TESIS KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN
MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN
INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN
MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN
INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG
NIM 1014108104
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN
MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN
INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
`
RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG
NIM 1014108104
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 5 JANUARI 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. IB. Gde Sudjana, SpAn, KAO, M.Si dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn.KAR
NIP. 19550711 198312.1.001 NIP .19730123 200801.1.006
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A. Raka
Sudewi, SpS(K)
NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 5 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
Nomor 029/ UN. 14.4/ HK/ 2014 Tertanggal 2 Januari 2015
Pembimbing I : dr. Ida Bagus Gde Sudjana, SpAn, MSi
Pembimbing II : dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn. KAR
Penguji : 1. Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO
2. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC
3. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV. SH
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa, karena hanya atas anugerah-Nya, tugas penyusunan tesis ini
dapat terselesaikan. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga
dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di
bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.
Kepada Prof. Dr. dr.Ketut Suastika, SpPD, KEMD, selaku Rektor Universitas
Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan spesialis di Universitas Udayana.
Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K), MKes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan
menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV,selaku Ketua TKP PPDS I
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program
pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP
Sanglah, penulis menyampaikan terimakasih atas kesempatan yang diberikan
untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah
Denpasar.
Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena
telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi
ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana.
Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis
mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan,
inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program
pendidikan dokter spesiali sini.
Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi, selaku Sekretaris Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta
selaku pembinbing satu, penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat
setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi baik selama
penulis menyusun karya akhir ini maupun selama penulis mengikuti program
pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO, selaku Ketua
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan
yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program
pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR, selaku Sekretaris
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah
diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn.KAR, selaku pembimbing
dua, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas
bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi yang telah diberikan dalam penulisan
dan penyusunan karya akhir ini.
Kepada dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah
memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi.
Kepada semua guru: dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti
Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN; Dr. dr. I
Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr. dr.I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes,
KNA, KMN; dr.Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I Wayan Arya biantara,
SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya
Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr. IGAG Utara
Hartawan, SpAn, MARS; dr.Pontisomaya Parami, SpAn, MARS; dr. I Putu
Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi
Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus
Krisna Jaya Sutawan, SpAn, MKes dan dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan yang telah
diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, selaku pembimbing
statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan
penelitian ini.
Kepada semua senior dan rekan–rekan residen anestesi, penulis mengucapkan
terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalani
program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua
bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini, kepada
segenap penata anestesi, paramedis dan seluruh karyawan yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini.
Kepada kedua orang tua, Bapak A. Simatupang dan Ibu St. N. br.
Simanungkalit (Alm.) yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih
sayang yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat
dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik,
penulis menghaturkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Istri tercinta, Lestari Naomi
Lydia Pandiangan, S.si, M.si serta anakku terkasih Maleakhi Joseph Samuel
Simatupang atas pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis
menjalani masa pendidikan.
Serta terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan
spesialisasi ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya
kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak
bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses
pendidikan dan penyusunan tesis ini.
Denpasar, Desember 2014
dr. Renol Hamonangan Simatupang
ABSTRAK
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI
SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT
SANGLAH DENPASAR
Renol Hamonangan Simatupang
Penyebab terbanyak dalam kasus kesulitan intubasi diakibatkan oleh
karena kesulitan dalam memvisualisasi laring. tidak adanya faktor anatomi
tunggal yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi
sehingga diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kombinasi upper lip bite test (ULBT)
dengan mallampati untuk memprediksi sulit visualisasi laring (DVL, difficult
visualization of the larynx) yang menjadi faktor utama kesulitan intubasi.
Metode: penelitian ini menggunakan uji diagnostik yang dilaksanakan di
Instalasi Bedah Sentral (IBS) dan Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUP sanglah
Denpasar periode November sampai Desember 2014. Dua jenis pemeriksaan
praanestesi pada subyek penelitian ini dikorelasikan dengan skor Cormack-
Lehane sebagai baku emas. Data dianalisis dengan uji diagnostik menggunakan
tabel 2x2 dan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic).
Kami mengkorelasikan secara paralel dua prediktor sulit intubasi pada 322
pasien dewasa yang menjalani anestesi umum. Pada analisis data di dapat korelasi
yang baik dari ULBT dan Mallampati dengan nilai sensitivitas 73,51%,
Spesifisitas 96,5%, Nilai Prediksi Positif (NPP) 84,7% dan Nilai Prediksi Negatif
(93,2%). Nilai AUC pada kurva ROC didapatkan 85% (95% IK; 79,6% - 90,4%).
Kesimpulan: ULBT dan Mallampati memiliki korelasi yang baik sebagai
prediktor kesulitan intubasi.
Kata kunci: ULBT, skor Mallampati, Cormack-Lehane, prediktor sulit intubasi
ABSTRACT
CORRELATION OF UPPER LIP BITE TEST ( ULBT ) WITH
MALLAMPATI AS A PREDICTOR OF DIFFICULT INTUBATION IN
SANGLAH HOSPITAL
Renol Hamonangan Simatupang
The most common cause of difficult intubation because of difficulty in
visualizing of the larynx . the absence of a single anatomic factors that can
determine to do Laryngoscopy easily, so it needs combination some tests or
predictors . This study aims to determine the accuracy of a combination of the
upper lip bite test ( ULBT ) with Mallampati to predict difficult visualization of
the larynx (DVL) , difficult visualization of the larynx is a major factor difficult
intubation .
Methods : This study used a diagnostic test that is carried out in the
Central Operating Installation ( IBS ) and the Emergency installation of Sanglah
Hospital period November to December 2014. Two types praanestesi examination
on the subject of this study correlated with the Cormack - Lehane score as the
gold standard . Data were analyzed by using a diagnostic test 2x2 table and ROC
curve (Receiver Operating Characteristic).
We correlate the two predictors in parallel difficult intubation in 322
adult patients undergoing general anesthesia . In the data analysis, there are good
correlation of ULBT and Mallampati with sensitivity 73.51 %, specificity 96.5 %,
positive predictive value ( NPP ) 84.7 % and a negative predictive value (93.2 %).
AUC values from ROC curve obtained 85 % ( 95 % CI ; 79.6 % - 90.4 % ).
Conclusion : ULBT and Mallampati have good correlation as a predictor of
difficult intubation.
Keywords : ULBT , Mallampati score , Cormack - Lehane , Predictor of difficult
intubation.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM .......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................... ....... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.............................................................. . v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ vi
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................. vii
ABSTRAK ....................................................................................................... xii
ABSTRACT..................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xx
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xxi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 6
. 1.4.1 Bagi Peneliti .................................................................... 6
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan ................................................ 6
1.4.3 Bagi Pelayanan Masyarakat ............................................ 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 7
2.1 Anatomi Jalan Napas Atas............................................... .......... 10
2.1.1 Hidung Dan Mulut................................................ .......... 11
2.1.2 Faring................................................................... ........... 11
2.1.3 Laring............................................................................... 12
2.1.4 Persarafan ........................................................................ 18
2.1.5 Suplai Darah .................................................................... 20
2.2 Evaluasi Jalan Napas ................................................................. 21
2.2.1 Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik .................................... 21
2.2.2 Ruang Orofaringeal ........................................................... 22
2.2.3 Sub Mandibular Complience ........................................... 23
2.2.4 Body Hiatus ....................................................................... 23
2.2.5 Membran Krikoid Dan Krikotirotomi ............................... 24
2.3 Prediktor Kemungkinan Sulit Intubasi ........................................ 25
2.3.1 LEMON atau MELON...................................................... 25
2.3.2 LM-MAP ........................................................................... 28
2.3.3 Fours D (4D) ..................................................................... 29
2.3.4 Wilson Risk Score ............................................................. 29
2.3.5. Magboul 4MS ................................................................... 30
2.4 Skor Cormack-Lehane ................................................................. 30
2.5 Upper Lip Bite Test (ULBT) ....................................................... 31
2.6 Laringoskop Macintosh ............................................................... 32
2.7 Posisi Pemeriksaan ...................................................................... 35
2.8 Penelitian Diagnostik ................................................................... 35
2.8.1 Desain Penelitian Diagnostik ............................................ 36
2.8.2 Baku Emas (Gold Standard) ............................................. 37
2.8.3 Indeks ................................................................................ 38
2.8.4 Analisa Penelitian Diagnostik ........................................... 38
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN
HIPOTESIS PENELITIAN .................................................................. 40
3.1 Kerangka Berpikir ....................................................................... 40
3.2 Kerangka Konsep ........................................................................ 42
3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 42
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................... 43
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 43
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 43
4.3 Penentuan Sumber Data ............................................................... 43
4.3.1 Populasi Target.................................................................. 43
4.3.2 Populasi Terjangkau .......................................................... 43
4.3.3 Tehnik Pengambilan Sampel............................................. 44
4.4 Perhitungan Besar Sampel ........................................................... 44
4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ....................................................... 46
4.5.1 Kriteria Inklusi .................................................................. 46
4.5.2 Kriteria Eksklusi................................................................ 46
4.6 Alat Dan Bahan Kerja .................................................................. 47
4.6.1 Alat yang Digunakan......................................................... 47
4.6.2 Bahan Yang Digunakan .................................................... 47
4.7 Cara Kerja .................................................................................... 47
4.8 Alur Penelitian ............................................................................. 49
4.9 Definisi Operasional Variabel ..................................................... 50
4.10 Analisis Data................................................................................ 52
4.11 Etika Penelitian ........................................................................... 53
BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54
5.1 Data Karakteristik sampel ........................................................... 54
5.2 Analisis Uji Diagnostik ............................................................... 55
5.2.1 Analisis Skor ULBT Sebagai Prediktor Kesulitan
Intubasi .............................................................................. 58
5.2.2 Analisis Skor Malampati Sebagai Prediktor Kesulitan
Intubasi .............................................................................. 59
5.2.3 Analisis Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati
Secara Paralel .................................................................... 61
5.2.4 Analisis Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati
Secara Seri ......................................................................... 63
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................. 65
6.1 ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi.................................. 65
6.2 Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi.......................... 67
6.3 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel .. 68
6.4 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri ....... 69
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 72
7.1 Simpulan ...................................................................................... 72
7.2 Saran ........................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73
LAMPIRAN ........................................................................................... 76
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Algoritme Kesulitan Jalan Napas ASA ......................................... 9
Gambar 2.2 Anatomi Jalan Napas Atas ............................................................ 11
Gambar 2.3 Struktur Pembentuk Laring ........................................................... 14
Gambar 2.4 Jaras Sensorik Jalan Napas ............................................................ 19
Gambar 2.5 Derajat Skor MallampatI ............................................................... 27
Gambar 2.6 Skor Derajat Cormack-Lehane ...................................................... 31
Gambar 2.7 Kelas Upper Lip Bite Test (ULBT)............................................... 32
Gambar 2.8 Blade Laringoskop macintosh ....................................................... 34
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .......................................................................... 42
Gambar 4.1 Alur Penelitian............................................................................... 49
Gambar 5.1 Kurva ROC Skor ULBT Terhadap Skor Cormack-Lehane .......... 59
Gambar 5.2 Kurva ROC Skor Mallampati Terhadap Skor Cormack-Lehane .. 61
Gambar 5.3 Kurva ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati
Secara Paralel Terhadap Skor Cormack-Lehane............................ 62
Gambar 5.4 Kurva ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati
Secara Seri Terhadap Skor Cormack-Lehane ................................. 64
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Skor Magboul 4 MS .......................................................................... 30
Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel ......................................................... 55
Tabel 5.2 Kategori korelasi prediktor secara paralel ........................................ 56
Tabel 5.3 Rekategori korelasi prediktor secara paralel ..................................... 56
Tabel 5.4 Kategori korelasi prediktor secara seri.............................................. 57
Tabel 5.5 Gambaran karakteristik sampel ......................................................... 57
Tabel 5.6 Tabel 2 x 2 Skor ULBT..................................................................... 58
Tabel 5.7 Analisis ROC Skor ULBT ................................................................ 59
Tabel 5.8 Tabel 2 x 2 Skor Mallampati............................................................. 60
Tabel 5.9 Analisis ROC Skor Mallampati ........................................................ 61
Tabel 5.10 Tabel 2 x 2 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara
Paralel ............................................................................................... 62
Tabel 5.11 Analisis ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara
Paralel Terhadap Skor Cormack-Lehane ........................................... 63
Tabel 5.12 Tabel 2 x 2 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara
Seri .................................................................................................... 63
Tabel 5.13 Analisis ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara
Seri Terhadap Skor Cormack-Lehane ................................................ 64
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
SINGKATAN
4D : Dentition Distortion Disproportion Dysmobility
4MS : Mallampati Measurement Movement Malformation
ASA : American Society of Anesthesiologist
AUC : Area Under the Curve
BB : Berat Badan
CI : Confidence Interval
dkk : dan kawan-kawan
DVL : Difficult Visualization of the Larynx
EKG : Elektrokardiografi
EVL : Easy Visualization of the Larynx
FRC : Functional residual Capacity
G : Gauge
HNM : Head and Neck Movement
IIG : Inter-Incisor Gap
IL : Internal Laringeal
IMT : Indeks Massa Tubuh
KG : Kilogram
LEMON : Look Evaluate Mallampati Obstruction Neck
LITBANG : Penelitian dan Pengembangan
LMA : Laringeal Mask Airway
LM-MAP : Look Mallampati Measure Atlanto Pathological
MAC : Minimal Aleveoli Consentration
Mg : Milligram
MMT : Modified Mallampati Test
N : Besar Sampel
NPP : Nilai Prediksi Positif
NPN : Nilai Prediksi Negatif
p : Presisi
RL : Recurrent Laringeal
RHTMD : Ratio of height to thyromental distance
ROC : Receiver Operating Characteristic
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SD : Standar Deviasi
Sen : Sensitivitas
SL : Superior Laringeal
TMD : Thyromental Distance
ULBT : Upper Lip Bite Test
VB : Variabel Bebas
Zα : Tingkat Kemaknaan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ............................................ 76
Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik .............................................................. 77
Lampiran 3 : Jadwal Penelitian ................................................................... 78
Lampiran 4 : Rincian Informasi .................................................................. 79
Lampiran 5 : Formulir Persetujuan Tindakan ............................................. 81
Lampiran 6 : Pencatatan Hasil Evaluasi Penelitian..................................... 82
Lampiran 7 : Tabulasi Data Penelitian ........................................................ 89
Lampiran 8 : Hasil Analisis Data ................................................................ 101
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manejemen jalan napas merupakan suatu tugas yang sangat penting dan
menjadi tanggung jawab dasar bagi seorang anesthesiologis. Pertukaran gas yang
tidak adekuat akibat kegagalan mempertahankan jalan napas dapat berakibat fatal
bagi keselamatan pasien. Hingga saat ini dalam manejemen jalan napas, intubasi
endotrakea dengan menggunakan laringoskop menjadi gold standard untuk
mempertahankan keadekuatan jalan napas. Tehnik intubasi endotrakea ini dapat
membahayakan keselamatan pasien bila tidak dilakukan antisipasi yang baik dan
benar sebelumnya (Stringer KR,dkk, 2002).
Kesulitan dalam memvisualisasi
laring (DVL, Difficult visualization of the larynx) selama proses laringoskopi
merupakan salah satu hal yang dapat menggagalkan intubasi endotrakea
(Benumof JL, 1991).
Penyebab terbanyak dalam kasus kesulitan intubasi diakibatkan oleh
karena kesulitan dalam memvisualisasi laring. Hingga saat ini, pengklasifikasian
untuk memvisualisasi laring masih menggunakan skor dari Cormack-Lehane.
Telah dilaporkan bahwa insiden kesulitan laringoskopi ataupun intubasi
endotrakea pada pasien yang akan menjalani pembiusan bervariasi dari 1,5%
sampai 8% (Mohan K. dkk, 2013). dimana dilaporkan untuk kesulitan intubasi
sebesar 1-4% pada Cormack Lehane derajat III, sedangkan kegagalan intubasi
sebesar 0,05-0,35% pada derajat III dan IV (Benumof JL, 1994).
Sementara Insiden terjadinya kesulitan dalam visualisasi laring (DVL)
pada penelitian yang dilakukan Eka, 2014 di RSUP sanglah didapatkan angka
sebesar 15,7%. Lebarnya variasi yang didapatkan mungkin dipengaruhi oleh
beberapa faktor misalnya umur dan perbedaan etnis atau penggunaan laringoskop
yang berbeda (Eka, 2014).
American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2005 telah melaporkan
masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling banyak
disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak
permanen dan kematian yang terkait anestesi) dimana kesulitan intubasi menjadi
penyebab terbesar pertama dari seluruh masalah pada jalan napas (26%) (Lohom
G, 2003).
Adanya data yang melaporkan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh
masalah yang terjadi akibat kesulitan intubasi menjadi tantangan yang harus
benar-benar diperhatikan oleh anesthesiologis. Dari data tahun 1961-1996
Domino melaporkan pada ASA Closed Claims Database terdapat 266 kasus (6%)
yang berkaitan dengan jalan napas dengan rerata klaim pembayaran sebesar
$26.250 dimana 103 kasus (39%) diantaranya merupakan masalah kesulitan
intubasi. Besarnya biaya ini menjadi masalah baru bagi kita bila kita tidak
mengantisipasi dengan baik sebelumnya (Cheney, FW, 2002).
