REPRESENTASI NILAI BUDAYA PADA MASYARAKAT SUKU KEI DALAM NOVEL KEI KARYA ERNI ALADJAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Hidayatunnisa NIM. 1113013000066 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
58
Embed
REPRESENTASI NILAI BUDAYA PADA MASYARAKAT SUKU KEI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51714... · 2020. 8. 7. · pengingat, pemberi semangat, serta bantuan ketika
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REPRESENTASI NILAI BUDAYA
PADA MASYARAKAT SUKU KEI DALAM NOVEL KEI
KARYA ERNI ALADJAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Hidayatunnisa
NIM. 1113013000066
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ABSTRAK
Hidayatunnisa, NIM: 1113013000066. “Representasi Nilai Budaya Pada
Masyarakat Suku Kei dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk memaparkan representasi nilai
budaya pada masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai, dan 2)
mendeskripsikan implikasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei
karya Erni Aladjai pada pembelajaran di Sekolah. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan data
berupa representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni
Aladjai. Teknik analisis data menggunakan teknik membaca, analisis data, dan
riset pustaka. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan enam nilai budaya yang
direpresentasikan oleh masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai,
yaitu: 1) menjunjung tinggi hukum adat, 2) menjaga kelestarian alam, 3)
menjunjung harkat dan martabat perempuan, 4) milai-nilai kekeluargaan dan
persaudaraan adat, 5) menjunjung nama baik keluarga, dan 6) musyawarah dan
mufakat. Hasil penelitian ini juga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran di
sekolah dalam materi ajar sastra yakni mengembangkan karakteristik peserta didik
agar memiliki sikap yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa seperti
toleransi, tolong-menolong, dan saling menghargai.
Kata kunci: Nilai budaya, Representasi, Kei, Erni Aladjai
ii
ABSTRACT
Hidayatunnisa, NIM: 1113013000066. “The representation of cultural values in
the Kei Tribe community by Erni Aladjai and their implications for learning in
schools”, Indonesian Language and Literature Education Major, Faculty of
Tarbiyah and Teacher Training, State Islamic University of Syarif Hidayatullah
Jakarta.
The purpose of this reasearch are: 1) to describe the representation of
cultural values on Kei tribal communities in novel Kei Aladjai Erni's work, and 2)
to describe the implications of cultural values of tribal society in the novel Kei
Aladjai Erni's work on learning in school. The method used in this research is
descriptive qualitative method for describing data in the form of representation of
the cultural value of the tribal people in the novel Kei by Erni Aladjai. Data were
analyzed using the techniques, data analysis, and library research. Based on the
results of the research there are six cultural value represented by the tribal people
of Kei in the novel Kei works of Erni Aladjai, namely: 1) uphold customary law,
2) the preservation of nature, 3) uphold the dignity of women, 4) family values
and custom fraternity, 5) upholding the family name, and 6) deliberation and
consensus. The results of this research can also be implied in learning in schools
in literary teaching material that is developing the characteristics of students so
that they have attitudes that are in accordance with national cultural values such as
tolerance, helping each other, and mutual respect.
Keywords: cultural value, Representation, Kei, Erni Aladjai
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puji serta syukur hanya bagi Allah yang tiada henti
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skprisi yang berjudul “Representasi Nilai Budaya pada Masyarakat Suku Kei
dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran di
Sekolah”. Sholawat serta salam tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, para keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari
dalam penulisan skripsi ini penulis membutuhkan bimbingan, dukungan, serta doa
dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan upacan
terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Ahmad Bahtiar, M.Hum., dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi, serta saran
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Seketaris Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
5. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, atas ilmu, motivasi, dan
inspirasi yang berguna bagi kehidupan penulis.
6. Teristimewa untuk keluarga penulis, orangtua, yaitu Alm. Ahmad
Hudori yang selalu memberikan petuah, inspirasi serta semangat yang
tak pernah putus, bahkan saat raganya sudah tidak ada lagi. Tak lupa
untuk Ibu tercinta, Sa’diyah, S.Pd. yang selalu memberikan kekuatan
untuk berjuang lebih keras dan doa yang tak pernah putus. Adik-adik
penulis, Muhammad Alwi Ikromullah dan Ahmad Ghifari Zahar yang
tak pernah lelah memberikan dukungan serta doanya.
Tabel 4. Hasil Analisis Tahapan Alur .................................................................. 63
Tabel 5. Analisis Latar Tempat, Waktu, dan Sosial ............................................. 69
Tabel 6. Analisis Gaya Bahasa ............................................................................. 73
Tabel 7. Ragam Bahasa Daerah Kei .................................................................... 78
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Tahapan Alur Novel Kei ......................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini gejala yang ditimbulkan dari berkembangnya era globalisasi
semakin meresahkan masyarakat. Derasnya arus modernisasi menyebabkan
nilai sosial-budaya yang melekat pada masyarakat sejak dahulu kian terkikis.
Perubahan pada unsur sosial-budaya masyarakat dipengaruhi oleh adanya
kontak atau interaksi dengan budaya bangsa lain. Interaksi budaya ini dimaknai
sebagai pertemuan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang saling
mendominasi dan saling berpengaruh dalam tatanan surface structure, yaitu
pada sikap dan pola-pola perilaku, serta dalam tatanan deep structure yaitu
perubahan sistem nilai, pandangan hidup, filsafat, dan keyakinan.1
Perubahan sisoal-budaya yang terjadi menimbulkan banyak
permasalahan, seperti menghilangnya nilai-nilai karakter bangsa yang
dibuktikan dengan semakin kuatnya sikap-sikap arogan, anarkis, vulgar, serta
tidak toleran akan sesama. Timbulnya berbagai konflik di masyarakat terutama
yang menyangkut-pautkan isu SARA pun kian menjadi bumerang bagi bangsa.
Nilai-nilai budaya masyarakat yang sejatinya dapat mengeratkan rasa persatuan
dan kesatuan tidak jua menemui jalan pulangnya.
