedepanan bahwa sosok Mei yang dengan kerelaan

dan kerendahan diri mempersembahkan tubuhnya kepada kekejaman tidak

manusiawi yang membakar habis tubuhnya sampai ke bagian terkecil

Page 90: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

76

hingga hancur lebur dan tidak ada yang peduli terhadap ketragisan yang

dialaminya.

b. Versifikasi

Pada dasarnya unsur versifikasi yang mencakup rima, ritme, dan

metrum, cukup penting untuk membangun pemaknaan dan efek puitis pada

sebuah puisi. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik terletak di

awal, tengah, maupun akhir larik. Irama (ritme) mencakup pengulangan

bunyi kata, frasa, atau kalimat. Sementara metrum adalah pengulangan

tekanan.

Pada puisi Mei karya Joko Pinurbo pada tiap larik terdapat

kesamaan bunyi /a/, /i/, /u/, dan /e/. Jika diperhatikan, akan jelas dirasakan

bahwa bunyi pada puisi ini menampilkan variasi bunyi asonansi. Pada bait

pertama, didominasi oleh asonansi bunyi /a/ dan /i/. Pada bait kedua sarat

oleh bunyi /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga pada bait ketiga dan keempat,

variasi bunyi /a/, /i/, /u/, dan /e/ melebur.

Selanjtunya, pengulangan bunyi kata atau frasa muncul pada setiap

bait. Pada bait pertama, kata kau digunakan di larik ke-2, 3, dan 4; dan

kata mandi digunakan pada larik ke-3 dan 4. Pada bait kedua, pengulangan

kata api muncul di larik 5, 6, 8; kata tubuhmu muncul di larik 6 dan 8;

frasa api sangat mencintai hadir di larik 5 dan 8; serta frasa yang cuma

dimunculkan tiga kali di larik 9 dan 10. Pada bait ketiga, kata tubuh

muncul lima kali, yaitu pada larik ke-11, 13, 14, 15, dan 17. Pada bait

terakhir, frasa kau sudah berturut-turut muncul di larik ke-18 dan 19; dan

kata tubuh kembali muncul pada larik ke-21 dan 22. Pengulangan-

pengulangan bunyi dan larik tersebut menciptakan irama puisi tersebut

menjadi lebih dinamik.

Selanjutnya, rima atau persajakan yang mempunyai frekuensi

cukup tinggi pada puisi Mei adalah jenis anafora, yakni terdapat suatu

pengulangan bunyi di awal baris. Hal ini terdapat pada larik-larik berikut.

Tabel VII

Rima Anafora Puisi Mei

Page 91: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

77

Bait Rima Anafora

I

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

II

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu

sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu

sampai dilumatnya yang cuma warna,

yang cuma kulit, yang cuma ilusi

III

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

IV

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Pola anaforis yang muncul tersebut berfungsi menggiring atau

memfokuskan perhatian pembaca ke arah tertentu, yakni arah yang

diyakini Joko Pinurbo sebagai aspek yang dikedepankan bertujuan untuk

memperlihatkan sebuah penekanan perasaan terhadap sosok Mei.

c. Diksi

Joko Pinurbo dengan sengaja memilih kata Mei untuk

menimbulkan makna yang ganda. Pertama, Mei bisa saja merujuk pada

nama gadis Tionghoa yang hidup pada zaman tahun 1998, karena istilah

Mei berkesan sebagai nama seorang perempuan Tionghoa, seperti Chang

Mei Hwa, Tan Mei Lan.1 Namun, bila ia menganggap Mei sebagai

1 Suharyo, ―Pola Nama Masyarakat Keturunan Tionghoa‖, (Semarang: FIB Undip, 2016),

h. 1-2. dalam https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/5952 diakses pada

Februari 2022.

Page 92: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

78

personifikasi dari waktu (bulan Mei), maka dapat ditafsirkan sebagai

tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998 yang menimbulkan

kerusuhan dan penjarahan yang berakibat perusakan serta pembakaran

habis-habisan di berbagai tempat di Indonesia. Tak ada gambaran

langsung mengenai peristiwa kerusuhan itu, tetapi justru api digambarkan

bagai seseorang yang mencintai dan melumat kekasihnya.

Di samping itu, penyair menggunakan kata api sebagai sosok

perusak tubuh tokoh Mei. Mei seolah tokoh utama dalam pengisahan

penyair dan hadir pada setiap bait puisi tersebut. Mei seolah-olah tidak

takut menghadapi api, bahkan ia mempersembahkan diri kepada api oleh

karena saling mencintai. Joko Pinurbo menggunakan konstruksi tubuh

Mei yang dipersembahkan kepada api untuk melukiskan para perempuan

Tionghoa yang menjadi korban kekejian pada saat itu. Hal tersebut

ditunjukkan pada bait berikut.

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

Diksi yang digunakan oleh Joko Pinurbo pada puisi Mei ini

didominasi oleh pemilihan kata yang berkaitan erat dengan tubuh. Penyair

menghadirkan dinamika tubuh Mei yang mengarah pada kefanaan,

kehancuran, dan ironi, sebagaimana dilukiskan pada salah satu bait

berikut.

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Selain itu, diksi-diksi mandi api, meronta, meleleh, hancur, dan

lebur menunjukkan kesengsaraan tokoh Mei yang mengalami kekejian

sampai ke titik-titik terdalamnya. Selanjutnya, terdapat pemilihan kata

menarik, yaitu tubuh maya, tubuh dusta oleh Joko Pinurbo ditunjukkan

keserakahkan rezim waktu itu. Rezim penuh dusta dan korup. Namun, api

Page 93: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

79

membakar habis semuanya itu. Api kuasa yang ia sulut membakar dirinya

sendiri.

d. Gaya Bahasa

Penggunaan gaya bahasa banyak dimanfaatkan dalam puisi Mei

karya Joko Pinurbo ini. Gaya bahasa tersebut menunjang penggambaran

suasana yang dihadirkan dan fakta sosial yang terjadi. Beberapa gaya

bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut.

1) Repetisi

Gaya pengulangan atau repetisi pada puisi Mei ini beberapa

berupa penguangan kata atau kalimat yang bertujuan untuk lebih

menekankan pesan. Gaya repetisi yang digunakan antara lain sebagai

berikut.

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

Kata kau merujuk kepada tokoh Mei diulang sebanyak tiga

kali pada bait I tersebut. Pengulangan tersebut menunjukkan sosok

Mei yang mempersembahkan tubuhnya untuk mandi api.

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu

sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu

sampai dilumatnya yang cuma warna,

yang cuma kulit, yang cuma ilusi.

Bait tersebut memiliki gaya repetisi yang beragam.

Pengulangan kalimat terjadi pada larik ke 1, 2, dan 4 di atas, yaitu Api

sangat mencintaimu, Mei; Api mengucup tubuhmu; Api sangat

mencintai tubuhmu. Pengulangan ini diwujudkan dengan pemilihan

kata-kata romantisme, tetapi menekankan pesan bahwa api berusaha

menyentuh dan menggilai tubuh Mei untuk menghancurkan dan

membakarnya. Selain itu, pengulangan sebagian, yakni pada larik

sampai dilumatnya yang cuma warna; yang cuma kulit; yang cuma

ilusi. Frasa yang cuma diulang sebanyak tiga kali pada bait ini. Hal ini

Page 94: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

80

menekankan bahwa tokoh Mei dilumat oleh api hingga unsur-unsur

tubuhnya baik yang jasmaniah (fisik) maupun rohaniah (suku/ras)

hancur terbakar.

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Pada bait tersebut kata tubuh kembali muncul sebagaimana

pada pembahasan bait I sebelumnya. Meskipun tubuh berkali-kali

mencoba memberontak dan melawan api yang membara, tetapi api

tetap menghanguskannya.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Kata kau berulang kali merujuk pada tokoh Mei yang tak

berdaya dihanguskan oleh api dan melebur dengan tanah hingga

menghilang wujud keberadaannya.

2) Paralelisme

Penggunaan gaya paralelisme atau kata-kata yang sama juga

dimanfaatkan pada puisi Mei ini sebagaimana terdapat pada larik

ketika tubuhmu hancur dan lebur. Paralelisme terlihat dengan adanya

penggunaan kata hancur yang diikuti oleh kata lebur. Tubuh yang

hancur jelas dalam keadaan lebur. Penggunaan gaya ini untuk

menekankan bahwa keadaan tubuh tokoh Mei rusak dan hangus oleh

api sehingga tidak tampak lagi wujudnya.

3) Personifikasi

Personifikasi dominan dimanfaatkan dalam menggambarkan

api yang memiliki rasa emosi dan romantisme. Pada puisi ini, api

menjadi persona yang dapat mencintai, mengucup, membersihkan,

Page 95: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

81

serta mengungkapkan rahasia cinta kepada tokoh Mei. Mei seolah-

olah tidak takut menghadapi api. Bahkan ia mempersembahkan diri

kepada api oleh karena saling mencintai. Hal ini menegaskan bahwa

wujud romantisme tersebut merupakan simbolisasi bentuk keganasan

dan kekejaman yang menyerang dan menghancurkan para perempuan

Tionghoa. Hal ini tercermin pada penggalan larik-larik berikut.

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu

sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu

sampai dilumatnya yang cuma warna,

yang cuma kulit, yang cuma ilusi.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

Kutipan di atas menunjukkan simbolisasi keadaan tubuh tokoh

Mei yang mengalami kehancuran dan terbakar hangus oleh api. Api

yang telah menghancur-leburkan tubuh dengan bumi dan menjadi

tidak berwujud. Melalui proses hangus, tubuh menderita dengan

kehancurannya berjuang dengan meronta dan melawan untuk

membebaskan diri dari api yang mengekangnya adalah usaha yang

sia-sia. Dalam hal ini, api diasosiasikan sebagai pelaku kekejaman

tersebut.

Pada realitanya, tragedi Mei bukan hanya kisah individual

melainkan kisah komunal. Tubuh Mei yang terbakar adalah sebagai

personifikasi tubuh bangsa Indonesia. Kerusuhan di Jakarta adalah

kerusuhan yang menimpa jiwa seluruh orang-orang Indonesia. Tragedi

itu adalah tragedi kebangsaan Indonesia.

4) Metafora

Page 96: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

82

Joko Pinurbo pada puisi Mei menunjukkan adanya

pengibaratan secara langsung makna tanah dengan menggunakan kata

tubuh bumi. Metafora tersebut ditunjukkan pada larik larik berikut.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

Berbagai gaya bahasa yang digunakan oleh Joko Pinurbo dalam puisi

Mei tersebut memperkuat kesan suasana nista, keji, hancur, jahat, dan

kejam yang dialami tokoh Mei yang menjadi korban tragedi saat itu.

Penggunaan gaya repetisi menjadi penting untuk menekankan peristiwa

kesakitan dan kehancuran yang seolah dialami berulang-ulang dengan

keganasan yang datang dari api (para penguasa). Pengguanaan paralelisme,

personifikasi, metafora, sengaja dipakai pula sebagai bentuk perumpamaan

dan perbandingan yang akhirnya menimbulkan kekejaman yang bengis.

e. Kata Konkret dan Kata Abstrak

Penggunaan kata konkret dalam puisi memiliki maksud agar

pembaca seakan-akan melihat, mendengar, atau merasakan apa yang

dilakukan atau dirasakan oleh penyair. Berikut ini merupakan kata konkret

yang terdapat pada puisi Mei.

Tabel VIII

Kata Konkret Puisi Mei

Bait Larik Kata Konkret

I

1 tubuhmu

1 Mei

2, 4 api

3 kau

II

5, 6, 8 api

5 Mei

6, 8 tubuhmu

9 cuma warna,

10 cuma kulit, cuma ilusi

III

11, 13, 14, 15, 17 tubuh

12 Meronta, meleleh

12, 14, api

12, 17 Mei

13, 15 kami

Page 97: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

83

14 membersihkan

16 Membakar habis

IV

18, 19, kau

18, 24 Mei

18 Selesai mandi

19, 20 api

20 mengungkapkan

21 Hancur dan lebur

22 bumi

24 Nama dan warna kulitmu

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kata konkret yang

muncul pada puisi tersebut sangat variatif. Kata-kata tersebut didominasi

oleh kata benda, baik yang memiliki kedudukan sebagai subjek maupun

sebagai objek.

Berbeda dengan kata konkret, kata abstrak berfungsi sebagai

penambah estetika yang terdapat dalam puisi. Berikut ini merupakan kata-

kata abstrak yang terdapat pada puisi Mei.