Meskipun telah banyak kemajuan yang sudah dibuat, dan telah banyak
metode yang telah teruji digunakan untuk menjawab teka-teki kesulitan
laringoskopi intubasi, dimana diantaranya : tes mallampati (MMT, Modified
Mallampati Test), inter-incisor gap (IIG), thyromental distance (TMD), head and
neck movement (HNM), ratio of height to thyromental distance (RHTMD) dan
upper lip bite test (ULBT), namun semuanya itu tidak boleh dipercaya secara
utuh. Hal ini disebabkan oleh latar belakang dari karateristik populasi, ras, suku,
budaya serta negara yang berbeda-beda dimana studi tersebut dilakukan.
Kerangka wajah dan jaringan lunak pada berbagai ras di dunia memiliki variasi
susunan yang berbeda. Hal ini diperkirakan berpengaruh terhadap hasil prediktor
yang baik untuk suatu ras. Sehingga prediksi intubasi yang dilakukan di berbagai
negara juga menghasilkan variasi yang sangat banyak.
Saat ini penilaian dengan mallampati dan upper lip bite test (ULBT)
dipercaya sebagai tehnik yang mudah dan sederhana dilakukan untuk
memprediksi kesulitan laringoskopi intubasi endotrakeal (ZH Khan, dkk, 2009).
Penilaian mallampati telah banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan
intubasi. Penilaian berdasarkan struktur anatomi rongga mulut ini dipercaya
sebagai penilaian yang cukup mudah dalam meprediksi kesulitan laringoskopi
intubasi (Lee A,dkk, 2006). Namun dari beberapa studi menyimpulkan nilai dari
skrining tes mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi adalah terbatas
apabila digunakan sebagai prediktor tunggal. Pada tahun 2011, Lundstrom dkk.
Mempublikasikan sebuah penelitian meta-analisis, yang telah menganalisa 55
studi dan melibatkan 177.088 pasien, dimana didapatkan hanya 35% pasien
dengan kesulitan intubasi yang diidentifikasi sebagai mallampati III atau IV.
Nilai sensitivitas dari penelitan meta-analisis ini 0,35 dan nilai spesifisitas 0,39
dengan area dibawah kurva ROC (receiver operating characteristic) sebesar 0,75
(LH.Lundstrom,dkk, 2011). Pada penelitian meta-analisis lainnya, yang
dipublikasikan pada tahun 2005, Shiga telah menganalisa 31 studi dengan
melibatkan 41.193 pasien terhadap uji Mallampati dan mendapatkan nilai
sensitivitas 0,49 dan nilai spesifisitas 0,86 dan area di bawah kurva ROC (receiver
operating characteristic) 0,82, dengan prevalensi sulit intubasi 5,7 % (IK 95%,
OR 2,0) (Toshiya Shiga, 2005).
Upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik terbaru yang sangat
sederhana. Tehnik ini diperkenalkan oleh Khan pada tahun 2003. Timbulnya
tehnik ini didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan mandibula
dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat penting
dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi (ZH Khan, dkk, 2009). Salimi pada
tahun 2008 mempublikasikan hasil penelitian terhadap 350 pasien, dan
menemukan bahwa upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor yang baik
untuk kesulitan laringoskopi intubasi dengan sensitivitas 70,0% dan spesifisitas
93,3%, positive predivtive value 39,0% dan negative predictive value 98,1% serta
accuracy mencapai 92,6%. Sementara itu Jain Shah dkk. pada tahun 2013 telah
mempublikasikan hasil penelitian terhadap 480 pasien dewasa dan menemukan
upper lip bite test (ULBT) sebagai prediktor yang memiliki sensitivitas,
spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, dan likehood ratio
yang sangat tinggi (74,63%; 91,53%; 58,82%; 95,7%; 31,765) dibandingkan
dengan multivariasi airway assessment test lainnya (P.Jain Shah, 2013).
Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya didapat kesimpulan bahwa
nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan
satu tes tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat
menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan
kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis (Rudim
Domi, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kombinasi upper lip
bite test (ULBT) dengan skor mallampati untuk memprediksi sulit visualisasi
laring (DVL, difficult visualization of the larynx) yang nantinya akan diterapkan
pada pasien-pasien di RSUP Sanglah Denpasar
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apakah ULBT dan Mallampati secara sendiri-sendiri akurat digunakan sebagai
model diagnostik prediktor sulit intubasi? dan Apakah Korelasi ULBT dan
Mallampati akurat digunakan sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui tingkat akurasi indikator dari korelasi ULBT dan mallampati
sebagai prediktor dalam menilai kesulitan visualisasi laring pada pasien-pasien
yang menjalani pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi
negatif dan luas daerah di bawah kurva ROC (Receiver Operating
Characteristic) dari ULBT dan mallampati sebagai prediktor sulit
visualisasi laring pada laringoskopi direk pada pasien-pasien yang akan
menjalani proses pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Mengetahui pertambahan nilai diagnostik prediktor bila dilakukan
penggabungan antara prediktor ULBT dengan mallampati.
3. Mengetahui model diagnostik yang dianjurkan untuk memprediksi sulit
visualisasi laring
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman melakukan
penelitian, sekaligus menambah kemampuan manajerial serta komunikasi
interpersonal dengan masyarakat pada umumnya.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menunjukkan data dan informasi yang berharga tentang
pemeriksaan praanesthesi rutin yang akurat dalam mengantisipasi kemungkinan
sulit intubasi terhadap pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan dengan
anestesi umum di RSUP Sanglah Denpasar. Data yang dihasilkan juga bisa
menjadi data dasar atas penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki hubungan
dengan penelitian ini.
1.4.3 Bagi Pelayanan Masyarakat
Diharapkan dapat meningkatkan antisipasi kemungkinan sulit intubasi dan
mencegah kejadian komplikasi akibat ketidaksiapan menghadapi kegagalan
intubasi sehingga kualitas pelayanan anestesia pada umumnya dan keamanan pada
pasien khususnya dapat ditingkatkan.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik
memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah
terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk
ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea,
membersihkan saluran trakeobronkial. Untuk menjalankan anesthesia yang aman
maka kompetensi yang paling penting adalah pengelolaan jalan napas (Hagberg
dkk., 2005).
Menurut ASA, Jalan nafas sulit (difficult airway) adalah dimana seorang
ahli anesthesiologi yang berpengalaman dalam sebuah situasi klinis mengalami
kesulitan dalam memberikan ventilasi sungkup muka dan kesulitan melakukan
intubasi trakea ataupun mengalami situasi keduanya. Terjadinya morbiditas akibat
anestesi (kerusakan gigi, aspirasi paru, trauma jalan nafas, trakeostomi tanpa
antisipasi sebelumnya, anoxic brain injury, cardiopulmonary arrest dan kematian)
merupakan akibat serius dari kesulitan atau kegagalan dalam manejemen jalan
napas (Benumof, 1991; Cheney,2002; Hagberg dkk., 2005).
Kesulitan ventilasi sungkup muka adalah suatu keadaan dimana seorang
ahli anesthesiologi yang tidak didampingi oleh asisten gagal dalam
mempertahankan SpO2 lebih dari 90% dengan menggunakan oksigen 100% serta
ventilasi sungkup muka dengan tekanan positif dengan SpO2 lebih dari 90%
sebelum dilakukan tindakan anesthesia atau keadaan dimana seorang ahli
anesthesiologi tidak mampu untuk mencegah atau mengembalikan ventilasi yang
tidak adekuat pada saat ventilasi sungkup muka tekanan positif tanpa didampingi
asisten (Gal, 2005).
Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah
suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali kesempatan untuk berhasil
memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop konvensional atau bila
menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan dimana
keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit
(Latto, 1997).
American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2005 telah melaporkan
masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling banyak
disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak
permanen dan kematian yang terkait anestesi) dimana kesulitan intubasi menjadi
penyebab terbesar pertama dari seluruh masalah pada jalan napas (26%) (Lohom
G, 2003).
Adanya data yang melaporkan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh
masalah yang terjadi akibat kesulitan intubasi menjadi tantangan yang harus
benar-benar diperhatikan oleh anesthesiologist.
Gambar 2.1. Algoritme kesulitan jalan napas (ASA, 2003).
Dari data tahun 1961-1996 Domino melaporkan pada ASA Closed Claims
Database terdapat 266 kasus (6%) yang berkaitan dengan jalan napas dengan
rerata klaim pembayaran sebesar $26.250 dimana 103 kasus (39%) diantaranya
merupakan masalah kesulitan intubasi. Besarnya biaya ini menjadi masalah baru
bagi kita bila kita tidak mengantisipasi dengan baik sebelumnya (Cheney, FW,
2002).
Oleh karena itu, pengelolaan jalan napas yang baik merupakan hal yang
sangat penting untuk diperhatikan demi keselamatan pasien dalam menjalani
operasi. Sehingga diperlukan pengetahuan anatomi dan fisiologi jalan napas
dengan sebaik-baiknya serta kemampuan yang baik dalam mengevaluasi
kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan jalan napas. Begitu juga dibutuhkan
kemampuan yang baik dalam menggunakan alat-alat untuk tatalaksana jalan napas
serta pemahaman untuk mengaplikasikan algorithm difficult airway management
dari ASA.
2.1 Anatomi Jalan Napas Atas
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring
(parsoralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya,
tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring.
Gambar 2.2. Anatomi jalan napas atas (Morgan, 2006).
2.1.1. Hidung dan mulut
Hidung dan mulut merupakan jalan pertama udara memasuki tubuh.
Dengan panjang dari lubang hidung ke nasofaring sekitar 10-14 cm pada orang
dewasa. Fossa nasal dibatasi oleh konka inferior, media dan superior. Konka
inferior membatasi ukuran tube yang dapat masuk ke lubang hidung bila
dilakukan intubasi nasal. Setiap fossa nasal memiliki 60 cm area untuk
menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk. (Applegate, 2004; Larson
2006).
2.1.2. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke
atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono
dan Bambang Hermani, 2007).
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring)
(Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, selaput lendir
(mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
2.1.3. Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung
dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago
krikoid.
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa
tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada
struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan
kartilagokrikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan
dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral.
Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari
dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba
dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid
yang berbentuk bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan
kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis
anterior dan prosesus muskularis lateralis (Boies, 1997).
Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda
vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau
bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda
vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong
makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua
pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni
kartilago kornikulata dan kuneiformis (Boies, 1997)
2.1.3.1 Kartilago laring
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
Kartilago Tiroidea, 1 buah
Kartilago Krikoidea, 1 buah
Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)
Gambar 2.3. Struktur pembentuk laring (Morgan, 2006).
• Kartilago Tiroidea
Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk
dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri
dari 2 sayap(alaetiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya
tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan
disebut Adam’s Apple.
Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120
derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura
tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan
dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah
membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral
dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea.Dengan adanya
artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di
sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita
suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta
kornikulata (Ballenger, 1993).
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur
yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ketuberkulum inferior. Alur ini
merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus
tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus inferior (Ballenger, 1993).
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan
tepi bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan
tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis melekat 1 cm diatasnya
olehligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20–
30 tahun (Ballenger, 1993).
• Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan
kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alasnya
terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada
bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya
dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui
artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I
melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan
trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 1993).
Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI-
VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III-IV. Kartilago ini
mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
• Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago
krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan
rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis
yang merupakan tempat melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di
posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya
ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke
prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan
berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita
suara ini disebut glottis (Scott, 1997). Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke
arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita
suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini
dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade
ke 3 kehidupan (Ballenger, 1993).
• Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding
anterior aditus laringeus tangkainya disebut petioles dan dihubungkan oleh
ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara.
Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring
sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi
sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah laring (Ballenger, 1993).
• Kartilago Kornikulata
Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago
Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika
ariepiglotika (Ballenger, 1993).
• Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago
kecil yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).
2.1.3.2 Pita suara
Pita suara menonjol dari dinding lateral laring ke arah tengah glottis. Pita
suara ini diregangkan dan diatur posisinya oleh beberapa otot spesifik yang ada
pada laring. Tepat disebelah dalam setiap pita terdapat ligament elastik yang kuat
yang disebut sebagai ligamen vokalis. Ligamen ini melekat disebelah anterior dari
kartilago tiroid yang besar. Disebelah posterior, ligamen vokalis terlekat pada
prosesus vokalis dari kedua kartilago krikoid. Pita suara dapat direganggkan baik
oleh rotasi kartilago tiroid kedepan maupun oleh rotasi posterior dari kartilago
aritenoid, yang diaktivasi oleh otot-otot yang meregang dari kartilago tiroid dan
kartilago aritenoid ke kartilago krikod (Guyton and Hall, 2007).
.
2.1.4 Persarafan
Jalur saraf sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranialis. Selaput
mukosa hidung bagian anterior diinervasi oleh cabang ophtalmikus (V1) dari saraf
trigeminus (nervus ethmoidalis anterior) dan pada bagian posterior oleh cabang
maxillaris (V2) (nervus sphenopalatina). Nervus palatina memberikan jaras
sensoris dari nervus trigeminus pada permukaan superior and inferior palatum
durum dan palatum molle. Nervus lingualis (cabang mandibularis (V3) nervus
trigeminus) dan nervus glossofaring (saraf kranial kesembilan) menginervasi 2/3
anterior dan sepertiga posterior dari lidah. Cabang dari nervus facialis (VII) dan
glossofaring memberikan sensasi rasa ke daerah lidah tersebut. Nervus
glossofaring juga menginervasi atap faring, tonsil, dan permukaan bawah dari
palatum molle. Nervus vagus (saraf kranial kesepuluh) menginervasi daerah jalan
nafas di bawah epiglotis. Cabang nervus laringeus superior dari nervus vagus
terbagi menjadi jaras eksternal (motorik) dan jaras internal (sensoris) yang
memberikan saraf sensoris ke daerah laring antara epiglotis dan pita suara.
Cabang lain dari nervus vagus, nervus laringeus rekurent, menginervasi daerah
laring di bawah pita suara dan trachea (Morgan, 2006).
Gambar 2.4. Jaras sensorik jalan nafas (Morgan, 2006)
Otot-otot laring diinervasi oleh nervus rekurent laringeus kecuali otot
krikotiroid, yang diinervasi nervus laringeus eksternal (motorik), cabang dari
nervus laringeus superior. Otot krikoaritenoid posterior berfungsi sebagai
abduktor pita suara, sedangkan krikoaritenoid sebagai adduktor. Fonasi
merupakan suatu proses yang berlangsung simultan dan kompleks dari beberapa
otot laring. Kerusakan pada saraf motorik yang menginervasi laring
mengakibatkan berbagai jenis gangguan bicara. Denervasi unilateral pada otot
krikotiroid mengakibatkan gejala klinis yang susah ditemukan. Bilateral palsy
pada nervus laringeus superior mengakibatkan suara serak dan pita suara yang
mudah lelah. Tetapi hal ini tidak mengganggu kontrol jalan nafas.
Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekurent mengakibatkan
terjadinya paralisis pada daerah pita suara ipsilateral, yang ditandai dengan adanya
penurunan dari kualitas suara. Dengan asumsi bahwa nervus laringeus superior
berfungsi dengan baik, paralisis akut dari nervus laringeus rekurent bilateral
mengakibatkan terjadinya stridor dan distress pernafasan, akibat dari menetapnya
tekanan oleh otot krikotiroid. Masalah jalan nafas jarang terjadi pada kerusakan
kronis dari nervus laringeus rekurent bilateral, karena adanya berbagai mekanisme
kompensasi (misalnya, atrofi dari otot-otot laring)
Cedera nervus vagus bilateral mempengaruhi baik nervus laringeus
superior dan nervus laringeus rekurent. Oleh karena itu, denervasi nervus vagus
bilateral mengakibatkan flasiditas dan midposisi dari pita suara, hal yang sama
terjadi pada pemberian suksinil kolin. Pada pasien ini, jarang terjadi masalah pada
jalan nafas walaupun terjadi gangguan berat pada proses fonasi (Morgan, 2006).
2.1.5. Suplai darah
Suplai darah pada laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri
krikotiroid berasal dari arteri tiroid superior yang merupakan cabang pertama dari
arteri karotis eksternal, arteri ini berjalan melintasi membran krikotiroid atas, yang
memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior
berjalan sepanjang tepi lateral membran krikotiroid. Ketika akan melakukan
krikotirotomi, anatomi arteri tiroid dan arteri krikotiroid harus diperhatikan
dengan baik tetapi hal ini jarang mempengaruhi saat pelaksanaannya. Cara yang
terbaik adalah tetap berada pada garis tengah, yaitu di antara kartilago tiroid dan
kartilago krikoid.