Nilai budaya diibaratkan sebagai penyangga dalam kehidupan manusia
agar tetap berada pada garis yang semestinya. Koentjaraningrat mengatakan
bahwa nilai-nilai dalam budaya merupakan sebuah konsep mengenai segala
sesuatu yang dinilai berharga dan penting bagi suatu warga masyarakat,
sehingga berfungsi sebagai pedoman kehidupan masyarakat yang
1 Ni Putus Suwardani, Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat
Bali dari Dampak Negatif Globalisasi, Jurnal Kajian Bali Volume 05, Nomor 02, Oktober 2015, h.
247.
2
bersangkutan.2 Nilai-nilai budaya memiliki perananan penting dalam
merekatkan antaranggota masyarakat karena merupakan kasta tertinggi sebagai
pedoman hidup dalam berperilaku dan beriteraksi sehingga lahirlah keserasian
dalam hidup.
Dalam upaya mengembalikan nilai-nilai budaya bangsa, sastra memiliki
peranan penting di dalamnya. Seperti yang telah diketahui, karya sastra
mengandung nilai-nilai budaya bangsa yang dapat membentuk masyarakat
melalui pengetahuan yang berakar pada kebudayaan lokal. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya karya-karya sastra yang mengangkat isu-isu kedaerahan.
Seperti pada novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, di
dalamnya digambarkan nilai-nilai karakteristik Jawa melalui sikap tokoh
Sarwono. Karya lain yakni melalui novel Okky Madasari yang berjudul Anak
Mata di Tanah Melus. Secara implisit Okky mengambarkan nilai budaya dalam
bentuk perilaku, kepercayaan, serta adat istiadat masyarakat di Nusa Tenggara
Timur yang dibangun dalam kisah petualangan seorang anak. Karya-karya
tersebut hanya sebagian kecil contoh dari karya-karya sastra yang
menggambarkan nilai-nilai budaya bangsa yang dapat menjadi sebuah alat atau
wadah peserta didik dalam mengembangkan karakteristik diri sesuai dengan
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Pembelajaran apresiasi sastra menjadi upaya dalam menanamkan rasa
peka kepada peserta didik akan cita rasa sastra, sehingga menumbuhkan
pemahaman bahwa sastra bukan hanya sekedar menyalurkan hasrat membaca
namun juga dapat memercikan ide-ide dan pemikiran baru. Maka dalam
pengajarannya pun harus mampu mengubah sikap peserta didik dari tak acuh
menjadi lebih bersimpati.3 Upaya perubahan sikap peserta didik bukan menjadi
hal mudah dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Menumbuhkan daya
2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2016), h. 153 3 Meina Febriani, Kesesuaian Materi Apresiasi Sastra pada Buku Teks Bahasa Indonesia SMP
Kurikulum 2013, Jurnal PBSI Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2018, Universitas Negeri Semarang.
3
simpati akan teks sastra menjadi langkah kecil dimulainya pembaharuan
revolusi karakter bangsa sebagai wujud mengembalikan nilai-nilai budaya yang
terkikis. Sastra ingin membentuk sikap yang ideal, yang sejalan dengan fungsi
dari sastra; pendidikan nilai. Seperti yang dikatakan Abiding dalam tulisan
Ainun dkk. bahwa tujuan dari pembelajaran sastra adalah untuk
mengembangkan kepekaan peserta didik terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akal,
nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial secara sendiri-sendiri atau
gabungan dari keseluruhannya.4
Namun yang menjadi tantangan adalah semakin modernnya zaman yang
mengikiskan kepopuleran tradisi membaca. Hal ini juga mendukung krisis nilai
budaya bangsa pada diri peserta didik. Zaman sekarang, peserta didik
dimanjakan dengan kecanggihan teknologi sehingga lebih mengandalkan
internet dibandingkan buku-buku. Guru yang dalam hal ini menjadi kunci
ketercapaian belajar mengajar memiliki banyak tugas yang harus dibenahi.
Sebelum peserta didik diberikan pengalaman membaca sastra yang baik, sang
guru harus terlebih dahulu memiliki pengalaman tersebut. Jangan sampai guru
hanya memerintah kepada peserta didik untuk mendalami karya sastra, namun
guru tidak dengan benar memahami karya sastra tersebut. Tentunya menjadi
harapan besar, ketika sastra telah mampu membenahi pengalaman sikap peserta
didik, maka nilai-nilai budaya bangsa yang sesungguhnya akan kembali
menjadi pegangan erat dalam diri peserta didik.
Karya sastra yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya masyarakat
yang luhur salah satunya yakni pemenang unggulan dalam Sayembara Novel
Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012, yakni novel berjudul Kei Karya Erni
Aladjai. Novel Kei karya Erni Aladjai merupakan sebuah novel yang bercerita
tentang seluk-beluk budaya, adat istiadat, dan cara pandang masyarakat suku
4 Arifa Ainun R, Nugrahaeni Eko W, Kundharu S, Pembelajaran Sastra Melalui Bahasa dan
Budaya Untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter Kebangsaan di Era MEA, (Program Pasca Sarjana
PBI, Universitas Sebelas Maret, May, 2017), h. 142
4
Kei di tanah Maluku. Melalui novel ini, Erni menggambarkan keteguhan
masyarakat Kei dalam menjunjung tinggi hukum adat dan ajaran leluhur
mereka di tengah kondisi kerusuhan yang mencekam di Ambon, Maluku.
Kerusuhan di Ambon terjadi pada tahun 1999 dan melebar hingga ke seluruh
pelosok Ambon termasuk Kepulauan Kei yang berada jauh dari Kota Ambon.
Kerusuhan Ambon memakan waktu kurang lebih 3 tahun sedangkan kerusuhan
di wilayah Kei hanya berlangsung dari Maret hingga Juni 1999. Konflik ini
menjadi fakta mulai terkikisnya rasa kebersamaan yang tertanam dalam diri
masyarakat. Jatuhnya banyak korban membuat kerusuhan Ambon dikenang
sebagai tragedi berdarah Ambon yang akan terus direkam oleh sejarah di
Indonesia.
Aspek kebudayaan dalam novel Kei yang menarik adalah kearifan budaya
dan wujud nilai-nilai dalam diri masyarakatnya. Masyarakat Kei dikenal kuat
memegang prinsip dan sikap hidup berlandaskan pada ajaran leluhur mereka.