Tabel IX

Kata Abstrak Puisi Mei

Bait Larik Kata Konkret

I

1 yang cantik

2 kaupersembahkan

3 pamit, sore itu

II

5 sangat mencintaimu

6 mengucup

7 lekuk-lekuk tersembunyi

8 sangat mencintai

9 dilumatnya

III

14 maya

15 dusta

17 yang cantik

16 membakar habis

IV 20 rahasia cintanya

23 mempertanyakan

Berdasarkan data di atas, kata abstrak yang muncul pada puisi Mei

dominan memiliki kedudukan sebagai predikat (P). Hal tersebut

Page 98: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

84

menandakan bahwa Aku-lirik cenderung memahami aktivitas yang

dilakukan oleh objek lirik sehingga membuat simpulan bahwa peristiwa-

peristiwa yang terjadi pada situasi yang digambarkan tersebut sangat

berdampak besar pada subjek lirik.

f. Imaji atau Pencitraan

Salah satu unsur yang membangun kekhasan sebuah puisi adalah

penggunaan imaji atau pecitraan. Puisi sebagai karya sastra yang padat

kata dan penuh makna tentu saja menggunakan imaji untuk memperkaya

daya bayang pembaca terhadap puisi. Terdapat beberapa imaji pada puisi

Mei ini sebagaimana diuraikan berikut ini.

1) Imaji Pengelihatan

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

Imaji pengelihatan atau imaji pandang pada larik Tubuhmu

yang cantik, Mei; telah kaupersembahkan kepada api menimbulkan

daya bayang penggambaran sosok perempuan cantik yang bernama

Mei telah memasrahkan tubuhnya untuk dilalap api. Larik kau pamit

mandi sore itu; kau mandi api menimbulkan daya bayang suasana

sore hari yang melatari kepergian sosok Mei yang bersimbah api.

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Imaji pandang pada bait di atas menciptakan daya bayang

sosok Mei yang mencoba melawan dan memberontak dari kurungan

api justru tubuhnya semakin terbakar habis dan hancur.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

Page 99: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

85

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Bait tersebut menghadirkan daya bayang kehancuran tubuh

yang terbakar hangus telah melebur dengan tanah dan hilang bahkan

tidak ada seorang pun yang mengusut dan peduli sebagaimana realitas

tragedi 1998 tersebut yang hingga saat ini tidak diusut dan

dipersoalkan oleh hukum yang bejalan.

2) Imaji Sentuh

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu

sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu

sampai dilumatnya yang cuma warna,

yang cuma kulit, yang cuma ilusi.

Imaji sentuh pada larik api mengucup tubuhmu; sampai ke

lekuk-lekuk tersembunyi; dan api sangat mencintai tubuhmu; sampai

dilumatnya yang cuma warna; yang cuma kulit, yang cuma ilusi;

menimbulkan kesan tubuh yang terkurung dan terjamah sampai ke

titik-titik kecil yang tak terlihat pun dilumat oleh api hingga akhir.

3) Imaji Pendengaran (Auditif)

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Imaji dengar pada larik api telah mengungkapkan rahasia

cintanya menunjukkan pengakuan rahasia besar oleh api (sang

penghancur). Selain itu, larik ketika taka da lagi yang

mempertanyakan; warna dan kulitmu, Mei; menunjukkan

ketidakpedulian orang-orang terhadap peristiwa keji yang dialami oleh

sosok Mei.

4. Analisis dan Pembahasan Struktur Batin Puisi Mei

a. Tema

Tema dari puisi Mei karya Joko Pinurbo ini menyuarakan

perjuangan memperoleh rasa kemanusiaan yang adil yang dialami tokoh

Page 100: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

86

Mei sebagai wujud kekejaman penguasa yang membakar dan

menghancurkan warga etnis Tionghoa. Penyair begitu sensitif perasannya

untuk memperjuangkan dan menentang sikap kebrutalan pihak yang

berkuasa.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Peristiwa yang digambarkan begitu jelas mengenai penderitaan

korban kejahatan dan kekejian tersebut. Mereka dikurung dan dibakar

sampai hangus, hancur, dan melebur dengan tanah. Peristiwa keji ini pun

dilupakan oleh para penguasa, tidak diusut kebenaran dan keadilan

hukumnya.

b. Perasaan

Rasa yang muncul pada puisi Mei adalah rasa tidak adil atau

kengerian atas diskriminasi dan kekejaman yang dilakukan oleh

pemerintah pihak berkuasa kepada warga etnis Tionghoa.

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Secara halus penyair menunjukkan perasaan pilu dan sangsi yang

ditonjolkan dengan menguraikan gambaran kobaran api yang mengurung,

melumat, dan membakar habis sampai ke lekuk-lekuk tubuh yang meleleh.

Hal ini menunjukkan bahwa ketidakadilan dan kekejian sudah begitu

merajalela.

c. Nada dan Suasana

Nada dan suasana tidak lepas dengan tema dan rasa. Melalui tema

yang diangkat, maka nada dan suasana yang muncul adalah Joko Poinurbo

mengajak pembaca untuk melihat kesengsaraan dan kekejaman yang

Page 101: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

87

dialami oleh rakyat etnis Tionghoa pada saat tragedi 1998 terjadi. Api

yang bergejolak dan membumihanguskan tubuh-tubuh yang tidak berdaya.

Sebagaimana yang diketahui pada bulan Mei 1998, Indonesia mengalami

krisis yang menyebabkan keadaan menjadi mencekam dan mengerikan.

Pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan semua bentuk ketidakadilan

terjadi pada saat itu. Suasana tersebut digambarkan oleh penyair dengan

api yang berkobar di setiap sudut, melelehkan benda maya, dan

menghanguskan tubuh tak berdosa.

d. Amanat

Puisi Mei menggambarkan pemerintahan yang bersifat otoriter dan

kejam sehingga menyebabkan kekerasan, pembantaian, pemerkosaan,

pembakaran, pembunuhan sebagai sebuah hal yang lazim. Joko Pinurbo

menyiratkan pesan bahwa jangan seolah-olah kita memiliki hak kekuasaan

tertinggi menjadikan kita lupa hak-hak manusia lain yang harus dijunjung

tinggi. Pada dasarnya hak pada semua lapisan manusia adalah sama. Pada

siapapun kita harus mengedepankan kemanusiaan dengan saling

menolong, menghargai, dan menghormati.

B. Representasi Tragedi Mei 1998 dalam Puisi Sajak Bulan Mei

1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei Karya

Joko Pinurbo

Sastra menjadi potret kehidupan sosial serta fakta-fakta yang terjadi.

Sebagai potret sejarah, sastra menjadi dokumen dan pantulan hubungan

sebuah peristiwa terhadap peristiwa yang lain. Sebagai salah satu karya

sastra, puisi juga dapat memuat berbagai persoalan dalam kehidupan manusia.

Puisi sering kali digunakan sebagai media kritik oleh penyair sehingga bentuk

empati dan simpati penyair larut dalam sebuah puisi terhadap kritik situasi

kehidupan sosial atau masyarakat yang tidak sesuai dengan norma yang

seharusnya. Berbagai aspek kehidupan manusia terekam dan

direpresentasikan secara baik dalam puisi. Dengan adanya representasi dan

pemaknaan sebuah karya sastra, akan terungkap banyak peristiwa hingga

tragedi yang tersembunyi.

Page 102: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

88

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi

Mei karya Joko Pinurbo memiliki benang merah yang menautkan keduanya

dalam merepresentasikan peristiwa-peristiwa yang tergambar di dalamnya.

Secara umum, kedua penyair ini menggunakan strategi puitik yang hampir

sama, yaitu dengan penggunaan tanda baca, pemanfaatan enjambemen,

penggunaan gaya bahasa paralelisme, repetisi, sinekdoke, personifikasi,

metafora dan hiperbola untuk memberikan nuansa tragis, nista, dan keji yang

mampu divisualisasi dengan baik. Puisi W.S. Rendra ini memberikan banyak

ruang untuk menyampaikan pesan, tuntutan, dan penggambaran atas

fenomena Mei 1998 itu. Semantara itu, Joko Pinurbo menggunakan tubuh

Mei sebagai metafor atas sebuah tragedi. Di sinilah penyair sebetulnya ingin

menggambarkan mengenai kesengsaraan yang dialami semua orang pada

bulan Mei 1998 tersebut.

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi

Mei karya Joko Pinurbo keduanya merekam peristiwa yang sama, yaitu

tragedi bersejarah Mei 1998. W.S. Rendra melalui Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia mengemukakan protes sosial dan politik, kemanusiaan, serta

kedaulatan rakyat. Digambarkan bahwa jatuhnya sebuah rezim kekuasaan

dikarenakan kepercayaan telah dilanggar, hukum tak lagi berarti, hingga

rakyat menjadi korban.

Penyair menggunakan kata bulan yang seharusnya menjadi pusat

penerang kegelapan pada malam hari, justru disandingkan dengan kata gelap

sehingga menimbulkan gambaran sebagai imitasi watu (masa) yang sangat

kelam. Penyair mengisyaratkan melalui frasa bulan gelap raja-raja bahwa di

larik-larik berikutnya dalam keseluruhan puisi ini ia akan menampilkan masa-

masa suram yang terjadi pada Mei 1998 yang penuh dengan prahara dalam

pemerintahan dan masyarakat. Pada masa kejatuhan penguasa dan

kekuasaannya inilah terjadi pergolakan di masyarakat, di mana korban-korban

berjatuhan dan rasa amarah telah mendominasi hati dan pikiran manusia.

Dengan demikian, inilah sisi buram kehidupan sebuah ketragisan hidup dan

nasib manusia.

Page 103: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

89

Secara tipografi, puisi ini memperlihatkan keriuhan batin penyair

serta penggunaan tanda bacanya menguatkan sarana retoris penyair dalam

mengungkapkan keironisan situasi tersebut bahwa tipu daya para penguasa

sedang berpura-pura tidak merasakan bahkan sangat tidak mengedepankan

kemanusiaan. Perloncatan baris yang dilakukan oleh penyair juga disadari

untuk memperoleh efek pengedepanan bahwa penyair menggunakan kaitan

religius dengan merujuk kepada Allah dan hukumnya yang merupakan akal

sehat manusia, bukan kepentingan serakah milik segelintir orang. Sementara

itu, Joko Pinurbo dalam Mei menampilkan perloncatan-perloncatan baris

untuk memperoleh efek pengedepanan bahwa sosok Mei yang dengan

kerelaan dan kerendahan diri mempersembahkan tubuhnya kepada kekejaman

tidak manusiawi yang membakar habis tubuhnya sampai ke bagian terkecil

hingga hancur lebur dan tidak ada yang peduli terhadap ketragisan yang

dialaminya.

Penyair juga menciptakan bunyi vokal (asonansi) melalui huruf-huruf

vokal /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ serta dikombinasikan dengan bunyi konsonan /b/,

/d/, /g/, /z/, dan /w/ yang berat dan rendah mendukung perasaan gundah

penyair. Di samping itu, pada puisi ini cenderung memiliki kombinasi bunyi

kakofoni sehingga memberikan efek tidak merdu, parau, dan penuh bunyi /k/,

/p/, /t/, /s/ (bunyi konsonan tidak bersuara), bunyi sengau /m/, /n/, /ng/, bunyi

likuida /r/ dan /l/ bunyi palatal /c/ dan /j/. Kombinasinya mendukung

penggambaran suasana tak teratur, tidak menyenangkan, kacau balau, bahkan

memuakkan penyair, sehingga nada pembacaan yang ditangkap pada puisi ini

adalah penuh penekanan yang menunjukkan bentuk kemarahan dan

pengutukan W.S. Rendra terhadap kesemrawutan yang terjadi, seperti

kekerasan yang disertai tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat

negara hingga menimbulkan banyak korban, mengecam kapitalistis

pemerintah terhadap rakyat, serta kemiskinan yang merajalela di mana-mana

(digambarkan pada bait dua, tiga, empat, dan enam).

Melalui gaya repetisinya, W.S. Rendra menyatakan seruan,

keheranan, dan kekecewaan dalam sajak ini. Pengulangan tersebut untuk

menegaskan keberadaan pemegang keadilan yang keberadaannya telah hilang

Page 104: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

90

bagi masyarakat yang tertindas dan penyair mengharapkan keadilan yang

diterima oleh manusia seharusnya tidak memihak. Skema repetisi ini juga

menampilkan ketamakan dan kekejaman dilakukan berulang-ulang serta

intens oleh pemerintah, orang-orang kaya, dan aparat keamanan yang

menjadikan rakyat tertindas memberontak dan menyebabkan huru-hara

semakin beringas. Seruan penyair dalam memperingatkan pemimpin-

pemimpin bangsa yang tak kunjung memperhatikan kesengsaraan yang

dialami rakyat atas ketamakan yang telah menguasai pemerintahannya.