2.2. Evaluasi jalan napas
2.2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Riwayat jalan nafas pasien harus dievaluasi untuk menentukan ada
tidaknya faktor medis, bedah maupun anestesi yang berpengaruh terhadap
manajemen jalan nafas. Pasien yang sebelumnya memiliki masalah dengan
manjemen jalan nafas harus diinformasikan kepadanya masalah jalan nafas yang
dialaminya, alasan mengapa itu terjadi, bagaimana intubasi trakheal dilakukan,
serta bagaimana implikasinya terhadap anestesi selanjutnya. Catatan anestesi
sebelumnya harus berisi deskripsi permasalahan jalan nafas yang dihadapi. Teknik
manjemen jalan nafas apa yang digunakan dan apakah teknik tersebut sukses atau
tidak dikerjakan. Penelitian mengenai variabel anatomis dan implikasinya untuk
manajemen jalan nafas sulit, menunjukkan bahwa tes ini jika dikerjakan sendiri –
sendiri memiliki sensitivitas, spesifitas dan postive predictive value yang rendah.
Korelasi akan lebih baik jika sejumlah tes ini dikombinasikan. Sejumlah tes ini
didasarkan pada pemeriksaan oropharyngeal space, mobilitas leher,
submandibular space, dan submandibular compliance. Sejumlah penyakit
kongenital dan dapatan memiliki korelasi dengan manajemen jalan nafas
(Latto,1997).
2.2.2 Ruang orofaringeal (oropharyngeal space)
Mallampati menyarankan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati Score)
untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan kemudahan
laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal,
dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Jika Mallampati yang dijumpai selain I dan
II, pasien diperintahkan untuk melakukan fonasi.
Terdapat korelasi antara skor malampati dengan apa yang terlihat saat
dilakukan laringoskopi direk, dan kemudahan dilakukan intubasi. Penampakan
saat dilakukan laringoskopi diklasifikasikan berdasarkan skor Cormack dan
Lehane.
Bersama dengan klasifikasi Mallampati, jarak antar gigi seri, ukuran dan
posisi gigi pada maksila dan mandibula serta bentuk palatum harus dievaluasi.
Jarak antar gigi seri yang kurang dari 3 cm berkorelasi dengan kesulitan untuk
mendapatkan gambaran yang jelas saat laringoskopi direk. Mandibula yang
menonjol atau mundur juga berkaitan dengan tampilan laringoskopi yang kurang
baik. Overbite juga berakibat pada pengurangan celah antar gigi seri yang efektif
ketika kepala dan leher pasien telah diposisikan secara optimal untuk dilakukan
laringoskopi direk. Rahang yang kecil akan mengurangi pharyngeal space (lidah
terposisikan lebih posterior) dan akan mengurangi ruang yang akan ditempati
jaringan lunak yang akan digeser selama laringoskopi direk. Ini menyebabkan
struktur glotis akan lebih anterior pada pandangan saat dilakukan laringoskopi
direk. Sejumlah sindrom genetik dan penyakit dapatan dapat mengurangi
pharyngeal space dan akan sulit dievaluasi pada pemeriksaan fisik (Morgan,
2006).
2.2.3 Submandibular Complience
Submandibular space merupakan area dimana jaringan lunak faring akan
digeser untuk mendapatkan gambaran saat dilakukan laringoskopi direk. Segala
sesuatu yang mengurangi ukuran space ini atau mengurangi compliance jaringan
akan menurunkan jumlah pergeseran ke anterior yang dapat dicapai, Angina
Ludwig’s, tumor, radiasi, jairngan ikat, luka bakar, dan operasi daerah leher
sebelumnya merupakan kondisi – kondisi yang dapat menurunkan compliance
submandibular (Morgan, 2006).
2.2.4 Body Hiatus
Obesitas sering dikaitkan dengan peningkatan insiden kesulitan
pengelolaan jalan nafas, Pengaturan posisi yang benar, dengan meletakkan wedge-
shaped bolster (bantal guling berbentuk baji) di punggung pasien, dapat
menciptakan sniffing position yang lebih optimal. Meskipun demikian, masalah
penurunan functional residual capacity (FRC) dengan makin menyempitnya
rentang waktu untuk terjadinya desaturasi oksigen arteri serta kesulitan ventilasi
dengan sungkup muka hingga penurunan compliance masih dapat djumpai
(Morgan, 2006).
2.2.5 Membran Krikotiroid Dan Krikotirotomi
Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia
(contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas),
akses emergensi via ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin terhadap
jalan napas. Klinisi harus terbiasa dengan teknik alternative oksigenasi dan
ventilasi ini.
Krikotirotomi adalah membentuk saluran napas melalui membran
krikotiroid. Membran krikotiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.
Membran ini, berukuran 9 mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang
elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.
Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago
tiroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan
1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adam’s apple). Sebagai
alternatif pada pasien dengan kartilago tiroid yang tidak menonjol, identifikasi
kartilago tiroid bisa dilakukan dengan melakukan palpasi pada sternal notch
kemudian susuri ke arah leher atas hingga teraba kartilago yang lebih lebar dan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kartilago yang teraba sebelumnya. Dua
pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid
superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran
terdapat suatu tonjolan yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar
lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa
laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan
arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9 cm di atas
ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap
membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior
(Stoelting, 2007).
Walaupun krikotirotomi adalah prosedur pilihan pada situasi emergensi, ini
juga dapat diterapkan pada situasi tertentu ketika adanya akses terbatas ke trakhea
(contoh kyphoscoliosis cervical yang berat).
2.3 Prediktor Kemungkinan Sulit Intubasi
Setelah anamnesis maka dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik
dapat membantu mengidentifikasi pasien yang berpotensial untuk terjadinya
kesulitan intubasi.
Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan
terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik :
a. LEMON atau MELON
b. LM MAP
c. 4D
d. Wilson Rick Scale
e. Magboul 4M
2.3.1 L E M O N atau MELON
L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada
hal-hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi
seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek,
mandibula yang kecil.
E (Evaluate 3-3-2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula
terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,
kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting.
Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak
thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum dan
tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 :
Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah
ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan
peningkatan kesulitan.
Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan
dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar
lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glotis.
M (Mallampaty score)
Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati
Score) untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan
kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Skor
Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap faring. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal,
dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Oleh Samsoon dan Young skor mallapati
telah dimodifikasi menjadi 4 kategori berdasarkan struktur faring menjadi:
1. Kelas I : tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil
anterior dan posterior.
2. Kelas II : tampak palatum molle, palatum durum dan uvula
3. Kelas III : tampak palatum molle dan dasar uvula
4. Kelas IV : tak tampak palatum molle
Kelas I dan II dihubungkan dengan kemudahan dalam intubasi, sedangkan
kelas III dan IV dikaitkan dengan tingkat kesulitan intubasi, bahkan kelas IV
mempunyai rasio kegagalan melebihi 10%.
Gambar 2.5. Derajat skor Mallampati (Mallampati dkk., 1985)
O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan
sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi
yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena
nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor.
N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi
atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan
kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi
daripada sendi atlanto-oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis
lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat (Magboul
M, 2004).
2.3.2 LM-MAP
L (Look for external face deformities)
M (Mallampati)
M (Measure 3-3-2-1 fingers)
A (Atlanto-occipital extension)
P (Pathological obstructive conditions) (Magboul M, 2004).
2.3.3 Fours D (4D)
D (Dentition, evaluasi keadaan gigi-geligi)
D (Distortion, evaluasi apakah ada edema, darah, muntahan, tumor, infeksi)
D (Disproportion, evaluasi dagu pendek, leher gemuk, mulut kecil, lidah besar)
D (Dysmobility, evaluasi tyromental joint, cervical spine) (Magboul M, 2004).
2.3.4 Wilson Risk Score
Weight (0 = <90 kg, 1 = 90-110 kg, 2 = >110 kg)
Head and neck movement (0 = >90°, 1 = 90°, 2 = <90°)
Jaw movement (0=IG >5 cm, SL >0 ; 1=IG <5 cm, SL=0 ; 2=IG <5 cm ,SL <0)
Receding mandible (0=normal, 1=moderate, 2=severe)
Buck teeth (0=normal, 1=moderate, 2=severe)
Total maximum 10 points (Magboul M, 2004).
2.3.5 Magboul 4 MS
Tabel 2.1. skor Magboul 4 MS (Magboul M, 2004).
Score 1 2 3 4
Mallampati Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4
Measurement 3 mouth open 3 thyromental 2 hypomental 1 sublaxation
Movement Left Right Flexion extension
Malformation Skull : hidro
and
microcephalus
Teeth : buck,
protruded,
loose teeth
and macro-
micro
mandibles
Obstruction :
due to
obesity, short
bull neck and
swelling
around the
head and
neck
Pathplogy :
Craniofacial
abnormalities
and syndrome
: treacher
Collins,
Goldenhars,
Pierre Robin,
Waardenburg
syndromes
Total 4 4 4 4
2.4 Skor Cormack - Lehane
Pada tahun 1984 Cormack dan Lehane membuat suatu skala dengan
memakai visualisasi yang masih terlihat dengan laringoskop. Derajat Cormack-
Lehane berdasarkan visualisasi laringoskopi :
Grade 1 : Semua bukaan pita suara terlihat
Grade 2 : Hanya posterior glotis yang terlihat
Grade 3 : Hanya ujung epiglotis yang dapat terlihat
Grade 4 : Epiglotis tidak terlihat, hanya palatum molle yang terlihat
Gambar 2.6. Skor derajat Cormack-Lehane (Cormack and Lehane, 1985.)
Dikatakan bahwa Cormack-Lehanne derajat 2 atau 3 memerlukan
beberapa kali upaya intubasi atau penggantian bilah dengan insiden 100 sampai
dengan 1800 dari 10.000 pasien atau 1%-8%. Sedangkan derajat 3 Cormack-
Lehanne memiliki insiden 100-400 dari 10.000 pasien atau 1%-4%. Insiden
terjadinya kegagalan intubasi pada Cormack-Lehanne derajat 3 atau 4 berkisar 5
sampai 35 dari 10.000 pasien atau 0,05%-0,35% (Benunof, 1991).
2.5 Upper Lips Bite Test (ULBT)
Upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik terbaru yang sangat
sederhana. Tehnik ini diperkenalkan oleh Zahid Hussain Khan pada tahun 2003.
Timbulnya tehnik ini didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan
mandibula dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat
penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi (Khan, 2009).
Upper lip bite test adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi
mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Dibagi menjadi tiga kelas :
Kelas I : Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, diatas
vermilion line.
Kelas II : Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, dibawah
vermilion line.
Kelas III : lower incisors tidak dapat menjangkau bibir atas
Gambar 2.7. Kelas upper lip bite test (ULBT) (Khan 2009).
2.6 Laringoskop Macintosh
Laringoskop adalah alat yang digunakan untuk mengangkat lidah dan
epiglotis supaya glotis dapat terlihat. Alat ini terbagi atas gagang dan bilah.
Gagang berisi batere yang berguna untuk menyalakan sumber penerangan.
Sedangkan bilah mempunyai bola lampu di sepertiga ujungnya.
Bentuk bilah sebenarnya terbagi atas 2 bentuk yaitu bentuk melengkung
(laringoskop Macintosh) dan bentuk lurus (laringoskop Miller). Diantara 2 bentuk
bilah ini yang paling sering dipakai adalah bentuk Macintosh, dikatakan bahwa
bentuk ini paling gampang digunakan bahkan oleh seseorang yang mempunyai
pengalaman intubasi orotrakeal yang sedikit. Banyak mengatakan bahwa bentuk
ini memerlukan lebih sedikit kekuatan lengan bawah dibandingkan dengan yang
bentuk lurus.
Cara pakai laringoskop Macintosh ini adalah dengan menempatkan ujung
bilah Macintosh pada valekula sehingga secara tidak langsung akan mengangkat
epiglotis sehingga pita suara akan tampak.
Bilah laringoskop Macintosh terdapat beberapa ukuran dari mulai nomor 2
sampai nomor 4. Ukuran bilah nomor 2 digunakan untuk usia 3 sampai 6 tahun.
Bilah nomor 3 digunakan untuk anak-anak mulai usia 6 tahun, untuk wanita, dan
laki-laki ukuran sedang. Bilah nomor 4 digunakan untuk laki-laki ukuran besar.
Kekurangan atau kelemahan dari laringoskop Macintosh ini adalah bahwa
pada beberapa keadaan seperti pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil,
pasien dengan gerakan sendi temporo mandibular yang terbatas atau yang
mempunyai kelainan jalan napas atas, laringoskopi direk dengan laringoskop
konvensional sukar atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
Gambar 2.8. Blade laringoskop Macintosh (Dorsch, 2007).
Dalam melakukan intubasi, waktu yang tepat sangat menentukan dalam
mulusnya intubasi yang kita lakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila
kedalaman anestesia yang telah tercapai. Kedalaman anestesia yang telah tercapai,
ditandai dengan tidak terjadinya respon terhadap jaw thrust. Sedangkan tanda lain
seperti relaksasi rahang, henti napas, dan mudah dilakukan ventilasi dengan
facemask, merupakan tanda yang tidak pasti. Kehilangan kontak verbal dan reflek
bulu mata adalah tanda-tanda yang dapat diandalkan. Laringoskopi yang
dilakukan oleh orang yang belum berpengalaman akan berpengaruh pada
visualisasi pita suara dan berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai visualisasi yang diharapkan seperti pada orang yang telah
berpengalaman.
2.7 Posisi Pemeriksaan
Pada penelitian awal dengan menggunakan Mallampati skor, pemeriksaan
dilakukan dengan cara pasien duduk. Kemudian pemeriksaan ULBT dilakukan
dengan cara pasien berbaring terlentang diatas alas yang datar.
Pertimbangan dari pemilihan pasien dengan cara baring terlentang
berdasarkan beberapa alasan. Pertama, mengevaluasi jalan napas dengan posisi
seperti akan melaksanakan intubasi dengan memakai laringoskop adalah cara
yang ideal, hal ini dikarenakan sifat tulang hioid yang bebas bergerak,
kemungkinan untuk terjadinya perubahan dimensi dan posisi oleh karena efek
gravitasi menjadi suatu pertimbangan (Sutthiprapaporn, 2008).
Skor Mallampati di nilai dengan menggunakan klasifikasi Mallampati.
Pasien duduk dengan mulut terbuka maksimal, lidah menjulur dan tanpa fonasi.
Kelas 1 dan 2 diperkirakan mudah dilakukan laringoskopi. Kelas 3 dan 4
diperkirakan sulit untuk dilakukan laringoskopi (Mallampati dkk., 1985).
Upper lip bite test (ULBT) dinilai dengan menggunakan skor ULBT.
pasien berbaring terlentang diatas alas yang datar, kemudian dinilai kemampuan
pasien untuk menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Kelas 1 dan 2
diperkirakan mudah untuk dilakukan laringoskopi, sedangkan kelas 3 diperkirakan
sulit untuk dilakukan laringoskopi (Khan, 2009).
2.8 Penelitian Diagnostik
Penelitian diagnostik meneliti tentang bagaimana cara mendiagnosis
penyakit, cara mudah untuk memahaminya adalah dengn mengingat prinsip utama
penelitian diagnositik tersebut, yaitu “pelaksanaan penelitian diagnostik meniru
praktek dokter sehari-hari ketika melakukan langkah-langkah untuk mendiagnosis
pasien”. Dalam praktek sehari-hari seorang dokter memutuskan untuk memilih
suatu pemeriksaan jika pemeriksaan tersebut mempunyai keunggulan relatif
terhadap pemeriksaan lain. Keunggulan tersebut dapat berupa nilai diagnostic
yang lebih tinggi, harga yang lebih terjangkau, tidak memerlukan keahlian khusus,
tersedia dengan mudah, pemeriksaan lebih sederhana, pemeriksaan lebih tidak
beresiko, atau hasil pemeriksaan lebih cepat. Salah satu atau lebih dari alas an
tersebut harus menjadi latar belakang mengapa suatu penelitian diagnostik
dilakukan (M.Sopyudin, 2009).
2.8.1 Desain penelitian diagnostik
Desain penelitian diagnostik adalah desain potong lintang (cross
sectional), dimana pengambilan data untuk setiap subjeknya dilakukan pada satu
unit waktu. Dari segi desain, terdapat dua kesalahan yang sering terjadi. Pertama,
menamakan desain uji diagnostik sebagai desain kohort/prospektif. Kedua,
menggunakan desain kasus control (case control) untuk penelitian diagnostik.
Kesalahan pertama disebabkan karena persepsi bahwa rangkaian
pemeriksaan diagnostic dilakukan pada waktu yang berbeda sehingga dinamakan
sebagai desain kohort. Pendapat ini dapat diluruskan dengan dua cara. Pertama,
seandainya persepsi tersebut benar, maka tidak aka nada penelitian potong lintang
(cross sectional) karena tidak aka nada data yang benar-benar diambil pada waktu
yang sama. Kedua, yang dimaksud dengan waktu yang sama pada penelitian
potong lintang adalah “satu unit waktu”. Unit waktu bias saja detik, menit, jam,
hari bahkan bulan.