Budaya dan nilai norma menjadi tonggak pertama yang mengatur segala
dimensi kehidupan masyarakat Suku Kei. Hukum adat dan nilai ajaran leluhur
diposisikan pada tempat paling tinggi sebab sebelum masuknya agama dan
terbentuknya pemerintahan, hukum adat sudah lebih dulu berperan di
masyarakat. Hukum Larvul Ngabal menjadi alasan terkuat Kei dapat
menghentikan konflik perang saudara yang terjadi. Selain itu, adanya kerjasama
antara adat, agama, dan pemerintah juga menjadi peran penting Kei dapat
dengan baik mengatasi kerusuhan yang memporak-porandakan wilayah
mereka.5 Tidak banyak yang mengangkat kisah masyarakat Kei, terutama
kuatnya peran adat dalam menyelesaikan konflik saat itu. Erni dengan berani
meriset dari berbagai sumber dan menciptakan ruang cerita untuk
menyampaikan kisah ini.
5 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari
Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji nilai-
nilai budaya yang terdapat dalam novel Kei Karya Erni Aladjai yang tentunya
dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Maka judul
penelitian yang ditulis ialah “Representasi Nilai Budaya Masyarakat Suku Kei
dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai dan Implikasinya dalam pembejaran di
Sekolah”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, disimpulkan beberapa masalah yang
teridentifikasi sebagai berikut:
1. Terkikisnya nilai karakter bangsa dalam diri peserta didik zaman
sekarang
2. Perlu adanya bahan ajar yang tepat dalam mendukung ketercapaian tujuan
pembelajaran yang sarat akan muatan edukatif dan nilai budaya lokal
3. Kurangnya apresiasi terhadap sastra dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia
4. Belum adanya penelitian mengenai representasi nilai budaya pada
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai
C. Batasan Masalah
Fokus penelitian adalah pada nilai-nilai budaya yang melekat di
masyarakat suku Kei. Penulis akan menjabarkan nilai-nilai budaya yang
direpresentasikan oleh masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai
serta implikasinya terhadap pembelajaran di sekolah.
D. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka peneliti merumuskan
point-point masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel
Kei karya Erni Aladjai?
6
2. Bagaimana implikasi hasil penelitian representasi nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai terhadap
pembelajaran di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memaparkan representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel
Kei karya Erni Aladjai.
2. Mendeskripsikan implikasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam
novel Kei karya Erni Aladjai pada pembelajaran sastra di Sekolah.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara teoritis maupun praktis.
1. Kegunaan Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan, terutama dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia,
khususnya bagi pembaca dan pecinta sastra.
b. Sebagai bahan acuan dalam pembelajaran, khususnya Bahasa dan
Sastra Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai
budaya Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi dalam memilih bahan ajar.
b. Bagi peserta didik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dalam mengapresiasi novel, khususnya memahami dan
mengamalkan nilai-nilai luhur karakter bangsa yang terkandung
dalam novel dengan tema kearifan lokal.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu metode yang menyajikan data secara deskripsi. Metode
7
ini berusaha memahami dan menafsirkan suatu makna dari peristiwa,
interaksi, dan tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut diri
peneliti sendiri.6
Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan hasil data
berupa makna yang tekandung di dalam kata per kata, sehingga
representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya
Erni Aladjai dapat terpenuhi.
2. Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, objek yang dikaji
dalam penelitian ini adalah novel berjudul Kei. Novel tersebut merupakan
karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh penerbit Gagas Media, Jakarta
pada tahun 2013. Novel dengan jumlah halaman 264 ini menjadi
pemenang unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2012.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data
sekunder. Data primer adalah ada yang diperoleh langsung dari sumber
asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini
subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap
suatu benda, kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Sumber data
primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan sumber
data primer dari novel Kei karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh Gagas
Media pada tahun 2013 dengan jumlah halaman 264 lembar.
Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).
Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang
6 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif diunduh dari fip.um.ac.id/wp-
content/uploads/2015/12/3_Metpen-Kualitatif.pdf pada tanggal 21 Januari 2020 pukul 21.44 WIB
8
telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan dan yang tidak
dipublikasikan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu data-data yang diambil dari buku, jurnal, kamus, ensiklopedia,
dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan
teknik pustaka, yaitu menganalisis isi. Peneliti membaca, memahami,
kemudian mencatat pokok-pokok yang terdapat dalam novel Kei karya
Erni Aladjai secara cermat, teliti, dan terarah yang berkaitan dengan
masalah dan tujuan penelitian.
Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan datanya sebagai
berikut:
a. Membaca secara cermat dan memahami pesan yang terkandung
dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
b. Menentukan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kei karya
Erni Aladjai.
c. Mencatat kalimat-kalimat yang merepresentasikan nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
d. Menganalisis implikasi dari nilai budaya masyarakat suku Kei dalam
novel Kei karya Erni Aladjai terhadap pembelajaran di sekolah.
5. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam menganalisis data yaitu:
a. Data dibaca
Peneliti melakukan pembacaan secara berulang-ulang hingga
memahami pesan yang terdapat dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
b. Data ditandai
Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal penting
yang berhubungan langsung dengan rumusan masalah yang telah
9
dipilih yakni mengenai unsur-unsur intrinsik novel dan nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
c. Data dikelompokkan
Setelah melakukan penandaan, peneliti melakukan pengelompokkan
data berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya dan nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
d. Data dianalisis
Setelah melakukan pengelompokan, peneliti menganalisis data terkait
nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni
Aladjai.
