Top Banner
Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film “Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran” 1 Oleh Rosida E. Irsyad Beberapa waktu yang lalu, saya mempresentasikan hasil temuan tesis saya dalam sebuah diskusi informal di Cak Tarno Institute yang dihadiri oleh rekan-rekan dari berbagai kalangan. Saat itu, kami membicarakan politik kebudayaan pemerintah Prancis yang direpresentasikan oleh film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (François Dupeyron, 2003). Di balik manisnya representasi perayaan keberagaman yang ditawarkan oleh film tersebut yang oleh Joesana Tjahjani dalam salah satu artikelnya disebut “Dongeng Negeri Multikultur”, ada berbagai bias yang menyertai representasi tersebut. Dalam konteks politik kebudayaan Prancis, posisi film MI berada pada kutub yang berpihak pada kondisi multikultur Prancis dan secara optimis mempromosikan kondisi multikultur dan ideologi lintas batas sebagai salah satu metode memahami keberagaman. Film MI secara manis memberikan alternatif lain pada tampilan wajah Islam yang garang setelah peristiwa 11 September 2001. Pada saat memulai pengerjaan tesis saya mengenai film ini, saya paling tertarik dengan masalah strategi representasi dalam film tersebut dan juga ideologi yang melatari representasi tersebut. Saya akan menyampaikan beberapa hasil analisis yang 1 Makalah ini dibuat untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XVIII HISKI pada bulan Agustus 2007. 1
30

Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

May 11, 2023

Download

Documents

yunus apriyama
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban

Paris dalam Film “Monsieur Ibrahim et les Fleurs du

Coran”1

Oleh Rosida E. Irsyad

Beberapa waktu yang lalu, saya mempresentasikan

hasil temuan tesis saya dalam sebuah diskusi informal di

Cak Tarno Institute yang dihadiri oleh rekan-rekan dari

berbagai kalangan. Saat itu, kami membicarakan politik

kebudayaan pemerintah Prancis yang direpresentasikan oleh

film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (François Dupeyron,

2003). Di balik manisnya representasi perayaan

keberagaman yang ditawarkan oleh film tersebut yang oleh

Joesana Tjahjani dalam salah satu artikelnya disebut

“Dongeng Negeri Multikultur”, ada berbagai bias yang

menyertai representasi tersebut. Dalam konteks politik

kebudayaan Prancis, posisi film MI berada pada kutub yang

berpihak pada kondisi multikultur Prancis dan secara

optimis mempromosikan kondisi multikultur dan ideologi

lintas batas sebagai salah satu metode memahami

keberagaman. Film MI secara manis memberikan alternatif

lain pada tampilan wajah Islam yang garang setelah

peristiwa 11 September 2001. Pada saat memulai pengerjaan

tesis saya mengenai film ini, saya paling tertarik dengan

masalah strategi representasi dalam film tersebut dan

juga ideologi yang melatari representasi tersebut.

Saya akan menyampaikan beberapa hasil analisis yang

1 Makalah ini dibuat untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XVIII HISKI pada bulan Agustus 2007.

1

Page 2: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

menarik yang terkait dengan permasalahan yang telah saya

sebutkan sebelumnya.

Dalam makalah ini, saya menyoroti representasi

kondisi multikultur pada masyarakat urban Paris dalam

film MI. Saya memilih membahas film ini terutama karena

wacana keberagamaan yang direpresentasikan di dalamnya.

Walaupun para pembuat film ini mengatakan bahwa film ini

bukan film relijius, paling tidak secara diskursif,

masalah tersebut muncul. Lebih khas lagi, wacana

keberagamaan tersebut diramu dalam kisah yang menampilkan

keragaman budaya. Keberagamaan dalam keragaman, ini tema

yang menarik hati bagi saya. Keragaman di dalam film

ditampilkan melalui representasi kelompok pinggiran.

Kelompok pinggiran yang saya maksudkan adalah agama Islam

dan Yahudi, kaum imigran muslim dan kaum Yahudi di tengah

dominasi masyarakat Prancis-Katolik. Dalam analisis yang

saya lakukan terhadap film ini, saya melakukan analisis

pada tingkat wacana dengan melihat berbagai tema yang

direpresentasikan, kemudian memposisikan wacana tersebut

secara biner dan menganalisis dialektika antara berbagai

wacana untuk membongkar berbagai ambiguitas yang muncul.

Film MI dianalisis dengan menggunakan kerangka teori

kajian budaya, yaitu representasi dan identitas yang

cair. Pembahasan pertama tentang gambaran kondisi

multikultur akan memaparkan representasi ruang pada

masyarakat urban dalam perjalanan melintas batas dalam

pengertian denotatif juga simbolik. Di dalam Monsieur

Ibrahim, permasalahan-permasalahan tersebut muncul secara

2

Page 3: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

dinamis melalui aspek sinematografis dan dialog tokoh-

tokohnya. Kedua adalah pembahasan mengenai representasi

agama dan spiritualitas yang akan memaparkan pandangan

keberagamaan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam Monsieur

Ibrahim. Permasalahan ruang dan spiritualitas urban ini

akhirnya menjadi salah satu pilihan strategis untuk

menampilkan kondisi multikultur dalam MI.

Gambaran Kondisi Multikultur: Pusat dan Pinggiran

Monsieur Ibrahim merupakan sebuah representasi budaya

yang berupa kisah-kisah hidup seseorang (personal life

narratives), dalam hal ini Moïse Schmitt atau Momo- sang

tokoh utama, yang ditampilkan dalam media film cerita.

Sebagai sebuah representasi, kisah hidup Momo merupakan

salah satu cara untuk membentuk “self-definitions” dan

identitas (Giles dan Middleton, 1999: 55). Apa yang

ditampilkan di dalam film ini merupakan sebuah dunia yang

dilihat melalui pandangan seorang Momo, remaja Yahudi-

Prancis yang tinggal di kawasan urban di pinggiran Paris.

Kondisi multikultur yang ditampilkan merupakan gambaran

yang terikat pada kerangka berpikir Momo terhadap dunia.