Kesalahan kedua. Desain kasus kontrol berpengaruh pada prior
probability dari penelitian. Satu-satunya faktor yang mempengaruhi prior
probability pada penelitian diagnostic adalah prevalensi penyakit. Semakin tinggi
prevalensi penyakit, semakin tinggi pula prior probability nya. Apabila desain
kasus kontrol digunakan pada penelitian diagnostic, maka prevalensi penyakit
ditentukan oleh perbandingan kasus dengan kontrol. Apabila perbandingan kasus
dengan kontrol 1:1 maka prevalensi penyakit menjadi sebesar 50%. Padahal fakta
sebenarnya bisa saja prevalensi penyakit bukan 50%. Apabila perbandingan kasus
dengan control 1:3 maka prevalensi penyakit menjadi sebesar 25%. Padahal fakta
sebenarnya bias saja prevalensi penyakit bukan 25% (M.Sopyudin, 2009).
2.8.2 Baku emas (Gold standard) atau reference standard
Pada setiap penelitian diagnostik, harus ada baku emas atau reference
standard. Baku emas adalah pemeriksaan yang dijadikan sebagai rujukan akhir
untuk menentukan apakah pasien menderita suatu penyakit atau tidak. Bila hasil
pemeriksaan adalah positif, maka kita menerima bahwa hasil pemeriksaan adalah
positif. Bila hasil pemeriksaan negative, maka kita menerima bahwa hasil
pemeriksaan adalah negative. Baku emas harus independen terhadap hasil
pemeriksaan indeks. Artinya tidak boleh ada komponen indeks. Misalnya, jika
pada suatu penelitian baku emasnya adalah hasil pemeriksaan darah, maka pada
indeks tidak boleh ada pemeriksaan gula darah (M.Sopyudin, 2009).
2.8.3 Indeks
Dalam penelitian diagnostik, pemeriksaan yang sedang diteliti dinamakan
sebagai indeks. Syarat dari sebuah indeks adalah mempunyai nilai diagnostik yang
lebih rendah daripada baku emas, bukan salah satu komponen dari baku emas, dan
mempunyai kelebihan relative terhadap indeks lain atau terhadap baku emas.
Kelebihan relatif tersebut dilihat dari segi nilai diagnostik, kemudahan, kemampu-
laksanaan, kecepatan, atau harga/biaya yang lebih rendah (M.Sopyudin, 2009).
2.8.4 Analisa penelitian diagnostik
Terdapat tiga cara untuk menganalisis penelitian diagnostik yaitu analisis
tabel 2x2, analisis kurva Receiver Operatung Characteristic (ROC), dan analisis
multivariat berjenjang. Dengan tabel 2x2 kita akan memperoleh nilai sensitivitas,
sfesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio
kemungkinan negative, dan akurasi. Dengan metode ROC, akan diperoleh area
under the curve (AUC), serta titik potong yang direkomendasikan. Dengan titik
potong tersebut, kita dapat memperoleh keluaran seperti yang diperoleh analisa
tabel 2x2. Analisa berjenjang dilakukan dengan menggunakan analisa multivariat
regresi logistik.
Titik potong (Cut off point) adalah nilai batas antara normal dan abnormal,
atau nilai batas hasil uji positif dan hasil uji negatif. Dalam menentukan titik
potong ini harus dilakukan tawar-menawar, karena peningkatan sensitivitas akan
menyebabkan penurunan spesifisitas dan sebaliknya. Dalam tawar-menawar ini
peneliti harus memperhatikan kepentingan uji diagnostik tersebut, apakah uji
tersebut lebih dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis penyakit ataukah untuk
menyingkirkan penyakit.
Receiver Operating Characteristic (ROC) merupakan suatu cara untuk
menentukan titik potong dalam suatu uji diagnostik, berupa grafik yang
menggambarkan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas
digambarkan pada ordinat Y sedangkan (1-spesifisitas) digambarkan pada aksis
X. garis diagonal terdiri atas titik dengan nilai sensitivitas = 1-spesifisitas. Makin
dekan kurva ROC ke garis diagonal, makin buruk hasilnya. Titik potong yang
terbaik adalah titik terjauh di sebelah kiri atas garis diagonal.
Setelah hasil uji diagnostik diketahui normal atau abnormal, maka langkah
selanjutnya adalah menentukan ada atau tidak adanya penyakit. Nilai prediksi
positif adalah probabilitas seseorang menderita penyakit apabila uji diagnostiknya
positif. Sedangkan nilai prediksi negatif adalah probabilitas seseorang tidak
menderita penyakit apabila uji diagnostiknya negatif.
Setelah itu dilanjutkan dengan analisis berjenjang untuk melihat model
diagnostik yang bermakna serta variabel demografi dan prediktor yang
independen terhadap variabel terikat. Ini dilakukan dengan menggunakan analisis
multivariat regresi logistik dengan hasil keluaran berjenjang (M.Sopyudin, 2009).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Kerangka wajah dan jaringan lunak pada berbagai ras di dunia memiliki
variasi susunan yang besar. Hal ini diperkirakan memiliki pengaruh terhadap hasil
prediktor yang baik untuk suatu ras. Sehingga prediksi intubasi yang dilakukan di
berbagai negara juga menghasilkan variasi yang sangat banyak.
Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) adalah salah satu cara untuk
mempertahankan keadekuatan pertukaran gas. Teknik ini merupakan bentuk
manajemen jalan napas yang juga bermanfaat untuk mencegah aspirasi dan
memberikan ventilasi mekanik. Namun, jika prosedur intubasi yang dilakukan
tiba-tiba mengalami kesulitan dan tidak diantisipasi sebelumnya dapat
membahayakan nyawa pasien dan bahkan menyebabkan kematian. Salah satu hal
yang dapat menggagalkan intubasi
endotrakea adalah kesulitan dalam
memvisualisasikan laring dengan laringoskop.
Sulit intubasi adalah suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali
kesempatan untuk berhasil memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop
konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah
keadaan dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu
lebih dari 10 menit
Sulit visualisasi laring (DVL) adalah penyebab terbanyak kesulitan
intubasi. Klasifikasi untuk memvisualisasi laring yaitu dengan memakai skor
Cormack–Lehane. Oleh Cormack-Lehanne derajat 1 dan 2 diasosiasikan sebagai
intubasi yang mudah sedangkan derajat 3 dan 4 diasosiasikan sebagai intubasi
yang sulit.
Penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa nilai dari tes
skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan satu tes saja
secara tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat
menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan
kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis.
Upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor terbaru sebagai teknik
yang sangat sederhana untuk memprediksi kesulitan intubasi. Upper lip bite test
(ULBT) adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi mukosa atas bibir
dengan incisor bawah.
Skor Mallampati menilai rasio ukuran lidah atau faring, dinilai dengan
cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan, mulut dibuka
maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan suara, untuk
memprediksi kesulitan visualisasi laring.
Belum ada satu landasan anatomi yang dilaporkan memiliki akurasi untuk
prediktor kesulitan intubasi, sehingga menyebabkan tidak adanya indeks
multifaktorial yang diperoleh dengan satu pengukuran.
3.2 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.3. Hipotesis Penelitian
ULBT dan mallampati memiliki Korelasi yang baik bila dikombinasikan
sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar.
Demografi :
- Usia
- Tinggi badan
- Berat badan
- Indeks massa
tubuh
Kesulitan Intubasi
Skor
Mallampatiati
Skor
ULBT
Laringoskopi
Visualisasi Laring
Baku emas: Cormack-Lehane
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan uji diagnostik terhadap dua jenis pemeriksaan
preoperasi yang dibandingkan dengan standar emas pemeriksaan laringoskopi
direk untuk memprediksi kesulitan visualisasi laring.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Rawat Darurat
RSUP Sanglah, dari bulan November 2014 sampai Desember 2014, setelah
mendapat persetujuan panitia tetap penilai etik penelitian FK UNUD RSUP
Sanglah dan persetujuan tertulis dari pasien yang telah mendapat penjelasan
mengenai tujuan dan manfaat penelitian.
4.3. Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi Target
Target Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang akan
menjalani operasi berencana dengan anestesia umum di ruang operasi Instalasi
Bedah Pusat, yang memenuhi kriteria penerimaan.
4.3.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua pasien dewasa yang akan menjalani
operasi berencana dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakeal
di ruang operasi Instalasi Bedah Pusat RSUP Sanglah Denpasar dari bulan
November 2014 sampai Desember 2014.
4.3.3 Tehnik Pengambilan Sampel
Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive
sampling.
4.4. Perhitungan Besar Sampel
Jumlah sampel minimal pada penelitian diagnostik berjenjang ini dihitung
menggunakan rumus besar sampel untuk analisis diagnostik dengan keluaran
model berjenjang.
1. Role of thumb
N = 10-50 x VB, dimana VB adalah variabel bebas.
N = 10-50 x 2 = 20 -100 subjek
2. Rule of thumb dengan faktor koreksi
N = 10 x VB/p
Jumlah variabel bebas adalah 2 variabel.
Nilai p ditentukan dari prevalensi kesulitan penilaian laring yaitu berdasarkan
penelitian Eka 15,7%, sehingga N = 10 x 2/0.157 = 128 subjek
3. Tiap variable dihitung dengan pendekatan bivariat, dengan menggunakan
rumus keluaran tabel 2 x 2.
untuk mallampati :
Keterangan:
n : besar sampel
sen : sensitivitas yang didapatkan pada penelitian sebelumnya, dimana
Jain Shah (2013), mendapatkan sensitivitas mallampati 70,15%.
Zα : tingkat kemaknaan, ditetapkan sebesar 1,96
d : presisi penelitian, ditetapkan sebesar 0,05
Dari perhitungan didapatkan jumlah sampel : 322 subjek.
Dengan cara yang sama untuk ULBT :
Keterangan:
n : besar sampel
sen : sensitivitas yang didapatkan pada penelitian sebelumnya, dimana
Jain Shah (2013), mendapatkan sensitivitas ULBT 74,63%
Zα : tingkat kemaknaan, ditetapkan sebesar 1,96
d : presisi penelitian, ditetapkan sebesar 0,05
Didapatkan jumlah sampel : 291 subyek.
Berdasarkan dari seluruh perhitungan diatas, besar sampel yang diperlukan
adalah 322 subyek, karena merupakan hasil perhitungan sampel terbesar, yaitu
sampel yang dihasilkan oleh rumus ketiga.
4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.5.1. Kriteria Inklusi
a. Pasien yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum
pemasangan pipa endotrakea.
b. Pasien berusia 16-65 tahun.
c. Pasien status fisik ASA 1 atau 2.
d. Setuju mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.
4.5.2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien dengan kemungkinan sulit ventilasi.
b. Pasien dengan resiko terjadinya perdarahan yang tinggi akibat tindakan
laringoskopi.
c. Pasien dengan trauma jalan napas.
d. Adanya keterbatasan membuka mulut < 3 cm.
e. Adanya tumor pada jalan nafas.
f. Pasien luka bakar akut dengan trauma inhalasi
g. Pasien dengan gangguan gerakan daerah leher.
h. Pasien dengan gigi depan atas menonjol.
i. Pasien dengan ketebalan bibir atas >14 mm.
j. Pasien dengan infeksi saluran napas atas.
k. Pasien dengan kelainan anatomi/ sindrom (lidah besar, leher pendek,
micrognathia, prognatishme).
4.6. Alat dan Bahan Kerja
4.6.1. Alat yang Digunakan
a. Alat monitor EKG
b. Alat pemantauan tekanan darah non invasif otomatis,
c. Alat monitor oksimeter
d. Spuit 2,5 cc, 5 cc dan 10 cc.
e. Sarung tangan
f. Set laringoskopi (Macintosh) dan bilah nomor 3 dan nomor 4
g. Alat tulis dan formulir penelitian
h. Selang infus, kanula vena ukuran 20 G atau 18 G
4.6.2. Bahan Yang Digunakan
a. Cairan infus Ringer Laktat
b. Obat premedikasi Midazolam
c. Analgetik Fentanyl
d. Obat induksi Propofol
e. Obat pelumpuh otot Atracurium
4.7. Cara Kerja
a. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik
penelitian kedokteran FK UNUD dan RSUP Sanglah
b. Pasien yang terseleksi diberikan penjelasan tentang tata cara penelitian
dan diminta menandatangani surat persetujuan penelitian
c. Dilakukan penilaian pasien berdasarkan kriteria penerimaan dan
pengeluaran.
d. Pasien dinilai skor Mallampati dan skor ULBT pada saat kunjungan
praanesthesi diruangan.
e. Pasien dinilai skor Mallampati dengan posisi duduk, menjulurkan lidah
tanpa mengeluarkan suara dengan pandangan lurus ke depan.
f. Penilaian ULBT dengan posisi berbaring terlentang.
g. Setelah penderita berbaring di atas meja operasi, dipasang monitor
tekanan darah, EKG dan oksimeter, pemasangan jalur infus jika belum
terpasang.
h. Diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg BB, analgetik fentanil 2-
3 mcg/kgBB. Satu menit kemudian dilakukan induksi dengan Propofol
2-3mg/kgBB. Setelah reflex bulu mata hilang, dilakukan bantuan
ventilasi dengan oksigen 100 % Anestesia volatil memakai isofluran
dengan MAC 1%. Kemudian diberikan atracurium 0,5 mg/kg BB.
Laringoskopi dilakukan setelah dinilai kedalaman anestesia telah
adekuat yaitu rahang lemas dan tidak ada respon motorik pada
pengangkatan rahang atau 3 menit setelah pemberian Atracurium.
i. Laringoskopi dilakukan oleh residen anestesiologi semester 5-6 (pin
hijau), dengan memakai laringoskop Macintosh nomor yang sesuai
sampai ujung bilah pada valekula dan kemudian diangkat hingga pita
suara terlihat.
j. Dilakukan penilaian skor Cormack Lehane tanpa menekan krikoid.
4.8. Alur penelitian
Gambar 4.1. Alur Penelitian
Pasien dengan anastesia umum yang memenuhi kriteria
penerimaan, dan telah mendapat inform consent
Preoperasi di ruang rawat atau triase Bedah
Di kamar bedah
- Pemasangan alat monitor (EKG, Saturasi O2, Tensimeter)
Pemasangan jalur intravena ;
- Persiapan mesin anesthesia dan obat obatan darurat
Induksi anestesia
Sedasi Midazolam 0,05 mg
Fentanil 2-3 mcg / Kg BB
Induksi dengan Propofol 2 mg/Kg BB
Setelah pasien tertidur diberikan Atracurium 0,5
mg/KgBB, Oksigenasi 100% dengan isofluran atau
sevofluran dengan MAC 1%
Setelah 3 menit
Visualisasi laring dengan laringoskopi direk
menggunakan bilah Macintosh ukuran yang sesuai tanpa
penekanan krikoid
Intubasi pipa endotrakea
Analisis data
Penilaian skor Mallampati
Penilaian skor Upper lip Bite test (ULBT)
4.9. Definisi Operasional Variabel
a. Laringoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk
memvisualisasikan pita suara dengan memakai laringoskop
b. Intubasi adalah suatu tindakan untuk memasang pipa endotrakea
c. Kesulitan intubasi adalah adanya kesulitan dalam memasukkan
pipa endotrakea ke dalam trakea setelah dilakukan usaha sebanyak
3 kali. Atau atau lebih 10 menit usaha percobaan dengan
menggunakan laringoskop konvensional yang dilakukan oleh
dokter anestesiologi yang berpengalaman. Kesulitan intubasi
didasarkan atas kesulitan visualisasi laring yang diwakili oleh
Cormack-Lehane derajat 3 dan 4.
d. Posisi laringoskopi dengan sniffing position yaitu posisi pada saat
laringoskopi dengan kepala berada diatas bantal (leher fleksi
terhadap dada) dengan kepala ekstensi terhadap leher, akan
membuat semua aksis (aksis oral, aksis faring dan aksis laring)
dalam 1 garis lurus.
e. Pelaku laringoskopi adalah residen anestesiologi anestesiologi
minimal semester 5-6 (pin hijau)
f. Status fisik : ASA I adalah pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatrik dan biokimia, sedangkan ASA II adalah pasien dengan
penyakit sistemik ringan atau sedang.
g. Upper lip bite test adalah menilai kemampuan pasien untuk
menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Dibagi menjadi
tiga :
Kelas I : Lower incisors dapat
menjangkau bibir atas,
diatas vermilion line
Kelas II : Lower incisors dapat
menjangkau bibir atas,
dibawah vermilion line
Kelas III : Lower incisors tidak dapat menjangkau bibir
Atas
Prediksi kesulitan intubasi di asosiasikan pada Skor III.
h. Skor Mallampati yang merupakan rasio ukuran lidah atau faring,
dinilai dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap
ke depan, mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa
mengeluarkan suara, terdiri atas :
Kelas I : Tampak palatum molle, palatum durum,
uvula, pillar tonsil anterior dan posterior
Kelas II : Tampak palatum molle, palatum durum
dan uvula
Kelas III : Tampak palatum molle dan dasar uvula
Klas IV : Tak tampak palatum molle
Prediksi kesulitan intubasi di asosiasikan pada kelas III dan IV.
i. Status fisik : ASA I adalah pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatrik dan biokimia, sedangkan ASA II adalah pasien dengan
penyakit sistemik ringan atau sedang.
j. Skor Cormack-Lehane adalah skor yang membagi gambaran laring
atas pada saat laringoskopi :
Derajat 1 : Pita suara terlihat semua
Derajat 2 : Tampak sebagian glotis atau aritenoid
Derajat 3 : Hanya terlihat epiglotis
Derajat 4 : Tidak terlihat epiglotis bahkan glotis
k. Umur adalah usia yang tercatat di Rekam Medis.
l. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercatat di Rekam Medis.
m. Berat badan adalah berat badan yang tercatat pada evaluasi pra-
anastesi dalam satuan kilogram.
n. Indeks massa tubuh adalah perhitungan berat badan dalam
kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.