e. Data disimpulkan
Setelah melakukan analisis, peneliti menarik kesimpulan dari hasil
pembahasan sehingga akan didapatkan implikasi dari nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai terhadap
pembelajaran di Sekolah.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Hakikat Novel
Novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku.1 Menurut Burhan novel menyajikan sebuah
cerita dengan lebih bebas, lebih banyak, dan lebih detail dengan
melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.2 Sebuah novel
memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi suatu persoalan
hidup. Fungsi suatu novel ialah untuk mempelajari kehidupan manusia di
suatu zaman sehingga novel dapat juga difungsikan sebagai bahan
pembelajaran masyarakat.3 Kerumitan cerita dalam novel, seringkali
berasal dari pengembangan dokumen-dokumen berbentuk nonfiksi
seperti surat, jurnal, memoar atau biografi, serta sejarah yang kemudian
membuat isi sebuah novel semakin bersifat realistis dan mengacu pada
penggambaran psikologi yang mendalam.4
Maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan bentuk prosa fiksi
yang memiliki panjang cerita jauh melebihi cerpen dengan detail
permasalahan yang lebih rinci. Kehadiran novel bukan hanya sebagai
bentuk karya bacaan biasa namun terdapat tujuan tertentu dari
penciptaannya, yaitu mengarahkan dan memberikan pembelajaran
mengenai realitas kehidupan sehingga dapat memperbaharui dan
menambah keluhuran dalam bersikap.
1 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Malang: Aditya Media Publishing, 2013), h.
128 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012), h. 11 3 Andri Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2017), h. 73 4 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2016), h. 261
11
2. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah bagian-bagian yang turut membangun
terciptanya sebuah novel. Kepaduan antarunsur intrinsik ini yang
membuat sebuah novel hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik
tersebut yakni tema, tokoh dan penokohan, alur/plot, latar, sudut
pandang, gaya bahasa, dan amanat.
a. Tema
Tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Tema menjadi
sebuah pangkal bagi pengarang dalam memaparkan cerita imajinasi
yang dibuatnya.5 Dengan kata lain, jalan sebuah cerita tentunya akan
“setia” mengikuti gagasan dasar yang telah pengarang tentukan
sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan
unsur-unsur intrinsik lainnya diusahakan mencerminkan dasar cerita
tersebut.6 Dukungan informasi dari unsur-unsur intrinsik cerita akan
melengkapi kejelasan dari tema tersebut sehingga apa yang ingin
disampaikan oleh pengarang dapat sampai kepada pembaca.
Dalam novel, makna yang dikandung dan ditawarkan pengarang
dapat berjumlah banyak. Hal tersebut karena novel memiliki cerita
yang kompleks sehingga makna cerita dapat terdiri dari tema mayor
dan tema minor. Tema mayor atau tema pokok adalah makna cerita
yang tersirat dalam sebagian besar cerita. Menentukan tema mayor
hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan
menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan terkandung
dalam sebuah karya. Sedangkan tema minor atau tema tambahan
adalah makna cerita yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita saja. Makna-makna tambahan ini bersifat mendukung
sehingga semakin memperjelas makna pokok.7
Adanya tema mayor dan minor memang menyulitkan dalam
menentukan makna cerita. Namun dalam menafsirkan makna dapat
5 Siswanto, Op.Cit., h. 146. 6 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 70 7 Ibid., h. 83
12
dilakukan dengan mengamati secara keseluruhan cerita sehingga
makna cerita dapat ditemukan dengan baik.
b. Tokoh dan Penokohan
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro tokoh adalah orang
(orang) yang ditampilkan dalam cerita, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki suatu moral yang diekspresikan
melalui ucapan dan tindakan yang dilakukan.8 Aminudin dalam
Siswanto menambahkan bahwa tokoh merupakan pelaku yang
diberikan tugas pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa tersebut dapat berjalan menjadi sebuah cerita.9 Tokoh pada
umumnya berwujud manusia, tetapi juga dapat berwujud binatang
atau benda yang seolah dihidupkan.
Dalam sebuah narasi, terdapat hal yang melekat erat pada tokoh
yaitu aksi/perilaku. Hal tersebut sering diistilahkan karakter atau
perwatakan. Antara seorang tokoh dan perwatakan memang suatu
kepaduan yang utuh. Sebab perwatakan mencakup masalah siapa
tokoh, bagaimana wataknya, dan bagaimana penempatan atau
penggambarannya dalam sebuah cerita sehingga mampu
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.10
Tokoh dalam cerita dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut :
1) Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, maka
dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai keadian. Sedangkan
tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya dengan
tokoh utama.11
8 Ibid, h. 165 9 Siswanto, Op.Cit., h. 129 10 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan,
2011), h. 17-18 11 Nurgiyantoro, Op.Cit., 177
13
2) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan
menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang menjadi pengejewantahan nilai-
nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh
penyebab terjadinya konflik yang beroposisi dengan tokoh
protagonis.12
3) Jika dilihat dari perwatakan tokoh, maka dapat dibedakan
menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana
adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu saja.
Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang dapat menampilkan
watak dan tingkah laku yang beragam, bahkan tampak
bertentangan dan sulit diduga.13
Tokoh dan penokohan dalam cerita menjadi unsur penting.
Keberadaan tokoh dan penggambaran penokohan membawa amanat,
pesan, dan nilai dari pengarang kepada pembaca. Tokoh juga dapat
difungsikan sebagai pelaku kritik yang seolah menjadi jembatan
pengarang dalam penyampaikan tanggapan atau pendapat.
c. Alur
Abrams mengatakan plot atau alur adalah jalan cerita yang
tersusun dari tahapan-tahapan peristiwa yang saling terjalin menjadi
sebuah cerita.14 Aminuddin sebagaimana dikutip oleh Wahyudi
Siswanto membedakan beberapa tahapan peristiwa dalam alur/plot,
yaitu (1) pengenalan, tahap memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar
cerita. (2) konflik atau ketegangan, tahap pertentangan antara dua
kepentingan atau kekuatan dalam cerita. (3) komplikasi atau rumitan,
bagian tengah alur cerita yang mengembangkan tikaian. (4) klimaks,
bagian alur cerita yang menggambarkan ketegangan, dan
membangkitkan segi emosional pembaca. (5) krisis, tahapan yang
12 Ibid, h. 178-179 13 Ibid, h. 182-183 14 Siswanto, Op.Cit., h. 144
14
mengawali proses penyelesaian. (6) leraian, bagian alur sesudah
tercapainya klimaks. (7) selesaian, tahapan akhir cerita.15
Nurgiyantoro mengatakan bahwa dalam alur hubungan
antarbagian yang dikisahkan haruslah bersebab akibat, tidak hanya
sekedar berurutan secara kronologis saja.16 Oleh karena itu, ia
membagi alur ke dalam kronologis dan tak kronologi. Dalam
kategori kronologis plot disebut sebagai plot lurus, maju, atau juga
dapat dinamakan progresif. Sedangkan kategori yang kedua disebut
sorot-balik, mundur, flash-back atau juga disebut regresif. 17
Plot lurus atau plot maju atau progresif adalah peristiwa-
peristiwa dalam cerita yang dikisahkan secara kronologis, yakni
peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang kemudian.