Representasi keadaan multikultur ditampilkan dalam

pencitraan yang mewakili keragaman budaya. Keragaman

etnisitas, agama, generasi, gender, dan kelas berdialog

dalam konteks hubungan dominan dan marjinal. Di awal film

diperdengarkan iringan musik yang seolah-olah keluar dari

radio memperdengarkan lagu dengan lirik “no matter, no matter

what colour, why can’t we live together…”. Pembukaan film tersebut

3

Page 4: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

memberikan sebuah pengantar yang cukup jelas untuk

mempersiapkan penonton memasuki cerita. Masih diiringi

musik Why Can’t We Live Together, adegan pertama yang muncul

adalah seorang wanita kulit hitam berbaju hijau toska

berpolkadot dengan rambut pendek pirang mencolok, yang

membeli satu buket bunga mawar yang ditawarkan oleh

seorang lelaki penjual bunga. Dengan dandanan yang

mencolok dan sikap yang selalu mengerling dan menggoda

para lelaki yang lewat, wanita tersebut adalah salah

seorang penjaja cinta di daerah rue Bleu (gambar 1). Di

latar belakang terlihat seorang anak lelaki (Momo)

mengenakan kaos singlet putih dan celana panjang hitam

tengah memperhatikan aktifitas pelacur berkulit hitam itu

dan rekan-rekannya dari teras kamarnya yang terletak

berhadapan di seberang jalan. Adegan pembuka itu

berlangsung sekitar 1 menit sebelum kemunculan judul

Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran. Sejak awal, penonton

sudah dipersiapkan untuk menikmati film yang akan

menampilkan suatu kelompok masyarakat yang khusus dengan

perbedaan kultural yang khas. Lagu pembuka Why Can’t We Live

Together muncul secara nondiegetik sebagai lagu tematik film

ini.

Di sebuah adegan yang lain, Momo melakukan

pengutilan di toko milik seorang Arab, Ibrahim Dermidji.

Dia menganggap si orang Arab pantas dicuri barangnya.

Momo merasa dirinya sebagai orang Prancis yang memiliki

kekuasaan untuk berbuat sekehendaknya terhadap etnis

minoritas. Pada situasi tersebut, prasangka rasial

4

Page 5: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

terhadap orang Arab ditampilkan. Setelah menyimpan barang

yang ia curi di kantongnya, sambil mengatakan pada

dirinya sendiri melalui suara internal,”Je m’en fous, c’est un

Arabe, un Arabe, un Arabe. S’il n’était pas, ce sera pareil” (Aku tak

peduli, dia orang Arab, orang Arab, orang Arab. Kalaupun

dia bukan Arab, sama saja), Momo menghampiri Ibrahim

untuk membayar sebagian barang yang ia ambil. Ia

memandang Ibrahim dengan tajam, tanpa menunjukkan rasa

takut. Hanya karena disangka Arab maka Ibrahim pantas

dijadikan sasaran tindakan Momo yang melanggar hukum.

Sejak awal, Monsieur Ibrahim mengangkat permasalahan-

permasalahan kelompok marjinal dan mengisahkan tokoh-

tokoh yang secara sosial politis dan sosial budaya adalah

marjinal. Ibrahim adalah seorang tokoh keturunan Turki

beragama Islam, sementara Momo adalah seorang remaja

Prancis Yahudi. Keduanya merupakan representasi dari

kelompok marjinal di Perancis yang didominasi oleh budaya

Katolik. Tokoh-tokoh lain yang dimunculkan juga mewakili

kelompok terpinggirkan tersebut, misalnya pelacur sebagai

kelompok perempuan yang marjinal dalam wacana moral.

Ruang Pinggiran dan Pusat pada Masyarakat Urban Paris

Kondisi multikultur yang ditampilkan dalam Monsieur

Ibrahim mengemukakan tentang pentingnya ruang dalam

representasi multikultur pada masyarakat urban. Monsieur

Ibrahim menggambarkan ruang yang beragam dan membentang

mulai daerah yang sangat kecil di rue Bleu kemudian lebih

besar, yaitu Paris, dan keluar dari Prancis, yaitu

5

Page 6: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Italia, Swiss, Yunani, Albania, dan Turki, kemudian ke

tempat yang sangat terpencil dan jauh, yaitu desa

Ibrahim, akhirnya kembali ke rue Bleu. Monsieur Ibrahim juga

menampilkan ruang privat dan publik secara bergantian.

Pergerakan tokoh-tokoh dari satu ruang ke ruang lain

memiliki makna yang penting.

a. Perjalanan Kembali ke Asal: Tradisi Multikultur

Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo

bertujuan untuk kembali ke tanah asal Ibrahim yang telah

ia tinggalkan selama 15 tahun. Perjalanan kembali itu

merupakan representasi dari kondisi multikultur pada

masyarakat urban. Kondisi multikultur terjadi pada

awalnya, karena perpindahan penduduk dari satu wilayah ke

wilayah lain dengan berbagai alasan berupa mendapatkan

penghidupan yang lebih baik, pengusiran, genocide,

bencana alam, kolonisasi, dll. Perpindahan tersebut

terjadi secara berkelompok maupun per individu dan hasil

dari perpindahan tersebut adalah diaspora, yaitu

menyebarnya orang-orang ke berbagai wilayah. Perpindahan

itu membuat demografi suatu wilayah berubah dan

menciptakan kondisi-kondisi yang sebelumnya telah

dijelaskan sebagai melting pot/ salad bowl/ pluriculture (Prancis).

Akibat meninggalkan tanah kelahiran, maka salah satu

praktik budaya penting dalam kondisi multikultur pada

masyarakat urban adalah perjalanan kembali ke tanah

kelahiran. Dalam tradisi banyak agama, perjalanan itu

dimaknai sebagai sesuatu yang sakral yang disebut dengan

6

Page 7: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

ziarah. Bagi para penganutnya, melakukan ziarah merupakan

bagian dari ritual yang wajib dilakukan sebagai wujud

ketaatan pada perintah Tuhan. Perjalanan kembali memiliki

makna yang berbeda-beda tergantung faktor yang mendorong

terjadinya migrasi.

Dalam konteks Monsieur Ibrahim, perjalanan kembali ke

tanah kelahiran Ibrahim merupakan sebuah momen untuk

membimbing Momo mengenal dirinya sendiri dan mengenal

budaya lain, yaitu budaya ayah angkatnya, Ibrahim. Bagi

Ibrahim sendiri, perjalanan kembali itu membawanya ke

masa lalu yang telah lama ia tinggalkan. Perjalanan

tersebut bermakna nostalgia. Arti dari perjalanan kembali

tersebut sangat penting secara psikologis bagi orang-

orang seperti Ibrahim yang meninggalkan tanah

kelahirannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Perjalanan kembali itu harus dirayakan dengan pertunjukan

keberhasilan (eksibisi) yang ditampilkan melalui mobil

merah yang ia beli dari hasil tabungannya selama 15

tahun.

b. Barat sebagai Pusat dan Timur sebagai Pinggiran

Ruang Barat (Prancis, Swiss dan Yunani) dan Timur

(Turki) dimanfaatkan dengan sangat baik untuk

menggambarkan wacana pusat dan pinggiran. Rue Bleu, bagian

distrik Yahudi, terletak di daerah pinggiran Paris. Paris

adalah pusat peradaban Prancis dan dikenal dengan

berbagai kebesarannya sebagai salah satu pusat peradaban

Eropa. Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo

7

Page 8: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

melanjutkan representasi pusat budaya, yaitu melalui

Italia (pusat mode dunia), Swiss (pusat keuangan dunia)

dan Yunani (pusat peradaban Eropa di jaman pertengahan

yang hingga kini warisan budayanya masih terasa).