4.10. Analisis Data
Hasil pengamatan dicatat pada formulir, yang selanjutnya ditabulasi dan
dianalisis. Langkah-langkah analisis dimulai dengan melakukan analisis terhadap
variabel demografis yang ada dengan hasil berupa rerata dan nilai median,
kemudian dilanjutkan dengan analisis masing-masing variabel utama dengan
keluaran sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif.
Selanjutnya juga akan dianalisis dengan kurva ROC dengan keluaran
berupa area under the curve (AUC) dan titik potong (cutoff point). Selanjutnya
dilakukan analisa hubungan antar variabel.
Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dan
dianalisis menggunakan program stata SE 12.1.
4.11. Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapat ijin dan kelaikan etik atau ethical clearance
dari Unit Penelitian dan Pengembangan atau Litbang Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar No:
1471/UN.14.2/Litbang/2014 tertanggal 03 Desember 2014. Penelitian ini juga
telah mendapat ijin dari Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar untuk melakukan
penelitian di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar tertanggal 08
Desember 2014 No: LB.02.01/II.C5.D12/17548/2014.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan uji diagnostik bertingkat pada pasien dengan
rentang usia 16-65 tahun yang menjalani operasi dengan anestesia umum
pemasangan pipa endotrakeal yang dilaksanakan di ruang operasi Instalasi Bedah
Sentral dan Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Penilaian ULBT dan Mallampati dilakukan pada saat preoperasi di ruangan rawat
dan penilaian Cormack-Lehane dilakukan pada saat laringoskopi di kamar
operasi.
Total sampel yang diambil sebanyak 322 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi sebagai subyek penelitian, serta bersedia mengikuti penelitian dan setuju
menandatangani informed consent. Pengambilan sampel berlangsung pada periode
November 2014 sampai Desember 2014.
5.1 Data Karakteristik Sampel
Total sampel 322 orang, terdiri atas 153 (47,5%) orang laki-laki dan 169
(52,4%) orang perempuan dengan rerata usia + SD adalah 42,2 +13,8 tahun, rerata
berat badan + SD adalah 59,3 + 10,3 kg, rerata tinggi badan + SD adalah 161,1 +
7,4 cm dan rerata indeks massa tubuh + SD adalah 22,7 + 3,0 kg/m2.
Gambaran karakteristik sampel ditunjukkan pada tabel 5.1. Dimana data
kuantitatif disajikan dalam bentuk rerata + SD dan data kualitatif disajikan dalam
bentuk frekuensi (persentase). Umur, berat badan, tinggi badan dan indeks massa
tubuh merupakan data kuantitatif, sedangkan yang digolongkan sebagai data
kualitatif adalah jenis kelamin.
Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel
Karakteristik sampel Nilai
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
153 (47,5%)
169 (52,4%)
Usia 42,2 +13,8
Berat badan 59,3 + 10,3
Tinggi badan 161,1 + 7,4
Indeks massa tubuh 22,7 + 3,0
5.2 Analisis Uji Diagnostik
Pada penelitian ini Skor ULBT 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah
intubasi, sedangkan ULBT 3 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada
penelitian ini kelompok skor ULBT 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 254 orang
(78,9%), sedangkan DVL sebanyak 49 orang (15,2%). Pada kelompok skor ULBT
3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%).
Skor Mallampati 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi,
sedangkan 3 dan 4 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor
Mallampati 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan
DVL sebanyak 21 orang (6,5%). Pada kelompok skor Mallampati 3 dan 4
didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 47 orang
(14,6%).
Pada penelitian ini didapatkan skor Cormack-Lehane yang terbanyak
adalah Cormack-Lehane 1 sebanyak 132 orang (40,9%), Cormack-Lehane 2
sebanyak 122 orang (37,9%), Cormack-Lehane 3 sebanyak 54 orang (16,8%) dan
Cormack-Lehane 4 sebanyak 14 orang (4,3%). Mudah dalam visualisasi laring
(EVL) didefinisikan sebagai skor Cormack-Lehane 1-2 didapatkan 254 orang
(78,8%), sedangkan sulit dalam visualisasi laring (DVL) didefinisikan sebagai
skor Cormack-Lehane 3-4 sebanyak 68 orang (21,1%).
Pada korelasi secara paralel yang menjadi kategori inti adalah apabila
ditemukan salah satu prediktor sulit dalam visualisasi laring (ULBT 3 atau
Mallampati 3 dan 4) maka kesimpulannya adalah sulit dalam visualisasi laring
(Cormack-Lehane 3 dan 4). Kategori korelasi prediktor secara paralel dapat dilihat
pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Kategori korelasi prediktor secara paralel
Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane
0 EVL EVL EVL
1 EVL/DVL DVL/EVL DVL
2 DVL DVL DVL
Untuk mendapatkan cutoff point, kategori ini harus di sederhanakan
kembali menjadi 2 kategori, sehingga kategori yang hasilnya sama (kategori 1 dan
kategori 2) digabung menjadi satu, sehingga didapatkan kategori korelasi secara
paralel seperti pada table 5.3.
Tabel 5.3 Rekategori korelasi prediktor secara paralel
Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane
0 EVL EVL EVL
1 EVL/DVL/DVL DVL/EVL/DVL DVL
Pada penelitian ini, pada kelompok Kategori 0 didapatkan EVL sebanyak
245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 18 orang (5,6%). Pada kelompok
kategori 1 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak
50 orang (15,5%).
Pada korelasi secara seri yang menjadi kategori inti adalah apabila
ditemukan salah satu prediktor mudah dalam visualisasi laring (ULBT 1 dan 2
atau Mallampati 1 dan 2) maka kesimpulannya adalah mudah dalam visualisasi
laring (Cormack-Lehane 1 dan 2). Kategori korelasi prediktor secara seri dapat
dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Kategori korelasi prediktor secara seri
Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane
0 EVL EVL EVL
1 EVL/DVL DVL/EVL EVL
2 DVL DVL DVL
Untuk mendapatkan cutoff point, kategori ini harus di sederhanakan
kembali menjadi 2 kategori, sehingga kategori yang hasilnya sama (kategori 0 dan
kategori 1) digabung menjadi satu menjadi kategori 0, dan kategori 2 menjadi
kategori 1, sehingga didapatkan kategori korelasi secara seri seperti pada tabel
5.5.
Tabel 5.5 Rekategori korelasi prediktor secara seri
Kategori ULBT Mallampati Cormack-Lehane
0 EVL/EVL/DVL EVL/DVL/EVL EVL
1 DVL DVL DVL
Pada korelasi secara seri ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan
EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 52 orang (16,1%).
Pada kelompok skor korelasi 1 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL
sebanyak 16 orang (5%).
5.2.1 Analisis skor ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi
Skor ULBT 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi,
sedangkan ULBT 3 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok
skor ULBT 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan
DVL sebanyak 49 orang (15,2%). Pada kelompok skor ULBT 3 tidak didapatkan
EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%).
Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas
sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%),
NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan NPN 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%). Tabel
2x2 dari skor ULBT digambarkan pada tabel 5.5
Tabel 5.6 Tabel 2 x 2 skor ULBT
Klasifikasi Cormack-Lehane Total
Sulit Tidak sulit
Skor ULBT Sulit 19 0 19
Tidak sulit 49 254 303
Total 68 254 322
Nilai sensitivitas : 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%)
Nilai spesifisitas : 100% ( 95% CI: 98,6-100%)
Nilai prediksi positif (NPP) : 100% (95% CI: 82.4-100%)
Nilai prediksi negatif (NPN) : 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%)
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 63,9% (95% CI: 58,6-69.3%).
Kurva ROC skor ULBT terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada
gambar 5.1.
Gambar 5.1 Kurva ROC skor ULBT terhadap skor Cormack-Lehane
Tabel 5.7 Analisis ROC skor ULBT
Objects
ROC
Area
Std.
Error
Asymtotic Normal (95% CI )
Lower bound Upper bound
322 0,6397 0,0274 0,58598 0,69343
5.2.2 Analisis skor Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi
Skor Mallampati 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi,
sedangkan 3 dan 4 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor
Mallampati 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan
DVL sebanyak 21 orang (6,5%). Pada kelompok skor Mallampati 3 dan 4
didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 47 orang
(14,6%).
Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas
sebesar 69,1% (95% CI: 56,7-79,8%), spesifisitas 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%),
NPP 83,9% ( 95% CI: 71,7-92,4%) dan NPN 92,1% (95% CI: 88,2-95%). Tabel
2x2 dari skor mallampati digambarkan pada tabel 5.5
Tabel 5.8 Tabel 2 x 2 skor Mallampati
Klasifikasi Cormack-Lehane Total
Sulit Tidak sulit
Skor
Mallampati
Sulit 47 9 56
Tidak sulit 21 245 266
Total 68 254 322
Nilai sensitivitas : 69,1% (95% CI: 56,7-79,8%)
Nilai spesifisitas : 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%)
Nilai prediksi positif (NPP) : 83,9% ( 95% CI: 71,7-92,4%)
Nilai prediksi negatif (NPN) : 92,1% (95% CI: 88,2-95%)
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 82,8% (95% CI: 77,1-88,4%).
Kurva ROC skor Mallampati terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada
gambar 5.2.
Gambar 5.2 Kurva ROC skor Mallampati terhadap skor Cormack-Lehane
Tabel 5.9 Analisis ROC skor Mallampati
Objects
ROC
Area
Std.
Error
Asymtotic Normal (95% CI )
Lower bound Upper bound
322 0,8279 0,0288 0,77140 0,88435
5.2.3 Analisis Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel
Pada penelitian ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL
sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 18 orang (5,6%). Pada
kelompok skor korelasi 1 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan
DVL sebanyak 50 orang (15,5%).
Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas
sebesar 73,5% (95% CI: 61,4-83,5%), spesifisitas 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%),
NPP 84,7% ( 95% CI: 73-92,8%) dan NPN 93,2% (95% CI: 89,4-95,9%). Tabel
2x2 dari korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel digambarkan
pada tabel 5.7
Tabel 5.10 Tabel 2x2 korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel
Klasifikasi Cormack-Lehane Total
Sulit Tidak sulit
Skor
korelasi
parallel
Sulit 50 9 59
Tidak sulit 18 245 263
Total 68 254 322
Nilai sensitivitas : 73,5% (95% CI: 61,4-83,5%)
Nilai spesifisitas : 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%)
Nilai prediksi positif (NPP) : 84,7% ( 95% CI: 73-92,8%)
Nilai prediksi negatif (NPN) : 93,2% (95% CI: 89,4-95,9%)
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 85% (95% CI: 79,6-90,4%).
Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel terhadap
skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.3.
Gambar 5.3 Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara
paralel terhadap skor Cormack-Lehane
Tabel 5.11 Analisis ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara
paralel terhadap skor Cormack-Lehane
Objects
ROC
Area
Std.
Error
Asymtotic Normal (95% CI )
Lower bound Upper bound
322 0,8499 0,0276 0,79590 0,90396
5.2.4 Analisis Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri
Pada penelitian ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL
sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 52 orang (16,1%). Pada
kelompok skor korelasi 1 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL
sebanyak 16 orang (5%).
Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas
sebesar 23,5% (95% CI: 14,1-35,4%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%),
NPP 100% ( 95% CI: 79,4-100%) dan NPN 33% (95% CI: 78,3-87%). Tabel 2x2
dari korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri digambarkan pada
tabel 5.7
Tabel 5.12 Tabel 2 x 2 korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri
Klasifikasi Cormack-Lehane Total
Sulit Tidak sulit
Skor
korelasi
parallel
Sulit 16 0 16
Tidak sulit 52 254 306
Total 68 254 322
Nilai sensitivitas : 23,5% (95% CI: 14,1-35,4%)
Nilai spesifisitas : 100% ( 95% CI: 98,6-100%)
Nilai prediksi positif (NPP) : 100% ( 95% CI: 79,4-100%)
Nilai prediksi negatif (NPN) : 33% (95% CI: 78,3-87%)
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 61,8% (95% CI: 56,7-66,8%).
Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri terhadap
skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.4.
Gambar 5.4 Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara
seri terhadap skor Cormack-Lehane
Tabel 5.13 Analisis ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara
seri terhadap skor Cormack-Lehane
Objects
ROC
Area
Std.
Error
Asymtotic Normal (95% CI )
Lower bound Upper bound
322 0,6176 0,0259 0,56686 0,66843
BAB VI
PEMBAHASAN
Sensitivitas dan nilai prediksi positif pada suatu prediktor sulit intubasi
seharusnya memiliki nilai yang tinggi, sehingga memiliki tingkat akurasi yang
tinggi juga untuk mengidentifikasi semua pasien-pasien yang diduga akan
mengalami kesulitan intubasi. Pada penelitian ini didapatkan Insiden terjadinya
kesulitan dalam visualisasi laring (DVL) sebesar 21,1%, hasil ini sesuai dengan
penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Lee pada tahun 2006, dimana pada 9
penelitian yang melibatkan 14.438 pasien dan didapatkan insiden DVL sebesar 6-
27% (Lee, 2006). Bila hasil ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Eka (2014) dapat disimpulkan angka insiden DVL di RSUP
Sanglah Denpasar sebesar 15,7%. Lebarnya variasi yang didapatkan bias saja
dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya karateristik sampel yang berbeda atau
pelaksana laringoskopi yang berbeda-beda.
6.1 ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi
Pada penelitian ini, cutoff point berdasarkan kriteria dari skor ULBT.
Untuk prediksi EVL adalah skor ULBT 1 dan 2, sedangkan prediksi DVL adalah
skor ULBT 3. Hasil penelitian ini, yang dilakukan melalui uji diagnostik dengan
tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%),
spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan
NPN 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%), sedangkan dari kurva ROC didapat nilai
AUC sebesar 63,9%.
Hasil ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Salimi pada tahun 2008 dan
Jain Shah pada tahun 2013 dimana Salimi mempublikasikan hasil penelitian
terhadap 350 pasien, dan menemukan bahwa upper lip bite test (ULBT)
merupakan prediktor yang baik untuk kesulitan laringoskopi intubasi dengan
sensitivitas 70,0% dan spesifisitas 93,3%, NPP 39,0% dan NPN 98,1%.
Sementara itu Jain Shah dkk. telah mempublikasikan hasil penelitian terhadap 480
pasien dewasa dan menemukan upper lip bite test (ULBT) sebagai prediktor yang
memiliki sensitivitas, spesifisitas, NPP, dan NPN (74,63%; 91,53%; 58,82%;
95,7%).
Perbedaan hasil dari penelitian ini dibandingkan dengan hasil yang
dilakukan Salimi dan Jain Shah dihubungkan dengan struktur kraniofasial yang
berbeda dari populasi sampel.
Susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras Melayu memiliki
perbedaan dengan ras Kaukasus, Israel, Cina, Korea, India Utara dalam analisis
sefalometrik (Munandar, 1992). Pada penelitian ini bila didapatkan hasil ULBT
kelas 1 dan 2 yang masuk kategori EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan
DVL sebanyak 49 orang (15,2%), maka disarankan untuk menggunakan prediktor
lain untuk meningkatkan keakuratan dalam visualisasi laring. Pada kelompok skor
ULBT 3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang
(5,9%), dengan pengertian bila didapatkan ULBT dengan skor 3 maka bisa di
simpulkan bahwa memang benar akan didapatkan kesulitan visualisasi laring.
Dengan hasil uji diagnostik pada ULBT yang dilakukan pada penelitian
ini, dimana didapatkan nilai sensitivitas sebesar 27,9%, spesifisitas sebesar 100%
dan nilai NPP sebesar 100% serta dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar
63,9%, maka dapat disimpulkan bahwa ULBT adalah prediktor yang lemah
sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
6.2 Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi
Penilaian mallampati telah banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan
intubasi. Penilaian berdasarkan struktur anatomi rongga mulut ini dipercaya
sebagai penilaian yang cukup mudah dalam meprediksi kesulitan laringoskopi
intubasi
Cut off point penelitian ini didapat berdasarkan kriteria dari skor
Mallampati. Dimana untuk prediksi EVL adalah skor Mallampati 1 dan 2,
sedangkan prediksi DVL adalah skor Mallampati 2 dan 3.
Pada uji diagnostik dari skor Mallampati, penelitian sebelumnya yang
dilakukan Jain Shah pada tahun 2013, mendapat hasil sensitivitas sebesar 70,4%,
Spesifisitas sebesar 61%, NPP sebesar 22,6%, dan NPN sebesar 92,6%.