Selanjutnya, pengulangan-pengulangan kata digunakan pula untuk

menunjukkan klimaks kebingungan yang tiada ujung dan puncak dari

kemarahan penyair terhadap kebebalan pemerintah.

Penyair menampilkan sensitivitas perasannya untuk menekankan

kedaulatan rakyat yang seharusnya dipegang penuh oleh rakyat digambarkan

telah berpindah tangan kepada pemerintah. Kehendak dan suara rakyatlah

yang seharusnya menentukan langkah dan kebijaksanaan pemerintah dalam

mengurusi negara. Dengan penggambaran yang sangat kuat, penyair

meneriakkan bentuk protes terhadap ketidakpedulian dan ketidakadilan secara

sosial maupun politik atas kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa

(pemerintah) yang tidak mendengarkan jeritan rakyat, sehingga menyebabkan

penderitaan dan kemiskinan rakyat semakin parah, menimbulkan kericuhan

penjarahan yang terjadi di mana-mana, terjadinya banyak pertumpahan darah,

hingga kepada kejahatan kemanusiaan. Selain itu, penyair juga mebicarakan

kritik atau protes atas sikap pemerintah pada zaman Orde Baru yang

pemerintahannya saat itu telah dibutakan oleh kedudukan tahta seolah tersihir

dengan kekuasaan jabatan yang semena-mena.

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang ditandai dengan adanya rentetan

peristiwa-peristiwa berkaitan erat dengan sosial-politik masyarakat Indonesia

pada 13--15 Mei 1998. Krisis ekonomi, sidang Umum MPR RI Tahun 1998,

pemilu 1997, demonstrasi mahasiswa, dan penculikan para aktivis dan

mahasiswa, merupakan peristiwa yang tidak bisa dilepaskan dari kerusuhan

yang terjadi pada waktu itu. Pada pemerintahannya diakhiri dengan terjadinya

tragedi Mei 1998 yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat. Banyak korban

Page 105: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

91

berjatuhan pada tragedi saat itu, sehingga dapat dikatakan bahwa tragedi Mei

1998 tersebut merupakan sebuah titik sejarah hitam bagi masyarakat

Indonesia. Dampak dari tragedi tersebut menimbulkan kerugian fisik maupun

psikis.

Permasalahan yang paling utama dari tuntutan dan demonstrasi

mahasiswa kala itu adalah Presiden Soeharto yang sudah tidak dipercaya lagi

oleh masyarakat Indonesia karena banyak hal merugikan negara dan

masyarakat Indonesia sendiri, khususnya ketika ekonomi menjadi memburuk

(krisis moneter).

1. Krisis Moneter

W.S. Rendra pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

menggambarkan krisis ekonomi dan keamanan. Menggunakan gaya

hiperbolik, penyair memberikan gambaran lugas tentang ketimpangan

kedudukan dan nasib antara penguasa dan rakyat. Untuk melukiskan

keotoriteran para pemimpin negara, penyair melukiskannya sebagai raja-raja

yang bersama pemerintahan, aparat keamanan, dan cukong-cukong, yang

menjarah hak-hak rakyat. Sementara rakyat yang menderita dilukiskannya

sebagai sampah kehidupan.

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Penyair menggunakan rima anaforis sebagai strategi puitik untuk

memperlihatkan sebuah penekanan gagasan protesnya terhadap pemerintah

dan menampilkan bentuk kemarahan dan pengutukannya terhadap

kesemrawutan yang terjadi. Melalui bait tersebut, penyair menegaskan bahwa

keadaan ekonomi amat sulit. Kekuasaan pasar dan ekonomi bangsa

sepenuhnya dikendalikan bahkan dimonopoli oleh para cukong alias para

pemilik modal yang korup. Keadaan ini digambarkan menyebabkan

penjarahan di pasar dan di mana-mana. Tahun 1998 menjadi saksi bagi

tragedi perekonomian bangsa. Periode ini berlangsung sangat tragis dan

tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia.

Page 106: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

92

Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi

yang diraih dalam dua dekade seolah tenggelam begitu saja.

Krisis perekonomian bermula dari krisis moneter Asia Tenggara pada

Juli 1997 yang diawali dengan anjloknya mata uang baht di Thailand.

Desember 1997 Indonesia terseret ke dalam krisis dan rupiah merosot.

Pemerintah menyesuaikan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (RAPBN) pada 7 Januari 1998 dengan lonjakan dolar yang mencapai

Rp11.700 per dolar. Dua hari setelahnya, pasar swalayan bahkan tradisional

diserbu setelah muncul isu akan terjadi kelangkaan pangan sehingga sembako

ludes dalam sekejap dan dolar melambung hingga 16000-an. Soeharto dipilih

kembali sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR

yang berlangsung pada 1—11 Maret 1998 dengan wakil presiden B.J.

Habibie. Setelah susunan Kabinet Pembangunan VII diumumkan, bau

nepotisme dan wajah baru menghiasi.2 Presiden Soeharto diangkat kembali

menjadi presiden di tengah krisis yang mulai muncul. Krisis perekonomian

menjadi awal kejatuhan Soeharto. Setelah dipilih kembali, pemerintah gagal

membangkitkan perekonomian. Krisis moneter telah menyebabkan banyak

perusahaan merumahkan karyawannya dalam jumlah besar. Kelas menengah

pun tak luput dari imbasnya. Ekonomi kolaps, pengangguran terjadi di mana-

mana. Sementara itu, di berbagai daerah telah terjadi kerusuhan, penjarahan,

dan pembakaran. Masyarakat telah kalap karena himpitan krisis moneter dan

kelangkaan barang kebutuhan pokok.

Pada kurun waktu yang cukup lama pemerintahan Presiden Soeharto

selama itu telah menimbulkan banyak pro dan kontra. Kebijakan pemerintah

ketika itu sangat otoriter, karena pemerintahan dikuasai oleh TNI/ABRI, dari

pemerintah tingkat pusat sampai dengan kelurahan/desa. Pemerintahan yang

tidak bisa dan tidak mau untuk dikritik membuat masyarakat geram, sehingga

banyak terjadi kasus-kasus kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Ada

beberapa kasus yang diduga kuat berkaitan dengan pemerintahan Soeharto

kala itu, di antaranya adalah G30S/PKI, Pulau Buru, adanya Petrus

(Penembakan misterius), Tanjung Priok (1984--1987), DOM (Daerah Operasi

2 Pusat Data dan Analisa Tempo, Op. Cit., h. 47—49.

Page 107: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

93

Militer) Aceh dan Papua, Malari (Malapetaka 15 Januari), Tragedi Trisakti

dan Semanggi, dan sebagainya.

2. Tragedi Kemanusiaan

Represi ekonomi, politik, dan keamanan memaksa terjadinya

pertumpahan darah. W.S. Rendra menggunakan diksi bangkai-bangkai untuk

memberikan gambaran jasad yang begitu banyak jumlahnya dan berserak di

jalanan, baik hasil dari pembunuhan maupun terbunuh dengan tidak sengaja

akibat pemberontakan terjadi sehingga kesan sadis dan tidak manusiawi

muncul.

Penggunaan gaya hiperbolik oleh W.S. Rendra juga menggambarkan

korban-korban yang sedemikian banyak terbujur dan bersimpuh darah hingga

lengket di mana-mana bahkan ke aspal jalanan. Selanjutnya, penggambaran

suasana kekacauan berasal dari semua orang yang riuh dalam penjarahan,

pemberontakan, dan penembakan. Nuansa hiperbolik ini memberikan

gambaran lugas suasana yang lebih mengerikan. Untuk menguraikan keadaan

rakyat dan para korban, W.S. Rendra lebih memilih menggunakan diksi

bangkai-bangkai untuk memberikan gambaran jasad yang begitu banyak

jumlahnya dan berserak di jalanan, baik hasil dari pembunuhan maupun

terbunuh dengan tidak sengaja akibat pemberontakan terjadi sehingga kesan

sadis dan tidak manusiawi muncul. Selain itu, diksi sampah yang dengan

kasar memiliki gambaran di mana rakyat atau para korban dianggap sudah

tidak lagi memiliki nilai dan harga diri sebagai manusia oleh para penguasa

sehingga diperlakukan seperti sesuatu yang tidak ada artinya. Oleh karena itu,

ketimpangan sosial antara pemegang kekuasaan dan rakyat biasa sangat jelas

digambarkan oleh penyair.

Sementara itu, Joko Pinurbo memilih diksi yang berkaitan erat dengan

tubuh. Ia menghadirkan dinamika tubuh Mei yang mengarah pada kefanaan,

kehancuran, dan ironi, sebagai korban yang mengalami tragedi kemanusiaan.

Penggunaan kata atau frasa mandi api, meronta, meleleh, hancur, dan lebur

menggambarkan kesengsaraan tokoh Mei yang mengalami kekejian sampai

ke titik-titik terdalamnya yang diakibatkan oleh keserakahkan dan kebrutalan

Page 108: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

94

rezim waktu itu. Rezim penuh dusta dan korup. Namun, api membakar habis

semua itu. Api kuasa yang ia sulut membakar dirinya sendiri.

Gaya repetisi sebagai strategi puitik digunakan oleh Joko Pinurbo

untuk menekankan peristiwa kesakitan dan kehancuran yang seolah dialami

berulang-ulang dengan keganasan yang datang dari api (para penguasa).

Pengulangan ini diwujudkan dengan pemilihan kata-kata romantisme, yaitu

Api sangat mencintaimu, Mei; Api mengucup tubuhmu; Api sangat mencintai

tubuhmu yang menekankan pesan bahwa api berusaha menyentuh dan

menggilai tubuh Mei untuk menghancurkan dan membakarnya. Selain itu,

larik sampai dilumatnya yang cuma warna; yang cuma kulit; yang cuma ilusi.

Frasa yang cuma diulang sebanyak tiga kali pada bait ini. Hal ini menekankan

bahwa tokoh Mei dilumat oleh api hingga unsur-unsur tubuhnya baik yang

jasmaniah (fisik) maupun rohaniah (suku/ras) hancur terbakar. Pengguanaan

paralelisme, personifikasi, metafora, sengaja dipakai pula sebagai bentuk

perumpamaan dan perbandingan yang akhirnya menimbulkan kekejaman

yang bengis.

Ratusan orang menjadi korban nafsu yang membabi-buta. Pemerintah

menyudutkan rakyat, rakyat menjarah rakyat, aparat keamanan membunuh

dan menyebabkan pembakaran sehingga korban-korban tak terhitung

berjatuhan dan membujur di mana-mana. Hal tersebut diuraikan pada larik-

larik berikut oleh W.S. Rendra.

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Pada bait puisi di atas, ditunjukkan oleh larik apabila aparat

keamanan yang menjarah keamanan juga melukiskan keadaan keamanan

yang sangat kacau. Aparat keamanan negara tidak bisa mengendalikan

bahkan sudah menjadi salah satu pelaku utama yang menyebabkan

Page 109: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

95

kerusuhan, melakukan penyerangan, penembakan, dan pembantaian terhadap

masyarakat. Hal ini kemudian diperkuat oleh larik O, rasa putus asa yang

terbentur sangkur! bahwa sangkur yang ditafsirkan sebagai senjata tajam atau

pisau yang biasanya ditempatkan ujung senapan, merupakan alat yang

menjadi menghunus rasa putus asa rakyat jelata.

W.S. Rendra mengingatkan para penguasa bahwa ada jalan yang

damai untuk mengakhiri masa kelam ini. Pemerintah harusnya menjadi

pelopor dan membawa masyarakat ke arah jalan damai, begitu pula para

penguasa, sehingga isu-isu yang bertebaran tidak melulu dibawa dengan

embel-embel kekerasan dan kesukuan. Hal ini amat menyedihkan bagi W.S.

Rendra. Ia tidak menduga bahwa bangsa Indonesia berbudaya sekasar ini

sebagaimana dituangkannya pada puisi tersebut. Korban mahasiswa diculik

dan terbunuh, rakyat diajari penjarahan, lalu aparat keamanan menjarah

keamanan rakyat dengan pungli, teror, dan ancaman kekuatan senjata.