Perjalanan mereka melintasi ruang yang membentang dari

Barat menuju Timur. Setelah itu, mereka memasuki

representasi pinggiran yaitu Albania (negara miskin di

Asia Tengah yang baru melepaskan diri dari Rusia) dan

Turki (negara Asia Tengah yang hingga kini masih

memperjuangkan pengakuannya sebagai bagian dari Uni-

Eropa) dan berakhir di wilayah yang sangat terpencil,

yaitu desa Ibrahim (tidak disebutkan nama daerahnya).

Perjalanan melintasi batas tersebut sangat menarik

dan simbolik. Arah perjalanan dari Barat ke Timur,

melintas pinggiran menuju pusat kemudian kembali ke

pinggiran. Perubahan ruang tersebut menjadi bermakna jika

diinterpretasikan dengan Barat dan Timur sebagai dua

wilayah dan dua wacana. Perjalanan menuju Timur dapat

dikatakan representasi dari pergeseran paradigma Barat

yang kini semakin Oriental-friendly atau simpatik terhadap

Timur. Timur yang dulu dianggap sebagai pinggiran atau

subordinat kini menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan

pemerintah, perusahaan, pengobatan, perjodohan, membangun

rumah, cara berhubungan seks, peruntungan sampai pada

cara-cara untuk meningkatkan konsentrasi dan kecerdasan

sejak usia dini. Kini Timur menjadi sumber pengetahuan

yang sangat diperhitungkan. Timur bergerak dari pinggiran

8

Page 9: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

ke pusat2. Perubahan paradigma itu secara simbolis

ditampilkan dalam Monsieur Ibrahim melalui perjalanannya

dari Barat ke Timur, dari pusat ke pinggiran.

Kini, perjalanan kembali dari Timur ke Barat, dari

pinggiran ke pusat, memiliki makna baru yang berbeda,

yaitu Barat yang telah bersentuhan dengan Timur. Monsieur

Ibrahim menggambarkan bahwa perjalanan kembali Momo dari

Turki ke Paris diakhiri dengan pembacaan wasiat yang ia

terima dari Ibrahim. Momo kembali menghadapi keseharian

di negerinya sendiri yang individualis dan birokratis3.

Ia menerima surat wasiat Ibrahim yang isinya meninggalkan

seluruh hartanya kepada Momo sebagai anak angkatnya dan

menitipkan Al Qur’an yang akan mengajarkan segala sesuatu

kepada Momo. Wasiat Ibrahim dapat diinterpretasikan bahwa

ia mewariskan kebijakan yang ia dapatkan dari kitab

sucinya kepada Momo. ‘Je sais ce qu’il y a dans mon Coran’4 yang

beberapa kali dikatakan Ibrahim secara eksplisit

merupakan kata kunci untuk memahami kebijakannya. Satu

menit terakhir dari Monsieur Ibrahim merupakan akhir yang

sangat penting. Akhir sebuah film mampu mengungkapkan apa

2 Karya Fritjof Capra (2000), The Tao of Physics, secara kritis analitis melihat bagaimana transformasi budaya selanjutnya perlu didasarkan pada paradigma yang dinamis dan holistis. Dalam hal ini, ia merujuk pada ajaran Tao. Capra percaya bahwa kekurangan pada paradima Cartesian-Newtonian Barat yang mengutamakan rasio akan diimbangi oleh paradigma yin dan yang yang holistis (rasional-spiritual) dalam Tao. Karya Sukidi (2002) mendukung Capra dalam memperlihatkan ajaran-ajaran spiritual Timur dan pagan dikonsumsi oleh Barat untuk mengimbangi kekeringan spiritual dan degradasi moral Barat. 3 Adegan ini memperlihatkan bahwa selama pembacaan wasiat terlihat sipengacara yang sibuk menerima telpon dari ibunya sedangkan Momo menanti-nanti kapan akan dibacakan surat tersebut sampai tuntas. Akhirnya ia mengambil surat tersebut dan membacanya sendiri.4 Saya tahu apa yang ada di dalam Al Qur’an saya. (terj.)

9

Page 10: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh para

penciptanya. Gambar 7 menunjukkan bahwa Momo remaja kini

telah dewasa dan bekerja menjaga toko Ibrahim yang

diwariskan kepadanya. Ia juga bertemu dengan seorang anak

lelaki yang masih sangat muda dengan nama yang sama:

Momo. Dan Momo dewasa bertindak seperti Ibrahim dulu.

Akhir cerita yang membuat alur menjadi siklik dapat

diinterpretasikan sebagai perjalanan kembali dari Timur

ke Barat. Perjalanan kembali itu secara simbolik

menggambarkan hasil dari perjalanan yang dilakukan oleh

Momo yaitu seorang warga negara di benua Eropa yang

‘menjadi’ seorang Timur (dalam hal ini Turki) di dalam

jiwanya. Ia seorang remaja Eropa di permukaan (tampilan

luar) yang mengalami perubahan paradigma di dalam

dirinya. Penekanan yang dilakukan oleh para pembuat

Monsieur Ibrahim bukan pada permasalahan perpindahan agama,

karena informasi tentang perpindahan agama Momo dari

Yahudi ke Islam tidak ada di dalam film. Akan tetapi,

akhir yang membuat Momo ‘menjadi’ Ibrahim dengan

menggunakan baju penjaga toko milik Ibrahim, di toko yang

sama, dengan pengaturan toko yang tidak berubah

mengesankan bahwa Ibrahim ‘terlahir kembali’ pada Momo

dewasa.

Jika dikaitkan dengan wacana Barat-Timur, akhir alur

yang siklis dapat dimaknai bahwa perjalanan kembali Barat

ke Timur menghasilkan Barat (di permukaan atau di luar)

yang ‘menjadi’ Timur (di dalam) dan bernuansa Timur.

Perjalanan kembali dari Timur ke Barat membuat Timur

10

Page 11: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

‘terlahir kembali’. Akhir alur yang bersifat siklis

merupakan representasi dari luruhnya batas-batas pusat

dan pinggiran. Makna dari perjalanan melintas batas-batas

adalah perjalanan pengetahuan dan pengalaman dalam

berbagai budaya yang berbeda untuk mendapatkan wawasan

diri yang lebih baik. Baik dalam konteks Momo-Ibrahim

maupun dalam konteks Barat-Timur, perjalanan ‘menjadi’

dengan cara mengetahui dan mengalami budaya yang lain

bahkan yang pernah dianggap rendah oleh ‘yang memandang’

merupakan perjalanan penemuan diri sendiri.