Sementara penelitian ini mendapatkan nilai sensitivitas sebesar 69,1%, spesifisitas
96,5%, NPP 83,9% dan NPN 92,1%, sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai
AUC sebesar 82,8%.
Namun pada penelitian yang dilakukan Huh pada populasi Korea
mendapatkan hasil dari nilai sensitivitas sebesar 12%, spesifisitas sebesar 94%,
NPP sebesar 20% dan NPN sebesar 88%. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Salomo dan Efendi mendapatkan hasil dari sensitivitas sebesar 10,7%,
spesifisitas sebesar 99,3%, NPP sebesar 60% dan NPN sebesar 91%.
Adanya Hasil sensitivitas yang berbeda dari masing-masing penelitian
kemungkinan dihubungkan dengan struktur kraniofasial yang berbeda masing-
masing populasi sampel serta penentuan dari cut off point yang berbeda dari
masing-masing penelitian.
Dengan hasil uji diagnostik pada Mallampati yang dilakukan pada
penelitian ini, dimana didapatkan nilai sensitifitas sebesar 69,1%, spesifisitas
sebesar 96,5%, dan NPP sebesar 83,9% serta dari kurva ROC didapat nilai AUC
sebesar 82,8%, maka dapat disimpulkan bahwa Mallapati adalah prediktor yang
baik sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
6.3 Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel
Untuk ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi, penelitian ini
mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas
100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan NPN 83,8%
(95% CI: 79,2-87.8%), sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar
63,9%.
Sedangkan untuk Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi,
penelitian ini mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 69,1%, spesifisitas 96,5%,
NPP 83,9% dan NPN 92,1%, sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC
sebesar 82,8%.
Dari hasil analisa korelasi secara paralel didapatkan hasil dari sensitivitas
sebesar 73,5%, spesifisitas sebesar 96,5%, NPP sebesar 84,7% dan NPN sebesar
93,2%, sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 85%. Ini berarti
terjadi penambahan nilai diagnostik terhadap ULBT dan Mallampati apabila
dilakukan korelasi antara kedua prediktor kesulitan intubasi ini.
Hal ini sangat sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rudim Domi, 2009,
bahwa nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya
menggunakan satu tes tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal
yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga
diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai
diagnosis.
Dengan hasil korelasi paralel pada uji diagnostik ULBT dengan
Mallampati yang dilakukan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
korelasi keduanya adalah prediktor yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi
di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
6.4 Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara Seri
Dari hasil analisa korelasi secara seri didapatkan hasil dari sensitivitas
sebesar 23,5%, spesifisitas sebesar 100%, NPP sebesar 100% dan NPN sebesar
33%, sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 61,8%.
Dari hasil ini dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai dari sensitivitas
korelasi antara ULBT dengan Mallampati. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara
menentukan cut off point antara kedua bentuk korelasi yaitu korelasi secara paralel
dan korelasi secara seri.
Validitas diagnostik dari 2 prediktor sulit intubasi didapatkan Skor
Mallampati lebih baik dibandingkan skor ULBT. Walaupun nilai sensitivitas
mallampati tidak terlalu signifikan, namun dari hasil penelitian ini Mallampati
masih lebih baik dari ULBT. Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem
klasifikasi (Mallampati Score) untuk menghubungkan antara tampilan
oropharyngeal space dengan kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy)
dan intubasi trakeal. Skor Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap
faring. Sedangkan skor ULBT merupakan tehnik yang didasari pada jarak dan
keleluasaan daripada pergerakan mandibula dengan komposisi daripada gigi yang
memiliki peranan yang sangat penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi.
Disini struktur dari kraniofasial sari setiap suku bangsa maupun ras memiliki
peranan yang sangat penting.
ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi tidak terlalu signifikan
berpengaruh pada susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras Melayu,
tetapi kemungkinan mempunyai nilai lebih apabila digunakan sebagai prediktor
kesulitan intubasi pada susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras yang
ada di Asia selatan dan Timur tengah.
Kurva ROC merupakan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas,
dimana luas daerah dibawah kurva (AUC) berkisar antara 0 sampai 1. Nilai AUC
mendekati 1 memiliki nilai validasi diagnostik yang paling baik.
Interpretasi nilai AUC dari kedua tes praanestesi untuk prediktor kesulitan
intubasi, untuk ULBT dengan nilai AUC 63,9% adalah lemah sebagai prediktor
sulit intubasi. Skor Mallampati dengan nilai AUC 82,8% adalah baik sebagai
prediktor sulit intubasi. Sedangkan ketika kedua prediktor yaitu ULBT dan
Mallampati dikorelasikan secara paralel didapatkan nilai AUC sebesar 85% yang
berarti adalah sangat baik sebagai prediktor sulit intubasi. Sedangkan ketika
ULBT dan Mallampati dikorelasikan secara seri didapatkan nilai AUC sebesar
61,8%, yang berarti adalah lemah sebagai prediktor intubasi.
Kelebihan penelitian ini adalah didapatkannya hasil nilai validitas
diagnostik yang baik dari hasil korelasi antara ULBT dengan Mallampati secara
paralel. Dengan tingkat akurasi korelasi yang jauh lebih baik dari prediktor
tunggal diharapkan model gabungan prediktor sulit intubasi ini nantinya dapat
diterapkan pada populasi pasien di RSUP Sanglah Denpasar, dengan harapan
dapat meningkatkan kualitas pelayanan anestesi pada umumnya dan patient safety
khususnya.
Pada penelitian ini didapatkan beberapa keterbatasan. Pertama, sebaran
populasi sampel lebih di dominasi oleh pasien di RSUP Sanglah Denpasar,
sehingga generalisasi ke populasi pasien Indonesia masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Kedua, memerlukan kerjasama dari relawan penelitian
untuk melakukan ekstensi yang maksimal sehingga memperkecil kemungkinan
kesalahan
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini maka dapat diambil simpulan bahwa
ULBT dan mallampati memiliki nilai diagnostik yang kurang baik dan nilai
diagnostik prediktor paling baik didapatkan bila dilakukan korelasi secara
paralel antara prediktor ULBT dengan Mallampati.
7.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi center sehingga data
yang diperoleh dapat dijadikan sebagai data yang dapat diterapkan untuk
seluruh populasi yang ada di di seluruh Indonesia .
2. Diperlukan penelitian dengan mengkombinasikan dengan prediktor
kesulitan intubasi yang lain untuk memperbaiki prediktor kesulitan
intubasi yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Applegate R.L. 2004. Airway management. Dalam: Hines, R.L., penyunting.
Adult Perioperative Anesthesia. Philadelphia: Elsevier Mosby. p. 168-82.
Ballenger, J.J., 2009. Acute inflammation of the Nose and Face. Dalam:
Ballenger, J.J. and Snow, J.B. (eds.) Otorhinolaryngology-Head and Neck.
15th
ed.Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins. p. 125-128.
Benumof JL. 1991. Management of difficult airway – with special emphasis on
awake tracheal intubation. Anesthesiology ; 75: p. 1087-1110.
Benumof JL. 1994. Difficult laryngoscopy: obtaining the best view. Can J
Anaesth ; 41 : 361–5.
Boies L, Adams G, Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: p. 135-142.
Cheney FW. 2002. Changing Trends in Anesthesia-Related Death and Permanent
Brain Damage. ASA Newsletter; 66(6): p. 6-8.
Cormack, R.S., Lehane, J. 1984. Difficult Tracheal Intubation in Obstetrics.
Anaesthesia; 39: 1105-11.
Dorsch Jerry A, Dorch Susan E. 2007. Understanding Anesthesia Equipment.
Lippincott Williams And wilkins. Fifth Edition. P. 525.
Eka W. 2014. Uji Diagnostik Tinggi Tiromental Sebagai Prediktor sulit Intubasi
Dibandingkan Dengan Skor Mallampat, Jarak Tiromental Dan Jarak
Sternomental Pada Operasi Elektif. Universitas Udayana. p. 62.
Gal, T.J. 2005. Airway Management. Dalam: Miller, R.D., penyunting. Miller’s
Anesthesia. Edisi ke-6. Philadelphia: Churchill Livingstone. p. 1617-52.
Guyton AC and JE Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta:
EGC. p.
Hagberg, C., Georgi, R., Krier, C. 2005. Complication of managing the airway.
Best Practice & Reserch Clinical Anaesthesiology; 19 (4): 641-59.
Hussain, M. 2011. Cephalometric evaluation for Malaysian Malay by Steiner
Analysis. Scientific Research and Essay. Volume 6(3); h.627-34.
Jain Shah P, Prasad Dubey K, Prakash Yadav J. 2013. Predictive Value of Upper
Lip Bite test and ratio of height to Thyromental Distance compared to
Other Multivariate Airway Assesment Test for Difficul Laringoscopy in
Apparently Normal Patien. Journal of Anesthesiology Clinical
Pharmacology; 29(2): p. 191-195.
Khan ZH, Kashfi A, Ebrahimkhani E. 2003. A Comparison of the Upper Lip Bite
Test (a Simple New Technique) with Modified Mallampati Classification
in Predicting Difficulty in Endotracheal Intubation: A Prospective Blinded
Styudy. Anesthesia and Analgesia; 96:595-9.
Khan ZH, Mohammadi M, Rasouli MR, Farrokhnia F, Khan RH. 2009. The
Diagnostic Value of the Upper Lip Bite Test Combined With Sternomental
Distance, Thyromental Distance, and Interincisor Distance for Prediction
of Easy Laryngoscopy and Intubation : Prospective Study. Anesthesia and
Analgesia; 109 (3) : p.822-824.
Larson C.P. 2006. Airway Management. Dalam: Morgan, G.E, Mikhail, M.S.,
Murray, M.J., penyunting. Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill. p. 91-116.
Latto IP, Vaughan, R.S. 1997. Management of Difficult Intubation. Dalam:
Difficulties in Tracheal Intubation. New York: W.B. Saunders Company
Ltd. p.107-60.
Lee A Fischer, Ghatge S, Carin A H. 2006. Evidence-Based Practice of
Anesthesiology; 2nd
Ed. p.101-113.
Lohom G. Ronayne. 2003. Prediction of Difficult Tracheal Intubation. European
Journal of Anaesthesiology; p. 31-36.
Lundstrom LH, Vester-Andersen M, Moller AM, Charuluxananan S. 2011. Poor
Prognostic Value of the Modified Mallampati Score : A Meta-Analysis
Involving 177.088 Patients. BJA; 107(5): p. 659-667.
Magboul M. Ali. 2004. Magboul: The Dilemma of Airway Assessment and
Evaluation. Journal of Anesthesiology. 10 (1).
Mallampati, S.R., Gatt, S.P., Gugino, L.D., Desai, S.P., Waraksa, B., Freberger,
D., Liu, P.L. 1985. A Clinical Sign to predict Difficult Tracheal
Intubation: A Prospective Study. Can Anaesth Soc J; 32(4): 429-34.
Mohan K, Mohana R. 2013. Comparison of Upper Lip Bite Test With
Thyromental Distance For Predicting Difficulty In Endotracheal Intubation
: A Prospective Study. Asian Journal of Biomedical and Pharmaceutical
Sciences; 3(22), p. 62-65.
Morgan GE. 2006. Airway Management In Clinical Anesthesiology, 4th
ed, New
York : Mcgraw hill: p. 91-115
Munandar, S. 1992. Cephalometric Analysis of Deutero-Malay Indonesian.
Department of preventive dentistry faculty of dentistry university of
Sydney.
Proops, D.W., 1997. The Mouth and Related Faciomaxillary Structures. Dalam :
Scott Brown’s Otolaryngology. Vol 1. Basic Sciences. 6th
Ed. Butterworth-
Heinemann. Oxford. p. 1-23.
Roberts and Hedges. 2013.Clinical Procedures In Emergency Medicine, sixth
edition. Elsevier Saunders, Philadelphia. p. 65
Rudin Domi. 2009. A Comparison of Wilson Sum Score and Combination
Mallampati, Thyromental and Sternomental Distances for Predicting
Difficult Intubation. Albania Macedonian Journal of Medical Sciences;
2(2):141-14.
Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Dalam: Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny
B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi ke-6: p. 212-215; 217-218.
Sopyudin Dahlan M. 2009. Penelitian Diagnostik, Seri Evidence based medicine
5. Jakarta ; Salemba medika. p. 3-17
Stringer KR, Bajenov S, Yentis SM, 2002. Training in airway management.
Anaesthesia; 57: p.967-983.
Sutthiprapaporn P, Tanimoto K, Ohtsuka M, Nagasaki T, Iida Y, Katsumata A.
2008. Positional changes of oropharyngeal structures due to gravity in the
upright and supine positions. Dentomaxillofacial Radiology, 37: p.130‒
136.
Toshiya Shiga. 2005. Predicting Difficult Intubation in Apparently Normal
Patients. Anesthesiology 2005; 103:429–37.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
JADWAL PENELITIAN
No
Kegiatan
Jul
2014
Agu
2014
Sep
2014
Okt
2014
Nov
2014
Des
2014
Jan
2015
1. Pembuatan
Proposal
2. Seminar Proposal
3. Koreksi/Ijin
Penelitian
4. Pelaksanaan
Penelitian
5. Pengolahan data
6. Seminar hasil
7. Penyempurnaan
hasil
8. Ujian Tesis
9. Penyempurnaan
Tesis
Lampiran 4
INFORMASI
Penjelasan mengenai penelitian KORELASI UPPER LIP BITE TEST
(ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN
INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
Di RSUP Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim
peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Penelitian ini berjudul Korelasi Upper Lip Bite Test (ULBT) dengan
Mallampati Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar.
Bapak/ Ibu/Saudara/ Saudari akan menjalani pembedahan di ruang instalasi
bedah RSUP Sanglah Denpasar dengan prosedur standar untuk anestesi umum
intubasi pipa endotrakea. Apabila bapak/ibu setuju, bapak/ibu akan ikut serta
dalam penelitian ini, kami akan melakukan penilaian skor Upper Lip Bite Test
(ULBT) dan penilaian skor Mallapati. Dimana pada penilaian Upper Lip Bite Test
(ULBT), kami akan meminta bapak/ibu untuk menggigit/menjangkau bibir atas
dengan menggunakan gigi bagian bawah. Sedangkan pada penilaian mallampati
kami akan meminta bapak/ibu untuk membuka mulut sambil menjulurkan lidah.
Kedua pemeriksaan/penilaian diatas dilakukan sebelum bapak/ibu masuk kamar
operasi dan bertujuan untuk memprediksi kesulitan memasukkan pipa endotrakeal
pada saat proses anesthesia.
Apabila bapak/ibu bersedia ikut serta dalam penelitian ini kami ucapkan
terima kasih, tidak akan ada tambahan biaya diluar biaya perawatan yang
seharusnya, dan kerahasiaan identitas bapak/ibu akan kami jaga dengan cara
mencantumkan hanya inisial saja.
Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian
ini. Bila bapak/ibu bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami ucapkan
banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan bila tidak bersedia, tidak akan
mengurangi kualitas pelayanan yang kami berikan.
Terima kasih.
Hormat kami,
Peneliti
(dr. Renol H. Simatupang)
Catatan: nomer telepon peneliti yang dapat dihubungi 081396533280
Lampiran 5
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UJI KLINIK
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ..................................................................................
Umur/Kelamin : ..................................................................................
Alamat : ..................................................................................
Pekerjaan : ..................................................................................
Nomor telepon : ..................................................................................
Nomor KTP/SIM : ..................................................................................
Setelah memperoleh penjelasan selengkap-lengkapnya dari peneliti tentang
tujuan, manfaat serta risiko penelitian ini serta semua pertanyaan saya telah
dijawab dengan jelas oleh dokter peneliti, dengan ini memberikan:
PERSETUJUAN
Untuk ikut serta/mengikutsertakan saya sendiri* /istri* /ibu* /mertua* /saudara*/
anak saya:
Nama : ..................................................................................
Umur/Kelamin : ..................................................................................
Alamat : ..................................................................................
Pekerjaan : ..................................................................................
Nomer telepon : ..................................................................................
Nomer KTP/SIM : ..................................................................................
Dalam penelitian di kamar operasi RSUP Sanglah Denpasar, yang berjudul:
Korelasi Upper Lip Bite Test (ULBT) dengan Mallampati Sebagai Prediktor
Kesulitan Intubasi Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
. Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa
paksaan dari pihak manapun.
Denpasar, ........................2014*
Penanggung jawab penelitian, Yang membuat pernyataan,
(dr. Renol H. Simatupang) (................................................)
Saksi dari Rumah Sakit Saksi dari keluarga pasien
(.........................................) (..............................................)
*Lingkari & coret yang lain
Lampiran 6
LEMBAR PENELITIAN
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI
SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT
SANGLAH DENPASAR
Data Umum
1. No sampel : ...........................................................................................
2. No Rekam Medis : ...........................................................................................
3. Nama : ...........................................................................................
4. Umur : ...........................................................................................
5. Jenis kelamin : ............................................................................................
6. Tingkat pendidikan : ...........................................................................................
7. Tanggal : ...........................................................................................
Data Khusus
1. Diagnosis : ...........................................................................................
2. Jenis Operasi : ...........................................................................................
3. Berat Badan : ............kg
4. Tinggi badan : ............cm
5. IMT : ............kg/m2
6. Status Fisik ASA : ...........................................................................................
Prosedur kerja :
1. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian
kedokteran FK UNUD dan RSUP Sanglah. Pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel.
2. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan
menandatangani persetujuan penelitian.
3. Dilakukan evaluasi penilaian skor Upper Lip Bite Test (ULBT) dan Skor
Mallampati.
4. Upper Lip Bite test (ULBT) : berupa kemampuan lower incisor
menjangkau bibir atas, dengan kalsifikasi :
Kelas I : Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, diatas
vermilion line.
Kelas II : Lower Incisors dapat menjangkau bibir atas,
dibawah vermilion line.
Kelas III : lower incisors tidak dapat menjangkau bibir atas
Gambar 1. Kelas Skor ULBT
Posisi pemeriksaan untuk menilai Upper Lip bite test (ULBT) ini dapat
dilakukan dengan posisi pasien berbaring.
5. Skor Mallampati : merupakan rasio ukuran lidah atau faring, dinilai
dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan,
mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan
suara, terdiri atas :
Kelas I: Tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil
anterior dan posterior
Kelas II : Tampak palatum molle, palatum durum dan uvula
Kelas III : Tampak palatum molle dan dasar uvula
Kelas IV : Tak tampak palatum molle
Posisi pemeriksaan : Pasien duduk dengan mulut terbuka maksimal, lidah
menjulur dan tanpa fonasi
6. Subyek dipuasakan selama 8 jam.
7. Sampai di ruang persiapan instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar,
dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan
infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan
cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien.
8. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, dipindahkan ke meja operasi.
9. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry.
10. Diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg BB, analgetik fentanil 2-3
mcg/kgBB. Satu menit kemudian dilakukan induksi dengan Propofol 2-
3mg/kgBB. Setelah reflex bulu mata hilang, dilakukan bantuan ventilasi
dengan oksigen 100 % Anestesia volatil memakai isofluran dengan MAC
1%. Kemudian diberikan atracurium 0,5 mg/kg BB. Laringoskopi
dilakukan setelah dinilai kedalaman anestesia telah adekuat yaitu rahang
lemas dan tidak ada respon motorik pada pengangkatan rahang atau 3
menit setelah pemberian Atracurium.
11. Laringoskopi dilakukan oleh residen anestesi pin hijau, dengan memakai
laringoskop Macintosh nomor yang sesuai sampai ujung bilah pada
valekula dan kemudian diangkat hingga pita suara terlihat.
12. Dilakukan penilaian skor Cormack Lehane tanpa menekan krikoid.
13. Skor Cormack-Lehane adalah skor yang membagi gambaran laring atas
pada saat laringoskopi :
Derajat 1 : Pita suara terlihat semua
Derajat 2 : Tampak sebagian glotis atau aritenoid
Derajat 3 : Hanya terlihat epiglotis
Derajat 4 : Tidak terlihat epiglotis bahkan glotis
PENCATATAN HASIL EVALUASI
Skor Mallampati
I / II / III / IV
Skor ULBT
I / II / III
Skor Cormack-Lehane
I / II / III / IV
Efek samping yang timbul : ADA / TIDAK*
Observer : ....................................
*Lingkari & coret yang lain
Lampiran 7
TABULASI DATA PENELITIAN : KORELASI UPPER LIP BITE TEST DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR
KESULITAN INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR
No Inisial Umur (th) JK Berat badan
(kg)
Tinggi badan
(m)
BMI ULBT Mallampati Cormack-
Lehane
1 IMS 42 1 70 1.65 25.71 1 2 1
2 VPR 41 2 66 1.65 24.24 2 2 3
3 INS 28 1 60 1.7 20.76 1 1 2
4 IWN 59 1 60 1.65 22.04 2 2 2
5 Wt 47 1 52 1.6 20.31 2 2 2
6 JKS 21 2 50 1.5 22.22 1 1 1
7 IWM 41 1 45 1.6 17.58 1 2 1
8 IWK 56 1 80 1.68 28.34 1 1 1
9 YW 52 2 41 1.55 17.07 2 2 2
10 MR 42 1 62 1.7 21.45 2 2 2
11 DL 44 1 94 1.8 29.01 2 2 2
12 Jai 41 1 70 1.7 24.22 1 2 1
13 KMu 29 2 70 1.7 24.22 2 2 2
14 IDC 28 2 66 1.6 25.78 1 1 1
15 Bad 46 2 60 1.6 23.44 2 2 2
16 INW 49 2 65 1.65 23.88 2 2 2
17 NWA 24 2 50 1.5 22.22 3 3 3
18 AH 49 1 60 1.65 22.04 2 2 2
19 NMY 31 2 65 1.58 26.04 2 3 4
20 GAS 39 2 62 1.6 24.22 2 2 2
21 DAN 36 2 62 1.58 24.84 2 2 2
22 NNR 46 2 60 1.65 22.04 2 2 2
23 IWW 48 1 65 1.6 25.39 1 1 1
24 NMA 26 2 55 1.6 21.48 2 2 3
25 NNT 64 2 60 1.55 24.97 2 2 2
26 IKM 64 1 45 1.6 17.58 1 2 1
27 INy 32 1 50 1.6 19.53 2 2 2
28 GDS 32 1 50 1.6 19.53 2 3 3
29 NKN 20 2 60 1.65 22.04 1 2 2
30 NKR 21 2 42 1.5 18.67 1 1 1
31 SL 18 1 45 1.46 21.11 2 1 2
32 NNS 65 2 52 1.6 20.31 2 2 3
33 NWA 56 2 65 1.6 25.39 2 3 3
34 MR 39 1 60 1.65 22.04 1 2 2
35 IGL 64 1 60 1.7 20.76 1 2 1
36 Su 34 2 55 1.55 22.89 2 2 1
37 MdD 53 2 70 1.65 25.71 2 2 2
38 NKR 51 2 40 1.5 17.78 2 3 4
39 IWS 56 1 80 1.7 27.68 2 2 3
40 IGS 33 1 60 1.6 23.44 2 1 2
41 NWT 48 2 50 1.55 20.81 2 2 3
42 NKR 51 2 45 1.6 17.58 2 2 3
43 NWS 61 2 45 1.5 20.00 2 3 3
44 NKs 34 2 72 1.6 28.13 2 2 2
45 IPA 29 1 70 1.69 24.51 3 3 3
46 NNK 41 2 64 1.56 26.30 2 2 2
47 IMB 56 1 65 1.65 23.88 2 2 2
48 IWG 53 1 80 1.55 33.30 2 3 3
49 LSA 59 2 65 1.58 26.04 1 2 2
50 WA 55 1 75 1.65 27.55 1 2 2
51 IKY 49 1 70 1.7 24.22 2 3 3
52 NYY 47 2 65 1.65 23.88 2 2 2
53 NKS 35 2 40 1.5 17.78 1 2 1
54 IAK 43 2 51 1.55 21.23 2 3 3
55 NNW 57 2 55 1.6 21.48 1 1 1
56 NWa 51 1 60 1.65 22.04 1 2 2
57 Haf 23 2 35 1.4 17.86 1 1 1
58 NKA 27 2 53 1.61 20.45 2 2 2
59 CHS 32 1 97 1.78 30.61 1 3 2
60 DS 39 1 60 1.73 20.05 2 1 2
61 Sug 46 1 75 1.7 25.95 2 2 2
62 INT 61 1 65 1.75 21.22 2 2 2
63 INK 62 1 65 1.71 22.23 2 3 3
64 NNK 55 2 60 1.55 24.97 1 2 2
65 INL 60 1 60 1.65 22.04 2 1 1
66 PhL 65 1 58 1.6 22.66 2 2 2
67 RMa 22 2 55 1.6 21.48 1 1 1
68 BAJ 16 2 55 1.6 21.48 2 1 1
69 Dah 26 1 50 1.6 19.53 1 1 1
70 NKS 37 2 65 1.7 22.49 1 2 1
71 PDB 58 1 65 1.75 21.22 2 2 3
72 IGA 18 1 78 1.76 25.18 2 2 2
73 NNR 19 2 45 1.55 18.73 2 2 2
74 NWP 63 2 50 1.55 20.81 2 2 2
75 ASa 22 1 50 1.55 20.81 2 1 2
76 IGA 29 2 55 1.55 22.89 2 3 2
77 IWD 44 1 58 1.6 22.66 2 1 2
78 NKM 58 2 50 1.5 22.22 2 3 3
79 IKM 20 2 65 1.65 23.88 1 2 2
80 LPS 28 2 66 1.65 24.24 1 1 1
81 AUA 40 2 45 1.6 17.58 2 2 2
82 PtB 21 1 58 1.65 21.30 2 2 2
83 NSK 54 2 60 1.65 22.04 2 3 3
84 PtS 32 1 60 1.65 22.04 2 2 2
85 SRD 44 2 65 1.56 26.71 1 2 2
86 MdW 51 1 75 1.75 24.49 2 3 3
87 Sun 44 2 60 1.65 22.04 2 2 2
88 NMS 29 2 55 1.55 22.89 1 2 2
89 MeA 65 2 100 1.6 39.06 2 3 3
90 NNR 63 2 50 1.55 20.81 2 2 1
91 INR 43 1 70 1.7 24.22 2 2 2
92 Hal 55 2 50 1.6 19.53 1 2 1
93 IWW 19 1 50 1.64 18.59 2 2 1
94 DGG 17 1 65 1.65 23.88 2 1 1
95 JeA 35 2 55 1.55 22.89 2 3 3
96 INS 54 1 70 1.65 25.71 2 3 3
97 INK 54 1 60 1.65 22.04 2 3 3
98 IKK 42 1 60 1.65 22.04 1 2 2
99 NKA 41 2 60 1.6 23.44 2 3 3
100 InS 35 1 70 1.65 25.71 3 4 4
101 LuD 51 1 60 1.5 26.67 2 2 1
102 IWn 61 1 75 1.75 24.49 2 3 3
103 IWs 50 1 65 1.65 23.88 2 3 3
104 IMK 51 2 50 1.5 22.22 1 2 1
105 MB 54 1 60 1.7 20.76 2 2 2
106 KM 54 1 60 1.65 22.04 2 3 2
107 NNR 32 2 50 1.5 22.22 1 2 2
108 GAD 46 2 55 1.6 21.48 2 2 3
109 NG 55 1 70 1.7 24.22 2 2 2
110 MD 65 1 60 1.65 22.04 3 2 4
111 AW 19 1 65 1.5 28.89 1 2 2
112 TS 19 1 55 1.65 20.20 2 2 2
113 Sw 41 2 75 1.65 27.55 2 3 3
114 IWP 60 1 45 1.5 20.00 1 2 2
115 IKR 60 1 60 1.68 21.26 2 1 3
116 NWM 42 2 70 1.65 25.71 2 1 2
117 IKS 51 2 60 1.55 24.97 2 3 2
118 NAL 19 2 45 1.55 18.73 2 2 1
119 PYF 16 1 70 1.75 22.86 1 1 1
120 IMS 47 1 75 1.7 25.95 2 3 2
121 NLB 65 2 40 1.45 19.02 1 2 1
122 MV 35 2 50 1.55 20.81 2 1 1
123 Fl 46 2 60 1.65 22.04 1 1 1
124 NLS 29 2 55 1.55 22.89 3 1 3
125 NS 19 1 52 1.65 19.10 2 1 1
126 NKS 40 2 80 1.65 29.38 2 3 2
127 GTA 25 1 65 1.65 23.88 2 2 2
128 Wh 43 1 60 1.6 23.44 1 1 1
129 TDM 50 2 55 1.6 21.48 2 2 1
130 NNS 56 2 45 1.55 18.73 1 2 2
131 KGG 27 1 60 1.7 20.76 2 1 1
132 INM 64 1 55 1.7 19.03 1 2 2
133 PKS 20 1 55 1.65 20.20 2 2 1
134 ASK 25 2 65 1.6 25.39 1 1 2
135 KDW 29 1 65 1.68 23.03 2 2 3
136 Sd 32 1 56 1.7 19.38 2 1 1
137 WPS 30 1 55 1.67 19.72 1 1 1
138 INB 37 1 70 1.65 25.71 2 2 3
139 SKM 47 1 43 1.5 19.11 3 3 4
140 KS 59 1 55 1.6 21.48 2 2 1
141 NWP 61 2 80 1.6 31.25 3 3 3
142 NMW 64 2 50 1.55 20.81 2 2 3
143 MM 51 1 55 1.6 21.48 2 2 3
144 EP 28 1 55 1.65 20.20 2 2 2
145 MP 59 1 60 1.6 23.44 1 2 2
146 WM 62 1 60 1.65 22.04 1 2 2
147 WS 36 2 52 1.6 20.31 2 2 1
148 NLK 33 2 65 1.6 25.39 2 1 1
149 MI 48 2 65 1.6 25.39 2 1 2
150 MS 42 1 50 1.6 19.53 2 2 1
151 KA 41 2 50 1.6 19.53 1 1 1
152 INT 58 1 45 1.55 18.73 2 2 1
153 KDW 43 2 55 1.6 21.48 1 1 1
154 DNS 62 2 65 1.6 25.39 2 2 1
155 IGS 64 1 70 1.65 25.71 3 2 3
156 Sf 19 1 66 1.6 25.78 2 2 1
157 GKM 49 2 45 1.5 20.00 1 1 1
158 INS 51 1 50 1.6 19.53 1 1 1
159 INM 40 1 57 1.6 22.27 2 2 1
160 Sw 41 2 65 1.65 23.88 2 2 1
161 Mn 65 2 50 1.55 20.81 1 1 1
162 GNS 57 2 50 1.55 20.81 3 3 3
163 NWB 64 2 50 1.5 22.22 2 2 2
164 IWK 47 2 55 1.55 22.89 1 1 1
165 NNS 46 2 50 1.45 23.78 1 2 1
166 Hs 47 2 50 1.55 20.81 2 2 1
167 WS 36 1 80 1.7 27.68 3 3 4
168 My 39 1 74 1.7 25.61 1 2 2
169 MU 22 2 40 1.5 17.78 2 2 1
170 DM 53 1 60 1.6 23.44 2 2 1
171 NMF 52 2 60 1.6 23.44 1 2 1
172 EN 38 2 45 1.55 18.73 1 1 1
173 NLR 45 2 50 1.6 19.53 1 2 1
174 Mj 31 2 55 1.6 21.48 2 2 1
175 IBW 57 1 55 1.6 21.48 2 2 2
176 NKE 38 2 60 1.65 22.04 2 1 1
177 NC 48 1 65 1.65 23.88 1 1 1
178 IMP 57 1 60 1.75 19.59 1 2 1
179 Pj 58 2 67 1.51 29.38 2 2 2
180 SNA 33 2 55 1.6 21.48 2 1 1
181 MW 57 2 60 1.55 24.97 2 2 2
182 Nn 39 2 53 1.65 19.47 2 1 1
183 NKS 41 2 50 1.48 22.83 1 1 1
184 Nj 39 2 51 1.65 18.73 1 1 1
185 MWt 57 2 60 1.55 24.97 2 2 3
186 SNA 33 2 55 1.6 21.48 2 1 1
187 Pd 58 2 70 1.51 30.70 2 1 2
188 IMP 57 1 60 1.75 19.59 1 2 1
189 INC 48 1 65 1.65 23.88 2 1 1
190 NKE 38 2 60 1.65 22.04 2 1 1
191 BW 37 1 55 1.6 21.48 1 2 2
192 Mj 31 2 55 1.6 21.48 1 2 1
193 NLR 45 2 50 1.6 19.53 1 2 1
194 EN 38 2 45 1.55 18.73 2 1 1
195 MMF 52 2 60 1.6 23.44 2 2 1
196 DM 53 1 60 1.6 23.44 2 2 1
197 MU 22 2 45 1.5 20.00 1 2 1
198 MD 39 1 74 1.7 25.61 2 2 2
199 WS 36 1 80 1.7 27.68 3 4 4
200 Hf 47 2 50 1.55 20.81 1 2 1
201 Mh 39 2 60 1.58 24.03 1 1 1
202 ING 31 1 60 1.65 22.04 1 2 1
203 NKD 34 2 55 1.6 21.48 2 1 1
204 NLD 22 2 50 1.6 19.53 2 1 1
205 IWS 51 1 66 1.72 22.31 3 3 4
206 GMO 50 1 60 1.65 22.04 2 2 1
207 Ht 54 2 50 1.55 20.81 1 1 1
208 MTD 52 1 85 1.73 28.40 3 3 4
209 NNS 34 2 66 1.6 25.78 2 2 2
210 INR 48 2 55 1.5 24.44 2 2 2
211 LWA 21 2 50 1.62 19.05 2 1 1
212 MD 18 1 45 1.5 20.00 1 1 1
213 RM 23 2 49 1.5 21.78 1 2 1
214 IWS 63 1 75 1.65 27.55 1 3 2
215 Gn 18 1 45 1.5 20.00 1 1 2
216 KR 48 1 68 1.65 24.98 2 2 3
217 DK 33 1 60 1.6 23.44 2 2 2
218 SH 31 1 60 1.65 22.04 1 1 1
219 GAM 33 2 55 1.6 21.48 2 1 1
220 TML 61 2 75 1.6 29.30 2 2 2
221 IAG 30 2 60 1.55 24.97 2 1 1
222 HRS 18 2 53 1.4 27.04 2 2 2
223 NYS 45 1 50 1.65 18.37 2 2 2
224 SrA 36 2 50 1.6 19.53 1 1 2
225 KmR 60 1 45 1.55 18.73 2 3 2
226 NRB 20 1 60 1.8 18.52 1 2 2
227 NNS 34 2 66 1.6 25.78 3 3 3
228 MdO 50 1 60 1.65 22.04 2 2 1
229 LAH 51 2 65 1.65 23.88 1 3 3
230 Nyr 28 1 70 1.75 22.86 2 1 1
231 DAY 39 2 67 1.67 24.02 1 2 1
232 PBP 18 1 55 1.6 21.48 1 2 1
233 NNP 40 2 50 1.55 20.81 1 1 1
234 RaL 41 2 70 1.65 25.71 1 2 2
235 KtS 26 1 70 1.7 24.22 2 2 2
236 NLG 41 2 55 1.65 20.20 1 2 2
237 ArS 63 2 50 1.55 20.81 1 1 1
238 KDP 18 2 40 1.5 17.78 1 1 1
239 TY 31 2 50 1.5 22.22 1 1 2
240 KtL 63 2 45 1.5 20.00 2 2 1
241 INL 44 1 50 1.6 19.53 2 3 3
242 JrM 48 1 60 1.65 22.04 2 3 3
243 ABA 27 1 75 1.65 27.55 2 2 2
244 WyH 36 2 50 1.55 20.81 1 2 1
245 NgS 31 1 65 1.71 22.23 2 2 2
246 Nya 39 1 80 1.78 25.25 1 2 1
247 MdU 48 1 70 1.6 27.34 1 2 2
248 KoW 22 1 60 1.7 20.76 2 3 3
249 AFC 41 1 70 170 0.00 2 2 1
250 GAS 36 2 50 1.6 19.53 1 1 1
251 GNA 43 2 52 160 0.00 1 1 1
252 DGS 57 1 75 1.75 24.49 2 2 1
253 Md 33 1 60 1.6 23.44 2 2 2
254 NWA 40 2 55 1.55 22.89 2 2 2
255 IPT 52 2 68 1.56 27.94 1 2 2
256 AR 50 2 60 1.6 23.44 2 2 2
257 PO 47 1 65 1.65 23.88 1 2 2
258 NJ 59 1 60 1.65 22.04 1 2 2
259 KMS 20 1 70 1.65 25.71 2 2 1
260 NKK 64 2 72 1.65 26.45 2 1 2
261 LA 24 2 55 1.55 22.89 2 2 1
262 IMA 39 1 85 1.75 27.76 2 3 2
263 NNT 48 2 60 1.55 24.97 2 1 2
264 IKA 38 2 55 1.6 21.48 2 1 1
265 WS 35 1 60 1.7 20.76 2 2 2
266 WM 65 2 40 1.5 17.78 1 2 2
267 Sw 46 2 50 1.5 22.22 1 2 1
268 NMS 58 2 45 1.5 20.00 2 2 1
269 NMD 40 2 75 1.65 27.55 1 2 2
270 NKD 40 2 42 1.43 20.54 1 2 1
271 NNW 64 2 56 1.5 24.89 1 2 3
272 INB 31 1 60 1.65 22.04 2 2 3
273 Mas 49 1 46 166 0.00 2 2 2
274 Kr 22 2 47 1.58 18.83 2 2 2
275 NMS 41 2 65 1.58 26.04 2 3 3
276 IMA 18 1 65 1.7 22.49 2 1 1
277 Sh 48 1 58 1.65 21.30 1 2 2
278 IWS 41 1 60 1.7 20.76 2 1 1
279 ASP 18 1 65 1.65 23.88 2 2 1
280 MDO 18 2 50 1.55 20.81 1 1 1
281 KtN 56 2 56 1.5 24.89 1 1 1
282 NiL 32 2 50 1.6 19.53 3 4 3
283 MaG 49 2 55 1.6 21.48 2 3 3
284 MdR 55 1 60 1.7 20.76 3 4 4
285 WyK 61 1 70 1.7 24.22 2 3 4
286 Nsu 57 2 45 1.5 20.00 3 3 3
287 Mis 45 1 70 1.65 25.71 2 3 3
288 NyS 54 1 70 1.65 25.71 2 2 2
289 WyR 38 2 70 1.6 27.34 2 1 1