Sementara itu, Joko Pinurbo menampilkan kefanaan, kehancuran, dan

ironi, yang direpresentasikannya pada tubuh Mei. Sosok Mei yang memiliki

sifat kepatuhan dan rasa takut yang memaksanya untuk menderita dan bahkan

mati tanpa meninggalkan jejak. Melalui ini, penyair menggambarkan

kekuasaan diktatoris Soeharto adalah sebagai api yang membakar hangus

bangsa Indonesia. Kekuasaannya yang sewenang-wenang memaksa orang

untuk tunduk pada rezim yang membelenggu. Hal tersebut direpresentasikan

pada bait puisi berikut.

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Korban-korban tidak hanya mengalami penderitaan yang singkat,

Joko Pinurbo dengan jelas menekankan peristiwa kesakitan dan kehancuran

yang seolah dialami berulang-ulang dengan keganasan yang datang dari api

(para penguasa). Pengguanaan paralelisme, personifikasi, metafora, sengaja

Page 110: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

96

dipakai pula sebagai bentuk perumpamaan dan perbandingan

merepresentasikan kekejaman yang bengis.

Represi masyarakat luas tidak saja karena krisis moneter, melainkan

pula karena tindakan aparat yang semena-mena dalam menertibkan aksi.

Tanggal 12 Mei 1998 para Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta melakukan

aksi damai menuju gedung DPR/MPR. Mereka memulai reli dari depan

kampus Trisakti di Slipi sambil membagi bagikan bunga. Namun, aparat

menghadapi aksi damai mahasiswa dengan tembakan. Empat mahasiswa

gugur. Mereka adalah Elang Mulya, Hendrawan Sie, Herry Hertanto dan

Hafidin Royan.3

Selain itu, kerusuhan semakin meluas ke banyak daerah di Indonesia,

tidak hanya di Jakarta. Tragedi Mei semakin carut-marut, tidak terkendali.

Situasi ini digambarkan W.S. Rendra sebagai zaman edan yang tertulis pada

baris pertama dari bait kedua. Gugurnya para mahasiswa itu membuat rakyat

tersentak semakin marah. Setelah pemakaman empat pahlawan reformasi,

kerusuhan mulai terjadi di daerah Grogol dan menyebar ke seluruh Jakarta.

Sejak tanggal 13-15 Mei terjadi penjarahan dan huru-hara yang

meluas ke Bogor, Tangerang, Bekasi bahkan ke Solo dan seantero Nusantara.

Korban yang tercatat berjatuhan. Kompas 16 Mei 1998: menurut Kadispen

Mabes Polri Bigjen Dai Bachtiar, jumlah korban yang tewas di wilayah DKI

200 orang, belum termasuk 20 korban yang loncat dari gedung. Sementara di

Tangerang 100 orang terpanggang dan jasad para korban sebagian besar

dalam keadaan hangus.

3. Kekerasan Rasial Terhadap Warga Tionghoa

Joko Pinurbo menggunakan diksi Mei dengan sengaja untuk

menimbulkan makna yang ganda. Pertama, Mei merujuk pada nama gadis

Tionghoa yang hidup pada zaman tahun 1998. Kedua, ia menganggap Mei

sebagai personifikasi dari waktu (bulan Mei) yang dapat ditafsirkan sebagai

tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998 yang menimbulkan

3 Erik Prasetya, ―Hari-hari Menjelang Reformasi‖, dalam

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44192970 diakses pada 26 September 2021.

Page 111: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

97

kerusuhan dan penjarahan yang berakibat perusakan serta pembakaran habis-

habisan di berbagai tempat di Indonesia.

Joko Pinurbo merepresentasikan peristiwa tragis dengan Mei yang

mempersembahkan dirinya dibakar hangus oleh api hingga menjadi abu dan

orang tak lagi mempertanyakan nama dan warna kulitnya. Mei, sebagai salah

satu nama seorang gadis Tionghoa yang tewas, merupakan potret kekejaman

rasial dengan penuh kekerasan, di antaranya penembakan, penculikan,

pemerkosaan, penjarahan, dan pembakaran.

Berbagai gaya bahasa yang digunakan oleh Joko Pinurbo dalam puisi

Mei memperkuat kesan suasana nista, keji, hancur, jahat, dan kejam yang

dialami tokoh Mei (para perempuan etnis Tionghoa) yang menjadi korban

tragedi saat itu. Penggunaan gaya repetisi menjadi penting untuk menekankan

peristiwa kesakitan dan kehancuran yang seolah dialami berulang-ulang

dengan keganasan yang datang dari api (para penguasa). Penggunaan gaya ini

untuk menekankan bahwa keadaan tubuh tokoh Mei rusak dan hangus oleh

api sehingga tidak tampak lagi wujudnya. Gaya personifikasi dominan

dimanfaatkan dalam menggambarkan api yang memiliki rasa emosi dan

romantisme. Pada puisi ini, api menjadi persona yang dapat mencintai,

mengucup, membersihkan, serta mengungkapkan rahasia cinta kepada tokoh

Mei. Mei seolah-olah tidak takut menghadapi api, tetapi amat menderita.

Bahkan ia mempersembahkan diri kepada api oleh karena saling mencintai.

Hal ini menegaskan bahwa wujud romantisme tersebut merupakan

simbolisasi bentuk keganasan dan kekejaman yang menyerang dan

menghancurkan para perempuan Tionghoa.

Joko Pinurbo melukiskan simbolisasi keadaan tubuh tokoh Mei yang

mengalami kehancuran dan terbakar hangus oleh api. Api yang telah

menghancur-leburkan tubuh dengan bumi dan menjadi tidak berwujud.

Melalui proses hangus, tubuh menderita dengan kehancurannya berjuang

dengan meronta dan melawan untuk membebaskan diri dari api yang

mengekangnya dengan usaha yang sia-sia. Dalam hal ini, api diasosiasikan

sebagai pelaku kekejaman tersebut.

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Page 112: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

98

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Joko Pinurbo mengabadikan ingatannya tentang peristiwa kekejian

manusia Indonesia terhadap saudara sebangsanya, etnis Tionghoa, ke dalam

bait-bait puisi. Realitanya, penjarahan terjadi hampir di seluruh toko milik

etnis Tionghoa. Aparat tak berkutik saat seluruh penjuru kota dijarah

bersama-sama. Setelah itu, toko dibakar. Sejumlah orang yang terjebak di

dalamnya meregang nyawa. Semerbak bau gosong kulit dan daging manusia

tercium di jalan-jalan.

Sejarah kerusuhan ini dimulai menjelang awal tahun sampai dengan

pertengahan 1998, konflik elit politik meruncing. Konflik itu sebabkan oleh

tidak solidnya kabinet, perpecahan pemim pin tertinggi ABRI (TNI), isu

rasial yang melibatkan etnis Tionghoa, sampai dengan tercorengnya citra

ABRI karena terkuaknya pelanggaran HAM di Aceh, Tim-Tim, dan Papua.

Kerusuhan dan kekerasan pada suatu etnis tertentu dirasa tidaklah bersifat

murni berdasarkan kebencian pada etnis tersebut, tetapi karena adanya

dominasi dari ekonomi dan politik oleh etnis tertentu. Pada waktu itu, Mei

1998, menjadi waktu ketika masyarakat melampiaskan pada etnis Tionghoa

yang dianggap amatlah merugikan bagi masyarakat Indonesia, sehingga para

etnis Tionghoa tersebut menjadi korban rasialisme, penjarahan, kekerasan,

dan penjarahan.

Pembakaran dan kerusuhan menyebar ke Jakarta, Medan, Palembang,

Solo, Surabaya, dan daerah lainnya disusul dengan tragedy kekerasan rasial

terhadap warga Tionghoa pada 13 Mei 1998. Kekerasan terhadap warga

Page 113: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

99

Tionghoa disebabkan oleh sentiment Anti-Tionghoa. Warga Tionghoa

dituduh sebagai sebagai penyebab krisis moneter.4

Tuduhan tersebut didasarkan pada informasi palsu bahwa etnis

Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri dan sengaja menimbun

sembako sehingga rakyat Indonesia kelaparan dan sengsara. Apalagi jika

dilihat secara materi, perekonomian etnis Tionghoa yang stabil dan strategis,

serta dinilai lebih sukses, hal tersebut semakin memperkuat kebencian

masyarakat pribumi terhadap keberadaan etnis Tionghoa tersebut.

Toko-toko dan rumah milik warga Tionghoa dijarah, dibakar, bahkan

dihancurkan. Pihak yang paling menderita kerusuhan rasial ini adalah para

perempuan Tionghoa. Mereka menjadi sasran utama pada kerusuhan itu.

Mereka diperkosa, dilecehkan, dianiaya, dan dibunuh.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei

Joko Pinurbo melukiskan perempuan Tionghoa yang menanggung

semua ―api‖ atau tragedi kerusuhan tersebut. Mereka orang-orang yang paling

menderita, bahkan hingga peristiwa tersebut usai. Kejadian tersebut

menyisakan bekas trauma psikis yang amat berat bagi korban yang masih

hidup, beberapa di antaranya bahkan memilih mengakhiri hidup karena tidak

sanggup menanggung beban trauma, ada yang menjadi gila, diusir oleh

keluarga, serta menghilangkan diri ke luar negeri dengan mengganti identitas.

4. Sejarah Tragis

Puisi Mei menggambarkan pemerintahan yang bersifat otoriter dan

kejam sehingga menyebabkan kekerasan, pembantaian, pemerkosaan,

pembakaran, pembunuhan sebagai sebuah hal yang lazim. Joko Poinurbo

mengajak pembaca untuk melihat kesengsaraan dan kekejaman yang dialami

4 S. Dian Andryanto, ―Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di

Indonesia‖ https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-

pelanggaran-ham-di-indonesia diakses pada 26 September 2021.

Page 114: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

100

oleh rakyat etnis Tionghoa pada saat tragedi 1998 terjadi. Api yang bergejolak

dan membumihanguskan tubuh-tubuh yang tidak berdaya. Sebagaimana yang

diketahui pada bulan Mei 1998, Indonesia mengalami krisis yang

menyebabkan keadaan menjadi mencekam dan mengerikan. Pembakaran,

penjarahan, pemerkosaan, dan semua bentuk ketidakadilan terjadi pada saat

itu. Suasana tersebut digambarkan oleh penyair dengan api yang berkobar di

setiap sudut, melelehkan dan menghanguskan tubuh-tubuh tak berdosa.

Secara halus, dalam puisi Mei penyair menunjukkan perasaan pilu dan

sangsi yang ditonjolkan dengan menguraikan gambaran kobaran api yang

mengurung, melumat, dan membakar habis sampai ke lekuk-lekuk tubuh yang

meleleh. Hal ini menunjukkan bahwa ketragisan menimpa bangsa Indonesia

dan menjadi ingatan traumatis bagi para korban.

Sementara itu, W.S. Rendra menuangkan kekhasan nuansa tragis pada

puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia. Hal tersebut divisualisasi oleh

penyair melalui penggunaan imaji yang kemudian berpadu dengan kata

konkret telah berhasil mewujudkan kesan emosional yang lebih nyata dalam

pikiran pembaca. Peristiwa yang digambarkan begitu jelas mengenai

penderitaan korban kejahatan dan kekejian tersebut. Mereka dikurung dan

dibakar sampai hangus, hancur, dan melebur dengan tanah. Peristiwa keji ini

pun dilupakan oleh para penguasa, tidak diusut kebenaran dan keadilan

hukumnya.

Penyair menutup puisi tersebut dengan kedukaan menyelimuti wajah

Indonesia atas kehancuran bangsanya yang mengalami kepedihan, kebrutalan,

pelecehan, penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan.

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi.

Airmata mengalir dari sajakku ini.

Berbagai aspek pendukung kehidupan bangsa berkemelut dan beradu.

Kemerosotan dan monopoli ekonomi bangsa, kebebalan pemerintah yang

korup dan sewenang-wenang, serta banyak permasalahan rakyat yang

memuncak sehingga menyebabkan penjarahan dan pembakaran, pelanggaran

hak asasi manusia secara besar-besaran, kejahatan rasial terhadap warga

Tionghoa terjadi di kala itu. Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah kelam bagi

bangsa Indonesia. Selain itu, penyair pada larik-larik terakhir sebagai penutup

Page 115: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

101

dalam puisi ini menggambarkan bentuk keprihatinannya terhadap nasib buruk

rakyat yang ditindas oleh pemerintah.