Atau beruntun dari penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik,
klimaks hingga penyelesaian. Plot mundur, flash-back atau regresif
adalah urutan kejadian peristiwa yang tidak dimulai dari tahap awal
pengenalan, melainkan dari tahap konflik atau bahkan dari
penyelesaian. Pada kategori ini cerita yang disuguhkan langsung
pada adegan-adegan yang telah meninggi dan tegang kemudian
dikembalikan atau disorotbalikan ke tahap peristiwa sebelumnya.
Plot campuran merupakan urutan kejadian dalam sebuah cerita
progresif yang didalamnya mengandung kejadian flash-back.
Menurut Burhan, dapat dikatakan kemungkinan tidak ada sebuah
cerita yang mutlak flash-back atau progresif sebab pembaca akan
kesulitan untuk mengikuti cerita yang terus-menerus dilakukan
secara mundur. Oleh karena itu, menurutnya sebuah novel pada
umumnya akan mengandung keduanya, atau berplot campuran.18
Kelengkapan tahapan pada alur menentukan seberapa kompleks
jalan cerita yang pengarang sajikan. Semakin tahapan alur terasa
15 Ibid, h. 145 16 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 112 17 Ibid, h. 153 18 Ibid, h. 154-156
15
rumit maka pembaca juga semakin kesulitan dalam menerka jalan
cerita tersebut. Tetapi kerumitan tersebut menjadi daya tarik
sehingga pembaca memiliki rasa “penasaran” terhadap jalan
ceritanya.
d. Latar
Abrams sebagaimana dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro
mengatakan latar atau setting disebut juga landasan tumpu,
mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.19 Latar
dalam cerita tidak sepenuhnya rekaan, namun juga tidak selalu
realita. Terkadang pengarang memadukan keaslian latar dengan daya
imajinya sehingga pembaca memiliki kesan menerka-nerka.
Keberadaan latar secara fisik didukung pula dengan latar secara
spiritual, maksudnya latar digambarkan melalui wujud adat istiadat,
kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan di tempat yang diceritakan.
Hal ini menjadi penguat dalam penggambaran latar sekaligus
perwatakan dalam cerita.
Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu (1)
latar tempat, merujuk pada lokasi terjadiya peristiwa secara
geografis. (2) latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa dalam cerita. (3) latar sosial, menyaran pada hal-
hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
di tempat yang diceritakan. Unsur latar ini dapat berupa kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, dan lain-lain.20
e. Sudut Pandang
Menurut Wahyudi Siswanto sudut pandang adalah tempat
sastrawan memandang cerita, dari tempat itulah sastrawan bercerita
19 Ibid., h. 216 20 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 227-233
16
tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.21
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan teknik, strategi, siasat
yang dengan sengaja pengarang pilih untuk digunakan dalam
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Ketika sudah berupa cerita
gagasan pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh, lewat
kacamata tokoh dalam cerita.22
Burhan Nurgiyantoro membedakan sudut pandang berdasarkan
bentuk persona tokoh, yaitu:
1) Sudut pandang persona ketiga
Gaya “dia” menjadi ciri paling nyata dalam penggunaan
sudut pandang persona ketiga ini. Narator berada di luar cerita
dengan menampilkan tokoh-tokoh dalam sebutan nama, atau
kata gantinya; ia, dia, mereka.23 Pengarang dapat
menyembunyikan diri dengan menarasikan cerita tanpa
menunjukkan keterlibatannya dalam cerita. Dalam hal ini,
pengarang menulis dengan sudut pandnag “mahatahu”
(Omniscient author). 24
2) Sudut pandang persona pertama
Dalam sudut pandang persona pertama digunakan gaya
“aku” dalam pengisahannya. Narator merupakan seseorang yang
terlibat langsung di dalam cerita. Si “aku” merupakan narator
yang juga tokoh dalam berkisah dengan kesadaran dirinya
sendiri. Ia (narator) mengisahkan peristiwa dan tindakan yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta
menunjukkan sikapnya terdapat orang (tokoh) lain kepada
pembaca. Penyebutan nama si “aku” jarang dilakukan, hanya
orang (tokoh) lain yang menyebutkan namanya.25
21 Siswanto, Op.Cit., h. 137 22 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 248 23 Ibid, h. 256 24 Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 270 25 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 262
17
f. Gaya Bahasa
Style atau stile atau gaya bahasa merupakan cara pengucapan
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan
sesuatu yang akan dikemukakan.26 Menurut Siswanto gaya bahasa
adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca.27 Lebih singkat Slamet Muljana
memaknai gaya bahasa sebagai susunan kata yang terjadi karena
perasaan yang timbul dalam hati penulis dan memberikan akibat
munculnya perasaan tertentu pada si pembaca.28 Pengertian tersebut
memberikan suatu konsep bahwa setiap orang, setiap penulis
mempunyai gaya yang berbeda dalam mengungkapkan
perasaaannya.