Perjalanan melintas batas itu hanya mungkin

dilakukan oleh orang-orang yang bersedia mengadopsi

pandangan hidup anti-esensialis dan inklusif yang akan

membantu para pelakunya lepas dari persangkaan budaya.

Dalam konteks Monsieur Ibrahim, perjalanan melintas batas

mungkin dilakukan karena keduanya lepas (melepaskan diri)

dari hegemoni budaya komunal. Ibrahim adalah seorang

Turki-Muslim yang hidup seorang diri, tidak memiliki

komunitas yang membuatnya harus melakukan negosiasi.

Demikian pula dengan Momo yang melakukan tindakan yang

sangat berani dengan menolak kehadiran ibunya dan memilih

bersama Ibrahim. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa

Muslim dan Yahudi di Prancis pada umumnya hidup di ghetto

dan distrik yang merupakan batas paling jelas dalam

pengkategorian identitas, sehingga budaya komunal masih

terasa ketat. Baik Ibrahim maupun Momo terlepas dari

hegemoni budaya kelompoknya masing-masing. Mereka adalah

individu-individu yang ‘keluar’ dari kelompoknya dalam

11

Page 12: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

arti simbolis maupun praktis. Dalam hal itu, mereka

menjadi individualis yang tidak dipengaruhi oleh budaya

komunal.

Representasi ruang pusat dan pinggiran merupakan

bagian penting dalam mengkonstruksi kondisi multikultur

dalam Monsieur Ibrahim. Hal itu tidak hanya ditampilkan

melalui perubahan ruang sebagai bagian dari framing dan

mise en scene, namun secara naratif memiliki makna penting

untuk menyampaikan pesan tentang perjalanan melintasi

batas-batas ruang sosial dan wacana.

Representasi Agama dan Spiritualitas Urban

a. Islam dan Yahudi sebagai Agama Dunia

Dalam sejarah Prancis-Katolik, posisi Islam dan

Yahudi adalah agama dan kelompok minoritas agama yang

marjinal. Secara konstitusional, semua orang punya hak

yang sama di depan hukum, namun dalam kenyataan sehari-

hari, kelompok minoritas tersebut merasakan perlakuan

yang berbeda (Ramadhan, 2004: 715 dan Silverman, 1999:

156). Kesamaan posisi marjinal keduanya ditampilkan dalam

5 The fallout from political situations in Muslim countries and the active interests, and sometimes manipulations, of governments cast a very negative light on Muslims living in theWest and give rise to a whole range of prejudices and preconceived ideas about Islam and Muslims. The consequence is that laws, whose letter protects the rights of Muslims, are read, interpreted and used tendentiously because of the atmosphere of suspicion and so become the “official” and legitimate justification for obvious acts of discrimination.[…] Well before 11 September 2001 and the outrages in the United States, Muslims were already experiencing every day the reality of suspicion and discrimination.

6 Jew and Judaism are perceived as ‘other’ to ‘Christian Europe’, ‘other’ to rationality, logocentrism and the law, and ‘other’ to the autonomous and self-constituted self at the heart of Western ‘Hellenic’ humanistic philosophy.

12

Page 13: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Monsieur Ibrahim yang membuat film tersebut menjadi kisah

tentang marjinalitas.

Representasi agama di dalam film diperlihatkan

terutama melalui identitas keagamaan para tokoh yaitu

Momo yang Yahudi-Prancis dan Ibrahim yang Muslim-Turki.

Identitas tersebut juga ditampilkan melalui beberapa

ungkapan Ibrahim berikut ini.

Ibrahim: Je ne sais rien... Je sais juste ce qu’il y a dans mon Coran. Tu sais, le début, c’est bien devient un professionel. Mais après, quand tu es le maître, avec la complication des sentiments... Tu auras apprécié les novices.Momo: Vous y allez, vous... À votre âge. Ibrahim: Le ciel, il est à tout le monde, il n’est pas les affaires aumineur.

Ibrahim: Saya tidak tahu apa-apa... Saya hanya tahuapa yang ada di dalam Al Qur’an saya. Kamu tahu,pada awalnya sangat bagus menjadi seorangprofesional. Tetapi setelah itu, ketika kamumemimpin, dengan keruwetan perasaan... Kamu akanmenghargai para pemula.Momo: Anda juga menjadi begitu... Di usia Anda.Ibrahim: Akhirat itu milik semua orang, itu bukanpermasalahan sekelompok orang saja.

Pada kutipan di atas terlihat beberapa kata yang terkait

dengan agama seperti Coran (Al Qur’an), les novices (para

pemula) dan le ciel (akhirat). Dalam adegan di atas, Momo

dan Ibrahim tengah membicarakan tentang kehidupan

profesional yang berat dan akhirnya memiliki permasalahan

spiritual. Ketika saatnya tiba, orang perlu mulai

memikirkan tentang hal-hal yang lebih abstrak dan berada

di luar dirinya sendiri yang diacu oleh Ibrahim dengan

kata ‘le ciel’. Kata-kata yang mewakili agama tersebut

13

Page 14: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

berurutan mulai dari yang khusus, yaitu Coran sebagai

kitab suci umat Islam, kemudian les novices yang lebih jamak

digunakan untuk mengacu pada para calon pendeta Kristen,

dan terakhir le ciel yang mengacu pada sebuah konsep yang

lebih umum dan awam tentang agama, yang merupakan

representasi dari hal-hal yang terkait dengan Tuhan.

Dalam adegan lain, Ibrahim membicarakan tentang

peranan Tuhan dalam kehidupan. Ia mengatakan pada Momo

bahwa “Si Dieu veut te révéler la vie, Il n’a pas besoin d’un livre”. Dalam

hal ini, ia mengacu pada keinginan Momo, seorang Yahudi,

untuk membaca Al Qur’an. Bagi Ibrahim, permasalahannya

bukan pada ia membaca atau tidak membaca kitab suci

tersebut, namun pada sifat ketuhanan sendiri yang akan

membukakan petunjuk pada siapa pun yang dikehendaki.

Kutipan berikut ini memperlihatkan tentang kesamaan

antara kedua agama yang dialami oleh Momo yaitu tentang

permasalahan penyunatan.

Momo: Moi aussi, vous êtes circoncis.Ibrahim: Les musulmans, comme les juives.Momo: Donc, vous pourriez être un juif.Ibrahim: C’est ma main, c’est ma bouche.Momo: Je comprends pas.Ibrahim: Peut être tu comprendrais avec ta tête.

