BAB VI Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Arbiterase Asing di Indonesia A. Praktek Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958. Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB VI
Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Arbiterase Asing di Indonesia
A. Praktek Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia
Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing
(Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam
Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada
dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York
1958.
Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani
masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase
internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999,
dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai
hal tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih
sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan
arbtirase internasional.
Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an
arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan
arbitrase internasional. Karena mengantisipasi hal demikian itu, maka tidaklah
heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang perkara arbitrase
internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di
negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.
Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa
pengadilan Indonesia enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan
yang bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum. Seperti diketahui,
walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok
hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun
penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan
demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.
Adalah menarik untuk mencatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya
mencantumkan public policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase
asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam pasal 5 mencantumkan
pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi
penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang
menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-
ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999) apakah hakim pengadilan Indonesia
tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah
anggota Konvensi New York.
Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan
berbagai permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap
pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui,
prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan
sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat
berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian
menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang
bersangkutan.
Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di
Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti
- putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh
dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti
- Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum
mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu
ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk
dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti
- Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat
Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan
dibagi sebagai berikut :
1. Putusan Diklatoir
- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan
yang resmi menurut hukum
- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk
penetapan atau besciking
- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan
- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi
- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan
hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada
2. Putusan Konstitutif
- Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.
- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau
hubungan keperdataan satu sama lain
- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi
- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan
- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain
bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan
perkawinan, dan sebagainya
- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan
huum tetap
3. Putusan Kondemnatoir
- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk
memenuhi prestasi
- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius
- Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan
eksekusi
- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela,
maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh
pengadilan yang memutusnya
- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih
dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)
- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk
1. menyerahkan suatu barang
2. membayar sejumlah uang
3. melakukan suatu perbuatan tertentu
4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan
5. mengosongkan tanah/rumah
a.2 Pengakuan dan pelaksanaan putusan
Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem
hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena
Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem
hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai Negara jajahan
nya. ,masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan
sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata)
yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum civil Law,yaitu mengutamakan
kodifikasi hukum dan Undang-undang / hukum .Namun praktek seiring dengan
perjalanan waktu, terutama setelah adanya pengaruh globalisasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya penerapan sistem hukum
CivilLaw di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya
akademisi maupun praktisi hukum dari Indonesia yang belajar hukum di nagara-
negara yang menganut sistem CommonLaw seperti Inggris dan Amerika. Dari sini
timbul kesadaran akan pentingnya mempelajari perbandingan sistem hukum untuk
memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang sistem hukum yang ada di
dunia secara global guna memperoleh manfaat internal yaitu mengadopsi hal-hal
positif guna pembangunan hukum nasional.Maupun manfaat eksternal yaitu dapat
mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara
lain yang berbeda system hukumnya. Pergeseran itu antara lain mulai diakuinya
sumber hukum Jurisprudensi, yaitu putusan hakim (judge madelaw) yang telah
berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di Indonesia. Padahal menurut
sistem Civil Law sumber hokum utama adalah Undang-undang dan Hakim tidak
terikat oleh putusan hakim sebelumnya meskipun dalam perkara yang sama.
Contoh terbaru adalah diikutinya jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tentang
diperbolehkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam
kasus JokoS. Candra. Sedangkan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP secara
tegas menyatakan upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya.Sistem peradilan disuatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem
hukum yang dianut oleh negara tersebut. Menurut Eric L. Richard,sistem hukum
utama di dunia adalah sebagai berikut:
1.Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini
berasal dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara
Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
2.Common Law, hukum yang berdasarkan custom. Kebiasaaan berdasarkan
preseden atau judge madelaw.Sistem ini dipraktekkan dinegara-negara Anglo
Saxon,seeprti Inggris dan Amerika Serikat.
3.Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari
AlQur‟an dan Hadits.
4.Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
5.Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika
yang berada di sebelah selatan Gunung Sahara.
6.Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh–merupakan sistem hukum uang
kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law,dan
Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.
a.3 Perbandingan Praktek di Negara Lain
Dalam kaitannya dengan sengketa internasional, ada baiknya kita melihat pada definisi sengketa internasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang
terdapat dalam perjanjian (Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional”.
Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain:
- Negara;- Tahta Suci Vatikan.
- Organisasi Internasional;
- Palang Merah Internasional;
- Kelompok Pemberontak;
- Perusahaan Multinasional;
- Individu;
Negara (dalam hal ini Indonesia) sebagai subyek utama hukum internasional
mempunyai kedaulatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Boer Mauna dalam
bukunya “Hukum Internasional, bahwa:
1. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi.
2. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari
manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Hal-hal di atas dikemukakan oleh Boer sebagai pengertian negatif dari kedaulatan.
Mengenai peradilan internasional, Boer berpendapat bahwa peradilan
internasional adalah bersifat fakultatif. Menurutnya, bila suatu negara ingin
mengajukan suatu perkara ke peradilan internasional, maka persetujuan semua
pihak yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Dengan demikian,
penyelesaian sengketa antarnegara melalui peradilan internasional adalah juga
berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Sehingga,
setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan internasional, setiap negara pihak yang
bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut. Demikian pendapat Boer yang
kami sarikan dari buku “Hukum Internasional”
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa negara berhak
menentukan sikap apakah akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan
asing atau tidak. Putusan pengadilan asing adalah putusan pengadilan di luar
pengadilan nasional. Apabila sengketa terjadi dalam ranah perdata, salah satu
alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui badan arbitrase (baik nasional
maupun internasional). Sebagaimana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam
bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata”bahwa putusan pengadilan asing
(dalam kaitannya dengan sengketa perdata internasional yang diselesaikan melalui
arbitrase internasional) tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik Indonesia
kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Yahya Harahap mengacu pada
ketentuan Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (“Rv”).
Mengenai bagaimana melaksanakan putusan pengadilan/arbitrase asing di
Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436
ayat (2) Rv bahwa satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan
pengadilan/arbitrase asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan
tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan
Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan/arbitrase asing tersebut oleh pengadilan
Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan
mengikatnya secara kasuistik, yaitu:
1. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat; atau
2. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan
pertimbangan hakim.
B. Praktek pelaksanaan putusan arbiterase asing di Indonesia
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase
nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase nasional
adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di
wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan
arbitrase yang diputuskan di luar negeri.
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar
putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus
diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan
mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30
(tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional
bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional
tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas
pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999
sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu
apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase
internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak
permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara
peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah
Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober
1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing
sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma
tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya
bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam
eksekusi putusan arbitrase asing.
b.1 Pengertian arbiterase asing
Yang dimaksud dengan arbitrase asing adalah lembaga arbitrase internasional yang
dipilih oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketa
Contoh Arbitrase Asing
Beberapa contoh arbitrase asing diantaranya :
- Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), yakni
arbitrase tertua yang menjadi alternative penyelesaian sengketa perdagangan
internasional;
- The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang
sering disebut dengan Center, yang khusus untuk menyelesaikan persengketaan
“joint venture” atau penanaman modal suatu negara dengan warga negara lain;
- UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commission on International
Trade Law) yang disebut juga UAR.
b.2 Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing
Cara pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999
Pada dasarnya, putusan arbitrase asing harus dimintakan pengakuan keabsahannya,
dan pelaksanaan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65).
Pengakuan dan pelaksanaan eksekusi inilah yang disebut dengan asas executorial
kracht. Terkait dengan hal tersebut, putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan
eksekusinya di Indonesia adalah putusan arbitrase yang :
- Dijatuhkan oleh lembaga arbitrase yang terikat dengan negara Indonesia melalui
perjanjian (bilateral-multilateral), atau terikat dengan negara Indonesia dalam suatu
ikatan konvensi Internasional, dan keterikatan tersebut mengakui tentang eksekusi
putusan arbitrase (asas resiprositas) ;
- Putusan arbitrase internasional yang terbatas pada ruang lingkup hukum
perdagangan di Indonesia;
- Putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan;
- Putusan arbitrase internasional yang menyangkut pihak Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak, setelah mendapatkan eksukuatur dari Mahkamah Agung
yang selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Adapun tata caranya sebagai berikut (Pasal 67):
a. Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah
putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
paniter pengadilan negeri Jakarta Pusat (ayat (1));
b. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan putusan tersebut harus dilengkapi
dengan persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2);
c. Pada putusan arbitrase internasional, berlaku ketentuan bahwa (Pasal 68):
* Putusan arbitrase internasional yang memperoleh eksekuatur dari ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi;
* Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui
dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;
* Terhadap putusan Mahkamah Agung tentang permohonan eksekuatur putusan
arbitrase internasional di mana Negara RI sebagai salah satu pihak yang
bersengketa, maka tidak dapat diajukan upaya perlawanan
d. Perintah eksekusi diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian
pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri berdasarkan
kewenangan relative, dengan ketentuan :
* Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon
eksekusi;
* Tata cara pelaksanaan putusan harus mengikuti tata cara yang diatur di dalam