Pengarang memiliki kebebasan dalam memilih bentuk bahasa
untuk mengekspresikan makna cerita. Pemilihan bentuk ungkapan
bahasa ini tidak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang,
sebab hal memilih ungkapan seolah-olah terjadi secara otomatis
dalam proses penulisan, seolah-olah sudah menjadi bagian dalam diri
pengarang. Seperti pendapat Enkvist dalam jurnal Arsanti, dikatakan
bahwa pikiran atau sebauh ide akan muncul lebih dulu, baru
kemudian diutarakan dengan cara-cara tertentu.29 Dengan demikian
bentuk ungkapan dalam gaya bahasa yang dipilih pengarang dapat
dikatakan mencerminkan pola berpikir pengarang tanpa dimauinya.
g. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
26 Ibid., h. 276 27 Siswanto, Op.Cit., h. 144 28 Arsanti Wulandari, Gaya Bahasa Perbandingan dalam ‘Serat Nitipraja’, Jurnal
Humaniora Volume XV, No. 3/2003, h. 304 29 Ibid, h. 302
18
pendengar.30 Pesan moral merupakan petunjuk yang diberikan
pengarang mengenai hubungan dengan masalah kehidupan, seperti
sikap, tingkah laku, dan sopan santun dalam pergaulan di
masyarakat.31 Umumnya, pesan moral dalam cerita fiksi mengarah
pada kebaikan. Meskipun tokoh dalam cerita ditampilkan dengan
sikap dan tingkah laku yang tidak baik, tidak mengartikan bahwa
pengarang menyarankan pembaca untuk bersikap demikian. Sikap
dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model atau contoh agar
pembaca tidak meniru sikap dan tingkah laku tidak terpuji tersebut.32
Pesan moral pada hakikatnya menyampaikan perbuatan, sikap,
kewajiban, hak, hingga akhlak dan budi pekerti. Dalam sebuah karya
sastra, pengarang senantiasa menyampaikan pesan moral dengan
berbagai cara dan teknik, tujuannya agar karya yang ditulis tidak
hanya dapat menjadi bacaan bagi pembaca, tetapi juga sebagai
pembelajaran melalui pesan yang sampai kepada pembaca.
B. Hakikat Nilai Budaya
1. Definisi Nilai
Secara etimologi nilai atau value didefinisikan sebagai pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari nilai merupakan sesuatu yang berharga,
bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.33 Nilai
berarti sesuatu yang penting dan berharga, memberikan sebuah arti
tujuan dan arah hidup. Disamping itu, nilai juga menyediakan motivasi,
arahan, serta petunjuk dalam sebuah perjalanan hidup.34
Nilai yang dimiliki seseorang dapat mengekspresikan apa yang lebih
disukai atau yang tidak disukainya. Artinya, nilai menimbulkan sebuah
sikap dan perbuatan. Dalam hal pendidikan, sasaran pendidikan nilai
30 Siswanto, Op.Cit., h. 147 31 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 321 32 Ibid, h. 322 33 Qiqi Yuliati dan A. Rusdiana, Pendidikan Nilai: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), h. 14 34 J. Darminta, SJ, Praksis Pendidikan Nilai, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 24
19
adalah menanamkan nilai-nilai luhur kepada diri peserta didik.35 Salah
satu caranya dengan membangun character building yang didasari oleh
nilai-nilai moral kemanusiaan di kalangan masyarakat, baik sebagai
individu maupun kelompok. Nilai-nilai moral yang kokoh dan etika
standar yang kuat sangat diperlukan bagi individu melalui pendidikan
nilai dalam proses pendidikan tersebut.36 Tujuan dalam pendidikan nilai
tidak lain untuk memberikan pijakan dasar sebaik-baiknya bagi peserta
didik dalam suatu proses mencapai manusia beradab.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan dasar lahirnya sebuah sikap dan perilaku seseorang. Ketika
dasar nilainya buruk maka menimbulkan sikap yang buruk. Begitupun
sebaliknya. Oleh karena itu, upaya menanamkan dasar nilai-nilai yang
baik dilaksanakan melalui proses pendidikan, baik di keluarga, sekolah
ataupun lingkungan masyarakat.
2. Definisi Budaya
Budaya dan kebudayaan memiliki makna yang searah. Jika kata
budaya berarti cipta, karsa dan rasa, maka kebudayaan memiliki arti hasil
dari cipta, karsa, dan rasa tersebut. Dalam bahasa Sanskerta, budaya
berasal dari kata budhayah yang berarti budi dan akal. Kata budhayah
merupakan kata jamak dari kata budhi. Maka arti dari kebudayaan sering
kali dikaitkan dengan pemikiran manusia yang sudah pasti merupakan
satu-satunya makhluk yang memiliki akal dan dapat menciptakan
kebudayaan.37
Seluruh aspek kehidupan manusia menurut Marvin Harris, yang
diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku disebut
sebagai kebudayaan.38 Koentjaraningrat pun menjelaskan bahwa
35 Yuliati dan Rusdiana, Op.Cit., h. 63-64 36 Sri Wening, Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai dalam Jurnal
Pendidikan Karakter, tahun II, Nomor 1, Februari 2012, h. 58 37 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroologi, (Jakarta: Rineka Cipta, Edisi Revisi 2016),
h. 146 38 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studie: Representasi Fiksi dan Fakta
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 5
20
kebudayaan ialah sistem gagasan, tindakan, rasa, serta karya manusia
yang dihasilkan dan dijadikan milik dirinya melalui proses belajar di
kehidupan masyarakat.39 Dengan demikian, kehadiran budaya bukan
berasal dari bawaan lahir manusia, tetapi didapat melalui proses ‘belajar’
sehingga budaya dapat dimaknai sebagai kebudayaan. Sudah menjadi
hukum alam jika sejak lahir manusia memiliki kemampuan belajar akan
lingkungan sekitar. Seperti seorang bayi yang secara bertahap akan
belajar dari hal kecil sehingga ketika dewasa hasil dari belajar tersebut
dinamakan kebudayaan.
Secara umum budaya berkembang dan dimiliki bersama oleh
sekelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
bersifat holistik, artinya terbentuk dari banyak unsur seperti sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni.40 Dengan kata lain budaya memiliki jangkauan ruang
yang luas, tidak terbatas hanya pada seni dan bangunan bersejarah, tetapi
juga menjangkau keseluruhan aspek kehidupan manusia. Sebagaimana
pendapat Edward Burnett Tylor bahwa kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.41
Maka dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebudayaan
merupakan hasil dari proses manusia dalam belajar semenjak ia
dilahirkan megenai segala sesuatu yang ada di lingkungan hidupnya dan
berkaitan dengan seluruh aspek kehidupannya. Dalam ruang waktu
belajar inilah manusia menata kehidupannya menuju satu titik tertentu
yakni manusia yang berbudaya, artinya memiliki tata kehidupan yang
baik dalam berkehidupan baik pada dirinya sendiri maupun pada
lingkungannya.