Momo: Seperti saya, Anda juga disunat.Ibrahim: Muslim sama dengan Yahudi.Momo: Kalau begitu, Anda bisa menjadi seorangYahudi.Ibrahim: Ini tangan saya, ini mulut saya.Momo: Saya tidak mengerti.Ibrahim: Mungkin kelak kamu akan memahaminya denganpikiranmu.

14

Page 15: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Dalam hal praktik ibadah, kedua agama mengenal beberapa

praktik yang sama, yang salah satunya adalah penyunatan

bagi lelaki. Neusner, Sonn dan Brockopp (2000)

menunjukkan bahwa kesamaan praktik tersebut juga terdapat

dalam masalah berdoa, memberikan sumbangan, perkawinan,

perceraian, berzakat, dan berpuasa. Sebagaimana dikatakan

oleh Ibrahim, bahwa orang Muslim juga seperti Yahudi.

Ketika Momo menyatakan bahwa Ibrahim juga dapat menjadi

Yahudi karena kesamaan tersebut, jawaban Ibrahim adalah

‘ini tanganku, ini mulutku’. Ungkapan itu menunjukkan

bahwa permasalahan agama merupakan sebuah pilihan

individu.

Melihat persamaan dua agama, Islam dan Yahudi,

merupakan langkah yang sangat penting dalam memahami

kondisi multikultur dalam film Monsieur Ibrahim. Kedua

agama tersebut memiliki hubungan yang buruk dalam sejarah

masing-masing, dipenuhi oleh kisah-kisah pengkhianatan,

pembunuhan, dan agresi wilayah. Dalam naratif besar

Islam, Yahudi adalah kelompok yang di’kisah’kan sebagai

kaum yang mengkhianati perjanjian dengan Tuhan,

mengkhianati perjanjian dengan nabi-nabi, dan yang masih

sangat relevan adalah mengkhianati perjanjian perdamaian

dengan bangsa-bangsa mayoritas Muslim di dunia masa kini.

Stigma itu melekat erat pada Yahudi dan Yudaisme. Bagi

kaum muslim, menghilangkan stigma tersebut sangat sulit,

karena telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif dan

kesejarahan. Upaya menampilkan persahabatan antara dua

pemeluk agama tersebut dalam Monsieur Ibrahim merupakan

15

Page 16: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

langkah untuk melintasi batas-batas tradisi yang berakar

dari prasangka historis pada kedua agama.

Adegan lain yang memperlihatkan representasi agama

dan menguatkan lintas batas-batas tradisi adalah

perjalanan Momo dan Ibrahim ke tempat-tempat ibadah umat

beragama yang lain, yaitu Kristen dan Islam. Perjalanan

tersebut merupakan perjalanan untuk membentuk wawasan

Momo terhadap dunia yang berada di luar dirinya dan rue

Bleu. Adegan ini menunjukkan bahwa dalam film ini,

representasi agama ditampilkan selain melalui Islam dan

Yahudi juga melalui Kristen Ortodox dan Katolik. Wawasan

Momo tentang agama-agama lain dibuka oleh Ibrahim melalui

sensitifitas inderawi, yaitu mendengarkan dan mencium

bau. Pendekatan Ibrahim memperkenalkan agama-agama bukan

melalui logika dan argumentasi, sehingga dalam

representasinya, agama dapat dimaknai sebagai bagian dari

kehidupan yang dapat dirasakan, sama seperti merasakan

tarian atau dansa (melalui pendengaran dan gerakan), atau

mencium bau. Agama direpresentasikan sebagai sesuatu yang

empiris dan praktis, bukan sebagai abstraksi kata-kata

yang sukar dipahami melalui buku dan kitab-kitab suci.

Cara Ibrahim memandang agama sebagai sebuah penghayatan

sejalan dengan pandangan seorang pemikir Islam dari

Prancis, Mohammad Arkoun, yang mempopulerkan pengkajian

kembali terhadap teks-teks suci agama Islam, menggunakan

metode yang lebih progresif agar Islam selalu sejalan

dengan perkembangan jaman. Ia mengatakan bahwa „semua

16

Page 17: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

penyelidikan diarahkan untuk Islam yang dihayati, bukan Islam

yang ditulis“ (2000: x).

Upaya melintas batas tradisi melalui penghayatan

agama tersebut berlandaskan pada suatu gagasan bahwa

semua agama di dunia melakukan pemujaan terhadap satu

Tuhan. Tuhan yang dimaksudkan adalah Tuhan yang sama,

namun disebut secara berbeda dan dipersepsi secara

berbeda, sehingga jalan pemujaannya pun berbeda. Tuhan

diterima oleh setiap kelompok di suatu jaman berdasarkan

konsepsi yang khusus pada jaman tersebut. Oleh sebab itu,

konsep Tuhan adalah konsep yang selalu kontekstual dan

fleksibel, karena ia selalu terikat pada ruang dan waktu

(Armstrong, 2001:20). Tuhan Yahudi dan Tuhan Islam adalah

Tuhan yang sama, namun Tuhan dipersepsi oleh orang Yahudi

sebagai Tuhan yang terlibat dalam kehidupan keseharian

mereka, ikut serta dalam berbagai peristiwa yang dialami

oleh bangsa Israel (Armstrong, 2001:40). Sementara Tuhan

orang Islam (yang ditampilkan oleh Al Qur’an) adalah

Tuhan yang Satu, yang transenden, tidak langsung

menyentuh, dan terlibat dalam realita kehidupan, namun

selalu ada (Armstrong, 2001:203). Perbedaan persepsi

tentang Tuhan tersebut memunculkan perbedaan dalam cara

memuja Tuhan.

Menarik untuk dipertimbangkan bahwa Monsieur Ibrahim

mengambil latar waktu cerita berkisar antara tahun 1960-

an hingga 1990-an. Periode tersebut merupakan masa

perubahan paradigma yang sangat signifikan dalam cara

masyarakat Barat mempersepsi agama. Representasi agama

17

Page 18: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

yang ditampilkan oleh Monsieur Ibrahim memperlihatkan

kontekstualitas yang sejalan dengan laju perkembangan

jaman. Perspektif baru yang memunculkan wacana melintas

batas tradisi masing-masing agama berkembang seiring

pemikiran Barat yang semakin simpatik terhadap ajaran-

ajaran Timur dan ajaran-ajaran tradisional yang mengajak

manusia mengenal Tuhan. Sejak tahun 1960-an, wacana

tersebut dipopulerkan melalui kelompok-kelompok studi

yang membicarakan tentang Pencerahan yang didapat melalui

eksplorasi terhadap Tuhan. Popularitas wacana tentang

Pencerahan tersebut bergaung dengan munculnya istilah

New Age7 (Sukidi, 2001). Saat ini, gerakan-gerakan yang

mencerminkan semangat New Age tersebut dapat dijumpai

sebagai bagian dari spiritualitas urban8.