C. Implikasi Representasi Tragedi Mei 1998 dalam Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi Mei

Karya Joko Pinurbo Terhadap Pembelajaran Sastra di

Sekolah

Pendidikan menjadi salah satu faktor penentu kemajuan suatu bangsa.

Maka dari itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dapat

dilihat dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki oleh

peserta didik.

Pembelajaran sastra dapat digunakan sebagai jembatan untuk

membangun dan meningkatkan kecerdasan emosional dan sosial. Oleh karena

itu, pembelajaran sastra harus dapat menanamkan kepada peserta didik akan

pentingnya mengapresiasi karya sastra. Kemampuan mengapresiasi karya

sastra akan mendorong mereka pada kemampuan melihat persoalan yang

objektif, membentuk karakter, dan merumuskan watak dan kepribadian.

Singkatnya, bila salah satu tujuan pendidikan adalah meningkatkan kualitas

kemanusiaan seseorang, pembelajaran sastra harus diletakkan sama

pentingnya dengan pembelajaran yang lain.5

Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi merupakan bagian dari

materi ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam (GBPP) Garis-

garis Besar Program Pengajaran di SMA. Oleh sebab itu, materi ajar ini harus

disuguhkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu peserta didik

mampu memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah puisi. Salah satu

upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra. yaitu pengetahuan sastra

yang diajarkan kepada peserta didik hendaknya berangkat dari suatu

penghayatan atas suatu karya sastra yang konkret. Hal ini dimaksudkan agar

pengalaman sastra yang diajarkan pada peserta didik melekat dan berakar

kuat.

5 Warsiman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: Universitas

Brawijaya Press, 2016), h. 11.

Page 116: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

102

Dalam beberapa hal, puisi memang merupakan bahasa dan yang padat

dan penuh arti. Jadi, apabila bahasa dan pokok persoalan puisi itu mempunyai

keselarasan, niscaya peserta didik akan merasa dirinya menghadapi sesuatu

yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktik

pembelajaran bahasa dan sastra. Bagi peserta didik, puisi yang demikian itu

tidak akan mudah dilupakan dan sangat berguna pada dirinya sebagai latihan

mengkpresikan diri. Keuntungan lebih lanjutnya adalah ketika puisi dapat

membantu pembinaan seni berbahasa untuk peserta didik, mengingat puisi

disusun berdasarkan referensi diksi dan gaya bahasa yang bervariasi.

Pengajar dapat membimbing secara optimal dalam menggali

kemampuan peserta didik saat kegiatan mengapresiasikan sebuah puisi.

Dengan kepercayaan diri, maka mereka dengan senang hati mengeksplorasi

segala kreativitasnya dan selalu ingin mengapresiasi, serta mencipta puisi-

puisi yang lebih baru lagi.

Mempelajari puisi artinya kita belajar mengenal dan memahami satu

sama lain karena dalam puisi terdapat semacam komunikasi antara pengarang

dan pembacanya. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama lain saling

memahami dan dalam proses saling memahami inilah terdapat sebuah

dialektika yang panjang. Sebab dalam pembelajaran sastra peserta didik tidak

hanya sebatas mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menyatakan

sikap terhadap nilai-nilai.6

Nilai-nilai dari puisi dapat diambil hikmahnya oleh siapa saja,

khususnya pengajar dan peserta didik. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo dapat

memberikan nilai-nilai yang sejalan dengan fungsi dan peran pembelajaran

sastra di sekolah. Kedua puisi ini memiliki doktrin yang dapat berpengaruh

terhadap para peserta didik dalam memahami bahwa di dalam puisi terdapat

semacam bentuk komunikasi secara artistik yang dapat menciptakan kembali

situasi kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk

menanamkan kesadaran pada peserta didik bahwa puisi memiliki fungsi yang

esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang

6 Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, (Bandung,: CV

Diponegoro, 1984), h. 332.

Page 117: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

103

selalu dilanda oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan. Kebiasaan-

kebiasaan itu dihadirkan dalam puisi lewat media bahasa dalam proses

penginternalisasian peran-peran sosial setiap individu di dalam masyarakat.

Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi

Mei karya Joko Pinurbo juga memberikan penekanan tentang nilai-nilai

pendidikan politik, pendidikan religius, pendidikan sosial, serta pendidikan

moral dan kemanusiaan. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia nilai-nilai

politiknya hampir terdapat dalam keseluruhan isi puisi tersebut. Adapun nilai-

nilai politik yang tergambar pada puisi ini seperti kesewenang-wenangan

pemerintah dalam memimpin negara sehingga menyebabkan perlawanan dan

ketidakpercayaan terhadap pemerintah, seperti tergambar pada larik-larik

berikut.

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Pada larik-larik di atas tergambar dengan jelas kritikan terhadap para

penguasa yang tidak memperhatikan nasib rakyat. Kondisi bangsa Indonesia

semakin tersungkur tidak bisa menentukan nasibnya yang terbelit kelaparan

dan diobok-obok oleh penguasa. Kalau ditelaah lebih dalam, nilai-nilai politik

tersebut sedikit banyak memiliki kemiripan dengan keadaan politik saat ini.

Selanjutnya, nilai-nilai pendidikan moral dan kemanusiaan yang

digambarkan pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia dan puisi Mei

tersebut adalah bagaimana rakyat berbuat mengikuti tingkah laku penguasa

yang bertindak sesuka hatinya karena pikirannya kusut yang selalu

berbenturan dengan ajaran moral yang ada, yang pada akhirnya kejahatan

merajalela, penjarahan terjadi di mana-mana, dan ketidakadilan yang tumbuh

subur, sebagaimana tercermin pada bait berikut.

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Page 118: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

104

Nilai-nilai penting lainnya adalah pendidikan religius di mana semua

kepercayaan atau agama mengajarkan kebaikan untuk umatnya. Larik berikut

ini menggambarkan bagaimana hukum agama harus dijunjung tinggi.

Dari sejak Zaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara

Hukum agama harus dijunjung tinggi daripada aturan atau hukum

yang dibuat oleh penguasa dan politisi karena hukum agama bersumber

langsung dari Allah Swt. sedangkan hukum negara bersumber dari manusia

yang memungkinkan memiliki keserakahan dan kealpaan.

Pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia dan puisi Mei

mengajarkan manusia untuk bisa saling menghargai sesama manusia,

menjunjung tinggi martabat manusia, hidup berdampingan dengan golongan

manapun tanpa terkecuali, meskipun ketakutan dan kegelisahan selalu muncul

dari wajah rakyat karena peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh penguasa

tidak berpihak kepada rakyat.

Perihal bagaimana mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam

kedua puisi tersebut, adalah dengan merancang pembelajaran sastra yang

tentunya mampu menemukan nilai-nilai tersebut. pada pembelajaran Bahasa

Indonesia kelas X Kurikulum 2013 terdapat materi tentang Unsur-unsur

Pembangun Puisi. Pendidik dapat merencanakan aktivitas pembelajaran di

kelas dengan membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok. Pendidik

menampilkan kedua puisi tersebut melalui salindia untuk dicermati oleh

peserta didik. Secara berkelompok, peserta didik ditugaskan untuk

menganalisis dan menelaah unsur-unsur pembangun puisi yang mencakup

unsur fisik dan unsur batin. Selain itu, peserta didik juga diarahkan untuk

menelaah ekspresi langsung dan tidak langsung dalam bentuk unsur fisik dan

usur batin pada kedua puisi tersebut untukmenemukan makna dan pesan yang

terkandung di dalamnya. Penelaahan tersebut tentunya perlu dilakukan karena

alur analisisnya dapat menguraikan penggambaran makna dan pesan secara

mendalam. Selanjutnya, peserta didik akan diminta untuk menguraikan

Page 119: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

105

konteks historis pada kedua puisi tersebut dengan memilih bait yang

menunjukkan penggambaran penyair mengenai situasi sejarah Mei 1998.

Dengan demikian, selain sebagai bahan ajar, kedua puisi tersebut juga

mampu berperan sebagai alternatif pengajaran tentang penggambaran sejarah

Indonesia bersama nilai-nilai pendidikan politik, pendidikan religius,

pendidikan sosial dan sejarah, serta pendidikan moral dan kemanusiaan.

Page 120: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

106

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap puisi Sajak

Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan Mei karya Joko Pinurbo,

maka dapat diambil beberapa simpulan dan saran.

A. Simpulan

1. Secara bentuk, puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia terdiri atas 7

(tujuh) bait dan 41 (empat puluh satu) larik. Bentuk tipografi puisi ini

mencakup penggunaan tanda baca titik, koma, tanda seru, titik dua, dan

tanda tanya; dan pemanfaatan enjambemen pada bagian-bagian tertentu

untuk menuntut perhatian tersendiri dari pembacanya serta menjadi sangat

nyata peranannya. Dalam hal persajakan, pola anaforis dominan muncul

berfungsi menggiring atau memfokuskan perhatian pembaca ke arah

tertentu, yakni arah yang diyakini W.S. Rendra sebagai aspek yang

dikedepankan bertujuan untuk memperlihatkan sebuah penekanan gagasan

protesnya terhadap pemerintah. Penyair menggunakan gaya repetisi,

sinekdoke, metafora, personifikasi, hiperbola, litotes, dan metonimi

sengaja dipakai sebagai bentuk perumpamaan dan perbandingan yang

akhirnya memunculkan keironisan dan sindiran yang lugas. Kekhasan

puisi ini adalah nuansa yang tragis. Hal demikian mampu divisualisasi

oleh penyair melalui penggunaan imaji yang tepat. Penggunaan imaji ini

yang kemudian berpadu dengan kata konkret telah berhasil mewujudkan

kesan emosional yang lebih nyata dalam pikiran pembaca. Selain itu, puisi

ini sangat kompleks memuat beragam suasana dan emosi, mulai dari

mencekam dan kejam. Secara singkat, dapat dikatakan tema pada puisi ini

adalah perjuangan menyelesaikan krisis dengan penggambaran dunia yang

rusuh, serta amanat yang dapat diambil dari keseluruhan puisi ini adalah

agar bagaimana kita sebagai manusia tidak dikalahkan oleh hal-hal yang

bersifat sementara, seperti harta dan tahta. Puisi W.S. Rendra ini

memberikan banyak ruang untuk menyampaikan pesan, tuntutan, dan

penggambaran atas fenomena Mei 1998 itu.

Page 121: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

107

2. Sedangkan puisi yang berjudul Mei karya Joko Pinurbo, secara bentuk,

puisi ini merupakan puisi yang terdiri atas 4 (empat) bait dan 24 (dua

puluh empat) larik. Bentuk tipografi puisi ini mencakup penggunaan tanda

baca yang mencakup titik, koma, dan titik koma; dan pemanfaatan

enjambemen. Persajakan yang mempunyai frekuensi cukup banyak pada

puisi Mei adalah jenis anafora, yakni penyair bertujuan untuk

memperlihatkan sebuah penekanan perasaan terhadap sosok Mei. Diksi

pada puisi ini didominasi oleh pemilihan kata yang berkaitan erat dengan

tubuh. Penyair menghadirkan dinamika tubuh Mei yang mengarah pada

kefanaan, kehancuran, dan ironi. Gaya bahasa yang digunakan mencakup

paralelisme, personifikasi, dan metafora untuk memperkuat kesan suasana

nista, keji, hancur, jahat, dan kejam yang dialami tokoh Mei yang menjadi

korban tragedi saat itu. Penyair menggunakan tubuh Mei sebagai metafor

atas sebuah tragedi. Di sinilah penyair sebetulnya ingin menggambarkan

mengenai kesengsaraan yang dialami semua orang pada bulan Mei 1998

tersebut. Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah selalu memupuk

toleransi terhadap warga suku lain, agama lain, atau keyakinan lain. Selain

itu, tidak mudah terhasut atas wacana yang memecah belah bangsa.

3. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei

karya Joko Pinurbo keduanya merekam peristiwa yang sama, yaitu

peristiwa bersejarah Mei 1998 yang mencakup krisis moneter, tragedi

kemanusiaan, kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa, dan sejarah tragis.

Kedua penyair menggunakan strategi puitik yang berbeda dalam

melukiskan peristiwa yang terjadi pada masing-masing puisinya.

4. Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan Mei

karya Joko Pinurbo dalam pembelajaran diharapkan nantinya dapat

berpengaruh terhadap para peserta didik. Mereka dapat memahami bahwa

di dalam puisi terdapat semacam bentuk komunikasi secara artistik yang

dapat menciptakan kembali situasi kemanusiaan dan hubungan

kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran pada peserta

didik bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses

pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik

Page 122: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

108

yang tak terselesaikan. Kebiasaan-kebiasaan itu dihadirkan dalam puisi

lewat media bahasa dalam proses penginternalisasian peran-peran sosial

setiap individu di dalam masyarakat. Lebih jauh, melalui kegiatan

apresiasi puisi, peserta didik dapat menganalisis dan menyerap nilai-nilai

positif yang bisa dijadikan pembelajaran hidup dan bekal sehingga dapat

memupuk karakter dan kepribadian menuju pembentukan manusia yang

baik.

B. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini

berdasarkan analisis dan implikasi adalah sebagai berikut.

1. Pendidik dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya

meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang

bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan

membandingkan fenomena-fenomena yang terdapat dalam karya sastra

yang dibacanya dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan

nyata.

2. Selain nilai moral, pendidik dalam pelajaran sastra dituntut untuk dapat

mengarahkan peserta didiknya agar menangkap fenomena-fenomena sosial

seperti apa saja yang terekam dalam karya sastra, dan diharapkan puisi-

puisi karya W.S. Rendra dan Joko Pinurbo bisa dijadikan sebagai bahan

ajar yang menarik dan efisien dalam memberikan nilai-nilai positif selama

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

3. Selain pendidik, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat

baca anak terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan

pengarahan yang baik untuk pembentukan karakter anak.

4. Terakhir, sebagai intelektual yang bergerak di bidang sastra dan juga calon

pendidik, agar dapat memahami dan mampu meneliti dengan baik karya

sastra melalui tinjauan telaah sastra dan juga ketika mengajarkan peserta

didiknya di kemudian hari.

Page 123: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

109

DAFTAR PUSTAKA

Aldian dan Satya Pandia. ―Buku Reka Ulang Kerusuhan Mei 1998 Diluncurkan‖

dalam https://m.liputan6.com/news/read/101482/buku-reka-ulang-

kerusuhan-mei-1998-diluncurkan diakses pada September 2020.

Al-Ma‘ruf, Ali Imron dan Farida Nugrahani. Pengkajian Sastra: Teori dan

Aplikasi. Surakarta: CV Djiwa Amarta Press, 2017.

Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru, 1987.

Andryanto, S. Dian. ―Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di

Indonesia‖ dalam https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-

mei-1998-sejarah-kelam-pelanggaran-ham-di-indonesia diakses pada 26

September 2021.

Angela. ―Sabar, Lembut, dan Misterius‖. Ruang Baca Koran Tempo, Edisi 30

September 2005 dalam http://jokpin.blogspot.com/2007/06/sabar-lembut-

dan-misterius.html?m=1 diakses pada Oktober 2021.

Anggraeni, Dewi. Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2014.

Artha, Arwan Tuti. Kudeta Mei 1998: Perseteruan Habibie-Prabowo.

Yogyakarta: Galangpress, 2007.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, ―puisi‖ dalam

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puisi, diakses pada 22 Agustus 2020

pukul 13.00 WIB.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kemendikbud RI. ‖Rendra‖ dalam

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Rendra diakses pada 7

Juni 2021.

Cahyaningrum, Fitria. ―Analisis Puisi ‗Mei‘ dan Puisi ‗Bayi di dalam Kulkas‘

Karya Joko Pinurbo: Kajian Stilistika Puisi‖ dalam

https://id.scribd.com/document/328442145/Analisis-Puisi-Joko-Pinurbo.

Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2015.

Page 124: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

110

Durachman, Memen dkk. Pengajaran Apresiasi Sastra. Tangerang Selatan:

Universitas Terbuka. Dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?subfolder=PBIN4219/&do

c=M3.pdf diakses pada 25 Oktober 2020.

Farida, Nur dan Eggy Fajar. ―Representasi Kesenjangan Sosial-Ekonomi

Masyarakat Pesisir dengan Perkotaan dalam Novel Gadis Pantai Karya

Pramodya Ananta Toer‖, dalam

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/kembara/article/view/7447, Jurnal

Kembara, 2019. Diakses pada 22 Oktober 2020.

Ferster, Judith. Arguing Through Literature. New York: McGraw-Hill

Companies, 2005.

Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.

Great Britain: Sage Publicatons Ltd., 1997.

Hamidah, Jamiatul. ―Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu

Karya W.S. Rendra‖ dalam

https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jbsp/article/view/3708.

Universitas Lambung Mangkurat: Jurnal Bahasa, Sastra, dan

Pembelajaran, 2015.

Haripin, Muhamad. ―Dampak Politik-Keamanan Covid-19‖ dalam

https://politik.brin.go.id/kolom/covid-19-dalam-perspektif-

politik/dampak-politik-keamanan-covid-19/ diakses pada 30 Agustus

2020.

Hartley, John. Communication, Cultural, & Media Studies: Konsep Kunci.

Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Haryono, Edi. Membaca Kepenyairan Rendra. Yogyakarta: Kepel Press, 2005.

Hasanah, Onie Wanung Siwi. ―Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Doa untuk

Anak Cucu Karya W.S. Rendra: Analisis Semiotik‖ dalam

http://repository.unwidha.ac.id:880/1651/. Universitas Widya Dharma,

2019.

Page 125: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

111

Hendrayani, Heni. Menikmati Pacar Senja. Bandung. Harian Pikiran Rakyat pada

26 Juni 2005. Didokumentasikan PDS H.B. Jassin.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia, 2006.

Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan

Budaya. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004..

Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia, 2008.

Kusumaningrum, Arin. Runtuhnya Orde Baru. Tangerang: Maraga Borneo

Tarigas, 2019.

Mahayana, Maman S. Jalan Puisi: Dari Nusantara ke Negeri Poci. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2016.

Nainggolan, Alex R. Diksi Genit Joko Pinurbo. Dalam Harian Suara Merdeka, 5

Desember 2004.

Opaskar, Patricia dan Mary Ann Trost. Best Poems. Lincolnwood: Jamestown

Publisher, 1998.

Panggabean, Manisyah Haraito. ―Protes Sosial dalam Puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia Karya W.S. Rendra: Tinjauan Sosiologi Sastra‖ dalam

http://repository.umsu.ac.id/xmlui/handle/123456789/9920. Medan:

Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara, 2018.

Pinurbo, Joko. Celana. Magelang: Indonesia Tera, 1999.

Pinurbo, Joko. Kepada Kekasihku. Dalam Harian Tempo, 30 Oktober 2005.

Pinurbo, Joko. Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2016.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2014.

Prasetya, Erik. ―Hari-hari Menjelang Reformasi‖. Dalam

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44192970 diakses pada 26

September 2021.

Page 126: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

112

Pusat Data dan Analisa Tempo. Detik-detik Terjadinya Kerusuhan Mei 1998.

Jakarta: Tempo Publishing, 2019.

Pusat Data dan Analisis Tempo. Misteri Hilangnya Aparat Keamanan pada

Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Tempo Publishing, 2019.

Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Depdikbud. Sastrawan Indonesia

Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara. Jakarta: Depdikbud, 1996.

Putri, Dyah Nanda Pratiwi Handoyo. ―Analisis Puisi Londo Ireng (Riekhe D.

Pitaloka) dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia (W.S. Rendra)‖ dalam

https://www.academia.edu/29113391/analisis_puisi_londo_ireng_rieka_d

_pitaloka_dan_sajak_bulan_mei_1998_di_indonesia_w_s_rendra_.

Malang: Universitas Brawijaya, 2014.

Putri, Ika Yuliana. Apreasiasi Puisi. Yogyakarta: Intan Pariwara, 2019.

Rahman, Jamal D. dkk. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010.

Rendra, W.S. Doa untuk Anak Cucu. Jakarta: PT Bentang Pustaka, 2016.

Rendra, W.S. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta. PT Gramedia, 1983.

Rusyana, Yus. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV

Diponegoro, 1984.

S.M., A.M. Bayu Al Gazali. ―Analisis Simbolik Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia‖ dalam https://id.scribd.com/doc/14122162/Analisis-Simbolik-

Sajak-Bulan-Mei-1998-Di-Indonesia. Makasar: Universitas Hasanuddin,

2007.

Sayuti, Suminto A. Berkenalan dengan Puisi. Cet. II. Yogyakarta: Gama Media,

2008.

Page 127: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

113

Sayuti, Suminto A. Puisi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. 2019. Dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=PBIN421302

diakses pada 11 Oktober 2020.

Sehandi, Yohanes. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2016.

Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2002.

Stanford, Judith A. Responding to Literature: Stories, Poems, Plays, and Essays,

Stanford: Mc Graw Hill, 2005.

Suhariyadi. ―Pembelajaran Sastra Prinsip, Konsep, dan Model Pembelajaran

Sastra‖ dalam

http://journal.unirow.ac.id/index.php/teladan/article/download/8/7.

Jurnal Teladan, 2016. Diakses pada 29 Oktober 2020.

Suharjito, Didik. Pengantar Metodologi Penelitian. Bogor: IPB Press, 2019.

Suharyo. Pola Nama Masyarakat Keturunan Tionghoa. Semarang: FIB Undip,

2016. Dalam

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/5952

diakses pada Februari 2022.

Sumanto, Bakdi. Rendra Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2017.

Sumantri, Muhammad S. dan Durotul Yatimah. Pengantar Pendidikan.

Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016. Dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=MKDK400102,

diakses pada 26 Oktober 2020.

Suryaman, Maman dan Wiyatmi. Puisi Indonesia. Yogyakarta: 2013.

Susanto, Dwi. ―Representasi dalam Cerita Pieter Elberveld Karya Tio Ie Soei:

Suatu Kajian Pascakolonial‖ dalam

http://journals.ums.ac.id/index.php/KLS/article/view/4952, Jurnal Kajian

Linguistik dan Sastra, 2008.

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2015.

Page 128: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

114

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 2021.

Tindaon, Yosi Abdian. ―Pembelajaran Sastra sebagai Salah Satu Wujud

Implementasi Pendidikan Berkarakter‖ dalam

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/basastra/article/view/198/77.

Jurnal Basastra, 2012. Diakses pada 27 Oktober 2020.

Ummah, Sayidatul. ―Representasi Keindonesiaan dalam Fatimah (1938) Karya

Hoesin Bafagih‖, dalam http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-

turats/article/view/11745/pdf, Jurnal Buletin Al-Turas, 2019.

Utama, Abraham. ―Konflik Bersenjata Papua: Kisah Bocah yang Menjadi Korban

Tembak, Bom, Mortir, dan Pihak Ketiga‖, dalam

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59456672 Jakarta: 30

November 2021, diakses pada 10 Juni 2022.

W.S. Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa, 2012.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga, 1987.

Warsiman. Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis. Malang:

Universitas Brawijaya Press, 2016.

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh

Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Yusuf. ―Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya

W.S. Rendra‖. Tangerang: UIN Jakarta. Dalam

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/28089.

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. ―Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh

Potensi‖. Depok: Universitas Indonesia, 2005.

Page 129: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

115

LAMPIRAN

1. Teks Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

O, zaman edan!

O, malam kelam pikiran insan!

Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.

Kitab undang-undang tergeletak di selokan.

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

Dari sejak Zaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta!

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?

Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi.

Air mata mengalir dari sajakku ini.

Page 130: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

116

2. Teks Puisi Mei Karya Joko Pinurbo

Mei

Jakarta, 1998

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu

sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu

sampai dilumatnya yang cuma warna,

yang cuma kulit, yang cuma ilusi.

Tubuh yang meronta dan meleleh

dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

Page 131: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

117

LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : X/Genap

Materi Pokok : Unsur-unsur Pembangun Puisi

Alokasi Waktu : 2x45 Menit (1 Pertemuan)

A. Kompetensi Inti

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli

(gotong royong, kerja sama, tolerasi, damai), bertanggung jawab, resposif,

dan proaktif dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan

anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam

sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan internasional.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,

prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu

pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan

kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab

fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada

bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk

memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak

terkait dengan pengembangan dari apa yang dipelajarinya di sekolah secara

mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan

metode sesuai kaidah keilmuan.

Page 132: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

118

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

3.17 Menganalisis unsur-unsur

pembangun puisi.

3.17.1 Mendefinisikan unsur-unsur pembangun puisi

(intrinsik dan ekstrinsik).

3.17.2 Mengklasifikasi unsur-unsur pembangun

puisi (intrinsik dan ekstrinsik).

3.17.3 Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun

puisi (intrinsik dan ekstrinsik).

4.17 Menginterpretasi unsur-

unsur pembangun puisi.

4.17.1 Menguraikan hasil identifikasi unsur-unsur

pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).