39 Koentjaraningrat, Op.Cit., h. 144 40 Anton Ohoiran SS, KEI: Alam, Manusia, Budaya, dan Beberapa Perubahan,
(Yogyakarta: Sibuku Media, 2016), h. 76 41 Ibid, h. 77
21
3. Hakikat Nilai Budaya
Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri atas konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam pikiran manusia mengenai hal-hal yang
mereka anggap berharga sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman
dalam memberikan arah hidup pada masyarakat tersebut. Dalam suatu
kebudayaan, nilai-nilai budaya berada pada daerah emosional dari alam
jiwa individu yang merupakan warga masyarakat dan kebudayaan
tersebut.42 Sementara itu, Edwar Djamaris menyatakan nilai-nilai budaya
adalah tingkatan pertama kebudayaan atau adat. Nilai budaya ini menjadi
lapisan paling abstrak dan memiliki ruang lingkup yang luas.
Sebagaimana yang dikatakan Koentjaraningrat bahwa nilai budaya
adalah sebuah konsepsi, maka konsepsi tersebut biasanya berfungsi
sebagai ‘pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia”.43
Dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini, nilai budaya
berfungsi sebagai filter dalam menyikapi pengaruh nilai-nilai asing yang
masuk. Masyarakat Indonesia yang memiliki lebih dari 3000 suku bangsa
dan jutaan nilai budaya di dalamnya, tak mudah pastinya untuk tetap
mengikatkan diri pada nilai-nilai budaya bangsa. Kuatnya pengaruh
globalisasi serta nilai-nilai asing dari bangsa lain menyebabkan secara
perlahan-lahan mulai mengikiskan budaya asli dan menghilangnya
sebagian nilai-nilai luhur sebagai pedoman dasar dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat di Indonesia.44 Hal tersebut yang menjadi
alasan terdesaknya kita untuk bagaimana mencari cara mempertahankan
serta mengikatkan kembali dalam nilai-nilai budaya luhur bangsa yang
sejak dahulu telah ada.
Pemahaman mengenai sistem nilai tidak dapat dilepaskan dari sifat
manusia yang dibawa sejak lahir. Karena itu, nilai menjadi suatu yang
42 Koentjaraningrat, Op.Cit., h. 153 43 Suhardi dan Riauwati, Analisis Nilai-nilai Budaya (Melayu) dalam Sastra Lisan
Masyarakat Kota Tanjung Pinang, Jurnal Lingua Volume XIII Nomor 1 Januari 2017, h. 27 44 Nanik Hindaryatiningsih, Model Proses Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam
Tradisi Masyarakat Buton. Jurnal Sosiohumaniora, Volume 18 No. 2 Juli 2016, h. 109.
22
penting bagi manusia dalam mencapai suatu tujuan hidup. Penanaman
nilai yang baik akan melahirkan kebudayaan yang baik pula dalam
tercapainya tujuan hidup. Maka, setiap tujuan hidup manusia harus
melibatkan nilai-nilai budaya yang luhur untuk dilestarikan dan dijaga.
Karena jika manusia menopangkan hidupnya pada nilai budaya dan
menjadikannya prinsip dalam mengelola kehidupan, maka keluhuran dari
nilai budaya akan mempengaruhi kehidupan manusia.
C. Representasi dalam Sastra
Definisi representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang diwakili; atau
perwakilan.45 Menurut Ratna representasi merupakan suatu kegiatan
merekonstruksi dan menampilkan berbagai fakta dari suatu objek sehingga
eksplorasi atau pencarian terhadap makna dapat dilakukan secara
maksimal.46 Representasi menurut Hall dalam Febrianto dan Anggraini
yaitu menghubungkan konsep yang ada dalam pikiran dengan menggunakan
bahasa untuk mengartikannya yang berupa benda, orang, maupun kejadian
nyata, dan imajinasi dari objek tersebut.47 Singkatnya representasi dapat
diartikan sebagai penggambaran fakta dari suatu objek dengan tujuan untuk
mengulik makna secara keseluruhan melalui bahasa sebagai media. Jika
representasi dikaitkan dengan karya sastra, maka penggambaran fakta yang
dilakukan berupa peristiwa atau fenomena yang terjadi di masyarakat.
Dalam hal ini peristiwa atau fenomena masyarakat tersebut diasumsikan
sebagai kejadian nyata.
Kenyataan dalam sebuah karya sastra merupakan sebuah hal yang
penting. Meskipun karya sastra identik dengan imajinasi yang dilukiskan
oleh pengarang lewat bahasa, namun apabila tidak didasarkan pada
45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1167 46 Ratna, Op.Cit., h. 601 47 Diki Febrianto dan Purwati Anggraini, Representasi Pewayangan Modern: Kajian
Antropologi Sastra dalam Novel “Rahvayana Aku Lala Padamu” karya Sujiwo Tejo, Jurnal
Jentera: Jurnal Kajian Sastra, Nomor 8(1), 2019, h. 13 diunduh dari
http://ojs.badanbahasa.kemendikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/index pada tanggal 12
1) Sis af: memanggil dengan melambai tangan atau mendesis.
2) Kis kafir/ temar u mur: mencubit, menyenggol-kena dengan
busur di bagian muka atau belakang.
3) Kifuk matko/ matko kubin: main mata, mengerling sambil
memejamkan sebelah mata.
4) A lebak: meraih dan memeluk
5) Siran baraang me val ngutun tenan: membalik penutup dan
pengalas bawah (pakaian dalam).
6) Manu’u marai:membawa lari istri/anak gadis orang.
7) Marvuan fa ivun: menghamili di luar nikah.