New Age mempopulerkan tradisi mistik dan

mengetengahkan tradisi tersebut dalam kerangka berpikir

rasional bahwa akal dan hati memiliki satu tujuan, yaitu

mengenal Tuhan, mengenal diri sendiri. Penyatuan kembali

antara akal dan intuisi ketuhanan memasuki wacana yang

semakin meluas, hingga ke permasalahan gender,

lingkungan, dan politik. Visi New Age adalah melintasi

perbedaan-perbedaan untuk mengenal inti kemanusiaan.

7 Perkembangan New Age terkait erat dengan kemunculan aliran filsafatperennial yang mempopulerkan gagasan bahwa semua agama di dunia bertujuan mendapatkan kebijaksanaan (sophia). Lihat juga Emmanuel Wora, Perennialisme (2004) dan Komaruddin Nafis, Agama Masa Depan (2003).8 Dalam novel Sang Zahir, Paulo Coelho (Gramedia, 2006) menggambarkankelompok-kelompok subkultur di daerah urban Paris yang menghidupkan etno-religi dengan mengambil sumber religi masyarakat nomad Azerbaijan, salah satu bekas negara bagian Rusia.

18

Page 19: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Melintasi batas-batas merupakan mentalitas penganut New

Age.

Kemunculan film Monsieur Ibrahim pada tahun 2003

dengan menampilkan tokoh-tokoh Islam dan Yahudi, dan

lebih spesifik lagi, wajah sufisme Islam. Gejala-gejala

tersebut dapat dikaitkan dengan gerakan New Age yang

terus mempopulerkan tradisi mistik agama-agama dan

menguatkan asumsi bahwa tradisi spiritual dalam agama

baik monotheis maupun pagan, dapat menjadi kunci untuk

menyatukan agama-agama. Popularitas tradisi spiritual

agama-agama monotheis di Prancis sendiri diawali oleh

seorang filosof muslim perennialis, yang juga seorang

Prancis keturunan Jerman dari Alsace, Fritjof Schuon.

Secara akademis, uraian-uraian Schuon tentang doktrin

metafisika dalam agama-agama monotheis secara mengagumkan

dapat diterima oleh penganut semua agama yang ia

bicarakan (Budhy Munawar-Rachman dalam Hidayat dan Nafis,

2003: 27). Selanjutnya akademisi Prancis lain yang juga

mempopulerkan tradisi spiritual Islam di Prancis adalah

René Guénon yang dianggap sebagai salah satu akademisi

penting dalam kajian Barat atas sufisme Islam. Dapat

disimpulkan bahwa film Monsieur Ibrahim dimungkinkan untuk

diciptakan di Prancis dengan membawa pesan tentang

perdamaian dan dialog antar budaya, karena adanya faktor-

faktor eksternal secara budaya dan historis yang

mendukung penciptaan tersebut.

19

Page 20: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

b. Wisata Spiritual9: Melintasi Tradisi Agama

Pesan-pesan untuk melintas batas tradisi keagamaan

dalam Monsieur Ibrahim terlihat pada beberapa adegan yang

mengisahkan perjalanan mereka ke gereja dan ke masjid.

Ibrahim mengajak Momo untuk membuka pikirannya (pour ouvrir

le sens10) dengan melakukan wisata spiritual dalam

perjalanan mereka ke Turki yang dimulai dari gereja

Katolik, gereja Ortodoks, kemudian masjid, dan diakhiri

dengan tarian darwis yang menjadi kekhasan sufisme

Naqsyabandi.

Ibrahim dan Momo bersama-sama membuka pikiran

terhadap apa yang dianggap asing bagi mereka. Ketika

jalan untuk berdialog telah terbuka, maka identitas

menjadi sesuatu yang dapat terus menerus dinegosiasikan.

Perbedaan dan persamaan dapat didialogkan. Setelah

berakhirnya wisata spiritual mereka, Momo mengatakan “je

me sens soulagé, il n’y a plus de haine dedans”11. Komentar Momo

tersebut memperlihatkan optimisme terhadap semangat untuk

melintasi batas tradisi dan menemukan kedamaian dengan

cara tersebut.

Monsieur Ibrahim menekankan pentingnya spiritualitas

sebagai aktifitas pengenalan Tuhan. Setiap agama memiliki

tradisi dan kultus untuk meningkatkan spiritualitas. Oleh

karena semua agama membicarakan hal yang sama dalam

spiritualitas, maka melintasi tradisi agama untuk

mengenal Tuhan diperkenalkan dalam Monsieur Ibrahim sebagai9 Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001.10 Untuk membuka indera.11 Aku merasa lega, tidak ada lagi kebencian di dalam diriku.

20

Page 21: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

wacana yang dapat menjadi jalan mempertemukan perbedaan

dan menghasilkan perdamaian.

Melintasi tradisi agama bukan berarti berpindah

agama. Hal itu menjadi titik tekan dalam Monsieur Ibrahim.

Konversi Momo ke Islam tetap menjadi tanda tanya, hingga

film berakhir, karena bukan konversi atau ekspansi agama

yang penting untuk mempromosikan perdamaian, akan tetapi

upayanya untuk membuka akal dan memahami Tuhan melalui

tradisi sufisme Islam, hingga berhasil membawanya ke

kedamaian. Dalam salah satu adegan di Turki, setelah

menikmati tarian darwis bersama Ibrahim, Momo mampu

merasakan bahwa “Ma tête s’est vidée… Toute ma haine… C’est ça prier?”

(Pikiran saya kosong… Semua kebencian saya… Apakah berdoa

seperti itu?). Sambil mengatakan hal tersebut, Momo

berbicara seperti merenung dan berjalan di samping

Ibrahim yang mendengarkannya sambil tersenyum. Kalimat-

kalimat yang diungkapkan oleh Momo memang tidak lengkap

namun dari nada bicara yang sedikit heran dan bingung

dapat disimpulkan bahwa ia merasakan perubahan dalam

dirinya dan pertanyaannya kepada Ibrahim “apakah berdoa

seperti itu?” menunjukkan betapa pengalaman itu sangat

baru dan mengherankan baginya. Hal itu menunjukkan bahwa

wisata spiritual dapat menjadi sebuah gagasan yang

optimistik dalam mempromosikan kedamaian dan perdamaian.