290 NaP 45 2 60 1.55 24.97 2 1 2
291 PAA 17 2 55 1.6 21.48 2 2 1
292 KtW 43 1 60 1.6 23.44 1 2 2
293 DAY 39 2 67 1.67 24.02 2 2 1
294 INR 28 1 70 1.75 22.86 2 2 1
295 IWS 19 1 60 1.6 23.44 1 2 1
296 NWS 65 2 65 1.6 25.39 1 2 2
297 NKR 40 2 49 1.5 21.78 3 3 4
298 NRB 20 1 62 1.8 19.14 1 2 2
299 IWS 35 1 60 1.65 22.04 1 1 1
300 IMM 58 1 65 1.65 23.88 2 3 4
301 ASA 18 1 70 1.7 24.22 1 1 1
302 NNL 53 2 50 1.55 20.81 1 2 1
303 INO 57 1 75 1.68 26.57 2 3 3
304 Nh 39 2 50 1.5 22.22 1 1 1
305 NS 45 1 75 1.7 25.95 1 2 1
306 LI 40 2 50 1.55 20.81 2 1 1
307 NNS 47 2 45 1.55 18.73 2 2 2
308 Sp 25 1 60 1.65 22.04 2 3 3
309 NMD 18 2 45 1.55 18.73 1 1 1
310 NPN 19 2 55 1.7 19.03 2 1 1
311 IKP 46 1 60 1.7 20.76 2 2 1
312 NMN 63 2 59 1.55 24.56 2 2 2
313 INL 44 1 50 1.6 19.53 2 2 2
314 NKL 63 2 45 1.5 20.00 1 2 1
315 PIW 44 1 80 1.75 26.12 1 2 2
316 WyR 65 1 70 1.65 25.71 2 2 1
317 BeK 36 1 50 1.55 20.81 2 2 2
318 SuN 44 2 60 1.65 22.04 2 2 2
319 HjS 63 2 75 1.6 29.30 2 2 3
320 MdW 52 1 75 1.66 27.22 1 1 2
321 KtU 57 2 58 1.5 25.78 3 3 4
322 KtW 43 1 60 1.6 23.44 1 2 2
Lampiran 8
HASIL ANALISIS DATA
. sum umurth
Variable | Obs Mean Std. Dev. Min
Max
-------------+------------------------------------------------
--------
umurth | 322 42.23913 13.7857 16
65
. tab jk
JK | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
Laki-laki | 153 47.52 47.52
Perempuan | 169 52.48 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. sum beratbadankg
Variable | Obs Mean Std. Dev. Min
Max
-------------+------------------------------------------------
--------
beratbadankg | 322 59.3354 10.30044 35
100
. sum tinggibadanm
Variable | Obs Mean Std. Dev. Min
Max
-------------+------------------------------------------------
--------
tinggibadanm | 322 1.611894 .0746486 1.4
1.8
.
. sum imt
Variable | Obs Mean Std. Dev. Min
Max
-------------+------------------------------------------------
--------
imt | 322 22.74476 3.053267 16.69328
39.0625
. tab ulbt
ULBT | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
1 | 114 35.40 35.40
2 | 189 58.70 94.10
3 | 19 5.90 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. tab mallampati
Mallampati | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
1 | 85 26.40 26.40
2 | 181 56.21 82.61
3 | 52 16.15 98.76
4 | 4 1.24 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. tab cormacklehane
Cormack-Leh |
ane | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
1 | 132 40.99 40.99
2 | 122 37.89 78.88
3 | 54 16.77 95.65
4 | 14 4.35 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. tab kat_ulbt
kat_ulbt | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
Mudah | 303 94.10 94.10
Sulit | 19 5.90 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. tab kat_mp
kat_mp | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
Mudah | 266 82.61 82.61
Sulit | 56 17.39 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. tab kat_cormack
kat_cormack | Freq. Percent Cum.
------------+-----------------------------------
Mudah | 254 78.88 78.88
Sulit | 68 21.12 100.00
------------+-----------------------------------
Total | 322 100.00
. tab kat_ulbt kat_cormack, col row
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| row percentage |
| column percentage |
+-------------------+
| kat_cormack
kat_ulbt | Mudah Sulit | Total
-----------+----------------------+----------
Mudah | 254 49 | 303
| 83.83 16.17 | 100.00
| 100.00 72.06 | 94.10
-----------+----------------------+----------
Sulit | 0 19 | 19
| 0.00 100.00 | 100.00
| 0.00 27.94 | 5.90
-----------+----------------------+----------
Total | 254 68 | 322
| 78.88 21.12 | 100.00
| 100.00 100.00 | 100.00
. diagt kat_cormack kat_ulbt
kat_cormac | kat_ulbt
k | Pos. Neg. | Total
-----------+----------------------+----------
Abnormal | 19 49 | 68
Normal | 0 254 | 254
-----------+----------------------+----------
Total | 19 303 | 322
True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled
Sulit)
[95%
Confidence Interval]
--------------------------------------------------------------
-------------
Prevalence Pr(A) 21% 17%
26%
--------------------------------------------------------------
-------------
Sensitivity Pr(+|A) 27.9% 17.7%
40.1%
Specificity Pr(-|N) 100% 98.6%
100%
ROC area (Sens. + Spec.)/2 .64 .586
.693
--------------------------------------------------------------
-------------
Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) . .
.
Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .721 .621
.836
Odds ratio LR(+)/LR(-) . 25.3
.
Positive predictive value Pr(A|+) 100% 82.4%
100%
Negative predictive value Pr(N|-) 83.8% 79.2%
87.8%
--------------------------------------------------------------
-------------
Missing values or confidence intervals may be estimated
using the -sf- or -sf0- options.
. roctab kat_cormack kat_ulbt, detail graph
Detailed report of sensitivity and specificity
--------------------------------------------------------------
----------------
Correctly
Cutpoint Sensitivity Specificity Classified
LR+ LR-
--------------------------------------------------------------
----------------
( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%
1.0000
( >= Sulit ) 27.94% 100.00% 84.78%
0.7206
( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%
1.0000
--------------------------------------------------------------
----------------
ROC -Asymptotic
Normal--
Obs Area Std. Err. [95% Conf.
Interval]
-----------------------------------------------------
---
322 0.6397 0.0274 0.58598
0.69343
. tab kat_mp kat_cormack, col row
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| row percentage |
| column percentage |
+-------------------+
| kat_cormack
kat_mp | Mudah Sulit | Total
-----------+----------------------+----------
Mudah | 245 21 | 266
| 92.11 7.89 | 100.00
| 96.46 30.88 | 82.61
-----------+----------------------+----------
Sulit | 9 47 | 56
| 16.07 83.93 | 100.00
| 3.54 69.12 | 17.39
-----------+----------------------+----------
Total | 254 68 | 322
| 78.88 21.12 | 100.00
| 100.00 100.00 | 100.00
. diagt kat_cormack kat_mp
kat_cormac | kat_mp
k | Pos. Neg. | Total
-----------+----------------------+----------
Abnormal | 47 21 | 68
Normal | 9 245 | 254
-----------+----------------------+----------
Total | 56 266 | 322
True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled
Sulit)
[95%
Confidence Interval]
--------------------------------------------------------------
-------------
Prevalence Pr(A) 21% 17%
26%
--------------------------------------------------------------
-------------
Sensitivity Pr(+|A) 69.1% 56.7%
79.8%
Specificity Pr(-|N) 96.5% 93.4%
98.4%
ROC area (Sens. + Spec.)/2 .828 .771
.884
--------------------------------------------------------------
-------------
Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) 19.5 10.1
37.8
Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .32 .224
.457
Odds ratio LR(+)/LR(-) 60.9 26.5
140
Positive predictive value Pr(A|+) 83.9% 71.7%
92.4%
Negative predictive value Pr(N|-) 92.1% 88.2%
95%
--------------------------------------------------------------
-------------
. roctab kat_cormack kat_mp, detail graph
Detailed report of sensitivity and specificity
--------------------------------------------------------------
----------------
Correctly
Cutpoint Sensitivity Specificity Classified
LR+ LR-
--------------------------------------------------------------
----------------
( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%
1.0000
( >= Sulit ) 69.12% 96.46% 90.68%
19.5065 0.3202
( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%
1.0000
--------------------------------------------------------------
----------------
ROC -Asymptotic
Normal--
Obs Area Std. Err. [95% Conf.
Interval]
-----------------------------------------------------
---
322 0.8279 0.0288 0.77140
0.88435
. tab pararel kat_cormack, col row
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| row percentage |
| column percentage |
+-------------------+
| kat_cormack
pararel | Mudah Sulit | Total
-----------+----------------------+----------
Mudah | 245 18 | 263
| 93.16 6.84 | 100.00
| 96.46 26.47 | 81.68
-----------+----------------------+----------
Sulit | 9 50 | 59
| 15.25 84.75 | 100.00
| 3.54 73.53 | 18.32
-----------+----------------------+----------
Total | 254 68 | 322
| 78.88 21.12 | 100.00
| 100.00 100.00 | 100.00
. diagt kat_cormack pararel
kat_cormac | pararel
k | Pos. Neg. | Total
-----------+----------------------+----------
Abnormal | 50 18 | 68
Normal | 9 245 | 254
-----------+----------------------+----------
Total | 59 263 | 322
True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled
Sulit)
[95%
Confidence Interval]
--------------------------------------------------------------
-------------
Prevalence Pr(A) 21% 17%
26%
--------------------------------------------------------------
-------------
Sensitivity Pr(+|A) 73.5% 61.4%
83.5%
Specificity Pr(-|N) 96.5% 93.4%
98.4%
ROC area (Sens. + Spec.)/2 .85 .796
.904
--------------------------------------------------------------
-------------
Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) 20.8 10.8
40
Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .274 .185
.408
Odds ratio LR(+)/LR(-) 75.6 32.4
176
Positive predictive value Pr(A|+) 84.7% 73%
92.8%
Negative predictive value Pr(N|-) 93.2% 89.4%
95.9%
--------------------------------------------------------------
-------------
. roctab kat_cormack pararel , detail graph
Detailed report of sensitivity and specificity
--------------------------------------------------------------
----------------
Correctly
Cutpoint Sensitivity Specificity Classified
LR+ LR-
--------------------------------------------------------------
----------------
( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%
1.0000
( >= Sulit ) 73.53% 96.46% 91.61%
20.7516 0.2744
( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%
1.0000
--------------------------------------------------------------
----------------
ROC -Asymptotic
Normal--
Obs Area Std. Err. [95% Conf.
Interval]
-----------------------------------------------------
---
322 0.8499 0.0276 0.79590
0.90396
. tab seri kat_cormack, col row
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| row percentage |
| column percentage |
+-------------------+
| kat_cormack
seri | Mudah Sulit | Total
-----------+----------------------+----------
Mudah | 254 52 | 306
| 83.01 16.99 | 100.00
| 100.00 76.47 | 95.03
-----------+----------------------+----------
Sulit | 0 16 | 16
| 0.00 100.00 | 100.00
| 0.00 23.53 | 4.97
-----------+----------------------+----------
Total | 254 68 | 322
| 78.88 21.12 | 100.00
| 100.00 100.00 | 100.00
. diagt kat_cormack seri
kat_cormac | seri
k | Pos. Neg. | Total
-----------+----------------------+----------
Abnormal | 16 52 | 68
Normal | 0 254 | 254
-----------+----------------------+----------
Total | 16 306 | 322
True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled
Sulit)
[95%
Confidence Interval]
--------------------------------------------------------------
-------------
Prevalence Pr(A) 21% 17%
26%
--------------------------------------------------------------
-------------
Sensitivity Pr(+|A) 23.5% 14.1%
35.4%
Specificity Pr(-|N) 100% 98.6%
100%
ROC area (Sens. + Spec.)/2 .618 .567
.668
--------------------------------------------------------------
-------------
Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) . .
.
Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .765 .67
.872
Odds ratio LR(+)/LR(-) . 20
.
Positive predictive value Pr(A|+) 100% 79.4%
100%
Negative predictive value Pr(N|-) 83% 78.3%
87%
--------------------------------------------------------------
-------------
Missing values or confidence intervals may be estimated
using the -sf- or -sf0- options.
. roctab kat_cormack seri , detail graph
Detailed report of sensitivity and specificity
--------------------------------------------------------------
----------------
Correctly
Cutpoint Sensitivity Specificity Classified
LR+ LR-
--------------------------------------------------------------
----------------
( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12%
1.0000
( >= Sulit ) 23.53% 100.00% 83.85%
0.7647
( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88%
1.0000
--------------------------------------------------------------
----------------
ROC -Asymptotic
Normal--
Obs Area Std. Err. [95% Conf.
Interval]
-----------------------------------------------------
---
322 0.6176 0.0259 0.56686
0.66843