4.17.1 Mempresentasikan hasil identifikasi unsur-

unsur pembangun puisi (intrinsik dan

ekstrinsik).

C. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, peserta didik diharapkan mampu:

1. Mendefinisikan unsur-unsur pembangun puisi.

2. Mengklasifikasi unsur-unsur pembangun puisi.

3. Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun puisi.

4. Menguraikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi.

5. Mempresentasikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi.

D. Materi Pembelajaran

1. Pengertian puisi.

2. Unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).

E. Pendekatan, Metode, dan Model Pembelajaran

Pendekatan: Saintifik

Model: Discovery Learning

Metode: Diskusi, tanya jawab, dan penugasan

F. Media, Bahan, dan Sumber Belajar

1. Media/Alat

- Laptop

- Infokus

- Power Point

Page 133: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

119

2. Bahan

- Puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan Puisi

Mei Karya Joko Pinurbo

3. Sumber Belajar

- Kemendikbud. Buku Guru Bahasa Indonesia Kelas X. Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017.

- Priyatni, Endah Tri. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam

Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.

G. Kegiatan Pembelajaran

Pertemuan Ke-1 (2x45 menit)

No Urutan Kegiatan PPK

4C

Literasi HOTS Waktu Berpikir

Kritis

Komuni

katif

Kolabo

ratif

Kreat

if

1

Kegiatan Pendahuluan

15

Menit

Orientasi Guru datang tepat waktu.

Guru mengucapkan salam dan direspons oleh peserta didik sebagai tanda syukur kepada Tuhan.

Guru menanyakan kabar peserta didik, mengecek kebersihan kelas, dan

absensi.

Mendoakan peserta didik yang tidak hadir karena sakit atau halangan lainnya.

Apersepsi Peserta didik menerima informasi tentang materi pelajaran yang akan

dibahas.

Peserta didik menerima informasi tentang kompetensi, tujuan, dan manfaat pembelajaran yang akan dicapai.

Peserta didik menerima informasi

secara proaktif tentang keterkaitan materi sebelumnya dengan materi yang akan dibahas.

Motivasi Peserta didik diberi tahu bahwa materi pelajaran harus dikuasai dan dikerjakan secara sungguh-sungguh, sehingga mereka mampu memahami

dan menjelaskan informasi yang ada di dalam teks karya ilmiah baik yang didengar maupun yang dibaca.

2

Kegiatan Inti

60

Menit

Pemberian Rangsangan Peserta didik dibagi menjadi 4 kelompok diskusi.

Peserta didik diberi pertanyaan tentang definisi puisi dan unsur-unsur pembangunnya (intrinsik dan ekstrinsik)

Peserta didik membaca secara cermat

Page 134: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

120

unsur-unsur pembangunnya (intrinsik

dan ekstrinsik)

Guru menanyakan informasi yang ditangkap oleh peserta didik berkaitan dengan definisi puisi dan unsur-unsur pembangunnya (intrinsik dan ekstrinsik).

Identifikasi Masalah

Peserta didik membaca secara cermat tentang definisi dan unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik) yang ditampilkan melalui powerpoint.

Peseta didik menyimakpenjelasan guru tentang definisi dan unsur-unsur

pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik)

Pengumpulan Data Secara berkelompok, peserta didik ditugaskan untuk mengidentifikasi unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).

Pengolahan Data Peserta didik mendiskusikan unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik) yang diidentifikasi.

Pemeriksaan Data Masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil identifikasi dan ditanggapi oleh kelompok lain.

Penarikan Simpulan Setiap kelompok dibimbing untuk menyimpulkan hasil diskusi tentang unsur-unsur pembangun puisi (intrinsik dan ekstrinsik).

3

Kegiatan Penutup

15

Menit

Guru menilai hasil diskusi dan identifikasi dari masing-masing

kelompok. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang dianggap paling tepat dan mampu bekerja sama dengan baik.

Peserta didik dibimbing untuk menyimpulkan keseluruhan materi yang telah diajarkan.

Guru memberikan tugas dan menyampaikan rencana pembelajaran berikutnya.

Page 135: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

121

H. Penilaian

1. Teknik Penilaian

Penilaian Sikap : Pengamatan guru terhadap peserta didik selama proses

pembelajaran berlangsung.

Tes Praktik : Perintah kerja

Tes Tulis : Pertanyaan

2. Instrumen Penilaian

a. Penilaian Sikap

No

Nama

Peserta

Didik

Perilaku yang Diamati Selama Proses Pembeajaran

Jujur Disiplin

Tangg

ung

Jawab

Peduli Santun Respon

sif Proaktif

b. Tes Praktik

Perintah kerja:

1) Secara berkelompok, baca dan identifikasi unsur-unsur pembangun

puisi Sajak Bulan mei 1998 di Indonesia karya W.S. Rendra dan

puisi Mei karya Joko Pinurbo, kemudian susunlah dalam bentuk

ringkasan menggunnakan bahasa Ada!

2) Secara bergilir, masing-masing perwakilan keompok

mempresentasikan hasil ringkasan di depan kelompok lain untuk

ditanggapi!

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja. Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan. Amarah merajalela tanpa alamat. Ketakutan muncul dari sampah kehidupan. Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

O, zaman edan! O, malam kelam pikiran insan! Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan. Kitab undang-undang tergeletak di selokan. Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan. O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

Dari sejak Zaman Ibrahim dan Musa Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi

Mei Jakarta, 1998 Tubuhmu yang cantik, Mei telah kaupersembahkan kepada api. Kau pamit mandi sore itu. Kau mandi api. Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengucup tubuhmu sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi. Api sangat mencintai tubuhmu sampai dilumatnya yang cuma warna, yang cuma kulit, yang cuma ilusi. Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami

Page 136: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

122

dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! O, rasa putus asa yang terbentur sangkur! Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya! Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah Hukum Adil

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara. Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat, apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya. Wahai, penguasa dunia yang fana! Wahai, jiwa yang tertenung sihir takhta! Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap telah kamu bukakan! Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Air mata mengalir dari sajakku ini.

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei. Kau sudah selesai mandi, Mei. Kau sudah mandi api. Api telah mengungkapkan rahasia cintanya ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

a) Rubrik penilaian ringkasan

Identifikasi Unsur-unsur Pembangun Puisi Skor Skor

Maksimal

Intrinsik Tipografi 5

30

Diksi 5

Rima 5

Majas 5

Imaji 5

Kata Konkret 5

Ekstrinsik Tema 5

20 Amanat 5

Perasaan 5

Suasana 5

Total Skor 50

Page 137: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

123

b) Rubrik penilaian presentasi

No Nama/Kelompok

Aspek Penilaian Total

Nilai Kelancaran Kelengkapan

Informasi

Ketepatan

Informasi

Aspek Penilaian Kriteria Rentang Skor Skor Maksimal

Kelancaran

Sangat lancar 8-10 10

Cukup lancar 5-7

Kurang lancar 4-6

Tidak lancar 1-3

Kelengkapan

Informasi

Sangat lengkap 8-10 10

Cukup lengkap 5-7

Kurang lengkap 4-6

Tidak lengkap 1-3

Ketepatan

Identifikasi

Sangat tepat 8-10 10

Cukup tepat 5-7

Kurang tepat 4-6

Tidak tepat 1-3

Total Skor 30

c. Tes Tulis

Soal:

1) Jelaskan pengertian puisi!

2) Apa yang dimaksud dengan unsur-unsur pembangun puisi!

3) Sebutkan unsur-unsur pembangun puisi!

Page 138: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

124

4) Setelah melakukan identifikasi terhadap puisi Sajak Bulan Mei 1998

di Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo,

uraikan makna serta citra yang terkandung secara singkat dan jelas

menggunakan bahasa Anda!

5) Jelaskan nilai sejarah dan moral dari puisi Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia karya W.S. Rendra dan puisi Mei karya Joko Pinurbo dan

dampaknya bagi pembinaan karakter positif peserta didik!

a) Rubrik penilaian tes tulis

No.

Soal Aspek yang Dinilai Skor

Skor

Maksimal

1

Peserta didik menjawab dengan sangat

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

baik dan benar

20

20

Peserta didik menjawab dengan tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

dengan baik

15

Peserta didik menjawab dengan tidak

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

buruk

10

2

Peserta didik menjawab dengan sangat

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

baik dan benar

20

20 Peserta didik menjawab dengan tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

dengan baik

15

Peserta didik menjawab dengan tidak

tepat

10

Page 139: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

125

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

buruk

4

Peserta didik menjawab dengan sangat

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

baik dan benar

20

20

Peserta didik menjawab dengan tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

dengan baik

15

Peserta didik menjawab dengan tidak

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

buruk

10

5

Peserta didik menjawab dengan sangat

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

baik dan benar

20

20

Peserta didik menjawab dengan tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

dengan baik

15

Peserta didik menjawab dengan tidak

tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku

sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan

buruk

10

Total Skor 100

Nilai = Skor Perolehan/Skor Maksimal x 100

Page 140: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

126

Jakarta, 12 April 2022

Mengetahui,

Kepala Sekolah

.

Guru Mata Pelajaran

Firda Kania

Page 141: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

127

LEMBAR UJI REFERENSI

Nama : Firda Kania

NIM : 11160130000002

Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Judul Skripsi : ―Representasi Tragedi Mei 1998 dalam Puisi Sajak

Bulan Mei 1998 di Indonesia Karya W.S. Rendra dan

Puisi Mei Karya Joko Pinurbo serta Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah‖

No. Daftar Referensi Halaman

Kutipan

Halaman

dalam

Skripsi

Paraf

Pembimbing

1

Aldian dan Satya Pandia ―Buku

Reka Ulang Kerusuhan Mei

1998 Diluncurkan‖ dalam

https://m.liputan6.com/news/read

/101482/buku-reka-ulang-

kerusuhan-mei-1998-diluncurkan

diakses pada September 2020.

1 3

2

Al-Ma‘ruf, Ali Imron dan Farida

Nugrahani. Pengkajian Sastra:

Teori dan Aplikasi. Surakarta.

CV Djiwa Amarta Press. 2017.

71, 26, 27 26, 33

3

Aminuddin. Pengantar Apresiasi

Sastra. Bandung: Sinar Baru.

1987. 13 14

4

Andryanto, S. Dian. ―Kerusuhan

Mei 1998, Sejarah Kelam

Pelanggaran HAM di Indonesia‖

dalam

https://nasional.tempo.co/read/14

62239/kerusuhan-mei-1998-

sejarah-kelam-pelanggaran-ham-

di-indonesia diakses pada 26

1 97

Page 142: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

128

September 2021.

5

Angela. ―Sabar, Lembut, dan

Misterius‖. Ruang Baca Koran

Tempo, Edisi 30 September

2005 dalam

http://jokpin.blogspot.com/2007/

06/sabar-lembut-dan-

misterius.html?m=1 diakses pada

Oktober 2021.

1 45

6

Anggraeni, Dewi. Tragedi Mei

1998 dan Lahirnya Komnas

Perempuan. Jakarta. Penerbit

Buku Kompas. 2014.

ix, x, 20 3, 29

7

Artha, Arwan Tuti. Kudeta Mei

1998: Perseteruan Habibie-

Prabowo. Yogyakarta.

Galangpress. 2007.

21, 22 4

8

Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa

Kemendikbud RI, ―puisi‖ dalam

https://kbbi.kemdikbud.go.id/ent

ri/puisi, diakses pada 22 Agustus

2020 pukul 13.00 WIB.

1 13

9

Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa.

Kemendikbud RI. ‖Rendra‖

dalam

http://ensiklopedia.kemdikbud.g

o.id/sastra/artikel/Rendra diakses

pada 7 Juni 2021.

1 38

10

Cahyaningrum, Fitria. ―Analisis

Puisi ‗Mei‘ dan Puisi ‗Bayi di

dalam Kulkas‘ Karya Joko

Pinurbo: Kajian Stilistika Puisi‖

dalam

https://id.scribd.com/document/3

28442145/Analisis-Puisi-Joko-

Pinurbo. Surakarta. Universitas

1 37

Page 143: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

129

Sebelas Maret. 2015.

11

Durachman, Memen dkk.

Pengajaran Apresiasi Sastra.

Tangerang Selatan: Universitas

Terbuka. Dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/read

er/index.php?subfolder=PBIN42

19/&doc=M3.pdf diakses pada

25 Oktober 2020.

3.9, 3.32 32, 33

12

Farida, Nur dan Eggy Fajar.