c. Sufisme sebagai Tradisi Spiritual dalam Islam

Monsieur Ibrahim mengangkat masalah spiritualitas

agama sebagai wacana dominan dan meminggirkan wacana

21

Page 22: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

hukum dalam agama. Hal itu terlihat pada perenungan Momo

tentang legalisme dan sufisme. Sufisme dalam definisi

yang ia baca adalah “courant mystique de l’Islam de 8e siècle, opposé

au légalisme. Il met l’accent sur la réligion intérieure”12. Selanjutnya

definisi legalisme yang ia baca adalah “soucis de la respect à

la loi”13. Dalam perenungannya, Momo berpikir Ibrahim

mewakili sufisme sedangkan ayahnya mewakili legalisme. Ia

mengatakan dalam pikirannya (melalui voice-off),ӂa veut dire

qu’il oppose à la loi, qu’il n’est pas toujours honnête. Si respecter la loi c’est

comme lui, c’est trop triste”14, sambil melihat ayahnya yang

sedang membaca koran dari belakang. “Je préfères contre

légalisme. Réligion intérieure… C’est ennuyeux le dictionnaire, il y a toujours

un mot qu’on ne comprends pas. Réligion intérieure…”15 Ia

menyimpulkan bahwa lebih baik memilih sufisme daripada

legalisme. Cara berpikir Momo yang naif tersebut dapat

dikatakan sebagai kritik terhadap legalisme agama yang

dalam praktiknya kerap kali kaku dan menimbulkan rasa

takut. Perenungan Momo tersebut menegaskan keanehan

Ibrahim yang di sepanjang film ditampilkan hanya sekali

sedang berdoa ketika ia berada di masjid di Turki.

Monsieur Ibrahim merepresentasikan agama tidak dari aspek

formal agama dengan ritus-ritus ibadah sehari-hari dan

cara berpakaian, namun dari aspek spiritual, yaitu cara

12 Aliran mistik dalam Islam yang berkembang sejak abad ke-8 yang menekankan pada kultus batin.13 Aliran yang menghormati kesempurnaan syariat agama.14 Berarti dia (Ibrahim) berlawanan dengan syariat agama, dia tidak selalu jujur. Jika menghormati syariat berarti seperti dia (ayah Momo), itu terlalu menyedihkan.15 Saya lebih suka bertentangan dengan legalisme. Kultus batin... Kamus memang menyebalkan, selalu ada kata yang tak dimengerti. Kultus batin...

22

Page 23: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

yang dilakukan oleh seorang penganut agama (dalam hal ini

Ibrahim) untuk menghidupkan keyakinannya terhadap Tuhan

dalam kesehariannya. Hal itu menjadikan Monsieur Ibrahim

memasuki wilayah esoteris agama16.

Ibrahim tidak pernah mempermasalahkan perbedaan

keyakinan antara dirinya dan Momo, karena ia tahu bahwa

pada tingkat formal, perbedaan itu dapat menjadi sumber

perselisihan. Ia membicarakan hal-hal yang dapat mereka

alami bersama tanpa pretensi seperti mengajarkan tentang

senyum, kebersamaan, keindahan, dan cinta. Ia tidak

pernah menggunakan ayat-ayat Al Qur’an secara harafiah

untuk membicarakan hal-hal tersebut kepada Momo. Ia

menyampaikan makna-makna yang ia pahami dari Al Qur’an.

Tentang senyum ia mengatakan pada Momo,”C’est sourire qui te

rends heureux”17. Pada bagian lain ia mengatakan,” La beauté,

elle est partout, où tu regards, ça s’est dans mon Coran”18. Sementara

tentang cinta, Ibrahim menjelaskan tentang pentingnya

arti memberi dalam cinta,”Ce que tu donnes, c’est à toi pour

toujours. Ce que tu gardes, ce serait disparu pour toujours”19. Ia juga

membicarakan tentang memahami hidup dan mendapatkan

kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Sekali lagi, dalam

hal pelajaran-pelajaran tersebut, Ibrahim harus

diposisikan sebagai seorang penganut agama yang

16 Dalam kajian saya yang lain tentang aspek sinematografi film MI yaitu teknik pemilihan sound yang menimbulkan kesan misterius pada tokoh Ibrahim sangat mendukung nuansa penuh teka-teki dalam film Monsieur Ibrahim (lihat tesis Rosida Erowati di sub bab 3.2.1)17 Senyuman-lah yang akan membuatmu bahagia.18 Keindahan itu ada dimana-mana, dimanapun kamu memandang, itu ada dalam Al Qur’an-ku.19 Apa yang kau berikan menjadi milikmu selamanya. Apa yang kau simpan akan hilang selama-nya.

23

Page 24: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

menghayati agamanya. Hal itulah yang menyebabkan ia dapat

menarik pelajaran dan makna dari ajaran-ajaran agamanya.

Baginya, agama bukan sebuah keharusan, namun sebuah

kebutuhan yang perlu dipenuhi.

Di dalam Islam sendiri, sufisme merupakan

kecenderungan keagamaan yang pinggiran jika dibandingkan

dengan tradisional dan salafi20. Sufisme dibicarakan dalam

Monsieur Ibrahim sebagai bagian dari kecenderungan

keagamaan yang dipilih oleh si tokoh utama, Ibrahim.

Kecenderungan tersebut dikenal secara luas tapi tidak

terlalu populer di kalangan Muslim, dalam artian tidak

dipraktikkan oleh sebagian besar kaum Muslim21. Pemilihan

sufisme sebagai bagian dari karakter tokoh utama tersebut

sangat menarik dalam kaitannya dengan kondisi

multikultur.

Pemilihan judul Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran juga

dapat dikaitkan dengan pemilihan tradisi sufisme dalam

film ini. Sebagai sebuah praktik penghayatan terhadap

Islam, sufisme mengangkat simbol-simbol alam sebagai

bagian dari analogi untuk menggambarkan cinta kepada

Tuhan. Sufi-sufi terkenal seperti Al Hallaj dan Rumi

menggunakan simbol-simbol alam dalam puisi-puisi sufistik

20 Lihat h. 24-28 tentang pembagian kecenderungan keagamaan dalam Islam (scholastic tradi-tionalism, salafi literalism, salafi reformism, political literalist salafism, liberal reformism dan sufism) dalam Tariq Ramadhan, Western Muslims andthe Future of Islam terbitan Oxford University Press (2004). Pembagian tersebut didasarkan pada cara masing-masing aliran mendekati Teks (Al Qur’an).21 Idem, h.28, Ramadhan memperlihatkan bahwa sufisme di kalangan Muslim berkembang melalui kelompok-kelompok persaudaraan internasional berdasarkan aliran-aliran tarikat yang ada dalam sufisme seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Shadiliyyah.

24

Page 25: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

mereka. Les Fleurs du Coran atau bunga-bunga Al Qur’an dapat

dimaknai secara referensial sebagai ayat-ayat Al Qur’an.