Hukum Huwaer Balwirin
1) Veryatad: menginginkan barang orang lain secara tidak sah
2) Boor karu : mencuri
3) It kulik afa bor-bor: menyimpan barang curian
4) Ta’an rereang, it ot afa weed: makan upah tanpa kerja
5) Itlavur hira ni afa: merusakan, membinasakan barang milik
orang lain
31
6) Taha bil-tafakleak mang rir afa-taf en tana il: membelokan,
memungut barang milik orang lain tetapi tidak
mengembalikan.
7) Taha kuuk mang rir rereung nablo: menahan/tidak
membayar upah orang yang benar.57
Kepulauan Kei kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata
kebanggaan Kabupaten Maluku Tenggara. Bentangan alam yang tak kalah
cantik dengan objek wisata Raja Ampat di Papua menawarkan sejumlah
panorama indah menyejukan mata. Namun, disamping wisata alam yang
semakin terkenal, Kei juga semakin merekatkan adat istiadatnya. Hal
tersebut tak lain sebagai upaya untuk tetap menjaga batasan-batasan leluhur
agar kehidupan selalu dalam kedamaian dan keharmonisan.
E. Pembelajaran Sastra
Secara etimologis, sastra berarti alat utuk mendidik.58 Poe mengatakan
fungsi sastra tak lain untuk menghibur sekaligus mengajarkan tentang
sesuatu.59 Asumsi inilah yang melatarbelakangi alasan karya sastra
dikatakan mampu menjadi alat dalam penanaman nilai-nilai kemanusiaan
pada peserta didik, pastinya melalui pendidikan baik formal maupun
nonformal.
Hakikatnya, pendidikan adalah sebuah proses untuk mendapatkan
sesuatu. Lebih luas Muhibbin Syah mendefinisikan pendidikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga seseorang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang
sesuai dengan kebutuhan.60 Maka ketika pendidikan dan sastra menjadi
sebuah metode dalam pengajaran, akan terbentuk sebuah usaha yang tidak
hanya memberikan sebuah pengalaman dan pengetahuan kepada siswa,
57 Anton, Op.Cit., h. 80-90 58 Nyoman Kutha Ratna, Antropologi Sastra; Peranann Unsur-unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 6 59 Welek dan Warren, Op.Cit., h. 23 60 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006). H. 10
32
tetapi juga memberikan sebuah didikan dalam membentuk watak dan
katakteristik peserta didik.
Pembelajaran sastra setidaknya harus mencakup empat manfaat untuk
mendorong pendidikan secara penuh. Empat manfaat tersebut yakni,
membantu keterampilan bahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, serta membentuk watak.61 Penjelasan
keempat manfaat pembelajaran sastra dijelaskan sebagai berikut:
1) Membantu Keterampilan Bahasa
Dalam keterampilan bahasa, siswa dapat melatih keterampilan
membaca dengan membaca karya-karya sastra, melatih menyimak
dengan mendengarkan karya sastra yang dibacakan oleh guru, melatih
keterampilan berbicara dalam berdiskusi tentang karya sastra, serta
melatih keterampilan menulis hasil analisis karya sastra atau menulis
karya sastra sendiri.
2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Dengan kemajuan zaman yang kini berjalan, pembelajaran sastra
bertugas membantu peserta didik untuk tidak melepas kebudayaan
lokal dalam perkembangan kebudayaan asing yang pesat.
3) Mengembangkan Cipta dan Rasa
Karya sastra berisi kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif,
sosial, serta religius. Oleh karena itu dalam pembelajaran sastra lebih
mengembangkan kecakapan tersebut dalam upaya mewujudkan tujuan
pembelajaran sastra.
4) Membentuk Watak
Dengan isi karya sastra yang penuh dengan nilai-nilai pembelajaran,
maka pembelajaran sastra mampu mengarahkan peserta didik untuk
membentuk watak-watak yang baik seperti tolong menolong,
toleransi, dan persatuan.
Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk memperkaya pengalaman
siswa dan menjadikan peserta didik lebih tanggap terhadap alam sekitar dan
61 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 16
33
lingkungan. Untuk itu, metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran
sastra yakni dengan apresiasi sastra. Dalam melakukan apresiasi sastra,
seseorang tidak hanya menikmati karya, tetapi juga mendapatkan nilai yang
terkandung di dalam karya tersebut. 62 Hal inilah yang sedang ditekankan
dalam metode pembelajaran sastra di sekolah. Dengan suksesnya peserta
didik dalam mengapresiasi sastra dapat pula menyukseskan tujuan dari
pendidikan dan sastra yang sesungguhnya.
F. Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti pada berbagai
sumber menunjukkan bahwa penelitian Representasi Nilai Budaya pada
Masyarakat Suku Kei dalam Novel “Kei” karya Erni Aladjai dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah belum pernah
dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa penelitian yang berhubungan
dengan karya Erni Aladjai baik dalam novel Kei sendiri maupun pada karya
Erni lainnya.
Penelitian terkait novel Kei karya Erni Aladjai pernah dilakukan oleh
beberapa orang. Pertama dilakukan oleh Eli Fernando Nababan, mahasiswa
Universitas Sumatera Utara, Medan pada tahun 2014 dengan judul “Bentuk-
bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai”. Penelitian
ini menggunaan teori sosiologi sastra untuk mengungkapkan bentuk-bentuk
kerukunan yang terdapat di masyarakat. Hasil analisis yang dilakukan
mendapatkan bentuk-bemtuk kerukunan sebagai berikut: (1) kerukunan
dalam bentuk kerjasama, (2) hubungan antar umat beragama, (3) hubungan
antar suku, (4) hubungan pertemanan, dan (5) hubungan cinta.
Kedua dilakukan oleh Dia Kanti Rahayu, mahasiswi Universitas
Airlangga, Surabaya pada tahun 2018 dengan judul penelitian “Pandangan
Tokoh terhadap Perbedaan Agama dalam Novel Kei karya Erni Aladjai:
Analisis Struktural”. Penelitan ini bertujuan untuk mengungkap sisi lain dari
konflik yang terjadi di Pulau Kei, melalui identifikasi para tokohnya.
62 Ahmad Bahtiar, Apresiasi dan Kreasi Sastra, h. 1 diunduh dari
http://googleschollar.com pada tanggall 4 Maret 2019 pukul 21.45 WIB