―Representasi Kesenjangan

Sosial-Ekonomi Masyarakat

Pesisir dengan Perkotaan dalam

Novel Gadis Pantai Karya

Pramodya Ananta Toer‖, dalam

http://ejournal.umm.ac.id/index.p

hp/kembara/article/view/7447,

Jurnal Kembara. 2019. Diakses

pada 22 Oktober 2020.

2 28

13

Ferster, Judith. Arguing Through

Literature. New York: McGraw-

Hill Companies. 2005. 117 21

14

Hall, Stuart. Representation:

Cultural Representations and

Signifying Practices. Great

Britain: Sage Publicatons Ltd.

1997.

5 27

15

Hamidah, Jamiatul. ―Kritik

Sosial dalam Kumpulan Puisi

Doa untuk Anak Cucu Karya

W.S. Rendra‖ dalam

https://ppjp.ulm.ac.id/journal/ind

ex.php/jbsp/article/view/3708.

Universitas Lambung

Mangkurat. Jurnal Bahasa,

Sastra, dan Pembelajaran. 2015.

1 36

Page 144: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

130

16

Hartley, John. Communication,

Cultural, & Media Studies:

Konsep Kunci. Yogyakarta.

Jalasutra. 2010.

265 27

17

Haryono, Edi. Membaca

Kepenyairan Rendra.

Yogyakarta. Kepel Press. 2005. 256 42

18

Hasanah, Onie Wanung Siwi.

―Kritik Sosial dalam Kumpulan

Puisi Doa untuk Anak Cucu

Karya W.S. Rendra: Analisis

Semiotik‖ dalam

http://repository.unwidha.ac.id:8

80/1651/. Universitas Widya

Dharma. 2019.

1 36

29

Hendrayani, Heni. Menikmati

Pacar Senja. Bandung. Harian

Pikiran Rakyat pada 26 Juni

2005. Didokumentasikan PDS

H.B. Jassin.

1 45

20

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya

Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

2006. 124-127 22, 23

21

Kleden, Ignas. Sastra Indonesia

dalam Enam Pertanyaan: Esai-

esai Sastra dan Budaya. Jakarta.

PT Pustaka Utama Grafiti. 2004..

247, 248 47

22

Kosasih, E. Apresiasi Sastra

Indonesia. Jakarta: Nobel

Edumedia. 2008.

31, 32-36,

39 13, 15, 26

23

Kusumaningrum, Arin.

Runtuhnya Orde Baru.

Tangerang: Maraga Borneo

Tarigas. 2019.

1 28

24

Mahayana, Maman S. Jalan

Puisi: Dari Nusantara ke Negeri

Poci. Jakarta: Penerbit Buku

183, 178,

179, 182

31, 39, 40,

41, 44

Page 145: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

131

Kompas. 2016.

25

Nainggolan, Alex R Diksi Genit

Joko Pinurbo. Dalam Harian

Suara Merdeka, 5 Desember

2004.

1 49

26

Opaskar, Patricia dan Mary Ann

Trost. Best Poems. Lincolnwood:

Jamestown Publisher. 1998.

22, 93, 94,

162, 130,

231

15, 17, 19,

20, 23, 25

27

Panggabean, Manisyah Haraito.

―Protes Sosial dalam Puisi Sajak

Bulan Mei 1998 di Indonesia

Karya W.S. Rendra: Tinjauan

Sosiologi Sastra‖ dalam

http://repository.umsu.ac.id/xmlu

i/handle/123456789/9920.

Medan: Universitas

Muhammadiyah Sumatra Utara.

2018.

1 35

28 Pinurbo, Joko. Celana.

Magelang. Indonesia Tera. 1999. 71, 72 47, 48

39

Pinurbo, Joko. Kepada

Kekasihku. Dalam Harian

Tempo, 30 Oktober 2005. 1 49

30

Pinurbo, Joko. Selamat

Menunaikan Ibadah Puisi.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. 2016.

1 10

31

Pradopo, Rachmat Djoko.

Pengkajian Puisi. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

2014.

7 14

32

Prasetya, Erik. ―Hari-hari

Menjelang Reformasi‖. Dalam

https://www.bbc.com/indonesia/i

ndonesia-44192970 diakses pada

26 September 2021.

1 94

Page 146: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

132

33

Pusat Data dan Analisa Tempo.

Detik-detik Terjadinya

Kerusuhan Mei 1998. Jakarta:

Tempo Publishing. 2019.

47-49, 50,

52-53 29, 30, 91

34

Pusat Data dan Analisis Tempo.

Misteri Hilangnya Aparat

Keamanan pada Kerusuhan Mei

1998. Jakarta: Tempo

Publishing. 2019.

13-28 4

35

Pusat Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa. Depdikbud.

Sastrawan Indonesia Penerima

Hadiah Sastra Asia Tenggara.

Jakarta. Depdikbud. 1996.

3-5 39

36

Putri, Dyah Nanda Pratiwi

Handoyo. ―Analisis Puisi Londo

Ireng (Riekhe D. Pitaloka) dan

Sajak Bulan Mei 1998 di

Indonesia (W.S. Rendra)‖ dalam

https://www.academia.edu/2911

3391/analisis_puisi_londo_ireng

_rieka_d_pitaloka_dan_sajak_bu

lan_mei_1998_di_indonesia_w_

s_rendra_. Malang. Universitas

Brawijaya. 2014.

1 37

37

Putri, Ika Yuliana. Apreasiasi

Puisi. Yogyakarta: Intan

Pariwara. 2019. 13 15

38

Rahman, Jamal D. dkk. 33 Tokoh

Sastra Indonesia Paling

Berpengaruh. Jakarta.

Kepustakaan Populer Gramedia.

2014.

403-404 40

39

Rahmanto, B. Metode

Pengajaran Sastra. Yogyakarta:

Kanisius. 1998. 16 32

Page 147: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

133

40

Ratna, Nyoman Kutha. Teori,

Metode, Teknik Penelitian

Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. 2010.

47 9

41

Rendra, W.S. Doa untuk Anak

Cucu. Jakarta: PT Bentang

Pustaka. 2016. 1 10

42

Rendra, W.S.

Mempertimbangkan Tradisi.

Jakarta. PT Gramedia. 1983. 101 41

43

Rusyana, Yus. Bahasa dan

Sastra dalam Gamitan

Pendidikan. Bandung. CV

Diponegoro.1984.

332 101

44

S.M., A.M. Bayu Al Gazali.

―Analisis Simbolik Sajak Bulan

Mei 1998 di Indonesia‖ dalam

https://id.scribd.com/doc/141221

62/Analisis-Simbolik-Sajak-

Bulan-Mei-1998-Di-Indonesia.

Makasar. Universitas

Hasanuddin. 2007.

1 36

45

Sayuti, Suminto A. Berkenalan

dengan Puisi. Cet. II

Yogyakarta: Gama Media. 2008.

330, 143-

144, 169-

171, 195,

196, 104-

105

16, 17, 20,

21, 23

46

Sayuti, Suminto A. Puisi.

Tangerang Selatan: Universitas

Terbuka. 2019. Dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/read

er/index.php?modul=PBIN42130

2 diakses pada 11 Oktober 2020.

4.4 21

47

Sehandi, Yohanes. Mengenal 25

Teori Sastra. Yogyakarta:

Penerbit Ombak. 2016. 61 13

Page 148: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

134

48

Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi

Sastra Inggris. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah

Surakarta. 2002.

34 22

49

Stanford, Judith A. Responding

to Literature: Stories, Poems,

Plays, and Essays, Stanford: Mc

Graw Hill. 2005.

59 13

50

Suhariyadi. ―Pembelajaran

Sastra Prinsip, Konsep, dan

Model Pembelajaran Sastra‖

dalam

http://journal.unirow.ac.id/index.

php/teladan/article/download/8/7

. Jurnal Teladan. 2016. Diakses

pada 29 Oktober 2020.

66 33

51

Suharjito, Didik. Pengantar

Metodologi Penelitian. Bogor:

IPB Press. 2019. 144 9

52

Suharyo. ―Pola Nama

Masyarakat Keturunan

Tionghoa.‖ Semarang. FIB

Undip. 2016. Dalam

https://ejournal.undip.ac.id/index

.php/humanika/article/view/5952

diakses pada Februari 2022.

1-2 76

53

Sumanto, Bakdi. Rendra Karya

dan Dunianya. Jakarta.

Grasindo. 2017.

161, 162,

27 41, 42, 43

54

Sumantri, Muhammad S. dan

Durotul Yatimah. Pengantar

Pendidikan. Tangerang Selatan:

Universitas Terbuka. 2016.

Dalam

http://www.pustaka.ut.ac.id/read

er/index.php?modul=MKDK400

102, diakses pada 26 Oktober

2020.

2.2 31

Page 149: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

135

55

Suryaman, Maman dan Wiyatmi.

Puisi Indonesia. Yogyakarta.

2013.

85, 106-

107, 86 24, 26

56

Susanto, Dwi. ―Representasi dalam

Cerita Pieter Elberveld Karya Tio Ie

Soei: Suatu Kajian Pascakolonial‖

dalam

http://journals.ums.ac.id/index.php/KL

S/article/view/4952, Jurnal Kajian

Linguistik dan Sastra. 2008.

13 27

57

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-

prinsip Dasar Sastra. Bandung:

Angkasa, 2015. 4 12

58

Tarigan, Henry Guntur.

Pengajaran Gaya Bahasa.

Bandung: Angkasa, 2021. 79, 223 22, 23

59

Tindaon, Yosi Abdian. ―Pembelajaran

Sastra sebagai Salah Satu Wujud

Implementasi Pendidikan Berkarakter‖

dalam

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.p

hp/basastra/article/view/198/77. Jurnal

Basastra. 2012. Diakses pada 27

Oktober 2020.

1 33

60

Ummah, Sayidatul.

―Representasi Keindonesiaan

dalam Fatimah (1938) Karya

Hoesin Bafagih‖, dalam

http://journal.uinjkt.ac.id/index.p

hp/al-

turats/article/view/11745/pdf,

Jurnal Buletin Al-Turas. 2019.

321 28

61

Utama, Abraham. ―Konflik

Bersenjata Papua: Kisah Bocah

yang Menjadi Korban Tembak,

Bom, Mortir, dan Pihak Ketiga‖,

dalam

https://www.bbc.com/indonesia/i

ndonesia-59456672 Jakarta: 30

November 2021, diakses pada 10

1 1

Page 150: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

136

Juni 2022.

62

W.S. Hasanuddin. Membaca dan

Menilai Sajak. Bandung:

Angkasa. 2012.

1, 78, 107 12, 17, 20,

63

Waluyo, Herman J. Apresiasi

Puisi. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. 2003.

3, 10-11,

17-28, 40,

81, 174

16, 18, 19,

25, 40, 44

64

Waluyo, Herman J. Teori dan

Apresiasi Puisi. Jakarta:

Erlangga. 1987.

25, 81,

106, 14, 19, 24,

65

Warsiman. Membumikan

Pembelajaran Sastra yang

Humanis. Malang. Universitas

Brawijaya Press. 2016.

11 99

66

Wellek, Rene dan Austin

Warren. Teori Kesusastraan.

Diindonesiakan oleh Melani

Budianta. Jakarta: PT Gramedia.

1989.

122 5

67

Yusuf. ―Nilai Pendidikan dalam

Kumpulan Puisi Doa untuk Anak

Cucu Karya W.S. Rendra‖.

Tangerang: UIN Jakarta. Dalam

http://repository.uinjkt.ac.id/dspa

ce/handle/123456789/28089.

1 34

68

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri.

―Joko Pinurbo: Penyair Muda

yang Penuh Potensi‖ Depok.

Universitas Indonesia. 2005.

1 37

Page 151: REPRESENTASI TRAGEDI MEI 1998 DALAM PUISI SAJAK ...

137

TENTANG PENULIS

Firda Kania (23 tahun) lahir pada 11 September 1998. Anak

terakhir (dua bersaudara) dari pasangan Bapak Sarman (alm)

dan Ibu Arum Sari. Sempat menempuh pendidikan di SD

Negeri Selawangi 01, MTS Mekarwangi, dan SMA Negeri 1

Cariu. Berasal dari pelosok Kabupaten Bogor paling Timur,

perempuan sederhana yang amat menyukai olahraga bola voli

ini memiliki harapan bisa menjadi seorang penyunting naskah

untuk membangun fondasi masa depan dengan menempuh

pendidikan program S-1 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Baginya, bahasa dan sastra adalah esensi mendasar

yang harus diselami oleh setiap manusia.