Penggunaan metafor bunga-bunga menunjukkan perbandingan

antara Al Qur’an sebagai kitab suci dengan alam. Bunga

secara umum memiliki konotasi keindahan, keharuman dan

kecantikan. Ketiga konotasi tersebut inheren dalam film

Monsieur Ibrahim yang sebagaimana dijelaskan sebelumnya

membicarakan aspek esoteris dari agama. Monsieur Ibrahim

berbicara tentang senyum sebagai sumber kebahagiaan,

keindahan dalam semua aspek kehidupan dan sensitifitas

inderawi yang bukan hanya penciuman, tetapi juga

pendengaran. Konotasi-konotasi tersebut juga muncul dalam

mise-en-scene yaitu melalui pemilihan gambar bunga serta

langit dan panorama alam. Pemilihan-pemilihan tersebut

membentuk pemaknaan tertentu terhadap les fleurs du Coran yang

dimaksudkan dalam film. Bunga-bunga Al Qur’an adalah

pemaknaan metaforis terhadap sifat Al Qur’an sebagai

kitab yang memberi petunjuk dan kebijakan hidup kepada

para penganutnya. Jika dipahami dan dihayati secara

mendalam, maka para penganutnya dapat merasakan dan

menghayati Al Qur’an seperti merasakan dan menikmati

harum dan indahnya bunga-bunga.

Pemilihan seorang sufi sebagai tokoh utama Monsieur

Ibrahim menegaskan ideologi dalam film yang mengangkat

marjinalitas. Monsieur Ibrahim mendemokratisasi

marjinalitas tradisi sufi, membuat sufi dapat dinikmati

oleh lebih banyak orang melalui media film. Dengan

menampilkan sufi, Monsieur Ibrahim melepaskan kegarangan

25

Page 26: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

wajah Islam yang direpresentasikan dalam film-film Barat

pasca WTC dan mempromosikan tradisi spiritual dalam Islam

yang selama ini terpinggirkan. Monsieur Ibrahim menunjukkan

bahwa kebaikan agama dapat dirasakan jika agama digunakan

untuk memahami Tuhan.

d. Sufisme dan Eksotisme Timur

Dalam penokohan, Monsieur Ibrahim mengikuti sebuah

pola representasi yang khas pandangan Perancis terhadap

Islam, yaitu memandang agama yang dianut M. Ibrahim bukan

sekedar sebagai agama, namun juga sebuah jalan hidup

‘oriental’, yang eksotik (Safran 1991: 33). Pola

representasi tersebut khas jika dikaitkan dengan

orientalisme Barat. Ibrahim tidak ditampilkan sebagai

seorang muslim yang menjalankan agamanya secara kaku,

namun secara fleksibel dan mempertimbangkan konteks. Bias

tersebut terlihat pada representasi Ibrahim sebagai

seorang penganut sufisme Turki yang unik, penuh misteri,

tak terduga, dan memiliki daya tarik eksotisme Timur.

Ibrahim yang berkarakter eksotis (secara naratif) menyatu

dengan eksotisme pemerannya yaitu Omar Sharif.

Representasi Ibrahim lekat dengan ‘ketimuran’ bukan

hanya ‘keislaman’. Ibrahim ditampilkan lekat dengan kode

budaya yang khas timur seperti menikmati tarian darwis.

Dikatakan khas timur karena jika Islam dipandang dari

perspektif normatif maka tarian darwis tidak terdapat

pada berbagai literatur utama agama Islam seperti Al-

Qur’an dan Hadits. Maka dapat dikatakan bahwa tarian

26

Page 27: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

darwis merupakan salah satu corak lokal keberagamaan di

Turki.

Eksotisme dalam representasi agama dalam Monsieur

Ibrahim dapat dikaitkan dengan semangat New Age yang telah

dijelaskan sebelumnya. Tampilnya Islam dalam nuansa Timur

mengukuhkan gagasan bahwa Islam merupakan bagian dari

agama-agama dunia yang dapat menjadi salah satu jalan

menemukan kedamaian.

Melintas Batas: Wacana pada Masyarakat Urban

Pembahasan di atas yang terfokus pada masalah ruang

dan spiritualitas dalam konteks pinggiran dan pusat pada

masyarakat urban Paris menunjukkan optimisme untuk

mempromosikan wacana lintas batas sebagai strategi untuk

menghasilkan identitas yang cair, fleksibel, dan

inklusif. Wacana lintas batas dalam masyarakat urban yang

direpresentasikan dalam film Monsieur Ibrahim merupakan

bagian dari pengalaman masyarakat urban yang sangat lekat

dengan perpindahan, fleksibilitas, dan penemuan hal-hal

baru yang dalam istilah Michel de Certeau disebut

wandering (berkelana)22.

22 Dalam artikelnya “Walking in the City” (dalam During, 2003: 126-132), de Certeau menggambarkan bagaimana tata kota Paris membuat orang-orang Paris terkadang memilih melewati jalan yang berbeda-bedauntuk menuju suatu tempat. Hal ini dilakukan lebih karena alasan menemukan hal-hal baru.

27

Page 28: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Daftar Pustaka

Arkoun, M. 1984. Membedah pemikiran Islam. Diterjemahkan

oleh Hidayatullah.

Bandung: Pustaka.

Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

Capra, Fritjof. 2000. Titik balik peradaban: sains, masyarakat, dan

kebangkitan

kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyibi.

Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya.

De Certeau, Michel. 2003. “Walking in the City” dalam

Cultural Studies Reader (2nd

edition) ed. Simon During. London: Routledge.

Gildea, Robert. 2002. France since 1945. New York: The

Oxford University

Press.

28

Page 29: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Giles, Judy, dan Tim Middleton. 1999. Studying culture: A

practical introduction.

London: Blackwell.

Hall, Stuart, ed. 1997. Representation: cultural representations and

signifying

practices. London: Sage Publications dan The Open

University.

Hargreaves, Alec C., dan Mark McKinney. 1997. Post-colonial

cultures in

France. London: Routledge.

Hidayat, Komarudin dan Nafis, Muhammad Wahyudi. 2003.

Agama Masa

Depan:Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Neusner, Jacob, Tamara Sonn dan Jonathan E. Brockopp.

2000. Judaism and

Islam in practice: a sourcebook. London: Routledge.

Ramadhan, Tariq. 2004. Western Muslims and the Future of Islam.

New York:

Oxford University Press.

Safran, William. 1991. The french polity. 3rd ed. New York:

Longman.

Silverman, Max. 1999. Facing Postmodernity: Contemporary French

thought on

culture and society. London: Routledge.

Sukidi. 2001. New Age: wisata spiritual lintas agama. Jakarta:

Gramedia.

29

Page 30: Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film

Film:

Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (François

Dupeyron)

Jurnal:

Cadence. Jurnal Pengajaran Bahasa, Budaya dan Sastra

Prancis edisi 20/ Desember 2005.

30